PENDAHULUAN Dewan komisaris mempunyai peran penting dalam pelaksanaan good corporate governance (GCG). Peran ini semakin penting setelah terjadinya beberapa white collar crime (Enron, Worldcom, dan sebagainya) yang melibatkan pimpinan perusahaan pada jenjang tertinggi (Muntoro, 2011). Di Indonesia, peningkatan kebutuhan akan GCG sangat terasa setelah terjadinya krisis multidimensi sejak tahun 1997(Muntoro, 2011). Herwidayanto (2000) dalam Muntoro (2011) mengatakan bahwa diduga salah satu penyebab terjadinya krisis di Indonesia adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan terhadap direksi perusahaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dewan komisaris . Menurut Arifin (2005) kegagalan beberapa perusahaan dan timbulnya kasus malpraktik keuangan akibat krisis tersebut adalah buruknya praktik good corporate governance. Kasus PT Kimia Farma yang terbukti melakukan pelanggaran mark up laba bersih yang overstated, yakni penggelembungan laba bersih tahun 2001 sebesar Rp 32,668 miliar (Nisa, 2012). Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan emiten di pasar modal yang ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) yang menunjukkan rendahnya mutu praktik GCG di negara kita (Arifin, 2005). Bahkan, karena lemahnya peraturan pada waktu itu, misalnya karena tidak adanya ketentuan mengenai harus adanya anggota komisaris independen, dewan komisaris tidak saja kurang efektif dan kurang berdaya, melainkan juga turut berperan dalam pengambilan keputusan yang tidak selalu memperhatikan kepentingan perusahaan, pemegang saham (terutama pemegang saham minoritas), dan pemangku kepentingan lainnya termasuk masyarakat luas (Muntoro, 2011). Dalam hal ini tugas dewan komisaris sangat penting dalam mengawasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan itu sendiri yang dilakukan oleh pihak manajemen. Dewan komisaris juga dituntut untuk bisa memberikan nilai pada perusahaan dan harus bisa memberikan manfaat kepada stakeholder. Efektifitas peran dewan komisaris diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
1
lain kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan frekuensi rapat dewan komisaris independen. Kompetensi
dewan
komisaris
perlu
diperhatikan,
walaupun
tidak
mengharuskan seseorang untuk masuk dalam dunia bisnis tetapi akan lebih baih baik jika dewan komisaris mempunyai kompetensi yang baik di bidang ekonomi. Bray dan Howard serta Goland yang dikutip oleh Kusumastuti et al (2007) menyatakan bahwa pendidikan universitas membantu seseorang dalam kemajuan karirnya, di mana seseorang berpendidikan tinggi akan memiliki jenjang karir lebih tinggi dan lebih cepat. Dengan ini, maka dewan komisaris bisa mengelola bisnis dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pengetahuan ekonomi yang dimiliki yang nantinya bisa memberikan hasil yang maksimal untuk para pemegang saham. Dechow et al (1996) dalam Wiwik et al (2007) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki persentase besar anggota non eksekutif pada dewan komisaris tidak terlalu mendukung penyelenggaraan praktek akuntansi seperti yang diselenggarakan SEC. Cadbury (1992) dalam Wiwik et al (2007) mengatakan bahwa anggota dewan komisaris sangat penting bagi terciptanya dewan komisaris yang efektif. Kompetensi dewan komisaris akan mempengaruhi bagaimana nilai perusahaan tersebut di mata investor jika dibandingkan dengan nilai bukunya. Beasley (1996) dalam Machfoedd‟z (2006) menguji hubungan antara proporsi dewan komisaris independen dengan kecurangan pelaporan keuangan. Penelitian tersebut
membandingkan perusahaan yang melakukan kecurangan
dengan perusahaan yang tidak melakukan kecurangan, hasil penelitian menemukan bahwa perusahaan yang melakukan kecurangan memiliki persentase dewan komisaris eksternal yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki kecurangan. Dengan ini, peran dewan komisaris dalam melaksanakan praktek corporate governance sangat berpengaruh terhadap kinerja keuangan. Proporsi dewan komisaris juga menjadi hal yang sangat penting, karena merupakan ujung tombak dalam melakukan praktek corporate governance. Oleh karena itu dewan komisaris harus bersifat independen, mempunyai integritas tinggi, dan harus lebih mementingkan
2
kepentingan perusahaan guna meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Semakin baik independensi, maka akan membuat nilai perusahaan lebih baik di mata investor dibandingkan dengan nilai buku perusahaan tersebut. Frekuensi rapat dewan komisaris juga memiliki kontribusi dalam pengawasan pelaporan keuangan. Lipton dan Lorsch (1992) dan Yatim et al (2006) berpendapat bahwa dewan komisaris yang sering bertemu akan melakukan kewajibannya dengan rajin dan tentunya bermanfaat bagi shareholders. Frekuensi rapat dewan komisaris dapat digunakan sebagai wadah untuk mendapatkan semua informasi mengenai perkembangan perusahaan yang bisa dijadikan bahan untuk pengawasan internal perusahaan lebih lanjut. Kusumastuti et al(2007) meneliti pengaruh board diversity terhadap nilai perusahaan dalam perspektif corporate governance. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa persebaran anggota dewan (board diversity) mempengaruhi nilai perusahaan yang diukur dengan rasio Tobin‟s Q. Nasser (2008) meneliti pengaruh dewan komisaris independen terhadap nilai perusahaan dalam hal manajemen laba, dimana penelitian ini membuktikan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Waryanto (2010) membuktikan bahwa independensi dan jumlah rapat dewan komisaris secara bersama –sama mempengaruhi pengungkapan CSR hanya sebesar 41,7%, sehingga dapat diartikan bahwa kedua karakteristik GCG tersebut masih belum bisa meningkatkan mekanisme pengawasan dengan baik untuk mendorong pengungkapan CSR secara luas. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba meneliti kembali penelitian sebelumnya, khususnya penelitian Kusumastuti et al (2007), Nasser (2008), dan Waryanto (2010). Dalam penelitian ini, corporate governance akan lebih menekankan pada peran dewan komisaris, karena banyak penelitian sebelumnya hanya berkonsentrasi pada bagian komite-komite yang membantu dewan komisaris. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris pengaruh kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan frekuensi rapat dewan komisaris terhadap nilai perusahaan. Melihat kelengkapan
3
data dalam annual report yang dimiliki oleh industri manufaktur, maka penelitian ini menggunakan sampel industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010. Nilai perusahaan akan diukur dengan Tobin‟s Q. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bukti empiris dalam memahami corporate governance, khususnya untuk peran dewan komisaris dalam meningkatkan nilai perusahaan. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam merekruitmen dewan komisaris dan lebih memperhatikan intensitas rapat untuk menyampaikan informasi mengenai perkembangan perusahaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada investor dalam pengambilan keputusan investasi.
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Corporate Governance FCGI (2002) dalam Wahyudi (2010) mendefinisikan Good corporate governance atau tata kelola perusahaan adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola), perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Dalam hal ini corporate governance merupakan sistem yang mengatur kinerja dan pertanggungjawaban pihak manajemen terhadap dewan komisaris karena keduanya terpisah. Good corporate governance juga mengawasi adanya praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen yang nantinya akan mempengaruhi nilai perusahaan. Organ perusahaan, yang terdiri dari Rapat Umum Peemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi, mempunyai peran penting dalam melaksanakan CGC secara efektif. Organ perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masingmasing organ mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
4
tanggung jawabnya semata-mata untuk kepentingan perusahaan (KNKG, 2006). Dewan komisaris merupakan bagian internal dalam corporate governance, karena dalam hal ini dewan komisaris merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan corporate governance. Setyawati (2011) mengatakan bahwa dewan komisaris adalah sebuah dewan yang bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direktur Perseroan Terbatas (PT). Di Indonesia Dewan Komisaris ditunjuk oleh RUPS dan di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dijabarkan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab dari dewan komisaris. Tugas dan wewenang dewan komisaris : 1.
Melakukan pengawasan atas jalannya usaha PT dan memberikan nasihat kepada direktur.
2.
Dalam melakukan tugas, dewan direksi berdasarkan kepada kepentingan PT dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
3.
Kewenangan khusus dewan komisaris, bahwa dewan komisaris
dapat
melaksanakan
diamanatkan
tugas-tugas
dalam
tertentu
anggaran
direktur,
dasar
apabila
untuk direktur
berhalangan atau dalam keadaan tertentu. Menurut KNKG (2006) dewan komisaris merupakan organ perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan good corporate governance. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan opersaional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris adalah setara. Tugas komisaris utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris. Fungsi dewan komisaris menurut KNKG (2006), sebagai berikut : 1.
Dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional
2.
Untuk hal yang diperlukan perusahaan, dewan komisaris dapat memberikan sangsi pemberhentian sementara kepada anggota
5
direksi, dengan ketentuan harus segera ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan RUPS. 3.
Dalam hal terjadi kekosongan dalam direksi atau dalam keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundangundangan dan anggaran dasar, untuk sementara dewan komisaris dapat melaksanakan fungsi direksi.
4.
Dalam rangka melaksanakan fungsinya, anggota dewan komisaris baik secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri berhak mempunyai akses dan memperoleh informasi tentang perusahaan secara tepat waktu dan lengkap.
5.
Dewan komisaris harus memiliki tata tertib dan pedoman kerja (charter) sehingga pelaksanaan tugasnya dapat terarah dan efektif serta dapat digunakan sebagai salah satu alat penilaian kinerja mereka.
6.
Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban
pengawasan
atas
pengelolaan perusahaan oleh direksi, dalam rangka memperoleh pembebasan dan pelunasan tanggung jawab (acquit et decharge). 7.
Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris harus membentuk komite. Usulan dari komite disampaikan kepada dewan komisaris untuk memperoleh keputusan.
Nilai Perusahaan Samuel (2000) dalam Wahyudi (2010) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga dengan firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Nilai perusahaan salah satunya dapat diukur dengan Tobin‟s Q. Nilai Tobin‟s Q yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa perusahaan dinilai oleh investor lebih rendah dari nilai aset yang dimiliki. Jika nilai Tobin‟s Q lebih dari 1, maka perusahaan dinilai lebih tinggi dari nilai aset yang dimiliki. Hal ini
6
terlihat dari meningkatnya harga saham perusahaan di pasar modal sehingga meningkatkan nilai perusahaan (Supatmi et al, 2010).
Perumusan Hipotesis Kompetensi dewan komisaris Wiwik et al (2007) mengatakan bahwa kompetensi yang dibutuhkan oleh dewan komisaris dalam melaksanakan peran monitoring-nya adalah pengetahuan mengenai bidang usaha perusahaan dan pemahaman mengenai proses corporate governance. Nurdin (2004) dalam Kusumastuti et al (2005) menyebutkan penelitian dari Harvard University di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa kesuksesan semata-mata tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Komisaris yang memiliki kompetensi di bidang ekonomi dan bisnis lebih baik dalam mengelola perusahaan dibandingkan dengan komisaris yang tidak memiliki kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis. Dalam hal ini, dengan banyaknya anggota dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis (latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja sebelumnya), maka keputusan yang nantinya diambil untuk perusahaan akan lebih baik karena dikelola oleh dewan komisaris yang paham di bidang ekonomi dan bisnis untuk memperketat pengawasan terhadap dewan direksi. Pengawasan yang ketat dapat menciptakan kinerja direksi menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga kinerja keuangan perusahaan akan semakin meningkat. Oleh karena itu dengan meningkatnya kinerja keuangan perusahaan, maka investor akan merespon baik perusahaan dengan cara menghargai nilai saham
perusahaan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Kusumastuti et al (2007) menliti pengaruh board diversity terhadap nilai perusahaan dalam perspektif corporate governance. Hasil penelitian ini
7
membuktikan bahwa latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Wiwik et al (2007) menemukan bahwa kompetensi dan independensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pelaksanaan good corporate governance. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik hipotesis: H1
:
Kompetensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor.
Proporsi Dewan Komisaris Independen Meskipun pedoman corporate governance tidak menentukan jumlah komisaris independen, dalam peraturan Bapepam LK Nomor IX. I. 5 tentang pembentukan dan pedoman pelaksanaan kerja komite audit, emiten atau perusahaan publik wajib memiliki sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen sedangkan Bursa Efek Indonesia mewajibkan sekurang-kurangnya 30% dari dewan komisaris adalah dewan komisaris independen. Kriteria komisaris independen secara rinci diatur dalam Bapepam-LK, yaitu (Bapepam LK, 2010) : a. Berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. b. Tidak mempunyai saham emiten atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung. c. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris, direksi dan pemegang saham utama emitmen atau perusahaan publik. d. Tidak mempunyai hubungan usaha dengan emiten atau perusahaan publik baik langsung maupun tidak langsung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barnhart & Rosenstein (1998) dalam Nasser (2008) membuktikan bahwa director (komisaris independen)
semakin tinggi perwakilan dari outside maka semakin tinggi independensi dan
efektifitas corporate board. Oleh karena itu pengawasan akan semakin objektif dan direksi tidak bisa melakukan tindak kecurangan, dengan tindak kecurangan direksi yang semakin kecil maka investor akan merespon dengan baik kinerja 8
perusahaan dengan menghargai nilai saham perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Dewan
komisaris
bertugas
sebagai
pengawas
manajemen
dalam
pelaksanaan corporate governance. Oleh karena itu peran dewan komisaris independen sangat
dibutuhkan untuk
melakukan pengawasan kebijakan
perusahaan secara objektif. Semakin banyak proporsi dewan komisaris independen, maka akan semakin kecil kemungkinan direksi melakukan kecurangan. Rendahnya tingkat kecurangan yang dilakukan dewan direksi akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dan dengan meningkatnya kinerja keuangan, maka investor akan menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Hasil penelitian Nasser (2008) membuktikan bahwa dewan komisaris independen memiliki pengaruh negative dan signifikan terhadap manajemen laba. Sehingga dengan implikasi ini dewan komisaris independen mempunyai peran dalam meningkatkan nilai perusahaan dengan cara mengurangi praktek manajemen laba. Berdasarkan hipotesis diatas, dapat ditarik hipotesis: H2
:
Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor.
Frekuensi Rapat Dewan komisaris Bapepam-LK juga mewajibkan emiten dan perusahaan publik untuk mengungkapkan pelaksanaan tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan seperti frekuensi rapat dewan komisaris dan direksi, frekuensi kehadiran anggota dewan komisaris dan direksi dalam rapat tersebut, frekuensi rapat dan kehadiran komite audit, pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban dewan komisaris dan direksi serta remunerasi dewan komisaris dan direksi (Bapepam-LK, 2010). Penelitian Xie at.al (2003) dalam Waryanto (2010) menemukan bahwa semakin sering dewan komisaris bertemu atau mengadakan rapat, maka akrual kelolaan perusahaan semakin kecil. Hal ini berarti semakin sering dewan komisaris mengadakan rapat, maka fungsi pengawasan terhadap manajemen menjadi semakin efektif.
9
Rapat dewan komisaris merupakan suatau proses yang ditempuh oleh dewan komisaris dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Rapat dewan komisaris juga merupakan media komunikasi antar anggota dewan komisaris dalam mengawasi kinerja manajemen dalam tata kelola perusahaan, yang nantinya akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Semakin banyak frekuensi rapat dewan komisaris, semakin banyak dan cepat juga dewan komisaris menrima informasi mengenai perkembangan perusahaan. Frekuensi rapat yang semakin banyak membuat dewan direksi akan semakin ketat dalam pengawasan. Oleh karena dewan direksi akan bekerja lebih efektif dan sesuai dengan kebijakan perusahaan yang akan menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang baik dan sehat. Kinerja keuangan perusahaan yang baik akan mendapat respon baik dari para investor dengan menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan dibandingkan dengan nilai buku perusahaan. Putri (2009) dalam Waryanto (2010) menemukan bahwa jumlah pertemuan komite audit sebagai bagian dari dewan komisaris perusahaan berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan informasi laba perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik hipotesis : H3 : Frekuensi rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor
METODE PENELTIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010. Sampel penelitian ini diambil menggunakan metode purposive sampling berdasarkan kriteria: 1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010. 2. Perusahaan manufaktur yang menerbitkan annual report tahun 2010 10
3. Memiliki kelengkapan data penelitian.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan yaitu jenis data sekunder berupa laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010 yang diambil dari situs resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.go.id). Pengukuran Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan variabel dependen nilai perusahaan yang diukur dengan Tobins‟Q. Nilai perusahaan diukur menggunakan Tobins‟Q karena untuk menilai respon pasar terhadap kinerja perusahaan. Tobins‟Q adalah perbandingan antara market value of equity ditambah debt dengan book market value ditambah dengan hutang (Susanti, 2010), dengan rumus sebagai berikut :
Tobin' sQ
MVE D BVE D
Keterangan : Tobin‟s Q
= Nilai Perusahaan
MVE
= Nilai Equitas Pasar (Equity Market Value)
D
= Nilai Buku dari Total Hutang
BVE
= Nilai Buku dari Ekuitas ( Equity Book Value)
Tobins‟Q dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu skor (1) ; untuk perusahaan yang memiliki nilai Tobins‟Q >1 dan Kode (0) ; untuk perusahaan yang memiliki nilai Tobins‟ Q ≤ 1 (Susanti, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini ada 3, antara lain proporsi dewan komisaris yang berlatar pendidikan ekonomi dan bisnis, proporsi dewan komisaris
11
independen, dan frekuensi rapat dewan komisaris. Berikut pengukuran untuk variabel penelitian tersebut : 1.
Kompetensi dewan komisaris , diukur dengan menggunakan jumlah dewan komisaris yang berlatar belakang pendidikan dan atau mempunyai pengalaman kerja ekonomi dan bisnis terhadap total dewan komisaris (Anggarini, 2010).
2.
Proporsi dewan komisaris indpenden, diukur dengan presentase dewan komisaris eksternal terhadap total jumlah dewan komisaris (Antonia, 2008).
3.
Frekuensi rapat dewan komisaris, diukur dengan jumlah rapat yang diadakan dewan komisaris selama 1 tahun. (Waryanto, 2010) Variabel kontrol dalam penelitian ini menggunan ukuran perusahaan yang diproksi dalam log total aset (Waryanto, 2010). Semakin besar ukuran perusahaan, maka tanggung jawab direksi akan semakin besar. Besarnya tanggung jawab direksi akan diikuti dengan semakin ketatnya pengawasan terhadap kinerja direksi yang akan menuntut direksi untuk bekerja lebih efektif dan efisien. Meningkatnya efektifitas dan efisien kinerja dewan direksi akan menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang baik. Kinerja keuangan perusahaan yang baik dapat mengundang respon baik dari investor dengan cara memberikan nilai saham yang nilai saham yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai buku perusahaan.
Teknik dan Langkah-langkah Analisis Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan regresi linier logistik. Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Statistik deskriptif data Analisis deskriptif adalah penggambaran tentang statistik data seperti nilai maksimum, nilai minimum, mean serta standar deviasi(Ghozali,2006: 19).
12
2. Pengujian Goodnes of Fit Dilakukan dengan uji hosmer and lemeshow‟s goodness of fit test dengan kriteria: H0 diterima, maka Ha ditolak jika signifikansi > 0,05 berarti tidak ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya. uji goodness of fit untuk menunjukkan kesesuaian antara empiris dengan model (Ghozali,2006). 3. Uji Hipotesis Uji regresi logistik dilakukan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel terikat dapat dipredikai dengan variabel bebasnya (Ghozali, 2006)
Y
a
1
KDK
2
IDPN
3
FREK
4 LTA
Dimana: Y
= Nilai perusahaan
a
= Konstanta
β
= Koefisien regresi
KDK
= Kompetensi dewan komisaris
IDPN
= Proporsi dewan komisaris independen
FREK
= Frekuensi rapat dewan komisaris
LTA
= Ukuran perusahaan
ε
= Error
Hipotesis statistik adalah sebagai berikut : Ho : βi = 0 Ha : βi ≠ 0
13
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Setelah melalui proses seleksi kelengkapan data pada sampel penelitian dari 113 sampel data perusahaan manufaktur, maka penelitian ini hanya menggunakan 85 sampel data perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2010. Seleksi ini dilakukan karena kurang lengkapnya data utnuk variabel independen. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan membandingkan nilai minimum, nilai maksimum, dan rata-rata dari sampel. Analisis statistik deskriptif menggunakan variabel independen kompetensi dewan komisaris (KDK), proporsi dewan komisaris independen (IDPN), dan frekuensi rapat dewan komisaris (FREK). Variabel dependen yang digunakan adalah nilai perusahaan (TOBINS) dan variabel kontrol yang digunakan adalah Log Total aset (LTA).
Tabel 1. Statistik Deskriptif
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
KDK
85
.00
1.00
.4696
.25954
IDPN
85
.00
1.00
.4056
.13420
FREK
85
1.00
42.00
6.3529
6.78532
LTA
85
22.30
32.27
27.9940
1.59323
Valid N (listwise)
85
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012) Statistik frekuensi
14
Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
0
41
48.2
48.2
48.2
1
44
51.8
51.8
100.0
Total
85
100.0
100.0
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012) Rata-rata dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis dalam sampel perusahaan sebesar 46,96% . Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis yang memimpin perusahaan hampir mencapai 50% atau hampir setengah dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris yang ada dalam suatu perusahaan. Namun ada juga perusahaan yang tidak memiliki dewan komisaris berkompeten dibidang ekonomi dan bisnis yang ditunjukkan dengan nilai minimum 0% (ada 9 perusahaan) dan ada juga perusahaan yang seluruh dewan komisarisnya berkompeten dibidang ekonomi dan bisnis yang ditunjukkan dengan nilai maximum 100% (6 perusahaan). Hasil olah data statistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata proporsi dewan komisaris independen (IDPN) dari sampel perusahaan manufaktur yang diamati adalah 40,56%, dimana menurut peraturan Bursa Efek Indonesia, untuk perusahaan yang listing BEI harus memiliki komisaris independen sekurangkurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sampel perusahaan manufaktur yang terdafdar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2010 tergolong baik karena sudah memenuhi syarat minimal. Disamping itu masih ada perusahaan yang tidak mempunyai dewan komisaris independen seperti PT Sunson Textile Manufacture Tbk (SSTM) dan hanya satu perusahaan yang seluruh dewan komisarisnya adalah dewan komisaris independen yaitu PT Arwana Citramulia Tbk. Dari hasil uji statistik deskriptif menunjukkan rata-rata frekuensi rapat dewan komisaris yang dilakukan dewan komisaris perusahaan manufaktur di Indonesia sebanyak 6,3529 atau 6 kali dalam setahun, yang artinya dewan 15
komisaris secara rata-rata mengadakan rapat setiap 2 bulan dalam setahun. Ada 5 perusahaan mengadakan rapat minimal 1 kali dalam setahun dan ada perusahaan yang mengadakan rapat maximal 42 kali dalam setahun yaitu PT Alumindo dan PT Indal Aluminium Industry Tbk. Apabila perusahaan mengadakan rapat sebanyak 42 kali, dapat dikatan hampir setiap 2 minggu dalam setahun perusasahaan mengadakan rapat dewan komisaris. Nilai rata-rata ukuran perusahaan (total asset) sebesar 27,9940
dengan
standard deviasi sebesar 1,59323. Hasil pengujian statistik deskriptif menemukan bahwa sampel perusahaan manufaktur tahun 2010 didominasi oleh perusahaan yang memiliki nilai Tobins „Q > 1 dengan prosentase 51.80 %. Artinya sampel dalam penelitian ini di dominasi oleh perusahaan yang nilai sahamnya dihargai oleh investor lebih tinggi dibandingkan nilai buku perusahaan, dengan prosentase jumlah perusahaan sebesar 51.80%.
Tabel 2. Uji goodness of fit
Model Summary
Step
-2 Log likelihood a
1
110.465
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square .082
.109
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012) a.
Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001. (Sumber data : data diolah pada tahun 2012)
Dari data diatas nilai Cox dan Snell R square dapat juga digunakan untuk menilai model fit. Hasil output SPSS diatas memberikan nilai Cox dan Snell R
16
Square sebesar 0,082 dan nilai Ngelkerke R Square sebesar 0,109. Arti dari output diatas adalah variabilitas Tobins „Q yang dapat dijelaskan oleh variabilitas kompetensi dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen , dan frekuensi rapat dewan komisaris sebesar 10.9% , sedangkan 89.1% dapat dijelaskan oleh factor lain.
Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
df
Sig.
4.149
7
.762
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012) Uji goodness of fit menemukan nulai signifikansi sebsesar 0.762 atau berada diatas 0.05. Data diatas dapat menyimpulkan bahwa model peneletian dapat diterima atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model penelitian dengan data (Ghozali, 2006). Tabel 3. Hasil uji regresi logistik
B a
Step 1
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
KDK
1.853
.919
4.064
1
.044
6.378
IDPN
-1.280
1.721
.553
1
.457
.278
FREK
.007
.033
.040
1
.841
1.007
LTA
.282
.153
3.389
1
.066
1.325
-8.201
4.372
3.518
1
.061
.000
Constant
(Sumber data : data diolah pada tahun 2012) a.
Variable(s) entered on step 1: KDK, IDPN, FREK, LTA.
Hasil diatas menunjukkan bahwa kompetensi dewan komisaris (KDK) berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor (TOBINS) karena nilai signifikansi dari variabel tersebut < 0,05. 17
Artinya apabila dalam sebuah perusahaan dipimpin oleh banyak dewan komisaris yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi dan bisnis, maka probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor akan semakin tinggi. Kompetensi disini tidak hanya dilihat dari latar belakang pendidikan saja, tetapi juga melihat pengalaman pekerjaan dewan komisaris sebelumnya dalam bidang ekonomi
dan
bisnis.
Dewan
komisaris
yang
berkompeten
dapat
mempertimbangkan keputusan berdasarkan pengalaman, sehingga dapat lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang bertujuan untuk memperketat pengawasan terhadap kinerja dewan direksi untuk menghasilkan kinerja keuangan yang baik. Kinerja keuangan yang baik dapat menciptakan output yang baik yaitu laporan keuangan yang sehat yang dapat mengundang respon baik dari para investor dalam bentuk nilai saham yang bisa lebih tinggi dibandingkan dengan jilai buku perusahaan.
Cadbury et al (1993) dalam Wiwik et al (2007)
mengatakan bahwa faktor pengalaman lebih penting sebagai unsur kompetensi bagi dewan komisaris. Dewan komisaris yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di bidang ekonomi atau keuangan dapat melakukan pengendalian secara efektif, sehingga dapat mengurangi kecurangan dalam pelaporan keuangan. Wiwik et al (2007) menemukan bahwa kompetensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pelaksanaan good corporate governance. Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan dengan Kusumastuti et al (2007) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan Variabel independen proporsi dewan komisaris independen (IDPN) berpengaruh negative terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor (TOBINS). Nilai siginifikan variabel komisaris independen 0,457 atau > 0,05. Artinya dewan komisaris independen kurang objektif dalam melakukan pengawasn terhadap dewan direksi, sehingga kinerja dewan direksi kurang begitu efektif dan efisien yang akhirnya berdampak kepada menurunnya kinerja keuangan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa
perusahaan yang
memiliki dewan komisaris independen hanya untuk memnuhi syarat minimal jumlah dewan komisaris independen yang ditetapkan oleh Bursa Efek Indonesia, sehingga membuat kinerja perusahaan tidak efektif dan akan sulit mendapat 18
respon baik dari investor untuk menilai lebih tinggi nilai saham perusahaan dibandingkan dengan nilai buku perusahaan . Klein (1998), Bhagat dan Black (1997,1998) dalam juwitasari (2008) menemukan bahwa proporsi independent non-executive directors tidak memiliki efek yang konsisten terhadap marketadjusted share-price performance. Frekuensi rapat dewan komisaris (FREK) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (TOBINS)., karena nilai signifikansi sebsesar 0,841 atau dengan kata lain < 0,05. Sehingga dengan hsail tersebut dapat dikatakan bahwa frekuensi rapat dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor. Frekuensi rapat dilakukan hanya sebagai formalitas dan tidak membahas detail, sehingga rapat tidak efektif dalam membahas perkembangan perusahaan atau informasi-informasi terbaru mengenai perusahaan. Sehingga pengawasan dan pengambilan keputusan tidak berjalan dengan baik yang akan menghasilkan besarnya tingkat kecurangan dewan direksi. Hal ini akan menyulitkan investor untuk menilai saham perusahaan lebih tinggi disbanding dengan nilai buku perusahaan. Oleh karena itu semakin besar aktivitas yang dilakukan oleh dewan komisaris tidak menjamin terjadinya peningkatan kinerja perusahaan (Juwitasari, 2008). Hasil olah data SPSS diatas menemukan nilai ukuran perusahaan atau log total asset (LTA) terhadap nilai perusahaan (TOBINS) sebsesar 0,282, dengan tingkat signifikansi 0,066 atau <0,05. Dari hasil pengujian regresi logistik, dapat dijelaskan bahwa total asset (LTA) berpengaruh positif terhadap nilai perusasahaan (TOBINS). Tanda positif yang sudah menjelaskan adanya pengaruh antara total asset terhadap nilai perusahaan.semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin tinggi juga probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor Meskipun mempunyai hubungan positif, tetapi total asset tidak mempunyai hubungan yang signifikan atau dapat diartikan bahwa total asset tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan. Dalam hal ini total asset tidak mempengaruhi nilai perusahaan di mata investor karena walaupun perusahaan mempunyai nilai buku aset yang tinggi, bukan berarti perusahaan tersebut akan mempunyai nilai pasar saham yang tinggi. Indriani (2005) dalam
19
Juwitasari (2008) mengindikasikan bahwa ukuran perusahaan bukan menjadi variabel yang langsung mempengaruhi nilai perusahaan. PENUTUP Kesimpulan Dari uraian analisa data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kompetensi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh investor, sedangkan proporsi dewan komisaris independen dan frekuensi rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap probabilitas perusahaan untuk dinilai lebih tinggi oleh perusahaan. Implikasi teori Berdasarkan kesimpulan diatas,
belum konsisten karena penelitian ini
bertentangan dengan penelitian sebelumnya yaitu Kusumastuti et al (2007) yang membuktikan bahwa dewan komisaris yang
berlatar belakang pendidikan
ekonomi dan bisnis tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Implikasi terapan Berdasarkan kesimpulan maka penulis menyarankan untuk perusahaan dan investor yaitu: 1. Perusahaan
bisa
memperhatikan
proses
rekruitmen
dengan
mempertimbangkan latar belakang pendidikan dan atau pengalaman kerja dibidang ekonomi dan bisnis, sehingga dapat memberi kontribusi yang baik terhadap kinerja keuangan perusahaan. 2. Perusahaan bisa lebih memperhatikan isi dan intensitas rapat dewan komisaris dalam menyampaikan informasi mengenai perkembangan perusahaan. 3. Sebelum mengambil keputusan investasi, investor dapat memperhatikan perusahaan dengan melihat kompetensi dewan komisaris dan kinerja keuangan perusahaan.
20
Keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian berikutnya Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain : 1. Tobins‟Q dikelompokkan menjadi 2 yaitu perusahaan yang mempunyai nilai Tobins‟Q > 1 dan nilai Tobins „Q ≤1 dijelaskan 3 variabel saja. Tobins‟Q hanya dapat menilai respon pasar. Tobins‟Q tidak dapat menjelaskan dampak bagi perusahaan dari hasil nilai Tobins‟Q tesebut jika diukur secara rasio, sehingga kemungkinan hasil penelitian akan berbeda. 2. Periode penelitian yang dilakukan hanya 1 periode yaitu tahun 2010 Saran untuk penelitian berikutnya yaitu : 1. Penelitian berikutnya disarankan menambahkan variabel control yaitu ROE, ROA, atau profitabilitas. 2. Untuk lebih dapat menjelaskan variabel dependen, penelitian berikutnya disarankan menambahkan variabel independen seperti nilai remunerasi yang dibayarkan kepada dewan komisaris dan lamanya waktu yang sudah dilalui oleh dewan komisaris dalam menempuh pendidikan dan atau pengalaman kerja sebelumnya dibidang ekonomi dan bisnis. 3. Penelitian
berikutnya
disarankan
menggunakan
kinerja
keuangan
perusahaan sebagai variabel perantara.
21
DAFTAR PUSTAKA Andriani wiwik, Sukartini, dan Reno Fithri Meuthia, “Pengaruh Kompetensi dan Independensi Dewan Komisaris Terhadap Pelaksanaan Good Corporate Governance”, Jurnal Akuntansi dan Manajemen Vol 2 No. 2 Desember 2007. Anggarini, Vota, 2010, Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Financial Distress. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Antonia, Edgina ,2008, Analisis Pengaruh Reputasi Auditor, Proporsi Dewan Komisaris, Leverage, Kepemilikan Manajerial, dan Proporsi Komite Audit Independen Terhadap Manajemen Laba. Tesis Program S2 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Arifin, 2005, "Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance Pada Perusahaan Di Indonesia ", Journal of Accounting and Economics, 29. Dyah, Putri, 2010, Pengaruh Struktur Governance Terhadap Fee Audit Eksternal.Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Ghozali, Imam, 2006, Analisis Multivariate Lanjutan Dengan Program SPSS, Semarang Kementerian Keuangan RI Bapepam-LK, 2010, Kajian Tentang Pedoman Good Corporate Governance Di Negara-Negara Anggota ACMF . Komite Nasional Kebijakan Governance, 2010, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra, 2007, “Pengaruh Board Diversity Terhadap Nilai Perusahaan Dalam Perspektif Corporate Governance”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol 9, No. 2, Nopember 2007:88-98. Machfoedz, M. dan Sillagan, H., 2006, “ Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba, dan Nilai Perusahaan”, Simposium Naional Akuntansi 9 Padang. Muntoro, Ronny, 2011, “Membangun Dewan Komisaris Yang Efektif “.
22
Nasser, Etty, 2008, “Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Dewan Komisaris Independen Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Manajemen Laba dan Kebijakan Hutang Sebagai Variabel Intervening”, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi, Vol.8, No. 1, April 2008: 1-27. Riyanto, Ganang, 2011, Analisis Pengaruh Mekanis Good Corporate Governance dan Privatisasi Terhadap Kinerja Keuangan. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Sabila, Nisa, 2012, Pengaruh Kualitas Corporate Governance Terhadap Kinerja Perusahaan Peserta Corporate Governance Perception Index (CGPI). Artikel Ilmiah Program S1 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas. Setyawati, Novita, 2011, Analisis Pengaruh Board Of Directors, Board Of Commisioners, dan Komisaris Independen Terhadap Profitabilitas Industri Asuransi Yang Go Public Periode 2005-2009. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Supatmi,
A.A.T. Pratiwi, dan R. Prabowo, 2010, ”Asosiasi Related Party
Transation dan KinerjaPerusahaan (studi pada lembaga keuangan yang terdaftar di BEI 6tahun 2008)”, Proceeding : Seminar Akbar Forum Manajemen Indonesia, Surabaya. Susanti, Rika, 2010, Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Nilai Perusahaan. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Wahyudi, Johan, 2010, Pengaruh Pengungkapan Good Corporate Governance, Ukuran Dewan Komisaris, dan Cross-Directorship Dewan Terhadap Nilai Perusahaan. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Waryanto, 2010, Pengaruh Karakteristik Good Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility Di Indonesia. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
23