KAJIAN PROTEIN YANG MENGKATALISIS PEMBENTUKAN SILIKA DAN ASAM LEMAK TAK JENUH RANTAI PANJANG DIATOM LAUT Chaetoceros gracilis
ALBERTA RIKA PRATIWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI \ Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Protein yang Mengkatalisis Pembentukan Silika dan Asam Lemak Tak Jenuh Rantai Panjang Diatom Laut Chaetoceros gracilis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2010 Alberta Rika Pratiwi NIM F241040061
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PROTEIN YANG MENGKATALISIS PEMBENTUKAN SILIKA DAN ASAM LEMAK TAK JENUH RANTAI PANJANG DIATOM LAUT Chaetoceros gracilis
ALBERTA RIKA PRATIWI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2010
Judul Disertasi : Kajian Protein yang Mengkatalisis Pembentukan Silika dan Asam Lemak Tak Jenuh Rantai Panjang dari Diatom Chaetoceros gracilis Nama : Alberta Rika Pratiwi NIM : F261040061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya Suhartono, Ketua
Dr. Ir. Dahrul Syah Anggota
Dr. Ir. Linawati, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc
Tanggal ujian : 13 Juli 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana Program Doktor
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Kajian Protein yang Mengkatalisis Pembentukan Silika dan Asam Lemak Tak Jenh Rantai Panjang Diatom Chaetoceros gracilis sebagai syarat menempuh program doktor di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono sebagai ketua komisi, Dr. Dahrul Syah dan Dr. Ir. Linawati, MS sebagai anggota komisi, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan laporan selama menempuh pendidikan program doktor di program studi Ilmu Pangan – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Sanjaja melalui Rektor Universiats Katolik Soegijapranata-Semarang yang telah memberikan beasiswa program studi S3, Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah membiayai sebagian penelitian melalui program Hibah Bersaing tahun 2007/2008 juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB untuk program Hibah Penelitian Doktor tahun 2009 hingga penelitian ini dapat selesai. Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada Dra. Lily M. Panggabean M.Sc di laboratorium Budidaya Mikroalga LIPI Jakarta yang telah memperkenankan penulis menggunakan kultur diatom Chaetoceros gracilis sebagai materi penelitian, kepada Dekanat Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, kepada Dr. Ita Juwita dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan kepada Dr. Wiryono SJ dari Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memfasilitasi penelitian ini khususnya dalam analisis 2 dimensi. Kepada para staf dan teknisi yang telah membantu penelitian di laboratorium Budidaya Mikroalga-LIPI Jakarta, laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan, Kimia Pangan Seafast Center IPB dan laboratorium di lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi-IPB, laboratorium Kimia-LIPI Bandung, laboratorium Biokimia dan Teknologi Enzim Fakultas Teknobiologi Atmajaya serta laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Hewan-IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan semangatnya dalam menyelesaikan penelitian. Kepada seluruh bapak ibu, saudara dan saudari di progarm S3 IPN serta semua teman-teman di progdi Ilmu Pangan yang tergabung dalam FORMASIP. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas doa, kerjasama dan persahabatan selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu, adik-adik serta saudara-saudara untuk doa dan semangat yang diberikan selama ini. Semoga karya kecil ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di Indonesia.
Bogor 2010 Alberta Rika Pratiwi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 8 Mei 1966, sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari bapak Dominikus Soekisno (alm.) dan ibu Theresia Sri Partini. Pendidikan sarjana strata satu ditempuh di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991. Tahun 1996 melanjutkan pendidikan strata dua di program studi Mikrobiologi, Departemen Biologi-FMIPA Institut Teknologi Bandung lulus tahun 1999. Pada tahun 2004 penulis memperoleh kesempatan studi jenjang S3 dari Yayasan Sanjaja-Universitas Katolik Soegijapranata di progran studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. Setelah lulus strata satu penulis menjadi staf di Lembaga Studi RealinoYogyakarta tahun 1991-1993. Tahun 1993 menjadi staf peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dan tahun 1995 hingga sekarang menjadi staf pengajar di program studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Sebagian hasil penelitian penulis pada program S3, telah dipresentasikan dan dipublikasikan baik sebagai penulis utama maupun penulis kedua. Karya yang berjudul Characterization of Silaffin-like protein which Catalyze Formation Silica Stucture Isolated from Indonesian Marine Diatom telah dipresentasikan dalam bentuk poster pada International Seminar and Workshop: Marine Biodiversity and Their Potential for Developing Bio-pharmaceutical Industry in Indonesia pada Mei 2006; Isolation and Characterization of Silaffin that Catalyze Biosilica Formation from Marine Diatom Chaetoceros gracilis telah dipublikasikan oleh HAYATI Journal of Bioscience September 2007; Komposisi asam lemak diatom laut Chaetoceros gracilis telah disampaikan pada Seminar Nasional dan Konggres PATPI Oktober 2008 di Palembang dan Fatty Acid Synthesis by Marine Diatom Chaetoceros gracilis telah dipublikasikan oleh HAYATI Journal of Bioscience Desember 2009.
Penguji luar ujian tertutup: drh. Sulistyani, M.Sc, Ph.D Departemen Biokimia-FMIPA Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Alex Hartana Departemen Biologi-FMIA Institut Pertanian Bogor Penguji luar ujian terbuka: Raymon Tjandrawinata, PhD,MS,MBA Direktur Laboratorium Biomolekuler, PT Dexa Medica-Jakarta Prof. Dr. Hari Eko Irianto Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Kementerian Perikanan dan Kelautan RI
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xiv
PENDAHULUAN...............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 5 5
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................
6
Karakteristik Diatom Chaetoceros gracilis................................................ Polimer Silika, Biosilika dan Aplikasi dalam Bidang Pangan .................. Asam Lemak Dan Biosintesis Polyunsaturated Fatty Acid Diatom..........
6 8 18
METODE DAN BAHAN ........ .........................................................................
24
Tempat Pelaksanaan Penelitian ................................................................. Bahan dan Alat .......................................................................................... Tahap Penelitian I ...................................................................................... Tahap Penelitian II……………………………......................................... Tahap Penelitian III ...................................................................................
24 25 26 28 30
HASIL DAN PEMBAHASAN
35
Profil Protein dan Lipid Chaetoceros gracilis Selama Pertumbuhan ........ Karakteristik Protein Total Berdasarkan Analisis 2 Dimensi .................... Karakteristik Protein yang Terlibat dalam Biosintesis Nanosilika ............ Asam Lemak dan Karakteristik Protein Terlibat Biosintesis PUFA ......... Hipotesis Jalur Biosintesis DHA Chaetoceros gracilis.............................
35 41 45 54 76
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
89 91
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Karakteristik protein SIT C. gracilis berdasarkan analisis 2 dimensi ………
46
2
Berat molekul protein silaffin yang telah diketahui dari berbagai jenis diatom
53
3
Prosentase relatif asam lemak terhadap asam lemak total dari fase akhir eksponensial hingga fase kematian pertumbuhan C. gracilis ………………….
55
Berat molekul (kDa) dan titik isoelektrik protein protein terdeteksi yang terlibat dalam sintesis PUFA C. gracilis …………………………
70
5
Karateristik berat molekul dan titik isoelektrik dari berbagai diatom………..
71
6
Protein enzim yang terlibat sintesis PUFA dan PUFA yang ditemukan dalam setiap fase pertumbuhan C. gracilis………………………………………………..
75
Protein enzim yang teridentifikasi pada C. gracilis yang terlibat dalam biosintesis PUFA dan asam lemak yang menjadi substrat serta produk yang mungkin terbentuk sebagai hasil aktivitas protein enzimnya................................
77
Reaksi desaturasi dan elongasi yang dibuat berdasarkan 4 kategori yang melibatkan unsur asam lemak substrat, enzim dan asam lemak produk .......
79
Reaksi desaturasi desaturase mikrosomal berdasarkan 4 kategori yang melibatkan unsur asam lemak substrat, enzim dan asam lemak produk........
85
4
7
8
9
DAFTAR GAMBAR
0 1 2. 3. 4. 5.
Halaman
Skema reproduksi aseksual pada diatom secara skematis (Round et al.1990) ................................................................................................ Struktur dinding sel silicaseous dari jenis diatom berbeda . A. Diatom Cymathoneis sp. B. Diatom Anorthoneis sp (Round et al. 1990)....
12
Pembentukan dinding sel silicaseous dalam siklus sel diatom (Kröger & Wetherbee, 2000) ..............................................................................
13
Hasil SEM presipitasi silika yang terbentuk dari katalis (A) sil 1A dan (B) Silaffin campuran dari C. fuciformis (Kröger et al. 1999) ............
16
7
7.
Hasil SEM presipitasi silika dengan pori tak beraturan menggunakan katalis gabungan Sil 2 dan Sil 1A C. Fuciformis (Poulsen et al. 2003) Biosintesis keluarga PUFA omega 9, 6 dan 3 dari mikroalga (Yap & Chen 2001) ....................... ............................................................... Hipotesis biosintesa EPA P. tricornutum (Arao & Yamada 1994) ......
8.
Hipotesis biosintesa EPA P. tricornutum (Domergue et al. 2002) ......
23
9.
Skema garis besar penelitian ................................................................
24
10. Skema penelitian tahap I ......................................................................
26
11. Skema penelitian tahap II ....................................................................
29
12. Skema penelitian tahap III ...................................................................
31
13. Prinsip kerja metode analisis 2 dimensi ...............................................
33
14. Profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem batch culture………….
35
6.
Profil protein dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam sistem batch culture……………….………………………………………….. 16. Konsentrasi seluler protein dan lipid C. calcitrans (Phatarpekar et al. 2000) (A) dan C. gracilis (B) pada pertumbuhan dalam kultur sistem batch. Tanda garis merah (-----) menunjukkan fase atau umur kultur yang menunjukkan konsentrasi protein lebih rendah dari lipid. ...
16 22 23
15.
38
39
17. Protein yang terdeteksi hasil analisis 2 dimensi protein C. gracilis …
41
18. Hasil analisis 2 dimensi pada diatom Thalassiosira pseudonana (Sandia National Laboratories-USA, http://www.sandia.gov) (A) dan hasil 2 dimensi pada Chaetoceros gracilis (B)……………………
42
19. Jumlah noktah protein dan volume noktah protein hasil deteksi program melanie selama pertumbuhan C. gracilis …………………..
44
20. Keluarga Protein SIT terdeteksi pada analisis 2dimensi dari diatom C. gracilis. Tanda lingkaran warna hitam menunjukkan posisi noktah protein SIT. …………………………………………………………
45
Halaman 21. Grafik hubungan antara volume total protein SIT dan bobot frustule C. gracilis. ................................................................................... 22. Profil silaffin dan silika frustule yang terbentuk selama pertumbuhan C. gracilis ..................................................................................... 23. Analisis 2 dimensi terhadap protein silaffin (A), gambar 3 dimensi tiap noktah 5 fraksi protein silaffin (B).………………………….. 24
25
26 27 28
29
Scanning Electron Microscope polimer silika hasil reaksi in vitro protein silaffin C. gracilis dengan substrat TEOS (Manurung et al. 2007)............... .................................................................................... Komposisi saturated fatty acid (SAFA), monounsaturated fatty acid (MUFA) dan polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari C. gracilis selama pertumbuhan. ................................................................... Komposisi SAFA (proporsi relatif dari total SAFA) selama pertumbuhan C. gracilis. ……………………………………………...
54
56 58
Konsentrasi asam oleat (proporsi relatif dari total asam lemak) sebagai substrat pembentukan total PUFA selama pertumbuhan C. gracilis Lingkaran garis titik-titik menunjukkan umur kultur ketika konsentrasi asam oleat terendah sedangkan PUFA tertinggi ………
60
Komposisi PUFA (proporsi relatif dari total PUFA) selama pertumbuhan C. gracilis …………………………………………………..
61
34
Hipotesis II jalur biosintesis DHA diatom C. gracilis …………………..
32
52
59
33
31
50
Komposisi MUFA (proporsi relatif dari total MUFA) selama pertumbuhan C. gracilis ………………………………………………
Pembentukan arachidonic acid/ AA(20:4-ω6) melalui asam eikosadienoat (20:2ω6) and asam γ-linolenic (18:3ω6) yang dikatalisis oleh desaturase ∆8, desaturase ∆5 dan elongase (Khozin et al. 1997)…………………………………………………………….. Noktah protein yang terdeteksi berperan dalam sintesis PUFA C. gracilis (tanda lingkaran merah) …………………………………… Noktah protein transport asam lemak yang terdeteksi pada umur kultur 1 hari (fase lag), umur 13 dan 14 hari (fase stasioner) ……. Hipotesis I jalur biosintesis DHA diatom C. gracilis ……….. ………
30
48
64 68 69 81 86
DAFTAR LAMPIRAN
halaman 1
Kurva standar titik isoelektrik dan berat molekul ……………….........................
98
2
Profil kromatogram GC/MS hasil analisis asam lemak …………………………
99
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Nanosilika adalah material silika berskala nano yang akhir-akhir ini menjadi bahan penting untuk berbagai alat. Pada bidang pangan nanosilika dimanfaatkan antara lain sebagai filtering agent, yakni komponen membran ultrafiltrasi industri minuman, dan elemen alat analitik bionanosensor serta bahan komposit active packaging. Silika sendiri merupakan polimer yang tersusun dalam tiga dimensi dari silikon dioksida (SiO 2 ) yang banyak ditemukan di alam. Silika memiliki sifat tidak berwarna, tidak berasa dan secara fisiologi bersifat inert, tahan terhadap reaksi kimia pada temperatur biasa tetapi dapat mengalami berbagai transformasi pada temperatur tinggi. Karakteristik demikian menyebabkan banyaknya aplikasi berbasis silika. Metode-metode yang digunakan untuk memperoleh silika (polimer) dengan kemurnian tinggi atau silikon (unsur silika) yang diaplikasikan di industri, pada umumnya menggunakan kondisi-kondisi yang ekstrim seperti temperatur, tekanan dan prekursor yang sering bersifat toksik. Misalnya silika-silika ultrapure polycrystalline silicon dan silicon carbide sebagai bahan semikonduktor diperoleh dengan cara meleburkan quartz pada tungku temperatur tinggi hingga ribuan derajat celcius (Maeda & Komatsu 1996). Lapisan silikon diosida (wafer) silica chip yang merupakan salah satu komponen penting komputer dibuat dari polisilikon yang merupakan reaksi triklorosilane dengan hidrogen dengan suhu 1000°C dan dikristalkan dengan suhu 1200 °C (Rhicardson, 2001). Kondisi ekstrim yang juga melibatkan bahan kimia berbahaya, menjadi evaluasi mendasar dalam industri silika akhir-akhir ini. Polyunsaturated fatty acid (PUFA) merupakan asam lemak dengan rantai hidrokarbon panjang dan memiliki ikatan rangkap lebih dari satu dalam bentuk cis sehingga mempunyai sifat tidak jenuh. PUFA dengan rantai sangat panjang seperti omega 6 arachidonic acid (AA atau ARA), omega 3 eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) merupakan asam lemak yang sangat dibutuhkan
2 karena peranannya dalam bidang kesehatan. Secara individu AA dalam tubuh manusia berperan sebagai prekursor sejumlah eukosanoid atau sebagai prekursor molekul proinflamantori untuk respon sistem imun. EPA diperlukan bagi penderita depresi atau bipolar disorder sedangkan DHA bersama EPA diperlukan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner dan digunakan sebagai proteksi terhadap kanker. Meskipun AA, EPA dan DHA secara komersial telah diproduksi dari fungi, ikan, minyak ikan dan jaringan hewan serta mikroalga, namun hal tersebut telah menjadi bahan evaluasi yang berkaitan dengan produktivitas dan sumber bahan baku yang tidak dapat diterima semua konsumen. Sementara, di alam terdapat organisme salah satu keluarga mikroalga yakni diatom yang menghasilkan silika dan PUFA hingga rantai panjang. Karakteristik diatom adalah memiliki silika sekitar 90% sebagai komponen dinding selnya dengan struktur teratur berskala nano, menyimpan cadangan makanannya berupa lipid (Round et al. 1990) dan secara genetis memiliki kemampuan mensintesa PUFA sendiri secara langsung karena enzim yang dimilikinya (Yap & Chen 2001). Hasil penelitian Dunstan et al. (1994) menunjukkan bahwa diatom mampu menghasilkan PUFA sekitar 3-62% dari total asam lemak. Kedua bahan tersebut (silika dan PUFA diproduksi oleh diatom melalui suatu mekansime sintesis yang melibatkan biokatalis protein tertentu. Silika dengan morfologi yang teratur, presisi dan berukuran nano (10-9) yang dimiliki setiap diatom, secara genetis dikontrol oleh protein yang berlangsung dalam kondisi ringan. Protein yang berperan dalam proses silifikasi diatom telah ditemukan, yakni silisic acid transport protein (protein SIT), yang berperan membawa asam silikat dari lingkungannya melewati lipid bilayer masuk ke dalam silica deposition vesicle (SDV) dan protein silaffin (silica affinity) yang berperan dalam polimerisasi asam silikat menjadi nanosilika di dalam SDV (Hildenbrand et al. 1997; Kröger et al. 1999). Protein-protein tersebut telah diketahui mengatur biosilifikasi secara in vivo dalam sistem metabolisme pada kondisi lingkungan alam yang ringan. Dengan memahami berbagai molekul yang terlibat dalam biosilification in vivo maka mempelajari pembentukan secara in vitro dapat lebih dipahami. Kröger et al. (2002)
3 telah melakukan reaksi in vitro protein silaffin diatom Chilindrotheca fuciformis dengan susbtrat Tetraethoxyorthosilicate (TEOS) untuk menghasilkan polimer nanosilika dalam beberapa menit pada temperatur ruang. Sementara Manurung et al. (2007) juga telah berhasil mengekstraksi protein silaffin dari diatom Chaetoceros gracilis dan mereaksikan secara in vitro dengan TEOS menghasilkan polimer silika dalam waktu 10 menit pada suhu ruang (26-28°C). Dengan mempelajari protein yang terlibat dalam biosilifikasi in vivo akan membuka pemahaman baru dalam mendesain proses pembentukan material berbasis silika secara ramah lingkungan. Menurut Poulsen & Kröger (2004), sekuen asam amino protein silaffin yang diisolasi dari dua jenis diatom yang berbeda tidak saling memiliki homologi, sehingga setiap jenis diatom diduga memiliki karakteristik protein silaffin yang khusus sesuai dengan karakteristik struktur nanosilika yang dimiliki. Dengan demikian masih diperlukannya informasi protein-protein yang terlibat dalam biosintesis silika dari spesies-spesies diatom spesifik, misalnya dari laut tropis seperti perairan wilayah Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan polimer nanosilika spesifik yang dapat diaplikasikan untuk setiap kebutuhan secara khusus. Diatom mensintesis omega 6 (AA) maupun omega 3 (EPA dan DHA) secara de novo. Hal ini sangat berbeda dengan hewan termasuk mamalia yang hanya mampu menghasilkan PUFA rantai panjang apabila memperoleh prekursor C18 (asam linoleat dan asam α-linolenat) dari makanannya, sedangkan tanaman hanya mampu menghasilkan PUFA hingga C18. Diatom dan juga mikroalga lainnya melakukan reaksi desaturasi dan elongasi untuk memperpanjang rantai C18 dengan enzim desaturase dan elongase yang dimiliki. Enzim desaturase Δ6, Δ5 dan Δ4 merupakan karakteristik utama yang dimiliki mikroalga pada umumnya. Berbagai karakterisasi protein enzim desaturase dan elongase khususnya pembentuk AA, EPA dan DHA dari berbagai jenis mikroalga telah mulai dilaporkan. Sebagai contohnya adalah protein enzim desaturase Δ6 yang mengkatalisis pembentukan 18:3Δ6,9,12 (ω6) dan Δ5 yang bekerja pada asam lemak atom C20 menghasilkan
AA
(20:4Δ5,8,11,14ω6)
telah
diidentifikasi
dari
diatom
4 Phaeodactylum tricornutum (Demergue et al. 2002). Sementara Tonon et al. (2005), telah mengidentifikasi gen-gen yang mengkode desaturase Δ6, Δ5 dan Δ4 yang terlibat langsung dalam biosintesis EPA dan DHA dari diatom Thalassiosira pseudonana. Setiap jenis diatom secara genetik dapat memiliki jenis PUFA yang berbeda-beda dari C16 hingga C22 yang dipengaruhi oleh jalur biosintesis dan protein pembentuknya. Jalur biosintesis long chain-PUFA diatom belum sepenuhnya diketahui, karena begitu beragamnya jenis-jenis asam lemak yang dimiliki untuk setiap jenis diatom. Berbagai studi gen maupun protein yang terlibat dalam sintesis PUFA dari berbagai jenis organisme penghasil PUFA de novo telah dilakukan untuk meningkatkan
produksi
PUFA
melalui
sumber-sumber
alternatif
termasuk
kemungkinan memproduksi vegetable oil yang dapat mengandung PUFA (Vrinten et al. 2007). Untuk itu masih sangat diperlukan kajian mendalam untuk memberikan informasi dasar mekanisme biosintesis PUFA terkait dengan protein yang mensintesisnya dari berbagai sumber termasuk jenis-jenis diatom. Studi protein yang terlibat dalam biosintesis PUFA ini memberikan pengetahuan dasar dalam meningkatkan produksi PUFA penting secara spesifik melalui berbagai kemungkinan rekayasa bioteknologi untuk memproduksi misalnya DHA-enriched crops. Dalam kultur sistem batch dengan medium yang mengandung silikat, diatom mengakumulasi lipid ketika memasuki fase stasioner atau pada saat konsentrasi nutrien medium mulai menurun. Roessler (1988), telah membuktikan bahwa aktivitas enzim sitrat sintase dan asetil KoA karboksilase meningkat 3 kali ketika silica depletion. Hal ini mengindikasikan adanya suatu hubungan yang berkaitan dengan waktu sintesis silika dinding sel dan lipid atau asam lemak di dalam kultur diatom. Sintesis dinding sel silicaseous sangat aktif ketika sel melakukan pembelahan. Mekanisme demikian berpeluang mengeskplorasi organisme diatom ini dengan mempelajari mekanisme dasar sintesis kedua bahan (silika dan PUFA) yang diketahui memiliki nilai ekonomi penting saat ini. Chaetoceros gracilis adalah salah satu jenis diatom yang banyak ditemukan di perairan laut Indonesia, bukan merupakan jenis toksik serta belum banyak kajian dari
5 aspek molekuler untuk tujuan eksplorasi PUFA dan nanosilika. Diatom jenis tersebut juga merupakan jenis yang dapat dan mudah dikulturkan. Disamping itu telah dilakukan studi awal karakteristik ekstrak protein silaffin C. gracilis asal laut Indonesia ini, yang terbukti mampu mengkatalisis pembentukan polimer silika secara in vitro pada suhu ruang dalam beberapa menit. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji protein yang terlibat dalam biosintesis nanosilika dan biosintesis asam lemak tak jenuh rantai panjang dari diatom laut C. gracilis asal Indonesia. Secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan, 1) mempelajari profil protein dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam kultur sistem batch, 2) mempelajari karakteristik (berat molekul dan titik isoelektrik) protein melalui analisis 2 dimensi dan studi bioinformatika untuk identifikasi protein yang terlibat dalam biosintesis nanosilika dan 3) mempelajari karakteristik (berat molekul dan titik isoelektrik) protein melalui analisis 2 dimensi dan studi bioinformatika untuk mengidentifikasi jenis protein yang terlibat dalam biosintesis PUFA dan memprediksi jalur biosintesis PUFA. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar pada tingkat protein dalam mempelajari biosintesis nanosilika dan PUFA dari diatom C. gracilis asal laut Indonesia. Informasi ini sebagai langkah awal di dalam pengembangan industri strategis untuk merancang produksi material berbasis nanosilika secara ramah lingkungan dan pengembangan industri asam lemak rantai panjang secara produktif dari aspek sumber bahan baku.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Diatom Chaetoceros gracilis Karakteristik Umum Diatom Diatom adalah nama populer untuk semua organisme yang masuk dalam kelas Bacillariophyceae. Diatom merupakan organisme uniseluler berukuran 10200 µm, memiliki pigmen klorofil a, c1, c2 dan karotenoid, hidup bebas secara fotosintetik autotrof sebagai fitoplankton. Oleh karena ukurannya kecil, maka disebut sebagai mikroalga, meskipun dapat ditemukan dalam bentuk koloni hingga mencapai panjang beberapa milimeter membentuk spiral, heliks dan zigzag (Round et al. 1990). Konstruksi dinding biosilika diatom yang disebut dengan frustule memiliki bentuk seperti petridish, yang mempunyai bagian yang saling berpotongan disebut girdle band (copulae). Bidang-bidang yang saling berpotongan tersebut, bagian atas disebut epiteka dan bagian bawah disebut hipoteka. Bagian atas permukaan setiap theca disebut valve mempunyai permukaan dengan pola pori-pori teratur disebut areolae yang memberikan karakteristik setiap jenisnya. Secara garis besar diatom, berdasarkan bentuknya digolongkan menjadi centris dengan bentuk sel bulat dan pennate bentuk sel lonjong atau bulat memanjang (Round et al. 1990). Sistem Reproduksi. Reproduksi diatom dapat terjadi secara aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual merupakan reproduksi yang paling umum untuk diatom. Reproduksi aseksual pada mahluk hidup ini terjadi dengan pembelahan sitoplasma dalam frustule, sehingga epiteka induk akan menghasilkan hipoteka yang baru dan hipoteka yang lama akan menjadi epiteka yang menghasilkan hipoteka yang baru pula pada anakannya dan seterusnya. Maka suksesi reproduksi aseksual ini akan menghasilkan ukuran sel yang semakin kecil. Ketika ukurannya mencapai minimum maka selanjutnya akan dikompensasi dengan tumbuhnya auksospora (expandable zygote cell) berukuran besar yang akan membelah dan menghasilkan sel baru berukuran besar. Pembentukan auksospora atau auksosporulasi merupakan bagian dari fase reproduksi seksual yakni melahirkan kembali ke ukuran semula (original size) melalui reproduksi
7 seksual. Skema mekanisme reproduksi aseksual pada mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1A & 1B A auksospora
B B
Auksosporulasi
Epiteka Hipoteka
Gambar 1 Skema reproduksi aseksual diatom secara skematis (Round et al. 1990) Gordon & Parkinson (1999) menemukan bahwa frustule pada diatom mengandung silika yang berpori dengan ukuran sekitar 40 nm atau 100-200 nm. Karakteristik lainnya adalah mempunyai lipid dan crysolaminarin sebagai cadangan makanannya dan silika sekitar 90% (Round et al. 1990). Diatom ratarata mengandung lipid 1-39 % dari berat kering (Becker 1994) dan dapat mengandung asam lemak 1.6-70 pg/sel dengan PUFA antara 5-62% dari total asam lemak (Dunstan et al. 1994). Diatom juga mengandung protein sekitar 2025% per berat kering, karbohidrat 5-7% per berat kering (Brown et al. 1997).
8 Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis merupakan salah satu anggota dari genus Chaetoceros, Secara morfologi merupakan diatom tunggal dengan bentuk sel sentries. Selselnya membentuk rantai atau koloni hingga panjangnya mencapai 200µm. Rantai tersebut dibentuk oleh hubungan internal antar spina. Menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), Chaetoceros yang ditemukan di perairan Indonesia umumnya berukuran 3-30 µm, bentuk bulat berdiameter 4-6µm atau berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18µm. Chaetoceros toleran terhadap suhu air hingga 40 oC, namun pertumbuhan optimal pada kisaran suhu 25-30oC. Toleransi terhadap salinitas 6-50‰ dengan salinitas optimum 17-25‰. Chaetoceros gracilis mudah dikulturkan dalam medium yang mengandung silikat dengan pencahayaan minimal 3000 lx (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Bold & Wynne 1985, sistematika C. gracilis adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
filum
: Chrysophyta
kelas
: Bacillariophyceae
ordo
: Centrales
subordo
: Biddulphioideae
familia
: Chaetoceraceae
genus
: Chaetoceros
spesies
: gracillis
Polimer Silika, Biosilika dan Aplikasi dalam Bidang Pangan Polimer Silika dan Industri Silika Silika merupakan polimer tersusun dalam susunan tiga dimensi dari silikon dioksida (SiO 2 ). Silika (Silikon dioksida/ SiO 2 ) sangat banyak ditemukan secara alami dalam bentuk bebas sebagai quartz dan campuran sebagai silikat. Silikat adalah komponen kimia yang mengandung silikon, oksigen dan elemen metal, seperti orthosilikat mengandung gugus SiO 4 -4 dan metalsilikat gugus SiO 4 -2. Silika juga ditemukan sebagai sandstone dan silica sand.
9 Silika ditemukan dengan berbagai bentuk seperti crystalline (quartz atau heksagonal, kristabolit atau tetrahedran, tridimit atau triklinat) dan silika amorphous (bentuk opal, chaledony, flint, jasper dan diatomaceous earth) serta glass. Silika tersebut memiliki sifat tidak berwarna, tidak berasa dan secara fisiologi bersifat inert, mempunyai sifat tahan terhadap reaksi kimia pada temperatur biasa tetapi dapat mengalami berbagai transformasi pada temperatur tinggi (Ning 2002). Silika untuk keperluan industri pada umumnya memerlukan tingkat kemurnian tertentu, struktur tertentu atau bentuk spesifik berkaitan dengan bentuk dan ukuran pori-porinya. Silika murni dan berpori skala nano selama ini diperoleh antara lain dengan cara 1) acid deposition dari larutan Na 2 SiO 3 , 2) metode sol-gel dari organo-silicone compound, 3) vapour deposition dari a silica fume dan 4) metoda hidrothermal (Ono et al. 2001). Metoda
hidrothermal
menggunakan
campuran
kalsium-silikat
yang
diperoleh dengan mencampurkan Ca(OH) 2 dengan berbagai silika seperti silika amorf atau silika kristal, selanjutnya campuran tersebut dipanaskan dengan temperatur 140 ºC, tekanan 0,4-1 MPa selama 8 jam (Ono et al. 2001). Kalapathy et al. (2000), melaporkan silika murni yang diperoleh dari abu sekam padi dilakukan dengan ekstraksi alkali dilanjutkan dengan pengendapan asam kemudian dipanaskan hingga 80 ºC selama 12 jam. Menurut Harsono (2002), silika dari abu sekam padi diperoleh dengan memanaskan hingga 190 ºC, namun untuk memperoleh silika dengan kristalinitas tinggi, harus dipanaskan lebih lanjut hingga 650 ºC sehingga dihasilkan fasa kristabolit dan tridimit. Pada prinsipnya metoda untuk memperoleh silika atau silikon yang diaplikasikan di industri pada umumnya menggunakan temperatur tinggi dan suatu prekursor. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Maeda & Komatsu (1996), yang melaporkan bahwa ultrapure polycrystalline silicon dan silicon carbide bahan semikonduktor diperoleh dengan cara meleburkan quartz pada tungku temperatur tinggi. Brinker & Scherer (1990), memperoleh silika dengan menggunakan sodium silikat sebagai prekursor yang diperoleh dengan cara melebur quartz sand dengan sodium karbonat menggunakan temperatur 1300 ºC.
10 Silikon semikonduktor dibuat dengan mereaksikan crude metal dengan campuran gas hidrogen dan hidrogen klorida dalam fluidised bed sehingga menghasilkan
SiHCl3 .
Selanjutnya
dilakukan
destilasi
dan
direduksi
menggunakan hidrogen menghasilkan filamen pre silikon, kemudian dipanaskan hingga 1150 ºC. Demikian juga dengan produk-produk intermediet seperti silica chip, fiber glass dan keramik juga dibuat dengan temperatur tinggi. Silica chip digunakan sebagai sparepart komputer atau assay kit, dibuat dengan beberapa tahap yang diawali dengan pembuatan lapisan silika yang disebut wafer. Wafer dibuat dari polisilikon hasil reaksi triklorosilan dengan hidrogen pada suhu 1000 ºC lalu dikristalkan dengan suhu 1200 ºC. Wafer ini sebagai template untuk lapisan silika berikutnya hingga mencapai ketebalan beberapa mikron, kemudian dilanjutkan pemberian muatan dan pengemasan menjadi chip (Richardson 2001). Fiber glass sebagai bahan utama dalam alat pendeteksi seperti stetoskop dibuat dengan cara oksidasi thermal silikon tetraklorida dan suhu sekitar 2500 ºC, dengan reaksi SiCl4 + O 2 SiO 2 + 2Cl2 (Fiber Tech 2004). Metoda sol-gel dalam pembuatan silika merupakan metoda yang menggunakan suhu ruang. Menurut Ester et al. (2005), proses sol-gel adalah suatu teknik untuk memproduksi amorphous inorganic solid seperti glass. Istilah sol didefinisikan sebagai suatu larutan koloidal dengan partikel berukuran < 100nm dan gel adalah larutan koloid semisolid. Silika glass yang dibuat dengan metoda sol-gel menghasilkan homogenitas yang baik, kemurnian tinggi dan porous. Hal ini memungkinkan dibuat suatu matriks berpori, bening dan bersifat optik sehingga dapat digunakan sebagai sensor. Lebih jauh, dengan ditemukan proses sol-gel dapat membuat silica glass bening mengandung bahan organik maupun inorganik pada suhu rendah. Pada proses sol-gel, bentuk sol koloidal diperoleh dari hasil hidrolisis dan polikondensasi prekursor metalorganik. Prekursor tersebut adalah metal alkoxide dengan rumus molekul M(OR) n , dan OR- nya dapat berbentuk metoxy (OCH 3 ) atau ethoxy (OC 2 H 5 ). Bahan yang paling sering digunakan untuk membuat material berbasis silika metode sol gel adalah tetramethoxysilane (TMOS) dan tetraethoxysilane (TEOS). Dalam reaksi hidrolisis prekursor direaksikan dengan air yang mengandung katalis, alkohol ditambahkan sebagai co-solvent. Tahap
11 hidrolisis merupakan tahap pembentukan gugus silanol (Si-OH) dengan melepaskan alkohol atau H 2 O sebagai by product, kemudian dilanjutkan dengan kondensasi membentuk gugus siloxane (Si-O-Si). Partikel silika amorphous yang dapat dihasilkan dengan metoda sol-gel berdiameter 5-10 nm (Ester et al.2005). Substrat TEOS juga digunakan dalam pembuatan thin-film dari silika dengan metoda vacum ultraviolet radiation (Takezoe et al. 1999). Adamson (2004) membuat lapisan tipis silika secara kimia dengan surfaktan dan TEOS sebagai prekursor, tetap memerlukan template untuk dasar lapisan tipis tersebut, namun juga dapat dilakukan tanpa template. Proses sintesis silika secara kimia baik dengan temperatur rendah maupun temperatur tinggi memerlukan prekursor, katalis dan template. Penggunaan ke tiga unsur tersebut juga ditemukan dalam pembuatan polimer silika secara in vitro menggunakan katalis biologi protein atau sering disebut sebagai proses biosilika yang berasal dari organisme penghasil silika.
Biosilika Silika juga diproduksi oleh banyak organisme termasuk binatang dan tumbuhan tinggi, bakteri, protista, tanaman, invertebrata maupun vertebrata. Mineral silika yang terjadi di alam menunjukkan sifat fisik dan memiliki derajat hidrasi dengan struktur yang bervariasi. Selain itu, pembentukannya berada di bawah kondisi sekelilingnya dengan pH netral dan suhu rendah kira-kira 4-40º C (Perry 2003). Menurut Perry (2003), biosilika oleh organisme dapat terjadi secara intraseluler atau ekstraseluler di suatu organel khusus yang juga terdapat karbohidrat, lipid dan protein. Organel khusus tempat terdepositnya silika dan pembentukannya disebut silica deposition vesicle yang dimiliki oleh diatom (Kröger et al. 1999), sedangkan vakuola sel sclerocytes yang terletak di jaringan mesophyl merupakan tempat terdepositnya asam silikat untuk membentuk spikula silika pada spons (Brusca & Brusca 1990). Diatom merupakan penyumbang terbesar silika di alam karena sebagian besar selnya mengandung silika sebagai penyusun utama dinding sel endoskeleton maupun eksosekeleton. Biota lain yang mengandung silika sebagai bagian penyusun organ atau jaringan adalah dari kelompok Serealia, Sponge dan
12 Radiolaria. Dinding sel diatom silicaseous mengandung silika amorf atau opaline 96.5%, berpola teratur rapi (ornicate) dan berpori dengan skala nanometer. Gambar 2 memperlihatkan struktur dinding sel dari jenis diatom berbeda.
A
B
Gambar 2 Struktur dinding sel silicaseous dari jenis diatom yang berbeda. A. Diatom Cymathoneis sp. B. Diatom Anorthoneis sp (Round et al. 1990) Pembentukan silika sebagai bagian dari penyusun endo mapun eksoskeleton terkait dengan pembelahan sel itu sendiri. Menurut Kröger & Wetherbee (2000), mekanisme pembentukan dinding sel silicaseous dimulai pada awal sitokinesis. Menurut Kröger & Wetherbee (2000), secara umum mekanisme pembelahan sel meliputi sitokinesis, perluasan valve SDV, eksositosis, pemisahan sel dan pertumbuhan sel. Pada tahap sitokinesis, sitoplasma terbagi menjadi 2 bagian masing-masing mengandung ruangan khusus yang disebut valve SDV yang merupakan tempat terdepositnya silika, dilanjutkan dengan perluasan valve SDV sebagai calon valve baru. Perluasan ini akan memperjelas pemisahan sitoplasma, kemudian dilanjutkan dengan tahap eksositosis yakni menuju pemisahan sel. Pada tahap ini, valve SDV yang mengalami perluasan akan menjadi calon valve. Selanjutnya diikuti terbentuknya girdle band SDV yang diikuti proses diferensiasi membentuk girdle band baru selama tahap pertumbuhan sel. Tahap pembentukan girdle band baru diikuti dengan pematangan valve SDV atau diferensiasi menjadi valve baru dan akhirnya membentuk sel utuh baru hasil pembelahan dengan dinding sel silicaseous (Kröger & Wetherbee, 2000). Gambar 3 memperlihatkan
13 proses pembentukan dinding sel ketika sel mengalami pembelahan dalam siklus sel diatom.
Replikasi DNA
sitokinesis
SDV ekspansi Pertumbuh an sel
eksositosis Pemisahan sel
Gambar 3 Pembentukan dinding sel silicaseous dalam siklus sel diatom (Kröger & Wetherbee, 2000).
Silika yang terbentuk sebagai penyusun dinding sel diatom merupakan salah satu contoh peristiwa biologi organisme yang memanfaatkan langsung komponen disekitarnya untuk menyusun bagian tubuhnya. Menurut Poulsen & Kröger (2004), selama terjadi evolusi, diatom dan organisme penghasil silika lain seperti spons dan radiolaria memerlukan asam monosilikat Si(OH) 4 yang ada di habitat untuk pembentukan struktur yang spesifik pada setiap endo dan eksoskeleton. Asam silikat Si(OH) 3 O- yang banyak terdapat diperairan laut ditransport secara aktif masuk ke dalam appratus golgi. Dari apparatus golgi ini asam silikat masuk ke dalam organel yang disebut a small silicon-laden vesicle oleh mikrofilamen (Lee 1989). Hildenbrand et al. (1998) menemukan bahwa mikrofilamen tersebut adalah sejenis protein transporter yang memiliki atom Na+
14 yang disebut protein silica transpoter. Selanjutnya a small silicon-laden vesicle menjadi silica deposition vesicle (SDV) yakni organel yang mempolimerisasi asam silikat menjadi polimer silika. Di dalam SDV asam silikat mengalami reaksi kondensasi dengan gugus hidroksi dari suatu protein. Kröger et al. (1997) dan Kröger et al. (1999) memastikan adanya peran molekul organik yang terlibat dalam pembentukan silika di dalam SDV. Mereka berhasil mengisolasi serta mengkarakterisasi sebagai satu set peptida polikationik berberat molekul rendah dan peptida berberat molekul tinggi. Selain itu ada komponen lain yakni non protein rantai poliamin panjang dengan rantai spesifik yang berperan dalam penyusunan pola silika (Sumper 2002). SDV silicaseous dalam pertumbuhan sel diatom mengalami perluasan dan bergabung dengan silicalemma membentuk jaringan skeletal yang diduga melibatkan protein trans-silicalemma dan elemen skeletal (Lee 1989). Mekanisme pemindahan silika menjadi dinding sel silicaseous belum jelas meskipun telah diketahui sebagian dari komponen yang terlibat biosilifikasi diatom (Sumper & Kröger 2004).
Protein yang Terlibat dalam Biosilika Diatom Kröger et al. (1997) telah menemukan adanya protein yang terlibat dalam pembentukan silika dari diatom Cylindrotheca fucifomis yang kemudian dikenal dengan protein silaffin. Protein tersebut bertanggungjawab pada tingkat molekuler dalam membentuk struktur silika berukuran nano dari asam silikat (silikon) di dalam lingkungannya. Protein silaffin sangat kuat terikat dengan silika dan hanya ditemukan di dalam SDV yang telah terintegrasi menjadi dinding sel. Protein silaffin diatom Cylindrotheca fuciformis terdiri tiga polipeptida yaitu silaffin 1A (4 kDa), silaffin 1B (8 kDa) dan silaffin 2 (17 kDa), serta komponen non-protein yakni poliamin (<3,5 kDa). Hasil analisis sekuens protein menunjukkan silaffin 1A terdiri dari dua campuran peptida yang sama dan disebut silaffin 1A1, 1A2, masing-masing
mengandung 15 dan 18 asam amino dan
memiliki homologi sekuens yang cukup tinggi dengan silaffin 1B. Poulsen & Kröger (2004), mengkarakterisasi protein silaffin diatom Thalassiosira pseudonana dan Cylindrotheca fuciformis. Protein silaffin T.
15 pseudonana mengandung 5 peptida, yakni tpSil 1H (35 kDa), tpSil 2H (35 kDa), tpSil 1L (19 kDa), tpSil 2L (18 kDa) dan tpSil 3 (35 kda). Peptida tpSil 1H dan 2H mempunyai berat molekul yang lebih tiggi dari tpSil 1L dan 2L. Analisis sekuen N-terminal terhadap 5 protein silaffin utama dari T. pseudonana ternyata tidak homolog dengan protein silaffin C. fucifrmis, namun mempunyai kemiripan komposisi asam amino. Protein tpSil 1 & 2H mempunyai komposisi asam amino yang tidak jelas karena banyaknya asam amino yang tidak teridentifikasi dan mengandung campuran 2 peptida yang mempunyai sekuen berbeda sama sekali. Pada tpSil 1L dan 2L merupakan sekuen yang mirip, namun juga mengandung asam amino yang tidak teridentifikasi. Spons juga memiliki silika yang juga dikontrol oleh protein yang disebut protein silicatein. Menurut Shimizu et al. (1998), protein silicatein dari spons Tethya aurantia terdiri dari 3 protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α, β dan γ. Tiga protein tersebut sebagai protein isomer, karena satu subunit mampu melakukan reaksi katalis dan susunan asam aminonya juga hampir sama. Hasil sekuen silicatein α mempunyai kemiripan yang tinggi dengan famili cathepsin-L. Tiga ratus tiga puluh satu asam amino yang menyusun silicatein didominasi oleh residu serin, tirosin dan treonin (Shimizu et al.1998). Protein silicatein yang diisolasi dari spons Suberitas domuncula mempunyai 79% kemiripan dengan silicatein T. aurantia, tersusun atas 331 asam amino dengan berat molekul 36. 30 kDa dan 23. 12 kDa (Krasco et al. 2000).
Pembentukan Silika secara In Vitro Menggunakan Katalis Protein Kröger et al. (1999), menunjukkan bahwa protein silaffin Cylindrotheca fuciformis secara in vitro mampu menghasilkan silika nanosphere pada pH < 7 dan temperatur ruang ketika ditambahkan larutan asam silikat dalam beberapa detik. Lebih lanjut diungkapkan bahwa protein silaffin Sil 1A mampu secara tunggal menghasilkan silika nanosphere berdiameter 500-700 nm, sedangkan hasil katalisis menggunakan protein silaffin Sil 2 menghasilkan silika nanosphere berdiamter kurang dari 50 nm.
16 Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil Scanning Electron Microscope (SEM) perbedaan presipitasi silika nanosphere yang dihasilkan dari protein silaffin Sil 1A dan protein silaffin Sil 2 dari hasil isolasi C. fuciformis. Jumlah presipitasi silika tergantung dari yang ditambahkan. Sedangkan Poulsen et al. (2003) menjelaskan bahwa protein silaffin Sil 2 tidak berkontribusi dalam pembentukan silika tetapi diduga hanya memiliki peran regulasi aktivitas Sil 1A sehingga presipitasi silika yang dihasilkan memiliki struktur pori yang tidak beraturan.
A
B
Gambar 4 Hasil SEM presipitasi silika yang terbentuk dari protein sil 1A (A) dan (B) gabungan Sil 1A dan Sil 2 dari C. fuciformis (Kröger et al. 1999)
Gambar 5 Hasil SEM presipitasi silika dengan pori tak beraturan menggunakan protein silaffin gabungan natSil 2 dan natSil 1A dari C. fuciformis (kiri ke kanan : rasio semakin kecil) Reaksi in vitro menggunakan substrat TEOS dengan mengkombinasikan fraksi-fraksi dari protein silaffin T. pseudonana sebagai katalis menghasilkan berbagai struktur seperti silika spherical (diameter 230 nm); silika porous sheet (susunan pori tidak teratur dan bentuk yang tidak seragam, diamter 20-200 nm); silika plates of densely packed (partikel silika kecil dan besar); dan silika sphere
17 polydisperse (diameter dari 900 nm hingga 4,2 μm) (Poulsen et al. 2003). Struktur silika yang terbentuk tergantung jenis peptida silaffin yang menyusun dan keterlibatan long-chain polyamin (Poulsen & Kröger 2004). Hasil penelitian Manurung et al. (2007), memperlihatkan protein biosilika yag diisolasi dari diatom C. gracilis mampu mengkatalisa pembentukan silika sphere dalam waktu 10 menit menggunakan TEOS yang dihidrolisis dengan asam klorida sebagai substrat. Menurut Poulsen et al. (2003), protein pada mekanisme biosintesis silika bertindak sebagai template dan asam monosilikat hasil hidrolisis TMOS (Tetramethoxyorthosilicate) bertindak sebagai prekursor. Berdasarkan mekanisme polimerisasi yang diajukan oleh Poulsen & Kroger (2004) dan Shimizu et al. (1999), katalis protein silicatein dan silaffin memiliki keistimewaan karena selain sebagai katalis juga menjadi tempat melekatnya silika yang terbentuk sebagai hasil polimerisasi atau bertindak sebagai template.
Silika dan Aplikasinya dalam Bidang Pangan Menurut Singh (1979), sudah sejak lama silika sebagai fosil diatom di dasar laut yang disebut tanah diatomite mempunyai pori-pori yang ideal untuk filter oil dan sebagai clearing solvent, demikian juga untuk industri yang memerlukan filtration devices untuk industri minuman. Tanah diatom atau diatomite atau diatomaceous earth atau kieselguhr dieksplorasi sebagai bahan pembuatan pasta gigi, metal polishes dan sebagai absorben liquid nitroglycerins dalam pembuatan dinamit (Lee 1989). Oleh karena sifat yang tidak membahayakan bagi kesehatan terutama yang berbentuk amorf, mempunyai daya serap tinggi, berpori halus dan secara kimia stabil banyak dimanfaatkan di dalam industri pangan terutama banyak digunakan sebagai filtering agent yang banyak ditemui di industri minuman seperti beer dan wine. Menurut Sumper & Kröger (2004) berdasarkan sifat struktur nanosilika pada dinding sel diatom ini dapat berfungsi sebagai filtrasi. Apabila dapat mengidentifikasi dan menyeleksi sifat dinding sel diatom, akan berpeluang membuat membran dari frustule dinding diatom dengan struktur yang poriporinya sesuai dengan kebutuhan. Dalam bidang pangan, sistem filtrasi
18 merupakan aspek yang menentukan untuk produk yang tidak tahan panas. Sistem filtrasi yang digunakan biasanya menggunakan membran ultrafiltrasi. Salah satu alat analitik untuk bidang pangan penting saat ini adalah biosensor, yakni suatu alat deteksi yang menggunakan agen biologi dan sensing. Biosensor membutuhkan suatu komponen yang dapat merespon sesuai ukuran molekul targetnya yang disebut biochip. Penggunaan struktur nanosilika akan meningkatkan respon sensornya karena bersifat highly refractive native (Tamiya et al. 2005). Silika yang bersifat fiber optic dalam biosensor merupakan transducer yang mengirimkan sinyal kimia ke sinyal elektrik untuk menghasilkan secara proposional konsentrasi yang menjadi target deteksi (Turner & Newman 1989). Bahan nanokomposit silika dan emas merupakan elemen pelapis pada tip nanosensor yang berbahan serat optik. Pelapis komposit silica-gold merupakan nanosensor devises yang penting untuk mengurangi pantulan cahaya (Dinh 2005). Industri pengemasan makanan silika dimanfaatkan dalam pengembangan sensor dan elektronik pada lapisan transistor thin berbasis thin-film silico. Lapisan ini untuk melapisi material kemasan seperti kertas dan plastik, sehingga secara aktif menjaga kesegaran dan kondisi produk.
Asam Lemak dan Biosintesis Polyunsaturated Fatty Acid Diatom
Diatom merupakan salah satu kelas mikrolga yang berpotensi menghasikan asam lemak. Komposisi asam lemak diatom beragam dari rantai pendek hingga tantai panjang, dari asam lemak jenuh (saturated fatty acid) hingga rantai panjang dengan banyak ikatan rangkap atau polyunsaturated fatty acid. Telah diketahui, diatom dikenal menghasilkan PUFA EPA dan DHA yang tinggi. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap berbagai jenis diatom, menunjukkan konsentrasi rata-rata EPA adalah 0.6 hingga 40.7% dari total asam lemak dan DHA 0.1-6.6 % dari total asam lemak (Dunstan et al. 1994). Kemampuannya menghasilkan asam lemak EPA dan DHA tinggi terkait selain diatom memiliki lipid sebagai cadangan makanan, mensintesis PUFA rantai panjang (long chain PUFA atau LC-PUFA) secara de novo. Kemampuan seperti
19 ini terkait dengan mekanisme sintesisnya yang secara genetis memiliki protein enzim yang mensintesis hingga PUFA DHA.
Biosintesis Asam Lemak PUFA adalah asam lemak dengan jumlah atom C minimal 20 dan mempunyai ikatan rangkap lebih dari satu dalam bentuk cis (Gurr et al. 2002). Diatom merupakan organisme fotoautotrof yang menggunakan karbondioksida sebagai satu-satunya sumber karbon untuk membentuk molekul organik baik glukosa, protein, lipid dan lain-lain. Sintesis asam lemak diatom dan mikroalga lain secara umum mempunyai kesamaan dengan tumbuhan. Pembentukan asam lemak tersebut mutlak menggunakan asetil KoA yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Proses tersebut terjadi di dalam plastida, yakni suatu organel sel tumbuhan yang mengandung pigmen penangkap cahaya. Plastida diatom dengan pigmen karotenoid dominan menangkap cahaya untuk menghasilkan energi ATP & NADPH yang akan digunakan untuk mereduksi karbondioksida membentuk glukosa. Piruvat yang dihasilkan dalam proses akhir glikolisis pindah ke mitokondria untuk menghasilkan asetil KoA karena keberadaan piruvat dehidrogenase, kemudian diikuti secara spontan pembebasan asam asetat yang dikatalisis oleh enzim asetil KoA thioesterase. Asam asetat yang terbentuk keluar dari mitokondria dan dikatalisa oleh enzim asetil KoA sintetase bersama energi ATP membetuk asetil KoA. Asam asetat merupakan substrat pembentukan asetil KoA yang merupakan kunci pembentukan asam lemak (Yap & Chen 2001). Asam asetat sebagai substrat pembentuk asetil KoA di dalam diatom merupakan mekanisme yang mirip pembentukan asetil KoA pada tumbuhan dalam sintesis asam lemak. Namun diatom Cyclotella cryptica, menggunakan asam sitrat sebagai prekursor asetil KoA, karena ditemukan enzim sitrat sintase yang mengkatalisa terbentuknya asetil KoA (Roessler 1988). Dalam proses fotosintesis, karbon dioksida difiksasi oleh enzim asetil KoA karboksilase menggunakan asetil KoA dan energi yang diperoleh (ATP dan NADPH) secara bertahap menghasilkan propionil-KoA dan butiril-KoA kemudian berlanjut menjadi malonil KoA melalui enzim karboksiltransferase (Moat & Foster 1995).
20 Dari malonil KoA selanjutnya terjadi rangkaian reaksi yang membentuk rantai panjang asam lemak C18 (asam stearat). Acyl Carrier Protein (ACP) bersama propionil KoA membentuk malonil-ACP yang dikatalisa oleh enzim transasilase malonil-KoA-ACP. Selanjutnya malonil-ACP dengan asetil ACP dikatalisa oleh β-ketoasil-ACP sintase menghasilkan diketobutiril-ACP, yang direduksi dengan penambahan NADPH dan ketoasil- ACP reduktase sehingga membentuk
B-hidroksibutiril-ACP.
Enzim
β-hidroksiasil-ACP
dehidrase
kemudian mengkatalisa pembentukan butinil-ACP dari β-hidroksibutiril-ACP, selanjutnya dikatalisa oleh enoyl-ACP reduktase membentuk butanoil-ACP. Pada tahap ini selanjutnya pembentukan rantai panjang asam lemak dilakukan kembali bersama asetil-ACP dan β-ketoasil-ACP-sintase. Kompleks enzim untuk mengkatalisa penambahan dua atom C adalah enzim kompleks
fatty acid
synthase (Yap & Chen 2001). Kompleks enzim fatty acid synthase ini merupakan enzim yang berfungsi seperti lengan panjang yang memfiksasi substrat dan meneruskan dari pusat reaksi ke pusat reaksi lainnya. Pada tumbuhan dan kelompok alga, rangkaian proses panjang yang dilakukan oleh enzim fatty acid synthase berlangsung berulang kali hingga diperoleh asam lemak stearat (18:0). Asam stearat menjadi awal pembentukan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap atau monounsaturated fatty acid (MUFA). Pembentukan asam lemak tidak jenuh dan seterusnya dalam pembentukan asam lemak dengan rantai lebih panjang dan lebih tidak jenuh menggunakan proses desaturasi dan elongasi. Kedua proses tersebut melibatkan enzim desaturase dan elongase. Pembentukan asam oleat (18:1) merupakan proses desaturasi dari enzim desaturase Δ9 pada asam stearat (18:0). Asam oleat inilah selanjutnya menjadi prekursor pembentukan PUFA baik omega 9, 6 dan 3 (Yap & Chen 2001). PUFA dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu omega-3 (ω3), omega-6 (ω-6), omega-7 (ω-7), dan omega-9 (ω-9). Omega-3 dan omega-6 merupakan golongan yang paling dominan pada mikroalga (Chen & Jiang 2000).
Biosintesis PUFA MUFA diatom merupakan bagian dari proses panjang pembentukan PUFA yang diinisiasi melalui proses fotosintesis yang berlangsung di dalam plastida.
21 Dengan terbentuknya prekursor asam oleat, mekanisme pembentukan asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) selanjutnya dikatalisa oleh enzim kompleks desaturase dan elongase melalui proses desaturasi dan elongasi. Pada mikroalga proses desaturasi merupakan proses aerobik (Gurr et al. 2002). Desaturasi merupakan reaksi penambahan ikatan rangkap yang melibatkan enzim-enzim desaturase sedangkan elongasi merupakan reaksi penambahan atom C yang melibatkan enzim elongase (Lobb 1992). Organisme tingkat rendah misalnya alga, mempunyai kemampuan mendesaturasi rantai asam lemak seperti organisme tingkat tinggi dan proses desaturasi dan elongasinya memiliki aktivitas yang berurutan untuk mensintesis berbagai jenis PUFA (Yap & Chen 2001). Gambar 6 memperlihatkan jalur sintesis PUFA pada umumnya mikroalga. Asam oleat (18:1Δ9) didesaturasi oleh enzim desaturase Δ12 membentuk asam linoleat (LA, 18:2Δ9,12) dilanjutkan oleh enzim desaturase Δ15 membentuk asam α-linolenat (ALA, 18:Δ9,12,15). LA merupakan prekursor keluarga PUFA omega 6 rantai lebih panjang, sedangkan ALA merupakan prekursor keluarga PUFA omega 3 rantai lebih panjang dan PUFA lebih panjang akan diproduksi oleh serangkaian aktivitas desaturasi dan elongasi dari prekursor-prekursornya (Yap & Chen 2001). Kemampuan yang dimiliki mikroalga tersebut dikarenakan keberadaan sejumlah enzim yang berperan dalam proses desaturasi dan elongasi (Yap & Chen (2001), namun jalur metabolisme sintesisnya belum jelas diketahui seperti pada tanaman atau hewan (Domergue et al. 2002). Arao dan Yamada (1994) melaporkan ada 7 hipotesis biosintesis EPA diatom Phaeodactylum tricornutum, yang diawali dengan substrat asam oleat (18:1Δ9, ω9) dengan metode analisis menggunakan penelusuran radiolabeling pada asam acetat([1-14C] asam acetat) untuk melihat asam lemak yang disintesis selama pertumbuhannya (Gambar 7). Begitu juga dengan Khozin et al. (1997) melaporkan ada 4 jalur hipotesis biosintesis EPA pada Porpyridium cruentum, dengan metode labeling ([1-14C] asam linoleat. Domergue et al. (2002), juga menggambarkan kemungkinan jalur sintesis EPA diatom P. tricornutum berdasarkan enzim yang ditemukan, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Jalur biosintesis yang terdapat pada diatom tersebut
22 masih merupakan hipotesis yang melibatkan enzim elongase Δ9 dan desaturase Δ8 untuk membuat jalur sintesis EPA melalui omega 3 asam eikosatrienoat (20:3Δ11,14,17) seperti yang digambarkan dengan anah panah putus-putus pada Gambar 8. Asam stearat 18;0 desaturase Δ9
Asam oleat 18:1Δ9
Desaturasi
desaturase Δ12
Asam linoleat 18:2Δ9,12
desaturase Δ15
Asam α-linolenat 18:3Δ9,12,15
desaturase Δ6
desaturase Δ6
Asam oktadekadienoat 18:2∆ 6,9
Asam γ-linolenat 18:3Δ6,9,12
desaturase Δ6
Asam oktadekatetraenoat 18:4Δ6,9,12,15
Elongasi + C2 Eicosadienoic acid 20:2Δ8,11
Desaturasi
Asam Dihomo-γ-Linolenat 20:3Δ8,11,14 desaturase Δ5
desaturase Δ5
Asam eikosatrienoat 20:3Δ5,8,11
Asam eikosatetraenoat 20:4Δ8,11,14,17
desaturase Δ5
desaturase Δ17
Asam arakidonat 20:4Δ5,8,11,14
Asam eikosapentaenoat 20:5Δ5,8,11,14,17
Elongasi + C2 Asam aurenat 22:4Δ7,10,13,16 Desaturasi
Keluarga omega 9
Asam dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16,19
desaturase Δ4
Asam Dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16
Asam Dokosaheksaenoat 22:6Δ4,7,10,13,16,19
Keluarga omega 6
Keluarga omega 3
Gambar 6 Biosintesis keluarga PUFA omega 9,6 dan 3 dari mikroalga (Yap & Chen 2001)
23
Jalur I : 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3) 20:5 (ω-3) Jalur II : 20:3 (ω-6) 20:4 (ω-6) 20:5 (ω-3) Jalur III: 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3) 18:4 (ω-3) 20:4 (ω-3) 20:5 (ω-3) Jalur IV: 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) Jalur V: 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-6) Jalur VI: 20:3 (n-3) 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-6) Jalur VII: 18:1(n-9) 18:2 (n-6) 20:1(n-9) 20:2 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3)
Gambar 7 Hipotesis biosintesis EPA P. tricornutum (Arao & Yamada (1994) 18:0 desaturase Δ9
18:1Δ9 desaturase Δ12
18:2Δ9,12
desaturase Δ6
desaturase ω3
18:3Δ6,9,12 elongase Δ6
18:3Δ9,12,15 desaturase ω3
20:3Δ8,11,14 desaturase Δ5
20:4Δ5,8,11,14 desaturase ω3
elongase Δ9
18:4Δ6,9,12,15 elongase Δ6
20:4Δ8,11,14,17 desaturase Δ5
20:3Δ11,14,17 desaturase Δ8
20:5Δ5,8,11,14,17 Gambar 8 Hipotesis biosintesis EPA diatom P. tricornutum. Tanda anak panah putus-putus menunjukkan jalur yang tidak biasa ditemui pada diatom (Domergue et al. 2002).
BAHAN DAN METODE Tahap-tahap penelitian dan hasil yang diharapkan dalam peneltian ini secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 9. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap yang meliputi tahap pertama analisis protein dan lipid Chaetoceros gracilis selama pertumbuhan, tahap kedua identifikasi asam lemak selama pertumbuhan C. gracilis dan tahap yang terakhir adalah analisis 2 dimensi protein dan studi bioinformatika. TAHAP I Analisis protein dan lipid selama pertumbuhan C. gracilis
Pola protein dan lipid selama pertumbuhan C. gracilis
Komposisi asam lemak C. gracilis
TAHAP II Identifikasi asam lemak
• Karakteristik protein keseluruhan • Jenis dan karakteristik protein
TAHAP III Elektroforesis 2- Dimensi
yang terlibat dalam biosintesis
dan Studi bioinformatika
silika dan PUFA C. gracilis • Jalur biosintesis PUFA C.gracilis
Gambar 9 Skema garis besar penelitian
Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap. Kultur diatom diawali di laboratorium Marikultur, Pusat Penelitian dan Pengkajian Oseanografi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Jakarta. Preparasi protein dilakukan di laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia dan juga di laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Ekstraksi lipid dan analisis komposisi asam lemak di laksanakan di laboratorium Kimia Pangan Seafast Center IPB dan laboratorium Kimia Lembaga Ilmu
25 Pengetahuan Indonesia-Bandung. Analisis 2 dimensi dilakukan di laboratorium Biokimia dan Teknologi Enzim, Fakultas Teknobiologi Universitas Katolik Atmajaya-Jakarta dan laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Diatom Chaetoceros gracilis merupakan organisme yang menjadi objek penelitian studi protein diperoleh sebagai kultur murni dari Pusat Penelitian dan Pengkajian Oceanologi-LIPI yang diambil dari perairan Teluk Jakarta Indonesia. Medium kultur modifikasi f/2 Guilard meliputi makronutrien (NaNO 3 , NaH 2 PO 4 .2H 2 O, Na 2 SiO 3 .9H 2 O), mikronutrien (FeCl3 .6H 2 O dan Na 2 EDTA), dan vitamin (B1, B12, biotin) serta trace metal (CuSO 4 .5H 2 O, ZnSO 4 .7H 2 O, NaMoO 4 .2H 2 O, (NH 4 ) 6 Mo 7 O 24 .4H 2 O, MnCl2 .4H 2 O, 0.6 µM CoCl2 .6H 2 O). Perangkat kultur sistem batch dilengkapi dengan sumber cahaya, pengatur waktu dan aerator. Ekstraksi protein total menggunakan bahan kimia yang terdiri dari Tris-Cl pH 6.8 SDS, EDTA, aseton, HF, NH 4 F. Pengukuran kadar protein menggunakan metode Bradford dengan pelarut yang terdiri dari etanol, asam fosforat, Serva Blue G dan dibaca menggunakan Spektrofotometer UV. Ekstraksi lipid dan analisi komposisi asam lemak menggunakan CHCl3 , KOH, MeOH, 20% BF3 /MeOH, NaCl, petroleum benzen, Na 2 SO4, gas N 2 , heksan dan isooktan. Identifikasi asam lemak menggunakan Gas Chromatograph Mass Spectrophotometer QP-5000. Analisis 2 dimensi terdiri dari preparasi protein, elektroforesis 1 dimensi dan 2 dimensi. Bahan kimia yang digunakan meliputi Tris-Cl pH 7.5, MgCl2 , KCl, EDTA, PMSF, Triton X-100, TCA; urea, Triton X-100, β-merkaptoetanol, ampholine pH 3-10, SDS, Tris-HCl pH 8.8, gliserol, DTT, iodoasetamida. Elektroforesis 1 dimensi menggunakan peralatan Protean IEF-Biorad, sedangkan elektroforesis 2 dimensi menggunakan peralatan Mini Elektrophoresis SDSPAGE-Biorad. Pewarnaan gel hasil 2 dimensi menggunakan pewarnaan Coomassie blue yang mengandung Coomassie blue R-250, metanol dan asam asetat glasial. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan kimia dengan kategori analysis grade. Hasil elektroforesis 2 dimensi
26 dipindai menggunakan High Resolution Scanner – Image Scanner (Amersham Pharmacia Biotech). Karakterisasi protein dilakukan menggunakan perangkat lunak Melanie 7.0 (http://www.genbio.com/product/melanie/processDownloadForm.php). Identifikasi
protein
menggunakan
program
TagIdent
(http://www.
expasy.
proteomic.tools).
Penelitian Tahap I Penelitian tahap pertama adalah kultivasi C. gracilis dalam kultur sistem curah atau batch dengan kondisi yang diterapkan. Kultur sistem batch adalah sistem kultur dalam suatu media dan kondisi lingkungan yang terbatas dalam periode waktu tertentu. Setelah pelet sel dikumpulkan, selanjutnya dilakukan analisis baik kandungan seluler protein total termasuk protein silaffin maupun analisis kandungan seluler lipid selama pertumbuhan C. gracilis. Skema penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10.
Kultur murni C. gracilis
Kultivasi dalam medium modifikasi f/2 Guilard
Analisis kandungan seluler protein total dan protein silaffin
Analisis kandungan seluler lipid
HASIL Profil protein dan lipid selama pertumbuhan C. gracilis
Gambar 10 Skema penelitian tahap I
27 Kultivasi Diatom C. gracilis Media pertumbuhan yang digunakan untuk menumbuhkan C. gracilis adalah media f/2 Guillard (Round et al. 1990) yang dimodifikasi oleh P3O-LIPI sebagai kurator. Medium f/2 mengandung air laut alami yang ditambah dengan sejumlah mineral dengan komposisi makronutrien 0.99 mM NaNO 3 , 0.07 mM NaH 2 PO 4 .2H 2 O, 5.3 µM Na 2 SiO 3 .9H 2 O; mikronutrien 5.4 µM FeCl3 .6H 2 O dan 26.9 µM Na 2 EDTA serta vitamin yang terdiri dari 0.6 µM vitamin B1, 0.001 µM vitamin B12, 0.004 µM biotin serta trace metal 0.8 µM CuSO 4 .5H 2 O, 2.1 µM ZnSO 4 .7H 2 O, 0.5 µM NaMoO 4 .2H 2 O, 0.005 µM (NH 4 ) 6 Mo 7 O 24 .4H 2 O, 18.2 µM MnCl2 .4H 2 O, 0.6 µM CoCl2 .6H 2 O. Media kultur diatur pada pH 8 dan salinitas 28‰. Diatom C. gracilis dikulturkan dalam kultur sistem batch dengan suhu 16-19 °C, inokulum 105sel/ ml, aerasi secara kontinyu dan pencahayaan sebesar 4000-5000 lx dilakukan dengan periode 12 jam terang:12 jam gelap. Pertambahan sel diatom dimonitor
setiap
hari dengan
menggunakan kotak
hitung
Haemocytometer Neubauer. Hasil penghitungan sel diplot sebagai sumbu y dan waktu dalam hari sebagai sumbu x untuk pembuatan grafik kurva pertumbuhan.
Ekstraksi Protein Total (Rousch et al. 2004) Protein keseluruhan sel adalah protein yang diperoleh dari ekstraksi seluruh sel. Pelet biomasa sel C. gracilis yang diperoleh, diresuspensi dengan larutan bufer yang mengandung 100 mM Tris-HCl, pH 6.8 dan 4% SDS, kemudian dididihkan untuk mengekstrak protein terlarut. Hasil ekstraksi selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14 000 xg, suhu 4°C selama 30 menit untuk memisahkan material yang tak larut. Filtrat yang diperoleh, disiapkan untuk analisis kadar protein terlarut.
Ekstraksi Protein Silaffin (Kroger et al. 1999) Protein silaffin terletak di dalam SDV yang telah terintegrasi dengan dinding sel diatom, sehingga untuk memperolehnya perlu mendapatkan dinding sel murni terlebih dahulu. Pelet sel diekstrak dengan 2% SDS/ 3.7% EDTA lalu dididihkan selama 15 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 9000 xg, suhu 4 °C,
28 selama 20 menit. Endapan yang diperoleh dicuci 2 kali dengan air bebas ion, dilanjutkan dengan aseton 2 kali dan diulang kembali dengan air bebas ion. Setelah proses pencucian kemudian dikeringudarakan, untuk memperoleh dinding sel silicaceous (frustule). Frustule yang telah diperoleh dilarutkan ke dalam bufer 2 M HF dalam 8 M NH 4 F (pH 5) pada suhu 4°C hingga tidak ditemukan adanya endapan. Larutan bufer dihilangkan dengan metode dialisis cut off 3 kDa dalam air bebas ion, suhu 4 °C, selama 4 jam yang dilakukan sebanyak 9 kali. Dialisat kemudian disentrifus dengan
kecepatan 10 000 xg, 20 menit, suhu 4 °C. Endapan protein yang
diperoleh disuspensi dengan air bebas ion lalu disimpan dalam suhu -4 °C.
Analisis Kadar Protein (Bollag & Edelstein 1991) Pengukuran kadar protein menggunakan metode Bradford dengan Bovine Serum Albumiun (BSA) sebagai standar. Sebanyak 100 µl filtrat protein direaksikan dengan 2 ml larutan Bradford diinkubasi sekitar 5 menit lalu diamati dengan spektrofotometer pada λ 595 nm.
Ekstraksi dan Kuantifikasi lipid (Dunstan et al. 1994) Pelet sel diatom yang diperoleh, diekstrak menggunakan sonikasi selama 3x3 menit pada 20 KHz (Soniprep 150 MSE) dalam larutan 5 ml CHCl3 -MeOHH 2 O (5:10:4). Campuran larutan tersebut lalu ditambah larutan CHCl3 -H 2 O (1:1) sehingga menjadi larutan CHCl3 -MeOH-H 2 O dengan perbandingan 10:10:9 sehingga terbentuk 2 fase. Fase kloroform dikumpulkan kemudian diuapkan dengan gas N 2 hingga kering dan ditimbang sebagai berat total lipid. Analisis lipid dilakukan setiap hari untuk memperoleh profil kandungan lipid sel selama pertumbuhan. Penelitian Tahap II Analisis Komposisi Asam Lemak (Dunstan et al. 1994) Analisis asam lemak dilakukan dari fase akhir eksponensial hingga fase kematian (berdasarkan profil lipid selama pertumbuhan). Gambar 11 merupakan skema langkah-langkah penelitian dalam tahap II.
29
LIPID (dari umur kultur terpilih) Saponifikasi (0.5 M KOH/ MeOH) Esterifikasi (20% BF3/ MeOH Identifikasi asam lemak (GC/MS)
HASIL Komposisi asam lemak selama pertumbuhan C. gracilis
Gambar 11 Skema tahap analisis komposisi asam lemak
Lipid yang diperoleh (Tahap I) disaponifikasi menggunakan prinsip hidrolisis kalium hidroksida dalam metanol (100 ml 0.5 M KOH/ MeOH), kemudian direfluk selama 5-10 menit untuk melepaskan asam lemak menjadi asam lemak bebas. Asam lemak yang telah dilepaskan selanjutnya diesterifikasi sehingga membentuk derivat metil ester dari asam lemak (Fatty Acid Methyl Esther = FAME). Setelah direfluk ditambahkan 5 ml 20% BF3 dalam MeOH. Larutan tersebut dididihkan sebentar kemudian ditambah sedikit isooktan pekat lalu dididihkan kembali. Tahap selanjutnya ditambah 20% NaCl, dikocok kuat dan sedikit dipanaskan hingga terbentuk 2 fase. Fase atas (isooktan dan lipid) diambil, dilarutkan dalam petroleum benzen (40-60 °C) dan disaring dalam corong pisah. Kemudian larutan petroleum benzene dicuci dengan akuades sampai bebas asam (untuk mengetahuinya dibantu dengan kertas lakmus universal). Fase petroleum benzene kemudian ditambahkan Na 2 SO4, disaring masuk ke dalam labu evaporator dan dilanjutkan evaporasi untuk menguapkan pelarutnya. Selanjutnya dikeringkan
30 dengan gas N 2 sehingga akan terbentuk metil ester. Metil ester yang terbentuk dilarutkan dalam isooktan konsentrasi 5% untuk identifikasi asam lemak menggunakan GC/ MS. FAME dalam pelarut isooktan sebanyak 1 µl diinjekkan pada CG/MS dengan kolom DB-17 (panjang 30 m, diameter 0,25 mm). Kondisi kolom dengan suhu injektor and detektor 250 °C, setelah 1 menit suhu dinaikan sampai 100 °C selama 3 menit, lalu dinaikkan 10 °C per menit hingga 230 °C dan ditahan selama 3 menit, dinaikkan terus hingga 260 °C, ditahan 10 menit. Tekanan gas 64.5 Kpa dan flow rate 1 ml menit -1. Penelitian Tahap III Penelitian tahap ke tiga merupakan tahap identifikasi dan karakteristisasi protein menggunakan analisis elektroforesis 2 dimensi. Protein hasil ekstraksi dilakukan separasi ke dalam titik isoelektrik (elektroforesis 1 dimensi) kemudian diekulibrasi sebelum dilakukan seperasi ke dalam berat molekul (elektroforesis 2 dimensi). Hasil elektroforesis 2 dimensi dideteksi dan diidentifikasi jenis protein target (yang terlibat dalam sintesis silika dan sintesis PUFA). Penelusuran jenis protein dilakukan berdasarkan studi bioinformatika. Secara khusus untuk protein yang teridentifikasi sebagai protein yang terlibat dalam sintesis PUFA digunakan untuk memprediksi jalur biosintesis PUFA bersama profil PUFA dari Penelitian Tahap II. Diagram alir tahapan Penelitian Tahap III dapat dilihat pada Gambar 12.
Analisis 2 dimensi (Phillips & Bogyo 2005) Analisis 2 dimensi dilakukan untuk memperoleh informasi protein yang dimiliki berdasarkan perkiraan berat molekul dan titik isoelektrik. Analisis 2 dimensi merupakan analisis dengan dasar elektroforesis gel poliaklilamid, sehingga juga sering disebut elektroforesis 2 dimensi. Secara teknis adalah suatu metode pemisahan protein kompleks ke dalam titik isoelektrik pada arah horisontal (isoelekteric focusing) dan berat molekul pada arah vertikal (SDSPAGE). Dengan menggunakan metode ini, protein dipisahkan sesuai dalam dimensi pertama (titik isoelektrik atau Isoelectric point (pI)) dan dengan BM pada
31 dimensi ke dua (SDS-PAGE). Analisis ini diawali dengan preparasi protein kemudian elektroforesis 1 dimensi, ekuilibrasi kemudian elektroforesis 2 dimensi.
EKSTRAK PROTEIN (dari umur kultur terpilih)
Elektroforesisi 1 dimensi : separasi titik isoelektrik
Tahap Ekuilibrasi
Elektroforesis 2 dimensi : separasi berat molekul
Studi bioinformatika protein terlibat dalam biosintesis silika dan PUFA Jenis dan karakteristik BM dan pI protein yang terlibat dalam biosintesis PUFA
Jenis dan karakteristik BM dan pI protein yang terlibat dalam biosintesis nanosilika
Profil asam lemak C. gracilis Jalur biosintesis PUFA
Gambar 12 Skema penelitian tahap III.
Preparasi Protein C. gracilis (Dőhler et al. 1995; Wang et al. 2003). Protein yang disiapkan untuk analisis 2 dimensi adalah protein total sel dan protein silaffin yang diekstrak dari silika dinding sel diatom. Yang dimaksud dengan protein total sel adalah protein yang diekstrak dari keseluruhan sel (the whole cell) diatom tersebut dan protein silaffin diekstrak dari silika dinding sel.
32 Pelet sel diatom diresuspensi dengan bufer sonikasi (50 mM Tris-Cl pH 7.5, 10 mM MgCl2 , 25 mM KCl, 1 mM EDTA, 0.5 mM PMSF, 0.1 mM Triton X-100, 0.1% β-merkaptoetanol. Sonikasi dilakukan secara diskontinyu 3x3 menit pada 20 KHz, 16 psi mikroamplitudo (Soniprep 150 MSE). Hasil sonikasi disentrifugasi dengan kecepatan 6000 xg, suhu 4°C, selama 30 menit. Filtrat yang diperoleh dipresipitasi dengan 10% TCA dalam aseton yang mengandung 0.07% βmerkaptoetanol selama semalam pada suhu sekitar -20°C. Endapan yang diperoleh dicuci beberapa kali dengan aseton mengandung 0.07% βmerkaptoetanol (Wang et al. 2003), dikeringkan dengan pengering vakum dan disimpan pada suhu -20 °C. Protein silaffin disiapkan seperti pada Tahap I kemudian dilanjutkan desalting dengan kolom HiTrap desalting 5 ml. Elektroforesis
1 dimensi. Tahap ini adalah tahap untuk memisahkan
protein berdasarkan titik isoelektriknya. Tahap pertama adalah merehidrasi gel strip. Gel yang digunakan adalah Ready Strip IPG Strips 7 cm pH 3-10. Metode rehidrasi yang digunakan adalah rehidrasi pasif, yakni protein sampel dilarutkan dalam bufer rehidrasi (Dohler et al. 1995) yang dimodifikasi (9.5 M urea, 2% Triton X-100, 5% β-merkaptoetanol dan 5% ampholine pH 3-10) dalam rehidration tray. Protein dalam bufer selanjutnya diinjekkan pada gel, didiamkan sekitar satu jam, ditutup mineral oil lalu diinkubasi dalam rehidration tray selama 11-16 jam pada suhu -65 °C. Gel yang telah direhidrasi dan mengandung sampel protein dipindahkan ke dalam focusing tray yang sebelumnya telah diberi electrode wick basah dan ditutup kembali dengan mineral oil. Gel dalam focusing tray kemudian dijalankan dalam PROTEAN IEF dengan voltase bertahap yakni: 250 V 20 menit, 400 V 6 jam dilanjutkan 800 V 2 jam dengan kondisi suhu 10 °C (Rousch et al. 2004). Setelah running selesai, gel dibekukan pada suhu sekitar -80 °C (Wang et al. 2003). Tahap Ekuilibrasi. IPG strip beku dari hasil elektroforesis 1 dimensi dicairkan dalam suhu ruang 10 menit, direndam bufer ekuilibrasi I (6 M urea, 2% SDS, 0.375 M Tris-HCl pH 8.8, 20% gliserol dan 130 mM DTT) selama 10-15 menit. Perendaman dilanjutkan dalam bufer ekuilibrasi II (6 M urea, 2% SDS, 0.375 M Tris-HCl pH 8.8, 20% gliserol dan 135 mM iodoasetamida) 1-3 jam.
33 Elektroforesis 2 Dimensi. Gel strip yang telah diekuilibrasi, diseparasi dengan menyisipkan gel strip tersebut di posisi gel penahan pada 10% gel separasi elektroforesis SDS-PAGE, dengan
voltase 150 V kurang lebih 80 menit.
Pewarnaan gel dilakukan dengan pewarna coomassie blue (Bollag & Edelstain 1991). Selanjutnya gel dipindai dengan 256 dpi (dot per inch) pada grey level. Prinsip kerja elektroforesis 2 dimensi dapat dilihat pada Gambar 13.
IEF IEF b e r a t m o l e k u l
Gambar 13 Prinsip kerja metode elektroforesis 2 dimensi (Phillips & Bogyo 2005) Estimasi Berat Molekul dan Titik Isoelektrik. Hasil pindai digunakan untuk mendeteksi noktah protein yang terekspresi menggunakan program Melanie 7.0. Hasil deteksi protein menggunakan program Melanie 7.0 menghasilkan noktah-noktah protein yang dapat diestimasi berat molekul dan titik isoelektrik berdasarkan titik koordinatnya. Titik koordinat noktah protein selanjutnya digunakan untuk memprediksi titik isoelektrik yang didasarkan pada rumus persamaan kurva standar titik isoelektrik (Lampiran 1a) (Bollag & Edelstain 1991). Untuk mengestimasi berat molekul berdasarkan rumus persamaan kurva standar berat molekul protein BSA (Low Molecular Weight) (Lampiran 1b). Studi
Bioinformatika.
Tahapan
ini
merupakan
tahapan
dalam
mengidentifikasi protein. Data berat molekul dan titik isoelektrik yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi noktah protein dengan program
34 TagIdent (http://www.expasy.proteomic.tools) yang dikombinasikan dengan informasi dari koleksi data protein yang terdeposit dalam pangkalan data UniProt Consortium (NCBI, SBI, PIR, EBI, EMBL) (http://www.uniprot.org). Noktah protein yang diketahui mendekati karakteristik BM dan pI protein target dari pangkalan data, dipilih untuk diidentifikasi menggunakan TagIdent. Informasi nilai BM dengan kisaran 20% dan nilai pI dengan kisaran 0.1% dari noktah protein yang akan diidentifikasi diinputkan di dalam golongan jenis enzim atau protein (desaturase atau elongase atau silaffin) dan kelompok organisme (Chaetoceros gracilis atau Chaetoceros atau diatom). Dengan memasukkan data tersebut, program TagIdent selanjutnya akan memberikan informasi balik seluruh protein yang termasuk dalam golongan yang dipilih dan berasal dari organisme yang dipilih tersebut. Selanjutnya jenis protein ditentukan berdasarkan kesamaan karakteristik protein dari pangkalan data. Hipotesis Jalur Biosintesis PUFA Jalur biosintesis PUFA C. gracilis diprediksi berdasarkan protein yang telah teridentifikasi terlibat dalam sintesis PUFA dan profil PUFA yang dimiliki C. gracilis. Metode untuk memprediksi jalur biosintesis PUFA berdasarkan kombinasi metode yang dilakukan oleh Nunn et al. (2009) dan Domergue et al. (2003). Nunn et al. (2009) memprediksi jalur biosintesis asam lemak menggunakan ekspresi protein yang diidentifikasi dari protein total diatom Thalassiosira pseudonana. Domergue et al. (2003), membuat hipotesis jalur biosintesis EPA berdasarkan gen yang mengkode protein enzim yang terlibat dalam sintesis asam lemak dan komposisi asam lemak pada fase eksponensial diatom Phaeodactylum tricornutum.
35 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Protein dan Lipid Chaetoceros Gracilis Selama Pertumbuhan dalam Sistem Kultur Curah (Batch Culture) Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pertumbuhan sel diatom dalam kultur curah (batch culture) memperlihatkan sel mengalami beberapa fase mulai dari fase adaptasi hingga fase kematian. Gambar 14 menggambarkan profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem kultur tersebut.
D
C
Densitas sel (log sel/ ml)
107
B
E
106
A 105
0
1
2
3
4
5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Umur kultur (hari)
A Fase lag , B Fase eksponensial/ logaritmik, C Fase deselerasi D Fase stasioner, E Fase kematian
Gambar 14 Profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem batch culture
Pada Gambar 14 menunjukkan profil pertumbuhan secara detail yang dialami C. gracilis ini, yakni sel tumbuh mengalami fase lag hingga fase kematian. Profil pertumbuhan yang dihasilkan dalam kultur ini menampakkan profil yang sama dengan mikroorganisme pada umumnya. Dalam taksonomi, diatom merupakan golongan mikroorganisme eukariotik (Round et al. 1990) yang dapat mempunyai profil pertumbuhan sigmoid. Secara detail profil pertumbuhan diatom C. gracilis
36 dalam penelitian ini, sera berurutan melewati fase lag hanya dalam 1 hari, fase eksponensial selama 3 hari. Setelah fase eksponensial, diatom ini mengalami fase deselarasi aratu retardasi atau sebagai fase declining growth rate (Becker 1994) selama 4 hari sebelum memasuki fase stasioner. Fase tersebut tergolong cukup lama terjadi pada C. gracilis. Fase yang demikian panjang ini juga terjadi pada kelompok mikroalga Dinoflagelata dan Gymnodinium (Mansour et al. 2003). Total lama waktu pertumbuhan C. gracilis yang dikulturkan dalam sistem batch dan kondisi lingkungan yang diberikan adalah 17 hari. Pada hari ke 18, sel tidak lagi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan sel diatom diamati berdasarkan laju pertumbuhan (µ) yang dapat digambarkan melalui pertambahan jumlah sel harian sebagai regresi linier dari konsentrasi sel log2 pada rentang waktu tertentu di fase eksponensialứjo (Ara & Garcia 2005). Laju pertumbuhan C. gracilis adalah sebesar 1.19 per hari. Taguchi et al (1987), diacu dalam Martin-Jézéquel et al. (2000), melaporkan bahwa C. gracilis yang dikulturkan dalam sistem batch dengan 12 jam terang: 12 jam gelap pada suhu 25 °C menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi (3.3 per hari) dan sebesar 3.21 pada pemberian cahaya terus-menerus pada suhu 22 °C. Untuk jenis diatom lain seperti C. muelleri yang ditumbuhkan dalam sistem kultur batch dengan cahaya terus menerus menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 0.68 per hari (Liang et al. 2006), C. affinis dikulturkan pada temperatur 8 °C (µ=1 per hari), temperatur 13°C (µ=1.6 per hari), 18 °C (µ=1.8 per hari) dan pada 30 °C (µ=1.3 per hari) (Paasche 1973, diacu dalam Martin-Jézéquel et al. 2000). Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa pada temperatur kultur 22 dan 25°C pada C. gracilis menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi, sedangkan pada C. affinis meskipun dikulturkan pada temperatur tinggi (30 °C) tidak menghasilkan laju pertumbuhan yang sama dengan C. gracilis. Dengan demikiam laju pertumbuhan diatom sangat dipengaruhi oleh oleh faktor lingkungan antara lain, temperatur kultur dan periode pencahayaan disamping jenis diatom. Nutrisi atau komponen medium
37 yang digunakan untuk mengkulturkan diatom juga menjadi faktor yang menentukan pertumbuhannya di dalam sistem batch. Komponen nutrisi yang paling penting dalam pertumbuhan diatom adalah nitrogen, phospor dan silikat. Nutrien tersebut berpengaruh terhadap laju pertumbuhan diatom apabila medium tidak mengandung unsur-unsur tersebut. Diatom C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium yang mengandung 0.07 mM fosfat dalam penelitian ini memiliki laju pertumbuhan sebesar 1.19 per hari, sedangkan penelitian Lombardi & Wangersky (1995), mengkulturkan C. gracilis dalam medium yang mengandung 20 µM fosfat menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi (2.13 per hari). Hal tersebut menunjukkan bahwa C. gracilis dapat tumbuh lebih baik dalam medium yang mengandung fosfat kecil. Hal ini juga menunjukkan bahwa selain faktor lingkungan juga faktor nutrisi medium menentukan pertumbuhan diatom.
Profil Protein dan Lipid selama Pertumbuhan Profil protein terhadap keseluruhan sel C. gricilis yang dikulturkan dalam sistem batch ini memiliki kecenderungan menurun hingga fase stasioner kemudian meningkat hingga fase kematian. Pada umumnya protein semakin meningkat hingga fase stasioner, seperti yang terlihat di beberapa mikroalga seperti Pavlova lutheri, Isochrysis sp dan Nanochloropsis oculata serta C. calcitrans mempunyai protein yang meningkat 30-50% ketika memasuki fase stasioner (Brown et al. 1993, Phatarpekar et al. 2000). Gambar 15 menunjukkan profil protein C. gracilis yang ditumbuhkan dalam sistem batch culture.
8 6 4 2 0 -2
1x107
70
2.0
60
1.6
50 40
1x106
30 20 1x105
10 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718 Umur kultur (hari)
Protein silaffin (fg/ sel)
Protein sel) Proteintotal total (pg/ (pg/sel)
10
densitas sel (log sel/ ml)
12
1.2 0.8 0.4
Lipid (ng/ sel)
38
0.0 -0.4
Gambar 15 Profil protein total dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam sistem batch culture. Protein total ( ) dan lipid ( ), densitas sel ( ).
Profil protein tersebut mirip dengan profil lipid, namun rata-rata konsentrasi seluler
lipid antara 0.1-1.6 ng, sedangkan konsentrasi protein hanya 0.5-10 pg.
Kandungan seluler protein pada mikroalga pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan lipidnya. Profil protein dan lipid C. gracilis ini juga terjadi pada Chaetoceros calcitrans, yang memiliki konsentrasi lipid lebih tinggi dibandingkan dengan proteinnya, ketika memasuki fase stasioner (hari ke 6) (Phatarpekar et al. 2000). Gambar 16 menunjukkan perbandingan profil protein dan lipid dari kedua jenis Chaetoceros. Kelompok mikroalga pada umumnya mempunyai konsentrasi seluler protein menurun seiring dengan bertambahnya umur kultur tersebut. Hal ini dikarenakan masih tinginya ketersediaan nutrien medium terutama nitrogen pada awal kultivasi dalam sistem batch culture. Nitrogen dibutuhkan terutama dalam sintesis protein. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa akumulasi lipid yang terjadi di dalam sel mikroalga selalu terjadi pada saat fase stasioner. Hal ini dikarenakan energi yang ada digunakan untuk mensintesis
39 komponen yang tidak membutuhkan nitrogen seperti lipid. Dengan demikian akumulasi lipid dapat dipastikan tinggi ketika memasuki fase stasioner. Roesseler (1988), telah melaporkan adanya aktivitas enzim pembentuk lipid (asetil KoA karboksilase) meningkat 2 kali dan 4 kali setelah 4 dan 15 hari mengalami defisiensi silikon pada diatom Cyclotella cryptica.
Gambar 16 Konsentrasi seluler protein dan lipid C. calcitrans (Phatarpekar et al. 2000) (A) dan C. gracilis (B) pada pertumbuhan dalam kultur sistem batch. Tanda garis merah ( ) menunjukkan fase atau umur kultur yang menunjukkan konsentrasi protein lebih rendah dari lipid.
Oleh karena diatom mengadung sekitar 90% silika, maka medium kultur yang digunakan harus mengandung sumber silikat (Na2 SiO 3 9H2O) (Round et al. 1990). Induksi defisiensi silikat terhadap akumulasi lipid terjadi pada diatom Chaetoceros gracilis, Hantzschia sp, Cyclothella (Taguchi et al. 1987), namun tidak terjadi pada diatom Nitzschia incospicua (Chu et al. 1996). Penelitian terhadap C. gracilis yang dilaporkan ini sesuai yang dihasilkan oleh Taguchi et al. (1987). Mock & Kroon (2002) berpendapat bahwa nitrogen yang terbatas atau yang mengalami penurunan menyebabkan penurunan konsentrasi protein, sedangkan karbohidrat dan lipid akan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan, energi yang semula digunakan untuk pembentukan protein dari sumber N dialihkan ke pembentukan komponen yang tidak atau sedikit memerlukan N seperti karbohidrat
40 dan lipid. Dengan demikian ketika defisiensi N, protein mengalami penurunan, namun karbohidrat dan lipid mengalami peningkatan, bahkan peningkatan lipid sangat signifikan khususnya pada diatom yang ditumbuhkan pada level pencahayaan rendah (di bawah 3000 lx). Hal tersebut di atas juga dibahas oleh Greenwell et al. (2009) yang menyatakan bahwa sintesis lipid pada dasarnya dapat diinduksi oleh penurunan laju pertumbuhan dan pembelahan sel. Kandungan komponen biokimia diatom (protein, karbohidrat dan lipid) telah diteliti oleh Araújo et al. 2005. Hasil penelitiannya menunjukan komponen biokimia sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhannya, namun juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang diterapkan dalam mengkulturkan diatom tersebut. Selain faktor lingkungan dan umur pemanenan yang terkait fase pertumbuhan, ukuran sel juga berpengaruh dalam konsentrasi komponen biokimia diatom. Ukuran sel diatom menjadi menjadi sangat menentukan karena terkait dengan densitas sel dalam medium kultur. Oleh karena dalam pembelahan sel diatom selalu menghasilkan satu sel yang memiliki ukuran lebih kecil (Round et al. 1990), maka di dalam pengukuran komponen biokimia sel diatom memerlukan metode yang tepat untuk menghasilkan keadaan sesungguhnya. Hal ini juga pernah dibuktikan oleh penelitian Araújo et al. (2005) terhadap diatom Chaetoceros cf. Weghamii, bahwa pertambahan jumlah sel tidak selalu berkorelasi positif terhadap kandungan karbohidrat, protein, lipid, meskipun dilakukan terhadap fase sel pertumbuhan yang sama. Hal ini disebabkan oleh faktor densitas sel yang terkait dengan ukuran sel. Informasi profil pertumbuhan, protein dan lipid selama pertumbuhan secara keseluruhan pada kondisi kultur yang diterapkan, dapat bermanfaat sebagai pedoman awal untuk mengetahui perkiraan waktu akumulasi masing-masing komponen terutama protein dan lipid dalam penelitian ini.
41
Karakteristik Protein Total Berdasarkan Analisis 2 Dimensi Analisis 2 dimensi dilakukan terhadap isolat protein (crude extract) C. gracilis yang menghasilkan karakteristik berat molekul dan titik isoelektrik protein total yang dimiliki diatom ini. Gambar 17 menunjukkan hasil 2 dimensi tersebut pada umur sel C. gracilis 1 hari (fase lag), 3 hari (fase akhir eksponensial), 7 hari (fase awal stasioner), 10 hari dan 13 hari (fase stasioner), 14 hari (fase awal kematian) serta 15 dn 17 hari (fase kematian). 8,09
1
pH
4,25 8,09
3
pH
4,25
8,09
pH
4,25
a 116,2 kDa
7
66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
10
13
14
a 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa
a 14.4 kDa
15
17
116,2 kDa 66 kDa
Area noktah protein
45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
Gambar 17. Protein yang terdeteksi hasil analisis 2 dimensi protein C. gracilis. Angka 1,3,7,10,13,14, 15,17 menunjukkan umur kultur dalam hari.
42 Analisis 2 dimensi terhadap protein total sel selama pertumbuhan C. gracilis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran detail perubahan kebaradaan protein dari fase ke fase pertumbuhan terutama untuk mengamati perubahan protein yang terkait dengan biosintesis nanosilika dan PUFA sebagai tujuan penelitian ini. Gambar 17 AH menggambarkan hasil analisis 2 dimensi menggunakan perangkat lunak Melanie 7.0 untuk mendeteksi protein. Protein yang terlihat sebagai noktah pada gel hasil elektroforesis 2 dimensi ditunjukkan dengan lingkaran merah. Besarnya lingkaran merupakan luasan area noktah protein yang dapat terdeteksi menggunakan perangkat lunak tersebut. Protein diatom yang terdeteksi pada 2 dimensi ini, terseparasi pada titik isoelektrik 4.25 hingga 8.09 dan berat molekul dari 14.19 hingga 121.91 kDa. Pada semua fase pertumbuhan, terlihat protein yang dominan merupakan protein golongan asam. Hasil analisis 2 dimensi pada keseluruhan sel C. gracilis mempunyai kesamaan umum dengan hasil 2 dimensi pada protein keseluruhan diatom Thalassiosira pseudonana
yang
dilakukan
oleh
Sandia
National
Laboratories–USA
(http://www.sandia.gov) yakni mempunyai protein yang sebagian besar merupakan protein yang bersifat asam (Gambar 18). BM
pH 3
pH 10
8,09
pH
4,25
116,2 kDa 200 kDa
66 kDa 45 kDa
60 kDa
35 kDa
30 kDa
25 kDa
10 kDa
14.4 kDa
Gambar 18 Hasil analisis 2 dimensi pada diatom Thalassiosira pseudonana (Sandia National Laboratories-USA, http://www.sandia.gov) (A) dan hasil 2 dimensi pada Chaetoceros gracilis (B) .
43 Profil protein berdasarkan elektroforesis 2 dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 18 tersebut jelas menunjukkan bahwa diatom memiliki karakteristik demikian. Hal ini dapat diasumsikan bahwa susunan amino diatom sebagian besar merupakan asam amino golongan asam. Dugaan ini sesuai dengan hasil laporan mini review dari Robert & Lebeau (2003), bahwa berdasarkan hasil penelitian Derrin et al. (1998), asam amino dominan pada diatom Chaetoceros calcitrans adalah asam aspartat sedangkan diatom Thalassiosira pseudonana adalah asam glutamat dan tirosin. Selain itu juga dilaporkan bahwa empat asam amino (asam aspartat, asam glutamat, arginin dan tirosin) merupakan asam amino yang bertanggungjawab sekitar 60% dari total spesies diatom yang diuji. Total noktah protein yang terdeteksi secara berurutan dari umur 1, 3, 7, 10, 13, 14, 15 dan 17 hari adalah 349 noktah (volume: 5989.07), 565 noktah (volume: 22 636.00), 450 noktah (volume: 12441.66), 316 noktah (volume: 7899.37), 302 noktah (volume: 7733.04), 300 noktah (volume: 7708.23), 292 noktah (7527.35), 333 noktah (volume: 9219.93). Perubahan jumlah protein terdeteksi dalam setiap fase merupakan respon sel atas perubahan-perubahan yang melibatkan protein dalam metabolismenya selama pertumbuhan C. gracilis dalam kultur sistem batch, termasuk dalam pembentukan asam lemak maupun pembentukan silika dinding selnya. Demikian juga dengan volume total noktah protein, ternyata mengikut i profil jumlah noktah protein. Volume total noktah adalah jumlah volume seluruh noktah protein yang terdeteksi yang dihitung berdasarkan luasan area, tinggi puncak dan intensitas penyerapan noktah yang terdeteksi dari hasil pindai pada 256 dpi dengan grey level. Gambar 19 menunjukkan perubahan jumlah noktah protein dan volume totalnya selama pertumbuhan C. gracilis.
44
Gambar 19 Jumlah noktah protein dan volume noktah protein hasil deteksi program melanie selama pertumbuhan C. gracilis
Menurut Nunn et al. 2009, pengamatan terhadap keberadaan total protein pada keseluruhan sel (the whole cell), merupakan peluang untuk mempelajari seluruh metabolisme yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Metode tersebut merupakan analisis langsung berdasarkan ekspresi protein secara spesifik sehingga jalur biokimia suatu organisme dapat dipelajari. Pada hasil pengamatannya terhadap diatom Thalassiosira pseudonana yang dikulturkan dalam kondisi optimum, Nunn et al. (2009) memperoleh total protein 1928 protein yang terdiri dari 70% protein yang terlibat dalam metabolisme seluler dan 11 protein transport. Jalur metabolisme yang terdeteksi adalah fiksasi karbon, siklus TCA (tricarbosilic acid), glikolisis, metabolisme piruvat, siklus reduktif karboksilat, metabolisme nitrogen, siklus urea, metabolisme asam amino, metabolisme asam lemak termasuk biosintesis asam lemak tak jenuh.
45 Karakteristik Protein yang Terlibat dalam Biosintesis Nanosilika Protein Transport Asam Silikat ( Protein SIT) dan Karakteritisk 2 Dimensi Protein yang terlibat dalam sintesis silika Chaetoceros gracilis dari analisis 2 dimensi sel keseluruhan, teridentifikasi protein transport asam silikat (Protein SIT). Pada Gambar 20, menunjukkan posisi protein SIT yang merupakan suatu keluarga protein. Protein SIT C. gracilis terdeteksi ketika mulai memasuki fase eksponensial dan terdeteksi dalam gel 2 dimensi dengan Isoelectric point (pI) antara pH 5–5.7 dan berat molekul (BM) 49.20 - 56.47 kDa. 8,09
1
pH
4,25 8,09
3
pH
4,25
8,09
pH
7
4,25 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
10
13
14
116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
15
17
116,2 kDa 66 kDa
Area noktah protein
45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
Gambar 20 Keluarga Protein SIT terdeteksi pada analisis 2 dimensi diatom C. gracilis. Tanda lingkaran warna hitam menunjukkan posisi noktah protein SIT. Angka 1,3,7,10,13,14,15 & 17 adalah umur kultur dalam hari.
46
Tabel 1 Karakteristik protein SIT C. gracilis berdasarkan analisis 2 dimensi
Umur kultur (hari)
Jumlah noktah protein
Total volume
1
-
0
Berat molekul (kDa) -
3
12
305.57
50.42-56.66
5.12-5.69
7
8
77.14
51.55-59.66
5.10-5.48
10
4
33.18
50.19-57.45
5.10-5.26
13
4
792.64
49.20-55.73
5.01-5.48
14
4
218.14
56.47-60.40
5.51-5.35
15
7
263.62
52.18-58.28
5.15-5.31
17
5
110.64
53.40-56.28
5.20-5.70
Titik isoelektrik -
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik detail protein SIT yang ditemukan pada C. gracilis pada umur kultur yang berbeda. Hildenbrand et al. (1997), menemukan pertama kali keluarga protein SIT dengan BM antara 59.52-61.26 dan pI 5.12-5.69 yang dikode oleh sekelompok kecil gen silicon transporter (SITs) yang diisolasi dari diatom pennate Chilindrotheca fuciformis. Dalam penelitian terhadap berbagai jenis diatom juga dilaporkan bahwa gen SIT ditemukan di semua tipe diatom baik diatom laut, air tawar, tipe pennate juga tipe centris (Thamatrakoln & Hildenbrand 2008). Diatom yang memiliki satu tipe (centris) dengan C. gracilis adalah diatom Thalassiosira pseudonana. Diatom T. pseudonanana ini memiliki keluarga protein SIT dengan BM antara 50.18-62.13 dan pI antara 5.01-5.42. Namun nampaknya C. gracilis mempunyai BM dan pI yang mirip dengan kedua diatom tersebut baik bentuk pennate maupun centris. Dari data terlihat hanya ada perbedaan sedikit dengan tipe centris (Thalassiosira pseudonana) yakni pI sedikit lebih kecil, sedangkan BM relatif sama. Hasil ini bertentangan dengan Martin-Jèzèquel et al. (2000), yang menyatakan bahwa protein SIT dapat dikelompokkan dalam 4 tipe yang berbeda berdasarkan habitat dan tipe diatom yakni diatom laut, diatom air tawar, diatom pennate dan diatom centris.
47 Berdasarkan waktu kemunculan protein SIT pada C. gracilis terlihat bahwa protein tersebut baru terdeteksi atau muncul pada umur kultur 3 hari atau memasuki fase akhir eksponensial yang berlanjut hingga fase kematian. Terdeteksinya protein SIT baru hari ke 3 (umur 3 hari). Hal ini diduga pada umur 1 hari, C. gracilis memasuki fase lag (Gambar 14) , artinya pada saat tersebut sel masih mengalami proses adaptasi dengan medium, sehingga sel belum mengalami proses pembelahan. Keadaan ini menyebabkan sel diatom ini belum mengekspresikan protein transport atau protein tersebut belum melakukan aktivitasnya. Hal ini diperjelas oleh MartinJézéquel et al. 2000, bahwa aktivitas protein transport terkait langsung dengan aktivitas sintesis silika dinding sel dan aktivitas sintesis ini berkaitan dengan aktivitas pembelahan sel. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa aktivitas protein transport berkaitan dengan pertumbuhan diatom. Groger et al. (2008) melaporkan adanya jumlah penyerapan silikon (nutrien esensial untuk kultur diatom) oleh diatom Thalassiosira pseudonana mempunyai profil mengikuti profil pertumbuhan selnya. Silikon diserap oleh diatom dalam bentuk asam ortosilikat (SiOH 4 ) oleh Silicon Transporter Protein (SIT-protein) dibawa masuk ke dalam sel, kemudian masuk ke dalam SDV (tempat berlangsungnya polimerisasi silika). Hal demikian juga menimbulkan dugaan adanya keterkaitan antara volume protein transport dan pembentukan silika dinding sel berdasarkan profil bobot frustule (dinding sel silicaseous) yang terbentuk hingga fase kematian. Volume protein SIT yang terekpresi dapat menunjukkan seberapa tinggi konsentrasi protein yang ada di dalam gel. Volume yang tinggi dapat diartikan memiliki potensi melakukan aktivitas yang tinggi. Apabila dihubungkan dengan total bobot frustule yang terbentuk selama pertumbuhan ini, akan dapat terlihat apakah benar protein SIT tersebut beraktivitas sejalan dengan sintesis silika. Gambar 21 menunjukkan hubungan antara bobot frustule dan volume protein SIT yang terdeteksi dalam gel. Bobot frustule dapat menjadi dasar besaran silika yang terbentuk, karena frustule yang diperoleh tersebut merupakan hasil ekstraksi sel diatom dengan larutan SDS dalam EDTA untuk menghilangkan komponen organik dinding sel (Kroger et al. 1999) menghasilkan dinding sel (frustule) kering mengandung silika.
48 .
Gambar 21 Grafik hubungan antara volume total protein SIT dan bobot frustule C. gracilis.
Gambar 21 menunjukkan adanya kecenderungan volume protein SIT diikuti jumlah bobot frustule yang terbentuk, kecuali hari pertama (umur 1 hari). Umur kultur C. gracilis satu hari merupakan pertumbuhan dalam fase lag (Gambar 14). Pada keadaan ini, bobot frustule sangat tinggi bahkan paling tinggi (lebih 800 pg/ sel atau 0.8 ng/ sel) meskipun protein SIT tidak terdeteksi (volume 0). Hal demikian diduga terkait dengan keadaan fisiologi sel. Pada saat sel diatom diinokulasikan ke dalam bejana kultur, sel dalam keadaan fase eksponensial, namun sebagian besar dalam keadaan auksosporulasi, yakni ketika sel dalam keadaan ukuran sel mencapai maksimum yang terkait dengan mekanisme reproduksi aseksual diatom (Gambar 1) (Round et al. 1990). Pada keadaan tersebut, sel mempunyai luas permukaan sel yang terbesar sehingga akan berpengaruh pada total bobot frustule yang dapat juga mewakili bobot silika.
Protein Silaffin dan Pembentukan Frustule (Nanosilika) selama Pertumbuhan Di dalam metabolisme diatom, protein silaffin merupakan protein yang bertanggungjawab terhadap pembentukan silika dinding sel (Kröger et al. 2002).
49 Pembentukan silika membutuhkan silikat atau silikon dalam lingkungannya (Groger et al. 2008), sehingga penurunan nutrisi sumber silikat yang semakin menurun dalam kultur sistem batch, sangat memungkinkan pembentukan silikanya juga semakin kecil dan menyebabkan juga semakin kecil konsentrasi silaffin. Dalam hal ini karena silaffin juga berperan sebagai template silika (Kröger et al. 1999). Secara khusus protein silaffin akan dibahas dalam laporan ini karena merupakan protein yang paling bertanggungjawab dalam biosintesis silika bersama protein transport asam silikat, selain protein frustulin dan ptotein pleuralin serta non protein poliamin (Kröger et al. 2002). Protein frustulin mensintesis pembentukan kalsium pada dinding sel dan pleuralin mensintesis silika pada bagian pertemuan epivalve dan hypovalve atau pada girdle band sel diatom. Profil silaffin selama pertumbuhan C. gracilis, konsentrasinya semakin kecil seiring dengan umur kulturnya (Gambar 22). Artinya kultur diatom semakin tua semakin sedikit mensintesis silika. Hal ini dapat dipahami karena pada fase logaritmik sel mengalami pembelahan aktif yang berarti aktivitas sintesis silika oleh silaffin menjadi tinggi. Hal ini juga kemungkinan berkaitan dengan mekanisme pembelahan diatom yang diawali dengan pembentukan prekursor silica deposition vesicle (SDV) yang kemudian dilanjutkan menjadi silicalemma (membran sel diatom) dari proses polimerisasi silika (Round et al. 1990). Brezezinski (1992) diacu dalam Alverson (2007) secara detail melaporkan bahwa fase G2 dan M dalam siklus sel merupakan puncak pengambilan asam silikat dari lingkungannya oleh diatom. Fase G2 adalah fase interval antara berakhirnya sintesis DNA (fase S) dan akan dimulainya mitosis (fase M), sedangkan fase M adalah fase sel melakukan pembelahan atau mitosis. Apabila dibandingkan dengan konsentrasi seluler protein total (Gambar 15), maka nampak sekali perbedaanya dengan profil protein silaffin. Hal ini diduga karena peran dari protein tersebut (sebagai katalis dalam polimerisasai silika dinding sel). Rata-rata protein per sel diatom dari fase adaptasi atau fase lag hingga fase kematian mencapai kisaran 0.5-10 pg/ sel. Hal ini sangat jauh dengan konsentrasi silaffin yang hanya mencapai kisaran 5-50 fg/ sel. Konsentrasi yang sangat jauh ini membuktikan
50 bahwa protein silaffin hanya sebagian kecil dari seluruh protein yang dimiliki oleh sel diatom, meskipun sangat berperan dalam sintesis silika dinding sel diatom. Gambar 22 menggambarkan profil protein silaffin selama pertumbuhan dengan banyaknya frustule yang dibentuk selama pertumbuhan pada C. gracilis. Hasil yang terlihat menunjukkan suatu korelasi yang positif antara silaffin dan frustule selama pertumbuhan C. gracilis. Frustule adalah dinding sel silicaseous yang diperoleh dari ekstraksi 10% SDS dalam 3.7% EDTA yang dapat menghilangkan komponen organik dan kalsium dinding sel. .
bobot frustule ( pg/sel)
60 50 40 30 20 10 0
107
106
105
densitas sel (log/ ml)
26 24 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2
silaffin (fg/sel)
70
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Umur kultur
Gambar 22. Profil silaffin dan silika frustule yang terbentuk selama pertumbuhan C. gracilis. Frustule ( ), silaffin ( ), densitas sel ( ). Pada Gambar 22, menunjukkan bahwa pada fase adaptasi, konsentrasi silaffin naik dari hari ke 0 hingga hari pertama. Kalau disejajarkan dengan bobot frustule silicaseous maka memiliki kecenderungan yang sama. Yakni pada fase lag mengalami peningkatan sedangkan pada fase ekponensial mengalami penurunan hingga fase kematian. Hasil demikian diduga karena berkaitan dengan ukuran sel rata-rata pada saat dilakukan pengambilan sampel. Ukuran sel diatom selama
51 pertumbuhan atau dalam siklus pertumbuhan sangat terkait dengan mekanisme pembelahannya. Menurut Round et al. (1990) pembelahan sel diatom menghasilkan ukuran sel yang tidak seragam, karena hasil pembelahannya 50 % sel akan bertambah kecil dari ukuran sel semula, kemudian akan mengalami auksosporulasi sehingga sel akan membesar (Gambar 1). Berdasarkan hal demikian, maka diduga pada umur 1 hari atau saat awal inokulasi (hari ke 0) hingga hari pertama (pada fase lag) sebagian sel di dalam kultur sedang mengalami auksosporulasi. Meskipun jumlah selnya sedikit tetapi pada saat auksosporulasi permukaan sel akan lebih luas sehingga berpengaruh pada permukaan dinding sel yang mengadung silika. Akibatnya pada hasil penelitian ini berpengaruh pada total bobot silika dan konsentrasi silaffin meskipun protein SITnya tidak ada.
Protein Silaffin dan Karaketristik 2 Dimensi Protein silaffin yang diisolasi dengan pelarut HF/NH4F dari frustule silicasaeous dinding sel C. gracilis ini telah diketahui mampu mempolimerisasi silika secara in vitro menggunakan substrat TEOS dan telah dikarakterisasi berat molekulnya. Berdasarkan analisis 2 dimensi protein silaffin C. gracilis ini mengandung 5 fraksi protein silaffin (Gambar 23 ), yang akan disebutkan sebagai protein Silaffin 1, Silaffin 2, Silaffin 3, Silaffin 4 dan Silaffin 5. Gambar 23 B menunjukkan presentasi 3 dimensi noktah tiap fraksi protein dari protein silaffin. Hasil 2 dimensi terhadap protein silaffin, diperoleh tiga protein dengan berat molekul 43.49 kDa, 47.56 kDa dan 11.04 kDa (Gambar 23B nomor 1, 2 dan 5) yang mempunyai kemiripan dengan hasil elektrosforesis SDS-PAGE (12.06, 23.88, 43.18 dan 44.65 kDa) yang dilakukan oleh Manurung et al. (2007). Protein ekstrak silaffin tersebut telah terbukti mampu melakukan polimerisasi silika dalam suhu ruang dalam beberapa menit (Manurung et al. 2007). Namun karakeristik tiga protein tersebut tidak memiliki kesamaan BM maupun pI dengan sebagian besar protein silaffin yang telah teridentifikasi dari jenis diatom lainnya (Tabel 2).
52
A
(kDa)
8,09
pH
4,25
116
3
60.2
2
1
45
4
35 25
5
14.4
B
BM : 43,49 kDa pI : 7,78 Vol : 7,16%
BM : 47,56 kDa pI : 5,97 Vol : 5,83%
1
BM : 70,36; 72,32 kDa pI : 4,30; 4,29 Vol : 32,65;19,44%
2
3,4
BM : 11,04 kDa pI :6,97 Vol :34,90%
5
Gambar 23. Analisis 2 dimensi terhadap protein silaffin (A), gambar 3 dimensi tiap noktah fraksi protein silaffin (B). (BM = Berat Molekul, pI= titik isoelektrik, Vol. : volume relatif noktah protein)
Satu protein silaffin (Silaffin 2) C. gracilis dengan BM 47.56 dan pI 5.97 yang mempunyai kesamaan dengan proein silaffin 2 diatom Thalassiosira pseudonana (Q5Y2C1). Kedua jenis diatom tersebut tergolong satu tipe yakni diatom centris. Keduanya memiliki karakteristik protein SIT yang hampir sama. Untuk 2 jenis protein silaffin dari T. pseudonana lainnya ternyata tidak memiliki kesamaan dengan
53 4 protein silaffin C. gracilis lainnya. Hal tersebut dapat terjadi, kemungkinan dikarenakan C. gracilis dan T. pseudonana memiliki profil struktur nano silika yang berbeda, meskipun dalam satu tipe centris (Round et al. 1990). Tabel 2 Berat molekul protein silaffin yang telah diketahui dari berbagai jenis diatom BM (kDa) (pI), 27.50 3.062 1.825 1.474
(10.02) ( 9.92) (10.00) (10.18)
Jenis protein
Jenis diatom
Pustaka/ kode akses (www.expacy.org)
Silaffin 1(nat sil1): - Sil 1B - Sil1A2 - Sil1A1
Cylindrotheca fusiformis
Q9SE35
50.74 (5.77) 49.28 (5.71) 23.96 ( 9.17)
Silaffin 1 Silaffin 2 Silaffin 3
Thalasiosira pseudonana Thalasiosira pseudonana Thalasiosira pseudonana
Q5Y2C2 Q5Y2C1 Q5Y2C0
24.05 (9.17)
Silaffin TP/ TPSil2
Thalassiosira pseudonana CCMP1335
B8BRK6
3.5 & 35
Silaffin
Chaetoceros didymium
Kröger et al. 2000
6.5, 10; 40
natSil1A, natSil1B, NatSil2 Cylindrotheca fuciformis
Poulsen et aI. 2003
19, 35
tp sil 1H, tp sil 2H, tp sil 1L, tp sil 2L, tp Sil 3
Thalassiosira pseudonana
Poulsen & Kröger 2004
12.06; 23.88; 43.18; 44.65
Silaffin
Chaetoceros gracilis
Manurung et al. 2007
Menurut Kröger et al. (1999), protein pembentuk silika diatom dapat memiliki karakteristik molekuler berbeda-beda tergantung jenis diatomnya, karena memiliki struktur atau profil susunan silika yang spesifik untuk masing-masing jenisnya (Tabel 2).
Berdasarkan data yang terkumpul pada Tabel 2, protein silaffin dapat
mengandung beberapa protein silaffin seperti yang dihasilkan diatom T. pseudonana. Hal ini memberikan peluang membuat modifikasi reaksi polimerisasi dari fraksifraksi protein yang dimiliki sesuai kebutuhan. Di dalam laporan Kröger et al. (1999) dan Poulsen et al. (2003) dikatakan, bahwa reaksi polimerisasi menggunakan campuran fraksi Sil 2 dan Sil 1A akan menghasilkan pori-pori silika yang berbeda dengan yang hanya dihasilkan dari fraksi Sil 1 A (Gambar 4 dan 5). Reaksi in vitro
54 dari dari ekstrak protein silaffin C. gracilis tanpa difraksinasi, memberikan struktur silika bentuk sphere telah dilakukan oleh Manurung et al. (2007) (Gambar 24).
Gambar 24 Scanning Electron Microscope polimer silika hasil reaksi in vitro protein silaffin C. gracilis dengan subsbrat TEOS (Manurung et al. 2007).
Asam Lemak dan Karaktaristik Protein yang Terlibat dalam Biosintesis PUFA Jalur sintesis PUFA diatom atau pada kelompok mikroalga hingga saat ini belum merupakan jalur metabolisme yang tetap atau baku seperti yang diketahui pada tanaman dan hewan. Sampai saat ini masih terus digali tentang protein enzim yang berperan dalam mensintesis langsung DHA dari berbagai mikroalga (Pereira et al. 2004). Selain belum bakunya jalur sintesis LC-PUFA AA, EPA dan DHA juga masih ditemukannya beberapa asam lemak tak jenuh baru yang dapat ditemukan pada jenis diatom lainnya. Menurut Pereira et al. (2004) masih sangat mungkin ditemukannya asam lemak baru dari berbagai jenis mikroalga. Berdasarkan komposisi asam lemaknya dan terdeteksinya protein yang mensintesis setiap asam lemak yang ditemukan, sangat memungkinkan adanya jalur sintesis DHA yang spesifik untuk setiap jenis diatom. Dengan demikian mempelajari komposisi asam lemak selama pertumbuhan diatom dari awal hingga akhir pertumbuhan akan menjadi informasi detail mengenai profil asam lemak.
55
Komposisi Asam Lemak Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam penelitian terhadap karakteristik protein yang terlibat dalam sintesis PUFA, akan disampaikan komposisi asam lemak yang dimiliki C. gracilis. Tabel 3 memaparkan prosentase relatif dari total asam lemak C. gracilis yang dianalisis pada umur 3 hari (fase akhir eksponensial), 7 hari (awal fase stasioner), 10 hari (fase stasioner), 14 hari (fase akhir stasioner) dan umur 17 hari pada saat fase kematian. Tabel 3. Prosentase relatif asam lemak terhadap asam lemak total dari fase akhir eksponensial hingga fase kematian pertumbuhan C. gracilis *)
Asam lemak
Prosentase relatif terhadap total asam lemak Umur kultur (hari) 3 7 10 14 17
12:0 14:0 15:0 16:0 18:0 20:0
Laurat Miristat Pentadekenoat Palmitat Stearat Arakhidat
6.97 15.86 0.98 35.75 -
14:1Δ13 16:1Δ9 18:1Δ6 18:1Δ9 18:1Δ11 22:1Δ13
Tetradekinoat Palmitoleat Petroselinat Oleat Vakenat Erukat
14.44 0.67 20.94 -
16:2Δ7,10(ω9) 18:2Δ5,8(ω10) 18:2Δ9,12(ω6) 18:3Δ6,9,12(ω6) 18:3Δ9,12,15(ω3) 20:2Δ11,14(ω6) 20:3Δ11,14,17(ω3) 20:3Δ8,11,14(ω6) 20:4Δ5,8,11,14(ω6)
Heksadekadienoat Oktadekadienoat Linoleat γ-linolenat α-linolenat Eikosadienoat Eikosatrienoat Dihomo-γ linolenat Arakhidonat (AA) Dokosaheksaenoat (DHA)
22:6Δ4,7,10,13,16,19(ω3)
total SAFA total MUFA
0.53 20.32 1.21 32.83 2.18 -
0.94 13.01 0.87 24.03 3.23 1.53
0.73 18.78 1.29 31.50 1.83 0.62
0.42 19.44 1.75 40.35 2.12 0.20
0.99 31.05 1.79 -
0.71 0.79 17.42 7.53 4.37
0.61 23.04 3.85 -
2.21 19.66 2.34 -
0.51 0.68 3.19 -
1.18 2.24 1.91 3.12 0.64 -
0.86 0.59 1.26 21.46 0.96 0.43 -
0.88 1.14 0.35 2.33 9.97 0.46 1.05 -
1.03 1.19 0.44 2.15 0.75 1.39 4.56
59.57 36.05
57.08 33.83
43.61 30.82
54.76 27.49
64.28 24.21
56 total PUFA
4.38
9.09
25.56
17.75
11.51
*) Data diperoleh dari hasil kromatogram (Lampiran 2)
Secara garis besar asam lemak yang dimiliki C. gracilis ini dapat dikelompokkan dalam asam lemak jenuh atau saturated fatty acid (SAFA), asam lemak tak jenuh satu ikatan rangkap atau monounsaturated fatty acid (MUFA) dan asam lemak tak jenuh rantai panjang dengan lebih dari satu atau banyak ikatan rangkap atau polyunsaturated fatty acid (PUFA). Gambar 25 menunjukkan komposisi asam lemak yang diperoleh dalam C. garcilis dari masing-masing fase pertumbuhan yang dibandingkan berdasarkan penggolongan sifat saturated asam lemak.
Gambar 25. Komposisi saturated fatty acid (SAFA), monounsaturated fatty acid (MUFA) dan polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari C. gracilis selama pertumbuhan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa selama pertumbuhan, total SAFA memiliki konsentrasi yang paling tinggi (43.61-64.28% dari total asam lemak) dibandingkan konsentrasi MUFA (24.21-36.05% dari rotal asam lemak) dan PUFA (4.38-17.75 dari total asam lemak).Selama pertumbuhan C. gracilis, konsentrasi SAFA menurun sebesar 29.53% dari fase akhir ekponensial hingga fase stasioner (10 hari) kemudian meningkat (47.38%.) kembali hingga fase kematian. Untuk konsentrasi MUFA terus mengalami penurunan dari fase eksponensial hingga fase kematian. Konsentrasi PUFA berkebalikan dengan SAFA, artinya apabila SAFA
57 mengalami penurunan konsentrasi, maka akan diikuti peningkatan PUFA. Prosentase PUFA terus meningkat dari fase eksponensial hingga fase stasioner kemudian turun hingga fase kematian (Gambar 25) Sementara itu MUFA terus menurun hingga fase kematian (dari 36 menjadi 24%) (Gambar 25). Komposisi asam lemak C. gracilis mirip dengan T. pseudonana sedangkan pada P. tricornutum memiliki SAFA lebih rendah dari MUFA. Perbedaan kompisisi asam lemak ini berkaitan dengan respon terhadap lingkungannya sebagai mekanisme adapatasi terhadap temperatur (Mansour et al. 2003; Morgan-Kiss et al. 2006. Diatom C. gracilis merupakan diotome yang mampu tumbuh dalam rentang temperatur luas dari 14-40°C. Temperatur kultur akan mempengaruhi komposisi asam lemak. Hasil penelitian pendahuluan terhadap kultur C. gracilis yang ditumbuhkan pada temperatur 25-28°C tidak menghasilkan PUFA sama sekali. Pada penelitian ini C. gracilis yang ditumbuhkan pada 16-18°C dapat menghasilkan PUFA, meskipun konsentrasi SAFA tetap yang paling tinggi dibandingkan MUFA dan PUFA. Temperatur berperan penting dalam biosintesis PUFA, karena diduga berkaitan dengan aktivitas enzim pembentuknya. Pada lingkungan temperatur lebih rendah (< 20°C) menyebaban oksigen terlarut dalam sel mikroalga lebih tinggi, sehingga akan mengaktifkan enzim-enzim yang tergantung pada oksigen, sehingga mempercepat reaksi desaturasi dan mensintesis PUFA (Chen & Jiang 2000). Sedangkan menurut Morgan-Kiss et al. (2006), komposisi saturated dan unsaturated pada organisme lingkungan dingin merupakan respon terhadap perubahan lingkungan. Pada temperatur rendah, asam lemak tidak jenuh lebih tinggi bila dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Hal ini dikarenakan asam lemak tidak jenuh di dalam membran lipid memainkan peran utama dalam mencegah rigidifikasi pada temperatur rendah, atau untuk menjaga fluiditas membran (Morgan-Kiss et al. 2006).
Dengan demikian pada temperatur lebih rendah asam lemak membran
menjadi lebih unsatutared. Saturated Fatty Acid (SAFA). Selama pertumbuhan (17 hari) dengan sistem batch, Chaetoceros gracilis memiliki 6 jenis SAFA, yakni asam laurat (12:0), miristat
58 (14:0), pentadekenoat (15:0), palmitat (16:0), stearat (18:0) dan arakhidat (20:0). Keragaman jenis SAFA ini memperlihatkan keragaman yang tinggi dibandingkan dengan jenis lain Chaetoceros affinis yang hanya terdiri 5 SAFA, yakni asam miristat, sam pentadekanoat, asam palmitat, asam stearat dan asam margarat (Viso & Marry 1993), sedangkan C. calcitrans hanya mengandung asam miristat dan asam palmitat (Servel et al. 1994). C. salsugineus mengandung 3 jenis (asam miristat, palmitat dan stearat) (Zhukova & Aizdaicher 2001). Pada C. muelleri dengan sistem kultur semicontinous mengandung empat SAFA, yaitu asam miristat, pentadekanoat, palmitat, stearat (Pernet et al. 2003), sedangkan dengan sistem batch hanya 3 asam lemak (miristat, pentadekanoat, palmitat) (Liang et al. 2006). Gambar 26 menunjukkan keragaman jenis asam lemak yang termasuk dalam SAFA dari C. gracilis.
Gambar 26 Komposisi SAFA (proporsi relatif dari total SAFA) selama pertumbuhan C. gracilis.
59 Dalam kondisi kultur apapun, asam palmitat selalu ditemukan dan dominan (Gambar 26). Konsentrasinya relatif stabil atau tidak berubah hingga pertumbuhan berakhir (fase kematian). Pembentukan asam palimitat berkaitan dengan energy storage yang diperlukan dalam pembelahan sel dan sintesis asam lemak rantai panjang (Mansour et al. 2003). Menurut Tonon et al. (2002), asam palmitat yang tinggi merupakan karakteristik Baccilariophyceae (diatom). Monounsaturated Fatty Acid (MUFA). MUFA pada C. gracilis memiliki jenis asam lemak yang beragam untuk fase pertumbuhan yang berbeda, namun asam oleat merupakan MUFA yang dominan dan ditemukan pada semua fase pertumbuhan (5892% dari total MUFA) (Gambar 27)
Gambar 27 Komposisi MUFA (proporsi relatif dari total MUFA) selama pertumbuhan C. gracilis MUFA yang dihasilkan oleh C. gracilis selama pertumbuhan hanya mengandung 3-5 jenis asam lemak, yakni asam tetradekenoat (14:1Δ13), asam palmitoleat (16:1Δ9-ω7), asam petroselinat (18:1Δ6-ω12), asam oleat (18:1Δ9-ω9), asam vakenat (18:1Δ11-ω9), asam erukat (22:1Δ13-ω9). Asam oleat merupakan MUFA yang dominan (17-21% dari total asam lemak) yang dihasilkan selama
60 pertumbuhan, diikuti asam palmitoleat yang hanya dihasilkan pada fase akhir eksponensial dan asam vakenat yang hanya dihasilkan pada asal stasioner. Tingginya asam oleat yang terbentuk pada semua fase pertumbuhan, menunjukkan kemungkinan adanya enzim desaturase delta 9 (Δ9 DES) yang paling aktif diantara enzim-ezim desaturase lainnya. Enzim Δ9 DES membentuk ikatan rangkap pada C nomor 9 dari gugus metil dari struktur kimia asam stearat (18:0), sehingga membentuk asam oleat omega 9 (18:1Δ9-ω9) (Yap & Chen 2001; Domergue et al. 2002). Selain adanya enzim desaturase delta 9, ditemukan asam oleat yang dominan juga membuktikan bahwa diatom C. gracilis mempunyai potensi menghasilkan asam lemak tak jenuh rantai panjang PUFA. Hal ini dikarenakan asam oleat merupakan prekursor utama untuk sintesis PUFA mikroalga atau prekursor biosintesis PUFA omega 3,6 dan 9 (Yap & Chen 2001). Penurunan konsentrasi asam oleat selama pertumbuhan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi total PUFA terlihat sangat jelas ketika mamasuki umur sel 10 hari atau ketika memasuki fase stasioner (Gambar 28).
Gambar 28. Konsentrasi asam oleat (proporsi relatif dari total asam lemak) sebagai substrat pembentukan total PUFA selama pertumbuhan C. gracilis. Lingkaran garis titik-titik menunjukkan umur kultur ketika konsentrasi asam oleat terendah sedangkan konsentrasi PUFA tertinggi
61
62
Hasil pengamatan terhadap komposisi SAFA, MUFA dan PUFA selama pertumbuhan juga menunjukkan bahwa pada fase stasioner (umur kultur 10 hari) merupakan sintesis PUFA tertinggi (Gambar 25). Gambar 28 menunjukkan bahwa asam oleat berperan sebagai substrat untuk pembentukan PUFA. Asam oleat merupakan asam lemak yang menjadi prekursor seluruh asam lemak omega 9, 6 dan 3 (PUFA ω9, 6 dan 3) melalui proses desaturasi dan elongasi yang dikatalisis oleh protein enzim desaturase dan elongase (Yap & Chen 2001). Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). PUFA yang terbentuk selama pertumbuhan dari fase akhir eksponensial hingga fase kematian memperlihatkan jenis PUFA yang semakin beragam dengan bertambahnya umur kultur tersebut. Jenis PUFA
yang
terbentuk
tergantung
pada
fase
pertumbuhan.
Gambar
29
menggambarkan persentase setiap jenis PUFA dari total PUFA yang terbentuk setiap fase pertumbuhan.
63 Gambar 29 Komposisi PUFA (proporsi relatif dari total PUFA) selama pertumbuhan C. gracilis PUFA yang terbentuk selama pertumbuhan meliputi asam lemak komersial yang termasuk dalam keluarga omega 9, 6 dan 3. Penggolongan asam lemak ke dalam keluarga atau familia omega adalah berdasarkan letak ikatan rangkap pertama dari gugus metil dalam struktur kimia asam lemak (Lobb 1992, diacu dalam Chow 1992). Asam lemak linoleat (18:2Δ9,12-ω6) merupakan induk asam lemak PUFA omega 6 yang penting karena menjadi permulaan terbentuknya PUFA omega 6 berikutnya yang lebih panjang dan lebih tidak jenuh misalnya AA. Pada C. gracilis asam lemak tersebut ditemukan di semua fase. Hal ini diduga dikarenakan asam oleat (18:1Δ9-ω9) yang merupakan substrat bagi terbentuknya keluarga PUFA omega 6 (termasuk AA) (Domergue et al. 2002) begitu melimpah di semua fase (17 – 31 % dari total asam lemak) (Tabel 3). Hal ini juga menunjukkan adanya enzim desaturase Δ12 yang aktif selama pertumbuhan. Enzim desaturase Δ12 mengkatalisis sintesis penyisipan ikatan rangkap pada asam oleat (18:1Δ9-ω9) pada C12 dari gugus karboksil atau C6 dari gugus metil, sehingga terbentuk keluarga omega 6 asam linoeat (18:2Δ9,12-ω6) (Domergue et al. 2002). Asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6) terus mengalami penurunan konsentrasi yang sangat drastis dari 73 % hingga 2.3% (Gambar 29 - warna hijau). Hal ini dikarenakan asam lemak linoleat dapat menjadi induk atau prekursor pembentukan PUFA omega 6 rantai yang lebih panjang dan sekaligus menjadi substrat asam α-linolenat, yang akan menjadi induk pembentukan PUFA omega 3 selanjutnya yang rantainya lebih panjang seperti EPA dan DHA. Asam linoleat secara langsung menjadi substrat bagi 3 asam lemak, yakni asam eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6), asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6) dan α-linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3) (Yap & Chen 2001). Ketiga asam lemak yang terbentuk dari substrat asam linoleat ini terbentuk pada awal stasioner hingga fase kematian. Dengan demikian dapat diduga bahwa ada enzim yang aktif mensintesis ketiga asam lemak tak jenuh tersebut, yakni elongase Δ9 mengkatalisis sintesis eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6), enzim desaturase Δ6
64 mengkatalisis pembentukan γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6) dan desaturase Δ15 mengkatalisis sintesis α-linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3) (Wen & Chen 2003). Menurut Yap & Chen (2001), enzim desaturase Δ6 juga mendesaturasi pembentukan asam lemak oktadekatetraenoat omega 3 (18:4Δ6,9,12,15-ω3) dan oktadekadienoat omega 9 (18:2Δ6,9-ω9). Namun dalam penelitian ini kedua asam lemak tersebut tidak ditemukan, sedangkan asam eikosatrienoat omega 3 (20:3Δ11,14,17-ω3) ditemukan dengan konsentrasi sekitar 34% dari total PUFA pada fase awal stasioner (Gambar 29). Asam lemak ini kemungkinan dibentuk dari substrat asam α-linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3) dengan enzim elongase Δ9. Hal ini dikarenakan, enzim elongase Δ9 mengkonversi 18:3 menjadi 20:3 pada posisi C-9 (Domergue et al. 2002; Meyer et al. 2004). Asam lemak 20:3Δ11,14,17-ω3 (asam eikosatrienoat omega 3) ini merupakan asam lemak PUFA yang jarang dimiliki oleh mikroalga dan juga diatom. Dengan ditemukannya asam lemak tersebut, memungkinkan adanya jalur biosintesa PUFAEPA yang berbeda dari jenis lain. Asam lemak tersebut dapat mempunyai kemungkinan menjadi substrat asam lemak 20:4ω3 oleh aktivitas enzim desaturase Δ8. Selanjutnya asam lemak yang terbentuk (20:4ω3) sangat mungkin menjadi substrat sintesis EPA (20:5ω3) dengan enzim Δ5. Dengan demikian kemungkinan jalur biosintesis EPA dan juga DHA dari C. gracilis melalui jalur substrat 20:3ω3. Menurut Domergue et al. 2002 jalur melalui substrat 20:3ω3 dengan melibatkan 2 protein enzim yakni elongase Δ9 dan desaturase Δ8 merupakan jalur pembentukan PUFA rantai panjang yang tidak biasa ditemui pada mikroalga. Pada kelurga omega 6 lainnya, seperti dihomo-γ linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6) hanya disintesis pada umur kultur 7 hari atau fase awal stasioner saja dengan konsentrasi sangat kecil (7 % dari total PUFA) dan tidak dibentuk sampai fase stasioner. Konsentrasi yang kecil ini diduga terkait enzim pembentuknya yang memiliki aktivitas begitu kecil, sehingga tidak seimbang dengan substrat yang tersedia. Substrat yang tersedia adalah asam lemak γ-linolenat/ 18:3Δ6,9,12-ω6 sebesar 2-4% dari total PUFA dan asam eikosadienoat/ 20:2Δ11,14-ω6 sebesar 2184% dari total PUFA (Gambar 29).
65 Enzim yang mungkin membentuk asam dihomo γ-linolenat ini adalah enzim elongase Δ6 dari substrat γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6) dan enzim desaturase Δ8 dari substrat (20:2Δ11,14-ω6) (Meyer et al. 2004). Pada umumnya diatom memiliki konsentrasi dihomo-γ linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6) yang sangat kecil bahkan tidak terbentuk, seperti pada diatom jenis C. affinis (Viso & Marty 1993) dan C. muelleri hingga akhir pertumbuhannya (Pernet et al. 2003; Liang et al. 2006). Hal ini menimbulkan dugaan bahwa diatom Chaetoceros memiliki karakteristik dihomo-γ linolenat sangat kecil tetapi mampu menghasilkan asam arakhidonat/ AA (20:4Δ5,8,11,14-ω6) dengan konsentrasi tinggi (Viso & Marty 1993; Liang et al. 2006). Kecilnya konsentrasi dihomo-γ linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6) yang dihasilkan pada C. gracilis ini kemungkinan, setelah terbentuk, dalam waktu yang sangat singkat langsung menjadi substrat sintesis AA (20:4Δ5,8,11,14). Pada C. gracilis, AA terbentuk dengan konsentrasi sebesar 0.43-1.39% dari total asam lemak (Tabel 3) atau 2-12% total PUFA (Gambar 29). Informasi ini sangat berguna, untuk mengetahui kemungkinan protein enzim yang terlibat dalam biosintesis AA-ω6, dikarenakan merupakan salah satu PUFA yang penting. Dari hasil penemuan ini dapat diduga bahwa ada enzim yang aktif terlibat pembentukan AA dari substrat dihomo-γ linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6) yakni desaturase Δ5 (Wen & Chen 2003). Khozin et al. (1997) menggambarkan jalur sintesis AA, yang melibatkan beberapa substrat dan beberapa enzim (desaturase Δ8, desaturase Δ5, desaturase Δ6 dan elongase) (Gambar 30).
D = Desaturase E = Elongase Gambar 30 Pembentukan arachidonic acid/ AA(20:4-ω6) melalui asam eikosadienoat (20:2ω6) and asam γ-linolenic (18:3ω6) yang dikatalisis oleh desaturase ∆8, desaturase ∆5 dan elongase (Khozin et al. 1997).
66
67
Asam lemak tak jenuh yang mempunyai derajat saturasi paling rendah keluarga omega 6 dari C. gracilis adalah asam arakhidonat atau AA-ω6 (20:4Δ5,8,11,14-ω6), sedangkan untuk keluarga omega 3 adalah DHA. DHA (22:6Δ5,8,11,14,17,19-ω3) dibentuk langsung oleh substrat 22:5Δ5,8,11,14,17-ω3 (Yap & Chen 2001), namun asam lemak yang bertindak sebagai substrat ini tidak terdeteksi pada penelitian ini. Pada C. gracilis ini asam lemak golongan omega 3 yang tersintesis hanya 18:3Δ9,12,15ω3 dan 20:3Δ11,14,17-ω3, dengan demikian nampak jelas adanya lompatan yang panjang atau jauh untuk menuju sintesis 22:6Δ4,7,10,13,16,19-ω3/ DHA. Asam lemak yang seharusnya ada untuk mensintesis DHA, secara berurutan adalah 20:4Δ8,11,14,17ω3, EPA (20:5Δ5,8,11,14,17ω3), dan 22:5Δ7,10,13,16,19ω3) dengan 2 enzim desaturase lagi yakni desaturase Δ8, Δ5 dan Δ4 serta dan elongase (Yap & Chen 2001). Hasil demikian memunculkan beberapa dugaan seperti, waktu pengambilan sampel untuk analisis asam lemak yang kurang tepat, sehingga asam lemak yang semestinya terbentuk, tidak terpantau karena telah menjadi substrat untuk sintesis asam lemak berikutnya. Apabila demikian, maka waktu analisis yang berkaitan dengan pertumbuhan menjadi pertimbangan yang penting, karena asam lemak yang tersintesis akan menjadi substrat bagi terbentuknya asam lemak yang lebih panjang rantainya dan lebih banyak ikatan rangkapnya pada proses metabolisme selanjutnya (Domergue et al. 2002; Meyer et al. 2004). Menurut Zhukova & Aizdaicher (2001), komposisi PUFA juga sangat tergantung dengan status metabolisme diatom, misalnya tahap vegetatif atau resting spore diatom. Dengan demikian perlu banyak informasi dengan waktu yang sedekat mungkin dalam mengamati pembentukan asam lemak, karena umur kultur dapat menggambarkan status metabolisme diatom tersebut. Dugaan di atas juga menjadi jawaban mengapa EPA di dalam C. gracilis tidak ditemukan. Waktu pengambilan sampel yang mungkin tidak sejalan atau sesuai dengan waktu terbentuknya EPA, karena kemungkinan pada waktu tersebut sudah menjadi substrat bagi terbentuknya PUFA rantai lebih panjang berikutnya, misalnya
68 asam dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,1316,19-ω3) dan selanjutnya oleh enzim desaturase delta 4 disintesis menjadi DHA. Pada penelitian ini DHA terbentuk pada fase kematian. Dugaan tersebut disampaikan, karena C. gracilis juga mensintesis AAω6 (20:4Δ5, 8,11,14-ω6) selama pertumbuhannya hingga fase kematian. Hal ini berpotensi menjadi substrat untuk terbentuknya EPA-ω3. EPA-ω3 ini dapat disintesis dari AAω6 (20:4Δ5, 8,11,14-ω6) dengan enzim desaturase Δ17 (Yap & Chen 2001) atau enzim desaturase omega 3 (Domergue et al. 2002). Perhatian terhadap kandungan EPA-ω3 dari berbagai jenis sangat berguna dalam melihat potensi yang dimiliki oleh suatu jenis diatom karena merupakan PUFA komersial penting saat ini atas manfaatnya dalam bidang kesehatan manusia. Selain itu, EPA-ω3 juga merupakan asam lemak yang menjadi bagian dari jalur mekanisme pembentukan PUFA DHA-ω3. DHA merupakan asam lemak tak jenuh yang paling panjang, yang biasa ditemukan pada berbagai jenis mikroalga. Konsentrasi dokosaheksaenoat atau DHA (22:6Δ 4,7,10,13,16,19ω3) dari C. gracilis yang dikulturkan dalam sistem batch menghasilkan prosentase relatif tinggi yakni 4.56% dari total asam lemaknya (Tabel 3) atau sebesar 40% dari total PUFA (Gambar 29) bila dibandingkan dengan DHA dari sumber jenis Chaetoceros lainnya. Prosentase relatif DHA dari total asam lemak dari C. calcitrans 0.5% (Servel et al. 1994); C. simplex 1.2% (Skerrate et al. 1998); C. salsugineus 0.9-1.5% (Zhukova & Aizdaicher 2001) dan C. muelleri 0.6-0.7% (Liang et al. 2006). Kandungan DHA-ω3 dari C. gracilis yang sangat tinggi ini, berpotensi menjadi kajian lebih lanjut untuk menghasilkan minyak DHA dalam skala besar dan efektif melalui rekayasa genetik (Vrinten et al. 2007). Berdasarkan keberadaan protein enzim pembentuk DHA, maka sangat dimungkinkan produksi DHA dari minyak tumbuhan yang mengandung DHA. Adanya DHA sebesar 39.61% (Gambar 29) pada C. gracilis membuktikan adanya serangkaian protein pada C. gracilis yang memiliki aktivitas sintesis asam lemak hingga C-22. Protein-protein enzim yang terlibat dalam biosintesis PUFA hingga DHA secara teoritis dalam laporan ini tercatat sebanyak 9 protein enzim yang meliputi enzim desaturase dan elongase. Untuk membuktikan apakah asam lemak PUFA yang
69 terbentuk, juga diikuti terekspresinya protein enzim pembentuknya dari C. gracilis ini akan dicocokkan dengan hasil pengataman melalui 2 dimensi.
Protein yang Terlibat dalam Biosintesis PUFA dan Karakteristik 2 Dimensi Berdasarkan hasil analisis terhadap noktah yang terdeteksi dan terkarakterisasi BM dan pI, dapat diidentifikasi noktah protein yang terlibat dalam pembentukan asam lemak yang termasuk keluarga PUFA baik omega 9, 6 dan 3. Identifikasi protein sintesis PUFA dimulai dari sintesis asam lemak prekursor PUFA yakni asam oleat (18:1Δ9-ω9), kemudian dilanjutkan hingga protein-protein pembentuk asam lemak rantai panjang hingga rantai yang sangat panjang seperti DHA. Berdasarkan analisis 2 dimensi dan studi bioinformatika selama pertumbuhan terdeteksi 11 (sebelas) protein terlibat sintesis PUFA, yakni protein enzim desaturase delta 9 (Δ9 DES), desaturase delta 6 (Δ6 DES), elong ase d elta 6 (ELO Δ6 ), desaturase prekursor omega 6 (prekursor ω6 DES), desaturase prekursor omega 3 (prekursor ω3 DES), desaturase delta 8 (Δ8 DES), desaturase delta 12 (Δ12 DES), 8. desaturase delta 4 (Δ4 DES), desaturase mikrosomal delta 4 (mikrosomal Δ4 DES), desaturase mikrosomal omega 6 (mikrosomal ω6 DES), desaturase mikrosomal delta Δ6 (mikrosomal Δ6 DES). Gambar 31 menunjukkan posisi noktah-noktah protein yang terlibat dalam sintesis PUFA. Pada penelitian ini juga ditemukan protein transport asam lemak yang berperan dalam mentransfer hasil asam lemak (Gambar 32). BM dan pI seluruh protein yang ditemukan tersaji dalam Tabel 4, sedangkan pada Tabel 5 menunjukkan berat molekul dan titik isoelektrik dari berbagai jenis diatom yang telah terdeposit di dalam pangkalan data protein.
70
1 hari
6
11 6 11
3 hari
9
2 5 3
77 hari
88
2
3
1 hari 9 8 4 7
5
1
1
5
2
8 9 4 7 5
10
3 hari 8
hari 10
9
4 7
6
10
1
3
3
7 hari
10 hari
8 9 2 10
5
1
11
8 9 2
1 13 hari
14 hari
3 11
6
6 3
1) 2) 3) 4)
Δ 9 DES Δ 6 DES ELO Δ 6 Pre. ω6 DES
10
15 hari 5) 6) 7) 8)
Pre. ω 3 DES Δ 8 DES Δ 12 DES Δ 4 DES
4
8 9 7
10
5 17 hari
9) mikrosomal Δ4 DES 10) mikrosomal ω6 DES 11) mirosomal Δ6 DES
Gambar 31 Noktah protein yang terdeteksi berperan dalam sintesis PUFA C. gracilis (tanda lingkaran merah).
71
8,09
1hari
pH
4,25 8,09
3 hari
pH
4,25
8,09
pH
7 hari
4,25 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
10 hari
13 hari
14 hari
116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
15 hari
17 hari
116,2 kDa 66 kDa
Area noktah protein
45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa
Gambar 32 Noktah protein transport asam lemak (lingkaran warna biru dan tanda anak panah) yang terdeteksi pada umur kultur 3 hari (fase lag), umur 7, 10 dan 17 hari (fase stasioner)
72
35
Tabel 4. Berat molekul (kDa) dan titik isoelektrik protein teridentifikasi terlibat dalam sintesis PUFA C. gracilis PROTEIN ENZIM
UMUR KULTUR (hari) 1
3
7
10
13
14
15
17
Δ 9 DES
-
39.23 (7.73)
38.04 (7.70)
40.74 (7.72) 38.96 (7.66)
37.39 (7.70)
-
-
Δ 12 DES
-
52.00 (6.76)
53.27 (6.71)
57.05 (6.74)
-
-
-
54.38 (6.68)
Prekursor ω-6 DES
-
52.00 (6.76)
53.27 (6.71)
57.05 (6.74)
-
-
-
54.38 (6.68)
Mikrosomal ω-6 DES
-
-
54.75 (5.97)
55.51 (5.92)
51.11 (5.96)
52.92 (5.92)
-
50.07 (6.04)
Prekursor ω-3 DES
48.88 (6.98)
49.05 (6.97)
52.18 (6.98)
-
-
-
-
47.56 (6.96)
Δ 8 DES
54.19 (7.38)
-
-
55.15 (7.35)
-
-
57.84 (7.42)
53.08 (7.45)
Δ 6 DES
54.56 (7.14)
-
54.00 (7.14)
-
54.56 (7.35)
53.08 (7.09)
-
Mikrosomal Δ6 DES
54.19 (7.38)
-
-
-
54.56 (7.35)
54.94 (7.37)
-
58.44 (7.35)
Δ 4 DES
56.86 (6.57)
58.24 (6.50)
59.87 (6.54)
65.46 (6.59)
64.57 (6.55)
55.89 (6.54)
-
57.05 (6.57)
Mikrosomal Δ 4 DES
56.86 (6.57)
58.24 (6.50)
59.87 (6.54)
65.46 (6.59)
64.57 (6.55)
55.89 (6.54)
-
57.05 (6.57)
ELO Δ 6
30.74 (7.15)
33.38 (7.18)
33.15 (7.13)
36.61 (7.17)
-
32.93 (7.12)
32.48( 7.10)
Protein transport asam lemak
-
29.40 (7.78)
29.50 (7.78)
30.11 (7.92)
-
-
-
-
31.17 (7.99)
( ) titik isoelektrik
70
71 Tabel 5 Karakteristik berat molekul dan titik isoelektrik dari berbagai diatom
Jenis protein enzim
BM, pI
Jenis diatom
NOMOR akses*
Δ 9 DES
37.97 (7.73)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7G313
Δ 12 DES
49.04 (6.76)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1.
B5Y580
49.09 (6.76)
Phaeodactylum tricornutum
Q84KI9
54.32 (6.74)
Phaeodactylum tricornutum
Q84KI8
54.38 (6.74)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7G730
Prekursor ω-6 DES Mikrosomal ω-6 DES
52.12 (5.97)
Thalassiosira pseudonana CCMP1335
B8BWX9
Prekursor ω-3 DES
49.92 (6.98)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7GEK2
Thalassiosira pseudonana
Q4G2T2
53.45 (7.13)
Phaeodactylum tricornutum
Q8RXB0
25.51 (8.67)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7G6E0
53.45 (7.13)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7G6R1
55.45 (7.34)
Thalassiosira pseudonana
Q4G2T1
Mikrosomal Δ6 DES
55.44 (7.34)
Thalassiosira pseudonana CCMP1335
B8C684
Mikrosomal Δ 5 DES
53.77 (8.77)
Thalassiosira pseudonana CCMP1335.
B5YMH5
Δ 4 DES
61.94 (6.52)
Thalassiosira pseudonana
Q4G2T0
Mikrosomal Δ 4 DES
61.98 (6.52)
Thalassiosira pseudonana CCMP1335
B8LEI2
32.52 (7.10)
Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055/1
B7G072
31.74 (8.47)
Thalassiosira pseudonana
Q5SE76
Δ 8 DES Δ 6 DES
ELO Δ 6
56.02 (7.41)
*http://www.uniProt.org
Seluruh protein yang teridentifikasi (Gambar 30 dan Tabel 4), ternyata merupakan enzim yang sesuai dengan jenis PUFA yang ditemukan dalam C. gracilis selama pertumbuhan. Sebagai contoh protein enzim desaturase delta 9 (Δ9 DES) berperan dalam sintesis asam oleat yang ditemukan dari fase eksponensial hingga fase kematian. Desaturase delta 12 (Δ12 DES) dan desaturase prekursor omega 6 (pre. ω6 DES) berperan dalam sintesis asam linoleat yang juga ditemukan hingga fase kematian. Desaturase prekursor omega 3 (pre ω3 DES) berperan dalam sintesis keluarga omega 3 (asam linoleat dan asam α-linolenat). Dua asam lemak tersebut ditemukan di awal fase stasioner hingga fase kematian. Desaturase delta 6 (Δ6 DES) berperan dalam sintesis asam asam γ -linolenat (ω6) dan asam oktadekatetraenoat (18:4ω3) yang ditemukan di fase kematian. Sementara desaturase delta 8 (Δ8 DES)
72 mensintesis asam dihomo γ-linolenat, sedangkan elongase delta 6 (ELO Δ6) juga mensintesis dihomo γ-linolenat, namun dengan substrat asam lemak yang berbeda. Menurut Tonon et al. (2005), Δ8 DES merupakan enzim desaturase yang jarang ditemukan pada diatom pada umumnya dan yang memiliki enzim ini salah satunya adalah diatom Thalassiosira pseudonana. Khozin et al. (1997) berpendapat bahwa biosintesis PUFA AA khususnya dapat melalui dua jalur, yakni menggunakan enzim desaturase Δ8 DES dari substrat 20:2ω6 yang dilanjutkan dengan desaturase Δ5 dari substrat 20:3ω6 dan jalur menggunakan elongase dari substrat 18:3ω6 yang dilanjutkan dengan desaturase Δ5 dari substrat 20:3ω6. Desaturase delta 4 (Δ4 DES) berperan mensintesis PUFA DHA yang ditemukan pada hari ke 17. Dalam penelitian ini, ada 2 protein yang mempunyai aktivitas sama, yakni desaturase delta 12 (Δ12 DES) dan desaturase prekursor omega 6 (pre ω6 DES). Namun memiliki perbedaan, yakni pre ω6 DES akan mensintesis semua asam lemak keluarga omega 6 dari substrat omega 9 sedangkan Δ12 DES juga mensintesis asam lemak omega 6, khususnya dalam pembentukan ikatan rangkap pada C-6 dari gugus karboksil (Domergue et al. 2002) yakni asam linoleat (18:2Δ6,9,12-ω6). Selain hal tersebut di atas, ternyata terdapat jenis PUFA C. gracilis yang tidak teridentifikasi protein enzim pensintesisnya, seperti asam eikosadienoat. Asam lemak tersebut disintesis melalui aktivitas enzim elongase Δ9, namun enzim tersebut hingga fase kematian tidak ditemukan. Hal ini dapat terjadi kemungkinan, protein tersebut sangat kecil konsentrasinya sehingga tidak terdeteksi dalam metode 2 dimensi yang dilakukan. Hasil 2 dimensi dalam penelitian ini menggunakan pewarnaan coomasie blue. Metode pewarnaan dengan CBB merupakan metode paling sederhana untuk perwaranaan dalam gel hasil elektroforesis, namun tidak lebih sensitif bila dibandingkan dengan pewarnaan lainnya, seperti silver staining dan fluoresence atau lainnya. Hal tersebut kemungkinan juga akan berpengaruh pada sensitivitas perangkat lunak Melanie yang mengandalkan hasil pindai dari gel yang diperoleh sebelum dideteksi dengan program tersebut. Kemungkinan lainnya adalah ketidaksesuaian waktu pengambilan sampel dengan waktu metabolisme sintesis PUFA ini yang dilakukan oleh diatom tersebut. Dengan demikian waktu pengambilan sampel menjadi
73 penting untuk memonitor sintesis seluruh PUFA karena kemungkinan berkaitan dengan kecepatan reaksi yang dilakukan oleh enzim katalisnya. Ada sekitar 10 protein enzim yang terlibat dalam sintesis PUFA hingga DHA dari prekursor asam oleat (Yap & Chen 2001), namun dalam penelitian ini ditemukan 9 protein yang teridentifikasi sebagai protein yang terlibat PUFA di dalam plastida dan 3 merupakan protein enzim mikrosomal, yakni mikrosomal Δ6 DES, mikrosomal Δ4 DES d an mik rosomal ω 6 DES (Gambar 31). Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan sintesis PUFA juga terjadi di dalam mikrosom. Mikrosom adalah suatu organel yang terdiri dari fragmen retikulum endoplasma yang mengandung ribosom. Hal ini sesuai dengan hipotesa Domergue et al. (2003) bahwa diatom memiliki kemungkinan sebagian asam lemak disintesis dalam mikrosom. Dalam penelitian Domergue et al. (2003) melaporkan, asam lemak yang disintesis di mikrosom adalah asam oleat (18:1Δ9), asam linoleat (18:2Δ9,12), asam α-linoleat 18:3Δ9,12,15), asam asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15), asam dokosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17) dan EPA (20:5Δ5,8,11,14,17) karena ditemukannya gen PtFAD2 yang mengkode enzim desaturase Δ12 dan PtD6 yang mengkode enzim desaturase Δ15 serta PtD5 yang mengkode desaturase Δ5. Penemuan Domergue et al. (2003) menyimpulkan bahwa ada kemungkinan terjadi kompartemensasi atau unit berbeda dalam sintesis sebagian PUFA diatom. Penemuan ini menjadi informasi penting dalam memprediksi jalur biosintesis DHA C. gracilis. Protein transport asam lemak merupakan protein yang mempunyai aktivitas sebagai transporter asam lemak setelah disintesis namun tidak terlibat dalam biosintesis PUFA. Menurut Domergue et al. (2003) mekanisme adanya dua organel yang membuat atau siapa saja yang berperan dalam mengatur perpindahan sintesis asam lemak asam lemak di dalam diatom belum diketahui mekanisme sepenuhnya. Dengan ditemukannya protein transport asam lemak pada hasil penelitian ini (Gambar 32), dapat diduga bahwa protein tersebutlah yang berperan dalam perpindahan reaksi desaturasi dari plastida ke mikrosom. Protein tersebut berada pada kisaran pI 7.92 dan BM 29.42 kDa, yang mirip dengan protein transport asam lemak
74 dari diatom Phaeodactylum tricornutum CCAP 1055 dengan kode akses B7G6E8 (http://www.uniProt.org). Dengan mengamati jenis protein total selama pertumbuhan dari fase lag hingga fase kematian, maka dapat lebih banyak jenis protein yang terdeteksi terlibat dalam suatu metabolisme tertentu untuk melengkapi jalur metabolismenya. Nunn et al. (2009) mengamati protein keseluruhan diatom Thalassiosira pseudonana yang diambil hanya pada fase mid-exponential, hanya menemukan 3 protein enzim yang terlibat dalam biosintesis asam lemak tak jenuh dari 1928 protein yang terdeteksi. Apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, yakni sekitar 292-565 protein dapat terdeteksi 12 jenis protein untuk satu metabolisme PUFA, maka terdeteksinya 12 protein yang terlibat dalam sintesis PUFA sangat memadai untuk memprediksi jalur sintesis PUFA karena hanya 15 enzim yang terlibat sintesis PUFA hingga DHA. Dengan demikian pengamatan pada semua fase selama pertumbuhan akan sangat berarti untuk melengkapi jalur metablisme berdasarkan protein yang terdeteksi. Pada Tabel 6 menunjukkan 12 jenis protein enzim yang berhasil terdeteksi dan jenis PUFA yang ditemukan dalam setiap fase (dari fase akhir eksponesial hingga fase kematian) C. gracilis. Hasil yang diperoleh dari Tabel 6 memperlihatkan bahwa asam lemak yang terbentuk pada hari ke 3 atau umur kultur memasuki fase akhir ekponensial, hanya terdapat 2 jenis yakni asam oleat (SAFA) dan asam linoleat (MUFA). Hal ini menunjukkan pentingnya siklus pertumbuhan dalam mengamati protein target terkait dengan akumulasi biosintesis asam lemak di dalam sel. Lipid diatom meningkat tajam pada fase stasioner (Araùjo et al. 2005) sehingga sangat dimungkinkan mempengaruhi keragaman asam lemak yang terbentuk bila dibandingkan pada fase eksponensial. .
35
Tabel 6 Protein enzim yang terlibat sintesis PUFA dan PUFA yang ditemukan dalam setiap fase pertumbuhan C. gracilis. Umur kultur (hari)/ fase pertumbuhan 3 akhir eksponensial
7 awal stasioner
10 stasioner
14 akhir stasioner
17 kematian
Protein enzim Δ9 DES, ELO Δ6, Pre. ω6 DES, Pre. ω3 DES, Δ12 DES, Δ4 DES Mikrosomal Δ4 DES Transport asam lemak Δ9 DES, Δ6 DES, ELO Δ6, Pre. ω6 DES, Pre. ω3 DES, Δ12 DES, Δ4 DES, Mikrosomal Δ4 DES, Mikrosomal ω6 DES Transport asam lemak Δ9 DES, ELO Δ6, Prekursor ω6 DES, Δ12 DES, Δ4 DES, Mikrosomal Δ4 DES Transport asam lemak Δ9 DES, Δ6 DES, ELO Δ6, Δ4 DES, Mikrosomal Δ4 DES, Mikrosomal ω6 DES Mikrosomal Δ6 DES Prekursor ω6 DES, Prekursor ω3 DES, Δ8 DES, Δ12 DES, Δ4 DES, Mikrosomal Δ4 DES, Mikrosomal ω6 DES, Mikrosomal Δ6 DES Transport asam lemak
Asam lemak
18:1Δ9(ω9) asam oleat* 18:2Δ9,12(ω6) asam linoleat
18:1Δ9(ω9) asam oleat* 18:2Δ9,12(ω6) asam linoleat 18:3Δ9,12,15(ω3) asam α-linolenat 20:2Δ11,14(ω6) asam eikosadienoat 20:3Δ11,14,17(ω3 asam eikosatrienoat 20:3Δ8,11,14(ω6) asam dihomo-γ linolenat 18:1Δ9(ω9) asam oleat* 18:2Δ9,12(ω6) asam linoleat 18:3Δ9,12,15(ω3) asam α-linolenat 20:2Δ11,14(ω6) asam eikosadienoat 20:3Δ11,14,17(ω3) asam eikosatrienoat 20:4Δ5,8,11,14(ω6) asam arakhidonat (AA) 18:1Δ9(ω9) asam oleat* 18:2Δ9,12(ω6) asam linoleat 18:3Δ6,9,12(ω6) asam γ-linolenat 18:3Δ9,12,15(ω3) asam α-linolenat 20:2Δ11,14(ω6) asam eikosadienoat 20:3Δ11,14,17(ω3) asam eikosatrienoat 20:4Δ5,8,11,14(ω6) asam arakhidonat (AA) 18:1Δ9(ω9) asam oleat* 18:2Δ9,12(ω6) asam linoleat 18:3Δ6,9,12(ω6) asam γ-linolenat 18:3Δ9,12,15(ω3) asam α-linolenat 20:2Δ11,14(ω6) asam eikosadienoat 20:3Δ11,14,17(ω3) asam eikosatrienoat 20:4Δ5,8,11,14(ω6) asam arakhidonat (AA) 22:6Δ4,7,10,13,16,19(ω3) asam dokosaheksaenoat (DHA))
(*) diikutsertakan dalam tabel ini karena asam oleat (MUFA) menjadi prekursor sintesis semua PUFA (omega 3,6,9) dan enzim pembentuknya (desaturase Δ9) ditemukan.
75
35
Hipotesis Jalur Biosintesis Docosahexaenoic Acid (DHA) Chaetoceros gracilis Ada 2 hipotesis jalur biosintesis DHA yang dihasilkan dalam penelitian terhadap diatom C. gracilis. Alasan memilih DHA adalah selain karena merupakan PUFA terpanjang dan ikatan rangkap terbanyak yang dimiliki oleh C. gracilis dalam penelitian ini (Tabel 3) juga karena DHA merupakan salah satu PUFA yang dianggap penting saat ini untuk mengatasi masalah kesehatan. Hipotesis jalur biosintesis DHA C. gracilis yang dibuat, mengacu pada ditemukannya protein enzim yang terlibat dalam biosintesis PUFA dari hasil analisis 2 dimensi dan profil asam lemak yang dimiliki diatom ini (Tabel 3). Landasan yang digunakan tersebut merupakan kombinasi metode yang dilakukan oleh Domergue et al. (2003) dan Nunn et al. (2009). Domergue et al. (2003) membuat jalur biosintesis PUFA EPA berdasarkan komposisi asam lemak diatom Phaeodactylum tricornutum dikombinasikan dengan gen yang mengkode protein enzim yang terlibat pembentukan PUFA. Sedangkan Nunn et al. 2009 mengamati berbagai jalur metabolisme diatom Thalassiosira pseudonana berdasarkan seluruh protein yang dapat terekspresi pada fase mid-exponential dari pertumbuhannya. Nunn et al. (2009) melaporkan bahwa dengan mengamati semua protein yang terekspresi pada fase tertentu sel organisme, dapat digunakan untuk mengetahui semua protein yang terlibat dalam berbagai kemungkinan metabolisme yang dialami oleh organisme tersebut. Apabila dapat menemukan semua protein enzim secara lengkap yang terlibat dalam suatu metabolisme tertentu, maka dapat dibuat jalur biokimianya berdasarkan hasil pengamatan atau observasi protein enzim tersebut Dari 12 protein yang teridentfikasi terlibat dalam sintesis PUFA dari penelitian ini (Gambar 31 & 32) dapat dibuat kemungkinan-kemungkinan reaksi desaturasi dan elongasi oleh asam lemak dan protein enzim yang ditemukan. Tabel 7 menunjukkan kemungkinan-kemungkinan reaksi desaturasi dan elongasi tersebut. Mekanisme reaksi desaturasi dan elongasi oleh enzim desaturase dan elongase melibatkan unsur asam lemak sebagai substrat, protein enzim sebagai katalis dan asam lemak sebagai produk.
.
Tabel 7 Protein enzim yang teridentifikasi pada C. gracilis yang terlibat dalam biosintesis PUFA dan asam lemak yang menjadi substrat serta produk yang mungkin terbentuk sebagai hasil aktivitas protein enzimnya*. Protein enzim
Substrat
Produk
Δ9 DES
Asam stearat (18:0)
Asam oleat (18:1Δ9- ω9)
Δ12 DES
Asam oleat (18:1Δ9- ω9)
Asam linoleat (18:2Δ9,12- ω-6)
Asam lemak ω9
Asam lemak ω6
Asam lemak ω9
Asam lemak ω6
Asam lemak ω6
Asam lemak ω3
Δ8 DES
Asam eikosadienoat (20:2Δ11,14- ω6) Asam eiokosatrienoat (20:3Δ11,14,17- ω3)
Asam dihomo-γ linoleat (20:3Δ8,11,14-ω6) Asam eiokosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17-ω3)
Δ6 DES
Asam oleat (18:1Δ9- ω9) Asam linoleat (18:2Δ9,12- ω6) Asam α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3)
Asam oktadekadienoat (18:2Δ6,9-ω9) Asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6) Asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15- ω3
Mikrosomal Δ6 DES
Asam oleat (18:1Δ9- ω9) Asam linoleat (18:2Δ9,12- ω6) Asam α-linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3)
Asam oktadekadienoat (18:2Δ6,9- ω9) Asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6) Asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3
Δ4 DES
Asam dokosatrienoat (22:3Δ7,10,13-ω9) Asam aurenat (22:4Δ7,10,13,16- ω6) Asam dokosapentaenoat(22:5Δ7,10,13,16,19-ω3)
Asam dokosatetraenoat (22:4Δ4,7,10,13) ω9 Asam dokosapentaenoat (22:5Δ4,7,10,13,16) ω6 /DHA(22:6Δ4,7,10,13,16,19-ω3)
Mikrosomal Δ4 DES
Asam dokosatrienaoat (22:3Δ7,10,13- ω9) Asam aurenat (22:4Δ7,10,13,16- ω6) Asam dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,13,16,19-ω3)
Asam dokosatetraenoat (22:4Δ4,7,10,13) ω9 Asam dokosapentaenoat (22:5Δ4,7,10,13,16) ω6 DHA (22:6Δ4,7,10,13,16,19-ω3)
Asam oktadekadienoat (18:2Δ6,9- ω9) Asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6) Asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3)
Asam eikosadienoat (20:2Δ8,11- ω9) Asam dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14- ω6) Asam eiokosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17- ω3)
Pre. ω6 DES Mikrosomal ω6 DES Pre. ω3 DES
ELO Δ6
*Aktivitas protein enzim desaturase dan elongase (Yap & Chen (2001); Domergue et al. (2003); Meyer et al. (2004); Tonon et al. (2005)) (RE) = Retikulum endoplasm
77
Mekanisme reaksinya adalah asam lemak rantai lebih pendek dan ikatan rangkap lebih sedikit menjadi substrat terbentuknya asam lemak rantai lebih panjang dan lebih banyak ikatan rangkap (Yap & Chen (2001); Domergue et al. (2003); Meyer et al. (2004); Tonon et al. (2005). Dalam reaksi desaturasi yang diprediksi, terdapat
reaksi
desaturasi
yang
menjadi
karakteristik
mikroalga,
yakni
kemampuannya mengkonversi asam lemak omega 9 menjadi omega 6 oleh enzim prekursor ω6 (pre ω6 DES) dan asam lemak omega 6 menjadi asam lemak omega 3 oleh enzim prekursor omega 3 (pre ω3 DES) yang tidak dimiliki hewan dan juga oleh mamalia (Meyer et al. 2004). Berdasarkan hal-hal tersebut maka dengan menggunakan data pada Tabel 8 dan profil PUFA yang dimiliki (Gambar 28), dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori yang menjadi pedoman dalam membuat hipotesis sintesis PUFA DHA. Kategori tersebut adalah, yakni 1). ditemukan asam lemak baik sebagai substrat maupun produk dan protein enzimnya, 2). ditemukan asam lemak sebagai substrat namun tidak terbentuk produk, meskipun ditemukan enzimnya, 3). ditemukan enzim dan asam lemak produknya namun tidak ditemukan asam lemak substratnya dan 4). ditemukan asam lemak sebagai substrat dan produk namun tidak ditemukan enzim pembentuknya. Tabel 8 memperlihatkan reaksi desaturasi dan elongasi yang terjadi dengan berdasarkan kategori yang dimiliki. Semua reaksi yang terjadi kemudian dirangkaikan menjadi satu kesatuan biosintesis DHA dari prekursor asam oleat. Kategori 2, 3 dan 4 merupakan reaksi yang tidak ideal karena tidak adanya salah satu unsur yang terlibat dalam reaksi desaturasi atau elongasi tesebut. Namun reaksinya tetap dapat diprediksi baik substrat, produk maupun protein enzimnya. Hal ini dikarenakan dalam reaksi desaturasi dan elongasi menggunakan asam lemak sebagai substrat untuk menghasilkan produk asam lemak yang lebih tidak jenuh. Dengan menggabungkan ke 4 kategori tersebut, maka hipotesis I jalur biosintesis DHA dapat diprediksi seperti yang terlihat pada Gambar 33.
Tabel 8 Reaksi desaturasi dan elongasi dengan 4 kategori yang melibatkan unsur asam lemak substrat, protein enzim dan asam lemak produk . kategori Subsrat Protein Produk Enzim
1
Contoh reaksi
as. stearat (18:0) Δ9 DES as. oleat (18:1Δ9-ω9) Δ12 DES pre. ω6 DES as. oleat (18:1Δ9-ω9) / as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) pre ω3 DES as. α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3) as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) Δ6 DES as. γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6) as. γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6) ELO Δ6 as. dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14- ω6) as. eikosadienoat (20:2Δ11,14- ω6) pre ω3 DES as.eiokosatrienoat (20:3Δ11,14,17- ω3) as. eikosadienoat (20:2Δ11,14- ω6) Δ8 DES as.dihomo γ linolenat (20:3Δ8,11,14- ω6)
2
-
as.eiokosatrienoat (20:3Δ11,14,17- ω3) Δ8 DES as. eiokosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17-ω3) as.oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15- ω3) as. α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3) Δ6 DES as. oleat (18:1Δ9-ω9) Δ6 DES as. oktadekadienoat (18:2Δ6,9-ω9) as. γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6) pre ω3 DES as.oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15- ω3) as. dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14- ω6) pre ω3 DES asam eikosatetraenoat (20:48,11,14,17-ω3). pre ω3 DES AA (20:4Δ5,8,11,14-ω6) EPA (20:5Δ5,8,11,14,17-ω3)
3
-
as. dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,13,16,19-ω3) Δ4 DES DHA (22:6Δ4,7,10,13,16,19 as. oktadekadienoat (18:2Δ6,9-ω9) pre ω6 DES as. γ-linolenat (18:3Δ6,9,12- ω6)
as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) ELO Δ9 as. eikosadienoat (20:2Δ11,14- ω6) ELO Δ9 as. α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3) as.eiokosatrienoat (20:3Δ11,14,17- ω3) as.arakhidonat/AA (20:4Δ5,8,11,14-ω6 as. dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14- ω6) Δ5 DES
4
-
79
81 Hipotesis I jalur biosintesis PUFA pada C. gracilis dimulai dari sintesis asam oleat oleh desaturase delta 9 (Δ9 DES) dengan substrat asam stearat. Asam oleat yang dibentuk selanjutnya digunakan sebagai substrat untuk sintesis asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6) oleh enzim Δ12 DES. Asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6) digunakan sebagai substrat untuk membentuk asam α-linolenat (ω3) dengan pre ω3 DES. Pembentukan asam α-linolenat (18:3Δ6,12,15-ω3) pada umumnya dikatalisis oleh enzim Δ15 DES, yakni khusus mengkatalis pembentukan ikatan rangkap pada C15 sehingga hanya akan membentuk asam α-linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3) saja (Yap & Chen 2001). Namun pada penelitian ini tidak ditemukan enzim tersebut sehingga protein yang mengkatalisis sintesis asam α-linolenat ini dapat dilakukan oleh pre ω3 DES karena enzim ini mampu mengkatalisis atau mengkonversi asam lemak omega 3 dari substrat asam lemak omega 6. Dengan terbentuknya asam oleat, asam linoleat dan asam α-linolenat tersebut, maka diatom ini memiliki prekursor untuk membentuk keluarga omega 9, 6 dan 3 (Yap & Chen 2001) (Gambar 33). Selanjutnya dengan prekursor-prekursor tersebut oleh Δ6 DES yang ditemukan pada C. gracilis ini akan membentuk keluarga omega 9, 6 dan 3. Desaturase Δ6 membentuk asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6) dari substrat asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6), asam oktadekadienoat (18:2Δ6,9-ω9) dari substrat asam oleat (ω9) dan asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3). Namun dua asam lemak terakhir yang d ap at disintesis oleh Δ6 DES tidak ditemukan dalam C. gracilis ini, hal ini kemungkinan asam lemak tersebut langsung digunakan sebagai substrat sintesis asam lemak berikutnya. Dalam jalur ini, asam oktadekadienoat (ω9) menjadi substrat untuk sintesis asam γ-linolenat oleh enzim pre. ω6 DES. Sedangkan oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3)
akan
menjadi
substrat
(20:4Δ8,11,14,17-ω3) dengan enzim ELO Δ6. .
untuk
asam
eikosatetraenoat .
asam stearat (18:0)
Δ9 DES
asam oleat (18:1Δ9-ω9)
Δ12 DES
as.α- linolenat (18:3Δ9,12,15-ω3)
Δ6 DES
Δ6 DES
asam oktadekadienoat (18:2Δ6,9-ω9 )(18 3Δ6 9 12
Pre ω3 DES
asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6)
Δ6 DES ELO Δ9
ELO Δ9 Pre ω6 DES
asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6)
Pre ω3 DES
as. eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6) ELO Δ6
Pre ω3 DES
as. eikosatrienoat (20:3Δ11,14,17-ω3)
Pre ω3 DES
as. eikosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17-ω3)
Δ5 DES
as. arachidonat / AA (20:4Δ5,8,11,14-ω6)
ELO Δ6
Δ8 DES
Δ8 DES
as. dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6)
Asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3)
Δ5 DES Pre ω3 DES
as. eikosapentaenoat (20:5Δ5,8,11,14,17-ω3) ELOΔ5
enzim dugaan atau asam lemak yang tidak ditemukan.
as. dokosapentaenoat (22:5Δ,7,10,13,16,19-ω3) Δ4 DES
as. dokosaheksaenoat/ DHA (22:6Δ4,7,10,13,16,19-ω3)
Gambar 33 Hipotesis I jalur biosintesis DHA diatom C. gracilis 81
82 Selain dalam reaksi tersebut diatas, enzim ELO Δ6 akan mensintesis asam dihomo γ-linolenat (20:3Δ8,11,14-ω6) dari substrat asam γ-linolenat (20:3Δ8,11,14ω6) yang telah terbentuk dari aktivitas Δ6 DES. Selanjutnya asam dihomo γ-linolenat (ω6) menjadi asam arakhidonat atau AA (20:4Δ5,8,11,14-ω6) oleh enzim Δ5 DES. Dalam reaksi ini dua asam lemak sebagai substrat dan sebagai produk dapat ditemukan dalam diatom ini, namun enzimnya tidak terdeteksi, sehingga keberadaan enzim Δ5 DES ini merupakan Δ5 DES dugaan. PUFA omega 6 lain yang ditemukan dalam diatom ini adalah asam eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6). Asam eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6) dalam jalur ini dapat dibentuk enzim ELO Δ9 dengan substrat asam linoleat (18:2Δ6,12-ω6), namun enzim tersebut dalam reaksi ini tidak terdeteksi sehingga dalam jalur sintesis PUFA ini juga sebagai ELO Δ9 dugaan. Jalur sintesis keluarga omega 3 dimulai dengan terbentuk prekursornya yakni asam
α-linolenat
(18:3Δ6,12,15-ω3).
Asam
α-linolenat
(18:3Δ6,12,15-ω3)
selanjutnya menjadi substrat untuk sintesis asam eikosatrienoat (ω3) namun dalam jalur sintesisnya dilakukan oleh enzim ELO Δ9 dugaan. Asam eikosatrienoat (20:3Δ8,11,14-ω3) yang terbentuk kemudian digunakan sebagai substrat oleh enzim Δ8 DES u ntu k sintesis asam eik osatetraenoat (20:4Δ5,8,11,14-ω3), namun asam lemak tersebut juga tidak ditemukan pada diatom ini. Hal ini dapat terjadi karena kemungkinan langsung menjadi substrat dalam reaksi desaturasi berikutnya yakni oleh Δ5 DES (sebagai putative Δ5 DES) untuk membentuk EPA (ω3). Dalam reaksi ini EPA (ω3) juga tidak ditemukan, sehingga juga kemungkinan digunakan dalam reaksi berikutnya untuk membentuk asam dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,13,16,19-ω3) oleh
enzim ELO
Δ5
dugaan.
Selanjutnya
asam
asam dokosapentaenoat
(22:5Δ7,10,13,16,19-ω3) yang terbentuk digunakan oleh enzim Δ4 DES untuk membentuk DHA (22:5Δ4,7,10,13,16,19-ω3). Reaksi berturut-turut yang melibatkan asam lemak PUFA sebagai substrat maupun produk yang tidak ditemukan ini, harus tetap menjadi bagian dari jalur sintesis PUFA DHA ini. Hal ini karena 3 asam lemak tersebut sebenarnya tetap disintesis namun diduga menggunakan enzim pre ω3 DES yang mempunyai
83 kemampuan mengkonversi dari substrat omega 6 menjadi omega 3 (Yap & Chen 2001; Domergue et al. 2002). Dengan demikian dalam jalur sintesis ini, asam eikosatrienoat (20:3Δ11,14,17-ω3) disintesis oleh enzim pre ω3 DES dengan susbtrat asam eikosadienoat (20:2Δ11,14-ω6), asam eikosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17-ω3) disintesis oleh pre ω3 DES dengan substrat asam dihomo γ-linolenat (ω6) dan EPA (20:5Δ5,8,11,14,17-ω3 ) d sintesis i oleh p er ω3 DES d engan susbtrat AA (ω6). Menurut Domergue et al. (2002), pre ω3 DES mempunyai aktivitas yang sama dengan desaturase Δ17 yang membentuk EPA dengan substrat AA dan desaturase Δ15 yang membentuk asam α-liolenat dengan substrat asam linoleat (Gambar 33). Reaksi berturut-turut yang melibatkan enzim dugaan (desaturase Δ5 dan elongase Δ5) bagi sintesis asam eikosapentaenoat (20:5Δ5,8,11,14,17-ω3) hingga sintesis DHA harus tetap menjadi bagian jalur sintesis ini meskipun kedua enzim tersebut tidak terdeteksi. Tidak ditemukannya kedua enzim dan asam lemak tersebut diduga berkaitan dengan laju reaksi yang sangat cepat (ordo satu dan ordo lainnya) sehingga menyebabkan protein enzim maupun asam lemak sebagai substrat tidak terdeteksi dalam metode analisis yang dilakukan pada penelitian ini. Keadaan demikian selanjutnya akan menjadi evaluasi dalam metode pengambilan sampel untuk analisis asam lemak dan 2 dimensi. Meskipun hal tersebut di atas dapat digunakan sebagai landasan mengapa rangkaian reaksi-reaksi tersebut diatas tetap menjadi hipotesis rangkaian jalur sintesis PUFA DHA, namun alasan yang paling penting dalam mekanisme sintesis DHA adalah bahwa reaksi desaturasi dan elongasi PUFA menuju asam lemak DHA memang hanya dikatalisis oleh dua enzim tersebut. Dengan demikian meskipun enzimyanya bersifat dugaan, reaksi desaturasi dan elongasi harus terlibat dalam menyusun hipotesis sintesis DHA secara lengkap dari prekursornya. Dalam jalur sintesis DHA, reaksi desaturasi dan elongasi yang melibatkan dugaan 2 enzim tersebut merupakan satu-satunya jalur dalam membentuk DHA dari substrat asam eikosatetraenoat (20:4Δ8,11,14,17-ω3). Hipotesis I mempunyai karakteristik yang berbeda dari jalur sintesis mikroalga diatom pada umumnya, yakni pada bagian sintesis asam lemak eikosatrienoat ω3 dan
84 adanya enzim desaturase Δ8 DES (Gambar 33). Menurut Tonon et al. (2005), jalur tersebut jarang ditemui sebagai jalur sintesis DHA diatom. Jalur sintesis asam lemak dengan desaturase Δ8 baru ditemui di diatom T. pseudonana. Hipotesis II (kedua), dibuat berdasarkan teridentifikasinya protein mikrosomal ω6 DES, mikrosomal Δ6 DES dan mikrosomal Δ4 DES. Adanya protein-protein tersebut pernah dilaporkan oleh Domergue et al. (2003), dalam mempelajari biosintesa asam lemak pada diatom Phaeodactylum tricornutum. Aktivitas atau peran protein enzim tersebut mempunyai kesamaan dengan enzim-enzim yang terdapat di dalam plastida (organel tempat sintesis asam lemak mikroalga pada umumnya). Enzim mikrosomal ω6 DES mempunyai aktivitas yang sama dengan enzim desaturase ω6 (prekursor ω6 DES), mikrosomal Δ6 DES memiliki aktivitas sama dengan enzim desaturase Δ6 (Δ6 DES) demikian juga mikrosomal Δ4 DES mempunyai aktivitas yang sama dengan enzim desaturase Δ4 (Δ4 DES). Hipotesis II juga mengacu pada 4 kategori seperti yang digunakan untuk membuat hipotesis I. Menurut laporan Domergue et al. (2003), sintesis asam lemak yang dikatalisis oleh protein mikrosomal terjadi di dalam mikrosom. Mikrosom adalah semacam vesicle yang terdiri dari fragmen retikulum endoplama yang mengandung ribosom. Dengan adanya reaksi yang juga terjadi di dalam mikrosom, maka jalur biosintesisnya diasumsikan mengalami perpindahan reaksi diantara 2 organel sel diatom tersebut, meskipun pemisahan reaksi ke organel mikrosom ini belum diketahui sepenuhnya. Tabel 9 menunjukkan reaksi desaturasi yang dapat dilakukan dalam mikrosom berdasarkan 4 kategori dan Gambar 34 merupakan hipotesis jalur biosintesis DHA dengan memperhatikan kemungkinan pembentukan asam lemak yang melibatkan mikrosom.
.
Tabel 9 Reaksi desaturasi mikrosomal desaturase dengan 4 kategori yang melibatkan unsur asam lemak substrat, protein enzim dan asam lemak produk
kategori
Subsrat Protein Produk Enzim
Contoh reaksi
1
as. oleat (18:1Δ9-ω9) mikrosomal ω6 DES as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) as. linoleat (18:Δ9,12-ω6) mikrosomal Δ6 DES as. γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6)
2
-
as. α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3)
3
-
as. dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,13,16,19-ω3)
4
-
as. linoleat (18:Δ9,12-ω6)
mikrosomal Δ6 DES
mikrosomal pre ω3 DES
as.oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3)
mikrosomal Δ4 DES
DHA (22:6Δ4,7,10,13,16,19
as. α-linolenat (18:3Δ9,12,15- ω3)
.
85
= enzim dugaan atau asam lemak yang tidak ditemukan
MIKROSOM asam oleat Mikrosomal ω6 DES (18:1Δ9-ω9)
asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6)
Mikrosomal ω3 DES
Mikrosomal Δ6 DES asam γ-linolenat (18:3Δ6,9,12-ω6)
Asam α-linolenat (18:3Δ,9,12,15-ω3)
Mikrosomal Δ6 DES as.oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3) Mikrosomal ELO Δ6 as.eikosatetraenoat (20:4Δ8,11,4,17-ω3 Mikrosomal Δ5 DES
asam oleat (18:1Δ9-ω9)
Δ9 DES
EPA (20:5Δ5,8,11,14,17ω3 asam stearat (18:0)
PLASTIDA
Mikrosomal ELOΔ5 as. dokosapentaenoat (22:5Δ,7,10,13,19-ω3) Mikrosomal Δ4 DES
as. Dokosaheksaenoat (DHA) (22:6Δ4,7,10,13,16,19-ω3)
Gambar 34 Hipotesis II jalur biosintesis DHA diatom C. gracilis 86
85
87 Hipotesis II, diawali dengan ditransfernya asam oleat keluar plastida masuk ke dalam mikrosom. Mekanisme tersebut mengacu pada hipotesis jalur sintesis EPA oleh Domergue et al. (2003), dengan ditemukannya gen PtFAD2 yang mengkode enzim yang mensintesis asam linoleat (18:2Δ9,12-ω6) didalam mikrosom dengan menggunakan substrat asam oleat, meskipun mekanisme keluarnya asam oleat (18:1Δ9-ω9) belum dikatahui. Berdasarkan analisis 2 dimensi C. gracilis juga ditemukan enzim desaturase mikrosomal ω6 (mikrosomal ω6 DES) yang memiliki aktivitas mensintesis asam linoleat (18:1Δ9,12-ω6) dari asam oleat (18:1Δ9-ω9) dan ditemukan juga protein transport asam lemak yang diduga merupakan proteinmembawa asam oleat dari plastida ke mikrosom, maka sintesis asam lemak selanjutnya terjadi di dalam mikrosom dengan enzim mikrosomal lainnya (Gambar 34). Asam linoleat (18:1Δ9,12-ω6) digunakan sebagai substrat untuk pembentukan asam γlinolenat (ω6) dengan enzim mikrosomal Δ6 DES. Pada jalur ini, meskipun tidak ada enzim desaturase mikrosomal ω3 (mikrosomal ω3 DES) yang membentuk asam α linolenat, namun tetap menjadi bagian dari jalur ini karena asam lemak tersebut merupakan substrat untuk mensintesis asam oktadekatetraenoat (18:4Δ6,9,12,15-ω3) yang juga melibatkan enzim mikrosomal
Δ6.
Jalur
selanjutnya
hingga
pembentukan
asam
dokosapentaenoat
(22:5Δ7,10,13,16,19-ω3), nampak tidak ditemukan asam lemak substrat sebagai subtrat maupun enzim katalisnya. Enzim-enzim yang terlibat dalam reaksi tersebut adalah elongase mikrosomal Δ6, desaturase mikrosomal Δ5 dan elongase mikrosomal Δ5. Enzim-enzim tersebut merupakan enzim dugaan, karena meskipun tidak ditemukan tetapi secara faktual enzim tersebut mempunyai aktivitas reaksi desaturasi dan elongasi dalam deretan reaksi hingga pembentukan DHA. Dengan demikian reaksi elongasi dan desaturasi tersebut harus nenjadi bagian dari reaksi pembentukan DHA. Selain itu juga dikarenakan asam dokosapentaenoat (22:5Δ7,10,13,16,19-ω3) merupakan substrat satu-satunya dalam pembentukan DHA oleh enzim desaturase mikrosomal Δ4 (mikrosomal Δ4 DES) yang ditemukan dalam penelitian ini. Di dalam hipotesis yang disampaikan oleh Domergue et al. 2003, reaksi pembentukan hingga EPA juga tidak ditemukan enzim yang mensintesis asam lemak subtratnya (asam oktadekatetraenoat ω3) sehingga enzim dugaan yang terlibat sintesis EPA dalam hipotesisnya adalah putative desaturase (Δ9, ω3) dan putative elongase Δ6.
87
Perbedaan hipotesis EPA diatom P. tricornutum yang diajukan Domergue et al. (2003) dengan hipotesis sintesis DHA C. gracilis dalam penelitian ini adalah pada P. tricornutum ditemukan gen yang mengkode desaturase Δ5 (PtD5) yakni enzim untuk sintesis EPA dan EPA yang terbentuk di dalam mikrosom, oleh Domergue et al. 2003 masuk ke dalam plastida, dengan alasan, di dalam plastida ditemukan EPA yang sangat dominan. Selain hal tersebut, P. tricornutum, tidak ditemukan gen yang mengkode protein enzim desaturase Δ4, yaitu enzim yang mensintesis DHA. Pada C. gracilis, ditemukan protein yang mensintesis DHA di dalam mikrosom yakni desaturase mikrosomal Δ4. Namun, di dalam hipotesis ini DHA tidak dimasukkan ke dalam plastida, dikarenakan tidak ada informasi lokasi akumulasi DHA yang dominan. Skema hipotesis ke II ini, digambarkan plastida berada di dalam mikrosom (Gambar 34) seperti yang dilakukan oleh Domergue et al. 2003, hal ini berkaitan dengan sel diatom yang memang memiliki endosymbiotic plastid (chloroplast) di dalam mikrosom (Round et al. 1990).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Profil protein dan lipid selama pertumbuhan diatom Chaetoceros gracilis dengan laju tumbuh 1.19 per hari, mempunyai konsentrasi yang dipengaruhi oleh siklus pertumbuhan. Profil protein keseluruhan sel yang dihasilkan dari analisis 2 dimensi menunjukkan jumlah noktah protein yang terdeteksi dan volumenya (konsentrasi) meningkat hingga fase eksponensial kemudian cenderung terus menurun hingga fase kematian. 2. Protein yang terlibat dalam sintesis silika C. gracilis yang teridentifikasi dari hasil analisis 2 dimensi adalah protein transport asam silikat (protein SIT). Protein SIT tersebut terseparasi pada berat molekul (BM) 49.20 - 56.47 kDa dan titik isoelektrik (pI) 5-5.7, yang terdeteksi ketika sel masuk dalam fase eksponensial hingga fase kematian. Protein lain yang teridentifikasi sebagai protein yang terlibat dalam silika adalah protein silaffin dengan karakteristik spesifik untuk jenis diatom ini, yakni mengandung 5 fraksi protein: Silaffin 1 (BM 43.49 kDa, pI 7.78); Silaffin 2 (BM 47.56 kDa, pI 5.97); Silaffin 3 (BM 70.36 kDa, pI 4.30); Silaffin 4 (BM 72.32 kDa, pI 4.29) dan Silaffin 5 (BM 11.04 kDa, pI 6.97). 3. Dari hasil analisis 2 dimensi ditemukan protein yang terlibat dalam sintesis PUFA sebanyak 12 protein, yang terdiri dari 10 desaturase dengan 4 diantaranya merupakan desaturase mikrosomal, 1 enzim elongase dan 1 protein transport asam lemak. Berdasarkan protein yang ditemukan dan profil asam lemak, diajukan 2 hipotesis sintesis DHA. Hipotesis I merupakan jalur sintesis PUFA di dalam plastida dengan karakteristik via jalur asam eikosatrienoat omega 3 (20:3Δ11,14,17 ω3) oleh enzim desaturase delta 8 (Δ8 DES). Hipotesis II merupakan jalur sintesis PUFA dengan reaksi desaturasi dan elongasi terjadi di dalam plastida dan mikrosom, yang melibatkan protein transport asam lemak yang juga terdeteksi dalam analisis 2 dimensi.
90
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diperoleh ini, maka disampaikan beberapa saran untuk kelanjutan penelitian ini, yaitu: 1. Memperpendek periode pengambilan sampel untuk analisis asam lemak dan analisis 2 dimensi protein yang terlibat dalam biosintesis PUFA 2. Optimasi ekstraksi protein untuk preparasi elektroforesis 2 dimensi baik protein yang terlibat biosintesis silika maupun PUFA 3. Fraksinasi protein silaffin dan mereaksikan secara in vitro untuk menghasilkan polimer nanosilika dengan memodifikasi 5 fraksi protein yang telah ditemukan. 4. Verifikasi lebih lanjut setiap jenis protein yang terlibat biosintesis silika dan PUFA menggunakan mass spectrometry dan analisis aktivitasnya.
91 DAFTAR PUSTAKA
Adamson DH dan Dabbs DM. 2004. Research: Neutral pH Catalysis of Silica Condensation. Princeton University, Ceramic Materials Laboratory. http://www.ceramics-research.html [3 Jan 2004] Alverson AJ. 2007. Strong purifying selection in the silicon transporters of marine and freshwater diatoms. Limnol Oceanogr 52:1420-1429. Arao T, Sakaki T, Yamada M. 1994. Biosynthesis of polyunsaturated lipids in the diatom, Phaeodoctylum tricornutum. Phytochem 36:629-635 Araujo SC, Garcia VMT. 2005. Growth and biochemical composition of the diatom Chaetoceros cf. Wighamii brightwell under different temperature, salinity and carbon dioxide levels, I. protein, carbohydrates and lipids. Aquacult 246:405-412. Becker EW. 1994. Microalgae: Biotechnology and Microalgae. Australia: Cambridge University. Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to The Algae Structure and Reproduction. USA: Prentice hall, Inc. Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York: Wiley-Liss. Brezezinski MA. 1992. Cell-cycle effects on the kinetics of silicic acid uptake and resource competition among diatoms. J. Plankton Res 14:1511-1539. Brinker CJ, Scherer GW. 1990. The Physics and Chemistry of Sol-gel Processing. San Diego Academic Brown MR, Jeffrey SW, Volkman JK, Dunstan GA. 1997. Nutritional properties of miroalgae for mariculture. Aqua 151. 315-335 Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. USA: Sinauer Associates. Chen F, Jiang Y. 2000. Algae and Their Biotechnological Potential. London: Kluwer Academic Publisher. Chu WL, Phang WM, Goh SH. 1996. Environmental effects on growth and biochemical composition of Nitzschia inconspicuo Grunow. J Appl Phycol 8:389-396. Derrien A, Coiffard LJM, Coifard C, De Roeck-Holtzhauer Y. 1998. Free amino acid analysis of five microalgae. J Appl phycol 10: 131-134
92 Dinh TV. 2005. Protein Nanotechnology: The New Frontier in Biosciences. Di dalam: Dinh, TV, editor. Protein Nanotechnology: Protocols, Instrumentation, and Applications. New Jersey : Humana Döhler G, Hoffman M, Stappel U. 1995. Pattern of protein after heat shoch and UV-radiation of some temperate marine diatoms and Antarctic Odontella weisflogii. Bot Acta 108:93-98 Domergue F et al. 2003. Acyl carriers used as substrates by the desaturases and elongases involved in very long-chain polyunsaturated fatty acids biosynthesis reconstituted in yeast. J Biol Chem 276:35115-35126. Domergue F et al. 2003. New insight into Phaeodactylum tricornutum metabolism. Cloning and functional characterization of plastidal and microsomal Δ12-desaturases. Plant Physiol 131:1648-1660 Domergue F et al. 2002. Cloning and functional characterization of Phaeodactylum tricornutum front-end desaturases involved in eiocosapentaenoic acid biosynthesis. Eur J Biochem 269:4105-4113. Dunstan GA, Volkman JK, Barrett SM, Leroi JM, Jeffrey SW. 1994. Essential polyunsaturated fatty acid from 14 species of diatom (Bacillariophyceae), Phytochem 35 :155-161. Esther HL, Dunn B, Zink JI. 2005. Nanostructural System for Biologycal Material. Di dalam Dinh, TV. Editor. Protein nanotechnology: protocols, instrumentation, and applications. New Jersey: Humana. Fiber
Tech. 2004. General Remarks http://www.fibertech.de/pi_01.htm . [2 Juni 2008]
Industrial
Products.
Gordon R, Parkinson J. 1999. Beyond micromachining: The potential of diatoms. TBtech 17: 190-196 Greenwell HC, Laurens LML, Lovit RW, Flyn KL. 2009. Placing microalgae on the biofuels priority list: A review of the technological challenges. J R Soc Interface 1-24. [terhubung berkala] http://rsif. royalsociet publishing.org [26 Jan 2010]. Gröger C, Sumper M, Brunner E. 2008. Silicon uptake and metabolism of the marine diatom Thalassiosira pseudonana: Solid-state 29 Si NMR and fluorescence microscopic studies. J Struct Biol 161:55-63. Gurr MI, Harwood JL, Frayn KN. 2002. Lipid biochemistry. Ed ke-5. USA: Blackwell Science Harsono H. 2002. Pembuatan silika amorf dari limbah sekam padi. J Ilmu Dasar 3: 98-103
93 Hildebrand M, Dahlin K, Volcani BE. 1998. Characterization of a silicon transporter gene family in Chilindrotheca fuciformis sequences, expression analysis, and identification of homologs in other diatoms. Mol Gen Genet 260:480–486. Hildebrand M, Volcani BE, Gassmann W, Schroeder JI. 1997. A gen family and silicon transporter. Nature 385:688–689. Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius Kalapathy U, Proctor A, Shultz J. 2000. A Simple method for production of pure silica from rice hull ash. Bioresource Tech 73: 257-262 Khozin I, Adlerstein D, Bigogno C, Heimer YM, Cohen Z. 1997. Elucidation of biosynthetis of eicosapentaenoic acid in the microalga Porphyridium cruentum, studies with radiolabeled precursors. Plant Physiol 114: 223-230 Krasko A, Lorenz B, Batel R, Schroder HC, Muller IM and Muller WEG. 2000. Expression of silicatein and collagen genes in the marine sponge Suberites domuncula is controlled by silicate and myotrophin. Eur J Biochem 267: 4878-4887 Kröger N, Bergsdorf C, Sumper M. 1994. A new calcium-binding glycoprotein family constitutes a major diatom cell-wall component. EMBO J 13:46764683 Kröger N, Deutzmann R, Sumper M. 1999. Polycationic peptides from diatom biosilica that direct silica nanosphere formation. Science 286:1129-1132. Kroger N, Lehmann G, Rachel R, Sumper M. 1997. Characterization of a 200-k Da diatom protein that is specifically associated with a silica-based substructure of the cell wall. Eur J Biochem 250:99-105 Kröger N, Lorenz S, Brunner E, Sumper M. 2002. Self-assembly of highly phosphorylated silaffins and their function in biosilica morphogenesis. Science 298:584-586. Kröger N, Wetherbee R. 2000. Pleuralins are involved in theca differentiation in the diatom Cylindrotheca fusiformis. Protist 151:263–273 Lee RD. 1989. Pycology. Ed ke 2. Cambridge: Cambridge University Liang Y, Beardall J, Heraud P. 2006. Changes in growth, clorophyll fluorenscence and fatty acid composition with culture age in batch cultures of Phaeodoctylum tricornutum and Chaetoceros muelleri (Bacillariariophyceae). Botanica Marina 49:165-173
94 Lobb K. 1992. Fatty Acid Classification and Nomenclature. Di dalam: Chow CK, editor. Fatty Acid in Food and Their Health Implications. New York: Marcel Decker, Inc.hlm 1-11 Lombardi AT, Wangersky PJ. 1995. Particular lipid class composition of three marine phytoplankters Chaetceros gracilis, Isochrysis galbana (Tahiti) and Dunaliella tertiolecta grown in batch culture. Hydrobiologia 306:1-6. Maeda E, Komatsu M. 1996. The thermoelectric performance of silicon carbide semiconductor made from rice hull. Mater Res Soc Sym Proc 410:77-82. Mansour MP, Volkman JK, Blacburn SI. 2003. The effect of growth phase on the lipid class, fatty acid and sterol composition in the marine dinoflagellate, Gymnodinium sp. in batch culture. Phytochem 63:145-153. Manurung AI, Pratiwi AR, Syah D, Suhartono MT. 2007. Isolation and Characterization of Silaffin that Catalyze Biosilica Formation from Marine Diatom Chaetoceros gracilis. Hayati J Biosci 14::119-122. Martin-Je´ze´quel V, Hildebrand M, Brzezinski MA. 2000. Silicon metabolism in diatoms: implication for growth. J Phycol 36: 821-840. Meyer A et al. 2004. Novel fatty acid elongase and their use for the reconstruction of docosahexaenoic acd biosynthesis. J Lipid Res 45:1899-1909. Moat A, Foster JW. 1995. Microbial Physiology. Ed ke-3. New York: A John Wiley & Sons, Inc. Mock T, Kroon BMA. 2002. Photosynthetic energy conversion under extreme conditions I: Important role of lipids as structural modulators and energy sink under N-limited growth in Antarctic sea ice diatoms. Phytochem 61:41-45 Morgan-Kiss RM et al. 2006. Adaptation and Acclimation of photosynthetic microorganisms to permanently cold environments. Microbiol and Mol Biol Rev 70: 222-252 Ning RY. 2002. Discussion of silica speciation, fouling, control and maximum reduction. Desal 151:67-73. Nunn BL et al. 2009. Deciphering diatom biochemical pathways via whole-cell proteomics. Aquat Microb Ecol 55:241-253 Ono M et al. 2001. Development of porous silica production by hydrothermal method. High Pres Res 20:307-310. Paasche E. 1973. The influence of cell size on growth rate, silica content, and some other properties of four marine diatom species. Norw J Bot 9: 197-204
95 Pereira SL, Leonard AE, Huang Yung-Sheng, Chuang Lu-Teng, Mukerji P. 2004. Identification of two novel microalgal enzymes involved in the conversion of the omega 3 fatty acid, eicosapentaenoic acid (EPA) to docosahexaenoic acid (DHA). J Biochem 384: 357-366 Pernet F, Tremblay R, Demers E, Roussy M. 2003. M. Variation of lipid class and fatty acid composition of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown in a semi continuous system. Aqua 221:393-406 Perry CC. 2003. Silification: The procsses by which organism capture and mineralize silica (review). Mineral Geochem 54:291-327 Phatarpekar PV, Sreepada RA, Pednekar C. 2000. A comparative study on growth performance and biochemical composition of mixed culture of Isochrysis galbana and Chaetoceros calcitrans with Monocultures. Aqua 181:141-155. Philips CI, Bagyo M. 2005. Micro review proteomic meets microbiology technical advance in the global mapping of protein expression and function. Cell Microb 8:1061-1076 Poulsen N, Kroger N. 2004. Silica morphogenesis by alternative processing of silaffin in the diatom Thalassiosira pseudonana. J Biol Chem 279: 4299342999 Poulsen N, Sumper M, Kroger N. 2003. Biosilica formation in diatoms: characterization of native silaffin-2 and its role in silica morphogenesis. PNAS 100 (21):12075-12080 Richardson. 2001. Gases at The Heart of Semiconductor Production. [terhubung berkala].http://www.electronic.com.use..au/elc/feature_article/item_102001b .asp [6 Jan 2009] Robert JM, Lebeau. 2003. Diatom cultivation and biotechnology relevant product. Part II: Current and putative product. Appl Microbiol Biotechnol 60: 624-632 Roessler PG. 1988. Changes in the activities of various lipid and carbohydrate biosynthetic enzymes in the diatom Cyclotella Cryptica in response to silicon deficiency. Arch Biochem Biophys 267:521-528. Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1990. The diatom. USA: Cambridge University. Rousch JM, Bingham SE, Sommerfeld MR. 2004. Protein expresion during heat stress in thermo-intolerant and thermo tolerant diatoms. J Exp Mar Bio Eco. 306: 231-243 Sandia National Laboratories-USA. 2010. Understanding Biosilicification Diatom as Bioarchitects. http://www.sandia.gov. [ 8 Mei 2010]
96 Servel. MO et al. 1994. Fatty acid composition of some marine microalgae. Phytochem 36:691-693 Shimizu K, Cha J, Stucky GD, Morse DE. 1998. Silicatein alpha : cathepsin Llike protein in sponge biosilica. Proc Natl Acad Sci 95:6234-6238 Singh HN, Kumar HD. 1979. A Textbook on Algae. London: The Macmillan LTD Sumper M, Kroger N. 2004. Silica formation in diatom the function of long-chain polyamines and silaffins. J Mat Chem 14:2054-2065. Sumper M. 2002. A phase separation model for the nanopatterning of diatom biosilica. Science 295:2430. Taguchi S, Hirata JA, Laws EA. 1987. Silicate deficiency and lipids synthesis of marine diatoms. J Phycol 23:260-7 Takezoe N et al. 1999. Thin film preparation of SiO 2 by photo-chemical vapor. deposition using vaccum ultraviolet radiation. Annual Rev 158-161 Thamatrakoln K, Hildebrand M. 2008. Silicon uptake in diatoms revisited: a model for saturable and nonsaturable uptake kinetics and the role of silicon transporters. Plant Physiol 146:1397-1407 Tamiya E, Zheng-liang Zhi Y, Morita Q, Hasan. 2005. Nanosystem for Biosensing. Di dalam Dinh, editor. Protein Nanotechnology: Protocols, Instrumentation, and Applications. New Jersey : Humana Press, Inc. Tonon T et al. 2005. Fatty acid desaturase from the microalga Thalassiosira pseudonana. FEBS Journal 272:3401-3412 Tonon T, Harvey D, Larson TR, Graham IA. 2002. Long chain polyunsaturated fatty acid production to triacylglycerols in four microalgae. Phytochem. 61:15-24 Turner APF, Newman JD. 1998. An Introduction to Biosensor. Di dalam Scott AO, editor. Biosensor for Food Analysis. United Kingdom: Athenaeum Viso AC, Marty JC. 1993. Fatty acids from 28 marine microalgae. Phytochem 34:1521-1533. Vrinten P, Guohai Wu, Truksa M, Xiao Qiu. 2007. Production of polyunsaturated fatty acids in transgenic plants. Biotechnol Gen Engineering Rev, 24:263-280 Wang SB, Qiang H, Sommerfield M, Chen F. 2003. An optimized protocol for isolation of soluble proteins from microalgae for two-dimensional gel lectrophoresis analysis. J App Phycol 15:485-496
97 Wen ZY, Chen F. 2003. Heterotrophic production of eicosapentaenoic acid by microalgae. Biotechnol Adv 21:273-294. Yap CY, Chen F. 2001. Polyunsaturated Fatty Acids: Biological Significance, Biosynthesis and Production by Microalgae and Microalgae-like Organism. Di dalam Chen F, Jiang Y, editor. Algae and Their Biotechnology Potential. Netherland: Kluwer Academic Zhukova NV, Aizdaicher NA. 2001. Lipid and fatty acid composition dur ing vegetative and resting stages of the marine diatom Chaetoceros salsugineus. Botanica Marina 44:287-293.
98
Lampiran 1 Kurva standar titik isoelektrik dan berat molekul a. Kurva standar titik isoelektrik
b. Kurva standar berat molekul
Protein β-galaktosidase Bovine serum albumin Ovalbumin Laktate dehidrogenase REase BsP98 β - laktalbumin Lisozim
Berat molekul (kDa)
Sumber
116.0 66.2 45.0 35.0 25.0 18.4 14.4
E.coli Bovine plasma Chicken egg white Porchine musle E.coli Bovine milk Chicken egg white
Marker berat molekul yang digunakan: Unstained Protein Molecular Weight Marker (Fermentas Life Science)
99
Lampiran 2 Profil kromatogram GC/MS asam lemak
3 HARI
Waktu retensi
No. puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Waktu retensi
Jenis asam lemak
13.043 15.501 16.350 16.466 16.599 17.768 17.858 17.935 18.124 18.223 19.801 19.983
Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat Asam oleat Asam palmitat Asam tetradekinoat Asam palmitoleat Asam petroselinat Asam 7,10-hekssadekadienoat Asam 5,8oktadekadienoat Asam oleat Asam linoleat
Prosentase relatif (%) 6.88 15.65 0.52 0.83 0.97 35.27 14.25 0.66 0.50 0.67 20.66 3.15
100
lanjutan
7 HARI
Waktu retensi
No puncak
Waktu retensi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
11.263 13.730 14.840 15.616 15.976 16.096 16.169 16.370 16.474 16.979 18.270 18.358 18.660 18.781 21.600 22.044
Jenis asam lemak Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat -Asam palmitat Asam oleat Asam 13-tetradekinoat Asam linoleat Asam linolenat -Asam stearat Asam 11-oktadekanoat Asam 11,14-eikosadienoat Asam 8,11,14 eikosatrienoat -Asam 11,14,17 eikosatrienoat
Prosentase relatif (%) 0.52 19.94 1.19 0.71 32.22 30.47 0.97 1.16 2.20 0.60 2.14 1.76 1.87 0.63 0.56 3.06
101
lanjutan
10 HARI
Waktu retensi
No Puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Waktu retensi
Jenis asam lemak
11.251 13.735 14.848 15.993 16.104 16.184 16.381 16.488 18.322 18.406 18.476 18.756 18.833 19.161 19.289 21.104 22.202
Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat Asam palmitat Asam oleat Asam 13-tetradekinoat Asam linoleat Asam linolenat Asam stearat Asam 11-oktadekanoat Asam petroselinat Asam 11,14-eikosadienoat Asam5,8-oktadekadienoat Asam 11,14,17 eikosatrienoat Asam arakhidonat Asam arakhidat Asam erukat
Prosentase relatif (%) 0.94 13.01 0.87 24.03 17.42 0.71 0.59 1.26 3.23 7.53 0.79 21.46 0.86 0.96 0.43 1.53 4.37
102
lanjutan 14 HARI
Waktu retensi
No Puncak
Waktu retensi
Jenis asam lemak
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
11.243 13.752 14.843 15.644 16.036 16.138 16.202 16.387 16.494 16.625 16.985 18.298 18.383 18.456 18.718 18.807 19.146 19.271 21.079 21.176 21.606
Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat Asam palmitat Asam oleat Asam linoleat Asam linolenat Asam 6,9,12-oktadekatrienoat Asam stearat Asam 11-oktadekanoat Asam petroselinat Asam 11,14-eikosadienoat Asam5,8-oktadekadienoat Asam 11,14,17 eikosatrienoat -Asam arakhidat Asam erukat Asam arakhidonat
Prosentase relatif (%) 0.71 18.25 1.26 0.45 30.62 22.39 1.39 1.11 2.26 0.34 0.49 1.78 3.74 0.59 9.69 0.86 0.45 0.50 0.60 1.52 1.02
103
lanjutan 17 HARI
Waktu retensi
No Puncak 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu retensi 11.212 13.743 14.828 15.670 16.068 16.157 16.392 16.496 16.623
10 11 12 13 14 15 16
16.977 18.280 18.367 18.442 18.669 18.784 19.257
17 18 19
21.067 21.603 21.061
Jenis asam lemak Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat Asam palmitat Asam oleat Asam linoleat Asam linolenat Asam 6,9,12oktadekatrienoat Asam stearat Asam 11-oktadekanoat Asam petroselinat Asam 11,14-eikosadienoat Asam5,8-oktadekadienoat Asam 11,14,17 eikosatrienoat Asam arakhidat Asam arakhidonat Asam dokosaheksaenoat
Prosentase relatif (%) 0.41 19.10 1.72 0.41 39.65 19.32 1.17 2.11 0.43 0.64 2.08 2.30 0.68 2.17 1.01 0.74 0.20 1.37 4.48
98