Di Indonesia proses transisi demografi dapat dikatakan berhasil yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat kematian bayi dan kematian maternal secara konsisten. Di sisi yang lain, terjadi peningkatan angka harapan hidup penduduk Indonesia sebagai bentuk paling nyata dari adanya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Keberhasilan ini tentu saja patut disyukuri, tetapi di balik keberhasilan tersebut ternyata timbul berbagai implikasi dan masalah baru. Jika tidak ditangani secara serius dengan pilihan kebijakan yang tepat, hal ini akan menciptakan masalah sosial yang tidak sepele di masa yang akan datang. Masalah tersebut, antara lain, adalah terjadinya penuaan struktur penduduk yang ditandai dengan meningkatnya penduduk lanjut usia bersamaan dengan penurunan tingkat fertilitas sehingga jumlah penduduk usia muda menurun. Pergeseran (shifting) struktur penduduk dari muda ke tua tersebut akan berimplikasi terhadap perubahan skala kebijakan tidak saja di sektor kependudukan, tetapi juga di sektor kesehatan, sosial, bahkan sektor ekonomi (Mundiharno, 1997).
Masalah lain yang muncul adalah berubahnya struktur
keluarga dari keluarga luas (extended family) menjadi keluarga inti (nuclear family). Pergeseran ini terkait dengan perubahan perilaku sosial budaya masyarakat saat ini, yaitu anak yang telah berkeluarga segera memisahkan diri dengan orang tuanya. Hal ini menyebabkan struktur keluarga akan berubah secara signifikan menjadi keluarga baru dengan jumlah anggota rumah tangga yang menunjukkan kecenderungan semakin kecil dari tahun ke tahun. Saat ini, bahkan pertumbuhan jumlah rumah tangga di Indonesia telah melebihi jumlah pertumbuhan penduduknya. Perubahan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perawatan yang ditawarkan anak kepada orang tuanya. Proses penuaan penduduk di Indonesia pada beberapa dekade mendatang menyebabkan jumlah lansia akan melebihi jumlah balita. Hal ini menimbulkan beberapa
implikasi sebagai berikut. Pertama, penduduk lansia di Indonesia akan tumbuh berlipat ganda pada dekadedekade mendatang. Kedua, secara absolut jumlah penduduk lansia di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan negara-negara yang saat ini telah mengalami problem penduduk, seperti Jepang, Korea Selatan, terlebih lagi Singapura dan Hongkong. Ketiga, jika dilihat per provinsi, ternyata beberapa provinsi telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan dengan yang terjadi secara nasional. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk, jumlah penduduk lanjut usia akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia penduduk lansia (usia 60+) tumbuh dengan sangat cepat, bahkan tercepat dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya. Menurut WHO, penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 mendatang telah mencapai angka 11,34 persen atau tercatat 28,8 juta orang. Sementara itu, jumlah balitanya hanya tersisa 6,9 persen sehingga hal ini menyebabkan jumlah penduduk lansia di Indonesia adalah yang terbesar di dunia.
Menurut WHO, penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 mendatang mencapai angka 11,34 persen atau tercatat 28,8 juta orang.
Data Sensus Penduduk menunjukkan persentase lansia di Indonesia tahun 1990 mencapai 6,33 persen dan pada 1995 meningkat menjadi 6,93 persen. Pada 2000 jumlahnya sedikit mengalami penurunan menjadi 6,87 persen. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 memperlihatkan persentase lansia kembali mengalami kenaikan menjadi 7,93 persen. Peningkatan laju pertambahan penduduk lansia di Indonesia dan adanya penurunan pertumbuhan penduduk, angka fertilitas, dan angka mortalitas bayi akan menggeser struktur penduduk dari muda ke struktur penduduk dewasa dan tua.
Dinamika Kependudukan di Yogyakarta a. Pertumbuhan Penduduk DI Yogyakarta Grafik 1 memperlihatkan bahwa penduduk di DI Yogyakarta dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 tercatat mencapai 3,457 juta jiwa. Meskipun tergolong lambat, pertumbuhan penduduk Yogyakarta menunjukkan kecenderungan meningkat dari hasil Sensus Penduduk. Pada rentang waktu 1971-1980 pertumbuhan penduduk mencapai 1,10 persen dan mengalami penurunan pada rentang waktu 19801990 menjadi 0,58 persen. Kemudian terjadi kenaikan pertumbuhan penduduk antara tahun 1990-2000, yaitu 0,72 persen, dan kembali naik dari tahun 2000-2010 menjadi 1,04 persen. Angka itu hampir menyamai pertumbuhan penduduk pada rentang waktu 1971-1980.
Grafik 1 Pertumbuhan Penduduk DI Yogyakarta Tahun 1920-2010
Apabila ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, juga tampak kenaikan yang cukup tinggi dari tahun 1971-2010. Pada 1971 kepadatan penduduk mencapai 781 jiwa per km2 dan naik menjadi 1.085 jiwa per km2 tahun 2010. Meningkatnya pertumbuhan dan kepadatan penduduk DI Yogyakarta, utamanya disebabkan oleh migrasi masuk yang meningkat dari tahun ke tahun (Sambodo, 2002).
Sumber: BPS DIY, 2012
b. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Setiap tahun sejak 1990 Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (Human Development Index-HDI) yang mengartikan definisi kesejahteraan secara lebih luas daripada sekadar pendapatan domestik bruto (PDB). HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan, dan tinggi), serta memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP dan penghasilan) (UNDP, 2004).
IPM Yogyakarta menempati posisi tinggi dalam skala nasional dengan menempati peringkat 4 dengan nilai IPM mencapai 75,2 tahun 2009. Berdasarkan kriteria yang telah dibuat oleh UNDP, IPM Yogyakarta masuk dalam kategori menengah.
Tabel 1 Indeks Pembangunan Manusia di DI Yogyakarta Tahun 2010
Untuk IPM Yogyakarta berdasarkan kabupaten/kota, diketahui yang paling tinggi peringkatnya adalah Kota Yogyakarta dan juga menduduki peringkat pertama secara nasional dengan IPM 79,3. Sementara itu, Kabupaten Sleman berada pada peringkat 14 dengan IPM 77,7. Namun tiga wilayah lain mempunyai peringkat di atas 100, ya- Sumber: BPS DIY, 2012 itu Kulonrogo di peringkat 106, Bantul di peringkat 107, dan paling rendah Gunung Kidul pada peringkat 283. Tantangan ke depan bagi Yogyakarta adalah meningkatkan IPM bagi daerah yang masih rendah sehingga disparitas antarwilayah dapat dikurangi.
c. Pertumbuhan Penduduk Usia Lanjut Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18 persen. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk lanjut usia sebanyak 7 persen adalah provinsi di Pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini, antara lain, disebabkan oleh tiga hal berikut ini. 1) Tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2) kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (Menkokesra, 2012).
Grafik 2 Provinsi dengan Lansia Tertinggi di Indonesia Tahun 2007
Dari seluruh provinsi di Indonesia, provinsi yang penduduk lansianya lebih dari 7 persen adalah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, provinsi dengan persentase lansia terendah adalah Papua (2,15 persen) Papua Barat (2,92 persen), Kepulauan Riau (3,78 persen), Kalimantan Timur (4,53 persen), dan Riau (4,86 persen).
Sumber: BPS 2007
Hasil Analisis: Potret Lansia Yogyakarta a. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia 1. Menurut Umur Tabel 2 memperlihatkan penduduk usia lanjut mayoritas berada pada usia di atas 70 tahun yang mencapai 48,2 persen. Hal yang sama juga berlaku untuk penduduk lanjut usia menurut jenis kelamin. Persentase yang paling besar dibandingkan dengan kelompok umur lain adalah pada yang berumur 70 tahun ke atas. Persentase penduduk usia lanjut untuk laki-laki berusia 70 tahun lebih sebesar 46 persen, sedangkan perempuan mencapai 50 persen. Jika dilihat secara absolut, jumlah penduduk lansia lebih banyak perempuan, yaitu 255.483 jiwa (56 persen) dibandingkan dengan laki-laki sebanyak 200.912 jiwa (44 persen).
Tabel 2 Persentase Penduduk Lanjut Usia menurut Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
2. Status Perkawinan Perempuan lansia di Indonesia berpotensi mengalami diskriminasi ganda, baik karena statusnya sebagai perempuan maupun karena statusnya sebagai penduduk yang berusia lanjut. Sebagai perempuan, diskriminasi yang disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat sebenarnya telah terjadi sejak usia muda. Hal ini diketahui sebagai akibat dari perbedaan yang sifatnya kodrati maupun sebagai akibat dari perbedaan gender. Tabel 3 berikut memperlihatkan status perkawinan penduduk lanjut usia perempuan paling banyak adalah yang berstatus cerai mati dan cerai hidup (53,2 persen) dibandingkan dengan yang berstatus kawin (45,1 persen) dan belum kawin (1,7 persen). Tabel 3 Persentase Penduduk Lanjut Usia menurut Status Perkawinan dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Faktor utama yang menyebabkan penduduk perempuan usia lanjut berstatus janda adalah karena usia harapan hidup perempuan yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, lebih banyak lanjut usia perempuan yang ditinggal meninggal lebih dulu oleh suaminya. Kemudian perbedaan gender menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri sehingga lebih siap untuk tinggal sendiri. Sementara itu, laki-laki cenderung bergantung dan membutuhkan dukungan dari orang lain, khususnya istri. Fakta lainnya adalah rendahnya angka menikah kembali (remarried) yang dilakukan oleh penduduk perempuan lanjut usia jika dibandingkan dengan dengan angka perkawinan kembali penduduk usia lanjut laki-laki. Fenomena tersebut sejalan dengan hasil penelitian dari beberapa ahli, di antaranya adalah Cowgill (1986), Arundhati (1990), dan Conception (1996). Paling tidak ada tiga argumentasi yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, faktor perbedaan umur kawin pertama antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menikah pada umur yang lebih tua dibandingkan dengan perempuan. Kedua, secara demografis perbedaan tersebut terjadi karena angka mortalitas laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini juga didukung dengan tingginya usia harapan hidup perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga, faktor kecenderungan bagi laki-laki untuk segera menikah lagi setelah istrinya meninggal atau karena bercerai akibat ketidakmampuan mereka mengurusi urusan domestik rumah tangga. Sementara itu, perempuan lebih memilih tetap sendiri dan menjadi kepala rumah tangga. 3. Tingkat Pendidikan
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
Sementara itu, penduduk lanjut usia laki-laki lebih banyak berstatus kawin (83,9 persen) atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk lansia perempuan yang juga berstatus kawin. Sebaliknya, proporsi perempuan lansia berstatus janda mencapai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan laki-laki berstatus duda.
Pendidikan merupakan salah satu dimensi dalam penyusunan indeks pembangunan manusia. Jika dilihat dari sisi pendidikan penduduk lansia, diketahui kualitasnya masih tergolong rendah. Seperti terlihat pada Tabel 4, kualitas pendidikan penduduk lansia Yogyakarta masih amat rendah karena tingginya proporsi yang tidak pernah sekolah (42,2 persen) dan hanya berpendidikan dasar (45 persen). Sementara itu, lansia yang mempunyai latar belakang pendidikan menengah mencapai 9,3 persen dan yang berpendidikan tinggi hanya 3,5 persen. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk lansia dipengaruhi oleh terbatasnya fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah saat itu. Selain itu, kesempatan bersekolah juga masih sangat terbatas, terutama bagi
masyarakat umum. Tabel 4 juga memperlihatkan adanya ketimpangan dalam hal kesempatan untuk mengenyam pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Penduduk lansia perempuan yang tidak pernah sekolah mencapai 54,2 persen, sedangkan laki-laki hanya 27 persen. Ketimpangan kesempatan menempuh pendidikan juga terjadi pada penduduk lansia yang pernah bersekolah, baik di tingkat dasar, menengah, maupun tinggi. Untuk pendidikan dasar, diketahui penduduk lansia perempuan hanya 38,3 persen yang menempuh pendidikan, sedangkan laki-laki mencapai 53,5 persen. Demikian juga untuk pendidikan menengah perempuan, perempuan hanya sebesar 5,8 persen dan laki-laki 13,7 persen. Pendidikan tinggi hanya dapat raih oleh 1,6 persen perempuan lansia dan 5,9 persen laki-laki. Tabel 4 Persentase Penduduk Lanjut Usia menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2010
menuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Tabel 5 Persentase Penduduk Lanjut Usia menurut Status dalam Rumah Tangga dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
c. Pemanfaatan Tenaga Kerja Lanjut Usia 1. Distribusi Tenaga Kerja Lanjut Usia menurut Wilayah
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
b. Status dalam Rumah Tangga Tanggung jawab kepala rumah tangga yang sangat besar dari sisi psikologis maupun ekonomis ternyata masih banyak diemban oleh penduduk lansia yang seharusnya menikmati hari tua tanpa beban berat (Komnas Lansia, 2010). Sebagian besar (56,1 persen) penduduk lansia masih memegang peranan penting di dalam lingkungan rumah tangga atau berstatus sebagai kepala rumah tangga. Menurut jenis kelamin, persentase lansia laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan masing-masing sebesar 87,7 persen dan 31,2 persen. Berdasarkan status dalam rumah tangga, laki-laki usia lanjut di Yogyakarta masih menempati posisi sebagai pihak yang bertanggung jawab besar bagi rumah tangganya. Statusnya sebagai kepala rumah tangga mengharuskan laki-laki usia lanjut tetap bekerja karena masih menjadi sumber utama pe-
Persebaran tenaga kerja usia lanjut menurut kabupaten/ kota di DI Yogyakarta menunjukkan proporsi angkatan kerja lanjut usia terbesar berada di Kabupaten Bantul yang mencapai 30,5 persen. Wilayah yang memiliki proporsi angkatan kerja lanjut usia terbesar kedua adalah Kabupaten Gunung Kidul yang mencapai 24,6 persen. Jika proporsi angkatan kerja penduduk lansia di kedua wilayah tersebut digabungkan, besarnya mencapai lebih dari separuh total angkatan kerja lansia di DI Yogyakarta. Tabel 6 Persentase Angkatan Kerja Lanjut Usia menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
Berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa beberapa wilayah menunjukkan proporsi tenaga kerja lansia lebih besar perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Wilayah tersebut adalah Kabupaten Bantul, Gunung
Kidul, dan Kota Yogyakarta. Untuk Kabupaten Bantul, proporsi tenaga kerja lansia perempuan sebesar 31 persen, sedangkan laki-laki mencapai 30 persen. Wilayah kedua adalah Kabupaten Gunung Kidul dengan proporsi untuk perempuan sebesar 26 persen dan laki-laki 23,1 persen. Wilayah ketiga adalah Kota Yogyakarta dengan proporsi perempuan 14,9 persen dan laki-laki 14,5 persen. Tingginya persentase lansia yang bekerja dapat dimaknai bahwa sebenarnya lansia masih mampu bekerja secara produktif untuk membiayai kehidupan rumah tangganya. Namun di sisi lain hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan lansia masih rendah sehingga meskipun usia telah lanjut usia, mereka terpaksa bekerja untuk membiayai kehidupan rumah tangganya. 2. Tenaga Kerja Lansia menurut Lokasi Tempat Tinggal Menurut kategori kewilayahan, persebaran tenaga kerja lansia paling banyak tinggal di perkotaan yang mencapai 65,6 persen dan di perdesaan sebesar 34,4 persen. Tingginya proporsi tenaga kerja lansia yang tinggal di perkotaan dimungkinkan terjadi karena tiga alasan. Pertama, adanya kecenderungan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Kedua, di perkotaan kesempatan bekerja jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah perdesaan yang lebih banyak mengandalkan sektor pertanian. Biasanya tenaga kerja lansia bekerja di perkotaan sebelum usia 60 tahun dan ketika menginjak usia 60 tahun, mereka masih tetap bekerja karena masih diandalkan sebagai sumber utama perekonomian rumah tangga.
Tabel 7 Persentase Tenaga Kerja Lanjut Usia menurut Desa/Kota dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
3. Tenaga Kerja Lansia menurut Lapangan Usaha Komposisi lansia yang bekerja menurut lapangan usaha mencerminkan struktur perekonomian dan potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja lansia. Informasi tersebut juga dapat memberikan gambaran kasar mengenai kualitas sumber daya lansia, terutama tingkat keterampilan yang dikuasai. Semakin tinggi keterampilan yang dikuasai lansia akan semakin tinggi minat mereka untuk bekerja di luar sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan terjadinya transformasi ketenagakerjaan yang ditandai dengan terjadinya pergeseran sektoral sehingga mampu menyerap angkatan kerja cukup berarti dalam pasar kerja, mulai dari sektor pertanian ke sektor manufaktur atau jasa (Sukamdi, 1996). Tabel 8 Persentase Tenaga Kerja Lanjut Usia menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Ketiga, terjadinya reklasifikasi wilayah yang mengubah status desa menjadi kota. Reklasifikasi ini dilakukan karena karakter dan dinamika masyarakat di beberapa wilayah telah menunjukkan ciri dan karakteristik perkotaan. Meskipun telah terjadi reklasifikasi, tidak berarti sektor pertanian ditinggalkan begitu saja karena masih menjadi pilihan utama. Dari sisi jenis kelamin, diketahui bahwa tenaga kerja lansia tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan lokasi tempat tinggal, yakni proporsi paling banyak tinggal di perkotaan. Untuk laki-laki yang tinggal di perkotaan, jumlahnya mencapai 65,8 persen dan perempuan sebesar 65,3 persen.
Sumber: Sensus Penduduk 2010, diolah
Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui lapangan usaha angkatan kerja lansia menurut jenis kelamin. Sektor pertanian ternyata masih menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar pekerja lansia (72,3 persen), kemudian sektor jasa (19,3 persen), dan manufaktur (7,8 persen). Tingginya persentase lansia yang bekerja di sektor pertanian, antara lain, terkait dengan tingkat pendidikan penduduk lansia yang pada umumnya masih rendah. Se-
lain itu, usaha di sektor pertanian terbuka untuk semua kalangan dan tanpa prasyarat pendidikan tertentu. Tenaga kerja lanjut usia menurut lapangan usaha dilihat dari jenis kelamin menunjukkan pola yang sama. Sektor pertanian menjadi pilihan paling banyak, baik bagi laki-laki dan perempuan, yaitu masing-masing 76,5 persen dan perempuan 67,9 persen.
Penutup a. Kesimpulan Perkembangan penduduk lansia di Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Saat ini, bahkan proporsi penduduk lansianya terbesar secara nasional, yakni mencapai 14,04 persen. Data sensus penduduk juga memperlihatkan kenaikan persentase penduduk lansia di DI Yogyakarta. Pada 1971 jumlahnya baru mencapai 4,3 persen dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2010 yang telah mencapai 9,5 persen. Hasil analisis data Sensus Penduduk 2010 tentang penduduk lanjut usia di DI Yogyakarta berdasarkan kondisi sosiodemografis memperlihatkan bahwa dari sisi umur penduduk usia lanjut mayoritas berada pada usia di atas 70 tahun. Secara proporsi penduduk lansia umur 70 tahun lebih mencapai 48,2 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk lansia di DI Yogyakarta masuk dalam kategori kelompok lansia risiko tinggi karena besarnya jumlah lansia yang berusia lebih dari 70 tahun. Apabila dibedakan menurut jenis kelamin, diketahui bahwa penduduk lansia perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki dengan persentase masing-masing mencapai 56 persen dan 44 persen. Jika dilihat dari sisi status perkawinan, penduduk lansia perempuan paling banyak berstatus cerai dibandingkan dengan yang berstatus kawin dan belum kawin. Sementara itu, penduduk lanjut usia laki-laki lebih banyak berstatus kawin (83,9 persen) atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk lansia perempuan yang juga berstatus kawin sebesar 45,1 persen. Sebaliknya, proporsi perempuan lansia berstatus janda mencapai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan laki-laki berstatus duda. Faktor utama yang menyebabkan penduduk perempuan usia lanjut berstatus janda adalah usia harapan hidup perempuan yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Faktor lainnya adalah rendahnya angka menikah kembali (remarried) yang dilakukan
oleh penduduk perempuan lanjut usia jika dibandingkan dengan dengan angka perkawinan kembali penduduk usia lanjut laki-laki. Dilihat dari sisi kualitas pendidikan, penduduk lansia perempuan mempunyai kualitas pendidikan yang lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki. Mayoritas lansia perempuan tidak pernah mengenyam pendidikan meskipun hanya pendidikan dasar. Ketimpangan ini terjadi karena adanya konstruksi sosial bidaya masyarakat Yogyakarta dan Jawa secara umum yang menempatkan perempuan pada peran-peran sektor domestik. Sementara itu, jika dilihat berdasarkan status dalam rumah tangga, sebagian besar lansia berstatus sebagai kepala rumah tangga dan didominasi oleh lansia laki-laki. Berdasarkan persebaran tenaga kerja usia lanjut, menurut kabupaten/kota di DI Yogyakarta, diketahui proporsi tenaga kerja lanjut usia terbesar berada di Kabupaten Bantul, yakni mencapai 30,5 persen dan paling kecil adalah Kulonprogo, yaitu 12,4 persen. Dilihat dari jenis kelamin diketahui beberapa wilayah menunjukkan proporsi tenaga kerja lansia lebih besar perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Wilayah tersebut adalah Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta. Tingginya persentase lansia yang bekerja karena ekonomi yang tidak mencukupi dan juga ingin tetap aktif dan mandiri. Menurut kategori kewilayahan, persebaran tenaga kerja lansia paling banyak tinggal di perkotaan yang mencapai 65,6 persen dan di perdesaan sebesar 34,4 persen. Tingginya proporsi tenaga kerja lansia yang tinggal di perkotaan dimungkinkan karena terjadinya migrasi dari desa ke kota, kesempatan kerja yang lebih terbuka di perkotaan, dan adanya reklasifikasi wilayah yang mengubah status desa menjadi kota. Ditinjau dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian ternyata masih menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar pekerja lansia (72,3 persen). Tingginya persentase lansia yang bekerja di sektor pertanian, antara lain, terkait dengan tingkat pendidikan penduduk lansia yang pada umumnya masih rendah. Selain itu, usaha di sektor pertanian terbuka untuk semua kalangan dan tanpa prasyarat pendidikan tertentu. Meskipun secara administrasi wilayah penduduk lansia banyak tinggal di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, sektor pertanian tidak serta-merta ditinggalkan. Hal ini karena wilayah yang berubah status menjadi perkotaan
masih tetap mengandalkan sektor pertanian. b. Rekomendasi Kebijakan Beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan untuk penanganan pertambahan penduduk lansia di DI Yogyakarta adalah sebagai berikut. 1. mengembangkan sistem jaminan sosial yang dikhususkan untuk lansia agar kehidupannya dapat lebih terjamin 2. melakukan program pemberdayaan penduduk lansia yang diarahkan untuk menjaga eksistensi mereka dalam pergaulan sosial. Tujuan pemberdayaan lansia adalah agar lansia tetap percaya diri dan produktif, baik secara ekonomi maupun sosial. 3. perlu adanya kajian lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan lansia masih tetap bekerja. Selain itu, perlu kajian lansia yang yang bekerja di sektor pertanian dan penyebab penduduk usia produktif tidak banyak yang bekerja di sektor pertanian.
Daftar Pustaka Arundhati, Shinta. 1990. ”Population Ageing in Yogyakarta 1980”. Tesis. Population and Human Resources Programme, Flinders University. BPS. 2007. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: BPS. ___. 2012. Statistik Kependudukan DIY 2012. Yogyakarta: BPS.
Cowgill, Donald O. 1986. Aging Around the World. California: Wadsworth Publishing Company. Komnas Lansia. 2010. Profil Penduduk Lanjut Usia 2009. Jakarta. Menkokesra. 2012. “Lansia Masa Kini dan Mendatang”. Sumber: http://oldkesra.menkokesra.go.id/content/view/2933/333/-7-09-2012. Diunduh pada 7 September 2012. Mundiharno. 1999. “Pembahasan Penduduk Lansia dalam ICP 1994 dan Implementasinya di Indoensia”. Warta Demografi Tahun 29 No. 3. Jakarta: Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Sambodo, Deni Purwo. 2002. “Pergeseran Pemanfaatan Pekerja Usia Lanjut Studi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Analisis Data SUSENAS 1997 dan 2000”. Skripsi. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Sukamdi. 1996. “Transformasi Struktural dan Persoalan Ketenagakerjaan di Indonesia” dalam Agus Dwiyanto dkk. Penduduk dan Pembangunan. Yogyakarta, Aditya Media. UNDP. 2004. “Indikator Pembangunan Manusia”. Sumber: http://www.undp.or.id/archives/pressrelease/Indikator%20Indonesia%20ID.pdf. Diunduh pada 1 November 2012.
Conception, Mercedes B. 1996. ”The Greying of Asia: Demographic Dimensions” dalam Added Years of Life in Asia: Current Situation and Future Challenges. United Nations.
Policy Brief ini ditulis oleh Eddy Kiswanto berdasarkan hasil penelitian “Kondisi Sosiodemografis Penduduk Lansia di Yogyakarta” yang dibiayai oleh BKKBN Pusat. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jl. Tevesia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Tlp. (0274) 547867, 556564, 6491154 Faks. (0274) 556563 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.cpps.ugm.ac.id