Mauked Moelyono1 DAMPAK PERSAINGAN USAHA SECARA SEHAT TERHADAP PEREKONOMIAN (Bertolak dari UU No.5 Tahun 1999)
Abstract The birth of Antitrust Law and the policy of business competition healthily represent an undoubtedly in the global era which must be responded as an awareness to correct the healthier, prestigious, and competitive economic lives. The policy shall adopt the morality values in expecting of its implementation can realize the ethic business practices, that is business practices to get profit in the correct way, by following rule of the game spiritualized by humanizing human being. As an antitrust law reflection, the policy of healthy business competition cover broader, more principle and dynamic arrangement to business aspects, equality and justice aspects, equality of proprietary rights aspects and access to economic resources, regional aspect, and the strategic role of sectors expressed as public domains which are under the domination of government. It means that the policy not merely giving security to all business actors, but also pushing opportunity to create extension and development of available efforts or create new ones, as well as guaranteeing and benefiting the widely economic importance. Years and years, since its birth, the implementation of Antitrust Law and the policy of healthy business competition face many problems. In the case where there are indications of breaking the prohibition of exploiting dominant position, as a matter of fact, the importance of pragmatic economics remains more majored compared to effort of upholding existing regulation. In the effort of upholding Antitrust Law, it seems it has to be harmonized with situation and context where Antitrust Law will be applied. This is an ironic condition in Indonesia, a law state, owning the spirit and strives of upholding law halfheartedly.
Kata Kunci : monopoli, persaingan usaha sehat, dan bisnis beretika A. PENDAHULUAN Amanah mewujudkan kesejahteraan sosial bagi semua warga negara sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945, merupakan salah satu misi negara2 yang harus diemban oleh setiap rezim pemerintahan yang berkuasa. Pelaksanaan amanah tersebut didasarkan pada azas ”demokrasi ekonomi” dan disemangati oleh moral pembangunan yang bersumber dan bersandar pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa yang telah tumbuh dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. Amanah UUD 1945 tersebut telah dilaksanakan melalui serangkaian program-program pembangunan dan telah mengantarkan perekonomian Indonesia berkembang dengan pondasi yang lebih kokoh.
1
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Ilmu Ekonomi dn Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako 2 Misi negara tersebut sebangun dengan hasil konvensi internasional tentang HAM yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar akan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi setiap individu sebagai bagian dari hak azasi manusia (HAM).
1
Berbagai keberhasilan dan kegagalan pembangunan yang dicapai dan dirasakan merupakan pengalaman berharga dan sekaligus menjadi guru yang baik yang mengajarkan kepada semua pihak untuk merefleksi diri, melakukan penyempurnaan terhadap segala keberhasilan yang dicapai dan melakukan koreksi dan perbaikan terhadap segala kegagalan yang pernah dialami guna menata perekonomian yang lebih baik di masa depan. Demikianlah salah satu jalan untuk menata kembali kehidupan bisnis yang lebih sehat dan beretika, sambil menghindarkan diri dari kebiasaan menyalahkan pihak lain. Terkait dengan misi negara tersebut, pembangunan di bidang ekonomi ditempuh dengan menerapkan pendekatan pengembangan kemampuan manusia pada aspek pengembangan ekonomi, dimulai dengan membedakan antara pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ekonomi3. Keputusan mengenai apakah negara harus memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi atau perkembangan ekonomi, Sen (1992) merekomendasikan agar negara seharusnya memfokuskan pada tujuan yang lebih nyata (kesejahteraan), yaitu melalui pengembangan potensi kreatif manusia, dan mengusulkan pendekatan yang berpusat pada kemampuan. Baginya, ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia, dan memperbanyak pilihan yang terbuka untuk mereka, daripada memproduksi lebih banyak barang dan jasa-jasa. Dalam konteks ini, bagian penting dari kesejahteraan manusia adalah jumlah dari pilihan yang dimiliki orang dan kebebasan untuk memilih diantara pilihan-pilihan tersebut. Kesejahteraan manusia akan sangat ditentukan oleh seberapa banyak hal-hal yang dapat dilakukan dengan baik oleh masyarakat. Kesejahteraan manusia akan maksimum ketika mereka dapat membaca, memenuhi kebutuhan makan, dan dapat memberikan hak suaranya. Kemampuan membaca penting karena apabila orang dapat membaca maka ia bisa membentuk kepribadiannya. Memenuhi kebutuhan makan dihargai bukan karena orang suka makanan tetapi karena makanan penting untuk kehidupan dan kesehatan. Dan orang memberikan hak suaranya bukan untuk menaikkan kepuasannya, tapi karena mereka menghargai sistem politik (demokrasi) dan jenis aktivitas politik tertentu. Ini berarti, ketika konsumen membeli barang tapi tidak punya pilihan, kesejahteraan konsumen dapat ditingkatkan dengan memberi lebih banyak pilihan, bahkan jika konsumen pada akhirnya tidak mendapatkan lebih banyak barang. Sukses perkembangan ekonomi seharusnya dinilai berdasarkan meningkatnya kemampuan warga dalam hal baca tulis dan meningkatnya usia harapan hidup secara berimbang antara laki-laki dan perempuan ketimbang berdasarkan pertumbuhan dalam 3 Menurut Sen (1986), pertumbuhan berarti memproduksi lebih banyak barang dan jasa, dan menaikkan pendapatan per kapita, sedangkan perkembangan ekonomi adalah “pengembangan kemampuan manusia”, meliputi upaya meningkatkan usia harapan hidup, bebas buta huruf, kesehatan dan pendidikan rakyat.
2
produksi atau tingkat pendapatan. Ini berarti, aspek kesetaraan jender juga menjadi aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam proses perkembangan ekonomi. Menurut Sen dan Dreze (1996), sistem perekonomian yang kinerjanya bagus tidak hanya menghasilkan lebih banyak barang dan jasa, tetapi juga peningkatan taraf hidup rakyat. Mereka lebih menitikberatkan pada penciptaan kemampuan manusia, dan menegaskan bahwa perkembangan kemampuan manusia itu merupakan tujuan riil dari pertumbuhan ekonomi. Mencermati proses pembangunan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa, ternyata orientasi pembangunan lebih diarahkan untuk tujuan-tujuan pertumbuhan ekonomi. Azas ”demokrasi ekonomi” dan moral pembangunan tampaknya semakin terabaikan dalam proses pembangunan. Pembangunan ekonomi ketika itu digenjot dengan kekuatan modal asing dan diarahkan mengikuti tahapan pertumbuhan ala Rostow4. Proses pertumbuhan ekonomi yang seharusnya berlangsung dengan pelibatan sebanyak mungkin warga masyarakat, dan diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, justeru terabaikan. Demi pembangunan, hak-hak dan kepentingan rakyat (termasuk aksesnya terhadap sumberdaya ekonomi) seringkali harus dikorbankan sehingga yang terjadi adalah terciptanya dikotomi hasil-hasil pembangunan, yaitu antara kesejahteraan dan kesengsaraan. Hanya sekelompok kecil masyarakat, kesejahteraan itu dapat dinikmati, sedangkan pada sebagian besar masyarakat lainnya, kesengsaraanlah yang harus mereka rasakan. Memang secara fisik hasil-hasil pembangunan yang dicapai di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan kemajuan. Namun, apakah hasil-hasil pembangunan itu berkorelasi dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat ?. Ternyata kenyataan di lapangan menunjukkan lain, hanya sebagian kecil warga yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan itu, sebagian besar warga lainnya tidak dapat merasakan, apalagi memilikinya. Disparitas pembangunan dan kesenjangan sosial ekonomi antar perorangan, antar kelompok rumah tangga masyarakat dan antar wilayah semakin meluas dan sangat krusial terhadap kerawanan dan konflik sosial. Kenyataan tersebut sejak masa-masa akhir kekuasaan pemerintahan Orde Baru mulai hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan intensitas yang terus meningkat, hingga menjelma menjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat sadis, kejam, memilukan dan memalukan. Kini, apa yang disebut sebagai kriminalitas, konflik sosial, pengangguran, kemiskinan, dan praktik-praktik ekonomi yang terkontaminasi perilaku Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi (NKK) dengan segala bentuk dan akibat yang ditimbulkannya marak dimana-mana. Dan anehnya, masyarakat semakin biasa, kalau tidak 4 Dalam bukunya yang berjudul The Stage of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto, Rostow menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam masyarakat, yaitu sebuah proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju. Proses pembangunan tersebut oleh Rostow dibagi mejadi lima tahap, yaitu: (1) masyarakat tradisional; (2) prakondisi untuk lepas landas; (3) lepas landas; (4) bergerak ke kedewasaan; dan (5) jaman konsumsi masal yang tinggi.
3
mau dikatakan senang, memandang dan menerima peristiwa demi peristiwa itu sebagai sebuah kewajaran. Praktik-praktik pembangunan yang selama ini dianggap tidak efektif, salah kelola dan sebagainya, bagaimanapun ikut berkontribusi terhadap berbagai kerusakan lingkungan, carut marutnya anggaran dan keuangan negara, dan praktik-praktik bisnis yang tidak sehat. Akibatnya, disparitas sosial ekonomi tak dapat dihindarkan dan bahkan semakin meluas, penguasaan sumberdaya ekonomi yang langka mulai dari industri hulu hingga industri hilir terpusat pada sekelompok kecil pengusaha, yang notabene pengusaha non-pribumi. Mereka semakin mendominasi perekonomian dan berperan penting sebagai aktor di balik layar dalam setiap adegan sandiwara (politik) perumusan kebijakan ekonomi, mereka hidup sangat berkecukupan, dan se-akan bebas menentukan apa saja yang mereka inginkan. Sementara itu, pada sebagian besar masyarakat yang lain hidupnya masih serba kekurangan dan menderita karena ketidakberdayaannya melawan praktik-praktik ekonomi yang bias keadilan. Pada gilirannya, kondisi tersebut justeru menambah beban dan mempersulit negara dalam mengemban misi mewujudkan kesejahteraan sosial secara adil dan merata. Realitas tersebut tak boleh dibiarkan hidup di tengah perekonomian rakyat yang memburuk akhir-akhir ini. Praktik-praktik monopoli5 dan persaingan usaha tidak sehat, harus sejauh mungkin ditutup ruang hidupnya dalam perekonomian yang masih lekat dengan nilai-nilai kultural dan kekeluargaan sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan berekonomi pada sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, intervensi pemerintah melalui seperangkat kebijakan yang lebih berpihak dalam rangka mengatur tata kehidupan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menghindarkan dari segala bentuk praktik-praktik penindasan (eksploitasi) mutlak diperlukan. B. WAJAH DUNIA BISNIS Konsep spiritualitas dan moralitas bisnis sebagai wacana bisnis terkini, mulai merambah ke dalam tata kehidupan dan iklim dunia bisnis di Indonesia. Konsep tersebut mengandung nilai-nilai sikap yang kental dengan sebuah kesadaran bahwa segala aktivitas bisnis adalah untuk memuliakan martabat manusia, dan bukan mengeksploitasi manusia dalam posisinya sebagai faktor produksi. Kesadaran tersebut mengacu kepada pemahaman bahwa: Pertama, bisnis adalah ekosistem, dan bukan peperangan. Ia lebih mengutamakan keselarasan dan keseimbangan dalam kerjasama, saling melengkapi dan bersama-sama memenuhi kebutuhan manusia 5 Dalam pasal 1 ayat 2 UU anti Monopoli, praktik monopoli dimaksudkan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
4
daripada saling menghancurkan; Kedua, lembaga bisnis adalah komunitas, dan bukan mesin pencetak laba. Ia merupakan kumpulan dari aset-aset bergerak dan tidak bergerak, sistem, dan sumberdaya manusia. Ia kemudian disebut benda hidup yang harus diisi dengan roh dan norma-norma yang menjadikan lembaga tersebut semakin solid, adaptif, dan kompetitif; Ketiga, manajemen adalah transparansi, dan bukan rekayasa. Ia merupakan kunci sukses di dalam sistem manajemen modern. Dengan semangat transparansi, semua praktik bisnis menjadi fair, tidak ada yang tertutup, dan bermuara pada tercapainya efisiensi dan efektivitas yang merupakan modal dasar untuk mencapai laba. Namun kesadaran tersebut dalam praktik-praktik bisnis oleh sebagian besar lembaga bisnis yang ada di Indonesia belum membudaya, dan masih sebatas wacana. Praktik-praktik bisnis masih didominasi oleh syahwat melakukan efisiensi dan maksimisasi laba yang sangat berlebihan, sehingga menjadikan lembaga bisnis di negeri tercinta ini semakin kejam, tidak berhati nurani, dan tidak beretika. Sebagai entitas bisnis, lembaga-lembaga bisnis tersebut tidak bisa memisahkan diri dari masyarakat. Mereka hidup dan menghidupi masyarakat, serta bergumul dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam pergumulan tersebut, lembaga bisnis menghadapi dua dilematik: (1) mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola perilaku masyarakat, dan (2) membentuk sistem tersendiri yang mampu menciptakan perilaku berbeda dengan masyarakat. Terkait dengan dilematik tersebut, tampaknya lembaga-lembaga bisnis lebih condong memilih dilematik (1), yaitu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pola perilaku masyarakat, sungguhpun sayarat dengan nilai dan perilaku NKK. Pilihan tersebut bukan tanpa alasan, selain tidak menguras energi yang banyak untuk membentuk sistem, pilihan tersebut juga mendatangkan nilai ekonomis yang menguntungkan. Pilihan inilah yang akhirnya harus dijalani oleh lembaga bisnis dan mendominasi praktik-praktik bisnis pada umumnya di Indonesia. Dominasi nilai dan perilaku NKK tersebut, menjadikan lembaga-lembaga bisnis yang ada berperilaku kejam dan buas bagaikan predator lapar yang memangsa apa saja tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku inilah yang pada gilirannya berkontribusi terhadap sulitnya membesarkan usaha-usaha kecil dapat berkembang menjadi besar, merebaknya tindak pelecehan dan pengkhianatan hak-hak buruh oleh lembagalembaga bisnis, kesenjangan pendapatan antara buruh dan pengusaha, dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, menata kembali kehidupan dunia bisnis kearah yang lebih sehat dan beretika bukanlah pekerjaan mudah. Kesadaran untuk menata kembali kehidupan dunia bisnis kearah yang lebih sehat dan beretika, ditandai dengan lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang selanjutnya disebut UU Anti
5
Monopoli. Kelahiran UU tersebut, selain memperkuat posisi pemerintah dalam upaya mewujudkan kehidupan ekonomi yang lebih adil dan bebas dari praktik-praktik monopoli, juga menciptakan rasa aman dan kepercayaan (trust) di kalangan masyarakat bisnis dan mendorong terciptanya praktik-praktik bisnis yang lebih adil dan bermartabat Implementasi UU antimonopoli dan kebijakan ekonomi yang berpihak dan melindungi para pelaku ekonomi berskala usaha kecil secara konsisten, berkelanjutan, adil dan transparan, diharapkan akan berimplikasi terhadap penciptaan iklim bisnis yang makin kondusif, mereduksi ketidakpastian dan risiko bisnis ke tingkat yang lebih rendah, tumbuhnya gairah investasi yang lebih kompetitif, menguatnya kekuatan ekonomi rakyat dan munculnya para pelaku bisnis tangguh yang diperlukan dalam menghadapi percaturan ekonomi global. Dan pada gilirannya, implementasi UU tersebut dapat meningkatkan daya saing6 dan kesejahteraan rakyat serta memperkuat kepercayaan masyarakat internasional terhadap perekonomian dalam negeri. C. PRO DAN KONTRA TERHADAP MONOPLI Dari literatur ekonomi diketahui bahwa keberadaan pasar monopoli dalam suatu perekonomian mengundang beragam pandangan yang pro dan kontra. Perbedaan ini tak mungkin dihindari, karena menilai keberadaan pasar monopoli bisa dimungkinkan dari berbagai segi kepentingan, apakah dari segi kepentingan konsumen, kepentingan produsen, dan ataukah dari segi kontribusi dan dampak monopoli tersebut terhadap perekonomian. Karena itu, praktik-praktik monopoli yang sengaja dibiarkan tumbuh atau yang sengaja dilindungi, tentu saja akan sangat tergantung kepada konteks dan segi-segi kepentingannya. Untuk melihat perbedaan pandangan tersebut, terlebih dahulu akan dijelaskan secara sekilas tentang pengertian dan kemunculan monopoli. Per definisi, sebuah pasar disebut monopoli7 jika dalam pasar tersebut hanya ada satu perusahaan yang memasok semua permintaan. Praktik monopoli dapat terjadi pada 6
Dari berbagai literatur diketahui bahwa pendefinisian konsep daya saing sangat bervariasi, akan tetapi, baik World Bank (1997; 2001) Michael Porter (1990); dan Dong-Sung Cho dan Hwy-Chang Moon (2003) serta literatur-literatur terkini mengenai daya saing nasional memandang daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang jelas-jelas di luar kendali suatu perusahaan. Aspek-aspek tersebut dapat bersifat firm-specific, region-specific, dan bahkan country-specific. 7
T. Gutitno (1993:272) mendefinisikan monopoli sebagai penguasaan tunggal oleh satu-satunya atau beberapa pemasok (baik pembuat atau penjual) atas suatu komoditi (barang dan jasa) dari segi sumber, pembuatan, penyaluran, harga, dan sebagainya di suatu wilayah, pasar, atau industry tertentu. Dalam pasal 1 UU Nomor 1999, monopoli dimaksudkan sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas`penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
6
lembaga bisnis tertentu jika lembaga-lembaga bisnis pesaing menganggap tidak menguntungkan untuk masuk pasar, atau karena memang terhalang (dihalang-halangi) masuk pasar. Nicholson (2000) menyatakan bahwa halangan masuk pasar (barriers to entry) yang merupakan sumber utama kekuatan monopoli, dibedakan antara halangan yang bersifat eksternal dan yang bersifat internal. Hambatan masuk pasar yang bersifat eksternal terdiri dari hambatan teknis (technical barriers to entry) dan hambatan yuridis (legal barriers to entry). Kedua jenis hambatan ini sekaligus yang membedakan kemunculan sebuah monopoli. Terkait dengan hambatan teknis, munculnya monopoli dapat ditelusuri pada industri tertentu dimana untuk mencapai produksi yang efisien hanya dapat ditempuh dengan produksi berskala besar. Produk semacam ini biasanya bercirikan biaya marjinal (biaya rata-rata) yang semakin menurun dan hanya pada tingkat output yang sangat besar yang dapat memberikan biaya minimum, sehingga hanya dengan teknologi yang efisien dan skala produksi yang besar saja, industri ini akan menguntungkan. Ciri industri ini biasanya berteknologi tinggi dan bermodal yang sangat besar (lihat industri kelistrikan, air minum, telekomunikasi, dan transportasi), dan betapa tidak efisien jika dalam satu kawasan tertentu terdapat lebih dari satu industri sejenis tersebut. Hambatan teknis yang lain yang dapat menciptakan monopoli adalah karena beberapa hal, yaitu: kepemilikan eksklusif sumberdaya ekonomi tertentu (termasuk kepemilikan bakat kewirausahaan dan bakat manajerial yang bersifat unik); dan kemampuan teknis produksi berbiaya rendah yang dapat dirahasiakan dari incaran perusahaan pesaing. Sedangkan pada hambatan yuridis, kemunculan monopoli adalah melalui pemberian izin atau perlindungan hak paten terhadap beberapa produk tertentu yang dipandang syarat dengan inovasi. Alasan yang mendasari perlindungan hak paten ini adalah untuk merangsang tumbuhnya inovasi-inovasi baru, dan yang paling penting adalah terlindunginya laba monopoli yang merupakan insentif untuk menarik orang untuk menciptakan kreasi-kreasi baru, dan memperkembangkan teknik-teknik baru. Di era Orde Baru, alasan pemberian perlindungan tersebut sangat beragam, ada yang karena hubungan baik atau karena hubungan keluarga antara pihak manajemen perusahaan dan pihak penguasa, atau karena perusahaan tersebut menghasilkan produk atau jasa yang menyangkut kepentingan umum dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, pandangan yang pro terhadap kemunculan monopoli menilai bahwa monopoli memiliki peran penting dalam inovasi dan kesanggupan perusahaan dalam meraih kemajuan teknologi. Laba monopoli memegang peran penting sebagai sumber dana utama untuk pembiayaan kegiatan riset dan pengembangan. Pada persaingan sempurna setiap perusahaan hanya menerima laba normal, sehingga sulit
7
baginya mengalokasikan dana untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Tetapi dengan sistem monopoli, perusahaan bisa memperoleh laba ekonomis yang selanjutnya merupakan sumber pembiayaan untuk penelitian dan pengembangan. Keinginan perusahaan untuk selalu memegang posisi monopolistik, merupakan insentif untuk selangkah lebih maju dari perusahaan pesaing. Schumpeter (1950) menekankan bahwa aktivitas memonopoli pasar memungkinkan turunnya biaya-biaya untuk merencanakan aktivitas perusahaan. Karena perusahaan monopoli adalah satusatunya pemasok pasar, maka biaya-biaya untuk kontengensi dapat ditekan serendah mungkin. Namun, pandangan tersebut belum memperhitungkan apakah keuntungan yang dicapai oleh sistem monopoli akan lebih besar dibandingkan kerugian alokasi sumberdaya input dan distribusi hasil produksi barang dan jasa-jasa. Sedangkan pandangan yang kontra terhadap monopoli adalah mereka yang tergabung dalam kelompok pakar ekonomi kesejahteraan seperti Arnold Harberger (1954), menilai bahwa kehadiran pasar monopoli dalam perekonomian cenderung tidak efisien, jumlah output yang diproduksi cenderung lebih sedikit, dan alokasi sumberdaya sumberdaya tidak optimal. Akibatnya, harga produk di pasar monopoli yang diterima konsumen relatif lebih mahal 8,
munculnya kerugian bagi konsumen karena adanya transfer dari konsumen ke
produsen serta munculnya deadweight loss9 yang merupakan ukuran dampak negatif dari alokasi monopoli. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa monopoli tidak hanya memberikan dampak negatif dalam arti mempengaruhi reallocation of resources, tetapi juga mempunyai dampak praktis terhadap kemungkinan adanya misallocation of resources. Sungguhpun demikian, kebijakan monopoli masih dimungkinkan sepanjang masih dapat memberikan manfaat dan mendorong upaya-upaya yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
D. KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA SECARA SEHAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
8
Harga yang mahal pada pasar monopoli, mengandung arti secara relatif terhadap sistem persaingan sempurna, bahwa pada perusahaan monopoli mengalokasikan sumber-sumber secara tidak efisien. 9
Deadweight Loss merupakan nilai transfer konsumen yang tidak jelas peruntukannya, nilai ini lenyap begitu saja tanpa ada pihak lain yang menikmati manfaatnya.
8
Kebijakan persaingan usaha secara sehat merupakan aktualisasi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang selanjutnya disebut UU Anti Monopoli. Kebijakan tersebut memuat seperangkat aturan yang mengatur tentang bagaimana persaingan usaha secara sehat dapat diatur, sehingga para pelaku bisnis merasa terlindungi dari praktik-praktik bisnis yang tidak sehat. Sebagaimana diketahui, UU Anti Monopoli, dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan bagi setiap pelaku usaha. UU tersebut merupakan
produk pertama dari hak inisiatif DPR yang lahir di era reformasi yang
diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999, dan berlaku efektif mulai 5 September 2000 setelah pemerintah memberikan peluang penyesuaian bagi dunia usaha terhadap substansi larangan praktik monopoli. Dalam UU Anti monopoli, dimuat berbagai aturan yang melarang praktik-praktik monopoli berikut sanksi-sanksi atas pelanggaran aturan tersebut. Tujuan dilarangnya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 UU Anti Monopoli adalah untuk : (a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktik dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Ada beberapa faktor yang mendorong kelahiran UU Anti Monopoli, diantaranya: Pertama, menguatnya tuntutan internal terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi yang semakin parah, dimana penguasaan orang per orang dan atau kelompok usaha tertentu atas sumberdaya ekonomi di Indonesia sebagian besar didominasi oleh etnik Cina; Kedua, dorongan eksternal dimana Indonesia terikat perjanjian dengan badan dunia, IMF, yang mempersyaratkan adanya jaminan dan sanksi hukum atas praktik monopoli, dan persaingan usaha tidak sehat lainnya; dan Ketiga, munculnya konglomerasi yang mengakibatkan lemahnya ketahanan ekonomi. Menurut Putra (2002), faktor pertama, berkaitan dengan kebijakan ekonomi pemerintahan rezim Orde Baru yang lebih mengutamakan pentingnya peran modal asing, perlunya intervensi negara, kebijakan teknologi dan dominasi modal domestik non-pribumi. Previlage yang diberikan rezim Orde Baru kepada kelompok pengusaha non-pribumi saat itu sangat luar biasa di bidang ekonomi, sehingga dominasi etnik China tak terhindarkan lagi dalam perekonomian. Demikian, sehingga praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya tak terelakkan lagi. Mengguritanya praktik ekonomi yang demikian
9
disebabkan oleh motif-motif ekonomi politik rezim Orde Baru yang cenderung searah dengan pengusaha pemburu rente ekonomi (rent seeker). Para pengusaha yang notabene menjadi kroni pejabat pemerintahan di saat itu, sangat mendominasi perkembangan dan pertumbuhan sektor industri, sehingga menumbuhkan ciri ekonomi Indonesia yang khas, yaitu kapitalisme semu (ersatz capitalism). Akibatnya, selain mendorong terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan konsentrasi sumberdaya ekonomi pada sekelompok kecil masyarakat, juga dapat mendistorsi pasar. Pada faktor kedua, berkaitan dengan konsekuensi dari sebuah perjanjian internasional yang dilakukan Pemerintah Indonesia dengan IMF. Kehadiran IMF yang pada awalnya berfungsi sebagai adviser terhadap kebijakan pembangunan ekonomi, namun dalam perkembangannya IMF bertindak melampaui batas kedaulatan suatu bangsa dengan melakukan berbagai tekanan dalam pengambilan keputusan strategis kebijakan ekonomi, terutama pada privatisasi aset strategis milik negara. Sedangkan pada faktor ketiga, berkaitan dengan fenomena dunia bisnis yang diwarnai oleh berbagai kebijakan pemerintah yang dipandang berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance, sehingga pasar menjadi terdistorsi dan cenderung menunjukkan corak perekonomian yang monopolistik. Dalam perekonomian tersebut, muncul fenomena praktik bisnis yang tidak sehat yang didominasi oleh syahwat memperoleh ”laba najis” dengan mengalahkan dan menguasai lawan-lawan bisnis, dan muncul konglomerasi yang mengakibatkan lemahnya ketahanan ekonomi. Dalam logika ekonomi, laba adalah konsep usaha yang mencerminkan selisih antara penerimaan dikurangi pengeluaran. Namun sayangnya, dalam pendidikan ekonomi tidak pernah diajarkan bagaimana penerimaan tersebut diperoleh dan bagaimana pula semua pengeluaran-pengeluaran itu dapat ditekan ataupun dihemat. Akibat dari logika tersebut, para pelaku bisnis mempraktikkan apa yang oleh Marx disebut sebagai penindasan struktural. Praktik bisnis semacam ini melegitimasi apapun cara yang ditempuh oleh para pelaku bisnis dalam meraub laba, sekalipun harus mengorbankan hak-hak buruh hanya karena alasan untuk penghematan. Menurut Agung (2002), para pelaku bisnis di Indonesia tampaknya condong menggunakan konsep laba ini (mereka berlomba memaksimumkan penerimaan dan menekan biaya-biaya), ketimbang konsep laba yang lain seperti yang dintroduksi oleh Matsushita, yang memaknai laba sebagai rangkaian tetesan keringat dalam melayani dan meningkatkan martabat masyarakat pelanggan. Melalui serangkaian aturan dan larangan terhadap praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU Anti monopoli, praktik-praktik bisnis tersebut diharapkan dapat dihapus atau paling tidak dapat dikurangi. Pertanyaannya
10
sekarang, apakah keberadaan UU Anti Monopoli terkait dengan penguasaan 80% bisnis telepon selular dapat menyangkal dari upaya tuntutan penyelenggaraan peraturan anti monopli ?. Kekuatan pasar tampaknya telah menjelma menjadi kekuatan tersembunyi yang maha dahsyat sehingga dapat mempengaruhi pengambil kebijakan. Aturan hukum yang dibuat sebagai the rule of the game kadangkala dilanggar demi tujuan jangka pendek. Kasus privatisasi bisnis pada perusahaan telekomunikasi di Indonesia misalnya, akhir-akhir ini cukup menarik perhatian banyak kalangan. Terlebih setelah Temasek Holding, melalui anak perusahaannya Singapore Telecom (Singtel) dan Singapore Technologies Telemedia (STT) mulai menancapkan kekuatan bisnisnya pada sektor telekomunikasi di Indonesia. Singtel sebagai pemegang saham PT Telkomsel (anak perusahaan PT.Telkom Indonesia) menguasai sebesar 35% saham. Sedangkan STT mengusai 41,49% saham PT. Indosat dengan nilai Rp 5,62 triliun, sekaligus menjadi pemegang saham mayoritas. Komposisi pemegang saham Indosat pasca divestasi berubah dengan pemegang saham terbesar STT melalui Indonesian Communication Limited (ICL), sedang pemerintah tinggal 15%, selebihnya 43,06% oleh publik. Berdasarkan UU Anti Monopoli, terdapat tiga kategori praktik monopoli yang dilarang, yaitu, (1) perjanjian bersama yang menyebabkan persaingan tidak sehat, (2) kelompok kegiatan yang mengarah pada praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, dan (3) larangan memanfaatkan posisi dominan. Terkait dengan kepemilikan Temasek Holding pada bisnis telepon selular yang mencapai 80% patut dicurigai berpotensi terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Unsur-unsur yang bisa memperkuat potensi persaingan usaha tidak sehat sudah memenuhi syarat, yaitu: pertama, Temasek Holding memiliki kelompok usaha (Singtel dan STT) dan jaringan lobby-nya dapat membuat perjanjian bersama dengan beberapa pihak yang menyebabkan persaingan tidak sehat. Untuk membuktikan apakah Temasek Holding melakukan persaingan usaha tidak sehat dengan menggunakan ketiga kategori sesuai undang-undang di atas, dibutuhkan waktu yang cukup untuk mengevaluasinya, karena posisi Temasek Holding sangat dilematis bagi Indonesia. Terutama jika dihubungkan dengan limbungnya iklim investasi di Indonesia saat ini. Di satu sisi ada keinginan menegakkan aturan hukum secara tegas, namun pada sisi lain akan mempengaruhi kondisi berinvestasi. Terkait dengan kasus di atas, meskipun berbagai aturan hukum dibuat untuk membentengi upaya reduksi asset strategis dan kepentingan nasional lainnya, seperti UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Telekomunikasi dan UU Anti Monopoli, kepentingan ekonomi pragmatis tampaknya tetap lebih diutamakan sepanjang sesuai dengan kehendak pemerintah. Inilah kondisi ironis di Indonesia, sebuah negara hukum yang memiliki semangat dan upaya penegakan hukum setengah hati.
11
Sebagai refleksi anti monopoli, kebijakan persaingan usaha secara sehat seharusnya tidak boleh menafikkan nilai-nilai moralitas, dalam artian terdapatnya keseimbangan antara nilai-nilai bisnis dan nilai-nilai moral, sehingga dapat terwujud bisnis yang beretika, yaitu praktik menjalankan bisnis untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang benar, mengikuti aturan main yang berlaku dan disertai oleh semangat memanusiakan manusia. Menurut Agung (2002), bisnis yang beretika selalu berpedoman pada empat pilar: Pertama, roh kebaikan (the spirit of goodness); menjelaskan bahwa tujuan bisnis selain untuk memupuk laba juga untuk kebaikan manusia. Hasil produksi lembaga bisnis (barang dan jasa) tak lain adalah untuk mempertinggi martabat manusia, bukannya alat pengalienasian manusia. Kedua, roh kepercayaan (the spirit of trust); dimaksudkan bahwa bisnis dibangun dari rasa saling percaya yang tidak sebatas pada mitra bisnis saja, melainkan melebar kepada pekerja, konsumen, dan masyarakat. Ketika para pekerja, konsumen, dan masyarakat dilibatkan menjadi faktor kepercayaan, otomatis bisnis yang dijalankan akan lebih mampu menyelaraskan antara mencari laba dan tanggung jawab sosial. Ketiga, roh keunggulan (the spirit of excellence); dijelaskan bahwa menjadi bisnis unggul adalah kewajiban. Bisnis unggul ini dibangun melalui sistem, produk, dan operasional yang terbaik. Keempat, roh pelayanan (the spirit of service); dimaknai secara sederhana bahwa konsumen harus dilayani, karena itu konsumen harus diposisikan sebagai subyek bisnis yang harus dilayani. Dalam konteks kebijakan bisnis yang sehat dan beretika, mempedomani pilar-pilar bisnis beretika sebagaimana tersebut di atas dipandang belum cukup, masih diperlukan pengaturan yang lebih operasional dan rinci, terutama yang terkait dengan hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya-sumberdaya ekonomi, peran strategis sektor-sektor usaha yang dinyatakan sebagai domain publik yang berada dalam penguasaan pemerintah, serta praktik-praktik bisnis yang mengedepankan disiplin transparansi terbaik, disiplin produk dan jasa yang manusiawi, dan disiplin martabat konsumen. Hal ini penting agar produk kebijakan tidak sekadar memberikan rasa aman bagi para pelaku bisnis, tetapi juga mendorong terciptanya peluang bagi perluasan dan pengembangan bisnis yang sudah ada atau bisnis yang baru, serta dapat menjamin dan menguntungkan bagi kepentingan negara. Dengan demikian, implementasi kebijakan bisnis yang sehat dan beretika memerlukan strategi pendekatan yang lebih spesifik, fleksibel, cermat dan berhati-hati. Strategi pendekatan ini penting karena akan berakibat fatal dan sangat berisiko terhadap perekonomian secara luas jika salah dalam implementasinya. E. P E N U T U P
12
Penyelenggaraan program pembangunan di Indonesia telah terkontaminasi oleh perilaku budaya Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi (NKK). Kondisi ini menyebabkan pengelolaan pembangunan menjadi tidak efektif dan merugikan keuangan negara. Penyelenggaraan program pembangunan semacam itu diyakini ikut berkontribusi terhadap praktik-praktik bisnis yang tidak sehat, dan menjadikan lembaga-lembaga bisnis yang ada berperilaku kejam, tidak berhati nurani dan tidak beretika. Praktik-praktik bisnis inilah yang pada gilirannya berdampak terhadap sulitnya membesarkan usaha-usaha kecil dapat berkembang menjadi besar, merebaknya tindak pelecehan dan pengkhianatan hak-hak buruh oleh lembaga-lembaga bisnis, kesenjangan pendapatan antara buruh dan pengusaha, dan kerusakan lingkungan. Demikian halnya dengan kebijakan monopoli terhadap praktik-praktik bisnis, selain memberikan dampak negatif dalam arti mempengaruhi reallocation of resources, juga mempunyai dampak praktis terhadap kemungkinan adanya misallocation of resources. Sungguhpun demikian, kebijakan monopoli seringkali masih dimungkinkan sepanjang dapat memberikan manfaat dan dorongan terhadap upaya-upaya yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, menata kembali kehidupan dunia bisnis kearah yang lebih sehat dan beretika bukanlah pekerjaan mudah. Kesadaran untuk menata kembali kehidupan dunia bisnis kearah yang lebih sehat ditandai oleh kelahiran UU Anti Monopoli dan Kebijakan Persaingan Usaha Secara Sehat. Sebagai refleksi anti monopoli, kebijakan persaingan usaha secara sehat hendaknya mampu mengakomodasi nilai-nilai moralitas, keberpihakan dan perlindungan terhadap para pelaku ekonomi berskala usaha kecil, sehingga dapat berimplikasi terhadap penciptaan iklim bisnis yang makin kondusif, mereduksi ketidakpastian dan risiko bisnis ke tingkat yang lebih rendah, tumbuhnya gairah investasi yang lebih kompetitif, dan munculnya para pelaku bisnis tangguh yang diperlukan dalam menghadapi percaturan ekonomi global, serta dapat menumbuhkan praktik bisnis yang beretika, yaitu praktik menjalankan bisnis untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang benar, mengikuti aturan main yang berlaku dan yang disertai oleh semangat memanusiakan manusia. Terkait dengan kasus bisnis telekomunikasi, khususnya bisnis telepon selular, dimana terdapat indikasi terjadi pelanggaran terhadap larangan memanfaatkan posisi dominan (penguasaan saham mencapai 80%), kepentingan ekonomi pragmatis tampaknya tetap lebih diutamakan ketimbang upaya menegakkan aturan hukum, meskipun berbagai aturan hukum telah dibuat untuk membentengi upaya reduksi asset strategis dan kepentingan nasional lainnya, seperti UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Telekomunikasi dan UU Anti Monopoli. Aturan hukum yang dibuat sebagai the rule of the game kadangkala dilanggar demi tujuan jangka pendek.
13
Kondisi ini menunjukkan, betapa besar hambatan dan kepentingan-kepentingan yang harus dicermati dan dipertimbangkan dalam upaya menata kembali kehidupan dunia bisnis ke arah yang lebih sehat dan beretika, terutama jika diperhadapkan kepada tujuantujuan lain jangka pendek yang tidak kalah urgensinya.
Daftar Pustaka Agung, A.M.Lilik, 2002., Menumbuhkan Bisnis yang Beradab, Penerbit PT Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta. Bowman, Edward H. And Singh Harbin, 1990., Overview of Corporate Restructuring Trends and Consequences, McGraw Hill Publishing Company. Case, Karl E and Ray C.Fair, 2002 (terjemahan), Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro, Edisi Kelima. Penerbit Prenhalindo, Jakarta Dong-Sung Cho and Hwy-Chang Moon, 2003., From Adam Smith To Michael Porter, Evolusi Teori Daya Saing, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Drucker, P.F., 1988, Innovation and Entrepreneurship: Principle and Practice, Harper and Row Publishers, New York Kim, W.Ch.and Mouborgne, R., 1997, “Fair Process; Managing in the Knowledge Economy”, Harvard Business Review, July-August. Komarudin, 2003., ”Siapa Singaapporee Technologies telemedia ?, Koran Tempo, 7 Januari, 2003. Nicholson,Walter,2002.,Intermediate Microeconomics and Its Application, Harcourt, Inc. Pascale, R.T. and Athos, A.G., 1992, The Art of Japanese Management, Warners Book, New York. Porter, Michael E, 1990., “The Competitive Advantage of Nations”, The Free Press. Porter, Michael E., Jeffrey D. Sachs, Andrew M. Warner, Peter K. Cornelius, Macha Levinson, and Klaus Schwab.,2000, “The Global Competitiveness Report 2000”, Oxford University Press. Putra, Muslimin B, 2002., Temasek, Anti Monopoli dan Kebijakan Publik, Jurnal Bisnis & Birokrasi, No.03/Vol.X/September/2002. Soeling, Pantius D., (2003), Sumber Daya Manusia sebagi Asset Stratejik Untuk Menciptakan Keunggulan Bersaing, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Volume XI/No.2/Mei/Hal 1-7, Departemen Ilmu Administrasi Fak.Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Wahibur, Rokhman, Jr., 2001, Pemberdayaan dan Komitmen: Upaya Mencapai Kesuksesan Organisasi Dalam Menghadapi Persaingan Global, Manajemen Usahawan Indonesia, No.06/TH.XXX Juni 2001, Jakarta
14