178
Konsep Spasial dalam Budaya Masyarakat Melayu Jambi Natal P. Sitanggang, Kantor Bahasa Provinsi Jambi
Abstrak Makalah ini membahas konsep spasial dalam masyarkat Melayu Jambi. Uraiannya akan menggambarkan kediakronisan konsep spasial Melayu Jambi dari bentuk yang primitif hingga bentuk yang kini dianggap modern. Data diperoleh dengan mengamati langsung istilah spasial di dua daerah yang dianggap dapat mewakili ciri kediakronisan, yaitu (1) Kota Jambi sebagai daerah yang memiliki keurbanan yang tinggi, dan (2) Bukit Dua Belas sebagai daerah hutan yang dihuni oleh masyarakat Kubu yang masih relatif primitif. Data tersebut dianalisis secara komparatif dan interpretatif untuk melihat perubahan penggunaan identitas spasial dalam Melayu Jambi. Dari pembandingan ini diperoleh beberapa pola perubahan konsep dan bentuk spasial dari bentuk yang gramatikal menuju bentuk yang leksikal. Oleh karena itu, penelitian ini juga dapat menjadi bagian dari catatan pembentukan konsep spasial Melayu Jambi secara linguistik. Kata kunci: egosentris; geosentris; konsep; Kubu, Melayu Jambi; spasial
1. Pendahuluan Spasial adalah istilah yang secara teknis digunakan sebagai terminologi untuk menandai konsep-konsep yang terkait dengan ruang, bidang, atau tempat. Konsep ini menjadi aspek yang penting bagi manusia terutama dalam kaitan penandaan dan penguasaan ruang dan/atau tempat. Levinson & Wilkins (2006) menyebutkan bahwa “Spatial cognition is a fundamental design requirement for every mobile species with a fixed territory or home base”. Foley (1999: 215) mencatat bahwa kesadaran akan konsep spasial sudah merupakan bagian dari kemampuan manusia. Kesadaran ini, selain merupakan sifat bawaan (innate), juga bersifat universal. Payne (2002: 248) menyebutkan bahwa keberadaan konsep ini tampaknya berkaitan dengan budaya. Pandangan itu menjadi sejalan dengan Whorf (dalam Foley ibid)—berdasarkan hipotesisnya tentang bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan— yang menyatakan bahwa konsep spasial dalam sejumlah kelompok masyarakat bersifat relatif. Bagi Whorf konsep spasial dalam sejumlah kelompok masyarakat erat kaitannya dengan sistem bahasa yang berlaku di masyarakat itu. Bahasa dipandang turut berperan dalam membentuk kognisi spasial setiap anggota kelompok masayarakat penuturnya. Berbeda dari itu, sejumlah ahli bahasa dan psikologi dilaporkan menentang pendapat Whorf itu dengan klaim bahwa sistem spasial cenderung bersifat absolut. Namun, klaim itu sanggah lagi oleh pihak yang tampak berusaha menengahi polemik antara kerelatifan dan keabsolutan tersebut. Pihak ini menilai bahwa keabsolutan yang diklaim oleh penentang Whorf terjadi jika pengacuan spasial menggunakan budaya Eropa yang dibatasi pada perangkat arah mata angin (cardinal direction), dan mengabaikan terminologi lain. Akan tetapi, jika kita menggunakan acuan terminologi diri (egosentris), keabsolutan konsep spasial secara menyeluruh tidak selalu dapat dipertahankan. Fenomena keabsolutan dan kerelatifan yang demikian tampak juga terjadi dalam kebudayaan Melayu Jambi (selanjutnya disingkat dengan MJ). Dengan melakukan pembandingan dengan budaya masyarakat Kubu (selanjutnya disingkat dengan MK) akan terlihat sejumlah perubahan baik dari secara pengacuan maupun secara konsep dalam MJ. Pembandingan ini dapat dilakukan atas dasar MJ dan MK merupakan kelompok masyarakat yang dikenal sebagai penduduk yang bukan perantau di wilayah Jambi. Secara geografis MJ dan MK berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan saat ini. Secara historis MK dianggap sebagai bagian dari ras Melayu (MJ). Namun, perlu dicatat bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa anggapan tersebut tidak selalu diterima oleh kelompok tertentu
179
dalam MK. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1993 diacu oleh Soetomo 1995: 2) yang menyatakan bahwa MK merupakan sisa (serpihan) dari suku-suku yang pernah eksis di Sumatra. Loeb (1935 dalam tinjauan Prasetijo 2013:193) melihat MK sebagai bagian dari ras Veddoid yang ada di Ceylon, Srilangka. Loeb menambahkan bahwa MK termasuk sebagai a degenerate race yang kehilangan foklor dan bahasa aslinya. Adapun kebudayaan MK saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh MJ. Sehubungan dengan itu, dasar pijakan untuk mengaitkan MK dengan MJ dapat dipostulasikan dengan: (1) Jika MK merupakan bagian dari MJ, kebudayaan MK saat ini adalah potret dari kebudayaan MJ pada masa silam; dan (2) Jika MK merupakan a degenerate race yang terpengaruh oleh MJ, budaya MK saat ini ialah deposit kebudayaan MJ masa lalu. Penjelasan beberapa data spasial dalam konteks ini perlu akan melibatkan budaya lain seperti budaya Batak Toba (selanjutnya disingkat dengan BBT) sebagai bahasa yang dipahami penulis. Pelibatan ini disebabkan oleh adanya kemiripan leksikal antara MK, MJ, dan BBT, termasuk bahasa Melayu dan atau Indonesia (selanjutnya disingkat BMI) secara umum. Untuk mendukung penjelasan konsep dalam tulisan ini, penulis juga menggunakan teori perubahan bentuk kata sebagaimana dalam kajian dialektologi atau linguistik historis komparatif (Keraf 1996). Data dalam tulisan ini bersumber dari data MK yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan MK. Sementara itu, data spasial dalam MJ diperoleh dengan pengamatan langsung di wilayah Kota Jambi sebagai tempat yang sudah majemuk. 2. Kerangka konseptual Ide penelaahan tentang spasial dalam kaitannya dengan kebudayaan, setidaknya sudah dilakukan oleh Benyamin Whorf sejak tahun 1956 (diacu Foley 1999: 215). Dalam pada itu, dia membandingkan tiga aspek dalam kebudayaan Hopi dengan bahasa-bahasa standar yang ada di Eropa (Standard Average European atau disingkat SAE), yakni objek waktu, material, dan spasial. Kecuali untuk spasial, dia menemukan perbedaan cara pandang penutur bahasa Hopi dengan SAE. Namun, kerelatifan pada konsep spasial selanjutnya dapat dibuktikan oleh sejumlah ahli bahasa di ataranya Stephen C. Levinson (1992; 2006) dengan sejumlah penelitian terhadap budaya bahasa lain. Secara umum, konsep spasial dapat diklasifikasikan berdasarkan acuan egosentris dan geosentris. Acuan egosentris ialah titik pengacuan spasial yang didasarkan pada tubuh biologis manusia, sedangkan geosentris ialah titik pengacuan spasial yang didasarkan pada kondisi alam, di antaranya sungai, laut, kontur tanah, dan arah mata angin. Namun, kriteria mata angin pada dasarnya saat ini merupakan tolok ukur dari budaya Eropa yang umum dalam istilah bahasa Inggris (Foley 1999: 219). Kenyataan, tidak semua budaya mempunyai konsep yang seiring dengan kriteria itu. MK termasuk dalam budaya yang tidak mempuyai konsep itu secara menyeluruh perihal mata angin itu. Oleh karena itu, MJ pun pada awalnya tidak mempunyai konsep yang demikian. Tabel 1: Terminologi konsep spasial No
TERMINOLOGI
1
Egosentris
2
Geosentris
Horizontal Vertikal
Simetris Asimetris
SPASIAL LEFT, RIGHT FRONT, BEHIND TOP, DOWN UPHILL, DOWNHILL, Cardinal Direction
MK hanya mempunyai dua konsep dari delapan konsep mata angin, yaitu matoari tumbuh/idup (alih-alih timur) dan matoari padom/mati (alih-alih barat). Istilah MK ini juga merupakan bentuk spasial yang digunakan MJ sebelum Indonesia merdeka. Fakta penggunaan itu dapat ditemukan dalam dokumen surat jual-beli tanah pada masa itu. Dalam hal itu, istilah tersebut digunakan sebagai penanda batas tanah (sawah dan/atau kebun). Namun, seiring dengan perjalanan waktu, istilah itu sudah tergantikan oleh istilah yang termasuk dalam kriteria
180
mata angin. Terminologi dan konsep spasial yang akan dijadikan kerangka konseptual dalam tulisan ini diterakan dalam Tabel 1. 3. Pembahasan Data umum pembandingan konsep spasial berdasarkan terminologi sebagaimana dalam kerangka konseptual di atas dapat digambarkan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2: Konsep spasial dalam MK dan MJ No
TERMINOLOGI Horizontal
1
Egosentris Vertikal
2
Geosentris
Simetris Asimetris
SPASIAL MK MJ perusukon/pehiringon kiri, kanan pehadopon, pembelokongon depan, belakang pucuk/poncak, serungkilon, atas, bawah bewoh atas, bawah, hulu, hilir, pucuk, puncak, udik, maharo, hulu, (h)ilir delapan arah mata angin
Dalam terminologi egosentris horizontal simeteris, MK mengenal istilah perusukon dan/atau pehiringon. Dua istilah ini mempunyai konsep yang sama tanpa membedakan kiri atau kanan. Akan tetapi, MJ saat ini sudah menggunakan konsep kiri dan kanan, serta tidak lagi mengenal konsep perusukon/pehiringon. Kata perusukon terbentuk secara gramatikal dari kata dasar rusuk lalu disemati konfiks per-on (alih-alih per-an dalam BMI). Secara biologis, rusuk adalah bagian tubuh manusia yang secara simetris membentuk rongga dada. Pertemuan dua bidang simetri itu secara vertikal sekaligus menjadi titik pusat pembagian spasial secara horizontal. Kata pehiringon adalah istilah lain untuk menyatakan perusukon dalam MK. Beranalogi dari sejumlah data spasial lainnya (seperti perusukon), kata pehiringon juga terbentuk secara gramatikal dengan kata dasar hiring. Namun, sebagai kata dasar, kata hiring tidak lagi dikenal dalam budaya MK dan MJ. Kata hiring tetap dapat dihipotesiskan sebagai bagian dari tubuh manusia. Kemudian, kata ini tampak sudah mengalami penghilangan bunyi /h/ menjadi iring (dari hiring) atau secara silabis menjadi iringan (dari pehiringan) dalam MJ/BMI. Pola penghilangan ini umum dikenal sebagai gejala aferesis (lihat Keraf 1996: 91; Kridalaksana 2008: 2). Di antara dua bentuk yang dimungkinkan itu, bentuk yang lebih mendekati secara semantis ialah iringan. KBBI (1996: 387) mencatat bahwa iringan juga bermakna ‘lambung’. Pengistilahan konsep ini menjadi lambung juga sama dengan BBT yang maknanya ‘sisi’ tanpa membedakan kiri atau kanan. Istilah yang sepadan dengan dua istilah MK tersebut, MJ telah menggunakan kata kiri dan kanan secara oposisional. Dalam hal itu, sumber pengacuan kiri dan kanan cenderung pada tangan. Berdasarkan tolok pengacuan, baik dalam MK maupun dalam MJ, tampak bahwa titik pusat acuan spasial pada garis tengah vertikal perusukon dalam MK dapat dinilai lebih komprehensif, dan lebih asli jika dibandingkan dengan MJ yang sudah mengacu pada tangan. Hal itu dapat cermati bahwa pengacuan pada tangan oleh MJ dapat menjadi rancu. Logikanya ialah, jika kiri dan kanan diacu pada batas awal yang segaris dengan pangkal tangan/lengan, mengapa bagian tubuh yang pada dasarnya berada di antara kedua tangan/lengan itu dapat disemati kata kiri atau kanan? Sebagai contoh, dada kiri, ginjal kanan, geraham kanan, atau lubang hidung kiri. Berdasarkan hal tersebut dapat ditelisik bahwa pada dasarnya istilah dan konsep kiri-kanan seyogianya berbatas bukan pada tangan, tetapi pada garis tengah vertikal tubuh manusia sebagaimana dalam konsep MK. Sebagai corak pergeseran acuan, tampak hal ini merupakan pengaruh dari budaya luar MJ, di ataranya, budaya Inggris yang kerap menyematkan kata hand pada left dan atau right untuk menyatakan sisi spasial (band. Foley 1999: 219).
181
Seecara egosentris horizontal MK memiliki kata pehadopon dan oposisinya pembelokongon. Alih-alih dua kata ini, MJ memiliki kata depan dan belakang. Secara bentuk dan makna konsep pada dua budaya itu masih memiliki kesamaan. Proses perubahannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara morfologis kata pehadopon berasal dari kata dasar hadop. Kata dasar ini tampak setara dengan kata hadap dalam MJ dan BMI serta kata adop (dalam adopadop) dalam BBT. Namun, sebagai istilah spasial, MJ sudah menggunakan kata hadapan dan depan. Bentuk dasar tunggal hadap dalam MJ/BMI pun sebenarnya masih dimaknai dengan ‘spasial sebelah muka’. Akan tetapi, dalam konstruksi sintaksis yang bersifat lokatif, bentuk itu harus dibubuhi akhiran –an menjadi hadapan (misalnya, di hadapan; ?di hadap). Kata adop (dalam bentuk jamak adopadop) dalam BBT pada dasarnya bermakna ‘payudara’ (lihat Siahaan 2011: 49). Dengan mencermati pola kebudayaan, tampak kata pehadopon sebagai bentuk gramatikal yang lebih awal daripada hadapan; dan ‘payudara’ sebagai makna awal yang lebih dimungkinkan karena cenderung mengacu pada bagian tubuh manusia. Inilah dasar pengacuan alamiahnya. Dalam hal perubahan bentuk, tampak juga adanya gejala aferesis pada kata pehadopon menjadi hadopon/hadapan selanjutnya beraferesis lagi menjadi dapan dan terakhir mengalami leksikalisasi melalui pelemahan bunyi pada silabe pertama /da/ menjadi /de/ hingga menjadi depan dalam MJ. Kata pembelokongon merupakan oposisi dari kata pehadopon. Beranalogi dari bentukbentuk di atas, kata pembelokongon tampak mempunyai bentuk dasar (kompleks) belokong. Bentuk dasar ini juga masih digunakan oleh generasi muda dalam MK. Dalam MJ kata ini menjadi belakang. Namun, jika dicermati lebih jauh, kata belokong juga masih merupakan bentuk yang gramatikal, yang berasal dari kata dasar bokong dan mendapat infiks -el(sebagaiman kata tunjuk menjadi telunjuk, atau gembung menjadi gelembung, dan sebagainya). Secara umum, bokong adalah bagian tubuh manusia. Inilah pengacuan yang lebih awal. Dalam KBBI (1996: 141) bokong diartikan sebagai ‘pantat’ dan ‘pinggul’. Bagian ini tampak paradigmatis dengan payudara sebagai acuan depan dari tubuh manusia. Dalam MJ, tampak terjadi perubahan dari bunyi /o/ menjadi /a/ hingga menjadi kata belakang. Namun berdasarkan tinjauan biologis sebagai pengacuan spasial egosentris, istilah pembelokongon/belokong dalam merupakan istilah yang murni dan primitif daripada kata belakang dalam MJ. Dengan perkataan lain, kata belakang berasal dari kata bokong. Secara egosentris vertikal, MK tidak mengenal kata atas. Untuk konsep ini MK mempunyai kata pucuk di satu kelompok dan poncak di kelompok lain. Oposisi kata ini ialah bewoh di satu kelompok dan serungkilon di kelompok lain. Di antara dua oposisi ini, tampak hanya kata bewoh yang berkorespondesi secara konsep dan fonemis dengan kata bawah dalam MJ. Sementara itu, konsep kata poncak/pucuk dalam MK tidak lagi sebagai acuan egosentris dalam MJ, tetapi secara terbatas sudah menjadi acuan geosentris untuk menamai suatu wilayah yang posisinya lebih tinggi daripada yang lain, yaitu menjadi puncak dan pucuk. Di samping kata puncak MK juga mengenal kata atas yang dapat digunakan baik secara egosentris maupun geosentris. Secara egosentris, konsep ini tidak membedakan antara ‘keadaan melekat (on)’ atau ‘keadaan berjarak (above)’ pada objek. Oleh karena itu, konsep spasial ini bersifat relatif. Secara geosentris, kata atas yang beroposisi dengan bawah, cenderung digunakan mirip dengan puncak, tetapi bersifat oposisional dan secara tidak terbatas. Sehubungan dengan itu, kita dapat menemukan penyebutan wilayah di Jambi seperti Perumnas atas yang dioposisikan dengan Perumnas bawah, atau STM atas dioposisikan dengan STM bawah dan acuan geografis ini bersifat absolut. Dalam terminologi geosentris, awalnya MK mengenal istilah udik yang relatif sepadan dengan uphill dan oposisinya maharo yang setara dengan downhill. Namun, saat ini, sebagai spasial, dua istilah itu sudah tidak dikenal lagi. Kata ini hanya dapat terindikasi dari bentuk verba gerak mudik yang berarti ‘menuju udik (setara dengan menuju hulu)’, dan kemaharo yang berarti ‘menuju maharo (setara dengan menuju hilir)’. Kemudian, secara leksikal kata udik tergantikan oleh kata hulu; selanjutnya maharo tergantikan oleh kata (h)ilir. Kata pengganti inilah yang masih dapat ditemukan dalam MJ.
182
Sebagaimana dalam bahasan egosentris vertikal, puncak dan pucuk sudah merupakan acuan geosentris dalam MJ. Demikian juga MJ mempunyai dan menggunakan kata bawah (alihalih kata bewoh dalam MK) dan kata atas. Konsep hulu dan (h)ilir dalam MJ secara geografis sedikit berbeda dari MK. Dalam MK dua konsep ini bersifat absolut sehingga pembagian wilayah pun turut ditentukan konsep ini. Oleh karena itu, wilayah bukit (udik) cenderung menjadi hulu, dan wilayah muara sungai menjadi (h)ilir. Namun dalam MJ dua konsep itu dapat bersifat horizontal ini yang menjadikan konsep tersebut menjadi relatif. Sebagai contoh, MJ mempunyai wilayah yang bernama Danausipin Hulu dan Danausipin Hilir yang dalam hal itu bagian yang berbatasan langsung dengan wilayah Danausipin Hilir menjadi bagian dari wilayah Legok Hulu. Wilayah ini tidak lagi terkait dengan tinggi-rendahnya kontur tanah. Akan tetapi, sebagaimana pada MK pengacuan ini masih didasarkan pada sungai. 4. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengistilahan konsep spasial pada awalnya didasarkan pada pengacuan simetri tubuh manusia. Istilah itu kemudian berubah mengikuti hakikat evolusi bahasa. Pola perubahan itu dimulai dari yang bersifat gramatikal hingga menjadi leksikal. Dalam hal itu, gramatikal cenderung sebagai bentuk yang primitif, dan leksikal sebagai bentuk yang modern. Cara perubahannya, sering mengalami gejala aferesis dan dapat mengalami penyesuaian bunyi untuk proses peleksikalan. Selain perubahan bentuk, perubahan itu juga dapat terjadi pada konsep pengacuan, serta karakteristik kerelatifannya konsepnya. Akan halnya kajian ini mirip dengan BMI, hal itu disebabkan warna kemelayuan itu sendiri dan penetapan dialek Melayu pesisir Riau berdekatan dengan pesisir MJ sebagai bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Foley, William A.1999. Anthorpological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua). 1996. Jakarta: Balai Pustaka Kamus Linguistik (Edisi Keempat). 2008. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia dalam Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi (Desertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran. Levinson, Stephen C. dan Wilkins, David P (ed). 2006. Grammars of Space: Explorations in Cognitive Diversity.Cambridge: Cambridge Unversity Press. Loeb, Edwin Meyer. 1935. Sumatra: Its History and People (dalam Prasetijo, Adi. 2013. Orang Kubu dalam Pandangan Edwin Loeb [Ulasan Buku] dalam Seloko. Vol.2, No. 1. Halaman 179—95). Payne, Thomas E. 2002. Describing Morphosytax: A Guide for Field Linguists. New York: Cambridge University Press. Prasetijo, Adi. 2013. Orang Kubu dalam Pandangang Edwin Loeb (Ulasan Buku). Seloko. Vol.2, No. 1. Halaman 179—95. Siahaan, Bisuk. 2011. Batak: Satu Abad Perjalanan Anak Bangsa. Jakarta: Kempala Foundation. Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi (Disertasi). Bandung: Universitas Padjadjaran. Whorf, B. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf dalam Foley, William A. 1999. Anthorpological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
183
An Analysis on the Roles of Translation Ideology and Procedures to the Translation Quality of Usingnese Cultural Terms Wiwin Indiarti, S.S., M.Hum., PGRI University of Banyuwangi
Abstract This paper aims at analyzing the roles of translation ideology and procedures to the translation quality of Usingnese cultural terms in three Banyuwangi Regency bilingual tourism publications. The result reveals the using of 12 translation procedures (pure borrowing, transposition, synonym, descriptive equivalent, deletion, semantic addition, structural addition, contraction, amplification, established equivalent, componential analysis and cultural equivalent) most of which showing the application of domestication ideology. Of 381 primary data, 320 data (83.99%) are translated accurately, 44 data (11.55%) are translated not so accurately, and 17 data (4.46%) are translated inaccurately. From the standpoint of acceptability level, 261 data (94.75%) are considered acceptable, 3 data (0.79%) are considered not too acceptable, and 17 data (4.46%) are considered unacceptable. At last, from the level of readability, 176 data (46.19%) are translated with high readability and the rest, 205 data (53.81%), are translated with medium readability. Keywords: translation ideology; translation procedures, translation quality; Usingnese cultural terms.
1. Introduction Language mirrors culture of the speaker, while the culture of a speaker continuously affects the language. This signifies fundamental concepts in language-culture relationship that language has to be learnt in the cultural context (Silalahi, 2003: 52) and culture can be studied from language since “it reflects the culture’s content and nature“ (Novinger, 2001: 45). Translation, the function of which bridges difference across cultures, thus, enforces crosscultural communication. However, the fact reveals that translating terms having close relation with culture provides great challenges for translators. In the process, they will face either linguistic or cultural untranslatability aspect since every language has its own characteristics and each culture has different ways of expressing its uniqueness. Therefore, such complexity of translation problems occurs in the translation of any cultural terms, including Usingnese. Usingnese is the local language of Using or Osing community who settle in the eastern part of Java Island, Banyuwangi. The city has been blessed with abundant natural resources and diverse cultural expressions which highlight all of its tourism publications. However, cultural diversity which manifests into traditional customs creates complex problems for translators as every cultural expression has its own term in Usingnese. Hence, it is urgent to choose proper translation ideology and procedures to produce qualified translation or to recreate the intended meanings. This paper aims at analyzing the roles of translation ideology and procedures to the translation quality of Usingnese cultural terms found in three bilingual tourism publications made by Banyuwangi Tourism and Cultural Service entitled Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country, Banyuwangi Calendar of Events 2013, and Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java. 2. Translation: Definition, Ideology and Procedure Translation refers to a process of transferring meanings, messages, ideas or style of Source Language Text (SLT) to Target Language Text (TLT) and recreates them into TLT in
184
accordance with the rules of Target Language (TL). In doing the process, two aspects are important to note: translation ideology and procedures. Newmark argues in Approaches to Translation (1988: 81 in Ordudari, 2007) that translation ideology, of which synonym is translation method, represents ‘the way of translating the whole text.’ Actually, in the earlier era, it is common that discussion about translation ideology or method always centered on two alternatives: doing literal or free translation. However, since by nature, translation is a form of cross-language communication, then the discussion about the application of translation method literally or freely roots on the differences of linguistic expressions. Over years, there occurs new point in viewing translation ideology or method. The fast development of cultural studies shifts the center of debates about translation from doing literal or free translation to domestication or foreignization because translation is always influenced by the culture of SL and TL that it has been the main focus of translation. Here, translation is not only a form of inter-lingual communication, but also a form of inter-cultural communication. One has to decide whether or not s/he will prioritize SL by using foreignization ideology or TL by using domestication ideology. In other words, method or ideology in translation acts as a super-macro view related to translation as part of socio-cultural activities (Hoed, 2003 in Silalahi, 2003: 68). In the field of translation, the terms procedure, strategy, or technique are interchangeable. They refer to the way of translating sentence and smaller translation units. Actually, there are differences among theorists of translation about the precise number of translation procedures, but, here, the researcher makes use of Suryawinata’s classifications. He opines that there are 2 main divisions of translation procedure which are based on the consideration of language form and meaning as the following.
Structural Procedures The following procedures function to reach the naturalness effect or the level of acceptance in the TL structurally. 1. Addition. This procedure is done by adding words to the TL because the structure of which demands so. 2. Subtraction. This procedure is applied by subtracting the structural elements of the TL. 3. Transposition. This is applied when translating clause or sentence by changing the grammatical category of one word class with another word class without changing the meaning or message (Vinay and Dalbernet, 1977: 50 in Fernandez-Guerra, 2012). This procedure should be applied when there is one of the three differences between the structures of SL and TL (Newmark, 1988: 85; Rachmadi, 1988: 136 in Suryawinata, 2003: 68); they are 1) the changing of plural form into singular one or vice versa; 2) the changing of adjective position, and 3) the changing of sentence structure wholly because the sentence structure of SL is different from that of TL. In the meantime, the application of this procedure which is based on the consideration of style covers the division of one SL sentence into 2 TL sentences and vice versa (Newmark, 1988: 85 in Suryawinata, 2003: 69). Semantic Procedures. 1. Borrowing. There are two kinds of borrowing strategy: pure borrowing and naturalization. Pure borrowing often applied when a word or an expression in SL has no equivalent in the culture of TL or if a translator wants to create stylistic or exotic effect (Fernandez-Guerra, 2012), while naturalization is used by making morphological or phonetic adaptation to the pronunciation of words or expressions. 2. Cultural equivalent. This procedure is applied by changing unique SL word/term into unique TL word/term. Applying cultural equivalent opens a big possibility not to get the exactness of meaning because SL culture is often different from TL culture. However,
185
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
10.
because the main purpose of using of this procedure is domestication (Fernandez-Guerra, 2012), then it results smooth and fluent translation product (Suryawinata, 2003: 72). Descriptive equivalent. Paraphrasing, or even amplification or explanation of the SL term is similar with this procedure because the using is by describing the meaning or function of the term/expression (Suryawinata, 2003: 73). Componential Analysis. This procedure is closely similar to descriptive equivalent. It translates SL word by specifying the components of meaning because the equivalent cannot be found in TL. At the same time, the translator believes that the readers need to know the real meaning. Deletion. It is applied by synthesizing or making the SL information implicit, especially when the information is considered unimportant (Vázquez Ayora, 1977: 359 in FernandezGuerra, 2012). It cannot be used to translate cultural terms because usually those terms have irrelevant functions or even can make the readers lost in translation (FernandezGuerra, 2012). Modulation. It is applied by using different phrase to express similar idea. Or, in other words, there has been the changing of focus, point of view, perspective or way of thinking of the translator’s self (Newmark, 1988: 88 in Suryawinata, 2003: 75). Established equivalent. This procedure is similar with institutionalized translation. For example in Indonesia there is Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing (Guidance for Translating Foreign Names and Words into Indonesian) . Contraction and amplification. Contraction is applied when a translator omitting word element of the SL while amplification is applied by amplifying word element of SL. Semantic Addition. Unlike the structural addition, this procedure is used based on the consideration of meaning clarity. This additional information can be placed in the text or in the down part of a page (it can be footnotes or in the end of the text/endnotes (Newmark, 1988: 91-92 in Suryawinata, 2003: 74). Synonym. This procedure can be used when componential analysis can disturb the TL plot sentence. A translator can apply this procedure by looking for TL word which has similar meaning for more general SL word (Newmark, 1988: 83-84 Suryawinata, 2003: 73).
3. Method of the Research To achieve the objective, the researcher makes use of descriptive qualitative method with embedded case study which means that the research result cannot be generalized, but is embedded to the analyzed data only. Further, the data gathering is done by applying techniques of documentation, questionnaire, and interview. Documentation is used to collect data related to translation ideology and procedures. Questionnaire is used to collect data about translation quality related to readability level. Interview is done to validate the respondents’ responses and statements given in the questionnaire. The main components in the analysis process of the research comprise 1) data reduction, 2) data presentation, and 3) conclusion drawing or verification (Miles & Huberman, 1994: 2223 in Silalahi, 2009: 97). The analysis model applied is interactive model the feature of which is inter-component interaction with data collecting process in a cycle. It means that the researcher interacts freely between the components of analysis altogether with data collection. However, by the time the data collecting is complete, the researcher moves just between the three components of analysis. 4. Findings and Discussion 4.1. Findings 4.1.1. Translation Ideology and Procedures in the 3 Data Sources There are 381 Usingnese cultural terms in the three data sources. Of all the data, as many as 368 data having been translated by using single translation procedure, while the other 13 data are translated by couplet (double) translation procedure. In sum, the translation procedures applied are as the following:
186
Table 1. Frequency of the Application of Translation Procedures No. Translation Procedure Variety of Procedure Total Frequency Single Couplet 1 Pure Borrowing 132 132 2 Transposition 84 6 90 3 Synonym 62 7 69 4 Descriptive Equivalent 26 26 5 Semantic Addition 23 23 6 Contraction 11 11 7 Amplification 9 1 10 8 Structural Addition 8 5 13 9 Deletion 6 6 10 Established Equivalent 5 5 11 Componential Analysis 2 2 12 Cultural Equivalent 1 1 Table 1 shows that as a whole, the total number of frequency of translation procedure application having orientation towards the culture and SL is as many as 132 times (34.02%), while those having orientation towards the culture and TL (signed by blue outline) is as many as 256 times (65.97%). By considering the frequency comparison, it is clear that the translator tends to apply domestication ideology or translation procedures which take side with the culture and TL.
4.1.2.The Roles of Translation Ideology and Procedures to the Translation Quality of Usingnese Cultural Terms Three criteria of evaluation are important to consider while examining translation quality. They are accuracy, acceptability, and readability. In fact, there can be found a translation with high accuracy, but its way of transferring messages do not agree with the rules, norms, and culture of the TL (having low acceptability). There is a translation with high acceptability as well, but skewing of messages can be noted from the content of the SLT (not too accurate or inaccurate). Other than the two, there is also a translation with high readability, but low accuracy and acceptability. A. Translation Accuracy A translation is said to be accurate when having no meaning distortion or the meanings of the SL terms can be transmitted properly in the TL. The researcher notes that there are as many as 320 terms which are translated accurately by the usage of 11 translation procedures as follows: Table 2. The Application of Translation Procedures to Translate Usingnese Cultural Terms Accurately No. Translation Procedure Total Frequency 1 Pure Borrowing 126 2 Transposition 87 3 Synonym 38 4 Structural Addition 18 5 Descriptive Equivalent 17 6 Amplification 14 7 Semantic Addition 14 8 Established Equivalent 2 9 Componential Analysis 2
187
10 11
Contraction Cultural Equivalent Total Number
1 1 320
Not so accurate translation refers to translation product most of the meanings of the SL terms have been transferred into TL accurately, but there is still meaning distortions or ambiguities or omitted meaning which disturb the wholeness of the messages. In this research, there are as many as 44 data which have been translated not so accurately. Inaccurate translation refers to translation product which meanings of SL terms have been transferred into TL inaccurately or have been deleted improperly. In this research, there are as many as 17 data which are included as inaccurate translation. The inaccuracy is caused by 1) improper equivalent, 2) improper deletion, 3) not-needed additional information. B. Translation Acceptability In achieving the translation acceptability, there are three aspects having to be owned by a translation product. They are 1) naturalness, 2) agreement between the used terms and the cultural context and familiarity of the used terms for the target readers; and 3) agreement between the used terms and the TL grammar. Not so accepted translation refers to translation product which mostly has been seems natural, but there are still a little problems with the using of technical terms or grammatical errors. Unaccepted translation or also known as unnatural translation is a translation in which the translator uses wrong or unfamiliar cultural terms. In this research, there are as many as 361 data are identified as accepted translation, 17 data are identified as not so accepted translation, and 3 data are included as unaccepted translation. C. Translation Readability A translation can be said as having high readability level if it can be easily understood by the readers. In this research, 176 data are identified as included in this category. The high readability is achieved by applying the following translation procedures: synonym, transposition, descriptive equivalent and semantic addition. Whereas a translation is identified as having medium level of readability if generally it can be understood by the readers, but there are still certain parts which need to be read two or three times to get the good understanding. In this research, as many as 205 data categorized as having medium readability level. 4.2. Discussion 4.2.1. Translation Procedures As it has been previously mentioned, the total number of the research data is as many as 381. Of this number, as many as 368 data are translated by applying single translation procedure and 13 data are translated by using couplet translation procedure. It is clear then that the number of data being translated with single translation procedure is bigger than those translated by couplet translation procedure. It signifies the characteristic of the translation procedures which are directed towards micro level. In other words, generally those translation procedures are applied to language unit smaller than clause or sentence level (word or phrase). Based on the frequency of their application to the whole research data, it is known that pure borrowing posits the first rank in the hierarchy (132 times), followed then by transposition (90 times), synonym (69 times), descriptive equivalent (26 times), semantic addition (23 times), contraction (11 times), amplification (10 times), structural addition (13 times), deletion (6 times), established equivalent (5 times), componential analysis (2 times), and cultural equivalent (1 time). The high application frequency of pure borrowing procedure in this research is caused by the translator’s will to create effect of exotics to the TL by maintaining the using of Usingnese terms (words or phrases) without any changes. It is hoped that the foreign tourists coming to
188
Banyuwangi will get a clear picture of the city cultural richness. Therefore, a translator should not force his or herself to translate terms which do not have equivalent in the TL (untranslatable terms). Moreover, the fact that there are too many foreign terms (Usingnese terms) creates difficulties for the target readers to comprehend the content of the already circulated tourism publications. Transposition posits the second rank in the hierarchy because of the differences in grammatical rules owned by SL (Usingnese) and TL (English). Hence, the changing of word structure should be suited to the rules of TL, in this case by applying transposition. If it is not, then there will be meaning distortion or difficulties in the side of the target readers. The third rank in the hierarchy is placed by synonym. This procedure is applied because the translator felt difficulty in seeking the proper cultural equivalent for Usingnese cultural terms in English. In the meantime, the application of descriptive equivalent or componential analysis may disturb the readers’ comfort in reading. The risk in using synonym is that the translation result will be not too accurate. This research also shows that not all procedures generally used to translate cultural terms are used here because of some considerations, such as accuracy and acceptance. 4.2.2. Translation Ideology The research finding shows that there are 2 translation ideologies which base the process of decision making by the translators. They are foreignization and domestication. The application of those 2 ideologies indicates the inner conflict felt by the translators. They want to be faithful to the SLT, but at the same time they also like to produce a translation with high level of acceptance and readability. However, the data analysis as a whole reveals clearly that the translators tend to apply domestication. It is true that the application of foreignization by using pure borrowing posits the highest rank in the hierarchy, but if all the number of procedures applied are being summed and compared to the number of procedures which take side with the culture and SL, it is still more dominant. 4.2.3. The Roles of Translation Ideology and Procedures to the Translation Quality As it has been explained previously, the choice of translation ideology and procedures plays important role to the translation quality resulted. The research shows that of 381 data, as many as 320 data (83.99%) are translated accurately, 44 data (11.55%) are translated not too accurately, and 17 data (4.46%) are translated inaccurately. In the meantime, as many as 361 data (94.75%) identified as accepted translation, 3 data (0.79%) identified as not so accepted translation, and 17 data (4.46%) identified as unaccepted translation. Viewed from the readability aspect, as many as 176 data (46.19%) have high readability and 205 data (53.81%) have medium readability. The application of pure borrowing procedure gives a very positive effect to the translation accuracy level. In the meantime, the not too accurateness and inaccuracy are produced by the application of the following procedures: 1) improper omission or deletion; 2) incorrect equivalent, and 3) not needed additional information. It is clear that the translators only have a good cultural competence of SL, but lacks of language and cultural competence of TL. It is very important to say that in general the translators decide to choose domestication ideology in the process of translating. It is in one side has a positive role to the translation production with high acceptability and readability, but in the other side, it gives a negative role to the message accuracy. However, the analysis reveals different fact. Although the translators use domestication ideology, the accuracy of the three tourism publications is still high. It is right that the acceptability is high, but the readability tends to be medium and not high. One more aspect to note is the inconsistency of the translators in translating the same cultural terms even in one tourism publication. This aspect may confuse the target readers though it does not have any relation with the message accuracy. Once again, tourism publication is not that kind of text which focus on the message accuracy (as scientific texts), but more on readability.
189
5. Conclusion The choosing of translation procedures reveals the translator’s ideology and affects the quality of the resulted product. In the context of three Banyuwangi bilingual tourism publications, the translator’s decision to use domestication ideology creates a translation which are accurate and acceptable, but with medium readability.
References Fernandez-Guerra, Ana B. 2012, Translating Culture: Problems, Strategies and Practical Realities, [sic] A Journal of Literature, Culture and Literary Translation, ISSN 1847-7755 (http://www.sic-journal-org/en/past-issues/5/literary-translation) accessed on March 6, 2013 Ordudari, M, Translation Procedures, Strategies and Methods, Translation Journal and the Author, Vol. 11, No. 3, July 2007 (http://translationjournal.net/journal/41culture.htm) accessed on March 6, 2013 Novinger, Tracy, 2001, Intercultural Communication: A Practical Guide, Austin: University of Texas Press. Silalahi, R. 2009. Dampak Teknik, Metode, dan Ideologi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Teks Medical-Surgical Nursing dalam Bahasa Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara (Dissertation). Simatupang, M D. S. 2000. Pengantar Teori Terjemahan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suryawinata, Z. and Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. --------, 2010, Visitor’s Guide Book: Visit Banyuwangi-The Real Tropical Country, Banyuwangi: Banyuwangi Tourism and Cultural Service. --------, 2013, Banyuwangi Calendar of Events 2013, Banyuwangi: Banyuwangi Tourism and Cultural Service. --------, 2013, Welcome to Banyuwangi: The Sunrise of Java, Banyuwangi: Banyuwangi Tourism and Cultural Service.
190
Pemahaman Budaya Penutur Asing dalam Pembelajaran Penerjemahan untuk Mengurangi Kesalahan Penerjemahan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris Siyaswati, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Wahju Bandjarjani, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya Joesasono Oediarti S., Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Abstrak Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menginvestigasi keefektifan pemahaman mahasiswa semester VI angkatan tahun 2010 di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris terhadap wawasan budaya penutur berbahasa Inggris untuk mengurangi kesalahan penerjemahan teks Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Masalah yang dihadapi oleh mahasiswa adalah kurangnya pengetahuan dalam pemahaman budaya penutur Bahasa Inggris yang ditunjukkan dengan hasil test sebelumnya. Dengan kata lain mahasiswa sering kali tidak mengikuti apa yang oleh Dell Hymes dinamakan ‘Pemahaman Budaya”(1972) sebagai contoh pengetahuan pada bentuk-bentuk dan ekspresi–ekspresi yang digunakan di dalam budaya penutur berbahasa Inggris. Pemahaman budaya diberikan dengan cara pengenalan ekspresi budaya penutur bahasa Inggris, terutama pemahaman English proverbs, sayings, idiomatic expressions. Penelitian ini menggunakan sampel 35 mahasiswa dengan onegroup pre-test post-test design. Setelah mahasiswa diberi pre-tes pemahaman budaya, 17 mahasiswa yang memiliki nilai baik yaitu di atas passing grade 70, mereka juga mempunyai performansi yang baik dalam menerjemahkan teks Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. 8(tujuh) mahasiswa memiliki nilai dibawah 70 dan 10 mahasiswa datanya tidak dapat dianalisa. Dapat disimpulkan bahwa pemahaman wawasan budaya penutur berbahasa Inggris membantu mahasiswa menerjemahkan teks Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Kata Kunci: pemahaman budaya; penutur asing; kesalahan penerjemahan.
1. Latar Belakang Tujuan mahasiswa menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris adalah untuk mempelajari dan menguasai bahasa Inggris. Ada berbagai cara untuk menunjukkan kemampuan menggunakan bahasa tersebut. Salah satu keterampilan menggunakan bahasa tersebut adalah kemampuan untuk menerjemahkan dari bahasa ibu ke bahasa target, dalam hal ini bahasa Inggris. Apabila mahasiswa mampu menerjemahkan dengan baik, mereka dapat mengutarakan gagasannya secara logis dan sistematis yang menunjukkan bahwa mereka telah menguasai bahasa Inggris. Dari sudut pandang dosen , pengajaran translation merupakan latihan yang baik, karena hal tersebut menuntut untuk menggunakan bahasa Inggris dengan tepat. Namun pada kenyataannya masih terdapat kesulitan bagi mahasiswa untuk menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Masalah yang dihadapi oleh mahasiswa adalah kurangnya pengetahuan dalam pemahaman budaya penutur Bahasa Inggris yang ditunjukkan dengan hasil tes sebelumnya dalam mata kuliah Translation. Dengan kata lain mahasiswa sering kali tidak mengikuti apa yang oleh Dell Hymes dinamakan ‘Pemahaman Budaya”(1972) sebagai contoh pengetahuan pada bentuk-bentuk dan ekspresiekspresi yang digunakan di dalam budaya penutur berbahasa Inggris. Pemahaman budaya diberikan dengan cara pengenalan ekspresi budaya penutur bahasa Inggris, dalam penelitian ini terutama pemahaman English proverbs, sayings, idiomatic expressions. Berdasarkan permasalahan ini peneliti mengangkat topik penelitian Cultural Awareness of English Speaker in Teaching Translation: Reducing Students’s Errors in Translating Indonesian to English. (Pemahaman Budaya Penutur Asing dalam Pembelajaran Penerjemahan untuk mengurangi kesalahan Penerjemahan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris)
191
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian in adalah sebagai berikut: a. Dapatkah pemahaman budaya penutur bahasa Inggris digunakan dalam pengajaran translation untuk mengurangi kesalahan-kesalahan para mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris? b. Bagaimana pemahaman budaya penutur bahasa Inggris digunakan dalam pengajaran translation untuk mengurangi kesalahan-kesalahan para mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris? Untuk memberikan arah yang jelas dan langkah-langkah operasional dalam penelitian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan sebagai berikut: a. Pemahaman budaya: pemahaman dalam menggunakan kata, frasa, ujaran, kalimat yang mengandung nilai budaya dalam hal ini yang dimaksud adalah English proverbs, sayings dan idiomatic expressions. b. Pengajaran translation: pengajaran translation dari teks bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, bukan yang sebaliknya. c. Penutur bahasa Inggris yang dimaksud adalah penutur asli Amerika. dan atau Inggris. d. Kesalahan translation adalah kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman budaya dalam menggunakan kata, frasa, ujaran, dan kalimat yang mengandung nilai-nilai budaya: English proverbs, sayings dan idiomatic expressions. 2. Kajian Pustaka Translation dalam sudut pandang pendidikan bukan sekedar proses untuk merubah bahasa, dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau sebaliknya, bukan pula mengintepretasikan pesan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau sebaliknya. Pada penelitian ini, peneliti memaparkan beberapa pendapat para ahli bahasa tentang definisi translation. Menurut pendapat Newmark (1988:6) dalam bukunya yang berjudul “A Textbook of Translation”, translation adalah suatu sarana yang tepat dalam pendidikan yang dapat digunakan oleh pembaca dari latar belakang budaya dan tingkat pendidikan yang beragam mulai dari tingkat yang rendah hingga tinggi. Oleh karena itu, di dalam translation harus terdapat unsur-unsur pengetahuan, keterampilan, seni dan sudut pandang penerjemah. Nida (1984:12) menjelaskan bahwa translation suatu proses yang didalamnya terdapat tiga unsur yaitu pesan, bahasa pembicara (penutur) dan bahasa pendengar atau pembaca. Di dalam translation penggunaan tata bahasa, idiom dan tata cara penulisan pesan yang akan diterjemahkan harus jelas dan benar. Basnett (1980:13) mendefinisikan translation sebagai suatu proses mentransfer arti dari suatu bahasa melalui kompetensi penggunaan kamus dan tata bahasa. Proses translation akan mentransfer arti dari suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan pola pikir pengarang teks tersebut. Crystal (1998) berpendapat bahwa penerjemah seharusnya bekerja untuk meyakinkan bahwa hasil terjemahannya senatural mungkin sehingga hasil terjemahan tersebut nampak sebagai suatu hasil kreativitas dan tanggung jawab penerjemah terhadap pemahaman orang yang membaca atau mendengarkan terjemahan tersebut. Menurut Harmer (2001), banyak siswa melakukan proses code-switching dari bahasa Ibu ke bahasa asing atau sebaliknya dari bahasa asing ke bahasa Ibu pada saat proses belajar mengajar di kelas. Hal ini menurut Harmer adalah suatu perkembangan kemampuan translation yang natural. Mattioli (2004) menyebutkan bahwa siswa Indonesia sering menggunakan bahasa Ibu untuk menerjemahkan bahasa asing atau sebaliknya. Menurut Mattioli, proses translation seperti tersebut di atas adalah merupakan alat tepat dalam proses sosio-kognitif pembelajaran bahasa. Translation sangat membantu proses perolehan bahasa asing karena materi yang digunakan otentik, interaktif dan berorientasi pada siswa sehingga bisa menciptakan kreativitas siswa (Mahmod, 2006).
192
Kesalahan Penerjemahan Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada proses penerjemahan disebabkan oleh: a. Tidak adanya ekivalensi antara bahasa sumber (bahasa Indonesia) dan bahasa target (bahasa Inggris) (Baker, 1992:20-21). b. Proses berpikir penerjemah (Seguinot, 1990:68). c. Kemampuan proses mentransfer bahasa yang tidak baik (Mahmoud, 2006:33). Pemahaman Budaya Pemahaman budaya merupakan suatu sarana untuk mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, belajar dari orang lain dan berbisnis dengan berbagai orang dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Pemahaman budaya seringkali dikaitkan dengan kemampuan berbahasa seseorang. Dalam mempelajari budaya suatu bangsa, kita dapat belajar dari cara penutur bahasa tersebut dalam mengungkapkan maksud atau tujuan dan keinginannya dalam bentuk pepatah, peribahasa, dan idiom. Pepatah adalah suatu ungkapan yang ringkas dan tajam yang mengandung kearifan dan kebenaran atau nasihat secara umum (http://www.smart-words.org/quotes-sayings/aphorismproverb-idiom-saying-pun.html). Contoh dari pepatah yang sering diungkapkan oleh orang Perancis: “There is no complete meal without cheese”. Ungkapan ini mempunyai arti bahwa keju mempunyai peranan yang sangat penting dalam menu makanan Perancis. Peribahasa adalah suatu ungkapan atau perkataan yang bijak yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman praktis yang digunakan untuk menjelaskan suatu situasi tertentu (http://careerride.com/proverbs-meaning-examples-1.aspx). Contoh peribahasa yang sering kita gunakan adalah: “Action speaks louder than words”. Peribahasa ini mempunyai arti bahwa tindakan atau perbuatan lebih baik daripada hanya berkata-kata atau berbicara. Idiom adalah suatu terminologi, biasanya dalam bentuk frasa yang artinya tidak dapat ditebak atau diterka berdasarkan definisi harfiah (http://www.smart-words.org/quotessayings/aphorism-proverb-idiom-saying-pun.html). Contoh idiom yang sering kita dengar adalah: “It’s a piece of cake”. Idiom ini ber makna untuk mengungkapkan sesuatu yang mudah dikerjakan atau dilakukan. Pemahaman Budaya bagi Penerjemah atau Ahli Bahasa dalam Hubungan dengan klien Para penerjemah dan ahli bahasa sering bekerja langsung dengan klien dan teman sejawat selain dengan rekan kerja mereka. Pemahaman budaya adalah kunci bagi penerjemah untuk memahami apa yang diinginkan oleh klien. Sehingga para penerjemah dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh klien dengan tepat. Pemahaman Budaya antar Penerjemah Adakalanya terjadi kesalahpahaman budaya dalam proses translation diantara para penerjemah. Hal ini bisa dihindari apabila para penerjemah yang bekerja dalam suatu tim melakukan penyamaan persepsi terhadap perbedaan latar belakang budaya para penerjemah, sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan format translation yang tepat. Pemahaman Budaya bagi Penerjemah atau Ahli Bahasa dalam Hubungannya dengan Pembaca/Pengguna/Penyimak Segala sesuatu yang kita terjemahkan, interpretasikan, koreksi, atau edit akan dibaca atau disimak oleh orang lain. Terjemahan yang kita buat menggambarkan sejauh mana pemahaman budaya yang kita miliki, hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan translation kita terhadap publik, sehingga kualitas translation kita dinilai baik dan mudah dipahami oleh pembaca/pengguna/penyimak. Tujuan dan manfaat penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan pertanyaan penelitian pada Bab 1, tujuan umum diadakannya penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah pemahaman budaya
193
penutur bahasa Inggris dapat digunakan dalam pengajaran translation untuk mengurangi kesalahan mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Tujuan umum penelitian di atas dapat dirinci menjadi beberapa tujuan khusus sebagai berikut: Mendeskripsikan kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam teks berbahasa Inggris dengan memanfaatkan pemahaman mereka atas budaya penutur bahasa Inggris; mendeskripsikan kemampuan mahasiswa dalam memahami wawasan budaya penutur berbahasa Inggris: English proverbs, sayings, idiomatic expressions; mendeskripsikan bagaimana kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia yang diambil dari artikel dalam koran lokal ke dalam bahasa Inggris; membuktikan apakah pemahaman mahasiswa atas wawasan budaya penutur berbahasa Inggris membantu mahasiswa dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis: memberikan masukan mengenai teknik-teknik yang tepat untuk pengajaran translation; sebagai materi rujukan untuk pengajaran translation di kelas; memberikan masukan untuk mengembangkan materi pengajaran translation; memberikan kesadaran kepada mahasiswa atas manfaat pemahaman budaya penutur Bahasa Inggris untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris; mengurangi kesalahan-kesalahan penerjemahan ketika para mahasiswa mereka menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. 3. Metode Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dalam hal pemahaman atas wawasan budaya penutur berbahasa Inggris (English proverb ,sayings, idiomatic expressions) dalam kaitannya dengan kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam teks bahasa Inggris. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester VI angkatan 2010 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Adibuana Surabaya yang telah menempuh mata kuliah Translation. Ada lima kelas parallel, dan peneliti memilih 35 mahasiswa secara random dengan purposive sampling. Karena keterbatasan akses untuk menemui mahasiswa (mahasiswa angkatan 2010 masih harus melakukan kegiatan-kegiatan akademik lain yang mengharuskan mereka berada diluar kampus misalnya kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan, Kuliah Kerja Nyata, Pemagangan dan sebagainya, peneliti memilih 35 mahasiswa yang mudah diakses. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Peneliti mengumpulkan data dari Pre-tes wawasan budaya penutur berbahasa Inggris yang meliputi English proverbs, sayings, idiomatic expressions dan Pos- tes menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Teks berbahasa Indonesia tersebut diambil dari artikel di harian Jawa Pos edisi Selasa 1 Oktober 2013 yang bertajuk “ The Naff , Sekolah Kreatif dan Unik di Candi, Sidoarjo. Balas Dendam karena Mulas Lihat Guru Matematika (Metropolis hal. 25 dan 35). Teks ini dipilh karena mengandung beberapa unsur peribahasa, pepatah, dan idiomatic expressions. Ada lima kelas parallel, dan peneliti memilih 35 mahasiswa secara random dengan purposive/ sampling. Mereka diberi pre-tes wawasan budaya penutur berbahasa Inggris English proverbs, sayings, idiomatic expressions; mahasiswa yang telah dipilih diberi pembelajaran tentang English proverbs, sayings, idiomatic expressions, ketiga unsur ini diberi padanannya dalam bahasa Indonesia; Mahasiswa diberi pos-tes menerjemahkan teks bahasa Indonesia (seperti tersebut dalam sub bab pengumpulan data) ke dalam Bahasa Inggris. Teknik Analisis Data Data nilai Pre-tes dan Post-tes dianalisa secara kualitatif dengan melihat nilai masingmasing mahasiswa untuk di lihat bagaimana hasil yang diperoleh pada nilai pre-tes mempunya
194
relevansi terhadap nilai pos-tesnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui apakah mahasiswa yang memiliki wawasan budaya penutur berbahasa Inggris mampu menerjemahkan artikel yang ditugaskan yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dengan baik. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil pre-tes wawasan budaya berkenaan dengan pemahaman mahasiswa mengenai istilah-istilah English proverbs, sayings, and idiomatc expressions. Selain itu dipaparkan pula hasil pos tes penerjemahan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai analisis hasil-hasil pre tes dan pos-tes. Berikut ini adalah pajanan hasil pre-tes dan pos-tes tersebut di atas.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tabel 1. Hasil pre-tes wawasan budaya Nama Nilai DA 63 IC 64 LH 75 RWA 78 RA 76 SO 80 TS 88 UA 62 SH 77 RR 63 BA 64 DY 76 WAS 62 ZM 63 AIF 76 FV 78 AKJZ 77 AWF 75 MS 87 ZMS 86 TO 75 PA 76 WE 78 SS 64 HRP 76
Huruf C C B B B B A C B C C B C C B B B B A A B B B C B
Tabel 2. Hasil post-tes penerjemahan teks bahasa Indonesia ke bahasa Inggris No Nama Nilai Angka/Huruf 1 DA 64 2/C 2 IC 64 2/C 3 LH 77 3/B 4 RWA 80 3/B 5 RA 78 3/B 6 SO 80 3/B 7 TS 90 4/A 8 UA 63 2/C 9 SH 80 3/B 10 RR 63 2/C
195
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
BA DY WAS ZM AIF FV AKJZ AWF MS ZMS TO PA WE SS HRP
64 80 64 63 76 80 78 75 89 88 75 80 78 64 80
2/C 3/B 2/C 2/C 3/B 3/B 3/B 3/B 4/A 4/A 3/B 3/B 3/B 2/C 3/B
Dari data di atas dapat dijelaskan sebetulnya jumlah sampel yang diambil 35 mahasiswa angkatan 2010, namun data yang masuk hanya 31 data tetapi 6 data tidak dianalisa karena penerjemahannya menggunakan “google translation”, 4 mahasiswa tidak mengirimkan hasil penerjemahan mereka melalui email peneliti. Hasil pre-tes mengenai pemahaman wawasan budaya terkait dengan English proverbs, sayings, dan idiomatic expressions menunjukkan bahwa 8 mahasiswa mempunyai nilai C/cukup (60-64/2) yang merupakan nilai di bawah passing grade B/baik (70-80/3). Jumlah mahasiswa yang memperoleh nilai ≥ 70 sebanyak 17 mahasiswa. Setelah diberikan pos-tes penerjemahan teks artikel berbahasa Indonesia kedalam bahasa Inggris, hasilnya seperti yang terlihat pada Tabel 2 sebagai berikut: 17 mahasiswa yang pada pre-tes wawasan budaya memperoleh nilai ≥70 menghasilkan penerjemahan yang baik yang ditunjukkan oleh perolehan nilai masing-masing ≥70. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman atas wawasan budaya penutur berbahasa Inggris (English proverbs, sayings, dan idiomatic expressions) membantu mahasiswa mengurangi kesalahan dalam menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. 5. Kesimpulan dan saran Pembelajaran wawasan budaya penutur berbahasa Inggris yang di antaranya meliputi English proverbs, sayings, dan idiomatic expressions sangat bermanfaat dalam membantu mahasiswa menerjemahkan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kesalahankesalahan mahasiswa dalam menerjemakan dapat di minimalkan dengan menguasai unsur-unsur tersebut di atas. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pre-tes wawasan budaya yang menyatakan bahwa ada 17 mahasiswa yang mempunyai nilai baik (≥70), menunjukkan performansi yang baik pula(≥70) pada hasil pos -tes penerjemahan teks berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Saran-saran: perlu adanya pengkajian secara mendalam mengenai padanan-padanan bahasa Indonesia terhadap English proverbs, sayings, dan idiomatic expressions sehingga hal ini dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan materi pembelajaran translation, misalnya kamus padanan bahasa Indonesia mengenai English proverbs, sayings, dan idiomatic expressions; mengingat penggunaan bahasa sehari-hari banyak menggunakan slangs, jargons, wise words, dll. pembelajaran translation hendaknya memberikan latihan-latihan yang cukup dalam hal ini; latihan-latihan pada unsur-unsur tersebut sebaiknya disajikan baik secara loose words maupun dalam konteks melalui permainan-permainan. Daftar Pustaka Baker, M. (1992). In Other Words. London: Sage publishers. Basnett, S. (1980). Translation Studies. New York: Methuen & Co. Ltd.
196
Bogdan, R. T. & Biklen, K. S. (1982). Qualitative Research for Education. Needam Height: Allyn and Bacon. Crystal, D. (1998). Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Harmer, J. (2001). "The Practice of English Language Teaching" Oxford: Longman. Ned Seelye, H. 1994. Teaching Culture Strategies for Intercultural Communication. Chicago: National Textbook Company. Nida, E. N. & Taber, C. R. (1982). Helps For Translators: The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Newmark, P. (1988). Approaches to Translation. Hertfordshire: Prentice Hall. Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall.
197
Perbandingan antara Bahasa Queer dalam Film-Film Orde Baru dan Pasca-Orde Baru Maimunah, S.S, M.Hum, M.A., Universitas Airlangga
Abstrak Representasi pemakaian bahasa Binan (bahasa queer) dalam budaya populer di Indonesia semakin meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya film-film bertema urban life-style yang para tokohnya menggunakan bahasa queer dengan variasi yang berbeda. Variasi bahasa queer ini bisa ditentukan oleh formasi pembentukan bahasa yang dipengaruhi oleh bahasa daerah (Jawa, Sunda, Betawi dll) dan juga bahasa asing. Penelitian ini akan membandingkan bahasa queer dalam film-film Orde Baru seperti Betty Bencong Slebor (1978), dan film-film Pasca Reformasi seperti Arisan 2 (2011) dan Madame X (2010). Kajian utama makalah ini lebih terfokus perbandingan konstruksi pembentuka bahasa binan, yaitu bahasa yang pada awalnya dipakai oleh komunitas gay dan waria urban. Formasi pembentukan kata dan frasa bahasa Binan berasal dari bahasa Indonesia baku tetapi mengalami beberapa modifikasi terutama pada kata kedua dengan akhiran ong. Perbandingan ini diharapkan dapat mengungkapkan pula hubungan bahasa Binan dengan konteks sosial budaya yang terjadi pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru. Dua pertanyaan utama adalah: 1) Bagaimana Bahasa Binan direpresentasikan dalam film Orde Baru dan Pasca Orde Baru dan 2). Apa makna dan fungsi bahasa binan bagi queer people pada masa yang berbeda?. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bahasa binan pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru memiliki varian yang berbeda dan sangat berkaitan dengan konteks sosial budaya pada masa itu. Kata kunci: Bahasa Queer/Bahasa Binan, Film Orde Baru, Film Pasca Orde Baru 1. Bahasa Queer/Bahasa Binan Bahasa dan identitas gender memiliki keterkaitan yang erat. Komunitas homoseksual seringkali menggunakan bahasa yang berbeda dengan komunitas heteroseksual. Realitas sosial di Indonesia yang belum sepenuhnya mengakui kelompok homoseksual memunculkan kreativitas mereka. Bahasa queer atau bahasa binan adalah konstruksi bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh komunitas LGBT. Dede Oetomo (2001: 62-63) menyatakan bahwa bahasa binan mulai muncul terutarama pada era 1990an ketika komunitas waria dan gay milai menggunaknannya di media elektronik. Bahasa binan kemudian populer dengan sebutan bahasa gaul dan dipakai baik oleh kalangan yang bukan waria atau gay. Pemakaian bahasa gaul ini juga diikuti dengan gaya bicara yang cenderung centil (camp) seperti waria atau gay. Sementara itu, Esther Kuntjara (2012: 212-213) dalam bukunya Gender, Bahasa dan Kekuasaan, menyebutkan bahwa perkembangan bahasa queer/bahasa binan muncul karena perjuangan yang dilakukan oleh gay dan lesbian semakin berani dan terbuka terutama diinspirasi oleh perjuangan feminisme gelombang ketiga. Namun, pakar bahasa meyakini bahwa eksistensi bahasa queer sebenarnya masih diperdebatkan. Yang ada adalah bahasa yang digunakan kaum homoseksual untuk menampilkan identitasnya sebagai kelompok gay” (Kuntjara, 2012: 212). Kesulitan dalam mengidentifikasi bahasa gay karena bahasa tersebut tidak memunculkan adanya unsur-unsur structural, morphological dan fonological yang universal dan dapat dipakai oleh kelompok gay di tempat lain. Akan tetapi, pandangan universalisme ini dibantah terutama oleh penganut aliran post-strukturalisme yang justru merayakan keberagaman/pluralitas bahasa gay dalam ragam bahasa dan pola ungkap yang sangat variatif. Keberagaman ini justru memperkaya orisinalitas bahasa binan sehingga menjadi bahasa yang liat, kreatif dan selalu dinamis. Dalam konteks budaya Indonesia, Dede Oetomo (2003 via Kuntjara 2012: 117-119) mencatat bahwa bahasa binan yang berkembang mengalami dua proses pembentukan kata.
198
Pertama, proses perubahan bunyi dalam kata-kata yang berasal dari bahasa daerah/bahasa Indonesia. Misalnya dengan menambahkan bunyi awalan si pada kata dasarnya seperti: banci ----------- ban -------- siban lanang --------- lan --------- silan wedok ---------- wed ------- siwed homo --------- hom ------- sihom Kedua, proses penciptaan kata atau istilah baru, atau pergeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Caranya adalah dengan menambahkan akhiran –ong atau –es, sedangkan bunyi vocal suku kata sebelumnya diubah menjadi bunyi e. Misalnya: laki ------------lekong homo -------- hemong banci --------- bencong Selain penambahan bunyi –ong dan –es, ada beberapa model/variasi lain yang berkembang di etnis/budaya yang berbeda. Kreativitas ini yang justru menarik untuk dibahas mengingat ribuan bahasa daerah berkembang di Indonesia. Variasi lain adalah dengan mengambil suku kata pertama dan menambahkan suku kata lain sehingga menjadi kata lain. Misalnya: Sundal ---- sund ------ sundari Enak ---- en -------endang Sudah ---su------- sutra Variasi yang lain masih banyak dan bahkan perkembangan terbaru bisa jadi sama sekali berbeda dengan pola-pola pembentukan di atas. Pada makalah ini, akan di analisa pola konstruksi dan pemakaian bahasa binan oleh tokoh-tokoh utama untuk mengetahui fungsi dan maknanya. 2. Pembahasan 2. 1. Bahasa Binan dalam Film Orde Baru Betty Bencong Slebor (1978) mengisahkan tentang Betty, seorang waria yang menjadi pembatu rumah tangga di keluarga pengusaha rekaman bernama Bokir. Kehadiran Betty dalam keluarga Nasir tidak sepenuhnya diterima oleh Nasir karena identitas gendernya sebagai waria. Tetapi istri Bokir memiliki pandangan berbeda. Ia justru memilih Betty karena ia waria. Sebagai pengusaha mapan, Bokir memiliki hasrat terpendam pada Elvi Sukaesih dan berusaha untuk menikahinya secara diam-diam. Ia minta bantuan Mansur, sahabatnya untuk mengatur pernikahannya. Mansur pun bersekongkol dengan Elvi untuk mengelabui Bokir. Betty diminta menggantikan Elvi saat pernikahan dan Elvi juga memberitahu istri Bokir. Akhirnya pesta pernikahannya pun bubar. Betty membatalkan niat jahat Bokir. Dalam film Betty Bencong Slebor, bahasa queer juga sudah yang dipakai oleh Betty. Dengan menggunakan tone suara rendah, sedikit cempreng dan cadel serta pemilihan kata yang menggunakan bahasa binan membedakan Betty dengan laki-laki heteroseksual dan perempuan pada umumnya.1. Misalnya ketika Betty menjawab tantangan Nasir bahwa sulit bagi waria seperti dirinya untuk memperoleh pekerjaan, Betty menjawab: “Kalau guwe mau, parkir aja di Taman Lewong, Ngesong, Pasti Banyak Cukong”. Maksudnya, jika Betty mau, dia bisa aja memilih profesi sebagai pekerja seks di Taman Lawang, tempat popular bagi para waria di Jakarta untuk bekerja dalam industry seks.2 1
Bahasa Binan adalah bahasa yang dipakai awalanya di komunitas gay. Formasi pemebentukan kata berasal dari bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD) tetapi mengalami beberapa modifikasi terutama pada kata kedua dengan akhiran ong. Misalnya laki menjadi lekong, mati menjadi metong (Boellstroff, 2005). 2 Profesi sebagian besar waria adalah sebagai sebagai pekerja seks. Sekalipun diantara mereka telah memiliki pekerjaan tetap, nyebong atau turun ke jalan dianggap sebagai Rite of Passages waria untuk aktualisasi diri, berdandan dan memperoleh pasangan seksual. Motivasi ekonomis tidak semata-mata menjadi tujuan utama mereka, tetapi menemukan imaginary space, membangun solidaritas dan aktualisasi diri dalam mempelajari dunia waria (Atmojo, 1987: 24-25).
199
Penggunaan istilah Taman Lewong (Taman Lawang-lokasi berkumpulnya para waria di Jakarta), Ngesong (meng-oral, salah satu aktivitas seksual yang biasa dilakukan waria terhadap pelanggannya) menunjukkan penggunaan akhiran –ong sudah menjadi bahasa Queer pada masa Orde Baru. Kata Bencong yang menjadi judul film ini semakin menguatkan banyaknya penggunaan akhiran –ong dalam bahasa binan. Merujuk pada Dede Oetomo (2003 via Kuntjara 2012: 117-119) istilah-istilah ini adalah contoh proses penciptaan kata yang Kedua yaitu dengan penciptaan kata atau istilah baru, atau pergeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Caranya adalah dengan menambahkan akhiran –ong atau –es, sedangkan bunyi vocal suku kata sebelumnya diubah menjadi bunyi e. Contoh lain dalam film Betty Bencong Slebor ketika juragan perempuan Betty memberinya gaun malam bekas, Betty terlihat sangat gembira dan menjawab “Trimse Kamse, Nyonya”. Sebagaimana dikemukakan oleh Dede Oetomo (2001: 62-63) bahwa istilah “Trimse Kamse” merupakan slang dari ucapan terima (trimse) dan kasih yang berasal dari bahasa Tionghoa (Kamsia). Istilah “Trimse Kamse” menjadi istilah yang populer terutama pada masa Orde Baru. Bahasa Binan yang dipakai oleh Betty merupakan salah satu identitas waria yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya bahasa Binan dalam film ini menunjukkan bahwa pemakaian bahasa Binan telah lama dikenal oleh waria, bahkan pada era 1970an ketika film ini di produksi. Fungsi bahasa Binan sebagai bahasa sandi atau bahasa rahasia agar bertahan dari razia petugas muncul dalam adegan ketika Betty dan Nasir pulang dari sebuah acara pesta pada malam hari. Tanpa diduga, mereka bertemu dengan kelompok waria yang sedang latihan bela diri. Tiba-tiba kelompok waria berteriak karena mendengar suara polisi yang akan merazia mereka. Salah seorang waria berteriak:...’Aduh..ada pemeresongan’. Pemeresongan adalah bahasa Binan untuk menjelaskan pemeriksaaan atau razia. Disini konstruksi bahasa binan terjadi dengan menambahkan akhiran –ong. Contoh-contoh ini menunjukkan banyaknya penggunaan akhiran –ong pada masa Orde Baru. Penggunaan bahasa Binan ini adalah contoh Camp3 yang memadukan elemen estetik dan ironi. Estetik karena perubahan dan tambahan akhiran seperti Lewong, Ngetong, Cukong secara estetik menciptakan istilah tersendiri yang awalnya hanya dipahami oleh kalangan waria, tetapi kemudian menjadi bahasa slang di kalangan anak muda perkotaan. Bahasa Binan ini juga bisa dimaknai sebagi ironi karena seringkali istilah-istilah yang mereka pakai memiliki arti yang sangat berbeda. Misalnya, kata sakit diganti menjadi sakinah. Kata sakit sering mereka pakai untuk menjelaskan kondisi mereka yang ‘sakit’ maksudnya yang berbeda dengan yang ‘normal’. Tetapi, istilah ‘sakinah’ yang mereka pilih sebagai padanan kata ‘sakit’ memiliki arti yang berlawanan yaitu, bahagia atau sejahtera. Istilah ‘sakinah’ dipilih untuk menggantikan ‘sakit’ bisa jadi sebagai sindiran atas realitas social yang menimpa mereka. Keberadaan waria selama ini banyak ditentang oleh kalangan agama yang konservatif yang memandang waria sebagai kelompok masyarakat yang ‘sakit’.
3
Harry Benshoff dan Sean Griffin (2006, 2008) mendefinisikan Camp sebagai berikut: “a sensibility, a taste, and an aesthetic, and it shares similarities with literary devices such as parody, irony, and satire. Camp can be both a reception strategy as well as a mode of cultural production”. Camp is never a thing or person verse, but, rather, a relationship between activities, individuals, and gayness. 3 Dengan kata lain, Camp bisa berarti parody, ironi dan satire yang dipakai oleh queer people dengan mengkombinasikan elemen-elemen teatrikal dan exaggeration dengan maksud untuk memparodikan ‘the hostile environment’. Sebagai suatu strategi bertahan dalam masyarakat yang memarginalisasi mereka, Camp muncul dalam bentuk humor yang terkesan mengejek kondisi mereka sendiri. Menertawakan diri mereka sendiri merupakan salah satu cara bertahan dan mengakui realitas marjinal dalam kehidupan sehari-hari. Secara spesifik, Harry Benshoff dan Sean Griffin (2006, 2008) merinci empat elemen Camp yaitu Ironi, Aesthicism, Theatrically dan Humor.
200
2. 2. Bahasa Binan dalam Film Pasca Orde Baru Berbeda dengan film-film pada masa Orde Baru, pada film-film pasca Orde Baru, muncul konstruksi bahasa binan dengan menggunakan kependekan dari bahasa sehari-hari. Misalnya dalam film Arisan 2, dua tokoh utama gay yaitu Nino dan Okta menggunakan kata ”come on Cinnnn”. Kalimat ini menarik untuk dianalisa karena merupakan perpaduan bahasa Inggris (come on) dan Cinnnn merupakan kependekan dari cinta. Demikian pula dalam film Madame X, Dalam film Madame X, tokoh Adam memiliki teman setia bernama Aline. Pada suatu hari, terjadi beberapa dialog menggunakan bahasa binan antara Adam dan Aline di salon tante Liem: “gretong, modal esong tiga gadun”. Diksi gretong, adalah contoh dari bentukan akhiran –ong dan bunyi vokal suku kata sebelumnya diubah menjadi bunyi e yang berasal dari kata gratis. Kata esong sangat populer di pakai di kalangan komunitas LGBT dengan beberapa variasi seperti me-ngesong, yang berarti melakukan aktivitas/layanan jasa seks oral. Sedangkan gadun dipakai terutama untuk menunjukkan identitas gay usianya sudah om-om. Gadun berasal dari kata gay yang dimodifikasi menjadi gadun. Demikian juga kalimat yang diucapkan oleh Adam di salon Tante Liem: “dua ratus jeti, bisa buat operasyong tetong, dua biji”. Sebagaimana kata gretong, kata operasyong, juga berasal dari operasi (kelamin) yang di transformasi dengan akhiran –ong. Kata tetong kemungkinan berasal dari bahasa daerah titit (penis) yang ditambahi akhiran –ong. Pembentukan bahasa binan juga bisa berasal dari berbagai bahasa daerah seperti Betawi atau Jawa yang kemudian populer di kalangan LGBT. Misalnya pada kalimat yang di ucapkan oleh Adam di salon Tante Liem. “Pecun bo’, pecun. Kawin berkali-kali udah nggak berasa, udah blong”. Kata Pecun kemungkinan berasala dari bahasa Betawi pelacur. Pembentukan kata ini dengan mengambil suku kata pertama pe dan menambahkan suku kata lain sehingga menjadi kata lain. Lokus pemakaian bahasa binan tidak hanya dalam dialog sehari-hari di kalangan komunitas LGBT tetapi juga terlihat dalam pemakaian papan nama. Misalnya pub Gedong Endang, nama pub yang sering dikunjungi Madame X. Nama Gedong Endang adalah bentukan dari akhiran –ong dan bunyi vokal suku kata sebelumnya diubah menjadi bunyi e: Gedong-----gede. Sedangkan kata Endang adalah dengan mengambil suku kata pertama dan menambahkan suku kata lain sehingga menjadi kata lain. Enak---- en -------endang. Pola konstruksi bahasa binan dengan mengambil suku kata pertama dan menambahkan suku kata lain sehingga menjadi kata lain juga terlihat dari kalimat yang diucapkan oleh Adam di Pub Gedong Endang. “Namanya juga waria mas, pilihan hidupnya nggak banyak, kalo nggak ngelacur ya ngebencong. Tapi sutra lah ya, namanya juga hidup”. Diksi sutra saat ini sangat populer dengan pola pembentukan sudah---su---sutra. Kalimat Adam ini juga secara jelas dan gamblang memperlihatkan bagaimana proses menjadi waria dan bagaimana memandang identitas (selfidentity) mereka. 2. 3. Fungsi Bahasa Binan Berdasarkan contoh-contoh bahasa Binan yang telah dibahas, dapat dilihat bahwa pemakaian bahasa binan seperti sutra, esong, gadun, gede, enak, operasyong dll sangat berkaitan dengan persoalan identitas gender yang mereka hadapi. Marginalitas seksual mereka sikapi dengan menciptakan bahasa yang liat dan kreatif sehingga tidak hanya akan menjadi bahasa sandi dan bahasa humor tetapi juga bahasa perlawanan terhadap budaya mainstream. Pemakaian bahasa ‘agama’ seringkali juga mereka gunakan tetapi dengan makna yang sama sekali berbeda. Bahasa Binan ini juga bisa dimaknai sebagi ironi karena seringkali istilah-istilah yang mereka pakai memiliki arti yang sangat berbeda. Misalnya, kata sakit diganti menjadi sakinah. Kata sakit sering mereka pakai untuk menjelaskan kondisi mereka yang ‘sakit’ maksudnya yang berbeda dengan yang ‘normal’. Tetapi, istilah ‘sakinah’ yang mereka pilih sebagai padanan kata ‘sakit’ memiliki arti yang berlawanan yaitu, bahagia atau sejahtera. Istilah ‘sakinah’ dipilih untuk menggantikan ‘sakit’ bisa jadi sebagai sindiran atas realitas social yang menimpa mereka. Keberadaan waria selama ini banyak ditentang oleh kalangan agama yang
201
konservatif yang memandang waria sebagai kelompok masyarakat yang ‘sakit’. Sebagai komunitas marginal, bahasa yang dipakai merupakan ekspresi dari persoalan identitas gender yang masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Bahasa binan dalam hal ini tidak hanya mencerminkan identitas gender/seksual mereka yang selalu dipersoalkan tetapi juga menjadi bahasa ekspresi atas hasrat seksual (sexual desire). Hal ini terlihat dalri eksperesi yang dikemukakan oleh Madame X ketika ia merayu Kanjeng Badai di pub Gendong Endang. “Mas, ototnya keras banget sih, uratnya aja kayak batang pohon, apalagi batangnya”. Ekspresi dari sexual desire yang spontan dan gamblang seperti ini seringkali dijumpai dalam keseharian gay/waria terutama kepada laki-laki yang mereka sukai. Don Kulick (via Kuntajara, 2012 : 121) menyatakan bahwa penggunaan kata-kata seperti sutra, esong, gadun, gede, enak, operasyong dalam pemakaian bahasa sehari-hari terlihat bagaimana bahasa mengemban identitas orang tersebut lewat apa yang diucapkan atau disembunyikan. Pakar bahasa yang juga aktivis gay di Indonesia, Dede Oetomo (via Kuntjara, 2012: 119) menyebutkan tiga fungsi bahasa binan: 1) Bahasa untuk bercanda/main-main 2) Bahasa sandi/rahasia yang hanya dimengerti oleh kelompok LGBT 3) Bahasa perlawanan terhadap hegemoni negara dan agama yang menentang kelompok LGBT. 3. Kesimpulan Bahasa binan yang direpresentasikan dalam film Orde Baru dan Pasca Orde Baru menunjukkan perbedaan. Pertama, pada masa Orde Baru, istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa seperti ”Trimse Kamse” banyak dipakai dalam proses kontruksi pembentukan bahasa binan. Sedangkan beberapa film pasca Orde Baru menggunakan bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru, bahasa Tionghoa menjadi bahasa alternatif untuk menyampaikan bahasa sandi/rahasia yang hanya dimengerti oleh kelompok LGBT. Pada masa Pasca Orde Baru bahasa Inggris semakin sering dipakai kalangan LGBT. Satu-satunya persamaan antara film Orde Baru dan Pasca Orde Baru adalah penggunaan akhiran –ong. Misalnya istilah Lewong, Ngetong, Cukong dalam film Betty Bencong Slebor dan gretong, ngesong dalam film Madame X. Dengan demikian, Bahasa binan adalah ekspresi dari sexual desire yang menemukan muara nya dalam komunikasi verbal yang seringkali hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri.
Daftar Pustaka Atmojo, Kemala.1986. Kami Bukan Lelaki. Jakarta. Grafiti Press Benshoff, Harry M, and Sean Griffin. 2006. Queer Images: A History of Gay and Lesbian Film in America. Oxford: Rowman&Littlefield Publishing. Boellstorff, Tom. 2004. Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites. Cultural Anthropology 19 (2): 159-195 _______. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton:Princeton University Press. Kuntjara, Esther. 2012. Gender, Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit Libri-BPK Gunung Mulia. Oetomo, Dede. 1996. Gender and Sexual Orientation in Indonesia. In Fantasizing the Feminine in Indonesia, edited by L. J. Sears. Durham: Duke University Press. __________ 2000. “Masculinity in Indonesia”: Genders, Sexualities, and Identities in a Changing Society”, dalam Framing the Sexual Subject: The Politics of Gender, Sexuality and Power, Richard Parker, Regina Maria Barbosa, dan Peter Anggleton (eds). Berkeley: University of California Press.
202
Green Architecture dalam Novel Dilatasi dan Sketsa Karya Ari Nur Utami: Sebuah Kajian Ecocriticism Usma Nur Dian Rosyidah, Universitas Airlangga
Abstrak Salah satu penanda dinamika kota adalah pembangunan yang seolah tidak henti. Menyadari dampak pembangunan yang terus-menerus tersebut, permasalahan ekologis menjadi salah satu isu penting yang dijawab oleh bidang Arsitektur dengan mengajukan konsep Green Architecture. Pemaknaan atas istilah Green Architecture ini dimunculkan dalam novel Dilatasi dan Sketsa karya Ari Nur Utami. Kedua novel memaparkan kondisi kota Jakarta yang menjadi arena kontestasi para developer untuk berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari bisnis properti dan proyek arsitektur urban tanpa memperhatikan keseimbangan alam. Pertanyaan dalam makalah ini adalah bagaimana konstruksi makna Green Architecture yang terkait dengan arsitektur ruang kota Jakarta dipaparkan dalam Dilatasi dan Sketsa? Menggunakan teori Ecocriticism, analisa atas kedua novel menemukan bahwa perspektif antroposentris masih mendominasi pemaknaan Green Architecture sehingga kontraproduktif dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup para tokoh utama yang berprofesi sebagai arsitek, yaitu Rani dan Katarina, yang mengedepankan perspektif ekosentris dalam karya-karya arsitektur mereka. Kata kunci: Green Architecture; antroposentris; ekosentris
1. Pendahuluan Kota adalah pusat kegiatan masyarakat yang mencakup aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Dinamika kota ditandai dengan pembangunan pusat-pusat ekonomi, sosial, budaya, politik dan lainnya yang terus menggeliat dari waktu ke waktu. Geliat pembangunan ini mengundang banyak penduduk asli maupun pendatang untuk turut ambil bagian dalam proses dinamika kota. Naiknya arus urbanisasi serta tingginya aktivitas dan mobilitas warga kota yang disebut juga sebagai masyarakat urban berimbas pada keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup. Jakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki angka urbanisasi dan mobilisasi (sangat) tinggi. Tingginya aktivitas tersebut berbanding lurus dengan fasilitas dan infrastruktur yang ada di Jakarta. Tuntutan akan kelengkapan fasilitas dan infrastruktur ini tentunya tidak dibangun begitu saja tanpa peran arsitektur. Arsitektur diperlukan untuk mendesain sarana dan akses transportasi, tempat tinggal, pusat hiburan, pusat pendidikan, fasilitas kesehatan, perkantoran, dan lain-lain. Terkait hal ini, arsitektur tentu saja tidak bekerja sendiri. Kolaborasi dengan pemilik modal mutlak diperlukan karena bagaimanapun sebuah rancangan tidak akan terwujud tanpa peran dari pemodal. Saat ini, kota Jakarta sudah berada pada titik kritis secara ekologis karena pembangunan yang terus berlangsung ditengah terbatasnya lahan. Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya pemilik modal yang tidak akan membiarkan lahan kosong di Jakarta ‘terbengkalai’ karena tidak ‘dimanfaatkan’, dalam hal ini didirikan bangunan diatasnya. Untuk mengatasi ketersediaan lahan di Jakarta yang makin sempit, pemerintah kota Jakarta mewacanakan reklamasi laut untuk membuka ‘lahan-lahan’ baru sebagai site pembangunan (Kompas online, 8 Juli 2014). Namun rencana ini mendapat tentangan dari para aktivis lingkungan karena khawatir akan dampak ekologis apabila pembangunan di Jakarta terus dipaksakan dan dilakukan tanpa henti. Permasalahan keterbatasan lahan dan buruknya tata kota Jakarta dijawab oleh dunia arsitektur dengan mengajukan Green Architecture. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak gedung dan pemukiman yang dibangun dengan konsep green architecture ini. Secara literal, banyak orang yang menerjemahkan green architecture sebagai back to nature. Sedangkan
203
sebagian masyarakat lainnya memaknai kata green dengan cara merepresentasikan alam melalui tampilan dari material artifisial. Supaya dikategorikan sebagai green, seringkali hal-hal artifisial yang merepresentasikan alam yang ditampilkan, misalnya dengan menempatkan bunga-bunga plastik di bangunan, memasang wallpaper bercorak nuansa alam, menggunakan bahan bangunan yang menyerupai tekstur kayu ataupun batu, dan lain-lain. Sebagian masyarakat yang lain memaknai green architecture sebagai hubungan mutualisme antara manusia, bangunan, dan alam, misalnya pembuatan resapan atau biopori untuk mengantisipasi kebutuhan bangunan akan air dan daur ulang limbahnya. Sketsa dan Dilatasi adalah novel berlatar belakang dunia arsitektur dan properti karya Ari Nur Utami yang memotret kompleksitas pembangunan di Jakarta. Dengan latarbelakang pendidikan Arsitektur yang disandangnya, penulis dengan gamblang menceritakan dinamika arsitektur urban melalui pertarungan antara pemodal dengan proyek-proyek properti mereka dengan keterbatasan alam kota Jakarta. Ditengah upaya proyek pembangunan kompleks real estate dan superblok yang gencar menyerbu Jakarta, penulis berupaya menguraikan betapa proyek-proyek tersebut, perlahan namun pasti, telah membuat Jakarta seolah menggali kuburnya sendiri karena pemaknaan yang kurang tepat atas konsep green yang diusung, terutama yang terkait dengan keseimbangan lingkungan hidup. 2. Teori Ecocriticism meyakini bahwa kerusakan alam terjadi akibat pandangan manusia yang cenderung antroposentris daripada ekosentris. Untuk itu, Ecocriticism menggunakan cara pandang ekologis dalam melihat relasi antara biner kultural dan natural untuk menggantikan orientasi antropologis, logosentris, teosentris, dan kosmologis (Harsono, 2008). Ecocriticism memunculkan oposisi biner, yakni anthropocentrism dan ecocentrism. Menurut Buell, anthropocentrism merupakan ‘the assumption or view that the interests of humans are of higher priority than those of nonhumans’ (Buell, 2005: 134). Menurut cara pandang ini, kepentingan dan aktivitas manusia harus lebih didahulukan dan diutamakan daripada yang lain. Sebaliknya, ecocentrism berpandangan bahwa ‘the interest of the ecosphere must override that of the interest of individual species’ (137). Dalam perspektif ini, kepentingan lingkungan harus lebih diutamakan daripada kepentingan manusia. Perpektif ekosentris juga menekankan bahwa kepentingan lingkungan dan individu harus berjalan beriringan secara berimbang dan harmonis. Apabila diposisikan sebagai hirarki, cara pandang antroposentris memposisikan manusia di puncak; sebaliknya, perspektif ekosentris menempatkan alam diatas manusia. Aspek Ecocriticism novel Sketsa dan Dilatasi dikaitkan dengan arsitektur urban yang merupakan ranah Ilmu Arsitektur. Arsitektur urban sendiri memiliki beberapa definisi, yakni ‘buildings in an urban setting’ ataupun ‘the overall design of an urban area’ (Cowan dalam Komes 8). Definisi lain diajukan oleh Llewelyn yang menyatakan ‘urban architecture as buildings and open space considered in a totality’ (dalam Davis dalam Komes 8). Definisi terakhir menunjukkan keterkaitan antara arsitektur dengan Ecocriticism, yakni bahwa arsitektur –dalam hal ini sebuah bangunan- tidak bisa berdiri sendiri tanpa konteks disekitarnya. Konteks ini meliputi ekonomi, politik, lingkungan, sosial masyarakat, dan lainnya. Dari aspek linguistik, kosakata ‘hijau’ yang digunakan dalam terminologi green architecture menjadi bermakna jika dihubungkan dengan kesadaran masyarakat urban Jakarta yang multikultural terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dengan keragaman latar belakang budaya, sosial dan ekonomi masyarakatnya, pemaknaan green architecture menjadi dinamis dan kompleks sebagaimana dinyatakan oleh Berlin sebagai berikut: “In the ethnobiological lexicons of all languages, one is immediately struck by the structural uniformity of expressions that linguistically characterize man’s recognition of the basic objective discontinuities of his biological world. These expressions are, for the most part, unique “single words” that can be said to be semantically unitary and linguistically distinct.” (dalam Duranti, 1997: 130) Terkait bahasa, Ecocriticism mempersoalkan penggunaan bahasa sekadar sebagai alat penamaan ataupun representasi (mimesis). Ecocriticism menekankan fungsi bahasa sebagai
204
deixis, yakni aspek kognitif dari mimesis. Melalui deixis, makna terbentuk dari apa yang dikatakan ataupun disepakati terhadap ruang fisik (Howarth dalam Glotfelty dan Fromm, 1996: 80). Dengan deixis, bukan hanya definisi, deskripsi, dan penamaan yang dapat digunakan untuk mendiskusikan relasi antara kultural-natural, namun juga aspek interpretative, simbolis, dan bahkan kaitan antara ruang dengan status-status sosial dan kultural yang ditimbulkannya. 3. Pembahasan A. Green City dalam Konteks Ecocriticism Seiring dengan pesatnya proses pembangunan dan berbagai dampaknya terhadap lingkungan, kajian Ecocriticism menaruh perhatian besar pada aspek sustainability melalui peningkatan alat-alat produksi, distribusi, dan konsumsi yang ‘ramah lingkungan’ dan respek tinggi terhadap non-human. Oleh karenanya, Ecocriticism menawarkan posisi nature atau alam sebagai ‘critical’ concept melalui dua hal, yakni: First, in invoking nature, it challenges the logic of industrialism, which assumes that nothing matters beyond technological progress. Thus, it offers a radical alternative to both ‘right’ and ‘left’ political positions, both of which assume that the means of production must always be developed, no matter what the cost. Second, in insisting that the non-human world matters, it challenges the complacent culturalism which renders other species, as well as flora and fauna, subordinate to human capacity for signification. Thus it queries the validity of treating nature as something which is ‘produced’ by language. (Coupe, 2000: 4) Terkait dengan ‘misi’ sustainability tersebut, sebuah kota dapat dikategorikan sebagai green city apabila semua aspeknya memenuhi prinsip ekosentris dengan mempertimbangkan tiga unsur penting, yakni kesejahteraan ekonomi, kualitas lingkungan, dan kesetaraan ekuitas (Joga,, 2013: 2). Untuk itu, menurut Joga, aspek-aspek yang harus dipenuhi sebagai green city adalah green planning and design, green open space, green transportation, green building, green community, green energy, green waste, dan green water. Menurut perspektif arsitektur urban, dapat dikatakan bahwa Jakarta masih belum dapat dikategorikan sebagai green city. Ini dibuktikan oleh kegelisahan tokoh Katarina dalam novel Sketsa berikut: Jalanan pagi ia susuri dengan rasa enggan. Embun masih menyisa, namun bukan menggelantung diatas daun. Gang konblok itu bahkan tak menyisakan rumput untuk sekadar tumbuh, membuat titik-titik air kiriman dari surga itu kini lebur bersama karat atap rumah yang berhimpitan. Tak lagi dilihat kilaunya. Hidup telah menjadi sedemikian gersang. (Utami, 2011: 1) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Jakarta tidak dibangun dengan perencanaan dan desain yang mendukung kemampuan alamnya. Makin bertambahnya kawasan pemukiman kumuh menjadi salah satu bukti. Rumah-rumah yang sesak dan saling berdesakan dengan gang/ jalan yang sempit diperparah dengan pemakaian material rumah yang tidak ramah lingkungan, yakni seng. Dengan atap yang terbuat dari seng dan sirkulasi sekitarnya yang tidak memadai, bisa dipastikan rumah-rumah tersebut terasa panas, terutama di siang hari. Kurangnya sirkulasi juga memungkinkan rumah-rumah tersebut kurang mendapatkan cahaya. Kondisi ini memicu penggunaan energi listrik yang tidak perlu, misalnya untuk menyalakan kipas angin dan lampu di siang hari. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada kesehatan para penghuninya akibat tercemarnya lingkungan mereka oleh limbah rumah tangga yang mencemari air, tanah, dan udara sekitarnya. Hampir sama dengan Sketsa yang dibuka dengan gambaran kegelisahan Katarina akan kondisi Jakarta yang sumpek, panas, dan gersang, Dilatasi dibuka dengan kondisi jalanan Jakarta yang diuraikan oleh tokoh Rani berikut: Di salah satu ruas jalan yang penuh dengan spot kemacetan, tampak salah satu mobil diantara deretan panjang yang menyemut…. Pemandangan yang sama setiap hari, seperti biasa. Di seberang jalan, deretan toko tak kalah berdesakan. Manusia-manusia hilir mudik di pedestrian. Semua berebut mengambil sedikit posisi atau sekadar mempertahankan
205
hidup. Tak peduli sang surya begitu garang memanggang bumi. Panas. Sesak. Mungkin sebentar lagi Jakarta meledak. (Utami, 2010: 2) Jika kutipan pada Sketsa mengkritisi kondisi fisik ruang kota Jakarta, pada kutipan kedua dari Dilatasi muncul gambaran mental para penghuninya. Setiap individu disibukkan dengan usaha untuk mencari ruang bagi diri masing-masing. Kesibukan tersebut tidak menyisakan waktu, ruang, dan energi yang cukup untuk saling berinteraksi, baik antar individu maupun dengan lingkungan sekitarnya. Akibatnya, rasa toleransi dan peduli terhadap sesama dan lingkungan memudar. Yang ada justru persaingan untuk saling memperebutkan ruang kota yang semakin sempit. Hal ini didukung oleh minimnya upaya menumbuhkan ‘budaya berkota’, yang berarti “… masyarakat bisa tertib mematuhi aturan, peduli terhadap kota, punya toleransi dan rasa kebersamaan, serta menjaga ruang kota sebagai ruang kehidupan bersama; bukan malah menjadikan kota sebagai ruang komoditas, ruang yang bisa diperjualbelikan.” (Nurjaman dkk dalam Intisari No. 605, 168) B. Konstruksi Makna Green Architecture dalam Dilatasi dan Sketsa Kota hijau atau green city akan mampu mewujudkan kenyamanan dan keamanan warganya apabila relasi antar individu dan lingkungannya terjalin secara mutualistik dengan prinsip ekosentris. Namun demikian, hal tersebut akan sulit terwujud akibat paradigma pembangunan berperspektif antroposentris yang menjadikan Jakarta sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Pembangunan yang masif di Jakarta membuat individu ataupun kelompok dengan modal atau kapital besar memiliki lebih banyak kesempatan untuk ‘mengelola’ ruang kota. Atas nama investasi, pemodal asing maupun dalam negeri telah “mentransformasikan negeri dan tanah dari sebuah sumber kehidupan dan milik umum dimana rakyat bisa memperoleh nafkah, menjadi milik pribadi untuk diperjualbelikan dan ditaklukkan.” (Shiva dan Mies, 2005: 120). Bekerja sebagai arsitek pada sebuah biro properti di Jakarta, tokoh Katarina dan Rani menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan. Si satu sisi, mereka harus mampu mendesain sebuah bangunan yang mampu mewadahi keinginan para pemilik modal. Di sisi lain, mereka menyadari bahwa sebuah bangunan harus memenuhi kebutuhan orang-orang yang memanfaatkannya tanpa mengabaikan kondisi lingkungan dimana bangunan tersebut berdiri. Dalam Sketsa, upaya mewujudkan konsep green architecture oleh Katarina sebagai arsitek mengalami hambatan karena idealisme dan prinsip yang berbeda dengan pemilik proyek properti yang dirancangnya. Sedangkan dalam Dilatasi, Rani harus bersusah payah menyamakan persepsi atas konsep green architecture proyek mal yang dibangunnya dengan pemilik modal yang membayarnya. Situasi yang dihadapi oleh Katarina dan Rani tersebut menunjukkan kompleksitas pemaknaan konsep green architecture. Keduanya dikelilingi oleh orang-orang yang berpandangan antroposentris terhadap mimesis alam yang dihadirkan Katarina dan Rani dalam desain mereka. Menurut Bergtthaller (dalam Gersdorf dan Mayer, 2006: 155), mimesis merupakan “a truthful representation of ecological facts. By keeping faith with the natural environment, it is assumed, literary mimesis can bring about a biocentric reorientation of the reader”. Faktanya, pemahaman atas mimesis ternyata problematis. Para pemodal yang memakai jasa Katarina dan Rani seringkali tidak dapat sepenuhnya menangkap ‘referential dimension’ (155) atas representasi alam. Imbasnya, mereka belum mampu memaknai relasi antara individu dengan lingkungan hidup disekitarnya secara ekosentris. Sikap ini tidak lepas dari pengaruh kapitalisme global yang salah satunya muncul dalam berbagai bentuk investasi, dimana “people are becoming increasingly alienated from the biological fundamentals of their existence and live in artificial environments that obscure ecological realities.” (156) Di tengah isu lingkungan hidup yang mengemuka dalam ranah arsitektur, khususnya yang terkait dengan tata kota urban dan green city, konstruksi makna green architecture menjadi problematis karena adanya perbedaan kepentingan pihak-pihak yang terlibat didalamnya. Bahkan para arsitek sendiri pun menerjemahkan konsep green architecture secara berbeda-beda. Dalam Sketsa, hal ini diuraikan oleh Katarina dalam kutipan berikut:
206
Beberapa tahun silam, fenomena global warming mulai gencar disuarakan. Di dunia perancangan, hal itu direspons dengan isu Arsitektur Hijau. Ada yang sekadar latah, dengan memberi embel-embel hasil rancangannya dengan imej Green Architecture. Ada yang mengira hal tersebut semacam gaya back to nature. Tapi ia merasa, pasti bukan hanya itu. Meski awalnya yang terbayang di benak adalah Wisma Dharmala, highrise building dengan tanaman memenuhi balkon, dari lantai bawah sampai atas. Juga bangunan karya Ken Yang, tower dengan void atau lubang disana sini yang terkenal hemat energi. (Utami, 2011: 7) Untuk konsteks megalopolitan Jakarta, makna Green Architecture menjadi kompleks mengingat semakin terbatasnya lanskap kota. Menurut kutipan tersebut, setidaknya ada tiga konstruksi makna Green Architecture. Pertama, imej hijau dilekatkan melalui representasi alam dalam desain dan karya arsitektur. Representasi alam tersebut dimunculkan melalui pemakaian material artifisial, misalnya dengan membuat taman minimalis menggunakan rumput sintesis dan tanaman plastik atau bahkan menciptakan taman buatan dengan ‘pepohonan’ yang terbuat dari bahan semen. Pemaknaan kedua menunjukkan bahwa Arsitektur Hijau sama dengan back to nature. Praktik kembali ke alam diartikan dengan memanfaatkan bahan-bahan alami, misalnya kayu dan bebatuan, sebagai material rumah. Menurut Ecocriticism, kedua pemaknaan ini bersifat antroposentris dan belum memunculkan kesadaran akan kelestarian alam. Keduanya menafikan kehadiran ekosistem dan proses ekologi alamiah serta keberlangsungan lingkungan hidup akibat pemanfaatan sumber daya alam yang sulit atau tidak dapat diperbaharui. Sebagai seorang arsitek, Katarina menyadari bahwa pengabaian terhadap alam dapat dihindari apabila ia mampu mengkompromikan kebutuhan kliennya dengan kondisi alam dimana rancangannya akan dibangun. Untuk itu, ia memilih pemaknaan ketiga, yakni deixis, yang lebih ekosentris. Sebuah bangunan bisa menjadi ekosentris apabila didesain dengan benar sesuai dengan lokasi, iklim dan dibangun menggunakan material yang ramah lingkungan. Selain itu, komposisi sebuah bangunan harus seimbang dengan kebutuhan ruang terbuka sehingga energi alam seperti cahaya dan udara dpat dimanfaatkan secara maksimal untuk meminimalkan konsumsi listrik. Prinsip Katarina akan Arsitektur Hijau bukanlah ‘back to nature’, melainkan “sebuah sikap responsif bangunan terhadap lingkungan, terhadap iklim, terhadap lahan, dan terhadap apa yang ada disekitarnya” (7). Sama halnya dengan Katarina, Rani juga mengkritik pemaknaan mimesis yang cenderung antroposentris seperti dalam kutipan berikut: Indonesia adalah negara tropis. Sangat aneh jika ada rumah model Eropa, model Amerika, atau model ‘luar negeri’ yang lain ada di negara ini tanpa ada transformasi konsep secara matang. Sebagai contoh, tidak ada penyelesaian desain untuk mengatasi perlakuan terhadap sinar matahari. Suhu di dalam rumah menjadi tinggi. Air conditioining menjadi kebutuhan yang terelakkan. Karena rumahnya besar, maka pemakaian ACnya juga sebanding. (Utami, 2010:33) Konstruksi dan cara berpikir mimesis telah menggeser pola dan nilai lokalitas dalam masyarakat. Masyarakat mengabaikan kondisi lingkungan sekitarnya sehingga tidak ada kesatuan utuh antara manusia, bangunan, dan ekosfer sekitarnya. Imitasi desain minimalis bisa dijadikan contoh dalam hal ini. Jika rumah-rumah tradisional Indonesia banyak menggunakan atap limas yang mampu mengurangi intensitas panas matahari, rumah-rumah minimalis banyak dibangun dengan atap datar yang justru menampung banyak sinar matahari sehingga rumah menjadi panas. Pemaknaan secara deixis yang ekosentris menjadi pilihan Rani sebagaimana terlihat dari karya desainnya ini: Perumahan itu menggunakan unsur-unsur lokal dalam desainnya.Modelnya juga lain, tidak eropanan atau amerikanan. Masjidnya diletakkan di tengah, tidak di pinggir. Cukup menyatu dengan penduduk sehingga mudah diakses. Demikian pula fasilitas publik lainnya. (57) Dalam green architecture, lokalitas menjadi aspek penting pemaknaan deixis karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari interaksi harmonis antara bangunan, lingkungan, dan
207
individu. Pemanfaatan material lokal lebih adaptif terhadap kondisi alam, sosial dan budaya dimana suatu bangunan didirikan. Dalam hal ini, penggunaan energi alam, misalnya minyak bumi sebagai sumber bahan bakar yang tidak terbarukan dapat diminimalkan atau dihindarkan. 4. Penutup Tujuan konstruksi pemaknaan deixis mengenai arsitektur hijau yang ramah lingkungan adalah sustainability. Sehubungan dengan isu keberlanjutan ini, arsitektur meresponnya dengan sustainable architecture, yang diterjemahkan sebagai konstruksi deixis yang ekosentris dari konsep green architecture yang dianut oleh tokoh Katarina dan Rani. Menurut kedua arsitek tersebut, sebuah bangunan merupakan satu kesatuan dengan sekitarnya. Ia dinyatakan ramah lingkungan dan memenuhi kaidah green architecture apabila kepentingan lingkungan hidup dipertimbangkan mulai dari tahap perencanaan hingga pengolahan limbah akhirnya. Dengan demikian, interaksi antara bangunan, lingkungan dan individu didalamnya dapat terjalin dengan harmonis.
Daftar Pustaka Berghaller, Hannes. 2006. “Trees are what everyone needs”: The Lorax, Anthropocentrism and the Problem of Mimesis dalam Gersdorf, Catrin and Silvia Mayer (eds.). Nature in Literary and Cultural Studies: Transtlantic Conversation on Ecocriticism. New York: Rodopi, 155-175. Buell, Lawrence. 2005. The Future of Environmental Criticism: Environmental Crisis and Literary Imagination. USA: Blackwell Publishing. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Harsono, Siswo. 2008. Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan. Vol. 32 No. 1, 31-50. Howarth, William. 1996. Some Principles of Ecocriticism dalam Glotfelty, Cheryll and Harold Fromm (eds.). The Ecocriticism Reader. Georgia: The University of Georgia, 69-91. Joga, Nirwono. 2013. Gerakan Kota Hijau. Jakarta: PT. Gramedia. Komes, Esin. 2009. On Urban Architecture: Urban Architectural Strategies in Three Exemplary Cases: A Master Degree Thesis. Unpublished. Nurjaman dalam Intisari No. 605, Desember 2012. Pentingkah Reklamasi untuk Pembangunan Jakarta. http://properti.kompas.com. (8 Juli 2014) Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan.Yogyakarta: IRE Press. Utami, Ari Nur. 2010. Dilatasi. Yogyakarta: Frenari. --------. 2011. Sketsa. Yogyakarta: Frenari.
208
Strategi Pelestarian Bahasa Lokal dalam Masyarakat Urban di Jawa Timur Yani Paryono, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur
Abstrak Pelestarian bahasa lokal dalam masyarakat urban merupakan persoalan yang sangat kompleks dan sulit dilaksanakan. Hal itu, sejalan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, seperti perbedaan pandangan dan kepentingan masyarakat urban dan rural, pemberlakuan pasar bebas, akibat perkembangan teknologi informasi, dan pemberlakuan otonomi daerah. Pelestarian bahasa lokal di Jawa Timur masih terfokus pada dua bahasa lokal besar yakni bahasa Jawa dan bahasa Madura, sedangkan bahasa lokal lainnya belum tersentuh. Bahasa lokal masyarakat urban perlu dilestarikan karena sebagai sarana komunikasi antaranggota masyarakat dan sarana pembentuk kepribadian bangsa. Dalam makalah ini, penulis ingin mencoba memaparkan bagaimanakan pelestarian bahasa lokal dalam masyarakat urban di Jawa Timur? Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah dengan cara memberdayakan semua komponen masyarakat terlibat langsung dalam berbagai kegiatan kreatif dan inovatif pelestarian bahasa lokal masyarakat urban secara sistematis dan terarah. Kata Kunci: bahasa lokal, masyarakat urban dan pelestarian.
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud tahun 2012, Indonesia memiliki sekitar 746 bahasa daerah dari sekitar 6000 bahasa di dunia. Ada pun bahasa daerah yang sudah dipetakan selama 15 tahun baru mencapai 442 jumlahnya. Namun, menurut Unesco, ada sekitar 140 bahasa daerah di Indonesia terancam kepunahan. Oleh karena itu, pelestarian bahasa daerah perlu dilaksanakan dengan berbagai strategi untuk menyelamatkan bahasa lokal tersebut. Hal itu sangat penting karena bahasa daerah memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat strategis untuk pemahaman kebinekkatunggalikaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Sesuai dengan keputusan politis hasil Seminar Politik Nasional Indonesia, bahasa lokal/daerah berfungsi sebagai (a) lambang kebanggaan daerah, (b) lambang identitas daerah, (c) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (d) sarana pendukung kebudayaan daerah, dan (d) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia (Alwi dan Sugono, 2011:40) Pelestarian bahasa lokal dalam masyarakat urban merupakan persoalan yang sangat kompleks dan tidak mudah dilaksanakan. Hal itu, disebabkan oleh perkembangan dan tuntutan masyarakat yang selalu berubah akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, seperti perbedaan pandangan dan kepentingan masyarakat urban dan rural, pemberlakuan pasar bebas, akibat perkembangan teknologi informasi, dan pemberlakuan otonomi daerah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak langsung kondisi semacam itu akan berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berkomunikasi dengan sesama. Dalam masyarakat urban di Jawa Timur, penggunaan bahasa lokal atau daerah mulai diabaikan untuk berkomunikasi dengan sesama. Masyarakat urban di Jawa Timur lebih suka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dalam berkomunikasi antarsesama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang komunikatif dan efektif untuk menyampaikan pesan yang disampaikan oleh penutur sehingga pesan dapat diterima pihak lain dengan baik tanpa ada perbedaan persepsi. Bahkan, masyarakat urban akan merasa nyaman bila menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.
209
Akibatnya, bahasa lokal atau daerah di Jawa Timur lambat laun akan terpinggirkan. Sejalan dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada masyarakat Jawa Timur dan perkembangan waktu, bahasa daerah mengalami berbagai hambatan yang terus-menerus untuk tumbuh dan berkembang. 1.2 Rumusan Masalah Berkenaan dengan masalah tersebut, penulis ingin memaparkan bagaimanakah strategi pelestarian bahasa lokal pada masyarakat urban di Jawa Timur? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan strategi pelestarian bahasa lokal pada masyarakat urban di Jawa Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Secara praktis, tulisan ini dapat bermanfaat bagi pemegang kebijakan pada instansi pemerintah pusat dan daerah 1) untuk memberikan pemahaman dan pengertian yang mendasar tentang strategi pelestarian bahasa lokal pada masyarakat urban di daerahnya, 2) memberikan masukan kepada pemerintah dalam melestarikan bahasa lokal pada masyarakat urban di Indonesia. dan 3) dapat menumbuhkembangkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa daerah. 2. Landasan Teori 2.1 Bahasa Daerah Yang dimaksud bahasa lokal dalam makalah ini adalah bahasa daerah. Pengertian bahasa daerah sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaaan pada Pasal 1 nomor 6 disebutkan bahwa ”Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pengertian itu sejalan dengan rumusan Politik Bahasa yang menyatakan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat, di samping bahasa Indonesia dan yang dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia ( Alwi dan Sugono, 2011:4). Bahasa daerah yang terdapat di Indonesia berjumlah sekitar 746 bahasa, sedangkan di Jawa Timur berjumlah 6 bahasa daerah yakni, bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Osing, bahasa Bugis, bahasa Bajoe, dan bahasa Bali. Namun, bahasa daerah yang dipakai sebagian besar masyarakat Jawa Timur adalah bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan berbagai variasinya (Komariyah dkk., 2008: 35). Di masyarakat, bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Bali, Madura, Bugis, Makassar, dan Batak memiliki kedudukan yang sangat strategis karena berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (4) sarana pendukung kebudayaan daerah, dan (5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Berkaitan dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa Indonesia, (2) pengantar pendidikan pada tingkat permulaan sekolah dasar, dan (3) sumber kebahasaaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dalam keadaan tertentu, bahasa daerah dapat juga berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelengaraan pemerintah pada tingkat daerah (Alwi dan Sugono, 2011:6). Hal itu juga sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) yang menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Dengan demikian secara secara tidak langsung keberadaan bahasa daerah diakui sebagai bahasa yang dapat mendukung bahasa Indonesia. 2.2 Masyarakat Urban Berbicara masyarakat urban kita takdapat lepas dari permasalahan kehidupan sekelompok manusia yang berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat urban sering dianalogikan
210
dengan orang yang mencari kehidupan yang lebih baik dari suatu tempat ke tempat yang dianggap lebih baik. Masyarakat urban secara leksikal berasal dari kata ‘masyarakat’ dan ‘urban’. Kata ‘masyarakat’ secara leksikal bermakna 1) sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dengan ikatan aturan tertentu; 2 segolongan orang-orang yg mempunyai aturan tertentu. (KBBI, 2005:1012) Adapun kata ‘urban’ memiliki makna berkenaan dengan kota, bersifat kekotaan; 2) orang yang berpindah dari desa ke kota (KBBI, 2005:1252). Dengan demikian secara leksikal, masyarakat urban merupakan sekelompok manusia yang hidup di perkotaan dengan aturan dan budaya tertentu. Masyarakat urban merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya. Kelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut dapat membentuk sebuah kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini dapat diartikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang mimiliki sifat berkesinambungan dan terikat oleh rasa identitas bersama (Kuncaraningrat, 2005:122) Secara umum, masyarakat urban di perkotaan biasanya berasal dari berbagai suku bangsa, golongan, kelompok, bahkan yang berasal dari antarbangsa yang berkumpul dalam satu kota utama(metropolitan). Oleh karena itu, penduduk kota memiliki budaya yang beragam bergantung pada tempat asal penduduk tersebut. Menurut (Setyowati dkk., 2010:94) masyarakat urban merupakan masyarakat yang memiliki ambisi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat perkotaan kurang bersosialisasi dan berinteraksi dengan kelompoknya karena kesibukanmasing-masing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu masyarakat kota berbeda dengan masyarakat pedesaan dalam menjalani kehidupan. Menurut Haryawantiyoko dan Neltje ( 1977) masyarakat kota memiliki ciri-ciri kehidupan social sebagai berikut. a) Kehidupan keagamaan yang terjadi pada masyarakat kota cenderung berkurang, hal ini karena masyarakat kota lebih mementingan kehidupan duniawinya. b) Masyarakat kota pada umumnya mandiri tanpa bergantung dengan orang lain atau bersifat individualisme. c) Masyarakat kota membagi pekerjaan dengan lebih tegas, pekerjaan dan aktivitas warga warga kota mempengaruhi ruang lingkup pergaulan mereka. d) Kemungkinana untuk mendapat kan pekerjaan lebih besar dibanding dengan masyarakat desa. e) Masyarakat kota berpikiran rasional sehingga menyebabkan interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi. f) Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota yang mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi masyarakat kota. g) Perubahan sosial terlihat jelas di kota, hal ini karena kota terbuka menerima perngaruh dari luar. Oleh karena itu di kota banyak ditemui kebudayaan yang beraneka ragam. 3. Pembahasan 3.1. Strategi Pelestarian Bahasa Lokal pada Masyarakat Urban di Jawa Timur Pelestarian bahasa lokal pada masyarakat urban tentunya berbeda dengan pelestarian bahasa lokal pada masyarakat pedesaan. Hal itu, disebabkan oleh perbedaan karakter manusia yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan. Karakter manusia perkotaan cenderung heterogen dan karakter manusia di pedesaan cenderung homogen. Oleh karena itu, perlu strategi yang tepat untuk melestarikan bahasa lokal pada masyarakat urban. Dalam frasa ‘pelestarian bahasa lokal’ terkandung makna pembinaan, pengembangan, dan pelindungan terhadap bahasa lokal. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2009 Pasal 41 ayat (3) tentang penjelasan pengaturan pembinaan, pengembangan, dan pelindungan. Yang dimaksud “pengembangan bahasa” adalah upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi bahasa daerah sebagai identitas kedaerahan. Yang dimaksud ‘pembinaan bahasa’ adalah upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di
211
semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa daerah. Adapun yang dimaksud “pelindungan bahasa” adalah upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya. Pelestarian bahasa lokal masyarakat urban menjadi tanggung jawab pemerintah daerahdan masyarakat. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lembaga Negara serta lagu Kebangsaan, pada Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia”. Secara umum pelestarian bahasa lokal masyarakat urban di Jawa Timur melalui kegiatan pembinaan dan pengembangan bahasa lokal. Dalam kegiatan pembinaan dilakukan kegiatan pengajaran dan pemasyarakatan bahasa daerah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu penguasaan dan pemakaian bahasa daerah yang dipelihara oleh masyarakat penuturnya. Adapun pengembangan meliputi penelitian, pembakuan dan pemeliharaan (Alwi dan Sugono, 2011: 9—15) 1) Pengajaran Bahasa Lokal Peningkatan mutu pengajaran bahasa daerah itu dilakukan melalui kegiatan berikut. a) Pengembangan kurikulum bahasa daerah dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah. b) Pengembangan bahasa ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan perkem- bangan metodologi pengajaran bahasa. c) Pengembangan tenaga kependidikan kebahasaan yang professional. d) Pengembangan sarana pendidikan bahasa yang memadai. e) Penyediaan program pendidikan bahasa daerah di jenjang pendidikan tinggi setempat. f) Pengguna bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas permulaan pada jenjang pendidikan dasar 2) Pemasyarakatan Bahasa Lokal Pemasyarakatan bahasa daerah ditujukan pada upaya peningkatan sikap positif terhadap bahasa daerah dan penciptaan situasi yang kondusif dalam penggunaan bahasa daerah dengan mengacu nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Untuk itu pemasyarakatan bahasa daerah di Jawa Timur dilakukan melalui kegiatan. a) Penerbitan Majalah Titi Basa dan Majalah Panji ( berbahasa Jawa dan Aksara Jawa), Joko Tole (Berbahasa Madura), dan Lontar Using ( berbahasa Using), b) Mengikutsertakan para tokoh masyarakat dan budayawan dalam kegiatan pemasyarakat bahasa daerah dalam situasi tertentu. c) Peningkatan peran serta masyarakat (seniman tradisional) dalam memberikan informasi tentang penggunaan bahasa daerah. Pengembangan bahasa daerah di Jawa Timur dilakukan dengan kegiatan penelitian, pembakuan dan pemeliharaan. 1) Penelitian Bahasa Daerah a) Penelitian bahasa daerah di Jawa Timur dilakukan untuk kepentingan perekaman (inventarisasi) bahasa-bahasa daerah di Jawa Timur seperti bahasa Jawa Dialek Surabaya, Bahasa Jawa Pendhalungan, Struktur Bahasa Jawa di Jawa Timur dll. b) Penelitian berbagai aspek bahasa daerah di Jawa Timur dalam upaya meningkatkan mutu bahasa daerah yang dipelihara penuturnya. 2) Pembakuan Bahasa Daerah Pembakuan bahasa daerah yang dilakukan di Jawa Timuar antara lain, a) Penyusunan Ejaan Bahasa Madura
212
b) Penyusunan Kamus Bahasa Madura-Indonesia c) Penyusunan Tata Bahasa Baku Bahasa Madura 3) Pemeliharaan a) Pemeliharaan bahasa daearah di Jawa Timur terutama dilakukan pada bahasa daerah yang dipelihara oleh penuturnya. b) Pendokumentasian bahasa daerah di Jawa Timur yang terancam punah. Pelestarian bahasa lokal masyarakat urban juga sejalan dengan hasil Kongres Bahasa Jawa Ke-5 tanggal 27-30 November 2011 di Surabaya antara lain berupa kebijakan tentang 1) Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang pembinaan dan pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa; 2) Penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang penyusunan Rencana Strategis (Renstra) tentang pengembangan dan pembinaan bahasa, sastra, dan budaya Jawa; 3) Penyusunan Rencana Strategis (Renstra)tentang pembinaan dan pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa; 4) Pembentukan dewan bahasa Jawa di tingkat provinsi, kabupaten dan kota oleh pemerintah daerah terkait. Adapun pola pelakasanaan kebijakan tersebut melalui 1) Jalur formal: pendidikan usia dini (PAUD dan TK), pendidikan dasar (SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB), dan pendidikan menengah (SMA/MA /SMALB dan SMK ); 2) Jalur nonformal melalui: sanggar, paguyuban, padepokan, lembaga pendidikan keagamaan, keraton, dan kantong-kantong budaya Jawa; dan 3) Jalur informal dalam keluarga. Program pelestarian bahasa daerah bagi masayarakat urban dapat berupa 1) Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada kelas rendah sekolah dasar (PAUD, TK, SD); 2) Gerakan membaca dan menulis berbahasa daerah; 3). Gerakan cinta bahasa daerah melalui penggunaan bahasa pada papan nama, iklan, media pembelajaran; 4) Gerakan sehari dalam satu minggu wajib berbahasa daerah pada instansi pemerintah; 5) Peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian dan pendokumentasian tradisi Jawa (lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan); 6) penganugerahan penghargaan kepada pembina, pengembang, dan pekerja bahasa dan sastra daerah atas prestasi dan jasanya; 7) Peningkatan keprofesionalan guru-guru bahasa daerah; dan 8) Pe kerja, pembina, dan pengembang bahasa dan sastra daerah masuk sekolah Pengembangan bahasa daerah di Jawa Timur dilakukan dengan 1) Penyelarasan Kurikulum mata pelajaran bahasa Jawa dengan semua perangkat pembelajaran bahasa Jawa; 2) Penyusunan buku acuan bahasa Jawa: kamus, thesaurus, tata bahasa, dan ejaan; 3) Pengalihaksaraan dan penerjemahan naskah-naskah Jawa klasik: 4) Penerjemahan dan penggubahan karya sastra bahasa asing, Indonesia, dan bahasa nusantara yang lain ke dalam bahasa Jawa; 5) Penerbitan buku dan majalah berbahasa Jawa dan berhuruf Jawa untuk generasi muda Jawa; dan 6) Penggalian nilai luhur dan kearifan lokal Jawa sebagai sumbangan untuk pembangunan bangsa. 4. Penutup 4.1 Simpulan Upaya pelestarian bahasa lokal pada masyarakat urban takubahnya seperti peletarian bahasa lokal pada masyarakat pada umumnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat ditempuh pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah pada masyarakat urban adalah dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang memberi tanggung jawab kepada semua komponen bangsa terlibat untuk ikut bertanggung jawab dalam pelestarian bahasa daerah aktif dan kratif. 4.2 Saran Berkenaan dengan makalah ini, penulis dapat menyampaikan saran sebagai berikut 1) pemerintah daearh perlu membuat kebijakan-kebijakan yang strategis dalam pelestarian bahasa daerah; dan 2) lembaga bahasa seyogyanya dapat membuat program pembinaan kreatif, inovatif dan menarik bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat urban dalam pelestarian bahasa dan sastra daerah.
213
Daftara Pustaka Alwi, Hasan dan Dendy Sugono.2011. Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemedikbud. Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk. 1997. MKDU Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4. 2008. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Keputusan Kongres Bahasa Jawa Tahun 2011. Diakses dari Ajisaka.com.(7 Juli 2014). Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Rineka Cipta. Komariyah, Siti dkk. 2008. Pemetaan Bahasa Jawa. Surabaya: Balai Bahasa Jawa Timur. Setijowati, Adi dkk. 2010. Sastra dan Budaya Urban dalam Kajian Lintas Media. Surabaya: Airlangga University Press. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
214
Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia (Menemukan Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Rural dan Urban) Nuryani, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak Sikap bahasa yang ditunjukkan oleh masyarakat urban ikut menentukan proses pengajaran bahasa Indonesia di sekolah yang mayoritas penduduknya masyarakat urban. Sikap positif terhadap bahasa akan berdampak pada hasil yang lebih positif dalam pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, sikap negatif terhadap bahasa yang dipelajari akan berdampak negatif dalam pembelajaran. Hal tersebut akan dilihat dalam penelitian ini, yang memiliki tujuan untuk mendeskripsikan sikap bahasa masyarakat urban terhadap pembelajaran bahasa Indonesia dan mendeksripsikan tipe pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah rural dan urban. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode lapangan dengan melihat langsung proses pembelajaran dan menyebarkan angket kepada siswa yang merupakan masyarakt urban yang tinggal di daerah Tangerang Selatan. Teori yang digunakan adalah tiga ciri sikap bahasa yang disampaikan oleh Gavin dan Mathiot serta tipe pembelajaran bahasa yang disampaikan oleh Jendra. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah mayoritas masyarakat urban yang tinggal di daerah Tangerang Selatan memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Masyarakat beranggapan bahwa bahasa Indonesia hanya digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari dan dipelajari hanya untuk kepentingan pelajaran. Sementara itu, berdasarkan sikap bahasa yang ditemukan kemudian dicari tipe pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah rural. Hasilnya adalah terdapat tipe pembelajaran bahasa, yakni tipe integratif dan tipe instrumen. Kata kunci: masyarakat urban, sikap bahasa, tipe pembelajaran Bahasa Indonesia
1. Pendahuluan Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa nasional yang digunakan oleh seluruh masyarakat di Indonesia dari segala kalangan. Terkait dengan kedudukannya, bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang penting dalam perjalanan keberadaan bangsa Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa Negara dan bahasa Nasional. Kedudukannya sebagai bahasa Nasional mulai diakui sejak adanya peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dengan salah satu bunyinya “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Sejak berlangsungnya peristiwa tersebut bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional bagi masyarakat Indonesia. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara mulai diakui semenjak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan dicantumkan dalam UUD 1945, Bab XV, pasal 36. Dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia mengemban empat (4) fungsi), yakni sebagai bahasa pengantar resmi acara kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga pendidikan, bahasa resmi dalam kegiatan perhubungan tingkat nasional, dan bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan iptek. Melihat kedudukan dan fungsinya yang demikian, sudah selayaknya masyarakat ikut menjaga keberadaan dan keberlangsungan bahasa Indonesia. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam upaya ikut menjaga keberadaan bahasa Indonesia. Salah satu yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menjaga sikap postif terhadap bahasa Indonesia. Bukan sebaliknya, terkadang masyarakat tidak sadar jika dalam keseharian mereka menggunakan bahasa Indonesia secara tidak sadar justru menumbuhkan sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Akan tetapi, menjaga sikap positif terhadap bahasa Indonesia tidak hanya dilakukan dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia, tetapi lebih dari itu.
215
Terlebih lagi bagi remaja yang statusnya sebagai pelajar atau siswa. Bagi siswa, memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu hal yang wajib. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk menjaga keberadaan bahasa Indonesia tetapi juga untuk kepentingan mereka sendiri. Artinya, dalam mempelajari bahasa Indonesia tidak sekadar untuk memenuhi tuntutan sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi juga memahami secara penuh arati dan segala hal yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Sikap positif terhadap sebuah bahasa tidak hanya berhenti pada pengakuan semata ataupun penggunaan dalam keseharian saja. Hal tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang masih mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bagian dari kehidupan mereka. Demikian juga dengan masyarakat urban dan rural yang merupakan masyarakat urbanisasi. Masyarakat urban dan rural pada dasarnya adalah masyarakat pendatang dari berbagai daerah yang kemudian bertemu dan berinteraksi dalam satu wilayah. Untuk kepentingan berinteraksi, masyarakat urban dan rural sudah tentu memanfaatkan bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan mendasar bahwa apakah menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka mencerminkan sikap positif mereka terhadap bahasa Indonesia? Selain itu, masyarakat urban dan rural biasanya tinggal di suatu wilayah dan sekolah di wilayah yang juga banyak ditemukan masyarakat urban. Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan pertama akan memunculkan pertanyaan kedua yakni tipe seperti apakah yang ditemukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah wilayah urban dan rural. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Hal tersebut yang kemudian memunculkan judul untuk tulisan ini, yakni “Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia (Menemukan Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Urban dan Rural). 2. Landasan Teori Terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai landasan dalam melakukan analisis data dalam penelitian ini, yakni teori sikap bahasa yang disampaikan oleh Gavin dan Mathiot. Teori tersebut digunakan sebagai landasan untuk pembuatan angket guna menjaring data tentang sikap bahasa masyarakat. Teori selanjutnya adalah teori tentang tipe pembelajaran yang meliputi tipe integratif dan instrumen. a. Teori Sikap Bahasa Sikap bahasa dapat mengarah pada sikap positif maupun negatif, meskipun pada sebagian orang dapat saja mengatakan bahwa mereka memiliki sikap netral terhadap sebuah bahasa(Jendra: 2010; 106). Untuk dapat melihat sikap positif maupun negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia dapat dilihat dengan mengacu pada tiga ciri sikap bahasa yang disampaikan oleh Gavin dan Mathiot. Gavin dan Mathiot menyampaikan tiga ciri sikap bahasa yakni setia tehadap bahasa, memiliki kebanggaan terhadap bahasa, dan memiliki kesadaran akan norma-norma bahasa. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia adalah memiliki sikap setia dalam menggunakan bahasa Indonesia, memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, serta memiliki kesadaran akan norma-norma atau kaidah yang ada dalam bahasa Indonesia (Prakoso dalam SylvanPrakosoBlog). Demikian juga sebaliknya, sikap negatif terhadap bahasa Indonesia adalah sikap masayarakat yang tidak memiliki ketiga ciri tersebut. Dapat diartikan bahwa masyarakat tidak memiliki rasa setia terhadap bahasa Indonesia, tidak memiliki kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, serta tida memiliki kesadaran akan norma-norma atau kaidah yang ada dalam bahasa Indonesia. Sikap setia dalam berbahasa Indonesia adalah suatu sikap postif untuk tetap berpegang teguh dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam segala kesempatan dan situasi. Adapun sikap bangga terhadap bahasa Indonesia adalah sikap positif dengan merasa bangga akan adanya bahasa Indonesia serta lebih mengutamakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain. Sementara itu, kesadaran akan norma-norma atau kaidah yang ada dalam bahasa Indonesia adalah masyarakat memiliki kesadaran untuk menggunakan dan mempelajari aturan atau kaidah yang ada dalam bahasa Indonesia.
216
b. Teori Tipe Pembelajaran Bahasa Jendra (2010: 111) menyebutkan dua tipe pembelajaran bahasa yang terkait dengan sikap bahasa, yaitu tipe integratif dan tipe instrumen. Yang dimaksud dengan tipe integratif adalah pembelajar bahasa tidak hanya belajar bahasa sebagai sebuah kewajiban, melainkan juga untuk tahu, paham, dan juga untuk beradaptasi dengan budaya bahasa tersebut. Tipe pembelajaran bahasa ini muncul terkait dengan adanya sikap positif yang dimiliki oleh si pembelajar terhadap bahasa yang dipelajari. Dengan adanya tipe ini, pembelajar akan lebih berhasil dalam mempelajari bahasa target. Sementara itu, tipe instrumen adalah pembelajar bahasa hanya belajar bahasa sebagai kewajiban, tetapi tidak menjadi bagian dari kehidupan dan pemahaman keseharian. Tipe ini muncul sebagai imbas adanya sikap negatif si pembelajar terhadap bahasa yang bersangkutan. Dengan tipe pembelajaran yang seperti ini, pembelajar bahasa hanya cenderung mempelajari sebagai sebuah kewajiban bukan untuk pemahaman yang kemudian diterapkan dalam keseharian. 3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai April 2014. Penelitian dilakukan di wilayah Tangerang Selatan, yang meliputi Kecamatan Ciputat dan Pamulang. Hal tersebut dilakukan berdasarkan penelitian awal bahwa wilayah tersebut banyak didiami oleh masyarakat urban. Adapun masyarakat urban yang mendiami wilayah tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yakni Jawa, Minang, dan Sunda. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode angket, wawancara, dan observasi. Metode angket digunakan untuk menjaring data dari responden terkait dengan sikap bahasa masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data secara lebih mendalam dengan berpedoman pada jawaban angket yang diberikan. Sementara itu, metode observasi digunakan untuk menjaring data terkait dengan tipe pembelajaran bahasa yang ditemukan berdasarkan pada hasil angket yang didapatkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini memberikan kesempatan pada peneliti untuk melakukan penelitian dan analisis secara mendalam berdasarkan data-data yang didapatkan. 4. Pembahasan a. Sikap Bahasa Masyarakat Urban terhadap Bahasa Indonesia Terdapat 10 pernyataan yang disajikan dalam angket dan kemudian dianalisis dan dilakukan triangulasi data dengan wawancara. Berdasarkan angket tersebut didapatkan hasil yang diuraikan sebagai berikut. Pernyataan 1. Selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di rumah. Pernyataan satu ini terkait dengan rasa setia yang dimiliki oleh masyarakat dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Berdasarkan angket yang telah disebar didapatkan 86% masyarakat setia menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Sementara itu, 14% responden masih bercampur menggunakan bahasa daerah masing-masing ketika berkomunikasi. Penggunaan bahasa daerah dilakukan pada saat mereka berkomunikasi dengan rekan sesame daerah asal, dan itu hanya pada waktu dan kondisi tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat masih memiliki kesetiaan terhadap bahasa Indonesia terbukti dengan masih setia menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Meskipun demikian, penggunaan bahasa Indonesia dilakukan untuk sekadar untuk kepentingan supaya dapat saling memahami satu dengan lain. Pernyataan 2. Berusaha memperbaiki penggunaan bahasa Indonesia dengan terus mempelajari kaidah bahasa Indonesia.
217
Pernyataan dalam angket ini disusun kaitannya untuk mengetahui adanya kesadaran norma-norma bahasa Indonesia. Berdasarkan angket yang ada 70% masyarakat tidak memiliki usaha untuk memperbaiki maupun mempelajari kaidah yang ada dalam bahasa Indonesia. Kadiah di sini tidak hanya terkait dengan kaidah ejaan atau tata tulis melainkan juga normanorma bahasa terkait dengan perilaku dan sikap. Masyarakat hanya menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan yang mereka ketahui dan biasa dilakukan, sementara untuk kaidah dan norma cenderung diabaikan. Hanya terdapat 30% masyarakat yang menyadari adanya norma dan kaidah dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kesadaran tersebut hanya sebatas pada kesadaran lisan. Menurut penuturan masyarakat, mereka tahu bahwa ada norma-norma dalam bahasa Indonesia tetapi tidak berusaha untuk mempelajari maupun menggunakan norma-norma tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat sikap negatif terhadap bahasa Indonesia karena masyarakat tidak memilki rasa kesadaran akan adanya norma-norma dalam bahasa Indonesia. Pernyataan 3. Menguasai bahasa Indonesia dengan segala aturan-aturannya. Pernyataan ini juga terkait dengan kesadaran terhadap norma-norma bahasa Indonesia. Berdasarkan angket yang ddisebarkan didapatkan hasil 95% masyarakat tidak menguasai bahasa Indonesia dengan segal aturan-aturannya. Hanya terdapat 5% masyarakat yang menguasai bahasa Indonesia dengan aturannya. Dari 5% itupun tidak sepenuhnya menguasai aturan berbahasa Indonesia, terutama dari ragam tulisan. Masyarakat hanya menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan yang mereka gunakana dalam keseharian, baik dalam ragam lisan maupun ragam tulisan. Pernyataan ini juga terkait dengan pernyataan 2, yang dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak menguasai aturan berbahasa Indonesia tetapi juga tidak berusaha untuk mempelajari atau memperbaiki pengetahuan dalam bidang norma-norma bahasa Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat sikap negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Pernyataan 4. Merasakan bahwa bahasa Indonesia dapat mewujudkan identitas pribadi (disarikan dari Holmes: 1992; 346). Pernyataan dalam angket ini terkait dengan ciri kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Dengan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, masyarakat merasakan bahwa bahasa Indonesia merupakan perwujudan dari identitas pribadi. Berdasarkan angket didapatkan hasil 56% masyarakat merasakan bahwa bahasa Indonesia dapat mewujudkan identitas pribadi dan 44% masyarakat tidak merasakan hal tersebut. Menurut 44% responden, mereka menggunakan bahasa Indonesia hanya sekadar untuk kepentingan komunikasi sehingga tidak terdapat hubungan antara identitas pribadi dengan bahasa yang digunakan. Dengan pendapat yang demikian masyarakat tidak mementingkan segala hal yang terkait dengan bahasa Indonesia kecuali hanya untuk kepentingan komunikasi. Pernyataan 5. Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik berarti menjaga identitas diri dan bangsa dengan baik. Pernyataan 5 ini terkait juga dengan pernyataan sebelumnya. Berdasarkan data yang didapatakan terdapat 54% masyarakat yang merasa tidak ada keterkaitan antara bahasa Indonesia yang digunakan dengan identitas diri maupun identitas bangsa. Sementara itu, 46% masyarakat yang lain merasa bahasa Indonesia memang harus dijaga karena itu terkait dengan keberlangsungan bahasa Indonesia di negeri ini. Akan tetapi, meskipun mereka merasakan pentingnya menjaga bahasa Indonesia tetapi tidak dibarengi usaha untuk mengembangkan kemampuan dalam berbahasa Indonesia yang lebih baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat sikap negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Hal tersebut diindikasikan dari persentase responden yang merasa tidak ada keterkaitan antara bahasa Indonesia yang
218
digunakan dengan identitas diri maupun identitas bangsa. Meskipun demikian, masih terdapat masyarakat yang merasa perlu untuk menjaga bahasa Indonesia. Pernyataan 6. Masa depan bahasa Indonesia bergantung pada penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat. Terkait dengan pernyataan di atas, 78% masyarakat menyatakan persetujuannya dan 22% masyarakat menyatakan ketidaksetujuannya. Masyarakat yang setuju memberikan alasan bahwa siapa lagi yang akan menjaga masa depan bahasa Indonesia jika bukan masyarakat pengguna bahasa Indonesia itu sendiri. Sementara itu, masyarakat yang tidak setuju memberikan alasan bahwa masa depan bahasa Indonesia tidak ditentukan oleh penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat melainkan pada manfaat atau fungsi bahasa Indonesia itu sendiri. Menurut mereka, selama bahasa Indonesia masih bermanfaat atau berfungsi dalam kehidupan sehari-hari baik secara ekonomi maupun politik, maka bahasa Indonesia akan tetap ada. Akan tetapi, apabila secara ekonomi maupun politik dirasakan sudah tidak bermanfaat maka masa depan bahasa Indonesia akan berakhir. Pernyataan 7. Bahasa Indonesia wajib dilestarikan demi keberlangsungan bangsa Indonesia. Dalam pernyataan di atas, terdapat 90% masyarakat yang setuju dan hanya 10% masyarakat yang tidak setuju. Bagi masyarakat yang menyatakan setuju beralasan bahwa bahasa Indonesia sudah ada sejak bangsa Indonesia merdeka sehingga bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, terkait dengan pernyataan ini muncul sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan adanya persetujuan bahwa bahasa Indonesia wajib dilestarikan demi keberlangsungan bangsa Indonesia. Pernyataan 8. Bahasa Indonesia dipelajari karena menjadi mata pelajaran wajib dan diujikan. Bahasa Indonesia memang menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa sejak dari tingkat paling dasar sampai tingkat paling atas. Hal tersebut memunculkan banyak anggapan terkait dengan pelajaran bahasa Indonesia itu sendiri. Salah satuny adalah pernyataan yang disampaikan dalam pernyataan 8 di atas. Terkait dengan pernyataan tersebut 85% siswa mengatakan setuju dan hanya 15% siswa yang menyatakan tidak setuju. Persentase tersebut mengindikasikan bahwa selama ini siswa mempelajari bahasa Indonesia bukan untuk meningkarkan pengetahuan, kemampuan, dan pemahaman terhadap bahasa Indonesia, melainkan hanya sekadar memenuhi tuntutan atau kewajiban saja. Pernyataan 9. Pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menarik untuk dipelajari. Pernyataan 9 memiliki keterkaitan dengan pernyataan 8. Karena siswa mempelajari bahasa Indonesia hanya sekadar memenuhi tuntutan maka 88% di antara mereka merasa bahawa pelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak menarik untuk dipelajari. Hal tersebut ditambah lagi tidak adanya kreasi, metode, maupun media yang menarik dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Sementara itu, 12% merasa pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah menarik. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku untuk semua materi melainkan hanya untuk materi-materi tertentu saja, dan menurut mereka hanya sebagian kecil materi yang menarik untuk dipelajari. Pernyataan 10. Lebih antusias dalam mata pelajaran bahasa asing daripada mata pelajaran bahasa Indonesia. Berdasarkan angket didapatkan data 78% siswa menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut sementara 22% siswa menyatakan tidak setuju. Bagi siswa yang menyatakan setuju menyampaikan alasan bahwa mata pelajaran bahasa asing (dalam hal ini adalah bahasa Inggris) merasa lebih diperlukan dan dirasakan sulit sehingga mereka lebih antusias dalam mengikuti mata pelajaran tersebut. Sementara itu, bagi 22% siswa yang menyatakan tidak setuju karena
219
merasa bahasa asing tersebut dirasakan sangat sulit sehingga mereka tidak terlalu antusias dalam mengikuti mata pelajaran tersebut. b. Tipe Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Wilayah Urban Berdasarkan hasil yang didapatkan dari analisis terhadap angket sikap bahasa, kemudian penelitian dilanjutkan dengan melihat proses pembelajaran bahasa Indonesia. Dari penelitian yang telah dilakukan, dua tipe pembelajaran bahasa seperti disampaikan oleh Jendra ditemukan dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia. Akan tetapi, kecenderungan di antara keduanya berbeda kemunculannnya. Dua tipe yang ditemukan adalah tipe integratif dan tipe instrumen. Tipe integratif muncul sebagai imbas dari sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Akan tetapi, dalam penelitian ini ditemukan sikap positif masyarakat tidak terlalu dominan maka dalam proses pembelajaran bahasa pun terjadi hal yang demikian. Dalam tipe inetgratif, pembelajar bahasa tidak hanya mempelajari bahasa sebagai suatu kewajiban melainkan juga untuk memahami dan beradaptasi dengan budaya bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, karena masyarakat (yang dalam hal ini adalah siswa) merasa bahasa Indonesia telah menjadi bagian dari keseharian mereka maka pembelajaran bahasa Indonesia tidak lagi untuk memahami dan beradaptasi dengan budaya bahasa Indonesia. Siswa merasa telah mengetahui budaya bahasa Indonesia tanpa harus mempelajarinya lebih mendalam. Hal yang berbeda ditemukan pada proses pembelajaran bahasa asing. Siswa terlihat lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajarannya. Hal tersebut dilakukan siswa karena merasa bahwa bahasa asing penting sehingga perlu lebih mendalam dalam mempelajarinya. Tipe yang dominan ditemukan adalah tipe pembelajaran intrumen. Tipe ini muncul sebagai imbas adanya sikap negatif siswa terhadap bahasa Indonesia. Tipe instrumen dapat diartikan bahwa pembelajar bahasa hanya belajar bahasa tetapi tidak menjadi bagian dari kehidupan atau pemahamannya. Dalam tipe ini, pembelajar hanya memenuhi kewajiban dan bukan untuk memahaminya secara baik. Tipe inilah yang dominan ditemukan karena menurut siswa mereka mempelajari bahasa Indonesia karena tuntutan mata pelajaran. Kaidah atau aturan yang mereka dapatkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia tidak menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka tidak menggunakan kaidah yang mereka pelajari di sekolah dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Dengan adanya tipe ini siswa cenderung kurang semangat dalam mempelajari atau mengikuti pelajaran bahasa Indonesia. 5. Simpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, didapatkan simpulan sebagai berikut: a. Berdasarkan 10 pernyataan yang disajikan dalam angket, lebih dominan ditemukan sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Lebih dari 80% masyarakat memunculkan sikap negatif terhadap bahasa Indonesia dan hanya kurang dari 20% masyarakat yang terlihat memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. b. Dari dua tipe pembelajaran bahasa yang ditemukan, terlihat tipe instrumen yang lebih dominan muncul. Tipe ini muncul sebagai imbas dari adanya sikap negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Tipe instrumen adalah tipe pembelajaran bahasa yang di dalamnya siswa hanya sekadar belajar bahasa tetapi bahasa tersebut tidak menjadi bagian dari pemahaman mereka. Daftar Pustaka Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman. Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Sociolinguistics: The Study of Societies Language. Yogyakarta: Graha Ilmu. Menumbuhkan Sikap Bahasa yang Positif terhadap Bahasa Indonesia. Diakses dari SylvanPrakosoBlog. (16 Juni 2014).
220
From Ignorance to Immediacy: The Representation of Halal Certification Issues in Indonesian National Media Arum Budiastuti, Universitas Airlangga
Abstract Since the majority of Indonesian citizens are Muslims, Halal food is expected to be an essential aspect in their lives. In Indonesia, Halal labels are given by MUI (Majelis Ulama Indonesia/Indonesian Ulema Council) through a series of strict inspection process. Last January 2014, however, TEMPO magazine released dreadful news that Halal labels were given by MUI to foreign food producers exporting their products to Indonesia without a thorough examination and that there were money politics involved. The seemingly increasing amount of news coverage on this matter may indicate that the national press attempts to shape opinions and to set agendas regarding the importance of Halal certification or Halal food in general. This paper focuses on the way Indonesian national press represents Halal food issues through the use of written language. Conducting a corpus-based critical discourse analyses on articles in two most popular Indonesian news portals in 2013-2014, this study aims to reveal the ideological positions upheld by different press and their political tendency. The analysis identifies two distinct ideological cultures. One ideological culture is found to recurrently take up the defence of the status quoand to incessantly enact processes of de-politisation by focusing more on Halal food matters instead of Halal authorisation debate. The other is found to facilitate democratic debate by continuously challenging existing power relations. Keywords: Corpus Linguistics; Critical Discourse Analysis; Halal food; Halal certification; media representation; media attitude
1. Introduction Early this year, an Indonesian investigative magazine, TEMPO, carried the front page headline ‘ASTAGA! LABEL HALAL’ (Gosh! Halal Label!). The headline was accompanied by a picture of a canned food with pig image and Halal text as well as logo on it. Deploying the word ‘Astaga!’(Gosh!), the magazine seems to suggest that the report would bring shock to Muslims in Indonesia, who stand as the majority the population. It was appalling news since Halal label is given by MUI (Majelis Ulama Indonesia/Indonesian Ulema Council), a respected Muslim organization dealing with Muslim issues and fatwas in the country and currently the sole provider of Halal certificates. In the stories brought by TEMPO, MUI was thought to confer Halal labels to foreign food producers exporting their products to Indonesia without a thorough examination and that there were money politics involved. Although MUI elites deny such accusations, the news has been covered widely by national newspapers and elicit a great number of discussions both offline and online. This paper puts forward an approach combining corpus linguistics with the framework of critical discourse analysis (CDA) to analyse how Indonesian national news portals discursively interpret and represent the controversial event in the debate on the laws of Halal Product Assurance (UU Jaminan Produk Halal), which has been drafted by the House of Representatives (DPR) since 2008. As it is impossible to deliver accurate and impartial account of an event, the media offer representations of events through the use of language and/or images. Such representations, as Baker et al. suggest, ‘are often restrained by space and time limitations; journalists need to prioritise particular events, as well as certain people’s perspectives or opinions, over others’ (2013: 3). Furthermore, the writings in newspapers may also be influenced by ‘the political priorities of newspapers or the abilities of the journalists who are writing for them’ (Ibid.). In Indonesia, newspapers do not merely report an event, but also construct ideologically motivated versions of an event. It is not surprising since major media
221
corporations are owned by the elites of some political parties. In Indonesian political history, the press was in fact the apparatus of political parties in voicing their stance and communicating with their supporters or even gaining support (Soebagijo, 1977). Although national media nowadays strive to provide balanced report, it is hard to say that they are completely free of any political agenda. Journalism is indeed an argumentative discourse genre (Richardson, 2007: 69). It may be apparent that the TEMPO reportage on Halal label caused more accounts to be written on the subject matter, but in which media was the increase mostly seen? This paper also ask whether the story, which initially appear in magazine, were used as part of a larger discourse, critical of the Halal Product Assurance Law (HPAL), which has been drafted by the House of Representatives for almost eight years now. In order to make sense the representation of Halal certificate or HPAL issues, the main questions addressed were: 1. In what ways are Halal certification linguistically defined and constructed in Indonesian written media, especially after TEMPO news release in January 2014? 2. What debates do certain news media tend to focus on in their discussion of Halal Certification discussed in articles relating to Halal certification? 3. What attitudes are shown by Indonesian news portal related to Halal certification and the draft of Halal Product Assurance Law? I focus on the written media because they provide textual data which can be readily analysed, unlike the spoken media such as TV and radio which require transcription—a quite expensive and time-consuming process. Besides the pragmatic reason, written media may last longer in readers’ memory as it is archival, i.e. can be easily stored and reread at later time. Newspapers also play a significant role in shaping opinions as well as setting agendas with regard to the importance of certain topics, as indicated in some studies (see e.g. Brescoll & La France, 2004; Lido, 2006).It thus comes as no surprise that the discourse of newspapers has been, and continues to be, scrutinised (Baker, et al., 2013; Fairclough, 1995; Fowler, 1991; Richardson, 2007). Most Indonesian newspapers, however, do not provide their online version freely for public, so that researchers may find it difficult to collect data. Addressing this problem, I have chosen to examine online news portal instead. The choice is also justified by the fact that the number of online newspaper readers in Indonesia is increasing along with the the growth of internet users in Indonesia (Harian TI, 2014). In order to lay a firm theoretical ground and justify a set of analytical tools for this research, I begin by a theoretical excursion on the subject matter. Data collection and the selection process involved will then be explained before moving on to the analysis of frequencies, collocations and concordance lines of the corpus specifically built for this study. 2. Theoretical and Methodological Framework of Corpus-based Critical Discourse Analysis This paper attempts to bring two approaches together: corpus linguistics (CL) and critical discourse analysis (CDA).CL is the ‘study of language based on examples of “real life” language use’ (McEnery and Wilson, 1996: 1). In practice, CL is also defined as a computerbased method for examining large bodies of textual data. CL is useful for accounting for collocations and other recurrent patterns, such as frequency and keyness, associated with specific lexical items across an entire corpus (see McEnery & Hardie, 2012 for more recent discussion on CL). In our case here, CL is specifically illuminating for describing discourse strategies employed by newspapers communicating Halal certificate through its lexical features. Simply put, CL quantitatively helps to see the way of thinking and attitude of newspapers about certain topics. CDA is an analysis of discourse that maintains that language is a social practice and expresses ideologies and power relations (Fairclough, 1995). CDA closely examines language in texts, explaining how word choice and sentence structure, and other linguistic phenomena, can be used to represent a particular position. More importantly, CDA interprets linguistic analysis in relation to wider social, historical and political contexts. In so doing, it requires
222
rapprochement with other fields, such as history, philosophy, and cultural studies, among others. This approach helps us understand why certain linguistic patterns of representation of Halal certification are found while others are not and account for deeper analysis of media discourse. The incorporation of CL and CDA is relatively new in linguistic studies. Hardt-Mautner (1995) and, more recently, Baker et al. (2008) and Baker et al. (2013), have called for an integrated approach to bring CL together and have encouraged a dialogue between quantitative and qualitative approaches. This study, similarly, draws on the integrated approach to address the research questions. In so doing, it focuses on the analysis of collocations and concordances. Collocation is ‘the above-chance frequent co-occurrence of two words within a pre-determined span, usually five words on either side of the word under investigation/the node’, whereasa concordance provides ‘instances of a word or cluster in its immediate co-text’, both of which can ‘convey messages implicitly’ (Baker et al. 2013). The statistical calculation of collocation is based on three measures: the frequency of the node, the frequency of the collocates, and the frequency of the collocation (Ibid.), which, in this study, were analysed using computer software. The finding was then interpreted directly and analysed using Fairclough’s CDA model, which comprises three dimensions: text, discursive practices, and social practice (1992;j1995). This corpus-based CDA analysis is expected to shed light on understanding the discursive strategies and practices of news media regarding Halal certification and/or Halal Product Assurance Lawin Indonesia. Academic discussions on Halal certification or Halal food issue have mostly circulated within qualitative inquiries, for example studies on how label is important in Halal food consumption by Muslims in Australia (Budiastuti, 2013; Mahmood, 2006), in Malaysia (Fischer, 2011), and in some other countries (Cañas, 2008; Kifleyesus, 2002). There are also quantitative studies on the way Halal food and label is perceived by consumers (Bonne, et al., 2007; Golnaz, et al., 2010). Research on consumer awareness or perception toward Halal label in Indonesia (e.g. Soesilawati, 2009; Prima, et al., 2011) has shown that there are positive inclination toward Halal products and certification. It is thus interesting to find out whether the national media also demonstrate similar stance. Since there is a notable lack of research addressing media representation and attitude toward Halal food and certification in Indonesia, this article may be the first attempt of doing so and is expected to contribute to better understanding of the role of media in shaping the public discourse and opinions on the matter. 3. The Corpus and Data Selection Due to time constraint, the study chose only two of four most popular news portals in Indonesia: detik.com and kompas.com and the corpus built for this study consists of texts featured in the websites. There are actually four news portal acclaimed to be the biggest and the most popular, which are detik.com, kompas.com, viva.co.id, and okezone.com (Infoasaid, 2012). They are generally similar in characteristics, i.e. they commonly present popular articles from a wide variety of interests, such as: entertainment, sport, food/culinary, politics, etc. The data collection began by conducting article search in each website using the keyword of ‘sertifikasi Halal’. In the initial search, it was observed that the number of articles released after the controversial TEMPO report was significantly higher than that issued before the report. Kompas.com, for example, issued 39 articles related to Halal certification on February 2014 onwards and only 7 articles few months prior to January 2014. It was then decided to make TEMPO report as the key event in the latest discourse about Halal certification and to limit the search to 6 months prior to the report (24 August 2013 – 24 January 2014) and 6 months after the report (25 January 2014 – 5 July 2014). The corpus was also divided into two sub-corpora based on the news portal. This selection will help find out whether there are differences of discourse constructed by each news portal within the course of the time set. It should be noted that this study considered only articles written by the official journalists of each news portal and ignored writings by citizens as in Question & Answer articles as often found in Detik.com. The final data collection yielded a corpus consisting of 35,883 tokens (The total number of words appearing in a text) and 6,393 types (the total number
223
of different words appearing in a text), with the following details: Detik.com (74 articles; 20,920 tokens) and Kompas.com (46 articles; 14,963 tokens). To allow the data files to be loaded into a computer processing software, the .htm files were converted into .txt files and were named according to the portal, date of publication and title, for example: ‘detik_210314_ Din Syamsuddin_Dana Sertifikasi Halal Tak ke MUI.txt’. All corpuses was then processed employing CL processing software called ‘Antconc 3.4.1m’—a freeware, multiplatform tool for carrying out corpus linguistics research, which is available at www.antlab.sci.waseda.ac.jp. Although the CL analysis used the whole corpus, the CDA analysis could not apply similar approach due to time and financial constraints. A sample of text was selected from the corpus in order to support the interpretation and analysis of the finding. 4. Analysis Antconc version 3.4.1m has three main functions, which are Concordance, Key Words, and WordList. The initial step, following Kim’s research (2014), was generating the concordance and collocates by inserting the word ‘Sertifikasi Halal’ in the Search term column. The collocates and concordance could then be seen in the display column. Before moving on to analysis, however, the output needed to be refined. First of all, articles (e.g. ‘sebuah’, ‘banyak’) and conjunctions (e.g. ‘dan’, ‘dari’, ‘yang’) are eliminated from the list because their frequency was high even though they did not make meaningful pattern. The journalist names such as ‘Wiji’ and ‘Fitria’ were also removed. The same steps were done for the word ‘RUU Jaminan Produk Halal’. Next, a relation score was established to find out the level of significance of words in a particular sub-corpus. The statistical measurement chosen, which is already embedded in the software, was MI (Specific Mutual Information) because it takes into account ‘the cases when two words occur together as well as apart from each other, and assign higher priority to those that are generally found together; such a technique allows us to make claims about the strength of collocation (Baker, et al., 2013: 3). The relation score helped identify strong and weak collocates, which were then hypothetically categorised into several semantic groups. The semantic groups set for this study are ‘process’ set and ‘elites’ set. The first group includes nouns, verbs, and adjectives collocated with the Halal certification/Halal Product Assurance Law Draft (HPALD) process, whereas the second group consists of people, organization, or company related with Halal certification/HPALD. Table 1: The collocate list of ‘Sertifikasi Halal’ in two news portals, ordered by relation score in each semantic group Detik No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
‘Process’ Collocate Wawasan Tunggal Pembekalan Prosedur Pengajuan Memeroleh diwajibkan Mengeluarkan Labelisasi Berwenang Anjuran Mendukung Audit Biaya
Score 7.13 7.13 7.13 7.13 6.81 6.55 6.55 5.99 5.96 5.81 5.55 5.13 5.13 4.47
‘Elites’ Collocate Syamsuddin Dedie Arie Solaria Pengusaha Ormas Menteri MUI Ulama Pemerintah Perusahaan LPPOM Lukmanul
Kompas Score 6.13 5.32 5.32 4.88 4.54 4.32 4.13 4.04 3.59 3.59 3.46 3.41 3.17
‘Process’ Collocate Urusi ribut Pungutan Penerbitan dikontrol diributkan diberitakan Sorotan pemberian membahas Pendapatan berwenang ruu produk
Score 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.94 5.56 5.81 5.74 5.52 5.17 4.62 3.13 1.62
‘Elites’ Collocate Osmena Din Kemenag SDA Hakim MUI YLKI restoran Bambang Ormas Hasrul LPPOM Drajad pemerintah
Score 5.94 4.80 4.77 4.20 4.06 4.01 3.77 3.45 3.35 3.24 3.24 2.94 2.62 2.35
224
Table 1 shows the collocate list of ‘sertifikasi halal’, based on the IM relation score. For the sake of simplicity, the table displays only the representatives of the collocates (which are more than 100 words), chosen from the highest score to the lowest score. The table is also arranged in such a way to show the difference between the two sub-corpora. Giving a glance at the lists, we may be able to identify the attitude of each news portal toward Halal certification and HPALD or how the news portals frame the issues. In what follows, the collocate pattern of each sub-corpora related to the topics is described further by employing concordance lines. Concordance lines, as Kim states (2014: 230), is useful for explaining recurrent patterns while at the same time examining individual lines involving interesting uses of a particular search word, i.e. ‘sertifikasi halal’ in this case. In other words, concordance lines help make sense how the collocates associated with ‘sertifikasi halal’ are used in the news sentences. In order to reveal the ideological positions of each news portal, the textual analysis via corpus is supported by CDA analysis, involving analyses of contextual and social practices in the discourse of Halal certification. Textual analysis of news presented in two news portals As suggested above, Fairclough (1992, 1995) acknowledged three dimensions of CDA: text, discursive practices and social practices. Analyzing a text is scrutinising the choices made by the author of that text (Richardson, 2007).In this section, the textual analysis via corpus linguistics is discussed separately for each news portal. In Detik.com, ‘wawasan’ (knowledge) collocates very strongly with ‘Sertifikasi Halal’, followed by ‘tunggal’ (the one and only), ‘pembekalan’ (workshop), ‘prosedur’ (procedure), and ‘pengajuan’ (registration) as the top collocates. It means that, in its coverage on Halal certification, Detik.com intensely aligns the subject with knowledge on Halal food and the procedure to get Halal certificate. Knowledge here refers to knowledge on the procedure itself (Detik.com, 13 January 2014 and 10 February 2014, among many others) and on the definition of Halal and Haram. The latter, in fact, was discussed in a great number of articles (41 articles out of 74), for example questioning or warning the Halalness of some food items or brands. It is thus not surprising to find a number of food items frequently appearing in its articles; for example, ‘produk’ (product) was mentioned 253 times, ‘makanan’ (food) 89, ‘daging’ (meat) 77, ‘sushi’ 50, ‘babi’ (pork) 42, ‘bakso’ (meatball) 33, ‘ayam’ (chicken) and ‘roti’ (bread) 30, ‘wagyu’ 27, ‘susu’ (milk) 19, ‘cokelat’ (chocolate) 17, ‘tapai’ 16, ‘bebek’ (duck) 15, and ‘pudding’ 14 times, respectively. Observing this statistical data, we may argue that Detik.com was not interested in dwelling on the accussations brought by TEMPO magazine with regard to Halal certificate. As a matter of fact, it did not mention ‘TEMPO’ at all in its news coverage, which bids our further attention. The absence of particular item in certain media, despite its being debated elsewhere, is meaningful to critical discourse analysts. As maintained by Richardson, it is crucial to ‘recognise that textual or journalistic meaning is communicated as much by absence as by presence; as much by what is “missing” or excluded as by what is remembered and present’(2007: 93). Although Detik.com did not explicitly respond to the magazine reportage, it does not mean that Detik.com did not address the issue, albeit in subtle way. On 26 February and 21 March 2014, the portal wrote that MUI did not receive any fund from Halal certification; the cost of certification, ranging from 1 million rupiahs to 5 million rupiahs, was entirely for the process (Detik.com, 26 February 2014 and 21 March 2014).The way Detik.com framed the news gives the impression that these articles were written to respond to one of TEMPO reports,i.e. MUI received about 780 billions per year from certification process. But why did Detik.com write the news seemingly ‘on behalf of’ MUI? The absence of heated debate around the issue (and the choice to invest on Halal/Haraam coverage instead) and the strategy employed by Detik.com in its narrativisation beg further analyses in its discursive and social practices, which will be elaborated in the next section. The second news portal examined, kompas.com, showed similar trend in its collocate list. Among its top collocates are ‘urusi’ (manage), ‘ribut’ (heated debate), ‘pungutan’ (charge),
225
‘sorotan’ (highlight), ‘pemberian’ (issuance) and ‘pendapatan’ (income). Before TEMPO reportage on MUI ‘scandal’, kompas.com released 6 articles related to Halal certification, presenting news on how some restaurants received Halal label (04 and 18 December 2013) and how the Muslim society should be cautious about the Halalness of products sold in the market (22 December 2013). It also issued an article related to HPALD, discussing whether the registration of Halal certification should be mandatory or voluntary (16 December 2013). After the TEMPO report, kompas.com published 39 articles on various topics, but mostly about the debate on HPALD. Similar to okezone.com, kompas.com took a critical stance toward HPALD. It mainly criticised the discussions of the charge of certification and the insistence of both the government and MUI to manage the certification, as hinted by the collocates (27 out of 46 articles). In terms of delivering news about product Halalness, kompas.com was not as prolific as Detik.com and Okezone.com (5 out of 46 articles). In Antconc word list, the products mostly mentioned were ‘Cadbury’ for 31 times, ‘babi’ (pork) 30, and ‘ayam’ (chicken) 11 times. ‘Cadbury’ was cited in articles about the rumors that some Cadbury chocolate items contained pork. There are a number of strategies employed by by kompas.com in its reportage. The first style is passive voice, giving the impression that it strives to be impartial in delivering news. In Table 1, we can see a number of passive voice: ‘dikontrol’ (controlled), ‘diributkan’ (intensely debated), and ‘diberitakan’ (stated in the news). There are actually more items in the list which were not displayed in this paper, such as ‘dinaungi’ (authorised) and ‘didasari’ (based). To emphasise its impartiality, kompas.com uses additional strategy, which is presenting interviews from many perspectives. While Detik.com mostly included interviews from one source (the government or MUI, for example) in an article, kompas.com usually involved more than two sources in presenting the debate of Halal certification, both from the government and MUI. In some articles, it also delivered interviews with a number of other people/bodies interested or participated in the debate: mass organisation advisor, Gamawan Fauzi (03 March 14); Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/Indonesian Consumer Institution Foundation (17 and 28 February 2014); Badan Standarisasi Nasional/National Standardisation Bodyand Komite Akreditasi Nasional/National Accreditation Committee(5 and 6 March 2014).; as well as Partai Keadilan Sosial/Social Justice Party and Yusril Ihza Mahendra (27 February 2014). It is thus not rurprising to find many different people/bodies in its ‘elites’ collocates. Figure 1. A snapshot of the concordance lines of ‘sorotan’ (highlight) under ‘sertifikasi halal’ search term in Antconc
Another strategy is repetition. As can be seen from Figure 1, the concordance lines of ‘sorotan’ (highlight) are not repetitions due to an error in putting the same articles in the corpus. We can see that the lines come from different texts, which, on close examination, seem to have been generated in different contexts. These repetitions are worth pointing out since any news programme does not merely duplicate the same narration. The narration, in this case about how Halal certificate provider is ardently debated in HPAL drafting process initiated by the House of Representatives, occurs within a specific argument, and may engage a certain level of adjustment of the textual materials. Extensive repetition of such narration serves to construct
226
immediacy and sets the stage for constructing ‘who has the initiative to set up Halal product assurance’ (emphasise on positive agency) and ‘who fights for it’ (emphasise on concern). Fairclough, indeed, identifies the hidden power of media discourse particularly in connection with repetition: ‘a single text on its own is quite insignificant: the effects of media power are cumulative, working through the repetition of particular ways of handling causality and agency, particular ways of positioning the reader, and so forth’ (in Kim 2014: 233). The construction of agency and concern is confirmed by an explicit line from kompas.com that it is the ‘fight’ to authorise Halal certificate issuance that cause the effort to pass the law is inhibited—a statement which can be found immediately or shortly after the repetition in the articles. In sum, we may argue that kompas.com took a certain position in favour of the government amidst the debate of HPALD, despite its attempts to be objective or neutral in delivering its news. Discursive and social practices of Halal certification coverage Representations of reality, which news items actually are, are social constructs. In order to analyse these representations deeper, we need to refer to discursive practices in the sense of structural and functional features of the news gathering, circulation and reporting process restraining the choice of journalists. As Fairclough (1995) contends, news is the result of a range of particular professional and institutional practices. These aspects are elaborated further this section. The first relevant contextual aspectis the economy of news production and access to information. Due to high production costs, most news portals depend on materials from its agency network. All of the news portals described here are part of larger media corporations: Detik.com, since 3 August 2011, has been owned by Chairul Tanjung, the proprietor of PT. Trans Corporation who also holdstwo major national TV media: Trans TV and Trans 7; and kompas.com, as its name suggests, belongs to Kompas Gramedia Group, which owns Indonesia’s most influential daily newspaper Kompas, the businessdaily Kontan, a network of 24 regional newspapers under the Tribun brand, and a national television production company called KompasTV. Most news portals used the sources and materials available in other media within their network. It is also a common practice in Indonesian journalism to obtain news from ANTARA (the official Indonesian news agency) in order to minimise the cost of publication. What is interesting to note further in this case is the fact that Detik.com did not only use materials within their agency, but also from outside sources. A number of articles in Detik.com was taken from LPPOM MUI website news. One reason that it is possible is that there may be commitment between Detik.com and MUI news website journalists to exchange information, another common practice in the news industry. Another possibility is the fact that Chairul Tanjung, the owner of Detik.com, is one of MUI Advisory Board members (LPPOM MUI, 2013). Networking, in this case, not only includes other media within the group, but also extends to the social network of the owner. This fact may answer our curiosity in the previous section, on why Detik.com did not discuss MUI ‘scandal’ at all, while subtly providing response to TEMPO coverage. This reason also helps make sense why Detik.com chose to present wide coverage on the Halalness of food products and promote the role of MUI in this matter. It is thus no surprise to find MUI elites and supporters in Detik.com collocate list: Din Syamsuddin, the head of MUI; Dedie Soekartin, the head of Indonesian Hotel and Restaurant Association; and Lukmanul Hakim, the director of LPPOM MUI, among some other names. The second contextual aspect is an institutional one. The corporate policy and mission of a newsmedia network can be an important dimension of editorial context, for example in deciding the news values of events and how they are covered. Being an all-day news channel, the three news portals constantly update news items, resulting in several repetitions, as shown above. It would be very expensive to feature all these repetitive news on their TV media, since the companies may have other strategies related to timing and advertisement slots. Another policy is related to the company’s mission. Kompas, for example, has strived to be a trustworthy media institution by providing balanced reports. It is currently the only news media recognised by ABC (Audit Bureau of Circulations), an independent ‘watchdog’ established by global
227
publishers, advertisers, and business owners to prevent fraudulent practices by media owner, such as giving misleading or politically biased news (ABC, 2014). This helps us understand why it prefers using passive voice and including as many sources as possible as its reporting style. News discourse is also permeated by structures, institutions and values from outside the newsroom such as economy, politics and ideology (Richardson, 2007). Neither journalists nor news organizations can escape the fact that they are tied to a broader social system (Shoemaker, 1991 in Joye, 2010). Referring to these wider social practices, we are required to ask whether the news texts will help continue or reproduce certain ideological positions and power relations. The lack of coverage on Halal certification debate in detik.com may indicate the reluctance of the media owner, who is affiliated with MUI, to engage in the debate of HPALD, which has been going on for eight years without any sign of completion. Although detik.com is not directly associated with MUI, its representation of Halal certification (which is apparently to be in favour of MUI) may be interpreted as ignoring a more substantive debate in the national level, which is about HPAL. In delivering more news about product Halalness and casting a positive image of Halal certification provided by MUI, Detik.com seems to retain the power of MUI as the ‘best’ provider of Halal certification. Giving a positive image of a social group while portraying other groups as negative is indeed an indication of ‘us’ and ‘them’ construction, which is characteristic of ideological structures (van Dijk, 2009: 199). In this case, we may say that Detik.com represents MUI as ‘us’ and other bodies interested in authorising Halal certification as ‘them’, not by portraying a negative image of ‘them’ but simply excluding ‘them’ in its news coverage. 5. Conclusion I have attempted to talk about the representation of Halal certification in the biggest and the most popular news portals In Indonesia. The most obvious finding to emerge from the textual analysis via corpus was that the media employ particular strategies in framing their news: repetition, presence and absence, active/passive voice and (not) including many different perspectives in presenting the news. The analysis identifies two distinct ideological cultures. One ideological culture, displayed by detik.com, is found to recurrently take up the defence of the status quo, in this case MUI as the provider of Halal certification, and to incessantly enact processes of de-politisation by focusing more on Halal food matters instead of Halal authorisation debate. The other, kompas.com, is found to facilitate democratic debate by continuously challenging existing power relations. This study, however, is limited in some ways. The time frame set for this study does not allow the examination of bigger corpus and more variations in the result, especially referring to the fact that detik.com is acquired by Chairul Tanjung recently. It would be interesting to investigate whether there is a change of ideological position before and after the acquisition to further confirm the argument. It would also be interesting to include more news portals, such as viva.co.id and okezone.com, which are owned by political party elites (Golkar and Hanura, respectively). Acknowledgement I thank Dr. Deny Arnos Kwary for introducing me to CL and providing insightful feedback for the earlier draft of this paper. All errors are definitely my own.
References ABC. 2014. Who we are. Available at ABC: http://www.abc.org.uk/About-us/Who-we-are/ (Accessed July 4, 2014) Baker, P., Gabrielatos, C., & McEnery, T. 2013. Discourse Analysis and Media Attitudes: The Representation of Islam in the British Press. New York: Cambridge University Press.
228
Baker, P., Gabrielatos, C., Khosravinik, M., Krzyzanowski, M., McEnery, T., & Wodak, R. 2008. A useful methodological synergy? Combining critical discourse analysis and corpus linguistics to examine discourses of refugees and asylum seekers in the UK press. Discourse & Society , 19 (3), 273–306. Bonne, K., Vermeir, I., Bergeaud-Blacker, F., & Verbeke, W. 2007. Determinants of ‘Halal’ meat consumption in France . ’. In British Food Journal , 109 (5), 367-386. Brescoll, V., & La France, M. 2004. The correlates and consequences of newspaper reports of research on sex differences. Psychological Science , 15, 515–520. Budiastuti, A. 2013. ‘Performing’ Halal Food in Non-Muslim Urban Territory: The Making of ‘New’ Muslim Subjects. Urban Mobility: Textual and Spatial Urban Dynamics in Health, Culture, and Society. Surabaya: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 234-240. Cañas, S. 2008. The Little Mosque On the Prairie: Examining (Multi) Cultural Spaces of Nation and Religion. Cultural Dynamic , 20 (3), 195-211. Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman. Fairclough, N. 1995. Media Discourse. London: Arnold. Fischer, J. 2011. The halal frontier: muslim consumers in a globalized market. New York: Palgrave Macmillan. Fowler, R. 1991. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press. London: Routledge. Golnaz, R., Zainalabidin, M., Mad Nasir, S., & Eddie Chiew, F. (2010). Non-Muslims’ awareness of Halal principles and related food in Malaysia. International Food Research Journal , 17, 667-674. Hardt-Mautner, G. 1995. Only connect: Critical discourse analysis and corpus linguistics. UCREL. 6. Lancaster: Lancaster University. Harian TI. 2004. Survei BPS: Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tahun 2013 Tembus 71 Juta Orang. Available at http://harianti.com/survei-bps-jumlah-pengguna-internet-indonesiatahun-2013-tembus-71-juta-orang/ (accessed 6 July 2014). Infoasaid. 2012. Indonesia Media and Telecoms Landscape Guide. Available at http://www.infoasaid.org/sites/infoasaid.org/files/indonesia_guide__final_271112_20.12.12.pdf (Accessed 03 July 2014) Joye, S. 2010. News discourses on distant suffering: a Critical Discourse Analysis of the 2003 SARS Outbreak. Discourse and Society , 21 (5), 586–601. Kifleyesus, A. 2002. Muslims and Meals: The Social and Symbolic Function of Foods in Changing Socio-Economic Environments. Africa: Journal of the International African Institute , 72 (2), 245- 276. Kim, H. 2014. Examining US news media discourses about North Korea: A corpus-based critical discourse analysis. Discourse & Society , 25 (2), 221-244. Lido, C. 2006. Effects of the Media Priming Asylum-Seeker Stereotypes on Thoughts and Behaviour. London: Economic and Social Research Council. LPPOM MUI. 2013.. Bisnis Syariah dan Halal Harus Ditingkatkan. Available at http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/detil_page/8/255 (Accessed 3 July 2014) Magalhaes, C. 2006. A Critical Discourse Analysis Approach to News Discourses and Social Practices on Race in Brazil. DELTA , 22 (2), 275–301.
229
Mahmood, R. 2006. Being and Doing ‘Bengali-Muslims’ in Sydney: The Construction of Halal and Haraam. Sydney: University of New South Wales. McEnery, T., & Hardie, A. 2012. Corpus Linguistics: Method, Theory and Practice. New York: Cambridge University Press. McEnery, T., & Wilson, A. 1996. Corpus Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Prima, S., Marsudi, & Rahmawanto, D. 2011. Persepsi label halal terhadap keputusan pembelian konsumen pada produk minuman berenergi. Jurnal Manajemen Bisnis , 1 (2), 135-143. Richardson, J. 2007. Analysing Newspapers: An Approach from Critical Discourse Analysis. New York: Palgrave McMillan. Soebagijo, I. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers. Soesilawati, E. 2009. Peluang Usaha Produk Halal di Pasar Global: Perilaku Konsumen Muslim dalam Konsumsi Makanan Halal. LIPI PressJakarta. van Dijk, T. 2009. News, Discourse, and Ideology. In K. W.-J. Hanitzsch (Eds.), The Handbook of Journalism Studies. New York: Routledge, 191–204.
230
The Discourse of Islam in Indonesia Portrayed in a Daily Mail’s Article “GangRaped Indonesian Woman May Be Caned Publicly” and a New York Times’ Article “Indonesia: Shariah Official Urges That Gang-Rape Victim Be Caned” Nurul Fitri Hapsari, Universitas Airlangga
Abstract Many discourses of Indonesian Islam have become negative in foreign media after Bali Bomb and Jakarta Bomb occurred in Indonesia several years ago. Many studies claimed that Islam, like Islam in Indonesia, is usually framed as terrorist or extremist religion in foreign newspapers. It can be said that media actually have played a substantial role in stereotyping Islam as negative frame. Thus, this study is aimed to analyze this study is aimed to reveal the discourse of Islam in Indonesia portrayed published on May 7, 2014 in a Daily Mail’s article entitled “Gang-raped Indonesia woman may be caned publicly” and a New York’s article entitled “Indonesia: Shariah Official Urges That Gang-Rape Victim Be Caned” published on May 7, 2014. Critical discourse analysis by Norman Fairclough is then used as the method of data analysis in this study. The results show the image of Islam in Indonesia is still politically redefined and misinformed Keywords: discourse, Islam, Sharia Law, stereotype
1. Introduction Discourse of Islam in Indonesia is very interested to be analyzed. After Bali Bomb and Jakarta Bomb occurred in Indonesia several years ago, many discourses of Islam in Indonesia have become negative in foreign media. Islam in Indonesia is usually framed as terrorist or extremist religion. A 2006 Lowy Institute report claimed that Islam in Indonesia is mostly portrayed as a ‘dangerous source of Islamic terrorism’ and a threat to Australia by Australian media (Cook, 2006: 2). As a result, Indonesia, according to Inez Mahoney, is now more often linked to Islam or referred to as Australia’s ‘Muslim neighbor’, rather than ‘Asian neighbor’, as it was more commonly referred to before the ‘War on Terror’. Journalism, both print and electronic ones, according to Muhtadi (1999: 3) has several functions, namely to spread news and information, to educate, to entertain, as well as to affect and persuade readers on a purpose desired by the author or news institutions. Fairclough also said that media have an important role in the process of social and cultural change (Fairclough, 1995: 3). Unfortunately, news is a representation in the sense of construction; it is not a valuefree reflection. (Fowler, 1991: 4). There are two previous studies focused on the representation of Islam in newspaper. First, a study conducted by Inez Mahoney entitled From Tolerance to Terror: Representations of Indonesian Islam in the Australian Press examines how Islam in Indonesia has been constructed in Australian media through a comparative analysis of newspaper content following three events: the 2002 and 2005 Bali bombings and the 2004 Australian Embassy bombing in Jakarta. The results show that while stereotypical images are presented in all publications examined here, there are patterns showing marked differences in how each publication reports on these bombings and how Islam in Indonesia and Muslims are portrayed. Consistent negative themes of an increasing ‘Islamic terrorist’ threat in Indonesia and the Indonesian Government failing to do anything about it reinforce a stereotypical image of Islam in Indonesia as prone to fanaticism, irrationality, and terrorism, and the image of Indonesia as incompetent and supportive of such ‘Islamic terrorism’. The second study, conducted by Shahram Akbarzadeh and Bianca Smith, examined the coverage of Islam and Muslims in The Age and Herald Sun between 11 September 2001 and 31 December 2004. Their study found the prevalence of negative images of Islam and Muslims in the newspapers. As important as the construction of
231
stories and choice of words used, the context of the stories was found to be highly significant due to the ‘negative impression’ Based on the previous studies, it may be said that media have played a substantial role in stereotyping Islam as negative frame. Thus, this study is aimed to reveal the discourse of Islam in Indonesia portrayed published on May 7, 2014 in a Daily Mail’s article entitled “Gangraped Indonesia woman may be caned publicly” and a New York’s article entitled “Indonesia: Shariah Official Urges That Gang-Rape Victim Be Caned” published on May 7, 2014. Those two articles are chosen since they are assumed. There are several reasons to choose those articles. First, the issue in both articles is similar. Next, the issue is also considered as the latest issue about Indonesia during this study. Moreover, both of them chosen as the representatives of United States’s online newspaper and British online newspaper. Critical discourse analysis by Norman Fairclough (1995: 132) is then used as the method of data analysis in this study. He distinguishes the discourse analysis into three levels of analysis, namely text, discourse practice, and sociocultural practice. 2. Analysis Generalizing discourse of Islam in Indonesia as non-humanism religion in all parts of Indonesia Daily Mail’s article entitled “Gang-raped Indonesia woman may be caned publicly” New York’s article entitled “Indonesia: Shariah Official Urges That Gang-Rape Victim Be Caned” Based on the titles and headlines of those articles, it can be said that though the case occurred in Aceh, the word of “Indonesian” is still used in those tittles instead of “Aceh”. As a result, it assumed that the case happened in all of parts of Indonesia. In fact, it is only Aceh province implementing Islamic Laws. In daily mail, journalists use intransitive-passive sentence because they want to emphasize the object or victim in this event by hiding the subject or the agent. From the title, the journalists may want to describe how unlike common laws, in Islamic laws the victim of the rape case can also be punished. Meanwhile, in New York Times, journalists use active sentence because they want to emphasize the subject, Islamic Laws, similarly related to the poor victim who can also be punished, not protected. It seems that unlike Daily Mail that still use assumption by using a modal “may”, New York Time more strongly said in the noun clause that the victim is caned by using present tense sentence. Thus, it may be said that there is similar interest from the journalist of both to omit the place where the case occurred by generalizing into Indonesia as a nation, consequently, Indonesia is assumed as nation in all of which parts implement Islamic Laws dehumanizing the victim of the rape case, unlike common laws protecting the victim. Similarly, in the following similar opening of the news, both also still emphasize the discourse of Islam in Indonesia that is not humanism, as follow: Daily Mail’s first paragraph: “BANDA ACEH, Indonesia (AP) — An Indonesian woman who was gangraped by men accusing her of having extramarital sex may be caned publicly for violating Islamic law, an official said Wednesday.” New York Times’ first paragraph: An Indonesian woman who was gang-raped by men who accused her of having extramarital sex may be caned publicly for violating Islamic law, an official said Wednesday. In the opening of both, the object or victim is introduced more than the men as the agents by using passive sentence with more specific rape issue introduced, “extramarital sex”. Furthermore, it seems that only the woman will be caned publicly for violating Islamic law
232
since the first paragraph here does not inform whether the men will also be caned publicly. The word “publicly” here chosen indicates the victim will also be humiliated due to the implementation of Sharia Law (Islamic Law). Thus, it can be interpreted that as both used almost the same sentence as their opening, the woman is portrayed as the person who victimized three times in this case, namely as the victim of the rape case, as the receiver of the punishment, and as the object of the humiliation because of violating the Islamic law. This is then legalized by the government since it is an intertextuality of a direct quotation from a person in charge of safety stated. Framing Islam in Indonesia as the conservative one Daily Mail: “…Islamic police in conservative Aceh province, ….. New Year’s celebrations are widespread in Indonesia except in Aceh, where Islamic clerics prohibit Muslims from celebrating the festivities.” In the above paragraph, “Aceh” is labeled as “conservative” one since this province is unwilling to accept changes and new ideas that are not in line with Islam. It is The Islamic clerics, moreover, are also labeled as introvert people since they must resist to western culture, such as New Year’s celebration. Therefore, the discourse of Islam in Indonesia, especially portrayed in Aceh, is framed as conservative one.
Similarly, in the above picture attached in paragraph two, it can be seen that the color of the sky is dark blue that can indicate a scary or thrilling condition caused by the firm security in Aceh. There is even no one on the street. Aceh is portrayed as a quiet city with only several Islamic police. Next, there is a light mosque as the symbol of Aceh’s identity as an Islamic province. The words witten on the car are from Arabic langauge “Wilayatul Hisbah” which means the institution and implementation of Islamic Sharia in Aceh. Sharia police officers who stand on the street, moreover, is depicted as the ones who prevent the celebration of New Year’s Eve in Aceh as stated in the caption “Sharia police officers stand guard at a check point set up to prevent people from celebrating New Year’s eve in Banda Aceh”. It means that New Year’s a celebration is considered as part of Western culture that’s unacceptable in Islamic Sharia because Islam has its own New Year celebration in Muharram.Thus, the discourse of Islam in Indonesia is framed as a conservative one which strictly rejects western culture, like the celebration of New Year’s Eve.
233
In the second picture above, furthermore, it can be seen that the color of sky is bright, and a Moslem woman walks through a gate with words written on its top. The bright sky can indicate a condition with full of peacefulness. The picture was taken using lower shot that enables the words on the mosque’s gate seen clearly. The words written in bold state the obligation of people to wear Moslem wear. Meanwhile, the woman was pictured in medium shot and given less color than the sky. It illustrates how women become the significant target of Sharia, as a result, the way they are dressing is conservatively controlled. New York Times: “The head of Islamic Shariah law in the district, Ibrahim Latief, said his office had recommended that the woman and the married man be caned nine times for violating religious law by being in the same room together, pending an investigation.” In addition, there is also dramatic effect resulted by this sentence, punished for being in the same room together. This sentence only frames how the man and woman will be punished for being in the same room together, without mentioning what happened clearly in the room. Since the underlined words are quoted indirectly from Latief’s argument, it enables the journalists to restate the opinion by using their own sentences. As a result, this sentence will affect the readers’ assumption about Islamic law. They will think that the law is very conservative and strict by not allowing both man and woman to be in the same room regardless what they are doing. Labeling Islam in Indonesia as the biggest one Daily Mail: “Indonesia, the world's most populous Muslim nation of 240 million people, has a policy of secularism…” New York Time: “Indonesia, the world’s most populous Muslim nation, has a policy of secularism …” Like in New York Time, in Daily Mail, the use of the phrase “the world’s most populous Moslem nation” followed with the word “Indonesia” indicates that Indonesia may be considered as the biggest Muslim country due to its number of Muslim population. In this paragraph, there is a little bit provocative word which is “secularism”. It is because though Indonesia is labeled as a nation with a huge number of Moslem, it is still labeled as a secular nation. In fact, Indonesia never claims itself either as a Moslem or as a secular country.
234
Indonesia cannot be categorized as secular country since Indonesia officially admits that there are six religions and a number of traditional faiths in Indonesia. Thus, the discourse of Islam in Indonesia is portrayed ambivalently. Portraying Islamic Law as the powerful one in Indonesia Daily Mail: “The head of Islamic Shariah law in the district, Ibrahim Latief, said his office has recommended the widow and the married man will be caned nine times for violating religious law, pending an investigation. Its preliminary finding was that the two were about to have sex at that time, but Latief contended they violated Shariah law by being in the same room together…” New York Time: The head of Islamic Shariah law in the district, Ibrahim Latief, said his office had recommended that the woman and the married man be caned nine times for violating religious law…” In the above paragraph of Daily Mail, the collocation of law with displacement words is found. The first two words that collocate with the word “law” are the word “Islamic” in the first line and the word “Religious” in the third line; however these two words then changed into “Sharia law” in the fifth line. The words “Islamic” and “Religious” are considered having more general meaning instead of Sharia law, which is more specifically associated with Islamic law implemented only in Aceh. In other words, the discourse of the Islamic law is depicted from generally to specifically. This kind of writing can also create more dramatic effect in the readers’ mind since they will automatically associate Islamic law as a conservative law as illustrated by the journalist. In this paragraph, furthermore, like in New York Time, indirect quotation from the statement of Ibrahim Latief, the head of Islamic Sharia Law, is used in order to legitimate it as a trusty source. Further, this argument quoted from man also strengthens that the discourse of Islamic law does not reflect the idea of gender equality. The role of men is considered more prominent in Islamic discourse since they act as leaders as well as decision makers, while women are treated as minority whose arguments are often disregarded. Daily Mail: “Police have arrested three of the eight men and are hunting for the others. East Aceh police Chief Lt. Col. Hariadi said those arrested are being questioned on charges of rape…” Moreover, in the above paragraph of Daily Mail, the use of active-transitive sentence, “Police have arrested three of the eight men and are hunting for the others.” emphasizes the existence of Islamic police in handling this case. In this paragraph, it can be known that one of the accused is still 13 years old, but he still will get the same punishment as the adult ones, but prosecuted in a closed-door trial. The discourse of Islamic law is portrayed as a strict law. However, there’s a contrast on the implementation of the punishment on the woman and the young boy. Here, the woman will be caned publicly, while the boy will be given a closed-door trial. It seems that the law does not humanize women. Daily Mail: “Latief said the eight could be caned for raping the woman, but “it will be too lenient…”
235
Similarly, by quoting directly from that statement of Latief about the punishment, Indonesian Islamic law is still portrayed as a very strict law. There is also a phrase “too lenient” in this paragraph, which indicates that the Islamic law has a great power in punishing the accused ones without elaborating more the judicial Shariah Law perspectives. 3. Conclusion In both articles, it can be known that how the journalists put themselves as the active participants in exploring the news, started from gang-raped woman to the Sharia Law in Aceh. The journalists have completed the news through observation and interview. However, they prefer using indirect sentences to direct sentences in showing the result of interview. It indicates that how they do not only want to legitimate the news by showing the various sources, but also want to elaborate the news with their statement or opinion. As a result, both news cannot be separated with the political representation issue of Islam in Indonesia. For instance, in this case, both online newspapers dramatize what happened to the rapist and the victim after that incident. Typically, women who receive sexual harassment or get raped should have rehabilitation or mental helping to maintain her psychological in order to avoid traumatic thought. In fact, through their sensational headline, both newspapers frame more how a woman as a victim of raping is punished by Islamic Law in Aceh than how the rapist gets punishment. Thus, it can be concluded that the stereotypical image of Islam in Indonesia as the biggest, non-humanism, conservative, and powerful religion in both articles cannot be separated with a perspective that Islam is extremist and irrational. In Fairclough’s theory of cultural system, it appears that the one who has power and whose values dominantly present in society can determine discourse in society. Consequently, the image of Islam in Indonesia is politically redefined and misinformed.
References Akbarzadeh, Shahramand Bianca Smith. 2005. The Representation of Islam and Muslims in the Media (The Age and Herald Sun Newspapers). Monash University: Available at http://asiainstitute.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/571112/Islam-in-theMedia.pdf. (Accessed 5 July 2014) Cook, I van. 2006. Australia, Indonesia and the World: Public Opinion and Foreign Policy. In The Lowy Institute Poll: Lowy Institute for International Policy Fairclough, N. (1995). Media Discourse. London: Routledge Fowler, R. (1991). Language in the news. London : Routledge Mahoney, Inez. 2012. From Tolerance to Terror: Representations of Indonesian Islam in the Australian Press. University of Sidney. Available at http://artsonline.monash.edu.au/ mai/ files/ 2012/ 07/inezmahony.pdf. (Accessed 5 July 2014) Muhtadi, A.S. (1999). Jurnalistik pendekatan teori dan Praktik. Jakarta : Logos
236
Assigning Homework Viewed from the Students’ Learning Styles to Promote Autonomy Learning Yunik Susanti, University of Nusantara PGRI Kediri Agung Wicaksono, University of Nusantara PGRI Kediri
Abstract This study examined the effectiveness of assigning homework viewed from the students’ learning styles to the students’ autonomy learning over a period of twelve weeks. The sample included forty six students of English Department in Grammar III subject taught every week for 100 minutes. It was Experimental research using Pretest Posttest design, the students were given pre-intervention questionnaire in the form of closed-ended questionnaire (adopted from Zhang and Li in Deng, 2007) to know the autonomy learning degree, then the pre-study questionnaire to know the learning styles adopted from Willing, 1987. Then, the intervention, assigned homework viewed from their learning style, was given. It is found that the most of the students’ learning style is Authority-Oriented Learners. So the homework assigned based on AuthorityOriented Learners. Further, it can be found that the t –test was 3.88 and the score of t-table at the degree of freedom of 45 with the level of significant 1% is 2.42 and with the level of significant 5% is 2.68 ,So t-test >t-table 1%>t-table 5%, it means it was very significant. It can be concluded that assigning homework viewed from the students’ learning styles affects significantly to the students’ autonomy learning. Thus, it is suggested to cater the students learning styles in assigning homework as it helps the students to be more responsible to their own learning, so they will be better language learners. Keywords: Autonomy Learning; Homework; Learning Styles.
1. Introduction The concepts of learner autonomy and independence have developed rapidly in the recent decades. It is in line with that more communicatively oriented language learning and teaching has been the premium placed on the role of the learner in the language learning process. (Wenden, 1998: 9). An autonomous learners are expected to assume greater responsibility for, and take charge of, their own learning. However, learner autonomy does not mean that the teacher becomes redundant. In the present study, it is shown that learner autonomy is a dynamic process in the 'educational interventions', rather than a static product, a state, which is reached once and for all. For a definition of autonomy, Holec (1981: 3, cited in Benson & Voller, 1997: 1) describes it as 'the ability to take charge of one's learning'. On a general note, the term autonomy has come to be used in at least the following ways (Benson & Voller, 1997: 2): first, it is situations in which learners study entirely on their own; secondly it is a set of skills which can be learned and applied in self-directed learning; then it is an inborn capacity which is suppressed by institutional education; then it is the exercise of learners' responsibility for their own learning, and the last it is for the right of learners to determine the direction of their own learning. In addition learner autonomy consists in becoming aware of, and identifying, one's strategies, needs, and goals as a learner, and having the opportunity to reconsider and refashion approaches and procedures for optimal learning. But even if learner autonomy is amenable to educational interventions, it should be recognized that it 'takes a long time to develop, and--simply removing the barriers to a person's ability to think and behave in certain ways may not allow him or her to break away from old habits or old ways of thinking'. In the teaching learning process teachers organize learning activities for students during class or at home. Efficient teachers are able to prescribe appropriate work tasks that will stimulate students’ interest and enhance learning. One of the primary roles of the teacher is arrange such relevant learning experiences for students. Learning activities that are done at
237
home or it is called homework consists of task and exercises that are assigned to do at home. There some considerations that can make homework give a positive experience for students (Cole, 1994: 264) first; there is clear instruction about what the tasks are and how they should be completed, then it is the students personal responsibility to do the tasks not the parents’ , there is reasonable amount of time to complete the tasks, ask the students’ idea about what homework they want to do and about the scoring rubric, there is a feedback given by teacher or a peer assessment that is done after the completion of the homework, and the last is the assigned tasks encourage reflection on critical features in the subject matter. In assigning tasks, including homework, the teacher should also cater to the different of the students’ learning styles. The term learning styles refers to learners’ habitual or preferred ways of learning. It is “an individual’s natural, habitual, and preferred ways of absorbing, processing and retaining new information and skills” (Kinsella in Nunan, 2005:162). Styles can be defined in various ways (Christison in Nunan, 2005:162) on way is in terms of sensory style. Some individuals are visual learners, in which they learn best through seeing, while others are auditory learners, in which they prefer learning through listening to the target language. Furthermore, in the 1980s, Willing (1987) identified four different language learning strategies. There were concrete learners, analytical learners, communicative learners, and authority-oriented learners. By taking into account to these kinds of the learning styles, the tasks that assigned will be effective. In the correlation to the promotion of the students’ autonomy learning, homework may best be used. This physical training can encourage learners’ autonomy, because by doing homework students were asked to work on their own (Harmer: 2012: 168). In assigning homework there is statement of the goals that state explicitly, having the learners rate themselves against their learning goals, and encouraging them to make choices in tasks so the homework provides students with opportunities for self-directed practices, monitoring progress and evaluating for self-improvement, consolidation, or application of previously acquired learning. Thus, they have responsibility for making decisions about taking control of their learning or to be autonomous learners.
2. Research Methodology The main purpose of this research is to investigate the effectiveness of assigning homework viewed from the students’ learning styles to the students’ learning autonomy. The dependent variable is the students’ learning autonomy. Learning autonomy is defined as the capacity to take control over one’s own learning. The indicators are adapted from Benson (2001) : learners take the initiative in 1) diagnosing their learning needs; 2) formulating learning goals, 3) Identifying human and material resources for learning, 4) choosing and implementing appropriate learning strategies, and 5) evaluating learning outcomes. The independent variable of this research is assigning homework viewed from the students’ learning styles. Homework is defined as learning activities that are done at home, it consists of task and exercises that are assigned to do at home or outside the class time, and learning styles is defined as learners’ habitual or preferred ways of learning, it is “an individual’s natural, habitual, and preferred ways of absorbing, processing and retaining new information and skills and the indicators are adapted form Willing (1987) that identified four different language learning strategies. There were 1) concrete learners; 2) analytical learners, 3) communicative learners, and 4) authorityoriented learners. The experimental design of this research is pre-experimental design, using One Group, Pretest-Posttest design. The procedures of this research is: the students were given a prequestionnaire to know their degree of autonomy learning, then the intervention about assigning homework viewed from the students’ grammar learning styles was given. The last is given a post- intervention questionnaire to measure the degree of the students’ learning autonomy after the intervention had been given to the class. To know whether there or not there is significant effect of assigning homework to the students’ learning autonomy the t-test computation was used. This research was conducted in a year. The population of this research is the third
238
semester students of English Department Nusantara PGRI Kediri University academic year 2012/2013, there are one hundred seventy seven (177) students in four classes. In deciding the sample of this research, the cluster sampling was used because the students were already in the classes- classes IIA-IID, with the same or homogenous condition, Those classes were chosen randomly to decide the class sample. The chosen class in IIB that consists of 46 students. The research instruments used in this research are three kinds of closedended questionnaires. The first is pre-study questionnaire; it was designed to know the students’ learning styles especially when they learn grammar. This questionnaire is adopted from Willing, National Centre for English Language Teaching and Research, 1987). There are 24 items, in which there are six (6) questions in each learning styles. The learning styles are communicative learners, Authority-oriented learner, Concrete learner, and Analytical learner. The options are Like this best, Good, Average, Dislike. They are scored 4,3,2,1. (see appendix 1). The second is pre-intervention questionnaire; it is adopted from Zhang and Li (2003: 23), because it has been proved to have high content validity and reliability. It is used to know the students’ learning autonomy before the intervention of assigning homework viewed from the students learning styles was given. There are 20 items with five options, A,B,C,D,and E. The scores are given 1,2,3,4,5, so the student’s autonomy learning can be revealed (see appendix 2). After given the intervention, the students will be given a post-intervention questionnaire, the questionnaire is the same as pre-intervention questionnaire. All of the data in this research were in the form of quantitative data and they were analyzed with the following ways: 1) The data from the prestudy questionnaire about the students’ learning styles was scored then it was analyzed using percentage formula to get the most frequent learning styles used by the students. 2) The data from pre and post intervention questionnaire about the students’ autonomy learning were turned into scores based on the Likert-scale, the score from A to E were respectively 1,2,3,4,and 5. In order to know whether there is significant or not of assigning homework viewed from the students’ learning styles to the students’ autonomy learning the data were analyzed with t-test computation for two tails. 3. Data Presentation 3.1. Data of the Assigning Homework viewed from the Students’ Learning Styles The following table is the result of the questionnaire to know the most frequent students’ learning styles. Table 4.1 Description of the Students’ Learning Styles X A B C D
F 9 17 8 12 46
F% 19.15% 36.17% 17.12% 27.65% 100%
It means that most of the students’ learning style is Authority-Oriented Learners. Authority-oriented learner is the learner who likes a deductive approach in which the teacher provides a rule and then gives them opportunities to apply the rule. So the assigning homework was based on this principle. The homeworks were given four (4) times for two (2) months (November, and December), the form of the homework was in written forms for individual homework. The materials were about passive voice and modals auxiliaries. The researcher provided the rules and exercises to apply those rules then invited the students to discuss, gave the score and feedback and reflection to the students about their difficulties in completing the homework. Based on the feedback and reflection the researcher asked the students to find their own material to give them opportunity to do further exercises in the same materials. The following are the activities conducted during the intervention:
239
The first homework was about the form of passive voice, the students were asked individually to do exercise, then submitted in the next meeting. In the class the students were invited to submit, then asked the students to do peer assessment in which the answers of the exercises were discussed, and the score was given. From this activity, the students recognized and identified their strength and weaknesses in mastering the materials. Then the students were asked to find their own materials to give them further activity to do exercises in the same topics. The second homework was in the same set with the first homework, but about the material was the use of passive voice. The procedure was the same. In the class the students were invited to submit, then asked the students to do peer assessment in which the answers of the exercises were discussed, and the score was given. From this activity, the students recognized and identified their strength and weaknesses in mastering the materials. The third homework was about the use of modals and similar modals (must, have to, have got to, mustn’t and don’t have to) to express about necessity, prohibition and lack of necessity. In the class the students were invited to submit, then asked the students to do peer assessment in which the answers of the exercises were discussed, and the score was given. From this activity, the students recognized and identified their strength and weaknesses in mastering the materials. Then the students were asked to find their own materials to give them further activity to do exercises in the same topics. The fourth homework was about the use of modals and similar modals (can, could, be able to and was/were able to) to express about ability and past ability. In the homework the students were asked to finish out of class hour then In the class the students were invited to submit, then asked the students to do peer assessment in which the answers of the exercises were discussed, and the score was given. From this activity, the students recognized and identified their strength and weaknesses in mastering the materials. Then the students were asked to find their own materials to give them further activity to do exercises in the same topics. 3.2. Data of the Students’ Autonomy Learning before being Assigned Homework Viewed from the Students’ Learning Styles. The following are the table of the frequent score of students’ autonomy learning before being assigned homework viewed from their learning styles. Graphic 4.3 The Students’ Autonomy Learning before the Intervention 20 10
Frekwensi
0 48-52
53-57
58-62
62-67
68-72
73-77
78-82
3.3. Data of the Students’ Autonomy Learning after being Assigned Homework Viewed from the Students’ Learning Styles. After being treated by assigning homework viewed from their learning styles, the students were given post-intervention questionnaire in order to know their autonomy learning. The following are the graphic of the students score: Graphic 4.4 Graphic of the Post-Intervention Questionnaire 20 10 Frekwensi
0 56-58
59-61
62-64
65-67
68-70
71-73
74-76
240
4. Data Analysis and Interpretation There are three data that are needed to answer the research questions. The first data is the data of the students learning styles, secondly, data of the students’ autonomy learning before being assigned homework viewed from the students’ learning styles and the last is data of the students’ autonomy learning after being assigned homework viewed from the students’ learning styles. The procedures of analyzing those three data are: first, getting the deviation score of each subjects then getting the and after that the t score can be gotten With db 25 it can be inferred that the score of t-table in two tail with the level of significant 1% is 2.42 and with the level of significant 5% is 2.68,So, it can be concluded that ttest >t-table 1%>t-table 5% From the result of the data analysis mentioned, it is found that t–test was 3.88. At the degree of freedom of 45, t-tabel was 2.68 at the level of significance of 5% and 2.42 at the level of significant of 1%. So, it means that t-test (3.88) > t-table of degree of significance of 5% (2.68) and 1%(2.42). It means it was very significant. It can be stated that: The null hypothesis (Ho):There is no significant effect of assigning homework viewed from the students learning styles to the students’ autonomy learning is rejected. The alternative hypothesis (Ha): There is significant effect of assigning homework viewed from the students learning styles to the students’ autonomy learning is confirmed. From the result of the data analysis it is proved that assigning homework viewed from the students’ learning styles affected significantly to the students’ autonomy learning. It is in line with the theory stated by Harmer (2012: 168) who stated that :” Homework can best be used to promote learning autonomy. This physical training can encourage learners’ autonomy, because by doing homework students were asked to work on their own.” Furthermore Benson (2002) stated that ”Learners who are lack autonomy are capable of developing it can be promoted by given appropriate conditions and preparation. It includes giving the opportunity to exercise control over learning, organizing the practice of teaching and learning so it will give important influence on the development of autonomy among learners.” In addition in assigning homework Harmer (2012:168) argued that the teacher should “ set clear instruction about what the tasks are and how they should be completed, tell that it the students personal responsibility to do the tasks not the parents’, tell that there is reasonable amount of time to complete the tasks, ask the students’ idea about what homework they want to do and about the scoring rubric, give a feedback given by teacher or a peer assessment that is done after the completion of the homework , encourage reflection on critical features in the subject matter.” Furthermore, the result of this research also related to the theory of catering the students’ learning styles in designing and implementing teaching activities and tasks stated by Nunan (2005:164) . In addition , it can be said that the result of this research also proved that fostering autonomous learning can be conducted using various approaches as stated by Benson who stated that there are six (6) practices associated with the development of autonomy, namely ; Resources-based, Technology-based, Learner-based, Teacher-teacher, Classroom-based, and Curriculum Based Approached (2001: 111) . In which this research used resources-based approaches as the heading of conducting this research. 5. Conclusion and Suggestion Autonomy Learning as the capacity to take control over one’s own learning that consists in becoming aware of, and identifying, one's strategies, needs, and goals as a learner, and having the opportunity to reconsider and refashion approaches and procedures for optimal learning has been proved can be promoted by given appropriate conditions and preparation. It includes giving the opportunity to exercise control over learning, organizing the practice of teaching and learning so it will give important influence on the development of autonomy among learners. Homework is proven as one of the opportunities that can affect the students’ autonomy learning. In assigning homework learners’ habitual or preferred ways of learning or learners’ learning styles is considered can intensify the assigning homework. However, the process of catering the students’ learning styles can be difficult as there are many difference learning styles in the class. So by taking the majority of the students’ learning styles in the class
241
can be one solution to face this problem. Finally, autonomy learning is not only desirable but achievable in everyday context of language teaching and learning. Based on the conclusion above, it can be suggested: 1. To the teacher: to assign homework in order to promote the students’ autonomy learning, because by assigning homework the students can be more independent and responsible in practicing the materials and also they aware their responsibility to find further exercises in the materials that they consider to be difficult. Furthermore, in assigning homework, the students’ learning style should be catered. As it helps the students to learn based on their ways and habitual preferred idea. However, in catering the students’ learning styles it is quite difficult to cater all different kind learning styles for each student in the class. So it is suggested to cater the majority of the students’ learning styles is acceptable. 2. To the other researcher: to do further research to find the most effective approach in promoting the students’ learning autonomy. Because there are some approaches that can be used to promote the students’ autonomy learning, for example by using classroom, curriculum, teacher, learner, resources, or technology based approaches.
References American Federations of Teacher (AFT). 2011. Assigning Effective Homework. (Online) available at www. AFT.org/TEACH today. (Accessed 28August 2013) Benson, P. 1996. Concepts of Autonomy in Language Learning. In R. Pemberton, S.L. Edward, W.W.F. Or, and H.D. Pierson (Eds.). Taking control: Autonomy in language learning. Hong Kong: Hong Kong University Press. 27-34. Benson, P. 2001. Teaching and Researching Autonomy in Language Learning . England: Pearson Education Limited . Brown, Douglas H. 2000. Principles of Language Learning and Teaching., Fourth Edition. New York: Longman. 112-135 Blazer, Christie. 2009. Literature Review: Homework. Research Service of Miami-Dade County Public School: Florida. Casson, Kathleen. 2002. Basic Strategies for Assigning Homework. LEARN NC, The University of North Carolina. Chapel Hill. Cole, Peter G. 1994. Teaching Principles and Practice. Prentice Hall: Australia. 253-264 Dafei, Deng. 2007. An Exploration of the Relationship Between Learner Autonomy and English Proficiency. Asian EFL Journal, Professional Teaching Article. Harmer, Jeremy. 2012. Essential Teacher Knowledge (Core Concept in English Language Teaching). Pearson Education Limited: England. 9-76 Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching. England: Longman. 37-48. Holec, H. 1987. The Learner as Manager: Managing Learning or Managing to Learn? in A. Wenden & J. Rubin (Eds.). Learner strategies in language learning. Cambridge: Prentice-Hall. 145-56. Holec, H. (Ed). 1988. Autonomy and Self-directed Learning: Present fields of application. Strasbourg: Council of Europe. Little, D. 1996a. Freedom to learn and compulsion to interact: promoting learner autonomy through the use of information systems and information technologies. In R. Pemberton, S.L. Edward, W.W.F. Or, and H.D. Pierson (Eds.), Taking control: Autonomy in language learning. Hong Kong: Hong Kong University Press. 203-219. Little, D. 2002. Learner autonomy and second/foreign language learning. In The guide to good practice for learning and teaching in languages, linguistics and area studies. LTSN Subject Centre for Languages, Linguistics and Area Studies, University of Southampton. Murphy, Raymond. 2000. Grammar in Use. Intermediate. Cambridge: Cambridge University Press.50-61.
242
Nunan, David. 1995. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. Boston : Phoenix ELT . 167-187 Nunan, David. 2005. Practical English Language Teaching: Grammar. New York: The McGraw Hill Inc. 157-170 Thanasoulas, Dimitrios. What is Learner Autonomy and How Can It Be Fostered?. Available at www.itslj.org/Thanasoulas-Autonomy.html. (Accessed 20 June 2013) Spiri, John. 2009.Re-conceptualizing Homework as Independent Learning. Available at ELTWorldOnline.com. (Accessed 13 June 2013) Schmitt, Robin D.1993. Effect of Homework on Student Commitment, Growth and Performance. Faculty of Education Of the University of Lethbridge. Available at www.uleth.ca/dspace/handle. (Accessed at 23 June 2013)
Appendix 1 Questionnaires to Investigate the Students’ Learning Styles Direction: In order to investigate the students’ Learning Styles, will you please Score these statements to your true cases. Thank you very much for your help and patience! Key: 4 = I like this best; 3 = This is good; 2 = I don’t like this much; 1= I don’t like this at all. Group A ---------- I like to learn by watching and listening to native speakers. ---------- I like to learn by talking to friends in English. ---------- At home, I like to learn by watching films and videos in English. ---------- I like to learn by using English outside the class. ---------- I like to learn English words by hearing them. ---------- I like to learn by having conversation. Total: --------Group B ---------- I like the teacher to explain everything to us. ---------- I like to write everything in my notebook. ---------- I like to have my own copy of the textbook. ---------- In class, I like to learn by reading. ---------- I like to study grammar. ---------- I like to learn English words by seeing them. Total: --------Group C ---------- I like to learn by playing games. ---------- I like to learn by looking at pictures, films, and video. ---------- I like to learn by talking in pairs. ---------- At home, I like to learn by listening to cassettes. ---------- In class, I like to learn listening to cassettes. ---------- I like to go out with the class and practice English. Total: --------Group D ---------- I like to study grammar. ---------- At home, I like to learn by studying English books . ---------- I like to study English by myself (alone). ---------- I like the teacher to let me find my mistakes ---------- I like the teacher to give us problems to work on. ---------- At home, I like to learn by reading newspaper. Total: --------Now, add up the subtotals, so that you have a total score for each group of statements.
243
Appendix 2 Questionnaires to investigate the Learner Autonomy Direction: In order to investigate the Learner autonomy, will you please circle the one closest answer to the following questions according to your true cases. Thank you very much for your help and patience! Part I (A. never B. rarely C. sometimes D. often E. always.) 1. I make good use of my free time in English study. ABCDE 2. I preview before the class. ABCDE 3. I find I can finish my task in time. ABCDE 4. I keep a record of my study, such as keeping a diary, writing review etc. ABCDE 5. I make self-exam with the exam paper s chosen by myself. ABCDE 6. I reward myself such as going shopping, playing etc. when I make progress. A B C D E 7. I attend out-class activities to practice and learn the language. ABCDE 8. During the class, I try to catch chances to take part in activities such as pair/group discussion, role-play, etc. ABCDE 9. I know my strengths and weaknesses in my English study. ABCDE 10. I choose books, exercises which suit me, neither too difficult nor too easy. A B C D E Part II 11.I study English here due to: A. my parents’ demand B. curiosity C. getting a good job, help to my major D. interest of English culture, such as film, sports, music, etc. E. C and D 12. I think the learner-teacher relationship is that of: A. receiver and giver B. raw material and maker C. customer and shopkeeper D. partners E. explorer and director 13. I think my success or failure in English study is mainly due to: A. luck or fate B. English studying environment C. studying facilities(aids) D. teachers E. myself 14. Whether students should design the teaching plan together with teachers or not, my opinion is: A. strongly oppose B. oppose C. neutral D. agree E. strongly agree 15. When the teacher asks questions for us to answer, I would mostly like to: A. wait for others’ answers B. think and ready to answer C. look up books, dictionaries D. clarify questions with teachers E. join a pair/group discussion 16. When I meet a word I don’t know, I mainly: A. let it go B. ask others C. guess the meaning D. look up the dictionary E. B and D
244
17. When I make mistakes in study, I’d usually like the following ones to correct them: A. let them be B. teachers C. classmates D. others F. books or dictionaries 18. When I am asked to use technologies that I haven’t used before(e. g. internet discussion), A. I usually try to learn new skills B. I learn them following others C. I feel worried, but anyway D. I put it off or try to avoid it E. I resist using them 19. I think the following way is most useful in my English study: A. taking notes B. mechanic memory C. doing exercises of grammar, translation, words etc. D. classifying or grouping or comparing E. group discussion 20. I usually use materials selected: A. only by teachers B. mostly by teachers C. by teachers and by myself D. mostly by myself E. only by myself
245
Lexical Meaning and Cultural Adaptation on the Product of Nestle Dancow I G. Ag. I. Aryani, Faculty of Letters and Culture, Udayana University, Denpasar, Bali Sri Widiastutik, STMIK STIKOM Denpasar, Bali
Abstract Urban society is a critical consumer in deciding optional product according to their senses, evaluation, believe and human needs. They evaluated the product from its brand name and written language provided on the packages including: product quality, information of nutrition, and also expired date. The image or picture is an additional variation to attract consumer interest. Nestle Dancow intends to convince their customers that word(s) or lexical items are mutually useful to be noticed in order to show its quality. Connotation and denotation meanings of highlighted lexical items within its cultural adaptation using the process of copy adaptation to fit the culture of its targeted group in discourse advertising found on the packages of Nestle Dancow. Majorly, the package used Indonesian texts but minority of English text. It meant that the producer intends to adapt the Indonesian culture analyzed into signs and symbol visualized on the packages of product and messages seen as factual transmissions sent from producers to consumers, emphasizing text as trade of the addresser and addressee. Keywords: connotation; culture; denotation; lexical items; meaning
1. Introduction Advertising is one of the unique media to be analyzed since it can cover various aspect of the language including culture. In this research our concern on the lexical items meaning as written text used on the package of product in which its purpose is for promotion and attracting consumer attention. It influences them in making decision to buy the product. This depends on their impression and agreement if they have seen and read the packages of product through word(s) or even images created. A creative designer intends to apply their capability by constructing text in reality in order to give a powerful effect on the language and images as the additional element. There is a relatively close relationship between a demand and language power when someone, in this case a consumer which is being instructed indirectly to buy the product of producer. Besides, adaptation of culture made to achieve consumer as the target market. Granat (2003) mentioned that AIDA (Attention, Interest, Desire and Action) formula is used in order to evaluate the messages of an ads, has it been created to attract the addressee attention; increase interest to the product, messages and service being offered; stimulate their desire to buy any particular product; and force a person to take reaction afterwards. Meanwhile, Cook (2001) and Goddard (2002) conveyed that text in discourse advertising is explicitly multimodal into its practical. They majorly underlined that advertising as discourse, not mainly focus on the language itself but also examine the context of communication: who is communicating with whom and why; the kind of society and situation; medium used; different types and acts of communication evolved and their relationship including culture. Bateman et.al (2002) also supported this statement, related to Cook’s multimodality in practical. In addition, Boeriis (2008) analyzed text and context for its meaning-making from a multimodal perspective, the situational context of communication situation that labeled in five elements: actual sender, actual receiver, producer, target audience and text. Nestle is one of the well known product in Indonesia and derived from Switzerland since 19th century. This product has its local entrepreneurship partners in Indonesia since March, 1971 placed at three locations of factories: Tanggerang (Banten), Panjang (Lampung) and Kejayan (East Java) (http://www.sahabatnestle.com/sejarah.aspx). Their product of milk varied as of: Dancow 1+, 3+, 5+, actigo, enrich, batita, calcium plus, etc. The lexical items and image
246
on packages has been creatively designed with innovation according to their types and standard use of age. The text in each packages employed brand name and slogan stick in the mind of their consumer for years. Moreover, cultural variation in Indonesia has been adapted by Nestle Dancow on how text works within the process of copy adaptation which given impact to the society belief of the product. The urban society as consumer has their own perception of the lexical meanings implied on the packages. The diversity could be influenced by their background of knowledge, social interaction to obtain information concerning on the product, and also belief. Lexical items absorbed on their thought after reading text, and then messages received will be evaluated, considered into meanings and final decision to be executed. Mainly, text on the packages of product is designed in brevity and precision to be understood by the consumer as the reader. The producer duty is to hypnotize and persuade them to buy their product. The perfect combination of writing within pictures or images as the additional part of advertisement could give benefits on both sides, for consumers who could obtain knowledge of their product qualities and beneficial target market for producer. There are several assumptions encountered in the text or lexical items of advertising, as of: a. Consumer understanding to a particular text of Dancow which may differ concerning on English versus Indonesia texts listed on packages. b. The differences of denotation and connotation meaning on lexical items according to the target of consumer for particular product. c. Brand names and product quality of Nestle Dancow have a high value of impression to the urban society. d. The lexical items or text and its context including images could attract consumers in conditioned within the cultural adaptation in Indonesia. Based on the above assumptions, further analysis related to advertising discussed for its English text presented on the packages of Nestle Dancow and Indonesia text will be analyzed on its role of explanation. Several part of multimodal aspects were analyzed in the result of discussion focusing on meanings of connotation and denotation as the paramount of words implied on the package, including participants intention and interpretations, co-text, knowledge and beliefs, attitudes, affiliation and feelings, including their facial expressions and gestures (in pictures). These were combined together, interacting in a way which is meaningful and unified by the participants as they used their cognitive processes with features specific of culture. 2. Methodology The methodology of research was conducted through literature study and field research, as of: a. Data source was collected from 50 (fifty) questionnaires distributed to Dancow consumers located in Denpasar and Gianyar who has been familiar with the product as their daily life consumption. Interview was also conducted in order to direct the respondents in filling out open-ended questionnaires. These data was sorted and classified based on their level of understanding English words on the packages by asking them to translate the words meaning into Indonesia. Moreover, the Indonesia text only compared on how they are explaining the English text whether the product able to adapt within Indonesia culture., but not deeply analyzed since the urban society is the native speaker of the Indonesia. Additional documentation was provided to obtain information concerning on the analysis of lexical items or text types and image on the packages. b. This research was qualitatively analyzed based on Cook (2001) and Goddard (2002) in discourse advertising. Quantitatively, it was measured on means from the respondents understanding of English lexical items found on the product of Nestle Dancow Enrich and Actigo. 3. Literature Review Goddard (2002) mentioned differences of terms related to the academic domains, as of: ‘writers and readers’ from different literary studies in which text is seen as an artistic written entity and composed by a creative individual; ‘sender and receiver’ as ideas of science in which
247
messages seen as factual transmissions sent through messages; ‘producer and consumer’ from social sciences that emphasizes commercially of the interaction, trade as text; ‘addresser and addressee’, text as spoken interaction in face-to-face personal communication. In this case, advertising often uses literary devices and aspect of scientific technology to send messages for purposes of trade; appears speaking personally to the reader; more dramatic than programs or articles they punctuate. In addition, he also stated that the process of copy adaptation in adjusting the text within a culture into its targeted group was also used in the advertising by having a cultural knowledge is essential for producer to understand. According to Cook (2001), describing advertising as discourse is complex in which it is not concerned with the language alone but can be considered to be analyzed into its context, consists of: (a) substance: physical material which carries text; (b) music and pictures; (c) paralanguage: meaningful behaviour that accompanies a language, i.e. voice quality, gestures, facial expressions and touch, letter sizes; (d) situation: the properties and relations of text as object that perceived by participants; (e) cotext: text which precedes under analysis, and participants judge it to be the same discourse; (f) intertext: text which participants perceived to belong to other discourse but associated with text under consideration, and that affects its interpretation; (g) participants: intention, interpretation, knowledge, feelings beliefs, attitudes and affiliation of participants; (h) function: what the text intended to do by the senders and addressers, or receivers and addressees. Those eight contexts of advertising were further discussed in the following paper focusing to particular product of Dancow depend on the findings of research but focused on the meaning of lexical items used written text and additional image on packages. Moreover, Puspita (2005) research conveyed that most of text on printed advertisements used expressed in informational function, aesthetics and directive ways. Gemitri (2012) underlined advertisement in terms of structures and components. She found out that most printed text has denotative meaning and texts were attractively displayed. Additionally, Sukarini (2012) conveyed that variation of lexical elements used in the meaning of public service advertisements within were found in imperative, interrogative, declarative forms which function to give information. Moreover, Setiadi, N.J. (2003) and also Schifman, L.G and Kanuk, L.Z. (2007) as theorist of advertisement mentioned that culture could be effecting consumer behaviour which accumulate to his or her personal feelings in giving evaluation to an advertisement. 4. Results and Discussions There were 4 (four) different taste of Nestle Dancow product such as: Enriched Instant Cokelat, Enriched Full Cream, Enriched Instant and Actigo analyzed concerning on English words or lexical inserted on the packages, designed by primary substance of hard cover paper and combination of letters size. Meanwhile, images or pictures presented as the additional variation as the non verbal signs. The results of study can be analyzed in the following discussion: 4.1 Denotation and Connotation Meanings Denotation meaning is the reality of meaning that can be explained in the dictionary. However, connotation meaning is an idea which word(s) makes one think of the main meaning (Oxford, 1994). This could be observed from their variation of product names with their specific characteristics of lexical items, as of: (a) enriched denotes to make somebody or something rich or richer. It is a passive verb that could have persuasive understanding since it followed declaratively with words: FortiGro, zink, zat besi, kalsium, protein. The connotation meaning is relatively for the benefit of producer to receive valuable income for their company and consumer to obtain a healthy life by consuming a qualified product of milk; (b) instant denotes ready to be used or consumed. The connotation meaning related with producer intention to present the quality of nutrients milk to the market; (c) instant cokelat defined the sense of chocolate taste, even these were written mixed languages (Indonesia-English) but the word instant has known similar to instan meaning in Indonesia makanan atau minuman siap saji. The perception of consumer’s meaning was relatively similar to their understanding that it denotes to
248
milk chocolate that is ready to be consumed; (d) full cream representing the yellowish- white liquid that is the fatty part of milk. It connotes for higher income received by the producer and consumer can obtain beneficial nutrition; (e) Actigo is an abbreviation that stands for Active and Go. Active denotes to energetic and go denotes to reaction of moving. Besides, those words have similar connotation meanings of benefit for producer and enhance nutrition for human being who consumed the milk. 4.2 Co-text and Meaning on the Back Side Package Repeated English lexical items were found on most packages in a co-text, particularly on Enrich and Actigo products. It seemed that repetition made function to create a mindset for consumer and indirectly influenced them that producer care on their needs. It also proves that those belong to the similar product of Nestle, as of: (a) The slogan Good Food, Good Life denotes that nestle aim to provide the best tasting product in their categories, eating and drinking is first and famous about enjoyment and pleasure but the producer also want to improve the nutrition to their categories in order to ensure that their product launches taste better and are nutritionally superior to those of competitors. (www.nestle.com/aset library/document...2010). This refers to the connotation meaning for the producer commitment to combine science and technology which fulfill basic human needs of nutritious food including milk that are safe to be consumed, future planning could be achieved if supported with better nutrition absorbed in our body. The function of the slogan is to give an understanding to the consumer as the target since producer care to their surroundings including environment condition; (b) Good Question listed on Nestle Dancow Enrich and Actigo conveyed with a question in Indonesia, asking the consumer especially as a mother whether she has known nutrient content on each milk packages for essential growth and its function in maintaining healthy bones of a child; (c) Good to know denotes to something to be aware of and connotes to the knowledge of product concerning on nutrients content and vitamin; (d) Good to remember denotes to a high quality of cognitive process into the mind and connotes to information of nutrient function discussed on the function of each nutrient; (e) and social activities could be found on Talk to us denotes to a conversation or information to be informed and connotes to phone number of consumer service and web page address which giving further information of contact to Nestle Consumer Services phone number and website. All of these parts of the text were explained into Indonesia to be easily understood by the society and directed for mother as the person who cares about her child growth. It can be read for example at the back of Nestle Dancow Enriched Full Cream package andwww.sahabatnestle.co.id in Indonesia text i.e. Tahukah ibu asupan nutrisi membantu mendukung pertumbuhan dan aktivitas anak?. Based on our analysis, the combination of English words as phrases connected between each of them including the slogan has been considered by the producer for attracting the consumer attention as participant to read the text, as below illustration:
Good Food, Good Life Good question
Good to remember
Good to know Talk to us In the above illustration could be explained in its circularity that producer and consumer seemed have a close relationship of communication. It gives reaction to personal feeling of consumer for buying the product related with the information given in written on the package.
249
4.3 English Understanding of Urban Society The text was found on each package had strongly connected to influence and attract attention of Indonesian consumer by presenting innovation of words on its packages to give first positive impression. 10 (ten) English lexical items or text used to measure their understanding of meaning as listed below: Table 1. The Level of Understanding English Respondents Lexical items (R1 – R50) En IsC FCr GFGL FGr Gq Gkn Gtr Tus NCS Total Answer per 20 33 35 29 16 29 30 29 27 33 lexical items Total Answers 281 Means 281:50 = 6 Description and major response of English lexical meanings into Indonesia translation questionnaires fulfilled by 50 (fifty) respondents: (a) En = Enriched = diperkaya; (b) IsC = Instant Cokelat = cokelat instan; (c) FCr = Full Cream = kandungan susu dengan krim; (d) GFGL = Good Food, Good Life = makanan sehat, hidup lebih baik; (e) FGr = FortiGro = 40g kandungan nutrisi untuk pertumbuhan; (f) Gq = Good Question = pertanyaan cerdas; (g) Gkn = Good to know = baik untuk diketahui; (h) Gtr = Good to remember = baik untuk diingat; (i) Tus = Talk to us = hubungi kami; (j) NCS = Nestle Consumer Services = kontak layanan nestle. Generally, in Table 1 showed that the means of understanding the English on packages were around 6 (six) words or phrases from 10 (ten) words or phrases understood. Significant understanding was found from most consumers as literate consumers who have a good understanding of English inserted in the majority of Indonesia text. It depends on their background of knowledge; memorizing and interest to read the whole words provided and absorbed them into their mind in order to get the meaning. The highest of 35 (thirty five) participants understood the meaning of Full Cream because most of them have read and noticed the meanings experienced through taste of cream. FortiGro was the lowest grade rating of understanding, only 16 (sixteen) of them could realize the meanings since they have read the detail of nutrient composition used in 40g (forty grams) for optimum growth. Besides, consumer services were used if they have further information required without leaving any space on the sides of package. 4.4 Brand Name, Symbol, and Image A well known company such as Nestle surely has tested its brand name before being produced to the market area. Dancow is derived from Nestle product has been familiarized by Indonesian consumers, adjusted within the Indonesia culture including words pronunciation. If separated into syllables of ‘Dancow’ becomes ‘Dan - Cow’ that seems to be indirectly naming an animal or dairy cow, and its relation of Indonesian tongue pronunciation into ‘Dan-Kau’. This is also related with its continual lyric of short song ‘Aku dan Kau Suka Dancow’. In this case, there were indirectly close relationship between the consumer and producer. Furthermore, it could be seen in the following figures of snapshot dated on 6/16/2014:
Figure 1. Nestle Dancow Actigo and Enrich (front side)
250
Figure 2. Nestle Dancow Enrich (Back side)
Figure 3. Nestle Dancow Enrich (Left side) The name ‘Dancow’ was presented in red colour and bigger font size compared to other letters accompanying in order to be easily in reading and searching the product required by the consumer. Most of them were interested to read and notice the expired date written which is a reliable period for consumption if they have continually bought the product. The blue label of Nestle Research Centre Switzerland on the top right corner (figure 1) meant that it has been tested for the product quality of nutrient content through research. Majelis Ulama Indonesia label placed on the left corner below the picture symbolizing the proof of permission and also product test verified by the religion institution because it is a sensitive case for product consumption, especially for the Muslim in Indonesia. A standardize logo picture of baby birds with their mother and nest under its slogan (figure 2) showed that the product were concerned with the living nature and environment. A dairy cow (figure 3) symbolizing the milk production derived from this animal. Spoonful of milk below the cow given was the direction of use. The paralanguage found additional supporting elements using Indonesian with expression of smiling faces, gesture, dominated with yellow colour of package symbolized happiness and effect for a brighter future as seen on the photo of children and family. A glass of milk splashed referred to its freshness taste and heart in gold symbolized the meaning of love among a healthy family. 4.5 Cultural Adaptation Nestle producer has adapted Indonesian culture even though they have inserted English lexical items on several packages of milk product, especially for the product of Enrich and Actigo. The majority of Indonesia text or lexical items on the packages had proven that they have learnt and adapted the cultural variety in Indonesia to be accepted in the society. The urban society can be classified as a literate society because they generally concern on written text than to speech. Simply, they are quite easy to be influenced by a particular product such as Nestle Dancow that has suited their needs of inquiry and interest. Their first sight and impressions of
251
ads on packages were the most valuable connection that enable producer to attract their attention for further reaction to buy the product. The detail information given through lexical items, symbols, brand name, composition of nutrients and added images of Indonesian family, fresh milk with gesture of smiling faces and also eye contact among them showed that producer have a close relationship with the consumer. The Indonesian icon used to be one of the supporting elements that could affect consumer belief. 5. Conclusion It can be concluded that combination of English lexical items did not reduce consumer decision to buy or consume the product of Nestle Dancow since they have a mindset of its quality through years and producer has been using Indonesia as the language and Indonesian icon that represent cultural adaptation on the package. Besides, the denotation and connotation meaning of English lexical items could persuade and convince consumers. The urban society has believed the branded product as a high value for their better future of life as the symbol of Nestle Dancow. Additional images provided on the packages had inspired and assisted them to choose the right product in positive signs to direct consumer attention, interest, desire and action. Acknowledgement We would like to give our sincere thanks to Nestle Dancow for their valuable information, Faculty of Letters and Culture, Udayana University for their support in completing this research, and those who have participated in fulfilling the questionnaires. References Batemen., J. et.al. 2002. Multimodality and empiricism: methodological issues in the study of multimodal meaning making. Accessed in Pdf at www.fb10.unibremen.de/.../downloads/batemen-d.... dated 5/8/2014. Boeriis, M. 2008. Mastering Multimodal Complexity. Accessed in Pdf at static.sdu.dk/…/Morten%20Boeriis%Mastering%20Multimodal%20Comp…dated 6/28/2014. Cook, Guy. 2001. 2nd Ed. The Discourse of Advertising. Routledge, New York. Gemitri, Ni K. 2012. Verbal and Visual Signs of Food Advertisements in Jakarta Java Kini and The Beat Magazines. Udayana University, Denpasar. Goddard, A. 2002. The Language of Advertising. 2nd Ed. Written Text. Routledge Taylor & Francis Group, London and New York. Granat, J.P. 2003. Persuasive Advertising for Entrepreneurs and Small Business Owners Alat Jitu Menyampaikan Pesan Niaga yang Lebih Efektif. http://www.sahabatnestle.com/sejarah.aspx. accessed on 1/5/2014 Oxford Advanced Learner’s Dictionary. 1994. 11th Ed. ISBN 0194311368, Great Britain, The Bath Press. Puspita, Ni Wayan Ita. 2005. The Analysis of Language Function in Advertisements of Restaurant in Bali Advertiser. Udayana University, Denpasar. Schiffman, L. G. and Kanuk, L. L. 2000. Consumer Behaviour translated by Kasip, Zoelfli. Perilaku Konsumen. 7th Ed., 2007. Prentice Hall, Inc.: Jakarta. Setiadi, N. J. 2003. Perilaku Konsumen: Perspektif Kontemporer Pada Motif, Tujuan, dan Keinginan Konsumen. 4th print, Rev. Ed. ISBN: 979-3465-18-2, Kencana Prenada Media Group Sukarini, N.W. 2012. Dissertation: Iklan Layanan Masyarakat: Kajian Teks dan Semiotik. www.nestle.com/aset library/document...2010, annual-report-EN.Pdf accessed on 05/06/2014 www.sahabatnestle.co.id accessed on 04/06/2014
252
Hedges ~ Janain Desuka ~ Ketidaklugasan Dalam Berkomunikasi: Sebuah Ekspresi Budaya Santun Masyarakat Jepang Irma Winingsih, Universitas Dian Nuswantoro
Abstrak
Dalam menyampaikan suatu pendapat orang Jepang seringkali mengakhiri kalimatnya dengan hedges “janain desuka” yang artinya “dont you think/tidakkah kamu pikir/bukankah.....” Bentuk hedges ini dapat dikatakan setara dengan “to omoimasu” yang artinya “menurut saya...” di mana fungsinya adalah untuk mengurangi kadar keterusterangan atau kelugasan tuturan. Ini merupakan ekspresi budaya sopan santun di Jepang yang menyebutkan bahwa semakin tidak terus terang atau lugas suatu tuturan, maka tuturan tersebut dapat dikatakan semakin sopan. Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis kesalahan tuturan yang dilakukan oleh pemelajar bahasa Jepang di jurusan Sastra Jepang Universitas Dian Nuswantoro Semarang tingkat 3, dalam perkuliahan Advance Japanese Practice yang penulis ampu. Pada saat praktik dengan role play atau presentasi, siswa sering lalai menggunakan hedges ini yang akibatnya tuturan menjadi terlalu lugas dan terlalu terus terang, dan menurut budaya Jepang, ini mengurangi kadar kesopanannya. Data yang diambil dari tuturan mahasiswa yang mengandung hedges “janain desuka” dalam perkuliahan Advance Japanese Practice akan penulis analisis kesalahannya dengan kajian pragmatik. Kata Kunci: hedges; janain desuka; ketidaklugasan, kesantunan
1. Pendahuluan Dalam komunikasi verbal antar manusia, bahasa memegang peranan yang penting. Sesuai fungsinya sebagai penghubung dalam pergaulan manusia, bahasa memiliki kemampuan untuk memproduksi berbagai fitur bahasa dan sekaligus menciptakan batasan–batasan untuk membuat bahasa tersebut menjadi lebih lembut dan santun. Hedges merupakan inti dari komponen bahasa ini yang selain dapat memperlunak ujaran dalam bahasa juga dapat menciptakan kalimat yang lebih meyakinkan lawan bicara. Salah satu hedges dalam bahasa Jepang adalah tag question “janain desuka” (bukankah....) yang mempunyai varian “janaika” dan “janai?” Di sini penulis akan menganalisis kalimat yang dituturkan mahasiswa program studi Sastra Jepang S1 Universitas Dian Nuswantoro semester 6 dalam debat (touron) yang diadakan di kelas. Kalimat yang para mahasiswa tuturkan seringkali tidak menggunakan hedges “janain desuka”, atau kadang malah salah dalam penggunaannya. Analisis yang akan penulis lakukan adalah dari perspektif pragmatik yakni dari konteks yang melatarbelakangi penggunaanya. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah ujaran mahasiswa tingkat 3 dalam debat yang diadakan pada mata kuliah advance japanese practice di program studi sastra jepang universitas dian nuswantoro. Data yang penulis gunakan adalah kalimat yang merupakan pernyataan atau pendapat mahasiswa, yang tidak menggunakan hedges. 3. Teori a. Hedges dan Kesantunan di Jepang Dalam berkomunikasi dengan sesamanya manusia menggunakan bahasa. Bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan informasi dan bertukar ide, pemikiran serta pendapat. Untuk menciptakan kesepahaman dan keharmonisan hubungan dalam berkomunikasi, ada banyak komponen bahasa yang dipilih. Fuzziness’kekaburan’ adalah salah satu karakter bahasa yang penggunaannya bertujuan untuk menjadikan tuturan lebih lunak, tidak lugas namun tetap
253
meyakinkan. Hedges adalah merupakan inti dari fuzziness dalam bahasa. Hedges dikategorikan menjadi dua: (1) Hedges of approximators, dan (2) Hedges of shields. Kedua hedges ini masih dibagi lagi menjadi masing-masing dua jenis seperti bagan di bawah ini: Tabel (1) Hedges
Shields
Approximators
Plausibility Shields
Attribution Shields
Adaptors
Rounders
I think...... I guess...... I wonder.. I suspect.. I am afraid.... ........
Sb. Says that.... According to.... In one’s view... It’s said/believed ........
Kind of/ Sort of.. A little/bit........... Somewhat........... Might.................. More or less....... .........
About........ Around...... Approximately Roughly.... Over........... .........
(Tang, 2013:156) Jika dilihat dari fungsi setelah digunakan dalam sebuah ujaran, “janain desuka” dapat digolongkan ke dalam attribution shields jika digunakan dalam sebuah kalimat yang merupakan statement, makna keseluruhan kalimat tidak mengalami perubahan, berbeda dengan approximators yang dapat mengurangi bahkan mengubah keseluruhan makna ujaran. Hal ini menunjukkan pembicara tidak benar-benar tahu dan paham dengan informasi yang disampaikan Jika plausibility shields lebih menekankan pemikiran atau pengetahuan pembicara yang spekulatif, maka attribution shields lebih menekankan pada keinginan pembicara untuk mengetahui dan mempertimbangkan pendapat lawan bicara (Tang, 2013:157). Lakoff menyatakan, “For me, some of the most interesting questions are raised by the study of wordswhose meaning implicity involves fuzziness-words whose job is to make things fuzzieror less fuzzy. I will prefer these words as ‘hedges’”.(1972:471). Sementara itu Kasper (1981) menyatakan bahwa penggunaan hedges dapat mengurangi pengaruh negatif ujaran dan menyelamatkan muka. Untuk membuktikan hal ini Kasper memusatkan penelitiannya pada kajian pragmatik terhadap hedges. Menurutnya, fuzziness dalam bahasa adalah hal yang sewajarnya, dan ini memperkaya bahasa dengan berbagai fungsi pragmatis. (Tang, 2013:158). Akasu dan Asao (1993:93) via Tao (2010:41) menyatakan: “The more recent conceptualization of politeness in Japanese shifts the focus away from a concern for social position (mibun) or status (chi’i) to potentially less hierarchical dimensions, such as the dignity and character of others (jinkaku)”. Pada halaman yang sama pula, Doi (1973:22) menyatakan bahwa kunci kesantunan di Jepang adalah trustful dependence, yaitu memaknai betapa pentingnya menjaga perasaaan lawan bicara demi keharmonisan hubungan dengan lawan bicara. Dengan dasar menjaga perasaan orang lain terutama lawan bicara dan menjaga martabat kesantunan diri, maka kita dapat memilih fitur gramatikal yang tepat untuk digunakan dalam komunikasi verbal bahasa Jepang. Lakoff (1972) via Tang menyatakan bahwa menjadi santun adalah memberikan pilihan bagi lawan bicara dan menghindari pemaksaan pendapat atau ide terhadap lawan bicara. Hedges sendiri merupakan salah satu alternatif pilihan bahasa untuk tujuan tersebut.
254
b. Janain desuka/ janaika/ janai? Janain desuka/janaino/janaika/janai? Adalah tag question dalam wujud negative copula yang dalam bahasa Jepang artinya ‘Tidakkah kamu pikir....’. “Janain desuka” adalah varian yang lebih formal dan lebih sopan dari pada janaika, janaino ataupun janai?. Asano (2007:12) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa makna janain desuka adalah (a) I think that it is like this (b) I think maybe you will say that you want to say the same (c) I don‟t know. Perhatikan beberapa contoh di bawah ini: (1) “Minna, soo it-te-ru wa”.( Semua orang membicarakanmu) “Soo kanaa”. (Oh ya?) “Soo yo, daiichi, natsu nanoni sonna gakusee-fuku o ki-te-iru hito nante, imadoki, mezurashii n JA-NAI?” (Ya. Tidakkah kamu pikir itu adalah hal yang aneh menggunakan seragam seperti itu di pertengahan musim panas ini?) (Endo 1993: 53) (2ʹ) “Ne, kachoo, yappari hen JA-NAI?” (Tidakkah kamu pikir ada yang aneh dengan suara boss?) (3) “O-shokuji mada JA-NAI?” (Kamu belum makan, kan?) (Asano,2007:3) Pada contoh kalimat (1), pembicara memberikan komentar negatif terhadap apa yang dikenakan para siswa. Dengan seringnya muncul tuturan seperti ini, maka Asano menyimpulkan bahwa janai ka lebih sering digunakan untuk mengomentari lawan bicara secara negatif. Intonasi tuturan ini tidak meninggi. Sementara itu, contoh no (2) dan (3) bermakna kalimat tanya bentuk negatif yang tentu saja disampaikan dengan intonasi meninggi. Dalam kedua contoh kalimat ini, ada pembicara membutuhkan jawaban yang merupakan konfirmasi dari lawan bicaranya. Hasunuma (1995:396) via Asano (2007:2) menyatakan bahwa janai ka memiliki fungsi untuk menunjukkan bahwa pembicara telah mengetahui sesuatu hal atau disebut juga dengan ninshiki-keesee no apiiru). Pendapat lainnya disampaikan oleh Miyazaki (2000:11) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan janai ka, pembicara mencari konfirmasi dari lawan bicara tentang hipotesisnya mengenai informasi yang disampaikan oleh lawan bicara sebelumnya. Namun Hasunuma juga berargumentasi bahwa tag question ini bukan bertujuan meminta konfirmasi dari lawan bicara, namun untuk menunjukkan bahwa pembicara memperoleh informasi baru. Seperti yang dicontohkannya dalam kalimat berikut ini: (4) Tsuma(istri): “Kono jaketto suteki deshoo”. (jaket ini bagus kan?) Otto(suami): Un, nakanaka niatteru JA-NAI KA.(ya, keliatannya cocok buatmu) Setelah si istri membuka kotak, ternyata tidak ada jaket di dalamnya (5) “Nanda, karappo JA-NAI KA”. (lho, kok kosong) Pada contoh kalimat (4) si suami mengomentari jaket istrinya. Sementara itu contoh kalimat (5), pembicara mengindikasikan kepada suaminya bahwa ada informasi baru, yakni jaket itu tidak ada di kotaknya. Oleh karena itu, Hasunuma menyimpulkan bahwa janai ka biasanya digunakan pembicara untuk menyampaikan suatu kejutan atau untuk menyatakan kepada lawan bicaranya mengenai evaluasi atau pendapat pribadinya. (6) “Ame ga furu kana.‟ watashi ga iu to”.(Hujan turun atau tidak ya...) “Iya, hare-te-kuru n JA-NAI?‟ to Sotaro wa it-ta.( Tidak ah, bukannya (sekarang) cerah?) kata Sotaro. “Nande futaride hisashiburi ni at-te, tenki no hanashi shi-teru n daroo ne.”(Lucu ya, kita sudah lama tidak bertemu dan sekarang bicara tentang cuaca) (Yoshimoto 1988: 37) Dalam percakapan di atas, dua mahasiswa sebuah universitas yang sudah lama tidak bertemu sedang membicarakan cuaca pada saat itu. Pada kalimat ini, teman Sotaro tidak mengetahui bahwa langit yang semula mendung sudah mulai cerah lagi. Dalam kalimat ini pembicara, yakni teman Sotaro hanya menyatakan opininya tentang cuaca hari itu, tanpa dipengaruhi keinginan untuk mencari kesepahaman dengan Sotaro. Di sini perlu diketahui bahwa janai ka tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih kita hormati (meue no hito) karena tuturan akan menjadi tidak sopan.(Hasunuma, 1995:396). Namun sama halnya dengan
255
deshoo, janai ka juga mempunyai peran interaksional. Tag question ini tidak dapat digunakan tanpa adanya lawan bicara. Namun yang terpenting adalah bahwa peranan janai ka dalam fungsi interaksional bahasa adalah untuk menunjukkan kepedulian terhadap lawan bicara. Meskipun dalam contoh (1) di atas pembicara memberikan komentar negatif terhadap lawan bicara, namun karena ekspresi bahasa yang digunakan adalah fuzziness yang berwujud hedges, komentar terebut tidak menjadi lugas, bahkan memberikan lawan bicara alternatif pendapat lain. (Asano, 2007:4). Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ......”Sepertinya ini begini...”. Dalam penelitiannya Asano menyimpulkan bahwa karena janai ka juga mengindikasikan ketidakyakinan pembicara bahwa lawan bicaranya akan menyetujui ucapannya, maka bentuk ini tidak dapat digunakan jika pendapat lawan bicara sudah pasti. Asano menutup penelitiannya dengan kesimpulan makna pragmatis janai ka adalah : (1)Menurut saya sepertinya ini begini....(2) Saya pikir mungkin kamu akan mengatakan hal yang sama....(3) Saya tidak tahu ....Definisi (1) lebih menekankan pada inferensi pembicara terhadap proposisinya, sedangkan (2) dan (3) lebih kepada ketidakyakinan pembicara terhadap persetujuan lawan bicaranya. 4. Metodologi Penelitian Di sini penulis akan menganalisis diabaikannya penggunaan hedges janai ka dalam tuturan mahasiwa dengan acuan analisis pragmatik yang menggunakan interpretasi kontekstual. Dengan mengacu pada konteks saat tuturan disampaikan yang kemudian penulis akan menginterpretasikannya dengan acuan teori Asano dan Hasunuma di atas. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik komparasi, yakni tuturan yang tidak menggunakan hedges janai ka akan penulis bandingkan dengan tuturan yang sama yang menggunakan janai ka. 5. Pembahasan Dari 60 data yang penulis temukan dalam 3 kali sesi debat di kelas Advance Japanese Practice, penulis akan mencoba menyajikan 3 analisis saja. Dari masing-masing sesi debat penulis akan mengambil 1 data sebagai sampel analisis. Data 1(Tema debat: yasai to niku to deha, kenkoo ni dochirano hooga motto ii’manakah yang lebih baik untuk kesehatan, sayuran atau daging’) Siswa A: “Kenkoo ni ii dake janakute, protein ga takusan aru kara, niku no hoo ga ii.”(tidak hanya baik untuk kesehatan namun karena proteinnya banyak, daging lebih baik). Pada kalimat ini, pembicara menyatakan pendapatnya dan secara sepihak menetapkan bahwa daging adalah lebih baik, dengan tanpa mempertimbangkan persetujuan lawan bicara. Kelugasan makna bahwa daging adalah lebih baik akan terdengar lebih sopan jika dikurangi, dengan memberikan ruang bagi lawan bicara untuk menyatakan persetujuan atau tidak persetujuan. Mari kita bandingkan dengan kalimat berikut: “Kenkoo ni ii dake janakute, protein ga takusan aru kara, niku no hoo ga ii janain desuka”(...bukankah/tidakkah kamu pikir daging lebih baik?). Dengan menggunakan hedges janain desuka, kalimat tegas dan lugas yang menyatakan bahwa daging lebih baik daripada sayur karena proteinnya banyak, akan menjadi kalimat interogatif yang fuzzy. Meskipun menjadi fuzzy’kabur’, kalimat interogatif semacam ini akan diterima lawan bicara sebagai upaya untuk meyakinkan lawan bicara mengenai proposisi pembicara, dengan tidak mengabaikan ide dan pemikiran lawan bicara yang belum tentu sama dengan ide pembicara. Di sini lawan bicara bisa jadi kurang setuju dengan pendapat pembicara yang menyimpulkan bahwa daging lebih baik daripada sayuran karena proteinnya lebih banyak. Dugaan penulis tidak salah karena sanggahan dari grup sayuran menyatakan bahwa protein yang banyak dari makanan tidak menjamin makanan itu baik bagi kesehatan karena ada beberapa orang yang mempunyai masalah dengan kulit, dan oleh dokter dianjurkan menghindari makanan berprotein tinggi seperti daging, telur, ikan. Ini artinya adalah, bagi beberapa orang yang mempunyai masalah dengan kulitnya, akan menganggap daging tidak baik bagi kesehatan mereka. Namun pembicara tidak mempertimbangkan hal tersebut dan lebih mementingkan
256
proposisinya sendiri. Lain halnya jika pembicara memberikan kesempatan dan ruang bagi lawan bicara untuk berpikir dan mempertimbangkan benar tidaknya proposisi dari pembicara, dengan menggunakan hedges janai desuka, maka itu sama artinya dengan menjaga perasaan lawan bicara, yang fungsinya untuk menjaga harmonisasi hubungan dalam komunikasi verbal, yang merupakan salah satu kunci kesantunan di Jepang. Data 2(Tema debat: inaka to machi to deha, dochira ga sumiyasui desuka’manakah yang lebih diminati(sebagai tempat tinggal), desa atau kota’) Siswa B:”Machi ga nigiyaka de, iro iro atte benri ni narimasu”(kota itu ramai, macammacam tersedia. Oleh karenanya menjadi praktis). Dalam konteks kalimat ini, pembicara juga menyatakan proposisi dan dengan secara sepihak menyimpulkan bahwa karena kota memiliki berbagai fasilitas, maka menjadi praktis. Pembicara tidak mempertimbangkan kemungkinan beda pendapat atau ketidaksetujuan dari orang lain. Karena mungkin saja kriteria praktis ditentukan oleh banyak unsur tidak hanya ketersediaan fasilitas saja. Atau bisa jadi fasilitas yang ada jika tidak didukung SDM yang baik akan menjadi tidak berguna, dan sebagainya. Bedakan dengan kalimat berikut: ”Machi ga nigiyaka de, iro iro atte benri ni naru janain desuka”.(...bukankah/tidakkah kamu pikir kota menjadi lebih praktis (dibanding desa)). Naru adalah kata kerja bentuk kamus dari narimasu(menjadi). Dengan menggunakan janain desuka, makna pragmatis yang muncul adalah bahwa kriteria praktis bagi sebuah kota salah satunya adalah ketersediaan berbagai fasilitas, dan kemudian pembicara memberikan ruang bagi lawan bicara untuk menyampaikan kriteria praktis yang lainnya. Pendapat dari grup kota ini kebetulan tidak disanggah namun mendapat persetujuan dari grup desa dengan ujaran berikut: “Ee soo omoimasuga, sore ha machi no chooshoo desu kedo, inaka ha shizen ga mada arukara, ii to watashi ha omoimasu”.(saya sependapat tapi, itu adalah kelebihan kota, desa lebih alami, menurut saya lebih baik). Meskipun untuk hal ini lawan bicara menyatakan persetujuannya, namun kalimat pembicara akan menjadi lebih sopan jika menggunakan janain desuka. Sesuai dengan argumen Lakoff bahwa menjadi santun adalah dengan memberikan pilihan bagi lawan bicara dan menghindari pemaksaan pendapat atau ide terhadap lawan bicara. Data 3(Tema debat: shumi to shite, ongaku to eiga to deha dochira ga suki desuka’sebagai hobi manakah yang lebih disukai, musik atau film’) Siswa C:”Ongaku ga motto yasui desukara, gakusei no tame ni ii desuyo”(musik lebih murah oleh karenanya bagus untuk pelajar lho). Dalam kalimat ini pembicara menyatakan karena tidak membutuhkan biaya yang banyak, maka pilihan musik sebagai hobi adalah lebih tepat. Pembicara berpendapat bahwa secara keuangan, karena mayoritas pelajar belum menghasilkan uang sendiri namun masih minta kepada orang tua, maka keuangan pelajar pun terbatas. Dengan situasi seperti itu, untuk memilih hobi pun harus lebih bijaksana, yaitu yang tidak memerlukan biaya tinggi. Dibandingkan dengan menonton film, yang perlu ke bioskop atau perlu menyewa DVD dan sebagainya, mendengarkan musik dapat dilakukan di rumah dan hanya dengan menyalakan radio, kita dapat mendengarkan musik sebanyak yang kita mau. Namun pembicara lupa memberikan ruang dan kesempatan bagi lawan bicara yang mungkin secara keuangan tidak mengalami kesulitan untuk hobi menonton film, karena sudah bekerja atau orang tuanya kaya. Dengan pengabaian terhadap banyak alternatif ide dan pendapat itu, pembicara hanya memikirkan proposisinya semata secara egois. Pilihan bentuk atributif copula desuyo’lho’ yang bermakna informatif tidak dapat mengurangi bobot imposisinya, karena proposisi didasarkan pada pemikiran sepihak pembicara, sementara ia lupa ada pelajar yang kondisi keuangannya lebih baik sehingga mampu memilih hobi menonton film. Jika yang digunakan adalah pilihan kalimat kedua yang menggunakan janain desuka, maka pembicara lebih menunjukkan concern kepada lawan bicara atau siapapun yang mempunyai pilihan ide yang lain, semisal dengan tanpa
257
membedakan pelajar atau bukan, namun meninjau pada efektifitas kedua pilihan hobi di atas dalam menambah pengetahuan atau pembelajaran bahasa asing dan sebagainya. 6. Simpulan Diihat dari bentuk kalimat yang digunakan siswa peserta perkuliahan Advance Japanese Practice yang penulis ampu, dan setelah menganalisis kesalahannya, dapat disimpulkan bahwa penggunaan janain desuka sering diabaikan dalam debat karena keinginan masing-masing anggota grup untuk dapat memenangkan debat dan menunjukkan kelebihan dari pendapat grupnya. Selain itu karena para siswa belum terbiasa menggunakan janain desuka dalam setiap kalimatnya, karena pada umumnya mereka masih bingung dengan bentuk interogatif negatif ini. Mereka menganggap bahwa penggunaan janain desuka yang merupakan hegdes attributif ini akan mengubah proposisi mereka menjadi bentuk negatif juga, sehingga membingungkan para siswa. Akibatnya para siswa memilih tidak menggunakannya. Di sini jelas bahwa setiap kali belajar fitur gramatika dalam bahasa Jepang, pemelajar harus menyertakan juga unsur implementasi kulturalnya, supaya kalimat yang dituturkan dapat terjaga kesantunannya dan berterima di kalangan penutur aslinya. Referensi Akasu, K., & Asao, K. (1993). Sociolinguistic factors influencing communication in Japanane the United States. In W. B. Gudykunst (Ed.), Communication in Japan and theUnited States (pp. 88-121). Albany, NY: State University of New York Press. Asano, Y. (2003). A semantic analysis of epistemic modality in Japanese. PhD thesis, Australian National University. Doi, Takeo (1973). Amae no koozoo [The anatomy of dependence]. Tokyo: Kodansha Endo, S. (1993). Fukai kawa. Tokyo: Kodansha. Translated by Gessel, V. C. (1994). Deep river. Tokyo: Charles E. Tuttle Company. Hasunuma, A. (1995). Taiwa ni okeru kakunin-kooi — „daroo‟ „janai ka‟ „yone‟ no kakuninyoohoo [Confirmation of action in dialogue — on the confirmation function of daroo, janai ka and yone]. In Y. Nitta (Ed.), Fukubun no kenkyuu (ge) [Studies of complex sentences, vol. 2] (pp. 389-419). Tokyo: Kuroshio Shuppan. Tang, Jungwei. (2013) Pragmatic Function of hedges and Politeness Principal on a paper of International Journal of Applied Linguistics&English Literature (pp.155-160). Australia: Australia International Academic Centre Lakoff, George. (1972). “Hedges: study in meaning criteriaand the logic of fuzzy concepts”. In Jungwei Tang, paper of International Journal of Applied Linguistics&English Literature (pp.155-160). Australia: Australia International Academic Centre Miyazaki, K. (2000). Kakunin-yookyuu-hyoogen no taikeesee [The system of expressions for seeking confirmation in Japanese]. Nihongo Kyooiku [Journal of Japanese Language Teaching], 106, 7-16. Yoshimoto, B. (1988). Kicchin. Tokyo: Fukutake Shoten. Translated by Backus, M. (1993). Kitchen. London: Faber and Faber.
258
Refleksi Budaya Jepang Uchi-Soto Dalam Bahasa Hormat (Keigo) 敬語における日本文化の「内と外」の反映について Putri Elsy, Universitas Airlangga
Abstrak Budaya dapat direfleksikan dalam bahasa masyakarat penuturnya. Dalam bahasa Jepang, refleksi budaya dapat dilihat dari ungkapan bahasa hormat (keigo) yang dipakai. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan budaya direfleksikan dari bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial di Jepang. Konsep-konsep budaya yang ada di Jepang seperti uchi no hito (orang dalam) dan soto no hito (orang luar) dapat terlihat dari bahasa hormat (keigo) yang digunakan. Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan dan dianalisa secara deskriptif. Sebagai kesimpulan, bahasa hormat (keigo) yang digunakan dalam berinteraksi di Jepang menjelaskan keberadaan seseorang dalam suatu kelompok, yaitu sebagai uchi no hito (orang dalam) atau soto no hito (orang luar). Kesadaran kelompok sangat tinggi di Jepang. Kesadaran budaya uchi-soto dalam bahasa hormat, digunakan untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan kemanusiaan masyarakat Jepang. Kata Kunci: keigo; kenjougo; sonkeigo; soto no hito; teineigo, uchi no hito
1. Pendahuluan Hubungan sosial di Jepang dibedakan dalam in-group (uchi) dan out-group (soto). Ketika masyarakat Jepang dicirikan sebagai berorientasi kelompok, apa yang sering digambarkan adalah jaringan hubungan in-group dan out group yang menentukan dinamika kehidupan sehari-hari berpusat pada kedekatan dan pengecualian. (Buckley, 2009:542) Orang Jepang pada umumnya menyebut pendatang asing asing di Jepang sebagai gaijin (orang luar) tanpa mempersoalkan berapa lama mereka sudah tinggal di Jepang dan berapa baiknya mereka berbicara dalam bahasa Jepang. Beberapa suami memanggil istrinya dengan sebutan uchi no mono (istri saya), dan orang di luar keluarganya dikenal sebagai soto no hito (orang luar). Pembagian ini merefleksikan perbedaan dasar dalam cara pikir orang Jepang yang dikenal dengan uchi dan soto. Uchi dapat diartikan sebagai dalam; rumah saya dan rumah, anggota dari suatu kelompok; dan istri atau suami saya. Adapun soto berarti luar; luar pintu; kelompok lain; dan luar rumah. Orang Jepang membedakan dengan jelas antara orang dalam dan orang luar dalam kehidupan sehari-hari tergantung apakah ia berada dalam kelompok uchi atau soto. Konsep uchi dan soto ini membawa pengaruh dalam masyarakat Jepang, khususnya dalam hubungan kemanusiaan. (Davies dan Ikeno, 2002:217) Refleksi dari uchi dan soto ini dapat dilihat dari bahasa keigo yang dipakai oleh orang Jepang dalam interaksi sosial. Keigo yaitu ragam bahasa hormat yang digunakan oleh pembicara kepada lawan bicara untuk menghormati lawan bicara. Dari bahasa keigo yang dipakai, dapat tercermin hubungan kedekatan antara pembicara dan lawan bicara, antara uchi no hito (orang dalam) dan soto no hito (orang luar). Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan refleksi budaya Jepang uchi-soto dalam bahasa hormat (keigo) 2. Sumber data Data dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data berupa buku-buku dan bahan-bahan lain yang relevan dengan penelitian. Data diambil dari sumber data sesuai dengan tujuan penelitian. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif melalui tiga tahap. Pertama, menjelaskan mengenai keigo. Kedua, menganalis mengenai uchi-soto dalam budaya Jepang. Ketiga, kesimpulan dari penelitian.
259
3. Penggunaan Keigo Keigo dipakai untuk mengindikasikan tingkat hormat dan kedekatan seseorang. Menurut Kaneko, dkk. (2006: 49) tingkat hormat dan kedekatan tersebut ada diantara tipe berikut, yaitu: pertama me ue no hito, yaitu orang yang statusnya lebih tinggi, seperti usia, pengalaman, kedudukan, dan lain-lain. Kedua, soto no hito, yaitu orang yang tidak satu kelompok dengan sekolah, perusahaan, keluarga, dan lain-lain. Ketiga, shitashikunai hito, yaitu orang yang tidak akrab (orang yang baru pertama kali bertemu) Pembicara menggunakan keigo pada orang yang dihormati berdasarkan hubungan sosial. Ada tiga faktor yang penting dalam pemakaian keigo, pertama, keigo digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pembicara yang usia dan status sosialnya lebih rendah kepada orang yang statusnya lebih tinggi. Contoh, bawahan kepada atasan, murid kepada guru. Kedua, keigo digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicara waktu pembicara belum akrab. Contohnya pada waktu pertama kali bertemu. Ketiga, keigo digunakan dengan memperhatikan hubungan uchi-soto. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka ia harus memperlakukan uchi no hito sama seperti diri sendiri. Oleh karena itu, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, apabila berbicara dengan orang luar (soto no hito), pembicara tidak menggunakan keigo untuk menghormati orang dalam (uchi no hito) yang posisinya lebih tinggi.(Tanaka dan Makino, dkk., 2001:146) Berdasarkan uraian di atas, penggunaan keigo dapat dibagi dalam tiga kelompok. Adapun pembagian keigo tersebut adalah: (Tanaka dan Makino, dkk., 2001: 146, 152-153) 1. Sonkeigo : ungkapan yang digunakan untuk menghormati lawan bicara atau orang yang dibicarakan, yang berkaitan dengan kegiatan atau keadaan lawan bicara dan orang yang dibicarakan. 2. Teineigo : ungkapan sopan yang digunakan untuk menunjukkan rasa hormat pembicara kepada lawan bicara. 3. Kenjougo : ungkapan untuk menunjukkan rasa hormat pembicara kepada lawan bicara maupun orang yang menjadi topik pembicaraan dengan cara merendahkan prilakunya sendiri. Orang yang dihormati adalah atasan atau soto no hito. Kenjougo digunakan juga bila pembicara hendak berbicara tentang uchi no hito kepada soto no hito. Dalam bahasa Jepang, daripada menyatakan hubungan antara atasan dan bawahan, keigo lebih diprioritaskan kepada hubungan uchi dan soto. Contoh dalam suatu perusahaan, seorang resepsionis (uketsuke) akan memakai bahasa sonkeigo (meninggikan lawan bicara) kepada atasannya. Akan tetapi, dihadapan orang luar atau tamu perusahaan ia akan menggunakan kenjougo (bahasa merendahkan). Ini bukan berarti ia tidak menghormati atasannya, akan tetapi karena di depan orang luar (soto no hito) ia dan atasannnya berada dalam satu kelompok (uchi no hito). Contoh: percakapan dalam kantor (uchi no hito). Contoh ini diambil dalam buku Manga de Manabu, Nihongo Kaiwajutsu (hal 57). Percakapan 1 antar resepsionis dan Pak Uesugi (kepala bagian) (soto no hito) Uketsuke : “Moshi-moshi, uketsukedesuga, Uesugi buchou wa irasshaimasuka.” Resepsionis : “Halo, ini resepsionis, apakah ada kepala bagian Pak Uesugi?” Uesugi :”Aa, watashi desu. Nanika?” Uesugi : “Saya, ada apa?” Pada percakapan satu di atas, resepsionis menanyakan apakah Pak Uesugi (kepala bagian) ada dengan bentuk sonkeigo yang ditandai dengan garis bawah (irasshaimasuka?) Dalam hal ini, resepsionis menghormati Pak Uesugi sebagai bucho (kepala bagian) dengan memakai bentuk sonkeigo, sedangkan Pak Uesugi menjawabnya dengan “Aa, watashi desu. Nanika?”. Dari jawaban nanika ini terlihat posisi Pak Uesugi lebih tinggi, dimana dia tidak menjawab dengan nan desuka sebagai bentuk sopan dari nanika.
260
Percakapan 2 antar resepsionis dan pegawai kantor (soto no hito) Uketsuke Resepsionis
:”Moshi moshi, uketsuke desuga, Uesugi buchou wa irasshaimasuka.” : “Halo, ini resepsionis, apakah ada Pak Uesugi (kepala bagian)?”
Pegawai kantor : “Uesugi buchou desuka. Ima hokano denwa ni deteirasshaimasu.” Pegawai kantor : “Pak Uesugi (kepala bagian) ya? Sekarang sedang menelpon di telpon lain.” Pada percakapan dua di atas, baik resepsionis maupun pegawai kantor lainnya memakai bentuk sonkeigo untuk menghormati kepala bagian Uesugi yang lebih tinggi posisinya. Resepsionis memakai kata irasshaimasuka untuk menanyakan Pak Uesugi, sedangkan pegawai kantor yang menerima telpon resepsionis memakai kata deteirasshaimasu untuk menyatakan Pak Uesugi sedang menerima telpon yang lain. Percakapan 3 antara resepsionis dan tamu atau orang perusahaan lain (soto no hito) Ma-ku (Mark) : “Ma-ku Debisu (Mark Davis) to moushimasuga, buchou no Uesugi sama irasshaimasuka.” Maku (Mark) : “Nama saya Maku Debisu (Mark Davis), apakah bapak kepala bagian Uesugi ada?” Uketsuke : “Hai, orimasu.” Resepsionis : “Ya, ada” Pada percakapan tiga di atas, pihak luar (soto no hito) yaitu Mark Davis menanyakan keberadaan kepala bagian Uesugi kepada resepsionis. Dalam hal ini Mark Davis menggunakan bentuk sonkeigo “buchou no Uegi sama” dan “irasshaimasuka” untuk menghormati Pak Uesugi. Resepsionis menjawab “ ya, ada”. Di sini ia memakai kata hai, orimasu yang merupakan bentuk kenjougo (merendahkan diri) dari hai, imasu. Si resepsionis tidak menjawab hai irasshaimasu, seperti yang ia pakai ketika menanyakan pak Uesugi pada orang dalam kantor yang sama untuk menghormati pak Uesugi sebagai kepala bagian. Dalam hal ini, resepsionis menempatkan dirinya sama dengan pihak Pak Uesugi, sebagai orang dalam (uchi no hito) dalam perusahaan yang sama. 4. Uchi-soto dalam budaya Jepang Bagi orang asing menentukan in-group dan out-group di lingkungan kerja dan hubungan sosial lainnya adalah rumit. Kerumitan ini kebanyakan diperlihatkan dalam penggunaan bahasa Jepang keigo yang meliputi sonkeigo, teineigo dan kenjougo. Konsep dari uchi-soto mendominasi hubungan kemanusiaan di Jepang. Orang Jepang membedakan antara “dalam” dan “luar” dalam rangka merasakan perasaan aman dalam kelompok mereka. Bagaimanapun, membedakan antara kelompok-kelompok dan anggota kelompok adalah proses dinamis di Jepang. Bagi sebagian orang Jepang, batas-batas kelompok adalah keadaan yang tetap, tergantung situasi. Kelompok termasuk satu rumah, sekolah, dan komunitas, dengan batas terluar berada pada bangsa itu sendiri. Sebagai hasil, orang Jepang mempunyai hubungan harmonis dalam satu grup (uchi) tetapi sering tidak bagus pada saat berhubungan dengan kelompok lain (soto). (Davies dan Ikeno, 2002: 218-219) Menurut Buckley (2009:542) individu yang berbagi hubungan uchi akan berinteraksi satu dengan lainnya dalam dinamika keintiman yang menentukan tidak hanya kewajiban dan tanggung jawab bersama tetapi juga rincian bahasa dan semua indikator lain dalam kelompok dekat. Sebaiknya ketika berinteraksi dengan seseorang yang berada di luar kelompok, status eksklusif dinyatakan dengan jarak melalui bahasa hormat. Hubungan uchi dan soto dapat bervariasi antara dua individu yang sama sesuai konteksnya. Contohnya hubungan uchi di tempat kerja akan menggantikan hubungan kelompok uchi suatu universitas ketika dua lulusan
261
dari universitas yang sama bertemu sebagai wakil perusahaan yang berbeda setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Dengan cara yang sama hubungan in-group diantara mereka mungkin dapat memfasilitasi kesepakatan yang lebih baik untuk perusahaan mereka. Menurut Davies dan Ikeno (2002:195) dalam masyarakat Jepang, orang-orang pada dasarnya berorientasi kepada kelompok. Orientasi pada kelompok ini lebih memprioritaskan harmonis dalam kelompok daripada individu. Sebagian orang Jepang mempertimbangkannya sebagai suatu kebajikan penting untuk mematuhi nilai-nilai kelompok yang mereka miliki. Loyalitas kepada kelompok ini menghasilkan perasaan solidaritas dan konsep dasar dari kesadaran kelompok ini terlihat dalam beragam aspek kehidupan orang Jepang. Pengembangan komunikasi non verbal, perbedaan antara uchi dan soto dan penekanan pada harmoni telah mempengaruhi dengan jelas kesadaran kelompok di Jepang. Lebih lanjut Davies dan Ikeno (2002: 196) menyatakan masyarakat Jepang terdiri dari berbagai kelompok yang saling tergantung, masing-masing memiliki kesadaraan umum sendiri dan diam-diam saling memahami yang disampaikan tanpa kata-kata. Orang-orang yang berbagi pengertiaan ini terlibat dalam uchi, dan kelompok yang tidak terlibat diperlakukan sebagai soto. Dengan kata lain, orang Jepang membuat dengan jelas antara uchi (orang dalam) dan soto (orang luar). Menurut Nakane (Davies dan Ikeno, 2002 :196) uchi terdiri dari dua kategori. Pertama mengacu kepada satu kelompok yang memiliki hubungan yang dekat dan karakter eksklusif yang kuat dimana anggota kelompoknya memiliki hubungan yang signifikan satu sama lain dalam waktu yang lama. Pada sebagian orang ini merupakan keluarga inti atau keluarga luas. Kategori kedua adalah orang-orang di sekitar kelompok pertama termasuk kerabat, keluarga dari pihak suami atau istri, keluarga anak-anak yang sudah menikah, teman-teman lama dan teman sekolah dan kerabat jauh lainnya. Adapun orang-orang di luar kategori ini, yaitu soto, termasuk orang-orang yang hanya berhubungan sekali, contohnya orang yang bertemu sekali pada pertemuan bisnis. Berdasarkan uraian di atas terlihat orang Jepang sangat ketat membedakan antara uchi dan soto dan dapat dikatakan mereka menjadi “kaku” ketika berhubungan dengan pihak soto. 5. Kesimpulan Konsep uchi (orang dalam) dan soto (orang luar) berkaitan erat dengan kesadaran kelompok di Jepang. Konsep uchi dan soto ini dalam bahasa direfleksikan dalam pemakaian bahasa keigo. Dalam bahasa Jepang, daripada hubungan antara atasan dan bawahan, apabila berhubungan dengan kelompok atau perusahaan lain, hubungan antara uchi-soto lebih diutamakan. Konsep uchi-soto mendominasi hubungan kemanusian di Jepang. Orang Jepang membedakan antara uchi (in-group) dan soto (out-group) untuk memberikan rasa aman dalam kelompok mereka. Konsep uchi-soto ini juga menciptakan hubungan harmonis antara kelompok di Jepang.
Daftar Pustaka Buckley, Sandra. 2009. Uchi and soto. Dalam Encyclopedia of Contemporary Japanese Culture. USA and Canada: Routledge, 542. Davis, Roger J dan Osamu Ikeno (ed.). 2003. The Japanese Mind. Japan: Tutle Publishing Fumiaki, Kaneko, Kurakawa Mikiko, dkk. 2007. Manga de Manabu Nihongo Kaiwajutsu. Tokyo: Aruku. Tanaka, Yone dan Akino Makino, dkk. 2001. Minna no Nihongo II. Shokyu II Honyaku Bunpou Kaisetsu Indonesiagopan. Tokyo: 3A Corporation