KONSEP AL-MUTAWAHHID IBNU BAJJAH
Oleh: Abdulloh Hanif, S.Fil.I. Nim: 1420510015
TESIS
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Filsafat Islam
YOGYAKARTA 2016
TESIS KONSEP AL-MUTAWAHHID IBNU BAJJAH
Oleh: Abdulloh Hanif, S.Fil.I. Nim: 1420510015
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Filsafat Islam
YOGYAKARTA 2016
i
ABSTRAK Orang-orang mutawa>hhid yang disebut Ibnu Bajjah sebagai nawa>bit, adalah orang-orang yang sempurna yang hidup di kota yang tidak sempurna. Para nawa>bit ini dikatakan Ibnu Bajjah sebagai manusia penyendiri (al-mutawa>hhid). Penyendirian itu merupakan suatu cara untuk mendapatkan kebahagiaan hidupnya. Kebahagiian mereka didapatkan melalui managemen jiwanya untuk sampai kepada penyatuannya dengan akal aktif (al-‘aql al-fa‘a>l) yang kemudian akan disempurnakan secara abadi melalui akal perolehan (al-‘aql al-mustafa>d). Persoalannya adalah kenapa orang-orang mutawa>hhid yang memiliki kesempurnaan justru menyendiri dari realitas sosial. Problem ini akan dijelaskan melalui pertanyaan bagaimana makna dan konsep al-mutawa>hhid. Penjelaskan yang muncul akan dianalisis melalui teori pesimisme Schopenhauer, dan hasilnya akan ditarik ke dalam realitas zaman modern untuk menemukan implikasi yang mungkin diterapkan dari konsep al-mutawa>hhid. Penenlitian ini adalah penelitian kualitataif yang berfokus pada pendalaman makna, dan tanpa kalkulasi statistik tertentu. Melalui penjelasan Ibnu Bajjah yang terdapat dalam beberapa karyanya, dan berbagai tafsiran peneliti-peneliti terdahulu, akan diambil suatu gagasan induktif atau generalisasi yang dapat dijadikan konsep inti yang dapat dianalisis dengan teori yang sudah tersedia. Hasilnya, almutawa>hhid dapat dikatakan sebagai wujud manusia pesimis atas kondisi sosial, dan juga egois karena hanya mengupayakan tujuan pribadinya, bukan tujuan kebaikan bersama. Di zaman modern, mutawa>hhid dapat dilihat sebagai kelompok atau kelas sosial yang sebenarnya memiliki kemampuan teoritis yang baik namun justru terkucil atau terasing. Keterasingan ini dikarenakan pola hidup dunia modern yang serba materialis, yang menyebabkan pandangan dunia ideal mereka tidak dapat direalisasikan, sehingga kebahagiaan mereka hanyalah kebahagiaan teoritis semata.
Kata Kunci: Ibnu Bajjah, al-Mutawahhid, nawa>bit, Ittisha>l, Akal Aktif.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
ا
Alif
ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن
Ba’ Ta’ S|a’ Jim Ḥa Kha Dal Z|al Ra’ Zai Sin Syin Ṣod Ḍal Ṭa’ Ẓa’ ‘ Gain Fa’ Qaf Kaf Lam Mim Nun
Huruf Latin Tidak dilambangkan B T S| J Ḥ Kh D Z| R Z S Sy Ṣ Ḍ Ṭ Ẓ ‘ G F Q K L M N
viii
Keterangan Tidak dilambangkan Be Te Es (dengan titik di atas) Je Ha (dengan titik di bawah) Ka dan Ha De Zet (dengan titik di atas) Er Zet Es Es dan Ye Es (dengan titik di bawah) De (dengan titik di bawah) Te (dengan titik di bawah) Zet (dengan titik di bawah) Koma terbalik di atas Ge Ef Qi Ka El Em En
و ه
Wawu Ha’
ء ي
Hamzah
W H ʼ
We Ha Apostrof
Ya’
Y
Ye
B. Konsonan Rangkap Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap. ditulis Ahma>diyyah
Contoh: C. Ta’ marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h,kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti s`ala>t, zaka>t, dan sebagainya. ditulis jamā’ah
Contoh:
2. Bila dihidupkan ditulis t ditulis karāmatul-auliyā′
Contoh: D. Vokal Pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u E. Vokal Panjang A panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī , dan u panjang ditulis ū, masingmasing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya. F. Vokal Rangkap Fathah+ya tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, ditulis dan fathah + wawu mati ditulis au.
G. Vokal-Vokal Pendek yang Berurutan dalam satu kata Dipisahkan dengan apostrof ( ′ ) Contoh:
ditulis a′antum ditulis mu′annas\
ix
H. Kata Sandang Alif + Lam 1.
Bila diikuti huruf qamariyah ditulis alContoh:
2.
ditulis Al-Qura′a>n
Bila diikuti huruf syamsiyyah, huruf 1 diganti dengan huruf syamsiyyah yang mengikutinya. Contoh:
ditulis asy-Syī‛ah
x
MOTTO
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran. (Q.S.103 : 1-3)
Kehancuran adalah bentuk yang paling nyata dari kebohongan. (Abdulloh Hanif)
xi
PERSEMBAHAN
Teruntuk ayahku, di mana aku tidak banyak menemukan kata-kata darinya, aku hanya menemukan semangatnya, menemukan jiwanya dalam diriku yang selalu ingin melebihi dirinya. “Kelak engkau akan menemukan dirimu kembali, dalam diriku.” … Juga untuk Ibuku, dialah orang yang paling memahami aku, kebesaran hatinya selalu aku hormati tiga kali, dan karenanya aku menemukan ketentraman yang mengalir dari jiwanya. “Kelak engkau pun akan menemukan jiwamu kembali, dalam jiwaku.” … Karenamu, aku telah menemukan kecintaaku, pada ilmu pengetahuan. “Kelak engkau akan merasakan hidupmu kembali, bersamaku.”
xii
KATA PENGANTAR
Puji syukur, alhamdulillah, selalu terucapkan melalui detak jantung dan detak kehidupanku, tertuju kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Dialah yang layak untuk aku anggap sebagai pembimbing dalam hidupku, karena Dia pula yang Maha Tahu kenapa aku hidup. Meskipun aku tidak pernah mengetahui dan merasakan bagaimana kebesaran-Nya, bagaimana ke-Maha-annya. Namun usaha ini hanya semata untuk menunaikan ketidaktahuanku atas Dia. Inilah yang aku anggap sebagai keikhlasanku kepada-Nya. Shalawat dan salam tidak akan pernah terhenti, selalu mengalir dari lubuk hati yang terdalam, dari makna mendasar atas kehidupan ini, kepada Rasulullah Muhammad SAW. Melalui bimbingannya untuk mengetahui Sang Khalik, Yang Maha Agung, sehingga aku tahu mana yang lebih pantas untuk aku lakukan sebagai keikhlasan hidup dan usaha untuk hidup. Hanya Islam yang ia bawalah yang tahu makna ini semua. “Semoga kelak aku akan bersamamu dalam suatu masa ketika aku baru mengetahui tentang akhirat.” Manusia memang terbatas dalam banyak hal. Bahkan sangat terbatas untuk menentukan batas-batas kemanusiaannya. Saya memahami hal itu. Dan agama, dalam hal ini Islam, selalu memahami keterbatasan manusia itu sebagai keunikan di sisi Tuhan. Manusia secara niscaya terlahir bersama adanya yang lain, namun ia juga terlahir sebagai dirinya sendiri. Setidaknya inilah dualitas manusia, sehingga ia selalui memiliki potensi untuk kembali pada kesendiriannya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Bajjah tentang al-mutawahhid.
xiii
Disadari betul bahwa skripsi ini ditulis melalui bimbingan dari dosen pembimbing, konsultasi, dan juga diskusi dengan banyak pihak. Maka dengan sangat menyesal, karena tidak banyak yang bisa dilakukan, penulis hanya bisa menyampaikan rasa terimakasih dari hati yang sangat dalam dan manusiawi kepada beliau yang terhormat: 1. Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D., selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga. 2. Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D., selaku Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. 3. Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A., Ph.D., selalu mantan Ketua Prodi Agama dan Filsafat Pascasarjana UIN Sukan Kalijaga, beserta jajarannya. 4. Dr. H. Syaifan Nur, M.A., selaku pembimbing tesis ini. Semoga beliau diberikan kesehatan tak berujung. 5. Kepada semua jajaran dosen, para Guru Besar, dan semua jajaran struktural UIN Sunan Kalijaga. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kesehatan untuk membangun UIN menjadi inspirasi bagi perkembangan keilmuan di berbagai perguruan tinggi. 6. Teman-teman seperjuangan, they are inspiring with their peculiarity. 7. Dan tentu kepada kedua orang tuaku. Meskipun pendidikan mereka tidak setingga aku, namun pemahaman mereka mendalam dan murni. Semoga apa yang telah aku terima ini akan Allah balas dengan kebaikan yang memebihi presepsi kita sebagai manusia. Semoga apa yang kita lakukan mendapat ridho dari Allah, sehingga segalanya dapat kita raih dengan bimbingan dan hidayah-Nya.
xiv
Tesis ini masih merupakan penelitian kecil yang dilakukan semata-mata untuk memahami sejauh mana kemampuan pengetahuan penulis. Selain itu, semoga kajian yang telah diupayakan ini bermanfaat bagi siapa pun, sekalipun hanya memiliki manfaat sebegai perbandingan yang tidak seimbang.
Yogyakarta, 08 Juni 2016 Penulis.
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .............................................................. iii PENGESAHAN ................................................................................................. iv PERSETUJUAN TIM PENGUJI ..................................................................... v NOTA DINAS PEMBIMBING ........................................................................ vi ABSTRAK ......................................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... viii MOTTO ............................................................................................................. xi PERSEMBAHAN .............................................................................................. xii KATA PENGANTAR ...................................................................................... xiii DAFTAR ISI ..................................................................................................... xvi BAB I: PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 10 C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian .......................................... 11 D. Kajian Pustaka ...................................................................................... 12 E. Kerangka Teori ..................................................................................... 15 F. Metode Penelitian ................................................................................. 24 G. Sistematika Pembahasan ....................................................................... 26 BAB II: BIOGRAFI IBNU BAJJAH .............................................................. 27
xvi
A. Sejarah kehidupan Ibnu Bajjah ............................................................. 27 B. Genealogi Pemikiran Ibnu Bajjah ......................................................... 37 C. Karya-karya Ibnu Bajjah ....................................................................... 46 BAB III: KONSEP AL-MUTAWAHHID IBNU BAJJAH ........................... 49 A. Manusia Sempurna dalam Kota Tidak Sempurna ................................ 49 B. Bentuk-Bentuk Jiwa .............................................................................. 58 C. Pencapaian Tertinggi Manusia Mutawahhid ........................................ 64 BAB
IV:
MANUSIA
PENYENDIRI
DALAM
REALITAS
MASYARAKAT MODERN ............................................................................ 73 A. Ide dan Realitas Bagi Manusia Penyendiri ........................................... 73 B. Kesendirian dan Puncak Kebahagiaan .................................................. 84 C. Manusia Penyendiri Zaman Modern ..................................................... 94 BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 101 A. Kesimpulan ......................................................................................... 101 B. Saran ................................................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 104 TENTANG PENULIS
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Filsafat Neoplatonisme dapat dikatakan sebagai satu-satunya aliran yang mendasari paradigma filsafat Islam. Felix Klein menjelaskan bahwa al-Kindi, orang yang dianggap filosof muslim pertama – dalam arti filsafat sebagai pengetahuan yang mapan – telah merefleksikan doktrin-doktrin yang ia peroleh dari sumbersumber Yunani Klasik dan, di atas segalanya, Neoplatonik.1 Meskipun demikian, beberapa aspek juga masih mengikuti Aristoteles dan Plato. Seperti pengakuan Mehdi Ha’iri Yazdi yang mengatakan bahwa sejak awal mula sejarahnya, dalam filsafat Islam telah terdapat kesepakatan bulat untuk menegakkan landasan bersama bagi Plato dan Aristoteles dalam masalah pengetahuan manusia.2 Sekalipun hampir seluruh filosof muslim mengikuti aliran filsafat Yunani, ada perbedaan yang dapat ditelusuri antara filsafat Islam di Timur dan di Barat. Filsafat Islam di Timur, lebih dari dua abad sejak al-Farabi hingga Ikhwa>n asṢhafa>, dapat dikatakan diwarnai corak pemikiran Neoplatois murni, terutama melalui teori emanasi. Teori ini diambil dari Plotinus, yang mengatakan bahwa
1 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 210. 2 Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis Dalam Filsafat Islam, terj. Husein Heriyanto, Edisi Revisi (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 43.
1
2
jagad raya dengan segala isinya ini mengalir keluar dari “Yang Ilahi” yang laksana sumber harus mengalirkan segala sesuatu keluar atau laksana terang harus bersinar di dalam gelap. Karena itu dunia dengan segala isinya adalah kekal dan sejak awal telah ada secara terpendam di dalam “Yang Ilahi”. Pengaliran keluar ini terjadi sedemikian rupa sehingga semakin jauh dari sumber asalnya menjadi semakin berkurang kesempurnaannya.3 Epistemologi “mengalir keluar” atau “memancaran keluar” tersebut diambil sebagai salah satu paradigma oleh para filosof muslim, untuk menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dengan cara yang lain. Al-Kindi misalnya, yang diberi gelar “Filosof Bangsa Arab” karena telah memperkenalkan filsafat Yunani kepada masyarakat Islam,4 mengatakan bahwa jiwa adalah jauha>r ba>siṭ (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Substansinya (jauha>r) berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.5 Dalam Risala>h fi Hudu>d al-Asyya>’, al-Kindi menjelaskan penciptaan dunia melalui emanasi, yang kemudian digunakan dan dikembangkan oleh al-Farabi,6 dengan mengatakan bahwa emanasi atau pancaran Tuhan terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya, yang merupakan prinsip dari peraturan dan perbaikan dalam alam.7
3
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 125. 4 Ibid., hlm. 91. 5 Lihat ZaprulKhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 27, dan dalam Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 59. 6 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, hlm. 211. 7 ZaprulKhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, hlm. 31.
3
Sedangkan Ibnu Sina menjelaskan, proses terjadinya pancaran dari Tuhan tersebut ialah ketika Tuhan wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap dzat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancarlah Akal Kedua, jiwa pertama, dan langit pertama. Demikian seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah.8 Di samping al-Farabi mengembangkan emanasi yang dibawa oleh al-Kindi, ia juga menjadi masyhur karena keberhasilannya memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”, dan ia memulai wawancaranya dengan gagasan Plato tentang perlunya menempatkan harmonisasi seperti itu pada landasan filsafat yang paling dasar.9 Meskipun Aristoteles menolak akal-akal Plato, al-Farabi menemukan celah dalam penjelasan Aristoteles ketika menggunakan terminologi “sebab pertama” dalam menjelaskan persoalan teologis. Doktrin ini yang kemudian juga dikukuhkan oleh Ibnu Sina menjadi satu prinsip emanasi yang dikenal dengan qaidah al-wahid la yasduru ‘anhu illa al-wahid, yang secara harfiyah berarti bahwa yang tunggal hanya bisa melahirkan yang tunggal. Prinsip ini dianggap sebagai logika sistem emanasi Ibnu Sina. Dari prinsip ini Ibnu Sina sendiri
8 9
mengembangkan
prinsip
hierarki
emanasi
yang disebut
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm. 100-101. Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, hlm. 46.
aturan
4
“kemungkinan yang lebih mulia” (qa’idah imka>n al-asyra>f),10 untuk menjelaskan tingkatan kemuliaan tertinggi yang hanya dimiliki oleh Tuhan meskipun memancarkan Akal-Akal sebagai materi pembentuk alam semesta. Ibnu Sina menjadi mata rantai penting dalam filsafat Islam yang terus berkesinambungan. Sekalipun banyak menulis tentang Aristoteles, logika Timurnya menjadi landasan awal corak berfikir “Filsafat Timur” yang membela sufisme dan gnosisisme. Dalam “Filsafat Timur” Ibnu Sina, tidak banyak kosmos Aristoteles yang ditinggalkan ketimbang yang ditransformasikan. Akal dikawinkan dengan intelek, kosmos lahiriah dibatiniahkan, fakta menjadi simbol, dan filsafat menjadi sophia hakiki yang tak dapat dipisahkan dari gnosis. Tujuan filsafat bukan sekedar pengetahuan teoritis tentang substansi dan aksiden kosmos, tetapi juga pengalaman akan kehadiran dan aktualisasi jiwa. Kosmos tidak lagi menjadi objek eksternal yang terpisah, tapi ia dihayati dan ditunjukkan sebagai rangkaian tahapan perjalanan yang bisa dimasuki atau diupayakan seseorang.11 Meskipun pada perkembangannya, al-Ghazali mengkritik habis teori emanasi, ia sendiri masih mengikuti prinsip yang sama dalam menjelaskan cahaya Tuhan. Ia mengatakan, Tuhan ibarat Cahaya. Makna Cahaya Tuhan memiliki konotasi lain yang terbagi menjadi enam macam.12 Namun epostemologi cahaya di tangan al-Ghazali kemudian diarahkan kepada tahapan-tahapan dalam tasawuf
Lihat catatan Bab I nomor 15 dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, hlm. 325. 11 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, hlm. 308-309. 12 Lihat Imam Al-Ghazali, Tangga Ma’rifatullah: Mi’raj As-Saalikiin, terj. Wasmukan (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 92, dan Al-Ghazali, Kiblat Cahaya, terj. Syafrudin dan Kameran A. Al-Irsyadi (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 5. 10
5
yang diikuti oleh banyak pemikir sufi lain dengan prinsip yang sama. Seperti Suhrawardi tentang doktrin Isyra>qiyah-nya yang ia ambil inspirasinya dari al-Hallaj dan al-Ghazali tentang Misyka>t al-Anwa>r.13 Sehingga dengan lantang al-Ghazali berpendapat bahwa filsafat tidak dapat menjamin kebenaran karena tidak menghasilkan kepastian.14 Al-Ghazali menilai, hanya kelompok sufilah yang benarbenar berjalan di jalan Allah. Ia meyakini tasawuf bisa menjadi sarana pengetahuan yang meyakinkan. Melalui tasawuf pula, orang bisa mencapai kesempurnaan ilmu dan berada satu tingkat di bawah derajat kenabian.15 Serangan al-Ghazali terhadap filsafat membuat masyarakat enggan berfilsafat. Karya yang dilahirkan Ibnu Tufail tentang Hayy ibn Yaqdzon adalah usaha untuk menjernihkan citra filsafat kembali.16 Sementara itu sebagai gantinya, corak pemikiran yang berkembang di Timur adalah pemikiran tasawuf yang sebagian dari aliran-alirannya dipadukan dengan filsafat. Di samping Ibnu Tufail, salah satu filosof penting yang menandai pergeseran paradigma filsafat Islam yang muncul di Barat adalah Ibnu Bajjah. Dalam karyanya Tadbi>r al-Mutawahhid seakan-akan ia ingin mengatakan bahwa filsafat juga mampu mencapai penyatuan dengan Tuhan melalui kontemplasi teoritis, sehingga filsafat juga mampu mencapai kebahagiaan.
13
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Syamsudin (Yogyakarta Ircisod, 2014), hlm. 111. 14 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, hlm. 320. 15 Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam, cet. III (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2014), hlm. 51. 16 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, hlm. 207.
6
Ketika filsafat Islam di Timur yang dikukuhkan oleh Ibnu Sina banyak menginspirasi para pemikir teosofi atau iluminasionis dan gnostis, sebaliknya di Barat justru jarang sekali bersinggungan dengan doktrin tersebut. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh logika filsafat Islam di Timur menggunakan logika Platonisme murni, sedangkan di Barat, para filosof muslim justru menggunakan Aristoteles. Seperti pengakuan Ibnu Rusyd bahwa emanasi Ibnu Sina sama sekali non-Aristotelian.17 Sebaliknya, Ibnu Rusyd memulai kajian burhani Aristotelian yang menjadi basis kajian politik filsafat Plato. 18 Dalam arti, mekipun corak Platonisme tidak dapat dilepaskan dari filsafat Islam, namun ketika ia hidup dan berkembang di Barat, ia terbungkus rapi dengan baju Aristotelian. Al-Jabiri menjelaskan bahwa filsafat demonstratif (burha>n) di Andalusia muncul dalam konteks yang berbeda dengan konteks kemunculan filsafat di Timur, baik filsafat Isma’iliyah atau filsafat al-Findi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Filsafat Islam muncul dan hidup dataran Timur dalam konteks agama, yaitu konteks di mana mereka didominasi oleh Ilmu Kalam dengan bentuk pemerintahannya yang tidak jelas, menghubungkan dasar naql dan ‘aql sebagai dasar politik: membela aqidah dengan dasar rasional.19 Secara tidak langsung, dari tipologi Filsafat Islam di Barat dan di Timur tersebut dapat dilacak dari para pendahulunya, dalam arti bangunan filsafat Islam di Timur dapat dibaca melalui al-Kindi dan al-Farabi, yang kemudian dikukuhkan
Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, hlm. 63. Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam, hlm. 91-92. 19 Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats (Bairut: al-Markaz as-Tsaqafi al-Arabi, 1993), hlm. 173. 17 18
7
oleh Ibnu Sina. Sebaliknya, bangunan filsafat Islam di Barat dapat dipahami dari Ibnu Bajjah yang menjadi dasarnya, yang kemudian dikukuhkan oleh Ibnu Rusyd. Sehingga dalam konteks inilah Ibnu Bajjah dikaji dan diamati untuk mengetahui konsep dan epistemologinya yang mengantarkan filsafat Islam lahir dan berkembang di Barat. Al-Jabiri dalam Nahnu wa at-Tura>s\ juga menjelaskan bahwa yang menarik dari Ibnu Bajjah adalah bahwa ia mengadopsi ide emanasi untuk menjelaskan persoalan penciptaan dan kenabian, dan istilah “penyucian jiwa” ( )التطهير الروحيdigunakan untuk menyatakan pencapaian kebahagiaan dan keabadian jiwa. والقول,واول ما يلفت النظر في هذه الفلسفة اعتمادها فكرة الفيض لتفسير مشكلة الخلق وظاهرة النبوة 20
.ب "التطهير الروحي" لبلوغ السعادة والخلود الروحاني
Kenabian dalam hal ini adalah teori kepemimpinan politik, sebagaimana termuat dalam keseluruhan Tadbi>r al-Mutawahhid-nya Ibnu Bajjah. Namun berbeda dengan al-Farabi di mana ia sangat menganjurkan seorang filosof untuk menjadi pemimpin, namun Ibnu Bajjah tidak mengarahkan filsafat politiknya untuk hal itu, akan tetapi untuk menjelaskan tentang manusia penyendiri sebagai manusia ideal yang hidup di kota yang tidak sempurna, dan bagaimana ia mengatur kesempurnaan dirinya dan realitasnya. بل اكتفى بأن أشار إلى أوصاف,ومعنى هذا أن ابن باجه لم يطالب بأن يكون حاكم الدولة هو الفيلسوف 21
20
. أعني في الدولة, وأكد أنه متوحد ال تأثير له في المدينة,المثل األعلى للسعيد
Ibid., hlm. 169. Abdul Rahman Badawi, dalam Mausuat al-Hadharoh al-‘Arabiyah al-Islamiyah: Jilid I (Amman: Dar al-Faris, 1995), hlm. 104. 21
8
Meskipun Ibnu Bajjah, yang dianggap sebagai filosof pertama di dunia Barat, masih menggunakan konsep Akal Aktif (al-‘Aql al-Fa’a>l) dari al-Farabi untuk menjelaskan arah hubungan tindakan manusia, akan tetapi Ibnu Bajjah, sama halnya dengan Ibnu Tufail, juga seakan-akan ingin mengembalikan filsafat pasca serangan al-Ghazali dengan paradigma baru. Ia seakan-akan resah bahwa hanya tasawuf yang dapat mengantarkan manusia kepada Tuhan, sedangkan filsafat tidak, terutama ketika filsafat telah diharamkan oleh al-Ghazali. Bagi Ibnu Bajjah, dengan konsep mutawahhid-nya, tampak ingin menunjukkan bahwa tidak hanya tasawuf yang dapat mengantarkan manusia kepada Tuhan. Hal ini juga menjadi pertanyaan umum bagi para pemikir muslim abad pertengahan, bahwa sejauh mana sebuah ilmu pengetahuan dapat mengantarkan manusia menuju pencapaian kepada Tuhan, berbeda dengan kegelisahan para pemikir muslim awal yang ingin menunjukkan keharmonisan antara filsafat dan agama, untuk menyangkal tanggapan pada fuqaha> atas rasionalitas. Secara keseluruhan, para filosof yakin bahwa Akal Aktif bersifat ilahi dan mutlak terpisah dari eksistensi spasiotemporal kita. Hubungan antara Wujud Ilahi dan eksistensi kita terjadi melalui iluminasi dalam pengertian pengetahuan intelek yang diperoleh secara intensional, dan sebagai konsekuensi kesatuan melalui penyerapan dalam pengertian realisasi diri kita, ketika diri dengan cara tertentu bersatu dengan Realitas-Realitas Ilahi.22 Ibnu Bajjah memiliki istilah tersendiri untuk menyebut orang-orang yang telah mencapai pada tingkatan Akal Aktif
22
Mehdi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, hlm. 63.
9
tersebut. Ia menyebutnya sebagai al-Mutawahhid, yaitu mereka yang menyendiri dari realitas sosial yang tidak ideal dan menuju realitas idealnya sendiri, yaitu al-
madi>nah al-ka>milah (kota sempurna). Seperti yang dijelaskan oleh dalam magnum opusnya: 23
.وهذه كلها قد تكون للمتوحد دون المدينة الكاملة
Ibnu Bajjah tidak menggunakan terminologi tasawuf untuk menjelaskan hal tersebut, sebaliknya, penyatuan dengan Akal Aktif itu diperoleh dengan kontemplasi teoritis, sehingga penyatuannya dengan Tuhan adalah penyatuan secara intelektual. Namun demikian, Ma’an Ziyadah menjelaskan bahwa istilah ini ditujukan sebagai kritik bagi para filsuf yang tidak mau ikut andil dalam memperbaiki realitas sosial.24 Dalam dunia Islam, kondisi manusia yang seperti ini sering kali dikaitkan dengan perilaku mengasingkan diri dari dunia yang berlebihan, yang banyak dilakukan oleh orang-orang sufi. Bentuk pemahaman mistisisme25 yang demikian itu menjadi dasar kehidupan bagi orang sufi. Pemahaman ini sering diremehkan oleh para filosof lantaran membawa pada dampak acuh tak acuh pada
23
Ibnu Bajjah, Tadbir Al-Mutawahid (Tunisia: Ceres Edition, 1994), hlm. 64. Ma’an Ziyadah, Ibn Bajja’s Book Tadbir al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary, Tesis (Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968), hlm. 15-20. 25 Majid Fakhry, A History of Islamic Phylosophy (New York: Columbia University Press, 1983), hlm. 234. Menurut Majid Fakhry, mistisisme merupakan suatu usaha menuju sesuatu yang tidak terbatas dan menjadi identik dengan hal itu melalui beberapa konsep kedekatan, sebagaimana dalam Kristen, atau melalui peleburan identitas diri secara total dan kembali pada kondisi penyatuan yang tidak dapat dibedakan, sebagaimana dalam Hinduisme dan Buddhisme. Sedangkan Seyyed Hossein Nasr membatasi mistisisme pada misteri-misteri ilahi yang didapatkan memalui jalan ma’rifat atau irfan. Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Tradisi Mistik: Sebuah Pengantar”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, hlm. 459. 24
10
kehidupan sosial yang real, dan tidak ada usaha membangun dunia sosial yang lebih baik; yang ditekankan adalah individualitas. Ibnu Bajjah menganggap bahwa puncak ma’rifa>t dapat dicapai dengan akal semata, bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb, atau al-z\auq. Ia mengkritik konsep
uzlah tasawuf al-Ghazali. Pengasingan diri secara total dari masyarakat manusia bertentangan dengan tabiat manusiawi sebagai makhluk sosial. 26 Meskipun demikian, al-mutawahhid bukanlah seorang ma’rifat, melainkan orang-orang yang mampu mencapai penyatuannya dengan Intelek Aktif (active intellect atau aql al-
fa’al>),27 dan menyendiri dari dunia sosial yang tidak ideal. Hal inilah yang secara spesifik akan dikaji dan dijelaskan unsur-unsur yang membentuknya dan menemukan kemungkinannya untuk dikembangkan menjadi satu konsep yang dapat digunakan untuk melihat realitas kemanusiaan dunia modern saat ini.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini akan dispesifikkan menjadi: 1. Bagaimana makna dan konsep al-mutawahhid Ibnu Bajjah? 2. Apa implikasi konsep al-mutawahhid dalam realitas manusia modern?
26 27
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, hlm. 196. Majid Fakhry, A History of Islamic Phylosophy, hlm. 261.
11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dari rumusan di atas, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini juga memiliki tiga tujuan, sebagai jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu: 1. Memahami makna dan konsep al-mutawahhid. 2. Menjelaskan implikasi konsep al-mutawahhid dalam melihat realitas manusia modern. Dilihat dari tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, setidaknya ada dua kegunaan umum yang bisa diharapkan. Pertama, dalam wilayah teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bangunan sejarah filsafat Islam yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan, dan menjadi referensi yang banyak dirujuk tentang Ibnu Bajjah, karena sulitnya karya Ibnu Bajjah untuk diakses dan belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, tujuan pertama penelitian ini adalah inventarisasi, meskipun penelitian ini tidak mengkaji secara keseluruhan karya Ibnu Bajjah. Di samping itu, dari penelitian ini diharapkan ada kajian filsafat manusia yang lebih mendalam dalam filsafat Islam, yang dapat disandingkan dengan filsafat manusia secara umum. Kedua, secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pijakan dalam melihat fenomena manusia tertentu secara filosofis, terutama dalam masyarakat Islam, yang dapat dijadikan landasan dalam mengambil suatu keputusan moral maupun politik, sehingga tidak ada masyarakat atau kelompok tertentu yang terpinggirkan.
12
D. Kajian Pustaka Penelitian tentang Ibnu Bajjah, terutama terkait dengan karya utamanya
Tadbi>r al-mutawahhid, menjadi penelitian Ma’an Ziyadah dengan judul Ibn Bajja’s Book Tadbir al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary, di Montreal, McGill University, Institute of Islamic Studies pada tahun 1968. Dalam penelitian tersebut Ziyadah membaginya menjadi tiga bagian: pertama berisi komentar-komentar tentang Tadbi>r al-Mutawahhid, bagian kedua berisi teks bahasa arab dari Tadbi>r al-Mutawahhid yang sudah diedit ulang, dan bagian ketiga berisi tentang terjemahan karya Tadbi>r al-Mutawahhid tersebut ke dalam bahasa Inggris. Isi dari penelitian tersebut tertuang dalam bagian pertama, bahwa Ziyadah memaknai al-Mutawahhid yang dijelaskan oleh Ibnu Bajjah sebagai kritiknya terhadap para filosof yang enggan ikut andil dalam memperbaiki realitas sosial. Akan tetapi, penelitian tentang magnum opus Ibnu Bajjah tersebut masih sangat sulit ditemukan di Indonesia, justru yang ada adalah penelitian tentang konsep manusia dari para filosof muslim yang lain. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Bermawy Munthe dengan judul Konsep Manusia Menurut Ibnu Sina: Suatu Tinjauan Psikologis Filosofis, di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1992. Dari penelitian tersebut ia ingin membangun satu konsep manusia yang utuh dalam pemikiran Ibnu Sina. Ia berangkat dari beberapa asumsi negatif yang menganggap bahwa manusia dengan segala sifatsifatnya tidak sejalan dengan agama Islam, sedangkan Ibnu Sina sendiri sering dikecam sebagai penyebar paham zindiqiyah, yaitu faham yang di satu sisi anti Tuhan dan di sisi yang lain menyerang Islam. Dalam pandangan Ibnu Sina tentang
13
manusia, akan nampak bahwa Ibnu Sina ingin menjelaskan manusia secara filosofis dann tidak bertentangan dengan Islam. Sehingga dalam penelitian tersebut penuli menemukan bahwa menurut Ibnu Sina manusia adalah makhluk absolut yang terbatas dengan kelebihannya dan kekurangannya. Dengan kelebihannya, manusia mampu mencapai puncak kesempurnaan. Sebaliknya, dengan kelemahannya, manusia tidak lebih dari binatang yang dikuasai oleh nafsu hewaninya. Sebagai penerus filsafat paripatetik, sebagaimana penjelasan Munthe, Ibnu Sina berpendapat bahwa manusia memiliki dua unsur: jasmani dan rohani. Lebih jauh Ibnu Sina mengatakan, unsur dasar manusia terdiri dari jism, ‘aql, dan nafs (jasmani, akal, dan jiwa), yaitu manusia yang berupa materi dan bentuk yang terdiri dari materi, indera, akal, dan jiwa yang tidak lepas dari makna-makna kosmis. Konsep manusia seutuhnya berdasar pada pemikiran Ibnu Sina tentang jiwa. Secara psikologis, kehidupan manusia adalah mengara pada pemenuhan dua tujuan: yaitu tujuan kebahagian fisik, dan kebahagiaan spiritual. Hal ini dapat dicapai dengan keterlibatan aktif jiwa rasional manusia dengan wajib al-wuju>d. Tujuan tersebut dapat dirangkum dalam tujuan akhir pencapaian manusia sebagai insan kamil (manusia yang sempurna). Selain itu, penelitian tentang manusia juga dilakukan oleh Abdul Rohman dengan judul Konsep Manusia Menurut Ibnu Khaldun dan Implikasinya Pada Wacana Intelektualisme Kependidikan Islam, di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1997, juga ingin menggali, setidaknya, dua wilayah: pertama adalah eksistensi manusia dan hakikat manusia sebagai manusia paripurna. Kedua, implikasi konsep tersebut dalam wacana intelektualisme Islam.
14
Sebagaimana penelitian lain tentang manusia dalam Islam, penulis juga menemukan bahwa manusia terdiri dari dwimatra, yaitu jasmani dan rohani. Akan tetapi, jika dilihat dari aktualisasi dari dua unsur tersebut dalam eksistensinya, manusia berserikat dengan binatang melalui jasmaninya, sedangkan ia berserikat dengan malaikat melalui rohaninya. Manusia sejak awal telah dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun diberkati dengan berbagai potensi. Disamping itu juga, potensi tersebut juga berpengaruh pada terbentuknya kecenderungan-kecenderungan adalam diri manusia, yaitu kecenderungan baik dan buruk. Kecenderungan tersebut akan mengikuti kebiasaa. Sehingga manusia akan cenderung kepada kebaikan apabila ia menjadikan agama sebagai acuan dalam pengembangan dirinya. Kesempurnaan eksistensi manusia ditandai dengan optimalnya fungsi-fungsi struktur eksistensinya. Hal ini dapat ditempuh melalui dua cara: mengembangkan sains dan melakukan riya> ḍah. Dengan mengembangkan sains, manusia mengoptimalkan fungsi akalnya, sedangkan dengan riya> ḍah, manusia mengoptimalkan fungsi qalb. Elya Munfarida, dalam tesis berjudul Konsep Manusia Menurut Seyyed Hossein Nasr, di Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tahun 2004, juga mencoba menemukan konsep manusia modern sebagai dampak dari modernisme yang banyak dikritik oleh Nasr. Hasilnya, ia menemukan bahwa Nasr ingin mengembalikan pemahaman manusia dalam Islam kepada pemahaman yang Qur’ani, yaitu makhluk yang terpilih sebagai yang istimewa di antara makhluk-makhluk yang lain. Manusia merupakan manivestasi kosmos, sedangkan makhluk-makhluk yang lain hanya mencerminkan sebagian dari kosmos.
15
Munfarida menjelaskan, pada hakikatnya manusia memiliki dua unsur, yaitu jasad dan ruh, yang keduanya bersifat komplementer, saling melengkapi, dan bukan sesuatu yang kontradiktif. Dari kedua undur tersebut memberikan makna pada manusia bahwa di satu sisi manusia sama dengan makhlu-makhluk lainnya, tetapi di sisi lain manusia mampu mentrandensikan dunia sekitarnya, termasuk dirinya sendiri. Selain itu, manusia juga dikaruniai beberapa potensi, yaitu kemampuan fundamental yang mencakup intelegensi, kehendak, dan sentimen; dan kemampuan instrumen yang meliputi akal, memori, imajinasi, dan perkataan. Dari hasil penelitian tersebut dapat dipastikan bahwa penelitian tentang Ibnu Bajjah masih sangat relevan untuk dilakukan, di samping karena penjelasan mengenai karya Tadbi>r al-Mutawahhid-nya masih jarang diteliti secara mendalam di Indonesia, penafsiran tentang konsep al-Mutawahhid tersebut juga masih dapat digunakan untuk menjelaskan tentang manusia di zaman modern ini. Selain itu, posisi Ibnu Bajjah sebagai filosof muslim pertama di belahan dunia Barat juga menjadi pijakan bagaimana ia menjelaskan eksistensi manusia dengan cara yang berbeda sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan filosof muslim di belahan dunia Timur.
E. Kerangka Teoritik Penelitian ini akan menggunakan kerangka teori eksistensialisme negatif atau yang sering dikenal dengan doktrin pesimisme dari Arthur Schopenhauer. Pierre Teilhard de Chardin mengungkapkan, bahwa setidaknya ada tiga tipe sikap manusia
16
menjalani hidupnya, sebagaimana diungkapkan oleh Fransiskus Borgias M dalam Manusia Pengembara;28 pertama, sikap menggairahkan yakni memandang kehidupan ini sebagai suatu perspektif yang selalu memberikan harapan, peluang, dan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih cerah kepada manusia. Kedua, sikap menikmati berarti memandang kehidupan ini sebagai kesempatan untuk menikmati
apa
saja
sampai
sepuas-puasnya.
Ketiga,
sikap
kebosanan
(membosankan) berarti memandang kehidupan ini terutama sebagai kesuraman, frustasi atau bencana besar (absurd, tanpa makna). Sikap seperti ini menyebabkan orang pesimistis, lesu, serta tanpa harapan dan gairah sama sekali dalam memandang dan menilai kehidupan ini. Pada tipe ketiga itulah Schopenhauer menempati posisinya, ia mempunyai pandangan dunia yang betul-betul pesimistis. Sebagaimana dijelaskan oleh Bertens, hidup sebagai manusia selalu berarti juga mengalami kesengsaraan. Namun demikian, ada dua jalan untuk mengatasi keadaan itu: jalan estetis dan jalan etis. Jalan pertama adalah kesenian, khususnya musik. Tetapi kesenian membuat kita melupakan kesengsaraan untuk sementara saja. Yang lebih efektif adalah jalan kedua. Di sini secara radikal manusia memadamkan segala hawa nafsu dan melepaskan diri dari setiap macam keinginan. Dengan demikian ia dapat mencapai “Nirwana”, istilah yang dipinjam Schopenhauer dari agama Buddha. Ia adalah filsuf modern pertama yang sangat dipengaruhi oleh alam pikiran agama timur.29 Schopenhauer seakan-akan mengajarkan bahwa dunia tidak lain adalah tempat bagi
28
Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis Tentang Manusia (Yogyakarta: Jalasutra, 2013), hlm. 57-58. 29 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, cet. XXIV (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 77.
17
kesengsaraan manusia, kesedihan, dan segala yang tidak membahagiaan, sehingga tidak ada jalan lain bagi manusia yang menginginkan kebahagiaan selain harus tidak memperdulikan dunia dan hidup dalam kesendirian etis dengan penghayatan metafisik. Setidaknya ada tiga konsep kunci dalam pemikiran Schopenhauer yang dapat digunakan sebagai kerangka teoritis dalam menganalisis konsep al-mtawahhid dari Ibnu Bajjah, yaitu ide, kehendak, dan moralitas. Schopenhauer menekankan sejak awal dalam karya utamanya The World as Will and Idea. Karya tersebut merupakan sanggahan dari kerumitan filsafat Kant, sekalipun dapat dilihat bahwa dalam karya tersebut memiliki corak yang mirip dengan filsafat Kant. Pada volume pertama, bagian satu ia mengawalinya dengan pernyataan: “The world is my idea:”—this is a truth which holds good for everything that lives and knows, though man alone can bring it into reflective and abstract consciousness. If he really does this, he has attained to philosophical wisdom. It then becomes clear and certain to him that what he knows is not a sun and an earth, but only an eye that sees a sun, a hand that feels an earth; that the world which surrounds him is there only as idea, only in relation to something else, the consciousness, which is himself.”30 Corak filsafat Schopenhauer, selain banyak diwarnai oleh filsafat Kant juga sebagian dari doktrin Buddha yang mengilhami ajarannya tentang kehampaan duniawi. Ia menerima pemikiran Kant tentang hakikat sesuatu yang das Ding an sich (dalam dirinya sendiri) atau nomena yang berada di balik fenomena. Apa yang kita ketahui tentang sesuatu atau benda-benda, menurutnya, bukanlah benda itu
30
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Idea: volume I, terj. R.B. Haldane dan J. Kemp (London, Kegan Paul, 1909), hlm. 25.
18
sendiri, melainkan gagasan atau ide kita tentang benda tersebut. 31 Namun, ia mengidentifikasi lebih jauh tentang hakikat terdalam segala sesuatu itu. Ide-ide merupakan jawaban di satu sisi dari penampakan benda-benda, namun ia menolak Kant dengan mengatakan bahwa ide-ide tersebut tidak lahir dari rasionalitas tertentu, akan tetapi Schopenhauer justru menganggap bahwa ia lahir dari “keinginan-keinginan”, mulai dari harapan yang paling halus dan tersembunyi hingga nafsu yang kuat dan mendesak, yang ia namakan sebagai “kehendak”.32 Dalam pemikiran Schopenhauer, dunia dipahami lebih luas, ia bukan sekedar dunia fisik, ia mencakup semua yang hadir dalam pengalaman inderawi, ia berhubungan dengan pengetahuan sebagai wujudnya di dalam kesadaran. Sehingga dapat diandaikan bahwa sebenarnya hubungan antara subjek, persepsi, perasaan, atau prasangka, pengetahuan, tidak secara langsung mengarah pada objek fisik dunia, akan tetapi mengarah kepada ide-ide yang hadir dalam objek-objek tersebut. Oleh karena itu, Schopenhauer mengatakan, yang ada bukanlah matahari, akan tetapi mata kita yang melihat marahari, bukan tanah, tetapi tangan kita yang merasakan tanah. Dalam hubungan tersebut dunia hanyalan objek yang merepresentasikan ide-ide, sehingga ia mengatakan dunia tidak lain adalah ide. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Samuel Enoch Stumpf dan James Fieser, bahwa segala yang aktual, yaitu dunia yang aktif, ditentukan sejauh ia muncul dalam pemahaman dan tidak ada selain dari itu.33
31 Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 330. 32 Ibid., hlm. 331. 33 Samuel Enoch Stumpf dan James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond: A History of philosophy: Eighth Edition (New York: McGraw Hill, 2008), hlm. 314.
19
Sedangkan kehendak, juga bukan seperti yang kita andaikan sebagai suatu dorongan dari dalam terhadap pilihan-pilihan atau tujuan tertentu. Apa yang dimaksud Schopenhauer dengan kehendak nampaknya lebih dari itu, ia merupakan unsur yang tetap sebelum berhadapan dengan pilihan-pilihan atau tujuan tertentu. Sebenarnya, konsep kehendap ini lahir dari ketidaksepakatan Schopenhauer terhadap anggapan Kant tentang sesuatu yang das Ding an Sich (ada dalam dirinya sendiri) tidak dapat diketahui. Kita tidak akan pernah mengetahui sesuatu itu sebagaimana dirinya sendiri, pengetahuan kita tentang sesuatu selalu merupakan persepsi rasio atau intuisi. Namun Schopenhauer hanya merubah konsep tersebut, ia mengidentifikasikannya sebagai kehendak. Ia mengatakan bahwa apa yang tampak pada persepsi sebagai raga saya pada hakikatnya adalah kehendak saya.34 Kehendak adalah kategori metafisik yang mendasar, akar dari segala yang kita anggap “nyata”.35 Ia menganggap bahwa dunia ini lebih dari sekedar sistem penampakan. Dunia ini tidak hanya mengandung representasi dan hubungannya yang sistematis, tetapi juga kehendak.36 Sebagaimana yang ia tegaskan, “For as the world is in one aspect entirely idea, so in another it is entirely will.”37 Hubungan antara keduanya dapat dipahami sebagai penegasan eksistensi, bahwa kehendak memberikan eksistensi pada subjek. Dengan kehendak, manusia sebagai subjek memiliki dorongan untuk
34
Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko, dkk. Cet. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 982-983. 35 Henry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 117. 36 Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descrates to Wittgenstein: Second Edition (London: Routledge, 1996), hlm. 177. 37 Arthur Schopenhauer, The World as Will and Idea: volume I, hlm. 27.
20
menjalani kehidupannya dan mengetahui dunia ini dengan menampakkannya melalui tindakan-tindakan fisik. Ide-ide sekan hanya menjadi tumpukan pengetahuan beku jika tanpa kehendak, dan hanya karena ada kehendak maka ideide tersebut memiliki fungsinya untuk senantiasa diobjektivikasi melalui tindakantindakan fisik, sehingga Schopenhauer mengatakan tubuh sebagai objektivitas kehendak. Ia mengatakan: The act of will and the movement of the body are not two different things objectively known, which the bond of causality unites; they do not stand in the relation of cause and effect; they are one and the same, but they are given in entirely different ways, immediately, and again in perception for the understanding. The action of the body is nothing but the act of the will objectified, passed into perception. It will appear later that this is true of every movement of the body, not merely those which follow upon motives, but also involuntary movements which follow upon mere stimuli, and, indeed, that the whole body is nothing but objectified will, will become idea. All this will be proved and made quite clear in the course of this work. In one respect, therefore, I shall call the body the objectivity of will.38 Kehendak yang demikian itu, seakan-akan tidak memiliki nilai moral kebaikan. Namun bagi Schopenhauer, moralitas memang jika lahir dari motif internal manusia, maka yang ada adalah sifat egoisme. Karena secara alamiah, kehendak selalu mengarah pada tujuan objek kenikmatannya sendiri. Kehendak yang begitu jahat bagi Schopenhauer, oleh karena itu, tidak hanya berdampak buruk pada diri manusia, tetapi juga terhadap orang lain. Schopenhauer mengatakan, barang siapa yang ingin tahu dengan segera apakah di dunia ini jumlah kenikmatan lebih banyak dari pada penderitaan, atau apakah keduanya setidaknya berimbang, maka ia perlu membandingkan perasaan seekor binatang yang memangsa hewan
38
Ibid., hlm. 145.
21
lain dengan perasaan hewan yang tengah dimangsanya.39 Sehingga, dalam kondisi terbelenggu oleh kehendak untuk hidup, moralitas yang muncul justru adalah egoisme, dengan kata lain, hal itu menunjukkan ketiadaan moralitas bagi manusia. Schopenhauer menjelaskan: Such, then, are the elements out of which, on the basis of the Will to live, Egoism grows up, and like a broad trench it forms a perennial separation between man and man.40 I mean the self-interested motives, using the word in its widest sense. Consequently, the moral value of an act is lowered by the disclosure of an accessory selfish incentive; while it is entirely destroyed, if that incentive stood alone. The absence of all egoistic motives is thus the Criterion of an action of moral value. It may, no doubt, be objected that also acts of pure malice and cruelty are not selfish.41 Sebenarnya, konsep etika Schopenhauer berpijak pada kritik etika Kant yang meyakini bahwa dorongan pribadi manusia lahir dari intuisi yang menjadi hukum moral universal. Kant menganggap bahwa sesuatu yang baik itu adalah baik dalam dirinya sendiri, bukan karena motif tujuan tertentu, tetapi karena tindakan tersebut memang baik dan dijalankan dengan kehendak yang baik. Namun bagi Schopenhauer,
tindakan
demikian
hanyalah
ungkapan
egoisme
yang
mementingkan dirinya sendiri untuk mendapatkan kesenangan dan kesengsaraan bagi orang lain. Sehingga, bagi Schopenhauer, ada tiga motif dasar dalam diri manusia, dalam kaitannya dengan moralitas. There are only three fundamental springs of human conduct, and all possible motives arise from one or other of these. They are: (a) Egoism; which desires the weal of the self, and is limitless. (b) Malice; which desires the woe of
39
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, hlm. 333-334. Arthur Schopenhauer, The Basis of Morality: Second Edition, terj. Arthur Brodrick Bullock (Londoh: George Allen & Unwin, 1915), hlm. 153. 41 Ibid., hlm. 163. 40
22
others, and may develop to the utmost cruelty. (c) Compassion; which desires the weal of others, and may rise to nobleness and magnanimity. Every human act is referable to one of these springs; although two of them may work together. Now, as we have assumed that actions of moral worth are in point of fact realities; it follows that they also must proceed from one of these primal sources. But, by the eighth axiom, they cannot arise from the first, and still less from the second; since all conduct springing from the latter is morally worthless, while the offshoots of the former are in part neither good nor bad in themselves. Hence they must have their origin in the third incentive; and this will be established a posteriori in the sequel.42 Dari tiga motif tersebut, ia menegaskan bahwa tindakan moral hanyalah tindakan yang dilandaskan pada motif ketiga, yaitu compassion atau perasaan simpati dan empati. Ia membalik paradigma moral yang selama ini diwarnai dengan tindakan bersifat positif yang dipahami sebagai demi kebaikan bersama, menjadi tindakan yang berlandaskan pada perasaan kesengsaraan yang dimiliki bersama, atau dengan melihat orang yang lebih kurang bahagia dibandingkan dengan diri kita: Direct sympathy with another is limited to his sufferings, and is not immediately awakened by his well-being.43 Bahasa simpati yang dipakai oleh Schopenhauer sebenarnya erat maknanya dengan apa yang kita pahami dengan empati. Dengan empati, seseorang yang sejatinya dijerat oleh kesengsaraan akan melihat orang-orang lain yang sama dengan dirinya, dan melahirkan paham pesimistik komunal bahwa “banyak orang yang menderita seperti saya, sehingga saya tidak perlu merasakan penderitaan ini terlarut dalam sendirian”. Di satu pihak, penderitaan dan rasa frustasi manusia akan berkurang karena merasa mendapat teman senasib yang menanggung segalanya
42 43
Ibid., hlm. 171-172. Ibid., hlm. 172.
23
bersama-sama. Simon Petrus membahasakan sikap ini dengan “bela rasa”. Dengan adanya bela rasa, kita keluar dari diri kita sehingga terbebas dari keinginan untuk mempertahankan hidup dan eksistensi kita. Sikap bela rasa menolak kehendak egoistik kita yang menjadi penyebab penderitaan berkepanjangan. Sikap ini merupakan dasar bagi moralitas.44 Sebenarnya, Schopenhauer membangun ajaran moralitas tersebut melalui konsep Buddha yaitu Nirwana. Dokrtin ini menjadi salah satu jalan – dari dua jalan – yang ia ajarkan kepada manusia menuju kebebasan. Dua jalan yang harus ditempuh oleh manusia, menurut Schopenhaer adalah: kontemplasi estetis, dan kontemplasi etis. Yang pertama hanyalah jalan yang bersifat sementara, ia mengantarkan kita masuk ke dalam dunia ide dan dunia noumenal, dan melampaui bidang inderawi atau dunia fenomenal dengan segala penderitaannya.45 Sedangkan jalan yang kedua adalah jalan terbaik menuju pembebasan. Karena penyebab penderitaan adalah intensitas kehendak; semakin kurang kita memberi ruang bagi kehendak, semakin kurang kita menderita.46 Simon Petrus membahasakan ajaran ini dengan penyangkalan diri atau “mati raga” (Entsagung) sebagai jalan pembebasan manusia dari penderitaannya.47
44
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, hlm. 337. Ibid., hlm. 335. 46 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 984. 47 Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, hlm. 336. 45
24
F. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penenlitian kualitataif, suatu jenis penelitian yang berfokus pada pendalaman makna, dan tanpa kalkulasi statistik tertentu. Dalam arti, penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.48 Atau disebut juga sebagai gaya penelitian inventif dalam bahasa Anton Bakker, yang mencoba mencari pemahaman baru terhadap modal pemikiran yang telah dikumpulkan, dan berusaha
memberikan
pemecahan
bagi
masalah-masalah
yang
belum
diselesaikan.49 Jenis penelitian ini dipilih demi mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang belum diketahui, atau hanya sedikit diketahui. Sehingga dengan menggunakan penelitian kualitatif, diharapkan akan dapat mengungkapkan makna-makna tersembunyi dibalik objek penelitian yang terjadi atau muncul di masa sebelumnya. Data dalam penelitian ini akan diambil dari dua sumber: (1) sumber primer, yang diambil dari karya-karya Ibnu Bajjah yang relevan dengan objek yang dikaji, sebagai data primer, dan (2) sumber pendukung atau sumber sekunder yang diambil dari literatur-literatur lain yang selaran dengan objek penelitian dan mendukung pencapaian penelitian. Kerena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif library research (penelitia yang berbasis pustaka), maka data-data tersebut hanya akan berupa data pustaka dan hanya melalui literatur-literatur pustaka, baik dari buku, 48 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknin-teknik Teoritisasi Data, terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, cet. IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 4-5. 49 Anton Bakker, dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 17.
25
jurnal, majalah dan surat kabar, atau dapat juga diambil dari arsip atau dokumen pribadi yang belum atau tidak dipublikasikan. Penelitian ini, sebenarnya, mengambil gaya berfikir induktif, yang pada umumny disebut generalisasi.50 Yakni berusaha melahirkan pernyataan atau teori umum dari hasil analisis sistesis beberapa data dalam jumlah terbatas. Dalam penelitian bergaya induktif, proses analisis data kemudian menjadi proses inti dari sebuat penelitian, sebelum nantinya akan diakhiri dengan memperhubungkan hasil analisis tersebut dan menjelaskannya secara deskriptif-naratif sebagai hasil peneltian. Metode analisis atau sering disebut dengan pengkodean (coding)51 mengambil landasannya dari pendekatan grounded theory, dengan memakai tiga langkah pengkodean, yang disederhanakan pengertiannya menjadi (1) metode analisis, yaitu dengan mengadakan pemerincian terhadap objek ilmiah tertentu denga jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, untuk memperoleh kejelasan mengenai hal tersebut.52 (2) Metode sintesis, yaitu dengan jalan memperhubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain.53 Dan (3) memperhubungkan kategori-kategori untuk membentuk narasi deskriptif sebagai hasil penelitian.
50
Ibid., hlm. 43. Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, hlm. 51. 52 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 59. 53 Ibid., hlm. 61. 51
26
G. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah penjelasan laporan hasil penelitian ini, maka akan dibuat rangkaian pembahasan yang terdiri dari bab-bab sebagai berikut: 1) BAB I adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Gunanya adalah sebagai kerangka awal dalam melakukan penelitian. 2) BAB II berisi tentang sejarah kehidupan dan latar belakang pemikiran Ibnu Bajjah, sebagai landasan utama dalam menganalisis bab-bab berikutnya. 3) BAB III berisi penjelasan tentang konsep Al-Mutawahhid Ibnu Bajjah. Pada bab ini akan dibahas secara mendalam tentang karya Ibnu Bajjah
Tadbi>r al-Mutawahhid, dan akan mengerucut lebih dalam pada makna dan konsep Al-Mutawahhid. 4) BAB IV berisi analisis terhadap konsep Al-Mutawahhid yang akan ditarik kepada realitas manusia modern. 5) BAB V berisi tentang kesimpulan dan saran.
101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Filsafat Ibnu Bajjah adalah titik balik filsafat Islam yang lahir di dunia Barat. Ia sekalipun sedikit masih menggunakan istilah akal aktif (al-‘aql al-fa’a>l) yang diambil dari para pendahulunya yang menganut paham emanasi, tapi ia sama sekali tidak mengikuti ajaran tersebut. Filsafat Ibnu Bajjah tidak menunjukkan adanya ajaran emanasi di dalamnya. Akal aktif yang diambil dari filsafat emanasi digunakan untuk menyebutkan realitas puncak yang harus diraih. Doktrin tentang manusia penyendiri (al-mutawahhid) merupakan wujud dari pencapaian manusia dengan akal aktif itu. Manusia ini adalah manusia yang sempurna, ia telah menemukan kebahagiaannya yang abadi. Konsep ini dibentuk oleh Ibnu Bajjah dalam kajian politiknya untuk menyebut kepada manusia sempurna yang hidup dalam kota yang tidak sempurna. Manusia ini berusaha menemukan kebahagiannya dalam kota itu, namun kota yang tidak sempurna hanya menyediakan kesengsaraan, sehingga manusia penyendiri haruslah mengasingkan diri atau pindah membentuk kota sempurna yang lainnya bersama mutawahhid yang lain. Dengan cara ini Ibnu Bajjah menunjukkan perhatiannya pada aspek mendasar dari sebuah negara, baik dalam pembentukannya maupun kondisinya, adalah lahir dari masyarakat, bukan pemimpin.
101
102
Daman realitas zaman modern sekarang ini, manusia mutawahhid tidak bisa dilihat sebagai individu semata. Ia harus dilihat sebagai kelompok atau kelas sosial tertentu. Bisa jadi manusia mutawahhid adalah mereka – baik sebagai individu maupun kelompok – yang memiliki kesempurnaan, namun mereka hanyalah minoritas yang terasing dan tidak dapat hidup bahagia. Keterasingan dari kebahagiaan ini dikarenakan pola hidup dunia modern yang serba materialis, sehingga pandangan dunia ideal mereka tidak dapat direalisasikan. Manusia semacam ini dapat dilihat di zaman modern dengan berbagai status sosial dalam masyarakat tertentu. Sementara dengan kaca mata pesimisme Schopenhauer, mutawahhid dapat dianggap sebagai bukti bahwa manusia pada dasarnya adalah egois. Ini disebabkan karena kehendaknya sendiri. Kehendak ini yang membuat hasrat manusia selalu mengarah pada tujuan pribadinya. Sehingga orang-orang mutawahhid hanya mengejar kebahagiaannya sendiri tanpa melihat orang lain yang tidak bahagia karena tidak memiliki pengetahuan tentang bagaimana mendapatkan kebahagiaan tersebut.
B. Saran Filsafat Ibnu Bajjah memang jarang diperhatikan, karena kurangnya referensi dan juga karya-karyanya yang dianggap belum lengkap dan sempurna. Namun filsafat Ibnu Bajjah masih relevan untuk dikaji, demi menemukan akar pemikiran Islam yang lahir dan berkembang di dunia Barat sebagai bentuk yang lain. Salah
103
satu hal yang layak untuk dikaji adalah pemikirannya tentang jiwa yang terkandung dalam karyanya ‘Ilm an-Nafs. Karya itu penting karna erat kaitannya dengan jiwa yang terkadung dalam masing-masing indera manusia, seperti penglihatan, pendengaran, dalan sebagainya. Bukan seperti pemikiran jiwa yang bagi kebanyakan pemikir muslim hanya menunjukkan aspek esoteris belaka.
104
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M.M. Zuhuru’d-din, Mystic Tendencies in Islam, Delhi: Low Price Publication, 1993. Aiken, Henry D., Abad Ideologi, terj. Sigit Djatmiko, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Al-Ghazali, Imam, Tangga Ma’rifatullah: Mi’raj As-Saalikiin, terj. Wasmukan, Surabaya: Risalah Gusti, 2000. Al-Ghazali, Kiblat Cahaya, terj. Syafrudin dan Kameran A. Al-Irsyadi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002. Al-Isfahani, Ragib, Adz-Dzari’at ila Makarim asy-Syari’at, Kairo: Dar al-Wafa, 1987. Al-jabiri, Muhammad Abid, Nahnu wa at-Turats, Bairut: al-Markaz as-Tsaqafi alArabi, 1993. An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaeby dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta: Ircisod, 2016. Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah “Kitab Suci” Etika, terj. Embun Kenyowati, Jakarta: Teraju, 2004. As-Sirjani, Raghib, Bangkit dan Runtuhnya Andalusia: Jejak Kejayaan Peradaban Islam di Spanyol, terj. Muhammad Ilyas dan Abdal Rasyad Shiddiq, cet. III, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015. Badawi, Abdul Rahman, dalam Mausuat al-Hadharoh al-‘Arabiyah al-Islamiyah: Jilid I, Amman: Dar al-Faris, 1995. Bajjah, Ibnu, ‘Ilm al-Nafs, Karachi: Pakistan Historical Society, 1956. Bajjah, Ibnu, Tadbir Al-Mutawahid, Tunisia: Ceres Edition, 1994. Bakker, Anton, dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990. Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2011.
104
105
Birsch, Douglas, Ethical Insights: A Brief Introduction, Second Edition, McGrawHill: Companies, 2002. Borgias, Franciskus, Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis Tentang Manusia, Yogyakarta: Jalasutra, 2013. De Boer, T.J., The History of Pholosophy in Islam, terj. Edward R. Jones B.D., London: Lucas & Company LTD, 1970. Eyerman, Ron, Cendekiawan: Antara Budaya dan Politik dalam Masyarakat Modern, terj. Matheos Nalle, Jakarta: Obor, 1996. Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy: Second Edition, New York: Columbia University Press, 1983. Fakhry, Majid, Al-Farabi, Founder of Islamic Neoplatinosm: His Life, Works and Influence, Oxford: Oneworld, 2002. Fakhry, Majid, Averroes: His Life, works and Influence, Oxford: Oneworld, 2008. Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Fakhry, Majid, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism: A Short Introduction, Oxford: Oneworld, 1997. Genequand, Charles, Ibn Rushd’s Metaphysics: A Translation With Intoduction of Ibn Rushd’s Commentary on Aristotle’s Metaphysics, Book Lam, Leiden: E.J. Brill, 1986 Geoffroy, Eric, Introduction to sufism: The Inner Path of Islam, terj. Roger Gaetani, Bloomington: World Wisdom, 2010. Lobel, Diana, Between Mysticism and Philosophy: Sufi Language of Religious Experience in Judah Ha-Levi’s Kuzari, New York: State University of New York, 2000. Mayer, Ryan, Islam di Spanyol, Jakarta: Pensil-234, 2011. Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah, Yogyakarta: Ircisod, 2012. Nasr, Seyyed Hossein, dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Pertama, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
106
Nasr, Seyyed Hossein, dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial, Cet. III, Depok: Perenial Press, 2001. Nasr, Seyyed Hossein, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Philosophy from Its Origin to The Present: Philosophy in The Land of Prophecy, New York: State University of New York Press, 2006. Nasr, Seyyed Hossein, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, terj. Ach. Maimun Syamsudin, Yogyakarta Ircisod, 2014. Nasr, Seyyed Hussein, dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003. Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, dkk. Cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Said, Edward W., Peran Intelektual, terj. Rin Hindryati P. Dan P. Hasudungan Sirait, Jakarta: Obor, 2014. Schopenhauer, Arthur, The Basis of Morality: Second Edition, terj. Arthur Brodrick Bullock, Londoh: George Allen & Unwin, 1915. Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Idea: volume I, terj. R.B. Haldane dan J. Kemp, London: Kegan Paul, 1909. Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Idea: volume III, terj. R.B. Haldane dan J. Kemp, London: Kegan Paul, 1909. Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descrates to Wittgenstein: Second Edition, London: Routledge, 1996. Soleh, A. Khudori, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Soleh, A. Khudori, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013. Strauss, Anselm, dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknin-teknik Teoritisasi Data, terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, cet. IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
107
Stumpf, Samuel Enoch, dan James Fieser, Socrates to Sartre and Beyond: A History of philosophy: Eighth Edition, New York: McGraw Hill, 2008. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997. Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Ampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 2015. Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004. Tufail, Ibnu, Hayy bin Yaqdzon, terj. Nurhidayah, Yogyakarta: Navila, 2010. Wijaya, Aksin, Nalar Kritis Epistemologi Islam, cet. III, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2014. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014. Yazdi, Mehdi Ha’iri, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis Dalam Filsafat Islam, terj. Husein Heriyanto, Edisi Revisi, Bandung: Mizan, 1994. ZaprulKhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Press, 2014. Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Rajawali Press, 2012. Ziyadah, Ma’an, Ibn Bajja’s Book Tadbir al-Mutawahhid: An Edition, Translation and Commentary, Tesis, Montreal: McGill University, Institute of Islamic Studies, 1968.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Abdulloh Hanif, S.Fil.I
Tempat/ tanggal lahir
: Lamongan, 16 Juni 1992
Alamat
: Tulung RT 03/ RW 05, Ds. Wanar, Pucuk
Kota/Propinsi
: Lamongan, Jawa Timur
Agama
: Islam
Nomor Telepon
: 085655316601
Email
:
[email protected]
Latar Belakang Pendidikan 1. TK
Lulus Tahun 1997 di TK. Miftahul Ulum Tulung, Pucuk, Lamongan
2. SD
Lulus Tahun 2003 di MI. Raudlotul Athfal Tulung, Pucuk, Lamongan
3. SLTP Lulus Tahun 2006 di MTs. Putra Putri Simo, Karanggeneng, Lamongan 4. SLTA Lulus Tahun 2009 di MA. Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, Jombang 5. S1
Lulus Tahun 2013 di IAIN Sunan Ampel Surabaya
6. S2
Lulus Tahun 2016 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta