KOMUNITAS BURUNG PASSERINE DI DUA HUTAN KOTA DENGAN TINGKAT KEBISINGAN BERBEDA
DENDY SUKMA HARYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Dendy Sukma Haryadi NIM G352130041
RINGKASAN DENDY SUKMA HARYADI. Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda. Dibimbing oleh RR. DYAH PERWITASARI dan YENI ARYATI MULYANI. Hutan kota merupakan habitat berbagai satwaliar di perkotaan termasuk burung. Adanya gangguan terhadap suatu habitat akan berpengaruh pada komunitas di dalamnya. Salah satu bentuk gangguan tersebut adalah kebisingan yang berasal dari aktivitas transportasi dan lalu lintas. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis kekayaan dan komposisi jenis, kelimpahan, komposisi guild, jumlah aktivitas bersuara burung passerine di habitat dengan tingkat kebisingan berbeda serta menganalisis pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan jumlah kehadiran manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine. Penelitian ini dilakukan di dua hutan kota yang diduga memiliki tingkat kebisingan berbeda di kota Bogor yaitu Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga. Koleksi data dilakukan dengan metode point count selama bulan Juni hingga Oktober 2014. Tingkat kebisingan, jumlah manusia dan keanekaragaman burung diukur di tiga puluh titik pengamatan pada masing-masing lokasi. Data vegetasi dikumpulkan menggunakan metode nested sampling. Analisis data burung menggunakan indeks kekayaan Margalef dan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Kesamaan komunitas dianalisis dengan indeks similaritas Sorensen. Kelimpahan relatif dianalisis dengan menghitung rasio kelimpahan individu per spesies terhadap individu seluruh spesies. Uji t berpasangan digunakan untuk membandingkan jumlah pohon, nilai rata-rata tingkat kebisingan, jumlah manusia dan kelimpahan individu burung antara habitat dekat dan habitat jauh dari jalan raya pada masing-masing lokasi. Generalized Linear Model (GLM; regresi poisson) digunakan untuk menganalisis hubungan antara jumlah aktivitas bersuara burung passerine dengan tingkat kebisingan, jumlah pohon dan jumlah manusia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa habitat dekat dari jalan raya memiliki indeks kekayaan jenis burung yang lebih tinggi daripada habitat jauh dari jalan raya di kedua lokasi. Kelimpahan individu di kedua lokasi tidak berbeda secara signifikan antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya. Kesamaan komunitas tertinggi adalah antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya di Hutan Penelitian Dramaga. Guild pemakan serangga merupakan kelompok yang mendominasi di kedua lokasi. Pycnonotus aurigaster merupakan jenis dengan jumlah perilaku bersuara tertinggi di kedua lokasi. Jumlah perilaku bersuara burung semakin menurun dengan meningkatnya nilai tingkat kebisingan. Kata kunci: Komunitas burung passerine, tingkat kebisingan, Kebun Raya Bogor, Hutan Penelitian Dramaga
SUMMARY DENDY SUKMA HARYADI. Bird Communities in Two Urban Forests Inferred from Environmental Noise. Supervised by RR. DYAH PERWITASARI and YENI ARYATI MULYANI. Urban forest is a habitat for a variety of wildlife in urban areas, including birds. Any disturbance to a habitat will affect the communities therein. One of the disturbances is the noise that comes from transportation activities and traffic. The aimed of this study was to analyze richness and species composition, abundance, guild composition, the number of voice activity of passerine birds in habitats with different noise levels and to analyze the influence of the number of trees, the noise level and the number of human occurance on the number of voice activity passerine birds. This research was conducted in two urban forests, which have different noise levels in the city of Bogor, Bogor Botanical Garden and Dramaga Research Forest. Data collected using point count method during June to October 2014. The noise level, the number of people and diversity of birds measured at thirty observation points in each location. Vegetation data were collected using nested sampling method. Margalef richness indices and Shannon-Wiener diversity indices were calculated to analyze bird community. Community similarity was analyzed by Sorensen similarity indices. The relative abundance was analyzed by calculating the ratio of the abundance of individuals per species to individuals of all species. Paired t-test was used to compare the number of trees, the average value of the noise level, the number of people and the abundance of individual birds in habitats closed to and far from the main road at each location. Generalized Linear Model (GLM; Poisson regression) was used to analyze the relationship between the number of bird singing activity with the noise level, the number of trees and the number of people. The results of this study indicated that the habitat closer to the main road has an index of species richness higher than the habitat far from main road in both locations. The abundance individuals in both locations did not differ significantly between habitats close to and far from the main road. The highest similarity was between habitat communities close and far from main road at the Dramaga Research Forest. Insectivorous guild dominates in both locations. Pycnonotus aurigaster is the species with the highest number of bird singing activity in both locations. The number of vocal behavior of birds decreased with increasing value of the noise level. Keywords: Bogor Botanical Garden, Dramaga Research Forest, noise level, passerine bird community
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMUNITAS BURUNG PASSERINE DI DUA HUTAN KOTA DENGAN TINGKAT KEBISINGAN BERBEDA
DENDY SUKMA HARYADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScFTrop
Judul Tesis : Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda Nama : Dendy Sukma Haryadi NIM : G352130041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir RR. Dyah Perwitasari, M.Sc Ketua
Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biosains Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir RR. Dyah Perwitasari, M.Sc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda. Shalawat serta salam, semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagian hasil penelitian ini dalam proses publikasi di jurnal ilmiah Zoo Indonesia. Penulis juga menyadari bahwa penyelesaian karya ilmiah ini mendapat bantuan dari berbagai pihak dan oleh sebab itu penulis bermaksud menyampaikan perhargaan kepada Ibu Dr Ir RR. Dyah Perwitasari MSc dan Ibu Dr Yeni Aryati Mulyani MSc selaku pembimbing. serta Bapak Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo MScFTrop selaku penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, Kakak-kakak ku Deden –Denny –Dessy -Debby, dan Adik ku Deddy, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan dengan harapan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Bogor,
April 2016
Dendy Sukma Haryadi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Burung Kebisingan Burung dan Kebisingan Pengaruh Tingkat Kebisingan terhadap Burung Burung Passerine Hutan Kota
3 3 5 6 6 7 8
3 METODE Waktu dan Tempat Metode Pengumpulan Data Analisis Data
10 10 12 14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Komunitas Burung Passerine
16 16 19
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
38
DAFTAR TABEL 1 Jumlah titik, ulangan masing-masing titik dan total pengamatan di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi 2 Perbandingan jumlah jenis burung passerine yang ditemukan di Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga dari hasil penelitian sebelumnya 3 Jumlah titik pengamatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan kekayaan jenis di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi 4 Famili, jumlah jenis dan jumlah individu di semua lokasi 5 Kelimpahan relatif dan kategori guild burung passerine di kedua lokasi 6 Hasil analisis GLM regresi poisson antara kepadatan pohon, tingkat kebisingan dan jumlah manusia terhadap aktivitas bersuara burung passerine
12
20 21 22 25
27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lokasi penelitian di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia Peta sebaran titik pengamatan Ilustrasi penggunaan metode petak bertingkat Ilustrasi metode point count Profil vegetasi pohon di Kebun Raya Bogor (KRB) Profil vegetasi pohon di Hutan Penelitian Dramaga (HPD) Tingkat kebisingan (dB) habitat dekat dan jauh di kedua lokasi Jumlah manusia di habitat dekat dan jauh di kedua lokasi Dendogram kesamaan komunitas burung passerine antar habitat Persentase jumlah aktivitas bersuara burung di kedua lokasi
10 11 12 13 16 17 18 19 23 26
DAFTAR LAMPIRAN 1 Daftar jenis burung passerine di kedua lokasi pengamatan 2 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Kebun Raya Bogor 3 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Hutan Penelitian Dramaga
33 36 37
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Komunitas burung passerine merupakan bagian keanekaragaman hayati yang menempati berbagai macam habitat termasuk habitat hutan kota. Sebagai salah satu komponen ekosistem, komunitas ini memiliki peranan dalam rantai makanan dan lingkungan hidupnya, menjaga keseimbangan alam serta bagi manusia. Komunitas ini umumnya dikenal sebagai kelompok burung pengicau (song bird). Suara yang dihasilkan anggota komunitas tersebut berfungsi untuk berkomunikasi secara intra maupun inter jenis. Kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti transportasi dan lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya berpotensi meningkatkan kebisingan lingkungan. Kebisingan merupakan salah satu masalah kualitas lingkungan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan gangguan suasana tidak nyaman dan gangguan kesehatan makhluk hidup, dan diduga berpengaruh negatif terhadap komunitas burung. Komunitas burung yang berbeda akan memberikan tanggapan berbeda terhadap perubahan tingkat kebisingan. Komunitas burung passerine merupakan komunitas yang rentan mengalami pengaruh negatif akibat peningkatan kebisingan. Hal tersebut disebabkan cara berkomunikasi komunitas ini yang menggunakan komunikasi vokal sehingga diduga sinyal komunikasi yang dihasilkan akan tumpang tindih dengan kebisingan. Hutan kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH). Sebagian hutan kota dibentuk dengan tujuan sebagai tempat untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati di kawasan kota, wahana penelitian dan wilayah resapan air. Kota Bogor memiliki dua hutan kota yaitu Kebun Raya Bogor (KRB) dan Hutan Penelitian Dramaga (HPD). KRB terletak di tengahtengah kota Bogor sedangkan HPD berada di bagian pinggir kota Bogor. Kedua hutan kota ini merupakan habitat bagi beranekaragam burung termasuk burung passerine. Kebisingan yang semakin meningkat di sekitar kedua hutan kota ini diduga mempengaruhi komunitas burung passerine. Data aktual mengenai komunitas burung passerine sangat diperlukan untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan kualitas habitat di dua kawasan tersebut. Penelitian struktur komunitas ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana komunitas burung passerine merespon perbedaan tingkat kebisingan yang berbeda. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah kekayaan dan komposisi jenis, kelimpahan, komposisi guild, jumlah aktivitas bersuara burung passerine di daerah dengan tingkat kebisingan berbeda.
2 Perumusan Masalah Kegiatan transportasi dan lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, terutama meningkatnya kebisingan. Perbedaan tingkat kebisingan di sekitar kawasan hutan kota kemungkinan besar memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komunitas burung passerine yang hidup disana. Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah (1) bagaimana kekayaan dan komposisi jenis, komposisi guild serta kelimpahan burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda? (2) bagaimana aktivitas bersuara burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda? (3) bagaimana pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan jumlah manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine?
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kekayaan dan komposisi jenis, komposisi guild serta kelimpahan burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda. menganalisis jumlah aktivitas bersuara burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda. menganalisis pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan jumlah manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Burung Komunitas merupakan kumpulan individu dari beberapa spesies yang hidup pada waktu dan ruang yang sama (Magurran 2004). Wiens (1989) mendefinisikan komunitas burung sebagai kelompok individu dari beberapa spesies burung yang hidup secara bersama pada tempat dan waktu yang sama. Komunitas burung di suatu wilayah dapat berbeda dengan wilayah lainnya (Johnsingh dan Joshua 1994). Beberapa perbedaan tersebut meliputi kekayaan dan keanekaragaman spesies, kelimpahan relatif serta komposisi spesies. Secara alami, fluktuasi pada komunitas burung dapat terjadi dari waktu ke waktu sesuai dengan fluktuasi kondisi lingkungannya.
Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman merupakan hal yang penting dalam mempelajari suatu komunitas baik tumbuhan maupun hewan (Odum 1993). Oleh karena itu, cara pengukuran dan memahami hasil pengukuran keanekaragaman jenis menjadi penting. Beberapa konsep keanekaragaman jenis yang dikemukakan oleh berbagai ahli seperti : 1. Kekayaan Jenis Kekayaan jenis merupakan jumlah spesies dalam luasan tertentu (Magurran 2004). Indeks yang umumnya dikenal untuk mengukur kekayaan jenis yaitu indeks kekayaan jenis Hulbert, indeks kekayaan jenis Margalef dan indeks kekayaan jenis Menhinick. - Indeks Hulbert digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies di suatu habitat berdasarkan jumlah kelimpahan individu terkecil. Indeks Hulbert dihitung dengan dengan rumus: N Ni S
E (S n )
1 i 1
-
n N n
Keterangan : E(Sn) = nilai harapan jumlah individu spesies N = jumlah total individu teramati Ni = jumlah individu jenis ke-i n = ukuran sampel yang distandardkan (jumlah N terkecil) Indeks Margalef DMg = (S-1) / ln N Keterangan : DMg = indeks Margalef S = jumlah jenis yang teramati ln = logaritma natural N = total individu seluruh jenis
4 -
Indeks Menhinick S DMn = N Keterangan : DMn = indeks Menhinick S = jumlah jenis yang terhitung dalam plot contoh N = total individu seluruh jenis
2. Kemerataan Jenis Konsep ini menggambarkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap jenis. Indeks kemerataan jenis dapat dihitung dengan: H' E' ln S Keterangan : E’ = indeks kemerataan jenis H = indeks Shannon ln = logaritma natural S = jumlah jenis yang ditemukan 3. Kelimpahan Jenis Kelimpahan jenis merupakan indeks yang menggabungkan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis (Magurran 2004). Indeks kelimpahan jenis yang sering digunakan yaitu indeks diversitas Shannon dan indeks Simpson. - Indeks diversitas Shannon s
H'
pi Ln pi i 1
-
Keterangan : N = total individu dari seluruh jenis ni = banyaknya individu pada jenis ke-i Indeks Simpson 2 D Pi Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus: ni Pi N Keterangan : D = indeks Simpson N = total individu dari seluruh jenis ni = banyaknya individu pada jenis ke-i
Beberapa faktor dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis pada suatu komunitas. Faktor-faktor tersebut yaitu waktu, keragaman, ruang, persaingan, pemangsaan dan kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978). Stratifikasi hutan dan komposisi jenis pohon berpengaruh terhadap komposisi komunitas burung (Acevedo dan Restrepo 2008). Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa jenis burung endemik berasosiasi dengan hutan, sebaliknya
5 jenis burung eksotik di pulau tersebut berasosiasi dengan habitat terbuka seperti padang rumput atau pertanian. Selain itu, van der Zande et al. (1984) juga menyebutkan bahwa kehadiran manusia pada tempat rekreasi memiliki pengaruh terhadap distribusi pada suatu komunitas burung. Kelimpahan 8 jenis burung dari 13 jenis burung menurun karena adanya intensitas rekreasi yang dilakukan manusia di lokasi penelitian.
Guild Guild merupakan kelompok jenis yang menggunakan sumberdaya pada kelas dan cara yang sama (O’Connell et al. 2000). Secara umum pengelompokan suatu jenis ke dalam guild dilakukan berdasarkan tanggapan terhadap lingkungan, adaptasi terhadap pola hidup tertentu, kondisi umum, penyebaran geografis dan tipe makanan (Root 2001). Guild pada komunitas burung yang ditemukan di suatu tempat dapat dijadikan suatu indikator. Hal ini karena komposisi guild dapat menggambarkan aliran energi dan makanan dalam suatu ekosistem serta analisisnya dapat dilakukan dari daftar jenis burung sebelumnya.
Komunitas Burung di Perkotaan Komunitas burung di perkotaan merupakan kumpulan individu spesies yang hidup pada waktu dan ruang yang sama yaitu wilayah perkotaan. Faktor yang dapat mempengaruhi komunitas burung di perkotaan yaitu karakteristik habitat dan gangguan yang berasal dari aktivitas manusia. MacKinnon et al. (2010) menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan kekayaan jenis burung selama dua puluh tahun terakhir di salah satu hutan kota yaitu Kebun Raya Bogor, meskipun habitat tersebut tetap terjaga dan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut merupakan efek fragmentasi dan terisolasinya Kebun Raya Bogor dikarenakan hilangnya hutan yang berada di sekitar Bogor oleh adanya aktivitas manusia. Aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan transportasi dan lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya berpotensi meningkatkan kebisingan lingkungan dan diduga dapat berpengaruh terhadap komunitas burung di perkotaan.
Kebisingan Definisi kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-48/MNLH/11/1996 adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Jenis-jenis kebisingan utama di daerah perkotaan yaitu: (1) Bising lalu-lintas dan transportasi (mobil, truk, sepeda motor, kereta jalan, kereta api, mesin diesel, kereta bawah tanah, pesawat air, pesawat udara, dan lain-lain); (2) Bising industri (pabrik, bengkel, proyek pembangunan, menara pendingin, pengkondisi udara, dan lain-lain); (3) Bising yang dihasilkan manusia (olahraga, pertunjukan di udara terbuka dan lainlain) (Doelle 1993). Kebisingan dapat diukur dengan bantuan alat sound level meter yang terdiri dari mikrofon, penguat dan instrumen keluaran (output) dalam satuan desibel (dB).
6 Burung dan Kebisingan Burung merupakan makhluk hidup yang berkomunikasi secara visual dan akustik. Komunikasi akustik merupakan cara paling efektif dan unggul dibandingkan komunikasi visual pada burung. Keunggulan komunikasi secara vokal yaitu bekerja pada jarak jauh, tidak perlu kontak mata, dapat digunakan malam hari, di habitat yang rapat atau pada kondisi ketika jenis komunikasi lain tidak dapat dikirim. Hal tersebut berguna bagi burung untuk mendapatkan berbagai macam informasi penting. Beberapa fungsi burung melakukan vokalisasi yaitu pertahanan wilayah dan menarik pasangan (Catchpole dan Slater 1995), informasi sinyal bahaya, makanan dan agresi (Marler 2004). Komponen utama untuk komunikasi akustik yaitu alat penghasil sinyal akustik dan penerima sinyal akustik. Alat penghasil sinyal akustik pada burung adalah organ vokal burung (syrinx). Syrinx terletak pada bagian bawah tenggorokan dan di atas dua bronkus yang mengarah ke paru-paru (King 1989). Suara pada burung passerine dihasilkan melalui mekanisme osilasi aliran udara pada labia di setiap bronkus yang menyebabkan fluktuasi tekanan (Goller dan Larsen 1997). Syrinx yang tepat berada di atas bronkus berfungsi untuk mengatur frekuensi dasar suara dan dinamika temporal dari kicauan. Komponen komunikasi utama selanjutnya yaitu alat penerima sinyal akustik. Alat ini adalah telinga pada burung. Telinga burung terdiri dari membran eksternal (tympanic membrane), telinga bagian tengah (middle ear) dan telinga bagian dalam (inner ear) serta tidak ada struktur eksternal telinga seperti yang ditemukan pada mamalia (Dooling dan Popper 2007). Proses pendengaran diawali dengan diterimanya gelombang suara oleh tympanic membrane. Tympanic membrane yang bergetar sebagai respon terhadap gelombang suara kemudian meneruskannya ke middle ear dan selanjutnya menuju inner ear melalui tekanan pada cairan. Di inner ear terdapat sel rambut yang berfungsi untuk mengubah energi mekanik menjadi energi yang sesuai dengan sistem saraf yang pada akhirnya menuju otak. Faktor penting yang menurunkan efektivitas dari komunikasi vokal yaitu kebisingan. Hal tersebut terjadi ketika vokalisasi yang ditransmisikan melalui udara oleh burung pengirim sinyal suara (vokal yang dihasilkan oleh syrinx) ke burung penerima sinyal akustik (menggunakan telinga burung) terganggu atau mengalami “tumbukan” dengan suara kebisingan di udara. Akibatnya, sinyal akustik burung tersebut tidak diterima secara lengkap oleh burung penerima.
Pengaruh Tingkat Kebisingan terhadap Burung Salah satu sumber kebisingan yang telah banyak diteliti karena pengaruhnya terhadap burung adalah kebisingan lalu-lintas dan transportasi. Efek dari kebisingan lalu-lintas dan transportasi yaitu terjadinya perubahan perilaku, selubung (masking) sinyal komunikasi burung antara individu sejenis atau sinyal biologis lainnya seperti suara predator atau mangsa, penurunan sensitivitas pendengaran sementara atau permanen, meningkatkan kadar stres dan mengubah kadar hormon reproduksi, serta dapat mengancam kelangsungan hidup individu atau jenis burung (Dooling dan Popper 2007).
7 Beberapa penelitian sebelumnya telah mempelajari perubahan perilaku burung terhadap kebisingan. Perubahan tersebut terjadi pada tingkat jenis yaitu burung yang berada di lokasi bising memiliki frekuensi vokalisasi dan amplitudo lebih tinggi dibandingkan dengan burung di lokasi yang tidak bising (Brumm 2004; Salaberria dan Gil 2010), hal itu berarti bahwa burung beradaptasi pada kondisi bising dengan cara meningkatkan frekuensi dan amplitudo atau mengeluarkan suara lebih keras saat melakukan vokalisasi. Fuller et al. (2007) menemukan bahwa burung Erithacus rubecula beradaptasi dengan cara berkicau pada malam hari di daerah yang bising pada siang hari untuk mengurangi gangguan komunikasi yang ditimbulkan oleh kebisingan. Pada tingkat komunitas, Herrera-Montes dan Aide (2011) juga melaporkan pengaruh kebisingan terhadap fauna burung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kekayaan dan kehadiran jenis burung secara signifikan lebih rendah pada habitat yang terletak dekat dengan jalan raya (sumber kebisingan). Sebagian besar frekuensi suara burung berkisar antara 1 kHz dan 9 kHz (Rheindt 2003). Umumnya, kebisingan lalu lintas di jalan raya adalah frekuensi yang rendah yaitu berkisar antara 0-4 kHz (Patricelli dan Blickley 2006; Nemeth dan Brumm 2010). Berdasarkan hal tersebut, vokalisasi burung mungkin tumpang tindih dengan kebisingan atau mengalami efek masking. Efek masking terjadi ketika salah satu suara terselubungi oleh suara lain. Rheindt (2003) menyatakan bahwa selubung (masking) akustik pada vokalisasi burung merupakan salah satu efek negatif potensial terhadap komunikasi dan kebugaran reproduktif (reproductive fitness). Dooling dan Popper (2007) menyatakan bahwa ambang batas kebisingan yang dapat ditoleransi oleh burung yaitu 60 dB. Selain itu, pengaruh kebisingan terhadap burung memang bisa berbeda dari jenis burung satu ke jenis burung lain atau kelompok jenis satu ke kelompok jenis lain. Penelitian Paton et al. (2012) menunjukkan adanya toleransi fauna burung terhadap berbagai tingkat kebisingan. Hal ini berkaitan dengan respon fauna burung terhadap tingkat kebisingan. Respon tersebut yaitu modifikasi vokalisasi dalam berkomunikasi yang dapat membantu beberapa spesies menempati daerah yang bising sedangkan beberapa spesies lain yang tidak dapat beradaptasi dan memodifikasi vokalisasinya kemungkinan harus mencari habitat tenang yang lebih sesuai.
Burung Passerine Burung passerine adalah burung petengger yang memiliki empat jari kaki, tiga mengarah ke depan, satu mengarah ke belakang dan kelompok ini juga termasuk ke dalam ordo Passeriformes. Tingkat keanekaragaman jenis kelompok burung ini tergolong tinggi, tercatat bahwa 60% burung di dunia termasuk kelompok ini. Di Indonesia terdapat 44 famili ordo Passeriformes (Sukmantoro et al. 2007). Sebagian besar anggotanya termasuk kelompok burung pengicau (song bird) yang memiliki ukuran tubuh kecil dan biasanya hidup di pohon atau semaksemak (Morgan 2004). Kelompok ini menggunakan suara untuk berkomunikasi secara intra maupun inter spesies. Burung passerine merupakan salah satu komunitas burung yang dapat ditemukan di wilayah perkotaan.
8 Linnaeus (1758), memasukkan burung passerine ke dalam susunan klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Passeriformes
Hutan Kota Definisi hutan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 adalah “suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohonpohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang”. Hutan kota yaitu tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan dan berasosiasi dengan vegetasi atau bentuk lahan lainnya (Grey dan Deneke 1978). Fungsi hutan kota adalah untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, mendukung pelestarian keanekaragaman hayati.
Kebun Raya Bogor Kawasan Kebun Raya Bogor (KRB) merupakan kawasan konservasi yang terletak di tengah-tengah kota Bogor dan diresmikan pertama kali pada tahun 1817. Koleksi tanaman di kebun ini diatur kembali penanamannya berdasarkan kelompok famili pada tahun 1831. Total koleksi tumbuhan dan pohon yaitu sebanyak 1500 jenis. Peletakan kelompok tanaman pada kawasan dibagi kedalam beberapa area koleksi tanaman yang dipisahkan oleh jalan utama, jalan setapak dan saluran air. Di setiap area koleksi tanaman terdiri dari bagian-bagian dan dibagi lagi menjadi petak-petak. Setiap bagian ditandai dengan angka Romawi dan setiap petak ditandai dengan huruf serta hampir semua tanaman memiliki label nama jenis. Kawasan KRB sebagai kawasan konservasi telah menjadi habitat bagi berbagai macam fauna termasuk burung. Beberapa hasil penelitian burung sebelumnya di kawasan KRB yaitu (1) Diamond et al.(1987) mencatat 62 jenis burung pada periode 1932-1952 dan 43 jenis burung pada periode 1980-1985, (2) Hermawan (2001) mencatat sebanyak 46 jenis burung, dan (3) Sukara (2014) mencatat 48 jenis burung.
Hutan Penelitian Dramaga Hutan Penelitian Dramaga (HPD) merupakan kawasan hutan yang didirikan tahun 1956. Lokasi ini diperuntukkan sebagai kawasan penelitian. Kawasan HPD terletak di pinggir kota Bogor dengan jarak dari kota yaitu 9 km. Sejak tahun 1956 sampai dengan 1998 di kawasan ini tercatat memiliki 130 jenis tumbuhan, terdiri dari 127 jenis pohon, satu jenis bambu, satu jenis rotan dan satu jenis palmae. Jenis fauna yang ditemukan di kawasan ini yaitu berbagai jenis burung, ular tanah
9 (Agkistrodon rhodostoma), tupai atau bajing (Lariscus sp.), musang (Paradoxurus hermaproditus), dan berbagai jenis serangga (Dephut 2002). Penelitian burung yang dilakukan Solihati (2007) pada kawasan ini mencatat sebanyak 29 jenis burung.
10
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Juni hingga Oktober tahun 2014 di kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (106° 48’ BT dan 6° 26’ LS). Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berkembang sangat cepat karena lokasinya sangat dekat dengan ibukota negara Indonesia yaitu ±58 km. Kondisi suhu rata-rata tiap bulan yaitu 32,1° C. Kelembaban udara yaitu 92,0 %, dan curah hujan rata-rata yaitu 304535,33 mm. Jumlah penduduk kota ini pada tahun 2013 mencapai lebih dari 1.013.019 orang (BPS Kota Bogor 2014). Pengamatan ini dilakukan di dua hutan kota, yaitu: Kebun Raya Bogor (KRB) dan Hutan Penelitian Dramaga (HPD) atau lebih dikenal dengan nama Hutan CIFOR (Gambar 1). Total luas masing-masing habitat yaitu KRB sekitar ± 87 hektar dan luas HPD sekitar ± 60 hektar. Kawasan KRB tidak semua ditanami oleh pepohonan tetapi juga terbagi untuk perkantoran, badan air dan taman serta kawasan ini terletak di tengah kota Bogor dan dikelilingi oleh jalan raya yang memiliki tingkat lalu lintas tinggi. Kawasan HPD hampir seluruhnya ditanami oleh pepohonan dan kawasan ini terletak di pinggir kota Bogor serta memiliki tingkat lalu lintas rendah.
Gambar 1 Lokasi penelitian di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia
11
a
b
Gambar 2 Peta sebaran titik pengamatan. a Kebun Raya Bogor b Hutan Penelitian Dramaga
12 Metode Pengumpulan Data Penentuan Titik dan Waktu Pengamatan Tingkat kebisingan, jumlah aktivitas manusia dan keanekaragaman burung diukur di beberapa titik pengamatan. Penentuan titik pengamatan pada masingmasing lokasi dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan mempertimbangkan jarak dari sumber kebisingan dan dilakukan hanya di habitat pepohonan. Pada masing-masing lokasi ditentukan 30 titik dengan rincian 15 titik pengamatan diletakkan di habitat yang dekat jalan raya dan 15 titik lainnya diletakkan di daerah yang jauh dari jalan raya (Gambar 2 dan Tabel 1). Habitat dekat dan jauh dikelompokkan berdasarkan jarak titik pengukuran dari jalan raya yaitu <75 m (habitat dekat) dan >150 m (habitat jauh). Hal tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan luas lokasi kawasan. Total titik hitung dalam penelitian ini yaitu 60 titik. Untuk memudahkan pengamatan ulangan, tiap pohon yang berada di pusat lingkaran pengamatan diberi tanda dengan menggunakan pita merah. Pengambilan data tingkat kebisingan, jumlah aktivitas manusia dan keanekaragaman burung pada masing-masing titik hitung dilakukan dalam selang waktu pukul 06.00 – 09.00 WIB dan diulang sebanyak tiga kali pada tiga hari yang berbeda dan tidak berturut-turut. Tabel 1 Jumlah titik, ulangan masing-masing titik dan total pengamatan di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi Lokasi KRB HPD Dekat Jauh Dekat Jauh (<75 m) (>150m) (<75 m) (>150m) Jumlah titik 15 15 15 15 Ulangan masing-masing titik 3 3 3 3 Total pengamatan 45 45 45 45 Keterangan: KRB = Kebun Raya Bogor, HPD = Hutan Penelitian Dramaga
Vegetasi Data vegetasi dikumpulkan menggunakan metode petak bertingkat (Heddy 2012) (Gambar 3). Di setiap lokasi, jumlah petak contoh vegetasi dibuat sebanyak 6 buah yang ditempatkan pada titik pengamatan burung dengan rincian masingmasing 3 petak contoh di habitat dekat (<75 m) dan habitat jauh (>150 m) dari jalan raya. Data vegetasi yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter dan tinggi. Untuk tingkat semai dan pancang, data yang dikumpulkan yaitu jenis dan jumlah individu saja.
Gambar 3 Ilustrasi penggunaan metode petak bertingkat. a Ukuran 40m × 10m untuk tingkat pohon b Ukuran 20m × 5m untuk tingkat tiang c Ukuran 10m × 2.5m untuk tingkat pancang d Ukuran 5m × 1m untuk tingkat anakan
13
Tingkat Kebisingan Estimasi rata-rata kebisingan pada tiap titik pengamatan didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-48/MNLH/11/1996 Tahun 1996, yaitu pengukuran dilakukan selama sepuluh menit dan pembacaan dilakukan setiap lima detik menggunakan alat Sound Level Meter “Mastech MS6701”. Alat tersebut diletakkan di tiap titik pusat pengamatan dan ditempatkan pada ketinggian 1.5 meter dari permukaan tanah.
Aktivitas Manusia Aktivitas manusia dinyatakan dengan jumlah manusia yang hadir di lokasi penelitian. Data tersebut dikumpulkan dengan metode point count. Pengamat mencatat jumlah manusia selain pengamat dalam radius 25 m selama 10 menit di tiap titik pengamatan.
Keanekaragaman dan Kekayaan Burung Passerine Pengamatan dilakukan menggunakan metode point count (Gambar 4) secara visual dan berdasarkan suara. Pengamat berdiri di suatu titik yang telah dipilih dan melakukan pencatatan jenis burung dan jumlah individu tiap jenis. Alat bantu yang digunakan adalah binokuler “Nikon Monarch 8x42 DCF” untuk pengamatan visual dan alat perekam suara “Sanyo ICR-PS502 RM” serta mikrofon untuk pengamatan suara. Pengamatan pada setiap titik dilakukan dalam radius 25 m selama 10 menit. Identifikasi terhadap jenis burung passerine yang diamati secara visual menggunakan buku panduan pengamatan burung MacKinnon et al. (2010) dan identifikasi suara burung dilakukan dengan membandingkan hasil rekaman suara burung dari lapang dengan kumpulan rekaman suara burung yang terdapat di software Birds of Tropical Asia versi 3.0.
Gambar 4 Ilustrasi metode point count
Jumlah Aktivitas Bersuara Burung Passerine Data suara burung passerine yang diamati yaitu jumlah suara (tidak dibedakan jenis suaranya) burung tiap jenis pada masing-masing titik pengamatan. Data ini diperoleh dari pengamatan dan hasil rekaman suara burung pada saat point count dilakukan.
14 Guild Semua jenis burung passerine yang tercatat dan berhasil diidentifikasi dimasukkan ke dalam analisis berdasarkan pendekatan a priori (Wiens 1989). Komposisi guild dikelompokkan berdasarkan studi pustaka dari penelitianpenelitian lain mengenai guild.
Analisis Data Vegetasi Hasil analisis vegetasi digunakan untuk menghitung indeks nilai penting (INP) di setiap lokasi untuk mengetahui dominasi jenis pada lokasi pengamatan. Selain itu profil vegetasi untuk masing-masing habitat pada tiap lokasi berdasarkan tingkat pohon. Penentuan strata tajuk dibagi menjadi lima strata tajuk yang terdiri atas strata A, B, C, D dan E. Strata A (>30 meter), strata B (20-30 meter), strata C (<20 meter) merupakan strata tajuk untuk tingkat pohon dan strata D merupakan perdu dan semak serta strata E adalah serasah atau penutup tanah (Soerianegara dan Indrawan 2008).
Keanekaragaman Keanekaragaman dianalisis dengan menggunakan indeks diversitas Shannon (Magurran 2004). Indeks ini digunakan sebagai ukuran yang menunjukkan proporsi kelimpahan masing-masing jenis di suatu habitat. H´ =
(piln pi )
Keterangan : H´ = indeks diversitas Shannon pi = proporsi individu jenis ke-i terhadap semua jenis (pi = ni/N) ln = logaritma natural Kekayaan Kekayaan jenis burung dihitung jumlah totalnya di setiap habitat dan juga ditaksir menggunakan indeks Margalef (Magurran 2004) yaitu: DMg = (S-1) / ln N Keterangan : DMg S ln N
= indeks Margalef = jumlah jenis yang teramati = logaritma natural = total individu semua jenis
Kelimpahan Relatif Kelimpahan relatif dianalisis dengan menghitung rasio kelimpahan individu per jenis terhadap individu seluruh jenis.
15 Pi
Keterangan : Pi
Jumlah individu jenis ke i × 100% Jumlah individu seluruh jenis
= kelimpahan individu × 100%
Kesamaan antar Komunitas Kesamaan komunitas pada habitat yang dibandingkan dianalisis dengan menggunakan indeks similaritas Sorensen menggunakan program MVSP (Multi Variate Statistical Package) versi 3.2.
Analisis Guild Analisis komposisi guild burung yang ditemukan pada setiap habitat dilakukan dengan cara memeriksa perilaku makan, makanan utama dan tempat mencari makan tiap jenis. Setiap jenis pada setiap habitat kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori guild burung yang merujuk pada Lambert (1992) yaitu: 1) Arboreal foliage gleaning insectivore (AFGI): pemakan serangga di bagian tajuk 2) Arboreal foliage gleaning insectivore/frugivore (AFGIF): pemakan serangga dan buah di bagian tajuk 3) Nectarivore/insectivore (NI): pemakan nektar dan serangga 4) Nectarivore/insectivore/frugivore (NIF): pemakan nektar, serangga dan buah 5) Sallying insectivore (SI): pemakan serangga dengan menyerang tiba-tiba 6) Terestrial frugivore (TF): pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan 7) Terestrial insectivore (TI): pemakan serangga yang berada di lantai hutan 8) Terestrial insectivore/frugivore (TIF): pemakan serangga dan buah yang berada di lantai hutan
Uji t berpasangan Uji t berpasangan digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan jumlah pohon, nilai rata-rata tingkat kebisingan, jumlah manusia dan kelimpahan individu burung antara habitat dekat dan habitat jauh dari jalan raya pada masing-masing lokasi.
Generalized Linear Model Generalized Linear Model (GLM; regresi poisson) digunakan untuk menganalisis hubungan antara jumlah aktivitas bersuara burung passerine dengan tingkat kebisingan, jumlah pohon dan jumlah manusia (McCullagh dan Nelder 1989). Uji ini diterapkan karena data yang digunakan merupakan data disktrit dan tidak berdistribusi normal.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Vegetasi Lokasi KRB sebagian besar terdiri dari tegakan pohon. Strata vegetasi terdiri dari atas 2 strata yaitu strata C dan E. Pohon-pohon di KRB umumnya memiliki ketinggian antara 15-20 m dan kerapatan pohon dari 41 jenis di lokasi ini adalah 296 pohon/hektar (Gambar 5). Tutupan tajuk pohon di lokasi ini cukup renggang. Komposisi vegetasi didominasi oleh Artocarpus fretessi (INP = 11.91%), Intsia palembanica (INP = 11.07%) dan Neesia altissima (INP = 11.73%) (Lampiran 2). Lantai hutan pada lokasi ini ditutupi oleh serasah dan rumput. Tumbuhan bawah dan semak tidak dijumpai. Total jumlah pohon antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya di KRB tidak memiliki perbedaan signifikan (uji t berpasangan=-1.39, P>0.05).
a
b Gambar 5 Profil vegetasi pohon di Kebun Raya Bogor (KRB). a Dekat b Jauh
Lokasi HPD sebagian besar terdiri dari hutan tanaman, semak dan tanaman perdu. Strata vegetasi terdiri atas 3 strata yaitu strata A, C dan D. Pohon-pohon memiliki ketinggian antara 45-50 m dan kerapatan pohon dari 7 jenis di lokasi ini
17 adalah 390 pohon/hektar (Gambar 6). Tutupan tajuk pada lokasi ini cukup rapat. Komposisi vegetasi didominasi oleh Hymenaea courbaril (INP = 60.75%), Agathis loranthifolia (INP = 55.89%) dan Calophyllum tomentosum (INP = 50.39%) (Lampiran 3). Lantai hutan ditutupi oleh semak, tumbuhan perdu seperti saga telik dan jenis-jenis dari famili Rubiaceae. Total jumlah pohon antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya di HPD tidak memiliki perbedaan signifikan (uji t berpasangan=-0.51, P>0.05).
a
b Gambar 6 Profil vegetasi pohon di Hutan Penelitian Dramaga (HPD). a Dekat b Jauh
Lokasi HPD memiliki strata vegetasi yang lebih lengkap (A, C dan D) dibandingkan KRB. Hal tersebut disebabkan HPD memiliki tegakan pohon yang tinggi, jenis yang sama ditanam dalam satu petak serta kondisi lantai hutan yang ditumbuhi anakan pohon, semak dan tanaman perdu akibat kurang rutinnya pembersihan. Lokasi KRB merupakan kawasan konservasi eksitu dan salah satu tempat tujuan wisata alam andalan kota Bogor sehingga kondisi kawasan ini terkelola lebih baik dibandingkan HPD. Strata vegetasi KRB terdiri dari C dan E. Hal ini dikarenakan tinggi kebanyakan tegakan pohon yaitu 20 m. Pada lantai hutan hanya ditemukan rumput dan serasah daun serta jarang ditemukan adanya anakan pohon yang tumbuh akibat rutinnya perawatan.
18 Tingkat Kebisingan Lokasi KRB yang terletak di pusat keramaian kota dan dikelilingi oleh jalan raya memiliki tingkat lalu lintas kendaraan yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat kebisingan KRB yaitu 57.11 dB. Berdasarkan jarak dari jalan raya, tingkat kebisingan di habitat dekat jalan raya secara signifikan berbeda dari habitat jauh dari jalan raya (uji t berpasangan=42.9, P<0.05). Lokasi HPD terletak di pinggir kota Bogor. Kendaraan bermotor yang melewati jalan di sekitar lokasi merupakan kendaraan yang dipergunakan oleh warga setempat atau warga yang menggunakan jalan ini sebagai jalur alternatif ke kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Nilai rata-rata tingkat kebisingan di lokasi ini yaitu 48.11 dB. Perbedaan tingkat kebisingan antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya juga tercatat di lokasi ini (uji t berpasangan=6.63, P<0.05) (Gambar 7).
Gambar 7 Tingkat kebisingan (dB) habitat dekat dan jauh di kedua lokasi
Aktivitas Manusia Aktivitas manusia berupa kehadiran yang tercatat di lokasi KRB yaitu 160 orang (n = 90). Selama penelitian di lokasi KRB, terlihat adanya aktivitas petugas kebersihan, petugas keamanan dan pengunjung yang menggunakan lokasi ini sebagai tempat olahraga pagi. Lokasi HPD berbatasan langsung dengan permukiman dan kebun tempat bercocok tanam warga sehingga lokasi ini digunakan sebagai akses jalan warga atau kegiatan lain seperti mencari kayu bakar dan kegiatan petugas dari pihak pengelola lokasi. Jumlah kehadiran manusia di HPD yaitu 69 orang (n = 90). Jumlah kehadiran manusia antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya di kedua lokasi tidak memiliki perbedaan signifikan (KRB: uji t berpasangan=0.91, P>0.05; HPD: uji t berpasangan=2.06, P>0.05) (Gambar 8). Aktivitas manusia diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan jumlah burung akibat perubahan habitat, dan perburuan (van Balen 1987).
19
Gambar 8 Jumlah manusia di habitat dekat dan jauh di kedua lokasi
Komunitas Burung Passerine Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis Burung passerine yang tercatat di dua lokasi terdiri atas 20 jenis dari 12 famili (Lampiran 1). Seluruh burung yang tercatat merupakan burung penetap (residents) dan dua diantaranya merupakan burung endemik Sumatra, Jawa dan Bali yaitu Orthotomus sepium dan Prinia familiaris (MacKinnon et al. 2010). Empat jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Perundangan Republik Indonesia No 7 Tahun 1999 yaitu Anthereptes malacensis, Arachnothera longirostra, Nectarinia jugularis dan Rhipidura javanica. Jumlah jenis burung passerine yang tercatat di KRB yaitu 18 jenis (Tabel 1). Hasil penelitian sebelumnya di KRB tercatat 23 jenis yang diamati selama 3 bulan di 24 titik pengamatan (Hermawan 2001) dan 27 jenis yang diamati selama 2 bulan di 12 tipe lingkungan (Sukara 2014). Jumlah jenis burung pada penelitian ini di HPD yaitu tercatat 15 jenis (Tabel 2), sedangkan penelitian sebelumnya tercatat 16 jenis yang diamati selama 3 bulan di 15 titik pengamatan (Solihati 2007) dan 20 jenis yang diamati selama 4 bulan di 4 tipe habitat (Saefullah 2015). Perbedaan jumlah jenis yang tercatat dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dikarenakan perbedaan pengambilan lokasi penelitian, waktu penelitian dan lamanya pengambilan data.
20 Tabel 2 Perbandingan jumlah jenis burung passerine yang ditemukan di Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga dari hasil penelitian sebelumnya Lokasi Jenis Hemipus hirundinaceus Aegithina tiphia Chloropsis cochinchinensis Pycnonotus atriceps Pycnonotus melanicterus Pycnonotus aurigaster Pycnonotus goiavier Pycnonotus brunneus Alophoixus bres Dicrurus macrocercus Dicrurus leucophaeus Oriolus chinensis Corvus enca Sitta frontalis Pellorneum capistratum Malacocincla sepiarium Stachyris grammiceps Copsychus saularis Zoothera citrine Gerygone sulphurea Orthotomus sutorius Orthotomus sepium Prinia familiaris Eumyias indigo Cyornis banyumas Rhipidura javanica Artamus leucorhynchus Lanius cristatus Lanius schach Aplonis panayensis Anthreptes malacensis Nectarinia jugularis Arachnothera longirostra Dicaeum trigonostigma Dicaeum concolor Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Passer montanus Lonchura leucogastroides Lonchura punctulata Lonchura maja Total
a
KRB B
c
D
HPD e
23
27
18
16
20
f
15
Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1, a : Data Hermawan (2001), b : Data Sukara (2014), c dan f : Data Penulis, d : Data Solihati (2007), e : Data Saefullah (2015)
21 Beberapa jenis burung dapat ditemukan secara umum di habitat dekat dan jauh dari jalan raya di kedua lokasi yaitu Pycnonotus aurigaster, O. sepium dan A. malacensis. Selain itu terdapat jenis yang dapat ditemukan di semua habitat tetapi dengan jumlah individu yang jarang diantaranya Aegithina tiphia, A. longirostra dan Zosterops palpebrosus. Selain jenis umum, terdapat juga jenis spesifik yang hanya ditemukan di lokasi tertentu yaitu Alophoixus bres, Chloropsis cochinchinensis, Corvus enca, Dicaeum concolor, Lonchura maja, Malacocincla sepiarium dan Oriolus chinensis. Hal ini mungkin dikarenakan setiap jenis burung memiliki ekologi yang berbeda-beda dan terkait dengan bentuk tajuk pohon dan percabangan. Hasil penelitian Azis (2014) menunjukkan bahwa beberapa jenis burung dapat beradaptasi pada semua bentuk tajuk pohon dan percabangan, tetapi tidak sedikit juga jenis burung yang hanya bisa ditemukan pada jenis tajuk dan percabangan tertentu. Menurut Azis (2014), P. aurigaster merupakan salah satu jenis burung yang terlihat mencolok dapat beradaptasi dengan seluruh bentuk tajuk pohon. Habitat dekat jalan raya di KRB memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tertinggi (H’=2.30; DMg=2.51). Selain itu, indeks kekayaan jenis di kedua lokasi pada habitat dekat jalan raya lebih tinggi dibandingkan dengan habitat jauh (Tabel 3). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya efek daerah peralihan (edge effect) pada daerah tepi yang dapat mengubah kelimpahan dan distribusi jenis serta interaksinya. Odum (1993) mendefinisikan daerah peralihan sebagai peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Komunitas pada daerah peralihan ini biasanya banyak mengandung organisme dari masing-masing komunitas yang saling tumpang tindih. Stratifikasi dan daerah peralihan antara dua habitat yang berbatasan memungkinkan burung menempati bagian strata yang bervariasi di daerah tepi (Gaol 1998). Tabel 3 Jumlah titik pengamatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan kekayaan jenis di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi Lokasi KRB HPD Dekat Jauh Dekat Jauh Jumlah titik 15 15 15 15 Jumlah jenis 17 15 15 14 Indeks keanekaragaman (H’) 2.30 2.04 2.13 2.26 Indeks kekayaan (DMg) 2.51 2.14 2.26 2.06 Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1
Kelimpahan Komunitas burung di lokasi KRB didominasi oleh jenis-jenis burung dari dua famili yaitu famili Estrildidae (16.67% dari 18 jenis yang teramati) dan Nectariniidae (16.67% dari 18 jenis yang teramati). Dominasi famili pada tingkat individu di KRB yaitu Pycnonotidae (37% dari 476 individu). Komunitas burung di HPD didominasi famili Nectariniidae (20% dari 3 jenis). Pada tingkat individu, famili Pycnonotidae paling mendominasi yaitu 262 individu (25.31%) dari 1035 individu yang teramati (Tabel 4). Pycnonotus aurigaster adalah jenis burung dengan kelimpahan tertinggi di kedua lokasi. Jenis ini merupakan jenis burung yang hidup di habitat terbuka dan bersemak, dapat juga ditemukan di taman dan
22 pekarangan, pemakan buah dan serangga (MacKinnon et al. 2010). Jenis yang memiliki kelimpahan terbanyak kedua yaitu Dicaeum trochileum di KRB dan P. montanus di HPD (Tabel 5). Tabel 4 Famili, jumlah jenis dan jumlah individu di semua lokasi Lokasi KRB
Famili Chloropseidae Pycnonotidae Oriolidae Corvidae Timaliidae Silviidae Muscicapidae Nectariniidae Dicaeidae Zosteropidae Ploceidae Estrildidae Total
Jenis 2 2 1 0 0 2 1 3 2 1 1 3 18
% 11.11 11.11 5.56 0 0 11.11 5.56 16.67 11.11 5.56 5.56 16.67 100
Individu 42 476 38 0 0 157 37 200 191 15 43 83 1282
HPD % 3 37 3 0 0 12 3 16 15 1 3 7 100
Jenis 1 1 0 1 1 2 1 3 1 1 1 2 15
% 6.67 6.67 0 6.67 6.67 13.33 6.67 20 6.67 6.67 6.67 13.33 100
Individu 11 262 0 4 15 140 57 135 88 11 153 159 1035
% 1.06 25.31 0 0.39 1.45 13.53 5.51 13.04 8.50 1.06 14.78 15.36 100
Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1
Berdasarkan jarak dari jalan raya di masing-masing lokasi, kelimpahan di habitat dekat jalan raya lebih rendah dibandingkan dengan habitat jauh dari jalan raya tetapi tidak berbeda nyata pada kedua lokasi (KRB: uji t berpasangan=-1.88, P>0.05; HPD: uji t berpasangan=-0.84, P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa bahwa kelimpahan jenis burung tidak mengalami kecenderungan peningkatan atau penurunan. Kondisi ini diduga karena habitat dekat jalan raya yang tidak terlalu berbeda dengan habitat jauh dari jalan raya mengakibatkan tidak adanya fluktuasi sumberdaya yang drastis. Kurnia (2012) menyatakan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi kelimpahan burung di suatu habitat yaitu karakteristik jenis yang berkoloni, kesesuaian habitat untuk jenis tertentu, dan kemampuan adaptasi suatu jenis. Empat jenis burung yaitu A. tiphia, A. longirostra, O. sepium dan P. familiaris tercatat memiliki kelimpahan lebih tinggi di habitat jauh dibandingkan dengan habitat dekat dari jalan raya di kedua lokasi (KRB: uji t berpasangan=2.92, P<0.05; HPD: uji t berpasangan=-2.43, P<0.05). Berbeda dengan jenis di atas, anggota famili Ploceidae (P. montanus) dan Estrildidae (L. leucogastroides, L. maja dan L. punctulata) memiliki kelimpahan individu di habitat dekat lebih tinggi dari habitat jauh dari jalan raya (KRB: uji t berpasangan=2.28, P<0.05; HPD: uji t berpasangan=3.61, P<0.05). Hal tersebut dikarenakan kelompok tersebut dapat memanfaatkan pakan yang tersedia dari ruang terbuka hijau yang terletak tidak jauh dari vegetasi berupa pohon serta perilaku dari Ploceidae dan Estrildidae yang berkoloni (MacKinnon et al. 2010). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ferris (1979) yang menemukan bahwa beberapa jenis dapat melimpah di habitat yang berdekatan dengan jalan raya. Kategori jenis burung yang ditemukan melimpah tersebut merupakan kelompok jenis burung daerah tepi (edge species) atau terbuka (open species). Kelimpahan jenis burung kategori edge specialist di habitat dekat jalan raya diasosiasikan
23 dengan adanya daerah terbuka yang kecil dan bukaan pada kanopi hutan. Diduga faktor lain melimpahnya kelompok tersebut yaitu adanya toleransi terhadap kebisingan. Toleransi ini disebabkan burung dapat mempengaruhi fungsi transfer telinga bagian tengah tanpa melibatkan aktivitas otot dengan mengubah tekanan udara intrakranial selama paparan kebisingan terjadi (Ryals et al. 1999) dan jenis passerine kemungkinan memiliki skala kerentanan yang berbeda terhadap kebisingan (Peris dan Pescador 2004).
Kesamaan Komunitas Analisis kesamaan komunitas antar lokasi KRB dan HPD yaitu menghasilkan nilai indeks similaritas sebesar 0.79 (Gambar 9). Berdasarkan indeks similaritas antar habitat, habitat dekat dan habitat jauh dari jalan raya yang ada di lokasi HPD memiliki kesamaan komunitas tertinggi yaitu 0.97 sedangkan antar habitat di lokasi KRB sebesar 0.87. Kesamaan komunitas yang tinggi di lokasi HPD diduga karena tingkat kebisingan dan total jumlah pohon antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya yang tidak berbeda secara signifikan sehingga banyak jenis burung yang sama dapat hidup di kedua habitat tersebut. Di KRB, tiga jenis burung hanya tercatat pada habitat dekat jalan raya yaitu L. maja, L. punctulata dan P. montanus sedangkan satu spesies lainnya hanya tercatat di habitat jauh yaitu C. cochinchinensis. Jenis yang tercatat di habitat dekat jalan raya namun tidak ditemukan di habitat jauh pada lokasi HPD adalah C. enca. Halhal tersebut menunjukkan bahwa pada setiap lokasi terdapat jenis-jenis spesifik.
Gambar 9 Dendogram kesamaan komunitas burung passerine antar habitat
Komposisi Guild Komposisi burung passerine berdasarkan guild di dua lokasi terbagi dalam delapan kategori (Tabel 5). Jumlah kategori guild yang ditemukan di KRB yaitu enam kategori dan tujuh kategori di HPD. Satu kategori guild yang tidak ditemukan di lokasi KRB, yaitu terestrial insectivore (TI). Hal tersebut dikarenakan pada lokasi KRB tidak ditemukan adanya tutupan semak yang biasanya ditempati jenis burung kategori TI. Jenis burung di lokasi penelitian didominasi oleh burung dengan kategori guild pemakan serangga (insektivora), yaitu AFGI dan AFGIF. Banyaknya jumlah burung guild tersebut diduga terkait
24 dengan kesesuaian habitat serta ketersediaan dan kelimpahan artropoda (khususnya serangga) yang relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan jenis pakan lain, misalnya bunga dan buah-buahan, yang biasanya hanya tersedia musiman. Hasil penelitian Dewi (2014) pada tiga habitat di kampus IPB Dramaga juga menunjukkan hasil yang sama yaitu dominannya burung kategori pemakan serangga. Berdasarkan jarak dari jalan raya di masing-masing lokasi, perbedaan komposisi burung passerine berdasarkan guild di KRB yaitu tidak adanya jenis burung dari kategori terestrial insectivore frugivore (TIF) dan sebagian besar anggota terestrial insectivore (TI) pada habitat jauh dari jalan raya. Hal tersebut diduga karena kelimpahan jenis pakan untuk burung kategori TI dan TIF (L. maja, L. punctulata dan Passer montanus) berupa biji-bijian yang tidak mencukupi pada habitat jauh di KRB. Lambert (1992) dan Thiollay (1995) menyatakan bahwa sumberdaya makanan (food resources) merupakan salah satu faktor penting burung memilih suatu habitat.
12 Tabel 5 Kelimpahan relatif dan kategori guild burung passerine di kedua lokasi Famili
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Guilda
1
Chloropseidae
2
Pycnonotidae
3 4 5 6
Oriolidae Corvidae Timaliidae Silviidae
7 8
Muscicapidae Nectariniidae
9
Dicaeidae
10 11 12
Zosteropidae Ploceidae Estrildidae
Aegithina tiphia Chloropsis cochinchinensis Pycnonotus aurigaster Alophoixus bres Oriolus chinensis Corvus enca Malacocincla sepiarium Orthotomus sepium Prinia familiaris Rhipidura javanica Anthreptes malacensis Nectarinia jugularis Arachnothera longirostra Dicaeum concolor Dicaeum trochileum Zosterops palpebrosus Passer montanus Lonchura leucogastroides Lonchura punctulata Lonchura maja
Cipoh kacat Cica daun sayap biru Cucak kutilang Empuloh janggut Kepudang kuduk hitam Gagak hutan Pelanduk semak Cinenen jawa Perenjak jawa Kipasan belang Burung madu kelapa Burung madu sriganti Pijantung kecil Cabai polos Cabai jawa Kacamata biasa Burung gereja erasia Bondol jawa Bondol peking Bondol haji
AFGI NIF AFGIF AFGIF AFGIF AFGIF TI AFGI AFGI SI NIF NI NI NIF NIF AFGI TIF TF TF TF
No
Lokasi KRB HPD Dekat Jauh Dekat Jauh 2.54 2.60 0.41 1.65 1.30 30.85 41.91 27.76 23.12 0.34 0.29 1.36 4.34 0.82 1.02 1.83 6.10 9.97 5.10 9.72 3.05 4.91 4.08 7.71 3.56 2.31 2.65 8.07 12.2 5.49 3.27 15.23 5.76 6.22 2.45 0.37 0.51 1.45 1.22 2.94 3.05 1.73 12.88 12.28 4.08 12.48 0.68 1.59 1.43 0.73 7.29 21.22 8.99 1.69 3.61 12.86 3.12 4.92 11.63 4.04 3.22 -
Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1, a Guild didasari pada Lambert (1992) : arboreal foliage gleaning insectivore (AFGI), arboreal foliage gleaning insectivore/frugivore (AFGIF), nectarivore/insectivore (NI), nectarivore/insectivore/frugivore (NIF), sallying insectivore (SI), terestrial frugivore (TF), terestrial insectivore (TI), terestrial insectivore/frugivore (TIF)
26 Jumlah Aktivitas Bersuara Burung Passerine Sebanyak 12 jenis burung passerine di kedua lokasi tercatat melakukan aktivitas bersuara. Berdasarkan jarak habitat dari jalan raya di masing-masing lokasi, jumlah aktivitas bersuara burung di habitat dekat lebih rendah dibandingkan dengan habitat jauh dari jalan raya di kedua lokasi (KRB: uji t berpasangan=1.40, P>0.05; HPD: uji t berpasangan=2.09, P>0.05). Pycnonotus aurigaster, O. sepium dan A. malacensis adalah jenis dengan jumlah aktivitas bersuara tertinggi pada kedua lokasi (Gambar 10). Pycnonotus aurigaster termasuk dalam famili Pycnonotidae. Anggota famili tersebut memiliki kicauan ramai dan sangat musikal (MacKinnon et al. 2010).
Gambar 10 Persentase jumlah aktivitas bersuara burung di kedua lokasi Hubungan antara Jumlah Pohon, Tingkat Kebisingan dan Aktivitas Manusia terhadap Jumlah Aktivitas Bersuara Burung Passerine di Kedua Habitat Hasil analisis GLM menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh negatif dan berbeda secara nyata terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine adalah tingkat kebisingan (Tabel 6). Jumlah aktivitas bersuara burung semakin menurun dengan meningkatnya nilai tingkat kebisingan. Aktivitas bersuara burung passerine yang saling tumpang tindih dengan kebisingan mengakibatkan terjadinya masking. Dooling dan Popper (2007) menyatakan bahwa nilai tingkat kebisingan yang berkisar antara 50 – 60 dB dapat menyebabkan masking terhadap suara burung. Dampak ini mengakibatkan burung harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan tersebut. Respon burung terhadap variasi lingkungan tersebut dalam jangka pendek dan paling cepat yaitu berpindah ke lokasi baru yang sifatnya lokal. Reijnen et al. (1995) serta Slabbekoorn dan Ripmeester (2008) menyatakan bahwa burung dapat berpindah dari lokasi dengan tingkat kebisingan tinggi ke lokasi dengan tingkat kebisingan rendah untuk mengurangi pengaruh efek masking.
27 Tabel 6 Hasil analisis GLM regresi poisson antara kepadatan pohon, tingkat kebisingan dan jumlah manusia terhadap aktivitas bersuara burung passerine KRB HPD Faktor Slope P value Slope P value Kepadatan pohon -2.56 0.15* 0.75 0.22 Kebisingan -0.59 0.03* 1.01 0.62 Jumlah manusia -0.00 0.99* 0.95 0.18 Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1, *signifikan pada P<0.05
Kawasan KRB pada penelitian ini memiliki nilai rata-rata tingkat kebisingan yang termasuk kategori kebisingan dan berpotensi menyebabkan masking. Jumlah pohon dan jumlah manusia yang tidak memiliki perbedaan nyata antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya, tetapi berbeda nyata pada nilai tingkat kebisingan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebisingan dapat mempengaruhi komposisi burung passerine dengan masking suara burung. Nilai tingkat kebisingan yang meningkat dapat menurunkan jumlah aktivitas bersuara burung.
28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2. 3.
Stratifikasi tajuk dan efek daerah peralihan (edge effect) menyebabkan terjadinya perubahan kondisi biotik dan abiotik sehingga dapat merubah kekayaan dan komposisi jenis, komposisi guild serta kelimpahan burung passerine di habitat dengan tingkat kebisingan berbeda. Jumlah aktivitas bersuara burung di habitat dekat lebih rendah dibandingkan dengan habitat jauh dari jalan raya. Faktor kebisingan yang meningkat merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap menurunnya jumlah aktivitas bersuara burung.
Saran Pengelolaan kawasan perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat kebisingan yang ada di sekitar hutan kota. Monitoring berkala mengenai satwa liar khususnya burung terhadap pengaruh kebisingan di kawasan hutan kota juga perlu dilakukan. Selain itu, berdasarkan jumlah perilaku bersuara burung passerine menunjukkan penurunan jumlah perilaku bersuara burung dengan meningkatnya nilai tingkat kebisingan maka disarankan untuk melakukan penelitian lanjut tentang karakteristik suara masing-masing jenis burung pada tingkat kebisingan berbeda.
29
DAFTAR PUSTAKA Acevedo MA, Restrepo C. 2008. Land-cover and land-use change and its contribution to the large-scale organization of Puerto Rico’s bird assemblages. Divers Distrib 14:114-122. Azis MC. 2014. Kajian hubungan arsitektur pohon dan kehadiran burung di kampus IPB Dramaga Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2014. Kota Bogor dalam Angka 2014. Bogor (ID): Badan Pusat Statisik Kota Bogor. Brumm H. 2004. The impact of environmental noise on song amplitude in a territorial bird. J Anim Ecol 73:434-440. Catchpole CK, Slater PJB. 1995. Bird Song: Biological Themes and Variations. Cambridge (GB): Cambridge University Press. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Hutan Penelitian Dramaga. Bogor (ID): Pusat Litbang dan Konservasi Alam. Dewi LK. 2014. Komunitas burung bawah tajuk pada berbagai tingkat gangguan habitat di kampus IPB Dramaga [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Diamond JM, Bishop KD, van Balen B. 1987. Bird survival in an isolated javan woodland: island or mirror?. Conserv Biol 1: 132-142. Doelle LL. 1993. Akustik Lingkungan. Prasetio L, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Environmental Acoustics. Dooling RJ, Popper AN. 2007. The Effects of Highway Noise on Birds. Sacramento (US): The California Department of Transportation Division of Environmental Analysis. Ferris CR. 1979. Effects of interstate 95 on breeding birds in Northern Maine. J Wildl Manage 43:421-427. Fuller RA, Warren PH, Gaston KJ. 2007. Daytime noise predicts nocturnal singing in urban robins. Biol Lett 3:368-370. Gaol SEL. 1998. Studi variasi tingkat keanekaragaman jenis burung pada berbagai tipe penggunaan lahan di Lampung [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Goller F, Larsen ON. 1997. A new mechanism of sound generation in songbirds. Proceedings of the National Academy of Sciences. 94:14787-14791. Grey GW, Deneke FI. 1978. Urban Forestry. New York (US): John Wiley and Sons. Heddy S. 2012. Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Hermawan W. 2001. Keragaman jenis burung di Kebun Raya Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Herrera-Montes MI, Aide TM. 2011. Impacts of traffic noise on anuran and bird communities. Urban Ecosyst 14:415-427. Johnsingh AJT, Joshua J. 1994. Avifauna in three vegetation types on Mundanthurai Plateu. J Trop Ecol 10:323-335. King AS. 1989. Functional analysis of the syrinx. Di dalam: King AS, McLelland J, editor. Form and Function in Birds. Volume 4.New York (US): Academic Press.
30 Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Second Edition. New York (US): Harper & Row. Kurnia I. 2012. Keanekaragaman spesies burung dan amfibi pada lanskap didominasi manusia di wilayah Bogor [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lambert FR. 1992. The consequences of selective logging for Borneo lowland forest birds. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 335:443–457. MacKinnon J, Philips K, van-Balen B. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Rahardjaningtrah W, Adikerana A, Martodiharjo P, Supardiyono EK, van-Balen B, penerjemah; Sumadipura S, Kartikasari A, editor. Bogor (ID): Burung Indonesia. Terjemahan dari: A Field Guide to the Birds of Borneo, Sumatra, Java and Bali. Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. New Jersey (US): Blackwell Scientific. Marler P. 2004. Bird calls: their potential for behavioral neurobiology. Ann N Y Acad Sci 1016:31-44. McCullagh P, Nelder JA. 1989. Generalized Linier Models. Second edition. London (GB): Chapman and Hall. Morgan B. 2004. Guide to Birds. London (GB): Dorling Kindersley Limited. Nemeth E, Brumm H. 2010. Birds and anthropogenic noise: are urban song adaptive?. Am Nat 176: 465-475. O’Connell TJ, Laura EJ, Robert PB. 2000. Bird guild as indicator of ecological condition in the central Appalachians. Ecol Appl 10: 1706-1721. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Paton D, Romero F, Cuenca J, Escudero JC. 2012. Tolerance to noise in 91 bird species from 27 urban gardens of Iberian Peninsula. Landscape Urban Plan 104:1-8. Patricelli GL, Blickley JL. 2006. Avian communication in urban noise: causes and consequences of vocal adjusment. Auk 123:639-649. Peris SJ, Pescador M. 2004. Effects of traffic noise on passerine populations in Mediterranean wooded pastures. Appl Acoust 65:357-366. Reijnen R, Foppen R, Braak CT, Thissen J. 1995. The effects of car traffic on breeding bird populations in Woodland. III. Reduction of density in relation to the proximity of main highways. J Appl Ecol 32:187-202. Rheindt FE. 2003. The impact of roads on birds: Does song frequency play a role in determining susceptibility to noise pollution? J Ornithol 144:295-306. Root RB. 2001. Guilds. Di dalam: Levin SA, editor. Encyclopedia of Biodiversity. Volume 3. New York (US): Academic Press. Ryals BM, Dooling RJ, Westbrook E, Dent ML, MacKenzie A, Larsen ON. 1999. Avian species differences in susceptibility to noise exposure. Hear Res 131:71-88. Salaberria C, Gil D. 2010. Increase in song frequency in response to urban noise in The Great Tit Parus major as shown by data from The Madrid (Spain) city noise map. Ardeola 57:3-11.
31 Saefullah A. 2015. Keanekaragaman jenis burung pada beberapa tipe habitat di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Slabbekoorn H, Ripmeester EAP. 2008. Birdsong and anthropogenic noise: implications and applications for conservation. Mol Ecol 172:72-83. Soerianegara I, Indrawan A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Solihati E. 2007. Keragaman jenis burung di Hutan Penelitian Dramaga Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sukara GN. 2014. Perencanaan interpretasi wisata “Birdwatching” di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Jawa Barat [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists’ Union. Thiollay JM. 1995. The role of traditional agroforests in the conservation of rain forest bird diversity in Sumatra. Conserv Biol 9: 335-353. van Balen B. 1987. Measure to increase wild bird population in urban area in Java. Media Konservasi 1: 17-20. van der Zande AN, Berkhuizen JC, van Latesteijn HC, ter Keurs WJ, Poppelaars AJ. 1984. Impact of outdoor recreation on the density of a number of breeding bird species in woods adjacent to urban residential areas. Biol Cons 30:1-39. Wiens. 1989. The Ecology of Bird Communities II. Cambridge (GB): Cambridge University Press.
32
LAMPIRAN
33 Lampiran 1 Daftar jenis burung passerine di kedua lokasi pengamatan . No 1
Nama Ilmiah Aegithina tiphia
Nama Lokal Cipoh kacat
Gambar
2
Chloropsis cochinchinensis
-
3
Pycnonotus aurigaster
Cica daun sayap biru Cucak kutilang
4
Alophoixus bres
-
5
Oriolus chinensis
Empuloh janggut Kepudang kuduk-hitam
6 7
Corvus enca Malacocincla sepiarium
-
8
Orthotomus sepium
Gagak hutan Pelanduk semak Cinenen jawa
34 No 9
Nama Ilmiah Prinia familiaris
Nama Lokal Perenjak jawa
Gambar
10
Rhipidura javanica
Kipasan belang
11
Anthreptes malacensis
Burung-madu kelapa
12
Nectarinia jugularis
Burung-madu sriganti
13
Arachnothera longirostra
Pijantung kecil
-
14
Dicaeum concolor
Cabai polos
-
15
Diceum trochilaeum
Cabai Jawa
35 No 16
Nama Ilmiah Zosterops palpebrosus
Nama Lokal Kacamata biasa
17
Passer montanus
Burung gereja erasia
18
Lonchura leucogasroides
Bondol jawa
19
Lonchura punctulata
Bondol peking
20
Lonchura maja
Bondol haji
Gambar -
-
36 Lampiran 2 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Kebun Raya Bogor Jenis Rhopalocarpus lucidus Garcinia daedalanthera Elaeocarpus glaber Neesia altissima Heritiera rumphii Garcinia megaphylla Microcos crassifolia Artocarpus fretessi Hydnocarpus subfalcata Chisocheton lasiocarpus Ziziphus angustifolius Lithocarpus sundaicus Sloetia elongate Quercus glauca Ixonanthes icosandra Pimenta dioica Diospyros buxifolia Ormosia calavensis Malpighia glabra Bauhinia variegata Clerodendrum hastatum Ziziphus jujuba Psidium cattleianum Hemiscolopia trimera Antidesma montanum Adina cordifolia Heritiera javanica Samanea saman Terminalia kaernbachii Intsia palembanica Spondias sp. Shorea mecistopteryx Shorea multiflora Shorea sp Vatica pauciflora Shorea selanica Diospyros cauliflora Cinnamomum multiflorum Cinnamomum camphora Litseae garciae Neolitsea cassia
KR 1.42 4.22 1.42 1.42 1.42 2.80 2.80 1.42 1.42 4.22 2.80 2.80 2.80 1.42 1.42 1.42 1.42 2.80 1.42 2.80 1.42 2.80 1.42 1.42 2.80 4.22 2.80 1.42 4.22 1.42 1.42 4.22 1.42 4.22 2.80 1.42 2.80 1.42 5.64 4.22 2.80
FR 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44 2.44
DR 4.70 1.83 4.44 7.87 1.29 0.87 1.01 8.05 6.26 1.51 3.01 1.19 0.87 1.87 2.47 1.36 0.59 0.98 0.58 0.87 0.41 0.92 0.99 0.43 0.92 2.66 2.05 1.87 4.14 7.21 2.22 1.30 2.63 1.51 4.74 5.06 1.93 2.73 2.31 1.30 1.06
Keterangan: KR = kelimpahan relatif, FR = frekuensi relatif, DR = dominansi relatif
INP 8.56 8.49 8.30 11.73 5.15 6.11 6.25 11.91 10.12 8.17 8.25 6.43 6.11 5.73 6.33 5.22 4.45 6.22 4.44 6.11 4.27 6.16 4.85 4.29 6.16 9.32 7.29 5.73 10.8 11.07 6.08 7.96 6.49 8.17 9.98 8.92 7.17 6.59 10.39 7.96 6.31
37 Lampiran 3 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Hutan Penelitian Dramaga Jenis Hymenaea courbaril Hopea odorata Hopea mengarawan Calophyllum tomentosum Agathis loranthifolia Hopea bancana Maranthes corymbosa
KR 17.20 5.40 9.72 20.40 17.20 18.28 11.80
FR 17.20 5.40 9.72 20.40 17.20 18.28 11.80
DR 26.35 11.58 5.17 9.59 21.49 13.18 12.66
Keterangan: KR = kelimpahan relatif, FR = frekuensi relatif, DR = dominansi relatif
INP 60.75 22.38 24.61 50.39 55.89 49.74 36.26
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru 28 Oktober 1989 dari pasangan Bapak Legiman dan Ibu Nur Hadisyah, sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau lulus pada tahun 2012. Penulis diterima sebagai mahasiswa program magister (S2) tahun 2013 pada program studi Biosains Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bergabung sebagai pengumpul data dalam kegiatan Riset Tanaman Obat dan Jamu “RISTOJA” yang diselenggarakan oleh Balitbang Kemenkes RI pada tahun 2012. Tahun 2013, penulis juga ikut dalam kegiatan penelitian keanekaragaman hayati di kawasan BOB PT. Bumi Siak PusakoPertamina Hulu. Kegiatan non akademik yang pernah diikuti penulis yaitu pelatihan dan sertifikasi Professional Office yang dilaksanakan oleh BPPTIK Kementerian Komunikasi dan Informatika RI pada tahun 2015.