Melayani Pelayan Sabda
Andi F. Noya: Saya Menikmati Peran Menjadi Jembatan
Parlemen Eropa Buka Ruang Untuk Pameran Alkitab Seminar dan Pameran
Ikon Orthodox Rusia PEKAN ALKITAB DI LAMPUNG IBADAH SYUKUR YUBILEUM 60 TAHUN LAI
”Lihatlah, Aku Membuat Semuanya Baru!”
Enam Puluh Tahun LAI Melayani Semua Gereja
Sa pa a n R e d a k s i
T
idak ada yang menduga dan mengira, kalau pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) saat ini sudah sedemikian berkembang dan maju. Awalnya bermula dari sebuah kolportase yang hanya menjual Alkitab. Tapi kini telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang juga mampu memproduksi Alkitab. Awalnya LAI merupakan lembaga yang selalu ditopang oleh Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia atau United Bible Societies (UBS), tapi kini LAI juga mampu menopang Lembaga Alkitab lainnya melalui program kebersamaan UBS. Masih banyak prestasi lainnya yang berhasil ditoreh selama 60 tahun perjalanan LAI bersama gereja-gereja dan umat kristiani di Indonesia. Semua perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai LAI tentunya tidak terlepas dari dukungan gereja-gereja dan umat kristiani yang melihat Alkitab sebagai sumber kehidupan semua orang. Kerinduan untuk mewartakan Kabar Keselamatan adalah jiwa dari kerja sama yang telah terjalin selama ini. LAI hidup dan tumbuh bersama gereja, begitupun gereja tumbuh dan berkembang dari Alkitab yang diterbitkan LAI.
Di samping dukungan dari para mitra, perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai adalah merupakan sebuah proses panjang yang terus-menerus berjalan dalam manajemen LAI, yang muaranya adalah semakin meningkatnya pelayanan LAI. Pelatihan keterampilan staf dan karyawan. Pelatihan kepemimpinan dan manajemen adalah upaya manajemen untuk melengkapi staf dan karyawan LAI agar mampu melayani para pemangku kepentingan, sehingga visi untuk menghadirkan Firman Allah sampai pelosok Indonesia dapat segera terwujud. Tahun 2014, adalah tahun Yubileum pelayanan LAI kepada Gereja dan umat kristiani di Indonesia. Fokus utama dari kegiatan Yubileum LAI adalah mengajak anak-anak, remaja, dan pemuda (baca: Generasi muda) untuk lebih dekat dan hidup bersama Firman Tuhan. Pekan Alkitab, Jambore Anak Nasional, Youth Gathering, dan peluncuran Alkitab Digital Plus versi Android adalah upaya LAI untuk menyiapkan generasi muda agar dapat terlibat bersama dalam menghadirkan Firman Tuhan bagi Indonesia di Masa Depan. Semoga. [bfk]
Menyiapkan Generasi
Era Digital W rt Wa Warta rta a Su S Sumber umber mb be err H Hidup idu id up N up No. o. 1 1,, Ta T Tahun ahu hun Ke KeKe-17, -17, 2 2014 014 01
1
DAFTAR ISI
23 1
Sapaan Redaksi "Lihatlah, Aku Membuat Semuanya Baru!"
42 43 44 46
Artikel Utama
48
Artikel
50 52
Pokok Pikiran
4 8 12
16 22
"Lihatlah, Aku Membuat Semuanya Baru!" Enam Puluh Tahun Melayani Umat Kristen Indonesia
27
48 Tahun Melayani di LAI Perjalanan Panjang LAI, Kenangan Seorang Mantan Karyawan 385 Tahun Injil Matius Ruyl 1629
30
Christian Gossweiler
37
Ibadah Peringatan 60 Tahun LAI di GPIB Tugu Doa Bersama Memperingati 60 Tahun LAI di GPIB Paulus Pertumbuhan Umat Kristiani di NTT Berkat LAI
39 40
2
Profil
56 58 59
Yubileum 60 Tahun LAI
61 63
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Agar Orang Semakin Memahami Alkitab Agar Pembaca Mengenal Allah Yang Hidup! Ibadah Syukur Yubileum 60 Tahun LAI Agar Umat Semakin Mudah Mengerti Isi Kitab Suci, Pekan Alkitab di Lampung Seminar dan Pameran Ikon Orthodox Rusia
Warta Nusantara
Pertemuan Tahunan Mitra LAI 2014 Andi F. Noya: Saya Menikmati Peran Menjadi Jembatan Menjangkau Yang Belum Terjangkau
Warta Mancanegara
Parlemen Eropa Buka Ruang Untuk Pameran Alkitab Berbagi Kasih dan Kepedulian untuk Para Pengungsi Suriah
Obituari
Selamat Jalan Pak Latui ... Eulogi Untuk Almarhum Pdt. Prof. Dr. Petrus D. Latuihamallo
Melayani Pelayan Sabda
Andi F. Noya: Saya Menikmati Peran Menjadi Jembatan
Parlemen Eropa Buka Ruang Untuk Pameran Alkitab Seminar dan Pameran
Ikon Orthodox Rusia PEKAN ALKITAB DI LAMPUNG IBADAH SYUKUR YUBILEUM 60 TAHUN LAI
”Lihatlah, Aku Membuat Semuanya Baru!”
Enam Puluh Tahun LAI Melayani Semua Gereja
48
Keterangan Cover: Seorang ibu memanggul anaknya saat menanti pembagian Alkitab di Pegunungan Bintang, Papua.
Lembaga Alkitab Indonesia Anggota IKAPI No. 067/DKI/97 Terdaftar di Departemen Agama RI No: F/Kep/HK. 005/15/476/1997 Berita Negara RI No. 69/1997, TBN RI Tanggal 27/6-1997 No. 51
Pemimpin Umum/Redaksi: Harsiatmo Duta Pranowo Redaktur Pelaksana: Budi Fajar Kadarmanto Redaksi: Antonius Eko Budi Santoso, Kristianto Eko Budiarto, Aditria Setiawan, Santhy G. Okvina Redaktur Tamu: Perry G. Katoppo Fotografer: Hendrik J. Lohey Penataan wajah dan isi: Kristianto Eko Budiarto Ilustrator: Kriswanto Soehun Pembantu Umum: Kepala-kepala Departemen LAI, Kepala Perwakilan LAI Alamat Redaksi/Sirkulasi: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Kemitraan Lembaga Alkitab Indonesia Jl. Salemba Raya 12, Jakarta 10430 Tel. (021) 3142890, Faks. (021) 3101061 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.alkitab. or.id
5:
No. Rek. LAI: 000-069-884-001, Bank BNI 1946 Cabang Kramat, Jakarta ISSN: 1410-5446
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
33
Po k ok Pi k i ra n
D
i tahun 2014 ini, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengajak segenap umat Kristen di Indonesia untuk mensyukuri: Enam Puluh tahun berdirinya LAI (9 Februari 1954-9 Februari 2014), empat puluh tahun diterbitkannya Alkitab Terjemahan Baru bahasa Indonesia (1974-2014), dan tiga ratus delapan puluh lima tahun diterbitkannya Injil Matius berbahasa Melayu terjemahan Albert Cornelisz. Ruyl (1629-2014). Banyak, ya bahkan teramat banyak berkat Allah yang telah kita alami dalam untaian sejarah tersebut. Melalui bahasa Nasional kita, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa ibu kita masing-masing, Tuhan Allah menyapa kita dan mengajarkan kepada kita tentang "….apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna." (Roma 12:2b). Itulah yang merupakan intisari dan pokok puji-pujian kita dengan merayakan Enam Puluh Tahun berdirinya LAI.
Tema perayaan diambil dari Wahyu 21:5: "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" Kalimat singkat padat ini merupakan proklamasi Allah yang campur tangan di dalam kekacauan sejarah (chaos) yang sedang terjadi. Chaos itu diakibatkan oleh perbuatan para pemegang kekuasaan yang bertindak melampaui batas-batas kewenangan mereka, sebab mereka menganggap diri sebagai penguasa tertinggi dunia ini. Mereka anti-Allah. Sama seperti yang dikemukakan di dalam Mazmur 2:1-2: "Mengapa rusuh bangsa-bangsa… Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya." Terhadap perkembangan sejarah sedemikian itu, TUHAN ALLAH tidak berdiam diri. Ia campur tangan dan melakukan pembaharuan.
" LIHATLAH, AKU MEMBUAT SEMUANYA BARU !" Oleh: Pdt. Dr. Ishak Pamumbu Lambe
4
Wartta Su Wa Warta Sumb Sumber mbe mb mber err H Hidup id dup pN No. No.1, o.. 1 1,,Tahun Ta T Tahun ahu hun nKe-17, K Ke Ke-17, -1 17, 2014 2014 20 14 4
Proklamasi ini ditujukan kepada seluruh dunia, tetapi terutama kepada umat ALLAH yang sedang tertindas akibat perbuatan para penguasa dunia. Dalam konteks kita masa kini, setidaknya ada tiga pesan yang dapat kita sarikan dari proklamasi Allah ini, yaitu (1) berita sukacita kepada mereka yang sedang tertekan bahkan tertindas, terutama kepada umat Allah, bahwa Tuhan Allah tidak berdiam diri; (2) janji Allah, yaitu janji yang pasti – bukan seperti janji kebanyakan para politisi (!) – bahwa Ia akan melakukan pembaharuan; (3) perintah Allah, yaitu bahwa kendati sedang mengalami banyak kesulitan, umat Allah dipanggil untuk mengambil bagian di dalam perjuangan Allah mengubah keadaan dunia ini dan membawanya ke keadaan yang baru. Visi pembaharuan sangat jelas: "Langit baru dan bumi baru; laut tidak ada lagi; kemah Allah
ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka." Laut merupakan personifikasi mitologis dari chaos (kekacauan; band. Kej. 1:2). "Langit", "bumi", dan "laut" yang dimaksudkan di dalam penglihatan ini tidak boleh dipahami dalam pengertian terminologi kosmografi, geografi, maupun oseanografi, melainkan dalam pengertian socio-politico teologis: dunia ini, masyarakat, bangsabangsa dengan segala sikap dan perilakunya berhadapan dengan kehendak Allah. Tuhan Allah melakukan pembaharuan dengan "mendirikan kemah-Nya dan diam di tengahtengah manusia; Ia akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Nya." (band. Yehezkiel 37:27). Dan umat yang telah dipilih-Nya dan yang dibentuk-Nya melalui Yesus Kristus, yaitu gereja, merupakan batu pijakan (stepping stone) bagi-Nya untuk masuk ke
Warta Wa W Warta art rta a Su S Sumber Sumber umb mber er H Hidup Hidup id dup pN No. No.1, o. 1 1,, Ta Tah Tahun hun Ke hu Ke-17, e-1 17, 7, 2 2014 0 4 01
5
dalam bangsa-bangsa dan diam bersama mereka, serta menuntun mereka kepada tujuan yang telah ditetapkan-Nya: langit baru dan bumi baru. Pembaharuan yang dikerjakan Allah dimulai dengan memberikan kepada manusia ‘hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batin manusia. Allah akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan menggantinya dengan hati yang taat.’ (Band. Yehezkiel 36:26). Hati manusia, demikian Johannes Calvin, itulah fabrica idolorum (pabrik segala berhala/kejahatan); yaitu manusia yang belum mengalami pembaharuan budi dan tidak mengenal, atau mengenal tetapi tidak mau melaksanakan kehendak Allah. Martin Buber (1878-1965), seorang filsuf dan teolog Jerman kelahiran Austria berkebangsaan Yahudi, pernah mengatakan mengenai kekacauan yang terjadi di Israel pada zaman Para Hakim (lih. Hak 17:6; 21:25): "Volk ohne Koenig, raubt. Volk ohne Koenig wird beraubt – bangsa tanpa raja akan merampok. Bangsa tanpa raja akan dirampok." Mengacu pada 1 Samuel 3:1b yang melukiskan keadaan yang penuh kekacauan pada zaman Imam Eli di Silo Israel, yang mengatakan "Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering", kita dapat meminjam pola pengalimatan Martin Buber dengan mengatakan: "Manusia tanpa firman Allah akan merampok. Manusia tanpa firman Allah akan dirampok." Dan itulah yang sedang terjadi di banyak kalangan di dalam masyarakat bangsa kita dewasa ini, bahkan di segala bidang kehidupan. Banyak orang tanpa rasa bersalah mengambil yang bukan haknya. Banyak juga orang yang tanpa sadar membiarkan dirinya dirampok dengan jalan memperjualbelikan hak yang ada padanya, seperti yang sangat banyak terjadi di dalam perhelatan demokrasi yang baru lalu. Moralitas bangsa kita sebagaimana yang banyak dipertontonkan di depan umum dewasa ini, sedang sangat memprihatinkan; nyaris di segala bidang. Keberagamaan kita masih sa6
ngat formalistik-ritualistik. Agama diajarkan tetapi pesan-pesan luhurnya, oleh banyak kalangan, yang tua maupun yang muda, tidak dilaksanakan. Beberapa tahun yang lalu, bersama-sama dengan NU, Muhammadiyah, KWI, WALUBI, PHDI, KWI dan tokoh-tokoh nasional seperti: Cak Nur (alm. Dr. H. Nurholis Madjid) dan alm. Dr. Ruslan Abdulgani, PGI menyerukan tentang pentingnya gerakan moral rearmament (penguatan kembali moral) bangsa Indonesia, sebuah gerakan yang pernah dipelopori oleh Pdt. Frank Buchman bersama kelompoknya, Oxford Group, tahun 1938, dan kini gerakan itu telah berubah nama menjadi Initiatives of Change. Penguatan moral bangsa akan merupakan fundamen yang sangat kuat untuk mencapai kemajuan, ya untuk mencapai "langit baru dan bumi baru". Visi Lembaga Alkitab Indonesia adalah, "Firman Allah hadir bagi semua orang dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami agar mereka dapat bertemu dan berinteraksi dengan Allah serta mengalami hidup baru." Bertolak dari visi ini, Lembaga Alkitab Indonesia merumuskan tiga misi utamanya, yaitu (a) menerjemahkan, memproduksi, menerbitkan, dan menyebarkan Alkitab dan bagian-bagiannya, (b) mengembangkan kerja sama dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga kristiani dalam mengupayakan agar umat Allah membaca dan memahami isi Alkitab yaitu Firman Allah, dan (c) menggalang dukungan masyarakat, gereja-gereja, lembaga-lembaga kristiani, dan pemerintah. Visi dan misi LAI ini sangat bersentuhan dengan kebutuhan untuk penguatan kembali moral bangsa. Memang bangsa ini mempunyai nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk didayagunakan membangun kembali moralitas bangsa. Tetapi yang paling fundamental adalah nilai yang terkandung di dalam dan dipesankan oleh firman Allah. Nilai itu lahir dari pikiran Allah sendiri. Alkitab menegaskan bahwa: "Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa, peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tidak berpengalaman.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua, dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah." (Mazmur 19:8-11; lih. pula 2 Timotius 3:15-16).
adil, dan mendatangkan damai sejahtera untuk semua orang.
LAI menemukan tempatnya dan perannya dalam perjuangan untuk mewujudkan ‘langit baru dan bumi baru’ di negeri kita yang sedang terbelenggu di dalam berbagai permasalahan mendasar: moralitas yang sedang terpuruk, yang pada gilirannya menyebabkan kesulitan hidup yang dialami oleh mayoritas warga bangsa ini.
Dengan kata lain, panggilan untuk ikut dalam perjuangan Allah mewujudkan 'langit baru dan bumi baru’, bagi LAI berarti panggilan untuk ― bersama-sama dengan lembaga-lembaga gereja dan lembaga kristiani lainnya, serta setiap individu warga gereja di negeri ini ― meningkatkan upaya agar firman Allah dibaca dan isinya dipahami serta nilai pesan-pesannya dilaksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Agar bangsa ini menyaksikan dan mengakui, bahwa Tuhan Allah sedang bekerja di dalam dan untuk bangsa ini. Dan akhirnya mendengarkan dan mengakui kebenaran dari proklamasi Tuhan Allah itu: "Lihatlah, Aku Menjadikan Segala Sesuatu Baru!"
Khususnya menyangkut misi LAI yang kedua yang sudah disebutkan sebelumnya, misi ini mengandung di dalamnya dimensi politis untuk bangsa ini. 'Politis' dalam arti luas dan yang paling substansial, yaitu upaya bersama untuk menata kehidupan yang lebih baik dan benar,
Pdt. Dr. Ishak P. Lambe saat ini menjabat sebagai Ketua Umum YLAI 2013-2018.
Catatan:
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
7
Art ik e l U ta m a
"Lihatlah, Aku Membuat
Semuanya
S
iapa di antara kita yang tidak suka dengan hal baru? Jawabnya, kalaupun ada, pasti sedikit. Banyak di antara kita senang dengan hal baru karena ada sesuatu yang berbeda, indah, dan kadang mengejutkan. Manusia suka hal baru. Terlebih, jika yang lama itu sesuatu yang tidak terlalu menyenangkan. Tetapi, jangan pula kita lupa, yang pernah kita anggap baru pun akan menjadi usang karena waktu. Yang kemarin baru, hari ini menjadi lama. Usianya telah bertambah satu hari. Kalau hari ini kita mendapatkan sesuatu yang baru, maka yang kemarin tampak baru itu pun akan terlupakan dengan sendirinya. Pertanyaannya: Mungkinkah yang baru itu tetap baru dan tak akan usang? Di Pulau Patmos, Yohanes mencatat bahwa Yesus Kristus, Sang Alfa dan Omega, berkata: "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!" (Why. 21:5). Dalam BIMK tertera: "semuanya baru". Jadi, semuanya akan diubah.
8
Jelas di sini, kebaruan bukanlah karya manusia. Allah sendirilah yang melaksanakan pembaruan itu. Dan pembaruan kayak beginilah yang tak akan pernah menjadi usang. Mengapa? Karena kebaruan itu berada dalam konteks kekekalan — tidak ada yang lebih baru lagi! Dan segala hal baru yang diciptakan Allah itu memang menghibur: tak ada lagi air mata, maut, suasana kabung, ratap tangis, dan dukacita (Why. 21:4). Semua serba baru dan kekal sifatnya. Sekali lagi, karena Allah yang menciptakannya. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Rekan Kerja Allah Pembaruan adalah inisiatif Allah dan akan diselesaikan oleh Allah sendiri. Tetapi — ini juga yang perlu kita simak — Allah mengangkat kita menjadi rekan kerjanya dalam pembaruan dunia itu. Sekali lagi, kita diangkat untuk terlibat dalam pembaruan dunia.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Waktu bukanlah lingkaran, kesalahan yang pernah kita lakukan memang tidak akan pernah bisa kita hilangkan dari benak. Namun, bukan berarti kita tak mampu memperbaikinya. Dan karena waktu itu bukan lingkaran, tak perlulah kita mengingat-ingat kesalahan-kesalahan kita di masa lampau. Jangan biarkan kesalahankesalahan itu membingkai hidup kita di masa kini. Juga hubungan dengan diri kita sendiri. Kadang diri kita terpancang pada kegagalan dan kesuksesan pada masa lalu, sehingga kita malah tidak maju-maju.
baru!"
Oleh: Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro, S.Th.
Lalu, apa syarat untuk terlibat dalam pembaruan dunia itu? Syarat utama adalah kita sendiri harus punya mental pembaruan. Janganlah diri kita terpancang pada masa lalu karena masa lalu sudah lewat! Sejujurnya, ini pun bukan perkara mudah. Misalnya, dalam hubungan antar manusia ketika kita bertemu dengan seseorang, sering yang ada dalam benak kita bukanlah dia yang sekarang, namun orang itu yang dahulu dengan segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Dalam hal ini, kita memang lebih mudah mengingat kesalahan ketimbang kebaikan orang. Dan lebih parah lagi, jika dalam benak kita yang ada hanya kesalahannya melulu; dan yakin bahwa dia tidak akan pernah berubah. Orang itu bisa jadi orang tua kita, anak kita, saudara kita, pembantu rumah tangga kita, teman sekerja kita, warga jemaat kita, juga anggota majelis kita.
Chan Jun Bao dalam film Taichi Master, mengatakan: "Masa lalu membentuk dirimu, jangan jadi bebanmu!" Tanpa masa lalu, memang tak ada masa sekarang. Mengingat-ingat kegagalan dan kesalahan kita di masa lampau malah akan membuat kita tidak mampu menikmati hari ini. Membenci masa lalu, berarti juga membenci diri sendiri yang memang merupakan bagian kemasalampauan itu. Berdamai dengan masa lalu berarti pula berdamai dengan diri sendiri. Tak mau membiarkan masa lalu yang suram berlalu dapat meredupkan masa depan yang cerah. Juga dengan kesuksesan kita. Dan memang ini penyakit para orang tua yang sering mengatakan bahwa masa lampau lebih enak ketimbang masa sekarang. Sehingga yang ada adalah menyalahkan masa kini. Ini juga tampak dalam gejala "Piye Kabare?" dalam masyarakat kita. Orde Baru lewat, Presiden Soeharto sudah wafat. Tetapi, di tengah krisis yang bertubi-tubi ini yang menimpa bangsa ini, kerinduan akan Soeharto tiba-tiba muncul. Dan sekarang dijual banyak stiker dan gambar Pak Harto melambaikan tangan dengan tulisan "Piye kabare, isih penak jamanku to…." Sekali lagi, mental pembaruan harus kita kembangkan dalam diri kita sendiri. Bagaimana kita akan menjadi agen-agen pembaruan, jika kita sendiri masih merindukan hal-hal lama, walau sadar itu bukanlah hal yang baik?
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
9
LAI dalam Pembaruan Indonesia Meski reformasi sudah berjalan lebih dari 15 tahun, perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih berlangsung, malah makin marak. Yang lebih mengerikan, makin membudaya. Tidak ikut-ikutan malah terkesan aneh.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) selalu berupaya untuk terlibat dengan pergumulan umat. Hal itu dilakukan melalui penerjemahan, penerbitan, dan penyebaran Alkitab, serta berbagai kegiatan yang bertujuan agar masyarakat Indonesia mengalami pembaruan hidup.
Masyarakat Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap pemimpin negara. Masyarakat menjadi kehilangan pegangan, harapan, jaminan kesejahteraan, ketenangan hidup, kerukunan, dan keamanan. Kenyataan ini membuat masyarakat makin apatis dan serba tak pasti. Tak heran jika masyarakat seakan mengamini bahwa masa Pak Harto memang lebih baik ketimbang masa SBY.
Tak terasa, 60 tahun sudah LAI hadir di Indonesia. Dan pada usia ke-60 tahun ini, LAI bertekad untuk terus menjadi rekan sekerja Allah sekaligus mitra gereja dalam pembaruan Indonesia. LAI bertekad untuk terus memperbarui diri agar semakin relevan dalam menjawab kebutuhan manusia Indonesia, khususnya bagi generasi muda yang sangat akrab dengan dunia maya.
Untuk mengatasi keadaan tersebut, manusia memerlukan suatu pegangan dalam hidup agar sebuah kepastian dapat diraih. Namun, dalam proses pencariannya manusia sering salah arah. Dan di tengah ketidakpastian, Alkitab memberi kita pedoman untuk menjalani hidup. Alkitab adalah manual kehidupan manusia.
10
Media Internet Berkait dengan dunia maya, harus diakui bahwa cara komunikasi masyarakat telah berubah secara radikal. Internet merupakan media yang menjunjung kebebasan dan kesetaraan. Setiap orang bebas berbicara. Dan nilai suaranya sama — baik profesor maupun lulusan
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
"...kita dipanggil Tuhan untuk membagikan sesuatu yang tetap dan bersifat kekal, baik dalam hal kesaksian maupun pemeliharaan iman." SD, rohaniwan atau warga jemaat biasa, direktur atau karyawan, kaya atau miskin, lansia atau ABG — selama mereka sama-sama anggota milis tertentu. Kenyataan ini, harus diakui, menjadikan media internet sebagai pembentuk budaya baru. Kebebasan dan kesetaraan yang ditawarkan internet sungguh tak terbayangkan pada dua dekade lalu. Setiap orang bebas berkomentar. Dalam sebuah milis, hanya moderatorlah yang berhak menindak apa yang dinyatakan. Nah, di sinilah persoalan komunikasi mulai bersemi. Bahkan menjadi-jadi tatkala para komunikator lupa bahwa mereka tidak mengetahui dengan tepat situasi dan kondisi kawan bicara. Yang sering terjadi dalam komunikasi dalam internet adalah orang lebih suka mengumbar apa yang benar menurut pemandangannya dan agak mengabaikan perasaan orang lain. Komunikasi — yang secara harfiah berarti kesamaan makna — sering malah tidak terjadi. Pada titik ini kita juga dipanggil Tuhan menjadi rekan sekerja-Nya untuk menawarkan nilainilai kehidupan. Kita tidak dipanggil untuk menawarkan kefanaan kepada dunia, tetapi nilai-nilai kekal. Di tengah dunia yang menawarkan informasi yang cepat dan bersifat relatif, kita dipanggil Tuhan untuk membagikan sesuatu yang tetap
dan bersifat kekal, baik dalam hal kesaksian maupun pemeliharaan iman. Di tengah dunia di mana komunikasi cenderung lugas, bahkan terkesan tanpa hati, kita perlu menawarkan makna terdalam dari komunikasi itu sendiri; yaitu percakapan antar hati. Di tengah dunia di mana orang cenderung mengedepankan kebebasan bersuara, tak peduli apakah itu menyakiti hati kawan bicara atau tidak, kita perlu menawarkan makna pentingnya menguasai diri. Sejatinya, dunia internet dapat kita jadikan wahana dalam menawarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Kita perlu menggaraminya. Sebagai homo sapiens 'manusia bijak', kita dipanggil pula untuk membentuk budaya baru — budaya Kerajaan Allah. Karena semua hal itulah, tema yang hendak digumuli dan dihidupi LAI dalam merayakan yubileumnya pada 2014 adalah "Lihatlah, Aku Membuat Semuanya Baru!"
Catatan: Penulis adalah Pendeta Gereja Kristen Jawa, Jakarta yang juga Direktur Literatur Perkantas. Dalam Kepanitiaan Yubileum 60 tahun LAI duduk sebagai Koordinator Bidang Komunikasi.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
11
P
ada tanggal 9 Februari 2014, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) merayakan Yubileum 60 tahun. Dari enam dasawarsa ini saya selama 40 tahun terakhir boleh ikut serta dalam pelbagai kegiatan LAI. Itu semuanya karena satu kalimat yang kurang dikenal umum dalam dokumen Vatikan II, Dei Verbum. Dalam Bab VI, pasal 22, Konsili menganjurkan agar dibuat terjemahan-terjemahan yang cocok dan cermat berdasarkan teks asli Kitab Suci. Anjuran itu diakhiri dengan usulan yang penting: "Bila terjemahan-terjemahan sekiranya ada kesempatan baik dan pimpinan Gereja menyetujuinya diselenggarakan atas usaha bersama dengan saudara-saudara terpisah, maka terjemahan-terjemahan itu dapat digunakan oleh semua orang kristiani." (DV 22). Bapa-bapa Konsili melihat suatu prospek yang indah dan mempersatukan, yaitu semua orang Kristen dari pelbagai gereja dalam satu wilayah bahasa menggunakan terjemahan Alkitab yang sama. Untuk memungkinkan hal itu, tentu saja terjemahan itu perlu diusahakan bersama.
Enam Puluh Tahun Melayani Umat Kristen Indonesia
Oleh: Rm. Martin Harun, OFM OFM.
12
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Pastor Clestus Groenen dalam sambutannya ketika hadir dalam acara penyerahan Perjanjian Baru Terjemahan Baru di Kantor Pusat LAI, Jl. Salemba Raya No. 12, Jakarta pada tahun 1971.
Gereja Katolik mau mengadakan terjemahan Kitab Suci bersama gereja-gereja yang mana? Soalnya, ada begitu banyak gereja Reformasi, Baptis, Injili, Pentekosta, dan Ortodoks. Mau mulai dari mana? Syukur, Kardinal Bea, Ketua Kongregasi Vatikan untuk Kesatuan Umat Kristiani, saat itu tahu bahwa sudah lama ada sebuah lembaga antar gereja yang menyelenggarakan penerjemahan Alkitab bersama , yakni United Bible Societies, gabungan dari pelbagai Lembaga Alkitab Nasional. Sejak awal abad kesembilan belas (1804) anggota-anggota dari pelbagai gereja membentuk Lembaga Alkitab di negerinya masing-masing untuk melayani kebutuhan umat akan Alkitab yang harganya terjangkau. Mereka ingin bekerja sama dengan semua gereja untuk semua orang kristiani. Lembaga-lembaga Alkitab itu interkonfesional dan bukan milik gereja tertentu. Sejak tahun 1946 mereka bergabung dalam United Bible Societies yang menegaskan kembali sifat interkonfesionalnya. Bersama pimpinan United Bible Societies itu, Kardinal Bea menyusun sebuah buku pegangan untuk kerja sama antar gereja (Guiding Principles for Interconfessional Cooperation, 1968).
Mengapa gereja Katolik tidak sejak awal ikut dalam kerja sama di Lembaga-lembaga Alkitab itu? Hambatannya bukan dari pihak mereka tetapi dari pihak kita. Sejak Konsili Trente Gereja Katolik tidak mengizinkan penyebaran Kitab Suci ke tengah kaum awam. Barulah Vatikan II membalikkan hal itu: "Bagi kaum beriman kristiani jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar" (DV 22). Konsili "mendesak dengan sangat dan istimewa semua orang beriman… supaya dengan seringkali membaca kitab-kitab ilahi memperoleh "pengertian yang mulia akan Yesus Kristus" (Flp. 3:8; DV 25). Baru setelah perubahan haluan Vatikan II itu, tawaran kerja sama Lembaga-lembaga Alkitab akhirnya diterima baik oleh gereja Katolik.
Menjadi mitra kerja Banyak Konferensi Uskup kemudian memutuskan untuk menjadi mitra kerja Lembaga Alkitab setempat dan mendorong pakar Katolik untuk ikut mempersiapkan terjemahan dan terbitan Alkitab bersama. Begitu juga di Indonesia, malahan lebih cepat daripada di negara lain. Waktu itu sudah ada Lembaga Alkitab Indonesia (sejak 1954), yang sedang mengusahakan sebuah terjemahan Alkitab yang baru,
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
13
Konsultasi bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh LAI di Cipayung pada tanggal 22 Juni 1968, yang dihadiri juga oleh anggota-anggota dari United Bible Societies (UBS).
mengingat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sedang mengalami perkembangan cepat. Pada saat yang sama sedang dikerjakan juga terjemahan Katolik, Perjanjian Baru oleh P. Bouma SVD di Ende dan Perjanjian Lama oleh P. Groenen OFM dkk., di Cicurug. Artinya, selesai Konsili Vatikan II (1965), di Indonesia hampir selesai dua terjemahan Alkitab, yang satu untuk menjadi Kitab Suci umat Katolik dan yang lain untuk menjadi Alkitab bagi gereja-gereja bukan Katolik. Tetapi Roh Kudus meniup ke arah lain. Mengingat usul Konsili Vatikan untuk mengusahakan terjemahan bersama dan melihat mutu terjemahan baru LAI, kelompok penerjemah Katolik (P. Cletus Groenen, dkk) rela mengorbankan terjemahannya sendiri. Bersama Komisi Ekumene MAWI (sekarang KWI) mereka mengusulkan kepada sidang MAWI 1968 untuk bergabung dalam penyelesaian terjemahan baru LAI dan meminta LAI agar menerima terjemahan Kitab-kitab Deutero14
kanonika untuk edisi Katolik. LAI dan MAWI keduanya menyetujuinya. Dalam periode yang sama, MAWI mengangkat Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina (1965) menjadi lembaga MAWI dengan nama baru Lembaga Biblika Indonesia (1970). Sebagai lembaga MAWI, LBI ditugaskan untuk ikut serta dalam proyek-proyek penerjemahan oleh LAI sebagai lembaga antar gereja. Itu langsung diwujudkan dalam penyelesaian Alkitab Terjemahan Baru. Beberapa tahun kemudian terbitlah Alkitab lengkap (1974) dan edisi Katolik dengan Deuterokanonika (1975), dengan imprimatur dari Majelis Agung/Konferensi Waligereja Indonesia. Inilah salah satu Alkitab interkonfesional pertama dalam gereja Katolik sedunia setelah Konsili Vatikan II. Sesudah itu diadakan penerjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia sehari-hari (BIS), dengan keterlibatan penerjemah Katolik, Sr. Emmanuel Gunanto OSU, dan beberapa peneliti Katolik. Sekarang ini sedang berlangsung revisi terjemahan Alkitab TB, dengan melibatkan
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Tim revisi Deuterokanonika sedang berkumpul dan melakukan pengecekan naskah revisi di kantor penerjemahan LAI, di Jl. Ahmad Yani No. 90, Bogor.
kurang lebih sepuluh pakar Katolik. Dalam staf Departemen Penerjemahan LAI ada juga tenaga Katolik yang full-time. Tanda jelas bahwa Lembaga Alkitab Indonesia bukan lembaga Protestan (salah sangka banyak umat Katolik) tetapi lembaga antar gereja, adalah susunan pimpinannya. Salah satu dari tiga Pembina Yayasan LAI adalah Mgr. Ignatius Suharyo. Dalam dewan pengurus LAI pun selalu ada orang Katolik, periode ini Dr. Irene Setiadi.
LAI dan LBI Moga-moga kita umat Katolik tidak ragu-ragu lagi, bahwa LAI yang kini sudah berumur enam puluh tahun, adalah forum kerja sama semua gereja. Sungguh keliru mengatakan: seperti gereja Katolik punya Lembaga Biblika, begitu gereja-gereja Protestan punya Lembaga Alkitab. LBI memang milik gereja Katolik, tetapi LAI milik bersama semua gereja. LBI bertugas untuk menjaga agar hasil kerja sama interkonfesional LAI berbuah di tengah umat Katolik. Untuk itu LBI berusaha memaksimalkan distribusi Alkitab + Deuterokanonika ke umat Katolik di segala pelosok. LBI juga mendorong dan
mengadakan aneka publikasi dan kursus agar terjemahan Alkitab bersama dapat dipahami dan makin dicintai umat Katolik; dan mengadakan kaderisasi agar kerasulan Kitab Suci berkembang baik. Kerasulan Alkitab masing-masing gereja bagi umatnya sendiri sangat dibantu oleh kerja sama kita semua dalam LAI. Kerja sama itu menghasilkan terjemahan bermutu yang sulit dicapai kalau satu gereja bekerja sendirian. Kerja sama semua gereja di LAI telah menghasilkan 30 terjemahan Alkitab lengkap (3 dengan Deuterokanonika), tambah lagi 47 terjemahan PB, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Terbitan Alkitab dengan harga yang terjangkau dapat dijamin melalui kerja sama di LAI. Kita patut bersyukur bahwa ada forum kerja sama seperti ini dan mengucapkan selamat bahagia kepada Lembaga Alkitab Indonesia atas Yubileum pelayanannya yang kini sudah 60 tahun. [] Catatan: Artikel ini juga pernah terbit dalam Majalah Hidup edisi Februari 2014.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
15
Ar t i k el
48 Tahun
Melayani di LAI Oleh: Perry Katoppo
P
ada awal bulan Mei tahun 1966, saya masuk bekerja di kantor pusat Lembaga Alkitab Indonesia di Salemba. Jadi kira-kira sudah 48 tahun yang lalu ketika saya mulai bekerja di LAI. Saya ditempatkan di "Bagian Kontak, Dokumentasi dan Publikasi" dan tugas saya antara lain adalah untuk mengasuh "Newsletter" LAI yang diterbitkan secara berkala. Terbitan yang dapat dianggap sebagai cikal bakal WSH ini hanyalah beberapa halaman tebalnya dan diterbitkan dalam bentuk stensilan. Berita-beritanya dibuat dalam bahasa Inggris, sebab dikirim juga kepada mitra-mitra LAI di luar negeri. Walaupun penampilannya sangat sederhana, ada satu berita yang dimuat di dalamnya yang ternyata menarik perhatian media berita internasional. Waktu itu sedang terjadi kebangunan rohani yang besar di negeri kita, yang dimulai di Timor dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, bahkan melintasi perbatasan negara sampai ke Timor Portugis (Timor Leste sekarang). Jutaan orang masuk Kristen di berbagai daerah, dan berdasarkan wawancara dengan orang-orang daerah yang datang ke kantor LAI di Jakarta, kami menyusun sebuah artikel tentangnya yang ternyata cukup menarik banyak perhatian sampai dikutip juga oleh media asing. Bahkan majalah TIME pun mengutipnya walaupun dalam versi yang sudah sangat dipersingkat. Menurut seorang demograf asing, yang khusus datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian tentang hal itu, pada masa itu ada sekitar 7 – 8 juta orang bukan Kristen yang "berpaling kepada Kristus". Dewan Gereja-gereja Amerika pun tergerak mengumpulkan dana untuk membantu gereja-gereja di Indonesia menangani perkembangan yang luar biasa ini. 16
Ternyata kebangunan rohani ini menyentuh kehidupan beberapa karyawan LAI juga: Beberapa supir dan pesuruh menyatakan percaya kepada Yesus setelah mendengar Kabar Baik. Pernah ada orang berkunjung ke Toko Alkitab di Salemba dan setelah melihat-lihat sebentar, ia minta diberitakan Injil! Penjaga toko meminta saya berbicara dengannya, dan saya pun turun ke toko bertemu dengan orang itu. Sebelum saya selesai membacakan ayat-ayat Alkitab, ia sudah berseru, "Saya mau, saya mau [terima Yesus]!" Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa bagi saya. LAI pun ikut melibatkan diri di dalam pelayanan rohani pada masa itu. Tim dari Bagian Distribusi (sekarang Dep. Penyebaran) rajin hadir dalam kebaktian-kebaktian kebangunan rohani yang sering diadakan oleh penginjil-penginjil di Istora, bahkan di Stadion Bung Karno, dan tempat-tempat lainnya. Pada peristiwa-peristiwa itu LAI membuka stan penjualan Alkitab, dan saya sering diajak ikut oleh kawan-kawan di Bagian Distribusi. Sementara itu, saya dipindahkan ke Sekretariat, yaitu unit yang membantu Sekum, namun tetap ikut serta dalam kegiatan-kegiatan distribusi di luar jam kantor. Rupanya kegiatan saya di bidang penyebaran Alkitab tidak luput dari perhatian pimpinan LAI. Sebab, ketika pada tahun 1968, LAI diundang menghadiri suatu seminar pelatihan penyebaran Kitab Suci di Singapura, saya ikut diutus bersama orang-orang Distribusi, yaitu Pdt. Soeharsono dan Sdr. Londa. Dari Cabang (sekarang Perwakilan) LAI Medan diutus Sdr. Sitepu. Di Singapura selama dua minggu kami mengikuti apa yang disebut "Penzotti Institute", yaitu seminar pelatihan pemberitaan Injil melalui penyebaran Alkitab dan bagian-bagiannya. "Scripture
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
evangelism" ini dilakukan dengan cara sederhana: dilengkapi dengan tas yang berisikan beberapa eksemplar Alkitab, Perjanjian Baru dan portion, kami pergi keluar menjajakan barang dagangan kami, dan kalau ada yang berminat, kami sampaikan berita Injil kepadanya. Kalau orangnya tidak mau membeli Alkitab atau PB, kami hadiahkan kepadanya sebuah portion sebagai penghargaan atas waktu yang ia berikan untuk mendengarkan kami. Cara itu mula-mula dikembangkan di Amerika Latin oleh seorang tokoh Kristen yang bernama Penzotti. Di Singapura, kami menginap di hotel YMCA, dan pelajaran-pelajaran teori diberikan pada pagi dan siang hari, sedangkan pada sore hari kami secara berpasangan diterjunkan ke daerah perumahan atau daerah bisnis untuk menjalankan apa yang telah diajarkan. Pada waktu itu sebenarnya ada ketegangan politik antara Singapura dan Indonesia, sebab Singapura baru saja mengeksekusi dua marinir Indonesia yang dituduh meledakkan bom di pusat kota (Usman dan Harun). Namun sedikit pun kami tidak mengalami sikap permusuhan dari warga Singapura. Rupanya ketegangan itu hanya terjadi antara pemerintah, bukan rakyatnya.
Sikap kurang bersahabat malahan kami alami dari seorang pendeta yang ternyata seorang terkemuka di masyarakat Kristen di Singapura. Sewaktu praktek, saya dan kawan saya, seorang Vietnam, pada suatu sore mengetuk pintu sebuah rumah yang besar. Pintu dibuka oleh seorang pelayan, dan kami katakan ingin bertemu dengan tuan rumah. Setelah ia pergi menanyakan tuannya, pelayan itu persilahkan kami masuk dan mengantar kami ke sebuah kamar tidur. Di dalamnya tuan rumahnya lagi berbaring di tempat tidur dalam keadaan sakit, dan di sampingnya sedang berdiri seorang yang mengenakan jubah, jelas seorang hamba Tuhan. Dengan Alkitab di tangan, saya bertanya apakah kami boleh berbicara sebentar. Pendeta itu dengan geram menjawab, "Tidakkah kau lihat bahwa orang ini sakit?" "Hanya sebentar, Pak Pendeta," kata saya. "Tidak. Pergi dari sini!" Pasiennya sendiri tersenyum malu kepada kami, seakan-akan minta maaf atas sikap kasar sang pendeta. Ironisnya, malam itu diadakan perjamuan makan yang dihadiri para peserta Penzotti dan tokoh-tokoh Kristen di Singapura. Makan malamnya didahului oleh sebuah pidato dari seorang tokoh setempat. Ternyata tokohnya adalah pendeta yang telah
Perry Katoppo di ruang kerjanya yang tenang dan sejuk di Kampung Alkitab, yang terletak di Jl. Ahmad Yani, Bogor. Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
17
mengusir kami! Saya menyenggol kawan saya orang Vietnam itu, dan berkata, "Lihat, dia orang yang mengusir kita tadi!" Kata-kata yang disampaikannya, tentang betapa pentingnya memberitakan Injil melalui penyebaran Alkitab, terasa hampa bagi kami. Walaupun tidak ada sikap permusuhan, ternyata sebagian besar orang Singapura kurang berminat mengenai hal-hal rohani. Satu kali saya dan teman saya memasuki sebuah kantor dan berhasil bertemu dengan pimpinannya. Ia menerima kami dengan ramah dan mau mendengar penjelasan kami. Namun setelah kami selesai berbicara, ia berkata, "Tuhan? Saya tidak perlu Tuhan. Saya punya semuanya, pekerjaan yang baik, penghasilan baik, istri dan anak yang manis, mobil, apartemen, dan lainlain. Jadi semuanya sudah saya punya. Buat apa saya perlu TUHAN?" Kami hanya terdiam saja dan melangkah keluar dari kantornya. Namun hasil positif pun ada, dan kami berhasil menjual Alkitab dan PB serta menyampaikan Kabar Baik kepada sejumlah orang. Sekembalinya kami di Jakarta, LAI menyelenggarakan Penzotti Institutenya sendiri untuk wakil-wakil gereja, dan saya pun diikutsertakan di dalamnya. Seminar pelatihan itu diadakan di Klender, Jakarta, dan mengikuti jadwal yang sama seperti yang di Singapura. Setelah mengikuti pelajaran teorinya pada pagi dan siang hari, kami pergi mempraktekkannya di berbagai kawasan di Jakarta pada sore harinya. Satu hal yang lucu yang saya ingat ialah ketika kami melakukan praktek di kawasan Pasar Baru. Bus yang besar telah menurunkan rombongan penjual Alkitab peserta Penzotti Institute, dan saya beserta kawan saya masuk ke dalam sebuah gang di Krekot. Beberapa anak kecil yang sedang bermain di mulut gang, ketika melihat kami, tiba-tiba lari masuk gang sambil berteriak, "Saksi Yehuwa datang!" Langsung pintu-pintu depan dari rumah-rumah di gang itu terdengar ditutup dengan keras, "bang, bang." Kami pun terpaksa mencari lingkungan yang penghuni rumahnya lebih terbuka. 18
Pada tahun 1968 itu juga saya dipindahkan ke Departemen Penerjemahan di Bogor. Waktu itu hampir seluruh tenaga Dep. Penerjemahan dikerahkan untuk menyelesaikan teks terjemahan Alkitab Terjemahan Baru. Saya diangkat sebagai "manuscript supervisor" dan harus mengawasi alur naskah terjemahan pada berbagai tahapnya. Waktu itu belum ada komputer, dan naskah harus diketik pada mesin tik yang besar di atas lembar-lembar kertas "doorslag" (tipis) yang diselingi kertas karbon sehingga dapat dibuat 12 salinan atau lebih sekaligus. Pengetik-pengetik harus dengan keras menghantam tuts agar di seluruh 12 lembar salinan itu muncul huruf ketikan yang jelas. Alkitab TB ini selesai terjemahannya pada tahun 1969, dan teks PB diterbitkan sebagai edisi percobaan pada tahun 1971. Seluruh teks terjemahan diteliti dengan saksama sebelum seluruh Alkitab terbit pada tahun 1974 sudah dalam ejaan baru (EYD). Oleh karena jam kerja waktu itu adalah dari pukul 7 pagi sampai pukul 2 sore, kami punya banyak waktu luang pada sore dan malam hari. Dengan teman-teman seiman di Bogor kami membentuk sebuah kelompok doa yang juga melakukan penginjilan yang disertai penyebaran bahan-bahan rohani setiap kali ada kesempatan. Bahkan kadang-kadang kalau ada harihari libur, kami mengadakan perjalanan keluar kota untuk maksud tersebut. Rupanya kegiatan ini tidak luput juga dari pengamatan Pdt. Wuwungan, pimpinan Departemen Penerjemahan. Beberapa kali ia berkata kepada saya, "Perry, satu kali kelak kamu akan disuruh memilih, penyebaran atau penerjemahan." Saya tidak ragu sedikit pun apa yang akan saya pilih. Sebab, menurut saya di dalam melakukan penyebaran Kitab Suci, terutama dalam Scripture evangelism, LAI paling nyata menjalankan misinya sesuai dengan visinya: "Menghadirkan Firman Allah bagi semua orang..." (walaupun pada waktu itu perumusan kata-katanya berbeda, namun maksudnya sama). Namun, manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Pada awal tahun 1972 saya diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dalam bidang teologi di Bible College of New Zealand di Auckland. Untuk belajar di sana saya harus keluar dari LAI, sebab waktu itu LAI belum punya program studi untuk karyawannya. Pada akhir bulan November tahun 1974 saya menyelesaikan studi saya, dan tepat pada saat itu juga saya menerima surat dari Bpk. Pdt. Rumambi, Sekretaris Umum LAI, meminta saya kembali bekerja di Dep. Penerjemahan. Dan pada bulan Januari 1975, saya bekerja kembali di LAI Bogor. Sesuai dengan slogan United Bible Societies, "God’s Word Open for All," bukan hanya diusahakan penyebaran Kitab Suci seluas mungkin, tapi dalam bidang penerjemahan pun diusahakan agar teks terjemahan Alkitab dapat dengan mudah dimengerti oleh banyak orang. Proyek pemerjemahan Alkitab TB sudah selesai, dan sekarang LAI dapat memusatkan perhatiannya pada terjemahan-terjemahan dalam bahasa daerah. Bersama dengan Dr. Arichea, konsultan penerjemahan UBS yang diperbantukan kepada LAI, dimulailah proyek-proyek
penerjemahan Alkitab ke dalam pelbagai bahasa daerah. Agar terjemahannya dapat dipahami sebanyak mungkin orang, maka terjemahannya dibuat dengan mengikuti cara penerjemahan dinamis, yaitu terjemahan dilakukan dalam bahasa umum atau bahasa sehari-hari dengan menghindari penggunaan bahasa gereja dan istilahistilah khas, seperti "kasih karunia", "damai sejahtera", dan lain sebagainya. Sebaliknya digunakan bahasa dan istilah yang umum digunakan. Terjemahan seperti itu dikerjakan juga dalam Bahasa Indonesia, dan diterbitkan pada tahun 1985 dengan judul "Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari" (sekarang "Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini"). Alkitab Terjemahan Baru merupakan terjemahan formal, yang memperhatikan bentuk bahasa asli, sedangkan Alkitab BIS/BIMK merupakan terjemahan dinamis yang memperhatikan makna bahasa asli. Sebagai contoh, dalam Markus 5:34, TB mengatakan, "Imanmu telah menyelamatkan engkau" yang merupakan terjemahan harfiah dari teks bahasa sumbernya, sedangkan
Perry Katoppo (nomor enam dari kiri), saat mengikuti Lokakarya Penyebaran Kabar Baik LAI di Cibungbulan pada 1975. Di luar pekerjaan rutinnya di bidang kesekretariatan dan penerjemahan, Perry sangat antusias mendukung penyebaran Kabar Baik. Menurutnya lewat penyebaran Kabar Baik ini visi LAI diwujudkan secara nyata. Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
19
dalam BIMK dikatakan, "Karena engkau percaya kepada-Ku, engkau sembuh!" Istilah "iman" dan "menyelamatkan" (sebagai kosakata bahasa agama) dihindari dan digunakan istilah-istilah yang umum. Walaupun Alkitab, PB atau bagian-bagiannya dalam bahasa daerah mulai tersedia dalam bahasa yang mudah dimengerti, ternyata ada orang-orang yang belum dapat memakainya, sebab mereka buta huruf. Dalam usaha mencapai semua orang dengan Firman Allah, UBS pun menyusun suatu program yang disebut "New Reader program (program Pembaca Baru Alkitab – PBA)" bagi orang-orang itu. Dalam rangka program itu, orang-orang yang buta huruf diajarkan membaca dan ditingkatkan kemampuan membacanya sampai sanggup membaca Alkitab dalam terjemahan dinamis. LAI diberi kehormatan menyelenggarakan proyek percobaannya, yang diselenggarakan di Sumatera Utara. Setelah itu kami mengadakan lokakarya PBA di Sumba dan beberapa daerah lainnya. Kami juga menyiapkan 29 jilid PBA dalam bahasa Indonesia, sebagian terjemahan dari bahasa Inggris, yang teksnya merupakan petikanpetikan dari Alkitab namun dalam terjemahan yang khusus, yang bahasanya berjenjang dari yang paling sederhana di jilid pertama sampai dengan yang mendekati bahasa dalam Alkitab terjemahan dinamis di jilid yang terakhir. Kalau seorang peserta program PBA sudah selesai membaca ke-29 jilid itu, diharapkan ia sudah sanggup membaca Alkitab dalam terjemahan dinamis. Bahan-bahan itu diterjemahkan juga ke dalam beberapa bahasa daerah. Suatu program lainnya, yaitu program WASAI (West Asia, South Asia and Indonesia) dilancarkan UBS pada tahun 1980-an. Programnya mempunyai tujuan yang sama seperti program Penzotti, yaitu "Scripture evangelism", namun dalam program WASAI portion-portion yang akan disebarkan itu khusus disusun bagi kelompok sasarannya. Saya diangkat menjadi anggota UBS WASAI Text Committee, yang mendapat tugas menyusun 20
portion-portion tersebut dalam bahasa Inggris. Kami menyusun berbagai portion, terutama dari Perjanjian Lama, yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Nabi Adam", "Nabi Nuh", dan sebagainya. Juga kami menyusun sebuah Perjanjian Baru edisi studi dengan catatan-catatan yang dirancang untuk membantu para "seekers" (simpatisan) memahami teks Alkitab PB. Perjanjian Baru itu telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Kitab Suci Injil". Untuk menyelenggarakan program itu, LAI membentuk sebuah "Kelompok Kerja WASAI", yang mana selain saya dan beberapa staf LAI, terutama dari Departemen Penyebaran, juga terdiri dari beberapa tokoh Kristen. Tugas kelompok kerja ini ialah membantu LAI di dalam mempromosikan program ini kepada gerejagereja dan membantu menyelenggarakannya. Diharapkan bahwa dengan demikian warga jemaat dapat dilatih menjadi saksi-saksi Kristus yang menyampaikan Kabar Baik kepada sesamanya melalui program penyebaran portion-portion ini. Dipimpin oleh Pdt. Kiting, Sekum LAI waktu itu, kami anggota-anggota kelompok kerja pergi ke berbagai daerah untuk menjalankan program ini dengan mengadakan seminar dan pelatihan bagi gereja-gereja setempat. Hasil-hasilnya cukup baik, salah satu gereja di wilayah Jakarta Selatan misalnya melaporkan bahwa jumlah warga gerejanya melonjak setelah jemaat menjalankan program ini. Pada tahun 1982-83 saya diberi tugas belajar oleh LAI untuk memperdalam bidang biblika. Saya menjalankan tugas belajar ini di "Trinity Evangelical Divinity School" di Chicago, USA. Setelah saya kembali ke Indonesia, beberapa waktu kemudian UBS mengangkat saya menjadi "translation adviser", artinya saya dianggap "qualified" (memenuhi syarat) untuk membina para penerjemah Alkitab dalam bahasa daerah. Pada paruh kedua tahun 80-an, program penerjemahan Alkitab di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan lebih dari seratus proyek penerjemahan Alkitab/ PB di seluruh Nusantara. Bukan semuanya
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
didanai LAI/UBS, namun dalam semua proyek itu LAI terlibat dengan menyediakan pembina-pembina penerjemahan untuk memeriksa konsep terjemahan dan sering juga menerbitkan terjemahannya. Ini melampaui program penerjemahan LA India yang sebelumnya mempunyai program yang terbesar di dunia. Hal itu wajar saja, sebab di Indonesia terdapat lebih dari 700 bahasa daerah, artinya sepersepuluh bahasa di dunia digunakan di Indonesia. Di seluruh dunia, hanya Papua Nugini saja yang mempunyai lebih banyak bahasa daerah dari Indonesia. Pada bulan November 1993 saya pensiun, namun dikaryakan LAI terus sampai saat ini (April 2014). Saya bebas dari tugas administrasi dan managerial, dan dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya pada tugas sebagai pembina penerjemahan dan editor/adaptor dalam program Pedoman Penafsiran Alkitab (PPA). Pada tahun 2002 saya malahan tidak lagi menangani proyek penerjemahan, dan khusus mengerjakan tugas-tugas di bidang PPA. Adalah suatu berkat tersendiri untuk setiap hari menggumuli Firman Tuhan, mencari tahu artinya dan mencoba mengungkapkannya dalam bahasa yang mudah dimengerti untuk dijadikan contoh terjemahan bagi penerjemahpenerjemah bahasa daerah. Tema yang berulang kali bergema dalam Alkitab ialah bahwa iman dan ketaatan berjalan bersama. Orang (atau umat) yang sungguh-sungguh percaya adalah orang/umat yang taat melakukan kehendak Allah, dan diberkati oleh-Nya. WSH telah meminta saya menulis sebagai "mantan karyawan" tentang pengalaman saya di LAI dan suasana kerja pada masa awal kerja. Sangat membanggakan bahwa LAI telah mengalami kemajuan pesat dalam waktu 48 tahun
sejak saya mulai bekerja di LAI. Gedung tingkat dua di Salemba sudah diganti dengan gedung bertingkat 10 yang modern, percetakan di Ciluar pun sudah diganti dengan percetakan yang besar di Nanggewer, dan di Bogor sudah ada gedung kantor Dep. Penerjemahan. Padahal waktu saya pindah ke Bogor, departemen itu hanya menempati dua ruangan di pastori Gereja Zebaoth. LAI telah membangun sarana fisik agar para karyawannya dapat bekerja secara efisien dan nyaman. Banyak fasilitas sekarang tersedia yang dulu tidak kami miliki. Namun, kalau saya boleh menyampaikan kesan saya secara jujur, sepertinya itu semuanya dilakukan dengan tidak berfokus lagi pada visi LAI dan kurang memperhatikan sifat LAI sebagai organisasi yang misioner. Pernah Alm. Bpk. Opusunggu mengajukan pertanyaan kepada LAI, "Apakah LAI badan penerbit atau yayasan?" Kita tentu tahu LAI adalah kedua-duanya, penerbit yang berbentuk yayasan, tapi rasanya yang dimaksudkan Bpk. Opusunggu ialah, "Apakah LAI berfokus pada segi bisnis atau segi pelayanan?" Tidak adanya lagi program WASAI dan sejenis, yang mungkin dari segi bisnis dianggap sebagai "verliespost" – tidak menghasilkan uang, malahan merugi – dapat memberi kesan bahwa LAI lebih mementingkan peranannya sebagai penerbit. Mungkin itu terpaksa dilakukan karena keadaan ekonomi yang sangat sulit yang dihadapi sekarang ini. Namun doa saya bagi LAI ialah bahwa lembaga yang tercinta ini di masa depan diberi jalan agar tetap menjalankan misinya sesuai dengan visinya, antara lain giat dalam Scripture evangelism, supaya semakin banyak orang dapat membaca Firman Tuhan, berjumpa dengan Tuhan dan mengalami pembaharuan hidup melaluinya.
Catatan: Penulis adalah pensiunan LAI. Pernah menjabat sebagai Sekretaris (kini Kepala) Departemen Penerjemahan LAI, kini masih berkarya sebagai adaptor dalam proyek buku PPA (Pedoman Penafsiran Alkitab).
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
21
Ar t i k el
Perjalanan Panjang LAI Kenangan Seorang Mantan Karyawan Oleh: Pdt. E.P. Sembiring
Era penantian ke era eksodus Pada dekade awal 1970-an, Badan Pengurus Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) membuat lompatan jauh ke depan, atau Quantum Leap. LAI mencoba mengubah cara pandang dari 'era penantian' yang memiliki kesan statis, menanti pelanggan datang berubah ke 'era eksodus', yang berkesan dinamis menjemput bola, berani blusukan. Untuk melaksanakan pelayanan di era eksodus tersebut direkrut tenaga-tenaga muda yang dinamis untuk ditempatkan di cabang-cabang LAI: Medan, Manado, Makassar dan Biak. Melalui proses seleksi yang panjang, di cabang Medan diangkat Pdt. E.P. Sembiring, di Cabang Manado diangkat Ds. S. Kaligis, di Cabang Makassar diangkat Nona B. D. G. Watupongoh dan di Cabang Biak diangkat Pdt. Tom Fakdawer.
Memberi di tengah kekurangan, pemberian terasa lebih bernilai Masuknya saya ke LAI melalui proses yang cukup panjang. Kala itu Pdt. Jan Pieter Sinaga ‘duta’ LAI dari Kantor Pusat Jakarta datang ke Medan untuk menjumpai saya yang baru saja ditahbis menjadi Pendeta GBKP tanggal 15 September 1974 dan ditempatkan sebagai Ketua Majelis Jemaat GBKP Darusalam Medan. Pdt. J.P. Sinaga memohon agar saya bersedia bergabung dengan LAI.
22
Permintaan LAI menciptakan ‘zona tidak aman’ bagi saya karena menimbulkan pergumulan baru untuk mengambil keputusan. Apakah tetap melayani di jemaat GBKP Darusalam atau bergabung dengan LAI? Di GBKP Darusalam saya relatif masih baru bergabung dan sedang melayani dengan penuh semangat. Sementara bila bergabung dengan LAI saya bagaikan ‘memasuki tanah Kanaan’ karena saya relatif tidak terlalu mengenal LAI. Tidak dapat dipungkiri saat studi di STT Jakarta, saya menerima beasiswa dari Oeegstgeest Belanda selama 6 (enam) tahun, maka saya pikir secara moral tidak etis mengambil keputusan sendiri untuk hijrah ke LAI atau tetap di jemaat. Saya kemudian menganjurkan Pdt. J.P. Sinaga langsung menghadap ke Kantor Pusat GBKP Kabanjahe untuk membicarakan rencana ini dengan Moderamen GBKP yang pada waktu itu dipimpin oleh Pdt. Anggapen Gintingsuka. Keputusan yang diambil Moderamen GBKP sungguh menarik. GBKP memberi izin untuk "meminjamkan" saya ke LAI. Mereka berpendapat: Memberi di tengah kekurangan, akan membuat pemberian lebih bernilai karena melalui proses pergumulan yang berat. Dari pada memberi dalam kelimpahan, kita memberikannya tidak perlu melalui pergumulan yang berat. Pada saat itu GBKP sesungguhnya kekurangan tenaga pendeta. Namun, dalam situasi kekurangan tersebut, GBKP masih bisa
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
menyumbangkan salah satu tenaga pelayanannya yang dapat mengembangkan pelayanan LAI di Indonesia, khususnya di pulau Sumatera. Kisah ini bagaikan pengalaman janda Sarfat dan Elia (1 Raj. 17:7-24). Terhitung 1 September 1975 saya bekerja di Lembaga Alkitab Indonesia.
Gerakan Oikoumene Aneh tapi nyata. Masuknya saya ke LAI mengubah cara pandang saya dari sempit menjadi luas. Hal ini mungkin diakibatkan banyaknya denominasi gereja di kampung saya di Laucekala. Sering terjadi antara cari dan curi domba beda-beda tipis. Karenanya sedini mungkin, sedari masa kanak-kanak kami sudah ditanamkan gereja kami (GBKP) lebih dari gereja yang lain. Layaknya zaman Nazi dulu Deutschland uber alles. Hal ini pun terbawa-bawa dalam pelayanan di jemaat. Pola pikir gerejaku yang paling baik dan paling hebat sudah mendarah daging. Dengan masuknya saya ke LAI ― yang melayani semua denominasi gereja ―, kerangka berpikir yang ‘miring’ tersebut lambat laun berubah. Saya melihat GBKP hanyalah salah satu yang setara dengan gereja-gereja yang ada
di Indonesia termasuk Katolik. Pelayanan LAI merupakan sebuah gerakan Oikoumene. Pola pikir seperti saya agaknya dialami juga di ruang lingkup yang lebih luas. Sehingga pada tanggal 7 Maret 1962 Komisi Penerjemahan LAI yang diketuai Pdt. DR. J.L. Ch. Abineno memakai istilah terjemahan oikoumene untuk proyek terjemahan yang sedang diselesaikan (sebelumnya digunakan istilah terjemahan persatuan). Ini merupakan karya terjemahan bersama yang didukung Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan gereja-gereja yang lain, termasuk gereja Katolik. Dalam pengalaman pelayanan di LAI selama 32 tahun, sering kali terjadi di lapangan bila gereja A yang mengundang dalam pertemuan atau sebuah acara, maka gereja B tidak hadir. Demikian juga sebaliknya bila gereja B yang mengundang, maka gereja A tidak hadir. Luar biasa bila LAI yang mengundang, maka baik gereja A dan gereja B hadir. Saya merasakan kehadiran LAI mempersekutukan gereja-gereja di Indonesia. Wajar kalau LAI dijuluki sebuah Lembaga Oikoumene.
Pdt. E.P. Sembiring (tengah depan), ketika masih menjabat sebagai Kepala Departemen Penyebaran LAI, bersama rekan sekerjanya di Departemen Penyebaran. Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
23
Tantangan menjadi peluang Dalam perjalanan panjang LAI, banyak tantangan yang saya alami. Lokasi Kantor Pusat LAI Jl. Salemba Raya 12, Jakarta bersebelahan dengan kantor Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) ― kini Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Jalan Salemba Raya 10, Jakarta. Tambah lagi susunan personalia LAI umumnya berasal dari DGI. Hal tersebut sering memberi kesan LAI dibawah PGI. Dampaknya di lapangan, kalau target audiences pelayanan dibawah ‘naungan payung’ PGI akan semakin lancar. Namun kalau bukan anggota PGI, kehadiran kami membutuhkan ekstra penjelasan dari gereja tersebut supaya dapat diterima. Tahun 1996 merupakan tonggak ‘kemerdekaan’. Sebagai karyawan sebelum tahun 1996 mempunyai 2 (dua) tuan, tudan (tuan dalam negeri) dan tudun (tuan luar negeri). Pertanggungjawaban pelayanan berlapis-lapis. Selain dipertanggungjawabkan terlebih dahulu ke pimpinan dalam negeri biasanya melalui Rapat Kerja (RAKER), juga secara berkala datang utusan UBS/ASPREC yang hadir untuk melakukan penilaian kinerja karyawan. Suasana kadang-kadang ibarat di ‘pengadilan’, dimana karyawan sedang diadili. Masing-masing karyawan harus tabah menghadapinya atau bahkan ‘mengakalinya’ untuk tidak hadir dalam pertanggungjawaban dengan alasan sakit yang benar atau sakit yang dibuat-buat. Sebenarnya kondisi ini dapat dimengerti karena pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan laporan keuangan, di mana LAI pada masa itu masih membutuhkan subsidi yang besar dari UBS. Namun suasana tegang tersebut dari tahun 1975 lambat laun berubah, di mana kehadiran tudun sebagai "penilai" sudah berkurang dan selanjutnya lebih terasa sebagai konsultan yang membina dan menuntun LAI untuk meningkatkan kualitas kinerja dan produknya. Puncaknya pada tahun 1996 saat LAI menjadi lembaga Alkitab yang mandiri, sehingga dari sisi financial tidak terlalu dicampuri UBS dan kehadiran utusan UBS/ASPREC 24
semakin jarang. Pada gilirannya karyawan merasa lebih tenang dalam melaksanakan tugas pelayanannya. LAI juga pernah mengalami kesulitan untuk membayar gaji karyawan. Bahkan harus meminjam terlebih dahulu kepada mitra pelayanan. Pernah juga karyawan harus terlebih dahulu ‘menggalakkan’ pendistribusian Alkitab, khususnya karyawan yang ‘diujung tombak’ yaitu Departemen Distribusi supaya dengan hasil penjualan dapat membayarkan gaji karyawan. Kesulitan lain yang pernah dialami adalah ‘impor kertas’ sebagai bahan utama produk terbitan LAI. Umumnya warga jemaat menginginkan produk Alkitab yang sangat bervariasi semacam: Alkitab dwibahasa (diglot) maupun Alkitab yang digabung dengan nyanyian jemaat, namun dengan tampilan yang tidak tebal. Tentu keinginan tersebut membutuhkan jenis kertas yang tipis namun berkualitas kuat. Pada awalnya jenis dan kualitas kertas seperti ini sulit dipenuhi pabrik kertas di dalam negeri. Sedangkan kalau harus impor, LAI sering mengalami kesulitan mendatangkan bahan bakunya. Awalnya, kertas impor untuk Alkitab tidak dikenakan pajak namun urusannya sangat berbelit. Kemudian impor kertas tersebut masuk kategori kena pajak. Perubahan kebijaksanaan ini berdampak dengan harga yang melambung tinggi dan memberatkan jemaat pengguna.
Komunitas marjinal sampai Presiden Sungguh bersyukur, jikalau LAI mempercayakan berbagai jabatan kepada saya. Mulai menjadi Kepala Cabang LAI Medan, kemudian Sekretaris (kini Kepala-red) Departemen Distribusi, Kepala Departemen Administrasi Umum & SDM, Distribution Specialist & Literacy Manajer, dan terakhir menjadi Pendamping Kepala Perwakilan LAI Jayapura. Jabatanjabatan tersebut menuntut saya lebih sering berada di lapangan, hadir di tengah-tengah komunitas yang terkena bencana gempa, banjir,
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
tsunami, buta huruf, mereka yang tidak punya Alkitab. Hampir seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua, bahkan beberapa kali ke Timor Timur (sebelum berpisah dengan Indonesia), dari pesisir hingga pegunungan pernah saya kunjungi kecuali Kendari, Sulawesi Tenggara. Intinya supaya banyak orang mendapatkan Alkitab, membacanya dan hidup dari Firman Tuhan itu. Di samping itu karena ditugaskan LAI, saya berkesempatan menimba pengalaman di luar negeri baik ke Singapura dalam Distribution Seminar se-Asia Tenggara; ke Bangkok/Thailand dalam rangka Seminar Marketing and Global Study Situation, Fundraising, Planning; ke Colombo/Sri Lanka dalam rangka Pendidikan/Studi banding di Ceylon Bible Society (CBS). Lewat pelayanan di LAI pula saya berkesempatan untuk bertatap muka dengan Presiden Republik Indonesia: Bapak Soeharto maupun Ibu Megawati Soekarnoputri di Istana Merdeka Jakarta. Dalam tatap muka dengan Pak Harto, kami berkesempatan menjelaskan Alkitab
Braille. Artinya LAI juga sangat memperhatikan komunitas handicap. Dalam tatap muka dengan Ibu Mega, karena LAI merupakan anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang sangat memperhatikan pendidikan dan penerbitan buku-buku bermutu.
Suasana kerja Bekerja di LAI tidak dapat dilepaskan dengan target-target. Baik sebagai Kepala Cabang LAI, maupun sebagai Sekretaris Departemen Distribusi sangat kental dengan angka-angka penyebaran dan uang yang dapat dimasukkan ke kas LAI. Demikian juga sebagai Manajer Pemberantasan Buta Huruf (PBH) sangat kental dengan angka-angka berapa jumlah peserta PBH, berapa yang bisa melek huruf dan dapat membaca Alkitab. Pada tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan sangat kuat tekanan target yang harus dicapai, sehingga sudah menyatu dengan hidup dan kegiatan setiap hari. Tak heran kalau dalam mimpi muncul 'angkaangka seputar target pencapaian tersebut'.
Pdt. E.P. Sembiring (paling kanan), dalam kapasitasnya sebagai Kepala Departemen Penyebaran LAI ikut hadir dalam audiensi dengan Presiden Soeharto dalam rangka menyambut 360 tahun Penerjemahan bagian Alkitab ke dalam bahasa Indonesia. Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
25
Kondisi ini membuat suasana kerja semakin departemental atau parsial artinya masingmasing departemen berupaya ‘memenangkan pertandingan pencapaian target’. Tidak jarang antara satu departemen dengan departemen lain terjadi gesekan dan memanas. Akibatnya suasana kerja menjadi kurang damai sejahtera. Misalnya antara Departemen Penyebaran dengan Departemen Gereja dan Masyarakat, antara Departemen Penyebaran dengan Percetakan LAI Ciluar/Nanggewer. Dalam rapat-rapat, apakah rapat staf atau Rapat Kerja (RAKER) pengaruh cara pandang yang departemental ini membuat suasana terasa kurang nyaman.
Kepulauan Banggai, perahu yang ditumpangi hampir karam diterjang badai dan ombak besar.
Untunglah Pimpinan LAI tanggap sehingga kondisi seperti ini tidak berlangsung berlarutlarut. Maka kemudian diadakanlah berbagai pelatihan dan program keakraban secara intensif, misalnya: ― outbound "Service Quality Leadership Programme", outbound "Tumbuh Kembang Bersama". Berbagai pelatihan penunjang ini menjadi suasana kerja dan kebersamaan menjadi kondusif.
Dokter di RS Perkebunan Good Year, Dolok Merangir, Deli Serdang mengambil keputusan untuk melakukan operasi dan memasang pen (penyangga dari logam untuk memperkuat tulang yang patah). Sampai sekarang ada tanda permanen bekas jahitan operasi pemasangan pen tersebut. Tanda ini merupakan tanda seumur hidup melayani di LAI. Memang banyak tanda-tanda yang diterima selama melayani 32 tahun di LAI berupa Surat Keputusan (SK), Piagam Penghargaan atas prestasi kerja, foto-foto dan berbagai kenangan lainnya, namun yang paling 'melekat’ bekas operasi patah tulang tersebut.
Tanda seumur hidup Dalam merenda karya pelayanan di LAI, seperti halnya di semua tempat pelayanan lainnya tentunya ada suka maupun dukanya. Namun pelayanan di LAI bagi saya lebih banyak mendatangkan sukacitanya. Salah satu indikatornya, saya relatif tidak pernah tidak masuk kantor, entah karena sakit, malas atau jenuh. Artinya selama di LAI relatif tidak pernah sakit. Memang banyak pengalaman dalam melaksanakan tugas pelayanan yang sulit dilupakan, antara lain dalam tugas pelayanan ke Nias saat penerbangan jendela pesawat terbuka; dalam tugas pelayanan ke Ambon saat pesawat mau mendarat harus menghabiskan bahan bakar terlebih dahulu; dalam tugas pelayanan ke
26
Pernah pula saya mengalami kecelakaan cukup parah. Kejadiannya saat perjalanan pelayanan ke Tapanuli Selatan dalam rangka Program PBA bekerja sama dengan Sinode GKPA (dulu HKBP Angkola) untuk menatar Guru-guru Sekolah Minggu. Pada 26 Juli 1975, saya mengalami kecelakaan di Sipirok, Tapanuli Selatan. Bermula ketika Vikaris Sibarani yang memboncengkan saya naik sepeda motor menabrak kabel telepon yang semrawut di jalan.
Puji Tuhan sampai hari ini LAI masih mengingat untuk mengundang dalam HUT LAI, Hari Doa UBS, Natal LAI dan mengikut sertakan dalam kepanitiaan, hingga pelayanan sebagai pembawa firman saat ada karyawan LAI yang memasuki masa pensiun. []
Catatan: Pdt. E.P. Sembiring, S.Th., Pendeta GBKP dan pensiunan karyawan LAI. Pernah menjabat Kepala LAI Cabang Medan, Kepala Dep. Penyebaran LAI, dan Kepala Dep. Administrasi Umum dan SDM LAI.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Arti kel
385 Tahun
Injil Matius Ruyl 1629 Warisan Iman Umat Kristiani Indonesia Iang d’jan’ji baharu dari Tuhan-ku Iesu Christi: bersalim kepada bassa Hulanda daan bassa Malaju, seperti jang Adillan bassa Gregu.
J
ika kutipan di atas terpampang pada halaman muka sebuah hari-
an nasional yang terbit hari ini, para pembaca pastilah bingung menyimpulkan apa maksud kalimat tersebut. Kalimat di atas yang jelas tidak menggunakan gaya bahasa Indonesia masa kini, dikutip dari halaman depan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang terbit pada tahun 1629.
Pada tahun ini, umat kristiani di Indonesia merayakan 385 tahun penerbitan Injil Matius terjemahan Albert Corneliszoon Ruyl. Injil Matius ini adalah terbitan bagian Alkitab pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Christian Gossweiler mengutip catatan katalog Alkitab terkenal yang disusun oleh H.T. Darlow dan Horace F. Moule, demikian: "Edisi ini kemungkinan besar merupakan contoh paling awal terjemahan dan pencetakan sebagian bahasa bukan Eropa bagi tujuan penginjilan. " A.C. Ruyl sendiri bukan seorang pendeta ataupun ahli bahasa. Ia seorang saudagar muda
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
27
(onderkoopman) VOC, yang datang ke Nusantara pada tahun 1600 lewat armada Jacob van Neck, yang merupakan armada keempat VOC. Tapi Ruyl tidak sekadar modal nekat semata. Setibanya di Nusantara, Ruyl belajar bahasa Melayu Tinggi/Melayu Klasik di Pulau Sumatera. Ia pun kemudian mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan Jan van Hasel dan Gubernur Jenderal Frederik de Houtman. Tak lama setelahnya, Ruyl mulai berkarya menyelesaikan rancangan terjemahan Injil Matius serta buku Soerat ABC dan Spieghel van de Maleysche Tale (cerminan bahasa Melayu, semacam buku tata bahasa). Proses penerbitan buku Spieghel dan Soerat ABC lebih cepat jika dibandingkan dengan penerbitan terjemahan Injil Matius. Hal ini dikarenakan banyak orang yang menentang terjemahan karya Ruyl. Mereka beranggapan Ruyl menerjemahkan Injil Matius tersebut dengan bahasa Melayu Klasik (Melayu Tinggi), bukan ke dalam bahasa Melayu Pasar. Bahasa Melayu Tinggi dianggap hanya cocok untuk karya sastra, dan susah dipahami awam. Namun Ruyl menggunakan pilihan bahasa Melayu Tinggi bukan tanpa sebab. Ruyl beranggapan bahwa bahasa yang tinggilah yang layak digunakan untuk firman Tuhan. Pilihan Ruyl ini agaknya tetap diikuti oleh sebagian besar gereja dan umat kristiani pengguna Alkitab pada masa kini yang lebih menyukai terjemahan yang sifatnya formal, cenderung bergaya sastra. Setelah beberapa tahun Injil Matius terjemahan Ruyl tertunda terbit, akhirnya pada 1629 VOC menerima dan mendukung karya terjemahan Ruyl dan bersedia mendanai biaya percetakan terjemahan Injil Matius tersebut. Terjemahan Injil Matius tersebut dicetak oleh Jan Jacobszoon Palenstyen di Enkhuizen, Belanda. Injil ini dicetak dengan balok logam di atas kertas buatan tangan. Kertas sendiri dibuat dengan cara bubur kertas (pulp) disaring menggunakan saringan kawat berbingkai kayu (paper mould) yang meninggalkan corak laid pada kertasnya. Sesuai keputusan ke-17 pemimpin
28
VOC tertanggal 21 Agustus 1629, Percetakan Palensteyn mencetak 480 eksemplar dan mengirimkannya ke bumi Nusantara untuk digunakan di sekolah-sekolah VOC, gereja-gereja dan juga pribadi-pribadi. Namun beberapa disisakan di Belanda untuk disimpan dan dipelajari. Terjemahan Injil Matius tersebut merupakan terbitan keenam dalam bahasa Melayu yang diterbitkan pada masa VOC, setelah Kamus Melayu-Madagaskar (1603), Soerat ABC (1611) dan seterusnya.
Satu eksemplar berada di Jerman Lebih dari seratus tahun setelah Injil Matius diterbitkan, seorang pendeta Jerman bernama Pdt. Josias Lorck (1723-1785) membeli salah satu eksemplar dari Injil Matius terjemahan Ruyl yang tertinggal di Belanda. Pdt. Josias Lorck adalah kolektor Alkitab kuno. Sebelum Pdt. Lorck meninggal, beliau menjual seluruh koleksinya yang terdiri dari delapan ribu Alkitab kepada raja Württemberg, Karl Eugen. Raja Karl Eugen kemudian menempatkan seluruh koleksi Alkitab dan buku-buku kuno di perpustakaan umum Kerajaan (Öffentliche Herzogliche Bibliothek) Stuttgart, ibukota kerajaan Württemberg, Jerman. Injil Matius terjemahan Ruyl sempat dinyatakan punah oleh Swellengrebel dalam karya besarnya "Mengikuti Jejak Leijdecker", sebuah buku tentang penerjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pada tahun 1989, Pdt. Daud Soesilo, yang waktu itu menjabat sebagai konsultan penerjemahan LAI (kini konsultan penerjemahan UBS), ditugaskan oleh LAI untuk mencari kemungkinan adanya eksemplar asli terjemahan Ruyl yang masih tersisa. Akhirnya ditemukan satu eksemplar Injil Matius Ruyl asli yang disimpan di Perpustakaan Negeri Württemberg (Württembergische Landesbibliothek – WLB), Stuttgart, Jerman dan sebuah lagi di British Library, London. Kebetulan pada tahun 1989 tersebut, LAI merayakan 360 tahun penerjemahan Injil Matius terjemahan Ruyl.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Pada bulan Juni 2012, Sekretaris Umum LAI, Harsiatmo Duta Pranowo dengan didampingi Christian Gossweiler, – salah satu anggota tim revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru – datang ke Jerman. Beliau mengunjungi kantor pusat Lembaga Alkitab Jerman di Stuttgart. Beliau juga berkesempatan mengunjungi Perpustakaan Negeri Württemberg, di Stuttgart yang menyimpan satu eksemplar cetakan asli Injil Matius Terjemahan Ruyl tersebut. Selain itu Duta juga bertemu dengan Dr. Christian Herrmann, Kepala Departemen Buku Kuno dan Langka di perpustakaan tersebut. Dalam rangka mengingat dan menghargai karya Albert Corneliszoon Ruyl dalam menerjemahkan Injil Matius ke dalam bahasa Melayu, LAI kemudian berupaya untuk menerbitkan edisi faksimili dari Injil Matius terjemahan Ruyl. Ternyata keinginan LAI mendapatkan sambutan yang positif dari pihak Perpustakaan Negeri Wüttemberg. Bahkan Christian Herrmann kemudian menyiapkan dan menyediakan semua materi scanning yang dibutuhkan serta memberikan banyak nasihat yang sangat berguna bagi penerbitan edisi faksimili tersebut. Istilah edisi faksimili (facsimile edition) mungkin merupakan istilah yang sedikit asing bagi telinga awam. Istilah ini merujuk pada usaha sebuah penerbit untuk menciptakan kembali, dengan detail yang sempurna (tingkat presisi yang tinggi) sebuah publikasi tertentu. Edisi ini biasanya diterbitkan dalam jumlah terbatas, karenanya bisa menjadi pilihan fantastis bagi para kolektor yang ingin mengoleksi sebuah buku bersejarah namun tidak memungkinkan lagi untuk memperoleh edisi asli. Edisi Faksimili Injil Matius terjemahan Ruyl ini dibuat dengan persiapan yang sangat panjang, diusahakan semirip mungkin dengan edisi aslinya dan dicetak dalam jumlah terbatas, yaitu 385
eksemplar. Untuk pemilihan kertasnya saja memakan waktu beberapa bulan dan mendatangi beberapa negara. Akhirnya pada 23 April 2014, Lembaga Alkitab Indonesia dengan penuh ungkapan syukur meluncurkan edisi faksimili Injil Matius Ruyl. Sebuah karya bersejarah, karya mulia yang merupakan warisan iman bagi umat kristiani di Indonesia. Acara peluncuran mengambil tempat di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. Untuk lebih membuka wawasan bagi umat, pada waktu dan tempat yang sama juga diselenggarakan seminar "385 Tahun Injil Matius Ruyl 1629". Sebagai narasumber seminar hadir dua orang pakar dari Jerman yang sedari awal ikut terlibat mempersiapkan penerbitan edisi faksimili ini, yaitu: Dr. Christian Herrmann yang berbicara tentang "Sejarah Alkitab Misi pada Masa Awal." dan Pdt. Dr. Christian Gossweiler yang menyampaikan materi "Ruyl Sebagai Perintis Penerjemahan Alkitab di Nusantara". Dalam materi seminarnya, Pdt. Christian Gossweiler menyatakan, umat Kristen Indonesia patut bangga atas tiga jasa A.C. Ruyl: pertama, perintis penerjemahan Alkitab untuk dunia berbahasa Melayu, kedua sebagai perintis penerjemahan Alkitab Misi di seluruh dunia, dan ketiga sebagai salah satu perintis perkembangan bahasa Melayu, khususnya untuk romanisasi bahasa Melayu sehingga berkembang dan dipakai di seluruh wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Semua jasa itu dicapainya bukan sebagai ahli teologi ataupun ahli ilmu bahasa, melainkan sebagai seorang pedagang sederhana. Warisan iman Ruyl tetap perlu dihayati, semangatnya perlu dipertahankan untuk ikut terlibat dalam karya Tuhan, dengan segala keterbatasan dan kelemahan manusia. [adit & keb]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
29
Profil
Christian Gossweiler:
"Saya sekarang sudah merasa betul-betul berakar di Indonesia." Salah satu sosok penting dalam penerbitan edisi faksimili Injil Matius Ruyl 1629 adalah Christian Gossweiler. Meskipun sangat sibuk, dosen STT Abdiel di Ungaran, Jawa Tengah, yang juga anggota Tim Revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru ini masih bersedia menyempatkan waktunya berbincang dengan Warta Sumber Hidup. Yang unik, sebelum wawancara berlangsung, redaksi sempat memperoleh informasi yang menyatakan bahwa meskipun mukanya jelas bule dan kelahiran Jerman, kecintaan Christian pada Indonesia begitu mendalam. Beberapa orang bahkan menyebut beliau sebagai sosok asing paling Indonesia. Lebih mengejutkan lagi, teolog yang berdomisili di Salatiga ini begitu mencintai bahasa dan budaya Jawa. Bahkan memiliki istri seorang Jawa, yang pandai menari Jawa, demikian pula anak-anaknya. Awal Perkenalan dengan Indonesia Bagaimana ceritanya sampai seorang Christian Gossweiler, yang kelahiran Pforzheim, Jerman lima puluh dua tahun silam ini jatuh cinta pada Indonesia? Jalan ceritanya ternyata cukup panjang. Persentuhannya dengan Nusantara diawali sebuah peristiwa yang agak lucu. Ketika remaja, Christian tak sengaja menemukan di dapur rumah orang tuanya sebuah buku resep masakan Nusantara. Seingatnya buku yang di tulis dalam bahasa Jerman tersebut merupakan media promosi dari sebuah perusahaan bumbu dapur yang mengimpor berbagai bumbu masakan dari Indonesia. Supaya bumbu masakan itu laris terjual, perusahaan tersebut menyebarkan secara gratis buku resep masakan tersebut. Maka sedari remaja Christian sudah terbiasa masak dan makan menu Indo30
nesia. Sejak saat itulah ketertarikannya pada Indonesia berawal. Meski Christian merupakan seorang misionaris yang telah belasan tahun berkarya di Indonesia, sewaktu kecil dirinya tidak pernah membayangkan akan menjadi seorang pendeta bahkan misionaris ke negeri yang jauh. "Saya berasal dari sebuah keluarga yang boleh dikatakan Kristen KTP. Memang secara formal seluruh keluarga kami dibaptis dan menjadi anggota gereja. Namun keluarga kami beribadah ke gereja maksimal hanya setahun sekali, pada saat perayaan Natal." Meski demikian, seperti wajarnya remaja-remaja lain, pada usia 13 atau 14 tahun Christian mengikuti katekisasi dan kemudian menyatakan percaya (sidi). Pada saat mengaku percaya itulah, Tuhan menyentuh hatinya, sehingga Christian mengambil keputusan untuk sungguh-sungguh mengikut dan menjadi murid Tuhan Yesus. Sekitar tahun 1976, dalam sebuah kebaktian regional bertema misi, Christian mendengar khotbah seorang misionaris Jerman yang hendak berangkat ke Indonesia. Saat itu usianya baru menginjak 15 tahun. Christian dengan sang misionaris kemudian berteman akrab. Mereka bahkan saling berkirim surat. Setamat SMA Christian bergumul untuk menetapkan studi ke jenjang selanjutnya. Dirinya kemudian memutuskan berkonsultasi dengan pendeta jemaat dan majelis gerejanya. Dari perbincangan tersebut mereka berpandangan bahwa Tuhan menghendaki Christian untuk
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
mengambil studi teologi. Pada saat yang sama Christian mendapatkan inspirasi dari firman Tuhan di Yohanes 21 yang menyatakan, "Gembalakanlah domba-dombaku." Sejak saat itu dirinya mulai yakin akan pilihannya untuk menjadi gembala jemaat. Tentu saja waktu itu ia belum punya pikiran untuk melayani jemaat di tempat yang jauh melewati batas benua. Visi Christian kala itu masih sebatas menjadi gembala jemaat di Jerman saja. Sampai memasuki bangku kuliah Christian masih terus berhubungan dengan temannya misionaris di Indonesia. Hingga sekitar 1984, Christian ― dalam statusnya sebagai mahasiswa teologi ― berkesempatan mengunjungi sahabatnya di Indonesia dan melihat dari dekat pelayanan misionaris tersebut. Christian diajak berkeliling di berbagai daerah pelayanan I3 (Institut Injil Indonesia) di Malang, dan ladang pelayanan YPPII (Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia) di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan. Sungguh sebuah kebetulan atau memang jalannya sudah diatur oleh Tuhan, perguruan tinggi
tempat ia belajar teologi memiliki kelas kuliah bahasa Indonesia. Sedari tahun 1983, Christian dengan tekun belajar bahasa Indonesia. Maka ketika pertama kali datang ke Nusantara, Christian sudah cukup lancar berbahasa Indonesia. Bahkan di sebuah tempat pelayanan dirinya diminta berkhotbah dalam bahasa Indonesia. Persahabatan dengan misionaris dan kunjungannya ke berbagai ladang pelayanan di Indonesia, menumbuhkan tekad di hati Christian untuk menjadikan Indonesia sebagai ladang pelayanannya. Tak lama berselang, sekitar tahun 1987, Christian diminta menjadi dosen tamu dan dosen terbang di suatu perguruan tinggi di Kalbar yang berada di bawah naungan YPPII. Saat menjadi dosen tamu tersebut, sesungguhnya Christian sedang menyelesaikan disertasi doktornya. Sambil menyelesaikan disertasi, Christian selama sekitar dua kali dua bulan (1987 dan 1990) mengajar di Indonesia. Dalam perjalanan waktu terjadi perbedaan pendapat antara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan YPPII. Gereja pengutusnya
Sekretaris Umum LAI, Harsiatmo Duta Pranowo (tengah), di tengah-tengah keluarga Pdt. Christian Gossweiler saat berkunjung ke Jerman.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
31
di Jerman meminta Christian melayani di suatu gereja yang merupakan anggota PGI. Christian mengakui dirinya sempat bingung dalam mengambil keputusan apakah tetap bertahan di YPPII atau tidak. Di saat yang sama, salah satu lembaga misi di Jerman yang mendukung pelayanan di Indonesia ― Neukirchener Mission ―, meminta Christian untuk bersedia diutus ke Jawa, melayani di Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), yang memang merupakan buah perintisan mereka. Akhirnya pada 1992 Christian pun berangkat ke Jawa untuk menjalani orientasi pelayanan di GKJTU.
di Indonesia. Oleh Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) saya sudah ditahbiskan menjadi seorang pendeta Jawa. Saya juga mendapatkan seorang istri, orang Jawa, warga jemaat GKJTU, yang berasal dari Jawa Timur. Setelah berkeluarga, maka saya tentu saja menjadi bagian keluarga besar istri saya yang orang Indonesia." Perkenalanan Christian dengan Kristanti Pebri Nugrahani, yang sekarang menjadi ibu dari anak-anaknya terjadi saat dirinya menjalani orientasi pelayanan di GKJTU.
Selanjutnya hingga hari ini Christian menjalani pelayanannya sebagai pendeta Sinode di GKJTU, di samping sebagai pengajar mata kuliah Misiologi dan Eksegese di STT Abdiel, Ungaran, Jawa Tengah.
"Tujuan orientasi agar saya dengan GKJTU dapat saling mengenal. Apakah saya cocok untuk mereka dan mereka cocok untuk saya. Pada masa perkenalan tersebut saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa jemaat GKJTU di berbagai kota."
Meski melayani di negeri yang jauh dari tanah kelahirannya, Christian ― yang sangat menyukai rendang dan sayur asem tersebut ― sangat menikmati hari-harinya di Indonesia. "Saya sekarang sudah merasa betul-betul berakar
Ternyata perkenalan awal dengan GKJTU tersebut berlanjut menjadi orientasi yang sangat menyeluruh. Sampai suatu ketika dirinya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya itu. Awal tahun
32
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Pdt. Christian Gossweiler (paling kanan) bersama rekan-rekannya, anggota tim revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru di Bogor.
but. Agaknya Pdt. Anwar tertarik dengan ide penerbitan kamus tersebut. Beberapa kali mereka berdua bertemu untuk membahas kelanjutan proyek kamus tersebut. Namun akhirnya mereka berdua sadar kalau sama-sama tidak mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan penerbitan kamus tersebut dengan sungguh-sungguh.
1994 mereka menikah. Dari pernikahan tersebut keluarga ini dikaruniai dua orang anak. Anak pertama diberi nama Pia Desideria Ayuningtyas, sementara anak kedua diberi nama Pieter Cahyaningjagad. "Saya saat ini memiliki banyak teman dan sahabat di Indonesia," lanjutnya. "Kebenaran saya memiliki banyak tugas dan panggilan di Indonesia yang sesuai dengan latar belakang keilmuan saya. Selain mengajar, salah satu kesibukan saya tentu saja terlibat dalam tim revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru LAI." Christian menyebut perkenalannya dengan LAI dan keterlibatannya sebagai anggota tim revisi Perjanjian Lama sebagai wujud penyertaan Tuhan. Awalnya Christian punya cita-cita besar untuk menerbitkan Kamus Ibrani-Indonesia. Kamus itu sampai hari ini belum terwujud. Tapi Christian pernah mempresentasikan proyek Kamus Ibrani–Indonesia tersebut dalam pertemuan Ikatan Sarjana Biblika Indonesia. Kebetulan Konsultan Penerjemahan LAI, Pdt. Dr. Anwar Tjen hadir juga dalam pertemuan terse-
Dari beberapa kali perjumpaan tersebut, Pdt. Anwar Tjen memandang bahwa Pdt. Christian sangat mencintai bahasa biblika dan juga suka bekerja dengan teliti, tekun membahas masalah penerjemahan yang sering njlimet (rumit dan tak mudah ditafsirkan). Akhirnya sekitar tahun 2006, Pdt. Anwar menanyakan kesediaannya untuk bergabung dengan Tim Revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru. Namun, kerja sama mereka tidak langsung bisa terlaksana. Antara tahun 2006 hingga 2007 Christian mendapat tugas di Jerman. Sementara pada tahun 2007, Pdt. Anwar mendapat tugas studi ke Australia. Praktis, baru mulai 2008 tim secara intensif bisa menggarap revisi ini. Pertemuan dengan Injil Matius Ruyl 1629 Antara tahun 2012 hingga 2013 Christian kembali mendapatkan tugas di Jerman selama satu tahun. Pada rentang waktu tersebut dirinya berkesempatan melihat beberapa museum Alkitab di Jerman yang menurutnya sangat menarik. Karena museum-museum ini dijalankan dengan pola interaktif, di mana orang yang datang tidak hanya melihat benda-benda di balik kaca. Namun diajak untuk menyentuh, mencium, meraba benda-benda koleksi museum tersebut. Museum Alkitab seperti ini tentu sangat bagus kalau dibangun di Indonesia. Kebetulan LAI saat itu sedang membangun gedungnya yang baru di Jl. Salemba Raya 12, Jakarta. Maka, beliau kemudian mengontak dan mengajak Harsiatmo Duta Pranowo, Sekretaris Umum
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
33
LAI untuk mengunjungi museum-museum tersebut di Jerman. Sambil melihat, tentu saja untuk menggali inspirasi konsep rancangan museum Alkitab LAI. Siapa tahu dapat meniru museum-museum Alkitab di Jerman yang interaktif. Hanya saja, saat itu Gedung Pusat Alkitab berikut museum sudah selesai dibangun, sehingga konsepnya sulit diubah lagi. Selain mengunjungi museum-museum tersebut, Christian memandang akan sangat baik kalau Sekum LAI menyempatkan diri mengunjungi kantor pusat Lembaga Alkitab Jerman di Stuttgart. Kebetulan pada saat yang bersamaan dirinya diminta untuk menyiapkan sebuah presentasi tentang sejarah penerjemahan Alkitab di Indonesia dan Revisi Terjemahan Baru. Salah satu sumber pustaka yang Christian gunakan adalah buku karya Pdt. Dr. Daud Soesilo, "Mengenal Alkitab Anda". Di situ tertulis, kalau salah satu eksemplar asli dari Injil Matius Terjemahan Albert C. Ruyl disimpan di Stuttgart. Christian berpikir, selagi dirinya dan Pak Duta di Stuttgart, alangkah baiknya kalau mengunjungi juga perpustakaan tempat disimpannya Injil Matius terjemahan Ruyl. Peribahasanya, satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Maka mereka berdua pun mengunjungi Perpustakaan Negeri Württemberg, tempat penyimpanan koleksi bersejarah tersebut. Mereka disambut dengan sangat ramah oleh Kepala Bidang Buku Langka di perpustakaan itu. Setelah melihat dari dekat edisi asli Injil Matius terjemahan Ruyl tersebut, muncul ide untuk membuat edisi faksimilinya. Arti dari kata "faksimili" adalah salinan yang semirip mungkin dengan aslinya. Baik ukuran, warna maupun bentuknya. Saat ditanyakan apa pesan yang hendak disampaikan lewat penerbitan edisi faksimili Injil Matius Ruyl 1629, Christian menyatakan paling tidak ada tiga pesan yang bisa ditangkap oleh umat Kristen Indonesia di masa kini. Pertama, ada semacam pesan rohani. Dengan melihat terjemahan karya Ruyl tersebut, umat
34
Kristen pada masa kini bisa melihat perjuangan Albert C. Ruyl, yang dengan pragmatisme yang sehat melakukan suatu tugas rohani yaitu menerjemahkan bagian Kitab Suci. Mengapa Christian menyatakan tindakan Ruyl sebagai pragmatisme yang sehat? Di satu sisi Ruyl bukanlah seorang ahli teologi, bukan seorang ahli bahasa. Dia seorang saudagar muda, yang tidak menguasai bahasa-bahasa asli Kitab Suci. Ruyl juga bukan seorang ahli linguistik. Untuk memulai karyanya Ruyl mesti berjuang terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa Melayu. Namun, Ruyl tidak menyerah dengan segala keterbatasannya dan kesulitan yang dihadapinya. Ruyl tidak patah semangat atau mengatakan, "Biarlah orang lain saja yang mengerjakan." Meski demikian jangan dikira Ruyl bekerja secara asal-asalan, atau sekadar "bondo nekat" saja. Sebelum menerjemahkan Ruyl mulai melakukan studi bahasa Melayu, bahkan menyusun buku pelajaran bahasa Melayu, baru kemudian dirinya memulai penerjemahan. Christian memandang pragmatisme yang sehat seperti Ruyl tersebut pantas ditiru. Agar kita tidak terjebak pada perfeksionisme dan mengatakan bahwa karya penerjemahan hanya boleh dilakukan oleh orang yang seratus persen ahli. Namun di sisi lain, jangan juga terjebak pada "bondo nekat", membuat karya asal-asalan dan bermutu rendah. Kedua, penerbitan edisi faksimili ini memiliki relevansi dalam diskusi kontemporer. Misalnya untuk kasus di Malaysia. Ketika terjadi perdebatan tentang penggunaan nama Allah, Lembaga Alkitab Malaysia dan umat Kristen di Malaysia dapat menunjukkan bahwa kata Allah sudah dipakai selama lebih dari 400 tahun oleh umat Kristen di Malaysia dan Nusantara. Meskipun nantinya belum tentu pandangan ini diterima dan mereka tetap dilarang menggunakan kata Allah, edisi faksimili ini bisa dijadikan sebagai senjata yang faktual dalam diskusi.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Ketiga, ada manfaat ilmiah untuk belajar sejarah penerjemahan. Edisi Faksimili ini dilengkapi dengan DVD yang bisa menjadi sumber penelitian maupun sumber pustaka, karena berisi berbagai terjemahan Alkitab yang pernah ada di Indonesia dari berbagai masa. Sehingga orang bisa membuat penelitian tentang sejarah penerjemahan sejak zaman Ruyl hingga zaman Terjemahan Baru. Tentang Masa Depan Penerjemahan Alkitab dalam Bahasa Daerah di Nusantara Saat diajukan pertanyaan mengenai masa depan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, Christian menyatakan sulit untuk memprediksikan. Di satu sisi, ada kekhawatiran dan keprihatinan terkait perkembangan bahasa daerah. Pernah dirinya hadir sebagai salah seorang pembicara dalam Kongres bahasa Jawa. Ironisnya pembicara yang berani menggunakan bahasa Jawa saat menyampaikan presentasi dalam kongres tersebut hanya dirinya dan satu orang profesor dari Australia. Semua pembicara lain yang berasal dari Jawa menyatakan, "Nyuwun duka, bahasa Jawi kula awon. Pramila kula mawi bahasa Indonesia kemawon." (Mohon maaf bahasa Jawa saya jelek, maka saya akan berbicara dalam bahasa Indonesia saja). Christian berpikir, kalau di Kongres Bahasa Jawa saja pembicaranya tidak berani menggunakan bahasa Jawa, bagaimana kondisi di akar rumput? Bagaimana penggunaannya di masyarakat luas? Tapi di sisi lain, ia melihat pula di beberapa tempat di Eropa, di era globalisasi ada semacam antiklimaks. Beberapa bahasa daerah bangkit kembali. Sebagai contoh, di Spanyol Selatan ada bahasa Katala atau di Belanda Utara ada bahasa Frisia, yang justru di abad XX dan XXI ini bangkit dan berkembang kembali. Memang disadari tiap daerah memiliki situasi yang berbeda-beda. Christian meyakini di luar Jawa masih ada daerah di mana orang-orang setempat hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah. Praktis kalau mereka mau di-
jangkau dengan Kabar Baik, yang paling tepat adalah dengan menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Di sisi lain, ada daerah di mana penduduknya sudah bisa sedikit berbahasa Indonesia, namun mereka merasa lebih hebat bila berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Tentunya orang-orang dengan pandangan seperti ini harus diberi dorongan agar merasa bangga terhadap bahasa daerahnya. Sementara di daerah Jawa atau Sunda, yang sebagian besar masyarakatnya cukup menguasai bahasa Indonesia pasti mereka akan mengerti jika diberikan Alkitab dalam bahasa Indonesia. Tetapi demi pelestarian budaya, Christian memandang Alkitab bahasa daerah tetap penting. Salah satunya sebagai alat untuk mengajar bahasa daerah bagi generasi penerus. Di keluarganya setiap ibadah malam, keluarganya menggunakan Alkitab Bahasa Jawa Padintenan (Sehari-hari). "Saya rasa Tuhan menghendaki, nanti di hadapan tahta Domba Allah, semua orang memuji nama-Nya dalam bahasa masing-masing, dalam ribuan bahasa, bukan hanya dalam satu bahasa. Maka di gereja saya, di GKJTU, ada buku ajaran, Pelengkap Katekismus Heidelberg, yang di pertanyaan dan jawaban No. 16-17 menegaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki keseragaman budaya, Tuhan menghendaki keanekaragaman budaya. Dan itu agaknya yang menjadi alasan gereja kami GKJTU, tetap melestarikan budaya dan bahasa daerah," demikian tanggapan Christian ― yang mempunyai hobi naik sepeda dan memelihara ikan ―. Salah satu impian yang masih ingin diwujudkan oleh Christian adalah menulis buku yang dapat menjadi berkat bagi umat Tuhan di Indonesia. Sayangnya hingga saat ini keinginan tersebut harus tertunda karena berbagai tugas pelayanan yang mesti diembannya. Dirinya berharap sebelum memasuki masa pensiun keinginan menulis buku itu dapat terlaksana. Di mana Christian hendak menjalani masa pensiunnya? Ia sendiri tidak dapat menjawabnya.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
35
Pdt. Christian Gossweiler ketika menjadi salah satu pembicara dalam Seminar "385 Tahun Injil Matius Ruyl, Warisan Umat Kristiani di Indonesia", di Aula Perpustakaan Nasional, April 2014.
Hanya Tuhan sendiri yang tahu. Ia sendiri sangat ingin melayani seumur hidup di Indonesia. Christian pernah membaca semboyan penginjil Hudson Taylor yang mengatakan, "If I had a thousand lifes, I would give them all for China." Seandainya punya seribu nyawa, Christian pun ingin mengabdikan semuanya untuk masyarakat dan gereja Indonesia. "Hanya saja kalau Tuhan menghendaki lain, apa gunanya idealisme seperti itu. Kalau Tuhan mempunyai tugas lain untuk saya, entah di Jerman, entah di Indonesia, entah di benua lain, sebagai abdi Tuhan kita harus siap. Kita ikut "kersanipun" Gusti, apa yang Ia rencanakan," katanya. Apalagi istrinya selalu siap mendukung pelayanannya. Saat menikah mereka memilih ayat dari Kitab Rut 1:16: "… sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau
bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku". Ayat tersebut menjadi semboyan istri Christian hingga hari ini. Menutup perbincangan, menyambut 60 tahun pelayanan LAI, Christian berharap memasuki abad XXI ini LAI akan semakin siap untuk melayani dua segmen pasar. Ada yang masih tetap menghendaki Alkitab cetak seperti yang telah diproduksi oleh Lembaga-lembaga Alkitab di berbagai negara sejak 200 tahun yang lalu. Tetapi ada kalangan yang lebih memilih Alkitab elektronik. Seperti nampak di logo HUT LAI ke-60, LAI memiliki tanggung jawab menyediakan sarana dalam dua bentuk tersebut dalam rangka mewujudkan visinya hadir bagi semua orang lewat bahasa yang dapat dimengerti agar setiap orang mengenal, bertemu dan berinteraksi dengan Allah serta mengalami hidup baru di dalam Kristus. [keb]
Setelah itu aku melihat: Sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat dihitung jumlahnya, dari segala bangsa dan suku dan umat dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dengan suara nyaring mereka berseru, "Keselamatan ada pada Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!" (Wahyu 7:9-10, TB2)
36
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Yubileum 60 Tahun LAI
Ibadah Peringatan 60 Tahun LAI di GPIB Tugu
D
unia dihadapkan pada krisis moral dan etika yang sungguh memprihatinkan. Setiap kali kita membaca surat kabar ataupun membuka saluran televisi berbagai berita yang kita lihat: kasus korupsi, konflik horizontal, kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan dan berbagai kasus lainnya. Dalam dunia di mana Alkitab mudah tersedia saja kejahatan begitu sering terjadi, bagaimana sekiranya dunia tanpa Firman Allah? Apa yang bisa menjadi penunjuk jalan kepada kebenaran? "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. (Ibrani 4:12). Pertanyaannya, apakah orang-orang Kristen betulbetul yakin isi dan kebenaran Firman Allah tersebut. Apakah kita memulai karya kita tiap hari dengan terlebih dahulu memohon pertolongan Tuhan dan merenungkan Firman-Nya? Demikian pertanyaan yang diajukan Pdt. Dr. Nus Reimas lewat khotbahnya dalam Ibadah Yublieum 60 tahun Lembaga Alkitab Indonesia yang diselenggarakan di GPIB Tugu, Jakarta pada 9 Februari silam. Memasuki tahun 2014, LAI mengusung tema kerja, "Lihatlah, Aku menjadikan semuanya
baru!" yang diambil dari Wahyu 21:5. Apa arti baru di sini? Baru bukan karena LAI telah memiliki sebuah kantor pusat yang baru. Juga bukan karena LAI telah mulai merintis dan mengembangkan produk-produk digital. Tetapi, baru dalam arti agar firman Allah dapat dibaca oleh semakin banyak orang. Menurut Pdt. Nus Reimas, orang Kristen sejati dan yang telah mengalami hidup baru adalah orang Kristen yang hidupnya dipimpin Firman Allah dan menjadikan Firman Tuhan bagian mutlak dan utama dalam kehidupannya. Dunia terus berubah, tetapi orang beriman dengan yakin tetap maju dengan Firman Tuhan yang tidak pernah berubah. Lewat tema yang diangkatnya, LAI berharap isi dan pesan-pesan Firman Tuhan semakin dipahami dan diterima sebagai kebenaran Allah yang menyelamatkan dan karena itu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan terwujud sebuah masyarakat yang baru, yang taat kepada Allah. Mengapa ulang tahun LAI kali ini mengambil tempat di GPIB Tugu, gereja tua dan bersejarah di kota Jakarta? Sekretaris Umum LAI, Harsiatmo Duta Pranowo dalam sambutannya menyatakan, GPIB Tugu yang menyambut dengan positif keinginan LAI untuk mengadakan ibadah perayaan ulang tahun ke-60 di tempat
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
37
tersebut. Selain itu, antara GPIB Tugu dan LAI sesungguhnya terjalin sebuah ikatan sejarah dalam hal penerjemahan Alkitab. Pendeta pertama di Gereja Tugu, yaitu Pdt. Melchior Leijdecker, merupakan penerjemah pertama Alkitab lengkap dalam bahasa Melayu (kini bahasa Indonesia). Alkitab karya Leijdecker selama lebih dari dua abad dipakai oleh umat Tuhan di Nusantara. Sekretaris Umum LAI dalam sambutannya juga menyatakan, perayaan ulang tahun LAI ke-60 pada tahun 2014 ini juga bertepatan dengan beberapa momen penting yang juga dirayakan oleh LAI. Pertama, perayaan 385 tahun penerbitan bagian Alkitab ke dalam bahasa Nusantara. Pada 1629, Injil Matius terjemahan Albert Cornelisz. Ruyl diterbitkan. Terbitan tersebut dicatat sebagai terbitan bagian Alkitab pertama dalam bahasa non-Eropa. Kedua, 200 tahun (Bicentennial) pekerjaan Lembaga Alkitab di Indonesia, sejak Letnan Gubernur Jenderal Raffless mendirikan Java Auxiliary Bible pada 4 Juni 1814 di Batavi. Ketiga, 40 tahun Alkitab Terjemahan Baru. Alkitab Terjemahan Baru yang terbit pada 1974 adalah Alkitab terbitan LAI yang diakui dan digunakan oleh gereja-gereja di seluruh Indonesia dari berbagai denominasi. Maka momen Yubileum 60 tahun ini menjadi momen yang sangat istimewa khususnya bagi LAI dan secara umum bagi seluruh umat Tuhan di Indonesia. LAI tetap berdiri dan terus melayani hingga hari ini tak lepas dari dukungan 38
gereja-gereja di Indonesia. Oleh karenanya, LAI ingin menaikkan syukur dan merayakan 60 tahun keberadaannya tersebut bersama-sama dengan gereja-gereja di seluruh Indonesia. Pdt. Jakoba Marleni Joseph, mewakili Badan Pengurus Sinode GPIB yang menjadi tuan rumah acara tersebut menyatakan dalam sambutannya, usia 60 tahun kalau diibaratkan adalah seperti seseorang yang memasuki lanjut usia. Namun usia 60 tahun adalah usia lansia yang produktif, usia matang. Semoga LAI dalam memasuki usia ke-60 semakin bijak (berhikmat), pelayanannya semakin bermutu dan juga semakin kreatif. Kreatif terutama dalam hal memaknai perutusannya menggumuli dan menyebarkan firman Tuhan di tengah perubahan dan kemajuan zaman. Menanggapi khotbah Pdt. Nus Reimas, Pdt. Marleni mengharapkan LAI terus berkembang dalam pelayanannya memperlengkapi umat Tuhan di era informasi dewasa ini. Pdt. Marleni juga menyebut, 60 tahun bagaikan usia emas. Seperti emas yang semakin tua semakin dicari orang. Hendaknya demikian pula LAI semakin dicintai dan didukung oleh banyak orang. Ibadah dan perayaan ulang tahun LAI ke-60 ini semakin semarak dengan kehadiran puji-pujian dari Paduan Suara GMIST Mahanaim Tanjung Priok, PKB Plus GPIB Tugu dan Keroncong Tugu. Selamat ulang tahun LAI. Semoga kasih Allah tetap menyertai pelayanan dan karya LAI. [keb]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Yubileum 60 Tahun LAI
Doa Bersama Memperingati 6 0 Tah Tahun u n LAI d dii GPIB Paulus Paul us
L
angit yang baru dan bumi yang baru yang menjadi tempat tinggal orang-orang yang dikasihi Tuhan mungkin masih lama akan terwujud. Namun, orang percaya dapat bergandeng tangan membuat suatu perubahan dan pembaruan, mewujudkan kehendak Tuhan di dalam dunia. Di atas pintu masuk sebuah pusat pelayanan di daerah paling keras, paling tinggi tingkat kejahatannya di Amsterdam, terdapat sebuah tulisan "Di Sinilah Tangan-Ku". Orangorang percaya sesungguhnya kepanjangan tangan Tuhan dalam mewujudkan kasih-Nya di dunia ini. Demikian petikan khotbah Pdt. dr. Olly Mesach dalam acara Ibadah dan Doa Bersama dalam rangka persiapan perayaan 60 tahun LAI yang diselenggarakan di gedung gereja GPIB Paulus, Jakarta pada hari Rabu, 29 Januari 2014 yang lalu. Acara doa bersama yang dihadiri oleh sekitar 200 orang umat Tuhan ― dari berbagai gereja di Jakarta ― ini sempat tertunda sekitar setengah jam karena hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Di beberapa titik menuju lokasi, jalanan macet total dan banyak tempat di Jakarta terendam banjir. Namun, meski sempat tertunda acara doa bersama ini berlangsung dengan lancar. Lewat acara ini umat Tuhan menaikkan syukur bersama atas karya pelayanan LAI dalam menerjemahkan dan menyebarkan Kabar Baik di Indonesia. Enam puluh tahun telah dilalui, masa-masa sulit yang berhasil dilewati, tentu tak lepas dari penyertaan dan pimpinan Tuhan Yesus. Umat
Tuhan juga menaikkan doa agar pelayanan LAI ke depannya akan semakin baik, semakin menjadi berkat bagi Indonesia. Tak lupa melalui doa bersama ini dinaikkan pula syafaat dalam rangka persiapan kegiatan-kegiatan yang akan dilangsungkan di berbagai tempat di tanah air dalam rangka menyambut ulang tahun LAI. Ada ibadah-ibadah raya, jambore nasional, pekan pemuda, pameran-pameran dan pekan Alkitab di berbagai daerah, peluncuran dan diskusi buku dan masih banyak kegiatan-kegiatan lainnya. Doa bersama ini selain dihadiri karyawankaryawati LAI, mitra-mitra pelayanan LAI, jaringan doa, umat Tuhan simpatisan LAI, juga dihadiri oleh beberapa paduan suara dari beberapa gereja di Jakarta. Dalam sambutannya, Ketua Badan Pengurus LAI, Soy Martua Pardede menyatakan, LAI perlu dukungan gerejagereja agar pelayanan penyebaran Kabar Baik ke seluruh pelosok Nusantara dapat berjalan dengan baik. Umat Tuhan yang mampu dapat menjadi penolong yang kurang mampu, yang untuk membeli Alkitab saja mengalami kesulitan. Tepat seperti pernyataan Pdt. Olly Mesach dalam khotbahnya, "karena kita dipanggil untuk menjadi tangan Tuhan, merangkul dan menolong banyak orang yang membutuhkan." Kalau umat-umat Tuhan mau bersatu dan bekerja bersama menjadi kepanjangan tangan-Nya, cepat atau lambat akan terwujud sebuah dunia dan masyarakat yang baru, langit dan bumi yang baru seperti kehendak-Nya. (keb)
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
39
Pertumbuhan Um di NTT Berkat LA
Ibadah Pembukaan Yubileum LAI Kami me m u j i k e be s a r a n - M u , aja ib Tuh a n , a j a ib Tu ha n ! ...
S
yair yang dikumandangkan sekitar 300 orang ― di tengah rintik hujan ― tersebut mengawali ibadah pembukaan Yubileum 60 Tahun Pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia, yang dipusatkan di GMIT Koinonia, Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 19 Februari 2014 yang lalu. Ibadah pembukaan ini melibatkan segenap umat dari berbagai denominasi. Dalam doa pembukaannya, Romo Yovinianus Nitti memohon berkat Tuhan agar melalui Sabda Allah umat mampu membangun relasi dengan Allah. Ketua Panitia Lokal Semuel Haning, S.H., M.H. ― yang diwakili Pdt. Laazar de Haan, Sm.Th., Ketua II ― dalam laporannya menyatakan bahwa perayaan yubileum menjadi pengingat kemitraan LAI dan gereja-gereja di Indonesia. "Merayakan kelahiran dan peringatan menjadi momen untuk juga meletakkan dan menguatkan harapan akan kelanjutan umat Allah di 40
masa depan. Sehingga generasi muda menjadi sasaran utama dalam yubileum ini," tambah De Haan. Pdt. Dr. Samuel B. Hakh, dalam sambutannya selaku pengawas Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia, menjelaskan bahwa, "Kupang termasuk kota yang pembaca Alkitabnya terbanyak di Indonesia. Mewakili Organ Yayasan LAI beliau juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan sambutan yang luar biasa dari Gereja-gereja dan umat kristiani di Kupang yang mau berjerih lelah menyiapkan perhelatan Yubileum 60 Tahun LAI sepanjang 19-21 Februari 2014. GMIT dipandang sangat siap untuk menyelenggarakan yubileum ini. Tema yang diangkat: 'Lihatlah Aku Membuat Semuanya Baru!' ini dipilih dengan harapan Tuhan Yesus terus berkarya melalui gerejanya. Tema ini menjadi dorongan bagi LAI untuk tidak hanya menerbitkan Alkitab tetapi juga menolong umat Allah untuk
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Yubileum 60 Tahun LAI
mat Kristiani AI di Kupang
lebih mengenal Allah," demikian pernyataan Pdt. Samuel Hakh. Sementara Pdt. Robert Litelnoni, S.Th., mewakili gereja-gereja di Kupang, menyatakan bahwa umat Kupang menerima dengan senang hati ketika Lembaga Alkitab Indonesia meminta Kupang menjadi tuan rumah Yubileum 60 tahun LAI. Mengapa? "Pertumbuhan umat di Nusa Tenggara Timur merupakan berkat LAI," ungkap Pdt. Litelnoni, "dari kecil saya tidak pernah melihat Alkitab yang lain kecuali yang diterbitkan LAI. Sehingga tidak ada alasan bagi kami untuk tidak menerima." Pdt. Robert juga menyatakan, gereja-gereja dan umat kristiani di Kupang berharap agar tali kasih yang sudah terjalin akrab ini semakin memantapkan pelayanan Kabar Baik di Nusa Tenggara Timur ini.
Sekretaris kota Kupang, Bernadus Benu, S.H., M.Hum., yang mewakili Walikota Kupang Jonas Salean, S.H., M.Si., menyatakan kegembiraannya karena Kupang dipercaya menyelenggarakan yubileum. "LAI mempunyai peranan yang strategis dalam pertumbuhan iman jemaat," ungkap Benu, "Dan menjadi tantangan bagi kita adalah bagaimana membangun minat baca terhadap Alkitab bagi generasi muda di tengah perkembangan teknologi berkembang luar biasa. Sehingga kita tidak kehilangan momen." Setelah memberikan sambutan singkatnya, Sekwilda Kupang kemudian membuka secara resmi Yubileum 60 tahun LAI. Pembukaan dilanjutkan dengan Seminar Alkitab Edisi Studi dengan pembicara Pdt. Dina Dethan-Penpada, M.Th. dan Pdt. Anwar Tjen, Ph.D. yang dihadiri sekitar 300 peserta. []
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
41
Yubileum 60 Tahun LAI
Agar Orang Semakin Memahami Alkitab "Mengapa ada revisi Alkitab? Bukankah dalam kitab Wahyu ada larangan untuk menambah atau mengurangi?" Pertanyaan Dr. Robinson Radjaguguk, dalam sambutannya mewakili pengurus LAI, dibahas dengan sangat mendalam pada Seminar Sosialisasi Revisi Alkitab Perjanjian Lama Terjemahan Baru pada Jumat, 21 Februari 2014 di GMIT Eben Haezer Oeba, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang dihadiri sekitar 300 orang. "Tidak ada penerjemahan Kitab Suci yang final karena Alkitab berbicara kepada generasi berikut dengan kejelasan yang makin berkurang," demikian Pdt. Dr. Anwar Tjen memulai seminarnya. Perjanjian Lama yang sekarang banyak dipakai, terbit pada 1974. Itu berarti, proses terjemahannya telah berlangsung jauh sebelum itu, sehingga ada kata-kata yang terasa asing bagi generasi abad XXI. Revisi Alkitab merupakan hal yang sungguh penting.
42
Selanjutnya Dr. Paskalis Edwin menampilkan beberapa contoh kata dalam bahasa Indonesia yang akan membingungkan pembaca zaman sekarang. Misalnya, kata "ipuh" dalam Amos 5:7 pastilah kurang dikenal bagi pembaca masa kini Alkitab; sehingga dalam revisi digunakan kata "racun pahit". Paskalis Edwin juga mengingatkan para peserta seminar untuk tidak membandingkan terjemahan LAI dengan Alkitab berbahasa Inggris. "Bisa jadi sangat berbeda karena kita menerjemahkannya bukan dari bahasa Inggris tetapi dari bahasa aslinya," jelas Edwin. "Bahasa Indonesia sangat berkembang," tegas Rm. Dr. Martin Harun, OFM yang juga menjadi pembicara seminar. "Di samping itu," lanjut Rm. Martin Harun, "faktor pendorong kedua adalah perkembangan dalam bidang penelitian naskah kuno serta pengembangan ilmu tafsir. Dengan pertimbangan itu, revisi Alkitab Deuterokanonika merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dan revisi akan selalu ada selama bahasa dan ilmu tafsir berkembang. Tujuannya adalah agar orang semakin memahami Alkitab." [ym]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Yubileum 60 Tahun LAI
Agar Pembaca Mengenal Allah Yang Hidup!
S
etelah hampir dua puluh tahun, sejak dimulainya proyek pada tahun 1995, Pedoman Penafsiran Alkitab Seri Perjanjian Baru (lengkap) diluncurkan pada tanggal 20 Februari 2014, di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang. Peluncuran ini merupakan salah satu kegiatan dalam Yubileum 60 Tahun Lembaga Alkitab Indonesia. Dalam sambutannya, Pdt. M. K. Sembiring, M.Th. menyatakan, Pedoman Penafsiran Alkitab merupakan adaptasi dari Bible Translator’s Handbooks terbitan UBS. "Buku ini pada mulanya dipakai dalam menerjemahkan Alkitab dalam bahasa daerah dan mengecek terjemahan. LAI dan Kartidaya merasa perlu mengadaptasi buku ini untuk dipakai para penerjemah. Sehingga bahasanya harus sederhana," jelas Pak Sembiring. Kesederhanaan buku ini juga diakui Marnix Riewpasa, Direktur Karunia Bakti Budaya Indonesia (Kartidaya). "Saya memakai buku ini dalam saat teduh saya," tegas Riewpasa. Dalam sambutannya, Harsiatmo Duta Pranowo mengucapkan terima kasih kepada setiap orang dan lembaga yang terlibat dalam penerbitan
buku ini. "Kami berterima kasih kepada Pdt. Daniel Arichea yang merintis penerbitan buku ini," ungkap Harsiatmo Duta Pranowo, Sekum LAI. Secara simbolis, peluncuran dilakukan dengan cara menyerahkan Seri PPA Perjanjian Baru kepada Rm. Rony Pakaenoni, Pr., Dekan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandiri, Harun Y. Natonis, S.Pd., M.Si., Ketua Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang, dan Pdt. Drs. Maria Evie Ratu-Pada, Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana. "Penerbitan buku ini merupakan langkah yang tepat untuk mengontekstualisasikan warta gembira," sambut Rm. Rony Pakaenoni. Setelah peluncuran, dilanjutkan dengan Seminar Pedoman Penafsiran Alkitab yang dihadiri sekitar 350 peserta. Dalam seminar, Pdt. Dr. Daniel Arichea menegaskan bahwa dalam mengerjakan Surat Galatia dia mengumpulkan dan membaca sekitar 50 buku tafsiran. Sehingga buku ini memungkinkan orang lebih mendalami Alkitab. Dan akhirnya, tujuan buku ini, lanjut Arichea, "Pembaca mengenal Firman Allah yang Hidup!" [ym]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
43
Yubileum 60 Tahun LAI
JCBEBI! TZVLVS! ZVCJMFVN! 71!UBIVO!MBJ I badah Syukur Yubileum 60 Tahun dimulai dengan sambutan dari penatua adat kepada Ketum LAI, Sekum LAI, Ketum PGI, Ketua Panitia Lokal, dan Para Pemimpin gereja-gereja di Kupang yang ditandai dengan pengalungan kain adat Kupang di pelataran GMIT Koinonia, Kupang. Rangkaian ibadah yang khusyuk sekaligus meriah dipimpin oleh Rm. Simon Tamelab, Pr. sebagai Pelayan Liturgi dengan Pdt. Dr. Yewangoe sebagai Pelayan Firman. Berkaitan dengan tema Yubileum "Lihatlah Aku Membuat Semuanya Baru!", Pdt. Dr. A. A. Yewangoe, mempertanyakan: Apakah kita sudah merasa diperbarui? Apakah gereja-gereja, dan umat Allah, melalui LAI dan terbitannya, juga telah mengalami pembaruan? Menurut Pak Yewangoe, yang juga Ketua Pembina Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia, inti Kitab Wahyu adalah mendorong umat beriman
44
untuk melawan pemerintah pada waktu itu dengan memproklamirkan kedatangan Yesus. Proklamasi itu merupakan kulminasi. "Orangorang Kristen yang dilibatkan dalam pembaruan akan diangkat memerintah bersama dengan Dia," lanjut Yewangoe, "Jika Dia diam bersama kita pasti ada kepastian, dan sungguh akan terjadi pembaruan dalam hidup ini." Selanjutnya, Pak Yewangoe menguraikan bahwa dalam bahasa Yunani tema yubileum bisa dibaca: Lihatlah Aku sedang melakukan pembaruan. "Inilah yang menjadikan penghiburan," tambah Yewangoe, "dan diucapkan langsung oleh Allah. Lalu, apa artinya bagi kita? Artinya kita harus menyatakan bahwa sekarang ini sedang dilakukan pembaruan dari Allah sendiri. Ini tidak selalu mulus. Kita selalu hidup dalam situasi kontras. Bahwa kalau segala sesuatu baru, tidak berarti kita harus berhenti. Itu berarti tugas LAI akan terus berlanjut sampai kapan pun."
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Yubileum 60 Tahun LAI
"Atas nama seluruh pantia lokal mengucapkan terima kasih banyak kepada LAI yang telah memberikan kepercayaan sepenuhnya serta tanggung jawab kepada panitia lokal untuk melakukan suksesnya perayaan yubileum ini," tutur Ketua Umum Semuel Haning, S.H., M.H. Sedangkan Pdt. Dr. Ishak Lambe menyatakan betapa besarnya kasih Tuhan kepada manusia yang memungkinkan mendengar sapaan Tuhan dalam bahasa manusia. "Betapa dalamnya kasih Tuhan kepada kita, lanjut Lambe, "yang memungkinkan kita sampai saat ini dapat membaca dan mendengarkan Tuhan menyapa kita dalam bahasa kita, baik dalam bahasa nasional maupun bahasa daerah." Menurut Lambe, dalam konteks masyarakat Indonesia, tema yubileum sangat relevan dan mendesak. Masyarakat kita sedang dilanda penyakit di sana-sini, penyakit sosial. Budaya kekerasan selalu mewarnai dan memberi citra
yang jelek bagi demokrasi yang sedang berlangsung. Kita dipanggil untuk memperbarui masyarakat. Dan, lanjut Lambe, "Jangan bermimpi bahwa Tuhan akan bertindak jika kita berpangku tangan. Jika kita berpangku tangan Tuhan akan mengangkat batu-batu menjadi rekan kerja-Nya!" Perayaan Yubileum ini juga dihadiri oleh Asisten Administrasi Umum Setda Prov. NTT Drs. Clemens Meba, MM, yang mewakili Gubernur NTT Drs. Frans Lebu Raya, sekaligus menutup rangkaian kegiatan Yubileum 60 Tahun LAI di Kupang dengan pemukulan gong. Tak ketinggalan, panitia lokal telah menyediakan tumpeng yang terdiri atas berbagai pangan lokal memperlihatkan warna-warni perjalanan Lembaga Alkitab Indonesia, dan pelangi di atas tumpeng menyimbolkan janji bahwa Tuhan tidak akan memberikan hukuman lagi kepada manusia. [ym]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
45
Yubileum 60 Tahun LAI
T
ulang Bawang Barat di Lampung menjadi tempat selanjutnya ungkapan syukur LAI dan gereja-gereja di Indonesia menyambut Yubileum 60 tahun LAI. Selama 4 hari, ― 26-29 Maret ― berlangsung Pekan Alkitab yang dihadiri gereja-gereja di sekitar Tulang Bawang. Berbagai kegiatan dari: ibadah, pameran koleksi Museum LAI, pameran produk-produk LAI, berbagai lomba-lomba untuk anak hingga pemuda sampai dengan seminar dan lokakarya diadakan di tempat ini. Salah satu seminar yang diselenggarakan adalah seminar Alkitab. Seminar Alkitab yang diselenggarakan pada 26 Maret 2014 ini dihadiri 53 jemaat dari berbagai denominasi gereja di sekitar Tulang Bawang Barat, Lampung. Membuka acara seminar, narasumber pertama, Lady Paula Reveny Mandalika, M.Th., pembina penerjemahan LAI, memberikan penjelasan mengenai latar belakang dan seluk beluk revisi Alkitab, berikut proses pengerjaannya. Sebelum Alkitab Terjemahan Baru yang sekarang ini umum dipakai umat kristiani di Indonesia, proses penerjemahan dilakukan dan di bawah koordinasi Lembaga Alkitab Belanda (NBG). Setelah LAI berdiri, LAI mendapatkan kepercayaan LA Belanda untuk melanjutkan proyek Alkitab Terjemahan Baru tersebut yang terbit pertama kali pada tahun 1974. Setelah itu berbagai proyek penerjemahan baik Alkitab dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah berhasil diselesaikan LAI sepanjang 60 tahun pelayanannya. Selain Lady Mandalika, hadir juga sebagai narasumber seminar Dr. Paskalis Edwin, yang juga merupakan anggota Tim Revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru. Beliau menyampaikan dengan lebih mendalam mengenai pentingnya proses revisi harus dilakukan. Ada beberapa alasan utama perlunya revisi, di antaranya: mengingat perkembangan bahasa dan ilmu bahasa, adanya perkembangan dalam ilmu tafsir, juga adanya penemuan-penemuan teks sumber yang lebih tua. Revisi itu sendiri merupakan proses meninjau ulang bahasa yang digunakan dalam terjemahan, karena seiring 46
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
BHBS!VNBU!TFNBLJO BHBS!VNBU!TFNBLJ
JTJ!LJUB
QFLBO!BMLJUBC!EJ!MBNQ
dimengerti? Narasumber menyatakan beberapa teks Ibrani memang memiliki kata-kata yang sulit untuk dimengerti, dan bahkan terdapat kata-kata yang hilang sama sekali. Cara yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan melihat konteks bacaan Alkitab tersebut secara keseluruhan.
!
O!NVEBI!NFOHFSUJ
BC!TVDJ
QVOH-! 37.3:!NBSFU!3125 perkembangan zaman, ada istilah-istilah atau kata yang tidak dikenal lagi maupun mengalami pergeseran makna. Proses revisi dilakukan semata-mata untuk mempermudah umat untuk membaca Alkitab dalam bahasa yang lebih dimengerti. Hingga permulaan 2014 ini, perkembangan proses revisi Alkitab Perjanjian Lama Terjemahan Baru sudah mencapai lebih dari 55% atau sekitar 25 kitab. Namun untuk sampai kepada selesainya proses penerjemahan waktunya masih panjang dan banyak proses yang akan dilalui. Maka dari itu LAI mohon doa dan dukungan umat Tuhan di seluruh Indonesia sehingga proses revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru ini segera selesai. Selepas narasumber menyampaikan paparannya, seminar dilanjutkan tanya jawab dengan peserta. Peserta begitu antusias dengan topik yang disampaikan, terlihat dari terus bergulirnya pertanyaan yang disampaikan kepada narasumber. Seorang peserta menanyakan, apakah yang harus dilakukan ketika pembaca mencoba memahami kata-kata yang tidak
Peserta lain menanyakan, apakah mungkin memperoleh PL Terjemahan Baru hasil revisi tersebut selepas acara seminar? Lady Paula menyatakan bahwa dengan berat hati saat ini teks hasil revisi PL Terjemahan Baru belum dapat diperoleh dan dibagikan karena proses pengerjaannya belum final, meskipun untuk kitab-kitab tertentu sudah selesai diterjemahkan. Proses penerjemahan berlangsung cukup lama karena tim revisi harus melakukan refensi silang untuk menerjemahkan suatu kata atau istilah dari teks sumber dengan membandingkan hasil terjemahan dengan berbagai versi terjemahan lainnya (bukan hanya satu atau dua melainkan belasan-red). Tim Revisi menargetkan proses penerjemahan akan selesai pada tahun 2017. Apakah nanti dengan terbitnya Alkitab Revisi Terjemahan Baru (TB2), Alkitab Terjemahan Baru yang terbit 1974 masih dapat digunakan? Tentunya masih, malahan dengan adanya TB2 kedua versi terjemahan tersebut dapat saling dibanding dan dipelajari. Apalagi proses perindahan penggunaan TB2 sampai dapat diterima oleh umat, baik dalam ibadah bersama ataupun untuk penggunaan secara pribadi masih memerlukan sosialisasi berkala. LAI lewat seminar tersebut juga mengajukan wacana pembubuhan catatan kaki (footnote) pada Alkitab. Rencana ini tentunya mendapat tanggapan yang berbeda di kalangan peserta. Ada yang menyatakan persetujuannya karena catatan kaki akan memudahkan pembaca memahami kata-kata atau bagian Alkitab yang sulit dimengerti. Namun ada juga yang menyatakan bahwa pembubuhan catatan kaki tersebut kurang diperlukan. [talita]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
47
Yubileum 60 Tahun LAI
TFNJOBS!EBO!QBNFSBO!
JLPO!PSUIPEPY!SVTJB
P
ada tanggal 24-26 April yang lalu, di Gedung Pusat Alkitab, Jl. Salemba Raya 12, Jakarta diselenggarakan Seminar dan Pameran Ikonografi. Kegiatan ini diselenggarakan oleh LAI dan Gereja Orthodox Indonesia St. Thomas Rasul dalam rangka Join Celebration 60 tahun pelayanan LAI dan 20 tahun pelayanan Gereja Orthodox di Indonesia (GOI). Acara ini didukung pula oleh Pusat Kebudayaan Rusia dan Mangasi Sihombing (mantan Duta Besar RI untuk Hungaria). Pameran Ikon ini dibuka oleh Bpk. Soy Martua Pardede, S.E., mewakili Pengurus LAI setelah sebelumnya diawali konferensi pers dan ibadah singkat. Pembukaan dan seminar pada hari pertama dihadiri oleh sekitar 150 orang peserta dari berbagai gereja dan sekolah teologi di Jakarta dan sekitarnya. Dalam sambutannya, Pengurus LAI menyambut baik Pameran Ikon, mengingat gedung ini adalah pusat pembelajaran Alkitab bagi masyarakat Indonesia yang ingin mendalami Alkitab, termasuk Ikon. Pada kesempatan tersebut Pimpinan dan Pendiri 48
GOI, Rm. Daniel Byantoro, mengucapakan terima kasih atas kesediaan LAI mau bekerja sama dan memberi ruang bagi Gereja Orthodox untuk menggelar Seminar dan memamerkan Ikon-ikon yang menjadi sebagian dari bagian ekspresi iman Gereja Orthodox. Ucapan selamat dan terima kasih kepada LAI juga disampaikan oleh wakil-wakil kedutaan dari Negara Rusia, Serbia, Belarusia, dan Suriah yang hadir pada pembukaan Pameran Ikon. Pameran Ikon kali ini menampilkan lebih dari 50 buah ikon koleksi GOI, Pusat Kebudayaan Rusia dan Bapak Mangasi Sihombing. Pada dasarnya ikon yang ditampilkan adalah ikon yang pada umumnya ada di dalam Gereja Orthodox dan di dalam setiap rumah tangga orang Rusia, penganut Orthodox. Ikon yang berada di Rusia merupakan ikon yang dikirimkan dari Byzantium, Yunani, bersamaan dengan datangnya agama Kristen. Selain memamerkan ikon-ikon, juga disajikan naskah dan kitab yang dicetak pada zaman kuno serta sejumlah kerajinan tangan seni Rusia.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Animo masyarakat yang hadir dalam pembukaan pameran tersebut cukup besar. Bagi masyarakat Indonesia, Ikon Gereja Orthodox merupakan hal yang baru, karena tidak semua orang mengetahui Ikon-ikon tersebut, meskipun saat ini merupakan era internet, dimana sebagian informasi dapat ditemukan. Ikon adalah gambar Yesus, Bunda Maria, serta orang-orang kudus dan menggambarkan peristiwa-peristiwa dari kehidupan mereka. Ikon merupakan jendela dan media komunikasi bagi hamba dan Tuhan-Nya. Selain pameran ikon, selama tiga hari penyelenggaraan digelar juga pemutaran film, lokakarya pembuatan ikon dan seminar, dengan harapan, semakin banyak orang kemudian mengenal dan memahami Ikon-ikon tersebut. Lokakarya "Pembuatan Ikon" dipimpin Presbitter Boris Bambang RS dari GOI. Seminar yang pertama digelar adalah: "Seminar Mengenal dan Mendalami Ikonografi" dengan pembicara: Arkhimandrit Dr. Daniel Byantoro (Gereja Orthodox Indonesia); Fransiskus Borgias., L.Th., MA., (pengajar dari Universitas
Katolik Parahyangan dari sudut pandang Gereja Katolik) & Pdt. Dr. Joas Adiprasetya (Ketua STT Jakarta, dari sudut pandang Gereja Protestan). Sebelum seminar dimulai, peserta yang hadir diajak menonton film "September 11, 1683". Hari kedua, Jumat, 25 April 2014, digelar Seminar "Mengenal Lebih Jauh Tentang Ikon Gereja Orthodox" yang dibawakan oleh Rm. Dr. Daniel Byantoro dan "Penggunaan Ikon dalam Kehidupan Beriman di Rusia" oleh Anna A. Shaposhnikova, dari Pusat Kebudayaan Rusia. Hari terakhir, 26 April 2014 diadakan pemutaran film dokumenter dan ibadah penutupan dengan tata ibadah menggunakan liturgi gereja orthodox Indonesia. Dalam semangat kebersamaan dan kemitraan dalam melayani Tuhan, LAI berharap kegiatan ini bermakna bagi gereja-gereja dan umat kristiani di manapun berada. [adit]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
49
Wa r t a Nu s a n ta ra
QFSUFNVBO!UBIVOBO!NJUSB!MBJ!3125
CFMBKBS!MFXBU!JOTQJSBTJ!
S
iapa saat ini yang tak kenal Andy F. Noya? Acara talkshownya "Kick Andy" merupakan salah satu program siaran televisi terpopuler pilihan favorit masyarakat Indonesi. Andy atau orang tuanya mungkin tidak pernah membayangkan ia akan sepopuler saat ini dan hidupnya menjadi jembatan menyalurkan berkat bagi banyak orang yang mengalami berbagai kesulitan. Lahir di tengah keluarga yang broken home dan pernah hidup di jalanan, tidak membuatnya patah semangat. Cita-citanya sebagai wartawanlah yang memompa semangatnya untuk terus berjuang agar keluar dari kehidupannya yang berat. Lelaki berdarah Ambon kelahiran Surabaya ini menghabiskan masa remaja di Jayapura bersama ayahnya yang bekerja sebagai tukang reparasi mesin ketik. 50
Andy F. Noya yang masih belia ini diperhadapkan dengan kehidupan yang sangat keras di kota Jayapura. Andy menjumpai kenyataan hidup yang bertolak belakang dengan khotbah-khotbah minggu di gereja yang sarat dengan ajaran kasih. Ada keluarga Kristen yang hidupnya jauh dari ajaran kasih, yang ada hanyalah kekerasan dalam rumah tangga. Ada pendeta yang hidupnya tidak menjadi contoh yang baik, karena hampir setiap malam selalu mabuk dan berjudi. Gereja-gereja hanya mau peduli dengan urusannya sendiri, tidak peduli dengan kehidupan nyata yang jelas-jelas membutuhkan sentuhan kasih. Kondisi inilah yang membuatnya sempat tidak mempercayai gereja. "Saya tidak percaya pada gereja, makanya saya tidak pernah ke gereja", ungkap Andy F. Noya di depan ratusan peserta Pertemuan Mitra LAI yang digelar di Gedung Pusat Alkitab,
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Kehadirannya tidak pernah lepas dari "radar-Nya". Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan kuasa dan kemuliaan-Nya. Andi F. Noya sekarang kita kenal menjadi saluran berkat bagi banyak orang. Gerakan kesaksiannya menembus tembok-tembok dogma, kepercayaan bahkan iman. Hidupnya yang keras malah membentuk hatinya menjadi lembut. Mudah sekali tersentuh dengan orangorang yang berjuang di tengah penderitaannya. Orang kini melihat Andi F. Noya adalah anak yang sangat dikasihi Tuhan. Kini, ia memilih peran menjadi "jembatan" antara si kaya dan si miskin, antara yang berkelebihan dan yang berkekurangan. Pengalaman Andy F. Noya dalam kehidupan sebagai jurnalis maupun sebagai seorang penggalang dukungan lewat Yayasan Kick Andy coba ditularkan kepada staf dan para mitra pendukung LAI yang berkumpul dalam acara Pertemuan Tahunan Mitra LAI di Gedung Pusat Alkitab, Jakarta pada 28 Maret 2014 yang lalu.
Jl. Salemba Raya 12 Jakarta Pusat, 28 Februari 2014 lalu. Bisa dipastikan pernyataannya mengejutkan banyak orang, apalagi diungkapkan oleh orang sebesar Andi F. Noya ini. Seorang jurnalis senior yang kini hidupnya mungkin tidak mengalami kekurangan. Meskipun dia kecewa dengan kondisi tersebut, namun Andi F. Noya, lewat "Kick Andy"-nya mampu menginspirasi bangsa ini untuk mau peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan, pendidikan, dan keadilan
Di hadapan para relawan yang berjuang menyebarkan Kabar Baik ke seluruh Indonesia, jurnalis 52 tahun ini menyampaikan kisahkisah inspiratif yang lahirnya justru dari sebuah keterbatasan. Ada banyak hero lahir dari kondisi yang terbatas, baik fisik maupun daya dan dana. Namun mereka mempunyai mimpi dan semangat yang besar untuk mewujudkan mimpi itu. Kehadiran dan cerita-ceritanya di seputar Kick Andy siang itu diharapkan memberikan inspirasi dan membakar semangat juang yang hadir, serta semakin mengukuhkan keyakinan, bahwa kita hidup adalah untuk menjadi berkat bagi sesama, agar nama Allah diagungkan dan dimuliakan. []
"Hendaklah kalian saling membantu menanggung beban orang, supaya dengan demikian kalian mentaati perintah Kristus." (Galatia 6:2, BIMK)
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
51
Wa r t a Nu s a n ta ra
Andy F. Noya: Saya Menikmati Peran Menjadi Jembatan Sebelum menjadi narasumber dalam Temu Mitra LAI 2014, pagi itu Andi F. Noya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang sejenak dengan redaksi Warta Sumber Hidup. Tidak berbeda jauh dengan sosoknya yang sering kita lihat dalam "Kick Andy", Andy Noya memang sangat ramah dan menjawab dengan antusias setiap pertanyaan yang diajukan. Berikut perbincangan WSH dengan Andi F. Noya. Apa yang melatarbelakangi sehingga Pak Andy bersedia hadir memenuhi undangan dari LAI yang notabene merupakan lembaga sosial? Justru saya datang karena lembaga ini berkaitan dengan kegiatan sosial. Karena pada dasarnya Kick Andy, di belakang program Kick Andy tersebut ada Kick Andy Foundation, yayasan Kick Andy di mana kami banyak melakukan aktivitas sosial. Ada "Gerakan Seribu Kaki Palsu", di mana kami membagikan kaki palsu untuk mereka yang tidak mampu. Ada "Books for The Blind", buku untuk para tuna netra. Kami juga punya program "Buku untuk Sekolah-sekolah Miskin", "Sepatu untuk Anak Indonesia" yang dibagikan untuk anak-anak SD. 52
Ada pula berbagai kegiatan sosial kesehatan, seperti: Operasi Katarak, Bibir Sumbing, bahkan operasi tumor. Di antara beragam kegiatan yang kami lakukan, sebagian besar memang berkaitan dengan pendidikan anak-anak. Apakah benar Pak Andy dulunya tidak terlalu berminat kalau diundang di acara-acara lembaga yang berkaitan dengan agama? Tidak benar. Saya manusia bebas. Saya keberatan kalau diundang dalam rangka kegiatan politik atau menjadi bagian dalam kegiatan politik partai, kelompok, yang perjuangannya bukan untuk kepentingan masyarakat luas melainkan hanya untuk kepentingan masyarakat sempit saja.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Ketertarikan Pak Andy pada berbagai kegiatan sosial muncul dari latar belakang Pak Andy yang seorang jurnalis ataukah sedari kecil Pak Andy memang sudah memiliki jiwa sosial? Dua-duanya membawa pengaruh. Saya ketika kecil hidup susah, saya pernah berada dalam posisi membutuhkan bantuan. Jadi dengan membantu orang-orang yang mengalami kesulitan ini saya sedikit bernostalgia. Kalau dulu saya sangat berharap orang datang membantu kami, dan kalau bantuan tersebut tidak datang rasanya sangat menyedihkan bagi kami. Saya pernah mengalami kondisi yang sama dengan orang-orang yang mengalami kesulitan pada saat ini, sehingga dorongan itu sangat tinggi. Kebetulan sebagai jurnalis, saya dipercaya untuk menjadi pembawa acara di sebuah program televisi yang ternyata mampu menggerakkan orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan membantu orang lain. Jadi saya menyebut program acara yang saya pandu ini (Kick Andy-red) sebagai sebuah jembatan, yang mempertemukan orang-orang yang membutuhkan bantuan dengan orang-orang yang pada dasarnya punya hati untuk membantu. Hanya kadang mereka tidak tahu siapa yang harus dibantu. Kalaupun tahu siapa yang harus dibantu, dia takut bantuannya tidak sampai sebagaimana mestinya, karena jembatannya tidak tepat. Keuntungan kami di Kick Andy Foundation ini, karena kami punya program televisi sendiri jadi pertanggungjawabannya bisa disampaikan lewat program tersebut, jadi terbuka kepada publik. Saya juga kebetulan bekerja di media, sehingga kami bisa mempublikasikan semua pertanggungjawaban kegiatan ini. Semua laporan pertanggungjawaban tersebut dimudahkan, sehingga kredibilitas Kick Andy relatif tinggi. Dari situ orang-orang percaya dan semakin lama semakin banyak melakukan kegiatan sosial. Maka dari itu berkait dengan mengapa saya bersedia memenuhi undangan LAI, justru saya berkepentingan untuk mengajak serta dan
memperkuat jejaring. Saya berpikir bahwa "orang-orang baik" harus semakin sering bertemu, melakukan aksi dan membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Di luar sana banyak sekali orang jahat. Jangan sampai orang-orang jahat lebih banyak dari orang baik. Pada tahun ini, Lembaga Alkitab Indonesia memasuki usia 60 tahun. Untuk sebuah lembaga sosial yang usianya sepanjang LAI, adakah masukan berdasarkan pengalaman Pak Andy? Saya melihat banyak yayasan atau lembaga sosial seperti LAI yang kemudian mati ketika usianya bertambah tua. Karena itu tantangan terbesar sesungguhnya adalah bagaimana roh para pendirinya selalu kita jaga, bahkan kita kembangkan. Hal tersebut menjadi tantangan bagi generasi muda. Nilai-nilai pasti berubah. Berbicara tentang lembaga Alkitab, yang rintisannya dimulai di Wales, lewat perjuangan seorang Mary Jones seorang gadis kecil yang begitu merindukan Alkitab. Kerinduannya ditanggapi oleh dua orang hamba Tuhan yang terharu melihat perjuangan Mary Jones untuk mendapatkan Alkitab. Pertemuan antara semangat pengorbanan Mary Jones, dan keinginan kuatnya untuk mempelajari hal-hal yang baik dengan dua pendeta yang berbelas kasih dan ingin berbuat kebaikan ini nantinya menjadi inspirasi berdirinya lembaga Alkitab. Inilah yang seharusnya menjadi kekuatan dari lembaga ini. Kalau nilai-nilai ini selalu dijaga dan dikembangkan (semangat berkorban, keinginan belajar hal-hal baik, menyebarkan kebaikan-red), saya yakin sampai usia berapa pun LAI bisa terus bertahan. Jadi tantangan terbesar bagi generasi penerus pelayanan sesungguhnya adalah apakah mereka memahami roh tersebut. Adakah impian pribadi seorang Andi Noya yang belum tercapai? Tentu saja yang saya impikan adalah bangsa yang sejahtera, masyarakat yang mendapatkan hak-hak mereka, warga negara dimanusiakan.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
53
Kebetulan sebagai seorang jurnalis saya dapat melihat lebih jelas, karena saya berkesempatan melihat langsung keadaan di berbagai pelosok daerah. Masih banyak manusia yang tidak dimanusiakan. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan, mengalami banyak penderitaan, pendidikan yang jauh dari memadai. Saya membayangkan bangsa kita ini suatu hari bisa sama seperti bangsa-bangsa yang maju, di mana pendidikan, dan urusan pangan bukan menjadi isu utama lagi. Tetapi isu utamanya adalah prestasi-prestasi yang dihasilkan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, semoga saya bisa ikut memberikan sumbangsih, sekecil apa pun peran yang saya berikan. Tidak adakah keinginan dalam diri Pak Andy untuk mencoba mengabdi dalam tataran formal semisal menjadi Gubernur atau Bupati? Bukankah Pak Andy cukup banyak memiliki penggemar? Menurut saya, kalau saya jadi Gubernur atau Bupati, hal itu justru akan mengecilkan peran saya. Terbatas pada wilayah di mana saya menjadi gubernur atau bupati atau walikota. Dalam posisi saya sekarang ini, saya memiliki kebebasan
54
untuk bertemu dan bekerja sama dengan siapa pun dan di mana pun. Dan orang tidak akan memandang saya dalam persfektif yang sempit. Sekarang ini, di mana pun saya datang semua pintu terbuka. Saya datang kepada setiap orang yang memohon bantuan, dan orang menghargai posisi saya yang netral. Sebenarnya banyak yang minta saya jadi bintang iklan suatu produk. Hanya saja saya tidak bersedia. Karena akan membuat saya tidak netral lagi dan terkotak-kotak. Lebih baik saya pada posisi seperti sekarang ini. Lebih bebas dan lebih bisa diterima semua orang. Dan dengan demikian peran saya bisa lebih besar.
Apa arti Alkitab bagi seorang Andy Noya? Alkitab sebagai Kitab Suci semestinya adalah sesuatu yang kita tinggikan, kita hargai. Namun faktanya, khotbah atau renungan-renungan yang disampaikan hamba Tuhan sering membuat orang mengantuk. Menurut saya, sesungguhnya kemasan tidak terlalu penting. Tapi isi atau rohnya tersebut yang penting. Banyak hamba Tuhan, pendeta tidak mampu menghidupkan roh yang ada dalam Alkitab
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Tetapi bagaimana isi firman Tuhan itu hidup dan mendarat dalam kehidupan, hal itulah yang menjadi tantangan gereja. tersebut. Sehingga khotbahnya berupa ceritacerita yang begitu-begitu saja, seperti yang kita terima sedari kecil di Sekolah Minggu. Sampai kita dewasa kupasannya sama. Tidak ada yang baru. Tidak ada perkembangan. Menurut saya akan lebih baik jika seorang pendeta mampu menerjemahkan kisah-kisah di Alkitab, semisal kisah kehidupan Yesus kemudian mendaratkannya dalam kehidupan masa kini. Sehingga pendengar firman akan mengangguk-angguk setuju, karena khotbahnya memberi inspirasi untuk kehidupan pada masa kini. Jadi bagaimana membawa pesan-pesan firman Tuhan tersebut dalam hidup kekinian. Kalau cuma mengutip isi Firman tanpa mendaratkannya, kita pasti ngantuk dan bosan. Karena kisahnya tidak dikontekstualisasikan dalam kehidupan dan peristiwa masa kini. Apalagi generasi muda pada masa kini mungkin minat bacanya tidak sekuat generasi saya. Mereka lebih suka membuka dan mengoperasikan gadgetnya. Ketika mereka ke gereja dan mendengar cerita yang membosankan, akan tumbuh dalam pikiran mereka bahwa gereja tidak menarik lagi. Tidak ada sesuatu hal baru, yang disampaikan di gereja yang bagi mereka berguna untuk kehidupan pribadi mereka seharihari. Secara pribadi, Alkitab memiliki arti yang luar biasa bagi kehidupan keimanan saya. Lewat Alkitab kita diingatkan dan diajak percaya bahwa sebagai umat Tuhan perbuatan baik itu memang seharusnya kita lakukan. Bayangkan bila kita tidak percaya bahwa perbuatan baik adalah sebuah keniscayaan, kita akan melakukan perbuatan-perbuatan jahat, semisal korupsi, tanpa merasa berdosa. Tetapi bagaimana isi firman Tuhan itu hidup dan mendarat dalam
kehidupan, hal itulah yang menjadi tantangan gereja. Berkaitan dengan pertanyaan di atas, apa pandangan Pak Andy tentang regenerasi dan pewarisan nilai-nilai kepada generasi muda? Situasi dan kondisi zaman sudah berubah. Cara orang tua kita mewariskan pengajaran kepada kita pada zaman dulu dan cara kita mengajarkan nilai-nilai kepada anak-anak kita berbeda. Pasti berbeda pula cara anak-anak kita mengajarkan nilai-nilai kehidupan di masa mendatang. Kita orang tua sering kecewa melihat anak-anak kita kok tidak seperti kita. Tentu saja berbeda, karena zamannya sudah lain. Karenanya, salah satu kunci penting adalah bagaimana kita mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman sekarang ini. Berbicara dengan generasi muda tidak bisa kita meniru cara orang tua kita mengajar kita dahulu. Salah satu cara regenerasi dapat berjalan dengan baik, nilai-nilai yang ada kita turunkan kepada generasi berikut adalah dengan mengikuti cara-cara atau kebiasaan yang berlaku pada generasi sekarang. Ubah caranya. Demikian pula dengan pendeta. Banyak pendeta yang mungkin masih terlalu konservatif. Dia marah ketika melihat anak-anak dengan jeans atau pakaian sedikit seksi datang ke gereja. Dia menganggap anak-anak muda tersebut tidak sopan, tidak pantas. Maka anak-anak tersebut langsung antipati dan berpandangan, "Ngapain ke gereja. Dimarahin melulu." Pendeta pun perlu beradaptasi dan menyesuaikan diri ketika berhadapan dengan generasi muda. Bagaimanapun seorang Pendeta perlu memahami cara pandang dan berpikir generasi muda. (keb)
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
55
Wa r t a Nu s a n ta ra
Menjangkau
Yang Belum Terjangkau
Satu Dalam Kasih di Pegunungan Bintang, Papua
M
enakjubkan, hanya kata itu yang terlintas di benak kami ketika melihat barisan gunung berlapis-lapis. Sesekali nampak aliran sungai di sela-sela gunung bagaikan goresan putih di antar warna hijau. Keindahan alam tidak terkatakan, namun terbesit pula rasa khawatir karena harus terbang menggunakan pesawat kecil berkapasitas 8 penumpang termasuk pilot. Puji Tuhan, rombongan LAI tiba dengan selamat di Distrik Okhika – tepat pukul 08.15 WIT Kamis, 9 Januari 2014 –, setelah menempuh perjalanan 1 jam dari Bandara Sentani. Rombongan LAI terdiri dari 6 orang: Erna Yulianawati dan Hendrik Lohey (LAI Jakarta), Bpk. Djujun Djaenudin (BPK Penabur Jakarta), Melvy Alfons dan Deyunita Sevenirim (LAI Perwakilan Jayapura) serta Pdt. Yos Hilka (Ketua Wilayah GIDI Pegunungan Bintang). Turun dari pesawat kami disambut sekelompok penari laki-laki dan perempuan dengan mengenakan baju khas Papua yaitu cawat dan koteka berjejer membawakan tarian disertai nya-nyian khasnya menyambut kedatangan kami. Kepada tiap anggota rombongan di56
kalungkan noken – yaitu hasil rajutan tangan ibu-ibu Papua dari serat kayu membentuk tas yang fungsinya adalah untuk meletakan hasil kebun, binatang babi, bahkan anak bayi ketika ibunya sedang bekerja di kebun atau ke hutan. Penyerahan dukungan hasil dukungan Program Satu Dalam Kasih dilangsungkan di area bandara. Acara diawali dengan sambutan dan ucapan selamat datang dari Ketua Klasis GIDI Okhika, Pdt. Yahya Uopmabin yang juga merupakan Kepala Sekolah Alkitab di Okhika. Selanjutnya dilanjutkan dengan penyerahan secara simbolis kepada perwakilan jemaat yang hadir. Saat Alkitab disampaikan, terlihat wajah-wajah yang penuh sukacita. Di tempat pembagian Alkitab hadir sekitar 500 umat Tuhan. Sebagian dari mereka telah berjalan selama satu sampai dua hari dari kampungnya hanya untuk menyambut pembagian Kitab Suci ini. Bapak Arimimin, Guru Injil yang pertama di tempat itu menyampaikan kegembiraannya
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
atas pemberian Alkitab di Okhika. Ini adalah jawaban dari pergumulan mereka selama bertahun-tahun. Jangankan Alkitab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk di Pegunungan Bintang hanya mengandalkan hasil alam dan mereka kesulitan memperoleh bahan-bahan kebutuhan sehari-hari dari dari kota. Alat transportasi satu-satunya antar daerah menggunakan pesawat yang dalam satu bulan hanya 3-4 kali mendarat. Jalan darat belum tersedia. Waktu dua jam di Distrik Okhika tidak terasa. Sampai kemudian bunyi pesawat kembali terdengar. "Jemputan telah tiba", kata Pdt. Yos Hilka. Pesawat selanjutnya akan mengantarkan rombongan ke Distrik Borme. Di Borme kami menginap.
Barapen di Borme Borme terlihat lebih maju dari Okhika. Bandaranya sudah diaspal meskipun sangat pendek. Sama dengan di Okhika, kami disambut dengan pengalungan noken oleh ibu-ibu Borme. Sudah menunggu pula pimpinan-pimpinan gereja yang telah menempuh perjalanan dari jemaatnya sekitar 3-4 hari berjalan kaki. Sebuah perjuangan yang luar biasa, namun bagi mereka berjalan kaki dengan jarak yang jauh adalah hal yang biasa, apalagi untuk memperoleh Alkitab. Dari bandara, rombongan diantar ke Sekolah Alkitab setempat. Pembagian Alkitab di Borme tidak dilakukan secara simbolik melainkan dibawa dan diserahkan sesuai jumlah yang dibutuhkan per klasis atau distrik. Atinus Dipul, seorang staf pengajar Sekolah Minggu menuturkan bahwa bertemu dengan LAI adalah seperti bertemu dengan jawaban Tuhan. Mereka tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orangorang yang membuat Alkitab. Ada satu hal yang terlihat unik pada saat itu, yakni warga pegunungan di tempat itu selalu duduk membentuk kelompok. Perempuan dan laki-laki duduknya terpisah. Begitulah budaya setempat.
Ada seorang anak berumur 2 tahun yang menarik perhatian kami, namanya Abednego. Abednego terlihat sangat gesit. Walaupun suhu udara cukup dingin, dia berlari kesana kemari di depan penginapan kami sambil bertelanjang badan. Namun bukan hanya Abednego, ternyata hampir semua anak di Borme menikmati hidup bertelanjang badan. Pemandangan Pegunungan Bintang yang indah tidak ingin kami lewatkan. Saat pagi datang, gunung-gunung masih berselimutkan kabut tebal. Tak lama kemudian kabut mulai membuka diri sehingga nampaklah barisan gunung di depan mata. Saat sore tiba, kabut-kabut tersebut seakan pulang kerumah, kembali menyelimuti pegunungan yang ada.
Bime, akhir perjalanan SDK Pegunungan Bintang Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Bime. Badan Pekerja Klasis dan seluruh pimpinan gereja telah berbaris menunggu kami. Kami disambut di atas panggung berukuran 4 x 8 m lengkap dengan mimbar kecil sementara jemaat duduk di atas tanah lapang dekat bandara. Terdengar suara yang indah menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan dalam bahasa daerah Bime. "Telebeh" atau syalom atau salam, adalah sapaan akrab orang Bime dan Borme, dan itupun menjadi identitas distrik di pegunungan Bintang. Siang hari seusai pembagian Alkitab, kami langsung terbang kembali ke bandara Sentani Jayapura. Orang Pegunungan Bintang meskipun hidup terisolir di antara berlapis-lapis gunung, jauh dari keramaian, namun semangat belajar mereka sangat tinggi. Ada prinsip mendasar orang pegunungan yaitu "harus bisa baca, karena dengan membaca mereka tahu tentang dunia meskipun mereka jauh dari dunia modern". Meskipun hanya dua hari lamanya, namun kami benar-benar melihat dan ikut merasakan pergumulan gereja membina umat Tuhan menuju Jalan Keselamatan. Pesebaran Firman Tuhan ternyata tidak bisa dibatasi oleh gunung dan lembah tinggi sekalipun. [melvy dan hjl]
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
57
Wa r t a M a n c a n e g a ra
Parlemen Eropa Buka Ruang untuk Pameran Alkitab
Penulis : Rachel Rounds, BFBS
P
ameran Alkitab kolaborasi Lembaga Alkitab Inggris (BFBS), Lembaga Alkitab Perancis dan Lembaga Alkitab Belgia dibuka pada Rabu, 2 April di Gedung Parlemen Eropa di Brussels, Belgia. "Dapat mewujudkan untuk pertama kalinya kolaborasi tiga lembaga Alkitab dalam menyelenggarakan sebuah Pameran Kitab Suci sungguh merupakan sebuah kehormatan," kata Cristian Romocea, salah satu Pembina Senior di BFBS.
tindak sebagai tuan rumah. Beliau juga menyatakan rasa terkejutnya ketika menyadari bahwa ini merupakan pameran pertama yang diselenggarakan Parlemen Eropa yang mengambil tema tentang Alkitab. Peter mengingatkan para pengunjung pameran tentang betapa beruntungnya memiliki hak dan kebebasan untuk memiliki dan membaca Alkitab, karena di banyak tempat di dunia, kebebasan tersebut dibatasi bahkan dilarang.
Pameran yang mengambil tema "Pengaruh Global Alkitab" ini terdiri dari enam panel layar besar yang dilengkapi berbagai alat interaktif, yang mengajak pengunjung menelusuri berbagai pengaruh yang ditimbulkan Alkitab di bidang: seni, bahasa, kedokteran, pendidikan, politik, dan hukum.
Sementara itu, Hiltrud Breyer anggota Parlemen Eropa dari Partai Greens (EGP) menyatakan pameran ini adalah pameran terbaik yang pernah dia hadiri di Parlemen Eropa. Beliau juga mengingatkan orang-orang bahwa pengaruh Alkitab melampaui budaya spiritualitas masyarakat. Breyer menutup sambutannya dengan membaca dari 1Yohanes 4:7-8.
Pameran dihadiri oleh sejumlah Lembaga Alkitab serta anggota-anggota Parlemen Eropa (MEP) dari berbagai kelompok politik. Mr Peter van Dalen, anggota MEP dari Partai Konservatif dan Reformis Eropa (ECR), dalam sambutan pembukaannya menyatakan kegembiraanya dapat ber58
Marian Harkin anggota Parlemen dari Partai Aliansi Liberal dan Demokrat untuk Eropa (ALDE), mengakui bahwa meskipun dewasa ini umat Katolik di Irlandia tidak cukup menghargai Alkitab, namun dampak Alkitab bagi perkembangan
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
sastra, kebijakan sosial dan pemikiran tidak perlu dipertanyakan lagi. Salah seorang anggota Pengawas Lembaga Alkitab Inggris Sir Charles Hoare Bt. menyatakan pameran ini penting bagi negara-negara Eropa, dalam rangka membuka kesadaran bagi umat Tuhan, di mana saat ini jutaan Alkitab sering dibiarkan terdiam di sudut rak buku tanpa pernah dibuka. "Di Inggris sejarah penerjemahan dan penyebaran Alkitab memiliki gaung tersendiri, karena Alkitab merupakan pusat pengembangan budaya kita," katanya. "William Tyndale salah satu pener-
jemah awal Alkitab, menjadi martir tidak jauh dari sini, di Vilvoorde pada tahun 1536. Dalam doanya yang terakhir, Tyndale berkata, "Tuhan, bukalah mata Raja Inggris." Dalam waktu dua tahun doanya dijawab Tuhan. Raja yang sama mewajibkan penempatan Alkitab dalam bahasa Inggris di setiap gereja di negeri itu. Alkitab inilah yang Shakespeare pelajari sebagai anak sekolah lima puluh tahun kemudian. Alkitab yang sama tersebut memiliki kekuatan untuk mengubah hidup kita pada hari ini." Dikutip dan diterjemahkan dari: UBS Community
Berbagi Kasih dan Kepedulian untuk Para Pengungsi Suriah
P
erang sipil di Suriah yang menimbulkan krisis kemanusiaan belum menunjukkan tanda-tanda bakal berhenti. Lembaga-lembaga Alkitab tetangga Suriah yang melayani Lebanon, Turki, dan Yordania tergerak untuk menyalurkan bantuan makanan dan berbagai
kebutuhan lain, termasuk pasokan Alkitab dan bagian-bagiannya kepada jutaan pengungsi Suriah yang hidup dalam penderitaan. Lebih dari 2,3 juta warga Suriah telah melarikan diri dari tanah air mereka, sejak perang
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
59
saudara meletus pada Maret 2011. Jumlah pengungsi Suriah yang melarikan diri dari tanah airnya merupakan jumlah pengungsi tertinggi dari sebuah negara dibanding pengungsi dari negara manapun sejak genosida Rwanda pada tahun 1994. Jumlah pengungsi diperkirakan hampir dua kali lipat menjadi 4,1 juta pada akhir 2014, merujuk data Perhimpunan "The Global Scripture Impact", Lembaga Alkitab Amerika.
Yordania Diperkirakan pada saat ini 600.000 pengungsi Suriah hidup di Yordania. Sekitar 300.000 di antaranya tinggal di kamp pengungsian yang berada di tengah-tengah pemukiman masyarakat Yordania. Dalam kondisi tidak bekerja di negara asing, perempuan dan anak-anak rawan untuk diperdagangkan. Keluarga-keluarga ini untuk hidupnya bergantung kepada bantuanbantuan kebutuhan dasar dari pihak lain. Lembaga Alkitab Yordania, melalui kerja sama dengan 11 gereja dan 60 relawan terlatih, akan menyalurkan bahan makanan dan bantuanbantuan lain untuk 500 keluarga (sekitar 2.500 pengungsi) selama enam bulan. Tiap keluarga akan menerima makanan, selimut, pemanas,
60
pakaian dan berbagai bacaan Alkitab yang cocok untuk mereka. Relawan terlatih akan menghubungkan keluarga pengungsi dengan berbagai layanan dukungan lain yang memungkinkan para pengungsi mendapatkan perawatan jangka panjang. Para pengungsi juga dibantu untuk berkomunikasi dengan gerejagereja setempat di mana mereka dapat masuk dan terlibat dalam persekutuan Kristen.
Lebanon Lebanon, salah satu negara terkecil di Timur Tengah, kini menjadi tempat penampungan terbesar pengungsi Suriah. Tanggapan berbagai organisasi tidak secepat datangnya jumlah pengungsi. Para pengungsi di Lebanon sangat membutuhkan makanan, perawatan kesehatan dan tempat tinggal, juga Kitab Suci untuk menyembuhkan trauma besar yang telah mereka alami. Lembaga Alkitab Lebanon meluncurkan sebuah proyek darurat untuk memasok 6.000 keluarga pengungsi Suriah dengan makanan, perlengkapan kebersihan dan bagian-bagian Alkitab yang relevan untuk anak-anak dan orang dewasa karena mereka sedang berusaha untuk membangun kembali kehidupan mereka dan menemukan pengharapan kepada Allah. Lembaga Alkitab dan mitra-mitranya akan memberi makan dan merawat sekitar 30.000 orang.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Turki Lebih dari 600.000 pengungsi Suriah tinggal di Turki, jumlahnya pada akhir tahun mungkin akan naik menjadi dua kali lipat. Negara ini mengoperasikan 22 kamp pengungsian yang dikelola pemerintah untuk tempat tinggal 210.000 pengungsi. Sementara itu ada sekitar 400.000 pengungsi lainnya yang belum mendapatkan akses layanan ke kamp-kamp. Yang menambah dilema, hanya beberapa lembaga swadaya masyarakat yang diizinkan untuk bekerja di kamp-kamp pengungsian dan tidak ada bantuan yang terorganisir untuk pengungsi-pengungsi yang tinggal di luar penampungan. Lembaga Alkitab Turki bermitra dengan sebuah Gereja Katolik di kota Pelabuhan Mersin untuk menyediakan bantuan bagi 100 keluarga (sekitar 500 orang). Bantuan tersebut berupa beasiswa pendidikan bagi anak-anak pengungsi dan satu tahun pasokan bahan makanan, batubara dan peralatan kebersihan. Program ini juga memberi kesempatan bagi keluarga untuk melakukan retret. Dua kali dalam seta-
hun, Lembaga Alkitab Turki bersama gereja akan menjadi tuan rumah berbagai kegiatan yang didedikasikan untuk para pengungsi. Ini merupakan kali pertama Lembaga Alkitab Turki diizinkan untuk terlibat mendampingi para pengungsi, karena pembatasan oleh pemerintah dan terutama kurangnya sumber daya keuangan. Sang pemazmur dalam Kitab Suci berseru, "Aku dikelilingi bahaya maut, perangkap maut ada di depanku. Dalam kesesakanku aku berseru kepada TUHAN, aku berteriak kepada Allahku mohon pertolongan. Dari rumah-Nya Ia mendengar suaraku dan memperhatikan seruanku. (Mazmur 18:6-7, BIMK). Lewat Persekutuan Lembaga Alkitab Sedunia (UBS), kita dapat menjadi kepanjangan tangan Tuhan berbagi harapan dan penyembuhan, menanggapi seruan kesesakan dari orangorang yang hidup di tengah-tengah krisis di Suriah maupun di berbagai tempat lain di seluruh dunia. Dikutip dan diterjemahkan dari: UBS Community
O bit u a ri
Selamat Jalan Pak Latui...
S
etiap tanggal 9 Mei, Lembaga-lembaga Alkitab di seluruh dunia merayakan bersama hari lahirnya Persekutuan Lembaga Alkitab Sedunia (UBS). Di Indonesia, peringatan tersebut dimaknai lain. Pada tanggal 9 Mei 2014, pendiri dan sesepuh yang dituakan oleh Lembaga
Alkitab Indonesia yaitu Pdt. Prof. Dr. Petrus Dominggus Latuihamallo atau akrab disapa Pak Latui dipanggil menghadap Bapa di surga pada usia 95 tahun. Pak Latui begitu dihormati dan diteladani karena karya pelayanannya yang begitu luas. Pdt. Anwar Tjen, Ph.D., dalam
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
61
renungannya pada ibadah penghiburan untuk keluarga di LAI pada tanggal 9 Mei kemarin menyatakan, Pak Latui seperti halnya tokohtokoh Kristen paska kemerdekaan terlibat aktif dalam begitu banyak kegiatan, di antaranya: keesaan gereja, kerukunan antar umat beragama, juga politik berbangsa. Tidak hanya itu, beliau masih mendarmabaktikan sebagian besar waktunya untuk melakukan dua karya pelayanan yang paling mendasar. Dalam pengajaran teologi untuk mendidik calon-calon penerus pelayanan dan dalam penerbitan Alkitab yang merupakan dasar kehidupan orang percaya. Petrus Dominggus Latuihamallo lahir di Mamasa, Sulawesi Selatan 11 Agustus 1918. Ia adalah putra kedua dari empat saudara E.J. Latuihamallo, pendeta dan guru, yang berasal dari Maluku. Sebelum masuk HTS, Jl. Pegangsaan Timur No. 27 Jakarta, Peter menghabiskan pendidikan menengahnya di Makassar. Kuliahnya di HTS sempat tertunda beberapa tahun, karena pasukan Jepang menutup sekolah itu. Haus akan ilmu, pada 1945, Peter sempat mengikuti pendidikan di Sekolah Islam Tinggi, di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Teman sekuliahnya antara lain Mukti Ali, yang dikemudian hari (1971-1978) menjadi menteri agama RI. Selepas masa pendudukan Jepang, ia memilih untuk melanjutkan pendidikan teologianya. Pada 1948, ia mendapatkan dua hal: ijazah STT, dan pemberkatan pernikahannya dengan Daisy Soselisa, gadis yang sudah ia kenal empat tahun sebelumnya ketika sama-sama aktif di Gereja Imanuel, Gambir, Jakarta. Tahun ini pula Peter ditahbiskan menjadi pendeta di Gereja Immanuel untuk penugasan di Gereja Protestan Maluku (GPM). Tak lama kemudian ia ditugaskan menjadi gembala GPM di Dobo. Setelah menyelesaikan studi pasca sarjana di Amerika, tahun 1951, Pak Latui diangkat menjadi salah seorang staf pengajar di STT Jakarta dan mulai mengampu mata kuliah Etika Sosial. Prof. Ihromi rekan beliau di STT Jakarta mencatat, Petrus Dominggus Latuihamalo meru-
62
pakan putra Indonesia pertama yang menjadi dosen di STT Jakarta. Lebih dari setengah usia beliau, diabdikan di STT Jakarta. Pada 9 Februari 1954, Pak Latui turut berpartisipasi mendirikan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Pak Latui bukan hanya terlibat aktif mendirikan LAI, beliau juga menumbuhkan dan memelihara. Di LAI, Pak Latui berkarya selama 59 tahun, hingga tiba waktunya pada awal 2013, ia mengucapkan "Hora est", telah tiba saatnya. Pak Latui memandang pelayanannya sudah paripurna. Kewajiban pelayanan itu sekarang mesti diteruskan oleh generasi yang lebih muda. Pak Latui juga aktif berkiprah dalam membangun gerakan ekumenis di Indonesia. Sejak Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia (DGI) IV pada tahun 1960 di Jakarta sampai dengan Sidang Raya X 1984 di Ambon, Pak Latui diangkat menjadi salah satu Ketua DGI/ Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dalam kaitannya sebagai tokoh nasional, Pak Latui tak jarang diminta bantuannya sebagai seorang mediator. Yang utama dalam urusan Republik Maluku Selatan (RMS). Hampir setiap tahun ia ke Belanda untuk melakukan pendekatan dengan kelompok RMS yang bermukim di Belanda. Pak Latui dikaruniai enam anak dan beberapa cucu. Beliau tidak merokok, menolak minuman keras, dan menghindari makanan pedas. Untuk menjaga kondisi badannya, penggemar film kungfu ini rajin lari santai setiap pagi, sekali-sekali juga bermain tenis meja. Pernikahan Peter Latuihamallo dengan Daisy Sosellisa senantiasa dipandang sebagai sumber inspirasi dan kekuatan oleh anak-anak dan para muridnya. Suatu ketika seorang temannya, orang Amerika, menanyakan mengapa ia tidak menikah lagi. Dan Pak Latui menjawab, menikah itu cukup sekali, karena pernikahan itu senantiasa dinaungi kasih yang bersifat agape, yang tulus dan tanpa pamrih, yang tetap abadi.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
Generasi demi generasi datang dan pergi. Di antara masa-masa itu Pak Latui hadir, memberi diri dan terus berkarya. Luasnya bidang yang Pak Latui layani mulai dari pendidikan (STT), penyebaran Alkitab (LAI), gerakan ekumenis (PGI), politik (DPR-GR/MPRS) membuktikan luasnya pengetahuan dan kebijaksanaan beliau. Hal ini juga membuktikan bahwa Pak Latui bisa masuk dan diterima banyak pihak. Pendeta Andreas A. Yewangoe menggambarkan lamanya pengabdian Pak Latui dengan kalimat, "Generasi ke generasi datang dan pergi dari Latui ke Latui." Gereja-gereja di Indonesia patut berbangga, pernah memiliki hamba Tuhan seperti Pak
Latui, tokoh yang meski tidak banyak bicara, namun hidupnya menjadi teladan dan dihormati semua kalangan. Bahkan selepas menutup mata, tiga lembaga: LAI, STT Jakarta, dan GPIB bergantian memberikan penghormatan khusus. Tepat seperti renungan Pdt. Anwar Tjen yang disampaikan dalam ibadah penghiburan di LAI, "Orang besar sejati tidak perlu omong besar untuk menunjukkan kebesarannya." Dan Pak Latui memang sungguh-sungguh orang besar. Kita bangga pernah berada di dekatnya, dan berjuang bersama melayani-Nya. Selamat jalan Pak Latui, selamat menghadap Bapa di surga. (lai)
Eulogi untuk Almarhum Pdt. Prof. Dr. Petrus D. Latuihamallo Oleh: Soy M. Pardede*
P
elayanan Alm. Pdt. Latuihamallo yang demikian panjang dan beragam tidak perlu diragukan lagi. Ada 3 hal yang bernilai fundamental yang ingin saya sampaikan tentang kepemimpinan beliau sebagai Ketua Pembina Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang beliau ikut dirikan 60 tahun yang lalu. Ketiga hal penting tersebut adalah: pertama, pembangunan dan peresmian Bible Center. Pdt Latuihamallo yang walaupun sudah terkendala secara fisik masih menyempatkan hadir pada acara peresmian tersebut dan prasasti peresmiannya masih beliau tandatangani. Tiga tahun sebelumnya beliau memimpin prosesi peletakan batu pertama pembangunan Bible Center pada tanggal 9 Februari 2009 diikuti oleh para pimpinan dan wakil gereja aras nasional serta pejabat terkait. Peletakan batu pertama tersebut adalah langkah awal pelaksanaan kegiatan Panitia Pembangunan Bible Center yang diputuskan pembentukannya dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Pdt. Latuihamallo
pada tanggal 12 Desember 2008. Bible Center adalah satu tonggak sejarah kelengkapan sarana untuk peningkatan pelayanan LAI. Yang kedua, Deklarasi Komitmen Kemitraan oleh seratus lebih Sinode-sinode dan Keuskupan sebagai hasil dari Konferensi Nasional Sinode-sinode dan Keuskupan dengan LAI yang diselenggarakan pada tanggal 7-9 Mei 2012. Deklarasi ini juga merupakan tonggak sejarah untuk lebih mendekatkan kembali LAI dengan gereja-gereja. Keputusan untuk menyelenggarakan Konferensi Nasional yang didahului dengan Konsultasi Bilateral dan Regional tersebut diputuskan dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Pdt. Latuihamallo pada tanggal 21 Agustus 2009. Hal ketiga yang juga sangat penting adalah review dan restrukturisasi organisasi yang menghasilkan konsolidasi dan revitalisasi organisasi LAI mulai dari Organ sampai ke Sekretariat. Pada rapat paripurna yang beliau
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014
63
pimpin pada tanggal 19 Agustus 2011, Pdt. Latuihamallo menjelaskan bahwa keinginan untuk mengkaji struktur organisasi tersebut telah lama dibicarakan dan bahkan untuk itu pernah akan dilakukan studi ke Negeri Belanda, namun belum dapat diwujudkan. Hasil restrukturisasi dan konsolidasi organisasi tersebut diharapkan akan dapat menjaga kelanjutan pengembangan pelayanan LAI ke depan serta mengamankannya. Minggu, 4 Mei lalu sepulang dari Ibadah Minggu, saya bersama isteri membesuk Pdt. Latuihamallo yang terbaring lemah di RS PGI Cikini. Dengan tubuh yang susut dimakan usia menjelang sembilan puluh enam tahun, Pak Latui hanya bisa terkujur di tempat tidur. Tubuh itu bukanlah badan yang menyusut, namun saya memandangnya sebagai ciptaan Tuhan yang begitu mulia dan berharga di mata Tuhan. Saya ingat khotbah minggu tadi tentang sungguh mahalnya manusia sampai-sampai Dia mengutus Anak-Nya, Tuhan Yesus yang harus mati di kayu salib agar kita menjadi mulia. Kepada Ibu Inge, putri tertua Pdt. Latuihamallo saya sampaikan permohonan maaf apabila nanti Pak Latui dipanggil oleh Tuhan, karena lift Bible Center terlalu kecil dan sempit maka tidak dapat membawa peti jenazah untuk persemayaman jenazah Pdt. Latuihamallo di Auditorium di lantai 10. Jumat pagi 9 Mei 2014, saya ditelepon oleh Bpk. Moenir Rony, Bendahara Umum LAI mengabarkan, bahwa Pdt. Latuihamallo sudah berpulang ke Rumah Bapa di Surga, dan sekaligus menyampaikan sedang menunggu persetujuan keluarga agar jenazah Pdt. Latuihamallo dapat disemayamkan di lobi Bible Center. Pdt. Latuihamallo umurnya lebih tua sekitar tiga bulan dari Pdt. Billy Graham. Dalam bukunya berjudul "Nearing Home", Billy Graham menjelaskan tentang umur uzur yang adalah the golden years. Masa tua Pdt. Latuihamallo adalah tahun-tahun emas yang digambarkan
64
oleh Billy Graham dalam bukunya tersebut. Pada tahun-tahun itu, Pdt. Latuihamallo mengisinya dengan penuh arti dan bermakna sebagai kumpulan dari berbagai pengetahuan dan pengalaman serta catatan keberhasilan maupun kegagalan yang melahirkan kearifan. Saat ini jenazah dari tubuh yang fana ini harus dilepaskan dan dipisahkan dari roh yang kekal yang akan kembali kepada Tuhan sebagai pemiliknya. Di sini, di tempat ini akan tinggal untuk selamanya satu cahaya pelayanan dan semangat pelayanan yang tidak boleh padam. Kita telah dibekali dengan begitu banyak dan lengkap oleh beliau agar kita semua dapat meneruskan pelayanan Alkitab dan yang tak lama lagi LAI akan mencetak Alkitab yang ke25 juta. Saat ini kita bersama menghantar Pdt. Latuihamallo kepada kekekalan, ke Rumah Tuhan. Di sana dia akan disambut dengan segala kemegahan yang tidak dapat dibandingkan dengan acara pelepasan dan pemberangkatan jenazah, yang walau diupayakan sebaik dan secermat mungkin dan diselenggarakan bersama-sama oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta. Dimulai kemarin siang, tadi malam bersama-sama Gereja Protestan Maluku (GPM) dan siang ini disini di Bible Center serta dilanjutkan di STT Jakarta dan kemudian besok siang di gereja GPIB Paulus. Semuanya sungguh tidak punya arti apa-apa dibandingkan dengan penyambutan dengan sukacita Ilahi di Surga, The Glorius Coming Home ke Rumah Bapa! Tuhan memberkati!
*Penulis merupakan salah satu Ketua Badan Pengurus LAI. Tulisan ini disusun ulang dari sambutan yang disampaikan pada Ibadah Pelepasan Jenazah Pdt. Prof. Dr. P.D. Latuihamallo di Bible Center, 10 Mei 2014.
Warta Sumber Hidup No. 1, Tahun Ke-17, 2014