Mam
MAKALAH ISLAM Engkau Hanyalah Pemberi Peringatan, Bukan Pemaksa
18 November 2014
Makalah Islam Engkau Hanyalah Pemberi Peringatan, Bukan Pemaksa
Edi Junaedi Bekerja pada Ditpenais Ditjen Bimas Islam, Penerima Beasiswa S2 Balitbang dan Diklat Kemenag “Studi Agama dan Masyarakat” UIN Jakarta
Sebulan terakhir, penulis tak sengaja beberapa kali membaca beberapa ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang pemberi peringatan bukan seorang pemaksa. “Engkau hanyalah pemberi
peringatan,
bukan
pemaksa”,
setidaknya
begitulah teguran Allah kepada Rasulullah Saw. sebagaimana terangkum dalam QS. 2: 256, QS. 50:45, QS. 87: 21-22. Dengan firman-firman-Nya tersebut, Allah seakan menegur Rasul-Nya agar berperan sebatas sebagai pemberi peringatan dalam mendakwahkan Islam. Namun di sisi lain, ayat-ayat tersebut juga seakan ingin mengungkap
bahwa
Rasulullah
sepertinya
punya
keinginan bersikap lebih, mungkin memaksa masyarakat Arab saat itu untuk beriman terhadap wahyu Allah yang beliau sampaikan. Pengalaman sebulan terakhir itu dirasa seperti menggiring kesadaran penulis untuk memperhatikan 2 (dua) fenomena keberagamaan masyarakat akhir-akhir ini. Pertama, Aksi kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang sempat sangat mengkhawatirkan pemerintah Indonesia pertengahan tahun ini, yang sesungguhnya masih merajalela di negeri Irak dan Syiria
sana,
bahkan
sudah
merambah
ke
negeri-negeri
tetangganya seperti Mesir. Mereka mengusung prinsip “mengkafirkan” (takfir) kelompok lainnya sesama muslim. Prinsip itu tidak lagi sebatas wacana, bahkan sudah menjadi sebuah aksi yang manakutkan banyak kalangan. Mereka tidak segan-segan membunuhnya tanpa belas kasih. Kedua, Kristenisasi terselubung saat Car Free Day Jakarta tanggal 02 November 2014 kemarin yang dilakukan sekelompok orang yang menamakan dirinya “Komunitas Peduli Indonesia”. Gerakan terselubung ini begitu jelas terekam oleh RTK Channel dan dipublish via youtube keesokan harinya, yang kemudian ramai dibicarakan publik terutama di berbagai media sosial. Fenomena pertama merupakan keprihatinan sosial keagamaan di tingkat internal kalangan muslim sendiri. Gerakan keagamaan yang sebenarnya secara prinsip juga telah mewabah pada beberapa kelompok muslim yang telah ada, namun belum sampai pada aksi menyerang bahkan membunuh sesamanya yang tidak mau ikut kelompok mereka. Ini sebuah gejala yang ironis mengingat pada hakikatnya Islam tidak mengajarkan
kekerasan apalagi pembunuhan, kecuali karena alasan membela diri. Bahkan, aksi mereka jelas-jelas menyalahi “tujuan ditetapkannya Syariát” (Maqashid al-Syariáh). Konsepsi yang diperkenalkan oleh Abu Ishaq Al-Syathibi (wafat 1388 M.) ini menegaskan bahwa Syariat Islam bertujuan untuk membangun 5 (lima) prinsip dasar kemanusiaan universal (al-Kulliyat al-Khams), yang dua di antaranya adalah
perlindungan
terhadap
kebebasan
berkeyakinan/beragama (hifzh al-din) dan perlindungan terhadap keselamatan jiwa (hifzh al-nafs), di samping perlindungan terhadap potensi berfikir/akal (hifzh al‘aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), serta perlindungan terhadap hak milik/harta (hifzh almal). Fenomena kedua menjadi keprihatinan dalam konteks relasi antar-agama, yang sejatinya dilandasi sikap saling menghargai dan tidak memaksakan keyakinan. Bila rekaman video tersebut benar terjadi, maka itu sungguh sudah menciderai kerukunan antara umat beragama, yang sejauh ini terus kita pupuk dan kuatkan berdasarkan nilai-
nilai yang ada dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Bahkan,
tindakan
terselubung
tersebut
bisa
dianggap telah menyalahi hukum yang ada. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Pasal 4 Tahun 1979 disebutkan bahwa pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan jika ditujukan kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain. Penyiaran agama yang dimaksud ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti melakukan bujukan dengan atau tanpa adanya suatu pemberian, penyebaran brosur atau buku-buku, maupun melakukan kunjungan langsung. Dua aksi sosial-keagamaan tersebut tentunya tidak begitu saja berdiri sendiri, melainkan ada motivasi di baliknya. Menurut teori fenomenologi – ilmu yang berorientasi untuk mendapatkan penjelasan dari realitas yang tampak – sebuah konstruksi sosial terbentuk karena dilatari oleh faktor tertentu, yang dalam konsep Max Weber disebut sebagai in order to motive (untuk motif tertentu), because of motive (karena motif tertentu)
menurut Alfred Schultz, atau pragmatic motive dalam bahasa Peter L. Berger. Motivasi apakah yang mempengaruhi kelompok ISIS dan Komunitas Peduli Indonesia dalam melakukan aksinya?
ISIS
sudah
mengklaim
dirinya
sebagai
kelompok yang bercita-cita membangun “Khilafah alIslamiyah”. Ambisi yang dianggap utopis dalam konteks masyarakat global seperti sekarang ini, sebenarnya memiliki iktikad baik dengan semangat Islamnya, namun secara praktis justru menyalahi nilai-nilai Islam itu sendiri. Adapun aksi Komunitas Peduli Indonesia saat Car free Day Jakarta pada hari Minggu (2/11/2014) itu memang masih dalam penyelidikan kebenarannya, tapi sepintas lalu berbagai indikasinya mengarah pada “Kristenisasi”terselubung. Dua hal yang sama-sama memprihatinkan bagi semangat keberagamaan kita, baik dalam konteks internal maupun eksternal antar umat beragama. Pelajaran yang didapat dari dua persoalan sosial keagamaan itu, kita sebagai umat Islam, sebagaimana Rasulullah Saw, hanya diingatkan untuk berperan sebagai “pemberi peringatan” bukan “pemaksa” dalam beragama.
Dan, upaya memberi peringatan yang paling elegan dan konstruktif adalah menjadikan kita “teladan”dalam kehidupan masing-masing. Biarlah orang lain melihat Islam kita melalui perilaku kita. Bukankah itulah sebenarnya pelajaran dari penegasan Allah bahwa “Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu” (QS. 33: 21). Dan, bukankah faktor keteladanan itu yang membuat Nabi Muhammad Saw. berhasil dalam menyebarkan Islam? Sehingga, sangat wajar bila Michael H. Heart menempatkan beliau sebagai peringkat pertama dalam deretan orang-orang yang paling berpengaruh sepanjang masa. So, marilah kita selalu menjadi “teladan” dalam beragama. Itulah cara kita menunjukkan citra Islam sebenarnya. Itulah dakwah kita. Wallahu a’lam bish shawwab.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini