LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomer 2, Agustus 2012, Halaman 83-95 ISSN 2089-8916
KONSERVASI KAWASAN MENTENG, JAKARTA. Bambang Daryanto Dosen Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Lambung Mangkurat
[email protected] Abstrak Kawasan Menteng sejak semula direncanakan sebagai suatu lingkungan hunian bagi pegawai pemerintah kolonial dan para imigran bangsa Belanda. Weltervreden juga dikenal sebagai Niuew Batavia sebagai kota baru yang menjadi cikal bakal dari terbentuknya kota Jakarta yang sekarang. Kawasan Menteng telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat, sehingga mengakibatkan “desakan” (encroachment) fungsi komersial dan telah ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran. Penelitian ini membahas tentang bagaimana konsep konservasi yang dapat diterapkan untuk kawasan Menteng dan bagaimana panduan rancangan kotanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilan suatu “perangkat kendali pembangunan” kawasan Menteng sebagai suatu lingkungan permukiman yang ditetapkan sebagai suatu lingkungan pemugaran dan dapat mengakomodasikan pertumbuhan serta perubahan yang sedang dan akan terjadi. Metodologi penelitian yang dilaksanakan yaitu: pengumpulan data dan analisis, identifikasi dan strategi konservasi, rencana pengembangan tata guna lahan dan intensitas lahan, dan penyusunan panduan rancangan kota. Kesimpulan dari penelitian ini berupa panduan rancangan dan lebih bersifat preskriptif, disajikan dalam bentuk tulisan (teks) maupun gambar-gambar, dimana teks sebagai pemaparan langkah-langkah panduan dan gambar-gambar sebagai ilustrasi penerapan dari panduan rancangan tersebut. Kata kunci : kawasan Menteng, pemugaran, konsep konservasi, panduan rancangan kota.
Abstract Menteng area was originally planned as a residential environment for employees of the colonial government and the Dutch immigrants. Weltervreden, also known as Niuew Batavia, was a new city that became the forerunner of the current formation of Jakarta city. Menteng area has experienced relatively rapid economic growth, thus resulting in encroachment of commercial function and has been established as restoration area. The research problems of this study are what concept of conservation that can be applied to the area of Menteng and how the design guideline for this city is. The purpose of this study was to produce “control device development” of Menteng area as neighborhood environment that is defined as an environmental restoration and can accommodate growth and changes that are being and will happen. The research methodology that is conducted: data collection and analysis, identification and conservation strategies, plan development and intensity of land use land, and the preparation of the draft guidelines.Conclusions or recommendations of this study are more prescriptive, presented in written form (text) or images, in which the text as the exposure of step-by-step guideline and pictures to illustrate the application of the design guidelines. Keywords: Menteng area, restoration, conservation concept, urban design guideline.
PENDAHULUAN Kawasan Menteng yang merupakan bagian dari kota Weltervreden, sejak semula direncanakan sebagai suatu lingkungan hunian bagi pegawai pemerintah kolonial dan para imigran bangsa Belanda. Weltervreden juga dikenal sebagai Niuew Batavia adalah kota baru yang berfungsi sebagai penampungan perpindahan pusat pemerintahan kolonial dan hunian bagi para pegawai dari kota Batavia (Old Batavia). Kota baru inilah yang menjadi cikal bakal dari terbentuknya kota Jakarta yang
sekarang. Sejak Indonesia merdeka, kawasan Menteng diambil alih oleh para pejabat dan orang-orang kaya bangsa Indonesia dan tetap sebagai kawasan hunian. Kawasan Menteng saat ini menjadi bagian dari pusat kota Jakarta yang mengalami perkembangan semakin pesat, lebih-lebih dengan adanya kebijaksanaan pola intensitas dari Pemda DKI Jakarta yang dimaksudkan untuk dapat tercapainya keseimbangan ruang dan daya dukung lingkungan dengan menetapkan tujuh koridor pengembangan, diantaranya 83
termasuk koridor Thamrin dan sekitar Monas. Koridor Thamrin dan sekitar Monas, yang sangat dekat dengan kawasan Menteng, telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat, sehingga mengakibatkan “desakan” (encroachment) fungsi komersial dan terjadinya konflik pada kawasan Menteng yang telah ditetapkan sebagai lingkungan pemugaran sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI No.: D.IV609/d/33/1975. Apabila kondisi semacam ini tidak dikendalikan maka pada gilirannya cenderung mengakibatkan perubahanperubahan yang tidak terkendali dan cenderung merusak tatanan kawasan Menteng yang pola fisiknya teratur dan mempunyai karakteristik tersendiri. Untuk mengantisipasi dan mengakomodasi pertumbuhan dan perubahan-perubahan yang terjadi serta menjaga benang merah sejarah terbentuknya kota Jakarta, maka pada kawasan Menteng yang terdiri dari Kelurahan Gondangdia dan Kelurahan Menteng, perlu dilaksanakan upaya-upaya konservasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah penelitian tentang konservasi kawasan Menteng ini adalah: a. Bagaimana konsep konservasi yang dapat diterapkan untuk kawasan Menteng? b. Bagaimana panduan rancang kota (design guideline) untuk kawasan Menteng? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu “perangkat kendali pembangunan” kawasan Menteng sebagai suatu lingkungan permukiman yang ditetapkan sebagai suatu lingkungan pemugaran dan dapat mengakomodasikan pertumbuhan serta perubahan yang sedang dan akan terjadi. TINJAUAN PUSTAKA Konservasi Alasan-alasan atau faktor-faktor pendukung dilakukan konservasi dapat diuraikan sebagai berikut: Menurut Catanese (1986), ada 4 motif yang mendasari dilakukan upaya konservasi, yaitu: a. Melidungi warisan budaya atau warisan sejarah
b. Menjamin terwujudnya variasi dalam bangunan perkotaan sebagai aspek estetis dan warisan budaya masyarakat c. Nlai ekonomis, yang menganggap pemeliharaan bangunan yang dilestarikan akan meningkatkan nilai dari bangunan tersebut, sehingga memiliki nilai komersiil yang dapat digunakan sebagai modal lingkungan d. Motif simbolis, bahwa bangunanbangunan merupakan manifestasi fisik identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota Menurut Danisworo (1988), konservasi perlu dilaksanakan berdasarkan atas faktorfaktor sebagai berikut: a. Identitas dan sense of place, memberikan keunikan tersendiri, berbeda dengan yang lain dan menjadi identitas dari suatu tempat b. Arti kesejarahan, bahwa keberadaannya memiliki makna yang dapat menumbuhkan kreasi dengan melihat hubungan dengan masa lalu sebagai dasar untuk masa mendatang c. Nilai arsitektural, berarti memiliki nilai-nilai seni dan aspek budaya, nilai dan kualitas arsitektural yang tinggi yang berlaku pada jamannya d. Pertimbangan ekonomi, berarti memanfaatkan kembali asset yang ada, dapat memberikan keuntungan ekonomis, penghematan biaya, pengadaan lahan dan bangunan, waktu pembangunan dan padat karya e. Pariwisata dan rekreasi, melestarikan dan memelihara tempat yang bersejarah, yang berbeda dan unik, akan menjadi obyek wisata dan rekreasi f. Inspirasi, memberikan inspirasi yang dapat membangkitkan semangat patriotisme, menjadikan kreatif dan imajinatif g. Pendidikan, sebagai laboratorium yang dapat mendidik tentang sejarah dan perkembangan ilmu dan teknologi Tujuan konservasi adalah untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: a. Menyelamatkan masa lampau dan mengadaptasikan pada masa sekarang, berarti mempertahankan dan memelihara asset historis sebagaI simbol, hubungan dengan masa lalu dan sebagai inspirasi 84
untuk membangkitkan semangat kreatif dan imajinatif b. Mempertahankan identitas dan sense of place c. Mengembangkan vitalitas, untuk tujuan meningkatkan nilai ekonomis d. Menciptakan kreasi lingkungan urban yang baik untuk pengembangan dan perubahan e. Mempertahankan keseimbangan ekologi Konsep neighborhood Sebagai bagian dari keluruhan kota, keberadaan lingkungan kota, keberadaan unit lingkungan (the neighborhood unit) diperlukan untuk memperbaiki atau merawat suatu bentuk kota agar dapat dikenali dalam organisasi fisik kota. Telah banyak dikemukakan definisidefinisi tentang neighborhood oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Oleh Eckbo (1964), neighborhood diartikan sebagai sekumpulan rumah yang dilengkapi dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Jarak capai dari lingkungan hunian ke fasilitas umum maupun fasilitas sosial antara 400 m – 800 m. Neighborhood ini merupakan area utama dari suatu perkampungan (village) maupun kota. Homogenitas sosial, pola jalan, batas-batas yang jelas, dan pelayanan umum dapat menjadi alat kontrol maupun untuk mendapatkan kesesuaian dan sensibilitas. Sejarah dan perkembangan fisik kawasan Menteng Akhir abad 18, Weltervreden menampung perpindahan besar-besaran akibat proses perkembangan kota. Abad 19, Koningsplein, sekarang Medan Merdeka, menjadi pusat dari kota baru Weltervreden, sekarang Gambir. Pemukiman ini dua kali lebih besar daripada kota lama. Perencanaan kawasan Menteng pada awal pembentukan tahun 1910 direncanakan memakai sistem radial dengan pusat orientasi kawasan ruang terbuka ditengah dan terletak dengan sungai yang menjadi batas wilayah Gondangdia dan Menteng, seperti terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta rencana kawasan Menteng tahun 1910 (sumber: Voskuil, 1989)
Dengan bertambah ramainya orang membangun di Weltervreden, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kelebihan penduduk kian merambat ke Selatan, ke jurusan Gondangdia dan daerah Menteng. Awal 1908 kawasan Menteng dibeli oleh pemerintah. Sampai dengan tahun 1927 Pemerintah telah memperoleh kawasan seluas 10 km2. Nama Menteng diturunkan dari Van Muntinghe, nama seorang pegawai Kolonial terkemuka di awal abad 19, sebagai pemilik pertama perumahan di kawasan ini (Abeyasekere,1987). Dan ternyata perencanaan kawasan Menteng tidak jadi sesuai rencana, tetapi perencanaan kawasan Menteng sudah berubah seperti gambar 2. Gondangdia dan Menteng sebagai perluasan daerah hunian Weltervreden, direncanakan secara eksklusif untuk orangorang Eropa (Abeyasakere, 1987). Keseluruhan areal/ daerah/kawasan dibagi kedalam bagian-bagian yang lebih kecil yang masing-masing dibatasi oleh jalanjalan untuk kendaraan. Pembangunan di kawasan ini mengikuti “warna” Belanda kontemporer; rumah dengan halaman di depan dan di belakang, dan pasokan listrik serta air ke setiap rumah. Jalan raya yang megah pada waktu itu ialah Oranje Nassau dan Van Heutz atau sekarang Jl. Diponegoro, Jl. Imam Bonjol, dan Jl. Teuku Umar. Di sepanjang jalan ini, atau di 85
dekatnya, dibangun rumah-rumah besar dan bagus.
Gambar 2. Peta kawasan Menteng sekarang (sumber: Surjomihardjo, 1977)
Gaya rumah-rumah besar pada abad ke-20 ini tidak serupa dengan gaya pada abad ke-19, yaitu rumah bertingkat satu dengan tiang-tiang tersebar di depan pintu dan di dalam rumah serta mempunyai pintu gerbang yang besar untuk pekarangan rumah. Rumah-rumah dibangun diatas tanah yang luas dengan beranda di bagian depan dan belakang rumah. Suatu gejala baru arsitektur muncul yaitu pavilion yang setengah terpisah dari rumah besar untuk anggota keluarga, rekan kerja, atau orang yang menyewa. Saat Belanda meninggalkan Indonesia, 1949, kelompok masyarakat elite Indonesia menempati rumah-rumah orang Belanda di kawasan Menteng. Lingkungan Taman Surapati, yang semula merupakan tempat bermukimnya para pegawai Pemerintah Kolonial maupun orang-orang kaya Eropa, ditempati oleh orang-orang “besar” di jaman kemerdekaan. Saat ini, rumah-rumah di lingkungan Taman Surapati didiami oleh kepala dan wakil kepala perwakilan negara asing, serta orang-orang penting pemerintahan Indonesia. Bekas Standar Vacuum dan General Motors, saat ini didiami oleh para Jendral Indonesia, duta besar dan wakil duta besar Amerika. Perkembangan fisik kawasan Menteng yang terjadi sekarang, sangat erat kaitannya dengan perkembangan kota Jakarta. Arah perkembangan kota menuju ke Selatan kemudian meluas ke arah Barat dan Timur. Perkembangan Jakarta secara menyeluruh mendudukkan posisi Menteng menjadi
daerah pusat kota. Sehingga keberadaan daerah tersebut menjadi sangat penting bagi nilai lahan perkotaan. Salah satu sarana yang dipakai untuk yang memacu pertumbuhan tersebut adalah dengan mengembangkan tujuh koridor sebagai tempat pelayanan jasa komersial skala internasional. Salah satu koridor yang dikembangkan ke arah tersebut adalah Jl. Mohammad Husni Thamrin, yang berdekatan dengan kawasan Menteng. Koridor yang lain diantaranya adalah Jl. H.R Rasuna Said, terletak di sebelah selatan kawasan Menteng. Kedua koridor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi, yang akan mendesak perkembangan fisik suatu wilayah. Desakan akibat perkembangan ekonomi yang lain adalah daerah Cikini yang terletak di sebelah Timur kawasan dan Jl. Wahid Hasyim sebagai sambungan dari arah kota dan koridor Thamrin. Pertumbuhan ekonomi yang memacu pada pertumbuhan fisik kawasan juga terdapat di dalam kawasan Menteng. Daerah yang mengalami perubahan secara menyolok adalah pertokoan di Jl. H.O.S Cokro Aminoto. Pertokoan di daerah ini berkembang akibat kemudahan akses dari arah koridor H.R Rasuna Said kea rah kota. Sehingga pelayanan komersial daerah ini menjadi lebih luas menjadi pelayanan skala kota. Pada daerah lain yaitu disekitar Cikini dalam kawasan Menteng terjadi pertumbuhan bangunan untuk fungsi hunian komersial dengan intensitas yang tinggi. METODOLOGI Metodologi penelitian yang dilaksanakan untuk konservasi kawasan Menteng meliputi : (a) pengumpulan data dan analisis (b) Identifikasi dan strategi konservasi (c) rencana pengembangan tata guna lahan dan intensitas lahan dan (d) penyusunan panduan rancangan kota. IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISTIK KAWASAN MENTENG Karakteristik kawasan Menteng saat ini dapat diidentikasikan sebagai berikut : 1. Dominasi peruntukan lahan di Menteng saat ini masih merupakan kawasan hunian 86
2.
3.
4.
5.
6.
Struktur pembentuk kawasan dan perbedaan struktur jalan yang hirarkis masih belum berubah, dapat dilihat pada : Jalan Teuku Umar sebagai jalan masuk kawasan dari arah utara masih mempunyai bentuk struktur jalan dengan pembatas jalur lalu lintas dan pohon di tengah. Akses ke pusat kota telah digantikan oleh bus kota. Jalur ke luar kawasan dilayani di jalan HOS Cokroaminoto dan Imam Bonjol-Diponegoro. Jalan Imam Bonjol-Diponegoro digunakan sebagai jalan penghubung pusat kegiatan kota, dengan dilewati jalur kendaraan umum. Pada daerah ini bentuk kapling tidak banyak berubah. Kondisi struktur jalannya masih tetap yaitu adanya pohon yang membuat pagar visual koridor. Pusat Orientasi Kawasan (Taman Suropati), tidak mengalami perubahan. Sebagai daerah fasilitas umum kurang dikunjungi dan kurang bisa menampung sosialisasi masyarakat yang ada di Menteng. Bangunan sekitar taman Suropati tidak banyak mengalami perubahan terutama bangunan gereja, Kedutaan Italia, dll. Pada bangunan yang menjadi pangkal sumbu dari Teuku Umar yaitu kantor yang sekarang BAPPENAS mengalami perkembangan namun bangunan aslinya tidak berubah. Daerah pertokoan di Jl.HOS Cokroaminoto banyak mengalami perubahan, karena dijadikannya jalan tersebut menjadi jalan arteri yang menghubungkan pusat kota dengan daerah pusat bisnis Kuningan. Perubahan yang menyolok terjadi pada bentuk bangunan dan skala pelayanannya. Daerah batas kawasan : Sebelah Timur kawasan batas dengan daerah luar semakin jelas akibat pembangunan jalur layang kereta api.
Batas sebelah Selatan adalah areal hijau dan jalan kereta api. Sebelah Barat dan Utara batasnya menjadi tidak jelas akibat perkembangan ekonomi yang memacu perubahan fungsi dan bentuk hunian menjadi komersial. 7. Tata bangunan secara keseluruhan tidak banyak berubah dari segi bentuk dan skala. Perubahan terjadi dengan munculnya apartemen pada kawasan bagian Timur dan toko swalayan. Bangunan kunci sebagai vocal point banyak digantikan oleh bangunan tinggi disekitar kawasan, yang paling kuat dari jalan Imam Bonjol ke arah Koridor M.H. Thamrin. Dari karakteristik tempo dulu dan perkembangan fisik kawasan Menteng yang terjadi saat ini dapat disimpulkan sebagai berikut (Lihat Gambar 3): 1. Kawasan Menteng merupakan daerah untuk hunian yang direncanakan. 2. Sebagai suatu kawasan yang direncanakan mempunyai batas kawasan yang jelas 3. Struktur utama membentuk kawasan yang diikat oleh ruang terbuka hijau sebagai pusat orientasi. 4. Perbedaan yang jelas pada struktur pembentuk kawasan berupa lahan/kapling dan jalan sebagai sirkulasi, teratur (herarkis). 5. Pola hunian yang jelas dan terbentuk oleh struktur kawasan yang herarkis. 6. Bangunan dengan skala manusiawi. 7. Bentuk bangunan dengan ciri kemiringan atap tertentu, orientasi ke jalan 8. Jarak muka bangunan terhadap jalan (GSB), prosentase daerah terbangun terhadap kapling (KDB), jarak antar bangunan dan lain-lain. 9. Terdapat bangunan penting disekitar Taman Suropati.
87
Gambar 3. Bangunan yang masih ada sampai sekarang sejak 1941
Bentuk perubahan yang terjadi : 1. Mengarah pada bentuk fisik yang semakin tidak terkendali. 2. Meninggalkan bentuk yang menjadi ciri hunian di kawasan Menteng. 3. Meningkatnya intensitas pemakai dan pelayanan dalam pembangunan jauh melebihi intensitas semula. 4. Digantikannya entry point dari bangunan lama oleh elemen lain gedung berlantai banyak dan bangunan lain. 5. Fungsi yang berubah dari hunian menjadi fungsi jasa perkantoran atau komersial. STRATEGI KONSERVASI KAWASAN MENTENG JAKARTA Pada dasarnya strategi konservasi kawasan Menteng Jakarta mencakup dua hal utama. Pertama, berkaitan dengan mempertahankan dan memperkuat karakter fisik pembentuk citra kawasan Menteng tempo dulu, dalam konteks masa kini. Kedua, mengakomodasi pertumbuhan dan perubahan pada pembangunan masa mendatang. Berkaitan dengan adanya
desakan-desakan yang bersifat “ekonomis” dari arah koridor Jl. Thamrin (sisi Barat kawasan), koridor Jl. Wahid Hasyim (sisi Utara kawasan) dan koridor Cikini (sisi Timur kawasan). Karakteristik fisik kawasan Menteng sebagai bagian dari Nieuw Batavia perlu dipertahankan. Karakteristik pembentuk citra kawasan Menteng yang teratur dan herarkis terwujud dalam tatanan fisik lingkungan dan kawasan. Tipologi bangunan, tata hijau sebagai pembentuk identitas kawasan perlu dipertahankan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan upaya mempertahankan ataupun memperkuat struktur kawasan adalah : Taman Suropati sebagai pusat orientasi dan landmark kawasan Menteng. Jl. Teuku Umar dan Jl. DiponegoroImam Bonjol sebagai struktur utama pembentuk kawasan. Pola lingkungan perumahan dan sistem linkages antar lingkungan perumahan tersebut. Jl. Wahid Hasyim, Jl. Latuharhary, jalan Agus Salim, dan jalan Pegangsaan Barat sebagai batas-batas kawasan.
88
Namun dalam rangka mempertahankan karakteristik kawasan Menteng perlu pula dipertimbangkan kemungkinan pertumbuhan dan perubahan kawasan. Pada prinsipnya pengaruh dari desakan-desakan kegiatan yang bersifat “ekonomis” dari koridor Thamrin maupun
Selatan; Jl. Agus Salim di sebelah Barat; dan Jl. Sam Ratulangi – HOS Cokro Aminoto di sebelah Timur. Zona domain bagian Timur kawasan dibatasi oleh : Jl. Latuharhary di sisi selatan; Jl. Cik Ditiro di sisi Barat; dan Jl. Pegangsaan Barat di sisi Timur.
Gambar 4. Strategi konservasi kawasan Menteng
koridor Cikini akan diakomodasikan pada zona domain dari kawasan. Dalam hal ini, koridor-koridor Jl. Agus Salim – Jl. Wahid Hasyim Jl. Pegangsaan Barat diprioritaskan untuk mengakomodasi desakan-desakan kegiatan yang bersifat “ekonomis” tersebut. Zona inti kawasan Menteng mencakup areal yang dibatasi oleh: Jl. Latuharhary di sebelah Selatan; Jl. Sam Ratulangi dan Jl. HOS Cokro Aminoto pada sisi Barat; dan Jl. Cik Ditiro di sebelah Timur. Dari studi yang dilakukan pada bab sebelumnya terlihat bahwa tatanan (lingkungan) fisik yang ada pada zona inti kawasan Menteng ini merupakan elemen utama pembentuk karakteristik kawasan ataupun citra kawasan. Oleh karenanya, zona inti kawasan ini dilindungi terhadap perubahanperubahan yang mengakibatkan hilangnya karakter fisik kawasan. Sedangkan zona domain pada kawasan konservasi Menteng ada pada bagian Barat kawasan dan bagian Timur kawasan. Zona domain bagian Barat kawasan dibatasi oleh : Jl. Wahid Hasyim di sebelah Utara; Jl. Imam Bonjol di sebelah
RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN Pengembangan kawasan merupakan pendukung upaya mempertahankan dan memperkuat karakter fisik pembentuk citra kawasan tempo dulu, dalam konteks masa kini. Dalam hal ini, citra kawasan berkaitan dengan dua aspek utama yaitu struktur kawasan dan identitas kawasan. Namun seringkali merawat struktur kawasan yang ada pada kawasan konservasi merupakan kawasan konservasi merupakan masalah yang serius pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan dan memperkuat struktur kawasan Menteng adalah : Memperkuat karakter Taman Suropati sebagai landmark kawasan dengan dukungan tatanan ruang hijau, tatanan bangunan disekelilingnya, maupun pengaturan kegiatan. Mempertahankan dan memperkuat karakter koridor Jl. Wahid Hasyim sebagai batas kawasan pada sisi Utara, yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan komersial. 89
Mempertahankan dan memperkuat koridor Jl. Latuharhary sebagai batas kawasan pada sisi Selatan. Memperkuat karakter koridor Jl. Agus Salim sebagai edge pada sisi barat kawasan, yang mendapat desakan oleh kegiatan komersial dari kawasan Thamrin. Memperkuat karakter koridor Jl. Pegangsaan Barat sebagai batas kawasan pada sisi Timur, yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan komersial oleh koridor Jl. Cikini, serta secara fisik dipengaruhi oleh jalur laying Kereta Api Listrik. Menentukan entry point ke kawasan dari arah Utara, barat dan Timur sebagai “pintu gerbang” kawasan. Mempertahankan dan memperkuat koridor-koridor Jl. Teuku Umar, Jl. Imam Bonjol, Jl. Diponegoro sebagai struktur utama pembentuk kawasan. Memperkuat koridor-koridor Jl. HOS Cokroaminoto dan J l. Cik Ditiro sebagai jalur transisi antara zona inti kawasan dan zona domain. Sedangkan upaya mempertahankan dan memperkuat identitas kawasan perlu diperhatikan : Tipologi bangunan-bangunan yang ada, baik bangunan rumah tinggal maupun bangunan umum. Karakter ruang-ruang terbuka kawasan yang berskala lingkungan, yang mengutamakan kenyamanan pejalan kaki. Keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan pada kawasan. Tata Guna Lahan Bangunan-bangunan penting yang bersejarah seringkali tidak bersifat ekonomis. Namun tidak demikian halnya dengan lokasi tapak dari bangunan-
bangunan tersebut yang seringkali justru bernilai “ekonomis”. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan sistem zoning dalam guna lahan dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk melindungi bangunanbangunan bersejarah tersebut. Dalam hal ini, penerapan sistem zoning dilakukan dengan menentukan kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan di atas lahan dalam menentukan peruntukan lahannya. Adapun penetapan guna lahan dan peruntukkannya dapat dikembangkan melalui tiga pendekatan (Danisworo, 1988). Pertama, pendekatan ekonomis yaitu pengendalian transformasi lahan untuk dapat dimaanfatkan secara optimal, dilihat dari segi vitalitas ekonomi lahan kota. Kedua pendekatan kontekstual yaitu pendekatan guna lahan dan peruntukan lahan yang menjamin terpeliharanya sebagai asset lingkungan yang menonjol, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, sehingga identitas wilayah kota tidak hancur. Ketiga, pendekatan teori perencanaan kota yaitu pengendalian atas keterkaitan dalam fungsional kota secara keseluruhan. Dalam hal ini diharapkan guna lahan suatu tempat saling menunjang dengan guna lahan di tempat lainnya. Sementara dalam konteks konservasi kawasan Menteng perlu dibatasi pengaruh desakan ekonomi dari arah koridor Thamrin dan koridor Cikini dari segi guna lahan/peruntukan lahannya. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi volume kegiatan yang diizinkan dalam rangka mempertahankan karakter fisik kawasan Menteng. Pada zona inti kawasan diutamakan bagi pengembangan fungsifungsi hunian. Sedang pada zona domain dimungkinkan bagi pengembangan fungsifungsi campuran.
90
Gambar 5. Konsep tata guna lahan
Intensitas Lahan Penentuan intensitas lahan merupakan salah satu cara dalam pengendalian pembangunan kota. Yang dimaksudkan dengan intensitas lahan adalah besarnya volume kegiatan yang diizinkan mengambil tempat di atas suatu lahan, yang biasanya yang dinyatakan dalam luas lantai (Danisworo, 1988). Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Garis Sempadan Bangunan (GSB), dan Amplop Bangunan merupakan perangkat kendali dalam intensitas lahan. Intensitas lahan merupakan faktor yang cukup sentral di dalam konsevasi kawasan yang mempertahankan karakter fisik dalam mengakomodasi pertumbuhan dan perubahan kawasan. Dalam konteks ini, kualitas lingkungan fisik maupun visualnya merupakan satu hal utama yang perlu dipertahankan, bahkan diperkuat keberadaannya. Pengendalian kepadatan fisik bangunan, pengendalian tinggi maksimum bangunan serta perlindungan terhadap aset historis yang langka dan tidak tergantikan merupakan teknik-teknik yang diterapkan dalam konteks konservasi kawasan Menteng ini. Pada zona inti ketinggian bangunan relatif tidak banyak mengalami perubahan, namun dimungkinkan penambahan kepadatan fisik bangunan dengan in-fill. Sedang pada zona domain
dimungkinkan adanya penambahan ketinggian bangunan, sebagai upaya mengakomodasi desakan-desakan dari arah koridor Thamrin dan koridor Cikini. Penambahan ketinggian bangunan disesuaikan dengan potensi setempat dengan cara setback. Penerapan ini diutamakan pada koridor-koridor Jl. Agus Salim, Jl. Wahid Hasyim, Jl. Pegangsaan Barat. Kepadatan fisik bangunan juga dimungkinkan bertambah pada zona domain dengan menerapkan teknik in-fill. RENCANA KONSERVASI KAWASAN MENTENG Kriteria-kriteria konservasi kawasan dikaitkan dengan tingkat perubahan izinkan berkaitan dengan metoda-metoda konservasi yang diterapkan. Tingkat perubahan yang diizinkan meliputi : (1) tingkat perubahan kecil; (2) tingkat perubahan sedang; (3) tingkat perubahan besar. Kriteria-kriteria yang diterapkan dalam konteks konservasi kawasan MentengJakarta, pada dasarnya, dimaksudkan untuk mempertahankan dan memperkuat karakter fisik kawasan. Pada zona inti kawasan hanya diizinkan tingkat perubahan yang relative sedikit (kecil) pada tatanan fisik lingkungannya. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan karakter fisik pembentuk citra kawasan yang ada pada zona ini. Dari 91
Gambar 6. Konsep intensitas lahan
segi fungsi, zona inti kawasan dipriotaskan untuk fungsi hunian. Dimungkinkan pula peruntukan lain, selain hunian, sejauh tidak menyebabkan perubahan pada tatanan fisik lingkungannya. Metoda yang dapat diterapkan pada zona inti antara lain : in-fill dan adaptive use Sedangkan pada zona domain kawasan dapat dimungkinkan terjadinya perubahan tatanan fisik lingkungan pada tingkat sedang dan besar. Zona domain yang alokasikan untuk mengakomodasi desakan-desakan kegiatan yang bersifat “ekonomis”, dari arah Thamrin dan Cikini. Oleh karenanya, peruntukan lahan dan tatanan fisik pada zona ini sangat dimungkinkan untuk mengalami perubahan dalam waktu yang cepat. Dalam hal ini perlu pengendalian pada perubahan-perubahan tersebut, agar tidak merusak karakter fisik kawasan Menteng pada umumnya. Secara keseluruhan kawasan Menteng tetap dipertahankan sebagai kawasan hunian. Metoda-metoda yang dapat diterapkan : adaptive use, in-fill dan design relationship. PANDUAN RANCANGAN Panduan rancangan untuk kawasan Menteng terbagi dalam dua usulan utama. Pertama berkaitan dengan upaya mempertahankan dan memperkuat karakter fisik kawasan sebagai salah satu pembentuk citra kawasan Menteng. Kedua berkaitan
dengan pengembangan dimasa mendatang. Adapun materi-materi yang tercakup dalam panduan meliputi pola, kesinambungan, ukuran, dan bentuk. 1. Koridor Teuku Umar – Surapati (Gambar 7). Tata bangunan: Penggunaan bangunan di sepanjang koridor Teuku Umar yang diijinkan adalah bangunan hunian dan perkantoran Pemerintah Mempertahankan garis sempadan jalan Mempertahankan keteraturan jarak antar bangunan Memanfaatkan dua bangunan lama di ujung Jalan Teuku Umar sebagai “pintu gerbang” kawasan Mempertahankan bentuk atap miring: limas an dan perisai Mempertahankan detail dan ornamenornamen bangunan lama Sirkulasi dan perpakiran: Areal parkir sebaiknya tidak terlihat dari jalan Areal parkir tidak menempati badan jalan Ruang Terbuka dan Pejalan Kaki Memperkuat keberadaan ruang pergerakan bagi pejalan kaki Pengaturan kembali ketinggian pagar bangunan, sehingga memungkinkan para pelintas, khususnya yang tidak 92
berkendaraan untuk mengamati lingkungan sekitar dan sekeliling dengan detail Ruang Terbuka dan Tata Hijau Mempertahankan dan memperkuat keberadaan Taman Surapati sebgai landmark kawasan dengan pengaturan kembali visual koidor kea rah taman dan dari taman Tata hijau untuk memperkuat visual koridor sepanjang jalan Teuku Umar Vegetasi sebagai penguat keberadaan bangunan-bangunan kunci.
Gambar 7. Koridor Teuku Umar – Surapati
2. Koridor Imam Bonjol – Diponegoro (Gambar 8). Tata guna lahan Peruntukan lahan adalah untuk hunian, kantor pemerintah dan kantor/tempat tinggal Kedutaan KDB maksimal 50% Tata bangunan Bentuk pengembangan pembangunan baru tidak boleh mengubah citra bangunan lama Pembangunan baru tidak boleh melebihi bangunan induk/gsris sempadan
Bentuk tampak bangunan baru harus menyesuaikan karakter bangunan lama Bentuk pengembangan tidak boleh lebih kuat dari bangunan lama Bentuk atap harus serasi dengan bentuk atap bangunan lama Penggunaan material menyesuaikan dengan bahan dan warna material bangunan lama Ruang terbuka/landscape Pagar muka bangunan yang massif (tdak tembus pandang tidak boleh lebih tinggi dari tinggi mata manusia (maksimal 1.50 M, begitu juga pagar samping yang berbatasan dengan tetangga. Pedestrian way dapat dilalui oleh penyandang cacat. Ketinggian pohon di depan bangunan tidak boleh menghalangi pandangan kea rah bangunan Penempatan fasilitas umum berupa halte tidak boleh mengganggu pejalan kaki dan kendaraan Penataan elemen tanda (signage) 3. Koridor Teuku Cik Ditiro (Gambar 9). Tata Guna Lahan Peruntukan lahan untuk mengakomodasi fungsi dan kegiatan jasa/komersial, dengan KDB = 55%, KLB = 250%, dan TB 6 lantai Mengintegrasikan beberapa kapling dengan sistem blok Sirkulasi kendaraan dan parkir Sirkulasi kendaraan dipertahan satu arah dari arah Selatan Karena dilalui oleh kendaraan umum, perlu adanya halte-halte Karena fungsi bangunan banyak fungsi jasa/komersial, perlu disediakan lahan parkir yang memadai Ruang Terbuka, Tata Hijau, dan Pedestrian Penataan dilakukan bersamaan penataan tempat parkir, tata hijau, dan pedestrian, sehingga tercipta suasana dan lingkungan kota yang menyenangkan
93
Gambar 8. Koridor Imam Bonjol - Diponegoro
Tata bangunan Perlu pengaturan bentuk, besaran massa bangunan, GSB, pemunduran bangunan, dan jarak bebas antar bangunan Kepejalan bangunan Sistem Informasi (Signage) dan Street Furniture. Perlu sarana signage berupa ramburambu lalu lintas, reklame dan atau papan nama
Gambar 10. Batas tepi Timur kawasan Menteng
Gambar 9. Koridor Teuku Cik Ditiro
4. Batas tepi Timur kawasan Menteng. (Gambar 10) Tata bangunan Pengendalian massa bangunan, dengan KDB = 55%, KLB = 250%, dan TB 6 lantai Penentuan garis sempadan bangunan (GSB).
5 . Batas tepi Utara kawasan Menteng. Tata Guna Lahan (Gambar 11) Peruntukan jasa dan komersial Peruntukan campuran (mixed-use) Penyediaan fasilitas parkir dan gudang Sirkulasi Sirkulasi kendaraan dipertahan dua arah Perlu disediakan jalur pejalan kaki Perlu disediakan lahan parkir yang memadai Ruang Terbuka Perlu disediakan jalur pedestrian dan plasa Perlu dihadikan taman-taman Tata bangunan aran massa bangunan, GSB, pemunduran bangunan, dan jarak bebas antar bangunan Kepejalan bangunan
Sistem Informasi (Signage) 94
Perlu sarana signage berupa papan nama dan papan reklame
Gambar 11. Batas tepi Utara kawasan Menteng
6. Batas tepi Selatan kawasan Menteng. Tata Guna Lahan (Gambar 12) Fungsi dan peruntukan lahan dipertahankan seperti semula, intensitas dapat/boleh dikembangkan Peruntukan hunian dan peruntukan ruang terbuka (sepanjang jalur kerta api) Sistem Penghubung (linkage system) Sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki dipisahkan dan diarahkan dalam tingkat kemudahan pencapaian, keamanan dan kenyamanan Sistem ruang terbuka da pola tata hijau Diupayakan untuk meningkatkan kualitas kehidupan kota Menciptakan lingkungan yang aman, sehat dan menarik serta berwawasan ekologis Tata bangunan Diupayakan penataannya untuk mempertahankan dan memperkuat kawasan dengan upaya konservasi Penerapan design relationship perlu dilaksanakan dalam rangka pengembangan Peningkatan KDB = 80%, KLB = 200%, dan TB = maksimum 2 Sistem Informasi (signage) Harus mempunyai sistem informasi yang merujuk pada citra dan karakter kawasan Menteng, yang memberikan arahan yang menerangkan identitas, lokasi dan gerbang masuk kawasan
Gambar 12. Batas tepi Selatan kawasan Menteng
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Surjomihardjo, 1977, Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI Jakarta. Abeyasekere, Susan, 1987, Jakarta : A History, New York: Oxford Univercity Press. Lynch, Kevin, 1971, The Image of City, United States of America: The MIT Press. Mohammad Danisworo, Prof., DR., Ir., M.Arch., MUP., 1988, Konseptualisasi Gagasan dan Upaya Penanganan Proyek Peremajaan Kota : Pembangunan Kembali (Redevelopment) sebagai Fokus, Bandung : Institut Teknologi Bandung. Eckbo, Garret, 1964, Urban Landcape Design, New York: McGraw Hill Book Company. Hanna, Willard, 1988, Hikayat Jakarta, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lang, John, 1987, Creating Achitectural Theory : The Role of The Behavioral Science in Environmental Design, New York: Van Nostrand Reinhold Company. Shirvani, Hamid, 1991, The Urban Design Procces, New York: Van Nostrand Reinhold Company. Voskuil, 1989, Batavia : Beeld van Een Stad, Fibula/Uniboek bv.
95