KONDISIONALITAS PENGAKUAN TERHADAP STATUS HUKUM DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Farah Reza Praditya Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 16424 Email :
[email protected]
Abstrak Skripsi menjelaskan bagaimana pengaturan tentang wilayah adat yang meliputi tanah ulayat dan hutan adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur hak dan kewajiban Masyarakat Hukum Adat terhadap wilayah tersebut sebagai subjek hukum negara secara limitatif dan diskriminatif. Penjelasan tersebut disusun secara kronologis, dimana diurutkan dari peraturan perundangundangan masa kolonial hingga peraturan terkini yang saat ini berlaku. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan dan pengakuan yang memadai bagi terselenggaranya hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat bahkan cenderung mencederai hak-hak konstitusional tersebut. Kata Kunci : Masyarakat Hukum Adat, Hak Ulayat, Hak Konstitusional.
CONDITIONAL RECOGNITION TO MASYARAKAT HUKUM ADAT’S LEGAL STATUS AND COLLECTIVE RIGHTS ON INDONESIAN LEGISLATION Abstract
This thesis does explanations concerning to Indonesian legislation that specifically ruled about adat territories including their collective rights over customary land and forest. Conceive legal status, duties, and rights of Masyarakat Hukum Adat in various relevant legislations. This research concluded that Indonesian legislation gave the collective rights of Masyarakat Hukum Adat to their adat territories but ruled it by conditional recognitions. Consequently, this conditional recognition has abandoned Masyarakat Hukum Adat’s constitutional right and bring them to suffering.
Keywords : Masyarakat Hukum Adat, Collective Rights, Constitutional Rights.
1
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
2
Pendahuluan Keberadaan masyarakat hukum adat dan hukum adatnya juga sudah diakui sejak zaman kolonial Belanda, hal tersebut dibuktikan dengan diaturnya keberlakuan hukum adat bagi masyarakat pribumi (masyarakat hukum adat) pada zaman itu. Pengaturan mengenai hal tersebut dituangkan dalam peraturan kolonial dalam Pasal 131 ayat (2) sub b Indische Staatsregering (IS) yang menyatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya.1 Pasal ini jelas menyatakan bahwa hukum adat dan masyarakat hukum adat telah diakui terlebih dahulu sebelum negara ini merdeka dan masyarakat hukum adat sudah mampu membentuk tatanan hukum sendiri jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat merumuskan Undang-Undang sendiri. Kemudian setelah negara ini merdeka dan mampu membentuk Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya juga diakui dalam batang tubuh sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia, hal ini menyebabkan lahirnya tanggung jawab negara untuk mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat tersebut beserta hak-hak tradisionalnya dalam setiap kebijakan negara yang diambil.2 Sebagai negara hukum, seperti yang jelas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 negara ini tidak dipersepsikan sebagai negara dengan kedaulatan tunggal yang absolut melainkan dibatasi oleh hukum (termasuk hukum dasar atau konstitusi).3 Sehingga Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) tersebut adalah landasan yuridis bagi masyarakat hukum adat untuk dapat menuntut hak-hak tradisonalnya dapat dilindungi dan diakui oleh negara.
1
Admon Saleo, (2014) “Pengakuan Masyarakat Adat Tentang Hak Ulayat”, Lex Privatum
2
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen kedua), Ps 18 ayat (2).
II : 1.
3
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara : Pengembangan Teori Bernegara dan Suplem, Ed.1., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 82.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
3
Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat juga diisyaraatkan dengan disebutkannya istilah masyarakat hukum adat, masyarakat adat, hak ulayat, tanah ulayat maupun hutan ulayat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia selain Undang-Undang Dasar. Dimana, secara khusus UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan hak ulayat atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat yaitu dengan mengatur pelaksanaan hak ulayat tersebut dalam isi pasal-pasalnya, diantaranya Pasal 3 UUPA. Pasal tersebut secara eksplisit mengakui keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat yang berupa hak-hak atas tanah yang memang sudah terbentuk dan berlaku sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agriria (UUPA). Selain UUPA, peraturan perundangundangan lain juga menyebutkan istilah-sitilah yang berhubungan dengan hak ulayat maupun masyarakat hukum adat. Dengan dicantumkannya istilah yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat maupun hak ulayat pada berbagai peraturan perundang-undangan nyatanya tidak memberikan kepastian hukum bagi kedudukan masyarakat hukum adat di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan banyaknya sengketa atas kepemilikan tanah maupun wilayah hutan antara masyarakat hukum adat dan pihak lainnya, dimana kedudukan hukum mayarakat hukum adat selalu lebih lemah dibanding pihak luar yang sebenarnya bukan penghuni asal wilayah tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya perlindungan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat maupun hak-hak tradisonalnya dimana dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku status hukum masyarakat hukum adat tidak diperjelas bahkan seringkali didiskriminasikan. Ketidakjelasan norma hukum yang mengatur status dan pengakuan serta perlindungan masyarakat hukum adat berisi pengakuan bersyarat bagi masyarakat hukum adat. Pengakuan bersyarat tersebut dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang secara semu mengakui masyarakat hukum adat, seperti dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Kehutanan, Undang Sumber Daya Air dan Undang-Undang lainnya. Tinjauan Teoritis
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
4
Dalam tulisan ini, Penulis memberikan definisi terhadap istilah-istilah berikut: 1.
Kondisionalitas (Kondisional-itas) a. Kondisional berasal dari kata bahasa Inggris condisional yang berarti determined by something else (ditentukan oleh suatu hal lain).4 Akhiran –itas yang digunakan pada kata serapan kondisional menjadikan
b.
makna kata benda.5 Sehingga kondisionalitas berarti suatu hal yang keberadaannya digantungkan oleh suatu hal yang lain. Dalam Skripsi ini, kondisionalitas merujuk pada persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menentukan keberadaan suatu hal tertentu. 2.
Legitimasi Legitimasi adalah keterangan yg mengesahkan, pernyataan yg sah (menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang).6
3.
Masyarakat Hukum Adat Menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda terlihat maupun benda tak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk
4
Kamus Merriam Webster Online, webster.com/thesaurus/conditional, diunduh pada 28 Desember 2014.
http://www.merriam-
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online , http://kbbi.web.id/-is%20itas, diunduh 9 Agustus
2014 6
Ibid.,
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
5
membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.7 Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan
pranata
ekonomi,
politik,
sosial,budaya,
memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun. 4.
hukum
dan
8
Hukum Adat Hukum adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.9 Hukum Adat menururt C. Van Vollenhoven adalah apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.10
5.
Hak Ulayat
7
B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm. 6.
8
Indonesia, Peraturan Menteri dalam Negeri tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.Permendagri 52 tahun 2014, Ps 1 angka 1. 9
Ibid.,Ps. 1 angka 3.
10
C. van Vollenhoven, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, Dell III, hlm 398, dalam Mr. Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung : Alumni, 1981) hlm. 1516.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
6
Ter Haar menyebut Hak Ulayat sebagai Hak Pertuanan (Beschikkingsrecht). Beliau menggambarkan Hak Pertuanan sebagai suatu hubungan hidup antara Masyarakat Hukum Adat dengan tanah dimana mereka diam (tinggal), hubungan ini digambarkan oleh Ter Haar sebagai suatu pertalian hukum (rechtsbetreking). Pertalian tersebut terjalin antara Masyarakat Hukum Adat dan tanah yang merupakan tempat tinggal, tempat mencari penghidupan bahkan tanah pemakaman nenek moyang Masyarakat Hukum Adat.11 Imam Sudiyat menggunakan istilah hak purba untuk merujuk kepada hak ulayat, dimana hak purba adalah hak yang dimiliki oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh seuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.12 Menurut Prof. MR. DR. Soekanto,
hak ulayat adalah hubungan antara
persekutuan hukum dengan tanah yang diduduki (ditinggali). Hubungan ini terjadi sebab tanah tersebut memberi penghisupan bagi warga persekutuan hukum tersebut, dimana atas hak tersebut persekutuan hukum yang bersangkutan mempunyai hak untuk menguasai tanah, hak atas pohon-pohon, dan lain-lain dalam wilayah tersebut.13 Hak Ulayat adalah suatu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus.14 6.
Tanah Ulayat
11
Uraian B. Ter Haar Bzn, Op.Cit., hlm.49.
12
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta : Liberty,1981), hlm. 2.
13
Soekanto, Meninjau Hukum dat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, (Jakarta : CV Rajawali,1985), hlm.80. 14
Indonesia, Peraturan Menteri Agria tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat.Permen Agaria Nomor 5 tahun 1999, Ps 1 angka 1.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
7
Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.15 7.
Hutan Adat Adalah hutan yang berada diwilayah Masyarakat Hukum Adat.16
8.
Wilayah Adat Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada diatasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.17
9.
Doktrin Doktrin adalah ajaran; pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan (dalam konteks ini adalah ahli ilmu hukum).18
Metode Penelitian Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian hukum bekerja didasarkan pada suatu metode tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dengan jalan menganalisanya.
15
19
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif,
Ibid.,Ps 1 angka 2.
16
Indonesia, Undang-Undang Kehutanan, UU Nomor 41 tahun 1999, LN tahun 1967 Nomor 8, TLN 2823. 17
Permendagri 52 tahun 2014, Op.Cit., Ps. 1 ayat (2).
18
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/doktrin, diunduh 9 Agustus
2014. 19
Soerjono Soekanto(a), Pengantar Penelitian Hukum, Cet3., (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,1986), hlm.43.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
8 20
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder.
21
Bahan hukum yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, mulai dari hierarki peraturan perundang-undangan yang paling tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 hingga Surat Edaran Menteri. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni yang mencakup antara lain, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya. 1.
Bahan Hukum Penelitian 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat ,
22
yang terdiri
dari a. Undang-Undang Dasar 1945 b. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria d. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa e. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah f. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah g. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan h. Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 tahun 1999 tentang Pemoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat i. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat j. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta : Rajawali Press,2001), hlm. 13. 21
Ibid., hlm.13.
22
Ibid., hlm 52.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
9
2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. 23 Bahan-bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan bukubuku literatur yang ada kaitannya dengan ketenagakerjaan dan pertambangan umum 3) Bahan Hukum Tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan ketenagakerjaan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang digunakan adalah data sekunder.Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder, biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. 24 Dalam penelitian ini pun diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Hasil Penelitian
Melalui IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie), Staatsblad 1906 Nomor 83, pemerintah Belanda mengakui Pemerintahan Desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Biutengewsten) Staatsblad 1938, Nomor 490 yang mengakui struktur pemerintahan adat disepuluh wilayah di luar Jawa-Madura.25 Peraturan tersebut memberikan kesempatan bagi terlaksananya struktur masyarakat desa yang asli tanpa menciptakan struktur masyarakat yang baru. Ini merupakan peraturan yang bijaksana sebab dengan demikian tidak perlu dilakukan perombakan struktur masyarakat dalam suatu desa, dimana setiap kesatuan masyarakat hukum adat dapat tetap melaksanakan Hukum Adatnya dan memiliki Hak Ulayatnya. Kemudian pada masa berlakunya Indische Staatregeling dalam Pasal 131 ayat (2) sub-b dinyatakan bahwa bagi golongan bumi putera (pribumi) berlaku hukum adatnya. 26 Walaupun terdapat pengecualian terhadap penerapan Pasal tersebut namun
23
Ibid.
24
Ibid., hlm 69. 25 Bernadius Steni, Problematik Pembaharuan Hukum dan Persoalan Agraria : Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal dan Agenda Pembaruan Agraria, hlm. 5.www.huma.or.id, diakses pada 4 Desember 2014, 26
Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), hlm.
112.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
10
secara eksplisit peraturan tersebut menempatkan dengan jelas status hukum golongan bumi putera (Masyarakat Hukum Adat) sebagai subjek hukum seperti halnya golongan Eropa dan Timur Asing. Pengaturan mengenai keberlakuan hukum adat dalam Pasal 131 IS tersebut juga sekaligus memberikan pengakuan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek atau pelaku dari Hukum Adat itu sendiri.Meskipun pada pelaksanaanya, golongan pribumi pada masa itu adalah subjek hukum yang kedudukannya paling rendah dalam strata politik, hukum maupun ekonomi. Sehubungan dengan pemanfaatan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pemerintah Kolonial juga menerapkan beberapa kebijakan yang sangat merugikan pelaksanaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, salah satunya yang sangat terkenal adalah domein verklaring. Dalam pelaksanaannya, peraturan ini mengakibatkan hilangnya Hak Ulayat atas tanah Masyarakat Hukum Adat sebab penafsiran terhadap peraturan diatas menjadikan hak tanahtanah yang kuasai rakyat dengan hak milik adat menjadi tanah domein negara dan peraturan domein verklaring menggolongkan tanah ulayat sebagai tanah negara yang bebas, sehingga pemerintah bebas untuk memberikan tanah tersebut kepada pihak lain yang dikehendakinya. Dalam perkembangannya terjadi kesalahan fatal dalam konsep pengakuan terhadap hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat dalam pemanfaatan tanah ulayat khususnya ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Dimana dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya pengakuan limitatif terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak ulayatnya, yaitu penerapan tiga syarat berikut : a. sepanjang menurut kenyataannya masih ada b. harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa c. serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
Ketentuan dalam Pasal 3 UUPA memang menunjukkan pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat tetapi juga sekaligus membatasi pengakuan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa konsep pengakuan yang diberikan oleh Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen (yang saat itu masih berlaku) berseberangan dengan konsep pengakuan UUPA. Sebab apabila dicermati kembali, dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen tidak diberlakukan syarat apapun atas pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta daerah istimewanya. Selanjutnya Masa Orde Baru merupakan masa kegelapan bagi Masyarakat Hukum Adat yang melahirkan suatu marginalisasi masyarakat hukum adat disegala bidang.27 Pertama, terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat tidak lagi memiliki Pemerintahan lokal yang otonom sehingga sistem kelembagaan adat tidak lagi diakui sebagai pranata hukum melainkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten. Kedua adalah diamandemennya UUD 1945 yang kemudian menambahkan Pasal 18 B ayat (2) yang secara spesifik mengatur tentang pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya. Apabila ditelaah dari segi subtansinya maka ini adalah bentuk pelemahan pengakuan dan penghormatan negara kepada Masyarakat Hukum Adat. Alasannya adalah pengakuan yang dilakukan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen kedua berisi berbagai klausula yang menjabarkan syarat-syarat yang bersifat limitatif terhadap terwujudnya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sehingga apabila diuraikan, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dalam pasal 18 B ayat (2) mengandung empat syarat : 1) Sepanjang masih hidup,
27
Institute for Research and Empowerment, “Masyarakat Adat Urgensi Pemberdayaan” , http://www.ireyogya.org/, diakses pada 5 Desember 2014.
11
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
12
Syarat ini telah sebelumnya disertakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3 dan Undang-Undang Kehutanan Pasal 4 ayat (3) yang sebelumnya telah terbit sebelum amandemen UUD 1945 ini. 2) masih sesuai dengan perkembangan masyarakat, Syarat kedua ini merupakan syarat yang ada dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 6 ayat (2) yang merumuskan syarat ini dengan frasa “selaras dengan perkembangan zaman”. 3) masih sesuai dengan prinsip negara kesatuan, Syarat ini pada dasarnya sama dengan frasa “sesuai dengan kepentingan nasional dan negara” dalam Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3, Undang-Undang Kehutanan Pasal 4 ayat (3). 4) diatur dengan undang-undang Empat persyaratan yuriridis terhadap masyarakat hukum adat ditengarai mengandung nuansa paradigma patrenalistik dan sentralistik, dengan memandang hukum negara dan hukum adat sebagai dua sistem hukum yang bertolak belakang. Hal ini sangat merugikan perlidungan
Masyarakat
tradisionalnya.
Hukum
Adat
beserta
jaminan
terselenggaranya
hak-hak
28
Bidang kehutanan adalah salah satu bidang yang seringkali mengalami konflik dengan eksistensi hak ulayat Masyarakat Hukum Adat sebab pada nyatanya sebagian besar kelompok Masyarakat Hukum Adat memiliki wilayah hutan adat sebagai sumber kehidupan dan penghidupannya oleh karena itu Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan turut mengatur dan mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak atas hutan adat. Dari Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan tersebut sudah dapat ditemukan dua syarat limitatif bagi pengakuan Masyarakat Hukum Adat : 1) Sepanjang menurut kenyataannya masih ada 2) Diakui keberadaannya oleh Peraturan Daerah
28
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (a),Op.Cit., hlm. 29
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
13
Setelah jatuhnya Masa Orde baru, terbit dua peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi kebangkitan kembali pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya. Yang pertama adalah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 tahun 1999 yang mencabut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan yang kedua adalah Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 1999 yang merupakan Pedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Secara tegas adalam konsiderannya, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 mengakui bahwa Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 5 tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa. Kemudian pada tahun 2004 undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang kembali menerapkan syarat pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Dimana apabila dijabarkan pada pokoknya syarat yang ditentukan oleh undang-undang ini merupakan cerminan dari syarat yang diterapkan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen. Pada tahun yang sama disahkan pula Undang-Undang tentang Sumber Daya Air yang isinya mengakui Masyarakat Hukum Adat dan hak atas sumber daya air sebagai bagian dari hak ulayat. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 6 (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mengatur dua syarat penguasaan sumber daya air oleh masyarakat hukum adat : 1. Sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangundangan dan, 2. telah dikukukan oleh Pemerintah Daerah setempat. Dalam perkembangannya, Undang-Undang tentang Desa diperbaharui dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014. Undang-Undang tentang Desa yang saat ini berlaku juga melakukan pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk pengakuan terhadap Desa Adat. Ini merupakan terobosan baru bagi perkembangan pengakuan Masyarakat Hukum Adat, sebab saat ini wilayah Masyarakat Hukum Adat memiliki bentuk khusus yang berbeda dengan bentuk, struktur dan pengaturannya dengan
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
14
desa umum, yaitu Desa Adat. Dimana nama atau penyebutan Desa Adat dapat disesuaikan dengan istilah yang berlaku di daerah setempat.29 Kesimpulan 1.
Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum pada dasarnya telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, hal tersebut dibuktikan dengan pengaturan keberlakuan hukum adat dalam ayat (2) sub b Indische Staatsregering (IS). Dengan diakuinya hukum adat dalam peraturan tersebut, maka secara tidak langsung pengaturan tersebut mengakui pula Masyarakat Hukum Adat yang merupakan subjek dari hukum adat. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat dikukuhkan dalam konstitusi yaitu Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Ini merupakan model pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang ideal sebab pengakuan yang dilakukan tidak hanya mengakui eksistensi Masyarakat Hukum Adatnya namun juga mengakui keberadaan daerah istimewa yang menjadi hak asal-usul Masyarakat Hukum Adat tersebut.
Dalam perkembangannya terjadi dinamika pengakuan dan perlidungan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum adat dalam peraturan perundang-undangan nasional, dimana terdapat masa kelam dan masa kejayaan terhadap pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Periode kelam tersebut dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 tahun 1979 yang memerintahkan penyeragaman bentuk dan struktur Desa di seluruh wilayah Indonesia, sehingga tidak lagi diakui bentuk desa adat yang merupakan wilayah ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dengan tidak diakuinya wilayah ulayat tersebut, maka artinya tidak diakui lagi keberadaan dari subjek wilayah ulayat tersebut, yaitu Masyarakat Hukum Adat. Namun dikemudian hari, UU Pemerintahan Desa tersebut dicabut dengan diterbitkan UndangUndang Nomor 22 tahun 1999.
29
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undnag-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Pemerintahan desa.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
15
2. Pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat nyatanya tidak memberikan impilikasi langsung terhadap perlindungan pelaksanaan Hak Ulayatnya. Dalam peraturan perundang-undangan nasional saat ini, pengaturan tentang tanah ulayat diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang lahir pada tahun 1960 dan pengaturan terhadap hutan ulayat/hutan adat diatur dalam Undang-Undang Kehutanan tahun 1999. Pengaturan mengenai tanah ulayat mengalami kendala yang paling besar, sebab pengaturan dalam Undang-Undang Pokok Agraria tersebut tidak menjamin pelaksanaan Hak Ulayat atas tanah dengan baik. Sedangkan perlindungan dan pengakuan terhadap hutan adat atau hutan ulayat dalam peraturan perundang-undangan nasional mengalami kemajuan yang siginifikan semenjak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui keberadaan Hutan Adat terpisah dari Hutan Negara. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi ini penting sebab pengakuan terhadap Hutan Adat menjadi pengukuhan terhadap Hak Ulayat atas hutan. Meskipun pada pelaksanaanya keputusan Mahkamah Konstitusi ini masih sulit dilakukan sebab beberapa peraturan pelaksananya masih belum menyesuaikan dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi ini. 3. Dinamika pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya mengalami masa pasang surut dari masa ke masa. Puncak kejayaan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, namun yang terjadi sekarang adalah pengakuan bersyarat yang mencederai hak konstitusional Masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Kondisionalitas pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat menimbulkan diskriminasi terhadap Masyarakat Hukum Adat yang kemudian berdampak pada kerugian sosialekonomi, politik dan hukum. Syarat-syarat yang diajukan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengindikasikan keengganan negara untuk melindungi eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya bahkan negara cenderung mencugai keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagi ancaman integrasi nasional.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
16
Saran Dari kesimpulan-kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut, 1. Negara perlu melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 18 B ayat (2) hal ini penting sebab pengakuan bersyarat yang dilakukan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen tidak dapat melindungi eksistensi dan Hak Ulayat
Masyarakat
Hukum
Adat.
Amandemen
ini
diharapkan
dapat
“mendekonstitusionalisasi” kondisionalitas pengakuan yang saat ini berlaku sehingga rumusan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dikembalikan ke konsep pengakuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen. 2. Dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang yang telah merugikan hak konsitusional Masyarakat Hukum Adat seperti Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Sumber Daya Air sehingga tidak ada lagi norma hukum yang mencederai hak-hak tradisional Masyarakat Hukum Adat. 3. Dibentuk Undang-Undang serta Peraturan Pemerintah baru yang secara spesifik mengatur perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya sesuai dengan pokok pemikiran para pendiri negara ini dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen. Daftar Referensi Buku Alting, Husen. Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Indoensia atas Tanah, Yogyakarta : Laksbang Pressindo. 2010. Ardilaga, Roestandi. Hukum Agraria Indonesia Teori dan Praktek. Bandung : N.V. Masa Baru, 1962. Arizona, Yance. Eds Antara Teks dan Konteks : Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta : Huma, 2010.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
17
Asshidiqie, Jimmly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Depok : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI. 2004. Bzn, B. Ter Haar. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng Soebakti Poesponoto. Jakarta : Pradnya Paramita,1994. Hadikusuma, Hilman. Sejarah Hukum Adat Indonesia, Bandung : Alumni, 1978. Hutagalung, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Hukum Tanah. Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Masyarakat Hukum Adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak . Jakarta : Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Nurtjahjo, Hendra. Ilmu Negara : Pengembangan Teori Bernegara dan Suplem, Ed.1., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. Zakaria, R. Yando. Abih Tandeh : Masyarakat Desa Dibawah Rejim Orde Baru, Jakarta : ELSA, 2000. Sepomo. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 2007. Setiady,Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung: Alfabeta, 2008. Simarmata, Rikardo. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat Indonesia, Jakarta : UNDP, 2006. Soekanto dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung : Alumni, 1981. Soekanto, Meninjau Hukum dat Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Jakarta : CV Rajawali,1985. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta : Rajawali Press, 2001.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
18
_________________. Pengantar Penelitian Hukum
Cet3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia,1986. _________________.. Hukum Adat Indonesia. Jakarta :Raja Grafindo Persada,2003. Sudiyat, Imam Hukum. Adat Sketsa Asas. Yogyakarta : Liberty,1981. ______, Imam. Asas-Asas Hukum Adat : Bekal Pengantar. Yogyakarta : Liberty,1978. Jurnal Saleo, Admon
“Pengakuan Masyarakat Adat Tentang Hak Ulayat”, Lex Privatum II : 1.
2001. Arizona, Yance. “Hak Ulayat : Pendekatan Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme Indonesia” Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 2, Juli 2009 Matuankotta, Jenny K “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dalam Mempertahankan Sumber Daya Alam”, Jurnal Konstitusi Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Pattimura Volume II Nomor 1, Juni 2010. Skripsi, Tesis Dan Laporan Penelitian Elmiyah, Nurul “Negara dan Masyarakat Adat : Studi Mengenai Hak atas Tanah dan Hasil Hutan di Mamahak Besar dan Long Bangun, Kalimantan Timur” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2003. Nurtjahjo, Hendra Sophian, Martabaya dan Novrizal Bahar, Laporan Hasil Penelitian : Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstutusi. Depok : Pusat Kajian HTN FHUI , 2007. Internet Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), “Naskah Akademik Rancangan UndangUndang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat versi AMAN” http://www.aman.or.id/, diakses pada 2 Desember 2014.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online , http://kbbi.web.id/-is%20itas, diunduh 9 Agustus 2014 Kamus Merriam Webster Online, http://www.merriam-webster.com/thesaurus/conditional, diunduh pada 28 Desember 2014. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ________________, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3886. ________________, Undang-Undang tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Lembaran Negara Nomor 2043. ________________,Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3153. ________________,Undang-Undang Nomor tentang Pemerintahan Daerah. UndangUndang 22 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 60. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3839. ________________,Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125. ________________, Undang-Undang tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888. Kementrian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Menteri Agraria tentang Pemoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 tahun 1999.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014
20
Kementrian Negara Dalam Negeri Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014. Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 35/PUUX/2012, tanggal 26 Maret 2013.
Universitas Indonesia
Kondisionalitas pengakuan..., Farah Reza Praditya, FH, 2014