4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir yang dalam tulisan ini disingkat menjadi ”kawasan konservasi” bisa ditemui di hampir setiap wilayah Indonesia. Taman Nasional (TN) adalah salah satu bentuk kawasan yang dikelola untuk tujuan konservasi yang hingga tahun 2006 jumlahnya telah mencapai 50 kawasan luas sekitar 16,38 juta ha (Dephut, 2006). Paling tidak terdapat 23 diantara taman nasional tersebut memiliki lahan basah pesisir dengan luasan dan fungsi yang signifikan sebagai sistem pendukung kehidupan bagi wilayah sekeliling taman nasional.
Jumlah 23 tersebut belum termasuk lahan basah pesisir di kawasan
konservasi tipe lainnya seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. Hingga saat ini belum ada informasi atau pemetaan khusus untuk mengetahui luas lahan basah pesisir maupun ekosistem-ekosistem lainnya dalam taman nasional. Kewenangan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia dilakukan oleh pemerintah secara terpusat melalui Departemen Kehutanan.
Meski demikian
kebijakan pemerintah lokal dan pemangku kepentingan di daerah dalam mengelola wilayah sekeling kawasan konservasi secara langsung berpengaruh pada kondisi di dalam kawasan konservasi. Kondisi tersebut disikapai oleh Departemen Kehutanan dengan mengembangkan pendekatan pengelolaan kolaboratif sehingga para pemangku kepentingan di daerah bisa mengambil bagian dalam pengelolaan kawasan konservasi (Kepmenhut No P.19/2004). 4.1
Pengelompokan Kawasan Konservasi Berdasarkan Jenis Ekosistem yang Dominan Pengelompokan kawasan konservasi lahan basah pesisir berdasarkan tipe
ekosistemnya merupakan salah satu cara untuk membantu pengelolaan kawasan konservasi
secara
lebih
efektif.
Departemen
Kehutanan
secara
umum
mengelompokkan kawasan konservasi menjadi dua yaitu: Kawasan Konservasi Daratan dan Kawasan Konservasi Laut. Pembagian ini masih sangat umum terutama jika dikaitkan dengan pengeloaan kawasan yang arus berdasarkan ekosistem dominan.
40
Pengelompokan ini juga menjadi hal yang penting dalam menyusun strategi pengelolan berdasarkan hasil-hasil RAPPAM karena RAPPAM sendiri tidak secara khusus melakukan pembedaan tipe ekosistem dalam questionernya. Berdasarkan karakteristik masing-masing kawasan konservasi pada Tabel 2 maka secara kualitatif pengelompokan dapat dilakukan lebih detail berdasarkan tipe ekosistem yang mendominasi suatau kawasan konservasi seperti berikut: Tabel 5. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan tipe-tipe ekosistem lahan basah yang dominan. Kriteria pengelompokan Dominan rawa pesisir
Kawasan konservasi
mangrove,
Berbak, Sembilang, Way Kambas, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Wasur, Lorentz
terumbu
Kepulauan Seribu, Komodo, Bunaken, Taka Bonerate, Wakatobi.
Dominan hutan pantai, pantai berpasir, dan tebing pantai berbatu
Siberut, Baluran, Meru Betiri, Alas Purwo, Manupeu Tanadaru.
Gabungan mangrove, terumbu karang
Ujung Kulon, Cenderawasih.
Dominan karang
Karimun
Jawa,
Bali
Barat,
Teluk
Sumber data: Departemen Kehutanan 2007, Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia
Tabel 5 menunjukkan bahwa 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian ini dapat dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan tipe ekosistem yang dominan.
Setiap kelompok memiliki kebutuhan tersendiri dalam pengelolaan
kawasannya sehingga pengelompokan ini selanjutnya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengidentifikasi isu pengelolaan yang penting beserta alternatif pengelolaannya. 4.2
Karakteristik Biologi Salah satu dasar penetapan sebuah kawasan konservasi adalah berdasarkan
karakteristik-karakteristik biologisnya yang penting seperti kekayaan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, dan fungsi perlindungannya terhadap spesies-spesies terancam punah, bernilai penting, dan khas.
Secara tradisional karakteristik ini
mendominasi dasar penetapan hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
41
Karakteristik biologi yang menjadi perhatian dalam penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi ini dibedakan menjadi 10 macam seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Secara umum terlihat bahwa karakteristik biologi yang paling
menonjol pada kawasan konservasi adalah kandungan keanekaragaman hayati, keterwakilan ekosistem, populasi minimum spesies, dan keterwakilan skala keanekaragaman hayati. Karakteristik biologi yang paling rendah nilai pentingnya adalah tipe ekosistem yang tersisa.
Nilai Penting
5 4 3 2
Tipe ekosistem yang tersisa
Pemeliharaan proses alami
Kesesuaian sejarah
Spesies endemik
Fungsi kritis
Spesies terancam
Skala kehati
Populasi minimum spesies
Keterwakilan ekosistem
-
Kandungan kehati
1
Karakteristik Ekologi
Gambar 6 Grafik nilai penting karakteristik biologis kawasan konservasi di Indonesia. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan konservasi menempatkan kandungan keanekaragaman hayati sebagai bagian yang paling penting untuk menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Kandungan
keanekaragaman hayati dianggap lebih penting dibandingkan keberadaan spesies endemik atau spesies yang terancam punah. Hal ini masih wajar karena kawasan konservasi yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah taman nasional yang peruntukannya sebagai kawasan pelestarian alam, bukan kawasan suaka alam seperti cagar alam dan suaka margasatwa yang lebih ditujukan untuk perlindungan floran dan fauna yang terancam punah. Nilai biologis yang tinggi yang disajikan pada Gambar 6 sebetulnya sejalan dengan hasil survey-survey inventarisasi keanekaragaman hayati yang menunjukkan bahwa kandungan keanekaragaman hayati lahan basah Indonesia adalah salah satu yang terkaya di dunia. Sekitar 8.500 spesies ikan dari 19.000 spesies yang ada di
42
seluruh dunia bisa ditemukan di Indonesia. Sedangkan untuk amphibi, dari 4.200 spesies yang ada di seluruh dunia, sekitar 1.000 spesies bisa ditemukan di Indonesia (Bappenas, 1993). Ikan, amphibi, dan terumbu karang adalah flora dan fauna yang khas hidup di lahan basah. 5
4 3.5 3 2.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Sembilang
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
2 Berbak
Nilai Penting Ekologis
4.5
Hutan Pantai
Gambar 7 Grafik nilai penting karakteristik biologis di 23 kawasan konservasi Nilai penting biologis setiap kawasan konservasi cukup bervariasi seperti yang disajikan dalam Gambar 7. Taman nasional yang memiliki nilai penting karakteristik biologi yang tinggi adalah Taman Nasional Sembilang, Ujung Kulon, Karimun Jawa, Meru Betiri, Wasur, Rawa Aopa dan Lorentz. Sedangkan kawasan konservasi yang memiliki nilai yang rendah antara lain Taman Nasional Kepulauan Seribu, Tanjung Puting, Taka Bonerate, Wakatobi, dan Bunaken.
Secara umum terlihat bahwa
kawasan konservasi laut (terumbu karang) dianggap memiliki nilai penting karakteristik biologi yang lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi tipe ekosistem lainnya.
Nilai Penting Biologis Berdasarkan Hasil Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Penelitian ini juga menyusun skala proritas pengelolaan yang didasarkan pada data obyektif yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber seperti disajikan dalam Tabel 6 berikut.
43
Tabel 6. Karakteristik keanekaragaman hayati flora dan fauna 23 kawasan konservasi di Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. No
NP
Fish
Birds
Plants
Corals
Mammals
Reptile Amphibi
Wetlands
Migratory
Endemic
Endangered
1
SR
10
134
896
10
31
21
3
nd
36
9
2
BK
116
337
261
0
28
51
4
22
nd
22
3
SL
51
300
20
0
35
19
4
nd
nd
36
4
WK
10
406
35
0
50
3
3
nd
nd
15
5
UK
142
242
700
33
40
81
4
nd
nd
6
6
KS
211
17
32
257
1
5
2
nd
nd
2
7
KJ
290
54
173
90
6
18
3
nd
nd
3
8
BL
10
155
444
10
26
4
3
nd
nd
3
9
AP
33
236
190
10
27
20
3
16
nd
4
10
MB
10
184
518
10
29
11
3
nd
nd
4
11
BB
226
105
175
110
200
4
3
nd
nd
4
12
KM
1000
111
200
260
34
37
3
nd
nd
4
13
MT
nd
87
118
nd
nd
nd
nd
14
nd
14
TP
10
221
20
0
38
7
3
nd
7
5
15
KT
10
215
20
0
74
4
3
nd
nd
5
16
GP
10
248
20
0
140
5
3
nd
nd
5
17
TB
350
2
7
261
3
6
2
nd
nd
3
18
WT
430
11
25
125
9
9
1
nd
nd
1
19
RA
11
163
323
0
18
10
2
nd
37
6
20
BN
1000
81
55
380
15
13
2
nd
nd
5
21
TC
1223
37
46
600
64
4
2
nd
nd
7
22
WS
39
403
20
0
80
21
3
nd
32
2
23 LZ 1000 650 200 0 141 150 3 nd 45 Keterangan: 1. Kolom yang menunjukkan diberi warna gelap menunjukkan angka estimasi untuk memudahkan perhitungan. 2. nd = tidak terdapat data
1
44
Secara umum Tabel 6. sulit untuk memberi kita gambaran kawasan konservasi mana yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang relatif tinggi. Tabel 6 justru menunjukkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati setiap kawasan konservasi memiliki kekhasan jumlah spesies tertentu dan tidak ada yang keanekaragaman hayatinya mendominasi semua kategori spesies. Teluk Cendrawasih (TC) memiliki spesies karang dan ikan paling tinggi, Lorentz (LZ) paling banyak memiliki spesies burung, reptile dan mamalia, Ujung Kulon (UK) untuk spesies tumbuhan, Bali Barat (BB) untuk mamalia, dan Sembilang (SL) memiliki jumlah spesies terancam paling tinggi. Menyikapi kesulitan yang ditemukan dalam memahami sebaran data tersebut maka dilakukan penentuan skor atau pembobotan nilai dalam Tabel 6. Penentuan skor masing-masing kawasan konservasi dilakukan dengan membuat pembobotan pada masing-masing kelompok kriteria keanekaragaman hayati seperti yang disajikan dalam Tabel 7. Lima kawasan konservasi pertama yang memiliki nilai penting biologis yang tinggi adalah: Berbak, Ujung Kulon, Komodo, Sembilang, dan Lorentz. Berbak dan Sembilang terletak di pesisir timur Sumatera merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh hutan rawa tawar, mangrove, dan gambut. Kedua kawasan tersebut sudah sejak lama teridentifikasi sebagai kawasan rawa gambut dan rawa mangrove terbaik di Indonesia. Sedangkan Ujung Kulon terletak di Pulau Jawa dan merupakan lahan basah pesisir yang dicirikan oleh adanya spesies badak. Ujung Kulon memiliki nilai strategis karena merupakan salah satu dari sedikit kawasan konservasi yang relatif terjaga kondisi keanekaragaman hayatinya di Pulau Jawa.
Tabel 7. Nilai skor kekayaan keanekaragaman hayati 23 kawasan konservasi di Indonesia Rawa Pesisir dan Mangrove
Taman Nasional BK
SL
WK
TP
KT
GP
RA
WS
LZ
Mangrove - Terumbu Karang UK KJ BB TC
Terumbu Karang KS
Hutan Pantai
KM
TB
WT
BN
SR
BL
AP
MB
Fish
7
4
4
4
4
4
4
4
18
7
11
11
18
11
18
11
15
18
4
4
4
4
Birds
18
18
18
15
15
15
15
18
18
15
7
11
4
4
11
4
4
7
11
15
15
15
Plants
3
1
1
1
1
1
5
1
2
6
2
2
1
1
2
1
1
1
1
6
2
6
Corals
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
4
6
12
10
10
10
6
12
2
2
2
2
Mammals
2
2
2
2
3
5
1
3
5
2
6
6
3
1
2
1
1
1
2
2
2
2
Reptile - Amphibi
6
2
2
2
2
2
2
4
12
10
2
2
2
2
4
2
2
2
4
2
2
2
Wetlands
18
18
12
12
12
12
8
12
12
18
12
12
8
8
12
8
4
8
12
12
12
12
Endan-gered
10
10
10
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
3
3
3
3
3
5
3
3
3
Jumlah
64
55
49
39
40
42
38
45
70
65
47
53
53
40
62
40
36
52
41
46
42
46
Ranking
3
5
9
20
17
14
21
13
1
2
10
6
7
18
4
19
22
8
16
11
15
12
Rata-rata
49.11
54.50
40.00
43.75
Keterangan: 1. Data asli jumlah spesies per kawasan konservasi dikompilasi dari berbagai sumber yaitu: a. Wetlands Data Base, Wetlands International Indonesia Programme b. Important Bird Area (IBA), Birdlife International. www.birdlife.org; www.burung .or.id c. Pusat Informasi Konservasi Alam, PIKA Departemen Kehutanan d. Park of Indonesia, ASEAN sub-regional economic growth area, www.eaga.org.bn e. Operation Wallacea (TN. Wakatobi). www.opwall.com f. Coremap (TN. Takabonerate). www.coremap.or.id g. Komodo National Park (www.komodonationalpark.org) h. 41 Taman Nasional di Indonesia, PHKA-TNC. i. Lumba-lumba Diving, www.lumbalumbadiving.com 2. Penentuan ranking menggunakan metode skoring yang diadopsi dari UNEP SCS Wetlands Sub Component, 2004. 3. Data yang ditebalkan dan diberi bayangan adalah data yang merupakan nilai maksimal. 4.Taman Nasional Manupeu Tanadaru tidak dimasukkan dalam perhitungan karena datanya sangat minim.
45
46
Hasil pembobotan nilai data keanekaragaman hayati kawasan konservasi menunjukkan bahwa terdapat variasi nilai keanekaragaman hayati yang sangat besar antara satu kawasan konservasi dengan kawasan konservasi lainnya. Hal ini bisa terlihat pada data skor nilai yang terkecil yaitu TN Wakatobi yang hanya memiliki skor 36 dan TN Lorentz yang memiliki skor 70. Variasi yang besar ini memudahkan kita untuk mengurutkan prioritas pengelolaan 23 kawasan konservasi. Nilai ranking kawasan konservasi yang dilakukan berdasarkan data hasil inventarisasi seperti yang disajikan pada Tabel 7 memiliki kecenderungan kesamaan pada 10 kawasan konservasi prioritas pertama menurut kriteria RAPPAM. Meski demikian, penghitungan korelasi hasil analisis data keanekaragaman hayati dan hasil RAPPAM memberikan angka korelasi yang sangat kecil (<60%).
Hal ini
menyebabkan kesulitan untuk menjadi dasar penentuan prioritas pengelolaan yang didasarkan pada nilai penting biologis. Terdapat dugaan kuat ketidakkonsistenan ini berasal dari ketidakmemadaian data yang tersedia. Data yang berasal dari kawasan konservasi yang menjadi wilayah kerja sebuah proyek khusus –biasanya dilakukan oleh LSM Internasional- akan melimpah sehingga menghasilkan jumlah spesies yang besar. Hal ini dengan mudah terlihat pada data spesies ikan dan karang yang lengkap dari TN Teluk Cendrawasih sebab sebuah proyek yang difasilitasi Conservation International tengah bekerja di sana menginventarisasi ikan dan karang. Kelengkapan data TN Teluk Cenderawasih hanya terjadi pada ikan dan karang, tapi tidak pada spesies burung dan tumbuhan. Ketiadaan data ini tidak berarti TN Teluk Cenderawasih tidak memiliki burung, tapi lebih disebabkan oleh tidak adanya proyek khusus menginventarisasi hal tersebut.
Hal sebaliknya terjadi pada TN
Manupeu Tanadaru, dimana Birdlife International bekerja dengan spesialisasi burung dan preferensi habitatnya. Kondisi ini menyebabkan TN Manupeu Tanadaru memiliki kelengkapan informasi mengenai data burung dan tanaman. Data-data hasil inventarisasi kekayaan sumberdaya hayati kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 belum memadai untuk menjadi referensi tunggal penentuan prioritas nilai penting biologis kawasan konservasi. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus berbagai pihak untuk melengkapi data tersebut diatas
47
yang kemudian digabungkan dengan informasi-informasi persepsi para pemangku kepentingan yang antara lain bisa diperoleh dari kuesioner RAPPAM. Gabungan informasi tersebut akan memandu kita untuk memperoleh urutan ranking yang mendekati kebenaran mengenai nilai penting biologis setiap kawasan konservasi. Informasi yang disajikan dalam Tabel 6 dan 7 juga memberikan kita peluang untuk melakukan pengelompokan kawasan konservasi dengan menggunakan analisis
gerombol terhadap data keanekaragaman hayati masing-masing kawasan.
Hasil
analisis tersebut disajikan dalam Gambar 8 yang memperlihatkan adanya 3 kelompok kawasan konservasi yaitu kelompok dominant terumbu karang, kelompok kombinasi hutan pantai dan mangrove, dan kelompok dominan rawa dan mangrove. analisis
diskriminan
terhadap
pengelompokan
tersebut
menunjukkan
Hasil bahwa
pembagian menjadi 3 kelompok sudah tepat berdasarkan data yang tersedia. Dendrogram 35
30
Dissimilarity
25
20
15
10
5
0
Gambar 8 Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan keanekaragaman hayatinya. Hasil pendekatan analisis gerombol yang disajikan dalam Tabel 8 disarikan dari Gambar 8 yang memberikan gambaran yang sekilas terlihat berbeda dengan pengelompokan pada Tabel 5 sebelumnya. Meski demikian jika diamati lebih dekat terlihat bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut saling melengkapi dimana
48
analisis gerombol memperjelas kawasan konservasi yang dominan terumbu karang sedang pengelompokan dalam Tabel 8 memperjelas pengelompokan kawasan yang dominan mangrove. Tabel 8. Pengelompokan kawasan konservasi berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap kekayaan jenis masing-masing kawasan Kelompok
Kawasan Konservasi
Jenis Ekosistem
I
Karimun Jawa, Bali Barat, Wakatobi, Kepulauan Seribu, Taka Bonerate, Komodo, Bunaken, Teluk Cenderawasih.
Dominan karang
II
Lorentz, Sembilang
Kombinasi pesisir mangrove
rawa dan
III
Ujung Kulon, Berbak, Siberut, Gunung Palung, Wakatobi, Wasur, Alas Purwo, Meru Betiri, Tanjung Puting, Kutai, Baluran, Rawa Aopa (subgrup 1);
Kombinasi pantai mangrove
hutan dan
terumbu
Pengelompokan pada Tabel 5 yang saling melengkapi dengan pengelompokan Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum kawasan konservasi lahan basah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 4 kelompok besar yaitu: kelompok mangrove, kelompok hutan pantai, kelompok terumbu karang, dan kelompok campuran terumbu karang dan mangrove. Oleh sebab itu pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang umumnya ditujukan pada perlindungan fungsi-fungsi biologis sebaiknya dikembangkan berdasarkan kebutuhan spesifik masing-masing kelompok yaitu: mangrove, hutan pantai, terumbu karang, dan kombinasi beberapa type ekosistem. 4.3
Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik lain yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan konservasi
adalah nilai penting sosial ekonomi. Karakteristik ini baru disadari nilai pentingnya dalam 20-30 tahun terakhir sebab secara tradisional penetapan suatu kawasan konservasi awalnya lebih didasarkan pada nilai penting biologis. Munculnya berbagai persoalan yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi yang ternyata bermuara
49
pada isu sosial ekonomi membuat karakteristik sosial ekonomi menjadi salah satu bagian penting dalam perencanaan pengelolaan kawasan konservasi. 5 Nilai Penting
4 3 2
Nilai spiritual
Penyedia pekerjaan
Tumbuhan penting
Rekreasi
Panorama
Penyedia sumberdaya alam
Pemanfaatan lestari
Satwa penting
Manfaat dan jasa ekosistem
-
Nilai ilmiah dan pendidikan
1
Karakteristik Sosial Ekonomi
Gambar 9 Grafik nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi. Karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi adalah karakteristik yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Hasil penilaian yang disajikan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi tidaklah begitu tinggi yaitu umumnya di bawah nilai 4. Karakteristik yang relatif tinggi adalah nilai ilmiah dan pendidikan, jasa ekosistem, satwa penting, dan pemanfaatan lestari. Meski demikian, saat ini para pengelola Kawasan konservasi mulai melihat kawasannya sebagai sesuatu yang dapat memberikan keuntungan ekonomis terutama dari jasa ekosistem atau pemanfaatan secara lestari. Beberapa kawasan konservasi bahkan secara serius mengkomersilkan daya tarik khasnya seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo, Bunaken, dan Bali Barat. Karakteristik sosial ekonomi yang nilainya kecil adalah sebagai penyedia pekerjaan. Lokasi kawasan konservasi yang umumnya jauh dari pemukiman serta adanya batasan untuk merambah kawasan konservasi merupakan salah satu penyebab minimnya aktifitas untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara ekonomis. Kondisi ini tidak terjadi pada beberapa kawasan konservasi seperti yang tersaji dalam Gambar 10. Taman Nasional Komodo adalah salah satu pengecualian antara lain
50
disebabkan adanya LSM Internasional yang mengembangkan usaha pariwisata sehingga memungkinkan tersedianya lapangan pekerjaan. Hal yang sama terjadi pada Taman Nasional Pulau Seribu yang keberadaannya memiliki nilai penting sebagai penyedia pekerjaan karena letaknya tumpang tindih dengan wilayah pemukiman daerah penangkapan ikan dan budidaya laut (marikultur) masyarakat Kabupaten Kepulauan Seribu. Karakteristik sosial ekonomi lain yang memiliki nilai relatif kecil adalah nilai spiritual kawasan. Tujuan awal pembentukan taman nasional lebih didominasi oleh isu keanekearagaman hayati yang dikelola melalui Departemen Kehutanan.
Oleh
sebab itu isu nilai spiritual yang melekat pada suatu kawasan cenderung tidak menjadi perhatian khusus bagi Departemen Kehutanan untuk menjadi dasar pembentukan kawasan konservasi. Perlindungan suatu kawasan yang bernilai spritual umumnya dilakukan melalui otoritas pemerintah yang bergerak dalam isu kebudayaan atau pariwisata. 4.5
3.5 3 2.5 2 1.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu Karang
Terumbu Karang
Meru Betiri Manupeu Tanadaru
Alas Purwo
Siberut
Baluran
Bunaken Taka Bonerate Wakatobi
Kepulauan Seribu Komodo
Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih
Lorentz
Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur
Berbak
1 Sembilang
Nilai Penting Sosial Ekonomis
4
Hutan Pantai
Gambar 10 Grafik nilai penting sosial ekonomi 23 kawasan konservasi di Indonesia. Setiap kawasan konservasi memiliki nilai penting sosial ekonomi dan biologi yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 10. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan letak geografis maupun interaksi antara kawasan konservasi dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekelilingnya. Kawasan konservasi yang dinilai
51
memiliki karakteristik sosial ekonomi paling menonjol adalah Taman Nasional Sembilang, Wasur dan Lorentz, Ujung Kuloan, Karimun Jawa dan Bali Barat, Komodo dan Bunaken, Alas Purwo dan Meru Betiri. Karakteristik sosial ekonomi yang menonjol dari keempat kawasan konservasi ini adalah karena memiliki tumbuhan dan satwa penting, panorama yang indah, dan jasa-jasa ekosistem. Kawasan yang memiliki nilai penting ekonomi yang rendah adalah Taman Nasional Kutai. Ditinjau secara kelompok, kawasan konservasi yang didominasi oleh tipe ekosistem hutan pantai cenderung memiliki nilai penting ekonomi yang rendah seperti Siberut, Baluran, Manupeu Tanadaru. Letaknya yang cukup jauh dari aktifitas perekonomian nasional (Siberut dan Manupeu Tanadaru) atau terdapat aktifitas ekonomi yang lebih menarik ketimbang memanfaatkan kawasan konservasi seperti yang terjadi di Baluran dan Kutai yang berada dekat pertumbuhan ekonomi maupun dekat wilayah kaya akan sumberdaya mineral menyebabkan kawasan-kawasan tersebut dipandang sebagai kawasan yang memiliki nilai ekonomi relatif rendah. Anggapan bahwa Taman Nasional Kutai memiliki nilai ekonomi yang rendah mungkin juga menjadi penyebab semakin menyusutnya luasan kawasan konservasi Taman Nasional Kutai. Suaka Margasatwa Kutai ketika ditetapkan pada tahun 1934 luasnya dua juta hektare kemudian berkurang menjadi 306.000 hektare pada tahun 1957, menyusut lagi menjadi 200.000 hektar pada tahun 1971 dan tersisa 198.604 hektare pada tahun 1991 sejak ditetapkan menjadi Taman Nasional Kutai (Rahmiyati, 2006). Secara umum nilai penting karakteristik sosial ekonomi kawasan konservasi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9, masih lebih rendah dibandingkan karakteristik biologisnya yang ditunjukkan dalam Gambar 6. Penilaian yang lebih tinggi terhadap nilai biologis dibanding nilai ekonomis ini berkaitan erat dengan tujuan awal pembentukan kawasan konservasi yang lebih memfokuskan pada perlindungan ekosistem seperti yang disepakati dalam kriteria IUCN 1969 (Wiratno et al. 2001). Oleh sebab itu secara tradisional pemangku kepentingan akan menilai kawasan konservasi sebagai tempat yang memiliki nilai biologis yang lebih tinggi dibandingkan nilai ekonomis.
52
Informasi mengenai kekayaan spesies ini memerlukan perhatian sebab kekayaan sumberdaya hayati justru merupakan kekayaan yang bernilai ekonomis yang jika dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar. Indikasi mengenai hal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 15 dimana karakteristik ekonomi yang dinilai tinggi dalam penelitian ini adalah satwa penting dan pemanfaatannya secara lestari. Hal ini ditunjang oleh statistik resmi Departemen Kehutanan (2004) yang memperkirakan perolehan devisa dari ekspor fauna lahan basah pesisir yaitu buaya dan koral lebih dari US$ 550 ribu pada tahun 2004. Sedangkan total devisa negara dari ekspor flora dan fauna adalah US$ 15 juta (Rp 135 miliar). Jumlah ini, walaupun relatif kecil, mengalami peningkatan drastis dari tahun ke tahun yang jika dikelola secara profesional bisa menunjang pengelolaan kawasan konservasi secara mandiri. Sebagai ilustrasi pembanding, realisasi pengeluaran anggaran konservasi alam oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan pada tahun 2003 adalah sekitar Rp 253 miliar.
Jumlah Turis Asing
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 11 Jumlah pengunjung turis asing ke 23 kawasan konservasi. Sumber: Dephut 2004 Kegiatan lain yang menjadi komponen penilaian karakteristik sosial ekonomi adalah pariwisata.
Kegiatan ini sebetulnya salah satu cara paling populer dalam
pemanfaatan secara lestari Kawasan konservasi. Meski demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap nilai penting karakteristik pariwisata masih belum setinggi penilaian karakteristik sosial ekonomi yang lain.
Kecenderungan
jumlah wisatawan asing ke kawasan konservasi yang semakin meningkat
53
menunjukkan adanya peluang pengembangan pariwisata di kawasan konservasi. Gambar 11 memperlihatkan bahwa jumlah wisatawan asing meningkat drastis dari tahun 2000 ke tahun 2001 kemudian menurun drastis pada tahun 2002 - 2003. Jumlah ini kemudian meningkat kembali pada tahun 2004 (Dephut, 2004). Penurunan drastis dari tahun 2001 ke tahun 2003 berimbas dari kondisi keamanan dalam negeri akibat bom Bali tahun 2002 dan situasi dunia yang sedang berperang melawan terorisme.
Meski demikian masyarakat dunia saat ini sudah semakin
beradaptasi terhadap situasi keamanan global dan geliat kebangkitan pariwisata semakin terasa. Oleh sebab itu pengembangan pariwisata di Kawasan konservasi ditahun-tahun mendatang dapat menjadi pilihan pemanfaatan lestari. 4.4
Karakteristik Tekanan dan Ancaman Tekanan merupakan kegiatan-kegiatan atau hal yang telah berlangsung dan
menimbulkan dampak buruk sedangkan ancaman merupakan kegiatan atau hal yang mungkin menimbulkan dampak buruk. Terdapat 14 jenis karakteristik tekanan dan ancaman terhadap kawasan konservasi yang menjadi perhatian dalam penelitian ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 12.
25.0 20.0 15.0 10.0
Pemburu harta karun
Wisata
Spesies invasif
Kebakaran
Polusi
NTFP
Alat tangkap ikan
Pertambangan
Pemukiman
Klaim masyarakat
Pengelolaan kontradiktif
Perburuan satwa
0.0
Perambahan
5.0 Pembalakan
Tingkat Tekanan dan Ancaman
30.0
Gambar 12 Grafik tingkat tekanan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi.
54
Pengelolaan karakteristik sosial ekonomi dan biologi untuk menghasilkan keuntungan ekonomis dapat juga menyebabkan kerusakan sumberdaya akibat terjadinya pemanfaatan berlebih ataupun pemanfaatan yang ilegal.
Tekanan dan
ancaman yang dianggap relatif kecil pada kawasan konservasi adalah perburuan harta karun dan wisata. Tekanan dan ancaman yang paling besar dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah pembalakan, perambahan kawasan, dan perburuan satwa. Hal ini sangat sulit untuk dihindari karena permintaan yang tinggi terhadap satwa dan tumbuhan liar yang menyebabkan nilai pasarnya menjadi sangat tinggi. Nilai ekonomis dari perdagangan satwa liar yang tercatat di Departemen Kehutanan yang nilainya tidak sampai Rp 150 miliar sebetulnya puncak dari gunung es. ProFauna, sebuah LSM yang bergerak dalam isu perdagangan ilegal satwa liar, memperkirakan nilai perputaran uang dalam perdagangan ilegal satwa liar mencapai Rp 9 trilliun pertahun dan sebagian satwa tersebut berasal dari lahan basah pesisir seperti burung raja udang (Halcyon) dan penyu (Tempo Interaktif, 2006).
300 250 200 150 100
Terumbu Karang
Meru Betiri
Manupeu Tanadaru
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Bunaken
Wakatobi
Komodo
Taka Bonerate
Kepulauan Seribu
Bali Barat
MangroveTerumbu Karang
Teluk Cendrawasih
Ujung Kulon
Karimun Jawa
Lorentz
Wasur
Rawa Aopa Watumohai
Kutai
Rawa Pantai dan Mangrove
Gunung Palung
Way Kambas
Berbak
0
Tanjung Puting
50 Sembilang
Nilai Tekanan dan Ancaman
350
Hutan Pantai
Gambar 13 Grafik nilai tekanan dan ancaman rata-rata pada 23 kawasan konservasi di Indonesia Gambar 13. menunjukkan bahwa tidak satupun kawasan konservasi yang bebas dari ancaman maupun tekanan. Meski demikian, nilai tekanan dan ancaman yang dialami setiap kawasan konservasi bervariasi dari yang paling kecil di kelompok hutan
55
pantai yaitu Alas Purwo, Meru Betiri, dan Lorentz, hingga yang paling besar Kutai, Karimun Jawa, Teluk Cendrawasih, Wasur, dan Rawa Aopa. Secara umum, kelompok hutan pantai mengalami tekanan dan ancaman yang lebih kecil dibanding kelompok tipe ekosistem lainnya. Pembalakan hutan, cenderung dominan di kawasan konservasi yang memiliki wilayah upland seperti Teluk Cendrawasih dan Kutai. Meski pembalakan terjadi jauh ke wilayah upland, akibatnya dapat berdampak langsung terhadap kualitas lahan basah pesisir. Terbukanya tutupan hutan akan menyebabkan mudahnya terjadi erosi pada musim hujan yang menyebabkan wilayah pesisir mengalami penurunan kualitas air. Tekanan dan ancaman yang dihadapi oleh kawasan konservasi yang didominasi oleh ekosistem laut seperti Taman Nasional Karimuan Jawa adalah perburuan satwa dan pengelolaan yang tidak terkoordinasi. Tekanan dan ancaman lain yang lazim muncul adalah pemukiman dan penggunaan alat tangkap yang destruktif. 4.5
Karakteristik Kerapuhan Mempertahankan integritas kawasan konservasi bukanlah hal mudah untuk
dilakukan di negara-negara berkembang. Hal yang sama dialami di Indonesia dimana masyarakat masih sangat mengandalkan pendapatannya pada penjualan bahan baku yang dipanen langsung dari sumberdaya alam. Indonesia juga tergolong lemah dalam upaya penegakan hukum dan masih mengalami ketidakstabilan politik. Beberapa karakteristik utama yang merupakan indikator kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi disajikan dalam Gambar 14 yang sekaligus menunjukkan tingkat kerapuhan setiap indikator tersebut. Terdapat 3 karakteristrik yang dianggap paling rapuh dalam pengelolaan Kawasan konservasi yaitu: nilai pasar yang tinggi, penyerobotan lahan, dan kesulitan mencari pegawai. Sedangkan karakteristik kerapuhan yang nilainya relatif rendah adalah: suap dan korupsi, ketidakstabilan politik, dan konflik budaya.
56
Tingkat Kerapuhan
5 4 3 2
Ketidakstabilan politik
Suap dan korupsi
Tekanan pada pengelola
Konflik budaya
Kegiatan ilegal
Lemah penegakan hukum
Permintaan sumberdaya kawasan
Kesulitan mencari pegawai
Mudah diserobot
-
Nilai pasar tinggi
1
Karakteristik Kerapuhan
Gambar 14 Grafik nilai beberapa karakteristik kerapuhan utama dalam pengelolaan kawasan konservasi. Nilai pasar yang tinggi berbagai produk kawasan konservasi seperti spesies langka, obat-obatan maupun material berkualitas tinggi sudah sejak lama menjadi tantangan pengelolaan kawasan konservasi.
Nilai pasar yang tinggi tersebut
merupakan awal dari berbagai kegiatan ilegal, antara lain banyaknya pihak yang melakukan kegiatan pengumpulan berbagai spesies atau material dari dalam wilayah kawasan konservasi.
Kegiatan ini sangat marak di berbagai kawasan konservasi
sehingga dapat dimengerti mengapa nilai pasar tinggi menjadi salah satu karakteristik kerapuhan paling tinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Karakteristik
kerapuhan yang tinggi lainnya adalah kondisi kawasan konservasi yang mudah diserobot sehingga memicu kegiatan merusak lainnya seperti perambahan dan perburuan liar. Hal yang unik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa salah satu karakteristik penting dari rapuhnya pengelolaan kawasan konservasi disebabkan oleh faktor kesulitan mencari pegawai. Luas Kawasan konservasi dalam penelitian ini yang berkisar antara 19 ribu ha (TN Bali Barat) hingga 2,5 juta ha (TN Lorentz) menunjukkan adanya kebutuhan pegawai profesional yang sangat besar sesuai kondisi spesifik wilayah masing-masing. Hal ini cukup sulit untuk dipenuhi terutama sekali karena adanya keterbatasan biaya pengelolaan kawasan konservasi dan minimnya
57
minat pegawai pemerintah untuk tinggal dan bekerja di tempat terpencil dalam jangka waktu lama. Isu perambahan, pembalakan, dan perburuan satwa liar hampir tidak mungkin diatasi jika hanya mengandalkan sumberdaya pegawai Departemen Kehutanan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan pegawai dan peningkatan kapasitasnya merupakan bagian yang sangat rapuh dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 14. Data statistik Dephut (2004) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2004, jumlah total pegawai yang bekerja di unit-unit taman nasional adalah 3.269 orang yang jika dibandingkan dengan luasan taman nasional yang mencapai 16,4 juta ha berarti setiap pegawai harus mengawasi wilayah sekitar 5000 ha. Kerapuhan pengelolaan kawasan konservasi tersebut di atas merupakan gambaran umum pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia yang hingga kini belum ditangani secara signifikan. Padahal, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan investasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jumlah pegawai dan hal-hal lain yang masih rapuh dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Ilustrasi lain yang
menggambarkan kerugian tersebut disampaikan oleh Jampidsus Agung Prasetyo yaitu bahwa dalam kurun 2003 - 2005 nilai aset yang dijarah dari kawasan hutan Indonesia mencapai 83 trilyun rupiah (Bisnis Indonesia, 19 Januari 2006). 5 4.5 4 3 2.5 2 1.5 1 0.5
Rawa Pantai dan Mangrove
MangroveTerumbu karang
Terumbu Karang
Manupeu Tanadaru
Meru Betiri
Baluran
Alas Purwo
Siberut
Wakatobi
Taka Bonerate
Bunaken
Komodo
Kepulauan Seribu
Teluk Cendrawasih
Bali Barat
Karimun Jawa
Ujung Kulon
Wasur
Lorentz
Kutai
Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai
Tanjung Puting
Way Kambas
Berbak
0 Sembilang
Tingkat Kerapuhan
3.5
Hutan Pantai
Gambar 15 Tingkat kerapuhan rata-rata di 23 kawasan konservasi di Indonesia
58
Gambar 15 memperlihatkan bahwa semua kelompok tipe ekosistem kawasan konservasi memiliki tingkat kerapuhan bervariasi, tidak ada yang menonjol antara satu dengan yang lain. Kawasan konservasi yang paling rapuh dalam penelitian ini adalah TN Siberut, Karimun Jawa, Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, Rawa Aopa, Teluk Cendrawasih, dan Wasur.
Tingkat kerapuhan TN Siberut paling menonjol
dibanding kawasan konservasi lainnya. Letaknya di perairan paling barat Indonesia dimana akses transportasi masih terbatas sehingga pemantauan terhadap aktifitas illegal maupun penegakan hukum menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Oleh sebab itu, hampir semua karakteristik kerapuhan yang menjadi acuan dalam penelitian ini dapat ditemukan dalam skala yang tinggi di TN Siberut. Tingkat kerapuhan kawasan konservasi lain yang tergolong sedang dan yang paling rendah adalah TN Way Kambas dan Manupeu Tanadaru.
Way Kambas
letaknya relatif dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan sehingga dukungan infrastruktur untuk melakukan pemantauan lebih mudah. Sebaliknya dengan Manupeu Tanadaru, persepsi terhadap rendahnya nilai ekonomis kawasan konservasi ini menyebabkan minat masyarakat untuk mengaksesnya menjadi relatif rendah.