Bidang Unggulan: Sosial Budaya Kode/Nama Bidang Ilmu: 511/ Sastra (dan Bahasa) Daerah (Jawa, Sunda, Batak dll)
LAPORAN AKHIR HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
RESTORASIKEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL BERBAHASA BALI GUNA MEMPERKUAT JATIDIRI BUDAYA BALI
Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum. NIDN 0031126517 (Ketua) Dr. Ni Made Suryati, M. Hum. NIDN 0031126073 (Anggota) Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. NIDN 0004105813 (Anggota) Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. NIDN 0022125711(Anggota) Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. NIDN 0012016515 (Anggota)
PROGRAM STUDI SASTRA BALI FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA JULI 2015 (DIBIAYAI OLEH DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA SESUAI SURAT PERJANJIAN PENUGASAN PELAKSANAAN PENELITIAN NO: 066/UN14.1.1/SPK/2015 TANGGAL 21 APRIL 2015) i
ii
RINGKASAN Sastra dengan masyarakat memiliki hubungan yang timbal balik. Sebagai salah satu kajian ilmu sastra, sosiosastra menduduki posisi dominan karena membicarakan masalah-masalah kemasyarakatan. Ratna (2011: 24) bahkan lebih tajam menjustifikasi bahwa karya sastra adalah masyarakat itu sendiri. Selain itu, dalam kaitan sastra dengan budaya antropologi sastra mutlak diperlukan
dengan pertimbangan kekayaan
kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang (Setya Yuwana Sudikan dalam Ratna, 2011: 32). Teori antropologi sastra merupakan pendekatan model baru dalam analisis karya sastra. Sejauh ini teori ini baru diperkenalkan dan belum banyak orang yang menggunakannya (bahkan sejauh ini belum pernah digunakan khususnya untuk mahasiswa S1). Oleh karena itu, ke depan penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu model analisis karya sastra yang sejauh ini hanya berkutat pada strukturalisme.
Dengan demikian, analisis karya sastra akan semakin berkembang
dengan penerapan teori baru dan hasil yang baru pula. Implikasi lainnya adalah akan memberi warna baru yang lebih segar dan lebih variatif lebih-lebih
budaya Bali
bagaikan mozaik yang beraneka warna. Oleh karena itulah, penelitian terhadap novel sebagai karya sastra modern berbahasa Bali penting dilakukan. Pertama, dari segi penggunaan bahasa karya sastra novel jauh lebih banyak bahkan tidak terbatas jika dibandingkan genre karya sastra lainnya (puisi dan drama). Kedua, improvisasi pengarang dalam merefleksikan gagasannya lewat bahasa tersebut jauh lebih luas dan lebih bebas, lebih dinamis dan, inovatif. Berdasarkan klasifikasi dan pemilihan novel serta setelah dilakukan kritik, maka beberapa buah novel dijadikan sebagai objek kajian, yaitu novel Nemoe Karma karya I Wajan Gobiah, novel Gending Pengalu karya Nyoman Manda, novel Nembangan Sayang karya Nyoman Manda, novel
Suryak Suung Mangmung
karya Djelantik
Santha. Hasil analisis menunjukkan bahwa novel-novel tersebut mengandung pesanpesan kearifan lokal yang patut untuk direstorasi, yakni menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal itu untuk dihayati, dipahami, dan disebarluaskan kembali kepada masyarakat Bali khususnya. Nilai-nilai kearifan lokal ini diharapkan nantinya dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga identitas, jati diri budaya Bali bisa ajeg lestari sepanjang zaman. Beberapa kearifan lokal yang berhasil direstorasi adalah konsep Tri Kaya Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam berkehidupan sehari-hari khususnya dalam iii
menata dan meniti rumah tangga dalam Nemoe Karma, etos kerja dalam Gending Pengalu, konsep Tri hita karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa dalam Nembangan Sayang, mulat sarira/eling (introspeksi diri) dan sesonggan :pilih-pilih bekul bakat buah bangiang dalam Suryak Suung Mangmung, salunglung sobayantakan dalan novel Gita Ning Nusa Alit. Secara teknis, pemilihan nama-nama tokoh yang sesuai dengan karakter dalam cerita pengarang lebih memilih secara dramatik. Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak tercermin dalam cerita biasanya pengarang mendeskripsikan karakter tokoh dengan analistis. Namun hal ini tidak berlaku mutlak, di sana-sini secara fragmentaris cara dramatik dan analitik digunakan secara bergiliran. Kearifan lokal yang direstorasi tersebut di atas harus selalu dijadikan landasan dalam berkehidupan sosial di masyarakat sehari-hari sehingga dirasakan sebagai kebutuhan hidup. Dengan demikian, masalah-masalah sosial seperti egoisme, individualistik, tidak berpikir prospektif, dan sejenisnya sebagai akibat dari globalisasi bisa diminimalisasi bahkan bisa dihilangkan. Masyarakat Bali yang dicirikan dengan sistem komunal dan etos kerja yang kuat didasari oleh filosofi agama Hindu akan benar-benar menjadi jati diri budaya Bali.
iv
PRAKATA
Puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahaesa) karena atas berkat-Nya “Laporan Akhir Hibah Program Studi” dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tentu banyak hal yang menjadi hambatan namun berkat kerja sama tim semua rintangan itu dapat diatasi. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi peneliti sehingga kualitas penelitian semakin bertambah selain itu juga untuk menambah kuantitasnya. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan menjadi model analisis baru terkait dengan penerapan teori Antropologi Sastra yang relatif masih baru dan belum banyak diterapkan dalam analisis karya sastra. Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas juga dari peranan institusi mulai dari tingkat jurusan/program studi atas rekomendasinya, fakultas, LPPM, dan Unud sebagai payungnya yang telah memfasilitasi baik sarana maupun prasarana lainnya. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Kaprodi Sastra Bali, Dekan Fakultas Sastra dan Budaya, Ketua LPPM, dan Rektor Univ. Udayana. Oleh karena laporan ini adalah laporan kemajuan tentu masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada semua penilai, pembaca dimohon untuk memberikan masukan sehingga hasilnya benar-benar memadai. Kami dari tim peneliti mohon maaf atas segala kekurangannya baik yang tersurat maupun yang tersirat dan selalu terbuka atas semua saran yang konstruktif. Semoga budi baik Bapak, Ibu, Saudara/i mendapat pahala yang selayaknya.
Denpasar, 30 Oktober 2015 Tim Peneliti
v
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………
ii
RINGKASAN ……………………………………………………………..
iii
PRAKATA …………………………………………………………………
v
DAFTAR ISI………………………………………………………………
vi
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….
1
Latar Belakang ……………………………………………………..
1
Masalah …………………………………………………………….
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….
4
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………
7
Tujuan Khusus …………………………………………………….
7
Urgensi ……………………………………………………………
7
BAB IV METODE PENEITIAN…………………………………………..
9
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………
10
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………
45
Simpulan ………………………………………………………………..
45
Saran …………………………………………………………………
46
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
49
LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat di tingkat lokal yang tercermin dalam sikap dan cara pandang masyarakat
yang kondusif di dalam
mengembangkan potensi dan sumber lokal baik berupa material maupun nonmaterial (Balitbangsos, Depsos RI, 2005: 5-15). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kearifan lokal tidak lain adalahpengetahuan asli (indigenious knowledge) atau kecerdasan lokal (local genious) suatu masyarakat yang berasal dari nilai-nilai luhur tradisi budaya yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 122). Dengan demikian, secara terminologis kearifan lokal merupakan kekhasan tersendiri atau memiliki karakter tersendiri dalam suatu masyarakat yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat yang lainnya. Merujuk penelitian Soehartono (2010 dalam Parimartha, dkk, 2011: 43) membuktikan bahwa telah terjadi degradasi dan kehilangan jejak nilai-nilai karakter bangsa yang menjadi landasan pembangunan moral bangsa Indonesia sejak era Reformasi. Hal ini dialami oleh semua masyarakat Indonesia sebagai sebuah pengalaman kolektif yang memerlukan revitalisasi agar masa depan bangsa tidak terjerumus di jurang kehancuran. Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah merestorasi nilai-nilai kearifan lokal itu diangkat kembali ke permukaan agar terjadi penguatan-penguatan sehigga eksistensi karakteristik suatu masyarakat menjadi sebuah identitas dan jatidiri suatu masyarakat yang betul-betul nyata. Oleh karena itu, nilai-nilai kearifan lokal menjadi modal dasar yang sangat vital dalam pembangunan masyarakat.
1
Berkaitan dengan nilai-nilai itu, Bali sangat kaya dengan berbagai macam kearifan lokalnya yang khas. Nilai-nilai kearifan lokal Bali bisa ditelusuri dari berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah melalui media seni khususnya novel-novel berbahasa Bali.Sastra sebagai dunia mimesis atau tiruan seperti yang digambarkan filosof Plato pada 2000-an tahun yang lalu bahwa seni hanya dapat meniru dan membayangkan yang ada dalam kenyataan yang tampak (Teeuw, 1988: 220). Khusus mengenai novel sebagai sebuah karya sastra merupakan kronik sosial yang merefleksikan suatu kondisi sosial dalam masa tertentu (Anwar, 2012: 109). Novel sebagai sebuah karya sastra pada hakikatnya adalah proses komunikasi antara pengarang dengan pembaca yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Oleh karena itu, sebuah novel memiliki esensi berbagai macam nilai
termasuk kearifan lokal sebagai salah satu gagasan pokoknya lebih-lebih novel yang bercorak kedaerahan (segi bahasa dan settingnya). Kelahiran sebuah novel sangat tergantung pada zamannya dan ditafsirkan berbeda pula oleh pembaca pada zaman yang berbeda. Oleh karena itu, restorasi nilai-nilai kearifan lokal itu perlu digali secara lebih mendalam selanjutnya dikembangkan untuk diaplikasikan sehingga betul-betul menjadi ciri khas budaya Bali. Secara historis, kelahiran sastra Bali modern tahun 1910 dengan terbitnya cerpen-cerpen Made Pasek dan Mas Nitisastro (Putra, 2000: 9). Namun, khusus novel berbahasa Bali ditandai dengan terbitnya novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931 (Putra, 2000: 17).Sejak saat itu mulai bermunculan sastra Bali modern khusunya novel berbahasa Bali walau sebenarnya tidak terlalu banyak (sejauh ini baru dapat dikumpulkan sebanyak 25 buah novel).
2
Masalah Deskripsi latar belakang di atas menimbulakn permasalahan yang yang diteliti adalah (i) aspek kearifan lokal apa saja yang ingin disampaikan pengarang? (ii) bagaimana cara pengarang mengaktualisasikan
idenya itu ke dalam karya
sebagai media komunikasi? Adapun urgensi masalah-masalah yang akan diteliti adalah menggali potensipotensi yang tersembunyi secara mendalam mengenai kekayaan budaya Bali yang adiluhung dalam bentuk novel sebagi genre sastra modern sehingga budaya Bali bisa terus ajeg, lestari, selanjutnya dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali sehingga menjadi ciri khas dan jatidiri masyarakat Bali. Hal ini dirasakan sangat penting karena Bali sebagai bagaian dari tujuan utama wisata internasional tentu menghadapi berbagai tantangan dan persoalan terhadap pandangan dan pola pikir masyarakat. Selain itu, arus globalisasi yang demikian deras akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan budaya asing yang cenderung pragmatis dan hedonis. Realitas di masyarakat menunjukkan adanya perebutan warisan, kawin paksa, kawin antarkasta, azas kegotong-royongan yang mulai memudar, janji kesetiaan, dan lain-lain yang patut untuk diperdalam, dihayati, direnungkan kembali sebagai wujud mulat sarira/eling (tanggung jawab moral atau introspeksi diri). Halhal semacam ini akan digali selanjutnya untuk direnungkan kembali dan dipublikasikan ke masyarakat luas. Novel berbahasa Bali tidaklah terlalu banyak jika dibandingkan dengan novel-novel berbahasa Indonesia kurang lebih sekitar dua puluh limaan buah. Namun demikian, tidak semua novel akan dibahas melainkan sebagian saja sesuai dengan kriteria atau kualitas novel yang bersangkutan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian novel berbahasa Bali yang gayut dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut. (1) Genua (Prosiding, 2013) denganjudul tulisan “Nilai Kehidupan dalam Legenda Rendo Rate Rua sebagai Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT). Teori yang digunakan adalah teori nilai dari Scheler yang berpandangan bahwa nilai adalah harga suatu norma dan menjadi prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang. Nilai digunakan sebagai dasar untuk atau alasan untuk melakukan dan tidak melakukan. Ada lima nilai yang ditemukan dalam legenda tersebut sebagai berikut. (1) Nilai kesejahteraan yang menjelaskan bahwa dengan kesejahteraan akan tercipta suatu kehidupan yang bahagia dan harmonis, (2) nilai kesakitan, yaitu perasaan sakit mengancam ingin membunuh Redo, (3) nilai kelelahan, yaitu tidak bisa berenang dan tidak bisa melawan arus air yang begitu dahsyat, (4) nilai keteguhan hati, yakni ketetapan hati walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga, (5) nilai kecemasan yakni nlai yang berkaitan dengan perasaan gelisah, takut atau khawatir (Genua, 2013: 1196). (2) Apriani (Skripsi, 2009) yang berjudul “Novel Suryak Suung Mangmung Karya Djelantik Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini digunakan teori sosiologi sastra dengan pandangan mempertimbangkan segisegi kemasyarakatan. Sosiologi sastra menaruh perhatian besar terhadap aspek dokumenter sastra dengan landasan sastra sebagai cerminan jamannya. Hasil penelitian ini menunjukkan karmaphala dan punarbhawa sebagai dasar karya sastra. Dasar sosiologi yang digunakan didasarkan pada padangan 4
bahwa kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat,cipta sastra bukanlah hanya pengungkapan realita belaka, di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dari sekadar realita objektif itu. Hasil yang diperoleh meiputi aspek mitos dan dalam tradisi masyarakat Bali terutama masalah perkawinan antarkasta. (3) Hardiningtyas (prosiding, 2014) dengan judul “Warna Lokal dalam Kumpulan Cerpen Mandi Api: Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus Globalisasi. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra, antropologi, serta teori konflik dan fungsional. Hipotesis yang diajukan adalah bawa intensitas terjadinya perubahan-perubahan nilai sosial budaya seagai akibat aktivitas kehidupan masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya nilai-nilai tradisi dan adat sesuai dengan lingkungan sosial kultural yang memberikan warna khas pada masing-masing kelompok masyarakat Bali sehingga mampu bertahan di tengah perubahan globalisasi (Hardiningtyas, 2014: 793). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa cerpen Mandi Api merupakan refleksi karakteristik dan relasi tokoh terhadap dinamika sosial budaya masyarakat Bali. Kekuatan sistem kemasyarakatan di Bali menjadi penopang perbedaan yang bersumber pada kasta, pemertahanan terhadap sistem banjar, subak, dan sekaa berperan pranatasosial yang fungsinal dalam masyarakat. Stratifikasi dan dinamika
budaya
masyarakat Bali sengaja
diciptakan kekuasaan krama banjar, tradisi catur wangsa, dan sistem sosial yang otoriter. Bila dipandang secara tradisional maka dapat disebut sebagai suatu keajegan dan kehadiran masyarakat tersebut dapat ditawarkan dengan pola egaliter dan demokratis.
5
(4) Parasari (Skripsi, 2010) yang berjudul “Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda: Analisis Struktur”. Dalam penelitian ini digunakan teori struktural yang berpandangan bahwa unsur-unsur karya sastra sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hasil penelitian struktur intrinsik mencakup insiden, alur, tokoh, latar, tema, dan amanat.
Hasil
analisis
ekstrinsik berkaitan dengan ekonomi, historis, religius. (5) Putra (2010) dengan judul Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Buku ini berisikan kritik terhadap beberapa karya sastra (termasuk sastra Bali). Buku ini juga memuat perkembangan sejarah sastra Bali modern sejak awal kelahirannya. Buku itu berisikan kritik beberapa karya sastra novel dan puisi, biografi Wayan Gobiah sebagai penulis novel berbahasa Bali yang pertama. (6) Alaini (Prosiding 2015) dengan judul “Tradisi Lisan Kecimol: Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa Melalui Kearifan Lokal”. Teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa syairsyair yang dilantun kan dalam tradisi Kecimol Batik Rembang dapat diteladani sebagai kearifan lokal masyaraakat Sasak yang berkitan dengan kerja sama, hidup rukun, saling memaafkan, saling menghormati, dan menjaga lisan. Dari kelima penelitian dan buku yang diacu tersebut di atas, sama sekali belum ditemukan penggunaan
teori antropologi sastra lebih-lebih penelitian-
penelitian skripsi terjadi tumpang tindih antara sosiologi dengan pendekatan struktural. Oleh karena itu, penggunaan teori antropologi sastra benar-benar merupakan hal baru dan penting dalam studi sastra.
6
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai berkaitan dengan masalah yang diteliti adalah (1) Menggali sebanyak mungkin aspek-aspek kearifan lokal budaya Bali sebagi ciri khas budaya Bali yang harus terus dipertahankan selanjutnya dikembangkan sekaligus diaplikasikan kembali ke masyarakat. (2) mengkaji struktur atau pola penggarang dalam mengaktualisasikan ide karyanya itu, baik dari segi frekuensi pengarang mengemukakan idenya itu maupun caranya (langsung atau tidak langsung) melalui tokoh, konflik-konflik, atau melalui dialog-dialog antartokoh. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ratna (2011: 94) bahwa kearifan lokal merupakan segmen pengikat berbagai bentuk kebudayaan yang sudah ada sehingga disadari keberadaannya. Oleh karena lahir dan hidup di dalam semestaan yang bersangkutan, maka kearifan lokal diharapkan dapat dipelihara dan dikembangkan secara optimal. Lebih jauh Ratna (2011: 95) juga mengungkapkan bahwa kearifan lokal berfungsi untuk mengantisipasi, menyaring bahkan metransformasikan berbagai bentuk pengaruh budaya luar sehingga sesuai dengan ciri-ciri masyarakat lokal.
Urgensi Jika dilihat dari sudut urgensinya, selain untuk meningkatkan kompetensi dan mutu penelitian, penelitian ini memiliki beberapa keutamaan seperti meningkatkan kualitas materi pembelajaran baik menyangkut pengembangan teori dan model pembelajaran. Selain itu, penelitian ini penting dilakukan karena realitas di masyarakat tantangan modernitas demikian kuat dan perlu diimbangi dengan 7
penguatan pemahaman akan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun sebagai identitas orang Bali dengan
budaya Balinya. Kuatnya
tantangan modernitas yang cenderung pragmatis hedonis itu tidak hanya dialami oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat daerah tujuan wisata tetapi sudah lebih jauh menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.
Restorasi terhadap nilai-nilai
kearifan itu kiranya penting untuk direnkonstruksi ulang sebagai pegangan dalam bermasyarakat sehingga harkat dan martabat orang Bali dengan identitas kebaliannya tidak lenyap ditelan zaman. Oleh karena itu, hasil-hasil terhadap analisis yang telah dilakukan akan disebarluaskan kepada khayalak melalui media pertemuan ilmiah/seminar maupun nasional ataupun melalui jurnal nasional.
8
BAB IV METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasari oleh filosofis fenomenologis. Oleh karena itu akan digunakan pendekatan kualitatif, yang diartikan sebagai bukan penghitungan “angka” (Moleong, 1982: 2). Secara metodologis, penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah novel mulai novel yang pertama kali terbit sampai novel terbitan tahun 2014. Sampai saat ini sudah berhasil dikumpulkan 25 buah novel (termasuk novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah sebagai novel pertama berbahasa Bali). Setelah itu, akan dilakukan klasifikasi terhadap novel-novel yang akan dijadikan sampel. Sampel ini akan diukur dari segi kualitas novel seperti seringnya dibicarakan dalam berbagai pertemuan/seminar/penelitian (sudut intrinsiknya dari segi bahasa, kompleksitas pola alur, konflik/peristiwa, dll), juara dalam sayembara penulisan fiksi, frekuensi penerbitan, dan wawancara secara acak terhadap novel yang disukai. Dalam analisis, akan digunakan metode kualitatif dengan teknik deskriptif analitis, yakni dengan mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara rinci. Dalam penyajian hasil analisis, akan digunakan metode formal dan informal. Metode formal dengan menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan bahasa biasa dibantu dengan teknik berpikir induktif-dedutif atau sebaliknya (Mahsun, 2005: 116). Kerangka dasar teoretis didasari oleh cara kerja Abrams (dalam Teeuw, 1988: 50) yang berpangkal pada situasi karya sastra secara menyeluruh seperti bagan berikut. (Semesta) Universe Work (Karya)
(Pencipta) Artist Audience (Pembcaca) 9
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan klasifikasi dan kritik terhadap novel-novel yang
diperoleh untuk
menentukan kualitas novel seperti bahasa, terbitan, penghargaan, apresiani masyarakat baik untuk studi ilmiah maupun nonilmiah, maka ada sejumlah novel yang layak untuk dianalisis dan disajikan sebagai berikut ini.
5.1 Restorasi Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal 1) Nemoe Karma „Ketemu Jodoh‟(1931) oleh I
Wayan Gobiah. Novel ini
merupakan novel pertama yang berbahasa Bali. Kedudukan novel ini tentu sangat penting dalam khazanah kesusastraan Bali modern. Betapa tidak, inilah tonggak awal yang nantinya melahirkan novel-novel berbahasa Bali berikutnya. Oleh Putra (2010) dikatakan bahwa novel ini sangat istimewa karena diterbitkan oleh Balai Pustaka yang dicetak dalam jumlah yang besar dan diedarkan secara luas. Sependapat dengan Putra (2010: 23) bahwa novel ini memiliki alur
renggang dan tidak fokus pada tema sentral yang
diperankan oleh tokoh utama. Sesuai dengan judulnya Nemoe Karma „Ketemu Jodoh‟ didasari oleh tema kawin paksa dan utang budi. Keadaan in terjadi ketika Pan Sangga ingin menikahkan anaknya (I Sangga) dengan Soekarsi tetapi ditolaknya karena Soekarsi sudah mencintai Soedana (saudara angkatnya) dan Soedana juga mencintai Soekarsi (sekaligus sebagai pembayaran utang budi Soedana kepada orang tua Soekarsi karena telah memungutnya. Perjodohan kedua terjadi ketika Pan Sangga ingin menjodohkan anaknya I Sangga dengan sepupu jauhnya (mindon) Ni Wiri tetapi keduanya tidak 10
saling mencintai sehingga rumah tangganya hancur berantakan, setiap hari terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian.
Tri Kaya Parisudha: harmonis sinergitas Kalau ditelaah lebih mendalam bahwa pelajaran yang bisa diambil dari contoh di atas adalah bahwa pernikahan seharusnya dilandasi oleh cinta sejati, cinta yang suci, cinta yang tulus dari dalam hati yang paling dalam. Bagi orang Bali tali cinta yang sejati sebagaimana yang ditulis oleh Gobiah:
“….bisa ija ngetisin wiadin ndayoehin moeah ngeliangin idep timpal, ento madan anak bisa tresna. Saloeloet artinne sapoeloeng rasa, gilik abesik papinehe, pangoetpetine, kadarmane toer panglaksanane toenggal, bareng-bareng nampi karma, ento mada saloeloet. Asih, artinne aweh, karoena, sredah, moeah sajang. Ento madan anak asih. Dadi anake mapakoerenan patoet pesan ngelarang‟ tresna, saloeloet moeah asih Ane patoet ngriinang mulang dasare ento, moela toeah sangkaning laki, loehe jang pradnjan patoet mamales ban tresna, sloeloet moah asih. Dadi ja tresna kinatresnan, loeloet kinaloeloetan, asih kinasihan. Ene madan tali koekoeh, toesing bisa pegat satoenggoen idup. Di soebane tresna kinatresnan, asih kinasihan, loeloet kinaloeletanmara ja lantas wetu saksi. Ane adanin tiang saksi, artinne toenggal paliat, tunggal pakenehaan, toenggal panoedjoe, toenggal patitis, toenggal pangutpeti toenggal panglaksana. Tjendekne toenggal saloewiring tinangoen. Ane keto adanina soeba nemoe dikarma (hal 15-16).
Artinya: „… dapat memberikan kesejukan atau kedamaian serta menyenangkan orang lain, itulah yang disebut cinta (sejati). Salulut „sehati, seutuhnya‟ artinya satu rasa, (cara) berpikir,cipta menyatu, kewajiban dan perilakunya menyatu, bersama-sama menikmati hasil, itulah salulut. Asih „kasih‟ artinya member, cinta kasih, ramah, serta sayang. Itulah kasih. Jadi, orang berumah tangga wajib melakukan tresna, salulut, dan asih „cinta, satu rasa, kasih‟. Yang didahulukan/menjadi fondasi hanyalah itu, terutama oleh kaum lelaki, perempuan hanyalah menerima cinta dan kasih sayang itu, jika perempuan itu pintar maka dia harus juga membalasnya dengan cinta kasih yang seutuhnya. Oleh karena itu menjadi cinta-mencintai, sayang menyayangi seutuhnya, kasih mengasihi. Inilah yang disebut ikatan yang kuat tidak akan terputuskan sepanjang hidup. Setelah cinta mencintai, sayang menyayangi, kasih mengasihi maka muncullah yang disebut saksi, yakni satu sudut pandang, satu hati, satu tujuan, satu pikiran, serta satu perbuatan. Pendek kata semuanya satu apa yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan. Yang demikian itulah disebut nemu karma „ketemu jodoh‟. 11
Kutipan di atas jelas memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri. Dalam budaya Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu disebut dengan Tri Kaya Parisudha, tiga serangkai yang wajib dilakukan sehingga apa yang dicita-citakan bersama menjadi kenyataan yang membahagiakan. Ketiga hal itu adalah Manacika „berpikir yang baik‟, wacika „berkata yang baik/jujur‟, dan Kayika „berperilaku yang baik‟. Aplikasi Tri Kaya Parisudha ini sebenarnya tidak terbatas pada hubungan suami istri yang harmonis, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah maupun lingkungan sekitar. Berpikir, berkata, dan berbuat baik tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kebaikan/kesejahteraan bersama. Semua perbuatan baik harus dilakukan mulai dari ruang lingkup yang kecil dan secara otomatis memberikan dampak yang positif bagi lingkungan. Itulah makna dari nemu karma „ketemu jodoh‟, yakni bersatunya semua tujuan yang dicita-citakan. Nemu karma adalah konsep sinergitas antarkomponen. Satu komponen sangat bergantung pada komponen lain demikian sebaliknya. Bila salah satunya mengalami malfungsi pastilah tidak menghasilkan sesuatu yang maksimal bahkan mungkin fatal sama sekali. Dalam kaitannya dengan perkawinan di atas, laki-laki dan perempuan atau suami dengan istri dua komponen yang saling melengkapi, tidak saling mendominasi, tidak
saling superordinasi. Keduanya harus saling
memberi dan
bukan saling meminta, saling menghormati, dan seterusnya. Perkawinan bukan semata-mata pertemuan dan persatuan secara fisik, melainkan lebih dari itu, yakni penyatuan nonfisik secara utuh menyeluruh. Oleh karena itu, perkawinan adalah penyatuan sehingga semuanya menjadi milik bersama, kewajiban bersama, usaha bersama, baik buruk ditanggung bersama yang dibangun dari cita-cita bersama. Pengertian semacam ini ditegaskan kembali dalam Himpunan Keputusan Seminar 12
Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu (1988: 34) bahwa perkawinan adalah ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi). Bila sudah dipahami dan dihayati sebagaimana tersebut di atas, maka itulah nemu karma (ketemu jodoh) yang hakiki.
2. Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda a) Tentang Pengarang Nyoman Manda termasuk pengarang sastra Bali Modern yang cukup produktif. Banyak buah karyanya berupa novel berbahasa Bali telah diciptakan dan setiap buah karyanya selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat Bali. Demikian pula banyak buah karyanya telah dikaji dalam bentuk skripsi. Adalah novel berjudul “Gending Pengalu” diciptakan oleh Nyoman Manda di Pondok Tebawutu pada tanggal 28 Februari 2010. Novel ini pun tidak terlepas dari incaran para mahasiswa yang ingin meneliti dan mendalami ide Nyoman Manda dalam melahirkan karya novel tersebut. Begitu novel ini selesai ditulis, pada saat itu pula Cokorda Istri Anik Parasari mahasiswa Program Studi Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana menjatuhkan pilihannya pada novel tersebut untuk bahan skripsi. Penelitian Cokorda Istri ini mengkaji novel Gending Pengalu dari sudut struktur intrinsik dan ekstrinsik. Untuk memudahkan pemahaman cerita yang diramu dalam novel Gending Pengalu, berikut gambaran singkat isi cerita yang ditampilkan dalam bentuk sinopsis.
13
Diceritakan ada seorang pemuda tampan bernama Nyoman Sadia berasal dari Pedukuhan Bengkel. Ia memiliki pekerjaan sebagai seorang pengalu (pedagang menggunakan kuda sebagai sarana transportasi). Bersama teman-temannya membeli garam di Kusamba kemudian diangkut dengan kuda dan dengan berjalan kaki ppuluhan kilometer ke desa lain untuk menjualnya. Di desa tempat menjual garam tersebut, ia membeli barang-barang yang ada di sana dan dijual kembali ke daerah Kusamba atau di sepanjang perjalanan balik. Demikian pekerjannya sehari-hari. Sebagai sosok yang tampan dan rajin bekerja, tentu ia menjadi idaman para gadis. Tersebutlah ia telah berpacaran dengan Luh Widi. Luh Widi pun menjadi incaran para jejaka karena polos, cantik, dan rajin bekerja. Keduanya sering terlihat memadu kasih menyebabkan pemuda yang lain semakin iri melihatnya. Nyoman Sadia dan juga teman-temannya seperti Wayan Arta dan Made Sulastra, seperti kebiasaan di desa, mereka aktif di dalam kegiatan di desa. Mereka sebagai sekaa tabuh gamelan. Nyoman Sadia terkejut ketika Luh Widi memberitahu aka nada upacara pembacaan prasasti Ida Sang Hyang Sesuhunan di Puri. Mereka berdua berjanji akan datang pada saat upacara. Selesai menjual dagangannya, Nyoman Sadia bersama Luh Widi ke Puri tempat upacara dilaksanakan. Saat itu suara gamelan gong telah ramai dan indah terdengar mengiringi jalannya upacara. Demikian juga suara alunan tembang atau kidung Wargasari sayup-sayup terdengar di tempat upacara. Kehadiran tari Rejang di sana menambah kekhusukan jalannya upacara yang dipimpin oleh Ida Pedanda.
14
Tibalah puncak upacara, yaitu penyampaian rangkuman isi prasasti yang telah selesai dibaca oleh Ida Bagus Aji Putra. Saat itu diumumkan kepada karma (warga) bahwa rangkuman selengkapnya akan dibacakan nanti pada saat upacara Melaspas Puri Agung. Para karma dengan khidmat dan konsenterasi menyimak paparan rangkuman isi prasasti yang sempat dibacakan saat itu. Setelah selesai upacara, para karma segera pulang ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat setelah seharian ngayah (bekerja) di Puri. Keesokan harinya para pengayah kembali mempersiapkan peralatan untuk mendak toya ening (air suci) ke mata air Sudamala di Tugu. Iringan gong gamelan dan Selunding menambah khusuk upacara tersebut. Pada saat itu Wayan Arta sahabat dari Nyoman Sadia saling curi pandang dengan Nyoman Landri teman dekatnya Luh Widi. Momen itu menjadi awal kisah cinta mereka sampai tertinggal dari rombongan pemendak Toya Ening dan menjadi tertawaan serta olok-olok teman-temannya. Ketika sore harinya mereka pada pulang dari Puri, tiba-tiba Bantar telah berada di belakang Luh Widi sambil mengganggunya serta merayunya. Cinta Bantar terhadap Luh Widi bertepuk sebelah tangan. Bantar menjadi emosi dan akan membuat perhitungan dengan Nyoman Sadia yang dirasakan telah mengalahkannya dalam perebutan Luh Widi. Pertengkaran tidak terhindarkan antara kelompok Bantar dan kelompok Nyoman Sadia. Pertengkaran pertama, Bantar cepat berlalu karena dapat dikalahkan oleh kelompok Nyoman Sadia. Bantar sambil berlalu menantang duel di setra (kuburan). Tantangan itu diterima oleh Nyoman Sadia demi harga diri dan kasih tercintanya Luh Widi. 15
Perkelahian sengit terjadi di setra, keduanya menghunus senjata keris pusaka. Saling pukul, saling tending, dan saling tusuk. Setiap serangan Bantar dapat dihalau oleh Nyoman Sadia. Sebagai bekal seorang pengalu tentu Nyoman Sadia telah memiliki ilmu silat untuk jaga diri di perjalanan atau di desa-desa yang dilalui berjualan ketika ada gangguan keamanan. Ilumu inilah yang digunakan menepis segala serangan Bantar, apalagi Bantar seorang pemabuk tentu kekutan serangannya tidak bertenaga lagi. Ketika Bantar sekarat, Nyoman Sadia sujud ke Ibu Pertiwi mengucapkan terimakasih, tiba-tiba ada tombak melesat dari semak kea rah Nyoman Sadia. Untung tombak yang dilesakkan ayah Bantar dapat dihindari, namun akhirnya tombak itu pula yang menusuk Bantar hingga semula sekarat menjadi tewas saat itu. Ayah Bantar muncul ke permukaan sambil memohon maaf atas kesalahannya dan anaknya. Karena sayang pada anak yang saat itu telah menjadi mayat, ayahnya pun menyusul kepergian putranya dengan menusukkan keris ke dadanya sendiri. Refleksi Budaya dalam Novel Gending Pengalu Karya sastra adalah merupakan cermin kehidupan manusia atau masyarakat. Oleh karena sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupanyang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat (Ratna, 2006:332-333). Pengertian masyarakat mengacu kepada komunitas yang terdiri dari individu-individu. Mereka beraktivitas dengan ide, imajinasi, dan akal, yang bermuara pada suatu budaya baik budaya kolektif maupun budaya individu di dalam sebuah komunitas. Suatu budaya yang telah dihasilkan dan dipakai secara kolektif akan berubah menjadi kebudayaan. Kata kebudayaan berasal dari buddhayah 16
(Sanskerta),
sebagai
bentuk
(Koentjaraningrat, 1974: 80).
jamak
dari
buddhi
yang
berarti
akal
E.B. Tylor (dalam Sardar dan Loon, 1977:4)
memperjelas pengertian kebudayaan, yaitu keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain. Pengertian kebudayaan ini masih dirasakan kurang komprehensif karena tidak menjelaskan bagaimana kebudayaan itu bisa diperoleh. Untuk itu Marvin Harris (1999: 19) menambahkan bahwa kebudayaan itu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Apapun pengertian budaya dan kebudayaan tersebut, jika dihubungkan dengan novel
Gending Pengalu akan dapat terungkap budaya apa yang
direfleksikan oleh pengarangnya. Sudah menjadi jamak diketahui bahwa pengarang memiliki ide dan gagasan dituangkan dalam karya sastra melalui tokoh cerita. Tokoh cerita lah dianggap mewakili ide dan gagasan pengarang tersebut. Sejauh mana kita mampu mengkajinya, semakin dalam kita menelitinya, tentu semakin dekatlah ide dan gagasan pengarang tersebut dapat terungkap. Pengarang Novel Gending Pengalu menampilkan tokoh cerita Nyoman Sadia sebagai tokoh protagonis sekaligus tokoh utama. Luh Widi sebagai tokoh sekunder. Di samping itu ada beberapa nama sebagai tokoh komplementer, diantaranya: Landri, Nerti, Arta, Sulastra. Sebagai tokoh antagonis, pengarang menampilkan Bantar dan beberapa temannya. Pada tahun 1970-an masa-masa berakhirnya budaya pengalu di Bali. Kata pengalu dari kata ngalu yang artinya pergi mencari dagangan. Pengalu berarti pedagang yang mencari dagangan dengan pergi jauh (Anom, dkk:13). 17
Pengertian kata pengalu ini jika dikaitkan dengan novel Gending Pengalu dan arti pengalu sesungguhnya, belum komprehensif. Secara komprehensif pengalu itu berarti sebuah profesi pedagang yang membeli barang dagangan baik di desanya sendiri atau di desa orang lain, barang tersebut diangkut dengan kuda untuk pengalu yang pergi jauh atau di jinjing (suun, tegen) untuk berjualan dekat. Di samping itu juga para pengalu akan membeli barang yang ada di tempat menjual dagangannya dan dijual kembali ke desa-desa yang dilalui ketika pulang keasalnya. Untuk memberikan gambaran pengalu
yang merupakan budaya
masyarakat jaman dulu di Bali, pengarang menghadirkan tokoh Nyoman Sadia yang diceritakan langsung dengan profesi sebagai pengalu. Nyoman Sadia anak truna sane tuah seken saking Bengkel. Ipun sedina-dina numbas uyah ring Kusamba tur keadol ring Petak, Mantring taler rauh ring desa Sebatu (NGP,4) „Nyoman Sadia seorang pemuda memang benar dari Bengkel. Ia sehari-hari membeli garam di Kusamba dan dijual ke desa Petak, Mantring, sertai sampai ke desa Sebatu‟. Ia membeli garam di desa Kusamba (Kabupaten Klungkung) sebagai desa penghasil garam, kemudian dengan kuda kesayangannya membawa (mondong) garam tersebut ke desa-desa di tengah atau jauh dari laut seperti Sebatu (Kabupaten Gianyar) dan sekitarnya. Sebatu sebagai daerah sejuk pasti tanaman sirih bisa hidup subur. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Nyoman Sadia sebagai barang komoditi untuk dibawa pulang dan dijual di desanya. Dengan demikian
18
sosok Nyoman Sadia ini dihadirkan pengarang sebagai pelaku ekonomi yang kini dikenal dengan ekonomi kerakyatan. Masyarakat Bali mayoritas memeluk agama Hindu. Pelaksanaan keagamaan sering memunculkan budaya dan sebaliknya agama Hindu bisa eksis karena dilandasi budaya yang kuat. Gamelan gong, tari dan kidung merupakan budaya Bali yang sangat terkait dengan aktivitas keagamaan. Budaya ini oleh Nyoman Manda selaku pengarang direfleksikan pada tokoh cerita. Nyoman Sadia dan teman-temannya ikut sebagai penabuh gamelan. Nyoman Sadia hamper saja lupa akan megambel di puri saat ada upacara karena sering menginap di desa lain tempat berjualannya. “Upacara? Ipun tengkejut sawireh dados sekaa penabuh gamelan yening wenten upacara ring puri Bengkel ipun stata nyarengin” (NGP, 7). „Upacara? Ia terkejut karena ikut menjadi sekaa (kelompok) penabuh gamelan jika ada upacara di puri Bengkel ia selalu ikut. Demikian pula para gadis di desa pada bisa menari yang sering dipakai mengiringi (ngayah) ketika ada upacara. Hal ini pengarang merefleksikannya pada tokoh Luh Widi dan kawan-kawan secara langsung. “Wenten sekaa gong sane pinih ajeng kelangen nyaksiang bajang-bajange punika ngigel lemuh magoleran taler Luh Widi sane adage nyempaka” (NGP, 24). „Ada anggota sekaa gong yang paling depan terpesona melihat para gadis yang menari dengan lemah gemulai juga Luh Widi yang tubuhnya semampai‟.
Bantar sebagai sosok pemuda desa dikenal sebagai pemabuk dan sering membikin ulah. Kelakuan Bantar sesuai dengan peran yang dihidupkan pengarang sebagai tokoh antagonis. Peran dan prilaku Bantar sesungguhnya 19
bagian dari budaya di desa yakni sering mabuk karena minuman arak (alkohol). Minuman arak dan tuak diproduksi oleh masyarakat dan dikosumsi oleh masyarakat pula. Fungsi arak atau tuak dalam tatanan upacara keagamaan sebagai sarana metabuh (persembahan untuk Bhutakala). Bantar dan kawankawan sering minum berlebihan sehingga sering mabuk Agama sebagai pedoman kehidupan yang dapat berfungsi mengasah akal dan budi yang bermuara pada kedamaian. Bantar sering kehilangan kendali yang berakibat kematian. Sifat Bantar memunculkan konflik dalam novel ini, yaitu memaksakan kehendak untuk mendapatkan Luh Widi sebagai pendamping hidupnya, Luh Widi sendiri sama sekali tidak mencintai karena telah bertunangan dengan Nyoman Sadia.
Kearifan Lokal dalam Novel Gending Pengalu Istilah kearifan lokal merupakan padanan istilah local genius, yaitu keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau (Wales dalam Semadi Astra, 2004:110). Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa kearifan lokal bisa tercermin dalam berbagai unsur kebudayaan seperti sistem peralatan, sistem mata pencahariansistem organisasi sosial, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Sifat-sifat hakiki kearifan lokal tersebut meliputi: mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegerasi unsur-unsur budaya 20
luar ke dalam kebudayaan asli; (4) mampu mengendalikan; dan (5) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya (Poespowardoyo, 1986:30). Etos Kerja: perantau Masyarakat Bali tercermin dalam tokoh Nyoman Sadia sebagai seorang pengalu. Dahulu di Bali memiliki budaya ngalu. Para pengalu berjasa memutar perekonomian tradisional. Bagi pengalu yang memiliki modal lebih, mereka memakai alat transportasi kuda. Barang-barang dagangannya diangkut dengan kuda dan pengalunya berjalan kaki mengikuti derap langkah kuda berjalan. Bagi mereka yang modalnya pas-pasan, memikul (negen) dagangannya dengan berjalan kaki. Tentu saja barang yang dibawa dengan sarana kuda lebih banyak dan para pemiliknya tidak lagi membawa atau memikul barang. Spirit para pengalu dulu luar biasa demi sesuap nasi dan demi menopang kebutuhan rumah tangga. Para pengalu dari kecamatan Tejakula sudah biasa pukul satu dinihari berangkat dengan berjalan kaki sambil memikul garam dengan berat sekitar 50 Kg. Mereka beramai-ramai dengan garam di pundak menaiki pegunungan Kintamani menuju pasar Kintamani. Jarak yang ditempuh kurang lebih 30 Km. Ketika pulang dari Kintamani juga membawa beras untuk komoditi barang dagangan. Spirit kerja seperti ini oleh Nyoman Manda direfleksikan pada tokoh Nyoman Sadia dalam novel Gending Pengalu. Pengarang melihat fenomena di zaman sekarang telah ada degradasi spirit terutama di kalangan anak muda untuk bekerja. Pengarang juga melihat kearifan lokal berupa spirit kerja sudah mulai memudar dilanda kemanjaan.
21
Peranan para pengalu dulu memutar roda perekonomian tingkat bawah. Kalau ingin setiap saat memiliki atau memegang uang, terjunlah di bidang perdagangan walaupun dagang kecil-kecilan. Tidak perlu ada rasa malu, gengsi, dan sejenisnya. Apa lagi sarana berdagang zaman sekarang sudah tersedia sepeda motor dan bukan kuda lagi. Spirit para pengalu zaman dulu tersebut dapat dijadikan materi untuk menasehati atau memberikan arahan pada anak-anak dan para pemuda di zaman sekarang. Dengan demikian kearifan lokal ini akan tetap mampu menahan lajunya pengangguran. Sekaa : Budaya masuk kelompok (sekaa) tari di desa seperti yang dilakoni Luh Widi dan kawan-kawan merukan kearifan local. Sebagai organisasi social dapat berfungsi ke ranah adat atau agama dan bahkan bersifat sacral. Di samping itu juga berfungsi secara profane. Substansi makna yang lebih penting dalam hal ini adalah memupuk rasa kebersamaan dan pelestarian budaya. Nyoman Manda dalam novelnya ini mereduksi kearifan local tersebut untuk mengkanter fenomena melemahnya spirit para pemudi belajar menari untuk kepentingan ranah sacral maupun profane. Watak individu semakin tumbuh seiring dengan perkembangan zaman, seperti sibuk belajar di sekolah dan ada pula karena kesibukan bekerja. Pembentuk watak individu yang paling fatal di era sekarang adalah kehadiran teknologi informasi. Anak-anak sibuk sendiri di depan komputer, laptop, dan hand phone. Kearifan lokal yang lain dititipkan pada Bantar sebagai tokoh antagonis. Kebiasaan Bantar dan teman-temannya minum tuak dan arak secara berlebihan sering membuat dirinya mabuk. Ketika orang sedang mabuk, sudah pasti 22
keseimbangan dirinya hilang, tenaga melemah, tetapi merasa paling kuat dan sakti. Orang mabuk serring membuat keonaran dan malapetaka, Hal ini ditekankan Nyoman Manda bagi generasi sekarang. Intinya minuman beralkohol tidak layak diminum secara berlebihan karena dapat merongrong fisik dan psikis. Dalam novel diceritakan Bantar akhirnya mati karena ulahnya.
3. Novel Nembangang Sayang karya I Nyoman Manda Pengarang dan Transformasi Ide Novel Nembangang Sayang selesai dikarang oleh Nyoman Manda pada saat bulan purnama tanggal 3 Maret 2007. Nyoman Manda termasuk salah satu pengarang sastra Bali modern yang cukup aktif, kreatif, dan inovatif dalam kepengarangannya. Kali ini ia mencoba menyusun cerita berkisah tentang kasih anak remaja di sekolah SMA. Anak-anak remaja seusia SMA merupakan anak-anak remaja dan persiapan akan menuju ke dewasa. Labilitas jiwa dan bangkitnya emosi untuk mencari jati diri ada di usia remaja. Fenomena ini ditangkap oleh Nyoman Manda sehingga lahir ide untuk mengolah dalam sebuah novel. Bagi seorang pengarang, solusi terhadap masalah sosial akan dituangkan dalam karyanya. Remaja jika tidak dikendalikan dengan baik, mereka cenderung akan lebih banyak mengadopsi hal-hal dari luar, mereka bangga menggunakan, memiliki, dan mempelajari hal-hal yang berbau modern. Mereka kurang memperhatikan apa yang diwariskan oleh para leluhurnya, bahkan mereka terasa kolot dan ketinggalan zaman kalau masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat tradisional. 23
Novel Nembangang Sayang memunculkan tokoh Wayan Landra dan Putu Arini sebagai tokoh utama. Mereka dan tokoh-tokoh yang lain merupakan siswa SMA Klas II IPA 1. Antara Wayan Landra dan Putu Arini sama-sama tumbuh benih cinta di hatinya. Teman-temannya sering memainkan sehingga Putu Arini sering jengkel di balik rasa cintanya dengan Wayan Landra. “....Dadine nyak adung mapasangan,” ada timpalne nyeletuk. Barak muan Putu Arinine mara ningeh munyi buka keto, nanging Wayan Landra kalem duen, mula pangabane nengil tusing liu pesu munyi (Nembangang Sayang, 6). “….Jadi cocok sekali berpasangan,” celetuk temannya. Merahlah muka Putu Arini setelah mendengar ocehan seperti itu, namun Wayan Landra kalem saja, memang bawaannya selalu diam tidak banyak bicara.
Hadir sebagai tokoh sekunder atau antagonis adalah Gung Wirati. Gung Wirati sosok orang kaya tetapi sombong. Ia mencintai Wayan Landra, tetapi cintanya ditolak. Penolakan ini dipakai senjata untuk membuat Wayan Landra dan Putu Arini tidak tenang. Bumbu kisah cinta antara Wayan Landra dan Putu Arini semakin bersemi di acara kemah. Demikian pula rasa cemburu Gung Wirati semakin menjadi-jadi karena semakin mesra mereka berdua semakin cemburulah Gung Wirati.
Kearifan Lokal sebagai Pengendali Labilitas Jiwa Remaja Nyoman Manda seorang pengarang Bali beragama Hindu. Beliau jelas karena hidup dalam komunitas masyarakat Bali pasti banyak mengetahui budaya dan agama di Bali. Umat Hindu percaya bahwa segala yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan tanpa ada restu dari Hyang Widhi/Tuhan, maka tidak akan berhasil dengan baik. Untuk itu, agama Hindu yang dibalut dengan budaya Bali 24
menampakkan aktivitas bhakti kepada Hyang Widhi melalui persembahyangan di pura dari tingkat pura keluarga sampai ke pura Kahyangan Jagat. Semakin sering sembahyang di pura-pura atau Tirtha Yatra, berarti diyakini semakin dekat dengan Hyang Widhi dan implikasinya akan mengubah karakter seseorang menjadi lebih baik. Aktivitas Tirtha Yatra (perjalanan suci dengan sembahyang di tempattempat suci) merupakan kearifan local yang diselipkan Nyoman Manda dalam karyanya. Idiologi ini ditanamkan dalam tokoh utama Wayan Landra. Wayan Landra sebagai remaja aktif di Banjar dan sering sembahyang di pura-pura. “….Dugas purnamane abulan tiang ajak sekaa teruna banjar tiange mabakti ka Pura Kancing Gumi”. “…..Dija purane totonan Yan?” “Di desa Batulantang paek ka Pelaga” (Nembangang Sayang 46-47).
“….Sewaktu bulan purnama sebulan yang lalu kami bersama sekaa teruna Banjarnya sembahyang di Pura Kancing Gumi”. “… Pura itu dimana Yan?” “Di desa Batulantang dekat dengan desa Pelaga”.
Pura yang lain yang sudah pernah didatangi untuk sembahyang oleh Wayan Landra adalah Pura Pulaki dan Pura Menjangan di wilayah Buleleng. “Jalan ne tembus ke Seririt, yen lewat Gobleg bias teked di Banjar. Tiang suba taen maturan ke Pulaki terus ke Menjangan lewat mai,” Yan Landra ngorahin timpal-timpalne (Nembangang Sayang, 66-67). “Jalan ini tembus ke Seririt jika lewat Gobleg bias sampai ke desa Banjar. Saya sudah pernah sembahyang ke Pura Pulaki terus ke Pura Menjangan lewat jalan ini”. Yan Landra menjelaskan pada teman-temannya.
25
Kedekatan Wayan Landra dengan Maha Pencipta (Hyang Widhi) melalui seringnya sembahyang manfaatnya telah dirasakannya. Ketika beberapa kali mau dicelakai oleh Gung Wirati dengan menyerempet mobilnya, tetapi Wayan Landra tetap selamat dan tidak marah. “Kaden aluh nyerempet anak beneh”, “Patute tugurin Yan,” Kalem Putu Arini ngomong. Yen suba patut, patute ento bakal nulungin ragane” Gung Ratih makenyem, Putu Arini masi makenyem (Nembangang Sayang, 60). “Dikira gampang nyerempet orang tak bersalah,” “Patut (kebenaran) itu utamakan Yan”, kalem Putu Arini ngomong. Jika kita sudah benar, kebenaran itu akan menolong dirinya. Gung Ratih tersenyum, Putu Arini tersenyum juga, Kehidupan remaja penuh dengan aktivitas untuk mencari jatidiri, namun sayangnya kebanyakan arahnya ke negatif seperti merusak lingkungan. Budaya corat-coret dan lain-lainnya identik dengan remaja. Nyoman Manda menangkap fenomena ini dengan memasukkan kearifan lokal. Masyarakat Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yang berarti hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Kearifan lokal ini dibangkitkan sebagai penyadaran para remaja dengan menyelipkan cerita kemping di danau Tamblingan. Di situ para siswa diajak berdialog dengan masyarakat, diajak mengenal keasrian hutan, dan menyayangi hutan.
4. Novel Gita Ning Nusa Alit ‘Nyanyian Hening di Pulau Kecil’ oleh Djelantik Santha (2003).
Novel ini merupakan lanjutan dari novel Sembalun Rinjani sebagaimana yang disampaikan oleh pengarang dalam atur pangaksama (kata pengantarnya). Kisahnya terbagi atas delapan episode. Bagian pertama diawali tentang jalinan asmara Gusti Ngurah Darsana seorang pegawai bank dengan seorang gadis Sasak 26
Lale Dumilah. Darsana adalah sosok idaman kaum perempuan, selain sudah bekerja Darsana adalah pemuda yang tampan, simpatik, dan sangat sopan. Namun demikian, Darsana terlanjur jatuh cinta kepada Lale Dumilah yang berbeda agama (Islam). Keadaan ini tentu membuat hati Lale Dumilah gundah, takut kalau tidak direstui dan dianggap murtad dan memang demikian adanya. Kepindahan tugas Darsana ke Atambua dan cintanya yang tulus membuat Lale Dumilah memutuskan untuk menikah dan ikut bersamanya. Setelah menikah, Lale Dumilah berganti nama menjadi Ratna Dumilah. Ratna Dumilah pun berganti agama dari Islam menjadi Hindu sesuai dengan agama Darsana. Walaupun kedua orang tuanya kecewa, namun pada akhirnya mereka disadarkan oleh anaknya Lalu Wiradana dan merestui perkawinan mereka. Pernikahan mereka dikarunia seorang putra dan diberi nama Gusti Ngurah Anantha Bhuwana. Kelahiran Anantha Bhuwana membuat semua keluarga sangat bahagia. Hal ini terlihat ketika melakukan upacara untuk Anantha Buwana semuanya hadir. Ngurah Darsana juga berhasil mempertemukan dua bersaudara yang terpisahkan dan bahkan tidak saling mengenali oleh keadaan darurat (huruhara) antara Wayan Galang dengan Meina Victoria. Kepindahan Darsana dari dari Atambua ke Rababima Kupang membuat keluarga Lale Dumilah senang karena memudahkan mereka untuk bertemu.
Lika-liku cinta dan kehidupan rumah tangga Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah diselingi dengan berbagai daya estetis lainnya seperti rasa cemburu kepada Darsana, penolakan dari keluarga besar Ratna Dumilah bahkan sebelumnya Ratna Dumilah sudah dipasangkan dengan sepupunya, Raden Nuna, seorang calon camat. Bahkan, karena cinta tak terbalaskan, Raden Nuna menggunakan ilmu hitam untuk 27
menghancurkan Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah. Oleh karena belum takdir untuk mati, Ngurah Darsana dan Ratna Dumilah berhasil ditolong.
Kearifan Lokal dalam Gita Ning Nusa Alit: a) Salunglung Sobayantaka: Ungkapan ini merupakan ungkapan budaya lokal masyarakat Bali tersebar secara luas baik kalangan buruh, petani, nelayan, seniman, pegawai negeri, dan sebainya. Ungkapan ini amatlah popular dapat diucapkan dimana saja, baik formal maupun informal, perseorangan maupun kelompok. Secara morfologis, ungkapan ini berasal dari kata salung-lung „sama-sama patah. Maksudnya, apa pun yang akan terjadi dalam mewujudkan cita-cita mereka, akibatnya akan ditanggung secara bersama. Kata sobayantaka berasal dari kata sa-+ ubaya + antaka. Sa- „prefiks yang artinya se- dalam bahasa Indonesia, ubaya „janji‟, antaka „mati/meninggal‟. Dengan demikian salunglung sobayantaka berarti hidup yang senasib dan sepenanggungan (sehidup semati) (Tim Penulis, 1984: 142). Mirip dengan ungkapan ini, di daerah Minangkabau ada ungkapan sejenis, yang maksudnya kurang lebih sama. Adapun ungkapan yang dimaksud adalah: Mati anak berkalang bapak, dalam mati bapak berkalang anak”, artinya „anak dan bapak hendaklah tolong-menolong, sandar-menyandar dalam waktu kesusahan dan sebagainya (Pamuntjak, dkk., 2004: 341). Secara tekstual, dalam novel Gita Ning Nusa Alit di wujudkan ketika Ratna Dumilah mengambil keputusan untuk menikah dengan Ngurah Darsana dengan konsekuensi Ratna Dumilah harus berhenti dari kuliahnya dan tidak direstui oleh kedua orang tuanya. Namun, cinta mengalahkan 28
segalanya, Ratna Dumilah mengambil keputusan itu sebagaimana dalam kutipan berikut ini. “Badah, ene mara ya tusing nawang unduk. Sing bisa dadi pengacara utawi pukrul. Ene Denda ane dadi pesakitan sawireh suba ngamaling isin jejeroan cange, hati, jantung, paru-paru kayang tresnan cange palinga. Jani pamidandane kaputus dadi kurenan/rabin cang Saumur hidup. Sing dadi belas yadiapin suka, duka, lara, pati yen dadi tunas apang mabarengan ane madan salunglung subayantaka”, kenten Gusti Ngurah saha nundikin gelanne ane milu bengong mirengang hukumane ane katiba teken dewekne. Mara raganne ngerti teken ujud pandikane Gusti Ngurah, lantas mabading ngelut, ngecup gelanne mawanti-wanti” (hal 22). „Wah, ini tidak tahu masalah. Tidak bisa menjadi pengacara. Ini adinda yang menjadi pesakitan/terdakwa karena telah mencuri jantung hatiku dan juga cintaku. Sekarang hukumannya adalah menjadi istriku seumur hidup. Tidak boleh berpisah baik dalam keadaan suka dan duka, hidup maupun mati agar selalu bersama seperti dalam ungkapan salunglung subayantaka / sehidup semati baik suka dan duka, demikian Gusti Ngurah sembari mencolek pacarnya yang terbengong-bengong mendengar hukumannya. Ketika tahu akan maksud perkataan Gusti Ngurah lalu berbalik memeluk, mencium pacarnya berulang-ulang”. Perkataan Ngurah Darsana lalu dibalas oleh Ratna Dumilah seperti kutipan berikut ini. “Nggih, hukuman katerima. Nanging tiang masih patuh ngukum Tu Ngurah dadi rabin tiange salawase, tusing megatang tresnane kayang kawekas, swarga nunut neraka katut” kenten Lale Dumilah matadah gugup sawireh Gusti Ngurah sahasa meluk raganne nganti keweh mangkihan” (hal 22).
29
„Ya, hukuman diterima, tetapi saya juga akan menghuku Tu Ngurah (Darsana) menjadi suami saya selamanya, tidak memutuskan tali cinta selamanya, baik di sorga maupun di neraka harus bersama” demikian Ratna Dumilah seperti gugup karena Gusti Ngurah (Darsana) segera memeluknya sampai susah bernafas”.
Demikianlah ungkapan romantisme antara Ngurah Darsana dengan Ratna Dumilah. Semuanya diungkapkan dengan bahasa wajar dan lancar dengan pengandaian atau pemakaian bahasa hokum yang menandakan bahwa Ngurah Darsana adalah seorang yang terpelajar. Ungkapan cinta Ngurah Darsana sebaliknya dibalas dengan peluk cium sebagai tanda akan ketulusan cintanya. Pengungkapan salunglung sobayantaka
dalam konteks kisah
romantisme ini sangat tepat karena dalam ikatan perkawinan diibaratkan sebuah perahu yang akan berlayar mengarungi samudra luas kehidupan. Berbagai rintangan dihadapi bersama sehingga mencapai tujuan bersama dan kebahagiaan menjadi milik bersama. Hal ini ditegaskan dalam kutipan teks berikut. “… Cirin anak pinter kabisane ane bakat di sekolahan sinah patut ingetang kayang kawekas. Nanging tresnane ane matemuang iraga nganti makurenan patut belanin kayang mati. Apa buin cara Denda ngajak tiang jani suba dadi aperahu, jalan layarin tuut tukade yadiapin mabias, mabatu-batu, nganti teked ka telenging samudrane tan patepi, ane dadi uleng tetujon saluiring tukade ane ada di gumine….” (hal. 63). „… Ciri orang cerdas adalah mampu menerapkan pengetahuan yang didapatkan di bangku sekolah dijadikan pedoman selamanya. Namun, cinta yang mempertemukan kita sampai kita menikah patut dibela sampai mati. Apalagi adinda dan saya sudah berada dalam satu perahu, marilah kita berlayar mengikuti arus sungai walaupun berpasir, berbatu-batu, sampai ke tengah samudra luas tiada tepi, yang menjadi tujuan dari semua tujuan (aliran) yang ada di dunia ini….‟ Mengenai pelafalan istilah sobayantaka, ada juga yang mengucapkan sabayantaka atau pun subayantaka. Perbedaan pelafalan itu tidak membawa perbedaan arti. Istilah salunglung sobayantaka adalah ikrar/janji untuk saling mempertahankan prinsip yang telah ditetapkan, prinsip yang harus terus 30
dipupuk, dibela, dan dipertahakan demi tegaknya kesatuan bersama yang telah dibentuk bersama. Dengan demikian, dibutuhkan loyalitas yang kuat dan pengorbanan yang ikhlas sehingga seringkali memunculkan fanatisme dalam tindakan itu. Kesetikawanan antarindividu dalam kelompok benarbenar diuji. Semangat salunglung sobayantakan diharapkan menjadi modal pemersatu/perekat masyarakat sehingga mampu bertahan dari anasir-anasir asing yang bersifat negatif.
5. Novel Suryak Suung Mangmung oleh Djelantik Santha (2007). Novel ini merupakan salah satu dari trilogi novel Djelantik Santha. Novel ini terbagi atas tujuh episode. Namun demikian, ketujuh episode itu merupakan satu rangkaian yang utuh mulai dari episode satu sampai selesai (bagian tujuh). Secara garis besarnya ceritanya sebagai berikut. Episode satu dikisahkan seorang pegawai bank Gusti Ngurah Darsana yang akan memasuki masa pensiun. Sebelumnya telah melaksanakan tugas di berbagai daerah seperti
BRI Cabang Mataram, terus Raba Bima, Ambon, Kendari,
Makassar, Samarinda, Padang, Medan, dan terakhir Jakarta. Ketika mengawali karirnya bekerja di Mataram, Darsana ketemu dengan gadis Sasak namanya Lale Dumilah dan setelah menikah diberi nama Ratna Dumilah. Oleh karena memasuki masa pensiun, Darsana diizinkan oleh atasannya kembali pulang kembali dan bertugas di Denpasar. Dari perkawinannya itu mereka mempunyai tiga orang anak dan seorang cucu. Oleh karena sudah bekerja di Bali, maka Darsana mulai menata rumahnya yang ada di Baledan Kecamatan Selat Karangasem yang memang sudah mulai rusak sekalian sebagai persiapan untuk upacara cucunya (Gung Widya Karana) dan juga pernikahan anak perempuannya 31
(Gusti Ayu Kendariyani). Kembali Darsana ke kampung halamannya diibaratkan memasuki kungkungan puyung (sangkar kosong). Bagian kedua disajikan romantika perkawinan yang sudah memasuki masa kritis, yakni masa ketika kedua belah pihak sudah merasa tidak kuat secara fisik lebih-lebih bagi perempuan yang memasuki masa menopause. Pada masa ini disajikan berbagai macam tantangan dan godaan yang dihadapi serta bagaimana cara menyikapinya. Selain itu disajikan juga tentang tanggung jawab hidup dalam harmonisasi
budaya
Bali
yang
sangat
kental
dengan
agama
Hindu,
menyeimbangkan mulat sarira (introspeksi diri) dengan toleransi. Episode ketiga disajikan mengenai cara mencari pasangan hidup yang baik. Mencari pasangan memang harus memilih tetapi memilih yang tepat agar tidak seperti pepatah orang Bali “pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” „memilih yang terbaik tetapi akhirnya yang paling jelek didapatkan‟. Tidaklah baik juga jika menginginkan seorang gadis memakai guna-guna dan itu adalah dosa besar dan dilarang oleh agama. Episode empat mengisahkan tentang hutan yang angker. Dikisahkan bahwa di dalam hutan menuju Pasar Agung adalah hutan yang angker yang ada penghuni gaibnya. Memang hutan sekitar Pura Pasar Agung memiliki panorama yang luar biasa, ke utara terlihat puncak Gunung Agung dan ke selatan hamparan hijau dan laut yang sesekali pandangan diselimuti kabut. Episode ini juga mengisahkan terjadi peristiwa gaib, sesaat setelah selesai persembahyangan, anak Darsana (Gung Kendariyani) hilang secara gaib ketika terjadi angin ribut dan kabut tebal secara tiba-tiba. Namun berkat ketulusan dan kekhusukan persembahyangan Darsana sekeluarga dan pertolongan masyarakat sekitar akhirnya Kendariyani pulang tanpa cacat sedikit pun. Di sinilah letak keyakinan keluarga Darsana 32
bahwa memang dari dulu ada salah seorang kerabatnya yang menjadi juru sapuh (tukang sapu secara gaib) di Pura Pasar Agung. Episode kelima tentang tutur kadiatmikan, yakni pengetahuan yang didasari oleh agama Hindu di Bali yang terdiri atas tatwa, susila dan upacara. Sesungguhnya Sanghyang Widhi (Tuhan) hanyalah satu. Untuk mencapai tujuan ke-Tuhan-nan itu ada bermacam-macam. Episode keenam menyajikan pernikahan Kendariyani dengan Gusti Ngurah Wiweka yang didasari atas cinta yang tulus, cinta sejati. Upacara pernikahan dilaksanakan dengan meriah. Cinta kasih orang tua kepada anak juga diselipkan, yakni dengan memberikan nasihat-nasihat dan contoh yang baik. Episode ketujuh (terakhir) adalah tentang situasi gaib yang dialami oleh Ngurah Darsana ketika melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Upacara itu hanya dilakukan hanya satu hari, bukan dua atau tiga hari sebagai di tempat lainnya dan itu pun hanya dilakukan oleh laki-laki, tidak ada perempuan karena takut. Konon menurut cerita para penghuni alam gaib sering memperlihatkan dirinya dalam bentuk sosok mahluk yang aneh-aneh. Pada malam itu, hanya tiga orang yang berhasil melewati malam angker itu, yakni Ngurah Darsana, Jero Mangku Dalem, dan Jero Bandesa. Mereka bertiga melihat sosok-sosok angker itu dalam perujudannya yang bermacam-macam. Mereka bertiga sebagai perwakilan masyarakat bahwa sesungguhnya penghuni gaib itu ada. Kekuatan gaib juga ditunjukkan ketika hari suci Saraswati ketika menantu Ngurah Darsana, Gusti Agung Wiweka beserta keluarga besarnya mohon keris pusaka miliki leluhurnya. Suatu hari Ngurah Darsana beserta keluarganya mengalami hal gaib lainnya ketika sembahyang di Puseh Sogra. Terdengar suara keramaian namun tidak terlihat sesuatu, selang beberapa saat mereka melihat pasukan gaib lengkap 33
dengan senjatanya yang membuat mereka merasa takut. Sampai tiba di rumah pun masih terngiang suara-suara gaib itu. Bahwa sesungguhnya memang betul ada dunia lain dan harus dipercaya semua itu memiliki kekuatan.
Kearifan Lokal dalam Novel Suryak Suung Mangmung a) Mulat Sarira/eling. Mulat Sarira (introspeksi diri) adalah konsep dalam budaya Bali agar selalu ingat dengan diri sendiri, sadar, selalu menjauhkan diri dari angkara murka. Selain itu, jangan pula terlalu menuruti hawa nafsu lebih-lebih birahi yang dapat menghancurkan keluarga. Dalam novel dikutip sebagai berikut. “Saja Ning, tegarang baca tutur Sarasamuscayane. Mula tuara ada kewehan teken ngeretin momo angkarane utamanne ane madan kama. Ane tonden taen ngrasayang Makita apang nawang rasanne. Apa buin ane suba biasa ngrasayang jaenne Makita apang tusing kapegatan rasa cara ngisep candune. Yan maraga luh mula saking nunain, sawireh sasubane baki yen masanggama liunan rasa sakitne timbangan teken klebete kasmaran” (hal 37). „Benar Nak, cobala baca (ada) nasihat dalam Saramuscaya. Memang sangat sulit untuk menahan perilaku jahat utamanya apa yang disebut nafsu. Yang belum pernah merasakan ingin tahu seperti apa nikmatnya. Lebih-lebih yang sudah biasa merasakan nikmatnya ingin agar tidak pernah terputus merasakan nikmatnya seperti halnya mengisap candu. Jika perempuan memang bias mengurangi karena jika sudah menopause jika dipaksakan bersenggama lebih banyak terasa sakitnya dibandingkan dengan keinginan akan nikmatnya asmara‟. Demikianlah satu satu romantika perkawinan yang memasuki usia senja ketika terjadi perubahan fisik terutama bagi perempuan. Namun, tidak demikian halnya bagi laki-laki seringkali keadaan yang demikian sering kali dimanfaatkan untuk mencari kesenangan sendiri di luar rumah. Hal inilah yang harus selalu diingat bahwa semakin tua sudah harus mulai mengurangi nafsu keduniawian, semakin tua sudah seharusnya semakin banyak mencari jalan kemuliaan. 34
Kesungguhan hati Ratna Dumilah untuk mempelajari agama Hindu adalah contoh yang baik untuk diteladani. Karena sudah terlanjur menikah dengan Ngurah Darsana, mau tidak mau Ratna Dumilah harus mengikuti suaminya. Baginya tentu tidak baik jika terjadi disharmonisasi kepercayaan antara suami dengan istri. Ratna Dumilah mengambil peran yang sangat baik dalam pendidikan anaknya, memberikan nasihat-nasihat kebaikan sesuai dengan dasar agama Hindu, agama yang dianut suaminya. Hal ini ditegaskan dalam kutipan berikut. “Beh, ibu sampun nyidayang ngerti yadiapin ke dasar kelahiran ibune malianan agama. Yen tiang yadiapin kocap madasar agama Hindu sane kuna, nanging saking kirangan buku sastra agama Hindu lan uratian para panglingsir adat lan agamane, ngawinang pauninge among ngadu rarekon….” (hal 51). „Wah, ibu sudah sangat mengerti walaupun ketika ibu lahir beda agama. Kalau saya walaupun menganut agama Hindu yang tradisi lama, oleh karena kekurangan buku-buku agama dan juga para tetua agama menyebabkan pengetahuan saya hanya mengandalkan konon katanya, …..‟. Demikianlah kesadaran diri seorang Ratna Dumilah
yang waktu kecil
bernama Lale Dumilah beragama Islam telah mampu menunjukkan perannya sebagai ibu yang sejati, menghayati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang sesungguhnya.
Kedalaman pemahaman ajaran agama Hindu
ditunjukkan pada bagian akhir kisah ketika dia memberi nasihat kepada anaknya. “Sayuwakti Gung Antha, soang-soang agama pada ngelah aturan kapercayaanne ane madan Srada. Yen Hindu kadanin Panca Sradha luire percaya teken Ida Sanghyang Widhi, ada Atma, ada Karma Pala, ada Punarbawa, lan ada Moksa. Ibu ane kawitne uli agama len, sasukate nutug Tu Ajine magama Hindu, bisa ngrasayang ada ane mabinayan. Nanging yen runut selehin, akehan sane pateh, yadiapin mabinayan basa lan tata caranne. Sekadi pitutur Tu Ajine, „len tukad len aliran yehne, nanging makejang tetujonne patuh, ka segara agung tan patepi”. Eling ibu dugase bajang matirta yatra ngiring Tu Ajine ka pucak Gunung Rinjanine. Yeh ujane saking pucak malembah di makudang-kudang tukad. Ada ane ngajanang, nganginang, ngalodang, nanging makejang tetujonne tuah ka segara” 35
„Benar Gung Antha, tiap-tiap agam memiliki aturan kepercayaan yang disebut dengan Sradha, percaya dengan keberadaan Sanghyang Widhi, ada Atma (roh), ada Karmapala, Punarbawa (reinkarnasi), dan Moksa. Ibu yang berasal dari agama yang berbeda setelah mengikuti ayahmu yang beragama Hindu bias merasakan perbedaannya. Tetapi jika diselidiki lebih mendalam banyak kesamaannya walaupun berbeda bahasa dan penyebutannya. Sebagaimana yang dikatakan ayahmu, “beda sungai beda aliran airnya, tetapi tujuannya sama, yakni ke samudra luas. Ibu ingat ketika masih muda bersama ayahmu dalam perjalan (suci) ke Gunung Rinjani. Air hujan yang jatuh dari puncak gunung mengalir ke berbagai sungai. Ada yang ke utara, ke tikur, ke selatan, tetapi tujuannya semuanya ke laut‟.
b) Pilih-Pilih Bekul Bakat Buah Bangiang Merupakan sesonggan (pepatah) dalam budaya Bali. Pepatah ini sangat lazim digunakan dalam berkehidupan social masyarakat Bali. Menurut Tinggen (1995: 19) sesonggan berfungsi untuk mematahkan pembicaraan orang. Secara terminologis, istilah sesonggan berasal dari kata {ungguh} „duduk, tempat, tinggal‟ kemudian mendapat proses morfologis dengan konfiks {sa-} + {-an}. Selanjutnya, menjadi saungguhan lalu direduplikasi suku depan (dwipurwa) dan terjadi harmonisasi vokal menjadi sesonggan „bersekeadaan, bersekedudukan, bersepadanan, sepantun, seirama, senasib, seajal‟. Selain itu, sesonggan juga berfungsi untuk menyindir terhadap seseorang. Dalam mengartikan sebuah sesonggan memerlukan tiga tahapan, yaitu arti sejati, arti peribahasa, arti perumpamaan. Oleh karena itu, sesonggan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang Arti sejati: memilih buah bekul akhirnya mendapatkan buah bangiang. Kedua jenis buah oleh sebagian orang sudah jarang diketahui, lebih-lebih buah bangiang jarang sekali orang yang tahu. Buah bekul adalah sejenis buah yang rasanya kecut ukurannya sebesar ibu jari dewasa, pohonnya berduri, daunnya kecil-kecil. Buah ini cocok untuk asinan. Pohon ini banyak tumbuh di daerah 36
tandus seperti Bukit Jimbaran Badung. Buah bangiang adalah buah dari tanaman ilak-ilak, sejenis perdu satu kelompok dengan jahe dan bentuknya mirip dengan jahe. Buah ini tidak dapat dimakan bukan karena beracun tetapi rasanya yang sangat tidak enak. Antara buah bekul dengan buah bangiang tidak memiliki ukuran yang begitu berbeda. Arti peribahasa: seperti orang yang terlalu memilih-milih namun pada akhirnya yang didapatkan justru yang lebih jelek. Arti perumpamaan seperti berikut ini. “Saja Geg Yani, kakiang among maguyonan. Mula patut waspada yen ngalih rabi, apang madasar ben tresna sujati, boya ja kamendriane. Cara Janine liu anake luh, muani gumanti nguluk-nguluk cara raos jegege, ngulah alih aluh. Ane perluanga tuah arta branan anake dogen. Pitui suba baluan, tuanan, bocokan sing kenken.. Pokokne sugih, liu ngelah brana lakar anggon 5 M, momone ane lelima.” Pandikan Ida Pedanda sada alon. “Suyakti Ratu Pedanda. Mangkin akeh trunane sane demen dados dados gigolo, gumanti mamitra sareng baluan, istri-istrine sane tua kasepian. Yening perlu, nganten taler nyak. Asal sugih. Yen anak luh bajang ngenyakin anak tua, saking dumun sampun ketah. Sane perluanga jinah lan kemewahan. Mawinan para bangsawane akeh madue rabi.” (hal 40-41). „Benar Geg Yani, kakek hanya berseloroh. Mencari pasangan memang harus berhati-hati, harus didasari oleh cinta sejati, bukan sekadar nafsu. Zaman sekarang banyak perempuan, laki-laki suka menipu seperti katamu, cari jalan pintas. Yang dipentingkan hanyalah kekayaan saja. Walaupun sudah janda/duda, lebih tua, tidak tampan/cantik tidak apa-apa. Yang penting kaya raya, banyak punya harta untuk 5 M, ketamakan. Demikian kata Ida Pedanda perlahan.‟ “Benar Ratu Peranda. Sekarang banyak anak muda yang menjadi gigolo, yakni berselingkuh dengan janda tua yang kesepian. Bila perlu, menikah pun rela. Yang penting kaya. Kalau perempuan banyak yang menyukai lelaki tua dan itu sudah berlaku dari dulu. Yang diperlukan hanyalah uang dan kemewahan. Itulah sebabnya banyak kaum bangsawan memiliki istri‟. Demikianlah hendaknya jangan terlalu memilih sebab salah sedikit saja bisa menjadi salah pilih, yang lebih buruk lagi justru mendapatkan yang lebih jelek. Perlu diingat bahwa di era yang serba hedonis ini banyak orang yang munafik, berpura-pura, semua diukur dengan uang tanpa peduli tua atau muda, janda atau pun duda, tampan atau pun jelek. Mencari pasangan 37
memang haruslah memilih tetapi pilihan itu rasional, tidak muluk-muluk baik dari segi pendidikan, pekerjaan, yang terpenting bisa mengayomi keluarga.
Adalah nasihat yang baik dari seorang pendeta kepada Ngurah Darsana. “Nah, Ngurah Darsana, Bapa among matuinget. Ngurah ngelah oka istri buin jegeg, ngelah gegaen melah, sinah liu anake demen, mabudi nganggon rabi. Nanging, Geg Yani saja pageh ngaba raganne, enu mapilih ngalih rabi apang maanane paling melaha tur kacumpuin teken anak lingsir. Nah, cara Janine ento mula sukil. Tusing ada anak ane bagus manerus. Yen matuuh amun Geg Yanine suba antes nganten. Asal tusing ilang pasidikarane, jag rahayuang. Keto masih Geg Yani, sampunang ja bas mapilih. Yening suba cocok geginane, pendidikane jag kanggoang. Apang sing enggalan wayah. Yen wayah-wayahan tebu sayan manis. Nanging cara sesonggane “Pilihpilih bekul bakat buak bangiang”. Sapunika pandikan Ida Pedanda satmaka ica nguyonin Geg Yani”. (hal 40). „Ya, Ngurah Darsana, ayah hanya mengingatkan saja. Kamu punya anak perempuan lagi pula cantik, pekerjaannya juga bagus, pantaslah banyak orang yang suka padanya untuk dijadikan istri. Namu, Geg Yani terlalu menahan diri masih memilih-milih supaya dapat suami yang sempurna dan disetuji oleh orang tuanya. Yang demikian itu di zaman sekarang amatlah sulit. Tidak ada orang yang tampan sempurna. Jika seumur Geg Yani sudah sepantasnya menikah. Asalkan jangan sampai meninggalkan persaudaraan, segera ambil keputusan. Jika suda sesui dengan pekerjaannya, pendidikannya ambil keputusannya. Andaikan tebu semakin tua semakin enak (manis) tetapi jangan seperti pepatah “Pilih-pilih bekul bakat buah bangiang” Demikian kata pendeta sambil tertawa ringan menggoda Geg Yani.
5.2 Strategi Pengarang Strategi pengarang adalah cara pengarang untuk menyampaikan amanat yang akan disampaikan melalui karyanya itu agar bisa dipahami/ditangkap oleh pembaca. Strategi di sini menyangkut struktur karya sastra yang diperankan oleh tokoh-tokoh yang telah dipilih dan ditetapkan dalam urutan cerita. Adapun tokoh yang dimaksudkan itu baik sebagi tokoh utama (protagonis), tokoh sekunder (antagonis) maupun sampingan (tokoh pelengkap). Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi sentral terjadinya peristiwa, baik dari segi latar (tempat, waktu) sekaligus yang menentukan insiden dan pola alur. 38
Pemberian nama seorang tokoh seringkali mencerminkan watak seorang tokoh yang berfungsi untuk menghidupkan, menjiwai,atau mengindividualisasikan sehingga memungkinkan terciptanya konflik-konflik cerita (narasi) sehingga tertarik untuk membaca atau menghayatinya. Oleh karena itu, Sudjiman (1986: 58) menyatakan bahwa penokohan merupakan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra yang sesungguhnya fiktif belaka. Kehebatan seorang pengarang ketika dia (pengarang) berhasil membawa pembaca masuk ke dalam karakter tokoh-tokoh ciptaannya itu, apakah pembaca bersimpati ataukan membencinya. Untuk itulah tokoh-tokoh harus dihidupkan.
Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan bahwa
penokohan dapat menggunakan beberapa cara sehingga dapat terungkap oleh (i) tindakannya, (ii) ujarannya, (iii) pikirannya, (iv) penampilan fisiknya, (v) apa yang dikatakan atau dipikirkan oleh tokoh cerita. Saad (1967: 11) mengatakan bahwa ada tiga cara dalam menampilkan penokohan dalam karya sastra. Pertama, cara analitik, yakni pengarang memaparkan langsung tentang watak atau karkteristik tokoh dengan menyebutkan bahwa apakah tokoh itu keras hati, keras kepala, berhati lembut, dan sebagainya. Dalam hal ini, pengarang turut campur dalam melukiskan tokoh-tokohnya. Kedua, cara dramatik, yakni pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan, menyatakan apa yang ada pada dirinya melalui ucapan, komentar, atau melalui penilaian tokoh lain. Ketiga, gabungan analitik dengan dramatik, yakni pengarang menampilkan tokohtokohnya secara analitik sekaligus dramatik, atau sebaliknya.
(1) Novel Gending Pengalu Karya Nyoman Manda Sebagaimana yang telah disajikan dalam sinopsis dengan jelas dapat diketahui bahwa tokoh utamanya adalah Nyoman Sadia. Sebagai tokoh utama, 39
profesi seorang Sadia dijadikan judul novel ini, yakni sebagai seorang pangalu. Istilah pangalu ini merupakan merujuk pada profesi seorang pedagang keliling. Sebagai tokoh utama, dibutuhkan tokoh sekunder seorang gadis bernama Luh Widi. Kehidupan tokoh utama seorang Sadia dilukiskan dari bujang sampai menikah dengan Luh Widi dengan setting kehidupan tempo dulu ketika berdirinya kerajaan Gianyar. Kehidupan Sadia sebagai pedagang keliling membawanya bertemu dengan Luh Widi berlanjut dengan jalinan kisah kasih di antara mereka berdua dan akhirnya membawa mereka ke jenjang pernikahan. Sadia sebagai tokoh utama, tentu berperan sangat sentral dalam pola cerita. Munculnya tokoh antagonis seperti Bantar, seorang pemuda pemabuk yang cukup kaya di desanya menguatkan citra Sadia sebagai sosok idaman seorang gadis. Selain memiliki etos kerja yang tinggi, Sadia juga seorang tampan, tulus, serta berbakti pada Tuhan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tampilan tokoh dan penokohannya dilakukan secara implisit. Pembaca dibiarkan mencari pemahamannya sendiri untuk dapat mengenali dan memahami karakterkarakter dalam cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan pengarang adalah dramatic. Sebagaimana nama tokoh utama, Nyoman Sadia, istilah sadia artinya „bahagia, berhasil‟ adalah seorang yang sangat percaya kepada Tuhan / Sanghyang Widhi Wasa (Hindu), di pihak lain Luh Widi, pacar Sadia dan kelak menjadi istrinya, juga orang baik dan taat beragama. Ungkapan di masyarakat seperti “usaha tanpa doa adalah sia-sia” adalah benar adanya sebagimana yang diisyaratkan dalam novel ini. Seorang pedagang keliling dengan usahanya tanpa kenal lelah akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Luh Widi, yang menjadi inspirator dan penyemangatnya.
(2) Novel Nembangang Sayang Karya Nyoman Manda 40
Novel ini menampilkan tokoh utama Wayan Landra dan Putu Arini serta beberapa tokoh sekunder seperti Gung Wirati, Dewa Raka, Gung Ratih. Sebagaimana telah disajikan dalam sinopsis, kedua tokoh utama ini menjalin kisah asmara yang romantis. Tokoh Landra digambarkan secara dramatik oleh pengarang sebagai seorang pemuda yang kalem dan ramah melalui ucapan pacarnya. Hal ini bisa dilihat dalam kutipan berikut. “Gung Wirati ngusap-usap anak bagus kalem di sampingne” (hal. 98). Pengarang beberapa kali menggambarkan Landra dengan sebutan “kalem”
dalam berbagai peristiwa, misalnya saat akan melakukan
pengibaran bendera merah putih (hal 6). Demikian juga dengan ciri fisik Landra tidak diungkapkan secara terang oleh pengarang, hanya secara sosiologis digambarkan sebagai kolektor lukisan di Ubud yang sangat terkenal. Penggambaran tokoh Arini tidaklah sebanyak penggambaran tokoh Landra walaupun Arini sesungguhnya juga sebagai tokoh utama (protagonis).
Namun,
secara tekstual dapat dikatakan bahwa tokoh Arini dimunculkan secara dramatik. Tidak ditemukan penggambaran fisik dan karakter secara gamblang. Keceriaan Arini yang masih berstatus seorang pelajar SMA adalah wajar. Kelembutan hati Arini digambarkan ketika menasihati Landra agar hati-hati mengendai
mobil karena
tanjakan di seputaran Bedugul (hal 61).
(3) Novel-Novel Djelantik Santha: Gita Ning Nusa Alit, dan Suryak Suung Mangmung). Kedua novel Djelantik Santha ini merupakan bagian dari trilogis novel yang diawali oleh Sembalun Rinjani. Antara novel Gita Ning Nusa Alit dengan novel Suryak Suung Mangmung berisikan masa kehidupan berumah tangga dengan berbagi 41
macam lika-likunya. Kedua novel tersebut masih mempertahankan I Gusti Ngurah Darsana, seorang pegawai bank, dan Ratna Dumilah (semasa bujang bernama Lale Dumilah), seorang gadis Sasak, akhirnya mereka menjadi suami istri yang serasi. Tampilan sosok Ngurah Darsana adalah idaman setiap gadis, perangainya lemah lembut, rendah hati, sabar, cerdas, perhatian, bertanggung jawab, beriman, dan suatu saat bisa juga santai melucu. Sesuai namanya, Darsana, dalam kosa kata Bali berarti „contoh, teladan‟ (Kamus Bali-Indonesia, 1978: 145).
Secara tekstual, karakter
Ngurah Darsana seperti itu membuat dia disegani baik di kantor maupun di rumah. Sosok Ngurah Darsana selalu menjadi kunci pemecahan masalah, menjadi tempat untuk minta nasihat, dan sebagainya. Tokoh utama Ratna Dumilah
yang sebelumnya beragama Islam setalah
menikah memeluk Hindu sesuai keyakinan Ngurah Darsana. Nama Ratna Dumilah secara tekstual juga menunjukkan karakter yang jujur, cantik, bersahaja, tepat menjadi penyeimbang dengan karakter Ngurah Darsana. Dalam budaya Bali kata “ratna”
berarti „bunga ratna, mutiara‟; dumilah
berarti „bercahaya, berkobar,
memancar, bersinar‟ (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 1998:
218). Perubahan
keyakinan yang awalnya Islam seorang Lale Dumilah menjadi Ratna Dumilah yang menjadi Hindu adalah contoh yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Saling mengisi, toleran, suami menghargai istri, sebaliknya istri member rasa hormat dan penuh pengabdian. Secara tekstual karakter Ngurah Darsana disajikan secara dramatik. Pembaca dipersilakan bebas untuk memahami Darsana dan juga karakter Ratna Dumilah yang diwujudkan dalam alur cerita yang rapat mulai awal cerita sampai akhir cerita. Karakter-karakter Ngurah Darsana sebagai tokoh idola dapat pula disimak melalui
42
penilaian tokoh lain (sekunder) sehingga pembaca lebih mudah untuk memahaminya. Berikut salah satu kutipannya. “Saja Denda. Tegarang pidenin. Amonto makelonne iraga gradag-grudug dini. Kaden Tu Ngurah sing taen culig macanda kaliwatan teken iraga. Apa buin ngalemesin. Enggalan iraga ane tusing tahan, bilang maekin raganne.”…. “Ooh, saja Luh.Tiang masih marasa buka keto. Tambis-tambis tiang tusing tahan ngerasayang apang nyidang nuduk ulungan tresnanne Tu Ngurah. Sawireh caran raganne matimpal ngajak iraga makejang patuh. Yapin teken Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama. Nganti tiang nyerah kalah”….. (Gita Ning Nusa Alit: 3). Terjemahannya: “Benar Denda (Ratna Dumilah). Cobalah pikiran. Demikian lama kita bergaul di sini. Rasanya Tu Ngurah (Darsana) tidak pernah kelewatan bercandanya. Apalagi merayu. Justru kita yang tidak tahan bila dekat dengannya”. “Oh ya, benar Luh. Saya juga merasakan demikian. Hampir tidak tahan saya rasanya agar dapat mendengar kata cinta darinya. Hal itu karena caranya berteman semuanya sama. Baik terhadap Gek Sri, Luh Ade, Luh Purnama”.
Kutipan di atas adalah percakapan antara Ratna Dumilah ketika masih gadis dengan teman kosnya Luh Purnama. Tersirat betapa bijaknya seorang Ngurah Darsana karena dia tidak mau menyatakan cintanya kepada Ratna Dumilah dan bila hal itu dilakukan akan menyakiti perasaan Luh Purnama (yang juga jatuh cinta pada Ngurah Darsana). Ngurah Darsana sadar betul di antara mereka berdua, Ratna Dumilah dengan Luh Purnama adalah sahabat karib.
Dalam novel Suryak Suung Mangmung berisikan kehidupan rumah tangga memasuki tahap akhir ketika Ngurah Darsana mulai pensiun dan pulang kembali ke kampung halamannya di Desa Badeg Selat Karangasem. Dalam tahap ini karakter Ngurah Darsana semakin arif demikian juga istrinya Ratna Dumilah. Mereka berdua rajin bermasyarakat dan juga melakukan persembahyangan ke pura-pura yang sejak lama tidak pernah dijalaninya. Pembelajarannya terhadap ajaran agama semakin 43
diperdalam sehingga keyakinnya semakin bertambah juga. Disadari betul bahwa semakin tua memang harus semakin bijak dan mulai mendekatkan diri pada Tuhan. Peristiwa demi peristiwa disajikan secara terstruktur mulai awal cerita sampai akhir. Perannya sebagai sosok teladan ditunjukkan dengan baik oleh pengarang. Demikianlah deskripsi Ngurah Darsana dan istrinya Ratna Dumilah digambarkan secara implisit melalui alur cerita dan peristiwa-peristiwa yang melukiskan karakteristik ideal kehidupan berumah tangga. Dari
uraian
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
pengarang dalam
menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit. Bilamana nama-nama tokoh
yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang
direpresentasikan dalam cerita maka pengarang memilih dengan cara impisit atau dramatik. Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak mengandung makna karakter dalam cerita, pengarang lebih memilih cara analitik. Namun demikian, kedua cara ini tidak mutlak diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan secara bergantian.
44
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan Berdasarkan uraian analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini. 1) Novel Nemoe Karma karya I Wajan Gobiah mengajarkan konsep kearifan lokal tentang ajaran Tri Kaya Parisudha sebagai konsep sinergitas dalam mengambil keputusan dalam sebuah pernikahan. 2) Novel Gending Pengalu
berisikan tentang etos kerja
seorang perantau
bahwa kerja keras akan memberikan hasil yang memuaskan 3) Novel Nembangang Sayang karya Nyoman Manda mengajarkan tentang juga tentang konsep Tri Hita Karana dan bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. 4) Novel Suryak Suung Mangmung mengajarkan kearifan tentang
mulat
sarira/eling dan ungkapan budaya Bali sesonggan“pilih-pilih bekul bakat buah bangiang”, yakni memilih sesuatu khususnya pasangan hidup harus tepat. 5) Novel Gita Ning Nusa Alit mengajarkan kearifan tentang spirit pemersatu, patriotis salunglung sobayantaka „sehidup semati‟ 6) Dari segi struktur yang menyangkut teknik pengarang dalam menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita, dapat disimpulkan bahwa pengarang dalam menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita dilakukan secara implisit bilamana nama-nama tokoh
yang dihadirkan itu sesuai dengan karakternya yang
direpresentasikan dalam cerita (cara dramatik). Sebaliknya, bila nama-nama tokoh tidak mengandung makna karakter dalam cerita, pengarang lebih memilih cara analitik.
Namun demikian, kedua cara ini tidak mutlak 45
diterapkan, di sana-sini secara parsial kedua cara ini digunakan secara bergantian. Restorasi kearifan lokal Bali tersebut di atas harus dimaknai kembali, diperkuat,
dipertajam,
diaplikasikan
selanjutnya
diharapkan
dapat
memperkuat budaya Bali sebagai identitas dan jati diri orang Bali.
4.2 Saran Kearifan-kearifan lokal tersebut di atas senantiasa dapat dijadikan panduan dalam perilaku sosial sehari-hari sehingga apa yang dicita-citakan Bali ajeg, Bali lestari, Bali yang berbudaya dapat dapat diwujudkan dan diwariskan dari generasi sekarang ke generasi yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha nyata melalui penelitian-penelitian secara berkelanjutan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Alaini, Nining Nur. 2015.Tradisi Lisan Kecimol: Upaya Penguatan Jatidiri Bangsa Melalui Kearifan Lokal” (Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu VIIIdi Denpasar tanggal 20-21 Februari 2015). Anonim. 1988. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap AspekAspek Agama Hindu I-XIV. Denpasar: Peradah Indonesia Komisariat Kec Kuta. Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Ombak. Apriani, Ni Nyoman. 2009. “Novel Suryak Suung Mangmung Karya Djelantik Santha: Pendekatan Sosiologi Sastra” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali Univ. Udayana. Genua, Veronika. 2013. “Nilai Kehidupan dalam Legenda Rendo Rate Rua sebagai Jatidiri Masyarakat Kabupaten Ende NTT (Prosiding Seminar Internasional Austronesia 2013 ISBN978-602-776-70-8). Hardiningtyas, Puji Retno. 2013. “Warna Lokal Kumpulan Cerpen Mandi Api: Upaya Regulasi Budaya Bali di Tengah Arus Globalisasi” (Prosiding Seminar Nasional Bahasa Ibu VII ISBN 978-60-7776-89-0). Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Oktavianus. 2015. “Nilai Budaya dalam Peribahasa dan Revolusi Mental” (Prosiding Seminar Bahasa Ibu VIII di Denpasar tgl 20-21 Februari 2015). Pamuntjak, K.St, N.St. Iskandar, A.Dt. dan Madjaindo. 2004. . Peribahasa. Jakarta: Balai Pustaka. Parasari, Cok Istri Anik. 2010. “Novel Gending Pengalu Karya Nyoman manda: Analisis Struktur” (Skripsi). Denpasar: Prodi Sastra Bali Univ Udayana Putra, I Nyoman Darma. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
47
Saad, M. Saleh. 1967. “Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan: Sebuah Catatan Kecil” (dalam Lukman Edi (ed) Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Sukasta, 1996. “Konflik Psikologis dalam Novel Mlancaran ka Sasak Suatu Pendekatan Psikologi Sastra. (Skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Unud. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penulis. 1984. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tinggen, I Nengah. 1995. Aneka Rupa Paribasa Bali. Singaraja: Rhineka
48
LAMPIRAN INFORMAN Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: Ni Luh Made Suardhiyani :P : Tangkas Klungkung/ 26-8-1985 : Hindu : Sarjana : Jl. Tukad Citarum Gg VII 5A. : Ida Ayu Nym. Manuastiti :P : Klungkung/ 15-3-1989 : Hindu : Sarjana : Desa Pesangkan Anyar Desa Duda Timur Kec. Selat Karangasem
Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: Ida Bagus Suarcana :L : Denpasar/ 10-6-1989 : Hindu : Sarjana : Br. Sintig Sibangkaja, Abiansemal, Badung
Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: I Made Bagiastra :L : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar/ 20-2-1995 : Hindu : Mahasiswa : Br. Gelogor Lodtunduh Gianyar
Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: Ida Bagus Acarya Sakayana :L : Gianyar/ 18-11-1994 : Hindu : Mahasiswa : Br. Ceboong, Desa Serongga, Gianyar
Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: Putu Sosiawan :P : Kayuputih, 1-9-1991 : Hindu : Sarjana : Dusun Bolangan Desa Kayuputih Buleleng
Nama Jenis Kelamin
: Ni Putu Aristia Ulandari :P 49
Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: Denpasar/ 28-3-1992 : Hindu : Sarjana : Jl. Tukad Balian Gg 43 No 1 Renon Denpasar
Nama Jenis Kelamin Tempat/Tanggal Lahir Agama Pendidikan Alamat
: I Made Bagiastra :P : Denpasar/ 13-5-1995 : Hindu : SMA : Jl. Kenyeri Gang Pucuk No 2 Denpasar
50