1
Kronologi Raja-Raja Bali Abad XII-XIV Sejak Penaklukan Gajah Mada Ida Bagus Sapta Jaya Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Abastrak Raja Astasura Ratna Bumi Banten tahun 1337-1343 Masehi dan ditakulukan oleh Gajah Mada tahun 1343 Masehi. Selanjutnya digantikan oleh Cri Kresna Kepakisan yang dinobatkan menjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang memerintah tahun 1350-1380 Masehi, dan digantikan oleh adiknya I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel, yang memerintah tahun 1380-1460. Pada tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa dapat menyelesaikan sengketa desa Pemuteran dengan desa Abang. Kata Kunci : Kronologi, Penaklukan Gajahmada, Hubungan raja Wengker Astasura Raja Ratna Earth Banten years 1337-1343 AD and ditakulukan by Gajah Mada in 1343 AD. Subsequently replaced by Cri crowned Krishna Kepakisan the king in Bali and domiciled in Samprangan who ruled in 1350-1380 BC, and was replaced by his brother I Dewa Ketut Ngulesir and domiciled in Gelgel, who ruled in 1380-1460. In the year 1384 AD Wengker king named Cri Wijayarajasa can resolve disputes with the village Pemuteran villageAbang. Keywords: Chronology, Conquest Gajahmada, king Relations Wengker 1.Pendahuluan Sebelum penelitian ini, belum ditemukan penulisan sejarah yang meliputi kurun waktu sejak ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada 1343 sampai akhir abad XIV (1389 Masehi). Memang, ditemukan beberapa artikel mengenai hal itu, tetapi belum dapat dikatakan menyeluruh dan masih ditulis secara terpisah-pisah. Padahal, berdasarkan penelitian ditemukan data yang menunjukan bahwa keadaan pemerintah di pulau Bali pada masa itu, telah berada di bawah kekuasaan Majapahit dan telah mengalami perubahan baik dalam bidang pemerintahan maupun sosial budaya. Perubahan yang dimaksud, antara lain perubahan masa pemerintahan, Abiseka nama raja, hubungan kekeluargaan, pemerintahan, struktur masyarakat, agama dan kepercayaan, dan kesenian dan kesusastraan pasca
2
pendudukan raja-raja Bali dari Majapahit. Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan 1)Bagaimanakah kronologi raja-raja Bali pasca penundukan oleh kerajaan Majapahit pada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi? 2) Bagaimana hubungan kerajan Bali dengan kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi? Dengan demikian tujuan penulisan ini adalah 1) Untuk mengetahui kronologi pemerintahan raja-raja di Bali sejak penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi. (Abad XIII-XIV). 2) Untuk mengetahui bagaimana hubungan kerajan Bali dengan kerajaan Majapahit dan hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan Wengker sejak tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi. 1.1.Metode Penyusunan Dalam menyusun kronologi kerajaan Bali abad XIV sejak penaklukan Gajah Mada ini dipergunakan metode riset di perpustakaan (Library research) yaitu mencari dan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang ada kaitanya dengan masalah tersebut di atas. Di Samping itu dalam tahap pengumpulan data juga diadakan riset lapangan, yaitu mengadakan peninjauan langsung ke obyek bersangkutan yaitu ke pura Gunung Panulisan. Data trankripsi koleksi Ketut Ginarsa. Untuk mendapatkan informasi-informasi seperlunya maka dalam kaitan ini dipergunakan metode interviu. Dalam pengolahan data dipergunakan metode deskriptif yaitu disalin sesuai dengan yang disebutkan dalam sumber-sumber dan setelah data terkumpul kemudian dikomparasikan. Dari penggunaan metode Komparatif selanjutnya data yag terlengkaplah yang dipakai yang dikaji dalam penelitian ini.
3
1.2.Sumber Penyusunan Sumber yang dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini berupa empat buah prasasti yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E, nomor 811 Langgahan, nomor 901 Batur, Pura Abang C dan Nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Prasasti nomor 810 telah direvisi oleh Goris menjadi nomor 903b = D 67, sedangkan prasasti nomor 811 Langggahan direvisi menjadi nomor 814 = D 63. Prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C direvisi menjadi nomor 901a Abang, Pura Batur C = D 65 dan prasasti nomor 902 tetap tidak mengalami perubahan yakni nomor 902 Gobleg, Pura Batur C = D 66. (Goris, 1967 : 68-69). Sumber lain adalah berupa Pamancangah dan Babad-Babad. I.3.Penelitian Sebelumnya Penelitian terhadap masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya telah dimulai sejak masa lalu oleh beberapa orang sarjana baik sarjana luar negeri maupun dalam negeri. Pada tahun 1926 telah terbit hasil penelitian sarjana Belanda yang bernama Van Stein Callenfels dengan judul “Epigraphia Balica I” yang memuat ada 24 sampai 28 transkripsi prasasti huruf Latin dan salah satu diantaranya adalah prasasti nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. (Callenfels, 1926 : 13). Pada 1927-1928, Residen Caren menyuruh juru potret Cina untuk membuat foto-foto prasasti Bali, hasilnya dikumpulkan menjadi koleksi Caren yang diberi kode CA. Oudhedenkundige Dienst (Dinas Purbakala) juga membuat dikumentasi prasasti di Bali lalu hasilnya diberi kode OD. Dari sekian banyak foto prasasti baik koleksi Caron maupun koleksi Dinas Purbakala telah diteliti oleh Goris dan di antaranya terdapat dua buah prasasti yang memuat tentang kerajaan Bali menjelang diserang oleh Majapahit yaitu prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E dan nomor 811 Langgahan. Kedua prasasti ini telah diteliti oleh Stuterheim dan Damais. (Stutterheim, 1929 : 17,18 ; Damais, 1952 : 96-97 ; Goris, 1954 : 44). Dalam prasasti disebutkan nama raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah
4
penaklukan Gajah Mada tahun 1343 sampai dengan tahun 1398 Masehi, sampai saat ini baru ditemukan dua buah prasasti, yaitu prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C dan nomor 902 tersebut. Kedua prasasti yang disebut belakangan ini menyebutkan nama raja Wijayarajasa dari Negara Wengker. (Goris, 1965 : 47). Pada 1929 hasil terbitan Berg dengan judul “Kidung Pamancangah”. Pamancangah ini menyebutkan antara lain nama raja Cri Kresna Kepakisan yang berissthana di Samprangan. (Berg, 1929 : 9). Pada 1931 hasil karya Krom diterbitkan kembali yang merupakan edisi kedua dengan judul “Hindoe Javaansehe Geschiedenis”. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah penaklukan Gajah Mada dikirimlah Kresna Kepakisan menjadi raja di pulau Bali. Kemudian pada 1384 raja Wijayarajasa dari Negara Wengker menetapkan prasasti nomor 901 Batur, Pura Abang C, sedangkan pada tahun 1398 Masehi dikatakan bahwa Wijayarajasa telah moksa di Wisnubhawana. Wijayarajasa adalah paman raja Hayam Wuruk. (Krom, 1931 : 384-410). Pada 1948 terbit hasil penelitian Goris dengan judul “Sejarah Bali Kuna”. Di dalamnya antara lain disebutkan bahwa sebelum penaklukan Gajah Mada pada 1343 Masehi yang menjadi raja di Bali adalah Cri Astasura Ratna Bumi Banten.(Goris, 1948 : 13). Pada 1952 terbit hasil karya Damais yang memuat daftar prasasti yang terpenting di Indonesia yang memakai tanggal dan angka tahun. Dalam daftar tersebut Damais mendaftar prasasti di Bali dengan kode D1 – D 67. Untuk prasasti nomor 810 dan 811 diberi kode D 67 dan 63. Sedangkan untuk prasasti nomor 901 dan 902 diberi kode D 65 dan D 66. (Goris, 1967 : 68). Sampai tahun 1954 di Bali makin banyak ditemukan prasasti baru. Goris bertugas di Bali sejak bulan September 1928 mendapat tugas rangkap, pertama menerbitkan piagampiagam di Bali dalam bahasa Jawa Kuna (OJ) dan kedua untuk mengadakan penyelidikan tentang agama dan kepercayaan orang Bali. Namun, mulai 1932 tugas ini berubah, dengan mendapat kebebasan untuk mengadakan koleksi dan terjemahan-terjemahan terhadap piagam-piagam yang ada di Bali. Maka mulai saat itu Goris menjelajah pelosok-pelosok desa
5
di Bali ini, teristimewa daerah-daerah di sekitar bukit Kintamani. Setelah bekerja keras dalam waktu lebih dari 22 tahun barulah bisa diterbitkan hasil penelitiannya dengan judul “Prasasti Bali I da II” (1954). Buku ini selain membuat ikhtisar tentang semua piagam-piagam yang ada di Bali (yang dibagi ke dalam 10 group) juga khusus membicarakan periode raja Anak Wungsu. (Puger, 1964 : 4-5). Selanjunya pada 1965 Goris mengadakan revisi terhadap beberapa nomor prasasti di antaranya beberapa prasasti yang berasal dari sebelum dan sesudah penaklukan Gajah Mada sampai dengan akhir abad XIV. Disebutkan pula bahwa pada 1384 Masehi raja Wijayarajasa dari Negara Wengker mengeluarkan ketetapan-ketetapan antara desa Pemuteran dengan desa Abang. Selanjutnya dikatakan dalam prasasti nomor 902 adalah untuk pertama kalinya dikenal dengan istilah Arya. (Goris, 1967 : 49). Pada 1968 seorang putra Bali yang bernama Ginarsa telah mengadakan penelitian terhadap lontar Rajapurana yang isinya menceritakan tentang keadaan di pulau sebelum diserang oleh Gajah Mada sampai akhirnya Cri Kresna Kepakisan dikirim menjadi raja di Bali yang istananya di Samprangan.(Ginarsa, 1968 : 1-47). Tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1975 kembali Ginarsa mengadakan penelitian terhadap lontar “Bancangah Ksatria Pungakan Dalem” di desa Pujangan yang isinya menceritakan tentang kerajaan di Bali setelah pemerintahan Cri Kresna Kepakisan. Raja Kresna Kepakisan digantikan pertama oleh I Dewa Agra Samprangan (Dalem IIe), kemudian digantikan oleh adiknya yaitu I Dewa Ketut Ngulesir (Cri Asmara Kapakisan) yang memindahkan pusat kerajaan Samprangan ke Gelgel pada tahun 1398 Masehi. (Salinan “Bancangah Ksatria Pangakan Dalem” Koleksi Ketut Ginarsa, hal 42, ; Salinan Babad Mengwi, 1974 : 5). Tahun 1975 itu, telah terbit hasil penelitian Noordaya tentang raja-raja Timur Majapahit yang diberi catatan oleh Brian E Callese. Dikatakan bahwa Wijayarajasa adalah raja timur yang diidentifikasikan sebagai putra mahkota yang negaranya di Wengker dan pemerintahannya berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Noordaya, 1975 : 479-789).
6
Khusus mengenai prasasti nomor 901 Batur, pura Abang C telah diteliti kembali oleh Budiastra beserta rombongan pada tanggal 7 Januari 1980. Prasasti ini sekarang disimpan di pura Tuluk Biyu di sebelah selatan pura Ulun Danu Batur. 2.Pembahasan 2.1 Kronologi Raja-Raja Bali Abad XIII-XIV Uraian selanjutnya akan dibagi dua bagian, yaitu : 1) Kronologi raja-raja Bali atau urutan nama raja-raja Bali dari tahun 1300 sampai dengan tahun 1398 Masehi (Abad XIIIXIV). 2. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Mengenai bagian dua ini sebenarnya telah tercakup dalam bagian satu, yaitu dalam masa pemerintahan raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten. Namun, kiranya dirasakan perlu memisahkan bagian ini dengan tujuan untuk memberikian gambaran secara singkat tentang kerajaan Bali sejak diserang oleh Majapahit. Disamping itu untuk mengetahui bagaimana taktik dan strategi perjuangan Gajah Mada sampai akhirnya kerajaan Bali dapat ditundukan pada tahun 1343 Masehi. 1. Kronologi raja-raja Bali abad XIII-XIV a) Raja Patih Kebo Parud (Caka 1218-1222) Berdasarkan prasasti nomor 801b Pangotan E (nomor lama 801) = D.59 bertahun 1218 Caka dan prasasti nomor 802a Sukawana D (nomor lama 802) bertahun 1222 Caka dapatlah diketahui bahwa raja yang memerintah di pulau Bali saat itu adalah Ki Kebo Parud. Baginda diberi gelar Raja Patih. Dengan disebutkan nama baginda pada kedua prasasti di atas sangatlah kuat kemungkinannya bahwa pemerintahan baginda di Bali sangat erat kaitannya dengan penaklukan raja Kertanegara pada tahun 1206 Caka. Hal ini didasarkan atas pangkatpangkat atau jabatan-jabatan tinggi kerajaan yang tersebut dalam prasasti itu jelas menunjukan corak Jawa. (Semadi Astra, 1977 : 28).
7
Pada masa pemerintahan Kebo Parud di Bali banyak lowongan jabatan yang belum terisi misalnya seperti Senapati Dinganga, Senapati menyirikan dan Senapati Baladyaksa. Demikian pula para pendeta Ciwa dan Budha, telah ditentukan, namun mereka itu belum dilantik. Peraturan-peraturan dengan nama terdahulu. Saat itu yang menjadi raja di Jawa adalah Kertarajasa Jayawardana atau Raden Wijaya. Hal ini terjadi karena kerajaan Singosari dapat ditaklukan oleh Kadiri (Daha) tahun 1292 Masehi yang mengakibatkan Bali kembali menjadi pengawasan Kediri. Pada tahun 1293 Masehi Kediri ditaklukan oleh Majapahit sehingga pulau Bali secara Otomatis berada di bawah kekuasaan Majapahit. (Ginarsa, 1968 : 5). Hasil-hasil kesusastraan yang berhasil dibawa ke Bali waktu itu adalah Kakawin Arjunawiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Asmaradahana, Bharatayudha, Wretasancaya, dan lain-lainnya. b) Bhatara Cri Mahaguru, Caka 1246-1247 Pemerintahan Raja Patih Kebo Parud di pulau Bali hanya bersifat sementara. Karena beberapa tahun kemudian pulau Bali ini keadaannya sudah pulih kembali maka tepatnya pada tahun 1324 Masehi oleh Jayanegara (Raja Majapahit yang menggantikan Raden Wijaya) pemerintahan di Bali dikembalikan ke tangan seorang keturunan Warmadewa, yaitu Cri Dharma Uttunggadewa-warmadewa yang kemudian bergelar Cri Paduka Maharaja Bhatara Mahaguru Dahrmotungga Warmadewa. Berdasarkan prasasti nomor 803 Hyang Putih = D. 60 baginda memerintah bersama-sama dengan cucunda yang bernama Cri Trunajaya sampai tahun 1274 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels, 1926 : 50-52). Paduka Bhatara Cri Walajaya Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda raja Cri Mahaguru (Caka 1250). Dalam prasasti nomor 807 Selumbang = D.62 yang bertahun 1250 Caka terbaca nama raja yang memerintah di Pulau Bali adalah Walajaya Krttaningrat bersama-sama dengan ibunda janda Cri Mahaguru (…..cri walajaya krttaningrat kalih ibunira
8
sira paduka tara cri mahaguru…) ini berarti bahwa raja Cri Mahaguru telah wafat sebelum tahun 1250 Caka. (Goris, 1967 : 45 ; Callenfels : 68-70). c) Cri Astasura Ratna Bhumi Banten (Caka 1259) Gelar raja ini terbaca dalam prasasti nomor 814 (nomor lama 811) Langgahan = D. 63 yang bertahun 1259 Caka dan dalam prasasti nomor 810 Gunung Panulisan E = D.67. Pada jaman pemerintahan baginda juga dibuat undang-undang yang ditatah diatas perunggu yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti-prasasti yang telah ada. Semua keputusan-keputusan biasanya diputuskan di dalam sidang yang didasarkan atas permusyawaratan biasanya dilakukan di balai pendapa yang ada di istana. Para pendeta Ciwa, Budha dan Resi Mahabrahmana serta pemuka-pemuka yang ada di desa sangat dihargai oleh baginda di samping pejabat-pejabat resmi di pusat. Pemerintahan Cri Astasura Ratna Bumi Banten sangat bijaksana dan sangat taat melakukan adat-adat upacara di pura. Namun suatu keterangan yang sangat berbeda kita dapatkan di dalam kitab Negarakertagama sargah 49.4 di mana antara lain disebutkan bahwa “ikang bali nathanya duccila niccaha” artinya raja pulau Bali sangat jahat dan hina. (Pigeaud, 1960 : 36). Ginarsa meneliti lebih jauh siapa sebenarnya yang dimaksud oleh Prapanca bahwa pulau Bali rajanya jahat dan hina, yang memerintah tahun 1265 Caka. Dikatakan bahwa yang dimaksud oleh Prapanca raja pulau Bali jahat dan hina tidak lain dari raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten sebagai raja Bedahulu. (Ginarsa, 1956 : 26-28). Berg berpendapat bahwa pada jaman itu, terjadi suatu peperangan yang terjadi antara tahun 1331 dan tahun 1343 Masehi, yaitu peperangan terhadap kerajaan di pulau Bali yang dikenal dengan sebutan “Perang Sadeng”. Pendapat Berg ini ditanggapi oleh Krom antara lain dikatakan bahwa perang Sadeng itu adalah pemberontakan yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit yang terjadi di timur pulau Jawa terhadap kerajaan Majapahit pada 1331 Masehi.
9
Sedangkan perang terhadap kerajaan di pulau Bali diselesaikan oleh kerajaan Majapahit pada 1343 Masehi. (Utrecht, 1962 : 81-89). Kalau dibandingkan antara pendapat Berg dan Krom serta dikaitkan dengan keterangan dalam prasasti Langgahan (tahun 1259 Caka) dan Rajapurana, maka dapat dikemukakan di sini bahwa raja Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang dapat ditaklukan oleh Majapahit pada 1265 Caka. (Semadi Astra, 1977 : 29). Karena Cri Astasura Ratna Bumi Banten merupakan raja Bali yang terakhir, maka Goris menduga bahwa raja ini mungkin dapat disamakan dengan raja Bedaulu (Bedulu) yang bernama Mayadanawa seperti tersebut pada lontar Usana Bali.(Sartono, 1977 : 160). Selain disamakan dengan Mayadenawa peneliti juga memperkirakan Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten sama dengan Cri Tapolung atau lebih dikenal dengan raja Bedahulu. Hal itu diketahui dari Rajapurana raja Bali sebelum diserang Gajah Mada bernama Cri Tapolung. Dijelaskan dalam Rajapurana Pupuh I.8-17 disebutkan bahwa yang menjadi raja di pulau Bali sebelum serangan Gajah Mada tahun 1343 Masehi bernama Cri Tapolung. Dalam Rajapurana disebutkan bahwa sebelum kedatangan Ekspedisi Gajah Mada yang menjadi raja di pulau Bali bernama Cri Tapolung putra raja Masula-Masuli. Mengenai nama Cri Tapolung ini dapat diuraikan yaitu Cri berarti bahagia; keindahan; Tapolung terdiri dua kata yaitu tapa dan ulung; tapa (bahasa Sanskerta) berarti „tapa, pertapa dan pendeta.( Pigeaud, 1960 : 419 ; Wojowasito, 1973 : 325). dan ulung (sakti) berarti sakti. Dengan demikian maka Cri Tapolung mengandung pengertian yaitu gelar seorang raja pertapa yang sakti dan ada hubungannya dengan pertapaan. Kalau dikaitkan dengan sumber pasasti Langgahan dan Raja Purana di atas, dimana dalam prasasti Langgahan disebutkan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten menetapkan pertapaan Langgaran dengan segala peraturannya dan di dalam raja purana disebutkan bahwa seorang raja yang ada hubungannya dengan pertapaan (pertapa). Lebih
10
lanjut dapat dikatakan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bhumi Banten sama dengan Cri Tapolung. Dalam Rajapurana juga disebutkan bahwa setelah raja pulau Bali berbeda dengan pusat (Majapahit) raja bergelar Cri Beda Muka, Cri Beda Murdi atau Dalem Bedaulu. Mengenai nama (gelar) raja ini dapat diuraikan yaitu Cri Beda Muka, Cri berarti bahagia, keindahan, dan kebesaran, Beda berarti berbeda. Muka berarti muka, kepala, (Wojowasito, 1973 : 226). Cri Beda Murdi, Cri dan Beda sama artinya seperti disebutkan diatas, sedang murdi (berasal dari bahasa Sanskerta mardda) berarti kepala. (Wojowasito, 1973 : 227). Dalem Bedahulu berasala dari dua kata, yaitu Dalem berarti istana, gelar seorang raja. (Pigeaud, 1969 : 58). Bedahulu berarti berbeda kepala. Dengan demikian ketiga gelar raja yang disebutkan di muka, yakni beda muka, beda murdi dan Bedahulu adalah mengandung pengertian yang sama, yakni seorang raja atau gelar seorang raja yang berbeda kepala dengan pengertian bahwa raja berbeda dengan kepala (pusat), yaitu (Majapahit). Dapat ditambahkan bahwa Raja Asta Sura Ratna Bumi Banten bergelar raja Cri Beda Muka, Beda Murdi atau Dalem Bedahulu dan Cri Tapolung. Secara arkeologis peninggalan Arca Perwujudan Raja Asta Sura Ratna Bhumi banten ditempatkan di Pura Kebo Edan di daerah Bedulu Gianyar (Lihat lampiran Foto 1). d) Cri Kresna Kapakisan (Caka, 1272-1302) Setelah pulau Bali ditundukkan pada tahun 1265 Caka berselang beberapa tahun kemudian, kira-kira tahun 1272 Caka di Majapahit diadakan persidangan yang dipimpin oleh Gajah Mada dengan dihadiri oleh para menteri dan arya. Tujuannya untuk membicarakan tentang kekosongan pemerintahan di pulau Bali. Dalam persidangan itu, dimintakan pula pertimbangan kepada Ki Pasung Gerigis yang saat itu berada di Majapahit yang desa-desa mana yang patut ditempati oleh para Arya dan pengiringnya. Berdasarkan musyawarah dalam
11
persidangan itu, ditetapkan desa-desa yang menjadi kedudukan para Arya dan pengiringnya. Pemberian (hadiah) kedudukan kepada para Arya itu adalah merupakan imbalan dari jasajasa mereka pada waktu peperangan dahulu. Sedangkan yang ditunjuk oleh Gajah Mada menjadi raja di pulau Bali adalah Cri Kresna Kapakisan dan setelah tiba di Bali berkedudukan di Samprangan sedangkan Mapatihnya bernama Arya Kapakisan. (Sartono, 1977:160). Mengenai Arya Kapakisan ini muncul secara tiba-tiba seperti tersebut dalam Rajapurana Pupuh VIII, 34a, 34b, 56-64, Arya Kapakisan bersama-sama dengan Arya Tumenggung mengadakan penyerangan di desa Celukanbawang, Banjar Aseman, Patemon dan lain-lainnya yang akhirnya desa-desa itu dapat ditundukan. (Berg, 1929 : 9). Karena pada waktu para Arya kembali ke Majapahit nama Arya Kapakisan tidak ada disebutkan, kemungkinan Arya Kapakisan itu tetap tinggal di Pulau Bali. Pembicaraan kita kembali pada raja di muka (Cri Kresna Kapakisan) dalam Pamancangah antara lain disebutkan bahwa pada jaman Gajah Mada di Jawa tinggal seorang suci dan sakti yang bernama Mpu Kapakisan dan berkat kesaktiannya telah menciptakan seorang putra dari sebuah batu yang kemudian dikawinkan dengan bidadari. Dari perkawinan ini lahir empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan seorang putri. Waktu itu Gajah Mada mengajukan permintaan kehadapan Mpu Kapakisan supaya anak-anak itu diserahkan kepadanya, dan permintaan itu dikabulkan. Putra yang tertua dijadikan raja di Belambangan, yang kedua dijadikan raja di Pasuruan, yang ketiga (putri) dikawinkan dengan raja Sumbawa dan yang keempat dijadikan raja di Bali. Mungkin yang dimaksud dalam Pamancangah dengan putra yang keempat adalah raja Cri Kresna Kapakisan. Pada waktu baginda memerintah masih ada desa-desa Baliaga yang ingin memberontak terhadap kekuasaan Baginda misalnya desa Campaga, Songan, Kedisan, Abang, Pingan, Munti, Benoh, Tarebayan, Serahi (Serai), Sukawana, Panrajon, Kintamani, Pludu, kawan, Manikalyu
12
(manikliu), di sebelah timur seperti desa Culik, Tista, Margatiga, Mantig, Got, Garbhawana, Lokasana, Juntal, Garinten, Sekulkuning, Puhan, Wulakan, Simbatan, Asti, Watuwayang, Kadampal, Paselatan, Bantas, Datah,Watudawa, dan katabayan. (Berg, 1929 : 10). Dengan adanya desa-desa yang belum mau tunduk kehadapan Cri Baginda, baginda merencanakan untuk pulang ke Jawa (Majapahit). Akhirnya kepada Cri Baginda dihadiahkan sebilah pedang yang bernama Si Pancajanya beserta seperangkat pakaiannya yang dikenakan pada waktu dahulu, agar baginda lebih mudah mencapai kemenangan.15. Sejak saat itu kekuasaan baginda makin meningkat pertahanannya. Suatu hal yang sangat penting terjadi pada jaman ini seperti yang dituturkan oleh Pamancangah Pupuh I-27 (Berg, 1929 : 10) adalah : “….kunang cri kapakisan, brahmangca mulanyang (ng) ani dadi ksatria dene rakryan apatih…” Artinya : “…..Adapun Cri Kresna Kapakisan asalnya dari (kasta) Brahmana dahulu dijadikan (kasta) Ksatria oleh Rakryan Patih (Gajah Mada)…”
Keputusan Gajah Mada mempercayakan Cri Kresna Kapakisan untuk memelihara ketentraman dan perdamaian di pulau Bali kalau ditinjau dari sudut politik memang merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat untuk mengembalikan citra orang Bali agar berpacu pada Kediri. Waktu itu yang menjadi raja di Majapahit adalah Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara. Pada jaman ini yakni tahun 1357 Masehi Ki Pasung Gerigis diutus oleh Gajah Mada untuk memerangi raja Sumbawa yang bernama Dedela Natu dan dikatakan keduanya gugur dalam peperangan. 29. Pada tahun 1284 Caka (caka pat-ulo-ra-tunggal) yang berarti tahun 1362 Masehi di Majapahit diadakan upacara Cradha yaitu membuat upacara ibu Hayam Wuruk yakni Rajapatni (Tribuana tunggadewi). (Berg, 1929 : 9).
13
Raja Bali yang bernama Cri Kresna Kapakisan juga I Dewa Agra Samprangan (Caka 1302). Setelah raja Cri Kresna Kapakisan wafat, maka pemerintahan di Bali digantikan oleh putranya yang tertua yang bernama I Dewa Agra Samprangan atau Dalem IIa. Raja ini tidak begitu memperhatikan keadaan pemerintahan karena suka berhias dan lamban di dalam melakukan segala pekerjaan sehingga raja ini kurang mendapat dukungan rakyat. Karena baginda kurang mendapat simpati rakyat lalu banyak menteri yang kecewa. Pada suatu hari Bendesa Gelgel yang bernama Ngurah Abyan Tubuh (Kubon Kelapa) hendak menghadap raja. Namun, setelah ditunggu-tunggu raja belum juga keluar. Ketika itu raja tetap asyik berhias dan memperbaiki pakaiannya di muka kaca. Sampai bosan ia menunggu lebih lama lagi akhirnya kubon kelapa pergi meninggalkan keraton. Dengan demikian sia-sialah ia mau menghadap raja. Sepeninggalan dari keratonnya dalam pikiran telah terlintas maksud untuk menghubungi adik baginda yang bernama Ketut Ngulesir. (Berg, 1975 : 145-156). e).I Dewa Ketut Ngulesir (Caka 1302-1382) Berselang beberapa lama mulailah Kubon Kelapa mencari baginda I Dewa Ketut Ngulesir yang saat berada di desa Pandak. Kubon Kelapa datang menghormat dan menyampaikan maksudnya, yaitu mengangkat dan menobatkan baginda menjadi raja. Dia sanggup menyediakan rumahnya di Gelgel dijadikan istana. Baginda lama pula berpikir, namun karena permohonan Bendesa Gelgel amat kerasnya akhirnya baginda bersedia menjadi raja dan berani menanggung segala akibatnya. (Berg, 1929 : 8 ; Pitono, 1965 : 53). Sebelum meninggalkan desa Pandak baginda berjanji seandainya nanti baginda menjadi raja maka mereka (orang pandak) akan dijadikan juru kuwuk (tukang pelihara ayam aduan?) di istana. Namun, kenyataan setelah baginda menjadi raja, desa Ayunglah yang bertugas sebagai tukang pelihara ayam aduan. Kemungkinan raja mangkir dengan janjinya dan apa sebabnya raja tidak jadi memberikan kepada desa Pandak sebagai juru kuwuk, hal ini belum jelas selanjutnya dengan mempergunakan rumahnya Kubon Kelapa maka berdirilah kerajaan
14
Gelgel yang juga bernama Linggarsapura atau Suweccapura. Setelah raja dinobatkan kemudian bergelar Cri Asmara (Semara) Kapakisan. Berdasarkan uraian di muka kita bisa mengacu kepada suatu pertanyaan yaitu kapankan kerajaan Gelgel itu berdiri? Untuk menjawab ini agak sukar bagi kita menentukan secara pasti, karena sampai saat terakhir penelitian ini belum juga didapatkan angka yang pasti mengenai kerajaan Gelgel tersebut. Dalam Babad Mengwi (Salinan, Babad Dalem Samprangan, hal 1) kita temukan satu keterangan angka tahun yang memakai candrasangkala yang berbunyi: “…..Kunang ri kalaning angalih kadatwan ring sweccalinggarsapura, I saka lwang ing mata agni tanggal….” Artinya : “…..Adapun pada waktu berpindah kerajaan di Suwecalinggarsapura (Gelgel) pada tahun 1320 Caka….” . Dengan adanya keterangan di atas yang menyebutkan kerajaan (Samprangan) berpindah ke Gelgel pada tahun 1320 Caka atau tahun 1398 Masehi, kiranya menimbulkan dua kemungkinan yang saling menunjang. Dikatakan demikian karena di satu pihak ada yang menyebutkan bahwa kerajaan Samprangan tidak lama bertahan setelah wafatnya Cri Kresna Kapakisan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Dewa Agra Samprangan, namun baginda kurang mendapat dukungan rakyat. Ini berarti bahwa kerajaan Samprangan mengalami kepudaran (masa suram) pada tahun 1380 Masehi. Di lain pihak bila dikaitkan dengan keterangan dalam Babad Mengwi maka akan berarti kerajaan Samprangan berpindah (beralih) ke kerajaan Gelgel tahun 1398 Masehi. Berdasarkan uraian di atas maka lebih lanjut dapat dikatakan sebagai berikut. 1. Kerajaan Samprangan mungkin mengalami kepudaran mulai tahun 1380 Masehi dan pemerintahan masih bisa bertahan sampai tahun 1398 Masehi.
15
2. Kerajaan Gelgel berdiri kira-kira tahun 1302 Caka (1380 Masehi namun secara resmi seluruh pemerintahan di Bali berada di bawah kekuasaan raja Gelgel baru terjadi pad tahun 1398 Masehi dengan rajanya Cri Asmara Kapakisan. Baginda merupakan raja Gelgel yang pertama yang memerintah dari tahun 13801460 Masehi. (Berg, 1929 : 18-19). f.Cri Wijayarajasa Pada masa pemerintahan Cri Asmara Kapakisan di pulau Bali ada seorang raja Jawa dari Negara Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa telah mengeluarkan dua buah prasasti yaitu prasasti nomor 901 Abang, Pura Batur C dan nomor 902 Gobleg, Pura Batur C. Dalam prasasti Abang, Pura Batur C disebutkan bahwa raja Wijayarajasa telah menyelesaikan sengketa diantara desa Pemuteran dan desa Abang dengan mengeluarkan beberapa ketetapan yang isinya disesuaikan dengan isi prasasti yang terdahulu, dengan mengirimkan seorang patih dari Kediri (Daha) yang bernama Cancu (Raden) Pikul. Dari prasasti Gobleg kita dapat mengetahui bahwa raja Wijayarajasa telah wafat tahun 1398 Masehi. Bagaimanakah halnya sampai bisa terjadi pada masa ini (waktu pemerintahan Cri Asmara Kapakisan) seorang raja Jawa dari Negara Wengker mengeluarkan prasasti atas namanya sendiri di pulau Bali? Selanjutnya, bagaimana pula hubungan raja Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit dan kerajaan Majapahit dengan kerajaan di pulau Bali? Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah akan ditinjau lebih dahulu yaitu pertanyaan yang disebutkan belakangan yakni tentang hubungan antara Wijayarajasa dengan kerajaan Majapahit. Celless berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Wa-yuan-lan-wang-chieh dalam berita Cina dari dinasti Ming (Ming Shih buku 324) adalah tidak lain dari Bhre Wengker. Bhre Wengker sebagai raja timur tahun 1377 Masehi dapat diidentifikasikan sebagai orang yang bergelar Wengker yaitu Wijayarajasa paman dari Hayam Wuruk. Identifikasi ini akan menjelaskan posisi khusus Wijayarajasa dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Sebagai bukti menunjukan bahwa pemerintahannya tidak hanya di Wengker, tetapi juga di luar daerah kecil itu, dapat dibaca pada kitab
16
Negarakertagama (4-2-4) tentang tanah-tanah petani dan (79-2-1) tentang daerah-daerah kerajaan dan (88-2-4) bahwa minatnya ingin berkuasa meliputi selulur kerajaan Jawa.(Celless, 1974). Prasasti-prasasti di Biluluk tahun 1366, 1393 dan 1395 Masehi, dan di Katiden 1395 Masehi yang kesemuanya atas nama putra mahkota Wengker adalah mungkin sebagai partisipasinya dalam pemerintahan pusat. Pigeaud mengatakan bahwa posisi Wengker begitu pentingnya sehingga dia bisa mengeluarkan piagam tidak atas nama raja. Sebagai bukti wewenang putra mahkota Wengker sangat besar adalah terlihat dalam piagamnya yang menyangkut pulau Bali pada tahun 1384 Masehi yang seolah-olah sebagai wakil raja (Majapahit) di Bali, dimana secara jelas Wijayarajasa memakai gelar Sri Maharaja raja Parameswara (Ib. 3-4). Terutama dalam bagian terakhir dari gelarnya “Raja yang dipertuan besar” mungkin dapat membuktikan posisinya yang sangat tinggi. Namun dia sebagai putra mahkota Wengker masih tetap mengakui sebagai bawahan Negara Majapahit. Dengan diberikannnya kekuasaan yang penuh terhadap raja Wijayarajasa ini menunjukan kepada kita bahwa belas kasihan dari raja Hayam Wuruk adalah posisi yang sama dengan raja. (Noordaya, 1975 : 479-489). Mengenai hubungan kerajaan Majapahit dengan kerajaan di Bali kiranya tidak usah dijelaskan lagi karena sejak penaklukannya pada tahun 1343 Masehi pulau Bali berada di bawah lindungan kerajaan Majapahit. 3.Simpulan dan Saran 3.1.Simpulan Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten bertahta dari tahun 1337-1343 Masehi dengan kesimpulan bahwa raja Cri Astasura Ratna Bumi Bantenlah yang ditaklukan oleh Gajah Mada tahun 1343 Masehi. Raja Cri Astasura Ratna Bumi Banten nama Abhisekanya adalah Cri Beda Muka/Cri Beda Murdi/Cri Topolung. Tujuh tahun kemudian Cri Kresna Kapakisan dinobatkan menjadi raja di Bali dan berkedudukan di Samprangan yang memerintah dari
17
tahun 1350-1380 Masehi. Pada tahun 1380 Masehi, raja Cri Kresna Kapakisan wafat, lalu digantikan oleh adiknya yang bernama I Dewa Ketut Ngulesir dan berkedudukan di Gelgel yang memerintah dari tahun 1380-1460 Masehi. Raja I Dewa Ketut Ngulesirlah yang memindahkan kerajaan (Samprangan?) secara resmi ke Gelgel tahun 1398 Masehi. Pada waktu pemerintahan baginda tahun 1384 Masehi raja Wengker yang bernama Cri Wijayarajasa dapat menyelesaikan persengketaan desa Pemuteran dengan desa Abang dengan segala ketetapannya. Selanjutnya Gajah Mada datang ke Bali sebagai duta dan melakukan hubungan kerjasama agar kerajaan Bali bersatu dan bekerjasama dengan kerajaan Majapahit. Namun, siasat taktik Gajah Mada ini ternyata berlainan dengan janji persatuan dan kerjasama dengan kerajaan Bali namun ingin menundukan kerajaan Bali dengan memperdaya wakil kerajaan Bali yaitu Kebo Iwa yang dibunuh di daerah Jawa dengan tipu muslihatnya Ki Kebo Iwa disuruh untuk membuat kolam pemandian tetapi setelah membuat kolam dan langsung ditimbun batu sehingga meninggal. Inilah taktik untuk melemahkan kerajaan Bali dengan melenyapkan orang sakti Ki Kebo Iwa, dan raja Asta Sura menjadi sedih dan sakit-sakitan dan meninggal. Setelah itu yang menjadi raja adalah Ki Pasung Gerigis yang juga mengalami kekalahan dan kerajaan Bedaulu telah jatuh yang selanjutnya tidak diketahui. Analisis penempatan raja yang bukan dari dinasti/Icana di suatu wilayah kerajaan tentunya menjadi kajian pemikiran terdapatnya suatu penekanan ataupun peperangan dari pihak Majapahit yang dipimpin oleh patih Gajah Mada untuk menaklukan kerajaan Bali dan terdapatnya raja-raja Jawa (Majapahit) setelahnya kekalahan raja Asta Sura Ratna Bumi Banten.
18
DAFTAR PUSTAKA Berg, C.C. 1929. “Kidung Pamancangah”, Santpoort. ________. 1975. “Penulisan Sejarah Jawa”, Jakarta : Bhratara, (Seri Terjemahan). Judul asli Javaansch Geschiedschrijving dalam Geschiedenis van Nederlands Indie, dibawah redaksi Dr. F.W. Stapel, Jilid II, Amsterdam, Joe van Vendel, 1938. terjemahan S. Gunawan, Jakarta, Bharata. Budiastra, Putu, “Prasasti Pura Tuluk Biyu”, Denpasar, (Museum Bali, belum terbit). Ginarsa, Ketut, 1979. “Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya”, Singaraja, Balai Penelitian Bahasa. ___________, “Bundel Prasasti Nomor 901 – 902”. ___________, 1968. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, Denpasar Walmiki. ___________, 1956. Raja Siapakah yang dimaksud Prapanca, ikang Bali nathanya duccila nica” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, Tahun IV, No. 5, Juni 1956, Jakarta, Lembaga Bahasa da Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Goris, R, 1954. Prasasti Bali I & II”, Sumur Bandung. ______ , 1967. “Ancient History of Bali”, Denpasar, Faculty of Letters. ______, 1958. “Raja-raja Bali sejak Kerajaan Anak Wungsu sampai Kemenangan Gajah Mada” dalam Majalah Bahasa dan Budaya, No. 4, Th. VI, Jakarta. ______, 1948. “Sejarah Bali Kuna” Singaraja. Hardowardojo, R.Pitono, 1965. “Pararaton”, Jakarta, Bharata. Kaler, Ketut, 1980. “Arombat-asuun” dalam Bali Pest No. 231 Tahun ke XXXI. Kern, 1913. “The Brhat-Samhita or Complete system of natural astrology of Varahamihira dalam Verspreide Geschriften, Jilid I, Gravenhage, Martinus Nijhoff. 1913. Krom, 1931. “Hindoe-Javaansch Geschiedenis”, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 384-410. Needaya, J, 1975. “The king in Majapahit with an appendix by Brian E. Celless” dalam Bijdragen tet de Taal Land en Velkenkunde, Deell 31, 4e aflevering, Gravenhage, Martinus Nijheff, pp. 479-489. Pigeaud, Th. G.Th. “Java in the Fourteenth-century”. The Hague, Martinus Nijheff, pp.
19
82-83. Sapta Jaya, Ida Bagus, 2008. Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta Hubungannya Dengan Jawa Timur. Dalam Buku Pusaka Budaya Dan Nilai-nilai Religiusitas, Editor : I Ketut Setiawan, Seri Penerbitan Ilmiah Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Hal 138-161. Stein Callenfels, van, 1926. “Epigraphia Balicia I”, dalam Verhandelingen van het Koninklik Bataviasch Geneetschan van kunsten en Wetenschappen, Deel LVI, Derde atuk, Batavia. Salinan Lontar Salinan, “Babab Arya Gajah Para” Koleksi Ketut Ginarsa. ______, “Babad Arya Tabanan”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974 (Gedong Kirtya No. Val 792/13). ______, Babad Catur Brahmana”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974 (Gedong Kirta, No. Va. 273/4). ______, “Babad Dalem Turun ke Bali”, Gedong Kirtya, N0. Va/732/4). ______, “Babad Dalem Samprangan”, Gedong Kirtya, Va. 1045/8. ______, “Babad Gajah Mada”, Koleksi Ketut Ginarsa. ______, Babad Mengwi”, Denpasar, Parisada Hindu Dharma Kabupaten Badung, 1974 (Gedong Kirtya, No. Va.1340/12).
20
21
22
PERKEMBANGAN ARCA DWARAPALA DI BALI (Buku Ajar Sejarah Seni Rupa Indonesia)
Oleh : Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si NIP.19741004200212100
JURUSAN ARKEOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA 2015
Kata Pengantar
23
Berkat Rahmat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan yang tinggi, maka penulis dapat menyusun makalah dengan judul “ Kajian Konsepsi, Makna dalam Pelestarian Peninggalan Arkeologi”. Adapun maksud serta tujuan dari penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk arsip naik pangkat ke IIId, di Fakultas Sastra Universitas Udayana. Makalah dengan judul “Perkembangan Arca Dwarapala Di Bali dikaji dengan tujuan sebagai bahan ajar mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Mata kuliah ini menekankan pemahahaman mahasziswa Jurusan Arkeologi terhadap peninggalan arkeologi secara totalitas seperti misalnya pengamatan arca dwarapala akan dikaji konsepsi bentuk-bentuk dwarapala, konsepsi arca dwarapala dan filosofis arca dwarapala. Dengan pemahaman secara mendalam maka seni rupa yang dipelajarai dapat dimengerti secara seksama. Penulis menyadari akan terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang ada pada diri penulis, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk melengkapi tulisan ini. Tanpa mengurangi jasa manapun yang telah rela dan ikhlas membantu penulis, melalui tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak sebagai berikut : 1. Bapak Prof Dr I Wayan Cika, M.S. Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana yang telah membantu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesempatan membantu tulisan ini. 2. Bapak Drs I Wayan Srijaya, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. 3. Kepada Lembaga Perpustakaan Kampus Bukit Jimbaran Universitas Udayana yang menyediakan fasilitas untuk mempublikasikan karya ilmiah ini. 4. Kepada Bapak Dr. I Wayan Redig, selaku team teaching mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran maupun literature untuk penyusunan buku ajar ini diucapkan terima kasih. 5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Arkeologi atas sumbangan pemikirannya dan mahasiswa Arkeologi yang senantiasa bersama-sama mengunjungi situs purbakala, diucapkan terimakasih.
24
Mudah-mudahan atas semua jasanya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya sesuai dengan amal perbuatannya. Akhirnya semoga karya tulis yang sangat sederhana ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca sebagai sumbangan kecil dalam dunia Ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin Arkeologi pada khususnya.
Penulis, Denpasar 2 Mei 2014
Ida Bagus Sapta Jaya, S.S.M.Si NIP.19741004200212100
Daftar Isi HALAMAN JUDUL………………………………………………………………………………………… …………………I KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………… ……………………….II
25
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN..………………………………………………………………………1 BAB II PEMBAHASAN 2.1.Bentuk-bentuk Arca Dwarapala di Bali…………………………………………………………………………….3 2.2.Latar Belakang Konsepsi Arca Dwarapala..………………………………………………………………………..7 2.3. Latar Belakang Filosofis dan Fungsi Arca…….……………………………………………………………………11 2.4. Kesimpulan dan Saran…………………………………………………………………………………………… …………13
ABSTRAK
26
latar belakang filosofis arca dwarapala dapat dihubungkan dengan mithologi yaksa di India, karena dwarapala pada mulanya merupakan yaksa. Yaksa (Sanskerta) adalah mahluk yang termasuk golongan gaib yang tinggal di hutan dan dianggap sebagai sumber kehidupan, karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungan. Aspek ini menyebabkan yaksa mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, akhirnya timbulah pemujaan setempat yang dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan. Sampai saat ini dwarapala yang dikonsepsi dengan Kala, Yaksa, umumnya ditempatkan di pintu masuk pura maupun tempat-tempat pemukiman masyarakat dengan tujuan sebagai arca penjaga, dan penolak bala dan perlindungan. Kata Kunci : Filosofis, Konsepsi, Arca Dwarapala
PENDAHULUAN Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lampau dengan berbagai aspeknya melalui benda-benda yang di tinggalkan, yang dijadikan panduan untuk
27
mempelajari kehidupan yang akan dating. Mengungkapkan kebudayaan masa lampau tidaklah mudah, kita dituntut untuk memiliki keahlian dan ketelitian dari cara menemukan kembali, menyelamatkan, mencatat, sampai dengan cara mengadakan analisis untuk menerangkan arti artefak-artefak yang ditinggalkan sebagai warisan didalam suatu kerangka budaya. Titik berat arkeologi adalah kebudayaan dan tidak lepas dari faktor manusianya, sebab kebudayaan adalah suatu gejala yang khas dari manusia, sehingga manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya (Soediman, 1982 : 41). Dengan demikian setiap hasil budaya manusia pada masa lampau baik yang berupa seni bangunan, seni arca, seni sastra dan lain-lainnya mengandung arti, fungsi, dan nilai tertentu bagi manusia pendukungnya (Ki Purba, 1980 : 32). Pulau Bali sangat kaya dengan peninggalan arkeologi yang berasal dari beberapa periode yang masing-masing menunjukan cirri-ciri kahs zamannya. Salah satu diantara peninggalan tersebut adalah seni arca, yang merupakan salah satu hasil budaya yang dapat memberikan gambaran tentang kebudayaan masa lampau. Peninggalan seni arca yang ada di Bali hanya beberapa yang mendapat perhatian dan perawatan secara memadai, padahal semakin lama peninggalan tersebut semakin aus yang disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim. Untuk itu sangat perlu diadakan penelitian secara bertahap karena mengungkapkan lebih banyak hasil budaya masa lampau akan memberikan sumbangan yang sangat besar dalm menunjang program pariwisata budaya yang dikembangkan di daerah Bali. Latar belakang tersebut di atas, maka aka dicoba diuraikan peninggalan arca dwarapala yang tedapat di Bali sebagai bahan ajar bagi mahasiswa Jurusan Arkeologi Falultas Sastra Universitas Udayana, khususnya mata kuliah Sejarah Seni Rupa Indonesia. Dipilihnya arca dwarapala sebagai data penelitian dikarenakan arca dwarapala memiliki keunikan dan kekhasan yaitu dengan bentuk yang bervariasi yang ditemukan di berbagai situs arkeologi di Bali. Bentuk-bntuk arca dwarapala sebagai arca penjaga umumnya bentuknya menyeramkam dengan mata melotot, bertaring, badan besar, membawa senjata, wajah berbentuk raksasa dan sebagainya. Tetapi di tempat lain ditemukan arca dwarapala dengan karakteristik yang berbeda dengan dwarapala pada umumnya seperti misalnya dengan menggunakan seragam tentara, bertopi dan menggunakan senapan dan wajah menyerupai
28
manusia pada umumnya. Paradigma perkembangan arca dwarapala ini maka dilakukan penelitian dengan judul “Perkembangan arca dwarapala di Bali”. Adapun beberapa permasalahan yang ingin ditelusuri berkenaan arca-arca dwarapala yang terdapat di Bali adalah : 1. Bagaimanakah perkembangan bentuk-bentuk arca dwarapala yang terdapat di Bali? 2. Apa Latar belakang konsepsi arca dwarapala yang terdapat di beberapa situs di Bali? 3. Bagaimana latar belakang filosofis arca dwarapala?
PEMBAHASAN Bentuk-bentuk arca dwarapala di Bali Sebelum membicarakan bentuk-bentuk arca dwarapala, terlebih dahulu perlu diketahui pengertian dwarapala. Dwarapala berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu dwara dan pala. Dwara berarti pintu dan pala berarti penjaga. Jadi dwarapala berarti penjaga pintu (Wojowasito, 1972 : 153 ; Ayatrohaedi, 1978 : 52). Arca dwarapala yang ditemukan di beberapa tempat seperti di Sumatra, Jawa dan Bali. Arca-arca tersebut kebanyakan berbentuk raksasa atau bhuta. Pada umumnya arca dwarapala diwujudkan dengan wajah yang serem, garang, angker, memperlihatkan taring, dan mata melotot. Beberapa diantaranya memakai mahkota, subang, kalung, gelang, dan ikat pinggang dengan hiasan tengkorak. Tangan membawa senjata seperti gada, pedang, dan pisau (Linus, 1985 : 17). Di Sumatra yaitu di Padang Lawas terdapat arca dwarapala ini memegang gada di tangan kanannya. Memakai kain ditarik sampai ke atas paha, yang merupakan celana ketat menutupi bagian bawah badan arca (Rumbi Mulia, 1982 : 148). Bentuk-bentuk arca dwarapala di Jawa antara lain : arca dwarapala berbentuk raksasa terdapat pada candi Kalasan. Ciri-cirinya membawa ular, keris, dan roman mukanya tidak menakutkan. Arca ini sekarang berada yaitu di Museum Sasana Budaya Yogyakarta.
29
Arca berbentuk raksasa di kompleks candi Sewu (Jawa Tengah) berjumlah empat buah dengan tinggi 250 cm. Arca ini diletakan di kiri kanan pintu masuk candi. Bahwa arca ini tidak begitu menakutkan dan berfungsi untuk mengusir roh-roh yang jahat. Bentuk arca dwarapala yang menyeramkan juga terdapat di Jawa Timur dan Bali. Bentuk yang menyeramkan misalnya mata melotot, mulut terbuka, dan lain-lainnya akan memberikan kesan lebih tenang pada saat melakukan upacara (Kempers, 1959 : 54). Arca penjaga yang terdapat di Candi Borobudur, yang berada di sebelah barat pintu masuk berbentuk singa (Kempers, 1976 : 14). Adapun cirri-ciri arca tersebut adalah mata bundar, rambut panjang kriting sampai pada bahu, kumis lebat, dan cara duduknya menyerupai arca dwarapala dari khmer dan arca dwarapala dar Campa, yang menggambarkan gerak satu kaki di tekuk ke depan, tetapi mengikuti gerak badan, ciri-ciri demikian sudah berkembang abad ke-7-14 di Khmer (Rumbi Mulia, 1982 : 148). Di Alun-alun Singhasari (Jawa Timur) terdapat arca dwarapala berbentuk raksasa yang besar dan tegak dengan tinggi 370 cm. Tipe raksasa ini menyerupai tabiat atau sifat yang damai. Arca penjaga ini diperkirakan berfungsi sebagai penjaga komplek taman yang sangat luas. EKspresi arca penjaga itu dimaksudkan agar menakutkan, alisnya melengkum besar, mata membelalak, ujung-ujung bibirnya diangkat ke atas sehingga kelihatan giginya keluar (Kempers, 1959 : 80). Di Bali arca dwarapala ditemukan pada pintu masuk halaman halaman candi kurung Pura Bantas, Pejeng Gianyar. Di sana terdapat dua buah arca dwarapala yang memperlihatkan badan agak gemuk, dengan hiasan berupa rambut ikal terurai kebelakang. Kedua arca tersebut masing-masing tangannya membawa gada (Pawana,1986 : 56). Arca dwarapala yang ditemukan di Pura Ratu Mas Jarak Mangalup. Arca tersebut berjumlah dua buah yang masing-masing tangan kirinya membawa tameng, sedangkan kedua arca tangan itu tidak diketahui senjata apa yang dibawa atau dipegang, karena dalam keadaan patah. Kedua arca ini mempunyai hiasan tengkorak yaitu pada kepala, telinga, kalung, lengan, dan kaki. Ekspresi arca ini menampakan muka yang garang, dan memperlihatkan taring. Arca-arca dwarapala yang ditemukan di Bali mempunyai bentuk yang bervariasi. Seperti arca dwarapala yang diketemukan di Pura Batan Klecung (Pejeng) mempunyai ukuran 61 cm, sikap duduk jongkok, dengan kaki disilangkan, serta tangan dipangku di atas
30
lutut. Arca ini memperlihatkan bentuk badan yang kekaku-kakuan, rambut ikal yang terurai kebelakang sampai di bahu, mulut bulat, dahi lebar, muka mirip raksasa, serta dalam keadaan telanjang sehingga kemaluannya menonjol. Selanjutnya bentuk arca dwarapala yang terdapat di Pura Pusering Jagat, Pejeng dengan cirri-cirinya adalah sebagai berikut. Bentuk muka lonjong, alis tebal, mata bulat melotot, hidung besar, kelopak mata tebal, mulut terbuka sehingga giginya kelihatan dengan taringnya yang tajam. Kepala dalam ukuran yang besar, dengan hiasan berupa rambut rambut ikal yang terurai kebelakang, dengan ujung rambut sampai di bahu. Arca-arca dwarapala bukan hanya berbentuk raksasa, namun dalam perkembangan belakangan banyak juga berbentuk lain. Di Bali arca-arca seperti itu terdapat di depan candi kurung Pura Sekar Sari, Banjar Pagan Kelod, Denpasar. Arca itu berwujud Subali-Sugriwa. Arca berwujud Anoman dapat dilihat di depan Candi Kurung Pura Puseh Batubulan, Gianyar. Arca dwarapala dalam bentuk Anila dan Anggada dapat dilihat di depan candi bentar Pura Penataran Banjar Gunung Rata, Desa Getakan, Kecamatan Banjar Angkan, Kabupaten Klungkung. Arca dwarapala dalam bentuk Resi dapat dilihat di depan candi kurung Pura Pusering Tasik. Desa Bambang, kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli. Arca dwarapala dalam bentuk Ganeca dapat ditemukan di depan candi bentar Pura Uluwatu. Arca dwarapala dalam bentuk binatang lembu dapat dilihat pada pucak sari, Desa Batukaang, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Arca dwarapala dalam bentuk binatang Kambing dan lembu dapat di lihat Canggi, Desa Sakah, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Arca dwarapala berwujud Gajah ditemukan di depan candi bentar Pura Yeh Gangga, Desa Perean, Kabupaten Tabanan. Masih banyak lagi bentuk-bentukyang lain dari arca penjaga (dwarapala) yang dijumpai pada pura-pura di Bali. Oleh karena itu kemungkinan juga arca dwarapala di Indonesia terutama di Bali diwujudkan dengan berbagai macam bentuk adalah sesuai dengan bentuk musuh yang dihadapinya, hal ini sesuai dengan mithologi yaksa di India. Mithologi arca dwarapala di Indonesia dapat disamakan dapat disamakan dengan mithologi di India. Yaksa dikatakan mahluk yang setingkat lebih rendah dari dewa-dewa yaitu tergolong mahluk gaib, yang merupakan pendamping dewa-dewa berbentuk raksasa, berwajah ganas, dengan rambut kriting kebelakang hingga menyentuh pundak. Di samping berwujud raksasa di India yaksa juga diwujudkan sebagai mahluk yang berkepala binatang
31
seperti berkepala singa, harimau, kuda, dan lain sebagainya. Menurut mithologi India yaksa dapat berganti kepala sesuai dengan keadaan yang dihadapi (Rumbi Mulia, 1982 : 2-3). Di Bali khususnya, arca-arca dwarapala diwujudkan dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan musuh yang dihadapi. Hal demikian berlanjut terus sampai sekarang, dapat dilihat pada pura-pura di Bali. Biasanya dikanan kiri pintu masuk terdapat arca dwarapala dengan berbagai macam bentuk sebagai penjaga.
2.1. Latar belakang konsepsi arca dwarapala Sebagaimana diketahui sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Hindu di Indonesia, yaitu pada zaman Neolitik dan zaman Megalitik nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal berbagai macam upacara yang berhubungan dengan kehidupan rohani. Demikian pula halnya pada zaman ini mereka telah mengenal berbagai macam simbul misalnya pada waktu itu mereka mempunyai kebiasaan mendirikan bangunan yang berbentuk teras piramida pada lereng atau pegunungan biasanya dibubuhi lambang-lambang tertentu sebagai penolak malapetaka, disamping adanya anggapan mendatangkan kesuburan lambing-lambang tersebut di atas tidak dipergunakan untuk perhiasan saja, akan tetapi mempunyai suatu kekuatan magis, kemudian pada zaman Neolitik nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal atau sudah mengenal atau sudah melaksanakan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pada Zaman ini sudah dimulai menghias barang-barang dengan gambar bagian tubuh manusia seperti muka manusia. Kepandaian menghias ini bersifat lambang atau simbol (Saripin, 1960 : 24-25). Hiasan muka manusia zaman itu mempunyai dua arti, yaitu sebagai simbul nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan sakti atau mempunyai kekuatan magis dan sebagai penangkal yang jahat. Anggapan seperti itu masih berkembang pada zaman belakangan dimana hiasan muka manusia dianggap sebagai simbul penolak bahaya. Hiasan semacam itu biasanya disebut Kala. Hiasan Kala di dalam seni pahat zaman Hindu di Indonesia telah banyak mengalami perubahan bentuk. Pada mulanya di India berbentuk kepala Singa. Di Indonesia berbentuk menjadi manusia. Kala biasanya terdapat di atas pintu yang juga berfungsi sebagai simbul penolak bahaya. Di Jawa Tengah seni pahat ini biasanya dirangkaikan dengan makara,
32
tujuannya menghias bagian bawah kiri kanan pintu atau relung. Seni pahat ini di Jawa Tengah disebut Kala, di Jawa Timur disebut Banaspati (Raja Hutan), di Asia Tenggara di sebut Kala, di Bali disebut Kala (Karang Boma) (Suantra, 1984 : 8). Kala di dalam kamus bahasa Bali Indonesia antara lain berarti waktu, mahluk halus, raksasa. Kata Kala berasal dari bahasa sansekerta yang artinya waktu. Di samping itu Kala merupakan sejenis binatang yang dikenal dalam mitologi dan dalam ilmu arkeologi. Binatang ini digambarkan sangat seram, bermata bundar, dan besar, serta mulut menganga (Ayattrohaedi, 1981 : 40-41). Di India Yaksa merupakan mahluk gaib yang tinggal di hutan dan di anggap sebagai sumber kehidupan karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungannya. Di India yaksa mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat dan timbulah pemujaan setempat dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan (Rumbi Mulia, 1982 : 141). Relief yaksa juga banyak terdapat di Indonesia antara lain Padang Lawas (Sumatra). Semua relief yaksa yang terdapat di pang Lawas menggambarkan yaksa yang sedang menari. Di Jawa Tengah yaitu di Candi Borobudur nampak yaksa yang sedang duduk, rambutnya panjang dan kriting, serta kumis sangat lebat (Rumbi Mulia, 1982 : 144). Di dalam pantheon dewa-dewa, yaksa termasuk golongan setingkat di bawah dewadewa. Akan tetapi juga sebagai mahluk yang berkepala binatang suci. Wahana yang demikian di temukan di candi-candi Dieng. Patung tersebut tidak lain dari garuda yaitu wahana dari dewa Wisnu (Sutjito Wiryosuparto, 1957 : 54). Dalam perkembangan selanjutnya sering pula arca binatang dianggap sebagai arca penjaga (dwarapala) yang biasanya diletakan didepan candi. Salah satu contoh di candi Borobudur (Jawa Tengah) ditemukan arca dalam wujud binatang singa yang terdapat disebelah barat pintu masuk (Kempers, 1977 : 14). Adannya arca-arca berbentuk binatang, mengingatkan kita kepada adanya arca-arca dwarapala yang berbentuk raksa atau lebih terkenal dengan arca penjaga. Walaupun bentuknya berbeda tetapi mempunyai fungsi persamaan yaitu sebagai sarana penolak bahaya. Sebagai mana diketahui, tiap-tiap umat beragama mempunyai tradisi masing-masing untuk menghubungkan diri dengan Tuhannya. Hal tersebut dilihat melalui cara mereka membuat simbul-simbul yang dipakai sarana pemujaan serta dikeramatkan, seperti diciptakan
33
tempat suci atau pura beserta arca dwarapala merupakan sarana untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan, yaitu dengan jalan bhaktiyoga. Berdasarkan atas kepercayaan itulah menyebabkan masyarakat membuat arca yang bentuknya macam-macam sesuai dengan keinginan mereka. Seperti arca dwarapala yang berwujud raksasa, arca penjaga dalam bentuk binatang dan bentuk-bentuk lainnya. Arca dwarapala dalam bentuk raksasa yang terdapat di pura Melanting, Tatiapi, Pejeng, Gianyar, ciri-ciri arca ini adalah jongkok, tangan disilangkan, mulut menganga, rambut terurai, serta kemaluannya menonjol. Arca ini oleh masyarakat dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat memberikan perlindungan dan keselamatan serta menjauhkan segala rintangan sehingga pertanian penduduk berhasil dengan baik (Renik, 1986 : 33). Demikian juga arca penjaga dalam bentuk binatang lembu yang terdapat di Pura Ampingan, Kramas Blahbatuh, di atas bangunan segi empat panjang (dugul), sikap arca ini (nengkuk), perhiasan pada kaki memakai gelang dengan bentuk bundaran, leher dihiasi dengan hiasan berbentuk kalung dengan gongseng sebanyak sepuluh butir. Kepercayaan masyarakat terhadap arca lembu ini adalah untuk memohon restu supaya hasil pertanian baik, subur, berlimpah dan sebagai sesajennya adalah padi rarapan (Setiana, 1986 : 78). Arca dwarapala dalam bentuk raksasa juga diketemukan di Pura Dalem Ceruk Buruan, Gianyar, Arca ini terletak di kanan kiri kori Agung. Ciri-cirinya mata melotot, hidung besar, pipi kembung, mulut terbuka, pinggang dan pinggul besar. Sikap arca duduk berjongkok, dengan laksana yang dibawa oleh tangan kiri adalah tameng tangan kanan digenggam sehingga memberi kesan seolah-olah tangan arca keliiihatan memukul. Arca penjaga dalam bentuk Ganeca yang terdapat di Pura Yeh Gangga, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, ditempatkan dalam sebuah bangunan yang disebut pelinggih Tirta Gangga (Yeh Gangga). Bentuknya kegemuk-gemukan, kaki dan badan pendek, perut buncit, sikap arca duduk bersila dalam sikap wirasana yaitu kedua telapak kakinya bertemu atau berimpit. Arca arca Ganeca biasanya ditempatkan pada tempat-tempat yang dianggap berbahaya seperti : tempat-tempat penyebrangan, lereng yang berbahaya. Penempatan arca Ganeca itu, dianggap berfungsi sebagai penolak segala rintangan. Arca Ganeca juga merupakan simbul kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Penempatan arca penjaga dalam bentuk raksasa maupun binatang di depan candi bentar ataupun pintu masuk pura-pura di Bali bukanlah untuk hiasan belaka, tetapi
34
mempunyai latar belakang tertentu. Arca hasil ciptaan manusia masa lalu senantiasa dikaitkan dengan lambing maupun simbul. Dari uraian tersebut di atas dapatlah diperkirakan konsepsi arca dwarapala berakar dari masa pra Hindu yang beralkulturasi dengan kebudayaan Hindu.
2.3.Latar Belakang Filosofis dan Fungsi Arca dwarapala Dalam membicarakan latar belakang filosofis pembuatan seni arca, kiranya tidak dapat dipisahkan dengan berbagai mithologi yang dikaitkan dengan dewa-dewa Hindu. Jelas pula Nampak baik peninggalan seni arca di Jawa maupun di Bali tidak terlepas dari berbagai ide yang mendasari pada sumbernya di India, misalnya mythos tentang dewa Ganapati yang dikatakan berfungsi sebagai pelindung masyarakat dari berbagai bahaya dan dewa yang membimbing manusia untuk menuju kearah sikap yang bijaksana. Demikian pula halnya didalam menguraikan latar belakang filosofis arca dwarapala dapat dihubungkan dengan mithologi yaksa di India, karena dwarapala pada mulanya merupakan yaksa. Yaksa (Sanskerta) adalah mahluk yang termasuk golongan gaib yang tinggal di hutan dan dianggap sebagai sumber kehidupan, karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungan. Aspek ini menyebabkan yaksa mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, akhirnya timbulah pemujaan setempat yang dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan. Yaksa pada mulanya digambarkan berambut panjang dan kriting yang diikat berbentul lingkaran di belakang kepala, mata besar, dan bulat, hiasan telinga besar dan bundar serta menggunakan gelang tangan dan gelang kaki. Berpakaian kain panjang yang ditarik keatas serta dilipatkan, sehingga lipatan itu merupakan semacam selendang yang jatuh ketanah di tengah-tengah kaki. Pancaran muka memperlihatkan tertawa ganas dan taring keluar dari sudut kiri kanan. Tertawa ganas itu barangkali dihubungkan dengan upacara Tantrisme, yang mana pada suatu lempengan emas yang ditemukan di padang Lawas (Sumatra) yang berasal dari abad ke-13 Masehi terdapat prasasti antara lain memuat kata-kata : ha-ha, hu-hu, he-hai, hao, hau ha-ha-ha kemungkinan kata ini mengutip arti ganas yang terdengar dari upacara Tantrisme (Rumbi Mulia, 1982 : 144).
35
Menurut mithologi India, yaksa bertempat tinggal di hutan diantara pegunungan Himalaya serta menjadi pendamping dewa Kuwera, yang ditugaskan untuk menjaga kekayaan (Mackenzie, t.t : 68). Hal ini sangat sesuai dengan pantheon dewa, yang mana yaksa termasuk golongan yang setingkat dibawah dewa-dewa, yang kemudian menjadi pendamping mereka. Yaksa yang dikenal di India, reliefnya juga banyak terdapat di Indonesia antara lain di Padang Lawas (Sumatra) yaitu di Biaro Bahal. Yaksa yang digambarakan sedang menari nari, ada yang menarik kaki kanan ke atas dan kaki kiri ditekuk sambil memegang pedang horisontal, di atas kepala serta tagan lain diletakan di depan perut. Dan ada pula berdiri dengan kaki kiri ditekuk, memegang pedang yang ujungnya menuju keatas dan ada juga pedangnya menuju ke bawah, relief yang menghiasi pinti tersebut menggambarkan Ciwa dan Parwati di Gunung Kailasa. Diantara penghuni gunung tersebut terdapat satu barisan yaksa, dan yaksa ini semuanya berkepala binatang, ada yang berkepala singa, gajah, kuda, babi. Hal ini sesuai dengan mithologi yaksa, yang mana yaksa dapat berganti kepala sesuai dengan keadaan yang dihadapi (Rumbi Mulia, 1982 : 144). Di candi Prambanan, penggambaran Kuwera dengan yaksa juga ada, yaitu pada relief Lokapala di candi Siwa yang merupakan candi untuk komplek Lorojonggrang, khususnya pada dua bidang hias yang menghadap lurus ke utara, yaitu tepat di kiri bdan kanan pintu bilik utara candi induk Lorojonggrang tersebut. Relief di kiri pintu menggambarakan Kuwera berperut gendut disertai atribut sankha nidhi, yaitu sankha yang terletak di atas padma bertangkai terjulur di atas sebelah Kuwera.
PENUTUP Pembahasan kajian konsepsi arca dwarapala dapat disimpulkan bahwa arca dwarapala yang ditemukan di beberapa tempat seperti di Sumatra, Jawa dan Bali, arca-arca tersebut kebanyakan berbentuk raksasa atau bhuta. Pada umumnya arca dwarapala diwujudkan dengan wajah yang serem, garang, angker, memperlihatkan taring, dan mata melotot. Beberapa diantaranya memakai mahkota, subang, kalung, gelang, dan ikat pinggang dengan hiasan tengkorak. Mengenai konsepsi arca dwarapala berakar dari masa pra Hindu yang beralkulturasi dengan kebudayaan Hindu. Masa Pra Hindu dikaji pada saat zaman Neolitik dan Megalitik pada
36
zaman Neolitik nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal atau sudah mengenal atau sudah melaksanakan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pada Zaman ini sudah dimulai menghias barang-barang dengan gambar bagian tubuh manusia seperti muka manusia.Hiasan muka manusia zaman itu mempunyai dua arti, yaitu sebagai simbul nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan sakti atau mempunyai kekuatan magis dan sebagai penangkal yang jahat. Anggapan seperti itu masih berkembang pada zaman belakangan dimana hiasan muka manusia dianggap sebagai simbul penolak bahaya. Hiasan semacam itu biasanya disebut Kala, sedangkan di India disebut Yaksa. Kala merupakan sejenis binatang yang dikenal dalam mitologi dan dalam ilmu arkeologi. Binatang ini digambarkan sangat seram, bermata bundar, dan besar, serta mulut menganga (Ayattrohaedi, 1981 : 40-41). Demikian pula halnya didalam menguraikan latar belakang filosofis arca dwarapala dapat dihubungkan dengan mithologi yaksa di India, karena dwarapala pada mulanya merupakan yaksa. Yaksa (Sanskerta) adalah mahluk yang termasuk golongan gaib yang tinggal di hutan dan dianggap sebagai sumber kehidupan, karena pertanian dan perladangan subur berkat perlindungan. Aspek ini menyebabkan yaksa mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, akhirnya timbulah pemujaan setempat yang dilakukan oleh penduduk yang berkepentingan. Sampai saat ini dwarapala yang dikonsepsi dengan Kala, Yaksa, umumnya ditempatkan di pintu masuk pura maupun tempat-tempat pemukiman masyarakat dengan tujuan sebagai arca penjaga, dan penolak bala dan perlindungan.
37
Arca Dwarapala penjaga pintu masuk pura
arca Dwarapala tampak depan
Lokasi Pura Samuan Tiga Gianyar-Bali
Arca Dwarapala tampak depan mengapit pintu masuk pura
38
DAFTAR PUSTAKA Ayattrohaedi, dkk 1981 Kamus Istilah Arkeologi I, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia Dan Daerah, Jakarta. Fontein dkk, Jan 1972 Kesenian Indonesia Purba Zaman-zaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, Penerbitan The Asia Society Inc, Diedarkan oleh New York Graphic Society. Kempers, A.J. Bernet 1959 Ancient Indonesia Art, Harvard University Press Cambrigde Massachussett. Ki Purba 1982 “Peninggalan Purbakala dan Mobilitas Sosial” Dalam Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun I, Jakarta, Hal. 32-36. Linus, I Ketut 1985 Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Pendekatan Dari Segi Arkeologi. Machenzie, Donald A t.t. Indian Myth and Legend, London : Gressham Publishing Company.
Rao, T.A. Gopinatha 1914 Elements Of Hindu Iconography, Vol. I Part I, The Law Printing House Round, Madras. Renik, Sang Ayu Ketut 1986 “Tinjauan Seni Arca di Pura Melating, Tatiapi, Pejeng “ Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P Dan K Jakarta. halm. 33-38. Rumbi Mulia 1982 “Beberapa Catatan Arca-Arca Yang Disebut Tipe Polinesia” Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi Cibulan, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan dan Peninggalan Nasional. Saripin, S 1960 Sejarah Kesenian Indonesia, Pradnya Paramitha d/h. J.B. Wolters Jakarta.
Air Suci Dan Dewa Raja
39
PENDAHULUAN Perdebatan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit dari jaman dahulu hingga sekarang masih menyimpan misteri yang mendalam bagi peneliti-peneliti Kerajaan Majapahit. Peneliti Wibowo, 1983 dalam penelitiannya membahas permasalahan “Nagarakertagama dan Trowulan”, membahas dengan mengkhusus kitab Negarakertagama dan lokasi kedaton kota Majapahit di Trowulan. Kitab yang dikaji untuk mengetahui fisik kota Majapahit adalah kitab Negarakertagama. Menurut Wibowo, ada dua sumber utama untuk mengetahui fisik kota zaman Majapahit. Yang pertama adalah kitab Nagarakertagama (=Nag.) yang digubah oleh Prapanca tahun 1365, khususnya pupuh 8-12 ; yang kedua adalah daerah Trowulan di Kabupaten Mojokerto (Jawa Timur) yang hingga kini diperkirakan menjadi lokasi ibukota Majapahit. Namun sayangnya kita masih belum mampu untuk memadukan kedua sumber itu menjadi satu. Tidak satupun hal yang disebutkan Prapanca dapat secara pasti diidentifikasikan dengan salah satu peninggalan arkeologi yang dijumpai di Trowulan dapat kita carikan padanannya dalam Nag. Pembahasan juga menganalisis tokoh sejarah kuna Prapanca, yang cukup banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk menelusuri sejarah Majapahit. Pernah dilakukan usaha untuk menelusuri uraian Prapanca mengenai ibukota Majapahit dengan cara mengadakan ekskavasi di daerah Trowulan, yitu oleh Ir. H. Maclaine Pont (1924 : 36-75, 157-199 ; 1926 : 100-129). Ekskavasinya sendiri menghasilkan sebuah peta rekontruksi atas sebuah kota atau, paling sedikit, pemukiman zaman Majapahit. Kesimpulannya bahwa ibukota tadi meliputi suatu wilayah yang amat luas juga sangat meyakinkan. Namun identifikasi beberapa hasil ekskavasinya dengan apa-apa yang disebutkan dalam Nag kurang meyakinkan. Hal ini terutama disebabkan karena Maclaine Pont mengambil uraian Prapanca dalam bentuk terjemahan dan tafsiran yang telah dibuat oleh Kern (1917 : 231-320). Karena tafsiran itu sendiri masih bersifat hipotetis, dengan sendirinya identifikasi dengan hasil ekskavasinya di Trowulan menjadi kurang mengena. Penelitian mengenai kerajaan Majapahit hingga sekarang belum ditemukan bukti yang lebih jelas, yang dapat dipakai sebagai acuan untuk menyatakan Trowulan adalah bekas Kota Majapahit, namun dalam anggapan orang atau sebagian besar masyarakat, Trowulan selalu diidentikan dengan Majapahit atau kota Majapahit. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Maclaine – Pont tahun 1924 dan 1926 serta interpretasi Stutterheim atas naskah Negara Kertagama pupuh VIII hingga pupuh XII, makin mempertebal keyakinan
40
orang bahwa Trowulanlah satu-satunya wilayah di Jawa Timur yang memiliki peluang untuk diangkat sebagai kota Majapahit. (Wibowo, 1983 : 1). . Penelitian yang dilakukan oleh para ahli di peroleh gambaran bahwa situs Trowulan sebagai bekas kerajaan Majapahit di landasi atas banyaknya temuan benda-benda mengenai kehidupan jaman Majapahit. Di antaranya peninggalan kepurbakalaan yang berasal dari jaman Majapahit, terdapat benda-benda yang terbuat dari terakota. Sebagian besar bendabenda terakota tersebut telah kehilangan konteks budayanya. Hal ini disebabkan oleh kegiatan manusia, antara lain kegiatan pertanian, pembuatan jalan dan saluran air, pembuatan semen merah dari bata serta penggalian yang hanya dilakukan secara kebetulan, termasuk diantaranya beberapa usaha dalam merekontruksi kota Majapahit. Makalah ini pada dasarnya tidaklah membahas perdebatan yang panjang mengenai penelusuran sejarah Kerajaan Majapahit maupun dalam merekontruksi kota Majapahit. Penelitian justru diarahkan untuk memahami peranan air suci dan dewa raja pada masa Kerajaan Majapahit, jadi seperti memahami masalah peradaban sejarah Majapahit dengan diartikan secara harfiah memahami masalah secara sekala (sejarah dan rekontruksi kerajaan Majapahit), dan memahami air suci dan dewa raja secara niskala (agama, kepercayaan pengkultusan dewa raja). Dalam penelitian diperlukannya keseimbangan antara sekala dan niskala , terutama dalam penelusuran dan pengungkapan sejarah Kerajaan Majapahit. Faktor niskala seperti agama, kepercayaan dan air suci, dan pengkultusan dewaraja bagi raja-raja Majapahit dipentingkan guna memahami secara mendalam sejarah kebesaran Kerajaan Majapahit yang diungkap dari berbagai segi baik itu sejarahnya dan penelusuran secara ekskavasi untuk menemukan data-data penunjang rekontruksi Kerajaan Majapahit. Pentingnya membahas air suci dikarenakan air suci berperan dalam kehidupan umat manusia maupun berperan bagi para dewata. Mengetahui peran air maka dikaji terlebih dahulu pengklasifikasian fungsi air. Berbicara masalah air, dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Air yang dipakai sebagai keperluan sehari-hari (bersifat profan). 2. Air yang dipakai sebagai keperluan agama atau untuk upacara tertentu, yang disebut dengan air suci (holy water) (M.M. Sukarto. K. Atmodjo, 1982 : 5). Pemaparan singkat mengenai fungsi dan peranan air seperti penjabaran di atas diketahui terdapatnya dua kepentingan, yaitu bagi manusia untuk keperluan hidup sehari-hari, dan keperluan agama untuk upacara bagi dewata. Sebagai contoh kepentingan untuk dewata
41
dapat dipahami dari cerita untuk mendapatkan air Amerta dalam kisah Amertamanthana sebagaimana diuraikan dalam kitab Mahabharata mengenai air dalam segi religius. Isi singkatnya yaitu tentang pengadukan samudra oleh para dewa dan daityanya untuk mendapatkan air amerta, sumber kekekalan hidup dewa. Cerita yang sama terdapat dalam buku kesusastraan Jawa Kuno “Tantu Pagelaran”. Isi cerita mengisahkan dipindahnya gunung Mandara atau Mahameru dari Jambudwipa (India) ke Jawadwipa (Jawa), agar nanti nusa Jawa tidak lagi goncang. Pengertian mengenai gunung Mandara seringkali disamakan dengan gunung Mahameru di dalam alam pikiran agama Hindu, maka sewaktu bangsa kita memeluk agama tersebut (selama jaman Hindu) terasa sekali pula akan harus adanya gunung itu di negeri sendiri (Soekmono, 1985 : 47). Dalam pencarian tirtha amertha ada kesamaan mithologi antara guci amertha dengan Sangku dan mithologi garudeya (relief garuda mengangkat guci amertha). Sangku dari segi bahannya ada yang terbut dari batu dan ada pula yang bahannya terbuat dari perak, emas (sekarang). Sangku yang bahannya dari batu di Bali dikenal dengan sebutan Sangku Sudamala atau Bejana Pejeng, satu-satunya terdapat di Bali. Sangku ini dipahatkan enam ratus empat puluh sembilan tahun yang lampau (649), seperti terlihat pada candra sangkala yang dipahatkan. Pahatan ini berupa bulan sabit, mata, busur, manusia, yang bernilai angka tahun caka 1251 atau 1329 AD. Mithologi Samudramanthana (Pemutaran lautan susu) juga dapat dibandingkan dengan kitab Jawa Kuna yang berjudul Tentu Panggelaran. (Poerbatjaraka dan Tanjan Hadijaya, 1952 : 57), yang isinya antara lain mengisahkan tentang dipindahkannya gunung Mahameru dari Jambudwipa ke Jawadwipa. Di dalam Kitab Negarakertagama dan Pararaton disebutkan bahwa candi Kidal dibangun sebagai candi pedharman Anusapati, raja Singosari yang meninggal tahun 1248. Relief Garuda mengangkat guci Amertha terdapat pada bidang kaki candi pada sisi timur, pada sisi utara ditampilkan garuda-garuda dalam sikap menjungjung orang, sisi selatan ditampilkan sikap garuda yang diduduki seekor naga (M. Soedarmo, Wiyadi, 1982 : 45). Pembicaraan air suci juga didukung pula dengan pembahasan dewaraja. Pembahasan dewaraja latar belakang keagamaan memiliki peranan pokok didalam menganalisis keagamaan sang Raja dan dikultuskannya sebagai dewa raja. “Noerhadi Magetsari berpendapat” bahwa pencapaian hasil (phala) “Agama Majapahit” tidak membedakan apakah itu dewa Siwa atau Visnu ditunjukkan oleh Hari-Hara. Demikian pula halya dengan
42
interpretasi terhadap konsep kesempurnaan dalam wujud perpaduan antara laki-laki dengan perempuan dilambangkan sebagai Ardhanarisvara.
Selanjutnya,
Hara-Hara sebagai
representasi kesatuan tujuan dan Ardhanarisvara sebagai symbol kesempurnaan pencapaian hasil, di mana keduanya dipadukan dalam satu wujud, yaitu dalam sebuah arca Hari-Hara cum Ardhanarisvara (Holt, 1967 : plate 59). Proses perpaduan yang dikembangkan “Agama Majapahit” tidak berhenti pada perpaduan konsep maupun wujud sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Perpaduan itu selanjutnya dikemas lebih lanjut dalam konsep lokal yaitu konsep tentang pemujaan terhadap arwah leluhur. Kenyataan ini dapat dikenali melalui penerapan gaya seni arca maupun struktur bangunan yang dapat dikembalikan asalnya pada tradisi Megalitik. Dalam pelaksanaannya arwah leluhur atau arwah yang diluhurkan itu disublimasikan sebagai arwah raja yang telah wafat. Proses pensublimasian ini dilakukan melalui upacara sraddha, sedangkan arca dewa kemudian didharmakan sebagai perwujudan Sang Raja (Stutterheim, 1956a ; et al Noerhadi Magetsari, 2008 : 254). Kedudukan
sebagai
raja
di
dunia
(empiris)
berkenaan
dengan
urusan
pemerintahan/politik, juga ia berperan dalam dunia keagamaan (supra empiris). Di mana raja mengatur hubungan antara raja kepada rakyatnya, sementara pada saat yang sama, raja sendiri tunduk pada ketentuan agama, sebagai wakil dewa di dunia. (Richadiana Kartakusuma, 1992 : 247).
Sumber Kajian 4.4.1. Air Suci Sebagai Sumber kehidupan di Majapahit Air suci juga berarti amerta yang berarti “air kehidupan” peranan air kehidupan atau sering disebut tirta, hal tersebut diambil pembandingnya pada masyarakat Jawa, Lombok dan banyak lagi daerah lainnya. Air secara umum adalah sumber kehidupan bagi semua mahluk atau merupakan kebutuhan mutlak. Apabila air tersebut ditambah dengan adanya perkataan muzizat, maka arti air dalam hal ini akan mempunyai arti tersendiri, misalnya : tirta, amerta, tirta sanjiwani, dan banyak lagi lainnya. Masalah semacam ini akan memberi makna bahwa betapa pentingnya air bagi kehidupan di dunia ini.
43
Latar belakang, peranan serta fungsi air, dalam kegiatan religius dan kehidupan ekonomis masa Indonesia Hindu, merupakan perkembangan dan mendapat pengaruh dari India, dimana bersamaan dengan masuknya agama Hindu. Tetapi pengaruh luar itu kemudian diolah dan disesuaikan dengan suasana setempat, sehingga menghasilkan perkembangan sebagai ciri khas tersendiri yang mungkin jauh brbeda dengan keadaan di India. Dalam ajaran agama Hindu dikenal adanya lima unsur yang besar yang disebut pula panca mahabhuta, dan air termasuk didalamnya sebagai salah satu unsur. Lima unsur yang besar itu diantaranya : akasa (zat ether, angkasa), bayu (angin), teja (cahaya,sinar), apah (air, zat cair), dan pertiwi (bumi, zat padat) (Harun Hadiwijono, 1979 : 67). Menurut kepercayaan atau paham Hindu,kelima unsur tadi terdapat dalam Tri Loka (tiga dunia) dengan unsur-unsur tertentu yang lebih menonjol (dominan) seperti : 1. Bhur Loka (manusia loka) yang dikuasai oleh unsur-unsur pertiwi (zat padat) dan apah (zat cair). 2. Bhuah loka (pitra loka) yaitu dunianya para arwah dan lebih banyak dikuasai oleh unsur apah dan teja. 3. Swah loka (dewa loka) yaitu dunia para dewa (sorga), dan di sini lebih banyak dikuasai oleh unsur-unsur teja dan bayu (M.M. Sukarto. K. Atmodjo, 1983 : 6). Istilah-istilah di atas mempunyai makna air kehidupan dan juga berarti air suci yang penggunaannya untuk keperluan tertentu saja, dan disimpan pada tempat yang dianggap sama. Amrtagata dalam bahasa Jawa kuna sebagai tempat penyimpanan air kehidupan, dalam hal ini antara air suci dengan air kehidupan memang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh nyata yaitu di Bali sampai sekarang masih dikenal “Panca-katirtha” yang terdiri dari lima macam air suci (tirtha), yaitu : 1. Tirtha Amrtha. 2. Tirtha Tegteg. 3. Tirtha Sudamala 4. Tirtha panglukatan 5. Tirtha pamarisuda Dengan adanya kepercayaan air suci seperti yang dijabarkan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa air merupakan sumber kehidupan (fons fitae). Dengan demikian timbul pengertian bahwa air kehidupan dalam bahasa Yunani dikenal dengan ‘nectar’ (minuman
44
pada dewa), dalam bahasa Sansekerta ada dikenal dengan sebutan amertha (tidak mati), orang Eropah air kehidupan tersebut dengan perkataan ‘The elixir of life” (Inggris), Levenswater (Belanda), dan lasource de vil (Perancis)’ (P.V.Van. Stein Callenfels, 1925 : 63). Pengertian air suci (tirtha) juga dapat dihubungkan dengan sebuah komplek pura di Tampaksiring yang disebut dengan Tirtha Empul, dan oleh Umat Hindh di Bali dianggap sebagai tirtha pemragat (selesai) untuk segala tirtha (salwiring tirtha). Kalau dikaitkan dengan prasasti batu yang terdapat di desa Manukaya Tampaksiring, maka dari data prasasti tersebut diketahui bahwa patirtaan Tirta Empul dibangun atau diperbaiki pada tahun 882 Caka atau 890 masehi, yaitu pada zaman pemerintahan raja Candra Bhaya Singa Warmadewa. Dalam prasasti itu juga ada disebutkan nama bangunan suci itu, yaitu “Tirtha di Air Hampul”, yang lama kelamaan atau karena proses bahasa menjadi Tirtha Empul. Keunikan dari prasasti batu tersebut adalah dengan diusungnya prasasti tersebut ke Tirtha Empul setahun sekali untuk disucikan. Dalam agama Hindu yang dinyatakan boleh membuat Tirtha (Air suci) hanyalah orang yang sudah sulinggih atau orang yang sudah menyucikan diri menurut agama Hindu (Pedanda). Dalam mitologi Hindu, air kehidupan disebutkan berada di dasar lautan susu (Ksiranawa). Dalam ceritra Adiparwa pada bagian permulaannya ada diceritakan mengenai pencarian tirta amertha tersebut. Selain dalam kitab adiparwa, juga dapat dilihat dalam kitab Nawaruci yang menyebutkan air kehidupan dengan sebutan “Banyu Maha Pawitra”, “Tirtha Kamandalu”, Sanghyang Amrttanjiwani”. Sedangkan untuk membahas peranan dan makna air suci pada masa kerajaan Majapahit di Jawa Timur dapat diketahui pada peninggalan purbakala untuk pertirtaan seperti Candi Tikus. Candi Tikus sebagai petirtaan dikarenakan adanya miniatur candi di tengah bangunannya yang melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuranpancuran/jaladwara yang terdapat disepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci atau Amrtha sumber segala kehidupan. Jadi Makna ditempatkannya peninggalan candi petirtaan adalah untuk menyucikan kawasan zona kerajaan Majapahit pada masa lalu. Peranan candi Tikus sebagai candi petirtaan pada masa kerajaan Majapahit tidak didukung dengan letak geografis posisi candi berada di arah selatan. Seyogyanya dan sepatutnya candi Tikus berada di arah utara (orientasi suci) sesuai dengan fungsi pertirtaan. Dimana pada dasarnya pembuatan tata ruang Kerajaan Majapahit sesuai dengan norma-
45
norma kosmologis dalam kitab Silpa-Sastra (Bangun Muljo Sukojo, 2008 : 236). Seperti diketahui batas paling utara Candi Brahu, paling Timur Situs Klinterejo dan selatan adalah candi Tikus. Peritirtaan di kawasan Kerajaan Majapahit juga dapat diketahui dari keberadaan sumur-sumur Kuna (Jobong) yang banyak terdapat di areal suci (jeroan) Candi-candi di kawasan Kerajaan Majapahit. Selain di areal candi juga ditemukan sumur-sumur kuna di pemukiman kuna rumah-penduduk sampai saat ini. Di arel suci candi misalnya ditemukan di areal suci Candi Brahu, terdapatkan sumur kuna (jobong) untuk petirtaan (air suci). Menurut masyarakat setempat dahulunya sumur kuna ini airnya difungsikan untuk petirtaan pada saat upacara di Candi Brahu. Hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian air suci di Candi Brahu sumur kuna itu sampai saat ini masih dalam kondisi yang baik dengan air yang masih mengalir dengan jernih dan harum. Nyatalah terdapatkan mata air yang jernih dimana sumur jobong ini digali untuk sumur suci pada masa lalu. Selain di Candi Brahu pengamatan juga diarahkan di Candi Gentong, dimana di sebelah utara candi Gentong diperkirakan dahulunya terdapatkan lokasi petirtaan. Hasil pengamatan kondisi candi tidak utuh lagi yang tersisa hanya tumpukan-tumpukan batu bata, namun ditemukan saluran-saluran air dan kendi kuna yang diperkirakan sebagai wadah air suci pada masa lalu di Candi Gentong. Hasil ekskavasi di kawasan Nglinguk desa Trowulan juga ditemukan sumur-sumur kuna yang masih terlihat jelas tetapi tidak terdapatkan air sucinya. Sumur kuna ini juga diperkirakan berfungsi sebagai petirtaan pada masa lalu, dengan asumsi tumpukan-tumpukan batu andesit yang diperkirakan adalah sebuah bangunan suci (candi) pada masa lalu, yang dilengkapi dengan dua buah sumur kuna yang berdekatan. Sumur kuna ini nampaknya berfungsi untuk air suci. Sedangkan di rumah pemukiman kuna di kawasan Trowulan juga diemukan beberapa sumur kuna diantaranya di zona pemukiman kuna dibelakang PIM (Pusat Informasi Majapahit) ditemukan banyak sumur-sumur kuna. Fungsi sumur kuna ini di pemukiman kuna rupanya berfungsi ganda yaitu untuk keperluan sehari-hari dan untuk air suci (Profan dan sakral). Di kawasan areal PIM juga ditemukan banyak sumur-sumur Kuna yang terlihat setelah diadakan penggalian pada masa lalu yang diperkirakan berfungsi sebagai pemukimana pada masa lalu. Jadi fungsi sumur kuna adalah untuk air suci dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari oleh masyarakat. Seperti pada penjelasan pada pemaparan diatas berfungsi sebagai profan dan sakral
46
Candi-candi pertirtaan pada umumnya didukung dengan kondisi geografis orientasi arah hadap, dan juga karakteristik candi dengan fungsi petirtaan dan relief yang terdapat pada bangunan candi. Contoh pahatan yang menggambarkan cerita relief garuda dengan mitologi cerita amertha terdapat pada poros-poros candi kidal, candi kedaton, candi sukuh (Bernet Kempres, 1959 : 97,102). Pada umumnya relief garuda pada candi tersebut mempunyai pertalian yang erat dengan amertha, seperti yang dilukiskan di Candi Kidal yakni mengandung arti simbolis magis sebagai pelepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba, 1972 : 4). Garuda yang mengangkat guci amertha itu ada hubungannya dengan mithologi garuda yang mencuri guci yang berisi air kehidupan (tirtha amertha). Garuda adalah tokoh yang diceritakan sebagai pahlawan yang melepaskan ibunya dari perbudakan Sang Kaderu yaitu ibu keluarga besar ular-ular. Dengan mencuri guci amertha dari para dewa akhirnya ibunya terlepas dari perbudakan. Cerita ini terkenal dengan nama “garudeya”. Cerita ini oleh bangsa Indonesia di masa Indonesia Hindu agaknya sangat digemari dan berpengaruh pada seni pahat dan seni arca. Di Bali mengenai relief Garuda dapat dilihat di pura Maospahit Gerenceng, pada bagian candi bentar sebelah selatan, tampak depan. Sedangkan pada candi bentar sebelah utara dipahatkan tokoh Bima, yang mana besarnya hampir sama dengan tokoh Garuda. Sikap tangan garuda ditekuk ke depan memegang sebuah guci amertha. Berdasarkan letak kesucian sesuai orientasi arah mata angin maka arah selatan pada umumnya selalu diidentikan dengan laut. Sedangkan arah utara diidentikan dengan Gunung. Gunung pada masa prasejarah juga diyakini oleh masyarakat prasejarah sebagai orientasi yang suci dikarenakan gunung dianggap tempat bersemayamnya roh-roh halus nenek moyang yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dan keselamatan. Penempatan arah hadap penguburan manusia prasejarah dengan menggunakan sarkopagus yang dilengkapi dengan pola hias kedok muka juga dihadapkan kearah utara dengan pegharapan agar roh orang yang meninggal dapat suci. Laut sangat menentukan arah atau orientasi dalam kebudayaan Bali masa kini, yang merupakan bagian dari masyarakat Austronesia. Arah ke laut dalam masyarakat Bali senantiasa dihubungkan dengan kelod (arah selatan) atau hilir, sedangkan arah ke gunung dihubungkan dengan utara atau kaja atau hulu. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Bali, laut dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi, kotor, alam bawah yang mengerikan,
47
sedangkan gunung diasosiasikan dengan hal-hal yang suci, menyenangkan dan dunia atas atau kediaman para dewa. Namun demikian, kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya (Wertheim, 1960 : 38-39 ; Ardika, 2008 : 225) Asosiasi gunung dengan hal-hal yang suci dan sangat penting peranannya juga diungkapkan dalam sejarah kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984 ; Lombard 1990 ; Bangun Muljo Sukojo, 2008 : 230). Bangun Muljo Sukojo yang meneliti “Analisis Fenomena Alam Terhadap Situs Kerajaa Majapahit Dengan menggunakan Teknologi Peinderaan Jauh”, lebih jauh menegaskan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan-kerajaan itu mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan, Jenggala, Daha, Majapahit, Tumapel (Singhasari). Peranan air suci pada masa Kerajaan Majapahit dapat juga dipahami dengan mengklasifikasikan menjadi tiga tingkatan. Penjabaran yang dikaji oleh Agus Aris Munandar mengenai air suci yaitu ditempatkan di area zona atas atau disebut bagian uttama tempatnya para Dewata dan pusat tirtha amertha. Begitupula area tengah atau disebut madya tempatnya para raja (dewaraja) dengan peninggalan petirtaannya dan lokasi bawah atau nista tempatnya para rakyat dan petirtaan yang dimanfaatkan untuk umat manusia. Dengan adanya pemahaman baru terhadap fungsi air, pemujaan dewa, dan konsep dewaraja, maka mengemukalah beberapa proposisi sebagai berikut: 1.
Peranan air penting dalam masa Hindu-Buddha, diwujudkan dengan ajaran tentang air amerta.
2. 3.
Dalam air terdapat kekuatan keabadian dan kesejahteraan. Dalam ajaran Hindu-Buddha para dewa senang akan air, dewa dan air tidak bisa dipisahkan.
4.
Raja Jawa Kuno (Majapahit) dipandang sebagai dewa yang hidup di dunia, air yang digunakan untuk keperluan sehari-harinya setara dengan air amerta.
5.
Air bekas digunakan oleh raja dan kaum kerabatnya adalah air suci, karena telah digunakan oleh para dewa yang nyata, dan itulah yang kemudian dipercaya membawa berkah dan kesejahteraan, air itulah yang kemudian dipakai ulang oleh rakyat kebanyakan.
(Sumber: Makalah Trowulan Sebagai Bekas Kota Majapahit Dan Hubungan Antara Sumber Air Dengan Tinggalan Arkeologis, 2012).
48
4.4.2. Konsepsi Perwujudan Dewa Raja di Majapahit Kajian konsepsi dewa raja dikaji oleh Richadiana Kartakusuma ditegaskan dalam makalahnya yang berjudul “Prasasti Talang Tuo : Kultus Dewa raja” 1992, yang menjelaskanlah dalam makalahnya tujuan raja Jayanasa mengeluarkan prasasti Talang Tuo itu mencerminkan bahwa ia telah mencapai tahap bodhisattva, setelah mencapai proses pendewaan secara normative yang telah diperoleh melalui tantra. Richadiana Kartakusuma menegaskan tindakan dan perilaku seperti itu mengesankan suatu pengertian yang sangat dalam dari seorang raja yang bernama Jayanasa. Suatu kesadaran tentang eksistensi, historisitas dan intersubyektifitasnya sebagai seorang yang telah menjalani kultus dewa raja. Dengan cara itu secara tidak langsung raja Jayanasa menunjukan kehadiran dirinya. Pengertian dewaraja adalah keadaan di mana manusia telah meningkatkan atau memurnikan kembali dirinya sebagai dewa. Sebelum seorang diangkat menjadi raja, terlebih dahulu harus menunjukan kemampuan yang melebihi manusia biasa. Ia menghayati dharma dan kemudian mengarahkan rakyatnya, agar mentaati dan hidup sesuai ketentuan yang telah digariskan. Di lain pihak raja harus dapat membuktikan bahwa dirinya benar-benar wakil/dewa yang turun kedunia. Hubungan antara raja dengan dewa inilah mendasari pengertian dewaraja. Raja memerintah di dunia atas nama dan sebagai wakil dewa. Raja bertugas untuk memelihara dan menjaga agar dharmma (=hukum keagamaan tertinggi) tetap berjalan dan ditaati. Bila ia gagal dalam menjaga ketertiban dunia berarti ia gagal sebagai raja. Dalam aliran ini apabila seseorang telah mencapai tingkat kedewataan, mengakibatkan tidak saja pikirannya yang menjadi dewa tetapi juga ucapan dan tindakannya. Dengan demikian raja memiliki sifat, pikiran, bicara, serta bertindak sebagai dewa. Semakin jelaslah bahwa prasasti Talang Tuo adalah penghubung waktu dan dan karya Jayanasa kepada masyarakatnya dalam upaya mengobyektifkan diri. Dengan penampakan ini maka masyarakat akan turut serta ke dalam dunia pemikiran berdasarkan kerohanian, cinta kasih dan perdamaian, perwujudannya sebagai dewaraja. (Richadiana Kartakusuma, 1992 : 248-249).
49
Linggar Saputra, 1986 dalam penelitiannya yang mengkaji “Lingga Pada Beberapa Pura Di Desa Pejeng Dan Bedulu (Kajian Konsepsi)”, 1986 juga menjelaskan konsepsi dewa raja dengan membandingkan lingga yang terdapat di Bali dan di Asia Tenggara. Dijelaskan oleh Linggar Saputra mengenai konsepsi dewa raja dengan mengacu pada prasasti Sdok Kak Tom yang menjelaskan bahwa dalam tahun 802 Masehi raja Jayawarman II mengadakan upacara besar di atas gunung Mahendra untuk menyatakan kemerdekaan negaranya terlepas dari kekuasaan Jawa dan menetapkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Kambojadeca. Pada kesempatan ini diadakan pula upacara khusus untuk meresmikan didirikannya dewa raja. Inilah pertama kalinya dewa raja itu kita jumpai. Dari peristiwa ini tidak jelas dapat diketahui sampai dimana pebedaan antara dewa raja itu dengan lingga-lingga yang didirikan oleh para raja sebelumnya. Briggs menyatakan bahwa, “tampaknya maksud Jayawarman adalah mengidentikkan sang raja dengan Siwa, semacam aphoteosis dari sang raja semasa hayatnya”. (Briggs, 1951 : 90). Maka menjadi penting arti prasasti Sdok Kak Tom itu, karena dewaraja itu menjadi lebih jelas kedudukannya daripada lingga-lingga sebelumnya. Disebutkan dalam prasasti itu bahwa sanga raja dan pendeta Hiranyadama yang memimpin upacara itu mengucapkan sumpah bahwa hanya pendeta Siwakaiwalya dan keturunannya sajalah yang diperbolehkan melakukan upacara pemujaan. Dan untuk keperluan ini Siwakaiwalya mendapat wejangan khusus dari Hiranyadama. Disebutkan pula bahwa ketika Jayawarman pindah ibukota dari Mahendraparwata ke Hariharalaya, dewa raja itu ikut dipindahkan juga bersama Siwakaiwalya sekeluarga. Lebih lanjut dewaraja itu berpindah-pindah menurut ibukota tempat
sang
raja
memeliharanya
guna
melindungi
kekuasaan
para
raja
yang
menggantikannya. Keterangan bias diartikan bahwa seorang raja tidak usah mendirikan dewaraja yang baru. (Soekmono, 1977 : 92). Jayawarman III pengganti Jayawarman II dalam prasasti yang sama (Sdok Kak Tom), dikatakan memerintah di Hariralaya dan sang dewaraja bersemayam di ibukota itu pula. Penggantinya Indrawarman I (877-889 Masehi), rupanya mendirikan dewaraja baru. Piagam peresmian candi Bakong, berangka tahun 881 Masehi, menyatakan bahwa bangunan suci ini didirikan oleh raja Indrawarman untuk dewaraja yang bernama Indreswara. (Linggar Saputra, 1986 : 27-28). Latar belakang konsepsi dewaraja pada penjabaran diatas dipahami bahwa raja merupakan perwujudan dewata atau sebagai wakil dewa di dunia. Jadi dianalisi bahwa raja
50
merupakan perwujudan dari dewa. Latar belakang permasalah tersebut maka dikaji secara luas dan mendalam perkembangan arca perwujudan terlebih dahulu, guna memahami latar belakang pengarcaan sang raja sebagai perwujudan dewa dengan konsepsi dewa raja. Arca perwujudan adalah arca yang mewujudkan seorang raja atau tokoh dengan pakaian kebesaran atau dengan wujud dewa, karena raja tersebut dianggap sebagai penjelmaan dari dewa tertentu (Linus, 1985 : 15). Jadi arca perwujudan demikian tidaklah lain dari pada pemberian wujud kepada seorang raja yang telah wafat dan rohnya menyatu dengan dewa penitisnya (Soekmono, 1977 : 102). Sesuai dengan fungsinya sebagai arca perwujudan, maka dalam penggarapannya memperlihatkan kesan kaku, frontal. Di Indonesia seorang raja yang telah wafat biasanya sering diwujudkan dalam wujud seorang dewa sesuai dengan agama yang dianutnya. Dengan demikian untuk lebih jelasnya dapatlah dikemukakan disini bahwa cirri-ciri yang dimiliki oleh arca perwujudan adalah sebagai berikut : bila diwujudkan sebagai manusia biasa dilukiskan dengan rambut disanggul, sedangkan sebagai raja dilukiskan memakai mahkota berupa kirita makuta yaitu mahkota yang ujungnya makin ke atas makin mengecil berisi permata. Adapula dengan memakai karanda makuta yaitu mahkota yang bentuknya bertingkat-tingkat dan ujungnya berisi bulatan (Moens, 1919 : 2-6). Lebih lanjut Moens menjelaskan, sikap menyembah sejenis anjali mudra atau dalam sikap dyani mudra. Selain itu adapula yang membawa benda bulat diduga sebagai kuncup teratai. Dalam pengamatan Moens mengatakan kuncup teratai tersebut melambangkang sukma dan lingga sarira dari roh yang telah bebas dari ikatan duniawi (lambing kebebasan). Ikatan-ikkatan ini sebagai pembungkus karma yang halus pada waktu roh belum bebas dari lingkaran-lingkaran inkarnasi namun pada akhirnya roh tersebut akan bebas juga seperti bunga teratai yang mekar. Adapula arca perwujudan membawa sangkha dengan tanduktanduknya yang panjang, hal ini mempunyai makna sebagai symbol pembebasan roh. Selain cirri-ciri tersebut, cirri-ciri yang lain seperti bentuk badan kekaku-kakuan menyerupai mayat digambarkan dengan tangan ditekuk dipinggang serta telapak tangan menghadap keatas memegang kuncup teratai/rozet (Ayatroehadi, 1981 : 10). Berbicara mengenai arca perwujudan, sudah tentu perlu diketahui kapan pengarcaan terhadap tokoh-tokoh itu sudah ada yang selanjutnya menjadi tradisi. Adanya suatu tradisi pada keluarga raja dalam membuatkan tokoh penting sebagai wujud arca adalah akibat dari adanya akulturasi antara kepercayaan asli Indonesia didalam aspek kepercayaan dengan
51
agama Hindu (Slamet Mulyana, 1979 : 222). Sebagai unsur kepercayaan asli Indonesia yakni penghormatan terhadap leluhur sudah dikenal sejak jaman prasejarah. Masyarakat prasejarah mendirikan menhir, tahta batu, punden berundak-undak, tidak lebih yaitu untuk pemujaan terhadap roh-roh suci leluhur. Konsepsi yang mendasari pemujaan terhadap arca perwujudan yaitu adanya kepercayaan terhadap roh leluhur. Pemujaan maupun penghormatan terhadap roh leluhur ini dikenal sejak jaman prasejarah, yang dibuktikan dengan adanya sarana pemujaan berupa menhir, punden berundak-undak dan arca sederhana sebagai perwujudan nenek moyangnya. Pada mulanya menhir merupakan tanda jasa dari kepala suku selama hidupnya. Setelah kepala suku meninggal, maka menhir menjadi pemujaan terhadap dirinya, yang dianggap sebagai pelindung masyarakat yang ditinggalkannya (Soekmono, 1973 : 77). Selanjutnya dengan upacara-upacara tertentu rohnya dianggap dapat turun kedalam menhir untuk bersemayam dan berhubungan dengan para pemujanya. Dan setelah bangunan menhir ini tidak dibuat lagi, sering terjadi bahwa arca-arca nenek moyang dibuatkan arca. Kemudian peninggalan-peninggalan prasejarah di Indonesia sampai sekarang dapat kita saksikan di Sumatra yaitu berupa arca nenek moyang berlokasi di Pasemah Bengkulu (Soekmono, 1973 : 73). Dan di beberapa daerah lainnya di Jawa ditemukan pula arca menhir (Sagimun, 1988 : 42). Kemudian di daerah Bali, dibuktikan sendiri dari penemuan arca-arca megalitik di Pura Pancering Jagat di desa Trunyan (Bangli). Di pura ini terdapat arca megalitik yang disebut sebagai Bhatara Datonta. Selanjutnya di Desa Gelgel terdapat pula arca menhir di Pura Penataran Jero Agung. Dari sekian banyak peninggalan-peninggalan megalitik di Bali, salah satu yang jelas menunjukan sikap sebagai unsur sikap arca perwujudan leluhur terdapat di pura Besakih, Desa Keramas, Gianyar Dengan beraneka ragam ditemukannya peninggalan-peninggalan prasejarah di Indonesia, maka dapatlah digambarkan bahwa bangsa Indonesia pada masa lampau sudah mengenal dasar-dasar kepercayaan yang sekaligus mendasari timbulnya perkembangan arca perwujudan. Perkembangan selanjutnya diawali dengan adanya pengaruh Hindu sekitar abad ke-4 Masehi di Kutai. Kemudian di Jawa Barat masuknya pengaruh Hindu dibuktikan oleh penemuan prasasti Ciaruton yang menguraikan kerajaan Tarumanegara di bawah kekuasaan raja Purnawarman yang menyatakan dirinya sebagai titisan dewa Wisnu dengan telapak kaki
52
yang mirip dengan telapak kaki dewa Wisnu. Dari prasasti yang disertai pahatan bekas dua tapak kaki tersebut, dapat diketahui bahwa raja Purnawarman memerintah di Tarumanegara dengan menokohkan pemujaan terhadap dewa Wisnu. Disamping itu temuan lain juga ditemukan arca Wisnu Cibuaya. Arca ini diperkirakan berasal dari abad ke-6 sampai abad ke7 masehi, yang merupakan data tertua dalam bidang ikonografi di Jawa. Hal ini dapat diketahui dari langgam arca yang menunjukan gaya pallawa di India Selatan. Kemudian setelah semakin kuatnya peninggalan seni arca Hindu (India) yang berkembangn di Jawa Tengah sekitar abad ke-8 sampai abad ke-10 Masehi. Pada masa itu, pusat kerajaan masih berkisar di Jawa Tengah dengan pengaruh Hindunya yang paling dominan. Hal ini menyebabkan segala ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang terdapat dalam Hinduisme dapat diterapkan secara utuh dan menyeluruh didalam kehidupan masyarakat terutama pembuatan arca dewanya. Dengan demikian, peninggalan tipe arca Jawa tengah sebagian besar mencerminkan sifat arca seperti terdapat didaerah pusat penyebarannya di Nalanda yang berakar pada kesenian Gupta yang merupakan nama klasik dari kesenian Indonesia yang berkembang sekitar tahun 300-600 (Sutjipto Wiryosuparto, 1956 : 57 – 58). Arca-arca yang bertipe demikian, banyak ditemukan disekitar Jawa Tengah bagian utara seperti di daerah Dieng dan di Jawa Tengah bagian Selatan seperti di daerah Kedu, Prambanan dan sekitarnya (Satari, 1975 : 8). Arca-arca dicandi Borobudur menggambarkan lima macam Dhyanibudha yang ditempatkan pada masing-masing sisi candi atau menurut arah penjuru mata angin (Soekmo, 1973 : 95). Sedangkan arca-arca dari candi prambanan terdiri dari kelompok arca Siwa Mahadewa, ditempatkan pada bilik Utara dan arca lainnya ditempatkan pada relung-relung candi, arca Durga di relung Utara, Agastya di Selatan dan Ganesa di relung belakang sesuai dengan arah hadap candi (Kempers, 1959 : 39). Semua arca dari kedua candi tersebut mencerminkan seorang dewa dengan segala sifat-sifat kedewaannya, mata digambarkan setengah terbuka dan melihat keujung hidung, dan jubahnya sangat tipis, seolah-olah melekat pada badan arca.Bila dibandingkan dengan arca yang ada di Bali dari periode ini adalah arca Siwa dari pura Putra Bhatara Desa, Bedulu maupun arca Dhyani Budha di Goa Gajah. Bertitik tolak dari uraian di atas, dapat memberikan gambaran bahwa pada abad ke-8 sampai abad ke-10 pembuatan arca-arca di Jawa khususnya di Jawa Tengah secara dominan masih dipengaruhi oleh kesenian Hindu dan mempunyai tujuan sebagai alat pemujaan terhadap dewa-dewa baik agama Hindu maupun Budha.
53
Selanjutnya pada abad ke-10 pusat kerajaan yang berada di Jawa Tengah pindah ke Jawa Timur pada periode ini mulailah adanya penyimpangan arca dari tipe India. Tipe arca umumnya kelihatan kaku, dan disesuaikan dengan sesungguhnya yaitu menggambarkan seorang raja atau pembesar yang telah wafat. Menilik dari tipe arca-arca yang serba kaku tersebut akan memberikan pandangan sebagai perkembangan kesenian di Jawa Timur. Perkembangan itu lebih cenderung memperlihatkan kembli unsur-unsur Indonesia Asli. Unsur-unsur asli Indonesia yang dimaksud adalah kebudayaan yang berkembang sebelum masuknya Hinduism ke Indonesia dengan dasar kepercayaan yang berasal dari kebudayaan Megalitik (Sartono Kartodirdjo, dkk, 1976 : 189-217). Mereka melakukan pemujaan terhadap roh leluhur dengan harapan mereka mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan. Kepercayaan yang demikian itu menyebabkan pemujaan terhadap roh leluhur sangat populer pada masa itu, di samping juga ada keyakinan bahwa setelah seseorang meninggal dunia maka rohnya akan menempati tempat yang tinggi seperti gunung. Untuk tempat pemujaan roh nenek moyangnya maka dibuatkan bentuk tiruan dari gunung tersebut seperti teras berundak-undak yang pada bagian puncak dari teras itu biasanya diisi menhir, dan sering pula dibuatkan arca yang bentuknya sederhana, kasar serta kekaku-kakuan sebagai perwujudan nenek moyang (Rumbi Mulia, 1977 : 627). Selain itu gunung juga dianggap sebagai stana dari dewa untuk kepentingan pemujaan maka dewa-dewa itu dibuatkan arca-arca yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan yang didirikan dengan bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya, yaitu dikenal dengan nama candi (Mantra, 1963 : 31). Perwujudan dewa raja di Jatim pada umumnya dan Majapahit pada khususnya diarahkan dengan pembahasan perkembangan arca perwujudan dalam perkembangan Hinduisme di Jawa Timur adalah sebagai akibat adanya pandangan yang berkembang pada masa itu yaitu pandangan yang menganggap raja dan ratu serta orang yang telah berjasa di masa hidupnya, kemudian dipuja sebagai dewa maupun Budha. Pemujaan demikian ini masih banyak terdapat contohnya seperti yang disebutkan dalam Kitab Negarakertagama pada abad ke-14 yang menguraikan secara khusus tentang raja Rajasa diperdewa sebagai Siwa di Kegenengan, raja Anusapati sebagai Siwa di candi kidal, raja Wisnuwardhana sebagai Budha di candi Tumpang, raja Kertanegara sebagai Wairocana Locana di candi Sagala dan raja Kertarajasa Jayawardhana sebagai Harihara di candi Simping (Slamet Mulyana, 1979 : 222). Konsepsi raja Majapahit yang pertama Raden Wijaya dengan gelar Krtarajasa Jayawarddhana dinobatkan menjadi raja pada Saka 1215 (1293) dan dinobatkan sebagai dewaraja Hari-hara. Mengetahui Raden Wijaya sebagai dewaraja juga didukung dengan gelar
54
abhisekanya dengan nama Kertarajasa Jayawardhana terdiri dari empat kata yakni: kerta, rajasa, jaya, dan wardhana. Unsur kerta mengandung arti bahwa Sang Prabhu memperbaiki Pulau Jawa dari kekacauan yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat, kemudian sang Sang Prabhu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu beliau bagi rakyat sama dengan matahari yang menerangi bumi. Unsur rajasa mengandung arti, bahwa Sang Prabhu Berjaya mengubah suasana gelap menjadi terang-benderang akibat kemenangan beliau terhadap musuh. Dengan kata lain beliau penggempur musuh. Unsur jaya mengandung arti, bahwa Sang Prabhu mempunyai lambang kemenangan berupa senjata tombak berujung mata tiga (trisulamukha) karena senjata itu musuh hancur-lebur. Unsur wardhana mengandung arti bahwa Sang Prabhu menghidupkan agama,melipatkangandakan hasil bumi, terutama padi demi kesejahteraan rakyatnya. (Slamet Mulyana, 1983 : 127). Adanya kepercayaan bahwa seorang raja merupakan inkarnasi dari dewa pada masa raja-raja di Jatim, kepercayaan ini juga dikenal di Bali. Sebagai contoh dalam prasasti Bali Kuna yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu, disebutkan bahwa raja Anak Wungsu sebagai inkarnasi dari dewa Hari (Saksat Niran Harimurti), kemungkinan dihubungkan dengan sifat-sifat dewa Wisnu sebagai pelindung dunia (Sartono Kartodirdjo, 1975 : 191). Perkataan raja sebagai inkarnasi dari dewa, juga disebutkan dalam prasasti no. 554 Bwahan yang dikeluarkan oleh raja Jayasakti yang bunyinya : “Swabhawani Kadi Sira Prabhu Saksat Ira Wisnu Murti….” , yang artinya sebagai seorang raja semata-mata perwujudannya Wisnulah beliau. Ungkapan ini kemungkinan tidak semata-mata menyatakan agama yang dianut raja Jayasakti, bahkan lebih cenderung dilandasi oleh suatu pandangan tentang adanya keserupaan fungsi antara dewa Wisnu dan tokoh-tokoh raja di dunia, dalam arti dewa Wisnu sebagai penguasa sthiti yang berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung dunia yang sangat sesuai dengan kewajiban dari seorang raja yaitu sebagai pengayon Negara dan rakyatnya (Team Penelitian Pencataan Kebudayaan Daerah Bali, 1978 : 51). Dari pernyataan diatas jelas terjadi suatu pernyataan pandangan terhadap dewa. Pandangan tersebut dikatakan raja adalah titisan dewa dan bila meninggal akan kembali kepada dewa penitisnya. Untuk itu bila seorang raja mengadakan upacara Cradha, akan dibuatkanlah arcaarca perwujudan dari raja yang telah meninggal dengan harapan agar tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi rakyat dan Negara. Sehubungan dengan upacara pedharman raja-raja yang telah meninggal ini ada sumber tertulis yang dapat dipakai dasar penjelasannya, artinya pada kitab tersebut ada
55
sumber yang dapat dipakai untuk menjelaskan tentang pedarmaannya walaupun masih dalam tafsiran. Sumber tersebut adalah Kitab Negarakertagama dan Kitab Pararaton yang keduanya ada menyinggung pelaksanaan upacara Sradha untuk raja Gayatri. Dalam upacara Sradha ini dibuatkanlah puspasarira sebagai Atmapratistha roh Gayatri yang kemudian di Bali disebut dengan sekah. Di samping itu pula di Bali pada masa kini terdapat upacara ngenteg linggih sebagai kelanjutan yadnya memukur yang disertai dengan pembuatan daksina palinggih tempat beristanyanya dewa pitara, yang diletakkan pada sanggah kamulan. Apabila dikaji boleh jadi daksina palinggih itu sama fungsinya dengan pratistha atau simbolis arca perwujudan (Linus, 1971 : 66-80). Pandangan tersebut diatas kiranya masih tetap berlangsung dan tetap hidup dalam masyarakat Bali Umat Hindu). Seseorang yang telah meninggal dengan keturunannya, biasanya melalui tempat khusus Sangah/Pemerajan atau Sanggah Kemulan
pada setiap
rumah, dalam waktu-waktu tertentu dapat domohon kehadirannya untuk memberkahi serta melindungi keluarganya yang masih hidup dengan jalan mengadakan suatu upacara. Di Jawa Timur, unsur asli itu kelihatan lebih menonjol, sehingga Hinduisme kemudian mengalami pertumbuhan dan pembauran dengan unsure kebudayaan asli. Munculnya kembali unsur-unsur kebudayaan asli di Jawa Timur berpengaruh pula bentuk arca yang dihasilkan pada masa itu, sebagian besar peninggalannnya tidak lagi seperti di Jawa Tengah, melainkan tipe arcanya memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan dari kebudayaan asli (Team penulisan Naskah Pengembangan Kebudayaan Jawa Timur, 1977 : 66-67). Adapun arca-arca dari Jawa Timur ini dibuat mempunyai cirri-ciri badan dbuat kekaku-kakuan, laksananya membawa bulatan, sangkha yang masih berisi penghuni. Hal ini sudah tentu menyebabkan suatu masalah jika dipikirkan berdasarkan tradisi sebelumnya, baik di India maupun di Jawa Tengah, karena melihat tradisi terdahulu atribut semacam ini belum ada. Oleh karena itu menyebabkan berbagai akhli sejarah kuno mengadakan penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara arca Dewa dengan arca perwujudan. Sebab karakter arca-arca yang merupakan media pemujaan dewa-dewa baik di India maupun di Jawa Tengah mempunyai karakter lemah lembut. Kemudian mulai jaman Jawa Timur menunjukan sifat yang kekaku-kakuan. Arca-arca yang berkarakter ini mempunyai wajah yang lebih mendekati manusia biasa. Permasalahan dalam seni arca ini menimbulkan beberapa pengungkapan yaitu ketika Brandes menerbitkan Kitab Pararaton pada tahun 1896.
56
Di dalam kitab tersebut beliau menemukan uraian tentang tradisi mempercandikan raja-raja namun belum jelas dalam bentuk apa raja-raja itu dicandikan (didharmakan). Kemudian pada tahun 1903 Kern, didalam penerbitan naskah Negarakertagama, menemukan ada tradisi di Jawa untuk mendirikan pratima
bagi raja yang telah meninggal dunia.
Selanjutnya diasumsikan firasatnya sebagai dewa, tetapi mendekati firasat dari raja yang bersangkutan. Dari pandangan tersebut, Groeneveldt berpendapat bahwa ada perbedaan antara arca-arca dewa dan perwujudan. Perbedaan itu terletak pada adanya sedikit penyimpan dari stereotype dari arca dewa Hindu atau Budhis. Ini terutama jelas terlihat pada karakter yang kuat mengarah pada roman muka (Mantra, 1963 : 5-6). Pengungkapan dari beberapa sarjana diatas, nampaknya belum ada mengupas secara khusus arti atribut dari arca-arca perwujudan. Tahun 1920 Moens dapat mengupas makna atribut bulatan dan sangkha yang masih berisi penghuni atau isi, disebutkan sebagai simbolis dari pembebasan jiwa, yaitu bahwa roh seorang raja pada waktu itu belum mencapai tingkatan yang nantinya mempunyai persamaan keadaan dengan kuncup yang masih terbungkus. Kuncup yang masih terbungkus diandaikan dengan roh seorang yang masih terikat oleh ikatan-ikatan duniawi, yaitu pembungkus karma yang halus yang pada waktu itu badan wadah masih membungkus roh manusia yang belum bebas dari lingkaran reinkarnasi. Namun pada akhirnya roh tersebut juga akan bebas seperti bunga teratai itu akan mekar juga. Setelah itu dicapailah kebahagiaan, bagaikan siput dalam rumahnya sendiri (Moens, 1919 : 5).
4.4.3. Kesimpulan Pembahasan mengenai air suci dan dewa raja pada masa Kerajaan Majapahit tidaklah terlepas dari latar belakang fungsi dan makna air suci dan dewaraja. Air suci memiliki fungsi yang ganda selain sebagai kebutuhan sehari-hari (bersifat profane) dan air suci yang berfungsi untuk keperluan agama. Di Bali air suci disebut dengan tirta yang sering difungsikan untuk memercikan tirta suci bagi umat Hindu setelah selesai bersembahyang. Membahas air suci di Majapahit difokuskan dengan melihat peranan air suci bagi masyarakat Majapahit pada masa lalu dengan terdapatnya peninggalan purbakala Candi Tikus yang berfungsi untuk petirtaan. Dengan terdapatkannya adanya miniatur candi di tengah bangunannya yang melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-
57
pancuran/jaladwara yang terdapat disepanjang kaki candi Tikus. Air ini dianggap sebagai air suci atau Amrtha sumber segala kehidupan. Jadi Makna ditempatkannya peninggalan candi petirtaan adalah untuk menyucikan kawasan zona kerajaan Majapahit pada masa lalu. Permasalahan yang dimunculkan pada pembahasan air suci di Majapahit adalah letak posisi candi Tikus berada di arah Selatan. Peranan candi Tikus sebagai candi petirtaan pada masa kerajaan Majapahit tidak didukung dengan letak geografis posisi candi berada di arah selatan. Seperti diketahui orientasi arah/letak kesucian berada di arah utara (Gunung), sedangkan orientasi/letak kekotoran di arah selatan (Laut). Peritirtaan di kawasan Kerajaan Majapahit juga dapat diketahui dari keberadaan sumur-sumur Kuna (Jobong) yang banyak terdapat di areal suci (jeroan) Candi-candi di kawasan Kerajaan Majapahit. Selain di areal candi juga ditemukan sumur-sumur kuna di pemukiman kuna rumah-penduduk sampai saat ini. Di arel suci candi misalnya ditemukan di areal suci Candi Brahu, terdapatkan sumur kuna (jobong) untuk petirtaan (air suci). Menurut masyarakat setempat dahulunya sumur kuna ini airnya difungsikan untuk petirtaan pada saat upacara di Candi Brahu. Hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian air suci di Candi Brahu sumur kuna itu sampai saat ini masih dalam kondisi yang baik dengan air yang masih mengalir dengan jernih dan harum. Nyatalah terdapatkan mata air yang jernih dimana sumur jobong ini digali untuk sumur suci pada masa lalu. Selain di Candi Brahu pengamatan juga diarahkan di Candi Gentong, dimana di sebelah utara candi Gentong diperkirakan dahulunya terdapatkan lokasi petirtaan. Hasil pengamatan kondisi candi tidak utuh lagi yang tersisa hanya tumpukan-tumpukan batu bata, namun ditemukan saluran-saluran air dan kendi kuna yang diperkirakan sebagai wadah air suci pada masa lalu di Candi Gentong. Hasil ekskavasi di kawasan Nglinguk desa Trowulan juga ditemukan sumur-sumur kuna yang masih terlihat jelas tetapi tidak terdapatkan air sucinya. Sumur kuna ini juga diperkirakan berfungsi sebagai petirtaan pada masa lalu, dengan asumsi tumpukan-tumpukan batu andesit yang diperkirakan adalah sebuah bangunan suci (candi) pada masa lalu, yang dilengkapi dengan dua buah sumur kuna yang berdekatan. Sumur kuna ini nampaknya berfungsi untuk air suci Laut sangat menentukan arah atau orientasi dalam kebudayaan Bali masa kini, yang merupakan bagian dari masyarakat Austronesia. Arah ke laut dalam masyarakat Bali senantiasa dihubungkan dengan kelod (arah selatan) atau hilir, sedangkan arah ke gunung dihubungkan dengan utara atau kaja atau hulu. Dala system kepercayaan masyarakat Bali,
58
laut dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi, kotor, alam bawah yang mengerikan, sedangkan gunung diasosiasikan dengan hal-hal yang suci, menyenangkan dan dunia atas atau kediaman para dewa. Namun demikian, kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya (Wertheim, 1960 : 38-39 ; Ardika, 2008 : 225) Seyogyanya dan sepatutnya berada di arah utara (orientasi suci) sesuai dengan fungsi pertirtaan. Dimana pada dasarnya pembuatan tata ruang Kerajaan Majapahit sesuai dengan norma-norma kosmologis dalam kitab Silpa-Sastra (Bangun Muljo Sukojo, 2008 : 236). Seperti diketahui batas paling utara Candi Brahu, paling Timur Situs Klinterejo dan selatan adalah candi Tikus. Sedangkan untuk membahas konsepsi dewaraja di Majapahit dianalisis terlebih dahulu perkembangan arca perwujudan. Perkembangan arca perwujudan ditekankan untuk melihat lebih mendalam latar belakang pengkultusan sang Raja diwujudkan dengan arca perwujudan. Selain dewata diwujudkan sebagai arca perwujudan seperti Dewa Siwa, juga mewujudkan raja dengan konsepsi dewaraja. Kedudukan sebagai raja di dunia (empiris) berkenaan dengan urusan pemerintahan/politik, juga ia berperan dalam dunia keagamaan (supra empiris). Di mana raja mengatur hubungan antara raja kepada rakyatnya, sementara pada saat yang sama, raja sendiri tunduk pada ketentuan agama, sebagai wakil dewa di dunia. (Richadiana Kartakusuma, 1992 : 247). Perwujudan dewa raja di Jatim pada umumnya dan Majapahit pada khususnya diarahkan dengan pembahasan perkembangan arca perwujudan dalam perkembangan Hinduisme di Jawa Timur adalah sebagai akibat adanya pandangan yang berkembang pada masa itu yaitu pandangan yang menganggap raja dan ratu serta orang yang telah berjasa di masa hidupnya, kemudian dipuja sebagai dewa maupun Budha (Suleiman, 1980 : 51). Pemujaan demikian ini masih banyak terdapat contohnya seperti yang disebutkan dalam Kitab Negarakertagama pada abad ke-14 yang menguraikan secara khusus tentang raja Rajasa diperdewa sebagai Siwa di Kegenengan, raja Anusapati sebagai Siwa di candi kidal, raja Wisnuwardhana sebagai Budha di candi Tumpang, raja Kertanegara sebagai Wairocana Locana di candi Sagala dan raja Kertarajasa Jayawardhana sebagai Harihara di candi Simping (Slamet Mulyana, 1979 : 222).
59
Daftar Pustaka 1. Ayatrohaedi, dkk. 1981. Kamus Istilah Arkeologi I, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta. 2. Ardika, I Wayan, 2008. Laut dan Orientasi dalam Kebudayaan Bali : Tinjauan Arkeologis. Makalah dalam Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I, Trowulan Mojokerto-Jawa Timur. 3. Bangun Muljo Sukojo, 2008. Analisis Fenomena Alam terhadap Situs Kerajaan Majapahit dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Makalah dalam Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I, Trowulan Mojokerto-Jawa Timur. 4. Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia Art. Cambridge Massachusetts, Harvard University Press. 5. Briggs, L.P. 1951. The Ancient Khmer Empire. (Transaction of the American Philosopical Society, Vol. 41, part I. 6. Callenfels, P.V. Van Stein. 1925. “De Sudamala In De Hindu Javaanche Kunst” dalam V.B.G. LXVI Batavia. 7. Harun Hadiwijono, 1979. Sari Filsafat India. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 8. Linus, I Ketut. 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu, Pendekatan Dari Segi Arkeologi. 9. __________.1971. Suatu Study Tentang Yadnya Cradha pada Jaman Majapahit, Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Udayana. (Tidak diterbitkan). 10. Linggar Saputra, 1986. Lingga Pada Beberapa Pura Di Desa Pejeng Dan Bedulu (Kajian Konsepsi). Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Udayana. (Tidak diterbitkan). 11. Mantra, Ida Bagus, 1963. Pengertian Candi. Pidato Pada Dies Natalis I, Universitas Udayana Denpasar. 12. Moens, J.L. 1919. “Hindu Javanche Potret Beelden Caiwapratista and Budhapratista”. T.B.G. LVIII. 13. Noerhadi Magetsari, 2008. Agama di Majapahit. Tinjauan Arkeologis. Makalah dalam Laporan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia I, Trowulan Mojokerto-Jawa Timur 14. Poerbatjaraka dan Tanjan Hadijaya, 1952 : 57. Kepustakaan Jawa. Jakarta : Penerbit Jambatan. 15. Richadiana Kartakusuma, 1992. Prasasti Talang Tuwo : Kultus Dewaraja.: Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI. Malang-Jatim 26-30 Juli. hal 241-250. 16. Rumbi Mulia, 1977. Beberapa Catatan Mengenai Arca-Arca yang disebut Polinesia. “Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Cibulan 21-25 Februari, Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala, Jakarta hal 620-639. 17. Slamet Mulyana, 1979. Negara Kertagama Dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta : Bharata Karya Aksara. 18. _____________, 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta : PT. Idayu Press. 19. Soedarmo, Wiyadi, M. 1982. Sejarah Seni Rupa Indonesia, Zaman Pengaruh Hindu di Jawa Timur. Oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dan Kebudayaan. 20. Soekarto, K. Atmodjo, M.M. 1983. Arti Air Penghidupan Dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta : Proyek Javanologi.
60
21. Soekmono, R. 1985. Amertha 1, Berkala Arkeologi, Penerbit Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 22. Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden Van Bali I, Ket Oude Rijk Van Pedjeng, Kirtya Liefrinck. Van Der TuuK Singaraja. 23. Team Penelitian Naskah Naskah Pengembangan Kebudayaan Jawa Timur, 1977. Sejarah Budaya Jawa Timur. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Jawa Timur. 24. Team Penelitian Pencataan kebudayaan Daerah Bali, 1978. Sejarah Seni Budaya Bali. Depatemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bali. 25. Soejatmi Satari, Ny Sri, 1975. “Seni Rupa Dan Arsitektur Jaman Klasik Indonesia”. Majalah Kalpataru No. I. hal 10-12. 26. Sutaba, I Made. 1972. Hubungan Konsepsional Antara Burung Garuda Dengan Fungsi Bale Dangin Dalam Masyarakat Bali. Denpasar Saraswati, No. 4. 27. Wibowo, A.S. 1983 : Nagarakertagama Dan Trowulan. Yogyakarta : Balai Arkeologi, Nomor 1 Tahun IV, hal 1-20. 28. Buku Panduan Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia II, 2012. “Trowulan Sebagai Bekas Kota Majapahit Dan Hubungan Antara Sumber Air Dengan Tinggalan Arkeologi”. Hal 1-9.