LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
OTONOMI DALAM PELAKSANAAN IBADAH KEAGAMAAN SISWA SMU UII
NO-A-LP-324
Oleh DR. DRS. MUHAMMAD IDRUS.,S.Psi., M.Pd
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2000 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap orang yang beragama harus menjalankan kewajiban-kewajiban ritual yang terkait dengan agamanya. Bagi kaum muslim prosesi keagamaan telah dikenalkan kepada mereka sejak dini, yaitu tatkala mereka dilahirkan dengan Adzan. Dilantunkannya Adzan dimaksudkan agar sejak dini anak mengenal Tuhannya dan mau melaksanakan perintah-perintah yang ada dalam
agamanya. Pada usia 7 tahun, setiap anak dalam keluarga muslim mulai dikenalkan dengan perintah untuk menjalankan shalat, dan pada usia 10 tahun anak sudah mulai diperlakukan keras tatkala tidak mau melaksanakan ibadah shalat. Pelbagai tahapan tersebut menuntun anak dalam keluarga muslim untuk taat menjalankan perintah agama. Meskipun pada tahapan awal perkembangan keimananannya, ketaatan mereka sebatas menuruti kemauan orang tua mereka, namun diharapkan pada tahapan perkembangan kehidupannya ketaatan tersebut keluar dari lubuh hari mereka. Dalam kajian psikologi, ada tahapan perkembangan kognisi yang di dalamnya juga membahas persoalan ketaatan anak pada aturan yang berlaku. Puncak tahapan tersebut dicapai kurang lebih pada usia 16 - 17 tahun, yang oleh Kohlberg disebut sebagai tahapan tertinggi dalam perkembangan kognisi anak, yaitu tahap otonomi. Persoalan otonomi dalam ajaran Islam menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan komunikasi dengan Tuhannya secara mesra, tanpa tendensi ataupun rasa ketakutan. Dalam Al-Qur'an, otonomi ini diberikan secara tegas kepada manusia seperti terungkap dalam firman Allah SWT di Surat Al Baqarah 256, "Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat....". Pada ayat lain ditegaskan, meskipun sebenarnya Allah dengan ke-Mahaan yang dimilikiNya mampu untuk memaksa manusia untuk beribadah (menyembah dirinya), tetapi tampaknya hal tersebut tidak dilakukanNya seperti yang diisyaratkan dalam Surat Yunus ayat 99 yang artinya, "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu (Muhammad) hendak memaksa manusia supaya menjadi orang-orang yang beriman semuanya". Jika secara cermat disimak, ternyata kedua ayat tersebut bukan hanya memberi peluang kepada manusia untuk memilih siapa "Tuhannya" (dengan simbol agama tertentu yang akan dianutnya), bahkan secara keras menegur Muhammad SAW, agar tidak melakukan pemaksaan kepada manusia. Barangkali seandainya Muhammad SAW memaksakan kehendaknya untuk menjadikan manusia di dunia tunduk (pasrah, Islam), maka mungkin iman yang diperolehnya adalah iman yang tidak jenius dan berkualitas rombengan -meminjam istilah Maarif untuk menegasi bahwa kualifikasi iman yang demikian memang tidak bermutu sama sekali--. Secara lebih demokrat Allah menegaskan dalam Al-Qur'an surat Al Kahfi ayat 29 yang artinya kurang lebih "...dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklan ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir...". Dengan begitu tampak jelas bahwa kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalannya (Madjid, 1994: 219). Lebih jauh lagi, adanya peluang pilihan bebas yang diperoleh manusia mentengarai esensi keberadaan manusia di muka bumi. Hal tersebut seperti diungkap Maarif (1995: 15) bahwa manusia menjadi manusia karena
LAPORAN/ M.IDRUS
1
kepadanya diberi hukuman dan pilihan moral untuk diterima dengan penuh kesadaran atau ditolaknya dengan penuh kesadaran pula. Kondisi tersebut tentunya berbeda dengan makhluk lain, seperti alam, ataupun malaikat yang tidak diberi kewenangan untuk memilih. Pelaksanaan perintah Tuhan atas mereka karena ketakutan mereka, hal tersebut seperti terungkap dalam Surat Ar-Raad: 13, "Dan guruh itu bertasih memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepadaNya,...., atau dalam surat Al-Fushilat, ayat 11 yang artinya "Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan bumi, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa", keduanya menjawab "kami datang dengan suka hati". Tentunya harus disadari bahwa kebebasan memilih tersebut sebatas kemampuan (istitha'ah) yang memang telah diberikan Allah kepada manusia, sebagai syarat kemanusiaannya. Pada intinya kewenangan untuk memilih baik sesuatu yang baik ataupun yang buruk dengan penuh kesadaran atas konsekuensi pilihannya menjadi esensi keberadaan manusia. Kesadaran bahwa satu perbuatan harus ditaati atau harus dilakukan tanpa adanya unsur yang mensyaratinya (pamrih) merupakan titik tertinggi dalam perkembangan keagamaan seseorang. Jika merujuk pada tahapan perkembangan moral yang diajukan Lawrence Kohlberg (1976: 32), kondisi tersebut dapat dikelompokkan dalam tahapan postconventional level. Dalam istilah yang berbeda, filsuf Imanuel Kant, mengistilahkannya sebagai otonomi (Tjahyadi, 1991: 89). Berdasarkan paparan di atas, tentunya para siswa SMU yang berusia antara 15 - 19 tahun telah menerima pengetahuan agama yang lebih dari sekadar cukup untuk menjalankan perintah-perintah minimum dalam agama Islam. Dengan sendirinya, mereka memiliki tingkat kesadaran untuk menjalankan ibadah agamanya masuk dalam kategori baik. Mentengarai kondisi yang terjadi pada banyak kelompok pelajar, tampaknya perlu juga dilihat apakah memang mereka telah memiliki otonomi dalam menjalankan ibadah agama mereka. Hingga saat ini penelitian yang mengungkap hal tersebut tampaknya belum ada. Untuk itu penelitian ini akan mengungkap tingkat otonomi keagamaan siswa SMU. Lokasi ditentukan di SMU UII dengan pertimbangan yang bersifat praktis.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Anak didik, merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pendidikan. Hal tersebut mengingat, fokus utama dalam proses pendidikan adalah, pembentukan anak didik menjadi manusia-manusia baru. Menjadikannya menyadari tentang potensi-potensi kemanusiaan yang dimilikinya, serta mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianutnya. Dalam konteks pembangunan nasional, tujuan pendidikan nasional dirumuskan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa LAPORAN/ M.IDRUS
2
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (pasal 4 UUSPN). Ternyata unsur taqwa dalam tujuan pendidikan menjadi unsur dominan. Terminologi taqwa merupakan wilayah kajian agama. Salah satu indikator sikap taqwa secara mudah dikatakan menjalankan syariat agama dan menjauhi larangan-larangan yang ditetapkan agama. Tentunya terkait dengan konsep awal yang diajukan di muka, bahwa menjalankan syariat agama bukan atas dasar paksaan, tetapi merupakan satu manifestasi kesadaran keagamaan yang dimilikinya. Persoalan tersebut tidak lepas dari kontribusi lingkungan, serta budaya yang ada di sekitaranya. Artinya jika lingkungan sekitarnya terbiasa dengan taqlid, maka seseorang akan menjalankan syariat agama juga dengan taqlid pula. Di sini unsur personal (kyai, guru, atau seseorang yang dihormati) tampaknya juga memberi kontribusi yang tidak sedikit. Pada kenyataannya sering dijumpai seseorang menjalankan aktivitas ritual agama tanpa memahami ilmunya. Pengetahuan yang diajarkan kyai kepadanya, menjadi dasar baginya untuk menjalankan syariat agamanya, meskipun dia menyadari bahwa ada pendapat lain yang mungkin memiliki peluang kebenaran yang sama. Akan tetapi begitu patuhnya dia pada sang guru, menyebabkan terhapusnya peluang tersebut. Dari paparan di atas, ada beberapa persoalan yang dapat diidentifikasikan, yaitu : 1) otonomi siswa dalam menjalankan ibadah-ibadah agama (misalahnya shalat, puasa); 2) otonomi siswa dalam menjauhi laranganlarangan agama. Untuk itu masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Seberapa tinggi tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan? 2. Adakah perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari jenis kelaminnya? 3. Adakah perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari asal SLTP siswa? 4. Adakah korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan?
D. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan deskripsi tentang otonomi keagamaan siswa SMU UII, sedangkan secara lebih spesifik penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran tentang: 1. Tingkat otonomi siswa SMU UII dalam menjalan ibadah keagamaan. 2. Perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan dilihat dari jenis kelaminnya serta asal SLTP siswa 3. Korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi dalam melaksanakan ibadah keagamaan siswa
LAPORAN/ M.IDRUS
3
E. Signifikansi Penelitian Hasil temuan penelitian ini memberi informasi tentang perkembangan otonomi keagamaan siswa SMU UII. Secara praktis, bagi pihak sekolah SMU UII --sesuai dengan misi yang diembannya--, dapat menjadi balikan bagi perumusan model ideal pendidikan sesuai dengan kaidah agama Islam.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Konsep Otonomi Dalam Pelaksanaan Ibadah Keagamaan Lawrence Kohlberg, seorang psikolog yang secara inten meneliti tentang tahapan perkembangan moral anak. Model penelitiannya dipandu oleh teori yang diajukan oleh Jean Piaget seorang ahli psikologi perkembangan. Dalam teori perkembangan moral yang diajukan Kohlberg, tampak otonomi menempati posisi tertinggi dalam rangkaian perkembangan moral seorang anak. Dalam fase tersebut seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan LAPORAN/ M.IDRUS
4
satu pilihan moral sesuai dengan kehendak yang dimilikinya. Pilihan tersebut tentunya tidak terbatas dalam hal tertentu, demikian juga dalam memilih agama. Merujuk pada konsep yang ada pada ajaran Islam, persoalan otonomi dalam ajaran Islam menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan komunikasi dengan Tuhannya secara mesra, tanpa tendensi ataupun rasa ketakutan. Tuhan secara jelas mengungkap tentang fenomena otonomi ini dalam beberapa firmannya, yaitu seperti terungkap dalam firman Allah SWT di Surat Al Baqarah 256, Surat Yunus ayat 99, ataupun surat Al-Kahfi 29. Dengan begitu tampak jelas bahwa kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia yang diberikan dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalannya (Madjid, 1994: 219). Lebih jauh lagi, adanya peluang pilihan bebas yang diperoleh manusia mentengarai esensi keberadaan manusia di muka bumi, atau dalam bahasa Maarif (1995: 15) bahwa manusia menjadi manusia karena kepadanya diberi hukuman dan pilihan moral untuk diterima dengan penuh kesadaran atau ditolaknya dengan penuh kesadaran pula, tentunya pilihan tersebut sebatas kemampuan (istitha'ah) yang memang telah diberikan Allah kepada manusia, sebagai syarat kemanusiaannya, yang pada intinya hal tersebut tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia. Merujuk pada paparan di atas, maka pada dasarnya kewenangan untuk memilih baik sesuatu yang baik ataupun yang buruk dengan penuh kesadaran atas konsekuensi pilihannya menjadi esensi keberadaan manusia. Dengan sendirinya adanya konsep fatalis (Jabariyah) sebagai sikap hidup yang dianut oleh seseorang tidak dapat dibenarkan dalam kehidupan beragama. Sebab dengan kewenangan memilih manusia diberi alternatif untuk mengerjakan perbuatan baik ataupun perbuatan buruk sesuai dengan kesadaran yang dimilikinya, "...sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..." (QS. Al-Baqarah 256) --tentunya tidak perlu lagi dijelaskan kepada manusia resiko atas pilihannya tersebut. Meski dalam penelitian ini tidak bermaksud untuk membahas persoalan teologi agama, namun sebagai gambaran bahwa persoalan otonomi juga dibahas dan menjadi kajian yang menarik dalam teologi agama, berikut ini akan dipaparkan beberapa konsep teologi agama yang menaruh minat pada persoalan otonomi, salah satunya adalah kaum Mu'tazilah. Kaum Mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis, mereka banyak memakai akal dalam melihat fenomena agama, sehingga mereka dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam (Nasution, 1986: 38). Al-Jubba'i --salah seorang tokoh Mu'tazilah-- berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauan sendiri. Adapun daya (al-istita'ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan (Nasution, 1986: 102). Seperti juga Al-Jubba'i, 'Abd al Jabbar mencandra bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan (Nasution, 1986: 102). LAPORAN/ M.IDRUS
5
Merujuk pada pendapat-pendapat di atas, maka pandangan kaum Mu'tazilah adalah bahwa kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia (juga pilihan) adalah kemauan dan daya manusia sendiri. Dengan sendirinya menurut kaum Mu'tazilah dalam proses tersebut tidak ada campur tangan kemauan dan daya Tuhan. Selain itu, untuk memperkuat fahamnya kaum Mu'tazilah selalu mengedepankan rasio. Artinya mereka berusaha merasionalkan nash-nash wahyu, sehingga mempermudah mereka dalam memahami nash-nash tersebut. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan otonomi dalam pelaksanaan ibadah keagamaan adalah, tumbuhnya kesadaran pada diri seseorang bahwa dirinya memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan syariat agama tanpa adanya pengharapan imbalan (pahala, syurga) atas apa yang dilakukannya, serta bukan karena keharusan yang tercantum dalam kitab suci atau hadits nabi. Pada sisi lain jika dia meninggalkan larangan agama bukan disebabkan ketakutan akan adanya ancaman siksa yang akan dihadapi jika hal tersebut dilakukannya, atau atas paksaan dari manapun. Secara singkatnya dapat dinyatakan apapun perbuatan yang dilakukannya, maka hal itu dilakukan atas dasar keikhlasan, tidak ada pamrih atau ketergantungan atas sesuatu. Secara lebih kongkrit dimisalkan, jika seseorang menjalankan ibadah shalat, maka alasan utama yang bersangkutan menjalankan shalat tersebut bukan karena hal tersebut diperintahkan oleh agama, atau oleh nabi, atau karena keinginan untuk memperoleh surga dan menghindari ancaman siksa neraka. Akan tetapi alasannya adalah karena memang dia harus menjalankan shalat, shalat dilakukannya atas kemauan dan daya yang dimilikinya sendiri selaku manusia, shalat dimaknai sebagai manifestasi kesadaran akan eksistensinya sebagai manusia yang mewajibkan atas dirinya sendirinya untuk melakukan shalat. B. Dimensi Praktek Keagamaan Berkaitan dengan fokus penelitian, maka perlu dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan unsur pelaksanaan praktek ibadah keagamaan. Stark dan Glock (dalam Robertson, 1988: 295-299) dalam tulisannya mengajukan lima dimensi keagamaan yang terdiri dari dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi-konsekuensi. Berikut ini akan dipaparkan masing-masing dimensi tersebut. Dimensi pertama adalah dimensi keyakinan. Dimensi ini berisi tentang pengharapan-pengharapan orang religius dan keteguhan atas pandangan teologi tertentu serta mengakui kebenaran dontrin-doktrin tersebut. Meskipun harus diakui, bahwa setiap agama tertentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama yang lainnya, bahkan untuk agama yang sama saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Namun demikian, pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Dengan begitu, apapun agama yang dianut oleh seseorang, maka unsur yang terpenting adalah kemauannya untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam agama yang dianutnya.
LAPORAN/ M.IDRUS
6
Dengan begitu dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh setiap penganut agama. Dalam agama Islam, dimensi keyakinan diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimah syahadat (syahadatain), bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini, menuntut dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kedudukan dimensi keyakinan ini dalam agama Islam pada urutan pertama rukun Islam dan rukun Iman. Selanjutnya dimensi kedua, adalah dimensi praktek atau ritualistik agama. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, kultus ataupun ketaatan serta hal-hal lain yang lebih menunjukkan komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah perilaku masyarakat -pengikut agama tertentu- dalam menjalankan ritus-ritus berkaitan dengan agamanya. Untuk dimensi kedua Robertson membagi dalam dua kelompok, yaitu ritual dan ketaatan. Ritual mangacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-prektek suci yang semua mengharapkan para penganutnya melaksanakannya, sedangkan ketaatan memang tidak dapat dipisahkan dari dimensi ritual. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat seperti menjalankan ibadah shalat, puasa zakat, ibadah haji ataupun praktek muamalah lainnya. Tentu saja unsur ketaatan dalam menjalankan aktivitas tersebut memang diharapkan muncul dalam diri setiap orang yang menjalankannya. Dimensi berikutnya adalah dimensi pengalaman (experiansial). Dimensi ini mendeskripsikan bahwa semua agama mengandung pengharapanpengharapan tertentu. Meskipun demikian, sebenarnya tidak tepat untuk mengatakan bahwa setelah seseorang beragama dan taat menjalankan syariat agama, maka dia akan dengan sendirinya --secara subyektif-- memiliki satu pengetahuan dengan tingkatan tertentu. Dimensi ini berkaitan dengan berbagai pengalaman kegamaan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses menjalani agama yang dianutnya. Dimensi ini dapat berupa berbagai perasaan, persepsi ataupun sensasi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang tertentu dalam mensikapi agama yang dianutnya. Tentu saja hal tersebut akan dengan sendirinya berkait dengan ajaran-ajaran kitab suci, esensi ketuhanan, serta kedudukan dirinya dalam konsep agama yang dianutnya. Dimensi keempat adalah dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini menyatakan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak --secara minimal-memiliki seperangkat pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus yang harus dijalankan, ajaran-ajaran yang ada dalam kitab suci, ataupun tradisi agama yang dimilikinya. Dimensi ini secara erat terkait dengan dimensi keyakinan, karena salah satu syarat yang harus dimiliki bagi penerimaan satu ajaran, adalah dimilikinya seperangkat pengetahuan tentang ajaran agama yang bersangkutan. Hal ini mendukung tesis yang pernah diajukan Albert Einstein, bahwa science without religion is blind and religion without science is limp. LAPORAN/ M.IDRUS
7
Meskipun demikian, ada hal yang menarik berkaitan dengan keyakinan dan ilmu pengetahuan. Kenyataan empiris yang terjadi di masyarakat mungkin berbanding tidak linier dengan konsep yang diajukan kalangan ilmuwan. Secara nyata di lapangan, dijumpai orang yang memiliki keyakinan agama yang tinggi, bahkan dengan konsekuensi yang harus ditanggungnya sekalipun dia tetap memegang teguh prinsip agamanya, tanpa dia mengetahui secara mendalam tentang ilmu agama yang dianutnya. Dalam konsep teologi, biasanya yang bersangkutan akan menjalankan syariat agamanya dengan taqlid penuh pada ajaran yang diberikan kyainya. Jika hal ini terjadi, maka yang bersangkutan terjebak ketergantungan dalam menjalan syariat agama. Dengan bahasa yang lebih singkat orang tersebut memiliki otonomi keagamaan yang rendah, mengingat yang bersangkutan menjalankan sesuatu atas adanya paksaan ataupun ketakutan akan ancaman jika perbuatan tersebut tidak dilakukannya. Selanjutnya dimensi terakhir, konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan agama, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang. Tampaknya pembagian terakhir tentang dimensi keagamaan yang diajukan Robertson dapat dimaknai ganda. Pertama konsekuensi tersebut memiliki makna kekinian. Makna ini tentunya tersirat dengan konsekuensi langsung atas satu perbuatan (praktek) yang dilakukan seseorang. Sebagai misal, seseorang yang melakukan pencurian tentunya akan dikenai hukum tentang pencurian dari agama yang dianutnya. Kedua konsekuensi bermakna kemudian (keakhiratan). Tentu saja untuk makna yang kedua ini sulit bagi orang untuk secara empiris mengetahui konsekuensi atas perilaku yang dilakukannya. Meskipun begitu, dapat saja hal tersebut dilacak dari nash-nash yang ada dalam kitab suci. Dari paparan di muka, maka obyek kajian dalam dimensi keberagamaan dapat dilihat dari sisi keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan agama serta konsekuensi. Selanjutnya berkaitan dengan konteks penelitian ini, peneliti membatasi pada perilaku subyek penelitian dalam dimensi keyakinan, praktek, pengetahuan, serta konsekuensi. Secara lebih terfokus kajian tersebut akan melihat otonomi siswa dalam praktek peribadatan agama, praktek shalat, puasa, serta aktivitas anjuran untuk berbuat baik pada sesama. Selain itu juga akan dilihat sikap subyek atas larangan yang ditetapkan agama, seperti larangan berzina, mabuk-mabukan, berjudi, menipu, serta beberapa perilaku larangan lain dalam hubungannya dengan sesama manusia (mu'amalah). Salah satu cara termudah untuk mengungkap fenomena otonomi keagamaan yang dimiliki seseorang adalah dengan melihat perilaku ataupun sikap keagamaan yang mereka tunjukkan. Tentang sikap keagaaman ini, menarik untuk menyimak paparan yang diajukan Shihab (1994: 67) dalam tulisannya Lentera Hati. Diungkap beliau bahwa pada suatu ketika Khalifah Umar r.a meminta segelas air --diceritakan saat itu udara sangat panas dan kerongkongan Umar serasa terbakar, dan dia ingin minum-. Sebelum air dihidangkan, tiba-tiba Khalifah Umar r.a mendengar ada seseorang yang membaca surat Al-Ahqaf ayat 20 yang artinya, "Dan ingatlah pada hari ketika orang-orang kafir di LAPORAN/ M.IDRUS
8
hadapkan ke neraka, (kepada mereka) dikatakan: "kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik (kenikmatan) dalam kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang dengannya, maka kini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan kamu telah berbuat kefasikan". Begitu mendengar ayat tersebut Umar r.a menolak air yang akan dihidangkan kepadanya seraya berkata, "aku tidak jadi minum, agar kenikmatan yang disediakan untukku di akhirat nanti tidak berkurang karenanya". Selanjutnya dengan mengutip pendapat filosof Ibn Sina, Shihab menjelaskan bahwa sikap yang ditunjukkan Umar r.a laksana perilaku pedagang, yakni melakukan sesuatu demi memperoleh imbalan yang lebih menyenangkan dan lebih baik dari yang telah diberikannya. Gambaran perilaku "pedagang" atau "buruh", yang mengharapkan adanya balasan yang lebih baik atas perbuatan yang dilakukannya, atau ketakutan terhadap azab, menandakan rendahnya tingkat otonomi dalam pelaksanaan keagamaan yang dimiliki seseorang. Masih dalam buku yang sama Sihab memaparkan dua sikap lain, yaitu sikap sang budak dan sikap sang arif dalam fenomena beragama. Menurutnya jika seseorang yang beribadah karena dorongan takut siksa neraka pada hakekatnya memperagakan sikap budak atau sikap buruh terhadap Tuhannya. Adapun tipe sang arif, dia menyadari betapa besar anugerah dan jasa yang telah diperolehnya dan betapa bijaksananya Tuhan dalam segala ketetapan dan perbuatannya. Kesadaran ini mendorong sang arif untuk beribadah dan melakukan segala aktivitasnya sebagai "balas jasa", bukan karena mengharap imbalan surgawi atau karena takut neraka. Dari kesadaran akan kebijaksanaan Tuhan, ia yakin di mana pun ia ditempatkan, pasti hal itu merupakan hal yang terbaik baginya. Sikap bijaksana Tuhan yang tercermin dengan rasa keadilan Tuhan menjadikannya sebagai seorang abid (ahli ibadah) yang tidak lagi berfikir apa yang akan didapatnya setelah ibadah itu dilakukannya. Meskipun demikian dia menyadari bahwa dialah yang akan memperoleh manfaat ibadah yang dilakukannya, dan Tuhan tidak sedikit pun memperolehnya. Perilaku sang arif dalam beribadah merupakan gambaran seseorang yang memiliki otonomi keagamaan yang baik. Bagi seorang arif pelaksanaan ibadah ataupun menghindari larangan tertentu merupakan wujud dari kesadaran kemanusiaan yang dimiliki, serta pengakuan atas keesaan zat Tuhan. Berlatarbelakang yang demikian, segala macam perintah ataupun larangan dilakukannya karena memang harus dilakukannya. Tidak terpikirkan olehnya balasan yang akan diterimanya seandainya dia melakukan satu perintah Tuhannya, begitupun manakala dia menghindari larangan yang telah diisyaratkan Tuhan, karena dia menyadari semua itu masih dalam bingkai keadilan Tuhan. C. Penelitian Terdahulu Kohlberg (1995) dalam penelitiannya tentang dilema moral yang dihadapi anak, memberi beberapa kesimpulan. Pertama, keputusan moral bukanlah soal perasaan (nilai), melainkan selalu mengandung suatu tafsiran LAPORAN/ M.IDRUS
9
kognitif terhadap dilema moral dan bersifat konstruktif yang aktif terhadap titik pandang masing-masing partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak, kewajiban dan keterlibatan setiap pribadi (kelompok) terhadap yang baik dan yang adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif. Kedua, terdapat sejumlah pertimbangan moral yang sesuai dengan pendapat yang diajukan oleh Piaget, yaitu dengan adanya ciri pola fikiran formal yang ada dalam diri anak. Ketiga, membenarkan pendapat yang diajukan Piaget bahwa usia 16 tahun merupakan usia tertinggi remaja dalam pertimbangan moral. Menarik untuk disikapi adalah batasan usia 16 tahun yang bagi masyrakat barat telah dianggap memiliki otonomi yang baik. Tentu saja batasan usia ini akan menjadi relatif berbeda tatkala terminologi budaya ikut serta dalam pembahasannya. Setidaknya dengan menggunakan pendekatan lintas budaya penelitian tentang batasan usia ini akan menjadi menarik. Untuk kasus dengan mengambil setting di Indonesia, penelitian tentang moralitas politik pernah dilakukan oleh Wahyono (1995) dalam upayanya untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas moral dan perilaku moral politik, lingkungan keluarga, sekolah dan pergaulan siswa dengan kelompok sebaya. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif penelitian Wahyono tersebut memberi kesimpulan bahwa tingkat penalaran siswa di lokasi penelitian cukup tinggi. Dalam tesisnya, Idrus (1998) mengambil tema yang hampir senada dengan mahasiswa Fakultas Tarbiyah UII sebagai respondennya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif Idrus (1998) menyatakan bahwa mahasiswa Fakultas Tarbiyah UII ternyata belum memiliki tingkat otonomi moral yang baik, artinya mereka masih dalam teraf heteronomi. Temuan lain yang diperoleh Idrus adalah bahwa dalam beragama ternyata mahasiswa cenderung masuk dalam katagori sikap pedagang, yang selalu menghitung untung rugi dalam pelaksanaan peribadatannya. Kedua penelitian di atas, ternyata memiliki simpulan yang bertolak belakang. Pada penelitian Wahyono mungkin cenderung mendukung apa yang diajukan oleh Kohlberg, sementara penelitian Idrus menolak pendapat di atas. Lebih lanjut tentang penelitian yang bertemakan agama dapat dilihat berikut ini. Berkaitan dengan penelitian keagamaan, 'Abdul Mun'im 'Abdul 'Aziz al-Maligy (dalam Nizar, 1992) meneliti anak-anak dan remaja Mesir tentang kepercayaan mereka terhadap Allah dan sifat-sifatnya, syurga dan neraka, kematian, malaikat, syetan dan beberapa hal lain yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Hasil penelitian Maligy menemukan bahwa pemahaman tentang Allah mulai dari masa anak-anak sampai remaja berproses dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada saat anak-anak mulai berfikir tentang Allah ia membayangkan Allah sebagai tokoh bapak dengan sifat-sifat kebapakannya. Kedua saat mulai beranjak remaja saat ia merasakan dorongan-dorongan seks akibat perkembangan dalam dirinya. Padahal di sisi lain dorongan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada baik dalam agama maupun dalam masyarakat, --sebagaimana dipahami latar belakang budaya dan agama LAPORAN/ M.IDRUS
10
responden adalah Islam dengan kultur timur yang kuat--. Pada akhirnya hal tersebut memunculkan rasa berdosa, dan dia takut akan mendapa azab dari neraka. Pada posisi tersebut dia membutuhkan Allah untuk membantunya melepaskan diri dari semua itu. Pada tahapan ini keimanan pada Allah diperlukan untuk mencari sandaran dan bantuan moral. Tahap ketiga, sesuai dengan masa perkembangannya maka pemahaman tentang dzat Allah muncul semakin baik. Pada tahap ini pemikirannya mulai ke arah filosofis dengan mengkaitkan pemikiran tentang Allah dengan alam ciptaanNya. Tahap ini mulai terlihat pada akhir masa remaja. Dari simpulan di atas, ternyata proses penyadaran remaja akan adanya Allah berproses mulai dari Allah sebagai figur bapak, yang dapat dimaknai sebagai figur pelindung. Kemudian Allah berposisi sebagai figur penolong atas segala kesulitan yang sedang dihadapinya, dan baru pada masa akhir eksistensi adanya Allah disadari secara baik. Jika merujuk pada batasan usia, maka usia akhir remaja diperkirakan antara 18-20 tahun. Selain ketiga kesimpulan tersebut, al-Maligy juga mengungkap tentang sikap remaja terhadap agama yang secara garis besar dituangkan dalam tabel 1 yang penulis kutip berikut ini. Tabel 1. sikap Remaja Terhadap Agama Sikap Beragama Remaja Putra Remaja Putri f % f % percaya ikut-ikutan 50 50 43 61,5 percaya dengan kesadaran 25 25 18 25,7 ragu-ragu 24 24 9 12,8 tidak percaya 1 1 0 0 jumlah 100 100 70 100 (Sumber Nizar, 1992) Dari tabel 1 tersebut tampak ada variasi sikap remaja terhadap agama Hal yang menarik tampaknya persentase sikap remaja yang percaya karena ikut-ikutan (taklid) untuk masing-masing kelompok subyek penelitian menduduki pada peringkat pertama. Maligy mengidentifikasikan bahwa tingginya sikap ikut-ikutan pada diri remaja putri lebih disebabkan model pendidikan di Mesir yang menuntut anak wanita untuk patuh pada keluarga, khususnya orangtua. Selanjutnya dalam penelitiannya, Maligy juga mengungkap fenomena keraguan remaja terhadap agama dengan melihat usia remaja. Hasil penelitiannya menunjukkan keraguan remaja terhadap agama meningkat pada masa awal remaja, dan kembali menurun pada periode akhir remaja. Fenomena ini menurut Maligy (dalam Nizar, 1992) disebabkan terjadinya perkembangan pemikiran dalam diri remaja. Pada periode akhir tersebut, remaja mulai berfikir secara mendalam tentang Allah dan sifat-sifatnya. Mereka mencoba menghubungkan antara sifat qudrah, iradah dan sifat keadilan yang dimiliki Allah. Remaja melihat bahwa
LAPORAN/ M.IDRUS
11
qudrah dan iradah Allah mendominasi kemerdekaan manusia untuk memilih yang pada hakekatnya berlawanan dengan sifat keadilan Allah-. Dari hasil penelitian tersebut secara selintas akan terkait dengan ajaran teologi Asy'ari yang berkembang di sebahagian besar dunia Islam (termasuk lokasi penelitian Maligy). Ajaran Asy'ari ini memberi penekanan pada kehendak mutlak Tuhan terhadap seluruh perilaku manusia. Pada akhirnya teologi Asy'ariah banyak dianut oleh kaum Jabariah, yang dalam istilah bahasa Inggris disebut dengan fatalism. Dalam faham ini, manusia terikat pada kehendak mutlak Tuhan (Nasution, 1986) Selanjutnya masih dalam topik yang sama, ternyata pada usia 21 tahun persentase mereka yang memiliki sikap ragu-ragu terhadap agama menurun. Rupanya pada usia tersebut remaja berusaha untuk menemukan identitas diri sendiri dalam menjalankan agama yang dipeluknya. Saat itu remaja mencoba untuk mempelajari agama berdasarkan pemahaman intelektual yang dimilikinya serta tidak menerima begitu saja faham yang diberikan atau diajarkan kepada mereka. Tampaknya Maligy melihat pada usia 21 tahun tersebut, anak telah memiliki satu peluang untuk berbuat sesuatu secara mandiri. Keinginan anak untuk menerima agama tanpa adanya pengaruh orang lain, jelas menunjukkan tingkat otonomi keagamaan yang dimilikinya. Dengan begitu, dapat dinyatakan bahwa berkembangnya usia anak, akan semakin meningkatkan tingkat otonomi keagamaan anak dan kematangan pemahaman anak dalam beragama. Untuk kejelasan perkembangan tingkat keraguan remaja terhadap agama dilihat dari perkembangan usia remaja, pada halaman berikut ini dikutip hasil penelitian Maligy seperti yang dikutip Nizar (1992). Jika dicermati dari tabel 2 berikut ini, tampaknya semakin tinggi usia anak (usia 17 tahun hingga 20 tahun) terlihat anak semakin bersikap ragu-ragu terhadap agama. Keraguraguan tersebut baru tampak menurun pada saat anak berusia 21 tahun. Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung merekomendasikan bahwa usia 21 tahun tampaknya sebagai awal kematangan anak dalam menerima agama. Tabel 2. Remaja yang bersikap ragu-ragu terhadap agama Usia % 14 0 15 3 16 3 17 15 18 33,4 19 18,3 20 24,3 21 3 (Sumber Nizar, 1992) Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti terdahulu, ternyata persoalan otonomi khususnya otonomi dalam hal peribadatan keagamaan belum diteliti secara mendalam. Mengingat pentingnya kedudukan
LAPORAN/ M.IDRUS
12
otonomi dalam pelaksanaan ibadah keagamaan dalam konteks hubungan peribadatan manusia dengan tuhannya, maka akan sangat menarik untuk mengkaji persoalan tersebut secara lebih mendalam. C. Kerangka Berpikir dan Pengajuan Hipotesis Dari paparan di muka, maka dalam penelitian ini konsep berpikir yang diajukan adalah sebagai berikut. Adanya temuan para peneliti terdahulu yang menyatakan bahwa tingkat otonomi akan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun (temuan dari Kohlberg) menjadi satu fenomena menarik untuk dilakukan kaji ulang. Sebab pada dasarnya, adanya perbedaan pola asuh antara budaya barat dan budaya timur mungkin pula akan menyebabkan perbedaan otonomi yang dimiliki seorang anak. Seperti dipahami, penelitian Kohlber dengan setting penelitian barat dimana budaya demokrasi tumbuh subur memungkinkan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang seharusnya. Artinya merujuk pada tahapan perkembangan moral yang diajukan Piaget ataupun Kohlberg, usia 16 tahun mungkin menjadi puncak awal tingkat otonomi seorang anak. Sementara penelitian yang saat ini dilakukan mengambil setting budaya timur, dimana budaya demokrasi belum seluruhnya masuk pada tatanan kehidupan seorang anak. Dengan sendirinya, ada fase-fase tertentu dimana anak harus menerima pendapat dari orang lain, tanpa dia diberi kesempatan untuk menolaknya. Atau pada sisi lain, dia harus melakukan sesuatu aktivitas padahal tidak didasari atas rasa kesadaran dalam dirinya. Selain itu, penelitian terdahulu juga menyimpulkan adanya korelasi antara usia dengan tingkat otonomi seseorang. Artinya usia akan berpengaruh pada tingkat otonomi. Kembali dengan setting budaya yang berbeda penelitian tersebut dapat direplikasi. Penelitian ini akan melihat korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonominya dalam menjalankan ibadah keagamaan. Perbedaan jenis kelamin pada penelitian terdahulu dianggap memiliki kontribusi dalam ketercapaian otonomi. Penelitian ini akan direplikasi dengan asumsi bahwa budaya yang berbeda akan memiliki peluang hasil yang berbeda. Dengan kerangka berpikir demikian, maka seluruh rangkaian persoalan yang diajukan dalam bab pendahuluan dihipotesiskan sebagai berikut: Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, maka hipotesis penelitian yang ingin diuji adalah hipotesis yang terkait dengan rumusan masalah nomor 2, nomor 3 dan nomor 4, yaitu: 1.a. Hipotesis Nihil: tidak ada perbedaan tingkat otonomi keagamaan siswa SMU UII ditinjau dari jenis kelaminnya. b. Hipotesis alternatifl: ada perbedaan tingkat otonomi keagamaan siswa SMU UII ditinjau dari jenis kelaminnya. 2.a. Hipotesis Nihil: tidak ada perbedaan tingkat otonomi keagamaan siswa SMU UII ditinjau dari asal SLTP siswa. b. Hipotesis alternatifl: ada perbedaan tingkat otonomi keagamaan siswa SMU UII ditinjau dari asal SLTP siswa. 3.a. Hipotesis Nihil: tidak ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII
LAPORAN/ M.IDRUS
13
b. Hipotesis alternatif: Ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah expost facto, dan eksploratorif. Expost facto dalam hal ini karena peneliti tidak memberikan satu perlakuan tertentu yang dapat mengubah perilaku responden yang diteliti. Adapun eksploratorif mengingat penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang tingkat otonomi siswa dalam praktek keagamaan, serta mencoba secara korelasional mengkaitkannya dengan faktor usia, dan komparasional dengan meninjau dari sisi jenis kelamin dan latar belakang pendidikan siswa saat di SLTP. LAPORAN/ M.IDRUS
14
B. Subyek Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMU UII, sampel akan diambil dengan model stratified proportional random sampling. Jumlah proporsi yang ditentukan adalah sebanyak 25 % dari populasi. Mengingat kelas III saat ini sedang dalam persiapan ujian akhir (EBTA/EBTANAS) pihak sekolah hanya mengijinkan untuk pengambilan data dilakukan pada siswa kelas I, dan II. Dengan pertimbangan jumlah responden yang dianggap dapat mewakili, maka jumlah responden ditetapkan secara quota sampling, yaitu sebanyak 100 orang. Jumlah ini lebih dari jumlah proporsi 25 % yang telah ditetapkan semula. Namun demikian dalam pelaksanaan analisis data ternyata ada 2 (dua) data yang cacat dan tidak mungkin dianalisis, sehingga ditetapkan ke-dua data tersebut tidak diikutsetakan dalam proses analisis selanjutnya. C. Tehnik Pengumpulan Data Data akan diambil dengan menggunakan tehnik angket, dan menggunakan angket yang dikembangkan dari konsep teoritik yang diajukan. Model angket menggunakan model pilihan dengan 3 alternatif. Alternatif pilihan didasarkan atas konsep tidak adanya otonomi dan adanya otonomi. Konsep ketida-adaan otonomi jika merujuk pada konsep teoritik yang diajukan mengacu pada model model sikap kepatuhan seorang hamba yang melaksanakan sesuatu atas adanya perintah, dan model pelaksanaan perintah ala pedagang yang melaksanakan sesuatu atas pamrih tertentu. Konsep otonomi jika merujuk pada konsep teoritik mengacu pada konsep kepatuhan sang arif. Model penskoran atas butir adalah, jika subyek menjawab pada pilihan pertama diberi skor 1, jika menjawab alternatif kedua diberi skor 2, sedangkan jika subyek menjawab pada alternatif ketiga diberi skor 3.. Nilai absolut tertinggi skor yang akan diperoleh sebesar 45, sedangkan nilai terendah sebesar 15. Penyusunan angket berdasar pada teoritik yang dideskripsikan pada bab II di muka, dan dibuat berdasar pada kisi-kisi berikut ini.
SUB VARIABEL Praktek ritual
Pengetahuan
LAPORAN/ M.IDRUS
Tabel 3. KISI-KISI ANGKET INDIKATOR DESKRIPTOR 1. Keinginan melaksanakan Satu perintah 2. Keingingan untuk menghindari larangan 3. Berhubungan dengan sesama
Dalam melaksanakan seluruh aktivitasnya subyek melaksanakannya lebih dikarenakan berasal dari dalam diri pribadi dan bukan atas paksaan berupa perintah, ataupun konsekuensi atas perintah tersebut
4. Menambah pengetahuan 5. Mengajarkan agama 15
Konsekuensi
6. Harapan atas pelaksanaan perintah dan larangan
D. Tehnik Analisis Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini akan digunakan tehnik statistik deskriptif untuk menganalisis rumusan masalah nomor 1, sedangkan rumusan masalah nomor 2 dan nomor 3 akan dilakukan uji inferensial dengan menggunakan tehnik t test, sedangkan untuk nomor 4 dilakukan dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson (Popham Popham, J.W. and Sirotnik, K.A. 1971).
BAB IV HASIL PENELITIAN
Seperti telah diungkap pada bagian metode penelitian, bahwa untuk menganalisis permasalahan yang diajukan dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu secara deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan untuk menjawab persoalan pertama, sedangkan analisis inferensial LAPORAN/ M.IDRUS
16
dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua, ketiga dan keempat. Gambaran lengkap tentang hasil analisis tersebut dapat disimak pada bagian berikut ini. A. Analisis Deskriptif Seperti telah diungkap dalam bab metodologi, bahwa untuk analisis data akan menggunakan bantuan kumputer dengan program SPSS. Dari hasil perhitungan diperoleh harga mean untuk skor otonomi dalam pelaksanaan ibadah sebesar 27,714. Sementara itu skor terendah yang diperoleh adalah 15, sedangkan skor tertinggi sebesar 42. Selain itu pengkatagorisasian otonomi dalam pelaksanaan ibadah dengan menggunakan 3 model yaitu (1) otonomi dengan model budak, dimana seseorang siswa menjalankan segala ritual agama (pelaksanaan ibadah) berdasarkan pada ketakutan-ketakutan seandainya ibadah tersebut tidak dilaksanakan (adanya ancaman); (2) otonomi model pedagang, yaitu seorang siswa menjalan ritual ibadah keagamaan karena mengharapkan adanya pahala, ataupun satu janji dari Allah SWT, (3) otonomi model sang arif, yaitu seorang siswa dalam menjalankan ibadahnya berdasarkan pada kesadaran bahwa segala aktivitas ibadah itu harus dilakukan karena rasa syukur atas segala nikmat yang telah diterimanya, ataupun sebagai rasa terima kasih atas karunia Allah SWT. Dengan model pengkatagorian tersebut ternyata mereka yang memiliki otonomi dengan model budak sebanyak 6 orang (6,1%), model pedagang sebanyak 59 orang (60,2%), dan mereka yang termasuk dalam kelompok arif sebanyak 33 orang (33,7%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan yang terjadi di SMU UII adalah dalam beribadah siswa cenderung melakukan suatu ritual ibadah karena adanya harapan untuk memperoleh pahala dari hasil jerih payah yang dilakukannya. Dalam hal ini mereka berharap atas semua yang telah dilakukannya akan mendapat satu posisi yang baik di alam nanti, demikianlah gambaran otonomi model pedagang yang selalu berpikir untung rugi dalam proses perniagaannya. Dari jumlah responden yang ada, mereka yang masuk dalam kelompok sang arif relatif lebih besar dari kelompok otonomi model budak. Seperti telah dipaparkan di muka, tahap ataupun golongan otonomi yang baik adalah mereka yang termasuk dalam kelompok sang arif. Meski demikian, proporsi yang ada dapat dianggap telah cukup baik, mengingat variasi latar belakang pendidikan sebelumnya yang cukup bervariasi. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini: Tabel 4. Katagori Otonomi Dalam Pelaksanaan Ibadah Siswa SMU UII KATAGORI OTONOMI MODEL BUDAK MODEL PEDAGANG MODEL SANG ARIF TOTAL (Sumber data Primer)
JUMLAH 6 59 33 98
PERSENTASE 6,1 60,2 33,7 100
Selanjutnya dengan menggunakan analisis crosstabs (tabulasi silang), pengelompokkan responden tentang model otonomi yang mereka miliki dapat LAPORAN/ M.IDRUS
17
dilihat dari sisi asal SLTP siswa yang bersangkutan, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Dari tabel 5 tersebut, ternyata mereka yang termasuk dalam katagori "sang arif" persentase tertinggi berasal dari kelompok pondok pesantren yaitu sebesar 37,5%, kelompok kedua berasal dari kelompok M.Ts sebesar 35,1% dan sisanya berasal dari kelompok SLTP Umum sebesar 32,89%. Adapun untuk kelompok pedagang --sebagai kelompok terbesar-didominasi oleh mereka yang berasal dari sekolah umum, sedangkan posisi kedua mereka yang berasal dari Madrasah Tsanawiyah dan yang ketiga dari kelompok pondok pesantren. Untuk katagori otonomi model budak yang terbanyak dari SLTP Umum dan kedua dari M.Ts, sedangkan dari pondok pesantren untuk katagori ini tidak ada. Secara lengkap tentang distribusi responden tersebut dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Katagori Otonomi Dalam Pelaksanaan Ibadah Siswa SMU UII Dilihat dari Asal SLTP Siswa yang Bersangkutan KATAGORI OTONOMI
ASAL SLTP UMUM
MODEL BUDAK MODEL PEDAGANG MODEL SANG ARIF TOTAL (Sumber data Primer)
5 46 25 76
M.Ts 1 8 5 14
Jumlah
PONPES 0 5 3 8
6 59 33 98
Selintas dari tabel 5 di atas terdapat satu perbedaan antara mereka yang berasal dari sekolah yang berbeda. Meskipun demikian hal ini belum dapat dinyatakan secara stastik ada perbedaan tingkat otonomi dalam pelaksanaan ibadah jika ditinjau dari latar belakang pendidikan awal (asal SLTP) yang bersangkutan. Untuk itu tampaknya perlu dilakukan uji secara statistik tentang ada atau tidaknya perbedaan tingkat otonomi ini jika ditinjau dari asal SLTP siswa. Pengujian tersebut akan dilakukan dengan menggunakan formula analisis varian dua jalur. Berikutnya data tentang otonomi dalam pelaksanaan ibadah dapat juga dilihat dari jenis kelamin siswa, secara lengkap dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Katagori Otonomi Dalam Pelaksanaan Ibadah Siswa SMU UII Dilihat dari Jenis Kelamin Siswa yang Bersangkutan KATAGORI OTONOMI MODEL BUDAK
LAPORAN/ M.IDRUS
Jenis Kelamin LELAKI 4
PEREMPUAN 2
Jumlah
6
18
MODEL PEDAGANG MODEL SANG ARIF TOTAL (Sumber data Primer)
36 20 60
23 13 38
59 33 98
Jika dilihat dari jenis kelamin tampak untuk katagori model otonomi "sang arif", kelompok perempuan secara persentase (meski jika dilihat angkat tampaknya kelompok lelaki yang lebih tinggi) menduduki posisi tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok lelaki, yaitu 34,21 berbanding 33,33. Seperti juga pada kelompok asal SLTP, perbedaan ini perlu diuji secara statistik apakah memang senyata ada perbedaan secara statistik ataukah tidak. Untuk kebutuhan itu uji secara statistik akan dilakukan dengan menggunakan formula uji t test. B. Uji Hipotesis Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dan hipotesis penelitian yang ingin diuji berikut ini akan dipaparkan hasil pengujian hipotesis untuk rumusan masalah nomor 2. Secara lengkap hipotesis yang ingin diuji adalah One.Hipotesis Nihil: tidak ada perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari jenis kelaminnya. Two.Hipotesis alternatifl: ada perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari jenis kelaminnya. Dengan menggunakan formula t test diperoleh harga sebagai berikut, dengan model pooled variance estimate harga t diperoleh sebesar -1,29, sedangkan dengan menggunakan model Separate Variance Estimate diperoleh harga t sebesar -1,31. Kedua harga t tersebut baik dengan menggunakan pooled variance estimate atau dengan menggunakan model Separate Variance Estimate tidak signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Dengan begitu hipotesis nihil yang diajukan diterima dan hipotesis alternatif ditolak, artinya tidak ada perbedaan tingkat otonomi siswa dalam melaksankan ibadah keagamaan ditinjau dari jenis kelamin siswa SMU. Hasil ini secara tidak langsung menjelaskan hasil analisis terdahulu yang menggunakan crosstab, yaitu adanya perbedaan tingkat otonomi siswa dalam melaksanakan kegiatan ibadah keagamaan karena adanya perbedaan dalam sampel, dan bukan perbedaan secara statistik. 2. Uji Hipotesis Kedua Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini menitikberatkan pada asal sekolah siswa sebelumnya. Dengan asumsi bahwa pola berpikir seseorang akan terbentuk di lokasi mana dia tumbuh dan berkembang. Dengan begitu hipotesis yang ingin diuji adalah a. Hipotesis Nihil: tidak ada perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari asal SLTP siswa. b. Hipotesis alternatif: ada perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan ditinjau dari asal SLTP siswa.
LAPORAN/ M.IDRUS
19
Untuk hipotesis kedua ini ingin mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan jika ditinjau dari asal SLTP siswa yang bersangkutan. Untuk menguji hipotesis ini digunakan tehnik analisis varian dua jalur. Dari hasil analisis ternyata diperoleh harga main effect sebesar 1,556, dan ternyata harga ini tidak signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Mengingat hasil interaksi tersebut, maka uji hipotesis tidak dilanjutkan dengan antar jalur. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika ditinjau dari latar belakang (asal SLTP) pendidikan siswa sebelumnya, ternyata tidak ada perbedaan tingkat otonomi siswa dalam melaksanakan kegiatan ibadah keagamaan. Hasil ini secara tidak langsung menerima hipotesis nihil yang diajukan dan menolak hipotesis alternatif. 3. Uji Hipotesis ke-tiga a. Hipotesis Nihil: tidak ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan b. Hipotesis alternatif: Ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan Untuk menganalisis hipotesis ke-tiga ini digunakan formula korelasi product moment dari Pearson. Dari hasil analisis diperoleh harga korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan yaitu sebesar 0.0060. Dari hasil tersebut maka hipotesis nihil yang berbunyi tidak ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan diterima, sedangkan hipotesis alternatif yang berbunyi tidak tidak ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan, ditolak. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu bahwa usia tidak berkorelasi secara signifikan dengan dengan tingkat otonomi siswa SMU UII dalam melaksanakan ibadah keagamaan. Artinya tidak dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi usia seseorang akan semakin baik tingkat otonomi dalam melaksanakan ibadah keagamaan, demikian juga sebaliknya. Tentu saja batasan ini pada usia mereka yang telah dianggap layak untuk melaksanakan ibadah, yang dalam Islam diistilahkan dengan akil baligh. D. Penafsiran Hasil Penelitian Dari paparan hasil penelitian ada beberapa hal yang patut diulas untuk mempertegas hasil penelitian. Pertama, secara katagoris seluruh responden dapat diposisikan pada katagoris yang telah dibuat, yaitu model otonomi budak, model otonomi pedagang, dan otonomi sang arif. Kecenderungan yang ada, ternyata sekitar 59 orang (60,2 %) siswa SMU UII yang dijadikan responden dalam penelitian ini memiliki otonomi dengan model pedagang. Seperti dipahami model otonomi pedagang lebih berorientasi akan dampak keuntungan jika peribadatan tersebut dilaksanakan, atau kerugian (baik berupa ancaman siksa) jika ibadah tersebut tidak dijalaninya. Kecenderungan ini mungkin menjadi kecenderungan mayoritas di banyak populasi, sebab pada dasarnya semua orang menginginkan hidup bahagia baik di dunia maupun di LAPORAN/ M.IDRUS
20
akhirat. Kondisi ini akan menjadikan pola pikir mereka untuk melakukan atau tidak melakukan satu perbuatan, tentu saja dengan pertimbangan perbuatan tersebut berdampak bagi dirinya (baik menguntungkan ataupun tidak menguntungkan). Jika kondisi ini ditarik lebih jauh pada ajaran dasar yang diterima oleh setiap pemeluk agama, tampaknya model pengajaran pendidikan keagamaan memang mengarahkan siswa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya janji baik berupa ancaman ataupun pahala. Meski demikian, hal ini memang mengisyaratkan bahwa siswa belum sampai pada tingkat otonomi dalam pelaksanaan peribadatannya. Selain itu, jika dilihat dari sisi katagoris mereka yang menduduki posisi otonomi dengan model budak sebanyak 6 orang (6,1%). Satu jumlah yang relatif kecil, jika dibandingkan dengan kecenderungan yang terjadi. Hal ini menunjukkan hanya ada sekitar 6,1 % yang melaksanakan ibadah dengan keterpaksaan. Tentunya hasil ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa aktivitas keagamaan yang dilaksanakan di lokasi penelitian --hingga penelitian ini dilaksanakan-- dapat dikatagorikan cukup baik. Meski hal tersebut perlu penelitian lanjutan, namun setidaknya hasil ini mengindikasikan mereka yang beribadah karena terpaksa hanya sedikit. Hal lain yang mendukung sinyalemen di atas adalah, hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 33 orang (33,7%) termasuk dalam kelompok "sang arif". Kelompok ini adalah mereka yang memiliki kesadaran bahwa ibadah tidak selamanya harus dikaitkan dengan persoalan pahala ataupun dosa manakala hal itu tidak dilakukan, namun sebagai refleksi kesadaran bahwa sebagai manusia dirinya wajib berterima kasih atas segala hal yang telah diberikan Allah kepada mereka. Hal ini cukup menggembirakan jika dikaitkan dengan kondisi pembinaan generasi muda saat ini, yang harus diakui mengalami kesulitan dengan semakin maraknya peredaran obat-obatan. Adanya kesadaran peribadahan tersebut akan membawa dampak positif atas model pembinaan yang sedang dilaksanakan. Kondisi-kondisi di atas secara tidak langsung mengisyaratkan betapa model pembinaan keagamaan yang diterapkan di SMU UII saat ini cukup kondusif untuk pembentukan sikap mental dan otonomi yang baik, sehingga perlu dipertahankan dan untuk selanjutnya ditingkatkan. Meski juga harus diakui bahwa masih perlu dipertanyakan kontribusi langsung model pembinaan yang diterapkan dengan tingkat otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamaan, dan tentu saja hal ini perlu dilakukan penelitian lanjutan. Dalam deskriptif tampak ada perbedaan tingkat otonomi siswa SMU UII jika ditinjau dari sisi jenis kelamin dan latar belakang pendidikan mereka sebelumnya (asal SLTP). Sebagaimana tercantum dalam tabel 5 di muka, dari asal SLTP ternyata mereka yang berasal dari pondok pesantren secara persentase menduduki posisi tertinggi dalam katagori otonomi sang arif, yaitu sebesar 37,5%, kelompok kedua berasal dari kelompok M.Ts sebesar 35,1% dan sisanya berasal dari kelompok SLTP Umum sebesar 32,89%. Selintas paradigma yang dapat dibangun adalah mereka yang berasal dari pondok pesantren memang telah memahami beberapa hal dasar mengenai peribadatan termasuk di dalamnya mengapa mereka harus melakukannya. LAPORAN/ M.IDRUS
21
Artinya jika secara katagoris kelompok ini tidak ada yang memiliki otonomi model budak memang sudah seharusnya, mengingat pengertian dasar peribadatan telah mereka terima sejak mereka masuk pondok pesantren. Tentunya hal itu berbeda dengan mereka yang berasal dari Madrasan Tsanawiyah sekalipun, apalagi mereka yang berasal dari SLTP umum. Perbedaan tersebut menjadi logis tatkala latar belakang tersebut terkait dengan pemahaman keagamaan mereka, sehingga secara logis perbedaan itu wajar. Meski demikian, hal tersebut perlu pengujian agar perbedaan itu memang perbedaan senyatanya dan bukan karena perbedaan sampel semata. Untuk menguji hipotesis ini digunakan tehnik analisis varian dua jalur. Dari hasil analisis ternyata diperoleh harga main effect sebesar 1,556, dan ternyata harga ini tidak signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Dengan begitu hipotesis yang diajukan tidak terbukti. Artinya, jika pada paparan deskriftif tampak ada perbedaan tingkat otonomi ditinjau dari latar belakang pendidikan mereka di SLTP-nya, maka tampaknya secara statistik tidak terjadi hal itu. Dengan begitu, dapat dimaknai darimanapun asalnya sekolah siswa (sekolahnya di SLTP) tidak mempengaruhi tingkat otonomi meraka dalam beribadah. Jika dalam kajian pendidikan ada sinyalemen bahwa miliu akan berpengaruh terhadap perkembangan seseorang, tampaknya pengaruh tersebut tidak general dan hanya bersifat individual. Selain hal di atas, penelitian ini juga ingin mengungkap tentang ada tidaknya tingkat otonomi siswa dalam beribadah keagamaan jika ditinjau dari jenis kelamin respondennya. Pada paparan penelitian terdahulu ada peneliti yang tampaknya melihat ada perbedaan persoalan keagamaan yang dirasakan remaja putra dengan remaja putri, setidaknya penelitian yang dilakukan Maligy menyatakan yang demikian. Hasil perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini ternyata tidak mengindikasikan hal itu. Seperti diajukan dalam bab terdahulu, salah satu hipotesis yang ingin diuji adalah ada tidaknya perbedaan tingkat otonomi keagamaan jika ditinjau dari jenis kelamin siswa. Paparan secara deskriptif tampaknya cenderung menyatakan ada perbedaan tingkat otonomi jika ditinjau dari jenis kelamin siswa. Untuk itu pengujian secara statistik dilakukan dengan menggunakan formula t test. Dari hasil perhitungan dengan formula tersebut baik dengan menggunakan pooled model ataupun separate model, ternyata angka-angka yang dihasilkan di bawah harga tabel. Artinya adalah adanya hipotesis bahwa ada perbedaan tingkat otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamaan tidak terbukti, sehingga penelitian ini menolak hipotesis alternatif yang diajukan. Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa persoalan otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamaan tidak tergantung pada jenis kelamin siswa. Tentu saja secara psikologis dapat dibuktikan bahwa sebenarnya tingkat perkembangan ataupun kematangan antara lelaki dan perempuan relatif sama, adanya perbedaan di antara mereka tampaknya lebih bersifat individual, dan tentu saja hal ini tidak dapat digeneralisasikan. Meski juga harus diakui bahwa dalam hal-hal tertentu terjadi persoalan yang dirasakan perempuan dan hal itu berbeda dengan perasan yang dirasakan kaum lelaki, namun tampaknya dalam hal otonomi kedua kelompok responden LAPORAN/ M.IDRUS
22
memiliki kecenderungan untuk menerima ataupun menolak sesuatu secara logis dalam tataran yang sama. Artinya, persoalan otonomi dalam melaksanakan peribadatan bukan persoalan yang terkait dengan jenis kelamin, tidak dipersoalkan seseorang itu perempuan ataupun lelaki tatkala dia harus melaksanakan ibadah keagamaan. Implikasi dari hal tersebut adalah, tidak ada batasan bahwa hanya lelaki ataupun hanya perempuan yang boleh melakukan ataupun tidak melakukan dengan rasional tertentu. Persoalan otonomi dalam melaksanakan ibadah tampaknya lebih dari itu, melampaui batas fisik, sehingga yang dibicarakan adalah konteks di luar fisik, tetapi rasionalitas dan penerimaan seseorang atas satu perintah ataupun keingingan untuk tidak melaksanakan yang juga didasarkan atas rasionalitas mereka. Hasil lain yang diperoleh dalam penelitian ini adalah, tidak terbuktinya hipotesis ketiga yang diajukan. Seperti diungkap dalam bagian terdahulu, hipotesis terakhir yang diajukan adalah menguji ada tidaknya korelasi antara usia responden dengan tingkat otonomi siswa dalam melaksanakan ibadah keagamaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kohlberg terungkap bahwa tahap otonomi moral dalam diri seseorang dapat tercapai pada usia 16 tahun. Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menegaskan adanya hubungan antara usia seseorang dengan tingkat otonomi moral yang dimiliki oleh seseorang. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Maligy terungkap bahwa semakin tinggi usia seorang remaja, maka semakin baik pula persepsinya tentang Tuhan. Penelitian maligy ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kohlber meski dengan setting yang berbeda. Selanjutnya Wahyono mengungkap dalam penelitiannya bahwa tingkat penalaran moral responden tempat lokasi penelitiannya tinggi. Penelitian ini juga masih mendukung pernyataan sebelumnya, bahwa ada keterkaitan langsung ataupun tidak langsung antara usia seseorang dengan tingkat otonomi –dalam hal apa saja--yang dimilikinya. Hasil yang berbeda dilakukan oleh Idrus dalam penelitiannya yang cenderung menyatakan bahwa responden yang diasumsikan memiliki tingkat otonomi moral yang baik ternyata tidak terbukti. Penelitian tersebut secara tidak langsung mementahkan hasil penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitiannya tersebut, Idrus menggunakan pendekatan secara kualitatif yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Selain itu responden yang diambil juga relatif cukup dewasa, yaitu mahasiswa. Asumsi yang dibangun Idrus dalam penelitiannya adalah, usia mahasiswa adalah di atas rata-rata usia yang dihipotesiskan Kohlberg sebagai batasan usia yang telah mencapai tingkat otonomi yang tinggi, dengan mengambil responden mahasiswa secara tidak langsung batasan usia mereka masuk pada kelompok usia yang memiliki tingkat otonomi dalam persoalan perkembangan moral. Adanya variasi hasil ini membuka peluang untuk dilakukan repilikasi, dan hasil penelitian replikasi ini tampaknya mendukung penelitian yang terakhir. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi, diperoleh harga LAPORAN/ M.IDRUS
23
r 0,0060. Harga tersebut tampaknya jauh di bawah batas penerimaan r pada taraf signifikansi 5 %. Dengan begitu penelitian ini menolak hipotesis alternatif yang diajukan dan menerima hipotesis nihil yang ada. Dari hasil penelitian ini secara nyata dapat dideskripsikan bahwa perkembangan otonomi keagamaan yang dimiliki oleh seseorang tidak tergantung pada usia yang berangkutan. Dengan begitu adanya asumsi yang menyatakan bahwa semakin tinggi usia seseorang akan semakin baik tingkat otonomi keagamaan dapat saja terbukti dengan banyak kondisi yang melatarbelakanginya. Pada kenyataannyanya dapat dijumpai pelbagai kasus penyimpangan terhadap pelaksanaan ibadah yang dilakukan justru oleh mereka yang memiliki usia di atas usia batas yang telah disepakati oleh Kohlberg. Mungkin saja hal itu terjadi, jika pada kasus-kasus khusus yang tidak terkait dengan agama secara langsung, dan obyek kajian Kohlberg tentang pertumbuhan moral memungkinkan menerima asumsi yang dibangun tersebut. Namun untuk persoalan ibadah keagamaan, otonomi tidaknya seseorang tergantung banyak faktor, dan itu begitu relatif. Senyatanya penelitian ini membuktikan bahwa tidak ada hbubungan yang signifikan antara usia seseorang dengan tingkat otonomi yang dimilikinya. Dengan begitu semakin tinggi usia seseorang tidak menjamin yang bersangkutan memiliki otonomi dalam pelaksanaan ibadah keagamaannya. Sebaliknya mereka yang berusia muda tidak berarti tidak memiliki otonomi yang baik dalam pelaksanaan ibadah.
BAB V PENUTUP
Pada bagian penutup ini akan dipaparkan simpulan dari hasil pembahasan yang dilakukan pada bagian terdahulu, diskusi sebagai bahan kajian dari penelitian ini dan akhirnya diajukan saran sebagai hasil diskusi. A. Simpulan
LAPORAN/ M.IDRUS
24
1. Secara katagoris, tingkat otonomi seseorang dalam melaksanakan ibadah keagamaan dapat dibagi menjadi 3, yaitu otonomi dengan model "budak", otonomi dengan model "pedagang", dan otonomi dengan model "sang arif". 2. Dari jumlah responden yang ada, ternyata otonomi dengan model "budak" untuk siswa SMU UII sebanyak 6 orang (6,1%), otonomi dengan model "pedagang" sebanyak 59 orang (60,2 %) dan sisanya sebanyak 33 orang (33,7%) termasuk dalam kelompok "sang arif". 3. Dengan menggunakan formula t test pada model pooled variance estimate harga t diperoleh sebesar -1,29, sedangkan dengan menggunakan model Separate Variance Estimate diperoleh harga t sebesar -1,31. Kedua harga t tersebut tidak signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Dengan begitu penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara siswa perempuan dan siswa lelaki tentang otonomi mereka dalam melaksanakan ibadah keagamaan. 4. Dari hasil analisis varian dua jalur diperoleh harga main effect sebesar 1,556, harga ini tidak signifikan pada taraf signifikansi 5 %. Dengan begitu hipotesis yang menyatakan ada perbedaan tingkat otonomi siswa dalam pelaksanaan ibadah keagamaan ditinjau dari latarbelakang sekolah terdahulu (SLTP) ditolak. Artinya, tidak ada perbedaan tingkat otonomi dalam melaksanakan ibadah keagamaan di antara siswa SMU UII dengan latar belakang pendidikan sebelumnya yang berbeda. 5. Hasil perhitungan korelasi diperoleh harga r sebesar 0,0060, seperti juga harga t ataupun F pada analisis varian dua jalur, harga r ini juga tidak signifikan, sehingga penelitian ini menerima hipotesis nihil dan menolak hipotesis alternatif. Artinya tidak ada korelasi antara usia dengan tingkat otonomi dalam melaksanakan ibadah keagamaan di antara siswa SMU UII. B. Diskusi Dari simpulan di atas, ada beberapa hal yang dapat didiskusi ulang, pertama tentang penolakan hasil penelitian ini pada seluruh hipotesis yang diajukan, kedua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang menyebabkan penolakan tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) tidak ada perbedaan otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamaannya ditinjau dari jenis kelamin siswa; (2) tidak ada perbedaan otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamannya ditijau dari latar belakang SLTP-nya; (3) tidak ada korelasi antara usia siswa dengan tingkat otonomi siswa dalam menjalankan ibadah keagamaannya. Terkait dengan yang pertama, harus diakui bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat. Jika selama ini ada perbedaan gender, maka sebenarnya hal itu hasil rekaya sosial. Artinya, secara esensi perbedaan gender sebaagai perbedaan jenis kelamin hanya pada taraf alamiah semata, misalnya pada kodrat struktur tubuh, fungsi kewanitaan seperti menstruasi, hamil dan menyusui, yang lainnya relatif sama. Tampaknya konstruksi perbedaan gender sudah menjadi isu yang umum di masyarakat, bahwa antara lelaki dan perempuan berbeda dalam banyak hal --di luar konstruksi alamiah di atas--. Penelitian yang diajukan oleh Kohlberg banyak dikritik oleh para ahli sebagai bias gender, karena LAPORAN/ M.IDRUS
25
hanya dilakukan pada kalangan lelaki saja, dan itupun dilakukan pada kelompok remaja Amerika dari kalangan atas, sehingga banyak pakar psikolog yang mengkritiknya. Sementara itu penelitian Maligy dengan setting budaya Mesir telah terpoluasi dengan bias gender, mengingat model pendidikan yang dilaksanakan di Mesir tidak memberi peluang kepada anak perempuan untuk menikmatinya secara baik, selain itu model budaya pada masyarakat Mesir mengekang gerak anak wainta dibanding gerak anak lelaki. Dengan begitu jika hasil penelitian Maligy memposisikan anak lelaki lebih baik dari anak perempuan dalam hal pemahaman keagamaan hal tersebut mungkin saja terjadi, mengingat setting lokasi penelitiaannya memang telah mengarah pada hal yang demikian. Semenatara itu, penelitian yang penulis lakukan relatif memiliki kesamaan peran gender, artinya pada situasi sekolah di SMU UII tidak ada pembedaan perlakuan dari pihak sekolah kepada anak lelaki ataupun anak perempuan, mereka semua diperlakukan tanpa dibedakan dari sisi jenis kelamin. Adanya peluang berkembang ini mungkin menyebabkan variasi dalam otonomi mereka dalam hal beribadah menjadi begitu variatif. Adanya kesempatan yang sama dalam menjalankan ibadah ini memungkinkan mereka memiliki visi yang sama dalam hal keagamaan, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam tingkat otonomi mereka dalam menjalankan ibadah keagamaan. Hal yang menarik untuk dilakukan kajian lanjut adalah, apakah perlakuan yang diberikan sekolah kepada siswa dalam pelayanan pendidikan keagamaan memberi kontribusi terhadap tingkat otonomi mereka. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan otonomi siswa dalam pelaksanaan ibadah keagamaan ditinjau dari latar belakang pendidikan mereka sebelumnay. Asumsi yang dibangun untuk memperkuat simpulan ini adalah, meski mereka berasal dari lingkungan pendidikan awal yang berbeda, tetapi saat mereka di SMU UII, maka terjadi penyeragaman dalam pelayanan pendidikan dan suasana sekolah. Dengan begitu jika dalam teori pendidikan disebutkan bahwa lingkungan memberi kontribusi terhadap pembentukan sikap seseorang, maka hasil penelitian ini tidak menyimpang dari teori tersebut. Tentu saja yang dimaksud dalam teori di atas bukanlah lingkungan awal saja yang memberi kontribusi, tetapi juga lingkungan saat ini di mana mereka berada. Hipotesis lain yang ditolak adalah tentang tidak adanya korelasi antara usia dengan tingkat otonomi siswa dalam pelaksanaan ibadah keagamaan. Jika pada penelitian Kohlberg ataupun Maligy tampak begitu kuat adanya indikasi korelasi usia dengan tingkat otonomi ataupun pemahaman keagaman, sedangkan dalam penelitian ini menolak adanya korelasi tersebut. Satu hal yang harus dipahami adalah penelitian yang dilakukan Kohlberg ataupun Maligy dalam setting budaya yang berbeda dengan yang dilakukan saat ini, sehingga adanya ketidak samaan dalam penarikan kesimpulan menjadi mungkin. Di luar dari hal di atas, beberapa hal lain yang juga perlu mendapat catatan adalah, perbedaan budaya dari responden yang berbeda, model pola LAPORAN/ M.IDRUS
26
pengasuhan awal yang berbeda, iklim demokrasi yang berbeda, agama yang berbeda, dan banyak hal lain yang berbeda menjadi faktor-faktor lain yang mungkin menjadi penyebab berbedanya penarikan kesimpulan penelitian ini dibanding penelitian terdahulu. C. Saran Dari kajian di atas, tampaknya ada beberapa hal yang akan diajukan sebagai saran terutama bagi penelitian lanjutan. Untuk itu (1) bagi penelitian lanjutan tema otonomi ini akan menarik jika dibandingkan antar agama yang berbeda; (2) keterkaitan antara beberapa faktor yang didiskusikan di muka dengan otonomi siswa dalam pelaksanaan ibadah keagamaan akan menjadi menarik jika dilakukan satu penelitian lanjutan; (3) replikasi penelitian dimungkinkan dengan melihat dari sisi latar belakang pendidikan, namun diperluas lagi dalam hal subyek penelitiannya.( M.Idrus 25052000 )
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahannya. (1994). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Basyir, Ahmad Azhar., (1993). Refleksi Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Bandung: Mizan. Ensiklopedi Hukum Islam. 1997. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Idrus, Muhammad. (1998). Otonomi Moral Keagamaan Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UII. Tesis pada PPS IKIP Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Kohlberg, Lawrence. (1976). Moral Stages and Moralization: The CognitiveDevelopmental Approach. dalam Moral Development and Behavior: Theory, research, and social issues. Thomas Lickona, Editor. Halaman 31-53; New York: Holt, Rinehart ans Winston. Kohlberg, Lawrence. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral. John de Santo dan Agus Cremers SVD (Penterjemah). Yogyakarta: Kanisius. Maarif, A. Syafii. (1995). Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Madjid, Nurcholish, (1994). Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina. Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI Press. Nizar, Hayati. (1992). Pemahaman Nilai-nilai Keagamaan Oleh Remaja di Sumatera Barat. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana dan Pendidikan Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Popham, J.W. and Sirotnik, K.A. (1971). Education Statistik : Use and Interpretation. New York: Harper & Row Publisher. Shihab, M. Quraish. (1994). Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan.
LAPORAN/ M.IDRUS
27
Solomon, Robert C. (1984). Etika Suatu Pengantar. Terjemahan R. Andre Karokaro. Jakarta: Erlangga. Stark, R. dan C.Y Glock. (1988). Dimensi-dimensi Keberagamaan, dalam Agama: Dalam analisa dan intpretasi sosiologis. Roland Robertson, ed. Penerjemah Ahmad Fediyani Saifudin. Hal 291-302. Jakarta: Rajawali Press. Tjahyadi, Lili S.P. (1991). Hukum Moral, ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius.
LAMPIRAN HASIL ANALISIS UJI BEDA HIPOTESIS 1 (RUMUSAN MASALAH 2) Independent samples of X3 Group 1: X3 EQ 1
Jenis kelamin
Group 2: X3 EQ 2
t-test for: X4 Otonomi Ibadah Number Standard Standard of Cases Mean Deviation Error Group 1 60 2.2167 .585 .076 Group 2 38 2.3684 .541 .088
Pooled Variance Estimate F 2-Tail t Degrees of Value Prob. Value Freedom 1.17 .622
-1.29
96
Separate Variance Estimate
2-Tail t Degrees of Prob. Value Freedom .201 -1.31
83.36
2-Tail Prob. .194
UJI BEDA HIPOTESIS 2 (RUMUSAN MASALAH 3) *** ANALYSIS OF VARIANCE *** X4 Otonomi Ibadah BY X2 Asal SLTP
Source of Variation Main Effects X2 Explained Residual
Sum of Squares 1.001 1.001 1.001 30.560
LAPORAN/ M.IDRUS
DF 2 2 2 95
Mean Square
Signif F of F
.501 1.556 .216 .501 1.556 .216 .501 1.556 .216 .322
28
Total
31.561
97
.325
UJI HIPOTESIS 3 (RUMUSAN MASALAH 4) Correlations: X1
X4
X1
1.0000 ( 98) P= .
.0060 ( 98) P= .953
X4
.0060 ( 98) P= .953
1.0000 ( 98) P= .
(Coefficient / (Cases) / 2-tailed Significance) " . " is printed if a coefficient cannot be computed ------------------------------------------------------------------------------98 Cases were processed 0 Cases ( .0 PCT) were missing.
LAPORAN/ M.IDRUS
29