1
KURIKULUM 2013 SUATU TINJAUAN KRITIS Oleh Dr Purwo Susongko, MPd (
[email protected]) (Disampaikan dalam seminar nasional tantangan implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Kopeng, Kab Semarang, 27 April 2014) ABSTRAK Kurikulum 2013 hadir secara tiba tiba tidak didahului dengan evaluasi yang komprehensif berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu lulusan sekolah di Indonesia. Dalam kurikulum 2013, mapel dirancang terkait satu dengan yang lain dan memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas. Hal ini menimbulkan masalah karena selain tidak operasional, kompetensi inti tidak berbasis pada disiplin ilmu sehingga terlihat terlalu dipaksakan. Kurikulum 2013 sangat holistik sehingga kemungkinan dalam asesmen ketercapain kompetensi menjadi rumit untuk pengukuranya. Dalam Kurikulum 2013 ada kompetensi inti setiap kelas dan ada standar kompetensi lulusan satuan pendidikan namun belum dinyatakan secara eksplisit standar minimal kompetensi seorang siswa naik kelas atau lulus sekolah dasar/ sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas yang berdasarkan disiplin ilmu. Tidak semua subbjec matter atau bidang studi dapat menggunakan pendekatan yang sama (saintifik) .Agama, matematika, seni, bahasa tentunya bukan sain secara epistemology sehingga tidak bisa diajarkan dengan pendekatan saintifik. A. Kualitas Pendidikan Dasar Dan Menengah di Indonesia Sudah sebelas kali Pemerintah Republik Indonesia melalui kementerian yang mengatur pendidikan melaksanakan perubahan kurikulum sejak tahun 1947 hingga 2013. Namun perubahan kurikulum tersebut tidak berakibat semakin membaiknya kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil survei Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2007 menempatkan Indonesia pada peringkat 35 dari 46 negara peserta, jauh 14 tingkat dibawah Malaysia. Demikian pula hasil survei internasional yang lain, yaitu Programme for International Student Assesmentc(PISA) tahun 2006, peringkat Indonesia untuk Matematika adalah berada pada urutan 52 dari 57 negara, Untuk IPA, Indonesia berada pada peringkat 54 dari 57 negara. Untuk kemampuan membaca, Indonesia peringkat 51 dari 56 negara. Kita sudah benar-benar kalah bersaing dengan bangsa lain walaupun masih satu rumpun dengan kita.
2
Indeks pengembangan manusia Indonesia (IPM/HDI) pada tahun 2012 masih menduduki rangking 121 dari 187 negara ( UNDP dan BPS 2012). Global creativity index untuk Indonesia pada tahun 2011 masih sekitar 0,03 dalam rentang nilai 0-1, sedangkan Global Competitive Index masih sekitar 0,03 dalam rentang nilai 1-10 ( Martin Prospherity Institute, 2011 dan Richard Florida , 2012) . Hasil survey PISA tahun 2009 melaporkan bahwa hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 sementara siswa dari Negara-negara lain mampu sampai level 4,5 bahkan 6. Pada tahun 2011 pada pelajaran matematika kelas 8 , 95 % siswa Indonesia masih dibawah level menengah sementara 50 % siswa Taiwan telah mencapai level tinggi dan advance. Pada pelajaran IPA kelas 8 , 95 % siswa Indonesia masih dibawah level menengah sementara 40 % siswa Taiwan telah mencapai level tinggi dan advance. Pada kemampuan membaca kelas 8 , 95 % siswa Indonesia masih dibawah level menengah sementara 50 % siswa Taiwan telah mencapai level tinggi dan advance. Rendahnya lulusan sekolah Indonesia ini secara langsung kita dapat memberikan kesimpulan bahwa pembangunan pendidikan kita belum berhasil. Sistem pendididkan di Indonesia selama ini cenderung terlihat lebih berorientasi dan terfokus pada input pendidikan dan prosesnya. Hingga tahun 2012 kita telah berhasil menganggarkan 20 % APBN untuk pendidikan. Peningkatan sarana prasarana pendidikkan, meningkatnya kesejahteraan guru dan dosen, pemberian beasiswa yang semakin meluas bahkan munculnya sekolah gratis di banyak pemerintah daerah, apakah telah berdampak terhadap lulusan sekolah di Indonesia? Input pendidikan seperti sarana-prasarana dan kurikulum beserta prosesnya, memang sangat penting bagi keberhasilan seseorang dalam belajar, tetapi hal ini saja tidak cukup. Betapapun besar anggaran untuk pendidikan dinaikan, betapapun lengkap fasilitas sekolah, jika muridnya tak dituntut untuk rajin membaca dan berlatih, tentulah tidak akan menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan. Sekolah di Jepang, Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Malaysia adalah contoh dimana murid harus belajar amat rajin sehari-harinya. Itulah sebabnya kualitas SDM di sana meningkat pesat dan terbukti menjadikan mereka sebagai bangsa yang maju. Padahal di Korea Selatan , misalnya, selama puluhan tahun jumlah murid per kelas rata-rata 60-65 orang. Kemalasan siswa untuk belajar bermula dari karena semenjak tahun 1968 standar kelulusan tidak lagi digunakan sebagai syarat seseorang mendapatkan ijazah seperti halnya terjadi sebelum tahun 1968. Dari hasil pemantuan selama lima tahun, 1996-2001, prosentase
3
sekolah SMP kategori A (nilai rata-rata lulusan diatas 7,5) selalu dibawah 0.5 %,sementara sekolah kategori D (nilai rata-rata lulusan di bawah 5,5) meningkat dari 54.71% di tahun 1996 menjadi 81.93% di tahun 2001. Untuk tingkat SMA juga menunjukan angka yang tak jauh berbeda. Selanjutnya, jika dilihat dari standar yang digunakan dalam arti tingkat kesukaran soal yang diujikan, maka gambaran yang tampak lebih memprihatinkan. Sebagai contoh, sebelumnya, standar kelulusan minimum adalah nilai rata-rata 5.5 dan dengan soal yang sulit. Sesudahnya, tak digunakan lagi istilah kelulusan karena semua tamat, dan dengan soal yang amat mudah. Tahun 1984 sampai 2000, diberlakukan kebijakan penyesuaian (pengkatrolan) nilai dengan rumus PQR, yang membuat nilai akhir dalam STTB selalu tinggi. Hal ini bukan saja merupakan sejenis proses “pembodohan” secara nasional, tetapi juga melestarikan bahkan memperlebar jurang kesenjangan mutu lulusan antar daerah. Hal ini berlangsung terus menerus sehingga ada riset yang mencengangkan kita bersama bahwa soal ujian penghabisan kelas 6 Sekolah Rakyat tahun 1954 dan 1961 ternyata amat jauh lebih sukar daripada soal ujian Ebtanas tahun 1980an sampai dengan 1998 (Yahya Umur, 2004). Jelas sekali terlihat betapa terjadi penurunan tingkat kesukaran soal yang sangat ekstrim dari waktu sebelum standar kelulusan nasional dihapuskan pada tahun 1968, dengan setelahnya. Artinya lulusan SMP di tahun 1998 sama pandainya dengan lulusan Sekolah Rakyat di tahun 1954 hanya bedanya generasi tahun 50 an tidak akan pernah merusak sekolah bila dinyatakan tidak lulus namun bagai generasi sekarang, guru sangat takut untuk menyatakan siswa tidak naik atau tidak lulus karena akan terjadi perusakan sekolah dan tindakan anarki yang lain. Bahkan Bagi siswa yang tidak lulus di era sekarang sangat bahagia, karena justru dibantu oleh para guru, dan pejabat serta anggota DPR untuk rame-rame menolak ujian nasional, ibarat pepatah buruk rupa, cermin dibelah. Dampak lain yang sangat serius dari tidak diterapkannya suatu standar nasional untuk kelulusan ( lulus 100%) ialah terhadap perilaku belajar murid dan perilaku mengajar guru. Karena tak ada yang tak lulus betapapun malasnya seorang murid , maka amatlah sulit untuk mendorong agar murid rajin belajar. Kalau di tahun 1960an atau sebelumnya setiap orang belajar mati-matian agar dapat lulus, maka setelah tahun 1970an hanya murid di sekolah tertentu atau di keluarga dengan tradisi tertentu saja yang masih mau rajin belajar. Tak ada kecemasan atas hasil ujian. Padahal semua orang tahu bahwa secerdas apapun seseorang jika tidak pernah membaca dan berlatih, tentulah tak dapat mencapai prestasi yang tinggi. Apalagi kalau kecerdasannya
4
cuma rata-rata dan kerjanya hanya bermain, malas-malasan, nonton TV, tanpa belajar, tentu tak mungkin jadi pandai. Bila pada tahun 50 an seorang siswa yang dihukum oleh guru, orang tuanya akan berterimakasih karena guru telah memberikan perhatian khusus, maka dewasa ini bila sedikit saja guru memberi hukuman, maka orang tua murid langsung tidak terima bahkan melaporkanya ke polisi atau media massa. Benar-benar dimanja siswa kita sekarang . Keadaan lulus 100%
juga berdampak buruk pada perilaku mengajar guru. Mereka
umumnya merasa sudah aman dan selesai tugasnya jika telah melasanakan semua kewajiban kurikuler meskipun murid-muridnya tak memahami yang diajarkan. Memang kenyataannya penilaian atapun angka kredit bagi kinerja guru bukan diukur dari prestasi muridnya, melainkan lebih pada sejauh mana ia telah melaksanakan cara mengajar yang ditentukan. Itu sebabnya kebanyakan guru tak merasa gagal sepanjang seluruh rangkaian tugasnya selesai. Kenyataan bahwa setiap tahun lebih sejuta murid tamat SLTA yang berarti telah belajar Bahasa Inggris 4 jam per minggu selama 6 tahun, namun nyaris tak ada yang dapat berbahasa inggris, tampaknya tak dianggap masalah serius. Kondisi ini diperparah oleh pelaksnaaan demokrasi secara liberal tanpa mengindahkan profesionalitas. Oleh karenanya kita menyaksikan kehidupan masyarakat sekarang sebagai hasil dari kondisi pendidikan yang carut marut. Adanya tuntutan menjadi guru PNS secara otomatis tanpa Tes CPNS, penentuan pejabat struktural di lingkungan pendidikan yang tanpa menghiraukan profesionalitas, politisasi guru demi kepentingan elit elitnya, semakin menjauhnya budaya sekolah bahkan sekolah-sekolah negeri dari nilai-nilai pancasila yang menjaga kebinekaan, munculnya kelas jauh, jual beli ijazah, dan lain sebagainya adalah hasil dari proses pendidikan yang sejak orde baru tidak lagi melaksanakan standarisasi bagi kelulusan siswa. Bahkan setelah pemberlakuan ujian nasional, banyak dijumpai pembentukan tim sukses UN dengan cara-cara yang tidak terpuji demi meluluskan sebanyak-banyaknya siswa di suatu daerah, bahkan untuk mata pelajaran yang tidak diUN kan, dianggap pasti lulus atau otomatis lulus, karena diuji oleh sekolah sendiri. Hal ini menandakan sekolah-sekolah ternyata tidak dapat menghargai kewenanganya sendiri karena takut terhadap pejabat yang menginginkan lulus 100 % dan juga takut terhadap siswa-siswanya yang akan anarkis bila sampai tidak lulus. Kelulusan UN menjadi sesuatu yang prestise, para insan pendidikan lupa bahwa hasil penelitian menunjukkan kemampaun awal lebih berpengaruh dibanding dengan
pengalaman belajar
sehingga sangat tidak arif jika kelulusan UN, menjadi parameter keberhasilan guru, kepala
5
sekolah, kepala dinas maupun Bupati/walikota karenma kondisi siswa tiap daerah mempunyai kemampuan awal yang berbeda-beda. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan di atas, sistem pendidikan di Indonesia sekarang seharusnya lebih difokuskan pada pengendalian kualitas mutu lulusannya. Tidak boleh lagi ada dikhotomi antara pemerataan dengan mutu, di mana dengan alasan untuk pemerataan lalu mutu boleh dikorbankan dulu. Memenuhi hak asasi warga Negara untuk memperoleh pendidikan haruslah terkait dengan mutunya. Dan untuk itu diperlukan adanya system pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan (quality management). Seiring dengan upaya pengendalian mutu yang justru lebih membutuhkan tekad dan komitmen dari pada beaya atau perubahan Kurikulum . Apakah masalah ini semua hanya dapat diselesaikan dengan pergantian kurikulum? Seharusnya sebelum bicara perubahan kurikulum perlu dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap semua standar sesuai amanat PP no 19 tahun 2005 yang meliputi standar isi, proses pembelajaran,penilaian, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan dan pengelolaan. Sesempurna apapun kurikulum yang digunakan bila tidak memiliki komitmen dalam pemenuhan 8 standar tersebut
tidak akan
menghasilkan perbaikan apapun. B.
Kurikulum 2013
Tema Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dapat menghasilkan insan indonesia yang:Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui penguatan Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan yang terintegrasi. Diskursus pemberlakuan kurikulum 2013 masih berlangsung hingga kini, setidaknya ada beberapa hal yang terlihat kontradiksi dengan harapan penyusunan kurukulum 2013 yaitu agar lulusan sekolah Indonesia memenuhi standar internasional yaitu: 1. Kurikulum 2013 hadir secara tiba tiba tidak didahului dengan evaluasi yang komprehensif berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya mutu lulusan sekolah di Indonesia. Kurikulum hanya salah satu dari faktor yang menyebabkan rendahnya mutu lulusan sekolah , masih banyak faktor lain sehingga harus diidentifikasi dengan jelas faktor utama penyebab rendahnya mutu lulusan. 2. Dalam kurikulum 2013 Mapel dirancang terkait satu dengan yang lain dan memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas. Hal ini menimbulkan masalah karena selain tidak operasional, kompetensi inti tidak berbasis pada disiplin
6
ilmu sehingga terlihat terlalu dipaksakan.
Sebagai contoh mapel Matematika dan sains
juga harus mengemban kompetensi inti menghargai dan menghayati ajaran agama. Hal ini bagi penulis terlalu utopis karena epistemologi keilmuan jelas berbeda antara agama, matematika dan sains. Karena ketiganya berbeda maka proporsi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan juga berbeda pada masing-masing mapel. Pengetahuan dan Keterampilan setiap disiplin ilmu berbeda sehingga tidak dapat dipahami secara bersama. 3. Standar Internasional pada umumnya ( PISA, TIMSS dll) mendeskripsikan kompetensi secara jelas dan berbasis pada disiplin ilmu sehingga Kurikulum 2013 sangat holistik
mudah dalam mengukur. .
sehingga kemungkinan dalam asesmen ketercapain
kompetensi menjadi rumit untuk pengukuranya. Agama, matematika dan sains bukan kompetensi yang satu dimensi sehingga pengukuranya tidak dapat dilakukan secara terpadu. 4. Dalam Kurikulum 2013 ada kompetensi inti setiap kelas dan ada Standar kompetensi lulusan satuan pendidikan namun belum dinyatakan secara eksplisit standar minimal kompetensi seorang siswa naik kelas atau lulus sekolah dasar/ sekolah menengah pertama ataupun sekolah menengah atas yang berdasarkan disiplin ilmu.
Padahal standar
kompetensi lulusan adalah bagian integral dari kurikulum , bahkan pada beberapa Negara , Kurikulum sudah dibuat berbasis pada standar kompetensi yang dipersyaratkan. 5. Dalam kurikulum 2013 ada Langkah Penguatan Proses: Pembelajaran (Menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar,.... , Menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran , Menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu [discovery learning] , Menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif . Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah semua subbjec matter atau bidang studi dapat menggunakan pendekatan yang sama (saintifik) ? Agama, matematika, seni, bahasa tentunya bukan sain secara epistemology sehingga tidak bisa diajarkan dengan pendekatan saintifik.
C. Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran Agama Buddha dan Budi Pekerti di Sekolah
7
Nomenklatur pendidikan agama dalam kurikulum 2013 menjadi pendidikan agama dan budi pekerti sebenarnya bukan menjadi masalah baru bagi pembelajaran Agama Buddha karena Agama Buddha sepenuhnya adalah budi pekerti . Agama Buddha
adalah agama dimana
keselamatan manusia tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri bukan berasal dari pemujaan atau mahluk lain yang lebih tinggi dan berkuasa atas segala sesuatu. Keyakinan dalam buddhis bukanlah keyakinan yang membabi buta, melainkan keyakinan yang dilandasi pengertian benar. Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha tidak pernah memaksa suku kalama untuk menjadi umat Buddha. Karena dengan itu keyakinan mereka akan lemah. Sang Buddha sengaja membiarkan suku kalama mengerti sendiri dengan ajaran sang Buddha agar keyakinannya juga menjadi kuat.Inti dari kalama sutta ini mengajarkan kita ketika mendengar , melihat, membaca, menyaksikan jangan mudah percaya, tapi harus di teliti dimengerti, dipahami, dan di praktekan sendiri, sampai kita tahu kalau ini memang mengarah pada hal baik dan memuaskan, lanjutkan, namun jika itu mengarah pada hal yang tidak baik dan menyebabkan penyesalan, maka tinggalkanlah. Jadilah orang yang tidak mudah tertipu dan hanyut. Prinsipnya ehipassiko, come and see. Penggunaan pendekatan saintifik dalam pembelajaran agama Buddha sebenarnya adalah pendekatan yang selama ini ditunggu tunggu
sekaligus menantang untuk guru agama
Buddha.Bukti empiris kebenaran agama Buddha adalah sangat penting karena pembuktian kebenaran Buddhisme ini akan membawa seseorang mempunyai keyakinan (sadda) terhadap Sang Tiratana ( Buddha, Dhamma dan Sangha). Jadi, dalam agama Buddha , manusia diajak untuk membuktikan terhadap ajaran sang Buddha baru kemudian menimbulkan keyakinan terhadap Sang Buddha sebagai Sammasambudhasa ( mencapai penerangan sempurna) . Pembuktian ajaran Buddha /Dhamma tidak bisa dilakukan hanya dengan sains klasik namun juga harus melibatkan pendekatan Ultimate Science ( Dr Mehm Tin Mom, 2002),
Ultimate
Science adalah sains yang bebas dari persepsi manusia . Ultimate Science adalah sains yang menggunakan 6 indera yaitu panca indera dan indera pikiran sebagai indera ke 6.
Pikiran adalah indera ke-enam dalam Buddhisme, dialah yang
memandu kelima panca indera yakni penglihatan, pendengaran, pembauan, pengecapan maupun perabaan. Ultimate Science adalah Buddhisme. Buddhisme adalah sains yang ditemukan dalam observasi yang melebihi fungsi panca indera. Buddhisme bertitik awal dimana ilmu pengetahuan bertakhir . Ilmu pengetahuan tidak dapat memberi jaminan kepastian. Akan tetapi Buddhisme
8
dapat memenuhi tantangan atomik, karena pengetahuan adi-duniawi dari Buddhisme bertitik awal di mana ilmu penghetahuan berakhir. Dan hal ini cukup jelas bagi seseorang yang telah mempelajari Buddhisme. Karena melalui meditasi Buddhis unsur-unsur
atomik penyusun
materi telah dilihat dirasakan, dan juga penderitaan atau ketidakpuasan ( dukkha) tentang “kemunculannya dan kelenyapanya “( yang tergantung pada sebab sebab ) yang sering telah menjadikan dirinya sebagai apa yang disebut jiwa atau roh atau atma sebuah khayalan tentang Sakkayadithi demikain ia dinamakan di dalam ajaran Sang Buddha ( Egerton C Baptis, Supreme science of the Buddha )
Ultimate Science tidak didasarkan pada Logika manusia . Logika hanya dapat dipercaya sebagai anggapan-anggapan sebagai dasarnya. Sebaliknya
Buddhisme hanya mempercayai
pengalaman yang jelas/jernih dan objektif . Pengalaman yang jelas atau jernih terjadi ketika alat ukur seseorang berupa pikiran sehatnya, cermelang dan tidak terganggu. Dalam Buddhisme, hal ini terjadi ketika rintangan berupa kelambanan dan kemalasan serta keresahan dan penyesalan, seluruhnya dapat diatasi. Pengalaman yang objektif merupakan pengalaman yang bebas dari segala penyimpangan (bias). Dalam Buddhisme, tiga jenis penyimpangan (bias) adalah, napsu keinginan, kehendak buruk dan keragu-raguan yang bersifat tidak pasti. Napsu keinginan membuat seseorang hanya melihat apa yang ingin ia lihat, napsu keinginan membelokkan kebenaran sehingga sesuai dengan apa yang disukai oleh seseorang. Kehendak buruk membuat seseorang buta pada apapun juga yang mengganggu atau yang membingungkan pandangan seseorang dan ia mengubah kebenaran penyangkalan. Keraguan yang tak pasti dengan keras kepala menolak segala kebenaran tersebut, seperti kelahiran kembali (tumimbal lahir), yang merupakan hal benar-benar sahih, tapi yang jatuh di luar dari kesesuaian dengan pandangan dunia.Singkatnya, pengalaman yang jelas atau jernih dan objektif hanya tejadi ketika “Lima Rintangan” dalam diri seorang Buddhis telah diatasi. Hanya setelah itulah seseorang dapat mempercayai data yang datang melalui pengertian seseorang. Karena para ilmuwan tidaklah bebas dari kelima rintangan ini, mereka jarang berpikir jernih dan objektif. Sebagai contoh, hal ini biasa bagi para ilmuwan untuk mengabaikan data yang mengganggu, yang tidak sesuai dengan teori-teori berharga mereka, atau yang lainnya adalah membatasi bukti-bukti tersebut untuk dilupakan dengan menyimpannya sebagai suatu `anomali` (ketidaknormalan).Seseorang
9
haruslah memiliki pengalaman Jhana untuk menyingkirkan lima rintangan ini secara efektif (menurut Nalakapana Sutta, Majjhima Nikaya 68). Jadi hanyalah para meditator yang sempurna yang dapat mengklaim dirinya ilmuwan sejati, yang memiliki pikiran jelas dan objektif. Ultimate Science yang berbasis pada samadi ( meditasi) setidaknya dalam dua abad terakhir menjadi kajian yang menarik dan sangat apresiatif di belahan dunia barat. Bahkan, meditasi dianggap sebagai metodologi yang sebanding atau bahkan lebih sempurna dibanding metodel ilmiah klasik yang mengandalkan panca indera. Meditasi, selalu seksama untuk tidak mengganggu realitas melalui pengukuran buatan yang mengesankan, dan ia secara jelas dapat diulang ( Ajhan Bram ). Lewat Ultimate Science ini ilmuwan barat bisa menerima konsep rebirth (purnabava), konsep alam raya yang tidak terbatas, konsep interbeing atau asas saling ketergantungan, relativitas waktu,
dll). Berikut penulis mencoba membuat suatu daftar
kesetaraan materi ajar Agama Buddha yang dapat menjelaskan secara rinci fenomena-fenomena alam yang selama ini tidak dapat dijelaskan dengan science. Tabel 1: Penjelasan Ultimate Science/Buddhism Science terhadap beberapa fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh sains klasik No
Tema
Penjelasan dengan Ultimate Science
1
Keberadaan semua
Konsep interbeing yang bersumber dari Konsep
mahluk
paticasamupada
Keberadaan Jagad Raya
Fisika modern ditambah dengan Kosmologi Buddhis
2
berdasarkan Ananda Vagga, Anguttara Nikaya, Avatamsaka Sutra 3
4
Kiamat atau perubahan
Siklus jagad raya dapat dijelaskan Kosmologi Buddhis
jagad raya
Samyutta Nikaya, XV:5, Anguttara Nikaya IV:156
Relativitas waktu
Fisika Modern ditambah dengan Ukuran waktu yang berbeda pada 31 alam kehidupan ( Abhidamma )
5
Umur manusia dan
Dijelaskan dengan baik dengan kosmologi manusia
siklus peradaban
berdasarkan Cakkavati—Sihanada Sutta
manusia 6
Kebahagiaan dan
hukum aksi reaksi fisik dan hukum Kamma. Semua treatment
penderitaan semua
yang dilakukan manusia tidak bisa mempunyai kepastian selalu
mahluk
ada taraf signifikansi ( taraf kesalahan). Hukum kamma dapat
10
menjelaskan mengapa hasil dari treatment manusia tidak pasti. 7
Tumimbal Lahir
Kajian empirik independen ditambah dengan konsep tumimbal lahir dalam Abhidamma
8
Hukum Alam Semesta
Sain klasik hanya mengenal hukum fisik anorganik dan fisik organik sedangkan Buddhisme mengenal lima hukum tertib alam semesta (panca niyama) yaitu : utu niyama (hukum fisik anorganik), Bija niyama (hukum fisik organik), kamma niyama ( hukum perbuatan dan akibatnya ) , citta niyama (hukum pikiran) , dhamma niyama (hukum realita).
8
Metafisika
citta niyama (hukum pikiran) dalam Buddhism dapat ,menjelaskan dengan baik fenomena-fenomena: proses kesadaran, kelanjutan kesadaran, kekuatan pikiran (termasuk telepati) , kemampuan persepsi jarak jauh ( telesthesia), kemampuan mengingat masa lalu ( regresi kehidupan lampau), kemampuan meramal, mata dewa, telinga dewa, kemampuan membaca pikiran , dan lainya.
9
Asal usul manusia
Budhisme memperjelas missing link dalam teori evolusi Darwin dengan menyatakan bahwa manusia adalah jenis mahluk yang berbeda dengan primata atau alam hewan. Manusia jelas merupakan salah satu alam dari 31 alam kehidupan yang berbeda dengan alam hewan . penjelasan bisa dilihat di Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta
10
Konsep jiwa atau roh
Budhisme dengan tegas menolak konsep roh atau jiwa yang kekal. Manusia tersusun dari lima elemen yang saling terpisah yaitu kesadaran, pikiran , perasaan, persepsi dan jasmani/fisik. 31 alam kehidupan dalam kosmologi Buddhis terdiri dari berbagai macam mahluk yang berbeda komponenya. Sains klasik mengklaim bahwa pikiran, kesadaran dan kehendak, pada saat ini cukup dijelaskan melalui aktivitas di dalam otak. Teori ini telah disangkal lebih dari 20 tahun yang lalu oleh penemuan Prof. Lorber mengenai seorang pelajar di Universitas Sheffield yang
11 memiliki IQ 126, lulusan terbaik dalam bidang matematika, tetapi ia tidak memiliki otak secara virtual (Science, Vol. 210, 12 Dec 1980)! Yang terbaru, hal tersebut telah disangkal oleh Prof. Pim Van Lommel, yang mempertunjukkan keberadaan aktivitas kesadaran setelah kematian secara klinik, yaitu ketika seluruh aktivitas otak telah berhenti (Lancet, Vol. 358, 15 Desember 2001, p 2039).
The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend a personal God and avoid dogmas and theology. Covering both the natural and the spiritual, it should be based on a religious sense arising from the experience of all things, natural and spiritualas a meaningful unity. If there is any religion that would cope with modern scientific needs, it would be Buddhism (Einstein) Daftar Pustaka 1. Mendikbud RI, Sosialisasi Kurikulum 2013 , Semarang , UNNES, 4 mei 2013 2. Purwo Susongko, (2011). Pengembangan Pendidikan Berbasis Mutu, Artikel dalam jurnal SOSEKHUM , Lembaga Penelitian Universitas Pancasakti Tegal ISSN 1858-4500. 3. Ottobre , F.M. (ed) (1999). The role of Measurement and evaluation in Education Policy, UNESCO Publishing, Paris 4. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2013) Kurikulum 2013 : Kompetensi Dasar SMP dan MTs, Jakarta 5. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (2013) Kurikulum 2013 : Kompetensi Dasar SMA, Jakarta 6. Soma Thera, Bhikku Boddhi, Larry Rosenberg & Willy yandi Wijaya (2010), Kalama Sutta , Yogyakarta: vidyasena production 7. Corneles Wowor, M.A. (2012) Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Agama Buddha, Artikel dalam www.Samagghi-phala.or.id 8. Fabian, Kosmologi Buddha, sukhawardhana . Blogspot.com 9. Vajiro (Richard) Chia (1998) , Panduan Kursus Dasar Ajaran Buddha , terjemahan, Yogyakarta: vidyasena production
12
10. Bhikku Bodhi dan U Rewata Dhamma, (2011) Panduan Komprehensif tentang Abhidamma, Jakarta: Karaniya 11. Walter Semkiw, (2008). Born Again, Terjemahan, Jakarta: Awareness Publication 12. Ajahn Bram (2012), Hidup senang mati tenang, Jakarta: Ehipassiko Faundation 13. Ajahn Bram (2012). Buddhisme, satu satunya sains yang sejati. http://bhagavant.com/buddhisme-satu-satunya-sains-yang-sejati 14. Egerton C Baptis (2014), Supreme science of the Buddha http://www.buddhanet.net/budintel/science/bbsciend.htm