PENGARUH VARIABEL PENERIMAAN DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL (STUDI PADA KABUPATEN/KOTA DI KALIMANTAN TIMUR)
Disusun Oleh : Ilham Sukma Yadia NIM. 125020304111021 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
2
PENDAHULUAN Dewasa ini organisasi sektor publik sering digambarkan tidak produktif, tidak efektif dan efisien, kurang inovasi, serta banyak penyimpangan lainnya. Gambaran ini sangat merugikan mengingat fakta lain bahwa organisasi sektor publik merupakan penyelenggara tugas untuk kepentingan masyarakat. Buruknya pengelolaan organisasi sektor publik memunculkan kritik keras sehingga mendorong terjadinya reformasi sektor publik di berbagai Negara. Dengan adanya reformasi sektor publik, diharapkan dapat membentuk oraganisasi sektor publik yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik atau biasa disebut dengan good governance. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan pengelolaan yang sesuai dengan best practice dan sesuai dengan Undang Undang Dasar dan asas asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negera. Kuncoro (2004) dalam Arwati dan Hadiati (2013) menyatakan bahwa pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut. Guna menyelenggarakan pelayanan publik di daerah, pemerintah daerah menggunakan alokasi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislative) untuk kemudian ditetapkan dalam peraturan daerah. APBD ini nantinya akan menjadi alat legislative untuk mengawasi pelaksanaan anggaran yang dilakukan oleh pihak eksekutif. Mardiasmo (2002) dalam fauzi (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Alexiou (2009) pada sugiarthi dan Supadmi (2014) menyatakan bahwa belanja modal pemerintah dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Direktorat Jenderal Keuangan Daerah (2013) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus menghimbau kepada pemerintah daerah agar persentasi belanja modal terus ditingkatkan sebesar 30 persen. Persentasi itu bahkan lebih tinggi dua persen daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen. Sayangnya, masih banyak pemda yang merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut. Pemberian kewenangan terhadap Pemerintah Daerah tentunya disertai dengan pemberian sumber pendanaan berupa penerimaan daerah. Penerimaan daerah ini diharapkan dapat memenuhi semua belanja yang dikeluarkan oleh
3
pemerintah daerah terkait dengan pemberian pelayanan publik. Penerimaan daerah pada pelaksanaan desentralisasi menurut UU 33 tahun 2004 terdiri dari Pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan daerah menurut PP 70 tahun 2010 terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan lain lain pendapatan yang sah. Sedangkan pada pembiayaan terdiri dari Sisa lebih Perhitungan Anggaran Daerah (SiLPA, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan. Penggunaan untuk PAD dan Pendapatan transfer diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan perencanaan pembangunan Pemerintah Pusat. Sedangkan untuk Pendapatan lain lain yang sah disesuaikan dengan pemberi pendapatan. Pada kondisi desentralisasi fiskal, PAD idealnya merupakan sumber pendanaan utama yang memberikan kontribusi positif bagi penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun menurut Halim (2009) dalam Budiarti (2013) menyatakan bahwa PAD belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Penelitian oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan penelitian oleh Farid (2010) menunjukkan bahwa PAD justru tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Pendapatan transfer terdiri dari Dana perimbangan, dan transfer pemerintah pusat lainnya. Untuk pemerintah daerah kabupaten/Kota ditambahkan dengan pendapatan transfer dari pemerintah provinsi. Dana ini merupaka konsekuensi dari adanya pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Penggunaan Dana Perimbangan selain DAK dan Pendapatan transfer dari pemerintah provinsi diserahkan penggunaannya kepada Pemerintah Daerah. Sedangkan DAK dan transfer pemerintah pusat lainnya biasanya penggunaan telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Namun dalam pelaksanaan belanjanya tetap masih harus dimasukkan ke dalam APBD, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi Belanja atas APBD tersebut. Penelitian oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa DAU dan DAK sebagai salah satu komponen Pendapatan transfer berpengaruh positif terhadap belanja modal. Sedangkan penelitian oleh Andian (2012) menunjukkan bahwa Dana Perimbangan tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Lain lain pendapatan yang sah berupa Pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dan pendapatan lainnya. Penggunaan untuk pendapatan ini biasanya sudah diatur sebelum penerimaannya. Namun dalam pelaksanaan belanjanya tetap harus dimasukkan ke dalam APBD , sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi belanja atas APBD tersebut. Penerimaan pembiayaan terdiri dari penggunaan Sisa lebih perhitungan anggaran daerah tahun sebelumnya, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan. Penerimaan dari pembiayaan ini biasa digunakan untuk menutupi deficit anggaran yang terjadi. Sehingga dapat di asumsikan bahwa penerimaan pembiayaan berpengaruh
4
terhadap belanja pada APBD tersebut. Penelitian sebelumnya oleh Kusnandar dan Dodik Siswantoro (2012) menemukan bahwa SiLPA sebagai komponen utama penerimaan pembiayaan berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan penelitian erlis dan ethika (2013) menemukan bahwa Silpa Tahun sebelumnya sebagai salah satu komponen terbesar dari penerimaan pembiayaan menemukan bahwa SILPA berpengaruh signifikan negative terhadap Belanja modal. Penelitian penelitan sebelumnya hanya menggunakan sebagian dari penerimaan daerah menurut UU 33 Tahun 2004 sebagai objek penelitian. Tetapi penelitian ini mencoba memasukkan semua penerimaan daerah sebagai variabel penelitian yang meliput PAD, Pendapatan Transfer yang meliputi Dana perimbangan, transfer pemerintah pusat lainnya, dan Transfer dari pemerintah provinsi, Lain lain pendapatan yang sah dan penerimaan pembiayaan. Variabel penelitian ini diambil berdasarkan klasifikasi pendapatan daerah pada PP nomor 70 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Pemisahan variabel pada pendapatan transfer untuk mengetahui variabel paling dominan dalam pendapatan transfer tersebut. Penelitian ini juga mengambil periode penelitian yang berbeda yaitu tahun 2009-2013 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: (1)Apakah terdapat pengaruh PAD terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur; (2)Apakah terdapat pengaruh Dana Perimbangan terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur; (3)Apakah terdapat pengaruh Transfer Pemerintah Pusat lainnya terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur; (4)Apakah terdapat pengaruh Transfer Pemerintah Provinsi terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur; (5)Apakah terdapat pengaruh Lain lain pendapatan yang sah terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur; (6)Apakah terdapat pengaruh penerimaan pembiayaan terhadap belanja modal di kabupaten/Kota di Kalimantan Timur Penelitian ini untuk memperkaya kajian mengenai akuntansi sektor publik dalam hal pengelolaan keuangan daerah khususnya mengenai pengaruh PAD, Dana perimbangan, transfer pemerintah pusat lainnya, transfer pemerintah provinsi, lain lain pendapatan yang sah dan pembiayaan terhadap belanja modal. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Semenjak era reformasi, Indonesia mulai memasuki era desentralisasi sebagai salah satu bentuk tata kelola pemerintahan yang baik. Koesoemahatmadja (1978) dalam Djaenuri (2012) menyatakan bahwa desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus urusan rumah tangganya sendiri (daerah otonom), desentralisasi adalah juga cara atau system untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberiksan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan Negara. Keuntungan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi menurut Djaenuri (2012) diantaranya: (a)Memberi penilaian yang lebih tepat
5
terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam; (b)Meringankan beban pemerintah karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin pula mengetahui sedalam dalamnya kebutuhan tersebut sebaik baiknya. Daerahlah yang mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan daerah dan bagaimana memenuhinya; (c)Menghindari adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat yang disebabkan oleh tunggakan kerja; (d)Pada desentralisasi, unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang luas; (e)Pada desentralisasi, masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, bukan hanya sebagai objek; (f)Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan control terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah. Sehingga dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna. Menurut Rondinelli (1981) dalam oktarida (2012) menyatakan bahwa desentralisasi dapat didefinisikan sebagai transfer wewenang atau kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen, dan pembuatan keputusan dari level nasional ke level sub nasional atau secara umum dari level yang tinggi ke level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Atau dengan kata lain desentralisasi merupakan bagi bagi kewenangan dari yang sebelumnya kewenangan tersentralisasi di Pemerintah Pusat, maka kewenangan ini di desentralisasikan kepada Pemerintah Daerah. Kewenangan ini tidak hanya terkait dengan urusan politik, namun juga terkait urusan administrasi. Saragih (2003) dalam Puspitawati (2008) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dalam pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Desentralisasi secara keseluruhan ini diharapkan dapat membentuk Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien dalam menyelenggarakan pelayanan publik karena dekatnya kekuasaan dengan masyarakat. Khusaini (2006) dalam Puspitawati (2008) mengemukaan bahwa pengeluaran publik terutama penyediaan infrastruktur bagi masyarakat akan lebih efektif bila dilakukan oleh pemerintah daerah karena akan lebih mengetahui apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat local. Lebih lanjut, pelaksanaa desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan adanya kewenangan Pemerintah Daerah dalam menerima PAD secara mandiri. Selain itu, pemerintah daerah juga masih mendapatkan pendapatan transfer sebagai alat pengimbang antar daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, tentunya diperlukan sebuah instrument dalam menjalankannya. Instrument yang digunakan yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD mempunyai peranan penting dalam perencanaan, implementasi, dan pengendalian kinerja pemerintah daerah dalam 1 (satu) periode. APBD memuat segala bentuk penerimaan dan pembiayaan daerah dalam bentuk moneter atau rupiah. APBD seharusnya dapat
6
mengakomodir seluruh kebutuhan-kebutuhan suatu daerah namun di sisi lain juga tidak membebani secara berlebihan daerah yang bersangkutan. Untuk itu APBD harus disusun dengan memperhatikan aspek ekonomis, efisiensi, dan efeftivitas. Lebih lanjut, Undang undang nomor 17 tahun 2003 menjelaskan fungsi APBD yang meliputi: (1)Fungsi Otorisasi, (2)Fungsi Perencanaan, (3)Fungsi Pengawasan, (4)Fungsi Alokasi, (5)Fungsi Distribusi, (6)Fungsi Stabilisasi, Struktur pendapatan daerah dan pembiayaan berdasarkan PP 70 Tahun 2010 terdiri dari:(1)Pendapatan Daerah, berupa :(i)Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti Pendapatan Pajak Daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, Lain lain PAD yang sah; (ii)Pendapatan Transfer seperti Transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan, Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya, Transfer Pemerintah Provinsi; (iii)Lain-lain pendapatan yang sah; dan (2)Penerimaan Pembiayaan berupa Penggunaan SiLPA, Pencairan Dana Cadangan, Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Pinjaman, Penerimaan Kembali Pinjaman Simanjuntak (2012) dalam Sujarwo (2013) berpendapat bahwa alasan yang mendukung diselenggarakannya transfer dari pusat ke daerah diantaranya meliputi: (a)Transfer dari pemerintah pusat memiliki peranan yang penting untuk mengatasi masalah kesenjangan fiskal vertical (vertical fiskal imbalance). Penerimaan daerah yang rendah guna membiayai seluruh keperluan daerah menuntut adanya bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk transfer; (b)Transfer dari pemerintah pusat juga berperan penting untuk mengurangi terjadinya ketimpangan horizontal (horizontal fiskal imbalance). Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki kemampuan dalam menghimpun pendapatan yang sanagt bervariasi. Sehingga diperlukan adanya transfer dari pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpanagan tersebut; (c)Transfer pemerintah pusat ke daerah turut berperan untuk menjamin dan menjaga agar Standar Pelayanan Minimal (SPM) di setiap daerah terpenuhi; (d)Pendapatan transfer juga berperan penting untuk memberikan pelayanan publik yang bersifat inter-jurisdictional spillover effects. Karena pelayanan publik pada suatu daerah mungkin akan menimbulkan eksternalitas terhadap daerah atau wilayah lainnya; (e)Transfer pemerintah pusat juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menjaga stabilitas pemerintahan. Berdasarkan jenis pendapatannya, pendapatan transfer untuk pemerintah daerah kabupaten/kota diklasifikasikan atas transfer pemerintah pusat-dana perimbangan, transfer pemerintah pusat-lainnya, dan transfer pemerintah provinsi. Secara umum, pendapatan transfer-dana perimbangan terdiri dari: (a)Dana Alokasi Umum (DAU), (b)Dana Alokasi Khusus (DAK), (c)Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pajak), (d)Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA). Pendapatan transfer-lainnya merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah selain dana perimbangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Contoh pendapatan daerah yang dikategorikan dalam pendapatan transfer-lainnya seperti dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Pendapatan transfer pemerintah provinsi merupakan pendapatan daerah kabupaten/kota yang bersumber dari APBD provinsi dalam rangka pelaksanaan
7
Desentralisasi. Pendapatan transfer pemerintah provinsi meliput pendapatan bagi hasil pajak dan pedapatan bagi hasil lainnya. Pendapatan bagi hasil pajak pemerintah provinsi merupakan bagi hasil pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak provinsi. Lain lain pendapatan yang sah merupakan pendapatan yang dianggarakan oleh pemerintah daerah yang meliputi pendapatan hibah, pendapatan dana darurat dan pendapatan lainnya yang tidak dapat didefinisikan sebagai pendapatan selain yang dijelaskan sebelumnya sesuai dengan peraturang perundang-undangan. PP 71 Tahun 2010 menjelaskan bahwa pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup deficit atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan rekening kas umum Negara/daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan Negara/daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada fihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya, dan pencairan dana cadangan. Pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut digunakan untuk melaksanakan kewenangannya dan menyelenggarakan pelayanan publik di daerahnya. Klasifikasi ekonomi belanja daerah menurut PP 71 Tahun 2010 terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan social, dan belanja tak terduga. Belanja modal merupakan belanja pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka melaksanakan kewenangannya berupa pelayan publik. Dengan tersediaanya sarana dan prasarana yang baik yang dibiayai dari anggaran belanja modal, diharapkan dapat mendukung terciptanya efesiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan di berbagai sektor. Dengan terciptanya kondisi yang efektif dan efesien tersebut akan mendorong semakin tingginya produktifitas masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pembangunan sarana dan prasarana pada sektor pelayanan publik akan merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan bersemangat dalam bekerja karena ditunjang dengan fasilitas yang memadai, selain itu para investor juga akan tertarik untuk mengembangkan usahanya pada daerah tersebut karena kemudahan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah Daerah. Dengan meningkatnya produktifitas masyarakat dan tingginya minat investor untuk mengembangkan usahanya di daerah, maka diharapkan roda perekonomian akan bergerak semakin cepat dan akan merangsang pembangunan di daerah tersebut, sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat. Mardiasmo (2002) dalam fauzi (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Penelitian Terdahulu Yustikasari dan Darwanto (2007) meneliti tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
8
Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2004-2005. Hasil penelitian membuktikan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, PAD, dan DAU berpengaruh secara signifikan terhadap variabel belanja modal. Sedangkan secara parsial menyimpulkan bahwa hanya PAD dan DAU yang berpengaruh positif terhadap belanja modal dalam APBD. Askam Tuasikal (2008) meneliti tentang Pengaruh DAU, DAK, dan PDRB terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah di Indonesia. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2005. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa secara simultan DAU, DAK, dan PDRB berpengaruh terhadap belanja modal. Sedangkana secara parsial menunjukkan bahwa DAU, DAK, dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal. Mulia Andirfa (2009) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Sampel Yang diambil yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2005-2009. Hasil penelitian membuktikan bahwa Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah berpengaruh terhadap belanja modal Ricky Andian (2012) meneliti tentang Pengaruh PAD, Dana Perimbangan, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2009. Hasil penelitian membuktikan bahwa PAD dan Dana Perimbangan berpengaruh secara parsial terhadap belanja modal. Kusnandar dan Dodik Siswantoro (2012) meneliti tentang Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap belanja modal. Sampel yang digunakan yaitu 292 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2011. Hasil penelitian membuktikan bahwa DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah berpengaruh terhadap belanja modal daerah. Secara parsial PAD, SiLPA dan berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal, sedangkan DAU berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap belanja modal. Perbedaan penelitian ini denga beberapa penelitian sebelumnya terletak pada variabel Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya, variabel Pendapatan TransferProvinsi, Variabel Lain-Lain Pendapatan yang Sah, Variabel Penerimaan Pembiayaan, waktu dan objek penelitian. Dengan demikian penelitian ini akan menguji apakah PAD, Pendapatan Transfer Pusat-Dana Perimbangan, Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya, Pendapatan Transfer Provinsi, Lain-lain Pendapatan yang Sah, dan Penerimaan Pembiayaan berpengaruh terhadap anggrana belanja modal baik secara parsial maupun simultan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dibuat sebuah model penelitian yang dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Penelitian
9
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Transfer Pusat-Dana Perimbangan
Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya
Belanja Modal
Pendapatan Transfer Provinsi Lain-lain pendapatan yang Sah
Penerimaan Pembiayaan
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu penyumbang nilai pendapatan daerah yang secara murni berasal dari kemampuan daerah itu sendiri tanpa campur tangan dari pemerintah pusat. Sebagai salah satu unsur penyumbang pendapatan daerah, nilai Pendapatan Asli Daerah akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan dimana salah satunya dialokasikan sebagai Belanja Modal. Penelitian dari Tuasikal (2008) dan Ricky Andian menemukan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Berdasarkan bukti empiris tersebut, disimpulkan bahwa PAD mempengaruhi pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja modal. Berdasarkan penjabaran diatas, maka penulis mengambil hipotesis pertama sebagai berikut: H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal Dana perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), DBH Pajak, dan DBH SDA. Penelitian Mulia Andirfa (2009) menemukan bahwa secara parsial, dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Berdasarkan penjabaran tersebut maka penulis mengambil hipotesis kedua sebagai berikut:
10
H2 : Pendapatan Transfer Pusat-Dana Perimbangan berpengaruh terhadap belanja modal Pendapatan transfer-lainnya merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah selain dana perimbangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Contoh pendapatan daerah yang dikategorikan dalam pendapatan transfer-lainnya seperti dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Kendati peruntukannya diatur khusus dalam peraturan perundangan, namun pendapatan transfer pusat lainnya ini dan peruntukan belanjanya tetap harus direalisasikan dalam APBD. Hal ini tentunya dapat disimpulkan bahwa pendapatan transfer pusat lainnya berpengaruh terhadap pengalokasian belanja daerah, termasuk belanja modal. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis mengambil hipotesis ketiga sebagai berikut: H3 : Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya berpengaruh terhadap belanja modal Pendapatan transfer pemerintah provinsi merupakan pendapatan daerah kabupaten/kota yang bersumber dari APBD provinsi dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Pendapatan transfer pemerintah provinsi meliputi pendapatan bagi hasil pajak dan pedapatan bagi hasil lainnya. Berdasarkan penjabaran tersebut maka penulis mengambil hipotesis keempat sebagai berikut: H4 : Pendapatan Transfer Provinsi berpengaruh terhadap belanja modal Lain lain pendapatan yang sah merupakan pendapatan yang dianggarakan oleh pemerintah daerah yang meliputi pendapatan hibah, pendapatan dana darurat dan pendapatan lainnya yang tidak dapat didefinisikan sebagai pendapatan selain yang dijelaskan sebelumnya sesuai dengan peraturang perundangundangan.Penelitian oleh Mulia Andirfa (2009) menemukan bahwa Lain-lain pendapatan yang sah berpengaruh terhadap belanja modal. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka penulis mengambil hipotesis kelima sebagai berikut: H5 : Lain-lain pendapatan yang sah berpengaruh terhadap belanja modal Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup deficit atau memanfaatkan surplus anggaran. Menurut Kusnandar dan Siswantoro (2013), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang merupakan komponen terbesar dari Penerimaan pembiayaan berpengaruh terhadap belanja modal. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mengambil hipotesis keenam sebagai berikut: H6: Penerimaan pembiayaan berpengaruh terhadap Belanja Modal
11
METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menguji hipotesis, yaitu apakah variabel variabel dalam penerimaan daerah berpengaruh terhadap belanja modal. Sekaran (2013) menyatakan bahwa pengujian hipotesis biasanya menjelaskan sifat hubungan tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Timur yang terdiri dari sepuluh Kabupaten dan empat kota. Sample dari penelitian ini yaitu seluruh kabupatan/kota di Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 2009-2013. Data yang diambil menggunakan total sampling sehingga jumlah n sebanyak 70 (14 X 5) Data sekunder pada penelitian ini bersumber dari Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LHP LKPD) Kabupaten/Kota di Kalimantan TImur yang diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan LHP LKPD tersebut diperoleh data mengenai jumlah variabel penerimaan daerah dan belanja modal. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan satu variabel dependent yaitu nilai belanja modal yang disimbolkan sebagai Y dan menggunakan 5 variabel independen yaitu berupa Pendapatan Asli Daerah yang disimbolkan dengan X1, pendapatan transfer-dana perimbangan yang disimbolkan dengan X2, pendapatan transfer pusat-lainnya yang disimbolkan dengan X3, pendapatan transfer provinsi yang disimbolkan dengan X4, Lain-lain pendapatan yang sah yang disimbolkan dengan X5, dan penerimaan pembiayaan yang dsimbolkan dengan X6. Statistik deskriptif digunakan untuk mengungkap gambaran data secara deskriptif yaitu dengan cara menginterpretasikan hasil pengolahan data nominal empirik dan deskripsi data seperti Minimum, Maximum, mean, median dan standar deviasi guna mengetahui keadaan data berdasarkan hasil penelitian. Hasil analisis deskriptif berguna untuk mendukung interpretasi terhadap hasil analisis dengan teknik lainnya. Metode analisis yang digunakan untuk membuktikan hipotesa adalah metode statistik regresi linier berganda. Analisis regresi bertujuan untuk mencari adanya hubungan antara variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen. Nilai alpha atau tingkat kepercayaan pada pengujian ini menggunankan nilai 0,05 Sebelum masuk ke regresi linier berganda, data harus diuji asumsi klasik terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar memenuhi syarat. Perhitungan analisis data seluruhnya akan dibantu dengan menggunakan teknologi komputer dan program SPSS for windows. Tahaptahap pengujian yang dilakukan dalam analisis regresi linier masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut: (a)Uji Normalitas, Alat uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah normal probability plot dan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. (b)Uji multikolinearitas, metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dalam penelitian ini yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF). (c) Uji heteroskedasdisitas, pengujian heteroskedasdisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
12
menggunakan uji glesjer. (d)Uji Autokorelasi, Uji Autokorelasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Durbin Watson (Durbin-Watson Test), Dengan menggunakan regresi berganda, peneliti dapat melihat pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen secara terpisah maupun pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen secara serentak. Persamaan yang digunakan untuk pengujian hipotesa adalah: Y=a + b1X1 + b2X2+ b3X3 + b4X4+ b5X5 + b6X6 Keterangan: Y = Belanja Modal a = Koefisien Konstanta b1-2 = Koefisien Regresi Variabel Independen X1 = Pendapatan Asli Daerah X2 = Pendapatan Transfer-Dana Perimbangan X3 = Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya X4 = Pendapatan Transfer Provinsi X5 = Lain-lain Pendapatan yang Sah X6 Penerimaan Pembiayaan = Tahap tahap pengujian melalui analisis regresi berganda melalui koefisien determinasi, Uji signifikansi Simultan (Uji statistic F), dan uji t Setelah melakukan pengujian hipotesis, maka langkah selanjutnya yaitu pembahasan atas hasil hipostesis yang telah diuji dan mengetahui pengaruh dari setiap variabel independen. HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi terluas di Indonesia dengan sumber daya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam yang menjadi andalan di Kalimantan Timur meliputi usaha Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan. Hal tersebut menjadikan Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk menjelaskan data yang telah diperoleh untuk masing-masing variabel penelitian tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum. Statistic deskriptif berusaha untuk menjelaskan atau menggambarkan berbagai karakteristik data, seperti minimum, maksimum, ratarata (mean), seberapa jauh data data bervariasi (standar deviasi) dan sebagainya (santoso, 2003) Tabel 4.2 Hasil Statistik Deskriptif Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
X1
70 10,061,000,000.00
97,662,932,756.18
72,520,053,912.45
X2
70 372,925,434,540.00 4,887,924,158,530.00 1,245,401,160,381.22
846,301,751,814.40
X3
70 00,00
38,764,372,190.26
354,840,272,692.00
175,169,174,032.00
35,381,015,652.41
13
X4
70
X5
70 00,00
X6
70
Y
00,00
503,751,991,837.00
115,493,254,495.99
109,166,808,418.80
816,398,696,550.00
137,259,785,203.81
129,105,656,153.91
18655799145 3,447,898,776,651.17
613,530,056,237.35
550,198,971,564.79
70 245,474,293,286.00 4,271,348,476,625.39
955,046,896,272.19
616,940,922,151.67
Valid N (listwise) 70 Keterangan: X1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) X2 : Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan X3 : Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya X4 : Pendapatan Transfer Pemerintah Provinsi X5 : Lain-lain Pendapatan Yang Sah X6 : Penerimaan Pembiayaan Y : Belanja Modal
Uji Normalitas Gambar 4.1 Normal Probability Plot setelah Transformasi
Berdasarkan grafik pada gambar 4.1, titik menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, disimpulkan bahwa model regresi telah memenuhi uji normalitas. Untuk memperkuat keyakinan akan asumsi normalitas dari model regresi, dilakukan pengujian statitistik dengan cara melakukan uji one sample test kolgomorov-smirnov. Uji ini digunakan untuk menghasilkan angka yang lebih detail. Suatu persamaan regresi dikatakan lolos asumsi normalitas apabila nilai signifikansi uji kolgomorov smirnov lebih besar dari 0,05 (Ghozali, 2006). Tabel 4.3 Uji Kolgomorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N
70
14
Normal Parameters
a
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
.0002263 1.39314338E11 .073 .049 -.073 .609 .852
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan table 4.3 diketahui bahwa semua variabel telah lulus uji normalitas karena memiliki nilai signifikansi diatas 0,05. Uji Multikolinearistas Tabel 4.4 Hasil Uji Mutlikolinearitas a Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant)
B
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
1.02E+10 3.65E+10
Collinearity Statistics T
Sig.
Tolerance
VIF
0.280019 0.780381
X1
-0.46777 0.392469
-0.05498 -1.19185 0.237789 0.380298 2.629516
X2
0.32459 0.027958
0.445263 11.61002 2.69E-17 0.550297 1.817199
X3
-0.17505 0.775806
-0.011 -0.22563 0.822216 0.340627 2.93576
X4
0.802974 0.231012
0.142085 3.475892 0.000928 0.484395 2.064431
X5
0.850161 0.195233
0.177911 4.354593
X6
0.624297 0.040892
5E-05 0.484901 2.062275
0.55676 15.26692 7.6E-23 0.608599 1.643117
a. Dependent Variabel: Y Keterangan: X1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) X2 : Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-Dana Perimbangan X3 : Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat-Lainnya X4 : Pendapatan Transfer Pemerintah Provinsi X5 : Lain-lain Pendapatan Yang Sah X6 : Penerimaan Pembiayaan Y : Belanja Modal
Berdasarkan hasil perhitungan pada table 4.4, menunjukkan bahwa VIF sebesar 2,629; 1,817; 2,935; 1,064; 2,0622, 1,643. Hal ini berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi penelitian ini karena tidak ada satupun nilai VIF yang lebih dari 10. Uji Heteroskedasdisitas Tabel 4.5 Hasil Uji Heteroskedasdisitas a Coefficients Unstandardized Coefficients Model
B
Std. Error
Standardized Coefficients Beta
Collinearity Statistics T
Sig.
Tolerance
VIF
15
1
(Constant)
6.12E+10 1.99E+10
3.071943 0.003139
X1
0.193515 0.214212
X2
0.023144 0.015259
0.24002 1.516686 0.134348 0.550297 1.817199
X3
-0.28895 0.423439
-0.13726 -0.68239 0.497492 0.340627 2.93576
X4
0.086286 0.126088
0.11543 0.684335 0.496274 0.484395 2.064431
X5
0.049211 0.106559
X6
-0.00543 0.022319
0.171972 0.903382 0.369765 0.380298 2.629516
0.077857 0.461822
0.6458 0.484901 2.062275
-0.0366 -0.24325 0.808605 0.608599 1.643117
a. Dependent Variabel: absres
Berdasarkan table 4.5 terlihat bahwas seluruh variabel independen sudah tidak mengandung unsur heteroskedasdisitas karena nilai probabilitas variabel independen terhadap nilai absolut residunya lebih besar dari nilai alpha (0,05) yaitu sebesar 0,369; 0,134; 0,497; 0,496; 0,645; dan 0,808. Uji Autokorelasi Tabel 4.6 Hasil Uji Autokorelasi b Model Summary M odel
R Square
R 1
.9 a 74
.94 9
Adjuste d R Square
Std. Error of the Estimate
.944
DurbinWatson
1.45798 E11
1.162
a. Predictors: (Constant), X1, X2, X3, X4, X5, X6 b. Dependent Variabel: Y
Berdasarkan table 4.6 terlihat bahwa nilai D-W adalah sebesar 1,162 yang berarti tidak terjadi autokorelasi antar variabel. Uji Koefisien Determinasi Tabel 4.7 Hasil Uji Koefisien Determinasi b Model Summary Model 1
R .974a
R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson .949
.944
1.45798E11
1.162
a. Predictors: (Constant), X1, X2, X3, X4, X5, X6 b. Dependent Variabel: Y
Berdasarkan table 4.7 terlihat bahwa koefisien determinasi yang ditunjukkan dari nilai adjusted R-Square sebesar 0,944 atau 94,4%. Hal ini berarti bahwa belanja modal sebesar 94,4% dapat dijelaskan oleh semua variabel independen Uji Statistik F
16
Tabel 4.8 Hasil Uji Statistik F b ANOVA Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
F
Regression
2.492E25
6
4.154E24
Residual
1.339E24
63
2.126E22
Total
2.626E25
69
Sig.
195.414
.000
a
a. Predictors: (Constant),X1, X2, X3, X4, X5, X6 b. Dependent Variabel: Y
Hasil perhitungan statistic pada tabel 4.8 menunjukkan kesimpulan bahwa variabel Pendapatan asli Daerah (PAD), Pendapatan transfer pemerintah pusatdana perimbangan, pendapatan transfer pemerintah pusat-lainnya, pendapatan transfer pemerintah provinsi, lain-lain pendapatan yang sah, serta penerimaan pembiayaan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal. Hal ini ditunjukkan dengan penjelasan sebagai berikut: (a)Nilai F hitung sebesar 195,414 yang lebih besar dari nilai F table sebesar 2,25 (Df=70-4). Hal ini berari H0 ditolak dan Ha diterima, kesimpulannya seluruh variabel independen secara simultan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen; (b)Nilai Probabilitas yang ditunjukkan oleh (Sig.) yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Hal ini berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, kesimpulannya seluruh variabel independen secara simultan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Uji Statistik T Tabel 4.9 Hasil Uji Statistik T Standardized Coefficients
Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant)
B
Std. Error
Beta
T
Sig.
10,223,276,951.1071
3.65E+10
0.280019 0.780
X1
-0.46777
0.392469
-0.05498 -1.19185 0.238
X2
0.32459
0.027958
0.445263 11.61002 0,000
X3
-0.17505
0.775806
-0.011 -0.22563 0.8222
X4
0.802974
0.231012
0.142085 3.475892 0.001
X5
0.850161
0.195233
0.177911 4.354593 0,000
X6
0.624297
0.040892
0.55676 15.26692 0,000
a. Dependent Variabel: BelModal_Y
Hasil perhitungan statistic tersebut menunjukkan kesimpulan sebagai berikut: (a)bahwa model penelitian dapat ditulis dalam persamaan: BM = 10,223,276,951.1071 – 0,468X1 + 0,325X2 - 0,175X3 + 0,803X4 + 0,850X5 +0,624X6 Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar -1,192 yang lebih
17
kecil dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,238. Sehingga dapat disimpulkan bahwa PAD tidak berpengaruh terhadap Belanja modal. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Yustikasari dan Darwanto (2007), Tuasikal (2008), Andian (2012) serta Kusnandar dan Siswantoro (2012) yang menyatakan bahwa secara parsial PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal. Perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan sampel objek penelitian. Struktur pendapatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur cenderung memiliki Pendapatan Transfer yang besar dan merupakan penyumbang pendapatan daerah terbesar. Kondisi ini menyebabkan nilai PAD bila dibandingkan dengan pendapatan lainnya menjadi tidak signifikan karena kecilnya kontribusi PAD terhadap Pendapatan daerah.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tabel 4.10 Rata Rata Kontribusi Setiap Pendapatan Terhadap Total Pendapatan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur Tahun 2009-2013 Dana Total Kabupaten/ Perimba Transfer Transfer Lain Lain Pendapat Kota PAD ngan Lainnya Provinsi Pendapatan an Balikpapan 13.04% 59.89% 3.59% 13.90% 9.59% 100.00% Berau 8.54% 71.80% 3.20% 6.58% 9.88% 100.00% Bontang 6.22% 74.83% 1.48% 8.39% 9.08% 100.00% Bulungan 5.45% 76.07% 2.36% 7.17% 8.94% 100.00% KTT 1.85% 84.26% 0.28% 4.76% 8.85% 100.00% Kubar 4.04% 82.89% 1.07% 4.86% 7.14% 100.00% Kukar 4.42% 84.06% 1.78% 5.32% 4.42% 100.00% Kutim 2.82% 82.29% 0.86% 9.63% 4.40% 100.00% Malinau 8.30% 80.14% 1.06% 3.41% 7.08% 100.00% Nunukan 3.92% 83.87% 1.64% 3.86% 6.72% 100.00% Paser 4.65% 71.71% 2.93% 10.00% 10.71% 100.00% PPU 4.16% 79.26% 2.35% 5.39% 8.83% 100.00% Samarinda 9.16% 58.92% 4.41% 8.07% 19.44% 100.00% Tarakan 8.34% 72.16% 3.15% 7.12% 9.24% 100.00% Rata-Rata 6.07% 75.87% 2.15% 7.03% 8.88% 100.00%
Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI (diolah)
Berdasarkan table 4.1, terlihat bahwa sepanjang tahun 2009-2013 secara rata-rata total pendapatan daerah pada Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur masih didominasi oleh pendapatan transfer-Dana Perimbangan yaitu sebesar 75,87%. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pendapatan yang dipungut langsung oleh pemerintah daerah secara rata rata hanya sebesar 6,07%. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur masih memiliki kemampuan keuangan daerah yang rendah dan masih ketergantungan terhadap Pendapatan Transfer.
18
Jadi besar kecilnya atau naik turunnya nilai Pendapatan Asli Daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur tidak akan mempengaruhi nilai belanja modal karena masih terdapat sumber pendapatan lainnya yang lebih signifikan. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar 11,610 yang lebih besar dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pendapatan transfer pusat-Dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja modal. Hal ini sesuai dengan penelitian Andirfa (2009) dan Andian (2012) yang menyatakan bahwa Pendapatan transfer pusat- dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hal ini terjadi karena Pendapatan transfer pusat-dana perimbangan merupakan bentuk transfer dana yang paling penting sebagai salah satu penerimaan daerah guna pembiayaan penegeluaran belanja pemerintah daerah. Pendapatan transfer- dana perimbangan yang berasal dari APBN dialokasikan kepada tiap daerah sebagai konsekuensi dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi daerah. Tujuan dari transfer ini adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan fiskal suatu daerah dan mengurangi kesenjangan keuangan karena kebutuhan daerah ternyata melebihi potensi yang bisa digali melalui PAD, sehingga diharapkan daerah dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal itu terlihat dari nilai pendapatan transfer-danaperimbangan yang jauh lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar -0,226 yang lebih kecil dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,822. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pendapatan transfer pusat-Lainnya tidak berpengaruh terhadap Belanja modal. Hal ini bertentangan dengan penelitian Holtz-Eakin et. Al (1985) pada Yustikasari dan Darwanto (2007) yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric. Perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan sampel objek penelitian, yaitu Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur. Karena banyak dari obyek penelitian ini bukanlah kabupaten/Kota penerima pendapatan transfer pusatlainnya secara rutin. Pendapatan transfer pusat-lainnya yang rutin seperti dana otonomi khusus yang biasa diberikan kepada daerah istimewa seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur hanya menerima pendapatan transfer-pemerintah pusat lainnya yang tidak rutin dianggarkan oleh APBN setiap tahunnya seperti Dana Insentif untuk Pemerintah
19
Daerah yang mengalami peningkatan opini Laporan Keuangannya, dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar 3,476 yang lebih besar dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,001. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pendapatan transfer pemerintah provinsi berpengaruh terhadap Belanja modal. Hal ini sejalan dengan penelitian Gamkhar & Oates (1996) dalam Yayansaputra (2013) terkait dengan respon pemerintah daerah terhadap perubahan jumlah transfer dari pemerintah federal di Amerika Serikat untuk Tahun 19531991 yang menyebutkan bahwa pengurangan jumlah transfer menyebabkan penurunan dalam pengeluaran daerah. Kendati bukan dari Pemerintah Pusat, pola pendapatan transfer dari pemerintah provinsi hampir sama dengan transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Terlebih pada pendapatan transfer provinsi terdapat pendapatan bagi hasil pajak kendaraan bermotor yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus digunakan untuk perbaikan infrastruktur transportasi minimal sebesar 10%. Sehingga secara umum perubahan pada pendapatan transfer pemeritah provinsi dapat berpengaruh terhadap belanja modal. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar 4,355 yang lebih besar dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Lain-Lain Pendapatan Yang Sah berpengaruh terhadap Belanja modal. Hal ini sejalan dengan Penelitian Andirfa (2009) yang menyatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Yang Sah Berpengaruh terhadap Belanja Modal. Ini juga sesuai dengan pendapat Mauludi (2013) yang menyatakan Lain-Lain pendapatan Yang Sah yang didalamnya termasuk pendapatan hibah merupakan potensi pendapatan daerah yang dapat digali dan dikelola untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai wilayah yang penuh dengan sumber daya alam yang cukup melimpah, hal ini tentunya akan menarik minta investasi dari para investor. Perlunya percepatan pembangunan infrastruktur yang memadai membuat banyak minat untuk memberikan hibah kepada kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur baik dari Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun pihak swasta. Hal ini tentunya membuat perubahan pada lain-lain pendapatan yang sah turut berpengaruh terhadap belanja modal. Berdasarkan hasil analisis regresi dengan uji signifikansi parameter individual (uji t) diperoleh hasil bahwa nilai t hitung sebesar 15,267 yang lebih besar dari nilai t table sebesar 1,998 dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Penerimaan Pembiayaan berpengaruh terhadap Belanja modal.
20
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012), Erlis dan Ethika (2013), dan Supadmi (2013) yang menyatakan bahwa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh terhadap Belanja Modal. Pembiayaan secara dominan berasal dari SiLPA dan Pinjaman Daerah. Tingginya nilai SiLPA diantaranya terjadi karena angaran yang berlebih di tahun sebelumnya ataupun karena adanya Belanja yang diluncurkan kembali di Tahun berikutnya karena belum terselesaikannya belanja tersebut. Secara umum belanja yang sering dominan untuk diluncurkan kembali adalah Belanja Modal untuk pembangunan infrastruktur yang menggunakan kontrak multiyear. Selain itu dana pinjaman daerah yang memiliki bunga tentunya akan sangat merugikan bagi pemerintah daerah bila dipergunakan untuk belanja operasional. Sehingga perubahan pada nilai penerimaan pembiayaan akan berpengaruh terhadap belanja modal. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1)Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer Pusat-Dana Perimbangan, Pendapatan Transfer Pusat-Lainnya, Pendapatan Transfer Pemerintah Provinsi, Lain-lain Pendapatan Yang Sah, dan Penerimaan pembiayaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap belanja modal; (2)Variabel Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Transfer PusatLainnya secara parsial tidak berpengaruh terhadap belanja modal. (3)Variabel Pendapatan Transfer Pusat- Dana Perimbangan, Variabel Pendapatan Transfer Pemerintah Provinsi, Lain-lain Pendapatan yang Sah, dan Variabel penerimaan pembiayaan secara parsial berpengaruh terhadap belanja modal. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka diajukan saran, antara lain: (1)Pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur harus semakin meningkatkan penerimaan dari sektor Pendapatan Asli Daerah dengan cara menggali potensi dari penerimaan pajak dan retribusi daerah yang selama ini belum dikelola secara optimal. Karena dengan semakin meningkatnya Pendapatan Asli Daerah diharapkan Pemerintah Daerah di Provinsi Kalimantan Timur dapat mengurangi tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap dana transfer dari Pemerintah Pusat, sehingga tujuan pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai. (2)Dalam menganggarkan Belanja modal, Pemerintah Daerah di Provinsi Kalimantan Timur diharapkan lebih mengutamakan kepada belanja modal yang lebih produktif dan berperan bagi pertumbuhan ekonomi Kabupatan/Kota seperti pembangunan jalan, jembatan, dan sarana prasarana pendukung lainnya agar belanja modal tersebut dapat berimplikasi positif pada naiknya nilai PAD karena adanya pertumbuhan ekonomi; (3)Penelitian selanjutnya dapat dilakukan studi kasus terhadap obyek yang berbeda agar dapat diperoleh generalisasi yang lebih luas atas masalah pengaruh belanja modal. DAFTAR PUSTAKA Jurnal Ilmiah dan Buku Arwati, Dini., dan Hadiati, Novita. 2013. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada
21
Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Seminar Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi Terapan 2013, November 2013, hlm. 498-507. Al Hasni, Jaozi,2013, Pendapatan Asli Daerah: Pajak Hotel dan Restoran. Manajemen Keuangan Sektor Publik, Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah. Jakarta; Penerbit Salemba Empat Andian, Ricky,2012, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Skripsi, Surabaya, Universitas Airlangga Andirfa, Mulia, 2009, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Jurnal Ilmiah, BandaAceh Budiarti, Pipit, 2014, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Struktur Belanja Daerah (Studi Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur). Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya Darwanto & Yustikasari, Yulia. 2007. Pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar. Direktorar Jenderal Keuangan Daerah, 2013, Belanja Modal Pemda Harus Capai 30 Persen. http://keuda.kemendagri.go.id/ diakses 20 September 2014 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2013, Laporan Evaluasi Belanja Modal Daerah. Jakarta Djaenuri, Aris,2012, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Elemen-Elemen Penting Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Jakarta. Ghalia Indonesia Erlis, Nola dan Ethika, Zaitul,2013, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal dengan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Sebagai Variabel Moderasi (Studi pada Pemerintah Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Daerah di Pulau Sumatera). Jurnal Ilmiah, Universitas Bung Hatta Padang Farid, Muhammad Fauzie, 2010, Pengaruh Produk Domestik Bruto, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Belanja Modal Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantan Timur. Skripsi, Surabaya, Universitas Airlangga Kuncoro, Mundrajat, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, Dan Peluang. Jakarta; Erlangga Kusnandar dan Siswantoro, Dodik,2012, Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi XV, Banjarmasin Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Jakarta: STIE YKPN.
22
Oktarida,Anggeraini,2012, Desentralisasi Fiskal di Indonesia. ILMIAH Volume IV No. 2, 2012 Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPK RI, 2009, Buku Diklat Sistem Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah. Jakarta Puspitawati, Nurwidyarini Dwi, 2008, Hubungan Antara Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal, Dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur). Skripsi, Malang, Universitas Brawijaya Sekaran, Uma. 2013. Research Methods for Business: Metedologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Sugiarthi, Ni Putu Dwi Eka Rini dan Supadmi, Ni Luh, 2014, Pengaruh PAD, DAU, Dan SILPA Pada Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Pemoderasi. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 7.2, 2014, hlm 477-497 Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Sujarwo, Hendro Novianto,2013, Dana Alokasi Khusus. Manajemen Keuangan Sektor Publik, Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah. Jakarta; Penerbit Salemba Empat Tuasikal, Askam, 2008, Pengaruh DAU, DAK, PAD, dan PDRB Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jurnal Telaah & Riset Akuntansi Vol 1, No. 2. Juli 2008, hlm 142-155 Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006. Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005. Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2010. Tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003. Tentang Keuangan Negara. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009. Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintah Daerah. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta