KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis
IRIANI SETYANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Kultivasi dan Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Iriani Setyaningsih NIM C 561040061
ABSTRACT IRIANI SETYANINGSIH. Cultivation and Characterization of Active Compound and Nutrients of Marine Microalgae Chaetoceros gracilis Supervised by LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, and MARIA BINTANG Chaetoceros gracilis is a genera of marine microalgae that can be found in Indonesian waters. The aims of this research were: 1) to grow Chaetoceros gracilis in NPSi medium and to get the extract of Chaetoceros gracilis which contained antibacterial compound, 2) to investigate activity and stability of Chaetoceros gracilis extract, 3) to investigate the effect of Chaetoceros gracilis extract against bacteria, and 4) to determine the chemical composition of Chaetoceros gracilis biomass. The Chaetoceros gracilis was grown in nitrogen phosphate silica (NPSi) medium, continously aerated and illuminated by a 20 watt tube lamp (2500 lux). The cultivation was maintained at 25-26 oC, and harvested on the 7th day of cultivation. The biomass was separated using ceramic filter pore 0,3 μm and then freezed dried. They were extracted by methanol. Antibacterial activity of extract was tested against Gram positive and negative bacteria by agar diffusion method, compared to commercial antibiotic (chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin). The stability was tested during storage. Mechanism of inhibition was determined by analyzing cell damage. The content of Chaetoceros gracilis biomass such as amino acid, fatty acid, and minerals was determined using HPLC, GC and AAS respectively. The result showed that Chaetoceros gracilis grew well in NPSi medium. Extract of Chaetoceros gracilis showed antibacterial activity against Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, dan Bacillus cereus ATCC 13091 at the concentration of 300 µg/disc. Antibacterial activity of Chaetoceros gracilis extract at concentration of 300 µg/disc was lower than antibacterial at the same concentration of chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin. After being storaged for 6 months, the extract still showed the same antibacterial activity. The extract of C. gracilis cause damage by leakage of the cell. Chaetoceros gracilis contained essential amino acids (threonine, valine, methionine, leucine, isoleucine, lysine, phenylalanine, histidine), and non essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, arginine, alanine, tyrosine); saturated fatty acid such as caprilic acid, (C8:0), myristic acid, (C14:0), palmitic acid (C16:0), lauric acid, (C12:0), pentadecanoic acid, (C15:0), stearic acid (C18:0), arachidic acid, (C20:0), heneicosanoic acid (C21:0), behenic (C22:0), and unsaturated fatty acid such as palmitoleic acid (C16:1), heptadecanoic acid (C17:1), myristoleic acid (C14:1), pentadecanoic acid (C15:1), oleic acid (C18:1n9), linoleic acid (C18:3n3), arachidonic acid (C20:4n6), g-linolenic acid (C18:3n6), docosadienoic acid (C22:2), eicosapentaenoic acid (C20:5n3) and docosahexaenoic acid (C22:6n3). Biomass of Chaetoceros gracilis contained minerals such as phosphor (P), magnesium (Mg), ferrum (Fe), zink (Zn), calcium (Ca), and silicate. The biomass also containted alcalloid, steroid, carbohydrate, amino acid, and 0,1 % nucleic acid. It need further study on toxicity. Keyword: Marine microalgae, Chaetoceros gracilis, NPSi, antibacterial, chemical composition
RINGKASAN KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, dan MARIA BINTANG. Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang ada di perairan Indonesia. Beberapa peneliti menyatakan bahwa mikroalga ini memiliki komponen aktif dan nutrisi yang baik. Namun saat ini pemanfaatan Chaetoceros masih terbatas untuk pakan alami, sehingga pemanfaatannya perlu dioptimalkan. Medium untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, akan tetapi medium ini cukup mahal. Dengan alasan tersebut perlu dilakukan penelitian tentang Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dalam menghasilkan komponen aktif dan nutrisi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri, (2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros gracilis, (3) menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri, (4) menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi dengan aerasi terus menerus, sumber cahaya lampu 20 W (2500 lux), pada ruangan bersuhu 25-26oC. Kultur umur 7 hari dipanen untuk dipisahkan biomasanya, menggunakan filter keramik pori 0,3 mikron, dikeringkan menggunakan freeze dryer. Biomasa diekstraksi menggunakan metanol, selanjutnya dilakukan analisis aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan negatif, analisis potensi terhadap antibiotik komersial dan analisis stabilitas senyawa antibakteri. Untuk mengetahui mekanisme hambatannya, dilakukan analisis kebocoran sel, kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis kadar protein, lemak, karbohidrat, komposisi asam amino asam lemak dan mineral, serta fitokimia dan asam nukleat . Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan eksponensial, stasioner dan fase kematian. Kultur Chaetoceros gracilis berwarna coklat. Ekstrak kasar C. gracilis memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus cereus ATCC 13091, namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial pada konsentrasi 300 ug/disc. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal. Ekstrak dari Chaetoceros gracilis menyebabkan kerusakan sel bakteri yang ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran pada sel bakteri. Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, alanin, tirosin. Komposisi asam lemak dalam C. gracilis meliputi kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), pentadekanoat C15:0, stearat (C18:0), arakidat C20:0, heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat
(C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3). Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung mineral seperti fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), kalsium (Ca), dan silika. Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat. Kadar asam nukleat (DNA) Chaetoceros gracilis sebesar 0,1 %. Namun perlu kajian lanjut toksisitas Kata kunci: Mikroalga laut, Chaetoceros gracilis, senyawa antibakteri, komposisi senyawa kimia
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis
IRIANI SETYANINGSIH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, MSc Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS 2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Judul Disertasi Nama NIM Program Studi
: Kultivasi dan Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis : Iriani Setyaningsih : C 56 1040061 : Teknologi Kelautan (TKL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc
Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja
Ketua
Anggota
Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc Anggota
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.John Haluan, MSc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 9 Agustus 2010
Tanggal Lulus : 24 Agustus 2010
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi dengan judul Kultivasi dan Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang mendalam disertai penghargaan setinggi-tingginya kepada tim pembimbing kami yaitu ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Monintja, bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc, dan ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih dihaturkan kepada kedua orang tua penulis ayahanda Soekemi (alm) dan ibunda Khayatun yang selalu mendoakan kami. Kepada suami Dr. Ir. Anang Hari Kristanto, MSc beserta anak-anak tercinta Anindita Lintangdesi Afriani dan Nawangwulan Risqi Andriani kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungan, kasih sayang dan doanya. Terima
kasih
kepada
pimpinan
IPB,
terutama
pimpinan
Program
Pascasarjana , khususnya ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program doktor (S3). Terima kasih kepada BPPS Dikti atas dukungan pembiayaan selama studi dan Hibah mahasiswa program doktor Dikti atas bantuannya dalam penyelesaian disertasi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Drs. Lily Panggabean, MSc yang telah membantu dalam pengadaan C. gracilis dan Dr. Ir. Widanarni, MS yang telah memberikan bakteri V. harveyi.
Terima kasih kepada sesama staf pengajar di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, teknisi Ema Masruroh yang banyak membantu selama pelaksanaan penelitian serta semua pihak yang belum sempat kami sebutkan satu persatu. Semoga,
bantuan,
dukungan,
dan
perhatian
bapak
ibu
senantiasa
mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari akan kekurangannya, untuk itu kami mohon saran. Akhir kata penulis ucapkan semoga disertasi ini memberikan manfaat bagi yang membaca. Bogor, Agustus 2010 Iriani Setyaningsih
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Semarang pada tanggal 25 September 1960. Penulis adalah putra kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soekemi (alm) dan Ibu Khayatun. Penulis telah menikah dengan Dr. Ir. Anang Hari Kristanto, MSc dan dikarunai dua orang putri bernama Anindita Lintangdesi Afriani dan Nawangwulan Rizqi Andriani. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Budirini Semarang pada tahun 1965, dilanjutkan dengan jenjang pendidikan di SD Negeri Randusari I Semarang, lulus tahun 1973, SMP Masehi Gergaji Semarang, lulus tahun 1976 dan SMA Negeri Perintis Sekolah Pembangunan Semarang lulus tahun 1980.
Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 1980. Pada tahun 1981, penulis masuk Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, dan lulus tahun 1985. Penulis melanjutkan program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB (1987-1991) dengan dana TMPD. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan studi program doktor di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, IPB dengan dana BPPS. Penulis mulai mengembangkan karier sebagai staf pengajar di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1987 pada Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB yang kini berubah menjadi Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Publikasi yang dihasilkan penulis antara lain Antibacterial activity of the marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio harveyi, Proceeding International Seminar and Workshop, Marine Biodiversity and their Potential for Developing Bio-Pharmaceutical Industry in Indonesia 2006; Aktivitas antibakteri dan komponen asam lemak dari ekstrak Skeletonema costatum, Posiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2007; Ekstraksi senyawa antibakteri dari diatom Chaetoceros gracilis dengan berbagai metode, Jurnal Biologi Indonesia 2008; Pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi dan produksi antibakteri, Jurnal Kelautan Nasional 2009; Ekstraksi dan aplikasi ekstrak Chaetoceros gracilis pada udang, Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2009.
DAFTAR ISI Halaman
1
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xiv
DAFTAR ISTILAH ………………………………………………………………..
xv
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2 Rumusan Permasalahan …………………………………………………..
2
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................
3
1.4 Hipotesis Penelitian ………………………………………………………..
3
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................
4
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................
4
1.7 Kerangka Pemikiran ………………………………………………………..
4
2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
7
2.1 Deskripsi Mikroalga ...............................................................................
7
2.2 Chaetoceros sp .....................................................................................
9
2.3 Antibakteri dari Mikroalga ......................................................................
10
2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri ..................................................
14
2.5 Bakteri Patogen .....................................................................................
16
2.5.1 Bakteri Gram positif ...................................................................... 2.5.2 Bakteri Gram negatif ....................................................................
17 19
3
METODE PENELITIAN ………………………………………………………….
22
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………………
22
3.2 Bahan dan Alat ………………………………………………………………
22
3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis ………………………………………….
23
3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi ………………
23
3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis …………………………………………
24
3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri ……………………………………………………..
25
3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis …………
26
4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi ………………..
`
4.1 Pendahuluan ..........................................................................................
28
4.2 Bahan dan Metode ................................................................................
29
4.3 Hasil dan Pembahasan ..........................................................................
31
4.4 Kesimpulan …………… ..........................................................................
38
5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis………………………………………………...
`
28
39
5.1 Pendahuluan ..........................................................................................
39
5.2 Bahan dan Metode ...............................................................................
40
5.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................
44
5.4 Kesimpulan ..........................................................................................
52
6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis ……………………………………………..
53
6.1 Pendahuluan .........................................................................................
53
6.2 Bahan dan Metode ..............................................................................
55
6.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................
57
6.4 Kesimpulan ..........................................................................................
64
KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM…………
65
7.1 Pendahuluan ........................................................................................
65
7.2 Bahan dan Metode ..............................................................................
66
7.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................
73
7.4 Kesimpulan ..........................................................................................
88
8 PEMBAHASAN UMUM ...............................................................................
90
9. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
99
LAMPIRAN .......................................................................................................
106
7
DAFTAR TABEL Halaman 1
Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga ............................................................................................
13
2
Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C.gracilis ........................
46
3
Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis ...........
76
4
Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain …………………………………………………………………………
78
Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis ..................................................................................................
80
5
6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh …………………………….
81
7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain ...................................................................................
82
8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis .............................
83
9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis ...........................................
86
10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis ....
87
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka penelitian …………………………………………………..
6
2
Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)……………
8
3
Morfologi sel Chaetoceros gracilis .................................................
9
4
Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari ..........................................
32
5
Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian)…..
33
Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guillard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian) (Lailati 2007) …………………………………………………………….
33
7
Biomasa Chaetoceros gracilis kering
……………………………. .
37
8
Ekstrak Chaetoceros gracilis ………………………………………….
45
9
Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan) ……………………………………………..
47
6
10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi) …………………………………………………………
49
11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus; = V. harveyi ) ………………………………………………………..
50
12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus; = B. cereus) ……………………………………………………..
52
13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat dan ( = OD 260 nm) kebocoran protein sel ( = OD 280 nm) ………
58
14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak)………..
60
15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)………..
62
16 Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20.000 x)…………………………………………..
63
17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)………….
63
18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x) ……… .................................................
64
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis ...............................................................................
107
2 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi .............................
108
3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ……………………………….
109
4 Diameter zona hambat ekstrak heksan dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ……………………………….
109
5 Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik ........................................…
110
6 Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial (%) …………………………………………………………………
110
7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan .....................................................................................….
111
8 Perhitungan kadar protein C. gracilis …………………………………….
112
9 Perhitungan kadar karbohidrat C. gracilis ……………………………….
113
10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis ……………
114
11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis ………………………….
117
DAFTAR ISTILAH Antimikroba
= zat yang mampu menghancurkan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme, membunuh atau menekan pertumbuhan mikroorganisme
ATCC
= American Typing Culture Collection
Bakteri patogen
= merupakan kelompok bakteri parasit yang menimbulkan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan
Ekstrak
= hasil pemisahan suatu bahan yang menggunakan pelarut
Faktor intrinsik
= faktor-faktor yang berasal dari dalam organisme dengan proses ekstraksi
Farmasetika
= gabungan kimia dan farmasi yang terlibat dalam desain, sintesis, dan pengembangan obat
Glass bead
= butiran-butiran dari kaca yang digunakan untuk memecah sel mikroorganisme
Golden brown algae = alga yang di dalam perairan berwarna kecoklatan Komponen aktif
= senyawa yang mempunyai aktivitas biologis yang bermanfaat
Mikroalga
= mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi
NPSi
= Nitrogen-Fosfat-Silika
Nutrasetika
= produk-produk pangan dan obat yang terkait dengan kesehatan
Suplemen
= pelengkap ketika tubuh kekurangan suatu unsur zat gizi. suplemen dapat berupa vitamin, mineral, atau zat gizi lainnya seperti asam lemak, asam amino, dan zat esensial (misalnya serat).
TCBSA
= Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya keanekaragaman organisme laut di Indonesia merupakan aset penting dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan bioteknologi di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan dan kesehatan maupun lingkungan.
Produk alam dari laut dapat digunakan
untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan farmasi (antibakteri atau antimikroba, antioksidan), bahan nutrisi (asam amino, asam lemak, mineral) dan berbagai bahan lainnya (Nontji 1999). Antimikroba atau antibakteri merupakan bahan yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga sering digunakan untuk bahan baku obat. Beberapa jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber obat antara lain makroalga, mikroalga, sponge, soft coral (Kobayashi dan Satari 1999). Mikroalga merupakan organisme berukuran mikroskopis yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan di perairan, dan mudah dibudidayakan karena hidupnya tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga memiliki banyak keunggulan antara lain sebagai sumber pakan dan pangan yang mengandung protein, lipid, serta sebagai bahan dasar obat-obatan atau farmasi (Borowitzka 1988). Mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, lemak dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur (Rosa et al. 2005). Salah satu jenis mikroalga laut yang memiliki komponen aktif sebagai antibakteri adalah Chaetoceros. Metting dan Pyne (1986) melaporkan bahwa Chaetoceros
mempunyai komponen aktif antibakteri golongan asam lemak.
Penelitian serupa menyebutkan bahwa ekstrak kasar intraselular Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mempunyai komponen aktif antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis, Escherichia coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Wang (1999) dalam laporannya juga menyatakan bahwa ekstrak Chaetoceros mempunyai aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Gram positif dan negatif. Mendiola et al. (2007) melaporkan bahwa mikroalga Chaetoceros muelleri menghasilkan komponen aktif yang mempunyai aktivitas terhadap
2
bakteri E. coli dan S. aureus, serta kapang Candida albicans. Namun belum diketahui mekanisme hambatan antibakteri dari Chaetoceros terhadap bakteri. Chaetoceros, selain memiliki komponen antibakteri juga mengandung nilai gizi seperti protein, lemak, karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan bahwa Chaetoceros sp yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu 25 o
C mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 13,1%, protein 57,3%, lemak
16,8%, serta PUFA. 19,5 %.
Hasil penelitian Araujo dan Garcia (2005)
menunjukkan bahwa kandungan lemak dan karbohidrat dalam Chaetoceros wighamii yang dikultivasi pada suhu 20 dan 25 oC lebih tinggi dibandingkan 30 oC. Salinitas medium pertumbuhan Chaetoceros 25 dan 30 tidak mempengaruhi pertumbuhan, densitas sel, biomasa dan klorofil (Raghavan et al. 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi biokimia
mikroalga adalah nutrien dalam medium. Medium yang digunakan
untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, namun harga medium ini mahal, untuk itu perlu dicari medium pertumbuhan yang lebih murah. Larastri (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi. Namun belum diketahui kandungan senyawa aktif dan senyawa kimia dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi tersebut. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian komponen aktif dan nutrisi dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dan dikultivasi dalam medium NPSi, sehingga pemanfataannya lebih optimal. 1.2 Rumusan Permasalahan Medium yang sering digunakan untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari medium dengan nutrien yang murah. Salah satu medium yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Chaetoceros adalah NPSi, yaitu medium yang terdiri dari urea, TSP, silika ditambah dengan vitamin dan trace element. Medium NPSi ini lebih murah harganya dan mudah didapat. Urea dan TSP digunakan sebagai sumber N dan P, sedangkan dalam medium Guillard sumber N dan P diperoleh dari NaNO3
dan NaH2PO4.H2O. Namun belum pernah diketahui pengaruh
penggunaan medium NPSi terhadap komponen aktif dan nutrisi yang dikandung Chaetoceros. Pada penelitian ini Chaetoceros gracilis yang digunakan diperoleh dari perairan Indonesia, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam Indonesia.
3
Senyawa antibakteri alami mudah mengalami kerusakan, oleh karena itu perlu metode penyimpanan yang tepat. Salah satu metode penyimpanan yang dapat digunakan adalah penyimpanan pada suhu rendah. Pada penelitian ini ekstrak Chaetoceros gracilis disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan, untuk dilihat stabilitas senyawa antibakterinya. Sel bakteri dapat mengalami kerusakan setelah kontak dengan antibakteri, oleh karena itu dianalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri. Chaetoceros mempunyai kandungan biokimia yang digunakan untuk
pakan alami larva.
lengkap dan
Mikroalga ini dapat dioptimalkan
pemanfaatannya, misalnya untuk suplemen atau nutrasetika. Komposisi nutrien medium perttumbuhan berpengaruh terhadap komposisi biokimia mikroalga, sehingga
perlu
dianalisis
komposisi
kimia
Chaetoceros
gracilis
yang
ditumbuhkann dalam medium NPSi. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri (2) Menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros gracilis (3) Menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri (4) Menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis 1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penlitian ini adalah: (1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih mengandung senyawa aktif antibakteri (2) Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan lama dalam suhu rendah masih memiliki aktivitas antibakteri (3) Sel bakteri uji mengalami kerusakan atau gangguan setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (4) Biomasa Chaetoceros gracilis memiliki nutrisi yang lengkap walaupun ditumbuhkan dalam medium NPSi
4
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), khsusunya eksplorasi mikroalga untuk bidang kesehatan. Untuk menghasilkan Chaetoceros gracilis yang mempunyai komponen aktif dan komponen nutrisi yang lengkap dengan harga lebih murah, Chaetoceros gracilis dapat dikultivasi dalam medium NPSi. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Kajian yang dilakukan pada penelitian ini adalah : (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (2) Aktivitas dan stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis (3) Kerusakan bakteri oleh senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis (4) Kandungan senyawa kimia dari mikroalga Chaetoceros gracilis 1.7 Kerangka Pemikiran Chaetoceros merupakan salah satu mikroalga laut berukuran mikroskopis yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan di perairan, mudah dibudidayakan, tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan tidak memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga ini mempunyai kandungan kimia yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan. Selain itu, Chaetoceros juga mempunyai komponen aktif antibakteri. Pemanfaatan mikroalga Chaetoceros masih terbatas untuk pakan larva. Untuk itu perlu dikembangkan pemanfaatan dari mikroalga misalnya untuk bidang kesehatan. Medium yang digunakan untuk pertumbuhan Chaetoceros ini biasanya medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari medium alternatif yang lebih murah. Salah satu medium yang dapat digunakan untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah NPSi. Medium NPSi ini dapat digunakan untuk kultivasi Chaetoceros karena mengandung unsur nitrogen dari urea, fosfat dari TSP dan silika dari sodium metasilika, yang merupakan unsur utama untuk mikroalga ini. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dengan tujuan: 1) memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri, 2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis, 3) menganalisis kerusakan sel bakteri setelah dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis, 4) menentukan komposisi kimia (nutrisi) dari Chaetoceros gracilis.
5
Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi pada suhu 25-26
o
C. Biomasa Chaetoceros gracilis diekstraksi menggunakan metanol,
selanjutnya diuji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri terhadap bakteri patogen, serta dianalisis kerusakan sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. Biomasa Chaetoceros gracilis dianalisis senyawa kimianya untuk diketahui kandungan nutrisinya. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi bahwa Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi mempunyai komponen aktif antibakteri yang stabil pada penyimpanan suhu rendah (-18 – (20)oC . Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai komposisi nutrisi yang lengkap. Chaetoceros gracilis yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang kesehatan. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
6
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
Chaetoceros
Komponen aktif antibakteri (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999, Pribadi 1999; Mendiola et al. 2007)
Medium Guillard
Komposisi kimia lengkap (Renaud et al. 2002; Araujo dan Garcia 2005; Raghavan & Gopinathan 2008) Chaetoceros dapat tumbuh dalam medium NPSi (Larastri 2006)
????
Nutrien mahal
Penelitian yang dilakukan untuk disertasi Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam NPSi (murah)
Biomasa sel
Ekstrak
Aktivitas antibakteri
Potensi dan stabilitas senyawa antibakteri
Pengaruhnya terhadap kerusakan bakteri
Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi mempunyai komponen antibakteri dan komponen nutrisi lengkap
Gambar 1 Kerangka penelitian
Kandungan senyawa kimia
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Mikroalga Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi, kosmetika, pertanian dan sebagainya. Organisme ini termasuk eukariot yang mempunyai klorofil dan melakukan fotosintesis (microscopic photosynthetic organisms), berukuran mikro, uniselular, dan berperan sebagai produsen primer di dalam perairan, dan dikenal dengan primitive form of plant. Mikroalga dapat hidup di perairan tawar, laut, maupun tempat lembab. Hingga saat ini mikroalga masih banyak digunakan sebagai pakan. Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur, potasium dan magnesium. Elemen-elemen seperti besi dan mangan diperlukan dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan molybdenum merupakan essential trace element. Selain mineral ini beberapa alga juga memerlukan substrat organik seperti vitamin, faktor tumbuh untuk pertumbuhan (Becker 1994). Mikroalga laut dapat dikultivasi dengan menggunakan medium Guillard. Agar pertumbuhan mikroalga dalam medium kultur bagus, maka lingkungan harus dikondisikan sama dengan kebutuhan intrinsik organisme tersebut. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan alga antara lain faktor fisik berupa cahaya dan suhu, serta faktor kimiawi yang digunakan untuk sintesis struktur dari sel alga (Becker 1994). Kondisi yang mempengaruhi pertumbuhan alga meliputi 1) iluminasi cahaya, yang mana untuk kultur alga dapat digunakan lampu 40 Watt yang memberikan intensitas cahaya 3200 lux, 2) suhu (suhu ruang atau suhu dingin), yang mana suhu dapat mempengaruhi metabolisme organisme, dan 3) medium kultur. Fitoplankton laut dapat ditumbuhkan dalam media air laut yang diperkaya atau media air laut sintetis (Kungvankij 1988). Media kultur alga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1) media sintetis lengkap, 2) air asal (natural waters) yang diperkaya dengan suplemen, dan 3) limbah cair dari limbah industri atau fermentasi. Untuk kultur batch (sistem tertutup) dimana suplai nutrien terbatas dan tidak ada penambahan atau
8
pengurangan dari luar, alga tumbuh melalui fase yang berbeda (Becker 1994). Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2. Penjelasan: (1) Fase adaptasi (2) Fase pertumbuhan (3) Fase penurunan pertumbuhan (4) Fase stasioner (5) Fase kematian Waktu Gambar 2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987) Berikut adalah uraian singkat tentang kelima fase pertumbuhan mikroalga tersebut: Fase 1. Pada fase ini medium diinokulasikan dengan organisme. Kondisi pada awal biasanya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Organisme sering tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mungkin menjadi tidak nyaman. Selama pada fase adaptasi atau fase lag ini, kultur alga menyesuaikan diri terhadap kondisi, laju pertumbuhan lebih rendah dan akan meningkat dengan waktu kultivasi. Sel menjadi sensitif terhadap suhu atau perubahan lingkungan lainnya. Fase 2. Setelah kultur alga beradaptasi terhadap kondisi kultivasi yang diberikan, sel masuk ke fase pertumbuhan. Selama periode ini intensitas cahaya tidak terbatas dan perubahan konsentrasi nutrien masih kecil pengaruhnya. Dalam sebuah kultur, dimana persediaan nutrien dan cahaya tidak terbatas, biomas alga bertambah per waktu secara proposional.
Jumlah masa sel
meningkat seiring terhadap waktu. Sel-sel membelah pada laju yang konstan. Keadaan ini sangat penting dalam menentukan keadaan kultur. Fase 3. Pada fase ini alga tumbuh pada kultur yang padat, tidak ada penambahan atau pengurangan dari medium setelah inokulasi, penurunan logaritmik mulai terjadi. Mineral juga mulai terbatas, akumulasi limbah toksik meningkat.
9
Fase 4. Pada fase ini suplai cahaya per sel alga menjadi terbatas dan peranan respirasi mulai meningkat. Kurva pertumbuhan mendekati nilai limit, yaitu fase stasioner. Fase 5. Fase ini merupakan berakhirnya fase stasioner, yang mana populasi sel berkurang, sel-sel alga mulai mengeluarkan bahan organik, pertumbuhan terhambat. Terjadinya fase ini disebabkan oleh umur kultur yang sudah tua, suplai cahaya dan nutrien terbatas.
Pada fase ini laju kematian
menjadi tinggi, populasi alga menjadi rusak secara sempurna. 2.2 Chaetoceros sp Salah satu diatom laut yang bisa dikembangkan adalah Chaetoceros. Chaetoceros gracilis termasuk dalam golongan Bacillariophyceae yang juga sering disebut dengan golden brown algae.
Mikroalga ini tergolong plankton
neritik, memiliki setae dan membentuk filamen sehingga dapat melayang di permukaan, selnya tunggal dan tidak membentuk rantai, bercangkang cembung, spora di tengah sel induk, dan non motil. Chaetoceros juga digunakan sebagai pakan alami (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Sue et al. 1997). Morfologi sel C. gracilis disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis Chaetoceros merupakan salah satu
diatom yang
diklasifikasikan
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; BBLL 2002) sebagai berikut: Phylum
: Bacillariophyta
Kelas
: Bacillariophyceae
Ordo
: Bacillariales (Centrales)
Family
: Chaetoceraceae
Genus
: Chaetoceros Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan
ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 6-12 x 7-18 mikron. Dinding sel fitoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dalam diatom merupakan pigmen
10
yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning keemasan hingga coklat (BBLL 2002).
Berkaitan dengan morfologi Chaetoceros, Wang (1999)
menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak, mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17 mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10 sampai 20 sel.
Ketika dikultur dengan aerasi kuat, Chaetoceros tidak
membentuk koloni. Pada skala kultur besar, alga ini berwarna coklat keemasan, sehingga disebut dengan golden brown alga. Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersial penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariasi. Diatom
yang
banyak
digunakan
dalam
marinkultur
komersial
adalah
Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C. calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002). Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam batch pada suhu 25, 27, 30, 33 dan 35 oC memiliki kandungan karbohidrat (13,1; 12,2; 12,5; 11,3; dan 11 %), protein (57,3; 57,1; 64,1; 62,5 dan 47,3 %), serta lemak (16,8; 14,8; 12,2; 12,4 dan 12,1 %). Asam lemak jenuh golongan PUFA yang dihasilkan sebesar 19,5; 20,8; 19; 19,8 dan 20,4 % (Renaud et al. 2002). Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komposisi kimia Chaetoceros wighamii. Pada suhu 20 dan 25 oC, kandungan lipid dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan pada suhu 30 oC, sedangkan protein tidak dipengaruhi oleh perbedaan suhu tersebut (Araujo dan Garcia 2005). Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium f/2 Guillard, diberi aerasi dan penambahan karbon, menggunakan lampu 20 Watt, suhu 22±1 ºC, setelah 8 hari memiliki kepadatan sel sebesar 8,44±7.07x106 sel./L. Kandungan karbohidrat terlarut 0.1±0.01 mg/L, protein terlarut 0.58±0.02 mg/L (Junior et al. 2007). 2.3 Antibakteri dari Mikroalga Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler. Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses ekskresi sel yang sehat maupun dari sel yang lisis atau mati, baik pada fase stasioner maupun fase mati (Stewart 1974). Mikroalga yang melimpah di kolam dapat mengakibatkan bakteri
11
patogen dan koliform mati dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa mikroalga memproduksi senyawa antibakteri (Fogg dan Thake 1987). Penelitian mikroalga tentang aktivitas antibakterial, antifungal dan antiviral masih dalam perkembangan, tetapi mempunyai prospek untuk dipromosikan (Richmond 1990). Beberapa aplikasi yang potensial dari alga antara lain produksi senyawa obat-obatan untuk industri farmasi dan pertanian sebagai bahan biocontrol maupun biofertilizer. Naviner et al. (1999) melaporkan bahwa Skeletonema costatum mempunyai aktivitas bakterisida yang dapat menghambat bakteri-bakteri patogen di bidang akuakultur seperti Vibrio mytili, Vibrio sp VRP dan Listonella anguillarum.
Berkaitan dengan ini hasil penelitian Nugraheny (2001) juga
menunjukkan bahwa Skeletonema mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Vibrio. Berkaitan dengan antibakteri, Wang (1999) melaporkan bahwa budidaya kekerangan dan moluska yang menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya menguntungkan karena Chaetoceros memberikan efek antibiotik alami yang mana dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae. Antibakteri ini dihasilkan oleh alga uniselular Chaetoceros dalam merespon keberadaan bakteri dan alga lain. Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang teridentifikasi, namun beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang terdiri atas asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak jenuh dan tak jenuh dari mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakterisidal (Naviner et al. 1999). Senyawa yang teridentifikasi dari ekstrak alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri adalah asam lemak, yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Staphylococcos, Enterococcus, Vibrio cholerae, Vibrio vulnivicus (Wang 1999). Beberapa peneliti telah melakukan pemisahan awal senyawa antimikroba dari beberapa jenis mikroalga (Tabel 1).
Beberapa
mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif antibakterial antara lain Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum elegans, Chaetoceros
12
socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial tersebut tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Berkaitan dengan senyawa antimikroba, Richmond (1990) melaporkan bahwa empat jenis diatom seperti Chaetoceros lauderi, Chaetoceros pseudocurvisteus, Chaetoceros socialis dan Chaetoceros fragilaris pinnata mempunyai aktivitas antifungal. Asam lemak yang bertanggung jawab sebagai antibiotik dari diatom Asterinella japanica adalah eicosapentaenoic (20:5) (Richmond 1990). Chaetoceros gracilis mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Pribadi dalam laporannya menyatakan bahwa kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan pada suhu ruang, maserasi.
ekstraksi dilakukan menggunakan metanol dengan metode Pengujian aktivitas terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan
menggunakan difusi agar. Kultur yang dipanen pada fase stasioner, dengan konsentrasi ekstrak biomas yang digunakan 9,2 % dan sebanyak 10 µl yang diteteskan pada paper disk, menghasilkan daya hambat
terhadap Bacillus
subtilis 30 mm (daerah hambatan tidak bening), terhadap Escherichia coli 6,5 mm, terhadap Pseudomonas sp 7,5 mm. Aktivitas antibakteri dari C. gracilis ini perlu dilakukan terhadap jenis bakteri lain. Lailati (2007) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam Guillard dan diekstraksi menggunakan pelarut heksan, etil-asetat, metanol memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi. Kultivasi C. gracilis dengan lama penyinaran 24 jam pada suhu 25
o
C
menghasilkan rendemen biomasa lebih besar dibanding 12 jam. Pemecahan sel untuk tahap ekstraksi dapat digunakan glass bead, selain sonikator. Masih perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap mkroorganisme lain yang merugikan dan aplikasi senyawa antibakteri. Penelitian senyawa antibakteri dari Chaetoceros juga dilakukan oleh beberapa peneliti. Lipid antibiotic yang diekstraksi dari sel utuh diatom laut Chaetoceros lauderi (Ralfs) dan telah teridentifikasi sebagai asam lemak tidak jenuh memiliki sensitivitas terhadap beberapa bakteri terestrial Gram positif dan bakteri laut Gram negatif berbentuk basil (Gauthier et al. 1978). Hasil penelitian lain yang sejenis menunjukkan bahwa alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri dengan komponen aktifnya golongan asam lemak. Ekstrak aktif antibakteri yang diperoleh dari alga laut Chaetoceros yang diekstraksi menggunakan pelarut organik metanol dapat menghambat
13
bakteri methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae, Pseudomonas aeruginosa, Listeria monocytogenes, Shigella dysenteriae, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Micrococcus megmatis, Streptococcus pyrogenes, Proteus vulgaris dan Salmonella typhimurium. Konsentrasi minimum penghambatan untuk ekstrak dari Chaetoceros yang memiliki respon terhadap methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah 10-15 µg/disk dan 20 µg/disk untuk vancomycin resistant Enterococcus (VRE).
Selain itu juga
dilaporkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/disk ekstrak dapat menghambat Pyogenes vulgaris, Carynobacter xerosis, Shigella dysenteriae Streptococcus mitis, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus (Wang 1999). Akan tetapi mekanisme hambatan senyawa antibakteri ini belum diketahui. Hasil penelitian tentang pemisahan awal antimikroba dari beberapa mikroalga disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga Spesies
Mikroorganisme
Desmococcus olivaceus (324) Desmococcus olivaceus (343) Chlorella minutissima (357)
Staphylococcus aureus* Pseudomonas syringiae* Staphylococcus aureus*
5.3 ± 1.1
Chlorella minutissima (360)
Staphylococcus aureus*
6.2 ± 0.1
Chlorella minutissima (361)
Staphylococcus aureus*
8.0 ± 0.0
Chlorella sp (313)
Staphylococcus aureus*
6.5 ± 0.3
Chlorella sp (381)
Staphylococcus aureus*
5.7 ± 0.9
Chlorella sp (458)
Staphylococcus aureus*
7.7 ± 0.8
Scenedesmus sp (469)
Staphylococcus aureus*
5.0 ± 1.3
Scenedesmus sp (540)
Altenaria sp*
10.0 ± 0.0
Chaetoceros gracilis
Escherichia coli ** Pseudomonas sp** Bacillus subtilis**
Sumber: * Ordogs et al. (2004) ** Pribadi (1998)
Zona hambatan (mm) 6.7 ± 0.3
6.3 ± 1.1
6.5 7.5 7.0 (hambatan tidak bening)
14
2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri Senyawa aktif adalah suatu senyawa yang mempunyai aktivitas biologis terhadap organisme hidup, misalnya antimikroba, antikanker, antioksidan, dan sebagainya. Senyawa aktif ini dapat diperoleh dari bahan alam, dan sering dikenal dengan senyawa bahan alami (natural products). Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Bahan kimia yang dapat membunuh
organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri, sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik, fungistatik (Madigan et al. 2003). Senyawa antimikrobial diproduksi secara alami oleh organisme yang mempunyai sifat toksik terhadap mikroalga, bakteri, fungi, virus ataupun protozoa (Metting dan Pyne 1986). Senyawa antibakteri sebagai salah satu bahan antimikroba memiliki 3 macam
bentuk
kerja,
yaitu
bakteriostatik,
bakterisidal
dan
bakterilitik.
Bakteriostatik adalah antibiotik yang menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri tanpa membunuhnya. Mekanisme kerja zat antibakteri dengan aktifitas bakteriostatik
adalah
menghambat
pertumbuhan
bakteri
tetapi
tidak
menyebabkan kematian. Bahan bakteriostatik (bacteriostatic agents) seringkali menghambat sintesa protein dan bekerja dengan cara mengikat ke ribosom, akan tetapi ikatannya tidak kuat dan ketika konsentrasi dari bahan diturunkan, bahan menjadi terlepas dari ribosom dan pertumbuhan mulai lagi. Bakterisidal adalah antibiotik yang mampu membunuh bakteri.
Mekanisme kerja zat
antibakteri dengan aktivitas bakterisidal adalah membunuh sel bakteri, tetapi tidak terjadi lisis atau pecahnya sel. Bahan bakterisidal adalah kelompok bahan kimia yang umumnya mengikat kuat pada target seluler. Mekanisme kerja zat antibakteri dengan aktivitas bakterilitik adalah menyebabkan kematian dengan cara sel lisis. Penghancuran sel terlihat dengan berkurangnya jumlah sel atau dalam bentuk keruh setelah ditambahkan bahan antibakteri. Bahan bakterilitik meliputi antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel seperti penisilin dan juga seperti bahan kimia yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan et al. 2003). Kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan, jumlah dan spesies bakteri, suhu, keberadaan bahan organik lain, dan pH (Pelczar dan Chan 2005).
15
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba atau antibiotik dibagi menjadi beberapa kelompok (Madigan et al. 2003), yaitu: (1) Menghambat sintesis dinding sel mikroba Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka (2) Antimikroba yang mengganggu keutuhan (fungsi) membran sel mikroba Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari dalam sel mikroba (3) Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba (4) Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis terhadap sel tubuh manusia Berdasarkan kekuatan membunuh bakteri, suatu antibiotik diatur oleh 3 faktor (Bintang 1993), yaitu : (1) Kadar antibiotik Banyaknya senyawa antibiotik yang terserap akan meningkat bila kadarnya dinaikkan (2) Lamanya kontak Perubahan struktur atau metabolisme sel pada mulanya dapat bersifat reversible, namun akan berubah menjadi irreversible bila perlakuannya dalam jangka waktu yang lama (3) Kepadatan suatu sel bakteri Makin padat sel bakteri makin banyak antibiotik yang dibutuhkan, akan tetapi tergantung pada medium penguji antibiotik tersebut Mekanisme penghambatan antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri dapat
berupa
kerusakan
dinding
sel
yang
mengakibatkan
lisis
atau
penghambatan sintetis dinding sel, pengubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan melalui dinding sel, denaturasi protein sel, dan perusakan sistem metabolisme di dalam sel dengan cara penghambatan kerja enzim intraselular (Pelczar dan Reid 1972). Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) gangguan pada senyawa
16
penyusun dinding sel, 2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3) menginaktifkan enzim metabolik, dan 4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Parhusip 2006). Terjadinya proses tersebut karena pelekatan senyawa antimikroba pada permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel (Kanazawa et al. 1995 diacu dalam Parhusip 2006). Hal-hal yang mempengaruhi kerja zat antibakteri tersebut antara lain konsentrasi zat antibakteri, waktu kontak antara bahan dengan zat antibakteri, jumlah bakteri, suhu, sifat-sifat bakteri, sifat-sifat medium serta sifat-sifat zat antibakteri (Pelczar dan Chan 2005). Penggunaan
antibiotik
dibatasi
baik
jenis
maupun
jumlahnya.
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang dapat menghambat bakteri Gram positif dan negatif. Penggunaan kloramfenikol terbatas karena selain dapat merusak ribosom mitokondria pada sel mamalia ( Nugraheny 2001), juga dapat merusak eritrosit pada manusia (Baticados dan Paclibare 1992). Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan komponen antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan (Bloomfield 1991 diacu dalam Parhusip 2006). 2.5 Bakteri Patogen Bakteri patogen adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan suatu penyakit baik pada hewan maupun manusia. Bakteri patogen tersebut ada yang tergolong Gram positif maupun Gram negatif.
Bakteri patogen yang sering
mengkontaminasi makanan dikenal dengan foodborne disease.
Sumber
kontaminan bakteri patogen antara lain manusia, hewan maupun lingkungan. Jay (2000) menyatakan bahwa patogen-patogen dapat ditularkan dari kotoran yang terkontaminasi melalui jari-jari pengolah bahan pangan yang tidak saniter, insekta, atau dari air. Madigan et al. (2003) menyebutkan bahwa umumnya mikroorganisme pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu mikroorganisme
pembusuk
pada
bahan
pangan
(food
poisoning)
dan
mikroorganisme penyebab infeksi pada bahan pangan (food infection). Mikroba patogen bertanggung jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan. Infeksi bahan pangan (food infection) disebabkan oleh bahan pangan
17
yang terkontaminasi patogen. Berkaitan dengan mikroorganisme patogen, Huss et al. (2003) menyatakan bahwa bacterial foodborne pathogens dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu food intoxication dan foodborne bacterial infection. Penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan (foodborne disease) terjadi di negara-negara maju seperti USA. Peristiwa ini terjadi setelah konsumen mengkonsumsi makanan dari laut (seafood). 2.5.1 Bakteri Gram positif Bakteri patogen Gram positif yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Bakteri patogen ini sering mengkontaminasi bahan pangan.
Struktur dinding sel bakteri Gram positif
berbeda dengan dinding sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif, 90% dari dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat. Asam teikoat mengandung unit-unit gliserol atau ribitol yang terikat satu sama lain oleh ester fosfat, dan biasanya mengandung gula lainnya serta D-alanin. Karena asam teikoat bermuatan negatif, lapisan ini juga mempengaruhi muatan negatif pada permukaan sel (Fardiaz 1989). Selain mengandung asam teikoat, dinding sel bakteri Gram positif juga mengandung asam teikuronat yang bermuatan negatif. Molekul ini bersama lipoteikoat membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan (Madigan et al. 2003). (1) Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan keracunan stapilokokus.
Bakteri ini termasuk dalam famili Micrococcaceae,
umumnya membentuk pigmen berwarna kuning keemasan, memproduksi koagulase, dapat memfermentasi glukosa dan manitol dengan memproduksi asam dalam keadaan anaerobik. Sel bakteri ini berbentuk bulat (kokus) dan kecil dengan ukuran 0,5-1,0 mikron, tidak membentuk spora, katalase positif, biasanya selnya terdapat dalam kelompok seperti anggur, tetapi ada juga yang terdapat secara terpisah (tunggal) atau dalam jumlah empat sel (tetrad). Staphylococcus aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan seperti hidung, mulut, tenggorokan, dan dapat dikeluarkan pada waktu bersin atau batuk. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Fardiaz 1983). Kebanyakan bakteri Staphylococcus aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya
18
melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur terutama yang bersifat patogenik memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik, lipolitik dan beta hemolitik. Spesies lainnya, yaitu Staphylococcus epidermidis, biasanya tidak bersifat pathogen dan merupakan flora normal yang terdapat pada kullit tangan dan hidung. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna kuning sampai oranye. Bakteri ini membutuhkan nityrogen organic (asam amino) untuk pertumbuhannya dan bersifat anaerobic fakultatif (Fardiaz 1989). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab kerusakan bahan pangan karena bila
tumbuh pada bahan pangan dapat memproduksi
enterotoksin yang tahan panas. Enterotoksin ini akan dikeluarkan ke medium atau bahan pangan. Jika makanan yang mengandung toksin ini masuk dalam pencernaan, maka akan terjadi muntah-muntah, mual dan diare setelah 1- 6 jam (Madigan et al. 2003). Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus, namanya berasal dari warna kekuningan dari koloni yang terbentuk pada beberapa media. Secara normal S. aureus terdapat pada hidung dan kadangkadang pada kulit, bahkan dapat menyebabkan infeksi kulit. ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran usus.
Bakteri ini juga
Beberapa strain S. aureus
dapat memproduksi eksotoksin yang dapat menyebabkan foodborne disease. Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Salyers dan Whitt 1994). Rahayu (1999) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan mikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, rambut, mulut, tenggorokan.
S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan kurang
higienis dalam penanganan pangan. (2) Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang dan berspora, secara normal berada dalam tanah, debu dan air.
Bakteri ini
memproduksi berbagai toksin ekstraselular dan enzim, termasuk lecithinase, protease, β-lactamase, toksin yang membunuh tikus, cereolycin dan hemolysin. Bakteri ini tumbuh cepat pada makanan yang disimpan pada suhu 30-40 oC (Jay 2000). Spora bakteri ini resisten terhadap pengeringan dan mudah menyebar dengan debu (Huss et al. 2003). Bacillus cereus bersifat aerob, berbentuk batang, berspora, secara normal ada dalam tanah, debu, dan air. Bakteri ini masuk golongan mesofili,
19
pada suhu 4-5
o
C pertumbuhannya tidak baik.
Beberapa strain yang
memproduksi toksin dapat tumbuh pada suhu 4-6 oC. Bacillus cereus dapat ditekan pertumbuhannya pada suhu rendah (chilling). Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan, toksinnya menyebabkan diare (Jay 2000). 2.5.2 Bakteri Gram negatif Bakteri Gram negatif yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Escherichia coli merupakan bakteri patogen pada manusia, sedangkan Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan kematian pada udang. Bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar dinding sel yang mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lipopolisakarida (LPS) tidak hanya teridiri dari fosfolipid, tetapi juga mengandung polisakarida dan protein.
Dinding sel bakteri Gram negatif
mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan, yaitu lipoprotein, porin matriks dan lipopolisakarida.
Lipopolisakarida dinding sel
bakteri Gram negatif terdiri atas suatu lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid A terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan dengan ikatan pirofosfat, dimana merupakan tempat melekatnya sejumlah asam lemak berantai panjang (Madigan et al. 2003). (1) Vibrio harveyi Vibrio merupakan bakteri patogen yang bisa hidup bebas di perairan laut dan dapat menyebabkan infeksi pada manusia maupun hewan. Kontaminasi bakteri ini bisa terjadi karena lingkungan maupun makanan yang berasal dari perairan yang tercemar oleh bakteri tersebut.
Dalsgaard (2001) menyatakan
bahwa ada lebih dari 12 Vibrio spp yang diketahui berhubungan dengan penyakit pada manusia. Berkaitan dengan bakteri patogen, Munn (2004) juga menyatakan bahwa beberapa Vibrio sp menyebabkan kerugian di hatchery dan budidaya udang. Kebanyakan yang menjadi masalah adalah Vibrio harveyi dan Vibrio penaecida. Genus Vibrio merupakan agen penyebab vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Sunaryanto dan Mariam 1986 diacu dalam Suwanto et al. 1999). Spesies Vibrio yang berpendar pada umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri-bakteri tersebut adalah Vibrio harveyi dan Vibrio splendidus (Lavilla-
20
Pitogo 1995) serta Vibrio albensis (Suwanto et al. 1999). Luminous vibriosis telah dilaporkan menyebabkan mortalitas udang di Philipina (Lavilla-Pitogo 1995) dan penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menjadi masalah pada industri udang tidak hanya di Philipina tetapi juga negara lain. Hampir semua luminescent vibriosis mempunyai karakteristik fisiologi dan morfologi yang serupa, yaitu: Gram negatif, berbentuk batang pendek, memfermentasi glukosa, oksidase dan katalase positif, motil, memproduksi H2S dan indole, mempunyai koloni berwarna hijau pada media TCBSA dengan suhu 28-37 oC (Naviner et al. 1999). Aktivitas dan pertumbuhan Vibrio harveyi secara umum dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor tersebut antara lain suhu, tekanan osmose, cahaya, dan radiasi, keasaman, salinitas, kandungan bahan organik dan zat bakteriostatik serta bakterisida (Nugraheny 2001). (2) Escherichia coli Escherichia pencernaan
coli
hewan.
merupakan Bentuknya
bakteri pendek,
yang
umumnya
batang
Gram
menghuni
negatif
dan
diklasifikasikan sebagai enteric bacteria. Bakteri patogen ini dapat menyebabkan penyakit diare dan infeksi saluran urin.
Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
memproduksi verotoxin, yaitu suatu enterotoksin yang juga diproduksi Shigella dysenteriae, Shiga toksin.
E. coli O157:H7, tumbuh dalam usus kecil dan
memproduksi verotoxin yang dapat menyebabkan diare berdarah dan gagal ginjal. Pada umumnya infeksi terjadi pada orang yang mengkonsumsi daging yang tidak dimasak atau kurang matang yang terkontaminasi bakteri ini, biasanya daging cincang. negara berkembang.
Penyakit diare sering terjadi pada anak-anak di
Metode yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi
bakteri ini antara lain mengkonsumsi bahan pangan yang matang.
Amerika
Serikat telah mengijinkan penggunaan iradiasi untuk daging cincang agar tehindar dari infeksi bakteri ini (Madigan et al. 2003). Tidak semua Escherichia coli bersifat patogen dan strain yang berbeda menyebabkan perbedaan penyebab penyakit. Oleh karena itu membedakan strain dan kelompok ini sangat penting, sehingga strain yang menyebabkan penyakit perlu diidentifikasi.
Untuk membedakan sistim klasifikasi serologi,
digunakan bentuk permukaan dari E. coli: O antigen dari LPS (O) dan flagella (H). Antigen O identik dengan serogrup dan antigen H (Salyers dan Whitt 1994).
identik dengan serotype
21
Escherichia coli merupakan penyebab acute watery diarrhea yang sering menimpa pendatang baru atau orang asing di negara-negara tertentu. Terjadinya strain EHEC dalam daging, susu, hasil ternak dan hasil laut cukup tinggi. Strain EHEC masih mampu hidup selama 18 hari pada suhu 4 oC dalam apel cincang dengan pH 3,91 – 5,11. Bakteri ini juga termasuk tidak tahan panas, tidak tumbuh pada pada NaCl ≥ 8,5% (Jay 2000).
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang terdiri dari beberapa tahap dilakukan pada tahun 20072008. Tahap kultivasi Chaetoceros gracilis, pemanenan, pengeringan biomasa, dan ekstraksi komponen aktif antibakteri, analisis aktivitas antibakteri, analisis kerusakan sel bakteri, dan analisis kandungan kimia dlakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB, Bogor dan Laboratorium di lingkungan IPB. Pengamatan morfologi sel bakteri yang menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Laboratorium Bidang Biologi, LIPI Cibinong, sedangkan analisis kandungan kimia seperti komposisi asam amino menggunakan HPLC dan asam lemak menggunakan GC dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB. 3.2 Bahan dan Alat (1) Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta. Mikroalga ini terlebih dahulu disegarkan, selanjutnya ditumbuhkan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB. Beberapa bahan lain yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan untuk proses kultivasi mikroalga Chaetoceros gracilis, yaitu urea, tripple super fosfat (TSP), silika, vitamin, trace element. Bahan untuk ekstraksi (metanol dan heksan), bahan untuk karakterisasi komponen aktif yang meliputi Mueller Hinton Agar (MHA), Nutrient Broth (NB), bahan untuk analisis kerusakan bakteri, serta bahan-bahan untuk analisis komposisi kimia dan fitokimia biomasa Chaetoceros gracilis. Bakteri yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa jenis, yaitu bakteri Gram negatif yang meliputi Vibrio harveyi (diperoleh dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dan Departemen Budidaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor) dan Escherichia coli ATCC 25922 (diperoleh dari Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian
Bogor),
serta
bakteri
Gram
positif
yang
meliputi
23
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC 13091 (diperoleh dari Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian Bogor).
Bakteri-bakteri ini disegarkan dalam Nutrien Agar, sedangkan Vibrio
harveyi disegarkan dalam medium sea water complete (SWC) (4) Peralatan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis (erlenmeyer, akuarium, pompa udara, lampu dan sebagainya), peralatan untuk pemanenan biomasa (filter keramik, pompa, freeze dryer dan sebagainya) serta alat untuk ekstraksi komponen aktif (vortex, magnetic stirrer, evaporator dan sebagainya). Selain itu juga digunakan peralatan untuk analisis aktivitas antibakteri (inkubator, clean bench, oven sterilisasi, autoklaf, refrigeraor dan sebagainya), peralatan untuk analisis kerusakan bakteri (sentrifus, refrigerator, freezer dan sebagainya), peralatan untuk analisis morfologi sel bakteri (mikroskop elektron) serta beberapa peralatan untuk analisis kandungan kimia (HPLC, GC, AAS, Gen Quant). 3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis Penelitian ini dibagi menjadi empat percobaan, yaitu: (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (2) Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis (3) Analisis kerusakan bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (4) Analisis komposisi kimia dari biomasa Chaetoceros gracilis. 3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSia Tahap 1 Kultivasi mikroalga C. gracilis Mikroalga ditumbuhkan pada medium NPSi dalam flask yang dilengkapi dengan aerasi terus menerus, lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang dinyalakan terus menerus dan dilakukan pada ruangan dengan suhu 25 -26
o
C. Komposisi
medium NPSi disajikan pada Lampiran 1. Tahap 2 Pemanenan Chaetoceros gracilis Kultur Chaetoceros gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan biomasanya. Pemanenan dilakukan menggunakan filter keramik pori 0,3 µm. Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.
24
Produksi biomasa sel ditentukan dengan menghitung berat biomasa kering. Analisis rendemen biomasa Chaetoceros gracilis dilakukan dengan menghitung rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut dengan volume panen kultur. Tahap 3 Penentuan kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis Penghitungan sel dalam kultur dilakukan dengan cara melakukan sampling setiap hari sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan atau analisis jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung menggunakan hemasitometer
dan
mikroskop
(Hadioetomo
1993).
Kurva
pertumbuhan
Chaetoceros gracilis ditentukan dengan melakukan penghitungan jumlah setiap hari, selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan. 3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis Tahap 1 Ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan menggunakan metanol. Metode ekstraksi mengacu pada laporan Wang (1999), Naviner et al. (1999),dan Nugraheny (2000), yang dimodifikasi. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi, yaitu sampel direndam dalam pelarut yang digunakan.
Pada
penelitian ini, metode maserasi dikombinasi dengan pengadukan (stirring) menggunakan magnetic stirrer. Sebelum tahap maserasi, biomasa Chaetoceros gracilis dipecah selnya dengan menggunakan glass beads dan vorteks Tujuan pemecahan sel ini antara lain agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah keluar sehingga diperoleh lebih banyak. Tahap 2 Analisis aktivitas antibakteri dari ekstrak mikroalga Chaetoceros gracilis pada bakteri uji Ekstrak dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh diaplikasikan pada beberapa jenis bakteri patogen Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi ) serta bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923) 1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji Media Mueller Hinton Broth (MHB) disiapkan untuk inokulasi bakteri, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml. Media MHB diperlukan untuk menumbuhkan bakteri uji dalam media cair. Media yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah Mueller Hinton Agar (MHA)
25
yang sebelumnya disiapkan dalam tabung reaksi sebanyak 20 ml. Kedua media ini disterilkan sebelum digunakan. 2)
Pengujian senyawa antibakteri Pengujian antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi agar, dimana
ekstrak diteteskan ke dalam paper disc, selanjutnya diletakkan ke dalam media MHA beku yang telah mengandung bakteri. Kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 oC, selanjutnya diukur diameter hambatan yang terbentuk. Adanya zona bening menunjukkan adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri yang diuji. Tahap 3
Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial
Potensi
antibakteri
dilakukan
dengan
membandingkan
diameter
hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang telah diberi ekstrak dengan paper disc lain yang mengandung antibiotik sintetis komersial (kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan ampisilin) dengan konsentrasi sama. Masingmasing uji dilakukan 2 kali ulangan, masing-masing duplo. Potensi dapat diukur dengan rumus: Diameter hambatan ekstrak % Potensi daya hambat =
x100 % Diameter hambatan antibiotik
Tahap 4 Analisis stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis yang disimpan sampai 6 bulan pada suhu -18 – (-20 oC). Ekstrak C. gracilis disimpan selama 1,2 3, dan 6 bulan. Ekstrak diuji aktivitas antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas antibakteri. 3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri Kerusakan bakteri oleh ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan dengan cara mengkontakkan bakteri dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. Selanjutnya dianalisis kebocoran sel bakteri, kerusakan dinding sel bakteri, dan kerusakan morfologi sel bakteri.
26
Tahap 1 Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995) Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel.
Mekanisme perusakan
membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada perlakuan ekstrak. Analisis kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm.
Panjang
gelombang 280 nm digunakan untuk mengukur protein sel yang bocor, sedangkan panjang gelombang 260 nm untuk mengukur kadar asam nukleat yang bocor. Tahap 2 Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig yang diacu oleh Bintang 1993) Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh antibakteri terhadap dinding sel bakteri dengan cara mengukur kadar N-asetilglukosamin sebagai prazat mukopeptida pembentuk dinding sel. Tahap 3 Analisis morfologi sel bakteri Analisis morfologi sel dilakukan untuk mempelajari morfologi sel akibat penggunaan ekstrak antibakteri. Morfologi sel yang dikontakkan dengan ekstrak maupun tidak dikontakkan dengan ekstrak diamati menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). 3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis Tahap 1 Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat dilakukan pada biomasa Chaetoceros gracilis menggunakan metode Lowrey et al. (1951), Blight dan Dryer (1959), dan Kochert (1978) yang diacu dalam Chrismada (1993) Tahap 2 Analisis komposisi asam amino Analisis komposisi asam amino dilakukan pada biomasa Chaetoceros gracilis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (Shimadzu) Kondisi alat yang digunakan adalah sebagai berikut: Kolom
: Ultra techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit Detektor
: Fluoresensi
Fase mobil
: Bufer A (terdiri dari Na-asetat 0,025 M, Na-EDTA
0,05 %, metanol 9%) dan buffer B (terdiri dari metanol 95%)
27
Tahap 3 Analisis komposisi lemak Analisis komposisi asam lemak dilakukan pada biomasa Chaetoceros gracilis dengan menggunakan Gas Chromatography (Shimadzu). Kondisi alat yang digunakan adalah sebagai berikut: Kolom
: Cyanopropil methyl sil (capillary column)
Laju alir N2
: 20 mL/menit
Laju alir H2
: 30 mL/menit
Laju alir udara
: 200 – 250 mL/menit
Suhu injektor
: 220 oC
Suhu detector
: 240 oC
Suhu kolom
: 125 oC
Volume injek
: 1 µL
Diameter kolom
: 0,25 mm
Tahap 4 Analisis kandungan mineral Analisis
komposisi
kandungan
mineral
dilakukan
pada
biomasa
Chaetoceros gracilis menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophotometer (Hitachi Z 5000). Tahap 5 Analisis fitokimia dan asam nukleat Analisis fitokimia dan kandungan asam nukleat dilakukan pada biomasa Chaetoceros gracilis.
Fitokimia yang dianalisis meliputi uji alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, ninhidrin, Molisch. Kandungan asam nukleat dianalisis menggunakan Gent Quant.
4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi
4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara langsung dikomersialkan seperti mikroflora dan fauna dengan kandungan senyawa metabolit primer dan sekundernya masih relatif kurang dijamah (Effendi 2002). Chaetoceros adalah jenis mikroalga atau diatom laut yang mudah untuk dibudidayakan, dimana suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan antara 17-30 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Spesies ini dapat hidup pada suhu 10-20 oC dan dapat dikultur masal pada air laut yang diperkaya dengan pupuk anorganik atau pupuk kandang (BBLL 2002). Genus Chaetoceros memiliki lebih dari 160 spesies dan merupakan genus terbesar dari Kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan dingin sampai perairan panas. Chaetoceros memiliki setae dan digunakan untuk membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee 2008). Chaetoceros merupakan jenis mikroalga yang paling umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia, sering disebut golden-brown algae karena kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila padat populasinya, perairan akan terlihat coklat muda (Arinardi et al. 1997). Wang (1999) menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak, mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17 mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10 sampai 20 sel, ketika dikultur dengan aerasi kuat. Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau diatom, yaitu nutrien, suhu dan cahaya (Nontji 2006). mikroalga jenis diatom
memerlukan mineral-mineral seperti
Pada umumnya Nitrogen (N),
Pospor (P), Carbon (C), Magnesium (Mg), Sulfur (S), dan Silika
untuk
pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya (Borowitzka 1988).
29
Medium pertumbuhan yang biasa digunakan untuk kultivasi Chaetoceros adalah medium Guillard. Namun harga medium ini cukup mahal, sehingga perlu dicari alternatif medium yang lebih murah. Larastri (2006) menyatakan bahwa Chaetoceros sp dan beberapa diatom lain dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi, namun belum dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia menggunakan medium pertumbuhan NPSi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan medium yang sesuai untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan harga murah, sehingga pemanfaatannya lebih optimal. 4.1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan menentukan rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. 4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Bahan dan alat (1) Bahan baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini meliputi mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis. Mikroalga laut sebagai bahan baku pada penelitian ini dipanen pada umur 7 hari.
Medium yang digunakan untuk menumbuhkan
Chaetoceros gracilis adalah NPSi, yang terdiri dari urea, triple super fosfat (TSP) dan natrium silika yang dibeli di toko pertanian dan toko kimia. Selain itu juga ditambahkan vitamin B12, biotin, dan vitamin B1 yang dibeli di apotek, serta trace element seperti CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O, (NH4)6Mo7O24 4H2O, CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O. (2) Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain erlenmeyer, flask, lampu neon 20 Watt, pompa udara untuk aerasi, selang, refrigerator, mikro pipet dan tipnya, mikroskop, haemositometer, filter keramik, sentrifus, pengering beku (freeze dryer), dan peralatan gelas lain yang digunakan di laboratorium.
30
4.2.2 Metode penelitian (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam flask yang dilengkapi dengan aerasi dan lampu 20 Watt (2500 lux) yang dilakukan terus menerus. Kultivasi dilakukan pada ruangan yang dilengkapi dengan AC bersuhu sekitar 25-26 oC. Hal ini mengacu pada Lailati (2007) yang melaporkan bahwa kultur Chaetoceros gracilis pada ruangan yang dilengkapi AC dengan lama penyinaran 24 jam menghasilkan rendemen biomasa sel lebih besar dibanding 12 jam, pada tempat dan kondisi sama. Komposisi medium NPSi yang digunakan mengikuti peneliti sebelumnya, yaitu N:P:Si = 3:1:4 (Larastri 2006). Komposisi medium yang digunakan untuk pertumbuhan
Chaetoceros
gracilis
disajikan
pada
Lampiran
1.
Kultur
Chaetoceros gracilis dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 % stok kultur ke dalam wadah yang telah berisi medium NPSi. (2) Penentuan kurva pertumbuhan Untuk mengetahui kurva pertumbuhan C. gracilis, maka dilakukan analisis penghitungan jumlah sel dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi (fase kematian) dengan
metode
hitungan
langsung
menggunakan
haemositometer
dan
mikroskop.. Kurva pertumbuhan ini bertujuan untuk menentukan umur panen Chaetoceros gracilis. Pertumbuhan mikroalga juga dapat ditinjau dari rendemen biomasa, yaitu berat biomasa kering per satuan volume atau per satuan luasan atau per satuan berat (Becker 1994). (3) Pemanenan Chaetoceros gracilis Kultur yang telah masuk fase akhir logaritmik (umur 7 hari) dipanen, selanjutnya dipisahkan biomasanya menggunakan metode filtrasi.
Filter yang
digunakan adalah filter keramik yang memiliki pori 0,3 µm. Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer lalu ditimbang untuk diketahui berat keringnya. 4.2.3 Prosedur analisis (1) Penghitungan jumlah sel Sel dalam kultur dihitung dengan cara melakukan sampling setiap hari sampai kultur mencapai fase kematian. dengan
metode
hitungan
langsung
Penghitungan jumlah sel dilakukan menggunakan
haemositometer
dan
31
mikroskop perbesaran 400x (Hadioetomo 1993) dengan formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut:
N Keterangan:
N1
N2 2
1 1 mm3 1 mm 0,2 mm 0,1 mm 10 3 ml
N
= kepadatan sel (sel/ml)
ΣN1
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1).
ΣN2
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2).
1 mm
= panjang haemositometer dalam 80 kotak kecil.
0,2 mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak kecil. 0,1 mm = tinggi hemasitometer.
1 mm 3 = faktor konversi dari satuan mm3 ke satuan ml. 3 10 ml Hasil penghitungan jumlah sel kemudian dibuat log dan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y. (2) Penghitungan rendemen biomasa Berat kering dari masing-masing kultur kemudian dilakukan penghitungan terhadap rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut dengan volume panen. Perhitungan rendemen biomasa (Becker 1994) adalah sebagai berikut: Berat biomasa kering (gram) Rendemen biomasa = Volume panen (liter) 4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pada penelitian ini pertumbuhan diamati berdasarkan jumlah sel dan warna kultur.
Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan
jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Kultur Chaetoceros gracilis umur 1 hari disajikan pada Gambar 4. Pada awal kultivasi, kultur masih terlihat jernih.
Setelah beberapa hari warna kultur menjadi coklat, dan lama
kelamaan kultur terlihat coklat tua yang menandakan sudah pekat.
Selama
kultivasi diberi aerasi dengan tujuan untuk menghindari sedimentasi mikroalga, meratakan sinar untuk pencahayaan dan nutrien serta mencegah stratifikasi
32
suhu dan mempermudah pertukaran gas antara medium kultur dan udara karena sumber karbon dalam bentuk CO2 digunakan untuk fotosintesis (Coulteau 1996).
Gambar 4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari Selama kultivasi terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna yang terjadi dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat agak keruh, coklat keruh lalu kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir menjadi coklat bening yang disertai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat di dasar flask. Perubahan warna tersebut merupakan indikator terjadinya peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi tinggi kemudian turun menjadi rendah kembali secara bertahap yang akhirnya kultur mati. Kepadatan sel Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 2.
Kurva
pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan pada medium NPSi dan Guillard dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki beberapa fase dalam kurva pertumbuhan, yaitu fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena medium yang digunakan pada kultur dan inokulum sama, selain itu inokulum kultur yang digunakan berada dalam fase logaritmik juga. mengalami masa adaptasi.
Sehingga inokulum tidak
Log jumlah sel (sel/ml)
33
6.5 6.0 5.5 5.0 0
10 15 Waktu (hari)
20
25
30
Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian) Log jumlah sel (sel/ml)
Gambar 5
5
7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (hari)
Gambar 6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guilllard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian) (Lailati 2007) Fase pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya jumlah sel selama kultivasi, dilanjutkan dengan penurunan jumlah sel sampai mencapai stasioner. Fase pertumbuhan dicapai pada kultur berumur 1 hari hingga 7 hari, dengan kepadatan sel antara
2,1 x 105 sampai 2,4 x 106 sel/ml, lalu mengalami
penurunan. Adanya pertumbuhan, selain ditandai dengan meningkatnya jumlah sel, juga ditandai dengan perubahan warna kultur dimana pada fase ini kultur berwarna coklat keruh dan terlihat pekat. Pendeknya fase pada kultur diatom ini diduga karena kultivasi dengan penyinaran 24 jam menyebabkan sel menjadi sulit membentuk auksospora karena terjadi pembelahan terus-menerus. Sel diatom semakin lama akan semakin kecil dari ukuran induknya. pembelahan sel menghasilkan
Proses
sel anakan yang lebih kecil dari induknya.
Suksesi pembelahan aseksual menghasilkan sel yang semakin lama berukuran lebih kecil (Nontji 2006).
34
Fase pertumbuhan terjadi pada umur 1 hari hingga 7 hari. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mengalami penurunan pertumbuhan setelah hari ke-8.
Kondisi ini juga dialami oleh Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien utama seperti N, P, dan Si untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dapat dipenuhi dengan menggunakan medium NPSi. Mikroalga dalam metabolismenya menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer (intrasesuler) dihasilkan selama fase pertumbuhan. Beberapa makromolekul yang digolongkan ke dalam metabolit primer adalah karbohidrat, protein dan lemak. Pada penelitian ini (Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam medium NPSi)
fase stasioner dicapai setelah kultur berumur 8 hari sampai 25 hari,
dengan kepadatan tertinggi sebesar 2,3x106 sel/ml. Jumlah sel cenderung tidak meningkat, artinya tidak ada penambahan jumlah sel. Fase stasioner merupakan fase pertumbuhan yang konstan karena nutrien semakin berkurang dan populasi semakin padat. Menurut Kungvankij (1988) dan Richmond (2004) populasi sel pada akhir fase logaritimik cenderung menurun dan pada fase stasioner kurang lebih konstan, dimana jumlah sel
yang mati sama dengan yang membelah.
Pada fase ini pertambahan jumlah sel akibat pembelahan sel seimbang dengan pengurangan jumlah sel akibat kematian (Becker 1994).
Kultur pada fase ini
terlihat berwarna coklat pekat. Warna coklat pada kultur ini merupakan warna pigmen yang dimiliki oleh Chaetoceros gracilis. Pada fase stasioner dihasilkan metabolit sekunder (ekstraseluler) yang berupa komponen aktif antara lain senyawa antibakteri. Setelah kultur berumur 25 hari, jumlah sel menurun yang menandakan terjadinya fase kematian. Jumlah sel pada kultur umur 28 hari sebesar 6,9 x105 sel/ml. Fase kematian selain ditunjukkan dengan menurunnya jumlah sel, warna kultur mulai memudar dan terbentuk suatu endapan di dalam kultur.
Sel
mikroalga yang telah mati akan mengendap di bawah, dan kultur menjadi bening. Pada akhir kultivasi, sel Chaetoceros gracilis jumlahnya lebih sedikit. Pada fase kematian, jumlah sel yang mati lebih besar dari jumlah sel yang hidup. Sel yang masih hidup tidak lagi memiliki kemampuan untuk tumbuh, tetapi hanya mampu bertahan hidup. Sel mengalami lisis karena tidak lagi mendapat suplai nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien pada kultur mikroalga sangat diperlukan
35
karena tanpa penambahan nutrien mengakibatkan hasil pertumbuhan menjadi sangat rendah (Harrison dan Berges 2005). Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (medium yang umum digunakan untuk diatom termasuk Chaetoceros). Keduanya tidak mengalami fase adaptasi. Kepadatan sel pada kultur yang ditumbuhkan dalam medium Guillard lebih besar dibandingkan dalam medium NPSi (Gambar 5 dan 6). Hal ini diduga karena nutrien dalam medium Guillard lebih lengkap dibandingkan medium NPSi. Pada medium Guillard selain sumber N, P dan Si juga dilengkapi dengan FeCl3.6H2O, EDTA.
Unsur N diperoleh dari urea, unsur P diperoleh dari TSP
dan Si diperoleh dari Na metasilika. Unsur Si dalam kultivasi mikroalga jenis diatom merupakan unsur utama selain N dan P. Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) menyatakan bahwa silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta dibutuhkan dalam proses metabolisme. Faktor intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau diatom, yaitu nutrien, temperatur dan cahaya (Nontji 2006).
Selain itu,
pertumbuhan suatu jenis fitoplankton atau mikroalga erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas (BBLL 2002). Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan pemberian nutrien yang terdiri dari urea, TSP, natrium silika serta vitamin dan trace element. Suhu lingkungan yang digunakan untuk kultur adalah 25-26 oC dan salinitas air laut sebagai mediumnya adalah 28-30 ppt. Hal ini sesuai dengan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan antara 17-30 ppt. 4.3.2 Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis Pada penelitian ini diatom Chaetoceros gracilis dipanen pada umur kultur 7 hari dengan cara mengumpulkan kultur ke dalam satu wadah (flash) untuk dilakukan filtrasi. Filtrasi dilakukan untuk memisahkan biomasa sel dari cairan mediumnya. Pemanenen dilakukan pada umur 7 hari dimana kultur berada pada fase akhir logaritmik.
Produk yang diambil dari Chaetoceros gracilis adalah
36
komponen aktif yang bersifat antibakteri. Waktu pemanenan ini mengacu pada hasil penelitian Trianti (1998) dan Pribadi (1998), yang menunjukkan bahwa senyawa antibakteri dari mikroalga dihasilkan pada fase logaritmik akhir dan stasioner. Pada penelitian ini proses pemisahan biomasa dari kultur dilakukan menggunakan metode filtrasi. Bila pemisahan menggunakan sentrifus, akan memerlukan waktu lebih lama, karena kapasitas sentrifus hanya 2 liter sekali running.
Proses pemisahan biomasa dari kultur sebanyak 24 liter dengan
sentrifugasi memerlukan waktu sekitar 6 jam, sedangkan bila menggunakan filtrasi hanya sekitar 2-3 jam. Selain itu penggunaan sentrifus lebih mahal dibanding filtrasi.
Pemanenan biomasa atau pemisahan biomas dari kultur
dengan filtrasi dapat dilakukan untuk kultur dalam jumlah berapapun.
Akan
tetapi kelemahan penggunaan filtrasi adalah tidak semua jenis sel mikroalga dapat dipisahkan dengan filter ini karena ukurannya berbeda-beda, oleh karena itu bila akan menggunakan filter ini pori-pori keramik filternya harus disesuaikan dengan ukuran sel yang akan dipisahkan. Ukuran Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi pada penelitian ini adalah panjang ±8,8 mikron dan lebar ± 5 mikron, sehingga dapat menggunakan filter keramik yang mempunyai ukuran pori 0,3 mikron. Pada umumnya mikroalga jenis diatom
memerlukan mineral-mineral
seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Carbon (C), Si, Magnesium (Mg), Sulfur (S) untuk pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya. Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan penambahan urea sebagai sumber N , TSP sebagai sumber P dan natrium silika sebagai sumber Si, vitamin B1, biotin dan B12, serta trace element
yang meliputi CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O,
(NH4)6Mo7O24 4H2O, CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O. Pengeringan Chaetoceros gracilis dilakukan menggunakan freeze dryer dengan tujuan agar sel menjadi kering sehingga permukaan sel mikroalga menjadi lebih besar dan mempermudah proses penetrasian pelarut, sehingga proses penarikan komponen aktif lebih mudah terjadi. Pengeringan dengan menggunakan freeze dryer menguntungkan karena tidak merusak komponen aktif yang dikandung bahan. Beberapa jenis komponen aktif merupakan bahan yang mudah rusak oleh pemanasan, sehingga proses pemisahannya tidak boleh
37
dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Biomasa sel kering yang dihasilkan berwarna hijau kecoklatan, karena mengandung klorofil dan karoten. Hal ini sesuai dengan laporan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa pigmen kuning merupakan pigmen yang mendominasi sel Chaetoceros dan juga mengandung pigmen fukosantin (Round et al. 1996).
Chaetoceros
berwarna kuning kecoklatan karena kandungan pigmen karotennya (Borowitzka 1988). Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh disajikan pada Gambar 7. Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis (0,16 g/L) ini rendah. Hal ini diduga karena selama kultivasi mikroalga tidak dilakukan penambahan CO2. Sumber CO2 yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini hanya berasal dari udara melalui aerasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard juga menghasilkan rendemen biomasa 0,16 g/L.
Artinya
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan rendemen yang sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard, dimana selama kultivasi keduanya tidak ditambahkan CO2. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pacheco-Vega (2009) yang menunjukkan bahwa kepadatan dari Chaetoceros muelleri (Limmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium pupuk cair yang mengandung urea, NH4NO4, HPO4 dan silika mempunyai kepadatan sel yang tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan dalam medium f/2. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa untuk menumbuhkan Chaetoceros dapat digunakan medium dengan sumber N yang berbeda-beda.
Gambar 7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering
38
4.4 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain : (1) Chaetoceros gracilis yang diambil dari perairan Indonesia dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi. (2) Pola atau fase pertumbuhan Chaetoceros gracilis pada penelitian ini meliputi fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. (3) Rendemen biomasa dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari sebesar 0,16 g/L.
5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis
5.1 Pendahuluan 5.1.1 Latar belakang Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai tujuan tergantung struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk bahan nutrasetika, farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999). Senyawasenyawa yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika biasanya memiliki aktifitas biologis. Produk alam laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) sumber biomolekul yang mudah diperoleh; (2) senyawa yang memiliki aktivitas biologis yang meliputi : 1) senyawa antimikroba; 2) senyawa aktif fisiologikal; 3) senyawa aktif farmasetika; 4) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) toksin laut. Beberapa jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber obat antara lain makroalga, mikroalga, sponge, soft coral maupun ikan (Kobayashi dan Satari 1999). Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler. Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses sekresi sel yang sehat maupun dari sel yang lisis atau mati (Stewart 1974). Beberapa mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif antibakterial antara lain Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum elegans, Chaetoceros socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial tersebut tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Ekstrak kasar intraselular Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard dan
diekstraksi
menggunakan
pelarut
metanol
mempunyai
aktivitas
penghambatan terhadap bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Setyaningsih et al. (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard menghasilkan ekstrak kasar (crude extract) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif Vibrio harveyi. Medium pertumbuhan untuk Chaetoceros gracilis pada
umumnya
Guillard, namun mikroalga ini juga dapat tumbuh dalam medium pupuk NPSi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang
40
ditumbuhkan dalam medium NPSi tanpa penambahan CO2 menghasilkan berat kering 0,16 g/L. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mempunyai aktivitas antibakteri, namun ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi belum diketahui aktivitas dan stabilitas komponen aktifnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas antibakteri, potensi aktivitasnya dibandingkan antibiotik komersial, pengaruh penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis. 5.1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (2) Menganalisis stabilitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah. 5.2 Bahan dan Metode 5.2.1 Bahan dan alat Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi,
LIPI, Jakarta.
Setelah Chaetoceros gracilis disegarkan,
selanjutnya dikultivasi di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan.
Mikroalga sebagai bahan baku pada penelitian ini
dipanen pada akhir fase logaritmik. Bakteri uji yang digunakan meliputi bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus aureus ATCC 25923), bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi). Bahan kimia yang digunakan antara lain media untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis, metanol, media Nutrien Agar, Mueller Hinton Agar, Nutrien Broth, antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk kultivasi Chaetoceros gracilis seperti flask atau akuarium, pompa aerator, lampu, luxmeter, dan sebagainya. Alat untuk panen biomasa terdiri dari filter keramik, pompa filter. Peralatan untuk ekstraksi antara lain magnetic stirrer, rotary vacuum evaporator, kertas cakram (paper disc), glass beads, vorteks, dan lain-lain. Alat untuk uji aktivitas antibakteri antara lain clean bench, refrigerator, cawan petri, mikro pipet, serta alat gelas lain yang digunakan di laboratorium.
41
5.2.2 Metode penelitian Tahap penelitian ini untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis meliputi: (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi dan pemanenan biomasanya; (2) Ekstraksi dan aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis; (3) Analisis potensi daya hambat antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (4) Analisis stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan. (1) Kultivasi dan pemanenan Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam flask atau akuarium yang berisi medium NPSi, yang dilengkapi dengan aerasi.
Sebagai sumber cahaya
digunakan lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang diberikan secara terus menerus. Biomasa dipanen pada akhir fase logaritmik dengan cara filtrasi, selanjutnya biomasa tersebut dikeringkan. (2) Ekstraksi antibakteri dari Chaetoceros gracilis Metode ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros merupakan modifikasi dari metode yang dilakukan Naviner et al. (1999) dan Wang (1999). Biomas sel Chaetoceros gracilis yang
telah dikeringkan, dipecah selnya
menggunakan glass bead dan vorteks. Tujuan pemecahan sel ini antara lain agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah keluar sehingga diperoleh ekstrak intraseluler. Kemudian diekstraksi dengan pelarut metanol menggunakan metode maserasi yang dikombinasi dengan pengadukan, lalu dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman 0,42 µm untuk memperoleh filtrat. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 3537 oC. Hasil ekstraksi yang diperoleh ditimbang dan dianggap sebagai ekstrak kasar
(crude
extracts)
yang
mengandung
komponen
aktif.
Ekstraksi
menggunakan heksan juga dilakukan dengan metode yang sama. Perhitungan nilai rendemen ekstrak adalah sebagai berikut: Rendemen
A 100% B
Keterangan: A = Berat ekstrak intraseluler (gram)
B = Berat biomassa (gram)
42
5.2.3 Prosedur analisis (1) Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis pada Ekstrak yang diperoleh diaplikasikan pada beberapa jenis bakteri patogen Gram negatif Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi, serta bakteri Gram positif Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC 13091. Metode analisis yang digunakan adalah metode difusi agar. 1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji - Media Nutrien Broth (NB) yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml. Media NB diperlukan untuk menumbuhkan bakteri uji dalam media cair - Media Mueller Hinton Agar yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 15 ml. Media ini digunakan untuk menumbuhkan bakteri pada saat uji aktivitas antibakteri - Media Nutrien Broth dan Mueller Hinton Agar selanjutnya disterilisasi ke dalam autoklaf selama 15 menit, pada suhu 121 oC - Bakteri-bakteri
uji
terlebih
dahulu
disegarkan
dengan
cara
menginokulasikan ke dalam media NB steril dan diinkubasi pada suhu 37 o
C (B. cereus, S. aureus, E. coli) dan 30 oC (V. harveyi). Setelah 24 jam
dilihat hasilnya, yaitu dengan mengamati kekeruhan pada media yang digunakan.
Adanya kekeruhan menunjukkan bahwa bakteri yang
diinokulasikan mengalami pertumbuhan. Bakteri yang memiliki OD > 0,5 ini digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri. - Sterilisasi juga dilakukan pada sejumlah cawan petri yang diperlukan untuk menumbuhkan bakteri, pada tip mikro pipet, paper disc, erlenmeyer, dan botol sampel. 3)
Analisis senyawa antibakteri - Bakteri uji sebanyak 20-50 µl dari suspensi dengan OD lebih besar dari 0.5 dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi
15 ml media Mueller
Hinton Agar steril yang belum beku (suhu sekitar 45oC).
Kemudian
dihomogenkan dengan menggunakan vortex, selanjutnya dituangkan ke dalam cawan petri. Tahap ini dilakukan terhadap semua bakteri uji yang digunakan - Media pada cawan petri tersebut didiamkan di dalam clean bench selama sekitar 15 menit hingga membeku.
43
- Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar, yaitu menggunakan kertas cakram (paper disc) berukuran 6 mm. Kertas cakram steril yang telah disiapkan ditetesi sebanyak 10 µl ekstrak mikroalga yang mengandung senyawa antibakteri.
Selanjutnya diletakkan pada cawan
petri yang berisi Mueller Hinton Agar yang telah memadat - Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator selama 30 menit dengan maksud agar difusi ekstrak antibakteri dapat berjalan dengan baik, kemudian diinkubasi ke dalam inkubator pada suhu 37 oC untuk E. coli, S. aureus,
B. cereus dan 30 oC
untuk V. harveyi dengan posisi terbalik
selama 18 jam. - Pengamatan dilakukan dengan mengukur zona bening di sekitar kertas cakram (paper disc).
Daya hambat ekstrak antibakteri dari mikroalga
ditentukan dengan cara mengurangi diameter zona bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram dengan diameter kertas cakram yang mengandung ekstrak. Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri, jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Ketentuan kekuatan antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah) (Davis dan Stout 1971). (2) Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial Sebelum dilakukan penentuan potensi daya hambat ekstrak C. gracilis, dilakukan uji aktivitas penghambatan dari ekstrak dan beberapa antibiotik komersial
terhadap bakteri
uji.
Potensi antibakteri dilakukan dengan
membandingkan diameter hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang telah diberi ekstrak dengan paper disc lain yang mengandung antibiotik komersial (kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin dengan konsentrasi 300µg/disk). Potensi daya hambat dapat diukur dengan rumus sebagai berikut : Diameter hambatan ekstrak % Potensi daya hambat =
x 100 % Diameter hambatan antibiotik
44
(3) Analisis stabilitas ekstrak antibakteri Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap kestabilan ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh.
Ekstrak C.
gracilis disimpan selama 1, 2 3, dan 6 bulan, selanjutnya diuji aktivitas antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas antibakteri. 5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Ekstrak antibakteri dari C. gracilis Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan cara mengekstrak senyawa aktif yang terkandung dalam sel Chaetoceros gracilis.
Ekstraksi
merupakan suatu proses yang secara selektif memisahkan beberapa zat yang diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Salah satu faktor penting dan menentukan keberhasilan ekstraksi menggunakan pelarut adalah pemilihan jenis pelarut yang digunakan. Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut organik, yaitu metanol dan heksan yang digunakan secara terpisah. Metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah sebagai berikut: bahan yang akan diekstrak, kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan bahan yang telah diekstrak (Danesi 1992). Tahap awal ekstraksi untuk biomas sel Chaetoceros gracilis pada penelitian ini adalah pemecahan sel (cell disruption). Pemecahan sel dilakukan menggunakan glass bead dan vorteks. Glass bead mampu memecah sel seperti cyanobacteria, yeast, spora, dan mikroalga.
Efektivitas glass bead sebagai
pemecah sel tergantung dari ukuran glass bead dan lama pemecahan sel. Sel bakteri akan pecah dengan lebih efektif menggunakan glass bead berukuran 0,1 mm, sedangkan glass bead 0,5 mm efektif untuk sel mikroalga. Jumlah glass bead minimal 50% dari total volume larutan biomasa yang digunakan (Grima et al. 2004). Secara umum semakin besar perbandingan glass bead dan volume pelarut maka proses pemecahan selnya akan semakin cepat (Goldberg 2008). Proses pemecahan sel akan mempermudah pemecahan struktur dinding sel tersebut sehingga komponen dalam sel akan keluar dan terikat dalam pelarut yang digunakan. Pelarut yang digunakan pada tahap maserasi ini adalah metanol dan heksan secara terpisah. Pada akhir tahap ekstraksi dihasilkan rata-rata
45
rendemen ekstrak kasar metanol sebesar 34,52%, dan ekstrak kasar heksan sebesar 16,34%. Rendemen ekstrak metanol lebih besar dibandingkan ekstrak heksan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa metanol merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal.
Metanol
mampu mengekstraksi senyawa organik, sebagian lemak serta tanin (Heat dan Reineccius 1986). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan kombinasi pemecahan sel dan pengadukan (stirring) yang menggunakan magnetic stirrer. Proses stirring bertujuan untuk merusak dinding sel mikroalga, sehingga komponen yang masih terdapat dalam sel dapat keluar dan memperbesar kemungkinan tumbukan antara partikel, sehingga komponen yang telah keluar dapat terikat serta larut dalam pelarut dan memperbesar pengikatan komponen dengan pelarut yang digunakan. Ekstrak Chaetoceros gracilis disajikan pada Gambar 8. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh berwarna coklat, lengket. Hal ini sesuai dengan kandungan kimia Chaetoceros gracilis, dimana mikroalga ini mengandung asam lemak.
Gambar 8 Ekstrak Chaetoceros gracilis 5.3.2 Aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri.
Bahan kimia yang dapat membunuh
organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri, sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik, fungistatik, algasitik (Madigan et al. 2003).
Adanya aktivitas bakterisida dari
ekstrak mikroalga ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening (zona hambatan) pada sekitar paper disc. Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 9.
Diameter zona
46
hambat ekstrak metanol dan ekstrak heksan selengkapnya disajikan pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 2 Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C. gracilis Vibrio E. coli harveyi ATCC 25922
Sampel
S. aureus ATCC 25923
B. cereus ATCC 13091
Diameter zona hambat (mm) Ekstrak metanol
6±0,4
4±0,5
6±0,6
7±0,8
Ekstrak heksan
7±0,4
4±0,5
6±0,5
8±0,5
Kloramfenikol
35±0,7
35±0,7
31±0,7
35±0,7
Metanol
0
0
0
0
Heksan
0
0
0
0
Berdasarkan Tabel 2 dapat dikatakan bahwa
C. gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif yang bersifat antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus cereus ATCC 13091 (Gambar 9). Diameter zona hambat yang dihasilkan dari ekstrak-heksan relatif lebih besar dibanding ekstrak-metanol. Hal ini sesuai dengan sifat heksan yang non polar yang mana menarik senyawa non polar seperti asam lemak, sehingga aktivitas ekstrak heksan (crude extracts) yang dihasilkan lebih besar. Pelarut metanol dan heksan tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji, hal ini ditunjukkan dengan hasil uji aktivitas antibakteri negatif atau tidak ada zona hambat. Diameter zona hambat dari kloramfenikol lebih besar daripada ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi, karena kloramfenikol memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak Chaetoceros gracilis, yang mana ekstrak Chaetoceros gracilis masih merupakan ekstrak kasar (crude extract).
47
EH
EH H H
K
M
K
M EM
EM
Bacillus cereus
Staphylococcus aureus
EH
H
K
EH M
EM
Vibrio harveyi
K
H
M
EM
Escherichia coli
Gambar 9 Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan) Pada penelitian ini adanya aktivitas antibakteri pada Chaetoceros gracilis diduga karena kandungan asam lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wang (1999) serta Metting dan Pyne (1986) bahwa komponen aktif dari Chaetoceros adalah asam lemak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri dari ekstrak heksan lebih besar daripada ekstrak metanol. Heksan merupakan pelarut yang baik untuk melarutkan lemak dibandingkan metanol, diduga asam lemak yang terlarut dalam heksan lebih banyak dibandingkan dalam metanol, sehingga aktivitasnya lebih besar. Penelitian antibakteri dari Chaetoceros juga telah dilakukan oleh Wang (1999), yang mana melaporkan bahwa budidaya kekerangan dan moluska yang menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya, memberikan efek antibiotik alami yang
dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio
sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat
48
pertumbuhan bakteri seperti Methicilline Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin Resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae. 5.3.3 Potensi relatif antibakteri dari ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik komersial
dengan
Ekstrak C. gracilis yang diperoleh dibandingkan potensi daya hambatnya terhadap beberapa jenis antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin.
Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana
ekstrak Chaetoceros gracilis memiliki potensi daya hambat terhadap bakteri uji bila dibandingkan dengan antibiotik komersial tersebut. Hasil pengamatan aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dan antibiotik komersial terhadap bakteri uji dapat dilihat Gambar 10, sedangkan diameter zona hambat dan potensi relatif selengkapnya disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada medium NPSi memiliki aktivitas daya hambat terhadap pertumbuhan beberapa bakteri patogen, namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin.
Hal ini dikarenakan
ekstrak Chaetoceros gracilis yang digunakan masih merupakan ekstrak kasar (crude extracts). Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan lainnya.
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang awalnya diisolasi dari
Streptomyces venesuelae pada tahun 1947, kini diproduksi secara sintetik, memiliki
spektrum
penghambatan
yang
luas,
bersifat
bakteriostatik,
mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang terbentuk (Naim 2003).
Diameter zona hambat (mm)
49
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Ekstrak
Kloramfenikol
Ampisilin
Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Gambar 10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi) Tetrasiklin
merupakan
kelompok
antibiotik
yang
dihasilkan
oleh
Streptomyces. Beberapa antibiotik yang segolongan dengan tetrasiklin adalah oksitetrasiklin, klortetrasiklin dan demetilklortetrasiklin.
Antibiotik ini bersifat
bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi.
Efek
tetrasiklin terhadap bakteri adalah menghambat transpor silang membran dan menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa. Golongan tetrasiklin yang
pertama
Streptomyces
ditemukan aureofaciens.
adalah
klortetrasiklin
Kemudian
yang
ditemukan
dihasilkan
oleh
oksitetrasiklin
dari
Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi dapat juga diperoleh dari spesies Streptomyces lain. Golongan tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika tetrasiklin ke dalam ribosom bakteri Gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika tetrasiklin masuk ke dalam ribosom bakteri, maka berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino, sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat (Naim 2003). Ampisilin merupakan salah satu dari penisilin sintetik yang diproduksi secara kimiawi dari modifikasi sisi rantai penisilin. Antibiotik ini masuk ke dalam
50
membran luar bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu cross linking peptidoglikan.
Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi cross linking tidak
terjadi, sehingga dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama kelamaan sel mengalami lisis. Potensi relatif penghambatan ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial disajikan pada Gambar 11. Aktivitas daya hambat masingmasing antibiotik komersial terhadap V. harveyi dan B. cereus
tidak sama.
Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap Vibrio harveyi berturut-tutrut sebesar 21,18, 21, dan 22 % pada konsentrasi 300 µg/disc. Artinya kemampuan ekstrak C. gracilis dalam menghambat pertumbuhan V. harveyi masih rendah. Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap Bacillus cereus berturut-turut sebesar 21, 18, 18, dan 18% pada konsentrasi 300 µg/disc.
Artinya
kemampuan ekstrak
C.
gracilis
dalam
menghambat
pertumbuhan B. cereus juga masih rendah.
Potensi relatif (%)
25 20 15 10 5 0 Kloramfenikol
Ampisilin
Tetrasiklin
Oksitetrasiklin
Antibiotik Gambar 11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus; = V. harveyi ) Rendahnya
kemampuan
ekstrak
Chaetoceros
gracilis
dalam
menghambat pertumbuhan bakteri ini diduga karena ekstrak Chaetoceros gracilis yang digunakan merupakan ekstrak kasar, sedangkan antibiotik komersial
51
merupakan senyawa antibiotik yang lebih murni, selain itu masing-masing memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda.
Berdasarkan Gambar 11
juga dapat dikatakan bahwa masing-masing senyawa antimikroba
memiliki
kemampuan penghambatan terhadap bakteri yang berbeda. Naim (2003) menyatakan bahwa mode kerja dari kloramfenikol adalah mengikat ribosom 50S dan menghambat aktivitas peptidil transferase. Tetrasiklin dan oksitratseklin merupakan antibiotik yang mempunyai mode kerja menghambat sintesis protein, mengikat ribosom 30 S, sedangkan ampisilin mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu cross linking peptidoglikan. 5.3.4 Stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan Penyimpanan dapat mempengaruhi stabilitas aktivitas suatu komponen aktif. Metode penyimpanan bahan yang mengandung komponen aktif yang tidak benar dapat menurunkan aktivitasnya.
Pada penelitian ini ekstrak disimpan
dalam freezer pada refrigerator dengan suhu sekitar -18 - (-20)oC selama beberapa bulan. Analisis aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak yang telah disimpan selama 1, 2, 3 dan 6 bulan. Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan diameter zona hambat selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Ekstrak Chaetoceros gracilis termasuk bahan alami. Pada penelitian ini, ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal.
Berdasarkan
Gambar 12 dapat dikatakan bahwa aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan tidak berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V. harveyi 6 mm, pada bakteri E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 7 mm. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan suhu rendah dapat mempertahankan aktivitas antibakteri.
Diameter zona hambat (mm)
52
8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 bulan
1 bulan
2 bulan
3 bulan
6 bulan
Gambar 12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus; = B. cereus) Hasil penelitian ini didukung oleh Akbar (2008) yang menyebutkan bahwa ekstrak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam mendium Guillard pada suhu ruang, dan disimpan selama 2 bulan pada suhu rendah (-18 oC) masih memiliki aktivitas antibakteri sama dengan awal. Ekstrak yang disimpan selama 2 bulan memiliki aktivitas antibakteri sama dengan ekstrak yang tidak disimpan. 5.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulka bahwa: (1) Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis lebih kecil (diameter zona hambat 7±0,8 mm untuk B. cereus dan 6 ±0,8 mm untuk V. harveyi) dibandingkan antibiotik kloramfenikol (diameter zona hambat 34 ±1,0 mm untuk untuk B. cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), ampisilin (39 ±1,0 mm untuk untuk B. cereus dan 29 ±1,4 mm untuk V. harveyi), tetrasiklin (32 ±1,1 mm untuk untuk B. cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), dan oksitetrasiklin (32 ±1,1 mm untuk untuk B. cereus dan 33 ±1,4 mm untuk V. harveyi), sehingga spektrum penghambatannya belum menyamai antibiotik komersial. (2) Potensi relatif ekstrak C. gracilis terhadap antibiotik komersial masih kecil, yaitu 21 %; 18 %; 21 %; 22 % terhadap kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin untuk Bacillus cereus, serta 18 %; 21 %; 18 %; 18 % terhadap kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin untuk Vibrio harveyi. (3) Ekstrak C. gracilis yang disimpan selama 6 bulan pada suhu –18- (-20) oC masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan yang disimpan pada 0, 1, 2 dan 3 bulan
6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis 6.1
Pendahuluan
6.1.1 Latar belakang Mikroalga merupakan biota perairan yang selama ini pemanfaatannya di Indonesia masih terbatas untuk pakan larva.
Sesungguhnya mikroalga
mempunyai potensi untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan komponen aktif dan kandungan kimia yang cukup potensial. Rosa et al. (2005) menyatakan bahwa mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, vitamin, lemak, sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur dan kosmetika. Salah satu jenis mikroalga yang memiliki aktifitas biologikal adalah Chaetoceros. Chaetoceros gracilis merupakan salah satu mikroalga laut yang menghasilkan komponen aktif seperti antibakteri yang mana merupakan antibakteri alami yang aman penggunaannya. Hasil penelitian Pribadi (1998) menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Escherichia coli dan Pseudomonas sp. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial dalam Chaetoceros tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999. Komponen aktif pada Chaetoceros dapat menghambat bakteri Gram negatif dan positif (Wang 1999). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram postif Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif Vibrio harveyi dan Escherichia coli. Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masingmasing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif mengandung teikuronat.
90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan
Bakteri Gram negatif memiliki lapisan di luar dinding sel yang
mengandung 5 -10% peptidoglikan, selain itu juga terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Bakteri Gram negatif mempunyai dua lapisan lipid (bilayer lipid) yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS).
Lapisan ini
tersusun atas fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003). Polisakarida dalam dinding sel biasanya mengandung asam amino N-
54
asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Pada gula amino ini terikat rantairantai peptida pendek.
Lapisan peptidoglikan lebih tebal (40 lapisan) pada
dinding sel bakteri Gram positif daripada dinding sel bakteri Gram negatif (1-5 lapisan) (Lewis et al. 2007). Bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid yang dipisahkan oleh peptidoglikan. Ada juga outer membrane yang menempel pada lapisan lipopolisakarida memperkuat sel dan melindungi dari lingkungan luar. Pada membran ini ada porin dengan diameter 1-2 mm yang mengatur akses larutan ke membran sitoplasma (Moat et al. 2002). Antimikroba dapat merusak membran sitoplasma dan mempengaruhi integritasnya. Kerusakan pada membran dapat menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel, yang diikuti dengan keluarnya materi intraselular. Minyak atsiri dapat bereaksi dengan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok penyusun sel hilang (Kim et al. 1995). Setiap zat yang mampu merusak dinding sel atau mencegah sintetisnya akan menyebabkan sel peka terhadap tekanan osmotik. Adanya tekanan osmotik dalam sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis (Setyabudi dan Gan 1995). Asam lemak dapat menghambat pertumbuhan sel bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan S. pyogenes, serta bakteri Gram negatif Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa. Mekanisme penghambatan antibakteri asam lemak ini belum jelas tetapi diduga mengganggu sintesis asam lemak (Zheng et al. 2005). Setiap jenis bakteri memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap komponen aktif atau zat antimikroba. Mekanisme hambatan senyawa aktif terhadap bakteri juga berbeda-beda. Pada penelitian ini dilakukan kajian mekanisme kerusakan sel bakteri patogen setelah dikontakkan dengan ekstrak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. 6.1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kerusakan bakteri yang meliputi kebocoran sel (protein dan asam nukleat), gangguan dinding sel, serta morfologi sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.
55
6.2 Bahan dan Metode 6.2.1 Bahan dan alat (1) Bahan baku Chaetoceros gracilis yang telah diekstraksi dan beberapa bakteri uji yang meliputi bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus aureus ATCC 25923) serta bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi). (2) Alat Alat-alat yang digunakan pada tahap percobaan ini juga sama dengan alat-alat yang digunakan pada tahap sebelumnya. Untuk analisis mekanisme hambatan digunakan alat-alat seperti water bath shaker, spektrofotometer, sentrifus, mikroskop, mikroskop elektron (JEOL JIM 5310nLV), dan alat gelas yang digunakan di laboratorium. 6.2.2 Metode penelitian Mekanisme hambatan atau kerusakan sel bakteri akibat kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan terhadap bakteri Bacillus cereus dan Vibrio harveyi yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar (daerah hambatan paling besar). Pengamatan mekanisme kerja ekstrak dilakukan dengan cara menganalisis kerusakan dinding sel bakteri dengan cara mengukur zat pembentuk dinding sel dan menganalisis kerusakan membran sel dengan cara mengamati kebocoran sel, serta mengamati morfologi sel sebelum dan setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. 6.2.3 Prosedur analisis Metode untuk mengamati kerusakan tersebut antara lain dengan mengukur pra zat penyusun dinding sel (N-asetil glukosamin), menganalisis kebocoran sel bakteri dan menganalisis morfologi sel bakteri menggunakan scanning electron microscopy (SEM). (1) Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig 1955 yang diacu Bintang 1993) Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh senyawa antibakteri (ekstrak Chaetoceros gracilis) terhadap dinding sel bakteri dengan cara mengukur kadar N-asetil-glukosamin sebagai prazat mukopeptida penyusun dinding sel.
56
Sebanyak 250 µg bakteri uji dicampur dengan 3 ml larutan antibakteri (ekstrak Chaetoceros gracilis), dalam air suling steril dengan kadar 40 µg/ml dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC selama 10 menit. Kemudian sel bakteri tersebut dibilas dengan air suling steril dan disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC selama 10 menit. Sebagai pembanding digunakan sel bakteri sama tanpa antibakteri (ekstrak C. gracilis) dan langsung dibilas dengan air suling steril. Masing-masing perlakuan ditambahkan 0,5 ml TCA (Trichloro Acid) 10 % suhu 4 oC dan diinkubasi pada
suhu 4 oC selama 1
jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm selama 10 menit. Fase
cair
ditambahkan
eter
dengan
volume
yang
sama
untuk
mengeluarkan TCA, dengan cara mengocok campuran ini pada vorteks dan dibiarkan supaya eter terpisah, lalu eter dibuang.
Larutan bebas TCA
ditambahkan 75 µl HCl 0,25 N dan dimasukkan ke dalam penangas air mendidih selama 5 menit. Lalu ditambah 150 µl NaOH 0,125 N dalam Na2B4O7 2% dan dipanaskan pada penangas air mendidih selama 7 menit. Kemudian dicampur dengan 1350 µl dimetil aminobenzaldehida 1 % dalam campuran asam asetat dan asam klorida dengan perbandingan 95 : 5, lalu dibiarkan selama 20 menit pada suhu 37 oC, selanjutnya dibaca serapan optiknya pada panjang gelombang 550 nm. Bila terjadi kekeruhan, artinya terjadi penimbunan N-asetil glukosamin. (2) Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995) Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel.
Mekanisme perusakan
membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada perlakuan ekstrak. Analisa kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan alat Spektro UV-VIS RS Digital Spectrophotometer LaboMed, Inc. pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm. Panjang gelombang 280 nm digunakan untuk mengukur kadar nitrogen dari protein sel, sedangkan panjang gelombang 260 nm untuk mengukur kadar nitrogen dari nukleus sel. Sebanyak 10 ml kultur murni disentrifugasi
selama 10 menit.
Filtrat
dibuang lalu ditambahkan 5 ml larutan garam fisiologis (0,85% NaCl) dalam endapan sel pada tabung reaksi, kemudian diaduk menggunakan vorteks agar sel homogen dalam larutan fisiologis.
Selanjutnya ditambahkan ekstrak dan
dibiarkan selama 24 jam. Sebagai pembanding digunakan sel bakteri sama tanpa penambahan ekstrak. Selanjutnya suspensi disentrifugasi pada 10 000 rpm selama 10 menit dan supernatan disaring dengan kertas saring untuk
57
memisahkan selnya.
Analisis dilakukan dengan mengamati OD dari cairan
supernatan, menggunakan spektrofotometer (Spectro UV-Vis RS) pada panjang gelombang 280 dan 260 nm. (3)
Analisis perubahan morfologi sel bakteri (Bozolla dan Russel 1992) Analisis perubahan morfologi sel dilakukan untuk mempelajari perubahan
morfologi terhadap struktur sel akibat penggunaan ekstrak yang mengandung senyawa antibakteri, yang meliputi kerusakan morfologi sel,
struktur bakteri,
serta kerusakan dinding sel. Mula-mula bakteri dibuat tersuspensi dalam ekstrak, kemudian diinkubasi pada inkubator goyang dengan kecepatan 100 rpm. Selanjutnya cairan disentrifugasi dan dibuang supernatannya, lalu ditambahkan glutaraldehida 2% dan direndam. Kemudian disentrifugasi lagi, dibuang larutan fiksatif, lalu ditambahkan bufer caccodylate dan dibiarkan beberapa menit, disentrifugasi lagi, dibuang bufernya lalu ditambahkan osmium tetra oksida. Selanjutnya disentrifugasi lagi, dibuang larutannya, ditambahkan alkohol 50%, lalu ditambahkan alkohol lagi, disentrifugasi lagi, ditambahkan butanol. Kemudian dibuat ulasan suspeni pada cover slip, lalu dikeringkan. Selanjutnya spesimen yang sudah jadi dilihat menggunakan mikroskop elektron (SEM) JEOL, JIM-5310 LV. 6. 3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kebocoran sel Kebocoran sel bakteri pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kerusakan atau gangguan permeabilitas pada membran sel bakteri. Analisis kebocoran akibat pemberian ekstrak dilakukan dengan mengukur kekeruhan medium pertumbuhan bakteri yang telah diberi ekstrak dibandingkan tanpa ekstrak dengan menggunakan spektrofotometer. Kerusakan membran diukur dari bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel bakteri yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm (N nitrogen dalam asam nukleat) dan 280 nm (N nitrogen dalam protein). Mekanisme perusakan membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada perlakuan ekstrak. Hasil analisis kebocoran sel dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil penelitian (Gambar 13) menunjukkan bahwa nilai OD nm
260 nm dan
OD280
pada semua bakteri uji dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak C.gracilis.
Bakteri yang dikontakkan dengan ekstrak memiliki nilai OD lebih besar daripada tanpa ekstrak. Hal ini menunjukkan terjadinya pelepasan asam nukleat dan
58
protein ke dalam medium pertumbuhannya.
Berdasarkan analisis ini dapat
dikatakan bahwa sel bakteri uji mengalami kerusakan atau kebocoran akibat
Nilai absorbansi protein dan asam nukleat
adanya ekstrak Chaetoceros gracilis. 0.200 0.180 0.160 0.140 0.120 0.100 0.080 0.060 0.040 0.020 0.000
Gambar 13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat ( = OD 260 nm) dan kebocoran protein sel ( = OD 280 nm) Kebocoran sel bakteri terjadi diduga karena rusaknya ikatan hidrofobik komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyususn membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponenkomponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik. Lin et al. (2000) juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan permeabilitas membran sel, sehingga memudahkan masuknya komponen antibakteri ke dalam sel serta mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat yang menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Menurut Ultee et al. (1998) senyawa aktif dapat menyerang membran sitoplasma dan mempengaruhi integritas membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran materi intraselular. Adanya gugus hidrofobik pada senyawa antimikroba menyebabkan perubahan komposisi dan pelarutan pada membran sel yang akhirnya membran mengalami kerusakan. Pada penelitian ini terjadi kebocoran sel bakteri uji, yang menunjukkan terjadinya kerusakan membran sel bakteri.
Bahan aktif dari C. gracilis yang
berperan dalam penghambatan bakteri diduga asam lemak. Karena asam lemak dapat mengganggu membran bakteri. Zheng et al. (2005) melaporkan bahwa asam lemak dapat menghambat pertumbuhan sel bakteri Gram positif
59
Staphylococcus aureus dan S. pyogenes, serta bakteri Gram negatif Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa. Mekanisme penghambatan antibakteri asam lemak belum jelas.
Heat et al. (2001) menyatakan bahwa biosintesa lipid
menjadi target untuk bahan antibakteri. Lipid merupakan komponen utama untuk pertumbuhan sel, sehingga biosintesis lipid merupakan target yang baik untuk intervensi terapeutik dalam penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Komposisi lipid pada bakteri lebih sederhana dibanding manusia, oleh karena itu sangat ideal untuk pengembangan obat baru. Ekstrak C. gracilis pada penelitian ini mengandung asam lemak jenuh seperti kaprilat, miristat, palmitat, laurat, miristoleat, pentadekanoat, stearat, heneikosanoat, behenat, serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat, heptadekanoat, elaidat, oleat, linoleat, arakhidonat, linolenat, dokosadienoat, eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat. Menurut Zheng et al. (2005) asam lemak tidak jenuh seperti asam palmitoleat, asam oleat, asam linolenat dan asam arakhidonat, serta asam lemak jenuh stearat memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Metting dan Pyne (1986) serta Wang (1999) dimana komponen aktif yang dimiliki Chaetoceros adalah golongan asam lemak. Zheng et al. (2005) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri jenis asam lemak belum jelas. Asam lemak tidak jenuh rantai panjang (C16-C20) memiliki
aktivitas
antibakteri
terhadap
Staphylococcus,
Streptococcus,
Mycobacterium, Helicobacter, dan Bacilli. Dilika et al. (2000) melaporkan bahwa asam lemak linoleat dan oleat memiliki aktivitas antibakteri yang dapat melawan Bacillus megaterium dengan MIC 0,2 dan 0,05 mM. Kedua asam lemak ini juga menghambat pertumbuhan Pseudomonas phaseolicola. Selain itu asam lemak linoleat juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Streptococcus mutans dan B. larvae. Kedua asam lemak ini mempunyai aktivitas sinergistik. Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak antara lain asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, asam stearat yang diduga memiliki aktivitas antibakteri. Menurut Zheng et al. (2005) asam lemak tidak
jenuh menunjukkan aktivitas penghambatan lebih besar
dibanding asam lemak jenuh. Asam linoleat menunjukkan aktivitas antibakterial yang merupakan antimikroba pada bahan pangan tambahan dan antibakteri dalam herbal. Asam linoleat ini juga diduga menghambat pertumbuhan dengan cara meningkatkan permeabilitas membran bakteri, tetapi reaksi mekanisme hambatannya belum jelas. Senyawa aktif dalam triclosan adalah asam linoleat
60
yang telah ditargetkan sebagai biocide yang memiliki spektrum luas, dimana digunakan sebagai bahan tambahan antibakteri yang berperan sebagai biocide non spesifik (Zheng et al. 2005). Adanya kandungan asam lemak yang memiliki aktivitas antibakteri dalam Chaetoceros gracilis memerlukan penelitian lanjutan untuk pengembangan bidang farmasetika dan pangan. 6.3.2 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap dinding sel bakteri Unit dasar dari dinding sel bakteri tersusun atas peptidoglikan, dimana memberikan kekuatan pada sel bakteri, selain itu berperan juga sebagai dasar membran sitoplasma. Peptidoglikan tersusun atas N-asetilglukosamin dan Nasetilmuramat serta beberapa asam amino seperti L-alanin, D-alanin, D-glutamat dan lisin. N-asetilglukosamin merupakan prazat mukopeptida pembentuk dinding sel bakteri, yang mana dapat terganggu oleh adanya antibiotik. Kerusakan dinding sel bakteri dapat dilihat dengan mengukur prazat mukopeptida penyusun dinding sel yang ditandai dengan kekeruhan pada media. Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh penggunaan ekstrak Chaetoceros gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap kerusakan dinding sel bakteri. Hasil analisis prazat disajikan pada Gambar 14. Bakteri yang medium pertumbuhanya
ditambah
ekstrak
Chaetoceros
gracilis
menghasilkan
absorbansi (optical density) lebih besar dibanding tanpa penambahan ekstrak, artinya di dalam medium ada penimbunan N-asetil glukosamin sebagai prazat mukopetida penyusun dinding sel bakteri. Hal ini menunjukkan terjadinya gangguan atau kerusakan dalam dinding sel bakteri. Absorbansi N-asetil glukosamin
0.060 0.050 0.040 0.030 0.020 0.010 0.000
S. aureus
B. cereus
V. harveyi
E. coli
Gambar 14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak).
61
Struktur dinding sel
bakteri
Gram positif tidak sama dengan bakteri
Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid (bilayer lipid), yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS).
Lapisan ini tersusun atas
fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003). Hasil analisis prazat mukopeptida pembentuk dinding sel bakteri yang diduga N-asetil glukosamin menunjukkan bahwa ekstrak menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Penelitian serupa telah dilakukan Bintang (1993) yang melaporkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptococcus lactis dapat menghambat pembentukan dinding sel bakteri Eschericha coli, mekanisme penghambatannya adalah menghambat kerja enzim fosfatase alkalis pada tahap awal pembentukan dinding sel bakteri, sehingga terjadi penimbunan pra zat pembentuk dinding sel. Kandungan
pra
zat
pembentuk
dinding
sel
bakteri
seperti
N-
asetilglukosamin yang ditunjukkan dengan hasil serapan optik pada bakteri S. aureus dan B. cereus lebih besar dibanding bakteri E. coli. Hal ini terjadi karena struktur dinding sel bakteri tersebut berbeda, sehingga efek antibakteri terhadap bakteri juga berbeda. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang mempunyai dua lapisan lipid,
sedangkan bakteri Gram
positif
seperti
Stapylococcus aureus dan Bacillus cereus hanya memiliki satu lapisan, sehingga antibiotik lebih mudah menembus ke dalam sel bakteri Stapylococcus aureus dan Bacillus cereus. Pada penelitian ini kontak ekstrak dengan bakteri dapat menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri. Rusaknya dinding sel bakteri diduga karena adanya reaksi antara senyawa aktif dari ekstrak dengan dinding sel bakteri . Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah permeabilitas dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau terjadinya difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa mekanisme kerja antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan ada yang hanya efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik terhadap dinding sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam organik dari bahan (antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan menyebabkan perubahan terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa aktif dapat bereaksi dengan dinding sel bakteri dan membran sel. Selain itu kerusakan pada dinding sel bakteri juga dapat disebabkan oleh terjadinya tekanan osmotik.
62
6.3.3 Pengaruh ekstrak C gracilis terhadap morfologi sel bakteri (1) Bacillus cereus Bacillus cereus adalah bakteri patogen, Gram positif berbentuk batang berspora, banyak ditemukan air, debu maupun tanah, yang mana sporanya tahan panas.
Bakteri ini menghasilkan ekstraselular toksin dan enzim.
Eksotoksin B. cereus dapat menyebabkan diare. Bahan pangan yang sering ditumbuhi bakteri ini antara lain nasi, susu, jagung, sayuran, daging, sosis, puding.
Bakteri
ini
sensitif
terhadap
Butylated
hydoxyanisole
(BHA),
pertumbuhannya dapat dihambat pada konsentrasi <500 ppm (Jay 2000). Bacillus cereus termasuk mikroorganisme yang memiliki dinding sel. Seperti yang disajikan pada Gambar 15, Bacillus cereus terlihat utuh.
Sel
Bacillus cereus menjadi berubah setelah dilakukan kontak langsung dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (Gambar 16). Perubahan morfologi sel B. cereus ditunjukkan dengan perubahan pada selnya, dimana setelah kontak dengan ekstrak, sel Bacillus cereus mengalami kerusakan.
Gambar 15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x) Hasil analisis kebocoran sel menunjukkan bahwa sel bakteri mengalami lisis, dimana mengalami gangguan membran sel.
Gangguan tersebut
ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran protein dan asam nukleat. Chaetoceros gracilis hasil penelitian ini mengandung asam lemak seperti stearat, palmitoleat, linoleat, oleat, linolenat, arakhidonat yang menurut Zheng et al. (2005) asam lemak jenis tersebut memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan hal ini komponen yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis diduga asam lemak.
63
Gambar 16
Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak C. gracilis (perbesaran 20 000 x)
(2) Vibrio harveyi Vibrio harveyi merupakan bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan gangguan kesehatan pada larva udang. Tingginya mortalitas larva di panti benih udang kebanyakan dikarenakan Luminescent vibriosis yang disebabkan oleh Vibrio harveyi atau Vibrio splendidus. Hasil analisis kebocoran menunjukkan bahwa Vibrio harveyi mengalami kebocoran akibat kontak dengan ekstrak C. gracilis. Demikian juga hasil analisis prazat yang menunjukkan bahwa bakteri ini mengalami lisis. Hasil analisis biokimia ini didukung dengan hasil pengamatan menggunakan SEM. Sel bakteri yang tidak dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros
gracilis terlihat utuh
(Gambar 17), sedangkan yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis terlihat mengalami kerusakan (Gambar 18).
Gambar 17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x) Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa Chaetoceros memiliki antibakteri yang termasuk dalam golongan asam lemak. Chaetoceros gracilis pada penelitian ini juga mengandung asam lemak. Kabara et al. (1972)
64
menyatakan bahwa asam-asam lemak terutama asam laurat dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga dapat mengganggu pembentukan dinding selnya.
Mekanisme
kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel.
Gambar 18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x) 6.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan : (1)
Bakteri uji setelah kontak dengan ekstrak mengalami kebocoran sel.
(2)
Kontak
antara
bakteri
uji
dengan
ekstrak
Chaetoceros
gracilis
mengakibatkan kebocoran sel bakteri. (3)
Sel bakteri uji (B. cereus dan V. harveyi) mengalami perubahan (kerusakan) morfologi setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disarankan untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang reaksi mekanisme hambatan antibakteri.
7 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM NPSi
7.1
Pendahuluan
7.1.1 Latar belakang Keanekaragaman organisme laut di Indonesia cukup tinggi, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Biodiversiti ini merupakan aset penting dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan bioteknologi di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan dan kesehatan maupun lingkungan.
Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai
tujuan tergantung struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk nutrasetika, farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999). Senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika biasanya memiliki aktivitas biologis. Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi, kosmetika, pertanian, pakan dan sebagainya. Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur, potasium dan magnesium.
Elemen-
elemen seperti besi dan mangan diperlukan dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan molybdenum merupakan essential trace element.
Selain mineral ini beberapa alga juga memerlukan
substrat organik seperti vitamin, yaitu faktor tumbuh untuk pertumbuhan (Becker 1994). Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersiel penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariatif. Diatom
yang
banyak
digunakan
dalam
marinkultur
komersiel
adalah
Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C. calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002). Nutrisi dalam media pertumbuhan mikroalga akan mempengaruhi pertumbuhan
dan komposisi kimianya. Mikroalga yang ditumbuhkan dalam
medium yang berbeda akan menghasilkan metabolit yang berbeda pula. Hasil penelitian sebelumnya menghasilkan bahwa
Chaetoceros gracilis
dapat
ditumbuhkan dalam medium NPSi dan memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri patogen seperti bakteri Gram positif (Bacillus cereus
66
ATCC 13091 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi). Chaetoceros gracilis selain mengandung komponen antibakteri, juga mengandung komponen kimia lainnya. Akan tetapi belum diketahui kandungan kimiawi dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian komposisi kimia (nutrisi) dari C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. 7.1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain mendapatkan komposisi senyawa kimia dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Komposisi senyawa kimia yang diteliti pada penelitian ini adalah (1) Kandungan protein, lemak, karbohidrat; (2) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis; (3) Komposisi asam lemak dari biomasa C. gracilis, dan kandungan mineral dari biomasa C. gracilis; (4) Fitokimia; (5) Kandungan asam nukleat. 7.2
Bahan dan Metode
7.2.1 Bahan dan alat Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah diatom laut jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta. Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam medium pupuk NPSi dan dipanen pada umur 7 hari. Kultivasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Beberapa analisis dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen THP, analisis mineral dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Kimia Balai Penelitian Tanah, analisis asam nukleat dilakukan di Laboratorium Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB, dan analisis asam amino dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB. Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk kultivasi yaitu flask dan akuarium yang dilengkapi dengan lampu dan aerator. Selain itu juga digunakan pengering beku, refrigerator, spektrofotometer, Gas Chromatography (GC), Shimadzu, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Shimadzu, Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS), Hitachi, Gen Quant, serta alat-alat gelas lainnya yang digunakan di laboratorium.
67
7.2.2 Metode penelitian (1) Kultivasi dan pemanenan C. gracilis Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam akuarium yang berisi medium NPSi. Sebagai sumber cahaya digunakan lampu neon 20 Watt, untuk aerasi digunakan aerator yang diberikan secara terus menerus. Setelah kultur berumur 7 hari, biomasa dipanen menggunakan filter keramik (British PORTACEL) dengan pompa (Deng Yuan). Biomasa dikeringkan menggunakan freeze dryer Yamato untuk proses berikutnya. (2) Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis Kultur C. gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan biomasanya. Pemanenen dilakukan menggunakan filter keramik. Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer. 7.2.3 Prosedur analisis Analisis kimia pada ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak, mineral, fitokimia, dan kandungan asam nukleat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai gizi biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi, sehingga dapat diketahui manfaat lain dari biomasa C. gracilis selain memiliki aktivitas antibakteri. Analisis yang dilakukan meliputi kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, komposisi asam amino menggunakan HPLC Shimadzu, komposisi asam lemak menggunakan GC Shimadzu, komposisi mineral menggunakan AAS Hitachi Z 5000, kandungan asam nukleat menggunakan Gen Quant. (1) Analisis kadar protein (Lowry et al. 1951 diacu dalam Chrismadha 1993) Pada analisa protein ini telah disiapkan beberapa larutan yang diperlukan selama tahap analisis, yang meliputi sebagai berikut: 1) Larutan alkaline copper Sebanyak 20 ml NaOH 4 % (w/v) dan 10 ml Na2CO3 20 % (w/v) disatukan kemudian ditambahkan akuades sampai 100 ml ( larutan alkaline buffer). Larutan alkaline copper kemudian dibuat dengan menambahkan 1 ml NaK tartrate 20 % (w/v) dan 1 ml CuSO4.4H2O 5 % (w/v) ke dalam larutan. Bahan ini disiapkan segar sebelum digunakan. 2) Larutan standar Protein standar yang digunakan dalam analisis ini adalah Bovine Serum Albumin (BSA). Untuk larutan stok standar, dibuat larutan dengan
68
mencampurkan 50 mg BSA ke dalam 50 ml aquades dalam botol reagent dan disimpan pada refrigerator. Larutan diperbaharui setiap bulannya. 3) Larutan folin-Ciocalteu-Fenol 4) Kandungan total protein ditentukan berdasarkan kurva standar hasil pengukuran spektrofotometri 5) Prosedur analisis : Biomasa kering ditimbang sebanyak 2 mg.
Selanjutnya sampel di
dilarutkan dalam 10 ml akuades kemudian diambil sebanyak 2 ml ke dalam tabung sentrifugasi 10 ml. Selanjutnya ditambahkan Cu-alkalin 5 ml ke dalam tiap sampel dan pada tiap seri standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang kemudian ditambahkan 2 kali 0,3 ml folin-cioocalteu-fenol sambil dihomogenkan menggunakan vorteks.
Sampel didiamkan selama 15
menit pada suhu ruang lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.
Supernatan diambil dan diukur pada panjang gelombang 660 nm.
Kandungan protein pada sampel dapat dilihat melalui kurva grafik pada standar. (2) Analisis kadar lemak (Bligh dan Dyer 1959 diacu dalam Chrismadha 1993) Biomasa kering ditimbang sebanyak 10 mg, lalu diekstraksi dengan 5 ml campuran pelarut kloroform (Cl3CH),
metanol
(MeOH), air
(H2O) dengan
perbandingan (1 : 2: 0,8 v/v/v) kemudian dimasukkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml. Setelah itu sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Supernatan kemudian dipindahkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml yang lain sampai total volume 5,7 dengan kloroform (Cl3CH): metanol (MeOH): air (H2O). Untuk mendapatkan pemisahan fase, sebanyak 1,5 ml kloroform dan 1,5 ml air non ion ditambahkan kemudian dihomogenkan dan untuk mendapatkan pemisahan fase yang terbaik sampel disentrifugasi.
Lapisan hijau kloroform
secara hati-hati dipisahkan dengan pipet pasteur.
Bobot lemak ditentukan
dengan menuangkan lemak terlarut ke dalam botol kecil (vial) yang telah ditimbang terlebih dahulu, dan dikeringkan secara evaporasi dengan gas N2 murni.
Botol yang berisi lemak kering kemudian ditimbang kembali setelah
disimpan dalam desikator semalam (3) Analisa karbohidrat (Kochert 1978 diacu dalam Chrismadha 1993). 1) Bahan : H2SO4 98 %, 5 % (w/v) larutan fenol, larutan H2SO4 2 N
69
2) Standar : sebanyak 100 mg glukosa dilarutkan dalam 100 ml larutan H2SO4 2 N
kemudian disimpan pada suhu 4 oC dan disiapkan segar
setiap bulan 3) Prosedur analisis: Sebanyak 2 mg sampel di homogenkan dengan 2 ml H2SO4 2 N, kemudian ekstrak (termasuk 3 ml H2SO4 2 N ditambahkan agar volume total 5 ml) dipindahkan ke botol sentrifugasi 10 ml dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 100 oC.
Setelah itu, sampel didinginkan pada suhu ruang kemudian
disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm, kemudian 0,5 ml supernatan dipindahkan ke botol test 10 ml yang baru. Pada saat yang bersamaan, disiapkan satu set standar yang terdiri dari 0,10, 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm glukosa dan ditambahkan H2SO4 2 N hingga 1 ml. Lalu larutan fenol 5 % sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalam larutan standar dan larutan sampel tersebut sambil dihomogenkan menggunakan vorteks diikuti dengan penambahan 5 ml H2SO4 sampai homogen pada suhu ruang. Selanjutnya absorban dibaca pada panjang gelombang 485 nm pada spektrofotometer.
Kandungan karbohidrat pada sampel dapat dilihat melalui
kurva grafik pada standar. (4) Analisis komposisi asam lemak (AOAC 2005). Sampel dalam bentuk lemak ditimbang 20-30 mg dalam tabung bertutup teflon.
Kemudian ditambahkan 1 mL NaOH 0,5 N dalam metanol dan
dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF3 16 %, lalu dipanaskan selama 20 menit. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL heksan dikocok dengan baik. Kemudian lapisan heksan dipindahkan dengan bantuan pipet yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, lalu dibiarkan selama 15 menit. Fase cair dipisahkan, selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas. (5) Analisis komposisi asam amino (Nur et al. 1992). Sampel dalam tabung ulir ditambahkan 1 mL HCl 6 N, lalu dialirkan gas nitrogen selama 0,5-1 menit dan tabung segera ditutup. Selanjutnya tabung dimasukkan ke dalam oven suhu 110 oC selama 24 jam untuk melakukan tahap hidrolisis. Kemudian didinginkan pada suhu kamar dan larutan dipindahkan secara kuantitatif ke labu rotary evaporator. Tabung ulir dibilas dengan 2 mL HCl 0,01 N sebanyak 2-3 kali. Larutan bilasan digabung ke labu rotary evaporator, sampel lalu dikeringkan dengan evaporator.
Selanjutnya sampel ditambah
70
dengan 5 mL HCl 0,01 N, kemudian disaring dengan kertas milipore. Sampel ditambahkan Buffer Kalium Borat pH 10,4 dengan perbandingan 1 : 1. Selanjutnya sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam vial kosong yang bersih dan ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, dibiarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna.
Kemudian sampel diinjeksikan ke dalam
kolom HPLC sebanyak 5 µl kemudian tunggu sampai pemisahan semua asam amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. (6) Analisis mineral Analisis mineral yang dilakukan meliputi P, Mg, Ca, Fe, Zn, Mn mengacu pada metode Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 g sampel kering dimasukkan ke dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 5 ml HNO3 pekat, dibiarkan sekitar 1 jam. Selanjutnya dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam. Setelah dingin ditambahkan 0,4 mL H2SO4 pekat, lalu dipanaskan. Selanjutnya sampel diangkat dari hotplate untuk ditambahkan 0,1 mL larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1), sehingga terjadi perubahan warna coklat-kuning-bening. Kemudian dipanaskan lagi selama 15 menit, lalu ditambahkan 2 mL akuades, 0,6 mL HCl pekat, dan dipanaskan lagi hingga larut. Selanjutnya diencerkan dalam labu takar sampai 100 mL dengan akuades, lalu diukur menggunakan AAS Hitachi Z 5000. Analisis kandungan silika (SiO2) dilakukan menggunakan metode acid detergent fibre (ADF) yang mengacu pada metode yang dilakukan Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2003). Sebelum dilakukan penentuan kadar silika bahan, telah dilakukan penghilangan lignin dan selulosa. Abu hasil penghilangan lignin dan selulosa ditimbang (a gram), ditetesi
hingga basah
dengan HBr 48%. Selanjutnya dibiarkan selama 1-2 jam. Kelebihan asam dikeluarkan dengan menggunakan vakum dan dicuci dengan aseton. Kemudian dikeringkan dan diabukan menggunakan tanur bersuhu 400 – 600 oC, lalu didinginkan dan ditimbang (f gram). Perhitungan : f-b % Silika =
x 100 % a
(7) Analisis fitokimia (Harborne 1987) Uji fitokimia pada biomasa dan ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang ada pada ekstrak mikroalga, antara lain alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, biuret, dan ninhidrin.
71
1) Uji alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 3-5 tetes asam sulfat 2 N. Kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner.
Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk
endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara memipet 10 ml akuades ditambah 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 g HgCl2 dengan 0,5 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air.
Sebelum
digunakan 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga. 2) Uji steroid (Liebermann-Burchard) Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Tabung reaksi tersebut selanjutnya ditambah 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali, yang kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan adanya reaksi positif. 3) Uji flavonoid Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,05 mg dan 0,2 ml alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan 2 ml alkohol. Kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menujukkan adanya flavonoid. 4) Uji saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N, menunjukkan adanya saponin
72
5) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3 ) Kedalam 1 ml ekstrak sampel (1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70 % ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Terbentuknya warna hiaju atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan. 6) Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu antara 2 lapisan cairan. 7) Uji ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah 5 tetes larutan ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino. (8) Analisis kandungan asam nukleat 1) Sebanyak 5-10 mg sampel ditimbang, ditambahkan 200 µl cell lysis solution 2) Sampel ditambah 1,5 µl proteinase K (20 mg/ml), lalu diinkubasi pada suhu 55 oC (overnight) 3) Sampel dikeluarkan dari alat incubator dan dibiarkan sampai mencapai suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan 1,5 µl RNase (4 mg/ml), lalu diaduk dengan hati-hati sebanyak 25 kali, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit 4) Sampel dikeluarkan dari inkubator, lalu disimpan pada es selama 5 menit, kemudian ditambahkan 100 µl protein precipitation solution 5) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 15 menit 6) Supernatan dipindahkan ke tube baru yang berisi 200 µl isopropanol, lalu diaduk dengan hati-hati 7) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit 8) Supernatan dipindahkan atau dibuang, lalu ditambahkan 200 µl etanol 70% dingin 9) Selanjutnya disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit 10) Etanol dibuang dan pelet DNA dikeringudarakan sampai etanol habis atau kering
73
11) Selanjutnya ditambahkan 50 µl steril destillated water/aquabidest, dan disimpan pada refrigerator suhu 4 oC untuk penyimpanan jangka waktu lama 12) Konsentrasi DNA diukur menggunakan Gen Quant pada גּ260 nm 7.3
Hasil dan Pembahasan
7.3.1 Komposisi senyawa kimia biomasa Chaetoceros gracilis Komposisi senyawa kimia bahan pangan adalah kandungan kimia dari suatu bahan pangan tersebut.
Analisis komposisi senyawa kimia dari
Chaetoceros gracilis dilakukan untuk mendapatkan kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak dan mineral. Zat nutrisi tersebut merupakan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kehidupan suatu makhluk hidup. Biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak dan karbohidrat sebesar 45,88 % (Lampiran 8), 16,5 %, dan 10,17 % (Lampiran 9). Kandungan kimia C. gracilis ini berbeda dengan apa yang ada di laporan Kungvankij (1988) yang menyatakan bahwa Chaetoceros memiliki kandungan protein 35 % (bk) dan lemak 6,9 % (bk), sedangkan menurut Renaud et al. (2002) kandungan protein, lemak dan karbohidrat pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu 25 oC sebesar 57,3 %,16,8 %, dan 13,1 %. Komposisi kimia dari biomasa Chaetoceros berbeda satu dengan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan faktor ekstrinsik dan instrinsik dalam kultivasinya, antara lain spesies, umur kultur,
nutrien, dan CO2.
Renaud et al. (2002) menyatakan
bahwa komposisi kimia mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan termasuk suhu dan pencahayaan. Suhu pertumbuhan berhubungan dengan penurunan kandungan protein, peningkatan lemak dan karbohidrat.
Respon komposisi
kimia terhadap tinggi dan rendahnya suhu pada pertumbuhan tergantung dari jenisnya. Selain suhu kultivasi, masih ada faktor lain yang juga berperan dalam komposisi senyawa kimia mikroalga. Yap dan Chen (2001) menyatakan bahwa komposisi asam lemak pada mikroalga Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum tricornutum, Nitzschia closterium dan Chaetoceros gracilis berubah pada intensitas cahaya kultur yang berbeda. Faktor nutrisi yang meliputi nitrogen, fosfor, karbon mempengaruhi kandungan lemaknya. Salinitas dalam medium
74
mempengaruhi fisiologi dari mikroorganisme dan juga mempengaruhi komposisi asam lemak dan kandungan lemak dalam sel. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki kandungan kimia yang masih tinggi. Sumber nitrogen, fosfor, dan silikat dari medium NPSi diperoleh dari urea, TSP, dan sodium metasilika.
Beberapa
analisis lain yang dilakukan pada penelitian ini antara lain komposisi asam lemak dan komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis. protein
Kandungan lemak dan
C. gracilis perlu diketahui karena beberapa jenis mikroalga potensi
mengandung lemak maupun protein. Menurut Rosa et al. (2005) mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, vitamin, lemak, sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur. Komponen silika dalam mikroalga jenis diatom berperan dalam pembentukan dinding sel, tanpa silika dalam medium pertumbuhan, diatom tidak bisa tumbuh. Kandungan karbohidrat dalam biomasa kering Chaetoceros gracilis 10,17 %. Parson et al. (1984) melaporkan bahwa Chaetoceros sp mengandung serat kasar 22,8 % dari karbohidrat. Komposisi monosakarida dari sel keringnya meliputi glukosa 3,3 %, galaktosa 1,5 %, manosa 0,79 %, ribosa 0,71 %, silosa 0,4 %, ramnosa 2,8 %. 7.3.2 Kandungan lemak biomasa Chaetoceros gracilis Lemak adalah sumber dari asam berantai lurus dari karbon berjumlah lebih dari 6 karbon.
Sel-sel lemak tersimpan dalam tanaman dan hewan.
Fosfollipid ditemukan dalam membran sel yang merupakan elemen struktur dasar dari kehidupan organisme (Morrison dan Boyd 1991). Lemak merupakan komposisi kimia yang diperlukan oleh semua mahluk hidup. Beberapa jenis mahluk hidup seperti mikroalga dapat mensistesis lemak dalam tubuhnya.
Diatom merupakan mikroalga yang mengandung lipid.
Di
dalam diatom, sulfolipid adalah komponen yang paling banyak dalam membran sel dan merupakan tipikal kelas lipid yang melimpah dalam sel mikroalga (Dunstan et al. 1994).
Lemak berfungsi sebagai sumber energi untuk
pertumbuhannya. Kadar lemak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sebesar 16,5 % lebih tinggi dibandingkan Chaetoceros hasil laporan Kungvanji (1988) yaitu sebesar 6,9 % (bk), tetapi mendekati hasil penelitian Renaud et al. (2002), yaitu sebesar 16,8 % (bk). Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh jenis yang
75
berbeda maupun kondisi lingkungan dan nutrisi medium yang berbeda. Pada penelitian Renaud (2002), kultivasi dilengkapi dengan penggunaan CO2 dengan laju aliran 10 ml/menit, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan CO 2. Karbondioksida (CO2) merupakan senyawa yang diperlukan dalam proses fotosintesis.
Senyawa tersebut (CO2) sangat penting untuk pertumbuhan
mikroalga karena terkait dalam proses fotosintesis, yaitu senyawa yang akan tereduksi menjadi senyawa organik. Proses fotosintesis menggunakan radiasi sinar matahari atau sumber cahaya lainnya untuk membuat cadangan energi dalam jaringan sel dalam bentuk bahan organik dari bahan anorganik (Schlegel dan Schmidt 1994). Penelitian ini tidak menambahkan CO2, tetapi menggunakan aerasi dengan cara memasang pompa aerator non stop. Sumber CO 2, hanya mengandalkan dari udara. Borowitzka (1988) menyatakan bahwa kandungan nitrogen atau silika dalam nutrien dapat mempengaruhi kandungan lemak mikroalga. Hal ini didukung oleh laporan Rosa et al. (2005) yang menyatakan bahwa biosintesis lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti kondisi pertumbuhan dan komposisi nutrien dalam media. Kandungan
lemak
dalam
Chaetoceros
gracilis
lebih
kecil
bila
dibandingkan kedele (17,7 %), tetapi lebih besar dibandingkan susu sapi (3,5 %) dan telur ayam (11,5 %) (FAO 1972). Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk sumber energi, pelarut beberapa vitamin. 7.3.3 Komposisi asam lemak ekstrak Chaetoceros gracilis Asam lemak merupakan komponen gizi penyusun lemak suatu bahan. Fitoplankton seperti mikroalga diketahui sebagai produser primer rantai makanan di dalam laut, karena dapat mensintesis asam lemak rantai panjang (PUFAs). Mikroalga termasuk diatom (Bacillarophyceae) potensial sebagai sumber PUFAs, sehingga dianggap sebagai sumber asam lemak (Yap dan Chen 2001). Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh yang meliputi kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh yang terdiri atas palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3) (Tabel 3).
76
Tabel 3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis
Asam lemak
asam lemak (%)
asam lemak dalam bahan (g/100g)
0,06 0,08 7,90 0,38 5,17 0,26 0,31 0,30 0,16
0,0099 0,0132 1,3035 0,0627 0,8531 0,0429 0,0512 0,0495 0,0264
0,16 0,25 14,83 0,69 0,42 0,31 0,32 1,49 0,03 9,74
0,0264 0,0413 2,4470 0,1139 0,0693 0,0512 0,0528 0,2459 0,0050 1,6071
0,90
0,1485
Asam lemak jenuh Asam kaprilat, C8:0 Asam laurat, C12:0 Asam miristat, C14:0 Asam pentadekanoat, C15:0 Asam palmitat, C16:0 Asam stearat C18:0 Asam arakidat, C20:0 Asam heneikosanoat, C21:0 Asam behenoat, C22:0 Asam lemak tidak jenuh Asam miristoleat, C14:1 Asam pentadekanoat C15:1 Asam palmitoleat, C16:1 Asam heptadekanoat, C17:1 Asam oleat, C18:1n9 Asam linoleat, C18:3n3 Asam linolenat, C18:3n6 Asam arakhidonat C20:4n6 Asam dokosadienoat C22:2 Asam eikosapentaenoat, C20:5n3 Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3
Hasil penelitian menunjukkan bahwa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih memproduksi beberapa jenis asam lemak. Hasil penelitian Renaud et al. (2002) menunjukkan bahwa asam lemak jenuh Chaetoceros meliputi C14:0 (23,6 %), C16:0 (9,2 %), C18:0 (0,7 %), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya meliputi C16:1n-7 (36,5 %), C18:1n-9 (1,7 %), C18:1n-7 (1,2 %), C16:2n-7 (0,9 %), C16:3n-4 (2,6 %), C16:4n-1 (0,5 %), C18:2n-6 (0,4 %), C18;3n-6 (0,9 %), C18;3n-3 (0,5 %), C18:4n-3 (0,6 %), C20:4n-6 (4,1 %), C20:5n-3 (8,0 %), C22:6n-3 (1,0 %). Secara umum asam lemak yang dikandung pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (Renaud et al. 2002) juga dimiliki oleh Chaetoceros gracilis
yang ditumbuhkan dalam NPSi
hasil penelitian, tetapi jumlahnya tidak sama. Hal ini dikarenakan perbedaan dalam kultivasi.
77
Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh dengan penelitian Renaud et al. (2002) dikarenakan kondisi kultivasi yang diterapkan berbeda. Walaupun demikian, hal ini menunjukkan bahwa medium NPSi dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan C. gracilis yang menghasilkan asam lemak, tetapi masih perlu penelitian optimasi kultivasi C. gracilis supaya kandungan lemaknya lebih besar. Menurut Araujo dan Garcia (2005), penambahan karbondioksida pada kultivasi Chaetoceros cf. waghamii dapat memperpanjang fase logaritmik, yang mana pada fase ini mikroalga memiliki nilai nutrisi tinggi dan baik untuk akuakultur. Laju pertumbuhan lebih tinggi pada kultivasi yang ditambah CO 2. Kandungan lipid dan karbohidrat mikroalga tersebut yang kultivasinya pada suhu 20 dan 25 oC lebih tinggi daripada pada suhu 30 oC. Beberapa jenis asam lemak juga berperan sebagai antibakterial. Zheng et al. (2005) menyatakan bahwa adanya aktivitas antibakteri dari asam lemak tidak jenuh rantai panjang telah diketahui beberapa tahun yang lalu.
Asam
lemak merupakan kunci komposisi dari bahan tambahan antimikrobial yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme tetapi tidak
diketahui reaksi
mekanisme hambatannya. Asam linoleat dan oleat adalah komponen antibakteri di dalam tumbuhan (Helicrysum pedunculatum dan Schotia brachypetala) yang digunakan untuk jamuan makan di Afrika Selatan (Dilika et al 2000; McGaw et al. 2002). Selain asam lemak alami, turunan asam lemak juga menunjukkan potensi aktivitas antimikrobial. Hal ini terutama ditemukan dalam mikroorganisme, alga atau tanaman yang merupakan mediate chemical dalam mempertahankan serangan mikroorganisme (Preffele et al. 1996 yang diacu Zheng et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa asam lemak tidak jenuh yang meliputi asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan asam arakidonat yang dikandung dalam Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antibakterial. Aktivitas antibakterial dari asam lemak belum banyak ditemukan sehingga mekanismenya masih belum jelas. Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak ada yang esensial untuk tubuh, yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan asam linolenat (C18:3n-3).
Asam lemak ini dikatakan esensial karena
dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat mensintesis sendiri. Kedua asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan. Turunan asam lemak dari kedua asam lemak tersebut adalah asam arakhidonat (C20:4n-6) dari asam linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-
78
3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3) dari asam linolenat. Kekurangan asam lemak pada tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami dermatitis dan ekzema, pertumbuhan
terhambat, reproduksi terganggu,
degenerasi atau kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi meningkat (Almatsier 2009). Bila dibandingkan dengan kandungan asam lemak dari komodidti lain (Tabel 4), C. gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap. Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap dibanding kedelai, susu sapi, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas, tetapi jumlahnya lebih kecil. Tabel 4 Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain Kadar asam lemak dalam bahan (g/100g) C. gracilis
Kedele
Susu * sapi
Telur * ayam
0,01
tad
tad
tad
Tad
Tad
0,01 1,30
tad tad
tad tad
tad tad
tad tad
tad tad
0,06 0,85 0,04 0,05
tad 1,5 0,7 tad
tad 0,9 0,4 tad
tad 2,9 0,8 tad
tad 0,4 0,2 tad
tad 0,6 0,2 tad
0,05 0,03
tad tad
tad tad
tad tad
tad tad
tad tad
0,03 0,04 2,45
tad tad tad
tad tad tad
tad tad tad
tad tad tad
tad tad tad
0,11 0,07 0,05 0,05 0,25 0,00
tad 5,1 9,0 0,3 tad tad
tad 1,1 trace trace tad tad
tad 5,1 0,8 0,1 tad tad
tad 0,6 0,1 0 tad tad
tad 1 0,5 0,1 tad tad
Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3
0,15
tad
tad
tad
tad
tad
Asam eikosapentaenoat, C20:5n3
1,61
tad
tad
tad
tad
tad
*
Ikan * tuna
Ikan * mas
Asam lemak jenuh Asam kaprilat, C8:0 Asam laurat, C12:0 Asam miristat, C14:0 Asam pentadekanoat, C15:0 Asam palmitat, C16:0 Asam stearat C18:0 Asam arakidat, C20:0 Asam heneikosanoat, C21:0 Asam behenat, C22:0 Asam lemak tidak jenuh Asam miristoleat, C14:1 Asam pentadekanoat C15:1 Asam palmitoleat, C16:1 Asam heptadekanoat, C17:1 Asam oleat, C18:1n9 Asam linoleat, C18:3n3 asam linolenat, C18:3n6 Asam arakhidonat C20:4n6 Asam dokosadienoat C22:2
Sumber : * FAO (1972) Keterangan: tad = tidak ada data
79
Mikroalga Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak tidak jenuh arakhidonat, eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat, yang tidak dimiliki oleh komoditi lain. Omega 3 (asam linolenat, EPA, DHA) dan omega 6 (asam linoleat dan AA) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang yang berfungsi sebagai anti-inflamasi, anti-clotting sehingga penting bagi kelancaran aliran darah dan fungsi sendi. Selain itu juga berfungsi penting dalam metabolisme zat gizi, terutama penyerapan vitamin A, D, E, dan K (Hamazaki dan Okuyama 2000 yang diacu Hardinsyah dan Tambunan 2004). 7.3.4 Kandungan protein biomasa Chaetoceros gracilis Protein merupakan unsur kimia dalam makhluk hidup yang berperan dalam pertumbuhan. Kadar protein Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sebesar 45,88 %, kadar ini lebih kecil dibandingkan dengan Chaetoceros sp hasil laporan Renaud et al. (2002), yaitu 57,3 %. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh kondisi kultivasi yang berbeda. Pada penelitian ini tidak ditambahkan
CO2, sedangkan pada penelitian Renaud et al. (2002) kultivasi
dilengkapi dengan CO2 dengan laju aliran 10 ml/menit. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak bisa digantikan dengan zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Ada dua puluh jenis asam amino yang diketahui sampai sekarang yang terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat dibuat oleh tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas asam amino nonesensial. Asam amini terdiri atas atom karbon yang terikat pada satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H) dan satu gugus radikal (-R) atau rantai cabang. Protein, selain menyediakan asam amino esensial, juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak (Almatsier 2009).
Chaetoceros gracilis merupakan
mikroalga laut yang mengandung asam amino esensial, sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein yang mudah diperoleh, tidak memerlukan lahan luas, waktu panen dapat ditentukan, tidak tergantung musim. 7.3.5 Komposisi asam amino biomasa Chaetoceros gracilis Sebuah asam amino teridiri dari gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang
80
dikenal sebagai karbon α, serta gugus R sebagai rantai cabang. Molekul protein tersusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar saling berkaitan satu sama lain (Winarno 2008). Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang memiliki kandungan zat gizi cukup tinggi. Biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki 15 jenis asam amino yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial (Tabel 5). Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial yang teridiri atas treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin. Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai katalisator, penguat struktur, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat imunitas dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Tabel 5 Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis Asam amino
Konsentrasi dalam bahan (%)
Konsentrasi dalam bahan (mg/100g)
Non esensial Aspartat Glutamat Serin Glisin Tirosin Arginin Alanin
3,53 3,88 1,45 1,74 1,23 1,68 1,76
3530 3880 1450 1740 1230 1680 1760
Esensial Treonin Valin Metionin Leusin Isoleusin Lisin Fenilalanin Histidin
1,42 1,79 0,29 2,41 1,52 1,57 1,74 0,74
1420 1790 290 2410 1520 1570 1740 740
Beberapa jenis asam amino leusin, isoleusin, valin, lisin, triptofan, treonin, metionin dan fenilalanin dinyatakan sebagai asam amino esensial untuk manusia dewasa, histidin dimasukkan esensial setelah itu (Gropper et al. 2005). Berdasarkan kategori tersebut, C. gracilis memiliki kandungan asam amino esensial yang diperlukan oleh manusia dewasa.
81
Chaetoceros gracilis mengandung asam amino yang diperlukan oleh tubuh. Almatsier (2009) menyatakan bahwa metionin untuk sintesis kolin dan keratin. Fenilalanin adalah prekursor tirosin dan bersama-sama membentuk hormone tirosin dan epinefrin. Tirosin merupakan prekursor bahan yang membentuk pigmen kulit dan rambut. Arginin terlibat dalam sintesis ureum dalam hati. Glisin mengikat bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan tidak berbahaya. Asam amino glisin ini juga digunakan dalam sintesis porfirin nukleus hemoglobin dan merupakan bagian dari asam empedu. Kreatin yang disintesis dari arginin, glisin dan metionin bersama fosfat membentuk kreatinin fosfat, yaitu suatu simpanan penting fosfat berenergi tinggi di dalam sel.
Glutamin yang
dibentuk dari asam glutamat dan asparagin dari asam aspartat merupakan simpanan asam amino di dalam tubuh. Angka kecukupan asam amino yang dianjurkan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh Pola kecukupan yang dianjurkan 2 tahun
10-12 tahun
dewasa
(19)
(19)
11
Isoleusin
28
28
66
Leusin
66
44
19
Lisin
58
44
16
Metionin +sistin
25
22
17
Fenilalanin+tirosin
63
22
19
Treonin
34
28
9
Valin
35
25
13
Triptofan
11
(9)
5
Histidin
Sumber : National Research Council diacu dalam Almatsier (2009) Kandungan asam amino Chaetoceros gracilis tidak sama dengan komoditi lain (Tabel 7). Beberapa jenis asam amino pada Chaetoceros gracilis lebih besar dibandingkan susu sapi cair, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas. Pacheco-Vega dan Sanchez-Saavedra (2009) melaporkan bahwa Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium pupuk cair yang terdiri dari HPO4, urea, NH4NO4 komposisi asam amino esensial yang meliputi leusin (10,25%), fenilalanin (6,52%), arginin (5,54%), valin (5,90%), treonin (5,66%), lisin (4,35%), metionin (4,29%), prolin (3,46%), (3,76%), histidin (2,92%), dan triptofan (1,98%).
isoleusin
Komposisi asam amino
82
Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) berbeda dengan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Perbedaan ini disebabkan oleh spesies dan kondisi kultivasi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Borowitzka
(1988) yaitu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi biokimia mikroalga adalah spesies, suhu, intensitas cahaya, CO2, dan nutrien. Tabel 7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain Kadar asam amino dalam bahan (mg/100 g) Asam amino
C. gracilis
Kedele
Susu sapi cair
Telur ayam
Ikan tuna
Ikan mas
Esensial Treonin Valin Metionin Leusin Isoleusin Lisin Fenilalanin Histidin Triptofan
1420 1790 290 2410 1520 1570 1740 740 td
1480 1743 503 2959 1737 2342 2043 1006 455
151 230 84 330 179 269 157 90 52
622 900 396 1127 779 859 717 330 218
862 1829 616 1613 1051 2137 812 862 412
930 1085 233 1643 992 1922 868 620 213
2772
2139
3542 1078 812 809 1271 1386 1105 293
3038 806 868 744 744 1209 1209 186
Non esensial Asam aspartat 3530 4361 291 1174 Asam glutamat 3880 7098 784 1617 Serin 1450 1851 190 927 Glisin 1740 1551 67 412 Prolin td 1989 330 515 Tirosin 1230 988 196 494 Arginin 1680 2564 101 824 Alanin 1760 1671 118 721 Sistin td 485 28 309 Sumber : * FAO (1972) Keterangan: td = tidak terdeteksi karena tidak ada standar
83
7.3.6 Kandungan mineral C. gracilis Sebagian besar bahan pangan terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Bahan-bahan organik terbakar dalam proses pembakaran tetapi bahan anorganiknya tidak. Beberapa jenis mineral yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan kesehatan antara lain kalsium, fosfor, magnesium. Unsur-unsur ini terdapat dalam tubuh dalam jumlah besar sehingga dikenal dengan unsur mineral makro. Beberapa unsur lain yang juga diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil dikenal dengan unsur mineral mikro. Unsur mineral tersebut antara lain besi, iodium, mangan, zink. Unsur mineral di dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2008). Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai kandungan mineral seperti yang disajikan pada Tabel 8, hasil analisis mineral disajikan pada Lampiran 10. Tabel 8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis
Mineral Ca P Mg Fe Zn Mn
Konsentrasi dalam bahan (%) 0,6 0,44 0,77 0,03 0,04 0,01
Konsentrasi dalam bahan (mg/100g) 600 440 770 30 40
10
Tubuh manusia mengandung kalsium dalam jumlah besar. Peranan kalsium dalam tubuh antara lain membantu dalam pembentukan tulang dan gigi. Tubuh membutuhkan kalsium terbesar pada saat pertumbuhan. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah kecil adalah, magnesium dan flour. Chaetoceros gracilis mengandung kalsium dalam jumlah besar (600 mg/100 g). Kalsium (Ca) yang berada dalam sirkulasi darah dan jaringan tubuh berperan dalam berbagai kegiatan, antara lain untuk transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Penyerapan kalsium sangat bervariasi tergantung umur dan kondisi badan. Pada waktu kanak-kanak atau waktu pertumbuhan, sekitar 50-70 % kalsium yang dicerna diserap, tetapi waktu dewasa hanya sekitar 10-40 % yang diserap (Winarno 2008).
Kebutuhan
84
kalsium per orang per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200600 mg.
Pria dan wanita berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg
(Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan kandungan kalsiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai bahan fortifikasi kalsium dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium bagi anak-anak maupun orang dewasa. Chaetoceros gracilis mengandung fosfor (P) sebesar 440 mg/100g. Fosfor dalam tubuh merupakan mineral dalam jumlah besar. Peranan fosfor dalam tubuh hampir sama dengan kalsium, yaitu berperan dalam pembentukan tulang dan gigi serta penyimpanan dan pengeluaran energi. Sebagian besar diserap tubuh dalam bentuk anorganik, khususnya di bagian atas duodenum yang bersifat kurang alkalis 70% yang dicerna akan diserap (Winarno 2008). Fosfor merupakan mineral terbanyak kedua setelah kalsium dalam tubuh, juga berperan mengatur keseimbangan asam basa, memfasilitasi penyerapan dan transportasi zat gizi. Kebutuhan fosfor per orang per hari bagi bayi dan anak di bawah umur 10 tahun sebesar 100-400 mg. Pria dan wanita berumur di atas 10 tahun sebesar 600-1000 mg (Soekatri dan Kartono 2004).
Berdasarkan
kandungan fosfornya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber fosfor untuk memenuhi kebutuhan mineral fosfor bagi anak-anak maupun orang dewasa. Chaetoceros gracilis mengandung magnesium (Mg) sebesar 770 mg/100g. Magnesium merupakan mineral makro dalam tubuh manusia. Pada tubuh orang dewasa terkandung 20-25% magnesium.
Separuh dari jumlah
tersebut terkandung dalam tulang dan selebihnya terkandung dalam jaringan lemak seperti otot dan hati, serta cairan ekstraseluler. Magnesium merupakan aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang kerjanya memecah dan memindahkan gugus fosfat.
Kekurangan magnesium dapat menyebabkan
hypomagnesema dengan gejala denyut jantung tidak teratur, insomnia, lemah otot, kejang kaki serta telapak kaki dan tangan gemetar (Winarno 2008). Magnesium mempunyai fungsi sebagai ko faktor untuk sistem enzim dan juga berperan dalam fungsi sel termasuk oksidatif fosforilasi. Kebutuhan magnesium untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 60 mg/hari, sedangkan untuk orang dewasa sebesar 270 mg/hari (Soekatri dan Kartono 2004).
Berdasarkan
kandungan magnesiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber magnesium untuk memenuhi kebutuhan mineral magnesium bagi anakanak maupun orang dewasa.
85
Chaetoceros gracilis mengandung zat besi sebesar 30 mg/100g bahan. Kandungan besi (Fe) dalam tubuh sangat kecil, yaitu 35 mg/kg berat badan wanita atau 50 mg/kg berat badan pria (Winarno 2008). Besi dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk
hemoglobin sebagai pembawa oksigen
dalam darah. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, mengangkut dan menyimpan oksigen. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang. Kecukupan besi untuk anak berumur 1-3 tahun adalah 8 mg/hari, untuk kelompok pria di atas 18 tahun adalah 13 mg/hari, sedangkan untuk wanita di atas 18 tahun sebesar 26 mg/hari (Kartono dan Soekatri 2004).
Besi dalam tubuh manusia sebagian terletak
dalam sel-sel darah merah sebagai heme, yaitu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Berdasarkan kandungan zat besinya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber zat besi untuk memenuhi kebutuhan mineral Fe bagi anak-anak maupun orang dewasa untuk metabolisme. Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung seng (Zn) sebesar 40 mg/100 gram bahan. Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan seng untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 8,3 mg/hari, sedangkan untuk pria dewasa sebesar 13,4 mg/hari untuk wanita 9,8 mg/hari. Seng merupakan mineral mikro esensial baik pada manusia, hewan maupun tanaman. Mineral ini diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga masih dapat melihat dalam kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi lambung, kesehatan kulit, dan pertumbuhan. Seng esensial untuk pertumbuhan, pematangan seks, dan imun serta reproduksi. Berdasarkan kandungan kalsiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber seng untuk memenuhi kebutuhan mineral seng bagi anak-anak maupun orang dewasa. Chaetoceros gracilis mengandung mangan (Mn) 10 mg/100 g bahan. Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa mineral berperan sebagai katalis berbagai enzim yang diperlukan dalam metabolism glukosa, protein dan lemak, meningkatkan penyimpanan vitamin B1. Untuk kelompok 1-3 tahun, asupan mangan 1,2 mg/hari. Kecukupan mangan untuk pria di atas 18 tahun sebesar 2,3 mg/hari, sedangkan wanita di atas 18 tahun sebesar 1,8 mg/hari. Berdasarkan kandungan mangannya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber mangan untuk memenuhi kebutuhan mineral mangan bagi anakanak maupun orang dewasa.
86
Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung 6,5 % silika (SiO2). Kandungan silika dalam Chaetoceros gracilis cukup tinggi. Paasche (1980) melaporkan bahwa Chaetoceros affinis yang dikultivasi dalam medium dengan salinitas 24 ‰ yang mengandung 100 µM nitrat, 100 µM orthosilicic acid, 10 µM fosfat, dan vitamin serta chelated trace metal pada suhu 8, 13, 18 dan 23 oC, mempunyai kandungan silika berturut-turut sebesar 41,7; 38,8; 35,3 dan 33,3 pg Si/sel. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sel Chaetoceros mengandung silika. 7.3.7 Fitokimia biomasa dan ekstrak C. gracilis Analisis fitokimia dilakukan untuk melihat golongan senyawa yang dimiliki oleh biomasa maupun ekstrak dari C. gracilis. Hasil analisis fitokimia disajikan pada Tabel 9 untuk biomasa C. gracilis, dan Tabel 10 untuk ekstrak metanol dan ekstrak heksan. Sifat fitokimia dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia pada ekstrak metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa medium NPSi dan Guillard tidak mempengaruhi sifat fitokimia C. gracilis. Berdasarkan analisis fitokimia yang dilakukan dapat dikatakan bahwa didalam C. gracilis mengandung alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat. Tabel 9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis Media Guillard
Media NPSi
Hasil reaksi
Jenis uji
Keterangan
Alkaloid
Positif/Negatif
Positif/Negatif
Ada alkaloid
Steroid
Positif
Positif
Ada steroid
Flavonoid
Negatif
Negatif
Saponin
Negatif
Negatif
Tidak ada senyawa flavonoid Bukan saponin
Fenol hidrokuinon
Negatif
Negatif
Tidak ada senyawa fenol
Ninhidrin
Positif
Positif
Ada asam amino
Molisch
Positif
Positif
Ada karbohidrat
Hasil analisis alkaloid biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam media Guillard maupun NPSi adalah positif.
Namun hasil uji pada ekstrak heksan
maupun metanol alkaloidnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi
87
menggunakan heksan maupun metanol dapat mempengaruhi kandungan alkaloid suatu bahan. Harborne (1987) menyatakan bahwa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dalam sistem siklik. Alkaloid banyak yang mempunyai aktivitas fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh atau penghalau atau penarik serangga. Tabel 10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis Ekstrak metanol
Jenis uji
Ekstrak heksan
Hasil reaksi
Keterangan
Hasil reaksi
Keterangan
Alkaloid
Negatif
Negatif
Steroid
Positif
Tidak ada alkaloid Ada steroid
Tidak ada alkaloid Ada steroid
Flavonoid
Negatif
Negatif
Saponin
Negatif
Fenol hidrokuinon
Negatif
Bukan senyawa flavonoid Tidak ada saponin Bukan senyawa fenol
Ninhidrin
Positif
Negatif
Molisch
Positif
Ada asam amino Ada karbohidrat
Positif
Negatif Negatif
Negatif
Bukan senyawa flavonoid Tidak ada saponin Bukan senyawa fenol Tidak ada asam amino Tidak ada karbohidrat
Hasil uji flavonoid, saponin dan fenol hidroquinon pada ekstrak C. gracilis adalah negatif. senyawa
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam C. gracilis tidak ada
flavonoid,
saponin,
dan
fenol
hidroquinon.
Harborne
(1987)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol yang larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Warna senyawa ini akan berubah bila ditambahkan basa atau amoniak. Asam amino merupakan senyawa penyusun protein. Hasil uji ninhidrin pada ekstrak metanol adalah positif, sedangkan pada ekstrak heksan hasilnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam amino. Pada
88
biomasa yang diekstraksi menggunakan metanol, masih terdeteksi adanya asam amino, namun biomasa yang diekstraksi menggunakan heksan, asam amino tidak terdeteksi.
Hal ini dsebabkan asam amino tergolong bersifat polar,
sedangkan heksan termasuk non polar, sehingga asam amino tidak larut dalam heksan. Hasil analisis Molisch menunjukkan bahwa ekstrak heksan hasilnya negatif, artinya ekstrak tersebut tidak mengandung karbohidrat, namun biomasanya mengandung karbohidrat. Chaetoceros merupakan mikroalga yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan bahwa kadar karbohidrat dari biomasa Chaetoceros yang ditumbuhkan pada suhu 25 oC sebesar 13,3 % dan pada suhu 30 oC sebesar 12,5 %. . 7.3.8 Kandungan asam nukleat Kandungan asam nukleat ditentukan berdasarkan kadar DNA (Lampiran 11).
Hasil analisis DNA menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam
nukleat sebesar 0,1 %. Semua tipe protein sel tunggal mengandung asam nukleat dalam jumlah tinggi. Becker (1988) menyatakan bahwa konsumsi asam nukleat setiap hari sebaiknya tidak lebih dari 2 g, dengan asam nukleat total pada semua sumber tidak lebih dari 4 g per hari. 7.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa hal dapat disimpulkan antara lain : (1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki kadar protein, lemak yang tinggi, yaitu sebesar 45,88 %,16,5 % dan 10,17 %. (2) Jenis-jenis asam lemak dalam ekstrak C. gracilis meliputi asam lemak jenuh seperti kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat
(C20:4n6),
linolenat
(C18:3),
dokosadienoat
(C22:2),
eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3). (3) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis meliputi
asam amino
esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, alanin, prolin, tirosin.
89
(4) Biomasa C. gracilis mengandung mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan (Mn). (5) Ekstrak C. gracilis memiliki senyawa golongan steroid, asam amino, karbohidrat, dan gula pereduksi, sedangkan biomasa memiliki senyawa alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat, dan gula pereduksi. (6) Chaetoceros gracilis mengandung 0,1 % asam nukleat (DNA) dan 6,5 % silika.
Berdasarkan percobaan yang
diperoleh, dapat
disarankan untuk
dilakukan penelitian lanjutan antara lain optimasi kultivasi C. gracilis dalam medium pupuk. komponen aktif lain seperti antioksidan, imunostimulan sebagai bahan nutrasetika, serta kemananan pangan secara in vivo.
8 PEMBAHASAN UMUM
Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang mempunyai aktivitas antibakteri dan komposisi kimia yang diperlukan untuk kesehatan. Mikroalga ini mudah dibudidayakan dan dapat ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi. Keunggulan lain dari mikroalga adalah budidayanya tidak tergantung musim, tidak memerlukan lahan yang luas, waktu pemanenan dapat diatur. Pada penelitian ini mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan seperti fase logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena medium yang digunakan pada kultur dan inokulumnya sama, serta inokulum kultur yang digunakan berada dalam fase logaritmik juga, sehingga inokulum tidak mengalami masa adaptasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard juga memiliki fase pertumbuhan logaritmik, stasioner dan kematian. Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi tidak berbeda dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard.
Karena
medium NPSi maupun Guillard dilengkapi dengan senyawa yang mengandung N, P dan Si walaupun sumbernya berbeda. Unsur N, P, C dan Si merupakan unsur utama untuk pertumbuhan diatom. Unsur N dalam medium NPSi diperoleh dari urea, unsur P diperoleh dari TSP dan Si diperoleh dari Natrium silika, sedangkan pada medium Guillard unsur N diperoleh dari NaNO3, unsur P dari NaH2PO4H2O, dan unsur Si dari NaSiO3H2O. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995) menyatakan bahwa perbedaan kultivasi diatom dengan mikroalga lainnya terletak pada penambahan silika. Silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta dibutuhkan dalam proses metabolisme. Pemanenan biomasa C. gracilis menggunakan filtrasi mempunyai kelebihan antara lain lebih cepat, dapat dilakukan untuk kapasitas kultur besar, dan relatif lebih murah dibandingkan menggunakan sentrifugasi. Kelemahannya antara lain biomasa tidak dapat diperoleh semuanya, karena masih ada yang menempel pada filter keramiknya. Hal ini yang diduga menyebabkan rendemen dari biomasa C. gracilis rendah.
Rendahnya biomasa yang diperoleh juga
diduga karena pada penelitian ini tidak ditambahkan CO2 pada saat kultivasi,
91
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimasi kultur C. gracilis dalam medium NPSi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas (BBLL 2002). Mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dan ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif yang bersifat antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus cereus ATCC 13091. Chaetoceros
Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh ekstrak
gracilis lebih rendah dibandingkan antibiotik kloramfenikol pada
konsentrasi 300 µg/disc. Hal ini diduga karena ekstrak C. gracilis masih dalam bentuk ekstrak kasar (crude extracts). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil aktivitas antibakteri antara lain kemurnian senyawa antibakteri, jenis dan jumlah bakteri yang digunakan. Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang teridentifikasi, namun beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tanin, terpenoid, polisakarida ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak jenuh dan tak jenuh dari mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakteristatik (Naviner et al. 1999). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat methicilline resistant
Staphylococcus
aureus,
vancomycin
resistant
enterococcus.
Komponen antibakteri yang diperoleh dari Chaetoceros merupakan golongan asam lemak (Wang 1999). Antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan ampisilin memiliki aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan ekstrak Chaetoceros
gracilis. Potensi relatif ekstrak Chaetoceros
gracilis dalam
menghambat pertumbuhan bakteri masih rendah. Hal ini disebabkan karena antibiotik komersial memiliki kemurnian lebih tinggi dibandingkan ekstrak Chaetoceros
gracilis, selain itu mekanisme penghambatannya juga berbeda.
Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan lainnya. Kloramfenikol
memiliki
spektrum
penghambatan
yang
luas,
bersifat
bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida
pada rantai
polipeptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin menghambat transpor silang membran dan menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa.
92
Tetrasiklin juga menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat
(Naim
2003). Ampisilin masuk ke dalam membran luar
bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu struktur peptidoglikan. Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi strukturnya
tidak terjadi, sehingga
dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama kelamaan sel mengalami lisis. Ekstrak Chaetoceros
gracilis yang disimpan pada suhu rendah (-18oC
sampai -20 oC) sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri sama dengan yang awal.. Aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan tidak berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V. harveyi 7 mm, pada bakteri E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 6 mm. Akbar (2008) dalam laporan penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak dari Chaetoceros
gracilis
yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu ruang, dan disimpan selama 2 bulan pada suhu rendah (sekitar -18oC) masih memiliki aktivitas antibakteri. Aktivitas hambatan ekstrak yang disimpan selama 2 bulan sama dengan ekstrak yang tidak disimpan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa
penyimpanan pada
-18- (-20oC) merupakan metode
penyimpanan yang baik untuk ekstrak Chaetoceros gracilis. Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masingmasing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Moat et al. (2002) menyatakan bahwa sel bakteri Gram negatif lebih komplek dibanding bakteri Gram positif. Struktur utama dalam sel bakteri Gram positif adalah dinding sel dan membran sel. Dinding selnya memiliki lapisan peptidoglikan lebih tebal dibanding bakteri Gram negatif. Lapisan peptidoglikan pada sel bakteri Gram negatif umumnya adalah single monolayer. Membran luar bakteri ini terdiri dari fosfolipid, lipopolisakarida, enzim, protein termasuk lipoprotein. Membran sitoplasmik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif merupakan lapisan lipid yang teridiri dari fosfolipid, glikolipid dan protein. Lapisan membran luar bakteri Gram negatif mengandung lipopolisakarida tinggi. Pada penelitian ini ekstrak
Chaetoceros
gracilis menyebabkan
kebocoran sel bakteri uji. Kebocoran ini dapat disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotik di dalam dan di luar sel atau karena rusaknya ikatan hidrofobik
93
komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyusun membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponenkomponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik.
Komponen
antimikroba dapat bereaksi dengan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok penyusun sel hilang. Lin et al. (2000) juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan permeabilitas membran sel, sehingga memudahkan masuknya komponen antibakteri ke dalam sel serta mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat yang menyebabkan kerusakan sel.
Kerusakan sel
bakteri uji akibat kontak ekstrak Chaetoceros gracilis dengan bakteri ditunjukkan dengan kerusakan morfologi selnya yang dilihat menggunakan mikroskop elektron. Dinding sel bakteri pada penlitian ini mengalami kerusakan yang diduga disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotik sehingga merubah permeabilitas sel. Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah permeabilitas dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau terjadinya difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa mekanisme kerja antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan ada yang hanya efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik terhadap dinding sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam organik dari bahan (antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan menyebabkan perubahan terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa aktif dapat bereaksi dengan dinding sel bakteri dan membran sel. Biomassa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak, dan karbohidrat sebesar 45,88 % (bk), 16,5 % dan 10,17 % (bk). senyawa kimia ini berbeda dengan
Hasil analisis kandungan
hasil penelitian Renaud (2002) maupun
peneliti lain. Hal ini terjadi karena metode kultivasi yang digunakan berbeda, karena faktor-faktor seperti nutrien, suhu, pencahayaan, CO2, salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi kimianya. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh seperti kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat
94
(C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat
(C22:6n3). Asam lemak seperti palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat merupakan asam lemak yang mempunyai aktivitas antibakteri (Zheng 2005), tetapi aktivitas antibakteri dari asam lemak belum banyak ditemukan sehingga reaksi mekanismenya masih belum jelas. Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak esensial untuk tubuh, yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan asam linolenat (C18:3n-3). Asam lemak ini dikatakan esensial karena dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat mensintesis sendiri. Kedua asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan.
Turunan asam lemak dari
kedua asam lemak tersebut adalah asam arakhidonat
(C20:4n-6) dari asam
linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3) dari asam linolenat. Ketiga asam lemak ini non esensial karena tubuh dapat mensintesisnya. Kekurangan asam lemak dalam tubuh dapat menimbulkan gangguan. Almatsier (2009) menyatakan bahwa kekurangan asam lemak pada tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami dermatitis dan ekzema, pertumbuhan terhambat, reproduksi terganggu, degenerasi atau kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi meningkat. Komposisi asam lemak dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih lengkap, akan tetapi kadarnya masih rendah. Hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis. Mikroalga laut Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang memiliki kandungan zat gizi cukup bagus. Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin. Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai katalisator, penguat struktur, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat imunitas dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Chaetoceros gracilis mengandung esensial.
asam amino esensial dan non
Asam amino histidin merupakan asam amino esensial untuk bayi,
namun kadang dikatakan esensial untuk orang dewasa. Histidin berperan dalam
95
pemeliharaan kesetimbangan nitrogen bagi orang dewasa. Sistein berperan dalam pemenuhan kebutuhan asam amino sulfur. Metionin berfungsi untuk metabolisme lemak. Katabolisme fenilalanin dan tirosin terjadi di dalam
hati,
namun tirosin sebagai prekursor penting dalam sintesis beberapa senyawa esensial dalam jaringan. Triptofan berfungsi meningkatkan penggunaan dari vitamin B kompleks, meningkatkan kesehatan syaraf, menstabilkan emosi. Isoleusin
berfungsi
dalam
perkembangan
keseimbangan nitrogen tubuh. Lisin
kecerdasan,
mempertahankan
memperkuat sistem sirkulasi, bersama
proline dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen (Stipanuk 2000). Asam amino non esensial jenis alanin di dalam jaringan mamalia membentuk protein dan berperan dalam transaminasi. Alanin merupakan asam amino utama yang dikeluarkan dari otot dan usus kecil, memperkuat membran sel, membantu metabolisme glukosa menjadi energi tubuh. Glutamat dan aspartat dapat bekerjasam dengan dua asam sitrat dalam siklus asam sitrat, yaitu alfa-keto glutarat dan oksaloasetat. Glutamin adalah asam amino bebas yang terdapat dalam tubuh melimpah. Prolin berfungsi sebagai bahan dasar asam glutamat, bersama lisin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen yang penting untuk menjaga kecantikan kulit, memperkuat persendian, tendon, tulang rawan dan otot jantung. Beberapa arginin digunakan untuk sintesis guanidinoasetat yang mana dibawa ke hati untuk sintesis kreatin. Arginin juga merupakan substrat untuk sintesis nitric oxide (NO) dan sitrulin. Dekarboksilasi arginin menjadi agmatin, yaitu sejenis amin bioaktif berfungsi sebagai neuromodulator. Arginin juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak. Glisin berperan penting dalam homeostasis nitrogen (Stipanuk 2000). Chaetoceros gracilis mengandung kalsium dalam jumlah besar (600 mg/100 g), fosfor (P) sebesar 440 mg/100g, magnesium (Mg) sebesar 770 mg/100g, besi (Fe) 30 mg/100g, seng (Zn) sebesar 30 mg/100 g dan mangan (Mn) sebesar 10 mg/100 g bahan. Kebutuhan manusia akan mineral berbedabeda. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi, zink, dan mangan per orang per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200-600 mg,100-400 mg, 60 mg, 8 mg, 8,3 mg dan 1,2 mg. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi, zink, dan mangan pada orang berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg, 600-1000 mg, 270 mg, 13-26 mg, 9,8-13,4 mg, dan 1,8-2,3 mg. Berdasarkan kandungan mineral ini Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber mineral. Mineral-mineral ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan. Soekatri
96
dan Kartono (2004) menyatakan bahwa secara umum ada 3 fungsi mineral dalam tubuh, yaitu: (1) sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi metabolik; (2) sebagai bagian dari senyawa yang mengandung zat organik terutama enzim, hormon, unsur tertentu dalam darah; (3) sebagai ion yang memungkinkan pergerakan zat melintasi membran sel dan pergerakan otot. Mineral mikro lain yang kebutuhannya belum ditetapkan tetapi dianggap sebagai zat gizi esensial adalah Si. Silikon berperan dalam sintesis kolagen, diabsorpsi dalam bentuk asam silikat dan diekskresi melalui urin. Zat ini banyak terdapat dalam makanan nabati terutama biji-bijian dan serealia utuh (Almatsier 2009).
Paasche (1980) menyatakan bahwa Chaetoceros dan diatom lainnya
mengandung
silika
Chaetoceros gracilis
yang yang
merupakan dikultivasi
komponen dalam
dinding
medium
sel.
NPSi
Biomasa
mempunyai
kandungan silika sebesar 6,5 %. Kandungan silika ini cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian pengurangan kandungan silika dalam biomasa Chaetoceros gracilis. Sifat fitokimia dari biomasa Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia pada ekstrak metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Beberapa sifat kimia dapat rusak oleh tahapan ekstraksi yang menggunakan pelarut metanol dan heksan. Pada ekstrak heksan tidak mengandung asam amino, sedangkan pada ekstrak metanol mengandung asam amino, karena heksan bukan pelarut yang baik untuk asam amino, tetapi baik untuk lemak, sehingga dalam ekstrak metanol masih ditemukan adanya asam amino.
Kandungan
asam
nukleat
(DNA) dalam Chaetoceros gracilis masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,1%.
9 KESIMPULAN DAN SARAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh antara lain : 1. Chaetoceros
gracilis
yang
ditumbuhkan
dalam
medium
NPSi
menghasilkan ekstrak yang mengandung senyawa antibakteri yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus ATCC
25923, Bacillus cereus ATCC 13091, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922. 2. Potensi antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin masih kecil. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah selama 6 bulan masih mempunyai aktivitas antibakteri yang sama dengan yang disimpan selama 1, 2, dan 3 bulan. 3. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat menyebabkan kebocoran pada sel bakteri. 4. Chaetoceros gracilis memiliki kandungan asam amino esensial (treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin). Chaetoceros gracilis
memiliki
asam
lemak
tidak
jenuh
(palmitoleat
(C16:1),
heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat
(C22:2),
eikosapentaenoat
(C20:5n3)
dan
dokosaheksaenoat (C22:6n3). Chaetoceros gracilis mengandung mineral kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan (Mn). Chaetoceros gracilis mengandung fitokimia seperti steroid, alkaloid, asam amino, karbohidrat. Kandungan asam nukleat (DNA) Chaetoceros gracilis sebesar 0,1 % dan silika 6,5%.
Chaetoceros gracilis dapat ditumbuhkan dalam medium yang murah, memiliki aktivitas antibakteri yang dapat berperan dalam pengembangan farmasetika.
Kandungan senyawa kimianya lengkap,
kandungan asam
nukleatnya rendah, namun kandungan silika tinggi, sehingga bila digunakan sebagai bahan suplemen sebaiknya dihilangkan terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut masih perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan antara lain :
98
1
Optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi yang menggunakan
intensitas
cahaya
berbeda,
menggunakan
CO2,
menggunakan NPSi dalam berbagai komposisi, sehingga diperoleh teknik kultivasi yang selektif untuk memproduksi antibakteri maupun senyawa biokimia. Perlu dilkukan penelitian kultivasi C. gracilis pada suhu ruang sampai diperoleh biomasa maksimum, lalu suhu diturunkan. 2
Komponen aktif lain yang meliputi antioksidan dan imunostimulan dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi yang optimum
3
Produksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi pada fase stasioner.
4
Untuk pengembangan nutrasetika atau suplemen makanan perlu melanjutkan penelitian tentang keamanan pangan atau uji toksisitas Chaetoceros gracilis (in vivo).
5
Komponen asam amino lain dalam Chaetoceros gracilis yang belum terdeteksi.
6
Kandungan serat dan gula dalam karbohidrat dari biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi.
7
Penghilangan silika dalam biomasa C. gracilis.
DAFTAR PUSTAKA Akbar TM. 2008. Pengaruh cahaya dan metode ekstraksi terhadap senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 45 hal. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 337 hal. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 2005. Preparation of methyl ester BF3 method: GC-FID. Official Methods of Analysis. Washington DC. AOAC 969.33. Araujo SC, Garcia VMT. 2005. Growth and biochemical composition of the diatom Chaetoceros cf. wighamii brightwell under different temperature, salinity, and carbon dioxide levels. Protein, carbohydrates and lipids. Aquaculture 246: 405-412. Arinardi OH, Sutomo AB, Yusuf SA, Trimaningsih, Asnaryanti E, dan Riyono SH. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. 140 hal. Baticados MCL, Paclibare JO. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, R.P. Subasinghe and J.R. Arthur (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. Hal. 531-545. [BBLL] Balai Budidaya Laut Lampung. 2002. Budidaya fitoplankton dan zooplankton. Seri budidaya laut. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Departemen kelautan dan Perikanan. 77 hal. Becker EW. 1988. Micro-algae for human and animal consumption. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press. Cambridge. New York. 293 hal. Bintang M. 1993. Studi antimikroba dari Streptococcus lactis. Bandung. [Disertasi]. Program Studi Biokimia. Institut Teknologi Bandung. 147 hal. Bloomfield SF. 1991. Methods for assessing antimicrobial activity. In Mechanisms of Action of Chemical Biocides, Their Study and Exploitation ed. Denyer, S.P. and Hugo, W.B. p. 1–22. Oxford, UK: Blackwell Scientific Publications. Bligh EG, Dyer WJ. 1959. A rapid method of total lipid extraction and purification. Canadian Journal of Biochemistry and Physiology. 37:911-917. Borowitzka MA. 1988. Algal growth media and sources of algal cultures. Di dalam, Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Microalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal. Bozolla JJ, Russel D. 1992. Electrom microscopi. Principles and techniques for biologists. Boston: Joens & Barlett publisher. 670 hal.
100
Bunduki MMC, Flanders KJ, Donelly CW. 1995. Metabolic and stucture sites of damage in heat and sanitizer-injured popolation of Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 58:410-415. Chrismadha T. 1993. Growth and lipid production of Phaeodactylum tricornutum Bohlin in a tubular-photobioreactor. [Thesis]. Perth: Murdoch University. Australia. 211 hal. Coulteau P. 1996. Microalgae. Di dalam Laven P dan Sorgeloos P. Manual on the production and use of the life food for aquaculture. Laboratorium of Aquaculture and Artemia Reference center, University of Ghent Belgium. Hal. 7-48. Dalsgaard I. 2001. Selection of media for antimicrobial susceptibility testing of fish pathogenic bacteria. Aquaculture 196:267-275. Danesi PR. 1992. Solvents extraction kinetics. Di dalam: Rydberg JC, Musikas, Choppin GR. Principles and Practices of Solvent Extraction. New York: Marcel Dekker Inc. 157 -207. Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology. 22(4): 659-665. Dilika F, Bremner PD, Meyer JJM. 2000. Antibacterial activity of linoleic and oleic acids isolated from Helichrysum pedunculatum: a plant used during circumcision rites. Fitoterapia 71:450-452. Dunstan GA, Volkman JK, Barret SM, Leroi JM, Jeffrey SW. Essential polysaturated fatty acids from 14 species of diatom (Bacillariophyceae). Phytochemistry. 35(1):155-161. Effendi, H. 2002. Mikrobioteknologi Laut. Tantangan Baru dalam Eksploitasi Laut Nusantara, htttp//www.kompas.com/kompas-cetak/0206/19/iptek/tent Hal 19 [01/02/2006]. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1972. Food Composition Table For use In East Asia. Rome: US Department of Health, Education and Walfare and FAO, Food Policy and Nutrition Division. 334 hal. Fardiaz S. 1983. Keamanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 308 hal. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan . Bogor.: PAU IPB. 268 hal. Fogg GE, Thake B. 1987. Alga Cultures and Phytoplankton Ecology. The University of Wisconsin Press. Madison Milwaukee. London. 269 hal. Gauthier MJ, Bernard P, Aubert M. 1978. Production of a photo-sensitive lipid antibiotic by the marine diatom Chaetoceros lauderi (Ralfs). Ann Microbiol (Paris). 1978 Jul;129B (1):63-70. Goldberg S. 2008. Mechanical/physical methods of cell disruption and tissue homogenization. Methods in Molecular Biology, 2008, Volume 424: 3-22. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 4th Edition. Australia: Thomson-Wadsworth. 600 hal. Grima EM, Fernandez FGA, Medina AR. 2004. Downstream processing of cell mass and products. Di dalam: Richmond A. Editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science Ltd. 566 hal.
101
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Bogor: IPB. 161 hal. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Padmawinata K dan Soediro I (penerjemah). Bandung: ITB. 354 hal. Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 225 hal. Harrison PJ, Berges GA. 2005. Marine Culture Media. Di dalam: Anderson RA. Editor. Algal Culturing Techniques. USA: Elsevier Academic Press. 578 hal. Health HB, Reineccius G. 1986. Flavouring materials of Natural Origin. In: Flavour Chemistry and Technology. The AVI Pub. Co., Inc. Westpoint, Conn., 158 hal. Heat RJ, White SW, Rock CO. 2001. Lipid biosynthesis as a target for antibacterial agents. Pergamon. Prog. in Lipid Res 40:467-497. Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 257 hal. Isnansetyo A, Kurniastuty . 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton : Pakan alami untuk pembenihan organisme laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 116 hal. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. An Aspen Publication. Aspen publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. 679 hal. Junior AMM, Neto EB, Koening ML, Eskinazi E. 2007. Chemical compositon of three microalgae species for possible use in mariculture leça. Brazilian archives of biology and technology. Vol.50, no. 3 : pp.461-467. Kabara JJ, Swieczkowski DM, Conley AJ, Truant JP. 1972. Fatty acids and derivatives as antimicrobial agents. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2(1):23-28. Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A novel approach to mode of action of cationic biocide morphological effect on antibacterial activity. J. Appl. Bacteriol. 78:55-60. Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka kecukupan mineral :besi, seng, mangan, selenium, iodium. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal. Kim JM, Marshal MR, Cornell JA, Boston JF, Wei Cl. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and fish cubes. J. Food Sci 60 (6): 1365-1368. Kobayashi M, Satari RR. 1999. Overview of marine natural products chemistry. . Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 23-32. Kochert G. 1978. Carbohydrate determination by the phenol-sulphuric acid method. In: Handbook of Phycological Method : Physiological and
102
Biochemical Method. Hellebust JA dan Craigie JS (Eds). Cambrigde: Cambridge University Press. pp. 95-97. Kungvankij P. 1988. Guide to the production of live food organisms. Food Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 23 hal. Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari kstrak Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 52 hal. Larastri R. 2006. Studi biomassa diatom perifitik pada substrat biocrete dengan konsentrasi p yang berbeda. [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 40 hal. Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial disease of penaeid shrimp : An Asian View. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, J.R. Arthur dan R.P. Subasinghe (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. 107 – 121. Lee RE. 2008. Phycology. Ed ke-4 Cambridge: Cambridge University Press. 547 hal. Lewis K, Salyer AA, Taber HW, Wax RG. 2007. Antimicrobials. Marcel Dekker , Inc. 448 hal.
Bacterial Resistance to
Lin CM, Preston JF, Wei Cl. 2000. Antibacterial mechanism of allyl isothiocyanate. J. Food Prot. Vol. 63 (6) : 727-734. Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. The Journal of Biological Chemistry. 1983:265-275. Madigan TD, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganism. Tenth edition. Pearson Education, Inc. 1019 hal. McGaw LJ, Jager AK, van Staden J. 2002. Isolation of antibacterial fatty acids from Schotia brachypetala. Fitoterapia 73:431-433. Mendiola JA, Torres CF, Tore A, Martin-Alvarez PJ, Santoyo S, Arredondo BO, Senorans FJ, Cifuentes A, Ibanez, E. 2007. Use of supercritical CO2 to obtain extracts with antimicrobial activity from Chaetoceros muelleri microalga. A correlation with their lipidic content. Eur Food Res. Technol. 234:505-510. Metting B, Pyne JW. 1986. Biologycally active compounds from microalgae. Journal of Enzyme Microb. Tech. Vol. 8. Hal. 386-394. Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Fourth ed. New York: Wiley-Liss, Inc. 715 hal. Morrison RT, Boyd RN. 1992. Organic Chemistry. Sixth edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. 1325 hal. Munn CB. 2004. Marine Microbiology. Ecology and Applications. Scientific Publishers. London and New York. 282 hal.
BIOS
Naim R. 2003. Cara Kerja dan Mekanisme Resistensi Antibiotik. Kompas 11 Desember 2003. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312. Hal 14.
103
Naviner M, Berge JP, Durand P, Le Bris H. 1999. Antibacterial activity of the marine diatom Skeletonema costatum against aquacultural pathogen. Aquaculture 174:15-24. Nikaido H, Vaara M. 1985. Molecular basis of bacterial outer membrane permeability. Microb. Reviews 49(1):1-32. Nontji A. 1999. Indonesian potential in developing marine biotechnology. Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 13-22. Nontji A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat penelitian Oseanografi. 248 hal. Nugraheny N. 2001. Ekstraksi bahan antibakteri dari diatom laut Skeletonema costatum dan potensi daya hambatnya terhadap Vibrio sp. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 40 hal. Nur MA, Adijuwana H, Kosasih. 1992. Teknik Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: PAU Ilmu Hayati IPB. Hal. 162-166 Ordogs V, Stirk WA, Lenobel R, Bancifova M, Strnad M, van Staden J, Szigeti J and Nemeth L. 2004. Screening microalgae for some potentially useful agricultural and pharmaceutical secondary metabolites. J. of Appl. Phycol. 16:309-314. Paasche E. 1980. Silicon content of five marine plankton diatom species measured with a rapid filter method. Limnol. Oceanogr. 25(3):474-480. Pacheco-Vega JM, Sanchez-Saavedra MDP. 2009. The biochemical composition of Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) with an agricultural fertilizer. J. World Aquaculture Society 40 (4):556-559. Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthozylum acanthopodium DC) terhadap bakteri pathogen pangan. Bogor. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 176 hal. Parsons R, Masayuki T, Barry H. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3rd Edition. Pergamon Press, Oxford. 330 hal. Pelczar MJ, Reid RD. 1972. Microbiology. 3rd ed. McGraw Hill Book Co.New York. 948 hal. Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid II. Penterjemah Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. Jakarta: UI Press. 997 hal. Pribadi TDK. 1998. Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 40 hal. Raghavan G, Haridevi CK, Gopinathan CP. 2008. Growth and proximate composition of the Chaetoceros calcitrans f. Pumilus under different temperature, salinity and carbon dioxide levels. Aquaculture Research 39:1053-1058.
104
Rahayu WP. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang lengkuas (Alpinia galangal L Swartz) terhadap mikroba pathogen dan perusak pangan. Bogor. [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pangan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 178 hal. Reitz LL, Smith WH, Plumble MP. 1960. A simple, Wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Department Purdue University West La Fayette, Indiana. Analytical Chemistry Vol. 32 (12) hal 1728. Renaud SM, Thinh LV, Lambrinidis G, Parry DL. 2002. Effect of temperature on growth, chemical composition and fatty acid composition of tropical Australian microalgae grown in batch culture. Aquaculture 211:195-214. Reissig, JL, Strominger LJ, Leboir LF. 1955. A modified colorimetric method for estimation of N-acetylamino sugar. J. Biol. Chem. 217:959-966. Richmond A. 1990. Large scale microalgal culture and applications. Progress in Phycological Research, Vo. 7. Bioprocess Ltd. 16 hal. Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology.Blackwell Science Ltd. 566 hal. Rosa A, Deidda D, Serra A, Deiana M, Dessi MA, Pompei R. 2005. Omega-3 fatty acid composition and biological activity of three microalgae species. J. Food, Agri & Environ. Vol. 3 (2) : 120-124. Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1996. The Diatom Biology and Morphology of The Genera. Great Britain: Cambridge University Press. 746 hal. Salyers AA, Whitt DD. 1994. Bacterial Pathogenes. A Molecular Approach. ASM Press. Washington DC. 418 hal. Schlegel HG, Schmidt K. 1994. Ed ke-6. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. 688 hal. Setyaningsih I, L. Hardjito, Panggabean L, 2006. Antibacterial activity of the marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio harveyi. Proceeding International Seminar and Workshop Marine Bioderversity and Their Potential For Developing Bio-Pharmaceutical Industry In Indonesia. Jakarta Mei 2006. Hal. 160-165 Setyabudi R, Gan VHS. 1995. Antimikroba. Dalam: Ganiswara SG, Setyabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti dan Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta :Gaya Baru. 755 hal. Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal. Stewart WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. Melbourne: Blackwell Scientific Publ. London. 989 hal. Stipanuk, MH. 2000. Biochemical and physiological aspecs of human nutrition. W.B. Saunders Company. The Curtis Center, Independence Square West. Philadelphia, PA 19106. 1007 hal. Sue HM, Su MS, Liao IC. 1997. Collection and culture of live foods for aquaculture in Taiwan. Hydrobiologia 358: 37 – 40.
105
Sunaryanto A, Mariam A. 1986. Occurence of a pathogenic bacteria cusing luminescence in penaeid larvae in Indonesian hatcheries. Bull. Brackis Water Aqua Devl Centre 8:64-70. Suwanto A, Yuhana M, Herawaty E, Angka SL. 1999. Genetic diversity of Luminous Vibrio isolated from shrimp larvae. In Flegel R.W. (ed). Advances in Shrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok . 217-224. Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Ternak. 2003. Penuntun Praktikum Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Jurusan Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. 32 hal. Trianti R. 1998. Ekstraksi dan uji aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga Chlorella sp. [Skripsi]. Bogor. Program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 56 hal. Ultee A, Goris LGM, Smid, EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol towards the food-borne pathogen Bacillus cereus. J. App. Microbiol. 85:213-218. Wang JK. 1999. Antibacterial active extracts from the marine algae Chaetoceros and methods of use. United States Patent : 5,866,150. Williams RAD, Lambert PA, Singleton P. 1996. Antimicrobial Drug Action. Oxford: BIOS Scientific Publishers, Ltd. 145 hal. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gisi. Edisi terbaru. Bogor: Embrio Press. 286 hal. Yap CY, Chen F. 2001. Polyunsaturated fatty acids : biologycal significance, biosynthesis, and production by microalgae and microalgae- like organisms. In Chen F and Jiang Y. (2001). Algae and Their Biotechnological Potential, Netherlands:Kluwer Academic Publishers. Hal. 1-32. Zheng CJ, Yoo JS, Lee TG, Cho HY, Kim YH, Kim WG. 2005. Fatty acid synthesis is a terget for antibacterial activity of unsaturated fatty acids. FEBS Letters 579 (2005) :5157-5162.
LAMPIRAN
107
Lampiran 1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis
Medium pupuk NPSi Bahan
Kandungan
Jumlah
TSP (Triple Super Phosphate)*
P2O5 32%
3.125 gr/L akuades
Urea (CO(NH2)2) *
Nitrogen 46%
21.273 gr/L akuades
Sodium metasilika *
Si(OH)2 34%
2.941 gr/L akuades
B1 0.1% (teknis) ** Biotin (teknis) ** B12 2% (teknis) **
0.1 % 2%
1 g/100 ml akuades 0.01 g/100 ml akuades 0.5 g/100 ml akuades
Trace metal A***
CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Aquades
1,95 g 4,40 g 100 ml
Trace metal B***
NaMoO4.2H2O (NH4)6.Mo7O24.4H2O Aquades
1,26 g 6,43 g 100 ml
Trace metal C***
CoCl2.6H2O Aquades
2,00 g 100 ml
Trace metal D***
MnCl2.4H2O Aquades
3,60 g 100 ml
* 3 ml +1 ml + 4 ml / L air laut ** masing-masing 0,1 ml/100 ml aquades *** masing-masing 1 ml/ L air laut
108
Lampiran 2 Hari 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi Kepadatan sel (sel/mL) 2,1x105 4,2x105 1,1x106 1,6x106 1,6x106 1,9x106 2,2x106 2,4x106 2,3x106 2,3x106 2,2x106 2,2x106 2,3x106 2,2x106 2,2x106 2,2x106 2,2x106 2,3x106 2,4x106 2,4x106 2,3x106 2,3x106 2,3x106 2,3x106 2,0x106 1,4x106 1,0x106 8,2x105
Log kepadatan sel 5,32 5,62 6,05 6,19 6,21 6,27 6,35 6,37 6,37 6,35 6,35 6,35 6,35 6,34 6,35 6,34 6,34 6,36 6,37 6,37 6,37 6,36 6,36 6,37 6,31 6,15 6,01 5,91
109
Lampiran 3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) Staphylococcus aureus ATCC 25923 Ekstrak 1 2 3 4 Rataan Kloramfenikol 1 2 Rataan Metanol
Bacillus cereus ATCC13091
Vibrio harveyi
Escherichia coli ATCC 25922
6 6 7 5,5 6
7 7 6 8 7
6 6 5,5 6,5 6
4 4 3,5 3 4
32 30 31 0
35 34 35 0
34 36 35 0
35 34 35 0
Lampiran 4 Diameter zona hambat ekstrak heksan Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm)
Ekstrak 1 2 3 4 Rataan Kloramfenikol 1 2 Rataan Heksan
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Bacillus cereus ATCC 13091
Vibrio harveyi
Escherichia coli ATCC 25922
6 7 6 6 6
8 8 7 8 8
7 6,5 7 7,5 7
4 3,5 3 4 4
32 30 31 0
35 34 35 0
34 36 35 0
35 34 35 0
110
Lampiran 5
Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik Ekstrak C. gracilis
Bacillus cereus 1 2 3 4 Rataan sd
7 7 6 8 7 0,8
Vibrio harveyi 1 2 3 4 Rataan sd
6 6 5 7 6 0,8
Lampiran 6
Kloramfenikol
Ampisilin
Tetrasiklin
Oksitetrasiklin
35
40
32
33
33
38,5
32,5
31
34 1,0
39 1,0
32 1,0
32 1,0
35
30
35
34
33,5
28
33,5
32
34 1,1
29 1,4
34 1,1
33 1,4
Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial (%) Kloramfenikol
Ampisilin
Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Bacillus cereus 1 2 Rataan sd
20 21 21 0,9
18 18 18 0,5
22 22 22 0,2
21 23 22 0,9
Vibrio harveyi 1 2 Rataan sd
17 18 18 0,5
20 21 21 1,
17 18 18 0,5
18 19 18 0,8
111
Lampiran 7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan Bakteri uji
Diameter zona hambat selama penyimpanan (mm) 0 bulan
1 bulan
2 bulan
3 bulan
6 bulan
V. harveyi
6±0,5
6±0,5
6±0,3
6±0,4
6±0,4
E. coli
4±0,3
4±0,3
4±0,3
4±0,3
4±0,3
S. aureus
6±0,5
6±0,5
6±0,4
6±0,2
6±0,4
B. cereus
7±0,5
7±0,5
7±0,3
7±0,4
7±0,4
112
Lampiran 8 Perhitungan kadar protein C. gracilis Penentuan kadar protein Kurva standar 0 0 0 0
10 0,138 0,165 0,1515
20 0,196 0,21 0,203
40 0,304 0,289 0,2965
60 0,381 0,388 0,3845
80 0,462 0,505 0,4835
100 0,553 0,561 0,557
0.5 0.45
y = 0.004x - 0.012 R² = 0.997
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 -0.05 0
20
Bobot sampel (mg) 200
40
Abs 0,335 0,375
60
80
100
ug/ml
% Protein
% rataan protein
86,75 96,75
43,38 48,38 45,88
45,875
120
113
Lampiran 9 Penghitungan kadar karbohidrat C. gracilis Kurva standar 0 0 0 0
10 0,088 0,069 0,0785
20 0,2 0,149 0,1745
40 0,407 0,289 0,348
60 0,609 0,571 0,59
80 0,682 0,74 0,711
100 0,9366 0,965 0,9508
1 y = 0.009x - 0.011 R² = 0.995
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
20
40
60
80
100
120
-0.2
Bobot sampel
Absorbansi
ug/ml
% karbohidrat
% rataan kadar Karbohidrat
200
0,179 0,165
21,11 19,56
10,56 9,78
10,17
114
Lampiran 10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis Hasil analisis mineral Kalsium (Ca) ppm std
Abs std
0.4
y = 0.013x + 0.004 R² = 0.999
0
-0,0001
2,5
0,0380
5
0,0707
10
0,1372
15
0,2018
0
20
0,2656
-0.1 0
25
0,3270
0.3 0.2 0.1
Kode spl
Bobot spl
Absorbans
C. gracilis
2,0194 _
Air laut
5
10
15
20
25
30
ppm splXFP/(grxBK)
% Ca
ppm spl
ppm splXFP
0,0674
4,876923
12192,30769
6037,589231
0,60
0,0120
0,615385
615,3846154
615,3846154
0,06
Hasil analisis mineral Phosphor (P) ppm std PO4
Abs std PO4
0
0
4
0,082
8
0,17
16
0,353
24
0,523
32
0,686
40
0,814
Kode spl
Bobot spl Absorbans
ppm spl
C. gracilis 2,0194
0,098
4,55
Air laut
0,007
0
_
ppm splXFP
ppm splXFP/(grxBK) % PO4
28437,5
14082,15311
0
0
%P
1,40822 0,46 0
0,00
115
Hasil analisis mineral Magnesium (Mg) ppm std
Abs std
0
-0,0006
0,1
0,0310
0,2
0,0557
0,4
0,1059
0,6
0,1547
0,8
0,1991
1
0,2430
Kode spl C. gracilis Air laut
Bobot spl
ppm splXFP/(grxBK)
Absorbans
ppm spl
ppm splXFP
% Mg
2,0194
0,1559
0,626141
15653,527
7751,573225
0,78
_
0,2580
1,049793 1049,79253
1049,792531
0,10
Hasil analisis mineral Besi(Fe) ppm std 0 1 2 4 6 8 10
Abs std 0,0004 0,0244 0,0529 0,0986 0,1460 0,1880 0,2290
Kode spl
Bobot spl
Absorbans
C. gracilis Air laut
2,0194 _
0,0550 -0,0019
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
y = 0.022x + 0.004 R² = 0.998
0
2
4
6
ppm spl
ppm splXFP
2,318182 -0,26818
579,545455 -0,2681818
8
10
ppm splXFP/(grxBK) 286,99 -0,27
12
% Fe 0,03 0,00
116
Hasil analisis mineral Mangan (Mn) ppm std
Abs std
0.5
0
0
0.4
1
0,0497
0.3
2
0,0971
0.2
4
0,1902
0.1
6
0,2644
0
8
0,3396
10
0,4161
0
Kode spl
Bobot spl
C. gracilis
2,0194
0,2531
_
0,0002
Air laut
y = 0.041x + 0.010 R² = 0.997
2
Absorbans ppm spl
4
6
ppm splXFP
8
10
12
ppm splXFP/(grxBK)
% Mn
5,929268 148,231707
73,40
0,01
-0,23902
-0,24
0,00
-0,2390244
Hasil analisis mineral Seng (Zn) ppm std 0 0,25 0,5 1 1,5 2 2,5
Abs std -0,0011 0,028 0,0555 0,1119 0,1505 0,1971 0,2314
Kode spl
Bobot spl
Absorbans
ppm spl
ppm splXFP
ppm splXFP/(grxBK)
C. gracilis Air laut
2,0194 _
0,0371 0,0079
0,323656 0,009677
809,139785 0,00967742
400,68 0,01
% Zn 0,04 0,00
117
Lampiran 11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis [DNA] x Faktor Pengenceran (40x)
Nilai Sampel Bobot [DNA] Protein Purity Absorbansi Sampel (µg/ml) (µg/ml) (%) (mg) 1 2 Rataan
0,536 0,591
26,8 29,5
0,3 0,3
66 66
20,5 20,6
(µg/ml)
(%)
1072 1180
0,1072 0,118
1126
0,1126