Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten dalam Upacara Perkawinan Adat Sunda Kontemporer Cepi Irawan
Volume 12 Nomor 2, Oktober 2012: 90-100
Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jln. Parangtritis Km 6,5 Bantul, Yogyakarta 55001 Telp. (0274) 375380, E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memahami peristiwa saweran yang terjadi dalam masyarakat Sunda kontemporer. Penelitian dilakukan dengan pengamatan terlibat pada upacara perkawinan yang berlangsung dalam masyarakat Sunda yang tinggal di kota. Peristiwa nyawer atau sawer dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan adat Sunda setelah akad nikah. Upacara ini dilengkapi dengan benda-benda simbolik yang mempunyai nilai ritual seperti mantera atau rajah. Sawer yang bentuk aktivitasnya berupa penyampaian nasihat kepada mempelai melalui lagu-lagu yang dinyanyikan oleh juru sawer dengan seni mamaos sebagai sarananya. Sawer atau nyawer mempunyai arti air jatuh memercik, sesuai dengan praktek juru sawer yang menabur-naburkan perlengkapan nyawer seolah-olah memercikkan air kepada mempelai serta kepada semua yang hadir dan ikut menyaksikan di sekelilingnya. Acara seperti ini disebut nyawer karena dilakukan di panyaweran atau taweuran atau cucuran atap. berdasarkan pengamatan, dapat disimpulkan bahwa pada saat ini telah terjadi perubahan-perubahan, baik dari segi tempat pertunjukan, waktu pelaksanaan, materi lagu yang dibawakan, dan juru sawer yang melaksanakannya. Meskipun demikian, acara sawer ini sampai sekarang masih terus dilaksanakan oleh masyarakat Sunda kontemporer. Kata kunci: sawer, upacara perkawinan, adat Sunda, kontinuitas, perubahan
ABSTRACT Continuity and Change of Sawer Art in the Sundanese Tradition Wedding Ceremony. The sawer art is a kind of song that has a free meter, accompanied by the musical instruments of kacapi (both the kacapi indung and the kacapi rincik) and either the flute or the rebab (a two-stringed musical instrument). One of the functions of this art is to become a part of the ceremonial activities in the Sundanese wedding ceremony. It is performed after the marriage ceremony. In this case, the sawer art is carried out by using a technique served with beverage refreshment (ditambul) or songs sung without any musical accompaniments. Marriage is considered to be sunnah (optional) and it is determined by human beings based on the spiritual and physical needs. The marriage ceremony is the most vital part in the process. After the marriage ceremony is over, there are other ceremonies to be carried out. These extra ceremonies do not belong to the religious rule, instead they are parts of the old Sundanese customs which exist until the present time and perpetuated by many Sundanese people. They include the sawer or nyawerthrough which an activity is done by giving a message to the newly-married couple through songs presented by the jurusawer. From time to time, the sawer art still exists with its strong tradition and it spreads throughout West Java, especially Priangan.
90
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Some people have this art as their profession. There have been some changes in the Sundanese wedding tradition, i.e. those concerning time, place, equipment and the people organizing it. Keywords: sawer art, Sundanese wedding, marriage ceremony, continuity, change
Pendahuluan Salah satu bentuk upacara adat Sunda yang sampai sekarang masih dilaksanakan adalah sawer panganten dengan menggunakan seni mamaos sebagai medianya. Seni mamaos merupakan nyanyian yang bermetrum bebas yang dalam penyajiannya menggunakan alat-alat musik yang terdiri dari kacapi (kacapi indung dan kacapi rincik) dan suling atau rebab. Sawer diadakan setelah upacara akad nikah. Acara ini dimaksudkan sebagai media pendidikan dan tuntunan bagi yang akan menempuh hidup berumah tangga dan bagi yang telah berumah tangga agar terus saling mengasihi, menyayangi, dan hidup rukun sampai akhir hayat. Acara sawer mempunyai kedudukan penting dalam lingkaran hidup masyarakat Sunda, yakni peralihan status yang dilaksanakan pada upacara selamatan dalam peristiwa pernikahan yang pelaksanaannya disampaikan oleh penutur yang disebut juru sawer. Pada pertunjukan itu dilengkapi dengan berbagai perlengkapan tertentu yang bersifat simbolis dan bernilai ritual. Bahasa yang dipergunakan dalam puisi sawer umumnya bahasa yang lugas, magis, dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai ialah bahasa halus dan sedang. Teks syair yang digunakan adalah dalam bentuk pupuh dan puisi bebas. Upacara nyawer biasanya dilengkapi dengan benda-benda simbolik yang mempunyai nilai ritual seperti mantra atau rajah yang diucapkan oleh juru sawer. Menurut Sumandiyo Hadi (2000: 339), ritual yang paling mendasar dalam tata kehidupan atau peristiwa manusia yang penting merupakan transformasi simbolis dari beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia, dengan pola kepercayaan mitos dengan jenis ritus magis, yang di dalamnya mengandung kekuatan yang menghubungkan dengan kehendak manusia dengan penguasanya, roh,
nenek moyangnya, ataupun menyiasati perjalanan alam, dan memengaruhi kekuatan lainnya. Hal ini bertalian dengan pelaksanaan sawer panganten yang dalam penyampaian lagu pembukanya selalu mengungkapkan kata-kata permohonan kepada penguasa, yaitu Tuhan atau leluhur, yang sering diungkapkan dengan sebutan batara-batari. Pembahasan Menurut Koentjaraningrat (1986: 27), mantra atau rajah yang diucapkan dan sesajen yang disediakan oleh juru sawer, air yang dipercikkan ludah atau kunyahan bura beuweung yang disemburkan merupakan pelaksanaan tindakan magis, yakni tata kelakuan manusia hasil dari pandangan hidup dan kepercayaan, sebagai wujud dari kebudayaan. Sawer atau nyawer berasal dari kata awer yang mempunyai arti air jatuh memercik, sesuai dengan praktik juru sawer yang menabur-naburkan perlengkapan nyawer seolah-olah memercikkan air kepada mempelai dan semua yang hadir dan ikut menyaksikan di sekelilingnya. Maksud dan tujuan sawer ini adalah memberi nasihat kepada mempelai melalui syair-syair atau lagu-lagu yang dinyanyikan oleh juru sawer. Ada kemungkinan upacara adat ini disebut nyawer karena dilakukan dipanyaweran atau taweuran atau cucuran atap (Sudjana, 1979: 26). Yus Rusliana (1971: 1) menyebutkan bahwa kata sawer mengandung arti sebar, yang menyebar itu dapat berupa hujan atau benda lain, seperti tepung atau beras. Pengertian sawer dapat ditelusuri dari dasar katanya. Dalam bahasa Sunda dasar kata yang memakai akar kata “wer” dengan berbagai variasi vokal dan konsonan cukup banyak, misalnya: “war”, “wor”, “wer”, “weur”, dan “wur”. Pendapat lain menyebutkan bahwa nyawer asal katanya awer, yaitu sifat barang cair yang jatuh menebar, seperti misalnya air. Kata panyaweran menunjukkan tem91
Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten Sunda
pat jatuh air yang menebar dari cucuran atap. Jadi, kata nyawer itu sesuai dengan dua hal: (1) Waktu nyawer, juru sawer biasa menaburkan kelengkapan beras, kunyit, uang, tektek, dan sebagainya; (2) Nyawer selalu dilaksanakan ditaweuran yang disebut juga panyaweran (Muchtar, 1977:127). Bersandar pada pendapat-pendapat tersebut, jelaslah bahwa kata sawer itu mengandung arti dasar “tabur” atau menabur atau menyebar. Bila hal ini dihubungkan dengan upacara adat Sunda, memang sawer itu dilaksanakan dengan cara menyebarkan atau menaburkan beras dan benda lain pada saat upacara itu berlangsung. Upacara sawer tidak terlepas dari beberapa perlengkapan sawer yang harus dipersiapkan yang terdiri dari beras putih, irisan kunir tipis-tipis, uang kecil atau receh yang banyaknya terserah keinginan dari pemangku hajat dan biasanya uang berupa logam agar mudah dilemparkan (ditaburkan), bungabungaan, kacang tanah, permen, dan tektek. Semua perlengkapan tersebut dicampur dijadikan satu dan ditaruh di dalam sebuah bokor yang terbuat dari perak atau kuningan. Sarana seperti ini biasanya sudah disediakan oleh juru rias pengantin. Kadang-kadang ada pula orang yang mencelupkan beras putih itu ke dalam kunir, sehingga rupanya berubah menjadi kuning, dengan begitu tidak perlu lagi disertakan irisan kunir, karena warna kunir itu sudah melekat pada beras, sebab yang dikehendaki adalah warnanya yang menyerupai emas. Kunir seumpama emas, melambangkan kemuliaan atau emas, beras melambangkan kebahagiaan atau pangan, uang melambangkan rezeki atau harta, dan tektek melambangkan kerukunan. Pada pelaksanaan upacara sawer, sebelumnya juru sawer terlebih dahulu menjelaskan bahwa apa yang nantinya dilemparkan dan ditaburkan seolah-olah melemparkan harta kekayaan yang harus dipunyai oleh kedua mempelai pengantin setelah nanti berumah tangga, tidaklah sekadar membuang uang percuma, tetapi memberi petunjuk agar mereka setelah mulia berbahagia, janganlah sekalikali menjadi orang yang tamak, tetapi harus suka menolong dan memberi sedekah kepada siapa saja yang memerlukan, lebih-lebih kepada keluarganya sendiri baik dari pihak mempelai wanita maupun pihak mempelai pria. Dalam acara ini kedua mem92
pelai duduk bersanding dinaungi sebuah payung tepat di bawah cucuran atap depan rumah, sedangkan juru sawer berdiri di depan kedua mempelai pengantin. Juru sawer menabur-naburkan isi bokor adalah selingan dari menyanyikan syair yang dinyanyikannya. Pokok upacara ini adalah isi atau maksud dari syair, sedangkan inti sari dari syair tersebut adalah: (1) minta maaf dan minta izin kepada para tamu kalau akan melangsungkan nyawer sebagai wakil dari orang tua kedua mempelai; (2) menasihati mempelai wanita untuk mengabdikan diri kepada suami secara tulus ikhlas sepenuh hati sehingga hidupnya harmonis dan tidak berat sebelah; (3) kedua belah pihak harus saling mencintai, saling menyayangi, saling membela, saling menghargai, bila terjadi percekcokan salah satu harus mengalah dan bila terjadi kemurungan pihak yang satu, pihak yang satunya lagi harus dapat menghiburnya; (4) harus mempunyai perhatian dan menghargai semua famili. Kedua belah pihak jangan ada perbedaan lebih-lebih kepada mertua masing-masing hendaklah mengasihi dan menyayangi serta hormat seperti layaknya kepada orang tua sendiri; (5) mendoakan agar kedua mempelai mendapat rahmat Ilahi sehingga memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangga yang sakinnah mawaddah dan warohmah serta hidup rukun sampai di akhir hayat. Kehadiran upacara di dalam suatu komunitas merupakan ungkapan tertentu yang berhubungan dengan bermacam-macam peristiwa yang dipandang penting bagi komunitas itu. Penempatan kepentingan di dalam suatu kelompok masyarakat tidak selalu sama bagi kelompok masyarakat yang lain. Peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dilaksanakan sebagai suatu upacara dengan rangkaian dan tatanannya. Bentuk ungkapan yang diketengahkan untuk menyambut atau sehubungan dengan peristiwa penting ini juga bermacam-macam sesuai dengan kepercayaan dan tradisi yang sudah dijalani secara turun temurun (Kusmayati, 2000:1). Dalam acara sawer panganten, bahasa merupakan bahan utama, bahan baku, atau bahan pokok untuk menyampaikan maksud dari isi sawer panganten. Upacara sawer panganten ini biasa dipimpin oleh juru sawer (laki-laki dan perempuan).
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Juru sawer ini adalah orang yang dituakan dan bisa membawa suasana upacara sawer tersebut menjadi lebih khidmat. Pada perkembangannya sekarang untuk melaksanakan acara sawer, cukup dengan seorang juru sawer saja (bisa perempuan, bisa lakilaki), seorang juru sawer juga usianya masih muda, bahkan belum berumah tangga. Berkaitan dengan penyajian seni mamaos yang dibawakan oleh juru sawer, yang semula syair lagu yang dinyanyikan hanya menggunakan ragam kidung atau satu jenis pupuh saja dengan jumlah bait yang banyak, pada perkembangannya juru sawer sekarang menggunakan banyak jenis tembang bahkan ada yang mengambil dari lagu-lagu jenis kawih. Begitupun dalam membawakannya cukup dengan dua sampai tiga bait saja. Petuah yang disampaikan dalam rangkaian sawer sangat mengandung makna yang dalam bagi setiap pengantin yang mau menuju mahligai berrumah tangga. Bagaimana tugas seorang istri, tugas suami terhadap istri, bagaimana untuk menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah yang diidam-idamkan setiap keluarga tentu itu semua adalah tujuan yang ingin dicapai semua orang yang berumah tangga. Segala nasihat dan petuah tersebut pengantin dapatkan saat upacara sawer panganten dilaksanakan. Upacara sawer panganten pada pelaksanaannya mengambil tempat di depan rumah pengantin wanita, tepatnya dilakukan dipanyaweran atau taweuran atau cucuran atap (Sudjana, 1979: 14). Kata panyaweran menunjukkan tempat jatuhnya air yang menebar dari cucuran atap. Sesuai dengan pelaksanaan, juru sawer menabur-naburkan peralatan sawer atau menyebarkan bahan-bahan sawer yang ada di dalam bokor. Pada masa sekarang pelaksanaan sawer juga sudah mengalami perubahan, tidak harus selalu di bawah cucuran atap, melainkan bisa menyesuaikan dengan keadaan tempat perkawinan tersebut berlangsung. Misalnya upacara perkawinan dilaksanakan di gedung, maka terkadang sawer panganten dilaksanakan di dalam ruangan gedung itu. Dengan demikian, tempat pelaksanaan sawer pada masa sekarang tidak selalu mengikuti tradisi terdahulu, yaitu harus dilaksanakan di depan rumah tepat di bawah cucuran atap (panyaweran atau taweuran).
Makna kandungan sawer tetap tidak berubah dan tetap sakral, hanya apabila dilaksanakan di dalam ruangan agak terbatas geraknya, terutama apabila melaksanakan rangkaian upacara adat Sunda secara utuh dan lengkap. Upacara nyawer tidak terlepas dari kelengkapan yang digunakan di antaranya beras kuning, irisan kunyit, bunga tujuh warna, uang logam, dan sepasang daun sirih yang semuanya disimpan di dalam sebuah bokor. Pada masa sekarang ada tambahan untuk perlengkapannya, yaitu ditambah dengan permen dan kacang tanah. Untuk beras sekarang diganti dengan bunga melati dengan alasan ‘mubajir’ beras ditabur-taburkan. Perlengkapan-perkengkapan di atas tentunya mengandung simbol-simbol yang diciptakan si seniman dengan bahasanya sendiri yang sangat spesifik. Simbol-simbol seni semata-mata tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti saja, tetapi lebih kepada sesuatu pesan untuk diresapkan (Hadi, 2002: 4). Disebutkan pula bahwa dalam suatu upacara anggota masyarakat menghayati, menegaskan, dan menjunjung tinggi nilainilai tertentu melalui media kata-kata, perbuatan, dan lambang-lambang benda (Kartini, 1980: 20). Simbol dari bahan-bahan yang digunakan dalam sawer di antaranya: daun sirih perlambang reureuh ‘reda’ nafsu; beras melambangkan kebahagiaan karena banyak rezeki; irisan kunir melambangkan emas, kemuliaan, dan keagungan bagi pengantin; uang logam melambangkan harta kekayaan; bunga melambangkan keharuman; permen melambangkan keharmonisan dalam berumah tangga. Sebelum melaksanakan upacara, juru sawer terlebih dahulu menjelaskan bahwa apa yang nantinya dilemparkan dan ditaburkan seolah-olah melemparkan harta kekayaan yang harus dipunyai oleh kedua mempelai pengantin setelah nanti berrumah tangga, bukanlah sekadar membuang uang, tetapi memberi petunjuk agar mereka setelah mulia berbahagia, janganlah sekali-kali menjadi orang yang tamak, melainkan harus suka menolong dan memberi sedekah kepada siapa saja yang memerlukan, lebih-lebih kepada keluarganya sendiri baik dari pihak mempelai pengantin wanita maupun pria. Dalam acara ini kedua mempelai duduk ber93
Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten Sunda
sanding dinaungi sebuah payung di bawah cucuran atap depan rumah, sedangkan juru sawer berdiri di depan kedua mempelai pengantin. Intisari sawer di atas menandakan bahwa juru sawer membawakan lagu-lagu sawer itu tidaklah hanya sekadar bernyanyi saja, tetapi syair-syair di dalamnya berisi petuah atau nasihat yang harus didengarkan secara sungguh-sungguh oleh kedua mempelai pengantin. Syair sawer tersebut tentu saja tidak terlepas dari seni mamaos sebagai bentuk perwujudannya. Lagu-lagu yang dinyanyikan dalam acara sawer adalah lagu-lagu yang bermetrum bebas atau sekar irama merdeka, yaitu jenis mamaos yang pada umumnya dinyanyikan dengan teknik ditambul (tidak memakai iringan musik). Berikut satu contoh lagu yang digunakan dalam sawer panganten:
Kunosari 154 4 4 4 4 4 4 gung gung ja lan ra ha yu 4 4 4 4 3 4 4 2 1 ngem bat ja lan na ra ra bi
1
2 1 5 43 4 4 54 511 a wal na nya te pung ra sa 2 1 5 4 4 4 4 54 mas ket a sih la hir ba tin 2 1 5 4 5 3 5 1233 di pa tri ku a kad ni kah 2 2 2 2 2 1 2 32344 tingtrim a sih la ki ra bi (Gung-gung jalan keselamatan jalan panjang dalam menempuh rumah tangga awalnya bertemu rasa bersatunya lahir bathin diikat oleh akad nikah tenteram kasih sayang dalam rumah tangga) Lagu tersebut merupakan lagu yang bermetrum bebas atau sekar irama merdika, yaitu jenis Mamoos Wanda Papantunan, laras pelog, surupan 1=T (tugu), notasi daminatila dan termasuk 94
ke dalam kelompok pupuh Kinanti (berpolakan 8u-8i-8a-8i-8a-8i). Adapun kalimat “Gung gung jalan rahayu” dan seterusnya merupakan tiruan bunyi gong, karena dalam upacara adat Sunda sebelum dimulai biasanya diawali dulu dengan membunyikan (menabuh) gong 3x, maksudnya memberi tanda akan dimulainya upacara adat. Suzanne K. Langer (1988: 128) menerangkan bahwa simbol adalah ide-ide yang melambangkan suatu maksud tertentu dapat berupa bahasa (pantun, syair, peribahasa). Hal ini sesuai dengan yang sering digunakan dalam acara sawer pada upacara perkawinan adat Sunda. Pada pementasan acara sawer yang disampaikan melalui lagu-lagu yang bermotif tembang atau mamaos, tampaknya telah terjadi semacam komunikasi batin antara juru sawer dengan pengantin, yaitu melalui rumpaka-rumpaka (syair) lagu yang berisi nasihat-nasihat serta petunjuk dalam berumah tangga. Adapun komunikasi antara juru sawer dan penonton, yaitu saat lagu-lagu sawer dinyanyikan sering terjadi ada orang nyeletuk atau menyahut dengan kata-kata”wur…wur…” yang minta segera diawur atau ditabur dengan perlengkapan sawer yang ada dalam bokor, yang biasa bokor tersebut dipegang oleh juru sawer atau ibu dari kedua mempelai pengantin. Setelah selesai upacara sawer, kedua mempelai pria dan wanita dibimbing maju mendekati tangga rumah. Di sana telah disiapkan sebuah lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan tujuh batang, sebuah tunjangan atau barera yang kedua merupakan alat tenun tradisional yang bagian tengahnya diikat dengan sehelai kain tenun poleng, kemudian sebuah elekan yang juga merupakan alat tenun tradisional berupa seruas bambu kecil tidak berbuku, sebuah telur ayam mentah, sebuah kendi dari tanah berisi air bening, dan sebuah batu pipisan. Selanjutnya mempelai wanita membakar ujung harupat (sagar enau) yang diikat tadi pada pelita (lilin) yang telah dinyalakan. Setelah menyala sebentar, segera api harupat itu olehnya dipadamkan kemudian dipatankan selanjutnya dibuang ke belakang. Sehubungan dengan hal tersebut, menurut E. Dachlan (2001) dahulu bahan yang digunakan adalah sebuah ajug yang di atasnya terletak sebuah pelita minyak kelapa bersumbu tujuh.
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
Sekarang ini diganti dengan lilin karena sulitnya mendapatkan ajug berpelita yang terbuat dari tanah liat atau perunggu. Adapun arti dari semua itu kurang lebih sebagai berikut. Harupat harus dijadikan lambang oleh kedua mempelai pria dan wanita, bahwa sifat-sifat yang getas harupateun (mudah patah seperti harupat) harus ditumpas demi ketenteraman rumah tangga yang damai karena sifat itu adalah sifat lekas marah atau pemberang. Elekan gunanya dipakai menggulung kantih, tetapi dalam upacara ini tidak ber-kantih hingga tidak ada gunanya sama dengan barang yang sudah rusak sehingga patut untuk dipecahkan. Untuk menjadi manusia yang berguna seharusnya mau mengisi diri dengan ilmu pengetahuan, ibarat menggulungkan kantih dielekan sehingga elekan itu ada manfaatnya. Seharusnya manusia itu janganlah kosong melompong seperti elekan yang tidak terpakai. Telur ayam dipecahkan melambangkan kerelaan mempelai seorang istri menghadapi suaminya. Di samping itu memberikan isyarat, bahwa sebuah pergaulan suami istri akan menghasilkan bibit keturunan berupa lendir yang menyerupai isi telur ayam itu. Maka, tidak ada alasan sama sekali seseorang untuk merasa angkuh, sombong, merasa lebih daripada yang lain. Dalam pelaksanaannya elekan dan telur diletakkan di atas batu pipisan yang kemudian diinjak sampai pecah oleh kaki kanan mempelai pria. Selanjutnva mencuci kaki mempelai pria oleh mempelai wanita dengan air dari dalam kendi di atas batu pipisan yang kemudian kendinya dihempaskan ke tanah hingga pecah. Hal ini merupakan suatu isyarat bahwa si istri akan sangat senang sekali melayani suaminya, asalkan sang suami waktu akan masuk ke dalam rumah membawa hati yang bersih, jernih, bening, dan segar. Berkaitan dengan hal di atas, Kadir Tisna Sudjana (1979: 8) memberi sebutan dengan kata-kata: Peupeus kendi beak cai, kudu pada tiis ati, paniisan di taweuran. (Pecah kendi habis air, harus sama dingin hati, pendinginan di cucuran atap)
Kendi dipecahkan sehabis dipakai adalah menyatakan kepuasan hati, berpijak di batu pipisan melambangkan ketetapan hati, lurus, dan kokoh karena batu pipisan di samping berat juga, permukaan atas dan bawahnya rata. Setelah selesai menghempaskan kendi, mempelai wanita sambil menuntun tangan mempelai pria melangkah menaiki tangga rumah dengan melangkahi “tunjangan” atau “barera” (alat tenun). Hal ini pun menjadi suatu pernyataan kerelaan pihak wanita terhadap pihak pria sebab sebenarnya alatalat tenun itu tidak boleh sekali-kali terlangkahi (suatu, larangan keras turun-temurun). Penyajian/Naskah Sawer Panganten
Kunosari 1) Juru Sawer Pria 154 4 4 4 4 4 4 gung gung ja lan ra ha yu 4 4 4 4 3 4 4 2 1 ngem bat ja lan na ra ra bi
1
2 1 5 43 4 4 54 511 a wal na nya te pung ra sa 2 1 5 4 4 4 4 54 mas ket a sih la hir ba tin 2 1 5 4 5 3 5 1233 di pa tri ku a kad ni kah 2 2 2 2 2 1 2 32344 tingtrim a sih la ki ra bi (Gung-gung jalan keselamatan jalan panjang dalam menempuh rumah tangga awalnya bertemu rasa bersatunya lahir bathin diikat oleh akad nikah tenteram kasih sayang dalam rumah tangga)
Tejomantri 2) Juru Sawer Wanita 5 5 5 5 5 5 5 5 hi dep gi nan ja ran bag ja 95
Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten Sunda
5 5 5 5 5 5 4 512 te pung ra bi ja tuk ra mi 2 1 54345121 5 451221 mu ka lam ba ran ca ri ta 2 2121 1 2 1 2 1 1 nat rat di na ru mah tang ga 1 1 1 1 1 1 1 12121 ji mat na ngan we las a sih 2 1 5 5 1 2 1 23–21 an ta ra hi dep du a an 2 1 5 5 5 5 5 5 po ma la li ka na pa wit 5 5 5 5 3 4 55 eunteup teu teup tepung rasa 3- 3- 3- 3- 3- 1 2 3 3 du me ling a sih man di ri 4 3 2 2 1 233 21 23455 ngancik a sih la hir ba tin (Kamu mendapat kebahagiaan bertemunya jodoh dalam berkeluarga membuka lembaran cerita jelas dalam rumah tangga dasarnya hanya kasih sayang antara kamu berdua jangan lupa pada asal mula saling memandang bertemu rasa kasih memandang bertemu rasa kasih sayang yang murni berada dalam lahir bathin) 3) Juru Sawer Pria Mungguh tuturus lumaku lamun pinanggih cocoba mangsana deukeut anggang wiwilangan kudu meruhkeun ka napsu poma masing eunteungan diri pribadi nya satuhu dipindingan iman Islam jauhan sipat takabur nu ngancik ngan welas asih eta bebentengna rabi (Sesungguhnya pedoman hidup cerminan diri pribadi 96
apabila sedang mendapat cobaan di kala sedang berjauhan harus dapat menahan nafsu harus tetap setia berpegang pada iman Islam jauhi sifat takabur yang ada hanya kasih sayang itulah bentengnya rumah tangga)
Kidung 4) Juru Sawer Wanita 2 1 1 1 1 1 1 1 a yeu na nya na wa e tu 1 1 1 1 1 1 11211 ku as ma na Il la hi 5 5 434 12121 2 2 1 21221 Bis mil lah na ja it jang lar 4 432 2 2 2 2 2 2 Rah man ra him nu di pam rih 2 2 2 2 2 2 1 321344 ngam bah hi rup ru mah tang ga 4 4 4 32 1 21 5121 221 ke nging rah mat ti yang wi di (Kini saatnya berikrar atas nama tuhan yang maha esa dengan niat yang tulus kasih sayang yang diharapkan menempuh kehidupan berumah tangga mendapat rahmat dari yang maha kuasa)
Payo 5) Juru Sawer Pria 2 1 5 1 2 1 5 5 tu mut ka pa pa gon se puh 5 5 5 4 1 2 123 3 ta wis na hi dep mu pus ti 2 1 1 1 1 1 5121 kon ci ge dong ka bag ja an 5 5 4 3 4 5 4 55 a ya di se puh u ta mi 4 3 3 3 3 3 21 344 pun dut mah ang gur du a na
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
4 4 4 4 4 3 23 345 sang kan mu lus la ki ra bi (Taat kepada orang tua tandanya kamu menghormati itu adalah kunci kebahagiaan yang utama berada pada orang tua mintalah doa restu agar mulus dalam rumah tangga)
Jempang Titi 6) Juru Sawer Wanita
Pangapungan 8) Juru Sawer Pria 5 5 5 5 5 5 5 5 pur ngem pur ca ha ya ngem pur 5 5 5 5 5 5 4 5 4351 55 ku jang ka ran cang ka wa ngi di lu gas 2 1 5 5 5 5 5 543 di lu gas lam bang ka he man 5 5 5 5 521 2 2 2 2 tu tung ku san pa ja ja ran
2 3211 1 1 5 4 511 hi dep cun duk ka na wak tu
2 1 5 5 1 2 1 3 3 21 ku jang kem ben ma pa sa ngan i tu
2 3211 1 1 1 1 21211 bo ga ka beung beu rat a ti
(Cahaya yang terang benderang kujang karancang yang termashur, dihunus dihunus sebagai tanda kasih sayang yang dianut rakyat Pajajaran kujang kemben (pria dan wanita) berpasangan)
2 3 212 1 2 3 2 3 3 nya ta na bo jo u ta ma 3 3 2 3 4 4 3 33332 eu lis pi ni li han a ti 3 3 2 4 4 4 4 33455 sing bi sa mu la sa ra na 1 154 4 4 4 32 334 5 sang kan ra pih la ki ra bi (sudah saatnya bagi kamu punya kewajiban dialah istri tercinta eulis pilihan hati harus bisa merawatnya agar rukun dalam berumah tangga) 7) Juru Sawer Pria Eulis kudu nya mituhu ka panutan siang wengi ka caroge teh panutan sumujud ku ati suci cegahan lampah ngarinah tigin mupusti ku asih (Eulis harus patuh dan taat kepada pujaan hati siang dan malam hormat dengan hati yang tulus hindari sikap yang buruk benar-benar memelihara kasih sayang)
9) Juru Sawer Wanita 2 212 1 1 1 1 1 1 deu deuh geu lis sing sa tu hu 2 1 5 5 1 2 1 3- 3- 2 sing sa ti a sa la was na i ueh 3- 3- 3- 3- 3 4 5 5 ke kem ben sak si na lam pah 2 21 22 2 1 2 1 23455 nya lam pah ring kang so ra ngan (sayangku harus setia harus setia selamanya, ieuh selendang sebagai saksi perbuatan gambaran hidup diri pribadi) 10) Juru Sawer Pria 2 1 5 5 4 3 2 3455 ku jang kem ben ma pa sa ngan 2 321 3 4 5 3 4 55 lam bang a ti kan ka he man (Kujang kemben (pria dan wanita) 97
Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten Sunda
Berpasangan Lambang didikan kasih sayang) 11) Juru Sawer Wanita 4 3 3 3 3 3 3 3 a yeu na rek di sang ga keun 4 3 2 1 2 3 3 3 3 323345 kujang kemben tu turunan, geu lis 5 5 5 2 21234 5454323345 tampiku I bu ra ma na (sekarang akan diserahkan Kujang kemben (senjata Pasundan), cantik Terima oleh ibu bapaknya) Pada waktu juru sawer sedang nyawer, di sela-sela lagu yang dinyanyikannya kerap terdengar beberapa penonton menyahut dengan kata-kata “Wur...wur … wur”, minta segera ditaburkan perlengkapan sawernya. Setelah lagu-lagu yang dibawakan oleh kedua juru sawer selesai, perlengkapan sawer ditabur-taburkan oleh orang tua kedua belah pihak pengantin. Penonton pun berebut mengambil uang recehan dan perlengkapan sawer lainnya, terutama anak-anak yang lebih meramaikan dan menghidupkan suasana acara sawer. Perlengkapan sawer yang ditabur-taburkan ini bukan bermaksud menjadi mubazir terhadap barang-barang yang ditaburkan, tetapi hal ini merupakan peringatan untuk diingat dan diperhatikan kepada kedua pengantin, seumpama nanti dalam hidup rumah tangga mempunyai satu ke-gembiraan, mendapatkan rezeki, harus dibagibagi kepada saudara-saudara atau tetangga yang dekat. Setelah acara sawer selesai dilanjutkan dengan acara meuleum harupat, nincak endog, dan meupeuskeun kendi. Harupat ini merupakan simbol supaya nanti dalam hidup berumah tangga, jangan cepat marah yang akan menjadikan pertengkaran antara suami dan istri. Harupat ini jumlahnya/banyaknya ada tujuh batang. Hal ini merupakan simbol dari jumlah hari yang juga tujuh hari, mulai Senin sampai Minggu. Sirih yang dijadikan tektek waktu dalam acara ngeunyeuk seureuh artinya berupa pengusir setan, penggoda yang harus dijauhi, dibuang 98
penyakitnya. Harupat segera dibakar, apabila sudah menyala, segera masukkan ke dalam kendi yang berisi air. Harus ingat hawa nafsu ini yang masuk dan menempel pada suami, hanya istrinya saja yang bisa mendinginkan pikiran dan hati, tergantung pada istri yang dapat membela suami. Selanjutnya pengantin pria dipersilakan untuk memasukkan harupat yang menyala tadi ke dalam kendi yang ada airnya. Pada saat ini juru sawer pria memberi komentar; “sebentar ... sebentar.... pelan-pelan dulu yah, kok inginnya cepat-cepat saja, supaya lurus dulu, kemudian diluruskan, nanti kalau lubangnya sudah kelihatan, baru “cus” dimasukkan pelan-pelan kemudian keluarkan lagi, tuh ada airnya, kalau dicabut suka ada airnya ya, sekarang patahkan, terus buang yang jauh jangan dilihat lagi, nah kalau ada atau punya kejelekan itu, secepatnya harus dibuang yang jauh dan jangan dilakukan lagi”. Harupat dipegang oleh pengantin pria, pengantin wanita menyalakan apinya, setelah harupat menyala dimasukkan ke dalam kendi yang berisi air yang dipegang oleh pengantin wanita. Setelah dikeluarkan harupat-nya, kemudian pengantin pria mematahkannya dan langsung membuangnya ke belakang. Selanjutnya elekan yang kosong/bolong mempunyai arti hidup ini jangan sekali-kali penuh dengan kebohongan tetapi harus terbuka terus terang di mana saja. Kosong ini pun melambangkan hidup mempelai pengantin dalam berumah tangga masih kosong belum ada pengalaman. Endog (endog dara), yang nantinya akan menjadi ayam. Hal ini merupakan simbol akan menjadi bakal calon anak, simbol kalau orang masih perawan. Oleh juru sawer endog ini dibungkus plastik hanya supaya tidak mubazir, kalau tidak memakai plastik nanti tidak bisa dimakan. Apabila dihubungkan dengan program pemerintah hal ini mungkin berupa alat kontrasepsi pria. Selanjutnya juru sawer pria berkomentar lagi; “sekarang diinjak pelan-pelan nanti akan berbunyi ”crot”, sebentar.., sebentar.., sebentar.., kita akan pakai hitungan yah, Bismillahirahnanirrahim, “crot”..., tuh ya sampai berlumuran, Alhamdulillah. Sekarang diteruskan dengan mencuci kakinya,
Journal of Urban Society’s Art | Volume 12 No. 2, Oktober 2012
nah ini kepalanya..., eh kepalanya, ini ibu jari kakinya. Sesudah selesai terus dibersihkan dengan lap, kalau suami biasanya tahu sudah kering lagi saja, begitu ya tahunya sudah bersih lagi. Nah, hal ini merupakan/menunjukkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya”. Pengantin pria berdiri, pengantin wanita jongkok saling berhadapan. Waktu pengantin pria dilap/dibersihkan kakinya setelah menginjak telor, ibu jari tangan kanan pengantin pria memegang kening kepala pengantin wanita. Komentar juru sawer, “Sekarang kendinya dipegang berdua, nah istrinya memegang kepalanya, kemudian kalau suaminya memegang pantatnya, nah kemudian agak digoyangkan sedikit, berkalikali juga ya tidak apa-apa. Bismillahirahmanirrahim, sudah ya, sekarang lemparkan kendinya sampai pecah, tuh sampai pecah ya, Alhamdulillah. Mudah-mudahan keluarnya air ini akan menjadi kehidupan yang berguna”. Setiap komentar juru sawer sering sekali mengundang gelak tawa para hadirin dan pengantin. Pengantin pun menghempaskan kendi yang berisi air itu sampai pecah. Rangkaian acara sawer panganten selesai. Simpulan Upacara perkawinan yang memakai adat Sunda masih hidup dan berkembang pada masyarakat Sunda kontemporer atau yang hidup di perkotaan. Dengan diadakannya acara sawer pada upacara perkawinan adat Sunda, sekaligus menjadi pendidikan dan tuntunan bagi yang akan menempuh hidup berumah tangga yang juga sekaligus untuk dapat mengingatkan kepada suami istri yang sudah lama menikah untuk terus saling mengasihi, menyayangi, dan hidup rukun sampai akhir hayat. Pertunjukan sawer mempunyai kedudukan penting dalam lingkaran hidup masyarakat Sunda dan berhubungan erat dengan ritus inisiasi, yakni peralihan status yang dilaksanakan pada upacara selamatan dalam peristiwa pernikahan yang pelaksanaannya disampaikan oleh penutur atau juru sawer. Dalam pertunjukan itu dilengkapi dengan berbagai perlengkapan tertentu yang bersifat simbolis dan bernilai ritual.
Bahasa yang dipergunakan dalam puisi sawer umumnya bahasa yang lugas, magis, dan simbolis. Tingkat bahasa yang dipakai ialah bahasa halus dan sedang. Teks syair yang digunakan adalah dalam bentuk pupuh dan puisi bebas yang banyak menggunakan kata-kata pilihan. Isi teks puisi sawer umumnya mengenai nasihat, yang tersusun menjadi tiga bagian, yaitu pembukaan, inti, dan penutup. Pembukaan umumnya berisi permohonan maaf kepada Tuhan, Dewa, Nabi, Wali, Leluhur, dan hadirin, untuk melaksanakan Sawer. Bagian inti berisikan nasihat-nasihat dan contohcontoh kehidupan berumah tangga, dan bagian penutup berupa doa bagi keluarga dan hadirin agar mendapat keselamatan dan rahmat Tuhan. Adapun puisi sawer yang dibawakan pada umumnya tidak memakai musik pengiring. Sawer panganten yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Sunda kontemporer baik di Jawa Barat maupun di luar Jawa Barat merupakan acara yang selalu ditunggu-tunggu baik oleh keluarga pemangku hajat maupun oleh para tamu undangan yang hadir dalam acara pernikahan meskipun telah terjadi pergeseran fungsi atau perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya. Pergeseran fungsi yang terjadi mirip seperti yang dikemukakan Claire Holt bahwa setiap perubahan yang menyambar khayalan para pelaku adalah terutama yang telah mendapatkan sukses yang dinilai oleh dua kriteria, yaitu (1) bila sebuah karya original telah memperoleh persetujuan atau kekaguman dari ahli khusus penilai karya-karya seni lokal dan (2) bila karya-karya yang meniru gaya baru mencapai sebuah pasaran komersial yang siap. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dalam sawer panganten ditemukan apa yang ada dalam isi hati manusia, jiwa manusia, perasaan manusia, pandangan hidup manusia, kemampuan dan kecenderungan manusia, bahasa manusia, norma-norma, nilai-nilai, dan lain-lain tentang manusia. Singkatnya sawer panganten menggambarkan tata cara kehidupan manusia itu sendiri khususnya suami istri dengan lingkungannya, atau dengan kata lain, hakikat sawer panganten adalah hakikat manusia dengan kehidupannya. 99
Cepi Irawan, Kontinuitas dan Perubahan Sawer Panganten Sunda
Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada informan saya, E. Dachlan dan Wahyu Wibisana yang telah berkenan menerima peneliti dalam berbagai wawancara. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua lembaga Penelitian ISI Yogyakarta yang telah memberi dana penelitian ini. Kepustakaan Hadi, Sumandiyo Y. 2000. Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. ______________. 2002. “Fenomena Kreativitas Tari dalam Dimensi Sosial-Mikro”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hadist, Yetty Kusmayati et.al. 2000. Puisi Sawer Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Holt, Claire. 1992. Seni di Indonesia Kontinuitas dan Perubahan. Terj. R.M. Soedarsono. Yogyakarta: Instutut Seni Indonesia Yogyakarta. Kartini, Tini et.al. 1980. Struktur Cerita Pantun Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia Daerah Jawa Barat. Kusmayati, A.M. Hermien. 2000. Arak-Arakan Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia Langer, K. Suzanne. 1988. Problematika Seni. Terj.
100
FX Widaryanto. Bandung: Akademi Seni Tari Indonesia Bandung. Muchtar, Uton dan Ki Umbara. 1977. Modana. Bandung: PT Mangle Panglipur. Pieget, Zean. 1995. Strukturalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rusyana, Yus. 1971. Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda. Sudjana, Kadir Tisna. 1979. Tujuan Perkawinan pada Orang Sunda. Bandung: Proyek Peningkatan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Barat. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Soeryaman, Djaka R. 1984. Pengetahuan Dasar tentang Kebudayaan Sunda. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Pasundan Bandung. Informan E. Dachlan (75 tahun). Tokoh tembang Sunda Cianjuran, Juru Sawer, Juru Tembang, dan Juru Biantara Sunda. Tinggal di jalan Muhammadiyah Gang Babakan Adria No. 95 Garut. Wahyu Wibisana (75 tahun). Seniman Jawa Barat yang menciptakan upacara adat Sunda. Tinggal di jalan Geger Kalong Tengah No. 93, Bandung.