1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam hubungan kerja adalah permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berakhirnya hubungan kerja bagi pekerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.1 Pemutusan hubungan kerja dapat dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu:2 1. Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum, terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja. 2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh pihak pekerja, terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu. 3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh pihak pengusaha, terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu. 4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh putusan pengadilan, terjadi karena alasanalasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit. 1
Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004. hlm. 8. 2 Ibid.
2
Pengaturan pemutusan hubungan kerja, tak lepas dari hak-hak yang akan diterima oleh para pekerja diantaranya berupa hak mendapatkan pesangon, hak penghargaan masa kerja, dan hak uang pengganti. Perlindungan terhadap tenaga kerja ini berkaitan dengan adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha, terutama dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disingkat PHK), diharapkan agar pekerja yang biasanya berada dalam posisi yang lemah tidak diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang oleh majikan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja agar mereka tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang, disamping untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup pekerja. Pada prinsipnya menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini PHK itu harus sedapat mungkin dihindarkan, apabila segala upaya telah dilakukan tetapi pemutusan hubungan kerja tetap tidak dapat dihindarkan maka pelaksanaannya harus melalui perundingan antara pengusaha dan pekerja yang bersangkutan. PHK dengan alasan efisiensi menurut Pasal 164 ayat (3), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa: Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majuer) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
3
Pada praktiknya, penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Pada saat ini PHK karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena terdapat 2 (dua) penafsiran berbeda yaitu pengusaha dapat mem-PHK buruh dengan alasan efisiensi tetapi tidak perlu menutup perusahaannya dengan alasan untuk menyelamatkan kondisi perusahaan yang tidak sehat dan sebagian pekerja lainnya lalu penafsiran kedua, perusahaan dapat mem-PHK dengan alasan efisiensi dengan menutup perusahannya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perselisihan Hubungan Industrial mengenai pemutusan hubungan kerja akibat efisiensi dalam perusahaan antara: PT. AMALY PUTRA TIMURINDO; Melawan: 1. RATNAWATI SYAMSUDDIN; 2. HAFIDHAH HASAN; 3. KARTINI K; Alasan penggugat mengajukan gugatan adalah : 1. Bahwa Para Penggugat adalah karyawan PT Amaly Putra Timurindo dan telah bekerja lebih dari 1 tahun; 2. Bahwa selama bekerja Para Penggugat tidak pernah mendapatkan surat teguran apapun dari Tergugat karena Para Penggugat bekerja dengan baik dan benar, terbukti
4
Tergugat tetap eksis sampai hari ini dengan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda karena bergerak dalam bidang ekpedisi; 3. Bahwa Tergugat mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat dengan alasan efisiensi, namun Tergugat tidak mau membayar hak-hak Para Penggugat tanpa alasan yang jelas, meskipun telah dipanggil secara patut oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar; Sampai pada keluarnya anjuran dari Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, ternyata tidak ada itikad baik dari Tergugat untuk menyelesaikan hak-hak Para Penggugat, sehingga perbuatan Tergugat tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang merugikan kepentingan hukum dan hak Para Penggugat yang sudah bekerja turut membesarkan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Oleh karena pemutusan hubungan kerja diinginkan oleh Tergugat, sedangkan Para Penggugat tidak menginginkan pemutusan hubungan kerja, maka segala konsekuensi dari pemutusan hubungan kerja tersebut mestinya menjadi tanggung jawab Tergugat, dan Para Penggugat beranggapan putusnya hubungan kerja antara Para Penggugat dan Tergugat adalah sejak dibacakan putusan dalam perkara ini. Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan menegaskan bahwa saat ini perusahaan tak bisa sembarangan memecat pekerjanya hanya dengan alasan melakukan efisiensi. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011, Maruarar
5
mengatakan bahwa PHK karena alasan efisiensi dilakukan bila perusahaan bangkrut atau tutup dalam kegiatan bisnisnya.
"Dalam putusan MK itu (No.19/PUU-IX/2011) efisiensi dilakukan kalau dia (perusahaan) tutup saja. Untuk perusahaan minyak apabila operasinya ditutup," kata Maruarar saat memberikan keterangan sebagai ahli di persidangan kasus sengketa hubungan industrial antara Judith J Navarro dan TOTAL E&P Indonesie di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta.
keputusan MK itu terkait dengan "judicial review" terhadap Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Maruarar mengatakan dalam pasal 164 ayat 3 dinilai bahwa perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja denga karyawannya karena alasan bangkrut, dan melakukan efisiensi.
"Berdasarkan penafsiran itu maka MK sepanjang frase itu memaknai perusahaan itu tutup permanen. Kalau tidak maka tidak bisa digunakan (PHK karyawan), dan putusan itu mengikat sejak 13 Juni 2012," ujarnya.3
Setelah putusan ini diputuskan oleh hakim maka penggugat telah melaksanakan hak-hak nya yaitu dengan membayar pesangon sesuai dengan Ketentuan Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu membayar pesangon dengan ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan efisiensi. 3
http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/efisiensi-tidak-bisa-jadi-alasan-phk.html Diakses Pada Hari Minggu, 13-03-2016 Pukul 23:24 WIB
6
Berlatar belakang hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus Putusan No. 253 K/Pdt.SusPHI/2015).
B. 1.
Perumusan Masalah Apakah pertimbangan hakim dalam Putusan No. 253 K/Pdt.Sus-PHI/2015, telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 tentang Pemutusan Hubungan Kerja?
2.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja yang terkena PHK akibat efisiensi dalam suatu perusahaan?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini yaitu: 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian pertimbangan hakim dalam Putusan No. 253 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-IX/2011 tentang pemutusan hubungan kerja.
7
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja yang terkena PHK akibat efisiensi dalam suatu perusahaan.
D.
Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini dapat bermanfaat bagi : a. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada masyarakat tentang perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja yang terkena PHK akibat efisiensi dalam perusahaan. Hal ini diharapkan sebagai gambaran untuk mengetahui prosedur penyelesaian pemutusan hubungan kerja, cara pemenuhan hak-hak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja akibat efisiensi dalam suatu perusahaan.
b. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan sebagai bahan pertimbangan dalam pemenuhan hak-hak pekerja yang terkena PHK akibat efisiensi.
c. Bagi Peneliti dan Akademisi Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya khususnya berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
8
E.
Keaslian Penelitian
Adapun judul tulisan ini adalah PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAKHAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus
Putusan No. 253 K/Pdt.Sus-PHI/2015). Judul tesis ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli. Adapun penelitian mengenai Pemutusan hubungan kerja yang pernah diteliti oleh Annisa Sativa, mahasiswi Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ialah berjudul Peranan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja (studi terhadap putusan pemutusan hubungan kerja-pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Medan). Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis teliti, perbedaanya ialah penulis meneliti Pemutusan Hubungan Kerja akibat efisiensi lalu peneliti lain menulis tentang prosedur pengajuan Pemutusan Hubungan kerja melalui pengadilan hubungan industrial.
9