LAPORAN UTAMA
Divestasi Menun Hasil audit BPK menyebutkan keputusan pemerintah untuk membeli 7% saham di PT Newmont harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan mendapat persetujuan DPR.
Newmont
6
OKTOBER 2011
Warta BPK
LAPORAN UTAMA
nggu Restu DPR K
ontroversi pembeliaan 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Teng gara (NNT) oleh pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) kini menemukan titik terang. Pada 19 Oktober 2011, BPK telah menyerahkan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) divestasi NNT ke DPR. Sebelumnya, BPK telah melakukan audit terhadap proses pembelian 7% saham NNT. Ini dilakukan BPK seiring dengan adanya permintaan DPR melalui surat yang dilayangkan parlemen ke BPK pada 21 Juni 2011. Surat itu menyebutkan adanya permintaan Komisi XI untuk melakukan PDTT terhadap proses pembelian 7% saham NNT oleh PIP. Adapun, tujuan pemeriksaan terhadap proses pembelian saham itu untuk menilai apakah proses pembelian telah mengikuti perundang-undangan. Selain itu, audit juga untuk mengetahui apakah transaksi pembelian saham perlu terlebih dahulu meminta persetujuan DPR atau tidak. Berangkat dari sana, BPK melakukan audit dengan prosedur pemeriksaan seperti mengkaji peraturan perundang-undangan, mewawancarai aparat pejabat Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM dan BKPM, serta mewancarai beberapa anggota Komisi X DPR. Untuk membedahnya, BPK menggunakan landasan hukum berupa UU Nomor 17/ 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hasilnya, BPK berpendapat pembelian saham NNT oleh pemerintah merupakan investasi jangka panjang dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah. Hanya saja, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 44/2005 tentang tata Cara Penyertaan dan Penataan Modal Negara pada BUMN dan Perseroaan Terbatas, penyertaan modal ke dalam perseroan terbatas yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Sementara penyertaan modal pemerintah di NNT, menurut BPK, dilakukan karena adanya keadaan tertentu yakni adanya kontrak karya antara pemerintah dan NNT. Dalam kontrak karya disebutkan adanya hak kepada pemerintah atau perusahaan Indonesia untuk memiliki 51% saham di NNT. Oleh karena itu, BPK berpendapat pembelian 7% saham Newmont oleh pemerintah harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (7) UU No. 17 tahun 2003 tentang Ke uangan Negara. Hasil audit BPK itu juga menyebutkan hingga saat ini belum ada alokasi APBN untuk pembelian saham NNT oleh pemerintah. Alokasi APBN untuk dana investasi yang dikelola oleh PIP pada 2006 -2007 diarahkan untuk mendukung dana infrastuktur. Adapun, alokasi APBN periode 2009-2011 untuk dana investasi tidak dijelaskan uraian penggunaannya. Sementara APBN 2008 tidak mengalokasikan anggaran investasi untuk PIP. Alokasi APBN untuk dana investasi tanpa adanya rincian dan penjelasan yang memadai tidak sesuai dengan ketentuan pasal 15 ayat (5) UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam ketentuan disebutkan bahwa APBN yang dise tujuai oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Warta BPK
OKTOBER 2011
7
LAPORAN UTAMA Selain itu, hasil audit BPK juga menyebutkan keputusan untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah pada NNT adalah kewenangan pemerintah bukan kewenangan Menteri Keuangan. Kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara di bidang investasi hanya menempatkan uang negara dan me ngelola investasi pemerintah. Oleh karena itu, BPK berpanda ngan dalam investasi jangka panjang
Harry Azhar Azis
berupa penyertaan modal pemerintah, kewenangan Menteri Keuangan untuk mengelola investasi merupakan tindak lanjut dari keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang. Untuk itu, BPK berpandangan PP No. 1/ 2008 tentang investasi pemerintah telah memperluas kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN di bidang investasi. Pasalnya, dalam PP itu disebutkan seluruh proses pengelolaan investasi pemerintah diserahkan sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan, termasuk kewenangan memutuskan untuk melakukan
8
OKTOBER 2011
investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta yang seharusnya kewenangan pemerintah.
Tidak Sesuai Hasil audit BPK juga mengungkapkan kelembagaan PIP sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang tidak sesuai dengan filosofi dan semangat pembentukan BLU. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 58 UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam
foto: zonanews.com
pandangan BPK, PIP tidak memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Sebaliknya PIP bertujuan untuk memupuk keuntungan ekonomi. BPK berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan swasta yakni berupa pembelian 7% saham di NNT harus ditetapkan de ngan Peraturan Pemerintah. Juga harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR, baik mengenai substansi keputusan investasi atau penyertaan modal maupun penyediaan anggaran dalam APBN.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan berdasarkan hasil audit BPK pembelian saham Newmont oleh PIP terbukti menggunakan dana APBN. Oleh karena itu, lanjutnya, jika pemerintah ingin menggunakan dana APBN, harus melalui persetujuan DPR. “Karena itu hasil audit BPK menyebutkan adanya pelanggaran dalam pembelian saham Newmont,” kata Harry. Sebenarnya, menurut Harry, ada dua poin penting dari hasil audit BPK yang harus menjadi perhatian peme rintah. Pertama, BPK menyatakan untuk kepentingan investasi yang menggunakan anggaran negara diperlukan aturan pemerintah tersendiri. Dia mencontohkan penyertaan modal negara yang dikucurkan bagi BUMN yang perlu aturan khusus. Kedua, dalam kebijakan investasi pemerintah harus mengajukan permohonan persetujuan dari DPR karena sumber dana pembelian saham itu berasal dari dana APBN. Oleh karena itu, tambahnya, dengan adanya pendapat BPK itu, tidak ada alasan lagi bagi Menkeu untuk melanjutkan transaksi saham NNT. Untuk itu, sesuai dengan hasil audit BPK, keinginan PIP untuk membeli 7% saham Newmont mesti dibatalkan demi hukum. “Kecuali bila nanti Menkeu mengajukan proposal baru untuk meminta persetujuan DPR,” kata Harry . Dia menambahkan hasil audit BPK sudah dengan jelas mengungkapkan perlunya keterlibatan DPR jika peme rintah ingin membeli 7% saham divestasi NNT. “Keterlibatan di sini adalah pemerintah harus meminta persetujuan dari dewan karena pembelian itu menggunakan dana APBN,” jelasnya. Selain itu, tambahnya, PIP juga telah menyimpang dari tujuan pendiriannya. Menurut dia, PIP didirikan untuk membantu pembiayaan infrastrukutr pembangunan. Oleh karena itu, Komisi XI meminta agar pemerintah wajib
Warta BPK
LAPORAN UTAMA mematuhi peraturan perundangundangan dalam setiap kebijakannya. Harry menjelaskan Komisi XI akan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berisi mengenai permintaan agar Kepala Negara mematuhi hasil audit BPK. “Jika tidak meminta persetujuan DPR, penggunaan dana APBN oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” tandas Harry. Dalam surat No. 344/ MK.01/2011 yang dilayangkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo kepada BPK pada 23 Juni 2011 disebutkan keputusan untuk membeli 7% saham Newmont oleh pemerintah melalui PIP merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Argumen Menkeu
panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi dan sosial. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan bahwa investasi dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung. Berbekal ketentuan tersebut, Menteri Keuangan berpandangan persetujuan DPR dalam pembelian saham divestasi NNT oleh PIP tidak diperlukan. Selain itu, Menteri Keuangan juga menulis kalau pemerintah berkeyakinan investasi 7% saham NNT akan mendayagunakan dana PIP untuk menghasilkan return yang lebih baik melalui perolehan dividen dari pertumbuhan nilai perusahaan. Melalui pembelian saham ini pemerintah berkeinginan untuk menjaga kepentingan nasional. Untuk itu, pemerintah juga akan mendukung upaya Newmont untuk go public agar manfaat dari bisnis pertambangan tembaga dan emas ini dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia. Dengan begitu, papar Menkeu, keterlibatan pemerintah dalam
Untuk memperkuat argumennya, Agus menunjuk Pasal 8 huruf f UU No. 17/2003 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal Menteri Keuangan melaksanakan fungsi Pemerintah BUN. Adapun, untuk berkeyakinan melaksanakan fungsi investasi 7% BUN, Menkeu menunjuk saham NNT akan Pasal 7 ayat (2) huruf h mendayagunakan UU No. 1/2004. Dalam aturan itu disebutkan dana PIP untuk bahwa Menteri Ke menghasilkan uangan berwenang return yang lebih menempatkan uang baik melalui negara dan pengelola perolehan dividen atau menatausahakan dari pertumbuhan investasi. Sementara dalam nilai perusahaan. mengelola investasi tersebut, Menkeu juga menunjuk Pasal 41 UU Perbendaharaan Negara. Pemerintah dapat melakukan investasi jangka Agus Martowardojo
Warta BPK
pengelolaan Newmont dapat mengarahkan perseroan untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat Indonesia. Selain itu, bagi pemda Nusa Tenggara Barat kehadiran wakil pemerintah dalam NNT akan memberikan keuntungan yang lebih maksimal dibandingkan dengan jika komposisi kepemilikan nasional hanya diwakili oleh daerah. Seperti diketahui, NNT yang beroperasi di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat, merupakan tambang tembaga terbesar kedua di Indonesia setelah PT Freeport. Selain tembaga, tambang ini juga mengekstraksi emas dan perak. Dari aspek bisnis, tambang Newmont sangat menjanjikan dan menarik banyak pihak untuk menguasainya. Saat ini, komposisi pemegang saham NNT adalah Newmont & Sumitomo (NTP) 49%, Multi Daerah Bersaing (MDB) 24%, Pukuafu Indah (PI) 17,8%, Indonesia Masbaga Investama (IMI) 2,2% dan pemerintah 7%. bw
foto: infogres.com
OKTOBER 2011
9
LAPORAN UTAMA istimewa
ICW: Serahkan
ke Pemda Tanpa Swasta
Masalah divestasi 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) masih bergulir. Sejumlah pendapat sudah mengemuka di media massa. Salah satunya dikemukakan oleh Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisisis Anggaran Indonesia Corrouption Watch (ICW). Firdaus Ilyas
M
enurut dia, jika Pemda Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diputuskan untuk membeli divestasi 7% saham NNT, perlu ada kesepakatan bahwa saham itu benar-benar jatuh ke tangan pemda. “Bukan perusahaan konsorsium pemda-swasta seperti sebelumnya. Pasalnya, pemda memiliki kemampuan terbatas. Pemerintah pusat harus memberi garansi. Baik itu garansi keuangan, maupun pengetahuan dan teknologi,” jelasnya kepada Warta BPK belum lama ini. Untuk itu, tambahnya, harus ada kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR, bahwa saham itu benar-benar jatuh ke pemda. Artinya, pemda maju sendiri tanpa menggandeng swasta atau konsorsium, seperti sebelumnya. Skenario ini, menurut Firdaus, adalah solusi terbaik keluar dari kekisruhan masalah divestasi saham NNT. Sebagaimana diketahui, terjadi masalah soal pembelian 7% saham NNT. Kementerian Keuangan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) memutuskan akan membeli saham tersebut. Namun, DPR mempersoalkan sumber dananya dan meminta BPK mengaudit keputusan tersebut. Pada 19 Oktober 2011, BPK menye rahkan hasil audit terhadap proses pembelian 7% saham divestasi NNT kepada DPR. BPK menilai pembelian 7% saham oleh pemerintah adalah penyertaan modal kepada perusahaan swasta yang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR,
10
OKTOBER 2011
sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat (7) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hasil audit juga menyebutkan keputusan pemerintah untuk melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan swasta yaitu pembelian 7% saham NNT oleh PIP atas nama pemerintah, harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Namun, harus mendapat persetujuan DPR lebih dahulu sebagai pemegang hak budget, baik mengenai substansi keputusan investasi/penyertaan modal maupun penyediaan anggaran dalam APBN. Dalam pandangan ICW, ada dua cara yang bisa ditempuh untuk menjernihkan masalah ini. Pertama, Kementerian Keuangan bisa meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui apakah landasan UU yang digunakan kementerian, dan hasil audit BPK, bertentangan atau tidak. “MK tempat kita berdebat masalah konstitusi. Jadi tidak masalah jika ingin meminta pertimbangan hukum,” jelasnya. Firdaus menambahkan hasil pertimbangan MK hanya dua yaitu mengabulkan persepsi Kemenkeu atau mendukung hasil audit BPK. MK bisa mengatakan landasan justifikasi yang digunakan BPK sudah benar. Jadi, apapun hasil keputusan MK, Kemenkeu harus mentaati. “Kemenkeu, PIP, mau tidak mau--karena ini amanat konstitusi--- harus meminta izin DPR. Di sana harus dipresentasikan aspek regulasinya,
ekonominya. Kalau kita bicara kepenti ngan ekonomi, harus melihat misalnya, landasan hukumnya, apa dampak ekonominya jangka pendek dan panjang untuk negara,” paparnya. Atau, cara kedua yakni Kemenkeu menempuh langkah politik, tidak perlu ke MK. Kementerian bisa datang ke DPR mengajukan proposal permohonan pembelian saham itu. Ini artinya, Kemenkeu menghormati hasil audit, menghormati UU, dan menempuh mekanisme politik anggaran. “DPR mengisyaratkan harus ada izin, ya, sudah tempuh saja. Menkeu, PIP datang ke DPR, meminta persetujuan untuk memiliki saham itu. Paparkan tentang rencana pengambilan saham 7%. Jelaskan perhitungan ekonominya, landasan hukum, dan lainnya,” tuturnya. Jika DPR menolak, jelas Firdaus, Kemenkeu bisa menjelaskan ke publik mengenai penolakan itu. DPR juga harus menjelaskan alasan menolak, apa landasan hukumnya juga dampak ekonominya. “Biarkan publik yang menilai.”
Penyelamatan Muka
ICW berharap pemerintah, baik pusat ataupun daerah, dapat mengambil saham itu. Kalau nantinya diputuskan Pemda NTB yang mengambil, diharapkan saham tersebut benar-benar jatuh ke pemda. Artinya, Pemda NTB maju sendiri tanpa menggandeng swasta atau konsorsium seperti sebelumnya.
Warta BPK
LAPORAN UTAMA “Kami prinsipnya mendorong saham ini jatuh pada pemerintah, baik itu pusat maupun daerah, nonswasta. Kita sudah punya terlalu banyak pengalaman dibohongi oleh swasta, termasuk swasta lokal,” tegas Firdaus. Sikap keras ICW ini menengok beberapa kasus pemda menggandeng swasta, pada akhirnya tidak mendapat apa-apa. Tidak perlu jauh-jauh melihat kasus di daerah lain, cukup melihat bagaimana kasus kepemilikan 24% saham. Ketika itu, pemerintah memberi kesempatan kepada Pemda NTB untuk memiliki saham NNT. Untuk itu, Pemda NTB, Pemkab Sumbawa dan Pemkab Sumbawa Barat, membentuk BUMD yakni PT Daerah Maju Bersama (DMB). Selanjutnya, DMB bergabung de ngan Multi Capital (PT Bumi Resources Mineral Tbk), membentuk konsorsium menjadi Multi Daerah Bersaing (MDB). Namun, perjanjian dan kerja sama dengan MDB sangat merugikan Pemda. “Nah, jangan sampai hal seperti itu terulang kembali. Oleh karena itu, ICW mendorong, kalau akhirnya diputuskan pemda yang mengambil, harus sendiri tanpa melibatkan swasta. Pemda tidak akan mendapat apa-apa jika gandeng swasta,” katanya. Tentu saja, tegas Firdaus, jika pemda sendirian memiliki keterbatasan seperti masalah dana. Lalu siapa yang mau memberi utang? Tentu peran pemerintah pusat dibutuhkan dengan harus memberikan garansi. Dengan catatan, pemda mempunyai tata kelola yang baik, memiliki SDM juga kemampuan manajemen. “Nantinya, dengan garansi peme rintah pusat, pihak perbankan nasional atau BUMN yang memberikan pinjaman atau talangan modal,” paparnya. Menurut dia, inilah cara terakhir untuk menyelamatkan ‘muka’ Kemenkeu jika DPR menolak atau jika MK memperkuat hasil audit BPK. Kemenkeu harus legowo menyerahkan pembelian saham itu kepada Pemda NTB. “Saya kira ini cara terakhir untuk menyelamatkan ‘muka’. Tidak ada yang dirugikan. Memang pada akhirnya
Warta BPK
masalah ini menjadi pertempuran politik-bisnis,” tuturnya. Firdaus menambahkan jika ingin menyelamatkan pengelolaan industri pertambangan, menjaga keselamatan pemerintah dalam hal ini pusat-daerah, masalah ini merupakan pelajaran bagi semua. “Sejak awal ketidakkonsistenan pada industri tambang berdampak luas. Sejak dulu tidak pernah mau menyiapkan. Padahal, dalam konstitusi sudah dikatakan, suatu saat nanti harus dikelola nasional. Harus disiapkan agar tidak glagapan saat jatuh tempo,” ujarnya. ICW juga akan meminta BPK untuk mengaudit proses divestasi 24% saham NNT. “Untuk itu, kami akan kirim surat secara resmi ke BPK. Terlepas dari jawabannya seperti apa, tetapi artinya persoalan ini harus dipandang proporsional. Sebenarnya ada apa sih dibalik 7%? Apakah ada pelanggaran hukum? Apakah ada dampaknya? Kita harus melihat dampak ekonominya seperti apa pada keuangan daerah, kemudian hukum utangpiutangnya,” tandas Firdaus.
“Dikirim melalui pimpinan DPR dengan tembusan ke Komisi VII DPR dan BAKN DPR,” kata Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI dalam rilisnya. Bila tidak meminta persetujuan DPR, tuturnya, penggunaan dana APBN oleh pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. “Jika PIP menggunakan dana APBN untuk membeli saham NNT dianggap telah menyimpang dari tujuan berdi rinya PIP. PIP didirikan untuk membantu pembiayaan infrastrukutr pembangunan,” ujarnya. Selain itu, Komisi XI meminta agar pemerintah wajib mematuhi pera turan perundangundangan dalam setiap kebijakannya. Menteri ESDM Jero Wacik me ngatakan akan dilakukan rapat untuk memutuskan siapa yang diizinkan untuk beli, pemerintah pusat atau Pemda NTB. Dia berjanji Desember mendatang keputusan tentang masalah itu sudah didapat. “Ini arahan dari Pak Wapres. Untuk masalah hukum, Menkumham yang tangani. Mudah-mudahan Desember sudah ada keputusan,” ujarnya. Sebelumnya, saat menggelar jumpa pers acara Pameran Produksi Dalam Negeri Pendukung Usaha Pertambangan, Wacik mengungkapkan soal surat dari DPR yang meminta agar sisa saham divestasi 7% diserahkan kepada pemerintah daerah. Dia mengaku belum menjawab surat tersebut secara langsung. Pasalnya, hingga saat ini masih ada proses hukum yang belum pasti soal pembelian sisa saham divestasi 7% tersebut. “Karena masih ada beberapa pendapat diserahkan ke pusat atau daerah, jadi kita tunggu proses hu kumnya,” tegasnya. dr/bd
Komisi XI DPR meminta agar pemerintah wajib mematuhi peraturan perundangundangan dalam setiap kebijakannya.
Desember Diputuskan Sementara itu, setelah mendapat hasil audit BPK, DPR bergegas mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu merupakan hasil rapat internal Komisi XI DPR tentang hasil audit BPK soal NNT. Dalam rapat internal yang berlangsung 26 Oktober, antara lain diputuskan, untuk mengirim surat kepada Presiden yang isinya meminta Presiden mematuhi hasil audit BPK tentang pembelian saham NNT oleh pemerintah yang harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.
OKTOBER 2011
11
LAPORAN KHUSUS BPK sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan pemeriksaan
Laporan BPK Butuh Tindak Lanjut Nyata
keuangan negara masih terbentur dilema. Hasil pemeriksaannya, apalagi temuan BPK acapkali tidak ditindaklanjuti. Ini butuh solusi.
L
aporan yang disampaikan BPK secara reguler tentu akan sia-sia jika tidak ada tindak lanjut atau langkah konkret dari pihak auditee. Apalagi jika hasil laporan yang disampaikan ternyata banyak temuan kerugian yang cenderung terjadi dari tahun ke tahun. BPK sebagai salah satu lembaga negara tentu ingin berpartisipasi dalam mengurangi kerugian itu melalui tugas, fungsi, dan wewenangnya. BPK bisa memandu Indonesia ke arah pengelolaan dan penggunaan uang negara yang transparan dan akuntabel dengan nilai efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pada pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa pihak auditee yang dalam hal ini pejabat dari instansi yang diperiksa BPK, wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
12
OKTOBER 2011
Warta BPK
LAPORAN KHUSUS Selain itu, dalam ayat 2 pada UU yang sama, disebutkan pihak auditee wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Selanjutnya, pada ayat 4 dinyata kan bahwa BPK punya kewenangan dalam memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan, apakah pihak auditee menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK. Dalam ayat 5, dinyatakan pula bahwa pihak auditee yang dalam hal ini pejabatnya diketahui tidak melaksanakan kewajiban menindaklanjuti rekomendasi BPK, dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Selanjutnya, dalam ayat 6, BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Dalam hal ini, BPK tidak sendirian dalam melakukan pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaannya. DPR/DPRD dan DPD melalui alat kelengkapannya pun punya sinergi untuk melakukan hal yang sama dengan BPK terkait pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK oleh auditee. Pada pasal 21 ayat 1 dalam UU yang sama, lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. Pada ayat 2 dalam pasal yang sama, DPR/ DPRD dapat meminta pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang salah satunya tentang tindak lanjut auditee terhadap rekomendasi BPK. Di sisi lain, dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pada Bab III Bagian Ketiga Pasal 71 huruf n, dinyatakan bahwa DPR mempunyai tugas dan wewenang untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan
Warta BPK
oleh BPK. Masih dalam UU yang sama, pada paragraf 6 tentang Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) pasal 113, dijelaskan tugas badan ini. Salah satunya dalam pasal 113 huruf a, dinya takan BAKN bertugas untuk melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR. Nah, dalam pasal 21 UU No. 15 Tahun 2004 dan Pasal 71 UndangUndang No. 27 Tahun 2009 inilah alat kelengkapan DPR yang dalam hal ini
Yuna Farhan
salah satunya adalah BAKN berperan. Sementara dalam UU No. 27 Tahun 2009, pada Bab IV Bagian ketiga tentang Tugas dan Wewenang DPD, pasal 224 huruf g, dinyatakan bahwa DPD mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN. Pada paragraf 3 tentang panitia kerja DPD, pasal 240 angka 4 huruf
b, dinyatakan bahwa tugas Panitia Kerja DPD di bidang pengawasan adalah membahas hasil pemeriksaan BPK. Dari sinilah DPD yang dalam hal ini Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) berperan dalam hal tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. DPR, DPD, dan DPRD menjadi jembatan penghubung antara BPK dan auditee terkait tindak lanjut hasil temuan BPK. Selain itu, menjadi check and balance terhadap pemerintah pusat dan daerah selaku pengelola keuangan negara atau daerah. Juga ikut berpartisipasi dalam
foto:mediaindonesia.com
pemberantasan korupsi. Untuk mengkondisikan hal itu, dalam DPR terdapat suatu badan yang dinamakan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dan Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) di DPD. Kedua entitas ini bertugas untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK maupun temuan BPK. Sementara DPRD tidak memiliki alat kelengkapan yang bertugas khusus untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. BAKN dan PAP merupakan alat OKTOBER 2011
13
LAPORAN KHUSUS kelengkapan yang dimiliki DPR dan DPD, akan tetapi belum berusia lama. BAKN baru sekitar 2 tahun, PAP pun tidak lebih dari itu. Pondasi masih perlu diperkuat lagi, tugas pokok dan fungsinya harus lebih dipopulerkan kepada masyarakat dan kalangan internal DPR maupun DPD. “Mengingat usianya yang relatif masih sangat muda, BAKN masih perlu melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitasnya untuk memastikan agar badan tersebut dapat menjalankan tugas-tugas kelembagaannya secara efektif,” ucap Yahya Sacawiria pada acara Workshop, di Room Atanaya 2 lantai 1, Hotel Atlet Century Park, Selasa (25/10). Apa yang dikatakan Yahya, disetujui oleh Eva Kusuma Sundari, anggota BAKN yang juga salah satu konseptor pendirian BAKN. “Saya harus mengakui juga bahwa BAKN ini adalah new tradition dalam parlemen. Tidak ada pendahulu di DPR sebelumnya yang kemudian bisa untuk menjadi referensi kita dalam berpraktek. Jadi, semata-mata didorong oleh kebutuhan terutama pada periode lalu selalu pertanyaannya sama, apa peran DPR di dalam mengatasi pemberantasan korupsi. Kok, malah sekarang ditemukan sumber korupsi sendiri, sementara korupsi menjadi masalah pokok di dalam governance kita,” ungkapnya. Fungsi PAP juga baru dikembangkan. Sebab, ada yang perlu dipisahkan dengan tugas Komite 4 yang juga sama-sama menelaah hasil pemeriksaan BPK. “Di dalam kita juga masih ada beda pendapat terkait fungsi PAP yang baru kita kembangkan ini,” ungkap Ketua PAP DPD Farouk Muhammad ketika ditemui di kediamannya di kawasan Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Belum Maksimal Mekanisme alur tindak lanjut hasil temuan BPK di DPR yaitu setelah menerima hasil pemeriksaan BPK dalam sidang paripurna,
14
OKTOBER 2011
DPR menyerahkannya ke BAKN. Selanjutnya, BAKN yang menganalisa. Hasilnya diserahkan ke komisi yang masing-masing membidangi auditee yang diperiksa BPK. Kemudian, komisikomisi itulah yang menindaklanjutinya kepada auditee. Namun, alur ini secara implementasi ternyata tak maksimal. Peran BAKN yang belum maksimal juga diungkapkan oleh Eva Kusuma Sundari. “Saya harus akui bahwa BAKN belum optimal itu yang paling penting kenapa kita kemudian butuh refleksi, ternyata banyak sekali peluang yang belum kita maksimalkan,” tegasnya. Hal ini juga diutarakan oleh Anggota DPR dari Fraksi PDIP Tjahjo
Saya harus mengakui juga bahwa BAKN ini adalah new tradition dalam parlemen. Tidak ada pendahulu di DPR sebelumnya yang kemudian bisa untuk menjadi referensi kita dalam berpraktek. Kumolo, bahwa komisi-komisi di DPR tidak maksimal dalam menindaklanjuti temuan BPK. Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria. Menurut Yahya, peran dan fungsi BAKN masih belum optimal dan terkendala. Seperti masih kurangnya dukungan, baik dari DPR sendiri maupun dari luar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman berbagai pihak mengenai peran dan fungsi BAKN dalam proses pengawasan keuangan negara. Meskipun begitu, Yahya menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2 tahun perjalanannya banyak hal telah dilakukan dan diperoleh BAKN. Seperti kunjungan ke daerah
dalam rangka klarifikasi temuan BPK dan mendapat tanggapan positif. Menurut dia, kunjungan BAKN bukanlah dalam rangka mengadili atau mencari kesalahan tetapi untuk melakukan klarifikasi hasil temuan BPK. Kunjungan dilakukan tidak sendiri, tetapi didampingi oleh BPK Perwakilan dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) daerah. “Ini penting kami lakukan untuk mengetahui lebih jauh bahwa temuantemuan audit yang dilakukan oleh BPK direspons secara baik oleh daerah dan dilakukan perbaikan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk menuju good governance dan clean government,” jelasnya. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Yuna Farhan mengatakan kunci tindak lanjut temuan BPK ada di komisi DPR. Berdasarkan aturan, BAKN baru bisa meminta BPK menelusuri dugaan penyimpangan jika ada permintaan dari komisi yang terkait dengan anggaran. Sayangnya, lanjutnya, pekerjaan komisi cukup banyak dan sarat kepentingan politik. “Dan biasanya di DPR semangat kalau menyusun anggaran dan bagi-bagi anggaran, tapi soal pertanggungjawaban anggaran kalau kasus itu bukan kasus besar tak akan interest mereka. Kita lihat perbedaannya kalau rapat paripurna penyusunan anggaran dan pertanggungjawaban anggaran.” ucap Yuna. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Siswo Sujanto juga merasa pengawasan lembaga legislatif di bidang keuangan negara merupakan pengawasan yang cenderung kurang efektif. Kendati pengawasan tersebut dapat dilaksanakan pada dua fase dalam siklus anggaran, berbagai keterbatasan lembaga tersebut baik berupa teknis-operasional maupun sistem pengawasan telah membuat lembaga tersebut tidak berdaya. and
Warta BPK
LAPORAN KHUSUS Dasar Hukum dan Tugas BAKN UU No. 27/ 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disusun untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah, sesuai dengan amanat UUD 1945. UU No. 27/ 2009 mengatur secara komprehensif dimana tidak membatasi pengaturan yang hanya terbatas pada materi muatan susunan dan kedudukan lembaga, tetapi juga mengatur hal-hal lain yang lebih bersifat komprehensif. Berkaitan dengan penguatan dan pengefektifan kelembagaan DPR, terdapat penambahan alat kelengkapan dalam rangka mendukung fungsi serta tugas dan wewenang dewan, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap, yang berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK dalam hal pengawasan penggunaan keuangan negara. Keberadaan BAKN diharapkan memberi kontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugas serta wewenang BAKN sebagai lembaga yang baru dibentuk, harus dapat menjaga kredibilitas atau kepercayaan publik/ masyarakat dalam melaksanakan fungsi pengawasan dewan.
Dasar Hukum :
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 3. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 4. UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara; 5. UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; 6. UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3); 7. Peraturan DPR RI Nomor 1/DPR RI/2009-2010 tentang Tata Tertib DPR RI. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Tata Tertib DPR RI menyebutkan bahwa DPR memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsifungsi tersebut dilaksanakan oleh alat-alat kelengkapan DPR RI yang berwenang. Ketiga fungsi tersebut juga tercantum dalam Pasal 20A amandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 70 Tata Tertib DPR RI, BAKN bertugas : a. melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemerik saan BPK yang disampaikan kepada DPR; b. menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi; c. menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap Warta BPK
temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi;dan d. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Dan Pasal 71 Tata Tertib DPR RI,BAKN bertugas : Ayat (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf a dan huruf b, BAKN : a. mengadakan rapat untuk melakukan penelaahan atas laporan hasil pemeriksaan BPK; b. menyampaikan hasil telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi berupa ringkasan temuan beserta analisis kebijakan berdasarkan hasil pemeriksaan semester BPK dan hasil temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu setelah BPK menyerahkan hasil temuan kepada DPR; c. dapat menyampaikan hasil telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada alat kelengkapan selain komisi; d) mengadakan pemantauan atas tindak lanjut hasil telaahan yang disampaikan kepada komisi; dan/atau e. membuat evaluasi dan inventarisasi atas tindak lanjut yang dilaksanakan oleh komisi. Ayat (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf c, BAKN : a. dapat mengadakan koordinasi dengan unsur pimpinan komisi untuk membicarakan hasil pembahasan komisi atas hasil temuan pemeriksaan BPK; b. dapat mengadakan rapat dengan komisi yang meminta penelaahan lanjutan atas hasil temuan pemeriksaan BPK; c. dapat meminta penjelasan kepada BPK untuk menindaklanjuti penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;dan/atau d. menyampaikan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna setelah terlebih dahulu dibicarakan dengan komisi. Ayat (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 huruf d, BAKN menginventarisasi permasalahan keuangan negara. Pasal 72 Hasil kerja sebagaimana dimaksud Pasal 70 huruf a, huruf b, dan huruf d disampaikan kepada Pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala. BAKN dibentuk DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, bertugas melakukan penelaahan terhadap OKTOBER 2011
15
LAPORAN KHUSUS temuan hasil pemerikasaan BPK yang disampaikan kepada DPR, dan menyampaikan hasil penelaahannya kepada Komisi DPR. Selain itu memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemerikasaan tahunan, hambatan pemerikasaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Dalam melaksanakan tugasnya, BAKN dapat meminta penjelasan dari BPK, pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, BI, BUMN, badan layanan umum, BUMD, dan dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. and
Rancu dan Tumpang Tindih BAKN DPR fokus untuk di pusat. Ini salah satu contoh. Ini harus dibicarakan,” ucap Ketua PAP Farouk Muhammad.
Tugas PAP
Farouk Muhammad
foto: dpd
Setiap pekerjaan jika dilakukan secara sistematis, teratur, dan tidak tumpang tindih, tentu bisa dilakukan dengan baik. Hal ini juga bisa diterapkan dalam tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. Dalam UU No.15/ 2006 tentang BPK, dinyatakan bahwa hasil kerja BPK ditindaklanjuti oleh DPR, DPD, dan DPRD. Dilihat dari sudut administrasi ketatanegaraan, DPR dan DPD telah mengakomodirnya dengan pembentukan suatu alat kelengkapan tersendiri yang fokus untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan maupun temuan BPK, BAKN, dan DPD. Bagaimana dengan DPRD? Lembaga perwakilan rakyat daerah ini tidak punya alat kelengkapan yang khusus menangani tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. Jika harus dikesampingkan, hal ini sebenarnya menjadi garapan BAKN DPR dan PAP DPD. Masalahnya, jika tidak dibangun pembagian kerja secara sistematis, terstruktur, dan jelas, yang ada hanya kerancuan dan tumpang tindih, baik kewenangan maupun tugas pokok dan fungsinya. Apa jadinya jika BAKN dan PAP bertugas di tempat yang sama dan waktu yang bersamaan pula? “Pembagian kerja pengawasan tindaklanjut rekomendasi atau temuan BPK, antara DPR dan DPD perlu dipertegas. Coba kalau semuanya turun ke daerah, sama-sama bingung nanti daerah. Ini perlu diatur, dibagi. Temuan BPK yang menyangkut di daerah, serahkan kepada DPD. Sementara
16
OKTOBER 2011
Jika di DPR ada BAKN sebagai alat kelengkapan yang bertugas untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, di DPD ada PAP sebagai alat kelengkapan penunjang. Tugasnya melakukan penelaahan lanjutan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPD. Farouk mengatakan bahwa sebenarnya dalam struktur organisasi DPD, ada empat komite. Komite yang berkaitan dengan temuan BPK ini adalah Komite 4. Selain Komite 4, tugas yang sama juga diemban PAP. PAP sendiri, menurut dia, pengembangan tugas berangkat dari falsafah apa yang disebut Parliementary Ombudsman. PAP dibentuk karena kebutuhan DPD bahwa BPK atau General Audit umumnya tidak bisa melakukan aksi. “Kami mengembangkan tugas PAP ini berangkat dari falsafah apa yang disebut dengan Parliementary Ombudsman. Jadi, ombudsman parlemen. Kenapa ada? Ya itu karena tadi itu, jadi General Audit itu, umumnya tidak bisa action. Dia menyajikan apa adanya, faktanya. Ini kembali kepada fungsi Parliementary Ombudsman,” ungkap Farouk. Pembentukan PAP ini untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Lebih bersifat aksi untuk mendorong dan mengetahui permasalahan yang ada dalam pengelolaan keuangan negara melalui hasil pemeriksaan BPK. Terkait Komite 4 dan PAP mempunyai tugas yang sama. Seharusnya ada pembagian tugas agar tidak tumpang tindih. Komite 4 lebih berbicara tentang pengawasan umum dalam rangka melaksanakan tugas memberikan pertimbangan atau mengoreksi kebijakan pemerintah. Sementara, terkait hasil pemeriksaan BPK yang perlu untuk ditindaklanjuti dan ada kerugian negara yang berindikasi tindak pidana, maka itu ranah PAP. “Jadi, misalnya ditemukan ada pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Nah, ini masukan bagi Komite 4. Kemudian ada temuan BPK yang sifatnya perlu ditindaklanjuti karena ada kerugian negara, apalagi ada kerugian negara secara melawan hukum. Ini yang masuk ke PAP. Jadi, kalau Komite 4 berbicara fenomena. PAP berbicara kasus,” jelasnya. and
Warta BPK
LAPORAN KHUSUS
‘Kewenangan BAKN Perlu Ditingkatkan’ BAKN tetap diperhitungkan jika mempunyai hasil dan dampak yang nyata. Jika itu bisa dilakukan akan berimbas pada perbaikan tata kelola keuangan negara.
warta bpk / andy
Eva K. Sundari
A
wal mula dibentuknya Badan Akuntabilitas Keua ngan Negara (BAKN) sebenarnya mengacu pada model entitas pengawasan keuangan negara yang berada di negara-negara lain, yaitu Public Account Committee (PAC). Model PAC di seluruh dunia memiliki kewenangan yang kuat. PAC bisa langsung menindaklanjuti, melakukan hearing, dan investigasi terhadap kasus-kasus yang terkait dengan keuangan negara. Anggota BAKN Eva K. Sundari yang pernah mendapatkan pendidikan singkat di Melbourne Australia menyatakan PAC di Australia merupakan alat kelengkapan parlemen yang paling powerfull, diminati, dan berwibawa. PAC di negara itu, tuturnya, bisa menindaklanjuti hasil laporan ANAO, BPK-nya Australia. Bahkan bisa memanggil siapapun jika ANAO menemukan persoalan dalam laporan keuangan maupun kinerja.
Warta BPK
warta bpk / andy
Hendri Saparini
Berbeda dengan di Indonesia, BAKN pada awal pembentukannya banyak ditentang oleh kalangan DPR sendiri. Resistensi juga datang dari pemerintah. Mereka yang menentang menganggap bahwa banyak entitas yang melakukan hal itu, seperti BPK, Komisi DPR, dan BPKP. Hanya saja, BPK tidak punya kewenangan untuk melakukan dorongan kuat kepada auditee agar hasil pemeriksaan atau temuannya ditindaklanjuti dengan nyata. Sementara komisi-komisi di DPR, menurut Eva, tidak pernah melakukan pengawasan kinerja keuangan. “Laporan BPK itu seperti hilang, hanyut begitu saja. Dan, saya bisa merasakan frustasinya teman-teman di BPK, sudah kerja ngoyo-ngoyo, lapor di DPR tetapi tidak diapa-apakan,” tegasnya. Namun, walaupun sudah dibentuk, tetap saja kewenangan BAKN dibatasi. BAKN lebih sebagai subordinat dan
melayani Komisi. BAKN akan bisa menindaklanjuti temuan BPK kalau mendapat otorisasi dari Komisi. Meski model PAC tidak akan diterapkan secara keseluruhan, BAKN tetap diperhitungkan jika mempunyai hasil dan dampak yang nyata. Jika itu bisa dilakukan, akan berimbas pada perbaikan tata kelola keuangan negara. Oleh karena itu, BAKN idealnya bertugas memastikan bahwa temuan BPK direspons secara semestinya oleh auditee. Lebih dari itu, memastikan tata kelola keuangan negara berjalan dengan baik. Bisa diukur dari perbaikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penggunaan keuangan negara. Di sisi lain, pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK tidak menjamin dapat menekan atau meminimalisir tindak korupsi, khususnya penyalahgunaan uang negara. Pemeriksaan keuangan ini dianggap tidak cukup untuk melakukan itu. Sebab, banyak auditee yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP, tetapi korupsi tetap terjadi. Bahkan, banyak ditemukan korupsi yang terjadi di auditee yang mendapatkan WTP. Menurut Eva, hal ini dikarenakan opini BPK lebih pada pendekatan audit keuangan. Sementara, jika targetnya memperbaiki transparansi dan akuntabilitas tata kelola keuangan tidak cukup hanya mengandalkan audit keuangan saja. Nah, inilah mengapa perlu audit kinerja. Ekonomi Hendri Saparini yakin jika BAKN hanya men-summary temuan BPK, tentu tidak akan mampu memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, lanjutnya, BAKN perlu memiliki kewenangan memanggil pihak-pihak yang diharapkan bisa memberikan masukan. Juga melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kelompok yang telah melakukan kajian. “Sehingga hal itu bisa meringankan BAKN yang memiliki keterbatasan resources,” paparnya. Menurut dia, jika BAKN ideal seperti OKTOBER 2011
17
LAPORAN KHUSUS perlu kemudian harus melayani alat Hendri, BAKN yang merupakan alat itu perlu ada perubahan peraturan kelengkapan lain. Alat kelengkapan kelengkapan DPR sebenarnya lebih perundang-undangan tentang sejajar. Masing-masing punya otoritas, condong pada soal kebijakan. BPK kewenangan badan ini. Pasalnya, tanpa masing-masing bisa menentukan dalam laporannya justru lebih condong didukung oleh aturan kuat jangan output sendiri,” ujar Eva. pada masalah teknis administrasi berharap BAKN akan lebih berdaya. keuangan. “Sehingga ini sedikit tidak Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria match.” mengakui bahwa lembaga ini masih Perlu Improvement Dia mengharapkan agar ada perlu penguatan agar bisa mencapai Terkait dengan perlunya tindak keselarasan antara BPK dan DPR perlu apa yang diinginkan. Secara struktural, lanjut BPK dilakukan secara nyata, prioritas yang sama. Misalnya, dari tuturnya, anggota BAKN hanya Hendri Saparini menyatakan selain sekian banyak hasil pemeriksaan, sembilan orang yang berasal dari BAKN perlu melakukan perbaikan dan bahkan pemeriksaan dengan tujuan komisi-komisi di DPR. “Kerja untuk BAKN penguatan, presentasi laporan BPK tertentu, tetapi seringkali bukan hanya dua hari Selasa dan Kamis. Kalau perlu improvement. prioritas DPR. untuk Komisi, kerjanya banyak. Dengan “Tidak hanya BAKN atau anggota “Ini harus ada link yang lebih model seperti itu, jika diberi beban yang DPR, kami dari analis juga sering tidak dekat. Mulai dari penetapan APBN. banyak, akan sulit bekerja dengan baik.” memahami temuan-temuan dari BPK. Misalnya berdasarkan RKP. Jadi, RKP Oleh karena itu, dia melemparkan Artinya, temuannya banyak sekali, ini yang jadi prioritas apa, Nah itulah gagasan pembentukan Komisi tetapi presentasinya kadang-kadang yang dipesankan DPR kepada tersendiri. Sehingga bisa lebih BPK untuk perlu dilakukan fokus dalam menjalankan fungsi pemeriksaan yang lebih detail,” pengawasan DPR terkait dengan papar Hendri. pengelolaan keuangan negara Selain itu, BPK juga bisa dan juga terkait dengan tindak melakukan pemeriksaan yang lanjut hasil pemeriksaan atau lebih detail atas masukan dari temuan BPK. masyarakat. Menurut Hendri, “Jadi, bahan-bahan dasar banyak sekali yang menjadi yang diberikan BPK kemudian interest publik tetapi tidak bisa juga mencari bahan menjadi prioritas BPK. tambahan, sehingga bisa “Ini biar optimal, karena memberikan masukan kepada kapasitas BAKN terbatas, Komisi yang membawahi kapasitas BPK juga terbatas, beberapa kementerian. foto: parlementaria sehingga semestinya isu-isu Kalau sekarang, terkadang Yahya Sacawiria yang diangkat memang betuldihadapkan kepada tugas yang betul yang menjawab masalah cukup banyak di Komisi. Untuk melaksanakan tugas di BAKN itu tidak menimbulkan pemahaman yang keliru.” interest di DPR maupun di masyarakat,” ungkapnya. selalu lengkap,” ungkap Yahya. Dia mencontohkan kalimat ‘tidak Melihat kewenangan dan Menanggapi hal itu, Hendri dapat diyakini kebenarannya’. Bagi fungsi BPK, Hendri melihat temuan menilai seharusnya BAKN mempunyai DPR, dalam hal teknis keuangan pemeriksaan BPK adalah masukan kewenangan yang besar berdasarkan yang terkait dengan kebijakan dan terpenting bagi penyusunan anggaran. tugas pokok dan fungsinya. Sebagai tindaklanjut, kalau ‘tidak dapat diyakini Namun, melihat dari siklus pemeriksaan salah satu alat kelengkapan DPR, seperti kebenarannya’ harus diapakan. BPK dan siklus dari perencanaan halnya Badan Anggaran, tentu juga Terkait dengan tindak lanjut, anggaran terlihat tidak match. memiliki kewenangan yang besar. Hendri mengharapkan agar BPK “Jadi, kalau kemudian kita Eva lebih memilih untuk dalam menyampaikan laporan secara membayangkan bagaimana agar memperkuat kewenangan BAKN. detail. “Berapa yang sudah dan belum temuan BPK ini bisa bermanfaat selama Menurut dia, BAKN adalah salah satu ditindaklanjuti oleh auditee masingaturan perundang-undangannya tidak alat kelengkapan DPR yang otonom masing dan apa saja poin rincian yang berubah, ini tidak akan bisa. Jadi, lewat dan berdiri sendiri. Walau dalam belum ditindaklanjuti. Ini yang harus saja. Apalagi sudah tertutup dengan kenyataannya, banyak kalangan DPR dibicarakan antara BPK dan BAKN.” yang ingin menggabungkan BAKN ke Poin penting lainnya agar hubungan membahas temuan-temuan lainnya. Tidak heran kalau temuan berulang dalam Komisi yang ada. kedua lembaga makin selaras yakni itu menjadi sangat banyak dari BPK,” “Ini yang perlu diluruskan. Namanya perlunya persamaan dalam melihat ungkap Hendri. alat kelengkapan itu ya otonom, tidak sudut pandang persoalan. Menurut and / bw
18
OKTOBER 2011
Warta BPK
AGENDA
warta bpk/rianto prawoto
Penyerahan naskah nota kesepahaman disaksikan oleh Ketua BPK, Hadi Poernomo, Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Nasib Alamsyah, Sekretaris Jenderal BPK, Hendar Ristriawan, serta Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK, Abdul Latief.
G
una terus meningkatkan kualitas pengawasan pengelolaan keuangan negara yang menjadi wewenang dan tugas utamanya, BPK menandatangani kesepakatan bersama dengan 12 pemerintah daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, pada 27 Oktober 2011. Seperti halnya di provinsi lain di Indonesia, kesepakatan yang dibangun oleh BPK bertujuan untuk menunjang pengembangan sistem informasi bagi akses data yang tengah dikembangkan oleh BPK. Kesepakatan itu diwujudkan dalam nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Selatan bersama Gubernur Kalimantan Selatan serta pimpinan pemerintah kabupaten dan kota.
Warta BPK
Pemda se-Kalsel
Dukung BPK Sinergi Upaya BPK mewujudkan Sinergi Nasional Sistem Informasi terus mendapat dukungan dari auditee. BPK telah menandatangani 485 nota kesepahaman. Kalimantan Selatan tinggal menunggu penyesesuaian software dan aplikasi data.
Dalam peristiwa yang berlangsung di Auditorium BPK Kantor Perwakilan Provinsi Kalsel itu, Kepala Perwakilan BPK Kalsel, Jack Anwar Mursidi melaporkan bahwa penandatanganan nota kesepahaman ini dilakukan dengan 12 pemda dari 14 yang ada. Pemda se-Kalsel yang hadir terdiri dari Pemprov Kalsel, dua pemkot
yaitu Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin, sembilan pemkot (Banjar, Tanah Bumbu, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Barito Kuala, Tapin, Tanah Laut, Hulu Sungai Selatan. Adapun, dua kabupaten yang belum menandatangani MoU adalah Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tabalong. OKTOBER 2011
19
AGENDA Dalam nota kesepakatan ini bukan mengatur kewenangan atau perizinan BPK untuk mengakses data milik pemerintah daerah/BUMD. Namun, mengatur hubungan kerja sama pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data. “Dengan kata lain, nota kesepahaman ini hanya mengatur mengenai cara untuk mengakses data yang diperlukan dalam pemeriksaan oleh BPK,” tegas Kepala Perwakilan BPK. Selain disaksikan Ketua BPK Hadi Poernomo, penandatangan juga diikuti oleh Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Nasib Alamsyah, Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan, serta Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK Abdul Latief. Hadi Poernomo memaparkan guna mempermudah perolehan data/dokumen yang menjadi salah satu wewenangnya, BPK telah memprakarsai pembentukan sinergi data dengan auditee melalui strategi link & match. Inti dari strategi sinergi data tersebut, tuturnya, BPK menjalin kerja sama pembentukan pusat data BPK secara elektronik dengan
menggabungkan data elektronik BPK (e-BPK) dengan data elektronik auditee (e-auditee) yang selanjutnya disebut dengan Sinergi Nasional Sistem Informasi (SNSI). Menurut Ketua BPK, dengan pusat data elektronik yang dimiliki, BPK dapat melakukan perekaman, pengolahan, pemanfaatan, dan monitoring data yang bersumber dari berbagai pihak dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, pemeriksaan akan berjalan lebih cepat, cakupan lebih luas, biaya lebih hemat, dan penyelesaian laporan pemeriksaan akan lebih cepat. “Konsep seperti ini kami sebut dengan BPK Sinergi” ujarnya. Bila konsep BPK Sinergi bisa secepatnya diterapkan secara optimal, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh permerintah. Seperti mengurangi KKN secara sistemik, mendukung optimalisasi penerimaan negara, mendukung efisiensi dan efektifitas pengeluaran negara, serta memberikan sistem peringatan dini melalui monitoring. “Kalau sudah demikian, maka
optimalisasi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara akan lebih cepat terwujud, sehingga semua itu diharapkan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk menopang kemakmuran rakyat,” tegas Ketua BPK. Sebagimana diamanatkan pada Pasal 10 huruf a dan b UU No. 15 Tahun 2004, dan Pasal 9 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BLU, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Oleh karena itu, tambah Hadi Poernomo, perlu dipahami bahwa tanpa nota kesepahaman bersama ini BPK tetap berwenang untuk mengakses data pemerintah daerah yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Nota kesepahaman ini lebih mengatur tata cara akses data terkait pengelolaan
Ketua BPK Hadi Poernomo didampingi oleh Sekjen BPK Hendar Ristriawan dan Kepala BPK Perwakilan Kalimantan Selatan Jack Anwar Mursidi berfoto bersama dengan jajaran pejabat di pemerintah daeran Provinsi Kalimantan Selatan dan DPRD setempat, seusai penandatanganan nota kesepahaman akses data dalam kaitan BPK Sinergi, di Auditorium BPK Perwakilan Kalimantan Selatan, belum lama ini.
20
OKTOBER 2011
Warta BPK
AGENDA dan tanggung jawab keuangan negara, serta salah satu bentuk kulo nuwun BPK kepada para auditee, Dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama pemda di wilayah Kalsel ini, BPK telah menandatangani 1.012 nota kesepahaman, termasuk di antaranya 485 MoU tentang pengembangan dan pengelolaan informasi untuk akses data. Dari 485 terdapat 264 nota kesepahaman dengan pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Sementara itu, Gubernur Kalsel Rudy Arifin menyatakan kesiapannya dalam kerja sama di bidang pemeriksaan keuangan negara guna mendorong terwujudnya tata kelola keuangan daerah yang sesuai dengan aturan. “Kami sangat mendukung dan mengapresiasi upaya BPK dalam pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data pada pemerintah daerah di wilayah Kalimantan Selatan,” jelasnya. Rudy memaparkan sebenarnya seluruh pemerintah provinsi/ kabupaten dan kota se-Kalsel sudah siap menyambut gagasan BPK untuk mengembangkan jaringan akses
data secara elektronik karena sistem administrasi yang kini dikembangkan pada dasarnya telah berbasis komputerisasi dan teknologi informasi. “Yang kita perlu seragamkan sekarang ini mungkin hanyalah software yang digunakan serta aplikasinya saja. Kalau semua sudah sama, akses data itu setelah di ujicoba secara matang, bisa secepatnya diterapkan. Jadi kami sangat mendukung gagasan BPK itu dan mudah-mudahan tahun depan sudah bisa diterapkan,” tambahnya. Rudy Arifin menambahkan dalam hal pengelolaan keuangan, pada 2 tahun terakhir ini, Provinsi Kalsel mendapatkan penghargaan dari Kementerian Keuangan, sebagai provinsi yang berhasil mengelola keuangan dengan baik. “Kami merasa bangga karena selain mendapatkan bonus, pada 2010 Provinsi Kalsel adalah salah satu dari empat provinsi yang mendapat penghargaan dari Kementerian Keuangan,” jelasnya. Bupati Tanah Bumbu Mardani H Haming kepada wartawan menyatakan pihaknya sudah siap menerima sistem akses data yang akan diterapkan BPK
karena sistem administasi tata usaha yang dilakukan sudah dengan sistem komputerisasi. Namun, sebagaimana diungkapkan Gubernur Kalsel Rudy Arifin, yang masih perlu disesuaikan adalah aplikasi data serta software yang digunakan sehingga tidak ada lagi masalah teknis . ”Kalau soal sumber daya manusia, kita sudah mulai menyiapkan. Yang penting saya kira sistem dan koordinasinya,” tambahnya. Menyangkut opini BPK, Mardani yang tercatat sebagai salah satu bupati termuda di Indonesia menyatakan hingga saat ini Kabupaten Tanah Bumbu masih mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Salah satu kendalanya yang menjadi catatan BPK adalah menyangkut soal aset. “Masalah aset ini memang harus didata dengan hati-hati karena harus dilengkapi dengan bukti pendukungnya. Ini memang tidak mudah karena Tanah Bumbu merupakan kabupaten yang masih baru. Namun, kami yakin semua itu bisa segera kami selesaikan,” tegasnya. bd
Jack Anwar Mursidi, Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalsel tengah menyampaikan pidatonya dihadapan Ketua BPK RI Hadi Poernomo dan Gubernur Kalsel Rudy Arifin dalam acara penandatanganan naskah nota kesepahaman belum lama ini.
Warta BPK
OKTOBER 2011
21
AGENDA
BPK Kembangkan Sistem Informasi Pemda se-Kaltim BPK menyepakati pengembangan sistem informasi untuk akses data dengan 15 pemerintah daerah di Kalimantan Timur dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
K
esepakatan mengenai cara akses data ini terwujud dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Kepala Perwakilan BPK Provinsi Kalimantan Timur Sri Haryoso Suliyanto, dengan para pimpinan pemda. Penandatanganan nota kesepahaman berlangsung di Kantor BPK Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, pada 31 Oktober 2011. Acara disaksikan oleh Ketua BPK Hadi Poernomo, Anggota V BPK Sapto Amal Damandari, Kepala Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara BPK Nizam Burhanuddin, Gubernur
22
OKTOBER 2011
Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak, Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Pimpinan DPRD, Forum Komunikasi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pimpinan instansi vertikal Provinsi Kalimantan Timur, serta para pejabat di lingkungan BPK. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta data/dokumen kepada auditee dan/atau pihak lain yang terkait. Untuk mempermudah perolehan data/dokumen tersebut, BPK memprakarsai pembentukan sinergi data dengan auditee melalui strategi link & match data. Dalam sinergi data ini, BPK akan menjalin kerja sama
pembentukan pusat data BPK secara elektronik dengan auditee yang selanjutnya disebut Sinergi Nasional Sistem Informasi (SNSI). Demikian dipaparkan oleh Ketua BPK dalam sambutannya. Ketua BPK menambahkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi akan membuat pemeriksaan berjalan lebih cepat, cakupan pemeriksaan lebih luas, biaya pemeriksaan lebih hemat, dan laporan pemeriksaan diselesaikan lebih cepat. Kepala Perwakilan melaporkan bahwa kesepakatan dalam nota kesepahaman ini bukan mengatur mengenai kewenangan atau perizinan bagi BPK untuk mengakses data milik lembaga negara, kementerian, atau badan. “Kesepakatan ini mengatur mengenai hubungan kerjasama pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data dalam rangka pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan kata lain, nota ini hanya mengatur cara mengakses data,” jelas Sri Haryoso seperti dikutip dari website resmi BPK, belum lama ini. Pada kesempatan yang sama, Ketua BPK meresmikan Gedung Kantor BPK Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur. Gedung ini terletak di Jalan M. Yamin No. 19, Samarinda, Kalimantan Timur, yang dibangun di atas lahan seluas 5.917 meter persegi. Gedung ini terdiri dari tiga lantai seluas 3.300 meter. Gedung juga dilengkapi dengan sarana teknologi informasi yang dipasang untuk mendukung proses pemeriksaan. Hadi Poernomo berpesan kepada seluruh jajaran BPK Perwakilan Kaltim agar dapat memelihara gedung dengan sebaik-baiknya. “Mudah-mudahan gedung ini bermanfaat untuk meningkatkan kerja sama dan sinergi dengan para pemilik kepentingan, serta dapat melayani mereka dengan sebaik-baiknya dengan berpegang teguh pada nilai dasar BPK yaitu Independensi, Integritas dan aiz Profesionalisme.” Warta BPK
WAWANCARA
Moermahadi Soerja Djanegara Anggota BPK RI
“Perlu Dibangun Budaya Kerja Baru”
warta bpk/rianto prawoto
Moermahadi Soerja Djanegara
P
erubahan budaya kerja diyakini bisa membuat BPK menjadi lebih baik dalam core bisnisnya. Hal lain yang perlu mendapat perhatian serius yakni pelaksanaan audit kinerja. Itulah beberapa hal yang mendapat sorotan dalam wawancara dengan Anggota I BPK Moermahadi Soerja Djanegara di ruang kerjanya pada beberapa waktu lalu . Berikut petikan Warta BPK
wawancara dengan Anggota BPK yang membidangni Sosial Politik Pertahanan dan Keamanan itu. Bagaimana pandangan Bapak terhadap perkembangan BPK dari awal sampai sekarang? Saya dulu di BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Waktu itu saya melihat, BPK mempunyai kewenangan tapi tidak sebesar BPKP. Waktu itu BPK hanya punya kelebihan
bisa memeriksa TNI. Sementara instansi lain, BPKP yang pegang. Malah saya memandang waktu itu, BPK itu hanya mengambil laporan BPKP dan tinggal meneruskan saja. Namun, sekarang sewaktu saya sudah masuk, saya terkaget-kaget karena organisasi BPK ini sudah sedemikian besar. Namun di sisi lain, SDM-nya belum sepenuhnya siap. Perlu dibangun budaya audit yang lebih kuat lagi. Seperti tempo hari, ada laporan kita yang sampai salah angka. Kejadian seperti ini tidak akan terjadi kalau manajemen risiko dan quality control audit kita sudah terbangun. Tapi ini memerlukan proses. Butuh jam terbang tinggi untuk menciptakan auditor yang handal. Filter audit dalam setiap tahap harus benar-benar bekerja. Di setiap jenjang proses audit mulai dari pengumpulan data hingga justifikasi laporan harus melalui suatu filter yang ketat. Ketua Tim harus bertanggung jawab atas masalah angka-angka itu. Sampai Pengendali Teknis ikut menyaring juga. Jadi berlapis. Nah, di BPK itu masih kurang. Selalu saya bilang ke temanteman kepala auditoriat, pakai nota dinas untuk administrasi silahkan tapi mereka harus bekerja langsung. Datang ke anggota tim audit untuk ikut mengawasi. Pengawasan dan pengendalian audit tidak bisa jalan hanya dengan nota dinas. Kalau pakai nota dinas memakan waktu lama, padahal pekerjaan ini butuh kecepatan. Garis-garis komando seperti itu memang harus dilakukan. Budaya itu yang mesti dibangun. Apa sekarang ada perubahan? Ya, sedikit-sedikit ada perbaikan. Kalau dasar pendidikan, mereka hebathebat semua, tetapi ini masalahnya pada budaya. Budaya yang mesti dibangun. Dan, itu butuh proses. Apa pengalaman juga minim? Benar. Jam terbang masih sangat terbatas. Sekarang kewenangan BPK demikian besar sehingga kita terkaget-kaget, wewenang kita itu jauh lebih besar dari sebelumnya. OKTOBER 2011
23
WAWANCARA Sampai sekarang, BUMD belum terawasi dengan baik. Bayangkan saja. Coba tanya ke Kepala Perwakilan, apa mereka tahu berapa BUMD yang ada di daerahnya. Tidak ada yang care. Hasilnya tidak ada, karena tidak ada yang memeriksa. Padahal yang periksa itu KAP, BPKP yang periksa. Sementara wewenang ada di kita. Namun, tidak dilakukan. Artinya kewenangan besar tapi SDM terbatas, auditee banyak yang harus kita audit? Makanya masih butuh banyak orang. Juga penyebaran pegawai ke daerah. Coba saja teman-teman suruh pindah ke daerah, susah pasti.
periksa saja. Padahal sekarang ini mestinya BPKP bukan lagi periksa tapi sebagai konsultan, dia harus dorong auditee. Justru kalau perlu orang-orang BPKP didistribusikan ke daerah. Bagaimana BPK ke depannya terkait dengan pemeriksaan kinerja yang masih belum seluruhnya dilakukan? Memang harus ke arah sana [pemeriksaan kinerja]. Untuk apa kita hanya memeriksa laporan keuangan. Kita kasih saja ke Akuntan Publik. Kalau tidak ke BPKP saja, tetapi atas nama kita. Justru memang kita stressing-nya ke audit kinerja. Hanya saja, masalah nya, tergantung dari jam terbang.
tetap harus menyampaikan laporan keuangan. Sekarang sudah pakai SAI (Sistem Akuntansi Instansi), apa dampaknya? Begitu TNI menggunakan sistem SAI, berantakan, akibatnya balik lagi ke manual. Mereka masih WDP. Namun, memang di TNI itu yang beda sistemnya. Kalau yang lain DIPA itu sampai Satker (Satuan kerja), kalau TNI hanya di Mabes TNI, Mabes Angkatan masing-masing, dan Kementerian Pertahanan. Makanya pencairan dana mereka lambat. Bulan Agustus baru cair, kecuali gaji pegawai. Alasannya, dananya masih di komando.
Makanya, pola mutasi dan karier itu, saya bilang harus dipaksa agar bisa berjalan. Ini tak bisa dihindari juga karena organisasi begitu cepat besar, orang tidak siap. Sama juga dengan UU keuangan negara. Sebetulnya belum siap. Entitasnya belum siap. Dulu tidak pernah buat ini, sekarang harus buat. Kalau yang di daerah awalnya parah. Kalau sekarang sudah mulai membaik. Siapa yang berwenang untuk membantu pengelolaan keuangan negara? BPKP. Kalau kita [BPK] terlalu ikutikutan nanti malah kita yang buat laporan keuangan. Itu tugas BPKP untuk mendorong entitas pemerintah lebih baik. Hanya saja, BPKP juga ada penyakitnya. Saya bilang ke mereka, “Kamu jangan memeriksa sekarang, kalian sudah jadi konsultan.’ Namun, otak mereka masih sebagai
Tidak bisa orang hanya ditatar. Harus langsung terjun ke pemeriksaan ini. Apakah pemeriksaan laporan keuangan sudah bagus? Kalau pemeriksaan keuangan sudah mulai bagus. Karena kita paksa dia [auditee] juga, seperti misalnya di TNI dan polisi. Dulu, di Polri, mereka tidak mau mencatat barang bukti. Kemudian kita sampaikan ke mereka, barang bukti harus cacat. Ternyata mereka sekarang tertib. Kalau tidak mau, ya akan berpengaruh pada opini. Apa saja permasalahan yang biasa muncul di laporan keuangan? Masalah aset dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kalau di tempat kita. Ada juga yang belum dicatat. Apa penyebabnya? SDM yang berkualifikasi untuk menyusun laporan keuangan juga tidak ada. Namun, sekarang mereka
Masalah aset ternyata dikeluhkan Komisi XI DPR, karena dari tahun ke tahun permasalahan ini tetap sama dan itu juga mempengaruhi Opini BPK? Ya, kalau aset itu gara-gara UU keuangan negara. Kita mesti buat laporan keuangan. Nah, dari dulu pencatatan aset tidak beres inventarisasinya dan penilaiannya. Kementerian Keuangan mungkin terlalu rigid cara penilaiannnya. Terkadang harus ada dokumennya, sementara dokumennya lama-lama, dari tahun berapa, berapa nilainya. Akhirnya masuk pada nilai. Nilai aset di TNI itu, katakanlah pesawat tahun berapa? Nilainya berapa? Siapa yang bisa menilai? Belum masalah kepemilikan aset. Asetnya dimiliki siapa? Mana bukti kepemilikannya? Ada buktinya? Itu kejadian biasanya di Pemda. Di TNI
24
OKTOBER 2011
Warta BPK
WAWANCARA biasanya aset-aset yang ditempati orang. Dulu inventarisasi ada, tetapi tidak ada nilai. Dulu tidak perlu pakai nilai, yang penting semua barang dicatat semua. Begitu nilainya berapa, cari dokumennya, ternyata tidak ketemu. Nah, mereka lama membenahinya. Bagaimana caranya agar masalah aset ini tidak menjadi kendala tetap? Harus ke Kementerian Keuangan melalui Dirjen Kekayaan Negara. Saya katakan shortcut saja. Berapa harganya, tulis saja. Masa meributkan masalah nilai. Bukan untuk dijual. Atau, nilainya sekarang sudah nol. Sekarang mereka belum bicara penghapusan. Bagaimana jika pakai nilai perolehan? Kalau kita mau, pakai nilai wajar. Nah, itu lebih seru lagi. Kalau sekarang sih menurut saya, catat dulu saja. Hanya mereka kadang mengalami kesulitan karena barangnya sudah tidak ada, tapi di daftarnya ada. Mestinya bicara penghapusan. Pos penghapusan aset itu harus proses ke Kementerian Keuangan. Bagaimana dengan audit kinerja? Kita sudah bilang kepada mereka, kalau nanti sudah WTP, kita akan periksa laporan keuangan. Kita mau masuk di audit kinerja. Sampai sekarang audit kinerja belum banyak dilakukan. Sebetulnya auditee mengharapkan hal itu terlaksana. Mereka juga perlu diberikan penjelasan, apa sih gunanya audit kinerja. Kita itu memberi rekomendasi. Memberi saran perbaikan internal mereka. Apa yang dilakukan sudah sesuai belum dengan tugas dan fungsi mereka. Buat mereka itu bagus. Apa kendala dalam aplikasi audit kinerja?
Warta BPK
Pertama jam terbang. Mereka harus melakukan pemeriksaan. Baru nanti kita tahu bagaimana meningkatkan kualitas dari audit ini. Hanya memang, audit kinerja itu ada tahapan-tahapannya. Sewaktu kita melakukan pemeriksaan pendahuluan, mengumpulkan data, diskusi harus dilakukan, brain storming antara tim pemeriksa itu harus dilakukan. Untuk mendapatkan persepsi yang sama. Setelah persepsinya sama, kita tentukan langkah
berikutnya apa. Kita bersama-sama menyusun audit programnya. Tidak seperti audit keuangan. Audit keuangan sebetulnya sudah mudah, ada template-nya. Kalau audit kinerja tidak bisa. Harus diskusi dengan auditee juga. Sampai kita menyusun audit program. Baru kita masuk dan mesti banyak bicara. Nah, anak-anak itu [pemeriksa BPK] harus membiasakan hal itu. Kita juga harus mengatur tim itu. Nanti, ada yang special di audit ada yang bagian komunikasi, misalnya. Pasalnya, tidak semua orang bisa berkomunikasi sewaktu memeriksa. Kalau sebagai penanggungjawab harus tahu detil. Rekomendasi juga tidak ujug-ujug bisa dikasih saran. Diskusikan lagi dengan auditee. Menurut kita begini, menurut dia bagaimana. Ada adu argumen, tidak masalah. Bisa juga tidak ketemu atau satu suara, tetapi kita sudah tahu penyebabnya apa. Kita diskusi lagi sampai clear. Apakah BPK akan membentuk tim audit kinerja tersendiri? Belum ada. Agak susah kita bikin seperti di ANAO (Australian National Audit Office/BPK-nya Australia). Mereka bisa membagi dua audit kinerja dan audit keuangan. Kalau di Indonesia agak susah. Pengalaman saya, kita campur dengan audit keuangan. Karena untuk menghindari kejenuhan juga jika terlalu terspesialisasi. Namun, kalau mau dicoba, juga tidak apa-apa. Merekrut orang juga masih terpisah-pisah. Seperti kita merekrut pegawai itu ada yang dari latar belakang teknik sipil dan sebagainya. Habis itu, dari kondisi yang ada sekarang, SDM yang ada, baru kita bilang, ’kita mau audit kinerjanya apa dulu?’ Baru kita masuk-masukan orang-orang itu. OKTOBER 2011
25
WAWANCARA Sampai sekarang itu belum dilakukan. Kita meski mengatur pembagian orangorang itu. Sepertinya ada pola, pada semester pertama semua auditor diarahkan untuk audit keuangan dan pada semester kedua ke audit kinerja atau PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu)? Audit keuangan itu mandatory. Kita harus memberikan opini LKPP. Mau tidak mau kita harus lakukan itu. Memang akhirnya, kita mungkin harus meniru ANAO juga. Harus ada spesialisasi di audit kinerja. Supaya bisa jalan di awal tahun. Biasanya memang audit kinerja itu bagusnya dilakukan di tahun berjalan. Jangan pemeriksaan yang sudah lewat. Itu kurang bermanfaat. Berapa persentase antara audit keuangan, audit kinerja, dan PDTT? Kalau audit kinerja baru memulai. Kalau tahun-tahun kemarin audit keuangan dan PDTT. Namun, PDTT itu stressingnya di keuangan juga, cuma di parsialnya. Kalau proporsinya audit kinerja 20%, 30% PDTT, 50% audit keuangan. Apa itu sudah komposisi ideal? Belum. Ke depan kita unggulannya audit kinerja. PDTT tidak perlu ada. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, itu bisa macam-macam. Namun, yang sekarang dilakukan lebih banyak ke keuangannya. Ke depan memang mesti dibikin komposisi seperti itu [audit keuangan seimbang dengan audit kinerja]. Apa yang harus dilakukan agar pemeriksa terlatih dengan audit kinerja? Saya belum tahu juga hasilnya yang di diklat itu. Pemeriksa semua katakan ada 300 orang, sudah mulai memeriksa. Syaratnya, harus melibatkan semua. Semua harus ikut. Jangan yang berpikir itu di bawah saja. Pengendali teknis karena tidak tahu, tidak ikut
26
OKTOBER 2011
memikirkan. Penanggung jawab juga sama. Jadi, proses review itu harus dilakukan. Apa yang paling mendesak untuk dibenahi? Kembali ke masalah budaya kerja. Masalah deadline saja masih belum terpenuhi. Ada laporan hasil pemeriksaan 6-9 bulan baru
foto: warta bpk/rianto prawoto
jadi. Bagaimana ceritanya, coba? Laporannya ada, tetapi ada di meja Kaud atau kasubaud-nya, tidak dibaca, tidak diapa-apakan. Sudah 4 bulan di sana. Ketaatan terhadap deadline itu buat apa dibikin rencana pemeriksaan (P2), sementara realisasinya tidak ditaati. Saya yakin bukan hanya di AKN di bawah saya, tetapi AKN lain juga. Pada level apa yang paling menentukan dalam mengubah budaya kerja? Level Tortama ke bawah. Itu dia, budaya kerjanya meski diubah. Kalau dia menjadi auditor, sewaktu masuk ke BPK, itu peranan diklat untuk menanamkan budaya itu. Jadi, mendidik auditor yang dari akuntan berapa lama, yang nonakuntan berapa
lama, itu harus dipisahkan. Setelah itu, di pendidikan sudah mulai ditanamkan budaya dan harus dipraktekkan. Berdasarkan IHPS kemarin, tindak lanjut dari audit itu masih 55%, ini indikasinya apa pak? Apakah memang auditee kurang berkomitmen atau memang ada kesalahan di dalam kita sendiri? Sebesar 50% IHPS itu, periode tahun berapa? Itu mesti dilihat. Laporan yang dulu-dulu itu bagaimana? Jadi, makanya Pak Ketua kemarin menyampaikan “ya sudah yang 2009 sampai sekarang kita cut saja. Berapa jumlah yang belum ditindaklanjuti dari tahun 2009? Itu pernah polisi. Kita kumpulkan, tindak lanjut yang laporan itu, yang berjalan bisa dilakukan, yang lama-lama. Dari mereka sudah, di kita datanya belum. Bagaimana ceritanya? Mestinya, otomatis begitu selesai laporan, kasih waktu 60 hari auditee, itu harus ada action lagi dari kita. Panggil cepat, kenapa tidak menindaklanjuti. Menurut saya yang berjalan sekarang, lancar semua. Tidak ada masalah. Temuan audit berindikasi TPK (Tindak Pidana Korupsi) yang dilaporkan ke penegak hukum, penanganannya masih rendah. Tanggapan Anda? UU mengatakan bahwa kalau ada indikasi tindak pidana korupsi kita serahkan ke aparat penegak hukum. Namun, penjabaran dari itu belum kita lakukan. Mekanismenya seperti apa. Itu belum kita buat. Kalau kita hanya buat laporan, kasih ke kejaksaan sudah selesai. Terserah dia mau ditindaklanjuti atau tidak. Kita tidak pernah buat mekanismenya. Panggil dia [penegak hukum], kita bicara, kita ekspos, baru kita monitor, bagaimana bisa nggak? Mestinya kita atur mekanismenya dengan kejaksaan seperti apa, dengan kepolisian seperti apa, dengan KPK seperti apa. and
Warta BPK
Pantau
Gedung BPKP
Pendapatan Negara Rp4,9 miliar di BPKP Diduga Menyimpang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kesandung masalah pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp4,9 miliar. Akibat tidak ada standar operasional prosedur.
Warta BPK
B
PK menilai BPKP belum memiliki standar operasional dan prosedur alias SOP sehingga dapat menimbulkan potensi penyimpangan dan penyalahgunaan PNBP. Hal itu diketahui dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) atas pemeriksaan Sistem Pengendalian Internal (SPI) di BPKP pada semester I/2011. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) BPKP untuk anggaran yang berakhir 31 Desember 2010 menyajikan total realisasi PNBP sebesar Rp4,9 miliar. Dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) BPKP pada 2010 dijelaskan PNBP tersebut bersumber dan pendapatan penjualan dan sewa sebesar Rp2,1 miliar, pendapatan Jasa sebesar Rp3,5 iuta, pendapatan pendidikan Rp1,8 miliar, pendapatan iuran dan denda Rp64,8 juta,
dan pendapatan lain-lain Rp 928,5 juta. BPK melihatnya janggal, mengingat sebagai auditor yang bertanggung jawab kepada Presiden seperti dinyalakan dalam PP No. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam aturan itu disebutkan BPKP berperan mendukung akuntabilitas Presiden dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara melalui fungsi pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, komitmen ini selanjutnya dituangkan dalam pernyataan visi yaitu sebagai lembaga auditor Presiden yang responsif, interaktif, dan terpercaya, untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan negara yang berkualitas. BPKP merupakan lembaga pemerintah OKTOBER 2011
27
Pantau Harus dibuktikan BPKP bahwa temuan itu bukan suatu kesengajaan. Kalau tidak maka lembaga yang diaudit BPKP bisa tidak yakin dan mempertanyakan kompetensi BPKP, Yuna Farhan
nonkementerian, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 31 Tahun 1983. Kemudian diperbarui dengan Keppres Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas. Fungsi, Kewenangan. Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Sebagai aparat pengawasan internal pemerintah. BPKP juga berperan membantu pemerintah membangun pemerintahan yang baik dan bersih, memberikan masukan/solusi atas permasalahan yang terjadi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. BPK telah memeriksa neraca BPKP pada 31 Desember 2009 dan 2010, serta Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Selanjutnya, BPK menerbitkan LHP atas Laporan Keuangan (LK) BPKP 2010 yang memuat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan nomor 89A/HP/ XVI/05/2011 pada 12 Mei 2011. dan LHP kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan nomor 89 C/ HP/XVI/05/2O11 pada 12 Mei 2011. Sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). dalam pemeriksaan atas LK BPKP tersebut, BPK mempertimbangkan SPI BPKP untuk menentukan prosedur pemeriksaan dengan tujuan menyatakan pendapat atas LK dan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas SPI. BPK menemukan kondisi yang dapat dilaporkan berkaitan dengan SPI dan operasinya. Pokok-pokok kelemahan dalam SPI atas LK BPKP yang ditemukan BPK di antaranya BPKP belum memiliki SOP pengelolaan PNBP yang dapat menimbulkan potensi penyimpangan dan penyalahgunaan PNBP. LHP BPK menjelaskan PNBP jenis pendapatan pendidikan diperoleh dan dilaporkan oleh pusat pendidikan dan pelatihan BPKP.
28
OKTOBER 2011
Selama 2010, PNBP tersebut antara lain berupa pendapatan dari penjualan modul pendidikan dan pelatihan (diklat) dan sewa mess/akomodasi diklat, serta pendapatan berupa biaya penyelenggaraan diklat di Pusdiklatwas BPKP. Berdasarkan keputusan Kepala BPKP Nomor KEP55I/K/SU/ 2010 pada 29 Juli 2010 tentang Bendahara Penerimaan PNBP BPKP Tahun Anggaran 2010 yang menyebutkan, pengelolaan dan penatausahaan PNBP Pusdiklatwas BPKP dilakukan bendahara penerimaan PNBP. Menurut Quality Procedure nomor QP-TU/KEU-13 pada 10 Juni 2009 tentang pelaksanaan pengelolaan keuangan oleh petugas dalam penyelenggaraan diklat antara lain disebutkan, agar pengelolaan keuangan penyelenggaraan diklat tepat kelola dan tertib administrasi, maka ditunjuklah Liason Officer (LO) Keuangan sebagai petugas penghubung dari Sub Bagian Keuangan untuk mengelola keuangan penyelenggaraan diklat. Tugas LO adalah menerima uang muka kegiatan, membayar honorarium dan biaya lainnya sesuai dengan pembiayaan penyelenggaraan diklat, kemudian mencatat dan menyiapkan Laporan Realisasi Rencana Anggaran (LRAB) penyelenggaraan diklat.
Pemeriksaan BPK Hasil pemeriksaan BPK terhadap dokumen PNBP BPKP menunjukkan pembayaran honor untuk LO dikeluarkan berdasarkan Keputusan Sekretaris Utama BPKP nomor KEP-680/SU/03/2007, 9 Maret 2007 tentang tarif komponen biaya pendidikan dan pelatihan di lingkungan Pusdiklatwas BPKP 2007. Surat keputusan tersebut menyebutkan penetapan honor LO berlaku untuk tahun anggaran 2007. Namun, Warta BPK
Pantau sampai dengan pemeriksaan BPK berakhir pada 20 April 2011 dasar pembayaran honor LO masih mengacu pada ketentuan tersebut dan belum ada revisi mengenai pengenaan tarifnya. Selain itu, setiap penerimaan diklat melalui LO keuangan tidak langsung segera disetor ke bendahara penerimaan PNBP, melainkan ditampung terlebih dahulu. Setelah diklat berakhir baru diserahkan ke bendahara penerimaan PNBP untuk disetor ke kas negara. Mekanisme penerimaan PNBP oleh bendahara penerimaan PNBP dari kegiatan diklat diperoleh melalui tiga cara, transfer masuk dari peserta diklat ke rekening bendahara penerimaan PNBP, melalui pembayaran tunai dari peserta diklat melaui LO keuangan, dan pembayaran langsung dari instansi peserta diklat melalui rekening bendahara penerimaan PNBP. Hasil pemeriksaan fisik kas pada 10 Maret 2011 menunjukkan, terdapat uang tunai dari tujuh orang peserta diklat sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor (JFA) dan tingkat ahli Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) sebesar Rp49,5 juta yang masih berada di LO keuangan. Sejak uang tunai tersebut diterima dan peserta diklat pada I8 Februari 2011 sampai dengan saat pemeriksaan fisik kas pada 9 Maret 2011, LO keuangan belum menyetorkan uang tersebut kepada bendahara penerimaan PNBP, yang pada gilirannya diharuskan menyetorkannya ke kas negara. Dalam pemeriksaan lanjutan BPK menunjukkan setiap penerimaan diklat yang masuk ke rekening bendahara penerimaan PNBP tidak langsung segera disetor ke kas negara. Lamanya uang tersebut disimpan sebelum disetor ke kas negara berkisar antara 3 - 24 hari. Hasil konfirmasi kepada bendahara penerimaan menjelaskan, penyetoran penerimaan diklat ke kas negara dilakukan apabila penerimaan itu sudah terkumpul seluruhnya, baru disetor ke kas negara. Kondisi tersebut tidak sesuai dan melanggar tiga peraturan, termasuk peraturan Kepala BPKP yaitu Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-55 l/K/SU/2010 yang menyatakan, bendahara penerimaan PNBP 2010 mempunyai tugas untuk menerima, menyimpan, menatausahakan. dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara yang berasal dari PNBP dalam rangka menertibkan APBN. Selain itu, tidak sesuai dengan perintah Peraturan
Warta BPK
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47/ 2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada BPKP, pasal 4 menyatakan seluruh PNBP yang berlaku pada BPKP wajib disetor langsung secepatnya ke kas negara. BPKP juga dinilai melanggar Peraturan Menteri Keuangan nomor 73/PMK.O5/2OO8 pada 9 Mei 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Kementerian Negara/ Lembaga/Kantor/Satuan Kerja, pasal 4 ayat 1 yang menyatakan, orang atau badan hukum yang berdasarkan ketentuan diwajibkan menyetor PNBP, wajib menyetorkan langsung ke kas negara, kecuali untuk jenis penerimaan tertentu yang diatur secara khusus dan telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. BPK menyimpulkan, hal itu disebabkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pengelolaan PNBP yang berasal dari penyelenggaraan diklat, dan BPKP dianggap belum mempunyai SOP pengelolaan PNBP. Akibatnya, pertanggungjawaban atas pembayaran honor LO keuangan menjadi tidak sah dan terjadi potensi penyimpangan dan penyalahgunaan uang yang berada di LO Keuangan. BPK juga merekomendasikan kepada Kepala BPKP supaya meningkatkan pengawasan dan pengendalian pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta menyusun dan menetapkan SOP pengelolaan PNBP. Terungkapnya BPKP tidak memiliki SOP atas pengelolaan PNBP bisa berakibat menurunkan kepercayaan lembaga yang diaudit terhadap BPKP. Oleh karena itu, BPKP disarankan dapat menepis temuan BPK itu. “Harus dibuktikan BPKP bahwa temuan itu bukan suatu kesengajaan. Kalau tidak maka lembaga yang diaudit BPKP bisa tidak yakin dan mempertanyakan kompetensi BPKP,” kata Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, belum lama ini, seperti dikutip Rakyat Merdeka. Tak hanya itu, BPKP dan BPK juga diharapkan mengumumkan kepada publik terhadap hasil-hasil temuannya, selama ini masyarakat kurang memiliki akses tentang hasil audit keuangan negara. “Ada kesan dari masyarakat, setiap hasil audit dan tindaklanjutnya yang dilakukan lembaga auditor keuangan negara itu masih tertutup,” jelasnya. aiz OKTOBER 2011
29