Mam
MAKALAH ISLAM Hikayat Kampung Akhirat
11, Juli 2014
Makalah Islam
Hikayat Kampung Akhirat
H. Jaja Zarkasyi, MA (Rumah Moderasi Islam/ RUMI)
Satu minggu ke belakang alhamdulillah saya dapat bersilaturahim dengan sepasang suami yang pernah saya jumpai saat bertugas pada musim haji di Mekkah alMukarromah tahun lalu. Namanya Bu Radem dan Pak Cecep. Tinggal di rumah sederhana di Desa Bantarpanjang Kecamatan Cibingbin Kuningan Jawa Barat. Desa yang berada di tengah-tengah hutan ini sangat sejuk dan menyenangkan. Kanan dan kiri masih sangat rindang oleh pohon jati yang menjulang tinggi. Di sinilah Ibu radem bersama keluarganya tinggal dan meraih keberkahan hidup. Pasangan suami isteri ini berangkat haji setelah menunggu tiga tahun. Keduanya pun berangkat bersama ke tanah suci dengan perasaan gembira sekaligus bingung. Gembira karena akan berkunjung ke rumah Allah, sebuah impian yang ditanamkan sejak kecil oleh kedua orang tuanya. Namun juga bingung karena untuk membaca saja tak bisa, bagaimana harus menunaikan ibadah yang banyak doa-doanya?... Begitulah tutur lugunya yang sempat saya rekam saat berjumpa di masjidil Haram. Mudah menebaknya bahwa ia bukanlah orang berpendikan tinggi. Datang dari desa Radem dan suami hanyalah sosok petani biasa yang mengandalkan makan dan usaha dari bercocok tanam. Beruntung, ia memiliki beberapa ekor kerbau yang setiap tahun terus bertambah dan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sang
suamilah yang menggembala kerbau-kerbau tersebut. Dan kisah cinta keduanya pun berawal dari kerbau, yakni sang suami yang dahulu adalah penggembala kerbau orang tuanya. Tidak mudah hidup di kampung dengan kondisi saat ini. Dahulu, di kampung-kampung belum tersentuh yang namanya modernitas. Masjid-masjid masih penuh, belum ada pula teknologi yang dapat mendekatkan yang jauh. Namun kini, teknologi begitu gencar hadir di kehidupan masyarakat pedesaan. Tak mengherankan jika perlahan demi perlahan budaya mengaji, hidup sederhana dan menabung kini semakin terkikis. Masyarakat di kampung-kampung juga berlomba memperkaya diri dengan berbagai macam kendaraan mewah seperti motor, mobil, rumah bertingkat hingga gadget terbaru. Teringat akan pesan sang ibu agar dirinya tetap hidup sederhana dan rajin menabung, ia bersama sang suami pun telah sepakat untuk tidak ikut-ikutan membeli kemewahan sebelum berangkat haji. Sang ibu yang juga berhaji dengan hasil usaha bertani dan beternak, kini ia ikuti. Maka, walau kerbau-kerbau yang dimilikinya cukup untuk membeli mobil atau membangun rumah mewah, itu tidak dilakukannya Godaan kanan dan kiri tak pernah surut menerpa kehidupan sehari-harinya. Bersyukur, mereka lebih banyak sibuk di kebun dan ladang, sehingga tidak terlalu bersentuhan dengan kehidupan glamour yang
diperagakan orang-orang di sekelilingnya. Padahal, jika dibanding dengan orang sekampungnya, mereka cukup berada dan bahkan melebihi kekayaannya. Namun sikap sederhana telah tertanam kuat dalam diri, sehingga godaan-godaan tersebut tak mampu mengalahkan kuatnya keinginan menunaikan ibadah haji. Kepada saya mereka bertutur, bahwa keteguhan hati untuk tetap menabung dan mempersiapkan diri merupakan bagian dari perjalanan itu. Mereka ingin sekali merasakan bahwa perjalanan berhaji benar-benar sebuah puncak dari usaha dan doa, bukan datang tiba-tiba. Maka, berbagai hambatan, godaan dan rintangan dirasakannya sebagai proses melatih kesabaran agar kelak saat menunaikan ibadah haji tingkat kesabarannya berada dalam puncak. Seperti sederhananya kehidupan di desa, sesederhana itu pulalah pemikirannya. Tak ada target yang lebih besar di depan, kecuali menjadikan anakanaknya sebagai generasi yang berprestasi dan dapat hidup istiqomah sebagai muslim, walau tak memiliki ilmu yang tinggi. Ikhlas dan istiqomah, itulah yang hanya dapat dilakukannya dalam beribadah, tidak lebih. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berteori, atau untuk melukiskan dalam karya. Kisah Radem dan sang suami hanyalah bagian kecil dari cuplikan sosok-sosok luar biasa yang telah memberikan pelajaran hidup bagi kita. Sebelumnya kita
telah mendengar tukang becak yang menabung selama 25 tahun agar bisa berangkat haji. Ia berjuang setiap hari menjaga asa untuk berkunjung ke tanah suci dengan menyisihkan uang Rp 5.000. Kesabaran merengkuh mimpi dan keikhlasan menjalani hari-hari, itulah ibrah luar biasa bagi kita, bahwa perjuangan selalu meniscayakan adanya keikhlasan, kesabaran dan istiqomah dalam mewujudkannya. Menundukan Ego Duniawi Baik Radem maupun tukang becak, penghasilan keduanya mungkin jauh dibanding dengan PNS, pedagang, pegawai bank atau para pejabat. Bagaimana bisa, di saat hasil pertanian tak lagi memberi nilai lebih akibat kualitas tanah dan kondisi jual beli yang banyak dimonopoli para tengkulak, keduanya justru mampu membuktikan bahwa apapun dapat dijadikan ladang untuk mengisi tabungan haji, meski itu harus diisi sedikit-demi sedikit. Namun, hal yang membedakannya adalah, bahwa mereka berhasil melawan ego duniawi dan menentukan skala prioritas hidup, yaitu menuju kampung akhirat. Ego duniawi adalah sebuah tantangan berat bagi para pendaki spiritual. Ego duniawi dapat kita artikan sebagai kehendak untuk memuaskan diri dengan berbagai kemewahan duniawi yang sesungguhnya takkan pernah memberikan kepuasan abadi, dan pada saat yang bersamaan mengesampingkan kampung akhirat. Ego duniawi merupakan sikap mental yang selalu
mengedepankan pemenuhan keinginan ketimbang pemenuhan kebutuhan. Di sinilah, ego duniawi menjelma dalam berbagai sikap hedonis, sikap yang menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Ego duniawi yang telah begitu kuat mencengkeram mentalitas, menjadikan manusia tidak lagi mampu menentukan skala prioritas dalam hidupnya. Manusia yang dalam hidupnya selalu dijejali dengan khayalan-khayalan kemewahan duniawi akan selalu menemukan kehampaan. Saat ia mampu menggapai kemewahan dunia, saat itulah akan lahir khayalankhayalan lainnya, sehingga kebahagiaan yang sebelumnya ia impikan dari kemewahan dunia ternyata palsu. Kemewahan dunia sesungguhnya adalah bagian dari hak manusia untuk menikmatinya. Dunia dan seluruh isinya diperuntukan bagi manusia. Karena itulah maka manusia ditunjuk sebagai khalifah. Mengejar kekayaan dan berbagai kemewahan dunia tidaklah dilarang. Namun, mendewakan dan menjadikannya sebagai tujuan absolut, inilah yang memunculkan ego duniawi. Manusia hanya fokus memenuhi keinginan duniawinya, sementara kebutuhan spiritual sebagai manifestasi nilai-nilai syahadat, terabaikan. Di sinilah yang dibutuhkan sesungguhnya keseimbangan antara aktifitas duniawi dan ukhrawi, antara berusaha dan beribadah. Keduanya harus menyatu dalam sikap diri, tidak memisahkan keduanya.
Dengan demikian, maka baik dunia maupun akhirat haruslah sejalan dan selaras, tidak saling menegasikan. Dalam perspektif Islam, dunia bukanlah tujuan akhir dari perjalanan hidup manusia. Karena itulah dunia ini tidaklah kekal, karena akan selalu ada kematian sebagai akhir dari kehidupan di dunia ini. Akan tetapi, dunia adalah ladang untuk kehidupan yang abadi dan kekal, yaitu di akhirat kelak. Visi seorang muslim adalah akhirat, yakni menjadikan dunia sebagai ladang amal terbaik untuk kebahagiaan di akhirat kelak. Begitulah Allah menegaskan, waladdârul âkhiroti khoirun laka minal ûlâ, bahwa kampung akhirat itu bagimu lebih bik dari kehidupan yang pertama (dunia). Inilah paradigma yang harus kita tanamkan secara bertahap. Paradigma ini harus kita aplikasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang mencerminkan ketundukan dan kepatuhan total kepada ketentuhan Allah di dunia ini. Atas dasar paradigma inilah, kita tidak lagi berkejaran meraih dunia walau dengan melanggar rambu-rambu syariat, tidak lagi disibukan mengais rezki dan memenuhi kebutuhan perut dengan melupakan mengaji, sholat dan bersedekah. Apapun aktifitas keduniaan selalu berada dalam spirit tauhid, tidak menempatkan dunia sebagai akhir dari segala-galanya, melainkan Allah-lah tujuan akhir dari semua aktifitas, baik keduniaan maupun ukhrawi.
Paradigma ini menjadi pondasi yang akan menentukan sejauhmana kokohnya bangunan mental. Jika paradigma ini dapat kita tumbuh-suburkan dalam sendisendi kehidupan, niscaya imunitas mental akan bertambah kuat sehingga berbagai godaan dan rayuan palsu dunia tak mampu mengalihkan langkah perjalanan menuju kampung akhirat. Kita harus berani belajar dari orang-orang desa, mereka yang tak bependidikan tinggi, mereka yang tak disibukan dengan perdebatan, tentang arti penting akhirat dari dunia dan tentang keseimbangan antara keduanya. Mereka berhasil menentukan prioritas hidup meski terjal dan butuh waktu mewujudukannya, namun dengan istiqomah semuanya dijalani hingga akhirnya tercapai. Pelajaran berharga lainnya adalah, mendaki tangga spiritual membutuhkan tahapan-tahapan, tidak dapat diraih dalam waktu sekejap. Harus ada perencanaan dan prioritas, walau dengan perlahan, namun pendakian tersebut tetaplah tercapai. Seperti halnya tukang becak yang mengumpulkan uang selama 25 tahun, maka kita pun dapat mendisiplinkan hal-hal sederhana namun istiqomah dalam kehidupan ini, mendisplikan diri dengan satu persatu sikap terbaik. Itulah hikayat kampung akhirat yang takkan pernah punah dalam sanubari para saalik, akan selalu hidup dan terus tumbuh mencipta makna. Karena tiada kampung seindah kampung akhirat. Robbanâ âtinâ fi al-
dunyâ hasanah wa fil âkhirati hasanah waqinâ ‘adzâbannâr.
Sumber : bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini