KONSERVASI DAN PARIWISATA (STUDI KOMPARASI MANAJEMEN WORLD HERITAGE SITES: POTALA PALACE TIBET DAN HOI AN VIETNAM) Oleh : I Wayan Suardana Abstract The world heritage list designates unique cultural sites of outstanding universal value, value measurable in both cultural and economic terms. At the last update (June 2010) there were 936 properties inscribe on the List, 725 cultural, 183 natural and 28 mixed. Two World Heritage Site are discussed in detail in this paper, such us Potala Palace Tibet and Hoi An Vietnam. In accordance with the metaphor of friction of Anna Tsing (Stepherd, 2006: 243) who described the meeting between the global and local levels, emphasizing the instability and the inability to predict the nature of global interactions, which resulted in a productive tension. Potala Palace Lhasa Tibet and Hoi An Vietnam seeks to promote the world heritage as an important source of income and employment, by implementing economic policies, and the opening of transport accessibility to tourist destination. An increasing number of tourists to the World heritage site, a negative impact on physical and cultural. Conservation goals, paradoxically with the effort of tourism development. Visitor management and community participation is needed in cultural heritage conservation and enhancement of the tourism economy. Management will give visitors a good maintenance fee waivers cultural heritage sites. Keywords: Cultural heritage, conservation, tourism, and visitor management 1. Pendahuluan Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian tentang industri pariwisata telah sampai pada kesimpulan yang pasti bahwa heritage adalah bagian dari industri pariwisata yang paling maju perkembangannya. Hal ini terlihat dari jumlah penyelenggara (negara, lembaga dan operator/penyelenggara), dan terutama dari segi jumlah wisatawannya. Meningkatnya jumlah wisatawan jenis ini terkait dengan nilai tambah yang mereka dapatkan berupa pengetahuan dan pengalaman budaya serta kenyamanan, yang akhirnya dapat meningkatkan kemungkinan untuk datang kembali. Warisan budaya dunia merupakan bentuk pariwisata yang menyatukan kegiatan pendidikan, wisata, pelestarian budaya maupun alam dan aktifitas ekonomi. Karena budaya lokal dalam konteks aslinya adalah atraksi utama, maka keresahan akan pudarnya budaya lokal bisa diatasi. Pada masyarakat modern, warisan budaya dunia seringkali dijadikan komoditas yang bernilai ekonomis khususnya untuk kepentingan industri 1
pariwisata (McManus, 1997: 90-98) padahal nilai yang terkandung pada warisan budaya dunia sebenarnya lebih dari pada anggapan warisan budaya dunia sebagai sebuah barang dan jasa, akibatnya terjadilah eksploitasi warisan budaya dunia sebagai sebuah produk pariwisata, dan jika tidak dikelola secara bijaksana akhirnya warisan budaya dunia akan diperjualbelikan, distandarkan seperti layaknya sebuah barang yang berwujud, padahal warisan budaya dunia itu juga mengandung elemen intangible dan nilai yang tidak pernah dapat distandarkan dan
di hitung nominalnya. Lebih lanjut Edson (2004:333-348) mengatakan,
ketika warisan budaya dunia dianggap sebagai sumber daya ekonomi dan budaya modal, akhirnya alasan inilah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk menjadikan warisan budaya dunia sebagai sebuah produk dalam industri pariwisata. Sementara
Shackley
mempersembahkan
(2001)
heritage
dan
membenarkan budaya
bahwa
sebagai
perjalanan
produk
akan
yang berbau
komersialisasi mendekati kebenaran. Pemanfaatan warisan budaya dunia sebagai sebuah produk yang siap dikonsumsi pada industri pariwisata relatif masih baru, oleh kalangan profesional pariwisata dan kalangan ilmiah dimulai sekitar tahun 1990. Ide pemanfaatan warisan budaya dunia sebagai sebuah produk juga diawali adanya sebuah tujuan utama untuk memberikan kepuasan pada wisatawan, mempersembahan suatu pengalaman baru yang menjadi kebutuhan wisatawan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) adalah sebuah lembaga dunia di bawah naungan Perserikatan bangsaBangsa, yang telah berinisiatif dalam program pelestarian warisan budaya dunia. UNESCO’s World Heritage Sites adalah sebuah tempat khusus (misalnya hutan, pegunungan, danau, gurun pasir, bangunan, kompleks, atau kota) yang telah dinominasikan untuk program warisan dunia internasional. Program ini bertujuan untuk mengkatalog, menamakan, dan melestarikan tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan dunia. Tempat-tempat yang didaftarkan dapat memperoleh dana dunia di bawah syarat-syarat tertentu. Program ini diciptakan melalui Pertemuan Mengenai Pemeliharaan Warisan Kebudayaan dan Alamiah Dunia yang diikuti di oleh Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972. Potala Palace Tibet dan Hoi An Vietnam merupakan dua tempat di Asia yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Potala Palace 2
merupakan salah satu tempat Dalai Lama di Tibet dengan komunitas Tibetan yang masih kuat dengan budayanya, dan Hoi An adalah kota tua yang dihuni oleh masyarakat Vietnam. Kedua tinggalan dunia ini dijadikan sebagai warisan budaya dunia dengan maksud untuk konservasi tinggalan bangunan dan budaya. Akan tetapi dalam perkembangannya, pariwisata berkembang begitu pesat di dua negara yang berjauhan ini. Dengan penetapan sebagai warisan budaya dunia justru meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke situs ini. Hal ini jelas dapat berimplikasi pada pertemuan budaya lokal dan global. Ke dua situs ini ternyata memiliki segmentasi pasar yang sama yaitu Cina, walaupun dengan motivasi yang berbeda. Sesuai dengan metafora friction dari Anna Tsing (2005:3 dalam Stepherd, 2006: 243) yang menggambarkan pertemuan antara global dan lokal, menekankan pada ketidakstabilan dan ketidakmampuan untuk memprediksi sifat interaksi global, yang mengakibatkan terjadinya ketegangan produktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Giddens, (2010: 37) bahwa globalisasai tidak berarti terjadinya proses hegemonisasi budaya, dimana tradisi dan budaya lokal tidak bersifat statis tetapi mengalami proses reinvention, reinterpretation, dan redifinition. Lokalisasi dan globalisasai merupakan dua entitas yang saling mempengaruhi dalam interaksi dua arah. Berdasarkan dari berbagai fenomena penetapan Potala Palace Tibet dan Hoi An Vietnam sebagai warisan budaya dunia dan perkembangan pariwisata yang berasosiasi dengan globalisasi atau modernisasi, maka tujuan artikel ini adalah pertama, ingin mengetahui perkembangan pariwisata di Potala Palace dan Hoi An. Kedua, bagaimanakah manajemen pengunjung dalam usaha usaha konservasi tinggalan dunia tersebut. 2. UNESCO dan Warisan Kebudayaan Dunia Gagasan UNESCO adalah mewujudkan dunia sebagai unit budaya berdiri secara terpisah namun sejajar dalam keragamannya. Tujuan utama dari organisasai ini adalah mengatasi perbedaan politik dan agama dalam mendukung filosofi yang didasarkan pada dunia humanisme, humanisme ilmiah, non materialisme, dan evolusionisme. Misi dari UNESCO yaitu membantu perkembangan masyarakat sebagai sarana untuk mencapai suatu basis pengetahuan dan sistem nilai universal, dan bukan hanya melestarikan keragaman 3
budaya. Lebih jauh premis dari UNESCO menegaskan bahwa universalisme adalah prinsip fundamental dari etika global. Hal ini berarti bahwa pluralistik hanya disetujui apabila sistem nilai yang dianut meniru atau sama dengan nilainilai kelembagaan UNESCO. Dalam pandangan ini jelas bahwa UNESCO pada satu sisi menghormati kebebasan keberagaman dan pluralisme, tetapi sisi yang lainnya pluralisme yang dianut adalah indikatornya ditentukan oleh UNESCO. Daftar warisan dunia UNESCO mengklasifikasikan warisan kebudayaan dunia kedalam situs-situs, bangunan atau monumen yang memiliki nilai-nilai khusus universal. Kerusakan pada situs budaya merupakan kerusakan universal yang merugikan warisan semua bangsa dan merupakan kerugian global. Untuk itu dilakukan penilaian dan pengkajian yang komprehensif terhadap suatu warisan dunia. Dengan dibentuknya International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), yang bertugas untuk melakukan penilaian, membuat daftar kriteria berdasarkan pada World Heritage Committee (WHC). Saat ini kriteria tersebut telah mengalami penyempurnaan yaitu dibedakan menjadi kreteria warisan budaya dan warisan alam (dikutip dari http//: www. UNESCO.org/criteria, 2011). Kreteria budaya terdiri dari : 1). karya jenius kreatif manusia; 2). pertukaran penting dari nilai-nilai kemanusiaan, dan arsitektur atau teknologi, seni monumental, kota-perencanaan atau desain lansekap; 3). kesaksian luar biasa untuk sebuah tradisi budaya atau peradaban yang hidup atau yang telah hilang; 4). tipe bangunan, gaya arsitektur atau teknologi atau lanskap, 5). contoh yang luar biasa dari sebuah pemukiman manusia tradisional, penggunaan lahan, atau laut, atau interaksi manusia dengan lingkungan; 6). peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan ide-ide, atau dengan keyakinan, dengan karya-karya artistik dan sastra. Untuk kreteria alam yaitu : 1) fenomena alam superlatif atau daerah yang keindahan alam yang luar biasa dan pentingnya estetika; 2). contoh yang luar biasa dari sejarah bumi, termasuk catatan kehidupan, proses geologi, atau fitur geomorfik atau fisiografi signifikan; 3). contoh yang luar biasa proses ekologi dan biologi dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem pesisir dan laut dan komunitas tumbuhan dan hewan; 4) habitat alam untuk konservasi in-situ dari
keanekaragaman
hayati,
termasuk
spesies-spesies
terancam
yang
4
mengandung nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau konservasi. Produk budaya dan situs-situs warisan harus dijaga dari tekanan pasar. Hal ini untuk menghindari adanya komodifikasi dari bentuk-bentuk budaya tangiable maupun intagiable. Intervensi untuk memelihara situs-situs budaya merupakan sebuah keharusan. Itu artinya bahwa UNESCO berhasil menjaga suatu warisan untuk masa depan yang tersisa dari masa lalu suatu bangsa. Dari konvensi 1972 telah membahas politik warisan budaya, di samping kebutuhan untuk perlindungan, juga sebagai wahana politik dari suatu negara.
3.
Pariwisata di Warisan Dunia ( Potala Palace Tibet dan Hoi An Vietnam)
3.1 Potala Palace, Lhasa Tibet Istana ini terletak di Bukit Merah Kota Lhasa daerah otonom Tibet. Istana ini dibangun pada abad ke-7 dan menjadi tempat kegiatan politik, agama dan tinggal Dalai Lama dari masa ke masa. Potala Palace dibangun bertingkat 13 dengan tinggi 110 meter, dengan struktur kayu dan batu. Terdapat pagoda dengan ketinggian 15 meter yang berlapisakan emas 3724 kg, dan bertahtakan 15 ribu intan, zamrud, mutiara dan giok. Potala Palace sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1994 dibawah Ensemble Historical Pontala Palace, Lhasa. Tahun 2000 dan 2001, Candi Jokhang dan Norbulingka ditambahkan sebagai situs pendukung. Pengunjung dibatasi hingga 1600 orang perhari, dan jam buka berkurang menjadi enam jam per hari. Dengan dibukanya jalur kereta Api Qingzang ke Lhasa, kuota pengunjung meningkat sampai 2.300 orang/hari. Pada bulan Juli dan September jam buka diperluas dan kunjungan mencapai 6.000 orang/hari. Berdasarkan catatan dari Adinistrasi Pariwisata Cina, tahun 2001 pendapatan di bidang pariwisata mencapai $14 miliar. Hanya saja dalam perkembangan politik Cina, wisatawan yang dominan ke Tibet adalah wisatawan Cina. Cina Han menjadi wisatawan sekaligus melakukan pekerjaan di daerah Lhasa. Menurut Data Administrasi Pariwisata Lhasa, wisatawan mengunjungi Lhasa Daerah Otonomi Tibet, mencapai 1,22 juta pada semester pertama tahun 2011. Kunjungan wisatawan ke Lhasa naik 42,13 persen tahun 2010 membawa lebih dari 1,18 miliar yuan (182 juta dolar AS) pendapatan. Terdapat tiga tempat tujuan daerah 5
kebudayaan di Tibet satu diantaranya adalah situs warisan dunia Tibet: 1). Norbulingka Summer Palace; tempat yang mungkin paling menggambarkan keberadaan Cina di Lhasa; 2). People Square di depan Potala Palace; dan 3). Labrang Monastery yang kemudian di kenal sebagai Provinsi Amdo. Perkembangan pariwisata di Lhasa Tibet tidak terlepas dari politik Cina dalam upaya menguasai Tibet secara utuh. Heritage adalah simbol budaya barat yang penuh standarisasi. Pariwisata dikembangkan dan dipromosikan. Berbagai slogan muncul seperti “Opened Tibet Welcomes You!, dan terbukti dalam waktu dua minggu, Lhasa menjadi daerah “Top Tourist in China” (Murakami dalam Cochrane, 2008:58). Kebijakan pariwisata Cina telah mendorong percepatan dan perluasan hotel dan sektor jasa pariwisata di Tibet. Fasilitas pariwisata yang dibangun disekitar kawasan adalah hotel, restoran, salon yang sekaligus sebagai bar, dan lainnya. Hotel dan restoran didominasi oleh masyarakat Cina. Karaoke, bar, salon rambut juga di miliki oleh migran dari Cina. Bahkan sebuah salon rambut juga berfungsi sebagai tempat pelacuran atau disebut wisata domestik. Hal ini telah memberikan persfektif yang negatif terhadap Lhasa sebagai tempat bersejarah dengan budaya Tibet, daripada sebuah kota yang merupakan sebuah pelarian dari kehidupan keseharian kolonial Cina. Masyarakat migran berbaur menjadi satu sebagai tempat tinggal sementara, atau tempat bisnis. Pengusaha, tentara, pelacur, masyarakat berbaur menjadi stu sehingga Lhasa berfungsi sebagai kota dengan multifungsi. Wajah Lhasa yang dulunya fiodal, primitif, mistik dan tradisional berubah menjadi daerah yang eksotik, modern dan tidak feodal. Untuk berkunjung ke Tibet diberlakukan ijin khusus sebagai upaya membatasi jumlah pengunjung. Lebih mudah mendapatkan ijin berkunjung berkelompok, dibandingkan ijin untuk individu. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan apabila sudah ditangani oleh Travel Agent. Menurut Adam (dalam Shepherd, 2010: 244) menyatakan bahwa pariwisata telah merongrong tradisi budaya masyarakat di Tibet. Warisan Dunia yang dijadikan sebagai kunjungan wisatawan tidak otentik. Tibet berubah menjadi tempat yang kurang asli. Hal ini juga dipertegas oleh majalah Time International dan The Economic (1996) yang melaporkan Tibet sudah dimasuki oleh berbagai gaya arsitektur Cina, toko souvernir berkembang dimana-mana, pemandu wisata 6
telah menghapus Dalai Lama dalam wacana publik. Upaya-upaya Cina untuk menghapus budaya Tibet sangat kental dalam pariwisata di kawasan ini. Pariwisata telah menjadi satu alat dalam ekonomi Cina untuk menghasilkan devisa dan peningkatan ekonomi. Pada sisi lain Cina telah menjadikan Tibet sebagai bagian dari wilayah Cina daratan. Pariwisata adalah salah satu aktivitas ekonomi yang telah menyebabkan terjadinya komodifikasi budaya pada objek dan pentas budaya,
yang
menyebabkan terjadinya konsumsi lokal yang sesuai dengan pasar pariwisata. Seperti komodifikasi akan menyebabkan rusaknya keaslian produk budaya lokal dan hubungannya berbagai langkah yang menciptakan suatu pengalaman khususnya bagi konsumen eksternal. Seperti hilangnya keaslian, merusak masyarakat penerima serta pengalaman bagi pengunjung. Dengan demikian pesatnya pariwisata massal di Lhasa-Tibet sebagai tanda hilangnya atau mengencernya nilai budaya Tibet. Kondisi ini sebagai pilihan yang paradoks, pada tujuan UNESCO untuk melindungi dan mengkonservasi budaya atau situs bangunan Potala Palace, tetapi paradoks dengan pariwisata yang melakukan tekanan terhadap budaya Tibet. 3.2 Hoi An Vietnam Hio An merupakan salah satu perdagangan utama di Asia Tenggara pada abad ke-16. Kota kuno Hoi An terletak 30 km di selatan kota Danang, tepi Sungai Thu Bon. Suasana mirip dengan Cina, rumah-rumah beratap genteng dan jalanjalan sempit, struktur asli dari beberapa jalan masih tetap utuh. Semua rumah terbuat dari kayu langka, dihiasi dengan papan dan panel berpernis terukir dengan huruf Cina. Pilar juga diukir dengan design hias. Hoi An mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai Cultural World Heritage pada tahun 1999, dengan luas 280 ha. Hoi An adalah contoh peninggalan yang sangat baik sebagai pelabuhan dagang Asia Tenggara. Bangunan dan rencana jalanan yang mencerminkan pengaruh, baik pribumi maupun asing, yang telah dikombinasikan untuk menghasilkan situs warisan unik. Peninggalan ini masuk dalam kategori (ii): Hoi An adalah manifestasi tinggalan yang luar biasa dari fusi budaya dari waktu ke waktu dalam pelabuhan komersial internasional. (v): Hoi An adalah contoh sangat baik sebagai pelabuhan perdagangan tradisional Asia. 7
Keaslian bangunan kuno perkampungan berarsitektur Cina dan Jepang di Hoi An telah menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Selama beberapa tahun terakhir, Hoi An telah menjadi tujuan wisata yang sangat populer di Vietnam. Sebagian bangunan berornamen merah seperti Kampun Pecinan. Pedagang souvernir dan restoran menempati bangunan kuno yang ada dikampung tersebut. Museum dan art galery dibuka untuk umum, tanpa dipungut biaya. Rumah kuno yang kosong dibuka pintunya, bebas bagi siapa saja yang ingin masuk (Sihmanto: 2010:93-95). Di kawasan ini juga terdapat jembatan masa Jepang yang diberi nama Japanese Bridge, dan menjadi jembatan tertua di Vietnam. Jembatan ini terbuat dari kayu, merornamen merah, dan panjang hanya 20 meter. Jembatan
ini
menjadi tempat persinggahan para pedangang bangsa Cina dan Jepang pada abad 17. Di tengah Japanese Bridge, terdapat tempat sembahyang umat Budhha. Jembatan ini melewati sugai kecil yang airnya mengalir lambat. Hio An juga dilengkapi dengan museum of Folkfore yang memberikan informasi kondisi Vietnam dan kehidupan di Hoi An. Museum ini menempati bangunan kayu yang mkuno dan terjaga keasliannya. Pada lantai dasar dipajang lukisan-lukisan terbaik di Vietnam. Pada lantai dua dijumpai peradaban masa lalu penduduk kampung ini. Terdapat perlatan tradisional untuk menangkap ikan dan perabot rumah tangga. Ada peralatan menenun sederhana dan cara pembuatan kain sutra. Di depan museum terdapat art exhibition, yang memamerkan lukisan tangan terbaik. Di sebelah barat Laut Hoi an terdapat situs candi kuno peninggalan kerajaan Cham, yaitu Ma Son. Situs ini juga telah menjadi warisan Budaya Dunia UNESCO. Candi tertua di Vietnam ini terbuat dari batu bata merah dengan ukiran yang menawan dan indah (Sihmanto: 2010:97-98). Di ujung perkampungan kuno terdapat food court dengan berbagai menu yang disesuaikan dengan selera seluruh dunia. Terdapat 28 rumah makan yang berada pada dua blok yang berbeda. Restoran dilengkapi dengan berbagai ciri khas makanan tradisional vietnam, dan pelayan banyak yang mampu berbahasa Inggris. Selain itu terdapat juga berbagai fasilitas hotel dengan berbagai kelas. Akan tetapi dengan sistem mix dormitory, para pengunjung memperoleh harga yang lebih murah, tetapi bersama-sama dengan wisatawan asing dalam satu 8
kamar. Perjalanan wisata hanya dapat dilakukan dengan menyewa sepeda motor atau menggunakan paket tour. Pemerintah tidak menyediakan fasilitas kendaraan umum untuk pergi ke kawasan ini (Sihmanto: 2010:99). Berdasarkan data Administrasi Vietnam (2010), selama sepuluh tahun terakhir kunjungan wisatawan ke Vietnam naik 286% sejak tahun 1998, dan dalam pertumbuhan tahun 2008 mencapai 20% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka kunjungan tahun 2008 mencapai hingga 4.350.000 orang dengan pertumbuhan 3,5 - 4% dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan data kunjungan wisatawan ke Vietnam dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Data Kunjungan Wisatawan ke Vietnam 1993-2008
Sumber : Data Statistik Vietnam, (http://www.vietnamtravel.org/vietnam-tourismstatistics diunduh 20 Juli 2011). 4. Pengelolaan Warisan Dunia (Komparasi Tibet-Vietnam) Tantangan
dalam
pengembangan
warisan
budaya
dunia
adalah
keseimbangan antara manajemen heritage dan manajemen tourism. Dalam operasionalnya harus ada perpaduan antara usaha konservasi nilai-nilai intrisik dari warisan budaya (heritage) dengan sisi konsumsi akan nilai ekstrisik oleh wisatawan dalam kegiatan wisatanya. Kondisi kemitraan antara heritage dan tourism bukanlah sesuatu yang mudah. Warisan budaya banyak yang dikopromikan untuk kepentingan komersial (komodifikasi) yang disajkan dalam 9
bentuk paket wisata. Hal yang sama juga terjadi manakala nilai pariwisata dianggap merusak eksistensi warisan budaya. Menurut Kerr (1994 dalam McKercher & du Cros, 2002:12), sering terjadi ketidakharmonisan antara kepentingan konservasi dan pariwisata. Harmonisasi manajemen akan terjadi apabila paradigma pengelolaan dapat dipahami secara baik oleh semua stakeholders dan saling melengkapi. Sebagai negara yang telah membuka dirinya terhadap pariwisata, kunjungan wisatawan memberikan dampak terhadap kondisi situs. Berbagai kepentingan dari stakeholders pariwisata muncul. Di situ muncul otoritas perencana dan politik, penduduk, pemandu wisata, biro perjalanan, pejabat, dan pelaku budaya. Pada tingkat lokal desa, sampai pemerintah pusat. Sedangkan pada pejabat biro budaya memiliki kekhawatiran bahwa untuk melindungi sebuah keaslian harus berakar pada asumsi tentang kemurnian budaya yang ditunjukkan oleh praktek-praktek budaya standar. Ini dapat dilakukan dengan memberikan status perlindungan unit peninggalan budaya (wenwu baohu danwei) dan pengembangan sumber daya pariwisata Pentingnya Situs Warisan Dunia adalah sedemikian rupa sehingga akan bertindak sebagai motivasi bagi pengunjung, yang berarti bahwa masalah penyediaan layanan aksesibilitas, transportasi, akomodasi dan lainnya harus ditangani dengan bijaksana untuk menghindari tekanan terhadap situs itu sendiri dan nilai komersial. Dalam banyak kasus ada konflik langsung antara seorang pengelola situs yang ingin pengunjung dibatasi untuk menghindari kerusakan, masyarakat setempat (yang ingin menghasilkan uang dari pengunjung) dan pemerintah nasional (yang mungkin ingin menggunakan gambar situs sebagai perangkat pemasaran). Efek yang mungkin timbul dari pariwisata bukan touristification tempat yang mengarah pada penurunan budaya lokal, tetapi menjadi modern dengan kombinasi tradisi lokal. Jadi touristification dalam keadaan tertentu adalah jalan untuk menuju modernitas. Hanya saja perlu dicermati bahwa ketika situs menjadi otentik dan dikonsumsi untuk pariwisata, negara tidak akan mampu memberikan jaminan bahwa situs tersebut digunakan sesuai dengan fungsinya oleh wisatawan ataupun masyarakat lokal. Hal ini
10
beralasan karena modernitas adalah proses dimana subjek menghadapi perubahan yang menghasilkan subjektivitas baru, bentuk baru, dan cara pandang yang baru. Di Lhasa Tibet pertumbuhan pariwisata, mulai setelah ditetapkannya Potala Palace sebagai warisan dunia. Pemaknaan warisan budaya Dunia juga telah menjadikan Tibet sebagai daerah yang religius. Tidak ada lagi perbudakan yang dilakukan oleh Dalai Lama dan diakuinya nilai-nilai budaya Tibet oleh dunia internasional. Kondisi ini memberikan pencitraan yang positif di dunia internasional bagi Tibet dan Cina. Budaya Budhis sebagai jiwa dari budaya Tibet terus dapat dipertahankan seiring dengan lestarinya masyarakat Tibet. Komitmen dan usaha pemerintah Cina mempromosikan Tibet sebagai daerah tujuan wisata telah berhasil menarik wisatawan dari berbagai negara. Terlepas dari kepentingan politik Cina, pariwisata di Tibet dapat berkembang pesat berkat propaganda dari pemerintah Cina. Pembukaan aksesibilitas kereta api yang menghubungkan Cina dan Tibet sangat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan. Peningkatan wisatawan juga diikuti dengan pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel dan restoran. Cepatnya peningkatan wisatawan ke Tibet tidak diikuti dengan peningkatan SDM masyarakat Tibet. Ini berpengaruh terhadap rendah dan pudarnya nilai-nilai budaya masyarakat Tibet. Orang Tibet (Tibetan) menjadi masyarakat minoritas dan merasa terganggu dengan banyaknya kunjungan wisatawan. Di Vietnam pertumbuhan sektor pariwisata mulai berkembang pesat sejak reformasi ekonomi yang bernama doi moi yang berisikan deregulasi dengan menghilangkan halangan berinvestasi pada sektor swasta, memperkenalkan peraturan investasi asing, dan merestrukturisasi sistem perbankan (Yekti, dkk 2008: 162). Perkembangan pariwisata di Vietnam dan Tibet sangat dipengaruhi adanya politik pemerintah dalam meningkatkan aksesibilitas ke daerah wisata. Pemerintah Vietnam menerapkan bebas Visa kunjungan singkat ke negaranya. Penanaman modal asing di sektor pariwisata memiliki porsi yang cukup besar. Terdapat 325 proyek untuk program atraksi wisata, 157 untuk perhotelan, 13 lapangan golf, dan 131 gedung perkantoran. Hanya saja pada akses infrastruktur, Vietnam masih sangat kurang. Maskapai penerbangan masih dikuasai oleh
11
Vietnam airlines yang memiliki pesawat tua dan kurang terawat. Selain itu sarana transportasi kereta api masih menggunakan tenaga uap (Hall dan Page, 2000). Salah satu penghalang kesuksesan Vietnam adalah anggaran promosi hanya mencapai US$1 juta per tahun. Pada akhir 2004, sebagai pengakuan atas kebutuhan untuk keahlian yang lebih besar, pemerintah menyetujui usulan VNAT meminta izin untuk mempekerjakan orang asing dan organisasi untuk mempromosikan pariwisata Vietnam internasional (Vietnamnews, 2004). Selain itu kelemahan promosi yang diakibatkan oleh penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Cina dan Jepang mengakibatkan pangsa pasar ini tidak dapat berkembang dengan baik. Padahal bila di lihat kecenderungan kunjungan wisatawan ke situs ini adalah wisatawan Cina dan Jepang. Pemerintah Vietnam dengan slogan Vietnam: the Hidden den Charm” (pesona yang tersembunyi) menjadi aset budaya dipromosikan dan dijual kepada wisatawan. Dunia internasional ternyata merespon hal ini dan semakin meningkatkan kunjungan wisatawan. Berdasarkan komparasi kondisi Potala Palace dan Hoi An Vietnam ada beberapa pengalaman praktis yang dapat di ambil sebagai usaha konservasi warisan dunia, yaitu: a. Standardisasi manajemen: Hal ini diperlukan untuk memiliki organisasi kesatuan yang akan menjadi pemimpin dari semua operasi yang bersangkutan di daerah warisan termasuk jasa dan kegiatan konservasi. Organisasi ini perlu standar yang ditetapkan dengan staf secara efisiensi untuk memastikan kemampuan manajemen dan kegiatan pengendalian di wilayah warisan. Praktis, aktivitas konservasi meskipun dilakukan oleh konsultan, para ahli dan konstruksi organisasi tertentu, efektivitasnya tampaknya bergantung banyak pada kemampuan kontrol organisasi-organisasi pengelolaan warisan itu. b. Partisipasi masyarakat: Partisipasi masyarakat setempat dalam bidang konservasi sangat penting. Hal ini dimulai dari meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai warisan dan juga bertanggung jawab mereka untuk mengambil bagian dalam perlindungan kekayaan tak ternilai. Selain itu, dukungan dari masyarakat setempat untuk kebijakan untuk memperbaiki kegiatan di daerah monumen dan kawasan yang berdekatan diperlukan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi warisan tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh 12
kegiatan tidak langsung berkaitan dengan warisan seperti layanan untuk pengunjung, kegiatan sehari-hari menciptakan lingkungan budaya dan ramah area monumen atau situs. c. Konservasi dan pembangunan: Konservasi adalah tanggung jawab bersama yang merupakan keinginan mulia untuk warisan yang tak ternilai transmisi dari masa lalu. Pembangunan adalah cara yang sangat diperlukan. Konservasi dan pembangunan tampaknya menjadi kecenderungan oppositive dan risiko implisit untuk memblokir atau untuk istirahat saling jika tidak nyaman diatur. Namun, konservasi dan pembangunan adalah faktor organik, dan mendukung saling yang lebih tinggi yang efektif. Konservasi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan nilai-nilai yang telah diambil bentuk dan ada melalui proses panjang perkembangan sejarah. Nilai-nilai ini memunculkan dalam semangat masyarakat untuk menciptakan motivasi dan pengaruh positif untuk pembangunan. Pengembangan meningkatkan sumber daya sosial, menciptakan kondisi yang menguntungkan material dan teknologi untuk konservasi. Oleh karena itu, menyeimbangkan hubungan antara konservasi dan pembangunan sangat penting yang juga merupakan prasyarat dasar pembangunan yang stabil". d. Penguatan basis ilmiah: kegiatan-kegiatan konservasi dan pembangunan nilai warisan itu umumnya didasarkan pada dasar ilmiah. Mempromosikan penelitian ilmiah tentang konservasi warisan, membangun standar, teknologi, prosesi yang sesuai dengan kondisi ekonomi, teknologi, dan sosial dari wilayah atau negara. Prasyarat dari konservasi yang efektif adalah pengakuan warisan dari sejarah, teknologi, penciptaan, arti produk, material dan solusi pemulihan dan lain-lain berkaitan dengan warisan. e. Pelatihan
tenaga
kerja:
konservasi
monumen
adalah
subjek
ilmiah
interdisipliner seperti arsitektur, konstruksi, sejarah, arkeologi, kebudayaan, Sampai sekarang, tidak ada pendidikan khusus untuk ini di Vietnam dan Tibet. Oleh karena itu, konservator perlu diberikan pengetahuan khusus dan keterampilan tambahan tentang konservasi. Pekerja yang menjaga monumen di situs juga perlu keterampilan terlatih dan dasar pengetahuan itu. Kualitas pelestarian tergantung banyak pada konstruksi khusus. 13
f. Hubungan internasional: Sebuah warisan dunia pasti berarti dagi ketenaran suatu negara. Oleh karena itu, kerjasama internasional diperlukan adalah kegiatan sesuai dengan konservasi warisan masing-masing negara. Untuk negara berkembang seperti Vietnam, kerjasama internasional memainkan peran yang sangat penting tidak hanya untuk membiayai tetapi juga untuk bertukar pengalaman, penelitian di tujuan konservasi warisan kemanusiaan. Baru-baru ini, Vietnam telah bekerja sama yang efektif dengan masyarakat internasional dalam pelestarian pusaka. Pengalam praktis dalam kaitan dengan manajemen pariwisata, sebagai berikut: a. Komitmen pemerintah : adanya kebijakan dan komitmen pemerintah untuk menjadikan pariwisata sebagai sektor menghasilkan devisa. Komitmen ini penting, sebagai jaminan kunjungan wisatawan dari negara lain, dan bentuk keseriusan pemerintah dalam menangani pariwisata. Komitmen ini akan berimplikasi pada kebijakan yang pro investasi dan kemudahan pada akses pariwisata. b. Pembukaan akses pariwisata; kebijakan Cina dan Vietnam dengan membuka jalur kereta api dan penerbangan, memberikan peningkatan kunjungan wisatawan. Akses bisa diperluas dengan pemberian bebas visa, peningkatan jumlah sarana dan prasana pariwisata (Suntikul, dkk. 2008:69-74). c. Promosi; walaupun usaha UNESCO telah melakukan konservasi terhadap warisan budaya, tidak serta merta dapat diberikan jaminan bahwa wisatawan akan berkunjung ke daerah tersebut. Kebijakan promosi terus dilakukan sebagai peningkatan citra daerah tujuan wisata. d. Manajemen pariwisata: adanya buku panduang dan pirantinya sangat penting dalam pengembangan pariwisata di situs warisan dunia. Selain itu batasan pengunjung (carrying capacity) harus dapat diukur secara cermat sehingga tidak terjadi paradoks pariwisata dan konservasi. Situs Warisan Dunia di Tibet dan Vietnam, pada bulan Desember-Januari dan Agustus mengalami musim puncak kunjungan. Sedangkan pada bulan MeiJuni kedua situs ini mengalami penurunan jumlah kunjungan. Terakhir, ketika mengelola
Situs
Warisan
Dunia
untuk
pariwisata,
penting
untuk
14
mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dari orang yang bekerja dan tinggal di masyarakat. 5. Manajemen Pengunjung Setiap Situs Warisan Dunia memiliki rencana pengelolaan yang detail serta kebijakan terhadap pengunjung. Kunjungan wisatawan mengakibatkan tekanan fisik pada situs budaya, sehingga dapat memperburuk usaha usaha konservasi sebagai tujuan utama dari warisan budaya dunia. Adanya polusi udara, getaran dari lalu lintas, sentuhan, berjalan, atau perusakan dengan berburu souvernir dari bagian situs (pencurian). Dampak dari pengunjung dapat dihindari dengan membatasi pengunjung atau melakukan manajemen pengunjung dengan baik. Adanya daya dukung atau kapasitas maksimal yang dapat diberikan pada pengunjung harus dilakukan, agar tidak menambah tekanan terhadap situs. Pada kasus Tibet, warisan budaya di Tibet saat ini telah melakukan pembatasan pengunjung. Dengan perijinan kunjungan yang ketat, pemerintah Cina telah mampu membatasi secara teratur jumlah wisatawan masuk ke Potala Palace. Pemberian pendidikan pada pengunjung sangat penting dilakukan. Pendidikan dilakukan dengan memerintahkan pengunjung ke mana harus pergi/dilalui, bagaimana harus bersikap dan bertindak, menghindari fotografi (flash). Hanya saja kebijakan ini harus bersifat aktif dan perlu pengawasan yang tegas. Masalah lain yang sering menjadi masalah manajemen adalah parkir para pengunjung, perlunya menghindari diri dari bergaya atau berfose pada tempat-tempat yang kritis, adanya pengemis. Menurut Shackley (1998: 8-9) situs warisan budaya membutuhkan fasilitas dasar seperti tempat sampah dan fasilitas pengunjung usia lanjut dan cacat. Selain itu warisan budaya harus memiliki panduan, pameran, museum, kaset portabel, audiovisual atau alat interpretasi lainnya untuk memudahkan pengunjung mendapatkan informasi yang dikehendaki. Situs Hoi An dan Potala Palace merupakan warisan dunia yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam pengembangan pariwisata. Tradisi unik dari masyarakat Tibetan sangat memberikan warna terhadap nilai budaya di Tibet. Begitu juga dengan masyarakat Viet atau Kinh di Vietnam mengembangkan silk village sebagai produk unggulan. Usaha pemeliharaan situs dilakukan dengan penyediaan informasi, pemandu, tempat 15
sampah, toilet, dan tempat-tempat penunjuk arah atau papan informasi. Sedeangkan untuk memisahkan interaksi yang lama antara pengunjung dan situs, maka tempat istirahat dibuat secara terpisah dari situs. Misalnya restoran dan gallery di Lhasa dibuat terpisah dari Potala Palace tetapi masih dalam satu kawasan. Berbeda dengan Tibet, restoran dan galeri di Vietnam banyak memanfaatkan rumah yang masih aktif dan kuno. Masyarakat harus memiliki informasi yang cukup tentang situs, dengan berbagai bahasa. Interpretasi dari sebuah situs menjadi sangat penting dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada pengunjung makna dari situs yang dikunjungi. Manajemen pengunjung sangat penting dilakukan untuk menghindari efek buruk pada sumber daya sejarah. Apabila teknik mengelola pengunjung benar, akan dapat mengurangi biaya pemeliharaan dan dapat meningkatkan pendapatan (Fielden dan Jokilehto 1993 dalam Shackley 1998: 9). Dalam beberapa kasus di Lhasa pengelolaan pengunjung
dilakukan
dengan
mempelajari
prilaku
pengunjung.
Ada
kecenderungan alami orang untuk berbelok ke kiri saat memasuki suatu ruangan, dan untuk memberikan perhatian khusus para pengunjung keluar dengan menarik perhatian untuk rute yang tidak terlalu populer. Di Vietnam masyarakat dan pengunjung tidak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan bermotor dan mobil. Untuk sarana transportasi antar rumah dilakukan dengan sepeda dan jalan kaki. Selain itu pemerintah juga melarang memasang parabola atau antena TV di atas rumah, sehingga pemandangan kota kuno menjadi sangat kuat.
6. Simpulan dan Saran Sejak diakuinya Potala Palace Lhasa Tibet dan Hoi An Vietnam sebagai warisan dunia, kedua negara telah berupaya untuk mempromosikan pariwisata sebagai sumber penting pendapatan dan pekerjaan, terutama yang berbasis pada budaya masyarakat. Selain promosi langkah yang dilakukan keduan negara adalah kebijakan ekonomi, dengan pembukaan aksesibilitas. Pembukaan akses kereta api dari Cina ke Tibet, promosi terbuka untuk internasional, dan peningkatan sarana pariwisata menjadikan Tibet cepat berkembang. Kunjungan wisatawan didominasi oleh Cina han. Pengelolaan yang kuat dalam konservasi warisan Tibet ditambah bantuan keuangan dari PBB telah membantu dalam pembentukan citra yang kuat 16
bagi Cina terhadap Tibet. Sedangkan Vietnam menerapkan sistem kebijakan pembukaan aksesisbilitas dengan perbaikan sarana transportasi dan aturan visa. Melalui kebijakan ekonomi Doi Moi, pariwisata bergerak maju dengan cepat. Pengembangan silk village membuat sektor ini memberikan sumbangan yang besar pada tenaga kerja pariwisata. Wisatawan Cina menjadi pengunjung tertinggi pada tahun 2005. Jadi dengan model kebijakan yang sama pada pengembangan pariwisata Tibet dan Vietnam, telah memberikan dampak positif bagi jumlah kunjungan wisatawan. Peningkatan jumlah wisatawan ke Situs warisan Dunia, berdampak negatif terhadap budaya dan fisik situs tersebut. Usaha konservasi sebagai tujuan dari perlindungan warisan dunia, paradoks dengan usaha perkembangan pariwisata. Masyarakat Tibet merasa terganggu kehidupan tradisinya dengan wisatawan massal yang terlalu banyak dan tidak menghargai budaya minoritas. Di Vietnam dengan jumlah kunjungan wisatawan masih normal, maka Moi An belum merasakan ada penolakan dari masyarakat terhadap kedatangan wisatawan. Wisatawan jumlah besar, berdampak negatif negatif terhadap situs, sehingga perlu batasan pengunjung yang boleh memasuki daerah warisan dunia. Pengunjung yang datang ke situs warisan dunia, sebagain besar termotivasi untuk peningkatan kualitas pengalaman, dan budaya. Pariwisata dijual dalam bentuk paket wisata. Tidak ada yang mengunjungi Tibet tidak terkesan oleh keindahan bangunan kuno dengan tradisi Tibetan yang dijiwai oleh Buddhis, tetapi membutuhkan pengelolaan yang baik untuk menciptakan kondisi tersebut, kecuali politik Cina dirubah. Suasana mistis telah berubah menjadi suasana eksotik disetiap sudut bar. Tidak seperti Tibet yang dapat dijangkau kendaraan, masuk kota tua Hoi An, hanya diperbolehkan dengan sepeda dan jalan kaki. Hal ini sangat baik sebagai peningkatan kualitas pengunjung, sehingga mengurangi getaran pada situs. Akan tetapi dengan memberikan akses bangunan kuno untuk restoran di Hoi An, akan berdampak pada pemanfaatan bangunan untuk tujuan bisnis dan menimbulkan pada persaingan antar individu. Manajemen pengunjung dengan panduan dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya konservasi warisan budaya dan peningkatan ekonomi dari pariwisata. Manajemen pengunjung yang baik akan memberikan keringanan biaya pemeliharaan situs. 17
DAFTAR PUSTAKA Ardika,Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan. Bianchi, Raoul and Priscilla Boniface. 2002. “Editorial: the politics of World Heritage”. International Journal of Heritage Studies. Vol. 8, No. 2, 2002, pp. 79± 80. Dalai Lama. 2011. diambil dari image Maret 1959, http:www.deutschewelle.de/popups/popup lupe). Edson, Gery. 2004. “Heritage: Pride or Passion, Product or Service?” International Journal of Heritage Studies Vol. 10, No. 4, September 2004, Rotledge . pp. 333–348. Giddens. Anthony. 2010. Teori Srukturasi, Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hospers,
Gert-Jan. 2002. “Industrial Heritage Tourism and Regional Restructuring in the European Union”. European Planning Studies, Vol. 10, No. 3, 2002.
Kagami, H (dalam Yamashita, Din KH, Eaes, JS, ed).1997. “Tourism and National Culture: Indonesia Policies on Culture Heritage and Its Utilisation in Tourism”. Dalam Tourism and Cultural Development in Asia and Oceania. Malaysia: Bangi. Kolas, Ashild. 2004. “Tourism and the Making of Place in Shangri-La”. Tourism Geographies,.Vol. 6, No. 3, 262—278, August 2004. Routledge jiof6.franeiscrai. Mahyudin Al Mudra, 2008. Warisan Budaya dan Makna Pelestariannya, Melayuonline. com, 29 Agustus 2008. Maunati. Y, Presilla. M, Ardhana K, Hermana. Y. 2008. “Pariwisata di Vietnam: Antara Konservasi Budaya, Sejarah, lingkungan Dalam Persaingan Global”. Jurnal Kepariwisataan Indonesia. Vol 3 No 2 Juni 2008. ISSN 1907-9419. Pp157-179. McManus, Ruth. 1997. “Heritage and Tourism in Ireland-an unholy alliance?” Irish Geography, Vol. 30 (2), pp 90-98. McKercher. B, and Du Cros, H. 2002. Culture Tourism: The Partnership Between Tourism And Cultural Heritage Management. New York: Routledge. Mimi Lia, Bihu Wu, Liping Cai. 2008. “Tourism development of World Heritage Sites in China: A geographic perspective”. Tourism Management 29 (2008). Elsevier. pp. 308–319. Murakami, Daisuke. (dalam Cochrane J ed). 2008. “Tourism Development and Propaganda in Contemporary Lhasa, Tibet Autonomous Reion (TAR), China.” Dalam Asian Tourism, Growth and Change. 2008. The Netherland : AE Amsterdam.pp 55-68 Nuryanti, W. 1996. Tourism And Culture Glaobal Civilization In Change. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 18
Porter, Benjamin W. & Noel B. Salazar. 2005. “Heritage Tourism, Conflict, and the Public Interest: An Introduction”. International Journal of Heritage Studies. Vol. 11, No. 5, December 2005, pp. 361–370. ISSN 1352–7258 (print)/ISSN 1470–3610 (online) © 2005 Taylor & Francis Prentice Richard. 1993. Tourism and Heritage Attractions. London and New York: Routledge. Shachkley, Myra. (ed) 1998. Visitor Management, case Studies from World Heritage Sites. Jordan Hill: Butterworth-Heinemann Shepherd, Robert. 2006. “UNESCO and Politics of Cultural Heritage in Tibet” Journal of Contemporary Asi., Vol. 36 No 2 (2006). Sihmanto. 2010. Keliling Vietnam dalam 15 Hari. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka. Suntikul. W, Butler. R, Airey. 2008. (dalam Cochrane J ed). 2008. “Tourism Development and Propaganda in Contemporary Lhasa, Tibet Autonomous Reion (TAR), China.” Dalam Asian Tourism, Growth and Change. 2008. The Netherland : AE Amsterdam. pp:69-74 Timothy, D,J., and Boyd. S.W. 2003. Heritage Tourism. London: Prentice Hall
Sumber Internet: http//: www. UNESCO.org/criteria, 2011). Daftar List Warisan Budaya Dunia dan Kreteria UNESCO. http://www.vietnamtravel.org/vietnam-tourism-statistics diunduh 20 Juli 2011. Data Statistik Wisatawan ke Vietnam.
19