JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
VOLUME 19 NO 1, JANUARI 2017
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS KINERJA VARIABEL MAKROEKONOMI ATAS FLUKTUASI INFLASI DI INDONESIA TAHUN 2000-2016 Rina Susanti Fakultas Ilmu Komputer UPI YPTK Padang
ABSTRACK This research aimed to analyze the response of macro variables that money supply, output, exchange rates and fluctuations in interest rates on inflation in Indonesia. This type of research is descriptive and associative research that descriptive research variables and find whether there is influence between independent variables with the dependent variable. This type of data is secondary data. Data collection techniques in this research is to study literature and documentation from 2000 to 2015. The data analysis used is multiple regression estimation and classical assumption (multicolinearity, the normality of the data distribution, autocorrelation, and heteroscedasticity), t test and research F.Result is partially independent variables and significant effect on inflation and exchange rate fluctuations is the only independent variable that does not have an influence on the fluctuation of inflation.
Keyword: Performance Response, Macroeconomic Variable, Fluctuation in Inflation ABSTRAK Masalah yang muncul dari indikator variabel ekonomi merupakan masalah yang sangat berdampak serius pada perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon variabel-variabel ekonomi yaitu uang beredar, output, nilai tukar dan suku bunga terhadap fluktuasi inflasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel makroekonomi secara parsial maupun simultan terhadap fluktuasi inflasi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dan asosiatif yaitu penelitian yang mendiskriptifkan variabel penelitian dan menemukan ada tidaknya pengaruh antara variabel bebas dengan variabel terikat. Jenis data adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan dokumentasi dari tahun 2000 sampai 2015. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif dan induktif yaitu: uji prasyarat (multikolineritas, normalitas sebaran data, autokorelasi, dan heteroskedastisitas), analisis regresi berganda, uji t dan uji F. Hasil penelitian adalah terdapat pengaruh yang signifikan variabel makroekonomi secara parsial maupun simultan terhadap fluktuasi inflasi di Indonesia, kecuali nilai tukar tidak berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi.
Kata kunci: Respon kinerja,Variabel Makroekonomi, Fluktuasi Inflasi PENDAHULUAN Isu-isu utama makroekonomi pada setiap negara selalu menjadi pusat perhatian, karena isu makro memperlihatkan bagaimana suatu negara menjalankan kegiatan perekonomiannya. Berbagai polemik variabel
makroekonomi akan selalu dihadapi oleh setiap negara, tidak kecuali Indonesia. Indonesia dituntut harus mampu untuk menghadapi setiap situasi ekonomi, baik domestik maupun global. Disamping itu, pentingnya untuk selalu tetap waspada karena kondisi ekonomi global 113
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
saat ini yang tidak menentu dan lebih rentan terhadap krisis. Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit kronis yang sulit untuk disembuhkan. Di negara iniinflasi sering terjadi dibanding deflasi. Berbeda dengan negara Jepang yang lebih cenderung dalam jangka panjang mengalami deflasi secara terus menerus. Lonjakan inflasi di negara berkembang berisiko menggoyangkan perekonomian. Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang. Sementara negara-negara berkembang lainnya mengalami tingkat inflasi antara 3% sampai 5% pada periode 2005-2015, sedangkan Indonesia memiliki rata-rata tingkat inflasi tahunan sekitar 8,5% dalam periode yang sama (ADB 2015). Krisis pangan yang melanda dunia dimulai akhir tahun 2007, ditandai gagal panen yang terjadi di negara Rusia dan Cina akibat bencana alam mengakibatkan harga komoditi bahan pangan dunia naik. Di tahun 2008, dibeberapa negara seperti Afganistan, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, Nepal tidak kecuali Indonesia tidak luput dari dampak gagal panen ini. Gagal panen menyebabkan harga pangan dunia meningkat dan mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat inflasi domestik. Di Indonesia imbas krisis pangan dunia cukup berdampak besar pada laju inflasi domestik, tercatat di tahun 2008 laju inflasi meningkat sebesar 11,06%. Kenaikan inflasi juga berpengaruh pada stabilitas makroekonomi domestik lainnya. Keadaan ini memaksa Bank Sentral melakukan kebijakan diskonto dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 9,18% dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang beredar. Namun kebijakan diskonto kurang efektif dalam mengontrol jumlah uang yang beredar di masyarakat. Disisi lain, output domestik yang digambarkan oleh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
di dalam negeri (PDB) mengalami penurunan dengan pertumbuhan sebesar 6,01%. Meskipun besaran penurunan tersebut tidak terlalu signifikan dibanding tahun 2007. Inflasi tahun 2015 merupakan yang terendah lima tahun terakhir. Keadaan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk menekan laju inflasi. Lonjakan inflasi berisiko melambatnya kinerja ekonomi dan sebaliknya kondisi inflasi yang stabil disebabkan oleh produksi barang dan jasa dalam negeri yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun penurunan output di tahun 2015 yang merupakan pertumbuhan ouput terendah sejak 6 tahun terakhir tidak menyebabkan naiknya tingkat harga. Penurunan suku bunga acuan malah menyerap jumlah uang beredar di masyarakat. Keadaan inilah yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Di samping itu, perubahan struktural ekonomi di negara Tiongkok juga sangat berpengaruh di seluruh dunia (Sri Mulyani, 2016). Kelesuan ekonomi Tiongkok sangat berdampak besar pada ekonomi negaranegara berkembang. Di Argentina, melemahnya ekspor ke Tiongkok telah melemahkan ekonomi Argentina yang memiliki pangsa pasar ekspor 35% ke Tiongkok. Kondisi yang sama juga di alami oleh negara-negara di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah, serta Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tiongkok menerima 11% barang ekspor Indonesia. Di bulan agustus 2015, nilai tukar rupiah terhadap dollar yang mencapai Rp 14.050 per US$ 1 tidak lepas dari fenomena ekonomi global dan devaluasi mata uang yuan, namun pemerintah juga harus melihat kinerja tim ekonomi dalam negeri. Melihat potensi perekonomian Indonesia yang cukup bagus, namun hal tersebut bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga stabilitas harga pangan dengan menjaga pasokan. Perekonomian Indonesia yang masih 114
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
dilanda ketidakpastian salah satunya dampak dari belum optimalnya perbaikan ekonomi dunia. Untuk itu perlunya kebijakan yang tepat dari bank sentral dalam mengendalikan stabilitas ekonomi makro Indonesia. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ; Pertama, seberapa besar pengaruh jumlah uang beredar terhadap fluktuasi inflasi?, kedua, seberapa besar pengaruh output terhadap fluktuasi inflasi?, ketiga seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah terhadap fluktuasi inflasi?, keempat, seberapa besar pengaruh suku bunga terhadap fluktuasi inflasi?, dan yang kelima adalah seberapa besar pengaruh jumlah uang beredar, output, nilai tukar rupiah dan suku bunga terhadap fluktuasi inflasi? Inflasi Di negara berkembang, inflasi diibaratkan sebuah penyakit yang tidak terelakkan dan perlu penanganan yang serius dan tepat. Setiap negara memiliki stadium inflasi yang berbeda sehingga penanganan pun tidak akan sama tergantung dari kondisi perekonomian. Menurut Nanga (2005:237) inflasi adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus.Selanjutnya menurut Mishkin (2002) mendefiniskan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga yang kontinyu dan terus menerus mempengaruhi individu-individu, bisnis, dan pemerintah. Jadi inflasi adalah keadaan ekonomi suatu negara dimana tingkat harga mengalami kenaikan secara terus menerus yang akan berdampak secara makro pada variabel-variabel ekonomi lainnya, maka perlu penanganan dan kebijakan diskonto yang tepat. Penerapan kebijakan diskonto yang ketat dengan meningkatkan suku bunga acuan yang diharapkan mampu menyerap jumlah uang beredar dimasyarakat sehingga meningkatkan akomodasi tabungan.
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
Teori inflasi secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi yang masing masing menyoroti aspek-aspek tertentu (Boediono, 2009). a. Teori Kuantitas Teori kuantitas ini menyatakan bahwa proses inflasi itu terjadi karena 2 hal yaitu: pertama jumlah uang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Kedua, laju inflasi oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang. b. Teori Keynes Teori ini menerangkan bahwa proses inflasi terjadi karena permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia. Hal ini yang disebut juga dengan inflationary gap. Inflationary gap terjadi apabila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan tersebut, pada tingkat harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat. Harga-harga akan naik, karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia. Adanya kenaikan harga-harga tersebut berarti bahwa kegiatan rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak terpenuhi, selanjutnya mereka akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi, baik golongan pemerintah melalui pencetakan uang baru, atau para pengusaha swasta melalui kredit dari bank, atau pekerja kenaikan tingkat upah yang lebih besar. Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan pada tingkat harga yang berlaku. c. Teori Strukturalis Teori ini didasarkan atas pengalaman 115
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
di negara-negara Amerika Latin. Teori memberikan perhatian yang besar terhadap struktur perekonomian Negara-negara sedang berkembang. Hal ini disebabkan dengan faktorfaktor structural dari perekonomian. Efek Inflasi Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effect (Nopirin, 2000:32-34). a. Efek Terhadap Pendapatan (Equity Effect) Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan akan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikianlah juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan persentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan persentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat (Nopirin 2000:32). b. Efek Terhadap Efisiensi (Efficiency Effects) Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi, permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dari barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu (Nopirin, 2000:32-34). c. Efek Terhadap Output (Output Effects) Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga dibarengi dengan penurunan output (Nopirin, 2000:33). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi a. Jumlah Uang Berdar Menurut Dornbusch dan Fisher (2008:339) jumlah uang beredar atau sering disingkat dengan M1 adalah jumlah rekening deposito yang dapat dijadikan cek (rekening koran di bank), Certificate of Deposit (CD) ditambah uang kartal (currency) yang dipegang oleh masyarakat. Fisher membahas keterkaitan antara jumlah total uang M (uang beredar) dan total pengeluaran dari barang dan 116
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
jasa dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian P x Y, dimana P adalah tingkat harga dan Y adalah ouput agregat (pendapatan). Pengeluaran total P x Y juga disebut sebagai pendapatan agregat nominal untuk perekonomian atau sebagai PDB nominal. Konsep yang memfasilitasi keterkaitan antara M dan P x Y disebut sebagai percepatan uang (velocity of money), yaitu ratarata jumlah berapa kali per tahun (perputaran) dari satu unit mata uang digunakan untuk membeli total barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Percepatan (velocity V) dinyatakan secara lebih jelas sebagai total pengeluaran P x Y dibagi dengan jumlah uang M. ..................................... (1) Dengan mengalikan kedua sisi persamaan dengan M, kita mendapatkan persamaan pertukaran (equation of exchange), yang menghubungkan pendapatan nominal dengan jumlah uang dan percepatan. M x V = P x Y ............................. (2) Persamaan pertukaran tersebut menyatakan bahwa jumlah uang dikalikan dengan jumlah berapa kali uang ini digunakan dalam satu tahun tertentu harus sama dengan pendapatan nominal (total nominal dari jumlah yang dikeluarkan untuk membeli barang dan jasa dalam tahun itu). Teori jumlah uang mengimplikasikan bahwa jika M naik dua kali lipat, P juga naik dua kali lipat dalam jangka pendek, karena V dan Y adalah konstan. Bagi ekonomi Klasik, teori jumlah uang memberikan penjelasan mengenai pergerakan tingkat harga: pergerakan tingkat harga semata-mata merupakan akibat dari perubahan jumlah uang.Bukti empiris untuk pernyataan Friedman bersifat mendasar.
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
Kapanpun inflasi suatu negara sangat tinggi untuk suatu periode waktu yang terus menerus, laju pertumbuhan uang beredarnya juga sangat tinggi. Bukti jenis ini tampak mendukung proposisi bahwa inflasi yang sangat tinggi merupakan akibat laju pertumbuhan uang yang sangat tinggi. Pertumbuhan uang yang meningkat tampak sebagai suatu peristiwa yang eksogen, laju inflasi yang tinggi untuk suatu periode yang terus menerus diikuti dengan kenaikan pertumbuhan uang akan memberikan bukti yang kuat bahwa pertumbuhan uang yang tinggi merupakan kekuatan pendorong inflasi. Dapat disimpulkan bahwa semakin banyaknya jumlah uang yang beredar akan menyebabkan inflasi semakin tinggi. b. Output Dalam Mishkin (2003), Keynes memperhatikan penjelasan tingkat output dan kesempatan kerja yang rendah selama depresi yang besar. Oleh karena inflasi bukan merupakan suatu persoalan yang serius selama periode ini. Ia mengasumsikan bahwa output dapat berubah tanpa menyebabkan perubahan dalam harga. Output yang digunakan dalam hal ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP), Menurut Nanga (2005:13) Produk Domestik Bruto adalah total nilai atau harga pasar (market prices) dari seluruh barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya 1 tahun). Produk Domestik Bruto merupakan salah satu ukuran atau indikator yang secara luas digunakan untuk mengukur kinerja ekonomi (economic performance) atau kegiatan makroekonomi dari suatu negara. 117
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
Dalam Nanga (2005:241), Penekanan Keynes pada variabilitas output dan jangka pendek (short run) juga memberi kontribusi terhadap pandangan bahwa inflasi bukanlah murni sebagai fenomena moneter. Keynes mengatakan bahwa pengangguran dapat saja terjadi untuk suatu jangka yang panjang atau bahkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Dengan adanya pengangguran, maka suatu kenaikan dalam di dalam jumlah uang beredar (Ms) (kecuali dalam kasus ekstrim) akan menyebabkan, baik tingkat harga maupun tingkat output mengalami kenaikan. Dengan kenaikan di dalam output, kenaikan di dalam tingkat harga akan menjadi lebih kecil daripada kenaikan di dalam jumlah uang beredar (tidak proporsional), sekalipun kecepatan perputaran uang beredar itu konstan. Dalam Nanga (2005): Y = + α (P – Pe)........................ (3) Persamaan ini menyatakan bahwa penyimpangan output dari tingkat alamiah dikaitkan dengan penyimpangan tingkat harga dari tingkat harga yang diharapkan. Jika tingkat harga lebih tinggi dari tingkat harga yang diharapkan, maka output melebihi tingkat alamiah. Jika tingkat harga lebih rendah dari harga yang diharapkan, output turun lebih rendah dari tingkat alamiah. c. Suku Bunga Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:190), bunga adalah pembayaran yang dilakukan untuk penggunaan uang. Suku bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit waktu yang disebut sebagai persentase dari jumlah yang dipinjamkan. Dengan kata lain, orang harus membayar kesempatan untuk meminjam uang. Para ekonom menyebutkan
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli dengan tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan tingkat bunga nominal, r tingkat bunga riil, dan π tingkat inflasi, maka hubungan di antara ketiga variabel ini ditulis sebagai: r = i – π ..................................... (4) Tingkat bunga riil adalah perbedaan di antara tingkat bunga nominal dan tingkat inflasi (Mankiw, 2003). Persamaan di atas merupakan persamaan Fisher (Fisher equation). Persamaan itu menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan: karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. Teori kuantitas uang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan uang menentukan inflasi. Persamaan Fisher lalu meminta kita menambah tingkat bunga riil dengan tingkat inflasi untuk menentukan tingkat bunga nominal. Menurut teori kuantitas uang, kenaikan dalam pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Menurut persamaan Fisher, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal (Mankiw: 2003). Tingkat bunga riil adalah perbedaan di antara tingkat bunga nominal dan tingkat inflasi. Persamaan Fisher menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan: karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. d. Nilai tukar Pengaruh tingkat inflasi terhadap nilai tukar dapat dijelaskan dengan teori purchasing power parity 118
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
(PPP Theory) atau paritas daya beli. Menurut Gustav Cassel teori PPP relative dapat diketahui bahwa nilai tukar mata uang akan berubah untuk mempertahankan daya belinya. Pada intinya teori ini PPP Theory mencoba menjelaskan pergerakan nilai tukar antara mata uang dua Negara yang bersumber dari tingkat harga setiap negara. (Krugman, 2005.117). Dalam teori ini dijelaskan bahwa nilai rata-rata jangka panjang nilai tukar antara dua mata uang bergantung pada daya beli relatif. Jika suatu mata uang memiliki daya beli yang lebih tinggi di dalam negeri, disebut undervalued sehingga ada dorongan untuk menjual mata uang asing dan memiliki mata domestic dilakukan untuk mendapatkan daya beli yang lebih tinggi di pasar domestik. Hal ini mendorong menguatnya nilai mata uang domestik, sebaliknya bila mata uang memiliki nilai daya beli yang lebih rendah dari negara sendiri menimbulkan keinginan untuk menjual mata uang domestik dan membeli mata uang asing (Richard, 1997:209). Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Jumlah uang beredar berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi. 2. Output berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi. 3. Nilai tukar rupiah berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi. 4. Suku bunga berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi. 5. Jumlah uang beredar, output, nilai tukar rupiah dan suku bunga berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi. METODOLOGI PENELITIAN Jenis data yang digunakan pada penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari satu variabel terikat yaitu inflasi dan empat variabel bebas yang
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
terdiri dari jumlah uang beredar,output dan suku bunga. Data sekunder ini bersumber pada Bank Indonesia dan beberapa perpustaan lainnya. Definisi operasional : 1. Inflasi adalah kenaikan harga barang kebutuhan umum secara terusmenerus. Inflasi dalam satuan persen (%) pertahunnya. 2. Jumlah uang beredar adalah uang yang dalam artian sempit yaitu uang kartal dan uang giral yang dipegang oleh masyarakat. Data jumlah uang yang beredar yang digunakan diukur dalam satuan rupiah pertahun. 3. Output adalah nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi oleh domestik dalam harga konstan selama kurun waktu tertentu (biasanya 1 tahun). 4. Nilai tukar adalah pertukaran antara nilai tukar dolar Amerika Serikat (US$) dengan rupiah (Rp), yaitu perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut. 5. Suku bunga SBI adalah rata-rata suku bunga SBI yang ditetapkan oleh bank Indonesia. Data suku bunga SBI yang digunakan diukur dalam satuan persentase (%) pertahun. Alat analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regersi berganda. dengan model penelitian sebagai berikut Y = f (Xt1, Xt2, Xt3, Xt4)……………..……. (1) Dimana : Y = Inflasi X1 = Uang beredar X2 = output X3 = Nilai tukar X4 = Suku bunga Hubungan antara variabel-variabel tersebut dinyatakan dalam model fungsi Cobb-Douglas dapat ditulis pada persamaan sebagai berikut (Soekarwati, 2003:154) yaitu: Y = X t 1 1 X t 2 2 X t 3 3 119
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
Uji t (uji regresi secara parsial) Untuk menyelidiki apakah masingmasing variabel yang ditaksir menjadi hubungan yang berarti, maka pengujian t-tes dilakukan untuk masing-masing variabel. Dengan arti kata pengujian ini dilakukan secara individu. Pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan rumus (Supranto,1995:148) t hit =
i …………………..……(2) Se ( i )
Dimana: t hit = Nilai t yang dihitung i = Koefisien regresi xi Se ( i ) = Standar error koefisien regresi
i Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung yang didapat dengan nilai t total yang ketentuannya sebagai berikut: a. Jika t hitung< t tabel atau – t hitung - t tabel, Ho diterima dan Ha ditolak, berarti variabel bebas tidak ada pengaruh terhadap variabel terikat. b. Jika t hitung t tabel atau – t hitung< - t tabel, ho ditolak dan Ha diterima, maka berarti variabel bebas terdapat pengaruh terhadap variabel terikat. Uji F (uji regresi secara simultan) Pengujian ini dilakukan untuk melihat antara variabel bebas dengan variabel tak bebas secara keseluruhan. Hasil pengujian ini juga akan dibandingkan dengan nilai yang ada pada Tabel F. Pengujian ini dapat dilakukan dengan menggunakan rumus
R2 F hitung =
1 R
k 1 …………....…. (3)
2
nk
Dimana : R2 = Koefisien Determinasi k = Jumlah Variabel Pengaruh dan Variabel Terpengaruh n = Jumlah Tahun Pengamatan Hipotesis uji : F hit F tabel maka Ho ditolak / Ha diterima
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
F hit < F tabel maka Ho diterima / Ha ditolak Disamping memakai uji t dan uji F untuk menguji hipotesis juga dipakai uji sig dengan 0,05 yang dipakai dengan kriteria sebagai berikut: Jika sig < :Ha ditolak Jika sig ≥ : Ha diterima Uji asumsi klasik 1. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Menurut Santoso (2001) pada umumnya jika nilai varians inflation factor (VIF) besar dari 5 maka variabel tersebut mempunyai persoalan multikolinearitas dengan variabel bebas lainnya. 2. Uji Autokorelasi Autokorelasi digunakan apabila data yang digunakan adalah data time series gunanya adalah untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, berarti ada problema autokorelasi. Model yang baik adalah model yang bebas dari autokorelasi (Idris,2004:69). Dalam penelitian ini menggunakan uji Run test, digunakan untuk melihat apakah data residual bersifat acak atau tidak. Bila tidak acak, berarti terjadi masalah autokorelasi. Residual autokerasi di olah dengan uji run test, kemudian dibandingkan dengan tingkat signifikan yang dipergunakan. Apabila nilai hasil uji run test lebih besar dari pada tingkat signifikan, maka tidak terdapat masalah otokorelasi pada data yang diuji. 3. Uji Heterokedastisitas Heterokedastisitas adalah variabel gangguan semuanya tidak mempunyai varians yang tidak sama. 120
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
Selain itu, heterokedastisitas adalah variabel pengganggu memiliki varians yang tidak sama dari satu observasi ke observasi lainnya atau varians antar variabel independent tidak sama (Gujarati,1999:177). Untuk melacak keberadaan heterokedastisitas digunakan uji glejser. Uji glejser adalah uji hipotesis untuk mengetahui apakah sebuah model regresi memiliki indikasi heterokedastisitas dengan cara meregres absolud residual. 4. Uji Normalitas Sebaran Data Untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau distribusi normal. Data yang baik adalah yang mempunyai pola seperti distribusi normal (Idris, 2004:66). Maka sebelum pemakaian teknik statistik dilakukan uji normalitas secara nonparametric dengan teknik Kolmogrov-Smirnov. HASIL DAN PEMBAHASAN Persamaan Regresi dan Estimasi Pada penelitian ini terdapat empat variabel bebas yaitu uang beredar, out put, nilai tukar dan suku bunga. Masingmasing variabel akan diestimasi terhadap fluktuasi inflasi berdasarkan analisis regresi berganda teknik analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis regresi dengan model penelitian sebagai berikut: Y = -14101+ 0,001 X1 + 1.881 X20,497 X3 + 1.488 X4 Tabel 1. Nilai Koefisien Regresi Linear Berganda Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients t
Model
B
Std. Error
1 (Constant)
-14.101
6.253
.001
.001
Output
1.881
.717
Nilai tukar
-.497
.362
Suku bunga
1.488
.193
1.368
Uang beredar
Sig .
Beta -2.255
.045
2.444
.033
.427
2.624
.024
-.205
-1.373
.197
7.728
.000
.471
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
mengunakan α=5%, menunjukkan hanya satu variabel bebas, yaitu variabel nilai tukar yang tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fluktuasi inflasi secara parsial, sedangkan variabel bebas yang lainnya berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Variabel bebas secara keseluruhan hanya memberikan pengaruh cukup besar sebesar 86% (koefisien determinasi) terhadap variabel terikatnya, sehingga 14% dari perubahan variabel terikat ditentukan oleh berbagai faktor di luar faktor-faktor yang dikategorikan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini. Berdasarkan teknik analisis dengan menggunakan koefisien regresi, maka secara keseluruhan model tersebut dapat dikategorikan sebagai model yang baik dalam menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (F = 16,98 dengan α = 5%), dan pengaruh secara parsial cukup besar. Uji regresi secara parsial dan secara simultan 1. Uji regresi t (secara parsial) Berdasarkan hasil analisis uji t di atas, diketahui bahwa variabel uang beredar mempunyai nilai t hitung 2,444 > dari t tabel sebesar 1,795 dengan tingkat signifikansi 0,003 lebih kecil dari α = 0,05 berarti H0 ditolak dan menerima H1. Hal ini menunjukkan bahwa variabel uang beredar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fluktuasi inflasi. Variabel output berpengaruh signifikan (Sig = 0,024 < = 0,05) terhadap fluktuasi inflasi dengan nilai t hitung 2,624 > dari t tabel sebesar 1,795.Variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan (Sig = 0,197 > = 0,05) terhadap fluktuasi inflasi dengan nilat t hitung -1,373< dari t tabel sebesar 1,795. Variabel suku bunga berpengaruh signifikan (Sig = 0,000 < = 0,05) terhadap fluktuasi inflasi dengan nilai t hitung 7,728 > dari t tabel sebesar 1,795.
a Dependent Variable: Inflasi
Hasil
penghitungan
dengan 121
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
2. Uji regresi F (secara simultan) Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji F ditemukan bahwa variabel makroekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jumlah fluktuasi inflasi dengan sig 0,000 <α = 0,05 dengan nilai F hitung > F tabel (16,984 >3,06), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh yang signifikan dari uang beredar, output, nilai tukar dan suku bunga terhadap fluktuasi inflasi. Nilai positif pada F hitung menunjukkan pengaruh yang searah. Uji Prasyarat Analisis (Uji Asumsi Klasik) 1. Uji Multikolinearitas Model dalam penelitian ini bebas dari multikolinearitas. Hal ini terlihat dari varians inflation factor (VIF )masing-masing variabel bebas besar dari 5%, sehingga disimpulkan tidak ada hubungan sesama variabel bebas.
Lanjutan tabel 3 Unstandardized Residual Number of Runs Z Asymp. Sig. (2-tailed) a Median
Dengan demikian data yang dipergunakan cukup random sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi pada data yang di uji. 3. Uji Heterokedastisitas Output hasil uji glejser terlihat keempat variabel bebas memiliki nilai signifikasi variabel besar dari 0,05. Sehingga diputuskan tidak ada indikasi heterokedastisitas dalam model penelitian ini. Tabel 4. Uji Glejser
Model
1
Tabel 2. Nilai VIF Collinearity Statistics Tolerance
VIF
Uang beredar
.341
2.937
Output
.479
2.080
Nilai tukar
.566
1.767
Suku bunga
.404
2.475
Model
1
Keterangan
(Constant) Uang beredar Output Suku bunga Nilai Tukar
Unstandar dized Coefficie nts
Standardized Coefficients
Std. B Error -3.496 3.498
Sig.
Beta
B -1.000
.000
.000
.573
1.336
.495 .215 -.099
.401 .108 .203
.446 .786 -.162
1.234 1.996 -.488
Sig. Std.Error .339 .209 .243 .071 .635
a Dependent Variable: RES2 Tidak ada Multikolinieritas Tidak ada Multikolinieritas Tidak ada Multikolinieritas Tidak ada Multikolinieritas
4. Uji Normalitas Sebaran Data Uji normalitas dalam model penelitian ini adalah normalitas secara nonparametric dengan teknik Kolmogrov-Smirnov. Tabel 5. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
a Dependent Variable: Inflasi
2. Uji Autokorelasi Penelitian ini menggunakan uji Run Test untuk mendeteksi autokorelasi dalam model yang digunakan. Dari hasil uji yang digunakan, disimpulkan hasil Run Test lebih besar daripada α = 5%, Nilai yang dihasilkan adalah 0,796. Tabel 3. Runs Test Unstandardized Residual Test Value(a) Cases < Test Value Cases >= Test Value Total Cases
8 -.259 .796
.05837 8 8 16
Unstandardized Residual N Normal Parameters(a,b)
16 Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences Absolute
.0000000 1.44663439 .115
Positive
.105
Negative
-.115
Kolmogorov-Smirnov Z
.460
Asymp. Sig. (2-tailed)
.984
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Berdasarkan berdasarkan uji normalitas dihasilkan nilai signifikansi 122
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
sebesar 0,669 besar dari α = 5%, disimpulkan bahwa data yang diuji berdistribusi normal. Hasil analisis mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi makro Indonesia sebagian besar memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fluktuasi inflasi sebesar 86%. Namun nilai tukar satusatunya variabel makro yang tidak berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi inflasi. Apabila dilihat perkembangan inflasi di Indonesia,di zaman presiden Sukarno tingkat inflasi sangat tinggi, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak bijaksana (kalau perlu uang, cetak saja). Di zaman orde baru pemerintah berusaha menekan inflasi dengan rata-rata di bawah 10% setahun. Hanya waktu krisis September 1998 inflasi meningkat tajam mencapai angka 82,40%. Namun pada saat pemerintahan dibawah Presiden Habibie melakukan kebijakan moneter ketat dan menghasilkan tingkat inflasi yang (paling) rendah yang pernah dicapai yaitu sebesar 2,01% pada tahun 1999. Selanjutnya pada tahun 2000 hingga 2006 inflasi terus terjadi dengan nilai yang terbilang tinggi yaitu rata-rata mencapai 10%. Di tahun 2005 berbagai indikator ekonomi makro moneter menunjukkan perekonomian Indonesia belum stabil. Ketidakstabilan makroekonomi dilihat dari peningkatan inflasi sebesar 17,11% yang merupakan inflasi tertinggi pasca krisis moneter. Risiko kenaikan inflasi sebagai dampak rencana pemerintah menaikkan harga-harga terutama harga BBM. Tingkat inflasi yang tinggi mencerminkan ketidakstabilan harga yang menyebabkan jumlah uang beredar meningkat sebesar 17,29% dan terdepresiasinya nilai tukar rupiah sebesar 8,6%. Kondisi mata uang yang melemah, Bank Indonesia merespon masalah ini dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri sebesar 11,83% untuk disesuaikan dengan suku bunga
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
internasional, namun langkah tersebut dinilai terlambat. Kebijakan moneter dengan mengendalikan jumlah uang beredar seringkali digunakan oleh bank sentral dalam mengendalikan laju inflasi. Kebijakan ini digunakan pemerintah karena melihat perekonomian Indonesia yang relatif stabil sehingga cukup efektif dalam menekan laju inflasi dan menyeimbangkan peredaran jumlah uang di masyarakat. Semakin banyak jumlah uang beredar maka inflasi akan semakin tinggi. Menurut kaum Klasik penyebab timbulnya inflasi atau kenaikan harga adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar. Dengan demikian inflasi menurut mereka adalah gejala atau fenomena moneter. Pemerintah (pasca krisis) telah berusaha keras menjaga tingkat inflasi, namun berbagai tekanan dari dalam dan luar negeri masih sangat tinggi mempengaruhi pergerakan perekonomian. Menurut sudut pandang kaum monetaris jumlah uang beredar adalah faktor utama penyebab timbulnya inflasi di Indonesia. Persentase uang kartal yang beredar lebih kecil dari pada persentase jumlah uang giral yang beredar. Sehingga mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Ini mengindikasi bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam perekonomian subsisten akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi. Kuantitas ouput yang tersedia di suatu negara juga dapat mengakibatkan meningkatnya laju inflasi. Hal ini disebut dengan inflasi karena adanya tarikan permintaan (demand pull inflation). Keynes menekankan pada variabilitas output dalam jangka pendek (short run) juga memberikan kontribusi 123
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
terhadap pandangan bahwa inflasi bukanlah murni sebagai fenomena moneter. Jadi dapat dimaknai bahwa ketersediaan output juga dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Dengan kenaikan output, kenaikan dalam tingkat harga akan menjadi lebih kecil daripada kenaikan didalam jumlah uang beredar (tidak proporsional), sekalipun kecepatan perputaran uang beredar konstan. Pertumbuhan output periode 2008 mengalami pernurunan sebesar 5,35 persen menyebabkan lonjakan inflasi yang cukup tinggi sebesar 11,06 persen. Meningkatnya harga komoditas pangan dunia (kebutuhan bahan pangan impor seperti kedelai, jagung dan terigu otomatis meningkatkan biaya pokok produksi perusahaan juga memberikan kontribusi angka inflasi yang sangat besar. Penyumbang inflasi terbesar pada tahun 2008 lebih banyak dari sisi penawaran (cost push inflation). Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tidak sepenuhnya dapat mengendalikan inflasi. Kebijakan moneter yang dilakukan hanya dapat mempengaruhi inflasi dari sisi permintaan dengan menaikkan suku bunga 9,18 persen untuk dapat mengurangi pengeluaran masyarakat dan pemerintah sehingga dapat menurunkan inflasi secara keseluruhan. Selain itu, kenaikkan suku bunga dapat menguatkan nilai tukar dari Rp 11.005 menjadi Rp 9.466. Tingkat inflasi tahun 2001 mencapai angka 12,55 persen, angka ini lebih tinggi dibandingkan angka inflasi tahun sebelumnya yang hanya 9,3 persen. Keadaan dilatarbelakangi oleh kenaikkan harga komoditas kebutuhan primer karena penurunan ketersediaan ouput. Faktor lain penyebab tingginya inflasi adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan diikuti kenaikan tarif dasar listrik dan telefon. Pada tahun 2002 laju inflasi menurun dengan angka 10,03 persen. Penguatan
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
nilai tukar rupiah turut sebagai faktor penyebabnya turunnya laju inflasi dan juga tersediaanya pasokan kebutuhan pokok masyarakat khususnya beras (operasi pasar beras yang dilakukan bulog) dengan kenaikkan ouput sebesar 23,63 persen dibanding tahun lalu. Perkembangan suku bunga Indonesia selama 16 tahun terakhir cenderung berfluktuatif. Tingkat suku bunga tertinggi terjadi di tahun 2001. Pada tahun 2005 Bank Indonesia menaikkan suku bunga instrument operasi moneter untuk melanjutkan upaya penyerapan uang beredar di masyarakat yang cenderung meningkat setiap tahunnya dan upaya untuk menurunkan laju inflasi yang tembus ke angka 17,11 persen. Kebijakan untuk menaikkan suku bunga Indonesia di anggap mahal, karena kenaikkan suku bunga dilakukan untuk memperketat likuiditas uang dalam perekonomian. Apabila kebijakan tersebut tidak mampu menekan laju inflasi maka akan berdampak naiknya suku bunga pinjaman. Inflasi sepanjang tahun 2012 mencapai 5,7 persen yang merupakan angka terendah selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2011 sebesar 6,59 persen dan 2010 sebesar 6, persen. Inflasi tahun ini merupakan hal positif untuk perekonomian. Tingkat inflasi yang rendah disebabkan karena harga komoditas pangan global yang sedang turun dan sementara dalam negeri disebabkan oleh faktor musim yang memberikan pengaruh signifikan terhadap komoditas beras. Komoditi ini merupakan salah satu komoditas yang berkontribusi terhadap inflasi. Pada kuartal III tahun 2015, pertumbuhan output dalam negeri dimotori oleh pertumbuhan sektor primer. Pertumbuhan sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dengan mencatat pertumbuhan sebesar 3,21 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh panen raya pada beberapa 124
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
komoditas unggulan disektor ini. Keadaan ini dapat memenuhi permintaan dan konsumsi masyarakat sehingga tingkat inflasi dapat ditekan 3,35 persen dengan penurunan 59 persen dibanding tahun lalu. Namun penurunan inflasi malah menyebabkan rupiah terdepresiasi ke level Rp 13.600 dari Rp 12.835. terdepresiasinya nilai tukar disebakan oleh kondisi perekonomian global saat ini yang masih berada pada fase yang penuh ketidakpastian. Hal ini ditandai oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju dan berkembang.
Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro dengan mengelola sisi permintaan dan sisi penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan. 2. Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia harus memperhatikan dampak terhadap variabel makro lainnya termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga kebijakan yang diambil dapat dengan cepat menyesuaiakan diri dengan keadaan perekonomian yang terjadi.
SIMPULAN Berdasarkan uji secara parsial respon kinerja makroekonomi atas fluktuasi inflasi, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap fluktuasi inflasi dengan sig = 0,033 < = 0,05. 2. Output berpengaruh namun positif dan signifikan terhadap fluktuasi inflasi dengan sig = 0,024 < = 0,05. 3. Nilai tukar tidak berpengaruh terhadap fluktuasi inflasi dengan sig = 0,197 < = 0,05. 4. Suku bunga berpengaruh namun positif dan signifikan terhadap fluktuasi dengan sig = 0,00< = 0,05. 5. Secara bersama-sama respon kinerja variabel makroekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap fluktuatif inflasi sebesar 86%, berarti 14 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel yang diteliti. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kondisi kestabilan perekonomian negara saat ini mengalami siklus naik turun, diperlukan kebijakan agar perekonomian dalam kondisi stabil. Pemerintah dalam hal ini Bank
DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank. 2015. Outlook 2015 Financing Asian’s Future Growth. ADB Badan Pusat Statistik. 2009. Pendapatan Nasional Indonesia. Jakarta : BPS Bank Indonesia.Berbagai Edisi. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. Budiono. 2009. Pengantar Ekonomi Mikro I. Yogyakarta: BPFE. Dornbusch, Rudiger, Stanley Fisher dan Richard Startz. 2008. Makroekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Media Global Edukasi Idris. 2004. Pelatihan Analisis SPSS. Padang: Tim Labor Komputer fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang. Gujarati, Damodar. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan Drs. Ak. Sumarno Zain, MBA. Jakarta : Erlangga. Krugman, Paul. R.dan Mauriceo Obstfeld. 2005. Ekonomi Internasional edisi delapan. Jakarta: PT Grafindo Persada. Mankiw, N.Gregory.2003. Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Miskhin, Frederic S. 2009. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Edisi Terjemahan. Jakarta : Salemba Empat. 125
JURNAL EKONOMI & BISNIS DHARMA ANDALAS VOLUME 19 NO 1,JANUARI2017
P- ISSN 1693 - 3273 E- ISSN 2527 - 3469
Muana, Nanga. 2005. Makro Ekonomi, teori, Masalah dan Kebijakan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Pertadiredja. Nopirin 2000. Ekonomi Internasional. Yogyakarta : BPFE Paul A Samuelson dan William D Nordhaus. 2003. Ilmu Mikroekonomi. Jakarta: Media Global Edukasi Soerkatawi. 2003. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta: CV Rajawali Supranto, J. 1995. Ekonometrika, Buku Satu. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia
126