MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)
Oleh: Nia Purnamasari 104032201031
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat Sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cianjur)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S. Sos)
Oleh: Nia Purnamasari 104032201031
Dibawah Bimbingan
Dra. Jouharotul Jamilah, M.Si NIP. 150 282 401
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang belaku di UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 24 Februari 2009
Nia Purnamasari
ABSTRAKSI
Nia Purnamasari Makam Keramat dan Perubahan Sosial Yang dimaksud makam keramat di sini adalah makam Rd. Aria Wira Tanu atau lebih di kenal dengan Makam Dalem Cikundul, yang berada di kampung Majalaya, Cianjur. Beliau merupakan pendiri utama kabupaten Cianjur, dan juga bupati pertama Cianjur. Pengeramatan terhadapnya sudah terjadi sejak dulu. Kekeramatan tersebut berangkat dari pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah. Sedangkan secara sosiologis, seseorang bisa dikeramatkan karena ia memiliki kharisma di masyarakat, kharisma itu bisa karena ilmunya ataupun kepribadiannya. Pengeramatan terhadap wali masih berlangsung hingga saat ini. Banyak para peziarah yang datang dan kedatangannya membawa perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi berdampak kepada masyarakat sekitar makam. Masyarakat jadi lebih kreatif untuk membuka lahan usaha, seperti berdagang. Bahkan banyak yang menggantungkan hidup dari keberadaan makam, seperti: tukang parkir, penjaga tol, dan pengemis. Kharisma yang dimiliki Dalem Cikundul tidak akan pernah luntur sampai kapan pun. Seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa ada tiga wewenang yang akan selalu berputar yaitu: Wewenang kharimatik, berganti wewenang tradisional, kemudian wewenang rasional, beralih lagi menjadi wewenang kharismatik, begitulah seterusnya. Subyek yang diteliti adalah masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, dimana mereka merupakan orang-orang yang hampir setiap hari ada di sana. Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana makam keramat Dalem Cikundul mampu mengubah kehidupan sosial ekonomi keagamaan masyarakat sekitar makam. Melalui observasi dan wawancara, diketahui bahwa perubahanperubahan yang terjadi berawal dari pengeramatan terhadap Makam Dalem Cikundul. Perubahan yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat adalah setelah reformasi. Dimana setelah reformasi semua berubah, mulai dari ekonomi, sosial, bahkan kepengurusan makam pun ikut berubah. Tapi, dalam hal kegamaan tidak terlalu nampak perubahannya. Karena, pada umumnya masyarakat mengakui dan mengimani akan adanya yang sakral (ruh) dan masih melaksanakan ritual keagamaan, seperti: Maulidan, Rajaban, dan Muharraman.
KATA PENGANTAR
ا ا ا Alhamdulilah, segala puji dan syukur hanya pantas kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, Sang pemilik Jagat Raya ini. Atas izin dan Ridho-Nya, akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat beserta salam kita haturkan kepada manusia paling sempurna, pemimpin umat yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran, baginda besar Muhammad SAW,
tidak lupa pula untuk keluarga dan sahabatnya. Penulis
menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitupun dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, tegur sapa dan keritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan di masa depan. Penulisan skripsi ini tidak mungkin cepat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drs. M. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dra. Ida Rosyidah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Dra. Jouharotul Jamilah, Msi. Selaku Sekretaris jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan juga dosen pembimbing yang dengan sabar selalu membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini 4. Bapak Iput yang telah bersedia untuk membantu dan membukakan cakrawala berfikir kepada penulis. Dan kepada bapak Drs. Makmun Ikhsan, Apt, yang telah meminjamkan buku-bukunya kepada penulis
5. para petugas perpustakaan Utama dan perpustakaan fakultas ushuluddin dan Filsafat terima kasih atas pelayanannya 6. Kepala desa beserta jajarannya, terima kasih atas informasi dan kesediaannya untuk membantu dan memudahkan penulis 7. Untuk ayahanda tercinta bapak M. Saepudin dan Ibunda tersayang C. Aisah, yang tak pernah lelah mendorong, menguatkan dan memberikan kasih sayangnya. Cucuran keringat dan do’a tulus tidak akan pernah sanggup ananda membalasnya. 8. Untuk kakak-kakakku, kang Dasep, teh Dede, teh Lilis, teh Neni dan teh Ai yang selalu memberikan support. Makasih atas perhatian dan kasih sayangnya yang tidak pernah putus, juga kakak iparku (a’ Enjon, kk, a’ Diki) dan tidak lupa untuk keponakan-keponakanku Cindy, Daffa, Najwaa, Rafli dan Alifa, yang selalu menantikan kehadiranku 9. Untuk saudara-saudaraku Umi, Ita, Uthi, Uus, dan Zumi, yang selalu mewarnai kehidupanku, tawa yang indah sewaktu kita bersama, semoga silaturahmi kita tidak akan pernah putus walau jarak memisahkan kita. Umi makasih ya atas bantuannya selama ini. 10. Untuk saudara-saudaraku di kostan PGRI, teh Ufah dan teh Nei makasih ya atas motivasinya, juga buat Neng dan Beti, ayo Semanga!!! jangan males…. 11. Untuk sahabat-sahabatku, teman seperjuangan, Aya, Nenk, Opik, Amir, Syiqqil, Wahid, Budi, Hari, Asep, Njah, Ina, Mamih dan teman-teman Sosiologi Agama angkatan 2004. Semoga kita bisa sukses bareng-bareng ya....
Ciputat, 24 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
i ....................................... ................................ ................................ ABSTRAK ii ...................................................................................... KATA PENGANTAR iv .................................................................................................... DAFTAR ISI vi ............................................................................................ DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
BAB I
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 7 D. Metodologi Penelitian ................................................................. 7 E. Sistematika Penulisan.................................................................. 10 KAJIAN TEORI
BAB II
A. Makam Keramat ......................................................................... 12 1. Pengertian Makam Keramat .................................................. 12 2. Simbol dan Sakralitas............................................................ 14 B. Perubahan Sosial......................................................................... 18 1. Pengertian Perubahan Sosial.................................................. 18 2. Faktor-faktor Perubahan Sosial ............................................. 20 3. Pola-pola Perubahan Sosial ................................................... 22 C. Agama dan Perubahan Sosial ...................................................... 26 1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial ............................... 26 2. Agama dalam Proses Modernisasi ......................................... 28
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
BAB III
A. Gambaran Umum Kampung Majalaya ........................................ 31 1. Geografi dan Demografi kampung Majalaya.......................... 31 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya ...................... 33 3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya ........................ 34 B. Makam Dalem Cikundul ............................................................. 35 1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul.............. 35 2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul ........................................ 43 MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH
BAB IV
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI KEAGAMAAN MASYARAKAT A. Perubahan Kehidupan Sosial....................................................... 45 1. Perubahan Sosial yang terjadi sebelum tahun 1990................ 46 2. Perubahan Sosial yang terjadi setelah tahun 1990 .................. 51 B. Perubahan Kehidupan ................................................................. 53 1. Komersialisasi Makam .......................................................... 53 2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah.................................. 57 C. Perubahan Kehidupan Keagamaan .............................................. 59 1. Kepercayaan Kepada yang Sakral .......................................... 59 2. Ritual Keagamaan ................................................................. 61 PENUTUP
BAB V
A. Kesimpulan................................................................................. 64 B. Saran .......................................................................................... 65 66 ....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
47 ........................... Perubahan jumlah Pengunjung dari tahun ke tahun
Tabel I.
49 ...................................................... Data Instansi yang pernah datang Tabel II. 50 ...................................................... Data Negara yang pernah datang Tabel III.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat modern dewasa ini, dimana kemajuan teknologi yang terus berkembang, arus globalisasi yang tidak terbendung. Ada satu fenomena
kehidupan
yang
cukup
menarik
untuk
dicermati,
yaitu
membludaknya jumlah peziarah ke makam, baik makam wali maupun makam-makam yang di anggap keramat 1. Salah satu makam yang di anggap keramat oleh masyarakat sekitar adalah makam Cikundul. Makam bisa disebut keramat jika penghuni makam tersebut adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat. Pengaruh tersebut bisa berbentuk kharisma. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Weber bahwa kharisma adalah suatu kelebihan tertentu yang terdapat dalam karakter dan kepribadian seseorang 2. Kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada kepribadian seseorang, yang karenanya dia terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu 3. Seseorang yang memiliki kharisma biasanya diperlakukan secara istimewa dalam masyarakat karena dianggap sebagai orang yang dianugerahi 1
Suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikiologis kepada pihak lain. Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 229 3 K. J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia, 1993), h. 182 2
kekuasaan, sehingga para pengikut yang setia memiliki komitmen terhadap normatif atau moral yang digambarkannya atau dicontohkannya. Menurut Weber, otoritas kharisma biasanya ada dalam tokoh-tokoh agama, karena mereka condong dihormati dan ditiru. Ketika otoritas kharisma ada pada tokoh-tokoh agama maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. kemungkinan pertama, kharisma tersebut bisa berlangsung lama dan bisa juga hanya bersifat sementara saja.. Kepercayaan masyarakat pada makam keramat diakui atau tidak berangkat dari sebuah pemahaman teologis yang berawal dari ajaran tasawuf yang menggambarkan tentang sosok yang memiliki karomah tersebut. Yang mana ada tiga hal yang menonjol pada diri mereka, yakni karamah, barakah, dan syafaat. Ketiga hal itu melekat dan menjadikannya sebagai tokoh keramat, baik ketika hidup maupun setelah meninggal, sehingga untuk mencari tiga hal itulah makamnya menjadi pusat ziarah. Asal muasal fenomena ziarah kubur sebenarnya bukan berasal dari Islam, melainkan tradisi Yahudi dan Nasrani. Namun, tidak dapat di pungkiri bahwa dalam Islam pun ada tradisi ziarah yang telah membudaya. Ziarah kubur diperbolehkan jika untuk mengingat kematian ataupun mengambil I’tibar (hikmah), yang tidak diperbolehkan adalah meminta-minta pada makam, mengucapkan sumpah dengan nama mereka, mendirikan bangunan di atas kuburan mereka, dan sebagainya. Mayoritas rakyat muslim melakukan ziarah kubur di hampir semua negeri mereka, di Afrika Utara, Mesir, Sudan, Irak, Iran, Afganistan, India, Pakistan, Bangladesh, Turki, Malaysia bahkan Indonesia.
Di Indonesia, pemujaan terhadap wali dalam arti ziarah ke makam wali merupakan ritual yang sangat lazim. Makam wali yang sering dikunjungi oleh peziarah adalah makam wali songo yang ada di Jawa, tidak terkecuali makammakam lain seperti makam Cikundul. Salah satu permasalahan menarik yang muncul dalam fenomena ziarah pada masyarakat adalah permasalahan sosial ekonomi. Dimana makam, jika dilihat hanyalah sebuah pekuburan biasa tanpa makna. Tapi lain halnya jika yang mendiami makam tersebut adalah seseorang yang memiliki kharisma dan pengaruh di masyarakat. Keberadaan makam Cikundul sebagai objek para peziarah, secara tidak langsung telah memberikan banyak perubahan di segala bidang kehidupan. Tidak terkecuali pada bidang sosial dan ekonomi. Yang ditandai dengan banyaknya peminta-minta, setiap orang beramai-ramai ingin menjadi kuncen, banyak orang yang berjualan di sekitar makam, tersedianya lapangan parkir, dan lain-lain. Perubahan-perubahan yang terjadi membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang bisa di ambil adalah sedikit banyak bisa mengurangi jumlah pengangguran, membuka lahan usaha walaupun cuma berdagang, sedangkan dampak negatifnya, komersialisasi yang dilakukan terhadap makam bisa menimbulkan penyalah artian makam Cikundul. Terjadinya perubahan sosial dimanapun dan kapan pun, termasuk di daerah makam merupakan suatu kewajaran (natural) yang timbul sebagai sebuah proses dari pergaulan hidup manusia. Semakin berkembangnya
kehidupan manusia, maka kehidupan masyarakat pun akan turut berubah. Perubahan itu pun terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar makam, apalagi makam yang dianggap keramat. Setiap masyarakat manusia selama hidupnya, pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu ada yang bergerak cepat ataupun lambat. Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat bersifat progress atau regress, luas ataupun terbatas, cepat atau lambat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, struktur lembaga kemasyarkatn, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.4 Perubahan-perubahan yang terjadi secara lambat memerlukan waktu lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana ataupun suatu kehendak tertentu. Sedangkan perubahan yang terjadi secara cepat, mengenai sendi-sendi atau dasar-dasar pokok
dari
pada
kehidupan
masyarakat
(yaitu
lembaga-lembaga
kemasyarakatan) lazimnya dinamakan "revolusi". Unsur-unsur yang pokok dari pada suatu revolusi adalah adanya perubahan cepat bahwa perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat. 5 Wilbert Moore sebagaimana yang dikutip oleh Robert H Lauer mengartikan perubahan sosial sebagai "perubahan penting dari struktur 4
Drs. Kurnadi Shahab. M. Si., Sosiologi Pedesaan, (jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h.
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 292
14
sosial", dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah "pola-pola perilaku dan interaksi sosial". Moore memasukkan ke dalam definisi perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma-norma, nilai-nilai, dan fenomena kultural. Pengertian lain dalam melihat perubahan sosial sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial serta "setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku. Semua itu menunjukkan bahwa perubahan sosial itu adalah fenomena yang rumpil dalam arti menembus ke berbagai tingkat kehidupan sosial.6 Perubahan
sosial merupakan
konsekuensi
utama dari
proses
modernisasi yang dialami oleh suatu masyarakat. Namun, ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur perubahan
yang dalam
mempertahankan unsur-unsur
keseimbangan masyarakat
geografis,
biologis,
ekonomis,
seperti atau
kebudayaan.7 Setiap perubahan sosial sebagai realitas yang menjadi sasaran, senantiasa membawa tiga aspek, yaitu: aspek manusia, aspek waktu, dan aspek tempat. Dengan kata lain, setiap perubahan yang berarti digerakkan oleh manusia, dalam unit waktu tertentu dan lingkungan tertentu.8 Pada umumnya, tempat di sekitar makam hanyalah tempat biasa yang tidak memiliki keistimewaan apa pun. Tapi, ramainya peziarah telah 6
Robert H Lauer, Perspektif tentang perubahan Sosial, edisi ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 4 7 Abdullah Masmuh dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan Tengger, (Jogjakarta: LKis, 2003). 8 Drs. D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, (Jogjakarta: Kanisius, 1989), h. 256
mengubah masyarakat di sekitar makam menjadi medan budaya (cultural sphere) di mana banyak orang keluar masuk dengan membawa adat dan kebiasaan yang berbeda. Kedatangan mereka telah mengubah kehidupan masyarakat Majalaya. Perubahan yang paling menonjol di bidang ekonomi. Masyarakat tidak lagi mengandalkan ekonomi dari pertanian saja, seperti halnya di daerah pedesaan, tapi juga dari sector lain seperti perdagangan melalui komersialisasi makam. Komersialisasi yang dilakukan telah banyak memberikan pengaruh yang cukup signifikan terutama dalam hal ekonomi, itu bisa terlihat dari banyaknya masyarakat Majalaya yang kini sebagian bermata pencaharian berdagang di sekitar makam. Makam tidak lagi hanya pekuburan biasa, tapi juga sudah seperti tempat wisata. Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul "Makam Keramat dalam Mengubah Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat" sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah perubahan sosial ekonomi pada masyarakat di sekitar makam keramat. Penelitian ini dibatasi pada perubahan sosial ekonomi yang terjadi dari tahun 1990 sampai sekarang. Dan untuk lebih memperdalam penelitian ini, secara geografis dibatasi pada masyarakat yang ada di sekitar makam yang berada di kampung Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulan kabupaten Cianjur.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu: "Bagaimana makam yang keramat Cikundul mampu mengubah kehidupan ekonomi masyarakat Majalaya?"
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Majalaya, khususnya yang berada di sekitar makam memahami keberadaan makam tersebut. b. Untuk mengetahui sejauh mana makam Cikundul bisa meningkatkan ekonomi masyarakat Majalaya. c. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh makam Cikundul mampu mendatangkan peziarah. 2.
Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menambah wawasan sosial keagamaan, terutama mengenai makam keramat. b. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian Permasalahan yang terjadi di masyarakat terus berkembang, butuh cara untuk mengetahui gejalanya. Maka dilakukanlah penelitian. Penelitian dilakukan karena dorongan atau rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu.9 Metode yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif, yakni metode yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah studi kasus. Dimana
studi
kasus
merupakan
suatu
pendekatan
untuk
mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi. 10 Studi kasus diambil karena diharapkan bisa menjelaskan suatu fenomena sosial yang ada di masyarakat secara gamblang dan jelas, terutama dalam perubahan sosial ekonomi pada masyarakat sekitar makam di kampung Majalaya Cianjur.
9 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3. 10 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian , Pemikiran Norman dan Egon Guba, (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001), h. 93.
2. Subjek Penelitian Penulis mengambil subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat di sekitar makam yang berada di daerah kampung Majalaya desa Cijagang kecamatan Cikalongkulon kabupaten Cianjur. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Adapun tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: a. Observasi Partisipan, yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki, seperti: menjamurnya pedagang-pedagang di sekitar makam, banyaknya peminta-minta, membludaknya peziarah pada waktu-waktu tertentu, dan lain-lain. b. Wawancara mendalam (indepth Interview), yaitu peneliti atau petugas penelitian melakukan "interview" dengan informan secara lisan dan mendalam. c. kepustakaan (Library Research), yakni dengan membaca, memahami, dan menginterpretasikan buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 4. Instrumen Pengumpulan Data Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam pedoman wawancara hanya hal-hal pokok, dan umumnya berbentuk pertanyaan terbuka.
5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah analisis data kualitatif, dengan tidak menggunakan angka atau statistik, tetapi berupa analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasanpenjelasan dan pandangan-pandangan penelitian skripsi ini. Dalam penelitian kualitatif ini, setiap kejadian yang terjadi di lapangan penulis catat, baik dari hasil wawancara maupun observasi, kemudian peneliti mereduksi (merangkum, mengikhtisarkan, menyeleksi) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap kasus, berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara.
D. Sistematika Penulisan Penulisan
skripsi
ini
disusun
secara
sistematis
berdasarkan
pembahasan yang dibutuhkan dan disusun kedalam lima bab sebagai berikut: 1. Bab pertama (I) membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. 2. Bab kedua (II) membahas mengenai kajian teori yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian skripsi ini, yaitu: pertama berisi pembahasan mengenai makam dan pensakralan terhadap makam. Dan yang kedua membahas tentang perubahan sosial, terutama berkaitan dengan perubahan sosial, ekonomi dan keagamaan.
3. Bab ketiga (III) berisi profil daerah dan objek penelitian yang mendeskripsikan kondisi geografis dan demografis daerah penelitian. Selain itu, bab ini juga memberi gambaran serta sedikit analisis mengenai kondisi sosial, ekonomi dan agama masyarakat Majalaya. 4. Bab keempat (IV) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi ini, berisi analisa proses terjadinya perubahan sosial ekonomi dari tahun 1990 sampai sekarang. 5. Bab kelima (V) berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saransaran, serta daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Ag, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2002. Al-Albani, M. Nashiruddin, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, Jakarta: Gema Insani, 1999. Dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir & Claude Guillot, Ziarah & Wali di Dunia Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007 Faisah, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Jhonson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986. Laure, Robert H, Perspektif tentang Perubahan Sosial, edisi ke-2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993. Masmuh, Abdullah dkk, Agama Tradisional Potret Kearifan Masyarakat Samin dan tengger, Jogjakarta: LKis, 2003. Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Razak, Yusran dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. OC, Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, Jogjakarta: Kanisius, 1989. Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon Guba, Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Subhani, Syaikh Ja’far, Tauhid dan Syirik Studi Kritis Faham Wahabi, Bandung: Mizan, 1987. Syam, Nur, Islam Pesisir, Jogjakarta: LKis, 2005. Veeger, K. J., Realitas Sosial, Jakarta: PT. Gramedia, 1993.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Makam Keramat 1. Pengertian Makam Keramat Para wali dianggap orang yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah mengapa makamnya selalu dipadati peziarah. Dalam tradisi jawa, makam dianggap mengandung kesakralan. Arti makam diambil dari bahasa Arab berasal dari kata maqam yang berarti tempat, status, atau hirarki. Sedangkan tempat menyimpan jenazah dalam bahasa Arab disebut Qabr, yang lebih dikenal dengan kubur atau kuburan. Pada umumnya kuburan atau makaman digunakan untuk menyebut tempat menguburkan atau memakamkan mayat. Namun, ada kekhususan mengenai penggunaan kata makam atau kubur tersebut, yakni jika yang dikuburkan itu adalah seorang wali atau orang suci, maka tempat penguburannya disebut makam wali bukan kuburan wali.11 Keramat (dari bahasa Arab, karamah) mengandung arti kemuliaan atau kemurahan. Di kalangan orang-orang tasawuf atau tarekat, berkembang pengertian bahwa keramat adalah keadaan atau perbuatan luar biasa yang timbul pada diri, atau dilakukan oleh para wali Allah. Banyak contoh yang beredar di kalangan mereka, tentang keramat itu, seperti dapat mengharungi lautan dengan sajadahnya (sajadah: tikar untuk Shalat), mengetahui adanya
11
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKis, 2005), h. 139.
bahaya sebelum terjadi, berada di dua tempat yang berjauhan pada waktu yang sama dan lain sebagainya. Tidak semua keadaan atau perbuatan luar biasa itu disebut keramat. Yang terjadi pada diri nabi atau rasul, tidak disebut keramat, tapi mukjizat (mu’jizat), sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau orang-orang yang tidak beragama Islam, secara saleh disebut sihir, yang dapat juga disebut mejik hitam.12 Bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya, makam tidak hanya sekedar tempat untuk menyimpan mayat. Akan tetapi, makam merupakan tempat keramat, karena di situ dikuburkan jasad orang keramat. Jasad orang keramat tidak seperti orang kebanyakan, karena diyakini bahwa jasadnya tidak akan dimakan binatang tanah, seperti: cacing tanah, ulat pemangsa jasad manusia, dan lain-lain. Selain itu, jasadnya juga tidak akan rusak, serta rohnya memiliki kekuatan untuk mendatangi makamnya. Dia dianggap sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT, sehingga dijadikan perantara doa agar doanya cepat sampai kepada Allah SWT. Memang, tidak semua orang berziarah itu benar tujuannya, sebab ada juga di antara mereka justru malah meminta roh penghuni makam untuk mengabulkan doa atau permohonannya. Pemujaan terhadap wali adalah ritual yang berlaku sejak lama di kalangan dunia Islam. Masalah yang terjadi adalah masalah mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui perantara para wali yang sholeh.
12
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 533-534.
Islam telah menentukan tempat-tempat dan waktu-waktu yang memiliki keutamaan atau kekeramatan dibandingkan tempat lainnya. Dalam ibadah-ibadah khusus, seperti shalat, berdoa, membaca al-Qur’an, dan sebagainya. Kita dibenarkan tabarruk atau mencari keutamaannya. Namun yang perlu dipahami bahwa ketentuan itu datangnya dari Allah SWT dan rasul-Nya. Kita tidak dapat menentukan sendiri atau meraba-raba hal apa dan di mana yang sekiranya mengandung kekeramatan atau keberkahan. Perkara semacam itu termasuk mughayyabat (perkara gaib) yang tidak dapat dipahami maksud hakiki dengan menggunakan akal atau intuisi belaka.13 2. Simbol dan Sakralitas Simbol atau lambang dianggap sebagai suatu hasil kreatifitas manusia. Di antara binatang-binatang, hanya manusialah yang mampu menciptakan bahasa simbolik dan pemikiran abstrak. Dia tidak hanya berbuat dan bereaksi, tetapi juga mengembangkan dan menanggapi perbuatan. Simbol adalah bentuk objek atau tanda apapun yang melahirkan respon sosial yang diakui bersama.14 Simbol ataupun lambang memiliki makna penting bagi suatu agama, karena dalam simbol terdapat inti emosi keagamaan yang hanya bisa dipandang tidak dapat diekspresikan. Maka semua upaya itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan karena itu bersifat simbolik.15 13
Endra K. Pridhadhi, Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan (Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004), h. 186. 14
M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 62. 15
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 13.
Simbol memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pertama, simbol dibuat dan dikembangkan secara bersama-sama dalam masyarakat. Ada budaya masyarakat India yang masih menganggap bahwa sapi merupakan simbol bagi umat Hindu, hanya mereka yang meyakini demikian. Begitu juga dengan hajar aswad yang diyakini umat Islam sebagai simbol suci meskipun hanya sebuah batu. Kedua, simbol mungkin memiliki lebih dari satu makna. Ketiga, ada keterkaitan langsung antara budaya dengan pemaknaan terhadap sebuah simbol. Simbol bisa berbeda sesuai waktu dan tempatnya, juga bisa berbeda makna simbol tentang sesuatu pada satu kelompok dengan kelompok lain terutama di masyarakat yang tingkat keragamannya sangat tinggi. Menurut Eliade sebagaimana yang dikutip oleh Yusron Razaq berpendapat bahwa simbol mengungkap dimensi-dimensi realitas tertentu yang akan menjauhkan pengetahuan kita. Sesuatu yang ada dalam sebuah simbol memiliki kekuatan melampaui pemahaman dan kendali kita yang disebut olehnya bersama Rudolf Otto sebagai “yang sakral”.16 Mungkin terpikir di benak kita tentang sesuatu yang sakral. Yang sakral adalah yang berada di luar dirinya dan tidak terjangkau oleh akal atau penalaran manusia yang lebih kita kenal dengan yang transenden. Sesuatu yang sakral itu lebih mudah dikenal dari pada didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri, baik yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Dalam masyarakat, yang kita kenal terdapat
16
Yusron Razaq dan Ervan Nurtawab, Antropologi Agama (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 34.
perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau yang sering kita katakan antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane). Sesuatu yang sakral dan yang profan berkaitan erat dengan pengalaman keagamaan manusia. Mengenai yang sakral dan yang profan dibicarakan pula oleh Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Thomas F O’dea. Durkheim menyatakan yang suci lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan yang profan dan mengandung sifat serius yang lebih tinggi.17 Yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang, tempat, waktu atau benda tertentu. Sebagai sifat yang dipercayai, ia bukanlah sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu sisi orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di sisi lain menurut Coillois, ia juga berbahaya punya hal-hal yang taboo dilakukan terhadapnya. Kalau kesuciannya dilanggar dan ditabookan dikerjakan juga, yang bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya. Sebaliknya yang profan adalah sesuatu yang biasa, yang rasional, yang nyata, tidak ada perlakuan istimewa dan penghormatan terhadapnya. 17
Thomas F O’dea, Sosiologi Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 36.
Memikirkannya seperti merumuskan teori dan mengamati dan melakukan eksperimen terhadapnya, boleh dan sangat dianjurkan, tetapi tidak perlu diiringi dengan doa dan dzikir. Segala sesuatu di alam ini sebenarnya profan, karena kesakralan itu hanya anggapan sepihak dari manusia atau masyarakat yang memercayainya saja. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda tertentu dan lain sebagainya. Sakral (sacred) berarti suci. Pasangannya dari yang sakral adalah yang profan, yaitu yang biasa saja atau yang alamiah. Dalam setiap agama memiliki sesuatu yang disakralkan atau disucikan. Kitab suci Al-Qur’an, bulan Ramadhan, Tanah Haram, Waliullah, Ka’bah, adalah suci dalam agama Islam. Tanda Salib, Gereja, hari natal, kitab Bibel atau al-kitab dipercayai suci dalam agama Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, Pura adalah suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem, adalah suci dalam pandangan masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta Gautama, Vihara, dipercayai suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi. Sakral atau pun tidak sakral kalau dilihat secara material, fisik atau kimiawi sebenarnya sama saja, karena suci atau sakral bukan terletak pada sifat benda itu sendiri, melainkan diberikan oleh manusia atau masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Menurut Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Bustanudin Agus, manusia atau masyarakat
yang mempercayainya itu sajalah yang menjadikannya suci atau bertuah, tidak karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa dalam benda tersebut.18 B. Perubahan Sosial 1. Pengertian Perubahan Sosial Di dunia ini tidak ada yang tetap semuanya senantiasa berubah. Begitu pula dengan masyarakat. Masyarakat adalah objek dari perubahan. Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Di tingkat mezzo terjadi perubahan kelompok, komunitas dan organisasi. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan budaya (kultur). Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.19 Perubahan sosial dipandang sebagai sebuah konsep yang serba mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia.20 Meskipun tidak ada arti yang jelas mengenai perubahan sosial. Akan tetapi,
banyak
pendapat menilai bahwa
perubahan-perubahan
sosial
merupakan gejala-gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia. 18
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 80 19
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2007), h.
65. 20
Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial edisi kedua (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 5.
Menurut Gillin sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari caracara hidup yang telah diterima, yang disebabkan baik karena perubahanperubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial menunjuk modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi tersebut terjadi karena sebab-sebab yang intern maupun sebab-sebab ekstern. Definisi lain dikemukakan oleh Selo Soemardjan yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan
di
dalam
suatu
masyarakat
yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan
pada
definisi
tersebut
terletak
pada
lembaga-lembaga
kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia; perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat tersebut.21 Lain halnya menurut Hendropuspito. Menurutnya, tidak ada arti yang khusus mengenai perubahan sosial. Namun ada beberapa definisi yang di angkat dari data hasil pengamatan tentang perubahan yang terjadi dalam
21
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 285
masyarakat. Dari data tersebut dapat ditarik dua rumusan mengenai definisi perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial didefinisikan sebagai perbedaan keadaan yang berarti dalam unsur masyarakat dibandingkan dengan keadaan sebelumya, bisa pula diartikan sebagai perubahan sosial yang pasif. Kedua, perubahan sosial adalah proses perkembangan unsur sosio-budaya dari waktu ke waktu yang membawa perbedaan yang berarti dalam struktur dan fungsi masyarakat dan diartikan lain sebagai perubahan sosial aktif.22 Perubahan sosial yang terjadi di tingkat makro meliputi ekonomi, di mana ekonomi merupakan sentral dari kehidupan manusia. Persoalan ekonomi dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Perkembangan persoalan ekonomi berjalan seiring dengan perkembangan dari pertumbuhan manusia itu sendiri dengan pengetahuan teknologis yang dimiliki. Sosiologi memandang ekonomi sebagai studi bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap jasa dan barang langka dengan melakukan pendekatan sosiologi. Hubungan ekonomi dan masyarakat saling berkaitan satu sama lain. Sosiologi memandang ekonomi sebagai bagian integral dari masyarakat.23 2. Faktor Perubahan Sosial Untuk mengetahui suatu perubahan yang terjadi pada masyarakat, maka perlu diketahui penyebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan-
22
Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h.
23
Damsar, Sosiologi Ekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
256.
h. 15.
perubahan itu. Faktor-faktor tersebut, disadari atau tidak, telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya. Ada dua faktor yang terjadi dalam perubahan sosial: faktor penyebab dan faktor penunjang. Faktor penyebab adalah faktor yang langsung mengakibatkan timbulnya perubahan sosial, baik berupa kejadian yang semula tidak ada menjadi ada, maupun pengubahan realitas yang sudah ada sebelumnya menjadi bentuk yang lain. Sedangkan faktor penunjang dalam bahasa latin occatio hanya menciptakan kesempatan atau situasi yang membantu penyebab menghasilkan akibatnya. Adapun yang menjadi faktor penyebab dan penunjang perubahan adalah sebagai berikut: a. Faktor Penyebab Perubahan Perubahan terjadi di tengah-tengah masyarakat tidak mungkin bisa dibendung. Perubahan adalah sesuatu hal yang wajar dan alami. Sangat sulit menentukan penyebab perubahan sosial yang murni dan tepat terjadi, karena bidang penyelidikan terlalu luas dan kabur serta kurang pembatasan yang jelas. Faktor penyebab perubahan sosial bisa dikategorikan menjadi faktor manusia dan non manusia. 1)
Faktor manusia
Kedudukan manusia sangat sentral dan penting dalam masyarakat dan dalam perkembangan masyarakat, maka wajar jika para ahli sosial serentak menunjuk manusia sebagai faktor penyebab utama perubahan.
2)
Faktor non manusia
Jumlah faktor non manusia yang menyebabkan perubahan sosial cukup besar. Sebagian dari faktor-faktor itu pada mulanya merupakan akibat yang ditimbulkan oleh manusia. Namun kemudian
menimbulkan
perubahan masyarakat.
Perubahan-
perubahan non manusia antara lain: pertambahan penduduk, sistem ekonomi, penerapan penemuan baru (teknologi modern dan mode), sistem pendidikan yang terencana, arus sekulerisasi, dan lain-lain. b. Faktor penunjang perubahan Faktor-faktor yang menunjang perubahan sosial meliputi: 1) Jiwa yang terbuka terhadap perubahan, terutama jiwa revolusioner yang hidup dalam suatu masyarakat yang mau mengubah apa saja yang telah ada. 2) Bertambahnya perbendaharaan ilmu pengetahuan memungkinkan bertambahnya pemecahan baru mengenai berbagai masalah yang dihadapi. 3) Timbulnya keinginan-keinginan baru yang dikobarkan sebagai cita-cita nasional dan harus diperjuangkan pencapaiannya akan membuka hati bangsa sehingga mengadakan perubahan-perubahan guna memuaskan keinginan tersebut. 4) Bertambahnya penduduk merupakan tantangan berat yang perlu dijawab dengan perubahan sosial. 5) Penemuan-penemuan baru di sektor-sektor sosio-budaya tertentu.
6) Kemajuan negara-negara lain juga merupakan faktor peluang bagi Negara-negara terbelakang.24 3. Pola-pola Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah istilah yang taksa (ambiguous). Kadang kala istilah ini digunakan dalam pengertian yang sempit, yang mengacu pada perubahan-perubahan struktur sosial (keseimbangan di antara berbagai kelas sosial, misalnya). Tetapi juga, kadang-kadang digunakan dalam pengertian yang sangat luas yang mencakup organisasi politik, perekonomian dan kebudayaan. Perubahan di sini penekanannya lebih kepada pengertian yang lebih luas. Perubahan sosial dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe atau pola utama, yaitu: a. Pola linear Ide statisme atau yang dikenal dengan pola perubahan sosial linear (Etzioni, 1973: 3-8, Kamanto Sunarto, 2000: 213), meyakini bahwa kehidupan ini pasti, baku, tetap dan tiada toleransi untuk perubahan. Dua tokoh pemikiran yang bisa dijadikan acuan terdapat dalam karyanya August Comte dan Herbert Spencer, sebagaimana yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor. Menurut Comte, bahwa peradaban manusia senantiasa mengikuti suatu arah perubahan yang pasti, alami, sama dan tidak terelakkan. Sementara Spencer menambahkan bahwa struktur sosial berjalan secara evolusioner kearah ukuran yang lebih
24
Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik. h. 264-268.
besar, kemajemukan, keterpaduan, dan kepastian. Sehingga suatu masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab. Spencer adalah label yang diberikan pada model yang menekankan pada evolusi sosial, dengan kata lain perubahan sosial yang berlangsung secara pelan-pelan dan kumulatif (evolusi bukan revolusi) dan perubahan sosial itu ditentukan dari dalam (endogen bukannya eksogen).25 Namun ada pula pandangan unilinear bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran, dinamakan primitivisme, suatu pandangan yang dikemukakan oleh Wilbert Moore.
b. Pola siklus Menurut pola yang kedua, yaitu pola siklus, di mana mereka menolak apapun yang bersifat tetap, stabil, dan baku. Menurut mereka, masyarakat berkembang seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Pandangan perubahan sosial pola siklus ini dapat dilihat pada karyanya Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto. Bagi Spengler, kebudayaan tumbuh, berkembang, dan pudar laksana perjalanan gelombang. Ia mencontohkan kebudayaan-kebudayaan besar seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurutnya, kebudayaan Barat akan mengalami hal yang sama (tumbuh dan pudar). Sementara bagi Pareto, setiap masyarakat memiliki dua lapisan, yaitu: lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non elite), yang berkuasa dan yang tidak 25
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 198
berkuasa. Aristokrasi berjalan hanya dalam jangka waktu tertentu saja dan akan selalu berganti dengan aristokrasi baru yang berasal dari lapisan
bawah.
Aristokrat
yang
berupaya
mempertahankan
kekuasaannya akan digulingkan oleh lapisan bawah dengan kekerasan atau revolusi. 26 Tokoh lain yang menggagas pola siklus ini adalah Ibnu Khaldun, ia menyatakan bahwa sejarah tidak akan berakhir, sejarah akan senantiasa bergulir. Karena pada hakikatnya, sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu sendiri identik dengan peradaban dunia; tentang perubahan yang terjadi pada watak perubahan itu, seperti keliaran, keramahtamahan, dan solidaritas golongan (ashabiyah); tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaankerajaan dan Negara-negara dengan berbagai macam tingkatannya; tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan pertukangan; dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri.27 c. Pola campuran Dalam melihat perubahan yang terjadi pada masyarakat. Max Weber dan Karl Marx merupakan dua tokoh klasik yang menyinggung
26
Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h. 53. 27
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 57.
perubahan. Keduanya berapresiasi terhadap perubahan sosial secara linear sekaligus siklus. Misalnya, masyarakat komunis yang didambakan Marx hasil dari pemikiran konflik yang dikonstruknya adalah siklus perjalanan bertahap
dari
masyarakat
sebelumnya,
yaitu
feodalisme
dan
kapitalisme. Pemikiran linear dari Marx dilihat dari pandangannya bahwa perkembangan pesat kapitalisme mengakibatkan konflik antara kaum buruh dan kaum borjuis yang dimenangkan oleh kaum buruh dilanjutkan kemudian membentuk masyarakat komunis (masyarakat yang tidak mengenal pembagian kerja tetapi diganti dengan kerja sama). Menurut Marx, bahwa Negara-negara jajahan Barat akan mengalami Proses yang sama yang dialami oleh masyarakat Barat. Senada dengan Marx, Weber melihat perkembangan linear dari masyarakat searah meningkatnya rasionalitas masyarakat. Di lain pihak, Weber menyebut tiga wewenang yang ada dalam masyarakat yang akan selalu beralih (siklus). Pada saat tertentu masyarakat memiliki wewenang kharismatik dan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional, hingga wewenang rasional kemudian menjadi wewenang kharismatik lagi dan begitu seterusnya.28
C. Agama dan Perubahan Sosial 1. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial
28
Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam. h. 54.
Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganutpenganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas pada umumnya.29 Setiap agama, paling tidak memiliki terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, ritus-ritus religius, seperti shalat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman yang meliputi paling sedikit tiga aspek: concern, cognition, trust dan fear. Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa, tawakal dan takwa adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu kepada serangkaian yang menjelaskan eksistensi manusia vis-a-vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Dimensi intelektual menunjukkan tingkat pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya. Kedalaman tentang ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark sebagai consequential dimensisons adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan agama.30 Pembahasan mengenai peran agama dalam mengubah kehidupan sosial ekonomi masyarakat dibahas oleh Max Weber yang terkenal dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism, di mana prinsif agama (dalam
29
D. Hendropuspito OC, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h.
34. 30
Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, 9th ed. (Bandung: Mizan, 1998), h. 37-38.
hal ini Calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi (kapitalisme). Weber mencoba menganalisa doktrin teologis dari beberapa aliran/sekte Protestanisme, terutama Calvinisme, yang dianggapnya aliran yang paling banyak menyumbang bagi perkembangan semangat kapitalisme. Ajaran Calvin tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti, menurut Weber adalah merupakan kunci utama dalam hal menentukan sikap hidup dari para penganutnya. Takdir telah ditentukan; keselamatan diberikan Tuhan kepada orang terpilih dan berusaha untuk memerangi segala keraguan dan godaan setan, sebab ketiadaan kepercayaan, berarti kurangnya rahmat. Untuk memupuk kepercayaan pada diri itu maka manusia haruslah bekerja keras. Sebab, hanya kerja keras saja satu-satunya yang bisa menghilangkan keraguan religius dan memberikan kepestian akan rahmat.31 Menurut perspektif Weberian, dalam konteks yang berbeda-beda, agama dapat menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial. Adakalanya juga sebagai sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo. Namun, Weber juga meyakini bahwa agama secara gradual akan kehilangan signifikansi sosial sebagai konsekuensi dari rasionalisasi organisasi sosial dan ekonomi modern.32
2. Agama dalam Proses Modernisasi
31
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: T. Pn., 1978), h. 8. 32
Rusmin Tumanggor, Sosiologi dalam Perspektif Islam, h.39.
Modernisasi merupakan gejala universal. Modernisasi sering diidentikan dengan kemajuan atau evolusi. Satu fenomena yang menandai abad 20 dan terutama setelah perang dunia kedua adalah pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dalam watak dan perkembangannya menganggap dirinya otonom dan bebas dari segala ikatan, baik agama, maupun sosial. Akibatnya, tidak jarang penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi bertabrakan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam suatu agama. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan yang kini meliputi seantero segi hidup dan kehidupan umat manusia lahir dan dikembangkan di dunia Barat.33 Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih telah menggeser nilai-nilai agama yang telah ada. Ilmu pengetahuan seolah diyakini bagaikan “agama baru” yang mampu menjawab kehidupan umat manusia. Aspek metafisika yang sakral karenanya hilang dan segala sesuatu dipandang hanya secara materi belaka. Di sinilah inti modernisme yang ditolak oleh kaum tradisional,
yaitu suatu pandangan yang hanya
mempercayai materi. Segala sesuatu diukur sebatas benda yang bisa dilihat secara indrawi saja. Berbeda dengan masyarakat yang tradisional, yang memandang bahwa segala sesuatu memiliki hakikat. Hakikat itulah yang sebenarnya adalah realitas.34
33
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), h. 65. 34
Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 188.
Pada dunia modern, yang profan menempati posisi dan pengaruh yang sangat penting dan menggeser pengaruh yang sakral. Fenomena ini biasa dikenal dengan sekulerisasi. Sekulerisasi muncul pertama kali di Barat pada abad pertengahan, di mana dominasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial lain menurun. Gereja pada pada waktu itu yang sangat berkuasa, datang membawa pemikiran dan ajaran khurafat menentang akal dan rasio, mempertahankan kebekuannya melawan ilmu dan kebebasan, tampil dengan kekolotannya menghadapi kemajuan. Bersama para raja menghadapi rakyat dan bersama-sama dengan kaum feodal memusuhi kaum buruh dan mereka yang tertindas di bumi. Gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa bumi itu bulat dianggap suatu kekafiran dan keluar dari agama. Inilah faktor yang membidani lahirnya gerakan sekulerisme di Barat.35 Di dunia yang semakin modern ini, pengaruh agama diyakini Durkheim akan semakin menurun. Pengaruh agama akan diambil alih oleh penjelasan ilmiah dan kegiatan upacara keagamaan akan menempati sebagian kecil saja ruang dan waktu kehidupan seseorang. “Tuhan yang dulu telah mati” kata Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Amin Nurdin dan Ahmad Abrori. Pada masyarakat modern, bentuk alternatif agama dikenal dengan nama “civil religion” atau agama sipil yang diutarakan Durkheim. Civil
35
Dr. Yusuf Qaradhawi, Sekular Ekstrim (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 7.
religion didefinisikan sebagai sekumpulan kepercayaan dan ritual keagamaan di luar institusi keagamaan yang sudah ada. Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori Robert N Bellah mengenai civil religion sebagaimana yang dikutip oleh Dadang Kahdi. Dalam pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala yang disebutnya civil religion, suatu konsep Rossseu seperti tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Amerika Serikat, upacara-upacara dalam penerimaan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting di Amerika. Di situlah tumbuh American's Nation Self Under Standing. Menurut Bellah, civil religion adalah 'subordinasi' bangsa pada prinsif-prinsif etis yang mengatasi bangsa itu sendiri. Bellah menolak anggapan bahwa yang dimaksud dengan civil religion adalah ideologi yang memberi legitimasi cara hidup bangsa Amerika, bukan pula suatu pemujaan diri suatu bangsa.36
36
Dadang Kahdi, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 123.
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kampung Majalaya 1. Geografi dan demografi Kampung Majalaya Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur, selain dikenal dengan udaranya yang sejuk, juga sebagian wilayahnya menjadi objek wisata ritual yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah. Di sana dimakamkan seorang wali pendiri Cianjur, Rd. Aria Wira Tanu Datar, yang menjadi bupati pertama Cianjur. Batas-batas administratif Kampung Majalaya adalah: sebelah barat berbatasan dengan Desa Mekarjaya; sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukamulya; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Majalaya; dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukamulya. Kampung Majalaya memiliki luas 523.615 hektar tanah dengan fungsi yang berbeda-beda, sesuai dengan kegunaannya. Adapun tata guna lahannya adalah sebagai berikut: 110 hektar berupa sawah dengan irigasi ½ teknis; 6,205 hektar berupa sawah tadah hujan; 36,740 hektar berupa tegal/ladang; 20 hektar permukiman; 195,225 hektar tanah perkebunan milik perorangan; 13 hektar tanah pekuburan (tanah wakaf); dan 179,185 hektar luas prasarana umum lainnya.
Meskipun lahan perkebunan lebih luas dibandingkan dengan lahan pesawahan, tetapi Kampung Majalaya lebih mengandalkan pertanian sebagai penghasilan utamanya. Kantor Desa Cijagang terletak di Jalan Keramat Cikundul No. 01. Untuk memasuki Kampung Majalaya atau berziarah ke makam Dalem Cikundul sangat mudah, karena sudah memadainya sarana dan prasarana transportasi. Jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Cianjur sekitar 21 km, sedangkan dari kota kecamatan sekitar 4 km. Kampung Majalaya telah memiliki berbagai sarana transportasi dan komunikasi yang relatif memadai, antara lain: jalan yang relatif bagus dan dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, seperti truk, mobil, bahkan bis besar; sarana komunikasi dengan tiga wartel; televisi dan radio yang dimiliki oleh semua penduduk; dan adanya satu kantor pos pembantu. Air sebagai sarana paling penting untuk kehidupan manusia. Kebutuhan air bersih penduduk Majalaya diperoleh dari sumber air yang ada di daerah tersebut berupa: tujuh mata air, tujuh belas sumur gali, lima sumur pompa, 175 PAM, dan satu sungai. Untuk sarana kesehatan masyarakat terdapat sebuah puskesmas yang dilengkapi dengan ruang praktek dokter umum, rumah bersalin, dua toko obat, dan empat posyandu. Kampung Majalaya juga terkenal dengan bola volinya. Untuk memfasilitasi warganya yang gemar terhadap olah raga, terdapat lapangan sepak bola, lapangan bulu tangkis, meja ping pong dan lapangan voli.
Untuk penerangan rumah, hampir semua warga menggunakan jasa PLN untuk menerangi rumahnya. Demi terwujudnya masyarakat yang cerdas, sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah dengan wajib belajar sembilan tahun. Maka di Kampung Majalaya terdapat berbagai lembaga pendidikan: satu TK milik swasta, empat SD/Sederajat milik pemerintah, dan satu SLTP/Sederajat milik pemerintah. Akan tetapi, jika para siswa ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus keluar dari Desa Majalaya untuk bersekolah SLTA yang ada di Kecamatan Cikalong Kulon, yang jaraknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan ojek atau angkutan umum. Selain pendidikan formal, terdapat pula pendidikan formal keagamaan: satu madrasah diniyyah, yang belajarnya dari siang hari sampai sore hari, dan lima Pondok Pesantren. Selain itu, ada pula pendidikan non formal/kursus, seperti bela diri dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, jumlah lembaga tersebut digambarkan dalam tabel berikut: Tabel Lembaga Pendidikan di Majalaya No
Uraian
Volume
1.
TK/RA
1
2.
Madrasah Ibtidaiyah
1
3.
SDN/Sederajat
4
4.
SLTP/Sederajat
1
Jumlah
Keterangan
7
Kampung Majalaya mempunyai penduduk sebanyak 4.609 jiwa, yang terdiri dari 2.333 penduduk laki-laki dan 2.276 penduduk perempuan. Dengan
kepadatan penduduk 27 orang per km2. Sementara itu, jumlah kepala keluarga terdapat 1.201 orang. 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya Pada
umumnya
mayoritas
penduduk
masyarakat
Majalaya
bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani, sebagaimana data yang diambil dari monografi desa Cijagang sebagai berikut: 60 orang sebagai petani, 1.126 orang sebagai buruh tani, 59 orang sebagai PNS, 60 orang sebagai pedagang, tiga orang sebagai montir, dua orang sebagai TNI, satu orang sebagai POLRI, 26 orang sebagai pensiunan TNI/POLRI/ABRI, enam orang sebagai dukun kampung terlatih, empat orang sebagai tukang jahit, tiga orang sebagai tukang cukur, dua orang sebagai tukang service elektronik, tiga orang sebagai tukang gali sumur, lima orang sebagai tukang pijat dan urut, satu orang sebagai dokter, empat orang sebagai paramedis, dua orang sebagai bidan, empat orang sebagai perawat, dan 50 orang sebagai tukang ojek. Untuk lebih jelasnya, digambarkan dalam tabel berikut: Tabel Profesi Penduduk Majalaya No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan Petani Buruh Tani PNS Pedagang Montir TNI POLRI Dukun Kampung Jumlah
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 618 orang 32 orang 830 orang 295 orang 32 orang 27 orang 60 orang 60 orang 3 orang 2 orang 1 orang 3 orang 3 orang 1549 417
Jika ditelusuri lebih jauh mengenai mata pencaharian penduduk Majalaya, ada sebagian penduduk yang bekerja dalam dua bidang profesi sekaligus, misalnya sebagai penjaga makam dan tukang parkir (petugas K.5). Di sepanjang jalan menuju makam Dalem Cikundul, banyak ditemui warga yang memanfaatkan lahan atau rumah yang dijadikan tempat usaha, seperti warung atau pun toko. Sehingga pengunjung/peziarah tidak perlu khawatir merasa kehausan atau kelaparan ketika berada di tempat ziarah. Bahkan, saat malam tiba, kadang masih ada warung yang buka hingga larut malam, apalagi pada malam jumat kliwon di bulan Mulud dan Rajab. Ramainya pengunjung tidak hanya pada malam jumat kliwon di bulan Mulud atau Rajab saja, tapi pada bulan-bulan biasa pun kadang masih ramai. Keramaian pengunjung bisa dilihat pada hari minggu dan malam jumat. Kesibukan masyarakat setempat nampak pada waktu-waktu tersebut. Namun, pada hari-hari biasa, banyak warung yang tutup dan suasana pun semakin sepi, meski ada satu atau dua pengunjung yang datang. 3. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya Mayoritas Penduduk Majalaya beragama Islam, meskipun ada sebagian yang beragama Katolik. Untuk sarana peribadatan, tersedia lima mesjid dan 26 langgar/surau. Dalam kehidupan sehari-hari, penduduk berupaya taat dalam menjalankan syariat agama. Ketaatan penduduk dalam menjalankan aktifitas keagamaan bisa dilihat dengan diadakannya pengajian rutin setiap hari, yakni ba’da Ashar, yang dilakukan bergilir di setiap RT. Pun, apabila ada hari-hari besar keagamaan seperti Mulud, Rajab atau pun tahun
baru Islam, Remaja Mesjid selalu memperingatinya dengan melakukan berbagai acara, seperti Muludan, Rajaban, Tabligh Akbar maupun khitanan massal. Mauludan atau Rajaban ini biasanya diisi dengan acara pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an, sambutan dari panitia, ceramah yang diisi oleh kiayi/ustadz yang ditokohkan oleh masyarakat setempat, dan terakhir ditutup dengan doa. Puncak peringatan Mauludan atau Rajaban biasanya diadakan di makam Dalem Cikundul, dengan konsep acara yang sama. Namun, kiayi/ustadz yang menjadi pembicara biasanya diundang dari luar daerah, seperti Bandung, Sukabumi, Cianjur kota dan sekitarnya.
B. Makam Dalem Cikundul 1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul Pada tahun 1529, dalam rangka penyebaran agama Islam, Talaga direbut oleh Cirebon dari negara Pajajaran. Sejak itu kebanyakan rakyatnya masuk agama Islam, tetapi raja-raja Talaga masih tetap menganut agama lama, yakni Hindu. Urutan raja Talaga adalah sebagai berikut: a. Prabu Siliwangi b. Mundingsari c. Mundingsari Leutik d. Pucuk Umum e. Sunan Parung Gangsa f. Sunan Wanapri g. Sunan Ciburang
Sunan Ciburang mempunyai putera bernama Aria Wangsa Goparana. Dengan demikian Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan (generasi) ketujuh dari Prabu Siliwangi terakhir. Aria Wangsa Goparana merupakan orang pertama yang masuk agama Islam. Oleh karena masuk agama Islam ini tidak direstui oleh orang tuanya, maka terpaksa Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga dan pergi menuju Sagaraherang. Di sini Aria Wangsa Goparana mendirikan Nagari (Sansk = Desa, Bld = negorij). Di Sagaraherang Aria Wangsa Goparana mendirikan pesantren dan menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Aria Wangsa Goparana wafat pada akhir abad ke-17 dan dimakamkan di Kampung Nangkabeurit, Kecamatan Sagaraherang, Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta. Putera-puterinya adalah: (1) Djayasasana, (2) Wiradiwangsa, (3) Candramanggala, (4) Santaaan Kumbang, (5) Yudanagara, (6) Nawing Candradirana, (7) Santaan Yudanagara, dan (8) Nyi Murti. Aria Wangsa Goparana menurunkan para bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wira Tanu Datar serta para keturunannya. 37 Diantara putranya yang paling terkenal adalah Rd. Aria Wira Tanu yang nama kecilnya adalah Djayasasana. Sejak masa mudanya Djayasasana sangat takwa kepada Allah swt., tekun memperdalam agama, dan rajin bertapa Setelah dewasa, Jayasasana meninggalkan Sagaraherang yang diikuti oleh sejumlah rakyat, lalu bermukim
37
Bayu Suryaningrat, Memperingati Har Jadi Cianjur Ke-306 (Bandung: Tpn, 1982), h. 7-8.
di Cijagang. Rakyatnya bertempat tinggal terpencar, yang umumnya di pinggir berbagai kali. Rd. Djayasasana sendiri bertempat tinggal di Cikundul. Oleh karena itu, sub-nagari Cikundul menjadi ibunagari dari seluruh sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680, keseluruhan sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana ini disebut Cianjur. Pada tahun kurang lebih 1652 rakyat Djayasasana tersebut di atas pernah dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, yang diantaranya 200 orang diperintah oleh Mataram, selebihnya oleh Rd. Djayasasana sendiri, untuk menjaga batas Barat. Sejak saat itu, Rd. Djayasasana Aria Wira Tanu (Wira Tanu = senapati). Rakyatnya adalah orang merupakan satu kesatuan masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kolonisasi rakyat Wira Tanu terjadi sebelum tahun 1652 dari Sagaraherang ke Cikundul dan sekitarnya. Pada saat yang bersamaan, banyaknya rakyat Wira Tanu, yang pada 1652 sudah ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, tentunya sudah bertambah dan cukup banyak untuk satu padaleman atau kabupatian. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Wira Tanu sebagai “regent” dan yang dimaksud dengan “negorye” Cianjur tidak lain dari pada kabupatian Cianjur, karena wilayah kekuasaan “regent” dinamakan “regenschap”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
padaleman atau kabupatian Cianjur lahir atas prakarsa sendiri pada tahun 1677, pada saat kekuasaan “de facto’ atas daerah cianjur khususnya dan sebelah Barat Citarum umumnya, ada pada daerah yang bersangkutan. Jadi, Cianjur adalah merdeka secara “de facto”. Rd. Aria Wira Tanu, yang dimakamkan di Cikundul, disebut “Dalem” Cikundul. Aria Wira Tanu adalah Dalem, atau bupati pertama dan penghabisan dari Cianjur yang merdeka secara “de facto” R. Wira Tanu wafat tahun 1633 dimakamkan di Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Sekarang banyak orang yang berziarah ke makam beliau. Makam tersebut diberi nama “Dalem Cikundul”. Beliaulah yang paling populer di antara anak cucu keturunan R. Wangsa Goparana. 2. Sakralitas makam Dalem Cikundul Pensakralan terhadap makam Dalem Cikundul bersumber dari Kharisma yang dimiliki R. Wira Tanu. Dulu, pada saat Dalem Cikundul dilahirkan, banyak kejadian-kejadian yang menandai kelahirannya. Di antara ciri-ciri yang dimiliki oleh Dalem Cikundul: a. Dalam penuturan sebagian penduduk: saat sang bayi lahir, diketahui oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (kini termasuk Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) bahwa jari telunjuk dan jari tengah sang bayi sama tinggi dan sama besarnya. Menurut terkaan si kakek, sang bayi inilah yang besok akan menjadi raja Sunda.
b. Pangeran Jaya Lalana/Jaya Sasana/R. Dalem Cikundul sejak burey (anak sekitar umur tiga tahun) mempunyai kegemaran naik ke bukit dan menghadap ke arah kiblat, dengan seolah-olah merenung serta menerawang. Banyak penduduk mengetahui bahwa sang burey itu mempunyai indera yang tajam luar biasa, terutama pendengaran, penglihatan, perabaan, dan gaung suara yang berat (sekali pun berisik, tapi masih dapat didengar oleh orang yang dipanggil). c. Beberapa minggu sebelum sang jabang bayi dilahirkan, di langit sebelah tenggara muncul bintang kemukus yang berwarna kuning keemasan, dengan ekornya menunjuk ke arah kiblat. Kemudian, begitu sang jabang bayi lahir dengan selamat, tanpa disadari bintang kemukus tersebut hilang dari pandangan. d. Nama Sagalaherang bukan dari kata “Sagara dan Herang”, melainkan dari sebuah kondisi: yakni begitu adzan berkumandang tanda syukur atas lahirnya seorang jabang bayi, yang kemudian diberi nama Pangerana Jaya Lalana, terdengar oleh rakyat di daerah Dayeuh Kolot dan Cibodas yang secara naluriah tahu bahwa sang jabang bayi putranda dari Kiyai Aria Wangsa Gofarana telah lahir. Sehingga, secara serentak segala tabuh-tabuhan di Mesjid, Musholla, gardu-gardu, kentongan-kentongan antarkampung, ditalu dengan gemuruh. Pelita dipasang di segala tempat, jalan-jalan, tempat-tempat pemandian dan tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ke tempat
pekuburan rakyat/desa. Maka, muncullah sebutan “Sagalaherang”, yang artinya: segalanya bercahaya terang benderang.
BAB IV MAKAM DALEM CIKUNDUL DAN PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Jika dilihat secara kasat mata, makam Dalem Cikundul nampak sama dengan makam-makam lainnya yang ada di sana. Namun, kharisma yang dimiliki oleh R. Aria Wira Tanu, atau lebih dikenal dengan Dalem Cikundul (penghuni makam tersebut), bagi penduduk nampak berbeda. Perjuangan dan jasa-jasa yang telah diberikannya membuat orang di sekitarnya, atau yang mengenalnya dari sejarah, menganggap bahwa beliau adalah orang suci yang dekat dengan Allah swt. dan bisa memberikan karomah bagi siapa saja yang mendoakannya. Meskipun dunia sudah semakin modern dan teknologi berkembang begitu pesat, penghormatan dan pengeramatan terhadap Dalem Cikundul masih berlangsung hingga saat ini. Kehadiran atau keberadaan makam Dalem Cikundul yang dikeramatkan tersebut selalu dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai kota, baik dari dalam kota maupun luar kota, bahkan dari luar negeri sekali pun. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan makam ini cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan masyarakat yang berada di lingkungan makam tersebut. Pengaruh tersebut dapat bersifat negatif maupun positif. Sisi positif yang bisa diambil dari keberadaan makam tersebut adalah dalam segi ekonomi. Dengan adanya makam, otomatis akan banyak peziarah yang datang. Kedatangan peziarah membuat masyarakat berpikir kreatif untuk
melakukan perdagangan demi menunjang hidupnya. Selain itu, para pemuda dapat memanfaatkan lahan kosong yang bisa dijadikan tempat parkir, lalu mereka bisa berkontribusi sebagai petugas parkir. Akan tetapi, kita patut prihatin akan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh keberadaan makam tersebut. Misalnya, ada orang yang lebih percaya kepada makam dan menyalahartikan maksud dan tujuan berziarah. Hal itu menimbulkan pengikisan akidah umat. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, banyak informasi yang penulis dapatkan di sana. Salah satunya adalah bahwa ternyata keberadaan makam Dalem Cikundul dapat memberikan keberkahan pada masyarakat di sekitar makam maupun pada peziarah. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hasil penelitian yang penulis lakukan, di bawah ini penulis akan memaparkan hasil penelitian mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat sekitar makam Dalem Cikundul dengan melihat kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.
Perubahan Kehidupan Sosial A. Perubahan sosial yang terjadi sebelum tahun 1990 1. Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak akan ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Laju pertumbuhan terus berkembang; perubahan akan terus dan terus terjadi seiring dengan generasi-generasi baru yang terus bermunculan. Begitupun dengan masyarakat. Masyarakat selalu dinamis, tidak statis. Masyarakat di mana pun pasti akan mengalami perubahan-perubahan. Namun, perubahan itu ada yang cepat, ada juga yang lambat. Seperti halnya
masyarakat yang berada di sekitar makam Dalem Cikundul, mereka senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu, sebelum memasuki tahun 1990 atau lebih tepatnya tahun 1970-an, lokasi di sekitar makam tidak sepadat sekarang: daerahnya masih berupa hutan; belum banyak penduduk yang tinggal di sana; dan rumah-rumah pun masih jarang. Tidak hanya itu, yang berjualan di sana tidak begitu banyak; kurang lebih ada sembilan atau sepuluh pedagang. Seperti yang dituturkan oleh pak TW: ”.....kapungkur mah nya neng didieu masih hutan keneh, teu acan aya bumi-bumi cara ayeuna, bapak ge kapungkur mah teu didieu, tapi dipalih kulon cakeut mimih, terang teu? Anu dagang ge henteu rame cara ayeuna, paling ge aya meureun salapan atawa sapuluh jongko, eta mun teu salah mah tahun 1970-an, tapi ayeuna mah tos rame.....”38 (“dulu mah ya neng di sini masih hutan, belum ada rumah-rumah seperti sekarang, bapak aja dulu tidak tinggal di sini, tapi di sebelah barat dekat rumah Mimih, tau engga? Yang dagang juga tidak seramai sekarang, paling Cuma sembilan atau sepuluh jongko, itu kalo engga salah mah tahun 1970-an, tapi sekarang mah udah rame”) Pada tahun 1990-an, yang bertepatan dengan pemerintahan Orde baru, di mana pembangunan terus digalakkan, masyarakat merasakan kesejahteraan dan ketentraman. Pada masa inilah kedatangan peziarah membludak. Namun, bukan berarti sebelumnya tidak ada peziarah. Akan tetapi, puncaknya peziarah yang datang terjadi pada masa Orde Baru atau sekitar tahun 1990-an. Tabel I. Perubahan Jumlah Peziarah dari Tahun ke Tahun
38
Tahun
Jumlah Peziarah
1990
184.329 orang
1991
230.611 orang
Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari 2009.
1992
236.980 orang
1993
253.441 orang
1994
307.245 orang
1995
329.078 orang
1996
401.077 orang
1997
438.743 orang
1998
350.526 orang
1999
371.538 orang
2000
296.501 orang
2001
270.017 orang
2002
297.615 orang
2003
257.779 orang
2004
238.040 orang
2005
237.779 orang
2006
276.076 orang
2007
178.571 orang Sumber: data diambil dari pendaftar pengunjung
Banyaknya peziarah yang datang biasanya pada bulan-bulan tertentu saja, seperti pada bulan Mulud dan Rajab, apalagi jika Kliwon. Pada jumat Kliwon di bulan Mulud atau Rajab, peziarah yang datang begitu banyak, hingga memadati perkampungan warga. Bahkan, peziarah yang datang membawa kendaraan tidak bisa parkir di sana, mereka harus memarkir kendaraannya di dekat rumah-rumah penduduk sehingga untuk menuju ke makam mereka harus rela berjalan kaki. Hal itu terjadi karena sarana parkir kurang memadai. Seperti apa yang diungkapkan oleh mang UF, penjaga tol masuk: ”....emang kangtos rame pisan, itu tuh nuju zamanna pak Harto, kuncenna masih keneh mang Tarya, anu ziarah seueur, nu ziarah ge sampe kudu jalan kaki sagala, soalna mobilna teu tiasa leubeut, nya kan lapangan
parkirna ge kur aya anu aya dijero wungkul teu acan aya anu didieu.....”39 (“memang sempet rame banget, itu tuh waktu zaman pak Harto, kuncennya masih mang Tarya, yang ziarah banyak mereka sampai harus jalan kaki, soalnya mobilnya engga bisa masuk, ya karena lapangan parkirnya Cuma yang di dalam doang yang belakang belum ada”) Hal senada pun diungkapkan oleh ID (petugas parkir/K. 5), ”enya kapungkur mah sarana parkirna kurang jadi anu parkir ngamankeunna agak hese,”40 (“iya dulu sarana parkirnya kurang jadi kita-kita yang parkir ngamaninnya agak susah”) Peziarah yang datang terdiri dari berbagai daerah, tidak hanya dari dalam kota saja melainkan dari luar kota bahkan luar negeri yang pernah datang, umunya mereka hanya berwisata saja dan menikmati keindahan pemandangannya. Tidak hanya itu, pejabat daerah dan kru TV pun pernah datang ke makam Dalem Cikundul. Tabel II. Data Instansi yang Pernah Datang No.
Instansi yang Pernah Datang
1
Kapolda Jawa Tengah
2
Pangdam III Siliwangi
3
Rektor IPB Bogor
4
Rektor Jayabaya
5
Gubernur LEMHANAS
6
DAN REM OGI SK
7
DANDIM 1018 Cianjur
8
Bupati Cianjur
9
KAJARI Cianjur
10
Mentri Kehutanan RI
11
Wakil Gubernur Jawa Barat
39
Wawancara pribadi dengan mang UF, Cijagang, 21 januari 2009.
40
Wawancara ribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari 2009.
12
Anggota DPR Cianjur
13
Kapolres Cianjur
14
Crew TV-Jkt
15
Crew TVRI
16
Crew Trans TV Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung
Tabel III. Data Warga Negara yang Pernah Datang No.
Nama negara
Jumlah orang
1
Austria
1 orang
2
Australia
8 orang
3
Brunei
41 orang
4
Belanda
12 orang
5
Kanada
1 orang
6
India
1 orang
7
Inggris
2 orang
8
Jepang
3 orang
9
London
1 orang
10
Malaysia
23 orang
11
Perancis
2 orang
12
Singapura
10 orang
13
Swedia
2 orang
14
Thailand
6 orang
15
Swiss
1 orang
16
Turki
1 orang
17
USA 1 orang Sumber: data diambil dari pendaftaran pengunjung
Manusia memiliki garis hidup yang beragam; tidak semua orang memiliki nasib yang sama. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Di tempat ziarah mana pun, selalu ada orang-orang fakir miskin yang mengais rezeki dari belas kasih orang lain. Begitu pula yang terjadi di makam Dalem Cikundul.
Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terus terjadi. Perubahan tidak hanya terjadi di masyarakat pedagang atau pun para peziarah yang datang dan terus berkembang. Perubahan yang cukup signifikan terjadi dalam kepengurusan makam. Dulu, sebelum negara ini melakukan reformasi, makam Dalem Cikundul dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul, tapi sekarang, setelah reformasi, makam Dalem Cikundul di bawah naungan Desa. Perubahan sosial yang terjadi setelah tahun 1990 2. Seperti sudah disinggung sebelumnya, banyaknya peziarah yang datang terjadi sekitar tahun 1990-an. Lain halnya ketika memasuki tahun 2000. Jumlah pengunjung/peziarah semakin menurun dari tahun ke tahun. Reformasi menandai babak baru pemerintahan Indonesia. Krisis moneter yang melanda bangsa ini berpengaruh kepada semua lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat desa, tidak terkecuali masyarakat Makam Dalem Cikundul. Meskipun krisis dan jumlah pengunjung semakin menurun, tapi hal itu tidak mematahkan semangat para pedagang untuk tetap berjualan. Jumlah pedagang malah semakin bertambah yang tadinya 30 orang menjadi 60 orang lebih. Seperti apa yang dituturkan oleh ID (petugas K.5/parkir), “......abdi kirang terang pami tahun 1990-an mah, tapi mun teu lepat anu dagang didieu kurang leuwih kapungkur mah aya 30 urangan, tapi ayeuna tos aya 60 urang leuwih meureun, eta teh teu acan anu dagang asongan seperti tukang keresek, tukang bakso, tukang bubur sareng nu sanesna, mun di itung-itung aya meureun 70 urangan mah......”41 (“saya kurang tau percis kalo tahun 1990-an, tapi sepengetahuan saya yang dagang di 41
Wawancara pribadi dengan ID, Cijagang, 21 Januari, 2009.
sini kurang lebih dulu ada 30 oranglah, tapi sekarang udah ada kali 60 orang lebih mah, itu belum termasuk yang dagang asongan, tukang kresek, tukang bakso dan lainnya, mungkin kalo di itung-itung ada 70-an orang lebih mah”) Para pedagang yang masih juga berjualan meskipun sepi adalah Ibu NN dan Ibu NE, berikut penuturannya: “Biasana ge dagang teh tiap hari tara pernah tutup cara ayeuna ning, bari sepi ge da nu meser mah aya wae.”42 (“biasanya juga dagang tiap hari engga pernah tutup seperti sekarang, walaupun sepi yang beli mah ada aja”) “.....warung buka tiap hari tapi ayeuna mah sepi neng, tapi warung mah tetep buka, nu meser paling urang dieu wungkul, tutup paling jam salapan weungi tapi mun masih rame kadang dugikeun ka jam sapuluh.....”43 (“warung buka tiap hari tapi sekarang mah sepi neng, tapi warung mah tetep buka yang beli paling orang-orang sini aja, tutup paling jam sembilan malam tapi kalo masih rame kadang nyampe jam sepuluh”) Tapi lain halnya yang dilakukan oleh Bapak TW, warungnya buka kalau rame saja, berikut penuturannya, “Tapi ayeuna mah karena sepi jadi dagangna ngan pas rame wungkul, cara ayeuna sepi jadi tutup we.”44 (“kalo dulu jualannya tiap hari sampe 24 jam kali, tapi sekarang karena sepi jadi buka pas rame aja kayak sekarang sepi jadi tutup aja”) Berkurangnya pengunjung tidak mengurangi jumlah peminta-minta, justru semakin banyak, walaupun mereka minta-minta Cuma waktu-waktu tertentu saja. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu YY, “abdi nyuhunkeun di dieu pas hari-hari tertentu wungkul, lamun rame karek kadieu, lamun teu
42
Wawancara pribadi dengan Ibu NE, Cijagang, 20 Januari, 2009.
43
Wawancara pribadi dengan Ibu NN, Cijagang, 19 Januari, 2009.
44
Wawancara pribadi dengan Bapak TW, Cijagang, 20 Januari, 2009.
rame mah tara kadieu.”45 (“saya minta di sini pas hari-hari tertentu saja, kalo rame baru kesini kalo engga rame mah engga pernah ke sini”) Dari pertama jalan memasuki makam akan nampak pemandangan yang memprihatinkan, potret tempat ziarah. Peziarah akan menemui para pemintaminta dari beragam usia, mulai dari anak-anak, remaja bahkan orang tua. Ketika kita menaiki anak tangga, para peminta-minta berjejer bahkan di samping gerbang kuburan banyak peminta-minta yang memasang alat dari botol bekas aqua yang diikatkan pada bambu sebagai alat untuk memudahkan para dermawan untuk memberikan sebagian rezekinya. Selain itu, kepengurusan makam yang awalnya dikelola oleh yayasan kini beralih dikelola oleh desa. Sejak reformasi bergulir di DPR, kepengurusan makam pun mengalami reformasi. Ada kecemburuan sosial yang terjadi pada sebagian masyarakat, sehingga mereka meminta supaya dilakukan reformasi pada kepengurusan makam. Hal tersebut seperti apa yang dituturkan oleh Pak AS selaku kuncen (juru kunci) di sana, “....perubahan yang terjadi sejak reformasi, karena ada kecemburuan sosial pada sebagian masyarakat, sehingga terjadilah perubahan-perubahan, makam yang tadinya dikelola oleh yayasan sekarang dikelola oleh desa.....”46
Hal senada juga diungkapkan oleh Bapak EW, “Kapungkur mah dikelola ku Yayasan Wargi Cikundul tapi saatos tahun 1998 dikelola ku desa.” (“dulu dikelola oleh yayasan Wargi Cikundul tapi sejak tahun 1998 dikelola oleh desa”) 45
46
Wawancara pribadi dengan Ibu YY, Cijagang, 19 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak AS, Cijagang, 25 Januari 2009.
Kemudian, perubahan yang cukup menonjol adalah keterlibatan ketua RT tiap-tiap ke Rt-an yang dilibatkan untuk menjadi juru kunci (kuncen).
Perubahan Kehidupan Ekonomi B. Komersialisasi Makam 1. Dalam perkembangan kehidupan ekonomi masyarakat, keberadaan makam keramat Dalem Cikundul telah banyak memberikan keberkahan kepada masyarakat sekitarnya. Apalagi dalam hal ekonomi. Masyarakat tidak lagi mengandalkan pekerjaan hanya dalam sektor pertanian saja, melainkan bertambah ke dalam sektor perdagangan. Kejelian masyarakat dalam melihat potensi yang dimiliki untuk melakukan perdagangan telah turut serta dalam menambah income untuk desa atau pemerintah daerah. Para pedagang yang menempati warung (jongko) tetap atau permanen harus membayar infak kepada desa. Besarnya tergantung tempatnya. Jika warung (jongko) yang berada di depan sebelum memasuki makam infaknya sebesar Rp. 10.000 perbulan. Sedangkan warung (jongko) yang di bawah dekat makam infaknya Rp. 30.000 perbulan. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Ibu NN. “....artos anu dihasilkeun biasana mah di anggo kanggo sewa tempat/infak Rp. 30.000 sasasih, soalna tanah nu di anggo tanah wakaf, teras kanggo meser barang dagangan anu tos seep, dagang pan aya sepina tara angeur, jadi kedah pinter-pinter urang, lamun penghasilan langkung ageung, biasana dimanfaatkeun kanggo meser barang-barang anu tos seep......” (“uang yang dihasilkan biasanya dipakai untuk sewa tempat/infak Rp. 30.000 sebulan, soalnya tanah yang dipakai adalah tanah wakaf, terus untuk beli barang dagangan yang sudah habis, dagangkan ada sepinya tidak pernah sama, jadi gimana pinter-pinter kita, kalo penghasilan lebih besar biasanya dimanfaatkan untuk membeli barang-barang yang telah habis”)
Begitupun yang dilakukan oleh Ibu NE, berikut penuturannya, “.....artosna nya kanggo emam sadidinteun, kadang incu sok nyuhunkeun ongkos jang sakola kadieu, soalna indung bapakna mah jarang masihan acis, kanggo, kredit elektronik seperti TV, Rice Cooker, sareng kanggo sewa jongko Rp. 10.000 sasasih.......” (“uangnya ya buat makan sehari-hari, kadang cucu suka minta ongkos tuk sekolah kesini, soalnya orang tuanya jarang ngasih uang, buat kredit elektronik kayak TV, Rice cooker, sama buat sewa jongko Rp. 10.000 sebulan”) Di samping itu, adanya objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul memberikan banyak perubahan bagi pembangunan makam, terbukti dengan dibangunnya mesjid, memperbaiki jalan yang telah rusak, dan lain-lain. Bahkan setiap tahunnya, objek wisata ziarah makam Dalem Cikundul memberikan income buat desa sebesar Rp. 17 juta tiap tahunnya. Selain itu, sebelum para peziarah memasuki makam Dalem Cikundul, mereka harus melalui gerbang masuk terlebih dahulu, dengan membayar tiket masuk yang ketentuannya sudah diatur oleh Perda No. 11 tahun 2005. Adapun ketentuan yang berlaku adalah sebagai berikut: untuk satu orang Rp. 1000, untuk sepeda motor Rp. 1000, untuk Bis Rp. 2.500, dan untuk sedan, colt, truck dan sebagainya Rp. 1.500. uang-uang tersebut disetorkan ke Pemda setiap dua minggu sekali dengan besar penghasilan 60% masuk ke kas desa, 40% masuk ke kas Pemda. Sedangkan jika di lapangan, peziarah yang hendak memarkirkan kendaraannya harus mematuhi peraturan yang ada. Mereka harus membayar uang K5 (kebersihan, keindahan, kenyamanan, keamanan, dan ketertiban) atau parkir, besarnya: untuk mobil Rp. 5000, untuk Colt Rp. 10.000, untuk Bis Rp. 20.000, dan untuk Motor Rp. 1000. untuk hak kelola K5 atau parkir tersebut
diserahkan kepada Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan atas SK dari Kepala Desa. Dalam Karang Taruna terdapat berbagai divisi salah satunya yaitu K5 atau parkir. Dalam K5 atau parkir tersebut dibagi kedalam 9 group yang terdiri dari 7 orang. Biasanya uang dari hasil K5 atau parkir diberikan ke kas Karang Taruna sebesar Rp. 7000 perminggu, selebihnya dibagi rata kepada yang bertugas saat itu, yang dikoordinir oleh ketua group masing-masing. Hal ini seperti apa yang dituturkan oleh KK selaku ketua Karang Taruna. “.....sebenarnya sih petugas K5 atau kasarnya mah tukang parkir bukan seutuhnya pengangguran, karena mereka juga bekerja serabutan, ada yang jadi tukang ojek, ada yang suka ke pasir nyari kayu, ada yang ngajar dan lainnya, jadi tukang parkir hanyalah sampingan sajalah, lumayan atu kanggo nambah penghasilan. Sesepi-sepinya masih tetep dapat uang walaupun Cuma Rp.5000. dan yang jadi tukang parkir adalah anggota Karang Taruna, usianya sekitar 25 s/d 40 tahun.. karena gini, kita udah dikasih kepercayaan oleh Kepala Desa untuk bertanggung jawab dalam mengelola parkir dan itu ada Sk nya. Di Karang Taruna sendiri yang bertugas menjadi petugas K5 terdiri dari 9 group, satu group terdiri dari 7 orang dan mereka bekerja di roling, mereka bekerja setiap hari selama 24 jam, mereka di tempat-tempat yang sudah disepakati, memang kelihatannya mereka engga ada, padahal mereka ada, biasanya mereka bersembunyi di warung-warung. Penghasilan yang didapatkan terserah group mereka mau digimanain tapi yang jelas mereka harus ngasih ke kas Karang Taruna pergroup sebesar Rp. 7000 perminggunya. Kalo lagi sepi, kita pake sistem ngutang, kayak gini di saat sepi mereka engga bayar tapi aklo lagi rame mereka bayar double, karena engga mungkinkan sepei terus, pasti ada ramenya, uang yang Rp. 7000 itu untuk kemajuan Karang Taruna....”47 Ekonomi sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Jenis pekerjaan apapun akan dilakukan demi bisa survive hidup di dunia. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa mereka harus bekerja. Salah satunya karena agama, sebagaimana yang dibahas oleh Max Weber, di mana
47
Wawancara pribadi dengan KK, Cijagang, 26 Januari 2009.
prinsif agama (dalam hal ini calvinis) sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi (kapitalisme). Namun, di lapangan penulis tidak menemukan hal tersebut. Dari beberapa responden yang diteliti, mereka mengatakan motivasi mereka bekerja adalah faktor kebutuhan. Sebagaimana yang dituturkan oleh EW, “.....motivasi saya mau menjadi kuncen (juru kunci) itu karena: pertama, kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa saya memiliki kelebihan yaitu ilmu. kedua, karena ibadah. Dan yang ketiga ya karena materi, saya tidak memungkiri bahwa saya butuh materi untuk bertahan hidup, da urang mah sanes banceuy ( kita mah bukan banceuy)......” Hal tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh Ibu NE, “abdi mah dagangn nya karena butuh” (saya dagang ya karena saya butuh). Begitupun yang diungkapkan oleh mang UF, “abdi mah damel didieu teh da butuh mun teu aya padamelan anu sanes mah hoyong ngalih tapi zaman ayeuna milari damel teh da ninganan susah.” (“saya kerja di sini karena butuh kalo ada pekerjaan lain, pengen pindah tapi zaman sekarang nyari kerja susah”) 2. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah Pada hakekatnya berziarah ke makam adalah untuk menyadarkan manusia bahwa hidup di dunia hanya sementara, suatu saat kita juga akan menjadi bagian dari penghuni makam tersebut. Orang yang berziarah ke makam pada umumnya telah mengetahui siapa sebenarnya orang yang menghuni makam tersebut. Informasi itu bisa didapatkan dari keluarga atau pun tetangga. Seperti yang terjadi pada Ibu MA yang mengetahui makam
Dalem Cikundul dari keluarganya. Para peziarah yang datang ada yang bersama rombongan maupun datang sendiri-sendiri. Kedatangan peziarah sangat dinantikan para pedagang. Karena dari kedatangan merekalah sumber penghasilan didapat. Dagangan yang biasa ditemui di sana adalah berbagai jenis makanan khas seperti manisan ceremai, manisan malaka, lantak goreng, manisan belimbing, puruy, sale dan lain-lain. Terdapat pula pernak-pernik seperti tasbih, mainan anak-anak, aksesoris, dan lain-lain. Selain itu, warung nasi dan makanan-makanan ringan pun tersedia di sana. Tumbuh
dan
berkembangnya
para
peziarah
memang
bisa
meningkatkan taraf hidup masyarakat walaupun tidak banyak. Setidaknya masyarakat bisa bertahan hidup di tengah masyarakat yang dilanda krisis. Namun, akhir-akhir ini jumlah peziarah semakin menurun dan itu berpengaruh terhadap penghasilan para pedagang maupun orang-orang yang mengandalkan hidup dari para peziarah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ibu NN, berikut penuturannya, “.....ayeuna mah sepi paling kengeng ngan ukur Rp. 30 ribu atawa 40 ribu sadinten, lamun rame paling Rp. 200-300 ribu sawengi tara pernah langkung, tapi pernah waktu zaman pak Harto, kengeng ageung sampe kapeser emas renceum kenca katuhu, tapi saatos krismon bujeng-bujeng kengeng sakitu sareng deuih nu ziarah teh ayeuna mah sok nyarandak bekel nyalira paling kadieu mah meser rencangna wungkul......” (“sekarang mah sepi paling dapet Cuma Rp. 30 ribu atau 40 ribu sehari, kalo rame paling Cuma Rp. 200 ribu semalam engga pernah lebih, tapi pernah waktu zaman Pak Harto, penghasilan besar sampe bisa beli emas gelang kiri kanan, tapi setelah krismon boro-boro dapet segitu dan lagi yang ziarah sekarang suka bawa makan sendiri kesini Cuma beli lauknya doang”)
Tidak hanya Ibu NN yang merasakan hal tersebut tapi yang lainnya juga merasakan hal tersebut. Karena sumber keuangan berada pada kedatangan para peziarah. Ibu NE pun mengalami hal yang sama, berikut penuturannya, “....penghasilan teu tangtos, kadang kengeng 300 ribu, komo mun sepi paling kengeng 30 ribu atawa 50 ribu, kadang-kadang teu kengeng sama sakali, tapi pernah sakali kengeng sajuta sawengi, bulan mulud jum’at kliwon mun teu salah mah, tapi waktu zaman pak Harto......” (“penghasilan engga tentu kadang dapet 300 ribu, apalagi kalo sepi paling dapet 30 ribu atau 50 ribu, kadang-kadang engga dapet sama sekal, tapi pernah sekali dapet satu juta semalem, bulan mulud jum’at kliwon kalo engga salah, tapi waktu zaman pak Harto”) Tapi lain halnya yang dirasakan oleh bapak AS dan Ibu YY, menurut mereka banyaknya peziarah tidak berpengaruh terhadap penghasilan mereka, berikut penuturannya. Menurut Ibu YY, “Teu ngaruh-ngaruh teuing sih, soalna pernah keur rame malah teu meunang acis sama sekali” (“tidak berpengaruh banget sih, soalnya, waktu rame malah tidak dapat uang sama sekali”), sedangkan menurut bapak AS, “ka bapak mah teu ngaruh soalna bapak jadi kuncen teh dah penghormatan ka bapak karena dipinta ku desa, lagian bapak mah niatna ge ibadah” (“buat bapak tidak berpengaruh, soalnya, bapak jadi kuncen sebagai penghormatan karena dipinta oleh desa, lagi pula bapak mah niatnya juga ibadah”)
Perubahan Kehidupan Keagamaan C. Penulis membatasi perubahan keagamaan di sini pada kepercayaan terhadap yang sakral (atau yang gaib) dan ritual (atau kegiatan keagamaan). 1. Kepercayaan kepada yang sakral atau yang gaib
Yang dimaksud dengan kepercayaan kepada yang sakral atau yang gaib di sini adalah kepercayaan terhadap ruh. Ruh merupakan perkara gaib, yang tidak bisa diraba oleh tangan, dilihat oleh mata, dan dijangkau oleh akal. Namun, umat muslim mempercayai dan mengimani akan eksistensinya. Dalam dunia yang semakin modern ini, di mana teknologi semakin canggih, dan temuan-temuan baru semakin bermunculan, kepercayaan masyarakat terhadap yang sakral atau yang gaib tidak berubah. Penulis melihat tidak ada perubahan dalam hal kepercayaan terhadap yang sakral atau yang gaib. Semua responden mempercayai bahwa ruh Rd. Aria Wira Tanu atau Dalem Cikundul bisa memberikan keberkahan kepada masyarakat maupun kepada pengunjung. Berikut penuturan mereka Bapak AS, “....ruh ngadatangan kuburna saatos 3 hari, 7 hari, sabulan, bulanbulan tertentu, bahkan tiap tahun, meureun ceuk roh teh, ‘euh itu aing keur didaharan ku cacing’, lamun urang-urang mah, moal bisa masihan kaberkahan kecuali orang-orang anu boga elmu, soalna ku elmuna eta tiasa masihan kaberkahan jang batur, soalna anjeuna langkung cakeut jeung gusti Allah......” (“ruh akan mendatangi kuburnya setelah 3 hari, 7 hari, satu bulan, bulan-bulan tertentu, bahkan setiap tahun. Mungkin kata ruh teh, ‘oh ternyata itu jasad saya yang sedang di makan cacing’, kalo orang seperti kita, kita tidak bisa memberikan keberkahan kecuali orang-orang yang berilmu, soalnya karena ilmunya itu bisa memberikan keberkahan kepada orang lain, karena ia lebih dekat dengan Allah swt.”) Hal senada diungkapkan ID, “....saya percaya yen ruh Rd. Aria Wira Tanu tiasa masihan kaberkahan ka urang, komo ka nu didagang anu ngagantungkeun ekonomina ka nu ziarah nya karena aya makam eta, teras bisa membuka lapangan pekerjaan eta buktina kaberkahan ayana makam.....” (“saya percaya bahwa ruh Rd. Aria Wira Tanu bisa memberikan keberkahan kepada kita, apalagi bagi pedagang yang menggantungkan ekonominya kepada peziarah ya karena ada makamnya, terus bisa membuka lapangan pekerjaan eta buktina keberkahan adanya makam”)
Lain halnya yang diungkapkan oleh bapak EW, “ruh moal mere nanaon soalna tos teu aya, anu dicari ku urang mah karomahna” (“ruh tidak akan memberikan apa-apa, soalnya udah engga ada yang dicari oleh kita adalah karomahnya”) Dan bagi MA, dia tidak hanya percaya bahwa ruh bisa memberikan keberkahan, tapi juga ia bisa merasakannya, berikut penuturannya, “.....tiap kali saya datang, dan berziarah ke sini, selalu ada manfaatnya, batin saya jadi lebih tenang, setiap kali datang ke sini selalu ada peruabahan salah satunya ya itu tadi, perubahan itu bukan karena makamnya tapi karena ziarah yang saya lakukan hanya sebagai syareat saja hakikatnya tetap dari Allah swt., Kalo ada yang mengatakan bahwa itu bid’ah atau apapun itu, bagi saya itu hak orang terserah kepercayaan masing-masing, tapi bagi saya ziarah ke makam apalagi makam wali disunahkan oleh Rasulullah SAW......” Meskipun mereka masih mengimani dan meyakini akan keberkahan yang diberikan ruh Rd. Aria Wira Tanu/Dalem Cikundul, demi menjaga supaya peziarah tidak salah dalam memaknai ziarah mereka, sebelum memulai tawasul, biasanya juru kunci (Kuncen) mengingatkan terlebih dahulu bahwa kita tidak boleh meminta kepada kuburan, akan tetapi kita hanya berdoa kepada Allah swt. Ziarah hanya sebagai jalan atau syariat saja. Tidak ada ritual khusus dalam pelaksanaan ziarah, yang dilakukan oleh peziarah hanya tawasul saja. Walaupun ada para peziarah yang melakukan mandi di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti pemandian Cijagang, Cikahuripan, dan Ciasihan. Demi menjaga niat baik para peziarah, biasanya juru tawasul/kuncen sebelum melakukan tawasul suka
mengingatkan kepada pengunjung bahwa mereka hanya berdoa kepada Allah swt. saja bukan kepada makam/eyang. 2. Ritual atau Kegiatan Keagamaan Dalam kegiatan/ritual keagamaan di sini adalah Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Dalam kegiatan keagamaan tidak ada yang berbeda dari tiap tahunnya, kegiatan yang biasanya dilakukan adalah Mauludan, Rajaban, dan Muharraman (dalam menyambut tahun baru Islam). Sebagaimana diketahui bahwa bulan Mulud adalah bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam, karena pada bulan inilah baginda besar kita Muhammad SAW dilahirkan. Begitupun dengan bulan Rajab, di mana Rasulullah melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga ke Sidratul Muntaha dan mendapatkan tugas/perintah untuk melaksanakan sholat 5 waktu, peristiwa itu dikenal dengan Isra Mi’raj. Perayaan untuk memperingati Mauludan maupun Rajaban dari satu tempat ke tempat yang lain hampir sama. Sama halnya dengan di daerah makam. Di Majalaya sendiri, peringatan Mauludan dan Rajaban dilaksanakan pada masing-masing mesjid dari tiap ke-Rtan secara bergilir setiap harinya. Sedangkan di makam Dalem Cikundul peringatan Mauludan dan Rajaban dilaksanakan sesuai kesepakatan dari 3 pihak, yaitu: Pengurus Makam Keramat Cikundul, Desa dan Karang Taruna. Pelaksanaan Mauludan maupun Rajaban yang diadakan di makam biasanya lebih ramai dibandingkan dengan di mesjid-mesjid yang ada di Majalaya. Karena, selain diramaikan oleh para peziarah, sudah menjadi kebiasaan untuk memperingati Maulud Nabi dan
Rajaban selalu mengadakan Tablig Akbar dengan mengundang pembicara (da’i) dari luar daerah. Peringatan tersebut sudah berlangsung sejak lama, turun temurun dari dulu. Sedangkan untuk memperingati tahun baru Islam (Muharram), agenda yang selalu dilaksanakan adalah khitanan masal. Peserta khitan massal diambil dari anak yang tidak mampu, anak yang sudah layak untuk dikhitan, dan anak yang mau dikhitan walaupun usianya masih kecil. Pelaksanaan khitan massal sudah berlangsung sejak tahun 1998 dengan Djarum Super sebagai sponsor tetap. Djarum Super bisa menjadi sponsor tetap karena hampir di setiap warung menjual rokok Djarum Super dan laris. Selain Djarum Super, dana lain diperoleh dari donatur, serta mengajukan proposal kepada instansi yang ada seperti PEMDA. Semua orang terlibat
dalam
menyukseskan acara khitan masal tersebut, mulai dari kepala desa, aparatur desa, ketua RT, pengurus makam, bahkan masyarakat seluruhnya.48
48
Berdasarkan hasil pengamatan penulis atas informasi dari warga sekitar yang bukan responden yang telah ditetapkan.
OUT LINE MAKAM KERAMAT DAN PERUBAHAN SOSIAL (Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, Cianjur)
BAB I
PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah G. Pembatasan dan Perumusan Masalah H. Tujuan dan Manfaat Penelitian I. Metode Penelitian J. Sistematika Penulisan
BAB II
KAJIAN TEORI D. Makam Keramat 3. Pengertian Makam Keramat 4. Simbol dan Sakralitas E. Perubahan Sosial 4. Pengertian Perubahan Sosial ekonomi 5. Faktor-faktor Perubahan Sosial ekonomi 6. Pola-pola Perubahan Sosial ekonomi F. Agama dan Perubahan Sosial 3. Peranan Agama dalam Perubahan Sosial 4. Agama dalam Proses Modernisasi
5. Perubahan Sosial Keagamaan di Indonesia
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kampung Majalaya 4. Geografi dan Demografi kampung Majalaya 5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Majalaya 6. Kehidupan Keagamaan Masyarakat Majalaya B. Makam Dalem Cikundul 1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul 2. Sakralitas Makam Dalem Cikundul
BAB IV
MAKAM DALEM CIKUNDUL DALAM MENGUBAH KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT D. Perubahan Kehidupan Sosial 3. Pemahaman terhadap Sakralitas Makam 4. Stratifikasi Sosial dalam Birokrasi Makam E. Perubahan Kehidupan Keagamaan 3. Tentang Tuhan 4. Kepercayaan terhadap Makhluk Halus F. Perubahan Kehidupan Ekonomi 3. Komersialisasi Makam 4. Tumbuh dan Berkembangnya Peziarah
BAB V
PENUTUP C. Kesimpulan D. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: T. Pn, 1978. Agus, Bustamin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Al-albani, M. Nashiruddin. Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah. Jakarta: Gema Insani, 1999. Ali, Mukti. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: CV. Rajawali, 1987 Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 Chambert, Henri, dkk. Ziarah & Wali di Dunia Islam. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007. Damsar. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyudi Nafis. Agama Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jil. I, Jakarta: PT. Gramedia, 1986. Kahdi, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Lauer, Robert H. Perspektif Perubahan Sosial. edisi ke-2. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993. Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Nurdin, Amin dan Ahmad Abrori. Mengerti Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Nurhadiansyah, Iman. "Pariwisata dan Perubahan Sosial". Skripsi S-1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. OC, Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jogjakarta: Kanisius, 1998. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _. Sosiologi Sistematik. Jogjakarta: Kanisius, 1989. O'dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Pridhadhi, Endra K. Makhluk Halus dalam Fenomena Kemusyrikan. Jakarta: Salemba Diniyyah, 2004. Qaradhawi, Yusuf. Sekular Ekstrim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000. Rahmat, Jalaludin. Psikologi Agama. Bandung: Mizan, 2003. Razaq, Yusron dan Ervan Nurtawab. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian, Pemikiran Norman dan Egon Guba. Jogjakarta: PT. Tirta Wacana Jogja, 2001. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Subhani, Syaikh Fajar. Tauhid dan Syiriq Studi Kritis Faham Wahabi. Bandung: Mizan, 1987. Sucipto, Toto. "Budaya Spiritual di Lingkungan Makam Keramat Wangsa Goparana Sagalaherang". Dalam Sindu Galba, ed. Budaya Spiritual Masyarakat Sunda. Bandung: Alqaprint Jatinangor, t.t. Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKis, 2005. Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada, 2007. Tumanggor, Rusmin. Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004. Veeger, K. J. Realitas Sosial. Jakarta: PT. Gramedia, 1993. Sejarah Singkat dan Silsilah Rd. Aria Wira Tanu Datar (Rd. Ngabehi Jayasasana) Dalem Cikundul di tulis oleh Cc Irwansyah. Wawancara pribadi dengan Ibu Maska’nah, 18 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Ibu NN, 19 Januari 2009.
Wawancara pribadi dengan Ibu YY, 19 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Mang UF, 19 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Ibu NE, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak TW, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak EW, 20 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan ID, 21 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan Bapak AS, 25 Januari 2009. Wawancara pribadi dengan KK, 26 Januari 2009.
Istimewa : Satu berkas : Proposal Pengajuan Judul Skripsi :
Nomor Lampiran Hal
Kepada Yang Terhormat Ketua Jurusan Sosiologi Agama Di tempat Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera saya sampaikan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT dan senantiasa di beri kemudahan dan sukses dalam menjalankan aktivitas seharihari. Sehubungan dengan syarat untuk mendapatkan gelar S-1 pada Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nia Purnamasari 104032201031 Ushuluddin dan Filsafat/Sosiologi Agama IX
: : : :
Nama NIM Fak/Prodi Semester
Bermaksud untuk mengajukan proposal skripsi dengan judul “Makam Keramat dan Perubahan Sosial ekonomi (Studi Kasus di Masyarakat sekitar Makam Dalem Cikundul, Majalaya, Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur)”. 1. 2. 3. 4.
Sebagai bahan pertimbangan, maka saya lampirkan: Out line Skripsi Abstraksi Daftar Pustaka Sementara Sertifikat Praktikum
Demikian proposal ini saya ajukan, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamua’laikum Wr. Wb. Jakarta, 5 Agustus 2008 Pemohon Nia Purnamas ari
Dosen Pembimbing Akademik Dra. Jauharatul Jamilah, Msi
Mengetahui, Ketua Jurusan Sosiologi Agama Dra. Ida Rosyidah, M.A.