Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
SPIRITUALISME DAN RELIGIUSITAS DI KALANGAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN (Studi Kasus Peziarah di Makam Keramat Syekh Datuk Ibrahim di Kabupaten Banyuwangi) Miskawi * ABSTRAK Laku keagamaan orang jawa tidak pernah habis dibahas dan satu kajian cenderung berdiri pada satu sisi, akibatnya aspek spiritualisme menjauh dari Syariat Islam, sehingga perlu pengkajian. Berdasarkan Hasil penelitian, Keunikan Masyarakat jawa (khususnya Peziarah) selalu menggabungkan konsep Spiritualisme dengan Religiusitas. Religisitas masyarakat Jawa berdemensi pada dua wilayah : horisontal (kepada sesama manusia) dan Vertikal (kepada Tuhan). Spiritualisme berhubungan dengan rohani (non Materi). Untuk memenuhi kebutuhan materi, Manusia tidak lepas dari keterbatasan, pengetahuan dan kemampuan. Untuk itu, spiritualisme berperanan penting dalam mendekatkan diri pada Tuhan (Vertikal) dengan dengan tujuan tercapailah yang dikehendakinya dengan emosi keagamaan. Sebagian masyarakat untuk memenuhi nilai spritual dan religi muncullah sejumlah prilaku berciri gabungan atau pencampuran antar budaya dan agama sekaligus salah satunya adalah ziara kubur Kata Kunci: Spiritualisme, Religiusitas, Peziarah PENDAHULUAN Latar Belakang Didalam kehidupan manusia, setiap orang selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya yang terbagi menjadi dua kebutuhan material (jasmani) dan spiritual (rohani). Kebutuhan material adalah kebutuhan manusia akan sandang, pangan dan papan. Ketika kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi usaha itu tidak selalu lancar karena keterbatasan akan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, harus diimbangi dengan melakukan sesuatu
yang bersifat spiritual. Melalui prilaku, tingkah laku spiritual ini manusia berusaha memenuhi akan kebutuhan rohaninya. Kebutuhan rohani atau kebutuhan spiritual ini adalah kebutuhan non materi. Dengan terpenuhi kebutuhan spiritual ini, maka, manusia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tercapailah tujuan tertentu yang dikehendakinya dengan memperdalam keimanan dan ketaqwaan. Adakalanya melalui prilaku spiritual manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan materi. Perilaku spiritual dalam rangka upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ini
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
14
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
dilakukan manusia dengan sikap manembah kepada Tuhan Maha Esa (Tashadi, 1994;1). Oleh karena itu dalam sikap manembah manusia memasrakan diri kepada Ilahi. Secara konseptual manembah sebagai sikap pasrah kepada kekuatan Ilahi merupakan wujud dari emosi keagamaam (Religius Emution). Emosi keagamaan itu adalah suatu getaran jiwa yang menghinggapi manusia dalam kehidupannya, meskipun getaran itu hanya berlangsung beberapa saja. Kebutuhan spiritual inilah yang menyebabkan segala kelakuan manusia menjadi serba religi, sehingga menyebabkan serba keramat, baik pada kelakuan manusia itu sendiri, maupun tempat dimana kelakuan manusia itu dilakukan untuk dilaksanakan. Ada anggapan bahwa tempat keramat merupakan tempat bersemayamnya arwah leluhur dan adanya kekuatan gaib yang ada pada benda tertentu yang kebetulan tersimpan ditempat keramat tersebut. Pengertian kekuatan gaib ini adalah segala kekuatan yang tidak kelihatan seperti rahasia alam, kekuatan yang aneh-aneh dan sebagainya (Poerwadarminta, 1976:288). Banyak makam yang dianggap gaib, keramat, membawa berkah dan selalu ramai dikunjungi peziarah. Bagi masyarakat Jawa tradisi ziarah kubur sudah dikenal dan berkembang sejak zaman animisme dan dinamisme. Mereka berkeyakinan bahwa roh nenek moyang yang sudah meninggal dapat diminta pertolongan dengan cara datang ke kuburnya untuk berziarah dengan membawa peralatan upacara ziarah seperti bunga, dupa, mengucapkan mantra dan doa serta
permintaan agar diberi kepercayaan yang hidup diantara masyarakat. Miskawi (2007:37), menyatakan bahwa “makam bagi masyarakat bukan hanya sekedar mengubur mayat, akan tetapi makam adalah tempat yang dikeramatkan karena disitulah dikuburkan jasad orang keramat. Dan keberadaan makam juga sebagai simbol yang ada kaitannya dengan mempertahankan konservasi sumber daya alam (SDA)”. Dikabupaten Banyuwangi tepatnya di Kelurahan Lateng Kecamatan Banyuwangi terdapat sebuah makam yang dikeramatkan, dimana tempat tersebut bersemayam tokoh lelehur yang semasa hidupnya memiliki karisma dan dianggap oleh masyarakat sebagai penyebar agama Islam yaitu Syekh Datuk Ibrahim. Lewat mitos ini manusia dapat mengambil bagian dari suatu kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. 1 Pada era modern ini, kunjungan peziarah di makam keramat Syekh Datuk Ibrahim tidak pernah sepi oleh peziarah terutama pada hari malam jumat Legi. Motivasi dan kepentingan mereka berbeda-beda sesuai dengan maksud dan tujuan masing-masing, ada yang berziarah mendoakan sang tokoh, ada yang ingin memohon berkah sehingga tempat ini dipercaya mampu menjembatani peziarah yang menginginkan sesuatu. Seiring dengan kebutuhan spritualisme, ditengah pekiknya masalah yang dihadapi manusia kadangkala menjadikan rasionalitas mereka tidak berdaya, sehingga timbul kecemasan, ketakutan dan ketidak tentraman. Salah satu untuk mengatasi masalah tersebut adalah
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
15
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
dengan melakukan ziarah, wisata spiritual diyakini dapat menerangkan jiwa, karena didalamnya terdapat lantunan-lantunan yang mendatangkan ketenagan, seperti yang tercantum dalam bacaan tahlil,tahmid dan tasbih serta didukung oleh suasana hening dilingkungan sekitarnya, menjadikan para makam wali ini menjadi kawasan damai ditengah keributan manusia. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi peziarah terhadap makam keramat Syekh Datuk Ibrahim? 2. Apakah yang menjadi tujuan atau motivasi peziarah datang ke makam keramat Syekh Datuk Ibrahim? Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitian Tujuan dalam penelitian ini, adalah 1. Untuk mendeskripsikan persepsi peziarah terhadap makam keramat Syekh Syekh Datuk Ibrahim. 2. Untuk mendeskripsikan yang menjadi tujuan atau motivasi peziarah datang ke makam keramat Syekh Datuk Ibrahim. b. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijabarkan tersebut, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara umum hasil penelitian diharapkan dapat memberi wacana bagi ilmuan, peneliti, mahasiswa maupun masyarakat
2.
3.
4.
5.
umum tentang Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan Peziarah di Makam Keramat Syekh Datuk Ibrahim di Kabupaten Banyuwangi; Dapat menambah literatur dalam kajian Pariwisata Ziarah dan antropologi budaya dan religi; Menambah sumbangan besar dalam mengembangkan penulisan terutama dalam mengkaji Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan. Dapat dijadikan saran pembelajaran dilapangan khususnya bagi siswa dan siswi, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya;dan Dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan bahwa keberadaan Makam Syekh Datuk Ibrahim Sangat Potensial dalam pengemasan pariwisata ziarah dan religi. PEMBAHASAN
1.1. Keadaan Geografis Kelurahan Lateng terletak di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Jarak Kelurahan Lateng dari kota Banyuwangi kurang lebih 2,5 km, jarak ke ibu kota Kecamatan krang lebih 2,5 km. waktu tempuh masingmasing tempat kurang lebih 0,15 jam dari kota Banyuwangi (Monografi Kelurahan Lateng, 2010) Secara administrasi, batas wilayah Kelurahan Lateng, dari sebelah utara berbatasan dengan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
16
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
Kelurahan Klatak, dari sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Temenggungan, dari sebelah barat berbatasan dengan kelurahan Singotrunan . dan dari sebelah timur berbatasan dengan kelurahan K.P Mandar. (Monografi Kelurahan Lateng, 2010) 1.2. Kependudukan, Pendidikan dan Mata pencaharian Jumlah dari keseluruhan penduduk kelurahan Lateng sebanyak 8.708 jiwa (2.564 KK) yang terdiri dari 4.278 jiwa laki-laki dan 4.426 jiwa perempuan. Berdasarkan uraian jumlah penduduk kelurahan Lateng dapat memberikan gambaran keberadaan makam Keramat Syekh Datuk Ibrahim, terutama penduduk yang usianya 61tahun sampai 75 tahun keatas. Pada tingkat usia tersebut biasanya lebih mempertahankan hasil budaya dan tradisi leluhurnya, sedangkan pada penduduk yang berusia 16-18 tahun lebih menerimah dan terpengaruh budaya yang masuk ke wilayah tersebut. Hal ini diperjelas oleh Miskawi (2008), bahwa umur yang melebihi 60 tahun keatas tergolong orang keramat dan termasuk keturunan orang yang mempunyai karismatik. Perbandingnya kepedulian masyarakat melestarikan makam Syekh Datuk Ibrahim layak untuk dipertahankan. Asta merupakan benda cagar budaya yang memiliki keunikan, sejak dulu sampai sekarang yang harus tetap dilestarikan keberadaannya. Komposisi penduduk menurut agama di kelurahan Lateng, menunjukkan agama Islam merupakan agama mayoritas
penduduk kelurahan Lateng dengan prosentase 95% jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk kelurahan Lateng. Sedangkan seluruh agama kecuali agama Islam diprosentasekan 5%. Kelurahan lateng banyak penduduk yang berasal dari keturunan Arab. Hal ini juga didukung oleh banyaknya prasarana keagaamaan bagi Umat muslim misalnya Masjid sebanyak 5 bangunan dan langgar atau Surau sebanyak 20 Bangunan sedangkan Prasarana keagamaan yang lain seperti Gereja, Vihara dan Pura tidak terdapat sama sekali walaupun Banyuwangi ada kaitan erat dan Jarak cukup dekat dengan Bali Yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Kegiatan keagamaan rutin dilaksanakan mulai dari Jumatan,Pengajian Umum, Pengajian Ibu-ibu, Pengajian anak-anak, Pengajian Remaja, Yasinan dan peringatan hari-hari Besar agama. (Data Kelurahan Lateng tahun 2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh penduduk Lateng beragama Islam. Penduduk asli umumnya pemeluk agama Islam yang taat. Hampir semua lapisan memeluk agama Islam dengan taat, namun mereka belum meninggalkan bentuk-bentuk kepercayaan lama. Jadi selalu muncul tata nilai dan tata laku yang berdasarkan kepercayaan lama yang telah berkar sebelum agama Islam hidup subur di daerah ini. Misalnya masyarakat Lateng masih percaya keberadaan makam yaitu kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah karena diyakini dapat memberikan kepada seluruh warga diwilayah itu. Roh leluhur penghuni
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
17
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
makam merupakan tokoh yang masa hidupnya di pandang mmpunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi seluruh masyarakat. Mereka percaya pada kekuatan gaib terutama kekuatan yang berada pada benda-benda yang dianggap sakti dan keramat. Mereka amat menghormati benda-benda peninggalan nenek moyang atau pusaka peninggalan leluhurnya dan juga makam para leluhur dianggap suci dan keramat sehingga harus kerap diziarahi. Mata pencaharian penduduk kelurahan Lateng, Dilihat dari mata pencaharian penduduk kelurahan Lateng, dapat dijelaskan bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk berprofesi sebagai pegawai swasta. Sistem kerja Pegawai Swasta sangat mempengaruhi penghasilannya, misalnya jika tidak kerja walau hari libur (tanggal Merah) tentu tidak mendapatkan hal yang sifatnya materi pula dan sebaliknya sedangkan Pegawai Negeri yang penghasilan tiap bulannya sifatnya pasti walau hari libur. Sehingga dari sini pegawai swasta harus bekerja ekstra. Hal tersebut dijelaskan oleh salah satu peziarah yang berasal dari Jember dengan tujuan agar dipermudah riskinya karena bagaimanapun sebagai manusia harus berusaha salah satunya berziarah ke makam leluhur (hasil wawancara, 21 Desember 2009). Pendapat peziarah tersebut lebih diperjelas oleh Rato (2003:138) bahwa Dalam kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian ini, manusia cenderung mencari ketenangan dan kepastian untuk menghadap kesulitan yang dihadapinya. Salah satu sumber
ketenangan itu yang diperkirakan menguasai dan mengatur atau paling tidak dapat mempengruhi kehidupan manusia tentang hal gaib, baik tuhan dalam agama masing-masing maupun kekuatan lain seperti roh nenek moyang atau kekuatan alam dan bangsa halus lainnya. Dilihat dari tingkat pendidikannya, masyarakat Lateng termasuk maju, karena sampai sekarang masih memperhatikan pendidikan. Penduduk yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih, hal ini membuktikan bahwa pendidikan lebih penting. Anak-anak usia sekolah banyak memilih sekolah dari pada memilih membantu orang tuanaya. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sangat tinggi. Mereka beranggapan dengan bekal yang tinggi akan mampu bersaing di era globalisasi ini. Tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh pada perkembangan pola pikir masyarakat. Meskipun masyarakat tergolong masyarakat yang maju mereka tetap tidak mengabaikan tradisi yang ada. Mereka masih berpedoman pada nilainilai budaya dan tradisi yanga ada yaitu suatu bentuk penghormatan kepada leluhur yang harus tetap dijaga yaitu penghormatan Bhupa’, Bhabbu’,Guru, Rato (Bapak, Ibu, Guru dan Raja). 1.3. Kehidupan Sosial Budaya Kehidupan sosial budaya masyarakat Lateng tampak begitu tenang dan damai, walau menghadapi kehidupan di era globalisasi ini. Kehidupan sosial budaya dalam bertetangga terjalin erat dan saling membantu satu sama yang lainnya. Sikap saling membantu terwujud
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
18
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
dalam bentuk gotong royong yang lebih mementingkan kehidupan bersama. Gotong royong yang terbentuk ketetanggaan misalnya dalam hajatan, kematian, pembuatan dan perbaikan rumah dan lain-lain. Sedangkan gotong royang yang bersifat umum misalnya perbaikan jalan, pembersihan god serta pembersihan makam. Untuk meningkatkan rasa kegotongroyongan ini dibuktikan banyak perkumpulauperkumpulan yang bernuansa religi seperti yasinan, arisan, muslimat, fatayat dan aswaja.dll. 1.4. Kehidupan Religi Penduduk kelurahan Lateng mayoritas beragama Islam yang taat. Dengan demikian pula peran ulama tampak lebih menonjol. Meskipun masyarakat Lateng memeluk agama Islam dengan taat, namun mereka tidak semuanya meninggalkan bentukbentuk kepercayaan lama. Jadi selalu muncul tata nilai dan tata laku yang berdasarkan kepercayaan lama yang telah berakat di daerah ini. Masyarakat Lateng masih percaya makam keramat yaitu kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah karena diyakini dapat memberikan perlindungan dan berjasa kepada seluruh warga di wilayah itu. Roh leluhur penghuni makam biasanya merupakan tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi kehidupan asyarakat.. Dalam kehidupan religi, masyarakat Lateng didasari adanya keyakinan yang kuat terhadap roh leluhurnya, walaupun mayoritas beragama Islam, hal ini masyarakat
tergolong NU (Nahdlatul Ulama). Islam menurut Greetz (1983:172-173) terbagi menjadi tiga yaitu abangan, santri dan priyai. Pengertian santri adalah orang yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap doktrin Islam dan bersikap kurang toleran terhadap kepercayaan animisme, dinamisme, praktik kejawen serta mempertahankan Islam pada kode etik yang lebih tinggi, pada umumnya berhubungan dengan unsur-unsur pedagang. Tradisi keagamaan santri adalah pelaksanaan yang cermat dan teratur terhadap pribadatan Islam (sholat, puasa dan naik haji). Abangan adalah orang yang mengabaikan doktrin Islam, terpesoan oleh detail keupacaraan tetapi masih toleran terhadap kepercayaan agama. Adapun tradisi keagamaan abangan tampak pada melaksanakan selametan. Jika dikaitkan dengan kepercayan masyarakat tentang keberadaan mahluk halus dan alam gaib, maka orang-orang abangan adalah orang yang percaya terhadap mistik, para santri tidak percaya karena hal-hal yang berbau mistik adalah bagian dari syirik, sedangkan priyai ini menitik beratkan pada segisegi Hindu dan berhubungan dengan birokrasi yang pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpanggat tinggi dan rendah. Berdasarkan kenyataan yang ada, masyarakat Lateng dan peziarah yang datang dri luar Banyuwangi tergolong masyarkat NU- abangan. Pandangan tersebut, merujuk pada pendapatnya Syam (2005:113) bahwa wong NU adalah sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai wong ahlusunnah wal jama’ah dengan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
19
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
menekankan pengamalan keagamaan atas tradisi keragaman yang lalu dan melakukan berbagai tradisi keagamaan yang bersentuhan dengan tradisi lokal. Misalnya nyekar (ziarah) untuk menghormati leluhurnya. Tradisi Islam lokal tersebut merupakan jalinan kerjasama antar berbagai agen dalam penggolongan sosio-religio-kultural yang berbeda. Hal ini terbukti dalam melakukan ziarah dalam doanya banyak menggunakan doa-doa kitab suci Al-Quran. 2. Islam Dalam Kancah sejarah Di Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan keyakinan masyarakat Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam Di Kabupaten Banyuwangi. Tidak menutup kemungkinan tokoh tersebut juga memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan Islam di Banyuwangi. Disisi lain, di Kabupaten Banyuwangi , Islam telah menunjukkan adanya suatu perkembangan yang sangat pesat, apabila dilihat jumlah pemeluk agama Islam. Hal tersebut juga tidak terlepas dari peran tokoh penyebar Islam, berkenaan dengan hal tersebut, maka muncul suatu persoalan , bahwa sejak kapan Islam berkembang di Banyuwangi. Kalau menurut sumber yang ada, Islam berkembang di Banyuwangi tidak terlepas dari Runtuhnya sebuah kerajaan besar yang bernuansa Hindu, yaitu kerajaan Majapahit, yang dipandang sebagai akhir periode penting berakhirnya kerajaan yang bercorak Hindu. Yang penting bagi pengetahuan sejarah adalah peristiwa tersebut dipergunakan
sebagai garis pemisah antara jaman kuna dan jaman baru dalam sejarah Indonesia. Dua kekuatan yang berhadapan adalah penguasa yang berkedudukan lama yaitu Majapahit dengan kekuatan Baru, yaitu barisan Islam (kerajaan Demak) yang didukung oleh para ulama dari Kudus dibawah pimpinan Pangeran Ngudung. Setelah majapahit dapat ditaklukkan , berturut-turut Demak menaklukkan beberapa beberapa daerah di Jawa Timur, mulai dari Madiun pada tahun 1529, kemudian menakl;ukkan Medang Kamulan (Blora) tahun 1530, kemudian menaklukkan Surabaya tahun 1531, kemudian Pasuruan tahun 1535, blitar tahun 1541, bunung penanggungan (sebagai benteng para elit Religius Hindu-Jawa) 1545, Malang pada tahun 1545 dan sebagai sasaran terakhir adalah Panarukan dan Blambangan (Kartodirjo, 1987:31). Menurut Sundoro ( dalam Yamin , M.H, 1968: 37) munculnya kerajaan Islam di pulau Jawa menjadi ancaman besar bagi kerajaan Hindu di Bali maupun di Blambangan. Sebab kerajaan Islam ingin meluaskan pengaruh keseluruh Pulau Jawa, sedangkan bali dan Blambangan mempertahankan Hindunya. Menurut Wibawa, T Catur (1996 : 51) bahwa masuknya pengaruh Islam di Jawa pada akhir abad XVII, membuat kerajaan Bali khawatir terhadap kerajaan Blambangan , maka penguasa Bali Gusti Agung di Mengui, berusaha menguasai Blambangan bagian barat dan Nusa Penida, lombok serta Sumba bagian timur. Hal ini ditambahkan lagi oleh ,Sundoro, dkk (2008: 8) kerajaan bali berusaha keras ingin
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
20
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
mempertahankan Blambangan yang dianggap sebagai benteng agama Hindu Siwa terakhir diJawa, sekaligus pintu masuk ke Bali, jika sampai terjadi kerajaan Blambangan hancur maka pengaruh Islam dari barat (baca: mataram) dengan mudah masuk ke Bali. Pada masa kekuasaan mataram Islam, yaitu pada masa pemerintahan penembahan senopati tahun 1588 telah berupaya agar kekuasaannya diakui oleh raja-raja di Jawa Timur, namun hal tersebut hanya dapat menundukkan daerah Madiun, kemudian pada tahun 1590, raja Pasuruan yang namanya tidak dikenal, setelah di Islamkan oleh Demak, raja Pasuruan Tersebut Menaklukkan Blambangan Pada Tahun 1600 M (Masyudi, 2007: 9). Pada masa pemerintahan Sultan Agung 1613-1646 , pernah melakukan ekspansi ke beberapa daerah di Jawa Timur, yaitu pada tahun 1617 M, menduduki dan menguasai Pasuruan . setelah jatuhnya Pasuruan, sejak itu pula pengaruh raja-raja Bali menguat kembali bahkan sampai dengan tahun 1632 telah menguasai Panarukan dan Blambangan. Pada tahun 1639 Mataram berupaya kembali untuk menaklukkan Blambangan, dan pada akhirnya pada tahun tersebut mataram telah berhasil menaklukkan Blambangan dengan sepenuhnya (Graaf, 1985: 236). Akan tetapi, Menurut Sujana, (2001: 7) dalam Buku Nagari Tawon Madu, Karya Imade Sujana disebutkan bahwa pada tahun 1546 agama Islam diperkirakan telah masuk di Daerah Blambangan, yaitu pada saat Demak menyerang Panarukan dan sesudahnya guru-guru agama
Islam menyebarkan kepedalaman yang pengarunya sampai pada abad 18 M Pangeran Pati III dan mas Wilis memeluk agama Islam. 3. Tradisi Lisan Tentang Syekh Datuk Ibrahim Sayyid Datuk Abdurahim Bauzir adalah ulama dari Arab. Pertama ia menginjakkan kaki di bumi Nusantara tahun 1770-an. Partama datang, ia memilih Blambangan sebagai daerah transit. Kemudian ia melanjutkan siarnya ke arah timur, hingga di perkampungan Melayu, Loloan. Syekh Datuk Ibrahim adalah Wali Besar yang berperan dalam penyebaran Islam di kota Banyuwangi dan sekitarnya serta penyebaran ajaran Islam di Loloan, Jembrana, Bali. Di tempat tersebut, Datuk Abdurahim menikahi seorang gadis setempat, Zaenab, dan memiliki putra. Putra pertama Datuk Abdurahim, Syekh Sayyid Bakar Bauzir, meninggal di Loloan dan dimakamkan di sana. Beberapa tahun kemudian, istrinya, Zaenab, menyusul berpulang. Sejak itu, Datuk memilih kembali ke Banyuwangi, bertempat tinggal di perkampungan Arab di Lateng. Di Banyuwangi, Datuk meneruskan menyebarkan Islam, mengajak putra keduanya, Datuk Ahmad, dan seorang sahabat karibnya, Syekh Hasan. Penyebaran agama Islam dilakukannya hingga tutup usia tahun 1876. Datuk wafat pada umur 86 tahunan. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum warga Arab di Lateng. Makam yang dikeramatkan oleh masyarakat tersebut berada di Kelurahan Lateng, Banyuwangi, Jawa Timur, merupakan tempat yang paling banyak dituju oleh
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
21
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
sebagian umat muslim Banyuwangi, Jawa Timur dan Bali. Sebagian umat muslim menyakralkan makam ini sampai sekarang. Mengenai gambaran tentang kompleks Makam Datuk Ibrahim, peneliti memberikan penekanan pada gambaran sekitar kompleks itu sendiri mulai dari keunikan dan fungsinya. Makam Syekh Datuk Ibrahim agak sederhana dan ditutup dengan bangunan. Di sekeliling makam terdapat tempat yang disediakan untuk berziarah, termasuk lantai yang cukup besar yang dipasang dengan ubin, tempat buku lengkap dengan buku-buku doa dan Al- Quran. Bangunan yang terdapat di halaman depan makam sebuah pendopo yang dijaga juru kuncinya, beberapa warung makam, penjual bunga dan minyak pengharum serta kios-kios yang menjual souvenir khas Banyuwangi serta bangunan mosholla khusus pria dan khusus wanita. Dari sini memang benar dan masuk akal jika keberadaan Makam Keramat dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat kecil. Mereka bisa memanfaatkan hari-hari tertentu misalnya kamis malam (malam Jumat) untu berjualan mulai menjual Es, menjual Kue dan menjual bunga. Hal tersebut juga dipaparkan oleh Mbak Ifa (salah satu menjual Bunga) yang dilakukan mulai saat kecil hingga kini berumur 39 tahun. Dan uniknya dari sekian penjual bunga yang berada dipintu masuk makan adalah satu keluarga. Peran juru kunci bertanggung Jawab atas pemeliharaan makamnya sehingga kondisi makam tampak terawat dengan baik, hubungan dengan peziarah serta administrasi
dan pejagaan makamnya. Juru kunci, seringkali menerima peziarah yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu di makam Syekh Datuk Ibrahim ini. Masyarakat sekitar tampaknya masih menganggap makam Syekh Datuk Ibrahim ini. Petunjuk hal ini dapat diketahui dari orang-orang yang sering datang ketempat itu dengan maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan keinginan mereka. Para pengunjung yang datang tidak hanya dari satu lapisan masyarakat saja tetapi berbagai lapisan masyarakat mulai dari pejabat, pengusaha, pegawai biasa, kyai dan masyarakat kebanyakan baik dari daerah kabupaten Banyuwangi bahkan dari luar Kabupaten Banyuwangi. Di sekitar makam Syekh Datuk Ibrahim ada dua makam kuno lagi yang disakralkan. Dua makam anak kedua Datuk dan sahabat karibnya itu berdampingan. Peziarah biasanya membludak ketika malam Jumat. Puncaknya pada perayaan kelahiran Datuk tiap minggu ketiga bulan Rajab. Peziarah yang juga datang dari luar kota Banyuwangi, seperti Lampung, Jakarta, dan Bali. Di areal makam, Datuk meninggalkan sumur kuno. Sumur ini diyakini memiliki mukzijat yang mampu menyembuhkan penyakit dan mendatangkan berkah. Para pejiarah biasanya membawa air suci ini untuk dibawa pulang. Di dekat makam juga dibangun mushola kecil. Di sekitar makam terdapat beberapa makam lain dari keturunan Datuk. Dahulu, sebelum ada teknologi yang memungkinkan orang membuat sumur, maka satu-satunya sumber air untuk minum adalah sumur tua yang
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
22
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
disebut dengan sumur wali. Dewasa ini seiring dengan kemajuan tekhnologi , jumlah sumur pun semakin banyak hingga tiap masingmasing rumah memiliki sumur tersendiri. Keberadaan sumur di makam Datuk Ibrahim hampir sama dengan pendapatnya Syam (2005: 130) bahwa walaupun sumur wali banyak digunakan oleh jumlah penduduk desa. Tetapi airnya tidak pernah berkurang. Bahkan dibeberapa desa mengalami penyusutan terutama pada musim-musim kemarau. Sumur wali berbeda dengan sumur biasa atau yang dibuat oleh masyarakat sekarang. Selain itu sumur bukan hanya sebagai tempat mengambil air tetapi juga ruang budaya yang mempertemukan berbagai sekmen masyarakat dalam segala lapisan sosial dan strata sosial. Sumur menjadi medium kontrol sosial, karena disitulah sebagian warga masyarakat bertemu dan saling berbicara mengenai persoalanpersoalan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu, jika dewasa ini terjadi kelonggaran terhadap brbagai prilaku yang kurang patut bagi warga masyarakat lokal karena salah satunya kurangnya medium untuk memperbincangkannya. Sumur dahulunya berfungsi sebagai medium untuk kontrol sosial tersebut 4. Pandangan Masyarakat Terhadap Makam Syekh Datuk Ibrahim Suatu hal yang menjadi daya tarik masyarakat untuk pergi ke makam Syekh Datuk Ibrahim adalah melakukan ziarah, karena disini makam dikeramatkan dan dipercaya mampu untuk menjembatani mereka
yang menginginkan sesuatu. Oleh karena itu, berbagai lapisan masyarakat berbondong-bondong mengunjungi makam ini sehingga muncul pandangan yang berbedabeda dari peziarah bahkan dari masyarakat sendiri terhadap makam Syekh Datuk Ibrahim. 5. Persepsi Peziarah Terhadap Makam Syekh Datuk Ibrahim Sebagai wali penting dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya di Banyuwangi makamnya banyak dikunjungi para peziarah. Mereka datang dari berbagai status dan strata sosial baik dari Madura, Jember, Situbondo, bondowoso dan masyarakat luar Jawa yang mempunyai ikatan secara emosional (Dat Kunjungan Tahun, 2009). Setiap peziarah yang datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim dalam dirinya diperkuat oleh emosi keagamaan. Mereka berkomonikasi dengan yang dimakamkan untuk mengantarkan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, dari para peziarah sendiri muncul berbagai pandangan tentang makam Syekh Datuk Ibrahim. Pandangan tersebut tergantung maksud dan tujuan peziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim. Hal ini menyebabkan pandangan tertentu sangatlah bervariasi yang dikategorikan menjadi tiga pandangan sebagai berikut: (1) pandangan yang berkenaan dengan kehidupan psikologis, (2) pandangan yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomis dan (3) pandangan yang berkaitan dengan spiritual dan religi. Pandangan peziarah yang datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim untuk
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
23
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
mendapatkan harapan merupakan pandangan yang dikategorikan pandangan psikologis, spiritual dan religi. Dalam hal ini peziarah yang datang menginginkan ketenangan hidup dan hatinya tidak selalu merasa was-was (tidak tenang). Peziarah yang datang pada umumnya berdoa untuk memohon agar diberi keselamatan lahir dan batin dan selain itu juga ingin mendapatkan ketenangan agar keluarganya tetap utuh (hasil wawancara, 21 Desember 2009). Ada juga mereka yang datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim untuk memperbaiki hubungan batin setelah lama tidak datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim. Peziarah merasa setelah lama tidak datang kemakam Syekh Datuk Ibrahim hidupnya menjadi tidak tenang (hasil wawancara, 23 Desember 2009). Berdasarkan penuturan pendapat tersebut menunjukkan adanya ikatan emosional antara peziarah dengan makam Syekh Datuk Ibrahim, sehingga peziarah akan merasa bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim telah memberikan keselamatan dalam kehidupannya. Namun makam Syekh Datuk Ibrahim juga bisa mencelakakan jika tidak memenuhi kewajibanya untuk tidak datang, maka berdampak kepada kehidupannya menjadi tidak tenang pula. Dengan adanya perasaan tenang setelah datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim sehingga muncul pandangan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim merupakan tempat memperoleh ketenangan dan keselamatan jasmani. Alasan yang sekiranya mempu mendukung pandangan ini adalah keyakinan dan kepercayaan yang
didukung oleh alam pikiran masyarakat yang selalu hendak menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam hidup, baik dalam hubungannya dengan kehidupan rohani atau yang bersifat spiritual (vertikal) maupun kehidupan sosial (horisontal). Dari pandangan ini dapat diketahui bahwa manusia perlu keselamatan dan ketenangan dalam hidup. Keselamatan ini bisa meliputi keselamatan dalam rohani dan jasmani. Kesempurnaan hidup dalam arti tercukupi segala kebutuhan memerlukan selamat. Pengertian selamat di dunia maupun diakhirat yakni setelah manusia itu mati. Manusia dalam keadaan selamat bisa mampu menciptakan keseimbangan dan keselarasan dengan lingkungan, baik lingkungan spritial dan sosial. Para peziarah juga berpendapat bahwa peziarah merupakan tempat untuk meminta sesuatu. Hal ini dikategorikan sebagai pandangan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim sebagai tempat untuk meminta sesuatu. Hal ini sesuai dengan pandangan yang berkaitan ekonomis. Orang yang menginginkan sesuatu berkenaan dengan hidupnya dapat meminta tolong dengan datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim agar usahanya dapat berhasil dan lancar. Pandapat ini dapat di ungkapkan lewat kasus pak Buhairi, seorang petani dari Glenmore. Ia datang berombongan bersama para tetangganya. Maksud kedatangannya adalah memohon pertolongan agar tanaman-tanamannya tidak diserang hama dan juga warung pupuknya banyak pembeli. Dia datang ke makam Syekh Datuk Ibrahim hanya
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
24
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
sebagai perantara untuk meminta pertolongan kepada Allah, SWT (hasil wawancara, 21 Desember 2009). Sementara itu bapak Jurkoni’, seorang nelayan dari Muncar. Ia memiliki pandangan tentang makam Syekh Datuk Ibrahim, yang menurutnya adalah tempat yang tepat untuk meminta pertolongan agar diberi keselamatan dan kesuksesan dalam pekerjaannya, terutama kalau berlayar bisa mendapatkan ikan yang banyak (hasil wawancara, 26 Desember 2009). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah dari makam Syekh Datuk Ibrahim mereka merasa usahanya lebih berhasil dan seandainya tidak datang, belum tentu usahanya seperti yang mereka harapkan. Selain pandangan yang bersifat materiil diatas, peziarah juga datang untuk mencukupi kebutuhan spiritual, yaitu dengan mendoakan leluhurnya agar selalu diberi tempat di sisi-Nya. Pada umumnya hal ini lebih banyak dikemukakan oleh peziarah yang lanjut usia atau mereka yang tidak lagi berfikir tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan keduniawaian. Pandangan yang mengatakan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim adalah tempat yang keramat, suci (sakral) dan tempat untuk mendoakan arwah leluhur yang telah meninggal dapat dikategorikan dalam pandangan yang mengutamakam pada kehidupan spiritual. Paziarah yang datang hanya untuk berdoa di makam Syekh Datuk Ibrahim karena merasa tempat suci dan sakral, serta sepi sehingga dengan khusuk berdoa ditempat itu. Seperti yang dituturkan oleh bapak
Mutakim, seorang guru dari Kelurahan pakel kecamatan glagah. Ia tidak setiap saat kesini, tapi kalau ada hari libur dia pasti ke makam Syekh Datuk Ibrahim. Syekh Datuk Ibrahim adalah orang yang suci jadi pantas kalau ia berdoa kepada dirinya sendiri maupun doa kepada sang tokoh dan Syekh Datuk Ibrahim merupakan tokoh yang banyak mempunyai kelebihan (wawancara, 18 desember 2009). Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim dianggap sebagai tempat yang suci dan keramat. Kekeramatan dan kesucian makam Syekh Datuk Ibrahim dikaitkan dengan adanya makam seorang tokoh yang dianggap mempunyai kelebihan dari pada manusia biasa sehingga setiap saat mereka datang ketempat makam Syekh Datuk Ibrahim. Adanya kepercayaan itu, menyebabkan masyarakat percaya bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim dapat menjembatani hubungan antara manusia dengan Tuhan. Menurut R. Hertz bahwa kematiam merupakan suatu proses peralihan atau inisiasi dari suatu kedudukan ke kedudukan yang lain, dan dalam kedudukan mati ini. Di anggap sebagai mahluk muharrah ( suci atau sakral) yang sedang mengalami proses peralihan dari kedudukanya dari alam profan ke alam sakral (Mulder,1989:36). Dalam kedudukannya sakral ini roh berwujud menjadi roh halus dan mempengaruhi hidup manusia. Perannya sebagai roh halus dapat menjadi perantara manusia dengan Tuhan (Poncowati, 2000:60). Namun dalam kenyatannya yang dapat kita jumpai, pandangan masyarakat peziarah lebih banyak
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
25
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
menunjukkan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim adalah tempat untuk meminta sesuatu dan tempat untuk menumbuhkan harapan hidup lebih baik dari sebelumnya.pandangan inilah yang merupakan tantangan pengelolah makam dalam hal ini adalah keluarga juru kunci agar tidak menyimpang dari ajaran agama Islam. Pada umumnya pandangan terhadap leluhur yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat apalagi bergerak dibidang agama, maka masyarakat ini akan melihat kelebihan-kelebihan yang masih terpancar walaupun sang tokoh sudah meninggal. Hal ini trbukti bahwa makam tidak hanya sebagai tempat untuk memakamkan tokoh yang telah meninggal tetapi juga sebagai tempat yang dianggap sakral, suci ataupun keramat sehingga tempat ini digunakan untuk meminta sesuatu. Tentunya pandangan masyarakat luar dan pandangan masyarakat sekitar mempunyai pandangan yang berbeda, tetapi semuanya tergantung dari kepentingan mereka berkaitan dengan keberadaan makam Syekh Datuk Ibrahim, disamping itu juga kepercayaan yang beraneka ragam terhadap kekeramatan makam Syekh Datuk Ibrahim. 6. Motivasi Peziarah Datang Ke Makam Keramat Syekh Datuk Ibrahim Motivasi peziarah datang ke makam keramat Syekh Datuk Ibrahim tentunya erat dengan motivasi atau tujuan para peziarah itu sendiri untuk mengunjungi tempat-tempat keramat. Diantara peziarah itu tentunya mempunyai motivasi yang berbedabeda, tergantung apa yang diminta
dan apa pula kepentingannya. Motivasi peziarah itu antara lain untuk meminta berkah, memulihkan hubungan dengan makam Syekh Datuk Ibrahim, mengucapkan rasa syukur karena yang telah diinginkan telah berhasil, untuk mengubah nasib dan meminta agar usahanya lancar. Niat para peziarah itu ada karena kemaunnya sendiri, tetapi ada yang diajak oleh temannya, tetangganya dan saudaranya yang telah berhasil. Menurut Syam dalam Musthafa Al-Maraghi (2005: 156), Berkah dalam khazanah istilah Islam berasal dari kata barakah (kata kerja, fi’il Madhi)yang berarti memperoleh karunia dari kebaikan. Barakah adalah kata benda (isim) dan nilai tambah (ziyadah). Nilai tambah tidak disebut barakah jika tidak diikuti dengan kebahagiaan, ketenaganga dan kebaikan. Misalnya seseorang memperoleh tambahan rizki tersebut, maka tidak bisa dinyatakan memperoleh barakah atau berkah. Dengan demikian untuk untuk memahami nilai tambah itu berkah dan tidak tergantung dari apakah nilai tambah tersebut membawa serta kebahagiaan atau tidak. Dari konteks inilah, barakah berubah menjadi berkah, yang memiliki banyak arti, misalnya berkah dari kesembuhan penyakit, terselesainya problema dari individu keluarga tau masyarakat, memperoleh kenikmatan dalam kehidupan, seperti memperoleh jodoh, lulus ujian, usahanya berhasil, dan sebagainya. Pengunjung yang berziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim dengan niat lain, misalnya untuk meminta keselamatan, ingin mendekatkan diri kepada Allah, mencari ketenangan,
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
26
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
ingin mendapatkan kedudukan, ingin mendapatkan kesaktian dan bahkan ada yang tidak punya niatan apapun. Keselamatan menurut pandangan peziarah ke makam tidaklah terbatas pada keselamatan fisik, tetapi juga keselamatan dalam artian yang menyangkut kehidupan keluarga (keutuhan rumah tangga) dan keselamatan dalam tugas pekerjaan. Untuk memperoleh keselamatan ini perlu diwujudkan keseimbangan atau keselarasan hubungan, baik secara vertikal (spiritual) maupun horisontal. Keselamatan hubungan secara vertikal (spiritual) itu adalah denga Tuhan sedangkan keselarasan horisontal (sosial) adalah hubungan antara manusia dengan sesama mahluk hidup dalam lingkungan sosial yang sama dan alam semesta. Dengan terciptanya keselarasan hubungan ini, maka manusia akan memperoleh keselamatan dalam hidupnya, karena yang diutamakam adalah keselamatannya. Selain motivasi yang menyebabkan datang ke Makam Syekh Datuk Ibrahim, Tujuan masyarakat melakukan ziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim ini adalah untuk berdoa dan bertawashul, serta sebagai media untuk mengingat kematian dan memberi penghormatan kepada leluhur. Syekh Datuk Ibrahim adalah orang penting yang ikut andil dalam perkembangan Kabupaten Banyuwangi. Motivasi lain yang dapat diungkap dari para peziarah adalah mereka yang berkunjung ke makam Syekh Datuk Ibrahim sekedar untuk mengicapkan rasa syukur karena yang telah diinginkan telah terwujud.
Mereka merasa mempunyai kewajiban untuk berterimah kasih di makam Syekh Datuk Ibrahim karena telah memberi sesuatu yang telah diinginkan. Wujud rasa terimah kasih mereka diwujudkan dengan mengadakan selametan dan memberikan sumbangan kepada pengelolah. Seperti yang dituturkan oleh bapak Burahwi dari Rogojampi, beberapa waktu lalu anaknya sakit parah dan banyak menhabiskan uang untuk berobat. Kemudian dia datang berziarah ke makam Syekh Datuk Ibrahim dan bernadzar , kalu anaknya sembuh ia akan berziarah lagi makam Syekh Datuk Ibrahim dan ia juga punya niat untuk mengadakan selametan dan meberikan sumbangan pada makam. Ketika waktu diwawancarai oleh peneliti ini adalah yang ketiga kalinya berziarah karena apa yang di harapkan terkabul dan anaknya sekarang sembuh (wawancara, 24 desember 2009). Adanya pandangan yang kemudian memotivasi para peziarah datang makam Syekh Datuk Ibrahim untuk meminta sesuatu adalah kenyataan yang ada dalam niat hati para peziarah. Pandangan yang diwujudkan dengan kenyataan motivasi inilah yang kemudian memberikan kesan bahwa makam Syekh Datuk Ibrahim temapat untuk meminta sesuatu. Diantaranya adalah peziarah yang mempunyai niat lain, misalnya untuk meminta keselamatan dan ketenangan hidup untuk mengungkap kan rasa syukur kepada Tuhan karena telah bebas atau dapat mengatasi kesulitan hidup yang baru dialami dengan perantara yang disana.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
27
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
DAFTAR PUSTAKA Graaf, H.J. De, 1987. Runtuhnya istana Mataram. Pustaka Utama gafiti. Jakarta Sujana, I Made, 2001. Nagari Tawon Madu, Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII, Larasan Sejarah, Bali. Greetz , Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. Kartodirjo, Sartono. 1987. Pengantar sejarah Indonesia baru 1500-1900, PT. Gramedia, Jakarta. Masyudi. 2007. Makalah Lokakarya: Masuknya Islam di Banyuwangi. Dewan Kesenian Blambangan. Banyuwangi. Menurut Sundoro ( dalam Yamin , M.H, 1968: 37) Miskawi. 2007. Tradisi Nyadar Sebagai Wisata Budaya Di Kabupaten Sumenep. Skripsi (tidak dipublikasikan). FKIP Universitas Jember. Jember. Miskawi.2008.Surve Basiline di dimakam asta Tinggi Kabupaten Sumenep. Laporan tidak diterbitkan. Sumenep. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN. Balai pustaka. Jakarta. Rato, D. 2003. Buju’ dan Asta: Persepsi Masyarakat Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, Dalam Sugianto (Ed): Kepercayaan, Magi, dan Tradisi Dalam Masyarakat Madura. PT.Tapal Kuda. Jember. Syam , Nur. 2005. Islam Pesisir. Lkis. Yogyakarta. Tashadi. 1994. Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat Digunung Kawi. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Malang. Wibawa, T Catur.1996. Perang Puputan Bayu 1771-1772 Tentang Perlawanan Rakyat Banyuwangi Terhadap VOC. Skripsi tidak dipublikasikan. Banyuwangi
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
28
Spiritualisme dan Religiusitas di Kalangan Penghayat Kepercayaan
Lampiran. 2 Dokumentasi Penelitian
Gambar 1.Nama diatas batu nisan
Gambar 2. gambar disamping makan datuk
Gambar 3. suami istri sedang berziarah agar keingianannya terkabul
Gambar 4. rombongan peziarah dari Kab. Jember
Gambar 5. Keunikan pintu masuk makam yang menyerupai terowongan
Gambar 6. salah satu makan di kompleks makam datuk yang unik tampak punden berundak dan arsitektur batu nisannya
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.7 No.20, Agustus 2010 (* Dosen P.IPS Prodi Sejarah Untag Banyuwangi, Ketua Bidang Penelitian dan Penulisan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) komisariat Banyuwangi, Wakil Dekan I FKIP, Pembina Teater Bhineka ’45, Pembina Lembaga Pusat Kajian Pariwisata Daerah banyuwangi (Lespada), peneliti kajian wanita, sejarah dan Sosial Budaya
29