LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II BLOK ECCE 1
Tutor Pembimbing: dr. Nasid Abdullah
Kelompok III Khoirul Anam
G1A009003
Lucky Mariam
G1A009005
Dera fakhrunnisa
G1A009020
Prasastie Gita W
G1A009023
Bagus Sanjaya H
G1A009033
Sukma Setya Nurjati
G1A009040
Amrina A F
G1A009078
Herlinda Yudi Saputri
G1A009080
Arya Yunan Permaidi
G1A009113
Heriyanto Edy I
G1A009131
Anggia Puspitasari
G1A008058
DEPATEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO
2011
BAB I PENDAHULUAN
Informasi 1
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun bernama Kedik datang bersama ibunya untuk kunjungan pertama kali ke dokter keluarga (DK) untuk memeriksakan keluhan gatal pada sela-sela jari kedua tangan dan kaki sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan dirasakan sepanjang hari, semakin berat dan hebat pada malam hari, sehingga Kedik sering tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasa gatal menjalar hingga telapak tangan, siku, ketiak dan selangkangan. Kedik sering mengaruk bagian-bagian tubuh yang gatal hingga luka dan mengeluarkan cairan. Belum ada riwayat pengobatan yang dilakukan untuk keluhan ini. Ia merasa khawatir karena hampir seluruh keluarganya menderita keluhan yang sama.
Informasi 2
Riwayat Medis Kedik tidak pernah menderita penyakit gatal seperti ini sebelumnya. Kedik mempunyai riwayat sesak nafas kumat-kumatan sejak 6 tahun yang lalu. Sesak nafas kumat jika terlalu lelah dan terkena debu. Sesak nafas disertai bunyi “ngik-ngik’, batuk dengan dahak kental, dan kadang hingga mengeluarkan banyak keringat. Keluhan akan segera membaik apabila berobat ke puskesmas dan “diasap”. Pada awalnya, penyakit sesak ini sangat jarang kumat, mungkin hanya sekitar 2-4 kali per tahun. Tetapi dalam 1 tahun terakhir sesak kumat 1 hingga 2 kali sebulan. Selain sesak, tidak ada riwayat yang signifikan/penting. Jika sakit panas, pilek atau diare, Kedik selalu dibawa ke puskesmas dengan fasilitas Jamkesmas dan selalu sembuh dalam beberapa hari. Frekuensi penyakit tersebut jarang, mungkin hanya 1-2 kali per tahun. Kedik tidak pernah dirawat di RS, tidak pernah dioperasi dan tidak pernah mengalami kecelakaan.
Riwayat Keluarga Kakak (laki-laki) dan kedua adik kedik (perempuan dan laki-laki) mempunyai keluhan yang sama, yaitu gatal-gatal di telapak tangan dan kaki. Keluhan yang sama pada ayah dan ibunya disangkal. Ibu dan adik bungsi kedik mempunyai riwayat alergi ikan. Jika makan ikan, mata terasa gatal dan bengkak serta timbul bentol-bentol yang terasa gatal di seluruh tubuh. Riwayat medis dari keluarga ayah tidak cukup banyak dan signifikan. Kakek dan nenek Kedik masih hidup dan tidak diketahui memiliki riwayat penyakit tertentu. Ayah kedik adalah anak keempat dari 5 bersaudara. Kakak pertama (laki-laki) diketahui menderita penyakit asam urat. Sementara kedua kakaknya yang lain (kedua perempuan) tidak diketahui memiliki penyakit tertentu. Begitu juga dengan adik (laki-laki), tidak memiliki riwayat penyakit tertentu. Riwayat medis keluarga ibu cukup signifikan. Kakek kedik menderita penyakit darah tinggi. Sedangkan nenek kedik mempunyai riwayat yang sama dengan ibu kedik, yaitu alergi
1
ikan. Ibu kedik adalah anak pertama dari 6 bersaudara (semua adiknya perempuan). Adik ketiga dan keempat mempunyai riwayat asma.
Riwayat Sosial Ekonomi Kedik adalah seorang pelajar kelas 3 SD di sebuah SD negeri. Bersama kakaknya yang berusia 11 tahun, kadang-kadang Kedik bekerja menyemir sepatu di stasiun. Di samping sekolah dan bekerja, Kedik masih dapat bermain bersama teman-temannya di bantaran sungai. Ayah kedik adalah lulusan SD yang bekerja sebagai tukang becak, sedangkan ibunya tidak lulus SD yang bekerja sebagai tukang cuci. Penghasilan keluarga tidak menentu, rata-rata 700 ribu hingga 1 juta rupiah per bulannya Kedik bersama keluarganya tinggal di sebuah rumah tidak permanen di bantaran sungai banjaran. Luas rumah 4 x 6 m2 yang terdiri atas 2 kamar tidur, ruang keluarga dan dapur. Sementara untuk keperluan MCK, keluarga kedik memanfaatkan WC umum di sungai. Rumah menyerupai rumah panggung dengan lantai kayu, dinding kayu dan anyaman bambu serta atap seng. Sirkulasi udara kurang baik karena jendela jarang dibuka. Daerah tempat tinggal kedik merupakan daerah padat penduduk dengan pengelolaan sampah dan limbah yangkurang baik. Tidak ada hewan peliharaan atau tanaman di lingkungan rumah. Meskipun sering hanya
berlauk
kerupuk
dan sayuran saja, kedik
selalu
membiasakan makan bersama. Makan selalu menggunakan tangan dan mereka tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Mereka mempunyai kebiasaan mandi pagi dan sore hari dengan menggunakan 2 handuk bersama-sama yang dicuci 1 bulan sekali. Tidur dengan kasur yang tidak pernah dijemur. Sprei dicuci sebulan sekali. Kegiatan peribadatan juga dilakukan secara rutin meskipun tidak ada bimbingan dari pemuka agama. Kedik mempunyai hubungan yang baik dan dekat dengan orang tuanya. Setiap permasalahan dapat dihadapi bersama-sama dan selama ini tidak ada masalah serius yang dapat mengguncang ketentraman keluarga. APGAR Score 8. Keluarganya juga mempunyai hubungan baik dengan masyarakat di lingkungan sekitar dengan senantiasamengikuti kegiatan perkumpulan kampung.
Review of System Kedik mengalami gatal-gatal di sela-sela jari tangan dan kaki, pergelangan tangan, siku, ketiak dan selangkangan. Tidak ada keluhan demam, pusing, batuk/pilek, sakit perut, gangguan BAB dan BAK. Kedik juga tidak mengalami perubahan pola makan maupun berat badan. Riwayatsesak berulang (+). Meskipun mengalami kesulitan ekonomi, Kedik menyangkal adanya stress emosional atau ketidakpuasan dalam keluarga
2
BAB II PEMBAHASAN
I. Klarifikasi Istilah Tidak ada II. Batasan Masalah 1. Identitas
: Kedik, laki-laki, 9 tahun.
2. Keluhan utama
: Gatal pada sela-sela jari kedua tangan
3. Onset
: 1 minggu yang lalu
4. Lokasi
: sela-sela jari dan tangan
5. Radiasi
: telapak tangan, siku, ketiak dan selangkangan
6. Kronologis
: Rasa gatal menjalar hingga telapak tangan, siku, ketiak dan selangkangan. Kedik sering mengaruk bagian-bagian tubuh yang gatal hingga luka dan mengeluarkan cairan
7. Kualitas
: menyebabkan tidak bisa tidur dengan nyenyak
8. Kuantitas
: Keluhan dirasakan sepanjang hari, semakin berat dan hebat pada malam hari
9.
Faktor memperberat
: Malam hari, digaruk menyebabkan luka dan mengeluarkan cairan.
10. RPK
: seluruh keluarganya menderita keluhan yang sama.
11. RPD
: Tidak adan
III. Analisis Masalah 1. Buatlah diagnostik holistik pada kasus tersebut 2. Jelaskan mengenai dinamika keluarga 3. Jelaskan mengenai diagnosis kerja 4. Patogenesis dan patofisiologi 5. Penanganan komprehensif
IV. Pembahasan Masalah 1. Diagnosis Holistik Berdasarkan info 1 dan 2: a.
Aspek pertama (Personal) 1) Alasan kedatangan kedik (reason for encounter) adalah keluhan gatal pada sela-sela jari kedua tangan dan kaki 2) Keluhan Penyerta adalah gatal menjalar hingga telapak tangan, siku, ketiak dan selangkangan dan luka dan mengeluarkan cairan karena sering mengaruk bagian-bagian tubuh yang gatal. 3) Concern (perhatian pasien) adalah Kedik sering tidak bisa tidur dengan nyenyak karena gatal semakin berat dan hebat pada malam hari 4) Expectation atau harapan pasien adalah berharap kedik dan keluarganya sembuh dari keluhan tersebut sehingga tidak gatal lagi dan bisa tidur dengan nyenyak.
3
5) Kecemasan yang ada pada pasien (Anxiety) adalah merasa khawatir karena hampir seluruh keluarganya menderita keluhan yang sama.
b. Aspek kedua (Klinis) 1) Diffenrential Diagnostic: a) Skabies Dari hasil anamnesis terdapat gatal pada sela-sela jari kedua tangan dan kaki dan menjalar hingga telapak tangan, siku, ketiak dan selangkangan. Dan semua anggota keluarga menderita keluhan yang sama, ini merupakan salah satu tanda dari 4 tanda kardinal dari penyakit skabies yaitu penyakit ini menyerang manusia secara kelompok.
Skabies merupakan penyakit yang banyak ditemukan opada daerah-daerah yang berstatus ekonomi rendah atau menengah ke bawah dengan kualitas higienisasi pribadi yang jelek, tingkat pendidikan yang rendah dan predominant pada daerah-daerah padat penduduk . hal ini dapat dipahami bahwa rute pemajanan utama dari penyakit ini adalah melewati kontak jarak dekat antara manusia yang terkena ke manusia lainnya (Handoko, 2008).
b) Atopik Dermatitis Pada kasus ditemukan gejala gangguan fungsi kulit, gatal-gatal. Dermatitis atopic ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalam eksoriasi dan likenefikasi, distribusinya di lipatan (Djuanda, 2009). Gejala klinis dari atopik dermatitis adalah sebagai berikut (Handoko, 2008) : 1) Subjektif: pruritus, panas, kemerahan, dan gangguan fungsi kulit. 2) Objektif: batas kenaikan tidak jelas dan polimorfi, eritema, edema, infiltrasi dan papul. Karakteristik mayor dari atopik dermatitis adalah sebagai berikut (Handoko, 2008) : 1) Pruritus 2) Tipe morfologi dan distribusi (lichenifikasi dan linear) 3) Riwayat dermatitis kronis atau berulang 4) Riwayat atopi (asma dan dermatitis atopik) Karakteristik minor dari atopik dermatitis adalah sebagai berikut (Handoko, 2008) : 1) Xerosis (kulit kering) 2) Ichthyosis, palmaris hyperlinearity, keratosis pilaris 3) Dermatitis tangan, dermatitis kaki
4
4) Niple eczema 5) Kerentanan terhadap infeksi kulit (misalnya Staphylococcus aureus, virus herpes simpleks [HSV], virus lainnya, kutil, moluskum, dermatofit) 6) Ptiriasis alba 7) Onset tiba-tiba 8) Konjungtivitis yang berulang 9) Orbital gelap 10) Infraorbital kali lipat (misalnya, Dennie wiru, Morgan lipat) lipatan leher anterior 11) Sensitivitas emosional 12) Katarak subskapular anterior 13) Keratoconus 14) Intoleransi makanan 15) Intoleransi wol 16) Peningkatan serum total immunoglobulin E (IgE)
Pedoman diagnosis Dermatitis atopik adalah sebagai berikut (Djuanda, 2009): 1) Harus mempunyai kondisi kulit gatak 2) Ditambah 3 atau lebih criteria yaitu : a) Riwayat terkenanya lipatan kulit b) Riwayat asma bronchial c) Riwayat kulit kering d) Adanya dermatitis yang tampak di lipatan e) Awitan di bawah usia 2 tahun
c) Prurigo Merupakan reaksi kulit yang bersifat kronik residif dengan efloresensi beraneka ragam (Handoko, 2008). Pada pemeriksaan kulit, terdapat 2 jenis prurigo: 1) Prurigo Mitis (bersifat ringan): biasa pada anak-anak sampai dewasa muda. Lokalisasi pada daerah ekstensor ekstremitas, dahi dan abdomen.
Efloresensi
berupa
papula-papula
merah
(urtikaria
popular), selanjutnya papula menjadi runcing –runcing dan timbul vesikel, eksoriasi dan likenifikasi. Efloresensi bersifat multiform dan gatal, akibat garukan timbul jaringan parut dan penebalan kulit. 2) Prurigo Feroks (bersifat berat): efloresensi lebih banyak, papulapapula
lebih
besar,
keras
menonjol
diatas
diatas
kulit,
hiperpigmentasi dan likenifikasi tampak lebih luas dan menonjol. Lokalisasi lebih luas sampai belakang telinga dan sekitar pusar. Selalu diserati adenopati (prurigo bubo) (Hanrdoko, 2008)
Pemeriksaan Laboratorium dari prurigo adalah sebagai berikut:
5
1) Pemeriksaan darah untuk mencari penyebab secara imunologik 2) Pemeriksaan tinja untuk mencari infeksi cacing/parasit 3) Pemeriksaan radiografi mencari infeksi tuberculosis paru 4) Imunofluoresensi darah mencari proses-proses alergi (Handoko, 2008) 5) Tes tusuk berbagai allergen, parasit usus serangga (kutu busuk, nyamuk)
d) Asma Bronkiale 1) Anamnesis Keluhan : sesak nafas Onset
: 6 tahun yang lalu
Kuantitas :kumat-kumatan, pada awalnya jarang kumat mungkin hanya sekitar 2-4 kali per tahun, tetapi dalam 1 tahun terakhir sesak kumat 1 hingga 2 kali sebulan. Kualitas : sesak nafas disertai bunyi “ngik-ngik” Faktor memperingan : berobat ke puskesmas dan “diasap” Faktor memperberat : Gejala penyerta :batuk dengan dahak kental dan kadang hingga mengeluarkan banyak keringat
2) Pemeriksaan fisik Hasil temuan pemeriksaan fisik dari serangan asma merupakan akibat dari : a) Efek langsung penyempitan saluran nafas difus dan hipersekresi mucus b) Tidak langsung akibat dari peningkatan kerja nafas, peningkatan kebutuhan metabolik dan rangsangan saraf simpatik difus. Hasilnya: a) Takipnea dan takikardi b) Wheezing difus c) Ekspirasi memanjang d) Pulsus paradoksus e) Hiperhidrosis f)
Sianosis (Winarniani, 2010).
3) Pemeriksaan penunjang a) Pemeriksaan faal paru Tes fungsi paru penting untuk diagnosis, menilai keparahan, mengevaluasi penyakit dan evaluasi pengobatan (Lazarus, 2010). Diagnosa asma dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran pernafasan pada pemeriksaan spirometri. Yaitu penurunan kadar FEV1. Adalah penurunan volume ekspirasi paksa selama 1 detik (Winarniani, 2010).
6
b) Laboratorium Pada penderita asma alergi dan non alergi ditemukan eosinofilia. Sering ditemukan eosinofi 5-15 %. Komponen alergi pada asma dapat diiedentifikasi dengan uji kulit atau mengukur kadar Ig E spesifik serum. Uji kulit dengan alergen adalah yang paling sering digunakan untuk alat diagnostik asma alergi. Uji yang paling sering digunakan adala prick test (Winarniani, 2010). c) Radiologi Pemeriksaan foto toraks untuk asma tidak begitu penting. Pada sebagian besar menunjukan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat pemeriksaan toraks berguna untuk menyingkirkan penyakit lain atau menyingkirkan penyulit seperti pneumotoraks, ateletaksis, pneumonia (Winarniani, 2010).
c) Diagnosis Kerja Skabiesis dengan riwayat asma bronkiale persisten ringan. 1) Penegakan Diagnosis Anamnesis Keluhan Utama
: Gatal
Riwayat penyakit sekarang
:
a) Onset
: 1 minggu yang lalu
b) Lokasi
: Sela jari tangan dan kaki
c) Kualitas
: Gatal mengganggu aktifitas (sepanjang hari), tidur
terganggu (malam hari > hebat) d) Kuantitas
: Sepanjang hari, terutama malam hari (>>)
e) Kronologis : Penting mengetahui urutan predileksi, yaitu pergelangan tangan/sela jari bagian medial lengan bawah dan siku-siku kaki dan genitalia bokong, ketiak, bagian belakang telinga. f) Faktor yang memperingan : g) Faktor yang memperberat : Digaruk luka + keluar cairan h) Gejala penyerta lainnya
:-
i) Riwayat penyakit keluarga :
Hampir
semua
anggota
keluarga
menderita keluhan yang sama
Pemeriksaan Fisik: Keadaan umum
: Tampak gatal/menggaruk
Kesadaran
: Kompos mentis
Kepala
: Tanda Lesi scabies di bagian belakang telinga
Terowongan di tempat predileksi THT
: Tanda Lesi scabies di bagian belakang telinga
Leher dan thoraks
: DBN
Abdomen
: DBN
Urogenitalia
: UKK PRIMER; VESIKEL
Ekstremitas
:
7
a) Sela jari b) Pergelangan tangan c) Bawah medial lengan bawah dan siku d) Kaki Terdapat: a)
Tanda garukan
b)
Papula
c)
Papulovesikula
d)
Dermatitis (karena garukan/ pengobatan)
e)
Pada kasus dengan hygiene << tampak impetigo, ektima
c. Aspek Faktor Risiko Internal (Intrinsik) Aspek resiko intrinsik dinilai dari usia, jenis kelamin, nutrisi, gaya hidup serta riwayat penyakit keluarga pasien (Aria, 2008). 1) Usia
: 9 tahun
2) Jenis Kelamin
: Laki-laki
3) Nutrisi
: Buruk, hanya berlauk pauk kerupuk dan sayuran.
4) Gaya Hidup
: Tidak mencuci tangan sebelum makan, mandi 2x/hari
dengan menggunakan handuk bersamaan yang dicuci 1 bulan sekali, tidur dikasur yang tidak dijemur dan sprei dicuci 1 bulan sekali 5) RPK
: Kakak dan kedua adik pasien menderita keluhan yang
sam, Ibu dan adik bungsu pasien alergi ikan, Kakak pertama ayah pasien menderita asam urat, Kakek dari ibu pasien menderita hipertensi,Nenek dari ibu pasien alergi ikan, Adik ketiga dan keempat dari ibu pasien menderita asma
d.
Aspek Faktor Risiko Eksternal (Extrinsik) 1) Dukungan sosial keluarga: baik, karena setiap permasalahan dapat dihadapi bersama-sama. 2) Fisik rumah: Tinggal di rumah yang tidak permanen di bantaran sungai banjaran, tidak ada hewan peliharaan atau tanaman di lingkungan rumah 3) Bangunan tempat tinggal: Luas rumah 4 x 6 m2 yang terdiri atas 2 kamar tidur, ruang keluarga dan dapur. Rumah menyerupai rumah panggung dengan lantai kayu, dinding kayu dan anyaman bambu serta atap seng. Sirkulasi udara kurang baik karena jendela jarang dibuka. 4) Lingkungan pemukiman: Keperluan MCK memanfaatkan WC umum di sungai. Merupakan daerah padat penduduk dengan pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik (dibuang ke sungai). 5) Pendidikan: Kedik adalah seorang pelajar kelas 3 SD di sebuah SD negeri.Ayah kedik adalah lulusan SD, ibunya tidak lulus SD. 6) Pekerjaan: Kedik bekerja, ayah kedik bekerja srbagai tukang becak, ibunya bekerja sebagai tukang cuci. Penghasilan keluarga tidak menentu, rata-rata 700 ribu hingga 1 juta rupiah per bulan.
8
7) Layanan kesehatan: Puskesmas dengan fasilitas Jamkesmas
Kriteria lingkungan fisik rumah dan bangunan tempat tinggal (Departemen Ilmu Kedokteran Ilmu Komunitas FKUI 2008) : 1) Rumah tidak permanen di bantaran sungai banjaran. 2
2) Luas rumah 4 x 6 m yang terdiri atas 2 kamar tidur, ruang keluarga dan dapur. 3) MCK menggunakan WC umum di sungai. 4) Rumah menyerupai panggung dengan lantai kayu, dinding kayu dan anyaman bambu serta atap seng. 5) Sirkulasi udara kurang baik karena jendela jarang dibuka. 6) Daerah tempat tinggal merupakan daerah padat penduduk dengan pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik (dibuang ke sungai).
2. Dinamika Keluarga Dinamika keluarga meliputi sebagai berikut : a. Genogram Bagan mengenai struktur keluarga yang digunakan untuk menilai status individu dan keluarga yang menyangkut aspek biopsikososial. Hal – hal yang terdapat dalam genogram adalah struktur keluarga, informasi demografi, kejadian – kejadian penting dalam keluarga, dan masalah sosial dan kesehatan (Azwar, 1997) . Berikut adalah genogram yang dibuat berdasarkan pada kasus :
Alergi Ikan
Hipertensi
Asam Urat
Asma
Asma
Alergi Ikan
Kedik
Alergi Ikan
Gambar 1. Genogram
b. Family life cycle Merupakan diagram siklus keluarga yang menyangkut perubahan perkembangan dan tahapan perkembangan dalam keluarga yang dapat mempengaruhi status kesehatan individu tersebut.
9
Secara sederhana siklus kehidupan keluarga yang dikemukakan Duvall ini dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Tahap awal perkawinan tanpa anak selama 2 tahun. 2) Tahap keluarga dengan bayi baru lahir – umur 30 bulan selama 2,5 tahun. 3) Tahap keluarga dengan anak usia prasekolah atau anak pertama usia 30 bulan – 6 tahun selama 3,5 tahun. 4) Tahap keluarga dengan anak usia sekolah atau anak pertama dengan usia 613 tahun selama 7 tahun. 5) Tahap keluarga dengan anak usia remaja atau anak pertama dengan usia 13-20 tahun tahun selama 7 tahun. 6) Tahap keluarga dengan anak-anak yang meninggalkan keluarga selama 8 tahun. 7) Tahap orang tua usia menengah selama 15 tahun. 8) Tahap keluarga jompo selama 10-15 tahun (Departemen Ilmu Kedokteran Ilmu Komunitas FKUI, 2008). Pada Kasus ini, merupakan siklus keluarga pada tahap 4 yaitu tahap keluarga dengan usia sekolah atau anak pertama dengan usia 6-13 tahun.
c. Apgar score Merupakan intrumen yang dipakai untuk menilai fungsi keluarga atau screening terhadap disfungsi keluarga dan kepuasan individu terhadap hubungan dalam keluarganya. APGAR score meliputi Adaptation, Partnership, Growth, Affection, dan Resolve (Azwar, 1997). 1) Adaptasi (Adaptation) Tingkat kepuasan anggota keluarga
dalam
menerima bantuan
yang
diperlukannya dari anggota keluarga lainnya (Azwar, 1997). 2) Kemitraan (Partnership) T i n g k a t k e p u a s a n a n g g o t a k e l u a r g a t e r h a d a p berk om unik as i, ur un
r em buk
dalam
m engam bil
s uatu
keputus an
dan
atau
m e n ye l e s a i k a n s u a t u m a s a l a h y a n g s e d a n g d i h a d a p i d enga n anggot a k eluarga l ainn ya (Azwar, 1997). 3) Pertumbuhan (Growth) Tingkat
kepuasan
anggota
keluarga
terhadap
kebebasan
ya ng
diber ik an k el uarga da lam m em atangk an per tum buhan dan a t a u k e d e wa s a a n s e t i a p a ng g o t a k e l u a r g a (Azwar, 1997). 4) Kasih sayang (Affection) Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga (Azwar, 1997). 5) Kebersamaan (Resolve) T i n g k a t k e p u a s a n a n g g o t a k e l u a r g a t e r h a d a p k e bers am aa n da l am m em bag i wak tu , k ek a ya a n da n r u an g an t ar anggota keluarga (Azwar, 1997) .
Penilaian dari 5 hal tersebut adalah sebagai berikut:
10
0 = tidak pernah 1 = kadang-kadang 2 = selalu Masing-masing anggota keluarga baik inti maupun extendate yang berada dalam satu rumah terkecuali pembantu tidak dihitung karena bukan hubungan keluarga seperti pada pengertian di atas. Ada sepuluh skor dalam penilaian APGAR Keluarga yaitu : Skor 7 - 10 berarti k eluarga yang dinilai adalah sehat, dalam arti setiap anggota keluarga saling mendukung satu sama lain. Skor 4 - 6 b er art i k e lu ar ga ya n g d in i l ai ad a l ah k ur an g s e h at , da l am arti hubungan antar anggota keluarga masih perlu untuk lebih ditingkatkan. Skor 0 - 3 berarti keluarga yang dinilai sama sekali tidak sehat, dalam arti sangat memerlukan banyak perbaikan untuk lebih meningkatkan hubungan antar anggota keluarga (Azwar, 1997) . Keluarga Kedik memiliki skor APGAR 8 yang berarti k eluarga yang dinilai
adalah
sehat,
dalam
arti
s etiap
anggota keluarga saling
mendukung satu sama lain.
d. SCREEM score Bertujuan untuk menjelaskan kemampuan keluarga dalam mendapatkan sumber daya dan mengkaji kapasitas dari keluarga dalam menyediakan dan mengakses pelayanan kesehatan untuk setiap anggota keluarganya pada saat kondisi sakit maupun kritis. SCREEM score meliputi Social, Culture, Religion, Education, Economic, dan Medical. 1) Sosial Mampu bersosialisasi atau tidak dengan masyarakat. 2) Culture Misalnya pada orang desa yang masih mempercayai bahwa anak bayi kurang dari 40 hari tidak boleh dibawa keluar rumah, padahal harus diimunisasi. Adakah hal tentang kebudayaan semacam itu dalam suatu keluarga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Jika ada berarti fungsi patologis culture positif. 3) Religion Misalkan tentang KB IUD menurut islam IUD tidak boleh dipasang, kemudian apakah dalam keluarga tersebut terdapat kepercayaan semacam itu atau tidak berkaitan dengan tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Jika ada, berarti fungsi patologis religion positif (terhambat). 4) Education Terutama pada keluarga yang mempunyai tingkat pendidikan rendah biasanya cenderung ada hambatan untuk dilakukannya tindakan kedokteran. 5) Economic Pada tingkat keluarga yang ekonominya rendah, maka tindakan usaha penyembuhan pada pasien dari suatu keluarga biasanya terhambat. Oleh
11
karenanya harus dinilai apakah tingkat keluarga tersebut rendah, sedang, atau tinggi. 6) Medical Adakah
hambatan-hambatan
yang
dapat
terjadi
dalam
mendapatkan
pelayanan kesehatan. Jika ada berarti fungsi patologis medicalnya positif. Misalnya, suatu keluarga yang berpendidikan rendah, dan berperekonoian rendah pula yang mengalami kesusahan dalam mengurus-ngurus jamkesmas untuk
mendapat
membuatnya
lebih
keringanan pusing
biaya
karena
mengurusnya.
pendidikan Contoh
lain
yang
rendah
bisa
karena
ketidakterjangkauan suatu keluarga dengan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Baik itu karena kondisi geografi yang buruk atau pun tidak adanya transport.
Penilaian skor SCREEM adalah hanya dengan melihat ada tidaknya hambatan pada bidang-bidang tersebut, sehingga kita akan mengetahui adanya fungsi patologis pada suatu keluarga. (Ghan Gl, 2005) Berikut adalah penilaian SCREEM score pada kasus : Social
: Tidak ada hambatan
Culture
: Patologis
Religion
: Tidak ada hambatan
Education : Patologis
V.
Economic
: Patologis
Medical
: Tidak ada hambatan
Sasaran Belajar 1. Penjelasan patogenesis dan patofisiologi gejala & tanda sebagai dasar tiap hipotesis 2. Penjelasan diagnosis kerja berdasarkan temuan pada informasi tambahan 3. Penjelasan rencana penatalaksanaan pasien 4. Penjelasan pencegahan primer, sekunder dan tersier
12
VI.
Belajar Mandiri 1. Patogenesis dan Patofisiologi a. Scabiesis Sarcoptes scabiei varietas hominis Kontak langsung/tidak langsung Kopulasi parasit/kawin Jantan mati, betina telah dibuahi Parasit menuju kulit tipis Menembus stratum korneum Membuat terowongan untuk meletakkan telur Aktifitas parasit pada malam hari Respon lokal mediator kimia saraf bebas di area predileksi Gatal pada malam hari Mekanisme penggarukan Lesi/UKK Sumber: Handoko, 2008.
b. Dermatitis Kontak Iritan Bahan iritan Merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, merusak membran lemak Mengaktifkan fosfolipase
Leukotrien
Asam arakidonat
Diasilgliserida IL- 1
Pengaktifan sel mast
Vasodilatasi
Histamin release Inflamasi: edema, eritema, panas, nyeri
Aktifasi Th IL - 2 Stimulasi autokrin dan proliferasi
Sumber: Djuanda, 2009.
13
c. Asma Bronkiale Alergen masuk
Diolah oleh APC
Fragmen peptida dipresentasikan ke sel T
Sel T aktif
Th 2 aktif
IL - 4
Proliferasi dan diferensiasi sel B
IgE
Aktifasi IgE, sel mast, eosinofil, makrofag
Aktifasi mediator inflamasi
Sekresi mukus ↑
Merangsang reseptor batuk
Batuk berdahak
Edema mukosa
Kontraksi otot ↑
Resistensi saluran nafas ↑
Dipsnue
Udara melewati saluran sempit
Wheezing
Sumber: Price, 2006.
14
2. Penjelasan Diagnosis Kerja Skabiesis Skabies merupakan penyakit yang banyak ditemukan opada daerah-daerah yang berstatus ekonomi rendah atau menengah ke bawah dengan kualitas higienisasi pribadi yang jelek, tingkat pendidikan yang rendah dan predominant pada daerahdaerah padat penduduk . hal ini dapat dipahami bahwa rute pemajanan utama dari penyakit ini adalah melewati kontak jarak dekat antara manusia yang terkena ke manusia lainnya (Handoko, 2008). Gambaran klinik dari scabiesis adalah sebagai berikut 1. Pruritus Nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan oleh aktivitas tungau meningkat pada suhu lembab dan panas (Handoko, 2008). 2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok. Misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya. Sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut (Handoko, 2008). 3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabuabuan, berbentuk garis lurus atau berkelok. Rata rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf. Tempat predileksinya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae, umbilicus, bokong, genitalia eksterna (Handoko, 2008). 4. Menemukan tungau dengan membuat kerokan kulit pada daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan darah karena Sarcoptes betina bermukim agak dalam di kulit (Handoko, 2008). Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dan 4 tanda cardinal (Handoko, 2008). Morfologi dan daur hidup dari Sarcoptes scabiei adalah sebagai berikut : a. Famili sarcoptidae b. Ordo acari c. Kelas arachnida d. Betina>jantan e. 4 pasang kaki f. Setelah kopulasi jantan mati g. Betina gravid meletakan telur di stratum corneum h. Siklus hidup 1 bulan
15
Gambar 2. Sarcoptes scabiei
Gambar 3. Siklus hidup Sarcoptes scabiei
Cara penularan (transmisi) dari Srcoptes scabiei diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual (Handoko, 2008). 2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-lain (Handoko, 2008). Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling bersentuhan atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan merupakan akibat utama (Handoko, 2008). Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relatif sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada. Penularan
16
skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk (Handoko, 2008)
3. Rencana Penatalaksanaan Berikut adalah rencana penatalaksanaan pasien pada kasus secara kausatif, supportif, rehabilitatif, dietetik, rehabilitasi medik serta pemberian edukasi pada keluarga pasien serta komunitasnya : a. Kausatif 1) Scabicidal agent depolarisasi dan kelumpuhan dari tungau atau rangsangan dari sistem saraf (permetrien, lindanine) (Handoko, 2008). 2) Antibiotik topikal ( Mupirocin) (Handoko, 2008). 3) Kortikosteroid topikal untuk mencegah pruritus (Hydrocortisone) (Handoko, 2008). 4) Bronkodilator untuk melebarkan jalan nafas (salbutamol, terbutaline, fenoterol (berotec), orsiprenalin (alupent) (Depkes RI, 2009). 5) Golongan xantine (aminophilin, teofilin) (Depkes RI, 2009). 6) Nebulizer (Depkes RI, 2009).
b. Supportif 1) Antihistamin untuk mengurangi gatal (Handoko, 2008). 2) Oksigen untuk membantu nafas jika terjadi asma (Depkes RI, 2009).
c. Dietetik 1) Menghindari makanan yang menimbulkan alergi sehingga dapat memicu kekambuhan asma (Depkes RI, 2009). 2) Lebih meningkatkan asupan makanan yang bergizi karena pada pasien ini didapa hasil BMI underweight (Depkes RI, 2009).
d. Rehabilitasi medik 1) Tetap kontrol progres dari ukk yang timbul untuk menghindari ekskoriasi yang berkelanjutan (Handoko, 2008). 2) Bisa dilakukan prick test untuk mengetahui sumber alergen apakah yang dapat memicu kekambuhan asma (Depkes RI, 2009). 3) Bila obat yang diberikan telah habis diharapkan segera kontrol kembali untuk mengetahui kanalikulus sudah berkurang atau belum (Handoko, 2008).
17
e. Edukasi terhadap keluarga pasien dan komunitas 1)
Menggunakan alat madi (handuk) secara terpisah (Handoko, 2008).
2)
Tidak menggunakan pakaian secara bersama-sama (Handoko, 2008).
3)
Tidak takut dan malu untuk diperiksa (Handoko, 2008).
4)
Meningkatkan higienitas individu (Handoko, 2008).
5)
Mengganti sprei seminggu sekali (Handoko, 2008).
6)
Membuka jendela sehingga pertukaran udara dapat berlangsung dengan baik (Depkes RI, 2009).
7)
Mengurangi aktifitas di rerumputan serta ditempat berdebu (Depkes RI, 2009).
8)
Tidak tidur bersama dengan penderita (Handoko, 2008).
9)
Untuk asma hindari faktor pencentus kekambuhan seperti debu dan angin (Depkes RI, 2009).
10) Pembinaan keluarga tidak hanya mengenai penyakit, namun juga mengenai masalah-masalah lainya seperti fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan keluarga, perilaku kesehatan keluarga, dan lingkungan. 11) Keluarga dimotivasi untuk menambah sumber pendapatan tambahan melalui pemanfaatan waktu luang, seperti berdagang atau menjadi pramuwisma paruh waktu. 12) Keluarga dimotivasi untuk memperbaiki ventilasi dan penerangan dengan membuka pintu rumah pada siang hari dan menggunakan kipas angin yang selalu dibersihkan, serta selalu mencuci dan menyetrika pakaian setelah digunakan dan menyimpannya dalam lemari. 13) Melakukan penyuluhan mengenai scabies (gejala, penatalaksanaan, penyebaran penyakit, dan pencegahannya) terhadap warga masyarakat dalam satu RW.
4. Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier Berikut adalah pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier pada penyakit scabiesis dan asma bronkiale : a. Pencegahan Primer Pencegahan primer ini terbagi menjadi 2 macam yaitu sebagai berikut : 1) Preventif Scabiesis : a) Tindakan yang dilakukan meliputi tindakan terhadap pasien, keluarga, dan lingkungannya (Brunner, 2001). b) Dilakukan edukasi terhadap keluarga mengenai scabies (penyebab, gejala, cara penularan, terapi), dan mengenai higiene pribadi serta lingkungan (Brunner, 2001). c) Keluarga diberikan motivasi untuk mencuci, menjemur, dan menyeterika pakaian dan seprai yang digunakan dalam 1 minggu terakhir (Brunner, 2001).
18
d) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum. Sabun Tetmosol jika ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi (Brunner, 2001). e) Penyelidikan terhadap penderita kontak dan sumber penularan (Brunner, 2001). Asma Bronkiale : Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari: a) Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat
pewarna dan sebagainya
(Sundaru, 2006). b) Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan sebagainya (Sundaru, 2006). c) Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari (Sundaru, 2006). d) Ketegangan atau tekanan jiwa (Sundaru, 2006). e) Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya (Sundaru, 2006). f) Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan sebagainya (Sundaru, 2006).
2) Promotif Scabiesis : Penyuluhan mengenai skabies yang dihadiri oleh kader, wakil dari Puskesmas, dan para warga tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita scabies dan orang-orang yang kontak (Brunner, 2001).
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu pencegahan yang difokuskan pada diagnosis dini penyakit dan pengobatan yang tepat. Untuk diagnosis dini, anggota keluarga harus tahu gambaran klinis penyakit skabies, yaitu: dengan mengetahui tanda dan gejala dari skabies (Handoko, 2008). Untuk pengobatan yang tepat pada skabies, sesuai dengan penatalaksanaan pada medikamentosa maupun non medikamentosa. Semua penderita dalam keluarga/pondok/asram harus di obati. Penyakit skabies adalh penyakit yang menular
melalui
kontak
perorangan,
apabila
ada
salah
satu
anggota
keluarga/pondokan yang menderita skabies harus segera diobati agar tidak menular kepada anggota yang lain/warga sekitar (Handoko, 2008).
19
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier difoukuskan untuk mengurangi gejala klinis yang ada, berikut adalah pencegahan tersier pada scabiesis dan asma bronkiale : 1) Scabiesis Penderita penyakit ini sebaiknya memperhatikan cara pengobatan dengan baik. Oleh karena pengobatannya perlu waktu sekitar seharian, penderita harus bersabar. Di samping itu, penderita harus menghindari kontak langsung dengan orang lain seperti keluarga dan orang terdekat, sehingga penyakit dapat disembuhkan. Pada penderita anak sekolah, sebaiknya tunda belajar di sekolah sehingga tidak akan menyebarkan penyakit ke teman-teman lainnya (Handoko, 2008). Semua pakaian, handuk, dan seprei yang digunakan dalam seminggu terakhir dicuci dengan air panas sebanyak dua kali, yaitu pada saat pengobatan pertama dan seminggu kemudian. Jemur kasur dan bantal di bawah sinar matahari secara berkala. Karpet dan furnitur yang tidak dapat dicuci sebaiknya divacuum atau dimasukkan ke dalam plastik yang terbungkus rapat selama sekitar satu minggu (Handoko, 2008).
2) Asma bronkiale Penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya alergi makanan dan khususnya dermatitis atopic. Di samping itu, setiap keluarga yang memiliki anak dengan asma haruslah melakukan pengendalian lingkungan, antara lain: menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara binatang berbulu seperti anjing, burung, kucing; memperbaiki ventilasi ruangan; mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau (Broide, 2002). Langkah preventif lainnya adalah pencegahan secara primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer (prenatal) dilakukan pada ibu hamil yang memiliki riwayat atopi (alergi) pada dirinya, keluarga, anak sebelumnya, atau pada suami. Pencegahan primer bertujuan mencegah terjadinya sensitisasi pada janin intrauterin (saat berada di dalam kandungan) dan dilakukan saat janin masih berada di dalam kandungan dan menyusu. Ibu hamil dan ibu yang sedang menyusui hruslah menghindari faktor pemicu (inducer) seperti: asap rokok atau makanan yang alergenik.Pencegahan sekunder bertujuan mencegah terjadinya inflamasi (peradangan) pada bayi atau anak yang sudah tersensitisasi. Antihistamin diberikan selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi dan riwayat atopi pada orang tua (Broide, 2002). Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan asma pada anak yang sudah menderita asma. Pencegahan berupa penghindaran pencetus maupun pemberian obat-obat pengendali (controller) (Broide, 2002).
20
BAB III KESIMPULAN
1. Pasien pada kasus menderita scabiesis dengan riwayat asma bronkiale persisten ringan. 2. Rencana penatalaksanaan pasien pada kasus terdiri dari 5 yaitu kausatif, suportif, dietetik, rehabilitasi medik serta edukasi. 3. Terapi kausatif untuk scabiesis yaitu dengan scabicidal agent depolarisasi (permetrien, lindanine), antibiotik topikal ( Mupirocin), kortikosteroid topikal untuk mencegah pruritus (Hydrocortisone). 4. Terapi kausatif untuk asma bronkiale yaitu dengan bronkodilator (salbutamol, terbutaline, fenoterol), golongan xantine (aminophilin, teofilin) serta nebulizer. 5. Terapi suportif untuk scabiesis yaitu dengan pemberian antihistamin untuk mengurangi gatal . 6. Terapi suportif untuk asma bronkiale yaitu dengan pemberian oksigen untuk membantu nafas jika terjadi asma. 7. Terapi dietetik yang diberikan pada pasien yaitu dengan menghindarkan makanan penyebab alergi dan memperhatikan asupan makanannya. 8. Edukasi yang diberikan pada pasien, keluarga pasien serta komunitasnya terutama mengenai pentingnya menjaga higienitas individu. 9. Pencegahan scabiesis dan asma bronkiale pada pasien dilakukan melalui cara yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
21
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul. 1997. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta.
Baratawidjaja, Karnen Garna. Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Broide DH. 2002. Additional mechanism of asthma patophysiology targeted in search of new treatments. Available at: http://www.medscape. com/viewarticle/ 437257. Diakses tanggal 26 November 2010.
Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Edisi 8 Vol. 1. Jakarta : EGC.
Departemen Ilmu Kedokteran Ilmu Komunitas FKUI 2008. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan Primer Pendekatan Multi Aspek. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran Ilmu Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..
Departemen Keseharan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Djuanda dan Sularsito, Sri Adi. 2009. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..
Ghan Gl, Azwar A, dan Wonodirekso S. 2005. A Primer on Family Medicine Practice. Singapore: Singapore International Foundation.
Handoko, Ronny P. 2008. Skabies. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK UI.
Kekalih, Aria. 2008. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan Primer Pendekatan Multi Aspek .
Jakarta:
Departemen
Ilmu
Kedokteran
Komunitas
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.. Price, A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. FK-UI. Jakarta; 2006.
Winarniani, M, Jusuf., S, Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Asma Bronkhial. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.
22