Editorial
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Komisi-komisi “Bermasalah” dalam Demokrasi “Bermasalah” Pada akhirnya sebuah komisi di luar tata negara konvensional diperlukan. Bukan karena secara ketatanegaraan membingungkan. Bukan pula karena komisi-komisi yang ada tidak efektif bekerja, melampaui kewenangan atau menyimpangkan kewenangan atau tidak menggunakan kewenangan. Bukan kita kebanyakan komisi atau kekurangan komisi. Puluhan ribu pengguna facebook berseru “selamatkan KPK.” Mereka bukan bicara soal tata laksana pemerintahan dan kenegaraan. Semua ini tidak lain karena gerakan politik reformasi itulah yang melahirkan sejumlah komisi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan misalnya, ditetapkan oleh presiden B. J. Habibie dalam suatu peristiwa penandatanganan di istana di bawah pengawasan sejumlah aktivis perempuan, mirip seperti ketika Michael Camdessus menunggu Soeharto menandatangani Letter of Intent IMF pada 1997. Publik sudah lama meradang ketika pemerintah, parlemen, dan badan peradilan “melecehkan” komisi. Ketika Komisi Yudisial dilucuti perannya dalam suatu amandemen UU Komisi Yudisial, rasa kecewa publik langsung menyasar ke gedung DPR dan Mahkamah Agung. Demikian pula ketika kiprah Komnas HAM mulai dipertanyakan oleh Menkopolkam, Menteri Pertahanan dan segenap jajaran lembaga negara. Publik menyesalkan pejabat publik yang menolak memenuhi undangan Komnas HAM untuk dimintai keterangan dan bahkan sebaliknya, badan-badan negara tersebut beramai-ramai mempersoalkan kewenangan Komnas HAM. Ketika kak Seto dari Komisi Perlindungan Anak memprotes penghukuman pada seorang anak, badan peradilan geram. Sesungguhnya pemerintahan terpilih SBY berketetapan untuk melangkah satu tahap lagi dengan melaksanakan program reformasi birokrasi. Isu reformasi birokrasi bergulir ke arah penyederhanaan birokrasi, pemangkasan meja hingga penghapusan sejumlah komisi yang menjadi perpanjangan lembaga negara (state auxiliary body). Langkah ini merupakan janjinya pada dunia internasional, yakni badan keuangan internasional untuk mengecilkan peran negara dan memperbesar mekanisme pasar. Ternyata konsolidasi demokrasi memang masih soal besar. SBY tetap kesulitan menyatakan bahwa transisi sudah selesai dan Indonesia masuk ke jaman normal. Praktik mafia peradilan justru baru tersentuh setelah presiden ini terpilih untuk kedua kalinya. Bahkan perjuangannya untuk menduduki kursi tertinggi di republik kali ini diwarnai oleh ketidakpuasan atas kerja KPU. Hilangnya sejumlah suara memang masih bisa dinyatakan sebagai kesalahan administratif “belaka.” Ini cuma karena salah DPR memilih anggota komisi yang “tak pengalaman.” PDIP gagal membuktikan kecurangan pemilu dalam keputusan Mahkamah Konstitusi karena fakta keras memang “tidak ada.” Namun seberapa tinggi derajat kecurangan pemilu bisa diterima publik sangat tergantung pada apakah oposisi melemah atau menguat. Dari sebuah Negara yang terdepolitisasi puluhan tahun, ter-deparpolisasi berdekade, asas berbangsa dan bernegara belumlah cukup dengan amandemen konstitusi. Partai politik kesulitan untuk menjadikan dirinya sebagai saluran aspirasi masyarakat. Pemisahan kekuasaan dalam asas trias politica lucunya di Indonesia bukan melahirkan pengawasan dan perimbangan kekuasaan tetapi menimbulkan inkoordinasi, persaingan antar Lembaga Negara, tumpang tindih peraturan, implementasi dan pengawasannya. Komisi dalam hal ini seringkali bisa mewakili suara rakyat lebih dari pada DPR. Artikulasi politik parlemen pasca-reformasi belum mampu menjadikan konstitusi sebagai jawaban atas kebutuhan langsung masyarakat. Hak angket untuk BBM, LAPINDO tersandera
Editorial
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
oleh keperluan mendesak partai dalam mempertahankan keberadaannya. Komisi atau state auxiliary body akhirnya masih menjadi satu-satunya pilihan untuk memastikan agenda reformasi bergulir di wilayah ketatanegaraan. Ketika bangsa ini diwarisi oleh lautan pegawai negeri dan gurita birokrasi, sebuah komisi tanpa struktur hingga tingkat desa memudahkannya lincah bekerja terutama dalam hal mengkoreksi kekuasaan. Keruwetan yang timbul oleh adanya berbagai rupa komisi karena agenda reformasi hendak dilawan dan demokrasi hendak dipasung. Pembentukan suatu komisi seharusnya untuk memperkuat peran negara dalam memberikan perlindungan hak-hak dasar rakyat. Karenanya lembaga-lembaga negara lainnya seharusnya berterimakasih kepada komisi-komisi yang bekerja efektif seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.
Agung Puteri Direktur Eksekutif
Dari Pembaca
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Kepada Yth: Pemimpin Redaksi Buletin ASASI Sehubungan dengan Kriminalisasi Penegak Hukum (Polri) terhadap Rekan-Rekan Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), yaitu Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik pejabat negara (Kejaksaan Agung), kami dari Ut Omnes Unum Sint Institute (Institut Satu Adanya) turut prihatin atas kejadian itu, karena selain hal itu mengancam keberadaan Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari sebagai pribadi, juga hal itu mengancam kebebasan sipil dan membunuh demokrasi. Untuk meresponnya, kami Ut Omnes Unum Sint Institute (Institut Satu Adanya) mengajukan surat Protes dan kecaman terhadap Kapolri. Berikut kami kirimkan suratnya. Mohon surat protes ini dimuat di Buletin Asasi, media komunikasi yang dikelola Elsam. Terima kasih.
ANTO (Sekretraris Ut Omnes Unum Sint Institute/ Institut Satu Adanya)HP: 081381055 864
Redaksi: Saudara Anto yang kami hormati, permohonan dari Ut Omnes Unum Sint Institute telah kami terima dan sudah kami muat di Buletin ASASI Edisi ini (September-Oktober 2009). Semoga bermanfaat.
Salam
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009 Komisi Negara: Antara “Latah” dan Keharusan Transisisional Oleh Wahyudi Djafar (Peneliti Hukum dan Konstitusi, bekerja di KRHN di Jakarta)
Setiap Revolusi akan menguap dan kemudian hanya menyisakan sebuah birokrasi baru (Franz Kafka 1883-1924) Menegaskan apa yang sudah diutarakan Montesquieu pada abad sebelumnya, kaum Federalist Amerika percaya, bahwa pemusatan kekuasaan pada satu tangan, hanya akan melahirkan seorang tiran. James Madison, salah satu premakarsa The Federalist, mengungkapkan, “The accumulation of all powers legislative, executive and judiciary in the same hands, whether of one, a few or many, and whether hereditary, self appointed, or elective, may justly be pronounced the very definition of tyranny”. 1 Oleh karena itu, untuk menghindari kesewenang-wenangan dan tirani, kekuasaan harus dibatasi dan diawasi. Konstitusi menjadi instrumen dasar yang utama, untuk melakukan pengaturan penyelenggaraan negara, melalui mekanisme pembagian dan pemisahan kekuasaan (division and separation of powers), yang disusun sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan tidak terpusat dalam satu polar tertentu. Kekuasaan eksekutif dapat diimbangi oleh kekuasaan legislatif dan lembaga judikatif, maupun sebaliknya. Ketiga cabang kekuasaan tersebut, selain dapat mempertahankan dan menjalankan kuasanya masing-masing, dapat pula melakukan pengawasan satu sama lain (cheks and balances). Konsep trias politica kekuasaan semacam inilah yang selanjutnya banyak dikembangkan oleh mayoritas negara demokrasi di dunia. Namun demikian, perubahan besar terjadi pada akhir 80-an dan awal 90-an, yang ditandai dengan runtuhnya rejim otoritarian di sejumlah negara, dan rejim komunis di Eropa Timur. Berangkat dari tesis Hegel, tentang “the end of history”, dimulailah babak baru konsolidasi demokrasi. Dalam catatan Fukuyama, gelombang demokrasi ketiga ini telah menempatkan Barat (Eropa dan Amerika Serikat) – demokrasi liberal – sebagai pemenang atas semua aliran politik dan ekonomi di dunia. 2 Demokrasi liberal diperjuangkan sebagai agen kemajuan kapitalisme, dan sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang bisa berjalan. Ideologi kelas digantikan oleh nalar demokratik universal dan pemikiran berorientasi pasar. Pada saat itulah, keangkuhan trias politica Montesquieu, dengan pure separation of powers yang didengungkannya, kembali diterpa badai. Dalam periode tersebut, disintegrasi sekaligus masifikasi kelembagaan terjadi di tingkat negara, yang selanjutnya ter-institusionalisasi melalaui mekanisme perubahan konstitusi di masing-masing negara. 3 Akibat gelombang baru demokrasi ini, di sejumlah negara, khususnya yang mengalami proses transisi demokrasi dari otoritarian ke demokratis, muncul organ-organ kekuasaan baru, baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies), maupun yang sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies). Kalaupun bukan merupakan bentuk kekalahan gagasan trias politica, terhadap perkembangan baru dan pergeseran paradigma pemerintahan, dari perspektif Huntingtonian, kelahiran organ-organ kekuasaan baru, dapat dibaca sebagai sebuah bentuk penyesuain diri negara, untuk mempertahankan stabilitas sistem dalam kerangka pengaturan trias politica. Untuk menuju suatu kondisi tertib politik. 4 Menurut Michael R. Asimov, komisi negara atau disebutnya sebagai administrative agencies, memiliki pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent. 5 Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah bersifat biasa atau independen, Asimov melihatnya dari segi bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen, hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden. 6 Senada dengan Asimov, dikemukakan oleh William F. Fox, Jr., bahwa suatu komisi negara adalah bersifat independen bila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress. Atau, jiakalau Presiden dibatasi untuk tidak bisa secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian pimpinan komisi. 7 Sedangkan William F. Funk dan Richad H. 1
William F. Funk and Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples and Explanations, (New York, Aspen Publishers, Inc, 2001), hlm. 23. 2 Lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (London: Penguin Book, 1999). 3 Cornelis Lay, State Auxiliary Agencies, dalam Jurnal Jentera Edisi 12 Tahun III, (Jakarta: PSHK, April-Juni 2006), hlm. 6. 4 Lihat Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society, (New Haven and London: Yale University Press, 1968). 5 Michael R. Asimov, Administrative Law, (Chicago: The BarBri Group, 2002), hlm. 2. 6 Ibid., hlm. 20. 7 William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law, (Danvers: Lexis Publishing, 2000), hlm. 56.
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Seamon memberikan penjelasan, bahwa sifat independen dari suatu komisi terefleksikan sedikitnya dari tiga hal: pertama, kepemimpinan yang bersifat kolektif, bukan hanya dipimpin oleh seorang pimpinan; kedua, kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan ketiga, masa jabatan para pemimpin komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (staggered terms). 8 Menyamakan Siklus Dalam pembacaan Said Amir Arjomand, kehadiran komisi-komisi negara atau dalam istilahnya sebagai administrative organ, telah mendominasi proses pembangunan hukum (legal development) di era modern ini, khusunya dalam reformasi konstusi di beberapa negara yang mengalami proses transisi dari otoritarian ke demokrasi. Dominasi ini hampir terjadi di seluruh negara, mengingat begitu kompleksnya kebutuhan masyarakat modern. Disebutkan oleh Arjomand salah satu kecenderungan reformasi konstitusi di berbagai negara baru-baru ini adalah: “The modern stage of political reconstruction by rational design in the age of democratic revolutions in the late 18th century, when constitution-making itself was introduced as the procedure for the elaboration of a rational design for political reconstruction, alongside parliamentary law-making as an expression of national sovereignty and the principle of separation of powers; The age of modernization in the second half of the 19th and early 20th centuries, when (authoritarian) constitutions served as instruments of state-building and rationalization of the centralized bureaucratic Rechtsstaat, and lawmaking by parliaments and administrative organs dominated legal development”. 9
Lebih lanjut dijelaskan Arjomand, konsepsi ini makin berkembang secara meluas, seiring dengan pemaksaan penggunaan model pembanguan hukum yang diterapkan oleh Bank Dunia, khususnya bagi negara-negara dunia ketiga, sebagai langkah restrukturisasi ekonominya. Bank Dunia mengadopsi model pelembagaan rule of law dalam transisi demokrasi negara Eropa Timur, pascaruntuhnya komunisme, untuk diterapkan di negara-negara dunia ketiga. Dengan mengutip Santos (1999: 73), dikatakan Arjomand, “the reconstruction of ‘the post-developmentalist state in the semiperipheral countries’ in order to meet ‘the regulatory needs of the new neo-liberal development model”. 10 Pernyataan Arjomand di atas diperkuat oleh Fabrice E. Lehoucq, yang menyebutkan bahwa sesungguhnya konsolidasi demokrasi, yang menekan kelompok status quo, bersamaan dengan hadirnya gelombang ketiga demokratisasi, dengan cara-cara institusionalisasi politik baru, dengan pembentukan sejumlah aturan main, adalah sarana untuk pembangunan ekonomi yang pro-pasar. Dalam studinya di Amerika Latin, Lehoucq menyatakan, pembentukan komisi pemilihan umum – electoral comission – yang mengisolasi diri dari keterlibatan eksekutif dan legislatif telah berkontribusi besar dalam pennguatan demokrasi konstitusional. Keberhasilan Amerika Latin dalam melakukan inovasi pembentukan institusi baru, yang bebas dari intervensi eksekutif dan legislatif inilah yang kemudian dijadikan rujukan dan diadopsi oleh banyak negara di dunia.11 Di Amerika Serikat sendiri, kelahiran organ kekuasaan baru, yang kemudian dikenal dengan istilah “komisi negara” atau administrative agencies, sesungghuhnya telah dimulai dengan pembentukan Interstate Commerce Commission, yang berdiri dengan pengesahan Congress pada 1887. Kemudian dilanjutkan pada 1914, ketika krisis ekonomi melanda dunia, Amerika Serikat menghendaki sebuah lembaga yang secara khusus mengatur dunia bisnis, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha. Maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Federal Trade Commision. Dalam periode berikutnya, di AS bermunculan sejumlah komisi negara independen (independent regulatory agencies). Hingga saat ini, setidaknya tercatat 30 komisi negara independen yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Menurut catatan Nixon’s Independent Regulatory Commissioner Database (2005), beberapa komisi negara independen di Amerika Serikat antara lain: the Consumer Product Safety Commission, Equal Employment Opportunity Commission, Federal Communications Commission, Federal Election Commission, Federal Energy Regulatory Commission, Federal Reserve Board of Governors, Federal Trade Commission, Interstate Commerce Commission, National Labor Relations Board, National Transportation Safety Board, Nuclear Regulatory Commission, and Securities and Exchange Commission. 12 Serupa dengan Amerika Serikat, kelahiran komisi-komisi negara di Inggris, bahkan sudah dimulai semenjak masa Revolusi Industri. Kemunculan badan-badan khusus di luar organ kekuasaan 8
William F. Funk dan Richard H. Seamon, dalam Op. Cit., hlm. 7. Saïd Amir Arjomand, Law, Political Reconstruction and Constitutional Politics, dalam Journal International Sociology, edisi March 2003 Vol 18 (1), hlm. 9. 10 Ibid., hlm. 12. 11 Fabrice E. Lehoucq, Can Parties Police Themselves? Electoral Governance and Democratization, dalam Journal International Political Science Review (2002), Vol. 23, No. 1, hlm. 29–46. 12 Ryan C. Black, etc., Adding Recess Appointments to the President's "Tool Chest" of Unilateral Powers, dalam Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number 4, December 2007, hlm. 645-654. 9
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
pokok, merupakan jawaban atas meningkatnya kompleksitas permasalahan masyarakat Inggris. Sebagai imbas dari perubahan struktur dan konfigurasi sosial dan politik, pasca-revolusi industri. Untuk memenuhi kebutuhan itu di Inggris didirikan Countryside Commission, The Office of Fair Tradding, The Commission for Racial Equality, The Helath and Safety Commision, dan sejumlah badan lainnya. 13 Menurut Jack H. Knott and Gary J. Miller, salah satu hal yang mendorong lahirnya lembagalembaga baru negara di Amerika Serikat adalah berkembangnya agencies theory dalam sistem administrasi dan birokrasi Amerika. Teori ini sebelumnya berkembang dalam khazanah teori ekonomi, yang mendasrkan pada supply and demand, namun kemudian diadopsi dalam pengembangan administrasi dan birokasi. Teori ini menciptakan adanya principal dan agent dalam relasi birokrasi. Principal sendiri adalah organ pokok kekuasaan, sedangkan agent adalah administrative agencies yang dibentuk untuk mendukung kerja-kerja organ-organ pokok. 14 Lagi-lagi lahirnya teori di atas adalah dorongan para investor, yang menghendaki aturan permainan (rule of the game) yang tegas dan terperinci dalam investasi mereka, serta keraguan mereka terhadap profesionalisme dan integritas birokrasi. Pemerintah Amerika sendiri menganggap penting kehadiran agencies ini, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Sejumlah komisi negara yang dilahirkan akibat desakan teori ini antara lain adalah: National Labor Relations Board (NLRB), dan Securities and Exchange Commission (SEC). Selain itu untuk memonitoring public agencies tersebut, Congress juga membentuk the Government Accountability Office (GAO), dan the Congressional Budget Office. Dengan pembentukan lembaga-lembaga ini diharapkan birokrasi Amerika akan meningkat kredibilitas, transparansi, profesionalisme, pengawasan, dan komitmennya terhadap pasar. 15 Sementara di negara-negara dunia ketiga, seperti Afrika Selatan, Thailand, dan Indonesia, pembentukan komisi-komisi negara, baru melembaga ketika berlangsung proses transisi demokrasi. Afrika Selatan mungkin yang mula-mula mengawali “proyek re-demokratisasi” ini, yang kemudian menjadi rujukan bagi negara-negara dunia ketiga lainnya. Pembentukan sejumlah komisi negara, seperti Election Comission, National Counter Corruption Comission, National Human Rights Comission, Ombudsman, dan beberapa yang lain, menjadi trend bagi setiap negara dunia ketiga, dalam konsolidasi demokrasinya. Kecenderungan semacam ini menumbuhkan kesan di dalam negara-negara dunia ketiga, bahwa transisi demokrasi identik dengan pembentukan komisi-komisi negara, baik sebagai independent agencies, maupun turunan salah satu cabang kekuasaan tertentu (branch agencies). Dalam studinya terhadap proses transisi demokrasi beberapa bekas negara komunis, dan negera yang mengalami tranisi dari otoritarian ke demokrasi, Heinz Klug mengungkapkan, bahwa pembentukan lembaga-lembaga baru negara menjadi salah satu kecenderungan utama. Klug memfokuskan kajiannya terhadap bagaimana proses transisi demokrasi berlangsung di Afrika Selatan. Menurut Klug, salah satu temuan utama dalam transisi demokrasi Afrika Selatan ialah: each new wave of state reconstruction seems to produce new variations in the division of power, between centre and periphery and between different organs of government, as well as new conceptions of the relationship between different branches of government. 16 Sedangkan alasan mengapa dibentuk sejumlah lembaga baru tersebut adalah sebagai upaya untuk mendorong transparansi, pemerintahan yang bersih, pemenuhan terhadap hak asasi manusia, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Diungkapkan oleh Klug sebagai berikut: 17 On the one hand, mechanisms were introduced to distance certain decisions from party political or purely government control and to ensure transparent and clean government, while on the other hand there were various institutions designed to further human rights and to prevent the abuse of government power.
“Kelatahan” Indonesia Tidak berbeda dengan negara-negara dunia ketiga lainnya, di Indonesia, menjamurnya organ-organ sampiran negara (state auxiliary agencies), juga telah menjadi keniscayaan dalam perkembangan kenegaraan kekinian. Khususnya pasca-jatuhnya rejim otoritarianisme birokratik Soeharto pada paruh pertama 1998 dan kemudian dilegitimasikan melalui empat kali perubahan konstitusi, UUD 1945. Bila dicermati dari sudut pandang awam, kelahiran komisi-komisi negara di Indonesia, baik komisi negara independen, maupun yang sekedar pelengkap penderita dari cabang kekuasaan tertentu, sekilas nampak tidak lebih dari perwujudan kelatahan kita dalam berdemokrasi dan berbagi kuasa. Selain itu, fenomena ini sedikit banyak juga dipengaruhi pula oleh phobia terhadap model sentralisme kekuasaan pada masa sebelumnya. 13
Jhon Alder, Constituional and Administrative Law, (London: Macmillan Education LTD, 1989), hlm. 232-233. Jack H. Knott and Gary J. Miller, Op. Cit., hlm. 392. 15 Ibid., hlm. 396-406. 16 Heinz Klug, Postcolonial Collages: Distributions of Power and Constitutional Models: With Special Reference to South Africa, dalam Journal International Sociology, edisi March 2003, Vol 18 (1), hlm. 115–116. 17 Ibid., hlm. 118. 14
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Meski secara massif pelembagaan komisi-komisi negara baru terjadi pasca-reformasi 1998, akan tetapi embrional pembentukan state auxiliary agencies di Indonesia sebenarnya sudah dimulai semenjak pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pada 1993. Pada mulanya, Komnas HAM hanyalah merupakan perpanjangan dari kekuasaan eksekutif, sebagaimana terlihat dari dasar pembentukannya yang menggunakan Keputusan Presiden (Keppres), 18 dan seluruh anggotanya pun diangkat oleh Presiden berkuasa saat itu, Soeharto. Awalnya, komisi bentukan Soeharto ini diragukan independensi dan kredibilitasnya. Namun melihat sepak terjangnya dalam menangani dan mengungkap sejumlah kasus pelanggran HAM, serta kemampuanya membuka relasi dengan unsur-unsur masyarakat sipil, menjadikan komisi ini cukup dipercaya masyarakat. 19 Catatan lain bagi Komnas HAM adalah, meski di awal pendiriannya lembaga ini rapuh secara politik maupun pijakan konstitusionalnya. Akan tetapi, institusionalisasi Komnas HAM sebagai sebuah lembaga negara baru, di luar organ kekuasaan pokok, setidaknya telah menjadi pondasi dan pilot project bagai pembentukan lembaga-lembaga serupa, pada kurun waktu sesudahnya. 20 Periode sesudah tumbangnya Orde Baru, komisi negara bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak jarang di antara komisi-komisi tersebut saling beririsan antara satu dengan yang lainnya, dalam soal pelaksanaan kewenangan atau mandatnya saling menegasikan satu sama lain. Hingga medio 2009, Indonesia sedikitnya telah memiliki 14 komisi negara independen, yang bukan perpanjangan dari salah satu organ kekuasaan tertentu. Berikut adalah ke-empat belas komisi tersebut: Tabel 2: Independent Regulatory Agencies NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
KOMISI Komisi Yudisial Komisi Pemilihan Umum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Komisi Ombudsman Nasional Komisi Penyiaran Indonesia Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Komisi Perlindungan Anak Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
10. 11. 12. 13. 14.
Dewan Pers Dewan Pendidikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Komisi Informasi Publik Badan Pengawas Pemilu
DASAR HUKUM Pasal 24B UUD 1945 & UU No. 22/2004 Pasal 22E UUD 1945 & UU No. 22/ 2007 Keppres 48/2001 – UU No. 39/1999 UU No. 5/1999 Keppres No. 44/2000 – UU No. 37/2008 UU No. 32/2002 UU No. 30/2002 UU No 23/2002 & Keppres No. 77/2003 UU No. 27/2004 (UU ini dibatalkan MK secara keseluruhan) UU No. 40/1999 UU No. 20/2003 UU No. 13/2006 UU No. 14/2008 UU No. 22/2007
Sumber: diformulasikan dari Firmansyah Arifin (2005) dan beragam sumber lainnya.
Selain ke-empat belas komisi negara independen di atas, Indonesia juga memiliki sedikitnya 41 komisi negara atau badan-badan khusus, yang merupakan cabang dari kekuasaan eksekutif (executive branch agencies). Lembaga-lembaga ini, komisioner atau anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta memberikan pertanggungjawaban kelembagaan kepada Presiden. Lembaga-lembaga tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2: Executive Branch Agencies NO. 1. 2. 3. 4. 5 6 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 18
KOMISI Komisi Hukum Nasional Komisi Kepolisian Komisi Kejaksaan Dewan Pembina Industri Strategis Dewan Riset Nasional Dewan Buku Nasional Dewan Maritim Indonesia Dewan Ekonomi Nasional Dewan Pengembangan Usaha Nasional Komite Nasional Keselamatan Transportasi Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan Komite Akreditasi Nasional Komite Penilaian Independen Komite Olahraga Nasional Indonesia Komite Kebijakan Sektor Keuangan
DASAR HUKUM Keppres No. 15/2000 UU No. 2/2002 UU No. 16/2004 dan Perpres No. 18/2005 Keppres No. 40/1999 Keppres No. 94/1999 Keppres No. 110/1999 Keppres No. 161/1999 Keppres No. 144/1999 Keppres No. 165/1999 UU No. 41/1999 & Keppres No. 105/1999 Keppres No. 80/2000 Keppres No. 78/2001 Keppres No. 99/1999 Keppres No. 72/2001 Keppres No. 89/1999
Komisi Nasional HAM pertama kali didirikan berdasar pada Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Abdul Hakim Garuda Nusantara., KOMNAS HAM: Sub-sistem dalam Sistem Perlindungan HAM, makalah tidak dipublikasikan, Jakarta, Oktober 2004. 20 Cornelis Lay, Op. Cit., hlm. 5. 19
Laporan Utama NO. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42
KOMISI Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Dewan Gula Nasional Dewan Ketahanan Pangan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Dewan Pertahanan Nasional Badan Narkotika Nasional Badan Nasional Penanggulangan Bencana Badan Pengembangan Kapet Bakor Pengembangan TKI Badan Pengelola Gelora Bung Karno Badan Pengelola Kawasan Kemayoran BRR Propinsi NAD dan Kep. Nias Sumatera Utara Badan Nasional Sertifikasi Profesi Badan Pengatur Jalan Tol Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Lembaga Sensor Film Korsil Kedokteran Indonesia Badan Pengelola Puspiptek Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Lembaga Pemerintah Non-Departemen 21
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009 DASAR HUKUM PP No. 102/2000 Keppres No. 12/2000 Keppres No. 181/1998 – Perpres No. 65/2005 UU No. 25/2003 - Keppres No. 81/2003 Keppres No. 54/2005 Keppres No. 23/2003 Keppres No 132/2001 Keppres No. 44/2002 Keppres No. 151/2000 UU No. 3/2003 Keppres No. 17/2002 UU No. 24/2007 Keppres No. 150/2002 Keppres No. 29/1999 Keppres No. 72/1999 Keppres No. 73/1999 Perpu No. 2/2005 PP No. 23/2004 PP No. 15/2005 PP No. 16/2005 Keppres No. 83/1999 PP No. 8/1994 UU No. 29/2004 Keppres No. 43/1976 Keppres No. 85/1999 Keppres Keppres No. 132/1998 Keppres No. 3/2002 jo. Keppres N0. 103/2001
Sumber: diformulasikan dari Firmansyah Arifin, dkk (2005), Kementerian Negara PAN, dan Naskah Amandemen UndangUndang Dasar 1945, Kelompok DPD di MPR, (2008).
Membanjirnya komisi-komisi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kekinian, setidaknya telah memunculkan beragam pertanyaan, mengapa komisi-komisi tersebut kemunculannya bisa sedemikian massif? Pertama, mungkinkah jamaknya komisi-komisi negara ini merupakan bentuk kelatahan kita dalam mengelola transisi demokrasi? Sehingga setiap pembuatan undang-undang yang mengatur kepentingan khalayak umum, selalu mengamanatkan pembentukan organ-organ negara baru, untuk melakukan pengurusan kepentingan khalayak tersebut; Kedua, apakah kemunculan beranekaragam komisi ini merupakan suatau keharusan dalam menghadapi era demokrasi? Sebagai jawaban atas meningkatnya kompleksitas persolaan masyarakat modern, yang mengakibatkan lumpuh layunya organ-organ pokok negara; Ketiga, apakah kelahiran sejumlah institusi negara di luar organ pokok kekuasaan ini, sekedar menjadi instrument untuk berbagi kuasa? Seperti diketahui, pascareformasi banyak elemen masyarakat sipil yang turut serta merangsek masuk dalam kursi kekuasaan, sehingga diperlukan wadah yang luas untuk menampung seluruh elemen tersebut; Keempat, mungkinkah ada skenario besar di luar negara yang mendesain sedemikian rupa, pembentukan organorgan negara di luar organ pokok kekuasan? Selama ini muncul sinyalemen, bahwa ada campur tangan kaum “fundamentalis pasar neo-liberalis” untuk mengamputasi fungsi-fungsi pokok negara, melalui pelembagaan institusi-institusi baru negara. Langkah semacam ini sebagai sebuah upaya untuk menumbuhkan public distrust pada negara, sehingga pasar lebih mendapatkan tempat di masyarakat; Kelima, atau sebenarnya, kelahiran institusi-institusi baru tersebut, sekedar luapan ungkapan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara yang mapan sejak lama? Sebagai jawabannya maka perlu dibentuk lembaga-lembaga negara baru untuk menggantikannya, atau paling tidak memberikan topangan. Dalam konteks Indonesia, Cornelis Lay melihat, kelahiran komisi-komisi negara, setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal berikut: pertama, keresahan negara terhadap ketidakpastian dan dan kealpaan perlindungan individu dan kelompok marginal, dari despotisme pejabat publik, maupun 21
Ke 24 lembaga negara non-departemen itu bukan Komisi Negara Independen karena termasuk lembaga pemerintah. Organ-organ negara itu adalah: Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Perpustakaan Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara, Badan Urusan Logistik (Bulog), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lembaga Informasi Nasional (LIN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) dan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar).
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
warganegara yang lain; kedua, mencerminkan sentralitas negara sebagai otoritas publik, dengan sebuah tanggung jawab publik yang besar; ketiga, merupakan sebuah produk evolusi yang sifatnya incremental dan komplementer, terhadap organ-organ kekuasaan yang hadir terdahulu, yang merupakan hasil pemilihan gagasan trias politica. 22 Keharusan Restrukturisasi Berbahaya, jikalau saling irisan dan negasi kewenangan antara komisi-komisi negara dalam pelaksanaan tugasnya, terus dilanjutkan. Sebab yang terjadi bukan peningkatan pelayanan negara kepada masyarakat, tetapi justru pelayanan tidak bisa berjalan secara masksimal. Karena ada satu area di mana tugas pelayanan malah menjadi perebutan antar organ-organ negara. Selain itu, besarnya jumlah komisi negara, juga menjadikan pemborosan anggaran negara, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Padahal tidak semua komisi negara memiliki kewenangan yang signifikan bagi pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Apalagi jika kewenangan komisi negara sebatas pemberi rekomendasi, tanpa dilengkapi dengan kewenangan penindakan apapun. Bahkan semenjak 1942, dengan membaca kondisi yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, Jhon M. Gaus menyatakan telah terjadi pembengkakan dalam pembentukan independent commissions, sehingga perlu dilakukan reorganisasi. Gaus mengungkapkan, banyak kritik dilontarkan terhadap hadirnya komisi independen, yang secara kuantitas terlalu banyak, tetapi kinerjanya tidak efektif. Dikatakannya, the movement for establishing regulatory commissions overlapped in time the short ballot and reorganization movement. Gaus mengusulkan, proses reorganisasi ini dapat dilakukan dengan melakukan intragasi beberapa komisi, yang memiliki kewenangan atau subjek pelayanan yang sama, digabungkan menjadi satu komisi. Atau beberapa komisi cukup dibawahi oleh seorang koordinator/pimpinan komisi. Pilihan integrasi ini diusulkannya dengan memperhatikan prioritasprioritas tertentu dari tujuan pembentukan sebuah komisi. 23 Ke depan, jika restrukturisasi dan penyelarasan tidak segera dilakukan, yang terjadi justru komisi-komisi negara sekedar akan menguatkan oligarki kuasa negara. Bahwa negara memiliki seperangkat alat kekuasaan, yang gemuk dan mewadahi semua permasalahan, tetapi di level implementasi mereka tidak mampu bekerja secara maksismal, dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah-langkah harmonisasi dan penyelarasan, agar masing-masing komisi negara mampu berjalan secara sinergis, dalam pelaksanaan tugasnya. Penyelarasan musti dilakukan baik di tingkat kewenangan maupun pengaturannya. Sekiranya komisi-komisi negara mana saja yang keberadaannya dapat ditiadakan, untuk kemudian mengefektifkan kewenangan dan kinerja komisi yang lain. Selanjutnya, komisi negara yang memiliki urgensi bagi pemenuhan hak-hak masyarakat, tetapi masih lemah dalam soal kewenangan, perlu diperkuat ruang lingkup dan cakupan kerjanya. Di tingkat pengaturan, perlu didesain ulang komisi-komisi negara mana saja yang pengaturannya perlu dicantumkan di konstitusi, undang-undang, atau cukup menggunakan Keppres. Pemilahan ini didasarkan pada tingkat signifikansi dan kebutuahan masyarakat akan eksistensi komisikomisi negara tersebut. Dengan restrukturisasi, harmonisasi dan penyelarasan, diharapkan kinerja komisi-komisi negara, dapat memberikan pelayanan terbaik bagi pemenuhan hak-hak konstitusional warganegara. Tidak sekedar menghabiskan anggaran negara yang sudah minim jumlahnya, dengan “eksistensi” yang antara-ada dan tiada.
22
Cornelis Lay, Op. Cit., hlm. 11-12. John M. Gaus, The Case for Integration of Administrative Agencies, dalam Journal The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 1942, vol. 221, hlm. 34. 23
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
TNI-Polri dan Akuntabilitas Penegakan Hak Asasi Manusia Oleh Mufti Makaarim A (Ditektur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies, Jakarta)
Sampai dengan tahun ke 11 pemerintahan paska 1998, efektifitas upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) masih kerap dipertanyakan publik. Pertanyaan publik tersebut terkait kesangsian akan kapasitas mekanisme dan sistem hukum yang ada dalam mendorong dan memastikan akuntabilitas kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu maupun yang masih terjadi sampai saat ini. Di sisi lain, pertanyaan tersebut juga merupakan gugatan terhadap resistensi dan reaksi negatif institusi keamanan atas seluruh tuntutan proses hukum sejumlah individu dari institusi tersebut yang diduga terlibat dan bertanggungjawab. Bagi publik, fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa beragam upaya penegakan HAM dalam 1 dekade paska jatuhnya rejim Soeharto masih belum berjalan sesuai harapan. Momentum reformasi 1998 gagal dimanfaatkan untuk memulai sejarah baru pemerintahan post-authoritarian yang lebih demokratis, akuntabel dan menghormati HAM. Indikasi kegagalan fundamental di sektor HAM tersebut ditandai dengan tidak terwujudnya proses-proses pengungkapan kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi dan dilakukan rejim otoriter Orde Baru (Orba), tidak adanya mekanisme rekonsiliasi status quo-prodemokrasi serta minimnya penegakan hukum yang adil dan akuntabel atas seluruh kejahatan rejim Orba paska 1998 dalam bingkai pemerintahan transisi. Akibatnya, pesimisme akan keadilan dan pemenuhan hak-hak para korban kejahatan negara mengemuka, baik dari kalangan korban, kelompok-kelompok advokasi dan pemerhati HAM maupun publik secara umum. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah dua institusi yang tidak terpisah dari praktik-praktik kejahatan negara masa lalu. Sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), keduanya secara efektif digunakan rejim Orba sebagai kekuatan koersiv dengan fungsi politik, ekonomi dan sekaligus represi. keterlibatan pada ranah-ranah strategis sebagai pemerintah sekaligus alat negara telah menyebabkan beragam konflik kepentingan yang berdampak pada pelbagai pelanggaran HAM. Kemarahan dan ketidakpercayaan publik terhadap ABRI memuncak dengan lahirnya tuntutan penurunan Jenderal Besar Soeharto dari tampuk kekuasaan, pencabutan dwi-fungsi ABRI yang dituding sebagai akar pelbagai kejahatan negara, serta penegakan hukum atas pelbagai pelanggaran HAM rejim Orba, ABRI dan kroni-kroninya. Kerangka Kerja Penegakan HAM Rejim Transisi Salah satu prinsip universal HAM menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM setiap individu yang berada di satu wilayah negara. Dalam sebuah negara demokratis, prinsip-prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk pembangunan mekanisme-mekanisme HAM dan ratifikasi prinsip, nilai serta hukum HAM internasional ke dalam hukum nasional. Termasuk memastikan integrasi HAM dan praktik tata pemerintahan dan tata kelola sektor keamanan, di mana indikator-indikator legal, profesionalisme dan akuntabilitas selaras dengan prinsip, nilai dan hukum HAM. Bagi rejim transisi dari satu sistem yang otoritarian, prinsip-prinsip universal HAM menekankan kewajiban negara untuk membangun kerangka kerja penegakan dan pemulihan
1
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
HAM, termasuk penghentian segala bentuk praktik-praktik pelanggarannya. Kerangka kerja tersebut diawali dengan pengungkapan kebenaran atas pelanggaran yang telah terjadi, melakukan penuntutan, pengadilan atau menggelar mekanisme lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip penegakan hukum, memberikan pemulihan yang efektif bagi para korban dan keluarganya, serta mencegah keberulangan dari kejahatan-kejahatan serupa di masa yang akan datang. Kerangka kerja penegakan dan pemulihan HAM tersebut merupakan bagian dari akuntabilitas negara terhadap publik, terutama dalam hal memenuhi hak publik atas kebenaran informasi satu peristiwa pelanggaran HAM dan bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi (right to know), menuntut dan mengadili sebagai bentuk hak korban dan publik atas keadilan (right to justice), memastikan adanya kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban (right to reparation), serta memberi garansi bahwa pelanggaran HAM serupa tidak akan berulang (guarantee of nonrepetition). Dalam konteks pencegahan terhadap keberulangan pelanggaran HAM, reformasi institusiinstitusi di sektor keamanan merupakan kemutlakan. Reformasi tersebut berupa 1). Peninjauan ulang terhadap seluruh legislasi dan pembentukan legislasi-legislasi baru yang membatasi kewenangan aktor-aktor keamanan yang berpotensi melanggar HAM; 2). Pembenahan struktur institusi keamanan, berupa pembersihan aktor-aktor bermasalah serta penempatan aktor-aktor baru yang lolos proses seleksi dan uji kepantasan yang ketat; serta 3). Pembentukan kultur baru yang lebih menghormati HAM, melalui perubahan kurikulum pendidikan serta pengawasan yang ketat secara internal dan eksternal. Perubahan semacam ini merupakan bagian dari reorganisasi tatanan politik paska rejim otoritarian, mulai dari penataan legislasi, institusi dan sistem hukum yang berlaku. Mekanismemekanisme di atas merupakan penyelarasan upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan reformasi sektor keamanan, di mana keduanya merupakan agenda yang tidak dapat dipisahkan. Di sejumlah negara, upaya-upaya ini dikenal dengan agenda “Keadilan Transisional” (Transitional Justice) dan “Reformasi Sektor Keamanan” (Security Sector Reform). Catatan Atas Reformasi TNI-Polri Di internal TNI-Polri, komitmen untuk mendorong dan mendukung penegakan HAM tampaknya masih disangsikan publik. Indikatornya sederhana, sederetan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM mereka pada masa Orba belum terselesaikan. Sejumlah kasus baru yang terus muncul juga tidak terselesaikan dengan baik. Diduga, upaya penuntasan kasus-kasus tersebut terhalang resistensi institusi TNI-Polri, terutama terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Sejauh ini peran-peran politik dan ekonomi TNI memang tidak semassif di masa lalu, profesionalisme mereka mulai dibangun, dan ruang gerak politik mereka kian dibatasi. Ini ditandai dengan hilangnya “jatah” kursi militer aktif di parlemen dan birokrasi, disahkannya Undang-undang (UU) No 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta peningkatan anggaran yang signifikan sejak tahun 2000. Begitu pula di internal Polri. Pemisahan TNI-Polri, penetapan UU No 2 Tahun 2000 tentang Polri, pengembangan program Pemolisian Masyarakat (Polmas), pengenalan HAM di lingkungan Polri serta peningkatan anggaran operasional Polri, merupakan serangkaian agenda perubahan internal Polri. Secara umum, banyak kalangan yang menilai bahwa perubahan di lingkungan TNI-Polri lebih pada tataran normatif ketimbang substantif. Dalam 5 tahun pertama paska 1998, upaya untuk mewujudkan reformasi TNI-Polri dan penegakan HAM berjalan dengan tertatih-tatih,
2
Laporan Utama
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
lantaran lemahnya daya dukung internal kedua institusi tersebut. Dalam upaya penegakan hukum misalnya, pembatasan akses informasi dalam proses penyelidikan dan intimidasi langsung maupun tidak langsung oleh mereka terhadap para penegak hukum dan rejim yang melakukan desakralisasi militer merupakan fenomena politik pada masa Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid yang berupaya memastikan agenda-agenda reformasi yang dituntut publik dapat terpenuhi. Sayangnya, ketika desakan reformasi kian melemah, pergantian-pergantian rejim yang terpilih secara demokratis dalam beberapa tahun terakhir gagal memastikan kontinuitas agendaagenda transisi demokrasi sebagaimana dikehendaki pada 1998, termasuk untuk membenahi dan membersihkan internal TNI-Polri dari pengaruh-pengaruh masa lalu dan memastikan ketundukan mereka secara penuh terhadap supremasi hukum. Dalam konteks yang demikian, tidak salah jika kelompok-kelompok pemerhati HAM Indonesia dan internasional kemudian menuding pemerintah dengan sengaja telah membangun rejim impunitas yang memanipulasi makna holistik transisi demokrasi dengan wajah-wajah reformasi yang artifisial dan semu. Ungkapan keinginan TNI-Polri untuk mereformasi institusi mereka dan tunduk pada hukum dianggap sebagai retorika politik, karena pada saat bersamaan juga muncul sejumlah ungkapan dan tindakan yang inkonsiten dan bertentangan dengan semangat reformasi dan ketundukan pada hukum tersebut. Perubahan pada level legislasi gagal memberikan pengaruh pada perubahan struktur dan kultur, yang ditandai dengan berlanjutnya praktik penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran atas apa yang telah diatur oleh ketentuan hukum mereka sendiri. Penutup Pertangungjawaban hukum TNI-Polri merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya reformasi institusi mereka. Akuntabilitas atas kejahatan masa lalu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan profesionalisme, ketertundukan pada proses hukum serta supremasi sipil paska lahirnya UU TNI dan UU Polri. Efektivitas penegakan hukum terhadap TNI-Polri sepatutnya juga merupakan salah satu tolok ukur penting terhadap reformasi mereka. Terlebih ketika penghormatan terhadap nilai dan prinsip HAM merupakan fondasi negara demokrasi, maka tidak ada alasan bagi TNI-Polri untuk tetap berlindung pada impunitas negara. Upaya-upaya semacam ini akan menyulitkan TNI-Polri untuk kembali meraih kepercayaan publik dan tetap akan mengganggu langkah-langkah pengembangan profesionalisme TNI-Polri kedepan, lantaran pemerintah dan para pimpinan TNI-Polri akan senantias berhadapan dengan pengulangan kasus-kasus serupa serta komplain publik yang terus menerus di masa yang akan datang.
3
Daerah
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Pernyataan Sikap Solidaritas Masyarakat Sipil Kawal Pemberantasan Korupsi Nusa Tenggara Timur (SMS KPK-NTT) Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat. Pada Konteks Indonesia umumnya dan khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Bahkan, korupsi sudah menggerogoti lembaga eksekutif maupun legislatif, sehingga muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat. Tindak korupsi kini telah menjadi salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan, meningkatnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas. Tindak korupsi telah menjadi warna sumbang sekaligus memberi pilar ”hitam” yang tegas dalam cakrawala pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil didalam kemakmuran dan makmur didalam keadilan. Pada sisi yang lain, institusi penegak hukum belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi karena korupsi. Buktinya di NTT pada tahun 2008, dari 108 (Seratus Delapan) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 217.070.432.044,00 (Dua Ratus Tujuh Belas Milyar Tujuh Puluh Juta Empat Ratus Tiga Puluh Dua Ribu Empat Puluh Empat Rupiah) dengan Pelaku bermasalah sebanyak 352 (Tiga Ratus Lima Puluh Dua) orang. Dari 108 (Seratus Delapan) kasus korupsi ini, terdapat 93 kasus (85%) yang merupakan Kasus Lama atau Kasus yang terjadi dari tahun 2000 sampai tahun 2006 dan semuanya masih “berlarut-larut” ditangani oleh pihal Kepolisian NTT dan kejaksaan NTT. Sedangkan hanya 36 (Tiga Puluh Enam) Kasus yang telah disidangkan di Pengadilan. Dengan realita yang demikian, maka pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana amanat ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi sesuatu yang sangat tepat, relevan dan strategis dalam usaha sistematis pemberantasan Tindak Pidana korupsi ditanah air. Kini keberadaan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ibarat telur di ujung tanduk. Kekuatan politik koruptif seolah tak pernah berhenti mengganggu komisi khusus ini. Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadilan Tipikor yang awalnya berjalan sangat lambat, tiba-tiba dipercepat sedemikian rupa. Sangat terlihat motivasi dan semangat untuk mengebiri kewenangan KPK. Sejauh ini berkembang dua wacana menyesatkan untuk mencabut kuasa Penuntutan dari KPK dan bahkan restriksi kewenangan Penyadapan. Padahal, sejumlah kasus besar dapat diungkap karena kewenangan Penyadapan KPK. Terdapat beberapa argumentasi yang terkesan dicari-cari oleh Panitia Kerja DPR untuk mendukung ide pelemahan KPK tersebut.
1
Daerah
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Wacana Pertama, Kuasa Penuntutan. Pernyataan yang berkembang di publik, idealnya hanya ada satu kuasa penuntutan, yaitu dari Kejaksaan Agung. Panitia Kerja pun mengutip UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan Jaksa adalah satu, sehingga semua kuasa penuntutan ada di bawah Jaksa Agung. Karena UU Kejaksaan dibuat tahun 2004, sementara UU KPK disahkan tahun 2002, maka seharusnya UU yang kemudianlah (tahun 2004) yang berlaku, alias UU KPK dikesampingkan. Betapa menyesatkan argumentasi hukum ini..!! Yang lebih menyedihkan, Jaksa Agung pun membenarkan dan bahkan menyinggung persoalan ketimpangan gaji antara Jaksa di KPK dan di Kejaksaan Agung. Di tengah prestasi Kejaksaan yang mengecewakan di bawah kepemimpinan Jaksa Agung, Hendarman Supandji tentu saja pernyataan tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk ego institusi, serta keinginan menguasai KPK. Memang sangat mudah membantah logika Panja dan Jaksa Agung. Jika dicermati, UU KPK sesunguhnya dibentuk karena kegagalan Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, sejumlah kewenangan khusus diberikan pada institusi ini. Perihal kekhususan ini (Lex Specialis) ditegaskan oleh dua dasar hukum. Pertama, PENJELASAN UMUM UU KPK menyebutkan secara tegas “dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus”. Dan, Kedua, penegasan mahkamah agung melalui KMA/694/RHS/XII/2004 pun mengatakan, kewenangan KPK bersifat khusus. Artinya, tidak beralasan jika kewenangan PENUNTUTAN KPK dicabut dan dialihkan ke Kejaksaan Agung. Lebih dari itu, institusi yang diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan koordinasi, supervisi atau bahkan pengambilalihan kasus korupsi di Kejaksaan dan Kepolisian adalah KPK. Bukan sebaliknya. Jika kuasa penuntutan diberikan pada Kejaksaan Agung, tentu saja Panja dan Jaksa Agung telah mengingkari dan melawan UU yang sudah berlaku bahkan bersifat Lex Specialis. Kami sarankan Panja dan Jaksa Agung membaca UU KPK, khususnya Pasal 6 huruf a, b; Pasal 7,8 dan 9; Pasal 21 ayat (4); Pasal 39 ayat (2), (3); dan Pasal 51 ayat (1). Sejumlah pasal itu membangun konstruksi hukum yang sangat kuat tentang kewenangan KPK, baik koordinasi, supervisi ataupun kuasa penuntutan. Jika Panja dan Jaksa Agung membaca secara cermat dan ada niat baik melakukan pemberantasan korupsi, kami yakin kewenangan KPK tidak perlu dikebiri seperti saat ini. Wacana Kedua, pemangkasan kewenangan Penyadapan. Setelah gagal beberapa kali untuk menyerang dan melakukan pembusukan terhadap kewenangan penyadapan, kali ini Panja DPR seperti mendapat celah. Melalui RUU Pengadilan Tipikor mereka ingin mengatur, agar sebelum melakukan penyadapan KPK harus minta izin Ketua Pengadilan. Mungkin hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya koruptor yang berasal dari anggota DPR, mafia bisnis dan penegak hukum yang tertangkap tangan karena transaksi korup mereka terpantau oleh penyadapan KPK. Jika benar demikian, ide untuk memangkas penyadapan adalah sesuatu yang harus ditolak.
2
Daerah
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Potret kinerja DPR RI 2004-2009 memang sangat meragukan. Suara-suara untuk membubarkan KPK, kocok ulang pimpinan, revisi kewenangan penyadapan dan penolakan penggeledahan oleh pihak tertentu di DPR menjadi catatan bagi masyarakat bahwa sejak awal komitmen dan dukungan DPR RI untuk memperkuat KPK dan Pengadilan Tipikor sangat lemah. Sejalan dengan pemaparan fakta dan data di atas, maka SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL KAWAL PEMBERANTASAN KORUPSI NUSA TENGGARA TIMUR menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Menentang setiap upaya dari pihak manapun yang berkeinginan untuk ”memangkas” TUPOKSI dan Kewenangan KPK sebagaimana yang telah diatur dengan tepat dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2002, tentang KPK. 2. Mengecam keras Panitia Kerja DPR yang membahas RRU TIPIKOR dan Jaksa Agung yang mewacanakan pengembalian Kuasa Penuntutan pada Kejaksaan Agung. 3. Mendesak DPR RI memangkas kewenangan kepolisian sehingga pihak kepolisian tidak boleh lagi menangani Kasus yang berkaitan dengan tindak Pidana khusus. 4. Mendesak KPK untuk segera menuntaskan kasus dugaan korupsi yang terjadi Bank Century yang sangat merugikan Negara dan rakyat Indonesia yang diduga ikut menjadi ’biang keladi’ dari proses pelemahan KPK. 5. Meminta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk secara tegas menolak pengesahan RUU Pengadilan Tipikor jika masih ada materi yang bertentangan dengan konstitusi, melawan spirit pemberantasan korupsi dan membahayakan KPK dan Pengadilan Tipikor. Serta mendesak perlunya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang isinya memperpanjang masa pembentukan pengadilan TIPIKOR, jika sampai batas waktu yang telah ditetapkan undang-undang, Pengadilan TIPIKOR belum terbentuk. 6. Mendesak Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agar tetap komitet dengan janji kampanye PILPRES tentang pemberantasan korupsi serta kesungguh-sungguhan untuk menjalankan amanat utama reformasi yakni pemberantasan korupsi.
Kupang, 17 September 2009 Solidaritas Masyarakat Sipil Kawal Pemberantasan Korupsi Nusa Tenggara Timur (SMS KPK-NTT) [Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR - NTT), Perkumpulan PIKUL, Bengkel APPeK, Perkumpulan Relawan CIS TIMOR, BP Pemuda GMIT Sinode, Forum Guru Kota Kupang, DPC GMNI Cabang Kupang, BPC GMKI Cabang Kupang, Yayasan Cemara Kupang, Forum Academia NTT, Yayasan Rumah Perempuan, Perkumpulan Masyarakat Peduli Bencana (PMPB) Kupang, Jaringan Masyarakat Adat (JAGAT) Timor & Rote Ndao, Forum Karya AMPERA, Komunitas Akar Rumput (KoAR), Ikatan Mahasiswa Asal TTU (IMATTU), Forum Peduli Aspirasi Rakyat (F-PAR), Dewan Kesehatan Rakyat Prov. NTT, Forum Komunikasi Pemuda Gereja Kristen NTT (FKPGK NTT), Forum Masyarakat Sipil NTT (FORMASI NTT), KNPI Kota Kupang]
3
Aktual
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009 Jakarta, 15 Oktober 2009
Nomor : 0095/EXT/BP/UOUS-Ins/X/2009 Lampiran : Hal : Protes dan Kecaman Terhadap Proses Hukum (Kriminalisasi) Dua Aktivis ICW Kepada Yth: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Bambang Hendarso Danuri Di – Tempat Dengan Hormat, Kami, perkumpulan Ut Omnes Unum Sint Institute (Institut Satu Adanya), yang peduli terhadap Keadilan, Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia turut prihatin dan menyatakan sikap protes serta kecaman terhadap Kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang menetapkan Dua Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), yaitu Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik pejabat negara. Pejabat Negara yang dimaksud adalah Kejaksaan Agung. Polisi menerima laporan pengaduan Jaksa Widoyoko pada 7 Januari 2009 atas berita di Harian Merdeka edisi 5 Januari berjudul “Uang Korupsi kok Dikorupsi”, kemana duit Rp. 7 Triliun”. Dalam berita itu, ICW mempersoalkan klain Kejagung yang mengaku berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp 8 Triliun sepanjang tahun 2008 (Kompas, 13 Oktober 2009). Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto mengatakan, kejaksaan melaporkan perbuatan Emerson dan Illian yang dinilai sebagai tindak pidana. Didiek Darmanto lebih lanjut mengatakan, kami menilai itu tindak pidana dan pencemaran nama baik (Kompas, 15 Oktober 2009); Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Jika melihat uraian sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas bahwa kebijakan Kepolisian menetapkan Dua Aktivis ICW, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari sebagai tersangka berkaitan dengan keberadaan ICW, khususnya Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari atas komitmen dan konsistensinya sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) dalam dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini merupakan pembungkaman dan ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Dalam hal ini, Kepolisan melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat masyarakat sipil yang melakukan kontrol sosial (social control) terhadap praktek tindak pidana korupsi. Penetapan tersangka terhadap Dua Aktivis ICW ini tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip Hukum Pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebab tindakan / perbuatan Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari sebagai Aktivis LSM merupakan manifestasi kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik, UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Jadi hal ini
Aktual
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
bukan wilayah hukum pidana sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana / perbuatan melawan hukum karena tidak memenuhi unsur subyektif dan obyektif. Dalam persfektif Hak Asasi Manusia (HAM), kebijakan Kepolisian yang menetapkan dua Aktivis ICW tersebut merupakan pelanggaran dan perampasan terhadap Hak-Hak warga negara yaitu Hak atas kebebasan berpendapat / berekspresi, sebagaimana diatur dan dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan lainnya yang melindungi Hak atas kebebasan berpendapat bagi warga Negara. Dengan melihat proses hukum / kriminalisasi terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, kami Ut Omnes Unum Sint Institute (Institut Satu Adanya) meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal Bambang Hendarso Danuri melakukan hal-hal yang kami sebutkan di bawah ini: 1. Menolak laporan / Pengaduan Kejaksaan Agung melalui Jaksa Widoyoko terhadap Dua Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari yang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik ; 2. Memerintahkan Penyidik Kepolisan di Mabes Polri yang menangani kasus ini untuk menghentikan proses hukum (kriminalisasi) dan tidak melakukan pemeriksaan terhadap Dua Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari karena tindakan / perbuatan Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari merupakan manifestasi kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak- Hak Sipil dan Politik, UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) , bukan wilayah hukum pidana ; 3. Menghentikan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi warga Negara dalam berbagai bentuk walaupun hal itu bertentangan dengan kebijakan Negara termasuk institusi penegak hukum Demikianlah Surat Protes dan Kecaman ini kami sampaikan dengan sebenarnya demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran sebagaimana diharapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas segala perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.
Badan Pengurus UT OMNES UNUM SINT INSTITUTE Masa Bakti 2008 – 2011
ttd
Jones Batara Manurung Ketua
ttd
Judianto Simanjuntak Sekretaris
Aktual
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Tembusan, Yth : 1. Presiden Republik Indonesia 2. Ketua DPR Republik Indonesia 3. Jaksa Agung Republik Indonesia 4. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung 5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPIDUM) Kejaksaan Agung 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) Kejaksaan Agung 7. Jaksa Yang Melaporkan Dua Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, yaiti Jaksa Widoyoko 8. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 9. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri 10. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri 11. Inspektorat Pengawasan Umum (IRWASUM) Mabes Polri 12. Ketua Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) 13. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 14. Pimpinan Indonesia Corruption Watch (ICW) 15. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari 16. Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) 17. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 18. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta 19. Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) & HAM Abdi Rakyat 20. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) 21. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta 22. Perhimpunan Advokat Indonesia Pengawal Konstitusi (PAIP KONSTITUSI) 23. Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) 24. Media Cetak dan Elektronik 25. Arsip
Contact Person : Anto Simanjuntak (021-31900868, 081 381 055 864)
Resensi
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
Kejahatan Negara Oleh Rista Magdalena (Bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
Judul Buku Penulis Penterjemah Editor Penerbit Tahun Data Fisik
: Kejahatan Negara (Pemerintah, Kekerasan dan Korupsi) ∗ : Penny Green, Tony Ward : Fajar S. Roekminto : Ignas Triyono : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia : 2008 : xvii, 398 halaman
Apalah artinya negara yang tak memiliki keadilan selain hanya segerombolan perampok di mana-mana? (Santo Agustinus, The City Of God) Kalimat yang diungkapkan oleh Santo Agustinus di atas mungkin merupakan ekspresi kekecewaan terhadap negara yang tidak mampu menciptakan keadilan bagi rakyat (warganegara) dan malah turut menjadi pengawal tumbuh dan berkembangnya ketidakadilan di dalam negara. Negara dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara kekuasaan dan pengemban amanat rakyat sudah sewajarnya tunduk pada kedaulatan rakyat. Namun sebagaimana yang sangat sering terjadi, negara-negara di seluruh belahan dunia justru kerapkali dikalahkan oleh arogansi korporasi dan kepentingan-kepentingan global serta kekerasan yang mengatasnamakan kekuasaan negara. Di Indonesia sendiri, kejahatan negara dalam bentuk korupsi terjadi di berbagai area pemerintahan. Merebaknya korupsi pada semua sektor menjadi bukti nyata bahwa kejahatan negara memang eksis. Buku Kejahatan Negara (Pemerintahan, Kekerasan dan Korupsi) adalah sebuah buku terjemahan dari tulisan Penny Green dan Tony Ward yang membahas berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh negara. Buku ini terdiri dari 12 (dua belas) bab yang menjabarkan secara rinci tentang kejahatan negara. Ada 10 (sepuluh) bentuk kejahatan negara yang dipaparkan dalam buku ini, mulai dari kejahatan korupsi, kejahatan negara dalam bencana alam, kejahatan polisi, kejahatan korporasi dalam negara, kejahatan terorganisir dalam negara, teror negara, kejahatan terorisme, penyiksaan, kejahatan perang, genosida serta kejahatan negara terhadap politik ekonomi. Dalam buku ini pula penulis memaparkan contoh-contoh riil kejahatan negara yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Cina, Spanyol, Irlandia Utara dan Irak. Dari 12 Bab (10 Bab yang membahas bentuk-bentuk kejahatan negara), di sini akan dilihat beberapa bentuk kejahatan negara yang dapat dikatakan relevan dengan konteks kekinian di Indonesia. Pada Bab 2 (dua), pembahasan difokuskan pada korupsi sebagai kejahatan negara. Korupsi ini melibatkan politisi dan aparatur negara yang secara familiar disebut dengan “kejahatan kerah putih politik.” Dalam bab ini, dibahas pula tentang bentuk suap yang sangat ∗
Diterjemahkan dari Judul asli: State Crime (Govermence, Violence and Corruption, London: Pluto Press, 2004.
1
Resensi
ASASI Edisi September – Oktober Tahun 2009
sederhana atau pertukaran kepentingan antara pelaku yang merupakan pejabat pemerintahan dan pelaku yang bukan pejabat pemerintahan sebagai bentuk penyimpangan yang sering dilakukan oleh pejabat negara. Di bab 4 (empat), pembahasan difokuskan pada Bencana Alam sebagai salah satu bentuk kejahatan negara. Kenapa Bencana Alam dikategorikan sebagai kejahatan negara? Bencana alam dikategorikan sebagai kejahatan negara ketika di sana terjadi bentuk penyimpangan oarganisasional. Memang bencana alam merupakan kejadian alami (misalnya, kita tidak dapat menyalahkan gunung berapi karena meletus), namun ini dikategorikan sebagai kejahatan negara karena di dalam mengelolah bencana alam, para sukarelawan (baik individu maupun organisasi) dapat saja melanggar hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh para korban. Pada bab 5 (lima), pembahasan difokuskan pada perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai kejahatan polisi, mulai dari penangkapan tidak sah terhadap kelas pekerja pria di bawah umur, “pembersihan sosial” yang dilakukan dengan pembunuhan anak-anak jalanan, prostitusi dan homoseksual di Kolombia. Perilaku polisi sebagai aparat negara dianggap sebagai sebuah kejahatan dan bersifat “menyimpang” ketika perilaku tersebut brutal dan korup. Dalam hal ini polisi dianggap sering melakukan tindakan-tindakan koersif yaitu melakukan pengancaman terhadap hak-hak orang lain agar melakukan atau tidak melakukan keinginannya. Dari 10 (sepuluh) bentuk kejahatan yang dibahas di dalam buku ini, terdapat satu poin penting yakni kesepuluh bentuk kejahatan yang diuraikan tersebut termasuk ke dalam kategori pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh negara terhadap manusia baik secara individu, sebagai anggota suatu komunitas di dalam masyarakat maupun manusia sebagai warganegara. Melalui apa yang telah diuraikan di dalam buku Kejahatan Negara (Pemerintahan, Kekerasan dan Korupsi) ini kita dapat melihat dengan jelas berbagai dimensi kejahatan yang dilakukan oleh negara. Meskipun ada beberapa hal teknis yang harus diperbaiki dalam buku ini, seperti tidak adanya pencantuman bab pada tiap pokok pembahasan, namun harus diakui bahwa buku ini sangat kontekstual dengan berbagai persoalan kekinian yang ada di Indonesia. Artinya, walaupun buku ini memaparkan kejahatan-kejahatan negara yang terjadi di luar Indonesia, namun buku ini sangat menarik untuk dibaca serta relevan untuk dijadikan sebagai bahan referensi penelaahan tentang pelanggaran negara yang pernah atau sedang berlangsung di negara Indonesia ini. Semoga apa yang disampaikan oleh buku ini mampu membuka cakrawala pengetahuan pembaca tentang kejahatan yang dilakukan oleh negara.
2