MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI
Agung Budiyanto
Dosen FKH , Master dan Doctoral Degree Pasca Sarjana UGM Sekretaris Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Ketua Asosisasi Medik Reproduksi Veteriner Indonesia (ONT AMERVI PDHI)
PENDAHULUAN
Performan reproduksi sapi
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor
manajemen. Efisiensi reproduksi merupakan dasar utama memperoleh hasil yang maksimal, ada beberapa hal yang saling berkaitan yaitu body condition, pakan, masa, siklus estrus normal, deteksi estrus dan kelangsungan hidup embrio, selain itu perlu diperhatikan pula hal-hal yang berhubungan dengan formulasi pakan, manajemen tempat pakan, kenyamanan kandang yang dapat melindungi dalam suhu dan kelembaban ekstrem, kandang jepit pemerahan, manajemen pemerahan, pencegahan terhadap mastitis, perhatian terhadap estrus dan ovulasi dan diagnosa dini terhadap kegagalan bunting Dukungan dari recording sangat penting untuk memudahkan evaluasi dan kemungkinan pengembangan program kegiatan ke depan Masalah yang ada di peternak sehingga menyebabkan performan reproduksi sapi
yang rendah
adalah : faktor manajemen pemelihraan meliputi pakan, kandang, manajemen reproduksi seperti deteksi estrus yang tepat, kualitas estrus, waktu IB , kualitas spermatozoa, recording dan pemeliharaan kesehatan yang teratur masih belum dilaksanakan secara optimal. Sumber daya alam melimpah yang dimiliki oleh Indonesia memberikan keuntungan negara ini menjadi negara agraris. Sebagai negara agraris, Indonesia bertumpu pada sektor pertanian sebagai salah satu tombak pembangunan nasional. Berdasarkan sumber daya alamnya Indonesia memiliki potensi peluang dalam pencapaian ketahanan pangan yang kokoh yang diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat dan meningkatan perekonominan negara (lassa, 2005).
Sejarah mencatat bahwa Indonesia telah mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an, hal ini terlihat jelas pada tahun 1984 indonesia mampu swasembada beras dan pada tahun 1980-an Indonesia mampu swasembada daging sapi dan dapat eksport sampai mancanegara (lassa, 2005; Zainudin, 2013).
Kebutuhan
negara
Indonesia akan tingkat konsumsi daging sapi dari tahun ke tahun selalu meningkat membuat Indonesia mengupayakan import untuk memenuhi kebutuhan negara, hal ini disebabkan kurangnya sapi potong yang akan dipotong dalam pemenuhan kebutuhan .
Ukuran efisiensi reproduksi pada sapi dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya: a. Conception rate (angka keberhasilan kawin) Angka kebuntingan didapat dari jumlah sapi betina yang bunting dibagi jumlah betina yang dikawinkan dikali 100 b. Pregnancy rate (angka bunting) Angka bunting didapatkan dari jumlah betina yang didiagnosa bunting dibagi jumlah betina yang subur dikali seratus c. Live calving rate (angka anak hidup) Jumlah anak sapi yang lahir dibagi (jumlah betina yang dikawinkan dikurangi jumlah betina yang dijual atau mati ditambah jumlah betina bunting yang didapat dari luar) dikali seratus. d. Weaning rate (angka sapih) (jumlah anak sapi yang sapih + jumlah anak sapi yang dijual sebelum sapih) dibagi (jumlah betina yang dikawinkan – betina dikawinkan yang dijual atau mati + jumlah induk bunting yang didapat dari luar) x 100 e. Calving interval (jarak antara kelahiran dan bunting selanjutnya) (umur (hari) saat bunting pertama – umur (hari) saat bunting terakhir) dibagi jumlah kebuntingan (Parish dkk., 2010).
KEGAGALAN PERKAWINAN KARENA FAKTOR INDUK
a. Folliculerdynamic of bovine ovarium b. Review keadaan di lapangan terkait kegagalan perkawinan
Folikuler dinamik ovarium sangat menentukan siklus reproduksi dan perkembangan folikel yang akan menentukan terjadinya ovulasi oosit pada akhir estrus dan awal medestrus. Oosit dengan kualitas yang baik (grade A) akan memungkinkan keberhasilan proses fertilisasi. Indoensia mempunyai 2 gelombang perkembangan folikel dengan midestrouscycle kira-kira pada hari ke 11 dan 12 dari siklus estrus. Pemahaman yang baik tentang folikulerdynamik akan memudahkan perkiraan stadium estrus dari sapi betina, yang pada akhirnya memudahkan waktu yang tepat untuk perkawinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi performa reproduksi Manajemen induk dan sapi dara difokuskan pada peningkatan genetik dan fenotip. Kedua hal tersebut merupakan indikator untuk performa reproduksi saat memilih indukan. Perlu dipastikan bahwa perkembangan fisik dan kelamin sapi dara telah dicapai sebelum digunakan sebagai indukan. Dewasa kelamin sapi dara dapat dilihat dari saluran reproduksi seperti ukuran pelvis yang sesuai. Pelvis yang terlalu sempit dapat mempersulit proses kelahiran sehingga lebih baik memilih indukan yang memiliki saluran reproduksi yang baik. Sebelum dikawinkan, sapi dara harus mencapai minimal 60-65% dari perkiraan berat badan dewasa dan saat bunting telah mencapai 85-90% berat badan dewasa. Sapi dara yang bunting pertama kali pada umur 2 tahun belum mencapai dewasa fisik secara maksimal, sehingga untuk menunjang pertumbuhan tubuh diperlukan pemberian nutrisi dan suplemen tambahan yang dapat menunjang pertumbuhan tubuhnya setelah bunting anak pertama (Parish dkk., 2010). Manajemen nutrisi dibutuhkan untuk membentuk BCS 3 saat bunting pertama. Angka minimal yang diperbolehkan untuk dikawinkan adalah BCS 2,5 karena betina dengan BCS kurang dari 2,5 membutuhkan S/C lebih tinggi (Parish dkk., 2010).
Gangguan pada ovarium
Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh ovaria atau akibat aktifitas ovaria yang tidak diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu : a. True anestrus
tidak adanya aktivitas
teramati. Keadaan anestrus dapat
(anestrus normal) Abnormalitas ini ditandai dengan tidak adanya aktivitas siklik dari ovaria, penyebabnya karena tidak cukupnya produksi gonadotropin atau karena ovaria tidak respon terhadap hormon gonadotropin Secara perrektal pada sapi dara akan teraba kecil,
rata dan halus, sedangkan kalau pada sapi tua ovaria akan teraba
irreguler (tidak teratur) karena adanya korpus luteum yang regresi (melebur).
b. Anestrus karena gangguan hormon Biasanya terjadi karena tingginya kadar
progesterone (hormon kebuntingan) dalam
darah atau akibat kekurangan hormon gonadotropin.
c. Anestrus karena kekurangan nutrisi Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan gagalnya produksi
dan pelepasan hormon
gonadotropin terutama FSH dan LH, akibatnya ovarium tidak aktif lama. Tidak adanya gejala estrus tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aktivitas ovaria atau akibat aktifitas ovaria yang tidak
teramati. Keadaan anestrus dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya yaitu : Hipofungsi ovarium, biasanya terjadi pada sapi perah dengan produksi tinggi, indukan yang baru pertama kali beranak, dan sapi yang masih menyusui pedetnya. Ada beberapa factor yang menyebabkan kondisi ini: Defisiensi nutrisi yang menyebabkan hipofungsi (penurunan kinerja) organ; Efek musim dan suhu lingkungan yang ekstrim; Masalah genetik dengan lamanya rekondisi fungsi ovarium pasca beranak; Respon suckling / menyusui (endocrine feedback reaction).Aktifitas menyusui akan menstimulasi sekresi hormon prolactin, yang menyebabkan perpanjangan masa unoestrous (tidak birahi) pasca melahirkan. Prolactin dapat mengurangi sensitifitas ovarium khususnya pada tingkatan kadar hormon-hormon pemicu birahi
SKEMA PENGARUH NUTRISI TERHADAP SIKLUS REPRODUKSI
Skema difisiensi nutrisi
A. Gangguan reproduksi Gangguan reproduksi pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah Cacat anatomi saluran reproduksi, Gangguan fungsional, Kesalahaan manajemen, dan Infeksi organ reproduksi. Cacat anatomi saluran reproduksi Abnormalitas yang berupa cacat anatomi saluran reproduksi ini dibedakan menjadi dua yaitu cacat kongenital (bawaan) dan cacat perolehan. Cacat Kongenital dapat terjadi karena gangguan dari bawaan lahir yang terjadi pada ovarium dan pada saluran reproduksinya. Adapun Gangguan pada ovarium karena cacat kongenital yaitu hipoplasia ovarium, agenesis ovarium, freemartin, dan atresia vulva. Sedangkan cacat perolehan adalah gangguan yang terjadi pada ovarium maupun pada alat reproduksinya yang didapatkan pada suatu waktu. Adapun gangguan reproduksi dikarenakan cacat perolehan yaitu ovarian hemorragie, oophoritis, salphingitis dan Tumor ovarium. Gangguan reproduksi ovarium pada sapi 1. Sista Ovarium Ovarium yang dikatakan mengalami sista pada sapi yaitu adanya bentukan yang berisi cairan yang lebih besar dari folikel matang dan persisten lebih dari 10 hari sehingga siklus reproduksi menyimpang dari normal (Arthur, 2001). Sista ovarium dapat dibedakan menjadi dua yaitu sista folikuler dan sista luteal. Sista folikular cukup sering terjadi pada sapi wagyu menurut Todoroki et al (2004) ada sekitar 20% dari sapi Japanese black yang menjadi sapi donor transfer embrio sering mengalami gangguan tersebut. Pada kebanyakan kasus, penyebabnya yaitu folikel deGraaf yang tidak ruptur yang dapat ditemukan tunggal maupaun jamak.
Gambar 1 : Ovarium Sapi dengan Sista Ovary(Arthur, 2001)
Sista ovarium merupakan struktur non fungsional yang menghasilkan hormon estrogen dan progesteron dalam jumlah yang sangat kecil baik untuk mempengaruhi perilaku maupun fisiologi seksual. Hewan-hewan tersebut tampak sebagai hewan yang sehat secara klinis. Jikalau ada, gejala klinis yang tampak pada kejadian sista ovarium paling umum berupa anestrus yang berkepanjangan karena adanya produksi progesteron. Pada kejadian sista folikuler, gejala klinis yang tampak yaitu nymphomania dan gejala birahi yang berkepanjangan akibat tingginya jumlah estrogen (Arthur, 2001).
2. Gejala Klinis Hipofungsi Ovarium Hewan tidak menunjukkan gejala birahi baik itu dara maupun indukan (dapat terjadi selama beberapa siklus). Pada
pemeriksaan
palpasi
rektal
yang
dilakukan
dokter
hewan
atau
petugaskesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata dan halus, khususnya pada dara, folikel masih premature sebesar 1.5cm; tidak teraba adanya corpus luteum baik yang sedang berkembang maupun regresi; pada sapi indukkan, terkadang ovarium teraba dengan bentuk yang tidak beraturan karena adanya sisa korpus luteum dan korpus albican yang telah lama teregresi sehingga terkadang rancu untuk membedakannya dengan folikel yang baru berkembang Untuk meneguhkan diagnosis, pemeriksaan kedua dapat dilakukan pada hari ke 10 setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium tersebut hipofungsi maka tidak aka nada
perubahan yang terjadi dari pemeriksaan pertama, namun jika ovarium tersebut normal, maka akan terbentuk corpus luteum. Perbaikan pakan dan nutrisi harus dilakukan, khususnya peningkatan asupan energi, untuk rekondisi berat badan ternak dan menjaga kestabilan metabolism tubuhnya. 3. Corpus Luteum Persistent ( CLP), merupakan suatu kondisi dimana CL tetap tinggal (menetap) dan menyebabkan siklus birahi yang diperpanjang bahkan tidak berahi (anestrus). Menetapnya CL disebabkan berbagai faktor diantaranya : uterus tidak menghasilkan hormon lutealysis karena mengalami perbarahan misalnya Endometritis, Pyometra, Mummifikasi dan sebagainya. Selain itu bisa diakibatkan oleh terlalu tingginya produksi susu karena hormon Prolaktin dan LH berfungsi memelihara CL, sehingga menghambat sekresi Prostatglandin dalam uterus. Diagnosa berdasarkan pelaporan dari peternak dengan anamnese peternak sapi tidak berahi dalam jangka waktu lama (anestrus) dan disaat melakukan palpasi rectal pada saat dilakukan PKB. Setelah memastikan bahwa sapi tersebut CLP yaitu dengan memeriksa ovariumnya, maka dilakukan penanganan. Penanganan kasus CLP ini, dengan cara manual yaitu dengan cara pemberian hormon Prostatglandin (PGF 2α) maka petugas melakukannya dengan cara enucleasi dan diberikan vitamin E dan antibiotik secara IM. Setelah kurang lebih 2 – 4 hari kemudian sapi tersebut berahi.
ada kondisi tertentu, Ovarium dapat mengalami gangguan yang berupa Cysta. Menurut Arthur; 2001 pada umumnya Cysta Ovaria berkembang sebagai konsekuensi kegagalan
mekanisme
hormone
untuk
ovulasi
(meskipun
mekanisme
perkembangannya belum dipahami). Secara tradisional, cysta ovaria dikelompokkan menjadi cystia follicular dan cysta luteal. Namun demikian pengklasifikasian cysta sangat sulit dilakukan dengan palpasi rectal karena ada banyak struktur yang dapat membingungkan dengan struktur cysta. Cysta bukanlah struktur statis tetapi dinamis; cysta mengalami regresi secara spontan dan digantikan oleh struktur lain. Gejala klinis utama dari cysta ovaria adalah nymphomania, anestrus atau masculinisasi. Ada tiga bentuk cysta yaitu; Cysta folikuler, Cysta luteal dan Cysta corpus luteum
saat terjadi cysta folikuler.
2. Cysta luteal Morfolgi cysta luteal; Cysta berdinding tebal dan biasanya tunggal dan mempunyai jaringan luteal yang luas.
Keterangan Gambar : Potongan melintang ovarium dengan tiga cysta luteal yang berdinding tebal. a. Gejala klinis Cysta luteal biasanya mengakibatkan penghentian aktivitas siklus estrus; fungsi strukturnya menyerupai corpus luteum (sulit dipahami mengapa cysta luteal tidak mengalami regresi di bawah pengaruh luteolysin endogen tetapi mengalami regresi di bawah penaruh prostaglandin eksogen). Sapi yang dibiarkan mengalami cysta luteal dalam waktu lama tanpa pengobatan yang cukup akan berakibat munculnya tanda-tanda masculinisasi seperti badan yan tegap dan usaha-usaha untuk menaiki sapi
Semua jenis cysta diobati dengan menggunakan hormone reproduksi. Pilihan hormone tergantung dari tipe cysta yang muncul. Cysta luteal diterapi dengan menggunakan materi dengan substansi luteolitic.(ex; PGF2alfa). Sapi dengan Cysta luteal yang diterapi dengan PGF2alfa pada umumnya akan kembali estrus dalam 35 hari dan akan mengalami kebuntingan jika dikawinkan. Dalam sebuah percobaan,
untuk mengurangi interval antara treatment dan inseminasi pertama, disarankan penggunaan GnRH pada saat pertama kali cysta terindeintifikasi kemudian dilanjutkan dengan pemberian PGF2alfa pada Sembilan hari kemudian.