MAKALAH SEMINAR UMUM
PEMANFAATAN TEKNIK IN VITRO UNTUK PENYARINGAN TANAMAN TAHAN SALIN
DISUSUN OLEH:
RIZA LUTHFIAH 09/281774/PN/11595
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013
HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH SEMINAR UMUM
Pemanfaatan Teknik In Vitro Untuk Penyaringan Tanaman Tahan Salin
Disusun oleh: Nama
: Riza Luthfiah
NIM
: 09/281774/PN/11595
Jurusan
: Budidaya Pertanian
Program Studi : Pemuliaan Tanaman
Makalah Seminar Umum ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada Menyetujui Pembimbing Utama
Rani Agustina W., S.P., M.P., Ph.D.
Tanda tangan
Tanggal
.......................................
……………….....
......................................
……………….....
……………………….............
……………….....
Mengetahui : Komisi Seminar Umum Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M.P. Mengetahui : Ketua Jurusan Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M.Sc
i
DAFTAR ISI Halaman Pengesahan .......................................................................................................... i Kata Daftar Isi ..................................................................................................................... ii Abstraksi ............................................................................................................................. 1 I.
Pendahuluan ................................................................................................................. 1 A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1 B. Tujuan .................................................................................................................... 3
II. Budidaya Jaringan Tanaman........................................................................................ 4 III. Penyaringan Ketahanan Cekaman Salinitas Secara In Vitro ....................................... 6 IV. Kesimpulan .................................................................................................................. 12 Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 13 Lampiran ............................................................................................................................. 16
ii
PEMANFAATAN TEKNIK IN VITRO UNTUK PENYARINGAN TANAMAN TAHAN SALIN ABSTRAKSI Lingkungan yang heterogen dan perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim merupakan permasalahan di bidang pertanian yang dapat menimbulkan cekaman. Cekaman abiotik yang paling berpengaruh besar pada produktivitas dan kualitas panen tanaman budidaya adalah cekaman salinitas karena dapat menurunkan kualitas dan produktivitas komoditas pertanian. Manipulasi iklim dan reklamasi lahan dapat saja dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat cekaman yang dialami tanaman budidaya, namun keputusan tersebut menjadi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya yang cukup besar. Manipulasi tanaman dapat menjadi solusi masalah ini. Metode pemuliaan tanaman konvensional sering digunakan untuk mendapatkan jenis tanaman baru yang memiliki ketahanan cekaman salinitas namun sering tidak efisien. Melalui pendekatan bioteknologi, salah satunya adalah budidaya jaringan tanaman dapat dijadikan alternatif dalam membantu usaha tujuan pemuliaan tanaman mendapatkan tanaman tahan cekaman salinitas. Seleksi secara in vitro dapat dilakukan dengan penentuan lethal dosis cekaman garam, penyaringan ketahanan cekaman salinitas, dan regenerasi serta evaluasi hasil tanaman yang tahan cekaman salinitas. Kata kunci: seleksi, in vitro, salinitas
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lingkungan yang heterogen dan perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim merupakan permasalahan di bidang pertanian yang dapat menimbulkan cekaman. Hanya 10% lahan di dunia yang dikategorikan sebagai lahan bebas cekaman. Sebagian besar tanaman budidaya yang tumbuh di lapangan sering dihadapkan pada berbagai cekaman abiotik. Cekaman abiotik yang mungkin dialami setiap tanaman budidaya yaitu cekaman kekeringan, salinitas, genangan, suhu ekstrim, dan logam berbahaya. Cekaman abiotik tersebut mampu mengurangi hasil dan menghambat pertumbuhan tanaman budidaya (Roy et al., 2011). Cekaman abiotik yang paling berpengaruh besar pada produktivitas dan kualitas panen tanaman budidaya adalah cekaman salinitas karena dapat menurunkan kualitas dan produktivitas komoditas pertanian. Meningkatnya salinitas pada tanah menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+ dan Cl- pada tajuk tanaman yang berakibat pada penurunan pertumbuhan tanaman. Dalam proses fisiologi tanaman, Na+ dan Cl- mempengaruhi pengikatan air oleh tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi kekeringan, sedangkan Cl- diperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi oksigen. Sementara penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas. Hal ini akan mengakibatkan keracunan pada tanaman dan pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil 1
tanaman. Tiap-tiap tanaman memiliki ketahanan masing-masing terhadap senyawa garam, tanggapan tersebut merupakan respon fisologis dan biokimia dari tanaman (Foth, 1990). Manipulasi iklim dan reklamasi lahan seperti penanggulangan salinitas dalam jangka pendek secara teknis dengan irigasi meggunakan air tawar (fresh-water) dan pemberian kalium (K) dapat saja dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat cekaman yang dialami tanaman budidaya, namun keputusan tersebut menjadi tidak ekonomis karena membutuhkan biaya yang cukup besar. Solusi yang ekonomis yaitu dengan menanam tanaman yang mampu bertahan dengan cekaman di lahan tersebut dan tetap produktif sehingga tetap didapat hasil yang sesuai. Manipulasi tanaman budidaya dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman, diharapkan mampu meningkatkan secara signifikan toleransi cekaman abiotik tanaman budidaya (Malik et al., 2010). Untuk mendapatkan manipulasi tanaman tahan cekaman melalui metode pemuliaan tanaman konvensional dapat melalui persilangan antar tetua yang memiliki sifat baik, namun metode pemuliaan konvensional tersebut tidak efektif karena masih sering terjadi kegagalan dalam pencapaian tujuan tanaman yang diinginkan. Kekurangan lainnya yaitu membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, sumber genetik yang banyak, areal yang luas, serta faktor lingkungan dan faktor pembatas lain yang dapat menghambat proses tersebut (Koc et al., 2009). Untuk mengatasi masalah-masalah dalam pemuliaan tanaman konvensional maka dilakukan pendekatan menggunakan bioteknologi untuk pemuliaan tanaman seperti pemanfaatan rekayasa genetika dan seleksi secara in vitro. Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman yang toleran terhadap cekaman abiotik menggunakan transformasi gen (pemindahan gen atau penyisipan gen) ke dalam suatu tanaman target. Walau demikian, ada beberapa hal faktor penghambat terbesar yang membatasi pelaksanaannya seperti adanya silencing of transgene (tidak terekspresinya gen yang disisipkan ke tanaman target), dan rendahnya frekuensi keberhasilan dari transformasi tersebut. Teknik budidaya jaringan tanaman kemudian muncul sebagai alternatif yang lebih layak dan hemat untuk mengembangkan tanaman yang tahan terhadap cekaman abiotik (Perez-Clemente & Gomez-Cadenas, 2012). Budidaya jaringan tanaman telah banyak digunakan untuk tujuan pemuliaan tanaman terutama dalam seleksi ketahanan cekaman biotik dan abiotik (Koc et al., 2009). Munir (2009) juga menyatakan bahwa melalui seleksi secara in vitro, maka karakter-karakter
2
agronomi dan ketahanan terhadap suatu cekaman tersebut dapat diisolasi dalam waktu singkat dan kondisi yang stabil. Melalui budidaya jaringan tanaman diharapkan mampu membantu tujuan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman tahan cekaman salinitas karena pengaruh salinitas yang sangat merugikan di bidang budidaya pertanian. Budidaya jaringan tanaman dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk melakukan penyaringan ketahanan cekaman salinitas pada tanaman budidaya. Cekaman salinitas pada tanaman budidaya yang ditumbuhkan dalam in vitro dapat menurunkan kemampuan regenerasi, menghambat pertumbuhan tunas dan akar, menurunkan berat kering planlet, dan mengurangi jumlah tunas yang tumbuh (Mohamed et al., 2011).
B. Tujuan 1. Mengetahui salah satu metode yang dapat membantu tujuan pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman tahan salin, 2. Mengetahui peran budidaya jaringan tanaman secara umum dalam bidang pertanian dan pemuliaan tanaman khususnya, dan 3. Mengetahui kelebihan teknik in vitro dalam tujuan pemuliaan tanaman.
3
II. BUDIDAYA JARINGAN TANAMAN
Budidaya jaringan tanaman adalah budidaya sel, jaringan, organ, atau seluruh bagian tanaman secara in vitro dalam kondisi lingkungan yang aseptik dan terkendali serta kebutuhan nutrisi yang tersedia dengan cukup. Tanaman yang dihasilkan dari budidaya jaringan akan sama persis dengan tanaman yng dijadikan bahan biakan. Kondisi lingkungan yang terkendali akan menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan bahan biakan secara optimal (Hussain et al., 2012). Konsep budidaya jaringan terungkap dalam teori sel yang diungkapkan oleh ahli Biologi yaitu Schleiden dan Schwann 1838 – 1839 yang mengemukakan bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun terpisah dari tanaman induknya. Konsep inilah yang menyatakan bahwa satu sel akan mampu berkembang dan membentuk individu yang utuh. Pada abad XX beberapa ahli botani membuktikan bahwa sel atau jaringan dapat ditanam secara terpisah dalam suatu budidaya (in vitro) dan beregenerasi membentuk bagian-bagian atau organ sehingga dapat tumbuh normal menjadi suatu individu. Kemampuan tersebut dinamakan teori totipotensi. Konsep totipotensi ini merupakan konsep dasar dari teknik budidaya jaringan. Pada tahun 1902, budidaya jaringan tanaman pertama kali digunakan oleh Haberlandt untuk mempelajari morfogenesis dan sifat totipotensi dari sel-sel tanaman (Suhartati, 2008). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam teknik budidaya jaringan tanaman tebu, yaitu: (1) komposisi media tumbuh, (2) eksplan, (3) zat pengatur tumbuh yang sesuai, dan (4) kondisi lingkungan budidaya. Media budidaya merupakan suatu penentu keberhasilan metode perbanyakan tanaman melalui budidaya jaringan. Berbagai media budidaya telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan, seperti media WPM (Woody Plant Medium), BTM (Broad Tree Leaves Medium), dan Schenk-Hildebrandt untuk tanaman berkayu; media VW (Vacint-Went) untuk tanaman anggrek; MS (Murashige-Skoog) untuk tanaman hortikultura; media Euwen untuk tanaman kelapa; media B5 (Gamborg) untuk kultur suspense sel dan legume; media White untuk kultur akar; media N6 untuk tanaman serealia; dan media Nitsch dan Nitsch untuk kultur sel dan tepung sari (Nugrahani et al., 2011). Media dasar tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, dengan menambahkan vitamin dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh diperlukan untuk mengatur diferensiasi tanaman, mengatur inisiasi dan perkembangan tunas dan akar, pembelahan dan perkembangan sel. Ada beberapa zat pengatur tumbuh yang digunakam dalam budidaya 4
jaringan tanaman, yaitu auksin (IAA, NAA, IBA, 2,4-D), sitokinin (kinetin, BAP, zeatin, 2iP, thidiazuron), dan giberilin (GA3) (Nugrahani et al., 2011). Teknik budidaya jaringan tanaman memiliki kontribusi yang besar di dunia pertanian. Permasalahan pertanian seperti penyediaan kebutuhan bibit tanaman dapat diatasi dengan budidaya jaringan tanaman. Budidaya jaringan tanaman juga mampu menginduksi variasi somaklonal yang dapat memperkaya variabilitas dalam species sehingga berperan sebagai sumber genetik baru yang stabil dalam metode pemuliaan tanaman. Tujuan pemuliaan tanaman akan sangat dimudahkan melalui budidaya jaringan karena mampu menghasilkan planlet/tanaman dalam waktu singkat dan jumlah yang banyak. Hussain et al., (2012) juga menjelaskan keunggulan yang dapat dimanfaatkan dari budidaya jaringan tanaman yaitu mampu menghsilkan varietas unggul yang bebas penyakit, toleran terhadap cekaman abiotik, memproduksi metabolit sekunder, memiliki faktor multiplikasi yang tinggi, faktor lingkungan yang terkendali, tanaman dapat diproduksi terus menerus sepanjang tahun, dan menyelamatkan sumber genetik langka dari kepunahan.
5
III. PENYARINGAN KETAHANAN CEKAMAN SALINITAS SECARA IN VITRO
Seleksi in vitro telah efektif digunakan untuk menginduksi toleransi cekaman salinitas pada tanaman budidaya melalui penggunaan garam sebagai agen selektif sehingga memungkinkan pemilihan atau penyaringan tanaman yang diinginkan. Pendekatan ini telah dilakukan menggunakan sejumlah bahan tanam (kalus, embriosomatik, planlet, sel suspensi) yang memiliki variasi ketahanan dan kemampuan dalam toleransi kadar garam yang relatif tinggi di dalam media tanam secara in vitro. Garam yang digunakan dalam cekaman salinitas adalah NaCl (Clemente & Cadenas, 2012). Pemanfaatan budidaya jaringan dalam usaha pemuliaan tanaman untuk menghasilkan tanaman yang tahan terhadap beberapa cekaman abiotik terutama cekaman salinitas telah terbukti pada banyak species antara lain Nicotiana sylvestris (Dix and Street, 1975), Nicotiana tabacum (Nabors et al., 1975), Medicago sativa (Croughan et al., 1978), Saccharum spp. (Liu & Yeh, 1982), Oryza sativa (Croughan et al., 1981), and Cicer arietinum (Pandey & Ganapathy, 1984). Tanaman toleran NaCl juga telah berhasil diregenerasi pada Nicotiana tabacum (Nabors et al., 1980), Haploid Datura innoxia (Tyagi et al., 1981), Kickxia ramosissima (Mathur et al., 1980), Saccharum spp. (Liu & Yeh, 1984) and Linum usitatissimum (Mchughen & Swartz, 1984). Tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan kriteria tanaman yang tahan cekaman salinitas yaitu penentuan lethal dosis (LD), penyaringan ketahanan, dan regenerasi. Dalam metode seleksi in vitro hal yang paling penting adalah menentukan standar ketahanan sel dengan mencari dosis garam yang menyebabkan lethal dosis 50% (LD50). Apabila dalam sebuah percobaan budidaya jaringan telah diketahui dosis garam yang menyebabkan LD50, maka penentuan sel tahan dapat lebih mudah diketahui. Dengan cara mengidentifikasi sel yang memiliki persetase hidup lebih dari 50% pada dosis garam LD50 (Yuliani, 2009).
6
Gambar 3.1. Penentuan lethal dosis (LD50) terhadap cekaman salinitas pada tanaman tebu. Respon pertumbuhan kalus empat klon tebu (BL 35, PS 561, PS 851, dan PSCo) terhadap pemberian lima dosis garam NaCl (0%; 0,5%; 1%; dan 1,5%) secara in vitro (Yuliani, 2009). Pada tahap penentuan dosis garam, kalus yang berhasil diperbanyak dari setiap klon yang telah terbentuk sempurna digunakan sebagai bahan untuk menentukan dosis garam LD50. Pada tahap ini dilihat pengaruh dosis garam pada pertumbuhan kalus yang berhasil diperbanyak dari setiap klon. Selain itu dilihat dosis garam yang menyebabkan ± 50% kalus mati (Yuliani, 2009). Kalus tebu didapatkan dari dosis tertinggi 1,5% dan dosis yang sering digunakan dalam perakitan tebu tahan garam adalah 0,5 dan 1,0 % (Stavarek dan Rains, 1984). Jenis garam yang digunakan adalah NaCl karena telah banyak digunakan pada pengembangan berbagai tanaman tahan salin diantaranya tembakau dan padi (Jaiwal et al., 1997). Pada media seleksi tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh karena menurut McHughen & Swartz (1984) dapat menyebabkan respon sel kalus yang toleran lebih sensitif terhadap garam akibat dari meningkatnya laju metabolisme yang pada akhirnya berpengaruh pada meningkatnya penyerapan garam. Perbedaan nilai LD50 setiap klon tebu menggambarkan tingkat gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan dosis garam tertentu akan berbeda pada satu klon dengan
7
klon lainnya, karena faktor genetik akan sangat mempengaruhi kemampuan sel dalam menanggapi kondisi lingkungan tempat tumbuh sel kalus yang tercekam. Nilai LD50 didapat dari hasil uji probit, selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar pengembangan klon tebu tahan salin untuk masing-masing klon (Yuliani, 2009). Tahap selanjutnya setelah ditemukan dosis garam yaitu melakukan penyaringan ketahanan cekaman salinitas. Penyaringan ketahanan cekaman salinitas dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu penyaringan pada tahap kalus Saccharum spp. (Nurwendah, 2011), lemon (Singh et al., 2002), dan Citrus aurantium L. (Koc et al., 2009); penyaringan pada tahap planlet Saccharum officinarum L. (Karpe et al., 2012), Citrus sinensis L. Obseck (BenHayyim dan Yehudit, 1989), dan Fragraria x ananassa Duch. (Husaini dan Abdin, 2008); perkecambahan benih pada Vigna mungo Var. Pu-19 (Kapoor dan Srivastava, 2010); penyaringan menggunakan eksplan mata tunas pada Cucumis sativus L. (Malik et al., 2010), penggunaan eksplan hipokotil dan kotiledon Solanum lycopersicum L. (Mohamed et al., 2011), dan penggunaan mata tunas pucuk Solanum tuberosum L. (Aghaei et al., 2008). BL-35 A1
A2
PS921 B1
PSCo C1
C2
B2
PS851 D1
D2
Kalus klon BL-35 pada minggu pertama berwarna putih dan bertekstur friable (A1) tetapi pada minggu terakhir berwarna kecoklatan (A2); kalus klon PS921 pada minggu pertama berwarna putih dan bertekstur kompak (B1), pada minggu terakhir berwarna putih kecoklatan dengan tekstur friable (B2); kalus klon PSCo minggu pertama berwarna putih kekuningan dan bertekstur kompak (C1), dan pada minggu terakhir berwarna hitam (C2); kalus klon PS851 pada minggu pertama berwarna putih kecoklatan dan bertekstur friable (D1),pada minggu terakhir berwarna putih kehitaman(D2) (Nurwendah, 2011).
Gambar 3.2. Perkembangan kalus tebu yang ditanam pada media dengan cekaman NaCl (Nurwendah, 2011) 8
Gambar di atas menunjukkan penyaringan salinitas pada tahap kalus yang mampu menghasilkan kalus tahan cekaman salinitas yang ditunjukkan dari persentase kematian kalus pada media yang mengandung dosis salinitas berbeda-beda. Kalus yang mati berwarna kehitaman yang berarti kalus tersebut tidak tahan terhadap cekaman salinitas.
Grafik 3.1. Respon 14 kultivar terhadap tiga konsentrasi garam pada media penyaringan (Mangala et al., 2008) Grafik di atas merupakan hasil penelitian Mangala et al., (2008) yang menunjukkan respon yang dialami 14 kultivar kacang tanah yang dilakukan penyaringan ketahanan salinitas secara in vitro. Penyaringan tersebut menghasilkan toleransi cekaman tiap kultivar yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan persentase kultivar yang mampu bertahan pada tahap penyaringan ini. Persentase paling tinggi untuk kultivar yang hidup menunjukkan bahwa tingkat toleransi terhadap cekaman salinitas juga tinggi dan mampu bertahan pada kondisi salin hingga batas tertentu
Gambar 3.3. Penyaringan ketahanan eksplan tomat menggunakan hipokotil (A-B) dan kotiledon (C-D) pada dosis NaCl yang berbeda-beda secara in vitro (Mohamed et al., 2011) 9
Histogram 3.1. Kenampakan pertumbuhan dua macam eksplan tomat yang ditanam dalam media dengan dosis NaCl yang berbeda (Mohamed et al., 2011) Gambar dan histogram di atas menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari kotiledon yang ditanam di media NaCl memiliki kenampakan pertumbuhan yang lebih baik daripada planlet yang berasal dari hipokotil. Jumlah tunas, panjang tunas, berat segar, dan berat kering pada planlet yang berasal dari kotiledon memiliki nilai yang lebih tinggi daripada planlet yang berasal dari hipokotil tomat.
Gambar 3.4. Respon kultivar kentang Concord (kultivar sensitif)-kiri dan kultival kentang Kennebec (kultivar toleran)-kanan pada konsentrasi NaCl yang berbeda (Aghaei, 2008). Gambar di atas menunjukkan perbedaan pertumbuhan antara dua kultivar kentang yang memiliki sifat toleran dan rentan terhadap salinitas. Pada dosis NaCl yang tinggi (120 mM) keduanya mengalami hambatan pertumbuhan yaitu pertumbuhan tunas terhambat dan planlet menjadi kerdil, namun pada tanaman kentang yang rentan terhadap salinitas, hambatan pertumbuhan sudah terjadi mulai penambahan dosis rendah NaCl (30 mM).
10
Gambar 3.5. Perbedaan pertumbuhan planlet tebu yang ditanam pada media dengan dosis cekaman NaCl yang berbeda-beda (Shomeili et al., 2011) Planlet tebu yang ditanam di media yang mengandung dosis NaCl berbeda-beda juga menujukkan adanya perbedaan pertumbuhan yaitu tinggi tunas, panjang akar, dan banyak tunas yang dapat terbentuk dari kalus yang diregenerasikan. Penyaringan ketahanan cekaman salinitas yang memanfaatkan teknik budidaya jaringan memberikan keunggulan tertentu terutama masalah waktu karena dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa mengenal musim dan ketepatan pengaruh salinitas terhadap komoditas target karena kondisi lingkungan yang stabil. Keberhasilan dari penyaringan ketahanan cekaman salinitas pada tanaman budidaya diharapkan menghasilkan planlet yang dapat dikembangkan menjadi tanaman tahan salin yang mampu hidup dan dibudidayakan di lahan salin.
11
IV. KESIMPULAN
1.
Budidaya jaringan tanaman telah banyak digunakan untuk tujuan pemuliaan tanaman terutama dalam seleksi ketahanan abiotik karena karakter-karakter agronomi dan ketahanan terhadap suatu cekaman tersebut dapat diisolasi dalam waktu singkat dan kondisi yang stabil,
2.
Cekaman abiotik yang paling penting adalah cekaman salinitas karena dapat menurunkan kemampuan regenerasi, menghambat pertumbuhan tunas dan akar, menurunkan berat kering planlet, dan mengurangi jumlah tunas yang tumbuh pada tanaman yang ditanam secara in vitro, dan
3.
Tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan kriteria tanaman yang tahan cekaman salinitas yaitu penentuan lethal dosis (LD), penyaringan, dan regenerasi sehingga menghasilkan planlet yang diharapkan dapat dikembangkan menjadi tanaman tahan salin yang mampu hidup dan dibudidayakan di lahan salin.
12
DAFTAR PUSTAKA Aghaei, K., A.A. Ehsanpour, G. Balali, dan A. Mostajeran. 2008. In vitro screening of potato (Solanum tuberosum L.) cultivars for salt tolerance using physiological parameters and RAPD analysis. Eurasian Journal Agriculture and Environment Science 3: 159 – 164. Ben-Hayyim, G., dan G. Yehudit. 1989. Planlet regeneration from a NaCl-selected-salttolerant callus culture of Shamouti orange (Citrus sinensis L. Osbeck). Plant Cell Reports 8: 680 – 683. Croughan, T.P., Stavarek, S.J., dan D. W. Rains. 1981. In vitro development of salt resisitant plants. Journal of Envir. and Exper. Bot. 21:317-324. Dix, P.J., dan H. E. Street. 1975. Sodium chloride-resistant cultured cell lines from Nicotiana sylvestris and Capsicum annuum. Journal of Plant Sciences 26:159-165. Foth, H.D. 1990. Fundamental of Soil Science. John Wiley and Sons, New York. Husaini, A.M., dan M.A. Abdin. 2008. Development of transgenic strawberry (Fragaria x ananassa Duch.) plants tolerant to salt stress. Journal of Plant Science 174: 446 – 455. Hussain, A., I.A. Qarshi, H. Nazir, dan I. Ullah. 2012. Plant Tissue Culture: Current Status and Opportunities. In Tech.
. Diakses pada tanggal 22 April 2013. Jaiwal, P.K., Singh, R.P., dan A.Gulati. 1997. Strategies for Improving Salt Tolerance in Higher Plants. Science Publishers, Inc., United States America. Kapoor, K., dan A. Srivastava. 2010. Assesment of salinity tolerance of Vigna mungo var.Pu19 using ex vitro and in vitro methods. Asian Journal of Biotechnology 2: 73 – 85. Karpe, A., A.A. Nikam, K.P. Chimote, S.B. Kalwade, P.G. Kawar, H. Babu, R.M. Devarumath, dan P. Suprasanna. 2012. Differential responses to salinity stress of two varieties (CoC 671 and Co 86032) of sugarcane (Saccharum officinarum L.). African Journal of Biotechnology 11: 9028 – 9035. Koc, N.K., B. Bas, M. Koc, dan M. Kusek. Investigations of in vitro selection for salt tolerant lines in Sour Orange (Citrus aurantium L.). Journal of Biotechnology 8: 155 – 159. Liu, M. C., 1984. Sugarcane In: W. R. Sharp, D. A. Evans, P. V. Ammirato dan Y. Yamada (Editors), Handbook of Plant Cell Culture 2, Crop Species. Macmillan, New York. Malik, A.B., W.G. Li, L.N. Lou, J.H. Weng, dan J.F. Chen. 2010. Biochemical/physiological characterization and evaluation of in vitro salt tolerance in cucumber. African Journal of Biotechnology 9: 3284 – 3292.
13
Mathur, A.K., Ganapathy, P.S., dan Johri, B.M., 1980. Isolation of sodium chloride-tolerant planlets of kickxia ramossissima under in vitro condition. Z. Pflanzenphysol. 99:287294. Mchughen, A., dan Swartz, M. 1984. A tissue-culture derived salt-tolerant line of Flax (Linum usitatissimum). Journal of Plant Physiology 177: 109-117. Mohamed, A.N., M.R. Ismail, M.A. Kadir, dan H.M. Saud. 2011. In vitro performances of hypocotyl and cotyledon explants of tomato cultivars under sodium chloride stress. African Journal of Biotechnology 10: 8757 – 8764. Mungala, A.J., T. Radhakrishman, dan J.R. Dobaria. 2008. In vitro screening of 123 Indian Peanut cultivars for sodium chloride induced salinity tolerance. World Journal of Agriculture Sciences 4: 574 – 582. Munir, N. 2009. Biochemical characterization of in vitro salt toleranct cell lines and regenerated plants of Sugarcane (Saccharum spp. hybrid). Disertation. Department of Botany University of The Punjab, Pakistan. Nabors, M.W., Daniels, A., Nabolny, L., dan Brown, C., 1975. Sodium chloride tolerant lines of tobacco cells. Journal of Plant Sciences 4: 155-159. Nabors, M.W., S.E. Gibbs, C.S. Berstein, dan M.E. Meis. 1980. NaCl-Tolerant tobacco plants from cultured cells. Z. Pflanzenphysol. 97:13-17. Nugrahani, P., Sukendah, dan Makziah. 2011. Teknik Propagasi secara In vitro. Recognition and Mentoring Program. Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur. Nurwendah, A. 2011. Penyaringan Ketahanan Beberapa Kalus Tebu (Saccharum spp.) Tahan Salin. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pandey, R., dan P.S. Ganapathy. 1984. Isolation of sodium chloride-tolerant callus line of Cicer arietinum L. cv. BG-203. Journal of Plant Cell Reports 3:45-47. Perez-Clemente, R.M., dan Gomez-Cadenas, A. 2012. In vitro tissue culture, a tool for the study and breeding of plants subjected to abiotic stress conditions. In Tech. . Diakses pada tanggal 29 April 2013. Placide, R., C.S. Christian, dan S. Rony. 2012. Development of in vitro technique to screen for drought tolerant banana varieties by sorbitol induced osmotic stress. African Journal of Plant Science 6: 416 – 425. Roy, B., S.K. Noren, A.B. Mandal, dan A.K. Basu. 2011. Genetic engineering for abiotic stress tolerance in agricultural crops. Journal of Biotechnology 10: 1 – 22. Shoemeili, M., M. Nabipour, dan M. Meskarbashee. 2011. Evaluation of sugarcane (Saccharum officinarum L.) somaclonals tolerance to salinity via in vitro and in vivo. Hayati Journal of Biosciences 18: 91 – 96. 14
Suhartati. 2008. Propagation of tissue culture on forestry plantation species. Mitra Hutan Tanaman 3: 141 – 148. Tyagi, A.K., A. Rashid, dan S.C. Maheshwari. 1981. Sodium chloride resisten cell line from haploid Datura innoxia Mill. A resistant trait carried from cell to planlet and vice cersa in vitro. Journal of Protoplasma 105:327-332. Yuliani, E. 2009. Penentuan Dosis Lethal NaCl untuk Seleksi In Vitro Tebu (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Program Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
15
LAMPIRAN Sesi Diskusi
1. Eni Kaeni Tanya : kendala/permasalahan apa saja yang dialami dalam budidaya jaringan tanaman secara umum? Jawab : Permasalahan secara umum dalam pelaksanaan budidaya jaringan tanaman ada empat macam, yaitu kontaminasi, vitrifikasi, aklimatisasi, dan keragaman somaklonal. Kontaminasi merupakan permasalahan pada eksplan maupun media tanam akibat adanya mikroorganisme yang terbawa seperti jamur dan bakteri. Kontaminan dapat hidup di dalam media tanam karena kondisi yang tidak aseptik saat menanam maupun keberadaan mikroorganisme tersebut dalam eksplan (bersifat endogenik). Untuk daerah subtropis terutama daerah yang memiliki empat musim, kontaminasi sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi karena siklus hidup mikroorganisme dapat terputus dengan kondisi iklim di daerah tersebut, sedangkan di daerah tropis persentase terjadi kontaminasi tinggi karena lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme berkembang biak. Resiko yang ditimbulkan akibat kontaminasi yaitu terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan ekplan sehingga tujuan budidaya jaringan tanaman tidak tercapai. Vitrifikasi adalah kenampakan planlet yang aneh dan lain daripada yang seharusnya. Vitrifikasi dapat disebabkan oleh kombinasi media tanam. Kerugian yang ditimbulkan yaitu dapat mempengaruhi kualitas dari planlet yang dihasilkan. Aklimatisasi merupakan pemindahan planlet ke media tanam sebenarnya yang berupa tanah. Dalam tahap ini sering terjadi kematian planlet karena terjadi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim pada planlet serta morfologi planlet yang masih lemah contohnya kondisi kelembaban, suhu, ketersediaan unsur hara, dan cahaya yang tidak stabil; epidermis, stomata, kutikula planlet yang masih kecil dan tipis sehingga rentan terhadap intensitas cahaya yang tinggi serta kelembaban yang rendah. Tahap aklimatisasi membutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga planlet agar tetap hidup. Variasi somaklonal merupakan keragaman yang terjadi pada planlet. Variasi somaklonal dapat terjadi pada bibit-bibit hasil produksi massal maupun penyimpanan secara in vitro. Variasi somaklonal dapat saja menguntungkan bagi pemuliaan tanaman karena dapat memperbesar variabilitas tetapi dalam produksi bibit secara massal diharapkan meminimalkan variasi somaklonal supaya diperoleh keseragaman bibit yang diinginkan. 16
2. Fathin Nabihaty Tanya : apa saja indikator toleransi salin pada planlet yang diuji secara in vitro? Jawab : Untuk mendapatkan tanaman tahan salin secara in vitro, dapat digunakan beberapa bahan seperti benih (contohnya pada wijen), kalus (contohnya pada tebu), maupun yang sudah berupa planlet (contohnya tebu, tomat, dan kedelai). Jika eksplan yang digunakan berupa benih maka dapat diketahui lewat kemampuan berkecambah benih selanjutnya diukur pertumbuhan vegetatifnya seperti tinggi tanaman, panjang akar, jumlah daun yang mampu tumbuh pada kondisi salin. Jika eksplan berupa kalus dapat diketahui lewat perkembangan/pertambahan kalus, warna kalus, serta persentase kalus yang mampu hidup dalam kondisi salin. Kalus yang mampu bertahan dan tetap hidup pada media salin selanjutnya diregenerasikan pada media normal tanpa tambahan garam karena kalus yang tersaring merupakan kalus yang tahan salin sehingga menghasilkan planlet yang tahan salin juga. Jika eksplan berupa planlet maka pengamatan yang dilakukan berupa pengamatan pertumbuhan vegetatifnya yang meliputi jumlah daun, tinggi tanaman, panjang akar, dan jumlah akar selama planlet tersebut dikondisikan dalam media salin. Jika ada planlet yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang paling baik didantara semua planlet yang dibandingkan maka planlet tersebut dapat disebut planlet yang tahan salin.
3. Nanung Apri Yudi Tanya : berapa kali dilakukan penyaringan salinitas secara in vitro? Apakah ada pengujian lagi di lahan? Jawab : Penyaringan ketahanan salinitas pada tanaman yang diuji dilakukan sekali. Dengan kondisi lingkungan yang stabil dan terkendali diharapkan penyaringan yang dilakukan secara in vitro memberikan hasil yang maksimal sehingga dapat langsung diaplikasikan di lahan untuk kebutuhan produksi secara massal. Tanaman yang telah melewati tahap penyaringan selanjutnya dilakukan aklimatisasi menjadi tanaman yang normal. Dalam skala lapangan, tanaman tersebut tidak perlu diberi perlakuan salinitas lagi, hanya diuji stabilitasnya selama beberapa masa tanam di beberapa tempat terpilih.
17