TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015
MAKALAH PESERTA
DAMPAK HUKUM TIDAK DIAKUINYA AGAMA LOKAL OLEH NEGARA: Studi Kasus pada Masyarakat Samin di Kudus Jawa Tengah Oleh: Moh.Rosyid
DAMPAK HUKUM TIDAK DIAKUINYA AGAMA LOKAL OLEH NEGARA: Studi Kasus pada Masyarakat Samin di Kudus Jawa Tengah Oleh: Moh.Rosyid 1
A. Pendahuluan Kebutuhan manusia dalam hidup berupa kebutuhan lahir (fisik) dan batin (psikis). Terpenuhinya kedua kebutuhan tersebut sebagai prasyarat terwujudnya kesejahteraan. Kebutuhan lahir identik dengan mengonsumsi bahan makanan untuk tubuh (pangan), pernik yang dibutuhkan tubuh (sandang), dan papan (rumah). Adapun kebutuhan batin adalah hal yang dibutuhkan oleh batin, tidak (selalu) kasat mata, tetapi bagian dari penggerak roda jiwa. Contoh konkrit kebutuhan batin di antaranya adalah beragama. Ekspresi orang beragama secara kasat mata dapat dipahami berbentuk perilaku pemeluk agama yang teguh atau tidak teguh. Keteguhan dan ketidakteguhan pemeluk agama dalam beragama sangat ditentukan oleh diri dan lingkungannya terutama jika belum dewasa, sumber informasi, dan pengetahuan yang diterimanya. Sehingga dikenal istilah agama turunan dan agama kesadaran. Dengan demikian, jika seseorang meyakini sebuah agama, ditebalkan dalam jiwa, diperkuat pengetahuan tentang agamanya, dan kondisi nyaman beragama di lingkungannya sehingga maksimal beribadah berdasarkan kesadarannya maka tercipta kesalihan beragama. Jika demikian yang terjadi, maka pemeluk agama apa pun akan mempertahankan keberagamaannya dengan sepenuh jiwa dan raga untuk kebahagiaannya. Akan tetapi, lazimnya mengukur kebahagiaan sering latah karena kebahagiaan berdasarkan standar ’lazimnya’. Padahal, kebahagiaan setiap diri bukan berdasarkan standar orang lain. 2 Menggapai kebahagiaan tiap orang pun dengan cara
1
Dosen STAIN Kudus Jawa Tengah, Peneliti Samin,
[email protected]. Sebagai contoh, Orang Rimba yang hidup di hutan dengan berpindah (nomaden) menolak pemberian bantun rumah gratis dari Kementerian Sosial. Tujuan Kementerian agar berintegrasi sosial dan bersedia menghuni rumah yang disediakan pemerintah. Rumah gratis diyakini Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi sebagai simbol tekanan luar terhadap mereka untuk hidup menetap. Hal itu tidak sesuai dengan adat istiadatnya. Di antara adatnya adalah setiap peristiwa dukacita akibat kematian, Orang Rimba selalu berpindah melalui tradisi melangun (berpindah). Mereka percaya jika tetap bertahan di tempat lama, akan tertimpa bencana sebagaimana yang dialami keluarga/kelompoknya yang meninggal. Pemerintah belum memahami budaya kami. Penolakan disampaikan oleh Tumenggung Nyenong, pimpinan Orang Rimba dalam dialog dengan Komando Resor Militer Jambi Kolonel Harianto. Danramil menekankan pentingnya Orang Rimba hidup menetap dan bercocok tanam untuk mewujudkan ketahanan pangan kelompoknya. Pemerintah akhirnya menunda program permukiman tetap. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, 2
1
yang ragam menurut kemampuan dan ukuran masing-masing. 3 Hal tersebut diperkuat dalam Orasi Ilmiah I Gusti Ngurah Sudiana dalam pengukuhan sebagai Guru Besar Sosiologi Agama di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Bali, Selasa 17 Maret 2015 dengan judul ‘Perilaku Bunuh Diri dalam Transformasi Sosial Masyarakat Bali menurut Pandangan Agama Hindu’. 4 Dalam naskah ini, penulis mengkaji komunitas Samin yang beragama Adam tapi agamanya tidak diakui negara. Akibatnya, hak lainnya sebagai warga negara
Orang Rimba lebih membutuhkan pengembalian tanah adat yang telah beralih fungsi menjadi hutan tanaman industri. Sesuai peraturan, perusahaan pemegang konsesi wajib menyisihkan 5 persen lahan kelolaannya untuk program kemitraan dengan masyarakat setempat. Mensos menawarkan agar wilayah komunitas Orang Rimba diusulkan menjadi desa adat terkait ruang hidupnya menempati hutan di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas. Berdasarkan data BPS Provinsi Jambi tahun 2010, komunitas Orang Rimba berjumlah 3.198 jiwa yang tertebar di enam kabupaten. Di Kabupaten Sarolangun berjumlah berjumlah 1.095 jiwa, Merangin 858 jiwa, Tebo 823 jiwa, Bungo 286 jiwa, Batanghari 79 jiwa, dan Kabupaten Tanjung Jabaung Barat 57 jiwa. Jumlah lelaki 1.610 dan perempuan 1.588 jiwa (Kompas, 14 Maret 2015). 3 Awal Februari 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) meluncurkan indeks kebahagiaan Indonesia 2014. Survei itu mengukur tingkat kepuasan hidup warga yang bisa dipakai untuk mengukur kesejahteraan warga. Hasilnya, orang Indonesia lebih puas dengan keharmonisan keluarga, keamanan, kondisi lingkungan, dan hubungan sosial. Akan tetapi, kepuasan terhadap pendidikan, pendapatan, kepemilikan rumah, pekerjaan, dan kesehatan rendah (kurang diprioritaskan). Karakter warga yang paling bahagia data BPS tersebut adalah berdomisili di kota, perempuan, belum menikah, usia 25-40 tahun, berpendidikan magister atau doktor, dan penghasilannya tinggi. BPS Jawa Tengah pada 2014 membuat indeks kebahagiaan dengan skala 0-100. Tiga aspek kehidupan yang berkontribusi paling tinggi adalah pendapatan rumah tangga yang mencukupi (14,95 %), pekerjaan yang tepat (13,20 %), dan pendidikan (13,12 %). Indeks kebahagiaan warga yang hidup di kota mencapai 68,36 % dan di desa 67,36 %. Bagi yang berumah tangga dengan jumlah anggota keluarga 3 jiwa indeks kebahagiaan cenderung tinggi di banding dengan jumlah isi/warga serumah yang lebih banyak. Makin tinggi jenjang pendidikan dan penghasilannya, makin tinggi indeks kebahagiaan. Akan tetapi, dalam realitas umum, kebahagiaan seseorang tercermin dalam ketenangan hidupnya dan tangguh menghadapi tekanan dan cobaan hidup. Penentu kebahagiaan seseorang ditentukan oleh kemampuan melihat diri, faktor budaya, kemampuan kognitif/otak (berpikir). Seseorang berbahagia didukung kemampuan spiritualnya/batin yang mampu bersyukur, sabar, dan ikhlas. Menerima hidup apa adanya mendukung tergapainya kebahagiaan. Makin kompleknya lingkungan hidup dan kian banyaknya pembanding bisa menjadi rujukan membuat orang rentan kurang bahagia. Kebahagiaan diri ditentukan oleh rujukan yang digunakan yang tergantung dengan cara menilai apa yang ada pada diri dan lingkungannya serta apa yang dimilikinya. Dengan demikian, kebahagiaan sangat fluktuatif (berubah-ubah) karena faktor di luar dirinya. Peran lingkungan ikut mendominasi menggapai bahagia, sebagai contoh, pejabat merasa tidak/belum bahagia karena ingin menggapai jabatan yang lebih tinggi, dst. 4 Menurut Sudiana, maraknya praktik keagamaan dan aktivitas religius masyarakat Bali tidak menghindarkan masyarakat Bali dari kasus bunuh diri. Perubahan sosial budaya akibat perluasan sistem ekonomi kapitalisme global ikut memengaruhi terjadinya bunuh diri di Bali. Transformasi kehidupan masyarakat Bali menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan norma sosiokultural. Pergeseran itu mengakibatkan tatanan dan pranata sosial mengalami keguncangan. Pudarnya ikatan keluarga juga memicu maraknya bunuh diri di Bali. Budaya di Bali seperti ngorte atau mengobrol sebagai obat jiwa, tak lagi dilakukan. Tradisi itu mengurangi tekanan sosial dan memberikan solusi atas permasalahan individu dalam kehidupan bermasyarakat. Kasus bunuh diri di Bali terjadi di semua kabupaten dan kota di Bali. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kasus bunuh diri tertinggi pada 2008 yaitu 150 kasus. Bunuh diri di Bali terjadi pada Perang Puputan Badung melawan Belanda tahun 1906. Ada pula ritual mesatia, yakni bunuh diri isteri raja dengan menceburkan diri ke api ketika jenazah suaminya dibakar pada era kerajaan Bali (Kompas, 18 Maret 2015).
2
menghadapi dilema. 5 Samin adalah gerakan yang muncul di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, sekitar tahun 1890, dipimpin Ki Samin Surosentiko. Gerakan Samin pada awalnya mampu merekrut 2.300 KK yang tersebar di Rembang, Grobogan, Pati, Kudus Jawa Tengah hingga Ngawi Jawa Timur. 6 Akan tetapi, jumlahnya kini makin menyusut, baik dari aspek wilayah maupun jumlah tiap wilayah. Samin merupakan istilah yang bernuansa politis dan lebih tersohor karena keberadaannya yang selalu dijadikan “bidikan” di masa penjajah Belanda. Hal itu dikarenakan action masyarakat Samin yang (1) menentang penjajah dengan gerakan “khas” berupa tidak membayar pajak, karena hasil pembayaran pajak itu (anggapan Samin) tidak untuk pembangunan masyarakat tetapi untuk penguasa (Belanda), (2) tidak ikut bergotong- royong bersama (gugur-gunung) dalam membuat jalan dan fasilitas umum lainnya. Mereka beranggapan bahwa terbangunnya jalan untuk memperlancar transportasi pemerintahan Belanda. Kini, sikap mereka mengalami perubahan total menjadi masyarakat yang taat terhadap kewajiban negara dan norma sosial kemasyarakatan pada umumnya, (3) action yang dilakukan berupa gerakan “berbahasa jujur” untuk mengelabui penjajah atau dikenal dengan ‘kirotoboso’. Bila ditanya: berapa anakmu? Dijawab 2, laki-laki dan perempuan, meskipun realitanya jumlah anaknya 4 anak, 3 laki-laki 1 perempuan. Jumlah jenis kelamin itu terjawab jika muncul pertanyaan lanjutan dari penanya: pinten jumlahipun (berapa jumlah semuanya). Jawaban tersebut bagi warga Samin yang tipologi sangkak. Tipologi ini bukan berarti semua warga Samin yang eksis kini sangkak, bahkan tipe ini jumlahnya tertentu, bahkan mengalami perubahan-pergeseran cara dan bentuk secara perlahan-lahan karena berbagai faktor. Sangkak merupakan bagian dari bentuk perlawanan Samin dengan bahasa. Mengapa yang diingat publik tentang Samin adalah perlawanannya? karena pertama, aktivitas yang bersifat ’melawan’ dalam berbagai hal lebih mudah dikenal
5
Naskah ini menggunakan istilah “Samin”, tidak “Sedulur Sikep” karena pertimbangan popularitas peristilahan karena dari aspek politis. Ada juga istilah Shaminisme berasal dari bahasa Siberia, suatu keyakinan terhadap kekuatan dukun, tukang sihir, atau ahli lain menggunakan kekuatan gaib mencapai tujuan hidup (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004, hlm. 4). 6
Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004, hlm. 371.
3
(dari aspek positif maupun negatif) daripada aktivitas yang datar-datar saja. 7 Kedua, perlawanan/gerakan Samin selalu dijadikan referensi (acuan) para peneliti/pemerhati mancanegara maupun dalam negeri. Beberapa di antaranya pernah singgah di lingkungan Samin Kudus 8. B.Landasan Teoretis Landasan teoretis yang tertuang dalam naskah ini meliputi pijakan hukum beragama, konsep beragama, dan konsep HAM tentang agam. 1. Pijakan Hukum Beragama Kebutuhan dasar aspek fisik dan rohani seharusnya negara memfasilitasi kebutuhan warga negaranya, tidak bedanya beragama, bukan hanya agama yang dipeluk oleh komunitas mayoritas, tapi komunitas minoritas pun diposisikan sama. Realitasnya, antara agama yang tereksplisitkan berdasarkan perundangan dengan perundangan lainnya berseberangan. Penjelasan Pasal 1 Perpres Nomor 1/PNPS/1965 9 dinyatakan ”agama yang dipeluk penduduk Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Keenamnya dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, tidak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka mendapat jaminan penuh dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau perundangan lain”. Maknanya, bukan agama tertentu yang boleh dipeluk warga negara. Dengan demikian, Perpres itu memberi ajang yang luas bagi warga negara dalam memilih ragam agama, tak hanya enam agama. Tetapi realitanya perundangan di atas bertolak 7
Nenek moyang warga Samin memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan cara melawan Belanda, sehingga anak-cucu Ki Samin pun masih dilekati image tersebut hingga kini. Komunitas Samin kondisi kini telah taat terhadap kebijakan negara, seperti membayar pajak. Bahkan warga Samin dipercaya sebagai Ketua RW di lingkungan yang warganya Samin dan non-Samin. Hal ini dialami Budi Santoso, warga Desa Larekrejo, Kecamatan Undaan, Kudus. Santoso juga ditunjuk sebagai seksi penggalian dana pembangunan masjid di Desa Larekrejo. Warga Samin juga memberi donasi dalam pembangunan masjid. 8 Antara lain Agung Suryanto (tahun 1980-an), Heni Purbaningrum dan Amrih Widodo (tahun 1984-an), Antok Kukusima dari Jepang (tahun 1985-an), Sarah Wis dari Belanda (tahun 1987-an), Beni Fuad. S (tahun 1987-an), Hermanu (tahun 1987-an), Linda dari Filipina (tahun 1990-an), dan Bondan Gunawan (tahun 1990-an). Kunjungan para penulis tersebut tidak diperoleh penulis hasil risetnya. Boleh jadi, kedatangannya hanya sebatas berkunjung atau melakukan riset tetapi penulis belum mendapatkan hasil risetnya. 9 Perpres Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tersebut ditetapkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1969 berdasarkan amanat Tap MPRS Nomor XIX/MPRS/1965. Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 yang menegaskan (masih) diberlakukannya UU Nomor 1/PNPS/1965. Kedua, agama samawi atau agama wahyu (revealed religion) agama yang dipercaya sebagai hasil pewahyuan Tuhan melalui malaikat-Nya kepada rasulNya (full fledged), memiliki kitab suci, dan memiliki umat (pengikut).
4
belakang dengan Pasal 61 (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk yang diubah menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013 bahwa pemeluk agama selain agama yang ‘disahkan’ UU dikosongi (diberi tanda setrip) dalam kolom agama KTP warga pemeluk agama (yang agamanya tak tertulis eksplisit). Hal ini bermakna nirpengakuan Negara pada agama yang tak tertuang dalam perundangan secara eksplisit. Begitu pula Pasal 29 UUD 1945 setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (ayat 2). Dengan kata lain, beragama merupakan hak pribadi yang harus dipenuhi negara. 2. Konsep Agama Beragama dalam perspektif ilmuwan (khususnya sosiologi agama) terpilah menjadi dua yakni agama yang bersumber dari langit (vertikal, abrahamik) dan bersumber dari budaya manusia (agama budaya, wadi atau horisontal). Kedua pilahan tersebut memiliki perbedaan mendasar, jika agama langit bertuhan, berkitab suci, dan bernabi, sedangkan agama bumi pun bertuhan, (tidak selalu) berkitab suci, dan tidak selalu bernabi. Pilahan ini sifatnya sepihak (oleh dan untuk kalangan tertentu ternafikan). Dapat pula dinyatakan bahwa esensi dasar agama ’langit’ adalah keesaan dan cinta kasih agar manusia mampu dan mau menciptakan rahmatan lil alamin, sedangkan agama ’bumi’ esensinya adalah etika dan terwujudnya keselarasan sosial dan terjaganya alam. Hal ini pun bagian dari ajaran agama ’langit’. 10
10
Menurut Royce, agama adalah devosi terhadap suatu peraturan moral yang diperkuat oleh kepercayaan tentang hakikat segala sesuatu. Sedangkan menurut Oman, agama adalah pengakuan akan adanya realitas tertinggi yang bernilai dan patuh disembah. Berbeda dengan Bertocci, agama adalah suatu kepercayaan pribadi bahwa nilai-nilai terpenting didukung dan selaras dengan stuktur alam semesta yang abadi. Oleh Barth agama didefinisikan sebagai upaya atau perjuangan individu untuk membuat diri mereka sendiri pantas di hadapan Yang Ilahi. Sedangkan menurut Wieman agama adalah komitmen tertinggi terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan untuk mengubah makhluk karena mereka tidak dapat mengubah dirinya sendiri. Menurut Kaufmann, agama berakar dalam aspirasi manusia untuk mentrandensi diri. Menurut William James, agama adalah perasaan-perasaan, tindakan-tindakan dan pengalaman manusia perorangan dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami dirinya sendiri berada dalam hubungan dengan apa saja yang mereka anggap ilahi. Secara hati-hati, Beardsleys mendefiniskan agama sebagai seperangkat kepercayaan, sikap, dan praksis yang ditentukan oleh kepercayaan mereka tentang hakikat manusia, alam semesta, tentang bagaimana manusia hidup dan cara terbaik untuk mencari kebenaran realitas dan nilai (Maran, 2000:70).
5
Para ahli ilmu sosial memberikan definisi bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan manusia. 11 Hal itu timbul dari simpulan studinya di bidang antropologi, sosiologi, etnologi dsb. Karena agama dianggap sebagai elemen penting kehidupan manusia sejak zaman prasejarah hingga era modern. Dari segi bentuknya agama dipandang sebagai kebudayaan batin manusia yang mengandung potensi psikologis dan memengaruhi jalan hidup manusia. Timbulnya agama karena dorongan insting religius pada diri manusia atau disebabkan sentimen (perasaan) kemasyarakatan dalam kehidupan kolektif manusia. Pendapat ilmuwan sosial, Emil Durkheim, agama merupakan gejala masyarakat, adanya agama karena adanya masyarakat sebagai manifestasi jiwa masyarakat. C.G. Jung, manusia memiliki naturaliter religiosa (insting beragama), berkembang menjadi pengikut agama yang taat. Dari aspek isi, agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan dengan sendirinya tidak dikategorikan kebudayaan yang berlaku untuk agama revilasi (wahyu), sedangkan bagi agama yang sumbernya bukan dari wahyu, dapat dipandang dari segi bentuk dan isinya yang disebut kebudayaan karena agama (bukan proses pewahyuan) bersumber dari budidaya manusia 12. Esensi agama menurut Rosyidi esensi agama adalah pengabdian (dedication atau contentment), tiap pengikut agama harus mengabdikan diri sekuat-kuatnya pada agama yang dipeluknya 13. Menurut penulis, esensi agama adalah pengakuan batin yang diwujudkan dalam perilaku lahir terhadap aktivitas yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika antara kondisi batin dengan kondisi lahir bertolak belakang, esensi agama yang dipegang individu posisinya lemah.
3. Konsep HAM tentang Agama 11
Munculnya definisi agama dipengaruhi latar belakang keilmuan masing-masing pengkaji, pengalaman hidup, dan lingkungan di mana ia hidup. Sehingga setiap ilmuwan memiliki definisi tersendiri dalam merumuskannya merupakan hal wajar dalam dunia ilmu pengetahuan. Dalam KBBI (2008:15) agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang MahaKuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya. Sedangkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (2004:156) agama adalah aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya dalam hal tata tertib upacara, praktik pemujaan, dan kepercayaan pada Tuhan. 12
M. Arifin. 1998. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Golden Terayon Press: Jakarta. hlm.1- 6. 13 M. Rosyidi. 1983. Filsafat Agama. Bulan Bintang: Jakarta. hlm.11.
6
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dirativikasi dalam UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Terdapat dua kata kunci hak derogable dan hak non-derogable (hak absolut) tak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara walau keadaan darurat. Hal itu berupa hak dasar: hak hidup (rights to life); bebas dari penyiksaan (right to be free from torture); bebas dari perbudakan (right to be free from slavery); bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); bebas dari pemidanaan berlaku surut; sebagai subyek hukum; dan hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang disebut sebagai universal inaliable (tak bisa dilenyapkan), involable (tak dapat diganggu gugat), dan nonderogable human rights (hak-hak asasi yang tak boleh dilanggar). Bila negara melanggar dikecam sebagai pelanggar HAM (gross violation of human rights). Beragama dan melaksanakan ajarannya merupakan hak absolut warga negara, sesuai Pasal 29 UUD 1945 dan sila pertama Pancasila.
C.Pembahasan Pembahasan dalam naskah ini mengulas seputar jati diri komunitas Samin, urat nadi komunitas Samin di Kudus Jawa Tengah, Samin masa kini perspektif pemerintah daerah, kebijakan Negara yang merugikan Samin, upaya warga Samin di Kudus dalam memenuhi hak dasarnya, dan argumen Samin memertahankan agama Adamnya. 1. Jati Diri Komunitas Samin Keberadaan komunitas Samin diawali kesadaran Raden Kohar (anak Bupati Sumoroto, Tulungagung, Jawa Timur) melihat petani miskin dirampas hartanya oleh kolonial Belanda. Kohar membuat gerombolan untuk memboikot Belanda. Agar jati diri keningratannya tak nampak, ia mengganti nama menjadi Ki Samin Surosentiko. Ia pujangga Jawa pesisiran pasca-Ronggowarsito menyamar sebagai petani menghimpun kekuatan. Setelah banyaknya pengikut, merampas harta Belanda untuk si miskin. Pada 1907 Ki Samin Surosentiko diculik Belanda dibawa ke Rembang beserta 8 pengikutnya dan dibuang di Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat hingga wafat tahun 1914. Pembeda wong Samin dengan non-Samin, wong Samin mengaku
7
(ndaku) beragama Adam yakni menaati prinsip ajaran hidup dan menjauhi larangan hidup serta perkawinannya tak dicatat karena kawin janji lisan. Komunitas Samin (Sedulur Sikep) yang salih dalam beragama Adam mereka kokoh dan konsisten dengan keberagamaannya walau hempasan yang berasal dari lingkungannya maupun pemerintahannya berjalan secara kasat mata atau tak kasat mata. Kasat mata sebagaimana pasca-G 30 September 1965, mereka ’distempel’ oleh publik sebagai partisan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau dianggap tidak beragama dengan ragam dalih. Pertama, Ki Samin Surosentiko, pencetus gerakan Samin, berharap terwujudnya kemerdekaan di Jawa (saat itu yang muncul lokalitas karena Nusantara saat itu terdiri atas beberapa kerajaan). Semangat yang ditanamkan Ki Samin pada generasi dan pengikutnya, harapan merdeka akan terwujud bila mampu melawan penjajah Belanda. Di tengah asa tersebut, dalam prediksi Ki Samin, Jawa akan merdeka setelah Belanda hengkang dari Jawa dan disusul kedatangan tentara Jepang. Ungkapan Ki Samin ”tekane Jepang koyok laler, cirine cebol, tangane kuwogo, ing pundake ono plong abang, suwine neng Jowo sak umure jagung, tekone bareng, iku Nippon arane” (Kedatangan Jepang laksana datangnya hewan laler, dengan ciri cebol, tangannya kidal, di pundaknya tergambar bendera Jepang, menjajah seumur masa tanam hingga panen jagung (3,5 tahun), datangnya serentak, pasukan itu adalah Nippon). Sak wise Nippon minggat, Negoro iki mardeko. Sak banjure negoro iki dipimpin anak negeri, yeng saiki dikunjoro seumur hidup, yoiku bocah perjuangan (Setelah Jepang hengkang dari Nusantara, negara ini merdeka. Setelah merdeka dipimpin anak bangsa, yang saat itu dipenjara seumur hidup, yakni Bung Karno). Bila Jawa sudah merdeka, Ki Samin berpesan: yen Jowo wes mardeko, mongko anak putu lakune medon mapah gedang, geni brambut, banyu suket, kon saguh yo saguh, kon bayar pajek yo bayar. Iki mbesuk seng kedunungan wahyu Ratu Jowo yoiku bocah perjuangan. Kanggo sarono bantu nentremke Tanah Jowo (Bila Jawa sudah merdeka, taatilah aturan pemerintah (RI) dengan membayar pajak. Pemimpin (RI) nanti
adalah
anak
muda
yang kini
(saat
penjajahan) sedang
Kepemimpinannya untuk menyejahterakan bangsa). Prediksi itu tatkala Nusantara masih dijajah Belanda.
8
berjuang.
Ki Samin memerintahkan pengikutnya, Ki Surokidin tatkala Ki Samin diasingkan di Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat bersama sembilan pengikutnya. Perintah Ki Samin agar memberikan keris pada Bung Karno untuk tambahan kekuatan dalam memimpin negara. Sembilan pengikut Ki Samin kembali ke Blora Jawa Tengah sedangkan Ki Samin tetap ditahan di Sawahlunto. Setelah berada di Blora, Ki Surokidin memerintahkan Ki Surorejo Kuncung agar ke Yogyakarta menyerahkan pusoko/keris pada Bung Karno. Setelah keris diterima Bung Karno, Bung Karno meminta Ki Surorejo agar mendata jumlah komunitas Samin. Pendataan dilakukan dari desa ke desa yang ada komunitas Samin didampingi Rusdi, warga Samin dari Dukuh Wotan, Desa Sukolilo, Pati. Akan tetapi, pendataan tersebut tidak ada tindaklanjut berupa kebijakan negara atau lainnya pada warga Samin hingga kini karena meletusnya konflik 30 September 1965. Kedua, masa kepresidenan Soekarno, tokoh Samin di Kudus, Sumarsono (dipanggil Sumar, lahir 19 Mei 1917 dan wafat 10 Maret 2015) menghadiri rapat akbar yang dihadiri Bung Karno di alun-alun simpang lima Kabupaten Pati, kabupaten yang bersebelahan dengan wilayah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sumar datangnya dengan berjalan kaki dari rumah ke lokasi orasi. Rapat akbar memupuk semangat nasionalisme warga untuk membangun bangsa oleh Bung Karno. Kedatangan Sumarsono sebagai ekspresi dukungan terhadap Bung Karno mewujudkan kemerdekaan. Imbas kedatangan Sumarsono, warga tetangganya ingin mendengarkan cerita seputar hal-hal yang diorasikan Bung Karno sehingga banyak tetangga yang Samin dan non-Samin memosisikan Sumar sebagai sumber cerita tentang jati diri Bung Karno dan perjuangannya. Di sisi lain, runtuhnya rezim Soekarono, kemudian era Orde Baru, kiprah Sumar dipahami publik sebagai bentuk jaringan Soekarnois sehingga warga Samin dipandang minir oleh pemerintah desa hingga pejabat di tingkat atas. Aktivitas Samin disorot ekstra dan kebijakan pemerintah ditimpakannya dengan wujud arogansi di tengah perilaku warga Samin mempertahankan ajaran leluhurnya. Sebagaimana perkawinannya tidak dicatatkan, sehingga dipaksa kawin sebagaimana amanat undang-undang. Keteguhan warga Samin mempertahankan ajaran leluhurnya benar-benar teruji atau luntur sangat tergantung kekokohannya. Kekokohan itu sangat tergantung pemahamannya atas
9
ajaran agama Adam yang dikukuhinya. Kualitas pemahaman itu sangat tergantung pula terhadap materi ajaran yang diterima dan dipahaminya. Ketiga, imbas melaksanakan ajaran agama Adam, terdapat perbedaan aktivitas antara warga Samin dengan non-Samin, seperti ibadah warga Samin semedi, perkawinan Samin tidak menyertakan peran negara (tak memiliki akta kawin) karena perkawinannya melestarikan ajaran agama Adam, bukan penghayat kepercayaan sehingga warga Samin tak merespon kebijakan pemerintah dalam kawin dengan difasilitasi pemukanya. 14 Perkawinan Samin memiliki tahapan baku. 15
14
Penganut aliran kepercayaan diakomodir oleh PP Nomor 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 1 (18) kepercayaan terhadap TYME (penghayat kepercayaan) adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan TYME berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap TYME serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Dalam ayat (20) surat perkawinan penghayat kepercayaan dibuat, ditandatangani, dan disahkan oleh pemuka penghayat kepercayaan. Surat Edaran Nomor 01/SE/NBSF/VIII/07 tanggal 1 Agustus 2007 oleh Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tentang Penunjukan dan Penetapan Pemuka Penghayat Kepercayaan yang berbunyi: sehubungan dengan diundangkannya UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Adminduk dan PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2007 pada bab X, persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan Pasal 81 ayat (1) perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan, (2) penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan, dan (3) pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap TYME, berupa (a) agar saudara berdasarkan musyawarah anggota, dapat segera menunjuk dan menetapkan pemuka penghayat kepercayaan di lingkungan organisasi penghayat kepercayaan yang saudara pimpin yang bertugas untuk mengisi dan menandatangani Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan terhadap TYME, (b) jumlah pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan yang saudara pimpin dapat kami serahkan sepenuhnya kepada saudara sesuai dengan kebutuhan/kecukupan wilayah cabang dan penyebaran organisasi, (c) pemuka penghayat kepercayaan yang telah ditunjuk dan ditetapkan agar segera didaftarkan ke Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh Surat Keputusan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa tentang penetapan kewenangannya, dan (d) pemuka penghayat kepercayaan yang telah didaftarkan ke Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar dilengkapi dengan alamat tempat tinggal dan dua lembar foto berwarna ukuran 4x6. 15 Tahapan perkawinannya nyumuk; kedatangan keluarga (calon) kemanten putra meminang jika gadis belum memiliki calon suami (legan) selanjutnya dilkaukan ngendek (menyunting). Nyuwita (hari perkawinan) diawali ijab kabul kedua mempelai di depan wali (kedua orangtua), saksi (saudara), pemberian mas kawin (biasanya berupa emas) tanpa dicatatkan. Setelah pasuwitan kemanten putra hidup bersama istri dan keluarganya (ngawula) dan kemanten putra membantu pekerjaan mertua. Paseksen, deklarasi kemanten putra di hadapan orang tua dan mertua, kemanten putri, keluarga, tamu undangan warga Samin dan non-Samin bahwa dirinya telah bersenggama (kumpul). Tatkala hamil 7 bulan, dislameti (brokohan/tingkepan) agar bayi lahir sehat. Perkawinan Samin berprinsip meneruskan keturunan (wiji sejati, titine anak Adam). Tak dicatatkan karena Adam dan Hawa kawinnya tak dicatat, hanya mengandalkan janji dan saling memercayai. Usia dalam Samin terpilah Samin Timur (belia), Brahi (siap kawin) dan putu Adam (berkeluarga) kawin atas dasar keinginan bukan angka usia (Rosyid, 2010).
10
2. Urat Nadi Samin di Kudus Eksisnya komunitas Samin di Kudus pada dasarnya karena beberapa faktor di antaranya, pertama, secara geografis berdekatan dengan ‘sumber Samin’ yakni di wilayah Kabupaten Pati dan Blora. Kedua, hubungan interpersonal yang intens antara pembawa ajaran Samin dari Blora dan Pati dengan peletak Samin di Kudus. Ketiga, sealur dengan teori gelombang dalam bejana, maksudnya semakin jauh (sebuah wilayah-daerah) dari sumber kebijakan pemerintah, semakin jauh pula pembangunan yang diterimanya. Dalam hal ini adalah pembangunan fisik dan keagamaan masyarakat “desa Samin” (pada saat itu) sedikit terbengkelai dari pada wilayah yang dekat dengan jantung pemerintahan, sehingga ajaran Samin berpeluang diterima (sebagian masyarakatnya). Keempat, pembenaran terhadap hipotesa bahwa Samin identik dengan desa dan ladang-sawah, mengingat “desa Samin” Kudus berada di wilayah pedesaan-pelosok. 16 Terdapat beberapa prediksi alur munculnya Samin di Kudus, pertama, Samin Kudus berasal dari Desa Bombong Kabupaten Pati karena hubungan intens antara Sosar (dari Desa Kutuk), Radiwongso (dari Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo), dan Proyongaden (dari Desa Larekrejo) dengan penyebar Samin dari Blora. Kedua, keberadaan Samin Kudus menurut Soerjanto (2003) berasal dari Desa Randublatung Kabupaten Blora, ketika Ki Samin Surowijoyo membawa Kitab Serat Jamus Kalimasada berbahasa Jawa Kuno (berupa macapat dan gancaran) singgah di Desa Kutuk (Kudus), meskipun sekarang kitab itu tidak dapat (belum) diketemukan lagi. Ketiga, kemunculan Samin dari Desa Ploso Kabupaten Blora oleh Ki Samin Surosentiko alias Raden Kohar untuk membangun kekuatan karena kegagalannya melawan Belanda. Keempat, Samin tiba di Kudus menurut Fathurrahman (2003) pada tahun 1916 karena kegagalan Ki Samin Surosentiko mengekspansi pengaruhnya di wilayah Tuban Jawa Timur. 3. Jati Diri Samin Dalam ajaran Samin, terdapat larangan dalam hidup berupa bedok; menuduh, colong; mencuri, pethil; mengambil barang yang melekat dengan sumber kehidupan (sayur di ladang), Jumput; mengambil barang yang menjadi komoditas di pasar
16
Moh. Rosyid. Samin Kudus Bersahaja di tengah Asketisme Lokal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2008, hlm.17.
11
bahkan nemu wae ora kena; menemukan menjadi pantangan, sekaligus menjauhi drengki (memfitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), Dawen (mendakwa tanpa bukti), Kemeren (iri hati), Nyiya Marang Sepada (berbuat nista terhadap sesama karena ramu-rambunya bejok reyot iku dulure, waton menungsa tur gelem didaku sedulur (cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Prinsip tersebut menjadi urat nadi kesehariannya. 17 Adapun prinsip hidup dalam ajaran Samin, pertama, waspodo (waspada), tindak sepecak gunem sekecap (produktif dalam beraktivitas dan meminimalisasi pernyataan), waskito (murakabi/memahami), ati-ati yen durung klakon, ngileng-ileng yeng
wes
klakon
(berhati-hati
dalam
berperilaku
bila
belum
mengalami/berpengalaman, dan dalam berperilaku mengingat hal yang telah dilakukan). Kedua, sabar lan nrimo, susah ojo kesusahen, bungah ojo kebungahen, yen bungah ileng susah, yen susah ileng bungah, karo-karone bakal tumeko, tumekane ora bareng, pegot tan keno owah, owah tan keno gumingsir, keno gumingsir yen tutuke gawe (konsisten memegangi ajaran, berubah tetapi tidak bergeser, boleh bergeser jika menghadapi kematian). Ketiga, jika berinteraksi sosial berpegang (i) lung-tinulung, lok jinalok, tang-piutang, nyileh kudu mbalekno, utang kudu nyaur (tolong-menolong, memberi atau meminta, saling menghutangi, meminjam harus mengemalikan, berhutang harus membayar), (ii) dipager betis tembok, ijeh aman dipager mangkok (dipagar tembok (rumahnya) lebih aman bila bersifat sosial), (iii) sedulur sikep kudu iso nglakoni ngalah, gunem sekecap tutuke pangan secokotan. (mengalah, berbicara seperlunya). Barang apik nak iso ora kanggo dewe (hal kebajikan tidak untuk dirinya sendiri), (iv) gunemem iki, sak iki mbok dol sewu ora payu. Mbesok, mbok dol sekethi ora ngedoli, kuwe mbesok diluru dulur (bila orang Samin teguh dengan prinsip hidupnya, harga perilaku itu mahal, akan dijadikan teman banyak pihak), (v) ojo gunem yeng norak, tindak sepecak gunem sekecap kanti bener (jangan berbicara yang tidak bauk, sekali melangkah penuh dengan pemikiran yang benar). Ketiga, ojo ngumbar suoro, ojo ngumbar tatanan, lan ojo ngumbar karep (jangan mudah memberi pernyataan, jangan melepas tatanan, dan jangan membiarkan kehendak). Keempat, seneng nyandang, doyan mangan kudu toto gauto gebyah macul biyen yo saiki ngantiyo mbesok yo ajek seng 17
Moh. Rosyid. Kodifikasi Ajaran Samin. Kepel Press: Yogyakarta. 2011.
12
te-e dewe (Suka berpakaian, ingin makan harus bekerja tani, lalu, kini, dan mendatang yang miliknya sendiri). Keempat, sebab dalane bener utowo luput iku ono loro: pengucap lan kelakuan. Sopo ngaku kuwi sopo, lan kuwi opo. Sopo wonge, opo agamane, yen tumindak lan pengucape ora bener, yo mesti salah (jalan hidup baik atau buruk bersumber dari ucapan dan perbuatan. Siapa pun, apa pun jabatannya, apa pun agamanya, bila perilakunya tidak benar, maka menuai kesalahan). 4. Samin Masa Kini Perspektif Pemda Masa kini bagi pemerintah Kabupaten Blora, khususnya masa pemerintahan Bupati Djoko Nugroho, Sekda Blora menerbitkan Surat Edaran Nomor 061/561/2014 tentang Pakaian Samin berupa baju kagok (tanpa kerah, menyerupai baju koko dan berwarna hitam) dan celana tokong (panjang di bawah lutut, di atas mata kaki) sebagai seragam PNS dan Pegawai Honorer di Pemkab Blora berlaku sejak 24 April 2014. Baju Samin dipakai sebulan sekali pada hari Kamis sebagai ciri khas Blora dan melestarikan budaya Blora. Bagi pegawai lelaki mengenakan sepatu sandal model tumit tertutup dan perempuan yang berjilbab menyesuaikan modenya. Bupati Blora, Djoko Nugroho juga mengabadikan nama Ki Samin Surosentiko sebagai nama gedung di lingkungan Pemkab dan nama jalan Ki Samin. Warga Blora pun tertarik memakai kaos bergambar Ki Samin. Dibangunnya Padepokan Sedulur Sikep di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora sebagai pertanda nguru-uri tradisi khas. Upaya Pemkab Blora merupakan awal dari upaya mengukuhkan karakter warga Samin untuk ditauladani dalam kehidupan. Faktor penyebab respeknya Pemkab Blora terhadap keberadaan komunitas Samin karena terbatasnya jumlah destinasi wisata, sehingga komunitas Samin dapat dijadikan alternatif penunjang. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sabtu 7 Maret 2015 mampir di kampung Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Blora. Kedatangan Jokowi tidak diagendakan oleh Sekretaris Negara, hanya karena tatkala kunjungan di Blora, mendapat informasi tentang masih eksisnya wong Samin, maka Jokowi menyempatkan diri singgah dan bertemu dengan warga Samin. Gubernur Jawa Tengah (semasa kepemimpinan Gubernur Bibit Waluyo) menerbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. 13
Era Gubernur Ganjar Pranowo, dengan Perda tersebut mengamanatkan pengenaan pakaian adat Jawa, baik bermode solo, mataraman, semarangan, banyumasan, dan samin bagi pegawai pemda tiap tanggal 15. Berkebalikan dengan era Orde Baru. Masa Orba, Bupati Blora mendapat julukan ‘Bupati Samin’ tersinggung karena Samin masa itu identik serba negatif, yakni pembangkang, kolot, miskin, bahkan ateis yang terbawa doktrin penjajah. Stigma pada Samin oleh penjajah karena perjuangan Ki Samin Surosentiko beserta pengikutnya membangkang membayar pajak. Dalih warga Samin, pajak tak untuk kesejahteraan pribumi tapi untuk penjajah. Setelah presur penjajah di Blora, saminisme mengekspansi ke Pati, Grobogan, dan Kudus Jawa Tengah. 18 Kini, warga Samin taat pemerintah karena prinsip leluhurnya bahwa negeri ini dipimpin anak negeri untuk ditaati. 5. Kebijakan Negara yang Merugikan Komunitas Samin Pertama, warga Samin yang sekolah formal diwajibkan menerima mata pelajaran agama non-agama Adam. Harapan warga Samin yang mengikuti pendidikan formal, materi pendidik agama Adam diajarkan oleh sesepuh dan orangtua warga Samin yang pelaksanaan pembelajarannya di rumah warga Samin yang dikenal homeschooling). Warga Samin yang sekolah formal tak dipaksa menerima mata pelajaran agama selain agama Adam. Anak Samin yang sekolah formal, diwajibkan menerima mata pelajaran agama mayoritas, hal ini rentan terjadi konversi agama. Adapun warga Samin yang belum sekolah formal perlu penegasan oleh Pemda berdasar PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. 19 Warga negara merasa perlu dengan pendidikan agama karena muatan pendidikan agama adalah bagian dari 18
Komunitas Samin hingga kini dalam catatan penulis masih eksis di wilayah Kabupaten Blora, Pati, Purwodadi, dan Kudus Jawa Tengah. Keberadaan Samin di Blora kini tertebar antara lain di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo; Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong; Dusun Tambak, Desa Sumber, Kecamatan Kradenan; Dukuh Tanduran, Desa Klagen, Kecamatan Kedungtuban; Dukuh Mbelik, Desa Tambaksari, Kecamatan Tunjungan; Desa Sitirejo, Kecamatan Tunjungan; Desa Jurang, Kecamatan Bogorejo. Adapun keberadaan warga Samin di Purwodadi berada di Dukuh Karangdosari, Desa Dumpil Krajan, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, berdekatan dengan wilayah Kabupaten Blora. Di Kabupaten Pati, komunitas Samin eksis di wilayah Kecamatan Sukolilo. Di Kabupaten Kudus eksis di wilayah Kecamatan Undaan, berada di Desa Larekrejo dengan jumlah diprediksi 16 KK, Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo dengan jumlah 56 KK, dan Desa Kutuk 5 KK. Di wilayah Kecamatan Jekulo di Dukuh Mijen Desa Bulungcangkring dengan jumlah 4 KK, dan Kecamatan Jati berada di Dukuh Goleng Desa Jati Wetan dengan jumlah 2 jiwa. 19 Penjelasan Pasal 7 (6) sanksi administratif diberikan pada warga negara yang tak menaati program wajar 9 tahun berupa tindakan paksa agar anak (warga negara) mengikuti program wajar 9 tahun atau penghentian sementara atau penundaan pelayanan kepemerintahan.
14
kebutuhan hidupnya yang bersifat batiniah berupa ketenteraman, kenyamanan, dan kepuasan batin 20. Tetapi muncul persoalan, bagaimana agama yang belum dieksplisitkan perundangan atau pemeluk aliran kepercayaan dalam melaksanakan kebutuhannya di bidang pendidikan? Jawabannya membutuhkan kerja keras secara konseptual maupun konkrit dengan harapan kebutuhan batin pemeluk agama dipenuhi oleh negara sesuai dengan porsi yang diperlukan pemeluk agama. Kedua, kolom agama dalam KTP warga Samin dikosongi (diberi tanda setrip). Harapan warga Samin di Kudus, kolom agamanya ditulis sesuai agama yang dipeluk warga Samin. Hal ini tak menyalahi UU. 21 Arah pokok KTP adalah memenuhi hak asasi setiap orang di bidang adminduk dan meningkatkan kesadaran penduduk dalam pelaksanaan adminduk. Hal ini membutuhkan keberanian pimpinan/bupati karena menghargai hati nurani umat beragama merupakan tanggung jawabnya. Dengan paparan tersebut, usaha untuk diakuinya agama Samin (agama Adam) yang disejajarkan dengan enam agama yang tertera dalam perundangan.22 Pengakuan terhadap agama Adam oleh negara selama ini dikategorikan aliran kepercayaan, sehingga kolom agama dalam KTP warga aliran kepercayaan diberi tanda strip (-) atau dikosongi. Hal tersebut menandaskan bahwa hanya enam agama yang dieksplisitkan dalam perundangan yang dituangkan dalam kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) warga, meskipun negara tidak berposisi sebagai lembaga yang ’mengakui’, tetapi fasilitator bagi pemeluk agama dan setiap agama 20
PP Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 8 (2) pendidikan keagamaan bertujuan terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. 21 UU Nomor 1/PNPS/1965 menyatakan ”agama yang dipeluk penduduk Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghu Cu. Enam agama ini dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, tak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia, mereka mendapat jaminan penuh dan dibiarkan adanya, asal tak melanggar ketentuan perundangan lain. Penjelasan Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 bahwa agama apapun di Indonesia boleh hidup, bukan agama tertentu, asal tak melanggar perundangan. UU Nomor 1/PNPS/1965 memberi ajang yang luas bagi warga negara dalam memilih ragam agama. Muncul pertanyaan, adakah agama yang dipeluk warga negara bertentangan dengan perundangan? Pasal 29 UUD 1945 setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (ayat 1) dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (ayat 2). Kata ‘menyatakan sikap’ diwujudkan dengan penuangan nama agama (selain agama yang tereksplisitkan) dalam kolom KTP warga Samin. 22 PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan Pasal 9 (1) pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
15
yang dipeluk warga negara tetap dilindungi negara, berdasarkan UU Nomor 1/PNPS/1965 23. KTP sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan dokumen pribadi dan status hukum warga negara wajib difasilitasi negara. Penerbitan KTP berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. UU ini terdapat pasal yang perlu diluruskan. Pasal 61 (2) kolom agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai ketentuan perundangan atau bagi penghayat kepercayaan tak diisi, tapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Pasal 83 (1) database dimanfaatkan untuk kepentingan perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan pembangunan. Pasal 61 (2) terdapat kesalahan redaksional dan substansial bila dikroscek dengan Perpres Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Frasa ’agama sesuai ketentuan’ merupakan kesalahan redaksional karena negara tak pernah memberi standar agama yang sesuai atau tak sesuai dengan ketentuan. Perbedaan atau pengakuan agama dan aliran kepercayaan pada wilayah akademik, bukan area birokrasi. Pengosongan agama dalam kolom KTP warga -yang agamanya selain enam agama secara eksplisit dalam Perpres Nomor 1/PNPS/1965 dan PP Nomor 55 Tahun 2005- merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 4 ”hak warga negara berupa hak hidup, hak untuk tak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, dan hak beragama”. Dengan demikian, sudah saatnya wilayah agama dikaji dalam ranah ilmuwan an sich, bukan ranah birokrasi karena sengaja atau sering disalahtafsirkan oleh penyelenggara negara dalam pengakuan atau kebijakan bidang agama. Hal ini pada dasarnya menafikan keberadaan agama asli Nusantara yang eksis semenjak era kerajaan
di
Nusantara
hingga kini
meski
negara mengategorikan
aliran
kepercayaan. 24 Di sisi lain, negeri ini bukan negeri agama (teokrasi) tapi negara 23
Penjelasan Pasal 1 bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confusius). Keenam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, kecuali mereka mendapat jaminan sebagaimana Pasal 29 (2) UUD ’45 juga perlindungan. Agar pemeluk agama kokoh dalam beragama, pemerintah memfasilitasi dengan dibentuknya Kementerian Agama di antaranya penyelenggara ibadah agama (haji), perkawinan, menangani bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, dsb. 24 Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ketuhanan Yang MahaEsa”. Pesan yang dapat dinukil dari penjelasan Pasal 1
16
kesatuan yang mengayomi semua agama. Realitasnya tak ada satu perundangan pun yang mendefinisikan apa itu agama. Agama idealnya berada pada wilayah batin umat dan wilayah akademik, bukan wilayah publik karena rentan tersulut konflik. Ketiga, imbas perkawinan adat ala Samin tak dicatatkan (tak memiliki akta kawin), dalam kartu keluarganya, kepala rumah tangga seorang ibu (bukan bapak sebagaimana lazimnya warga non-Samin), kedudukan lelaki tertuang dalam kolom lain-lain dalam KK, akta lahir anak Samin tertulis anak di luar nikah. Dampaknya, tatkala warga Samin meminjam modal pada perbankan pernah ditolak karena kolom agama dalam KTP-nya dikosongi (diberi tanda setrip). 6. Upaya Perencanaan Produk Hukum yang Rawan bagi Samin Terbitnya perundangan sangat ditentukan oleh dinamika kehidupan berbangsa yang direspon oleh eksekutif dan legislatif. Dinamika itu memerlukan piranti hukum sehingga wacana membentuk perundangan sangat dinamis. Akan tetapi, kemenangan (terwujudnya UU) sangat dipengaruhi oleh kelompok yang dominan (mayoritas). Kelompok ini identik dengan ’memenangkan’ komunitasnya yang mayoritas, sedangkan kelompok minoritas sering kalah bertanding dalam menghadapi kekuatan dominan. Wacana dalam rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terdapat pasal pemusnah kearifan lokal, sebagaimana Pasal 485 ”Setiap orang yang hidup bersama sebagai suami-isteri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama setahun atau pidana denda maksimal Rp 30 juta”. Dalih pelarangan kumpul kebo untuk menjaga kesucian lembaga pernikahan. RUU tersebut hingga ditulisnya naskah ini (April 2015) belum menjadi UU. Begitu pula Perpres Nomor 1/PNPS/65 bahwa agama apapun di Indonesia boleh hidup, tak agama tertentu, asal tak melanggar perundangan. Dengan demikian, agama lokal sebagaimana agama Adam bagi wong Samin (Sedulur Sikep), Parmalim bagi komunitas di Batak, Sunda Wiwitan bagi warga Sunda, dsb. selazimnya ditulis dalam kolom agama di KTP warga, tak dokosongi karena diakui pemeluknya sebagai agama, meski pemerintah memasukkan database kependudukan. Frasa ‘enam agama dipeluk hampir seluruh penduduk’ menjadi wilayah khilafiyah dalam konteks masa kini karena bila dibandingkan jumlah pemeluk aliran kepercayaan akan sejumlah pemeluk agama Hindu, Buddha atau Khonghucu. Adakah agama yang bertentangan dengan perundangan? Jika ada, itu bukan ajaran agama (apapun) tapi tafsiran umat beragama. Bila ada kementerian agama, tugasnya melayani umat beragama dan negara tak menghakimi mana agama yang sah dan mana yang tak sah karena tak ada standar pengesahan sebuah agama secara birokratis. Kesalahan UU Adminduk berimbas salah pada PP 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 470/1989/MD tanggal 19 Mei 2008 tentang Pelayanan Adminduk bagi Penghayat Kepercayaan yang ditujukan pada gubernur dan bupati/wali kota.
17
draf RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang dikonsep Kementerian Agama terdapat hal yang ‘mengganggu’ keberadaan agama lokal. RUU yang disosialisasikan pada April 2015 mendefinisikan agama bahwa sesuatu disebut agama bila memiliki Tuhan yang disembah, memiliki nabi, memiliki kitab suci, dan adanya pedoman agama untuk proses kelahiran, kematian, perkawinan yang berkait dengan sistem administrasi Negara. Hingga ditulisnya naskah ini, RUU PUB masih didalami pihak Kemenag dengan meminta masukan publik. 7. Upaya Warga Samin di Kudus dalam Pemenuhan Hak Dasarnya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat dinyatakan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM. Menyatakan pendapat secara lisan maupun tulisan di muka umum merupakan wujud demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Warga Samin pun ingin memenuhi hak hidupnya melakukan upaya nyata, baik secara tertulis maupun aktivitas agar hak dasarnya terpenuhi oleh negara. Pertama, warga Samin di Kudus memohon pada Bupati Kudus Jawa Tengah pada 26 Mei 2014 agar status hubungan anak warga Samin yang tertera dalam Kartu Keluarga (KK). Semula dalam KK-nya berhubungan perdata dengan ibu (bin ibu) untuk disesuaikan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 46/PUUVIII/2010 tentang uji materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keputusan MK menegaskan bahwa setiap anak mempunyai hubungan perdata dengan bapak (bin bapak), termasuk anak yang hasil perkawinannya tak dicatatkan (sebagaimana perkawinan Samin). Respon Pemkab Kudus, mengundang penulis memberi penjelasan bahwa permohonan warga Samin tak terealisasi karena tak ada payung hukum yang kokoh. Kedua, sesepuh warga Samin di Kudus juga mengajukan permohonan pada 27 Oktober 2014 ditujukan pada Menteri Pendidikan dan Menteri Agama RI agar difasilitasi terpenuhinya hak-hak dasar di bidang pendidikan. Sebagai pemeluk agama Adam, memohon diberi kesempatan melaksanakan sekolah rumahan (homeschooling) khususnya dalam mata pelajaran agama Adam untuk menggantikan mata pelajaran agama resmi di sekolah formal. Selama ini, pelajaran agama anak warga Samin diberi mata pelajaran salah satu agama yang dipeluk mayoritas warga. 18
Homeschooling dilakukan di rumah dengan guru agama tokoh (botoh) Samin. Adapun pelajaran dalam pendidikan formal selain pendidikan agama, anak melaksanakan di sekolah formal bagi warga Samin yang mau sekolah formal. 25 Ketiga, Oktober 2014, warga Samin Kudus mengajukan surat permohonan pada Bupati Kudus dan Komisi Ombudsman Jawa Tengah (1) warga Samin yang sekolah formal memohon tak diberi pelajaran agama karena menerima pelajaran agama Adam dari orangtua dan tokohnya di rumah warga Samin, (2) status kepala rumah tangga dalam kartu keluarganya dimohonkan si bapak, selama ini kepela rumah tangga dalam KK warga Samin ‘dijabat’ si ibu. Hal itu imbas warga Samin dalam perkawinannya mempertahankan ajaran leluhur bahwa yang berhak dan berkewajiban mengawinkan anak hanyalah kedua orangtuanya, tanpa diwakilkan pihak lain sehingga tak memiliki surat kawin. Bupati Kudus belum memenuhi permohonan warga Samin. Keempat, November 2014 permohonan
yang sama secara tertulis
dimohonkan warga Samin Kudus pada Kemendagri; Kemenko Pembangunan Manusia, sosial, dan budaya; Kemenkumham, Komnas HAM, dan Gubernur Jawa Tengah. Hingga ditulisnya naskah ini hanya Komnas HAM yang merespon tertulis yang ditujukan pada Bupati Kudus dan ditembuskan pada Gubernur Jateng dan warga Samin Kudus. Surat Komnas HAM Nomor 070/K/PMT/I/2015 tanggal 2 Januari 2015 perihal Pengaduan Hak atas Kebebasan pribadi warga Samin a.n Budi Santoso berisi agar Bupati Kudus memberi tanggapan atas pengaduan warga Samin dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak menerima surat (surat tertanggal 2 Januari 2015). Hingga ditulisnya naskah ini, komunitas Samin tak mengetahui laporan tertulis Bupati Kudus pada Komnas HAM RI. 8. Argumen Hukum Agama Adam Dipertahankan Warga Samin Agama Adam yang dipeluk warga Samin secara konstitusional keberadaannya sah. Hal ini merujuk pada UUD 1945 Pasal 29 bahwa beragama adalah hak tiap warga 25
Terdapat tiga bentuk respon warga Samin dalam pendidikan formal, yakni menolak sekolah formal karena dianggap menaati Belanda, sekolah formal dan menerima mapel agama ‘Pancasila’ dalihnya semua agama mengajarkan kebaikan, dan sekolah formal tapi menolak diberi pelajaran agama “Pancasila” karena memiliki agama Adam. Tipe kedua dan ketiga ini, bila orangtuanya tidak kekeh mengawasi pelaksanaan pembelajaran yang diterima anaknya dalam sekolah formal, rentan terjadi konversi agama. Tetapi, bagi yang rasa memiliki agama Adam dengan upaya pengawasan maksimal maka menghadap pimpinan lembaga pendidikan agar diberi kelonggaran tidak menerima mapel agama lain (Moh.Rosyid, 2011).
19
negara jo UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan Pasal 71 bahwa pemerintah wajib melindunginya. Penjelasan Pasal 1 Perpres Nomor 1/PNPS/1965 bahwa negara tidak membatasi jumlah agama, asal agama itu tidak melanggar UU. Akan tetapi, pemerintah dan publik masih kokoh dengan pemahaman yang salah bahwa hanya enam agama yang disahkan negara. Konsekuensi dari UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999. Dalih penolakan agama Adam sebagai agama hanya bersandar pada argument sosiolog agama bahwa agama Adam tidak bersangkut paut dengan proses pewahyuan karena mutlak berasal dari ide dasar leluhur/orang tua yang diikuti secara turun-temurun oleh generasinya. Imbas tidak diakuinya agama Adam yang dipeluk warga Samin maka konsekuensi hukum yang menimpa komunitas Samin berupa (1) tidak mendapat pelayanan negara dalam pendidikan agama Adam di sekolah formal. Bila berlandaskan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 (1) a peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. (2) selama ini kolom agama dalam KTP warga Samin hanya diberi tanda setrip (-) merujuk Pasal 61 (2) UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Idealnya ditulis nama agama Adam karena hak beragama warga negara dan pencantuman nama agama lokal dalam KTP warga negara bukanlah pelanggaran hukum. Dengan demikian, Pemda Kudus segera memenuhi permohonan warga Samin, tanpa menunggu keputusan atau produk hukum dari pemerintah pusat untuk memenuhi tuntutannya. Pemenuhan tuntutan tak ada warga atau kelompok satu pun dirugikan di negeri ini. Good will dari pemerintah memosisikan wong cilik secara proporsional merupakan kata kuncinya. Bagi pemerintah, legislatif, dan Komnas HAM pun perlu mengevaluasi Pasal 61 (2) UU Nomor 24 tahun 2013 yang mengamanatkan bahwa pemeluk agama selain agama yang ‘disahkan’ UU dikosongi (diberi tanda setrip) dalam kolom agama KTP pemilik diusulkan dengan diubah menjadi ditulis sebagaimana nama agama yang diakui warga Negara. Hal ini bila Negara masih kokoh mengidolakan negeri yang Bhinneka Tunggal Ika. Faktor dominan yang menyebabkan upaya warga Samin tidak mendapat perhatian Negara karena (1) jumlah warga Samin minoritas, (2) antarkelompok Samin di tiga kabupaten (Blora, Pati, dan Kudus Jawa Tengah) tidak memiliki 20
jaringan kekompakan, (3) karakter gerakan Samin masa kini berupa reaktif atas upaya investor yang dianggap mengganggu lestarinya lingkungan alam; pasif yang hanya memikirkan karakter diri dan komunitasnya yang lebih eksklusif dengan dinamika kekinian; dan menyuarakan pesan leluhur dalam hal pengakuan agama Adamnya; Ketiga karakter tersebut tidak saling mengisi/mendukung, dan (4) tidak adanya kekuatan dari luar yang menopang gerakan Samin dalam memenuhi haknya. Keempat hal tersebut akibat antarkomunitas Samin belum memiliki kesamaan visi (keinginan). Hal ini akibat penafsiran atas ajaran leluhurnya yang diwarisi secara lisan (oral tradition), sehingga terjadi perbedaan hasil penafsiran. Idealnya, warga Samin lintas kabupaten membuat komunitas yang menyatu agar suaranya terdengar atau diperhitungkan oleh Negara. Hal ini dilindungi UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM) Pasal 24 (1) setiap orang berhak berserikat, (2) mendirikan organisasi dan berperan dalam jalannya pemerintahan sejalan dengan tuntutan perlindungam, penegakan, dan pemajuan HAM. D. Simpulan Kondisi riil yang dialami warga Samin di Blora, Pati, da Kudus Jawa Tengah terutama dalam memerjuangkan pengakuan haknya beragama lokal, yakni agama Adam menghadapi kendala. Hal ini akibat tidak konsistennya pemerintah melaksanakan amanat UU. Di sisi lain, keberadaan komunitas Samin mendapat respon positif oleh Bupati Blora Jawa Tengah berupa (1) menerbitkan Surat Edaran Nomor 061/561/2014 tentang Penggunaan Pakaian Samin berupa baju kagok (tanpa kerah, menyerupai baju koko dan berwarna hitam) dan celana tokong (panjang hingga di bawah lutut, di atas mata kaki) berlaku sejak 24 April 2014 yang dipakai sebulan sekali tiap Kamis. Bagi pegawai lelaki Pemkab Blora mengenakan sepatu sandal model tumit tertutup dan perempuan yang berjilbab menyesuaikan modenya, (2) mengabadikan tokoh Samin, Ki Samin Surosentiko sebagai nama gedung di lingkungan Pemkab dan nama jalan, (3) dibangun Padepokan Samin/Sedulur Sikep di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Banjarejo, Blora, Jawa Tengah atas dana APBN c.q Kementerian Pekerjaan Umum. Imbas kebijakan tersebut, warga Blora pun kian gemar memakai kaos bergambar Ki Samin. Gebernur Jawa Tengah 21
menerbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa mengamanatkan pengenaan pakaian adat Jawa, baik bermode solo, mataraman, semarangan, banyumasan, dan samin bagi pegawai pemda tiap tanggal 15. Satu hal yang perlu diperjuangkan warga Samin, bila Bupati Blora merespon dengan bijak, tapi warga Samin masih memiliki pekerjaan rumah (PR) yakni meyakinkan Bupati Pati dan Kudus agar menelurkan kebijakan yang memenuhi aspirasinya. Hal yang mengkhawatirkan atas eksisnya agama lokal, sebagaimana yang dipeluk warga Samin, draf RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) produk Kementerian Agama mendefinisikan suatu hal dianggap agama bila memiliki Tuhan yang disembah, memiliki nabi, kitab suci, dan pedoman agama untuk proses kelahiran, kematian, perkawinan yang berkait dengan sistem administrasi Negara. Jauh sebelumnya muncul RUU KUHP terdapat pasal pemusnah kearifan lokal, Pasal 485 ”Setiap orang yang hidup bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama setahun atau pidana denda maksimal Rp 30 juta”. Pasal ini bila disahkan menjadi UU maka kearifan lokal yang dimiliki komunitas Samin akan lenyap karena pengakuan atas agamanya tidak dikategorikan agama dan perkawinanya tak dicatatkan.
22
Daftar Pustaka Arifin, M. 1998. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Golden Terayon Press: Jakarta. Rosyidi, M. 1983. Filsafat Agama. Bulan Bintang: Jakarta Rafael Raga Maran. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Rineka Cipta: Jakarta. Rosyid. Moh. Samin Kudus Bersahaja di tengah Asketisme Lokal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2008. -------- Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin. Idea Press: Yogyakarta. 2010. -------- Pendidikan Agama vis a vis Pemeluk Agama Minoritas. Unnes Press: Semarang. 2011. -------- Kodifikasi Ajaran Samin. Kepel Press: Yogyakarta. 2012.
23