KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram) A. Perkembangan dan perubahan kewenangan perkara Waris 1. Pengadilan Agama pada zaman Kolonial Belanda : Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dibentuk berdasarkan Staatsblaad Tahun 1882 Tanggal 19 Januari 19882, Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur berdasarkan Staatsblaad 1937 No. 638 dan 639. sedangkan Pengadilan Agama di luar Jawa Madura dibentuk berdasarkan Peratuan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. Berdasarkan Staatsblaad Tahun 1882 Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara perkawinan dan perkara waris. Kemudian kewenangan menyelesaikan perkara waris dicabut oleh Pemerintah Belanda berdasarkan Indishe Staatsregeling Tahun 1919 Pasal 134 (2) sebagai berikut : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim Agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi”. Arti pasal ini adalah Hukum Islam baru berlaku seandainya telah diresepsi oleh Hukum Adat. Dengan demikian wewenang Pengadilan Agama diperkecil dan dibatasi wewenangnya pada Hukum Perkawinan saja, sedangkan perkara waris pada waktu itu dicabut dan kemudian dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Negeri melalui Staatsblaad Tahun 1937 No. 116 dan 610.
1
2.
Pengadilan Agama setelah kemerdekaan RI. Pengadilan Agama di luar Jawa dan
Madura dibentuk berdasarkan Peratuan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. berdasarkan Pasal 4 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura berwenang menyelesaikan sengketa perkara perkawinan dan perkara waris. Dengan demikian Pengadilan Agama di Indonesia pada saat yang sama ketika itu terjadi perbedaan kewenangan dalam menyelesaikan perkara Waris, ya itu Pengadilan Agama di Jawa dan Madura tidak berwenang menyelesaikan perkara waris sedangkan Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Madura berwenang menyelesaikan perkara Waris. 3.
Pengadilan Agama berdasarkan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam konsideran undang-undang tersebut sebagaimana dalam huruf (d) yang intinya pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara Pengadilan Agama selama ini masih beraneka karena di Jawa Madura berdasarkan Staatsblaad Tahun 1882 Nomor 152, dihubungkan dengan Staatsblaad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610, Karapatan Qodli dan Kerapatan Qodli Besar di Kalimantan Selatan dan Timur berdasarkan Staatsblaad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639 dan Pengadilan Agama di luar Jawa Madura berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Pengadilan Agama dalam rangka sistim dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasilan dan Undang- Undang Dasar 1945.Pengadilan Agama di Jawa Madura maupun di luar Jawa Madura sama- sama
mempunyai kewenangan absolute
2
perkara waris bagi orang yang beragama Islam. Hal ini tercantum dalam Penjelasan umum undang- undang tersebut sebagai berikut “Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, maka oleh undang- undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur mengenai perkara kewarisan yang dicabut pada Tahun 1937, dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama di daerah- daerah yang lain”. Kemudian dalam Penjelasan umum anka 2 alinia ke 6 menyebutkan sebagai berikut “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Artinya dalam undang- undang ini ahli waris masih dimungkinkan untuk memilih menyelesaikan ke Pengadilan Agama atau ke Pengadilan Umum Yag biasa disebut dengan pemilihan hukum/recht choose. 4.
Pengadilan Agama berdasarkan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Pasal 50 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama : ”Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang- orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama- sama perkara sebagaimana dimasud Pasal 49”. Arti dari pasal tersebut mencabut pilihan hukum atau tidak dimungkinkan lagi bagi
3
Para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris dapat memilih ke Pengadilan Agama atau ke Pengadilan Umum. Demikian perkembangan dan perubahan Kompetensi absolute Pengadilan Agama dalam perkara waris dari jaman Pemerintahan Kolonial Belanda hingga kini yang melalui perjuangan panjang dengan perubahan legeslasi peraturan perundangundangan. Perkembangan dan perubahan peraturan perundang- undangan bukan sebagai hadiah tetapi sebagai perjuangan dari umat Islam agar perkara waris bagi umat Islam tetap menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Agama sesuai syariat Islam.
B. Perjuangan dan Harapan : 1.
Pengaruh Politik Hukum Pemerintah Kolonial Belanda : Kebijakan resmi terhadap pemberlakuan hukum baru dengan menggantikan hukum lama yang tentunya Pemerintah Koloniql Belanda mempunyai kepentingan agar masyarakat Indonesia tidak mematuhi Hukum Islam dan supaya masyarakat Indonesia termasuk umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia tidak menggunakan Hukum waris Islam melainkan Hukum Adat. Ketika Bangsa Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, umat Islam hanya menerima apa yang menjadi keinginan Kolonial Belanda, sehingga perkara waris dicabut dari kewengan Pengadilan Agama ke Pengadilan Umum.
2.
Pengaruh Politik Hukum Pemerintah RI. Pemerintah RI. menyadari bahwa Negara Kesatuan RI.mayoritas beragama Islam yang tentunya ingin menyelesaikan perkara waris yang merupakan bagian dari
4
hukum keluarga diselesaikan menurut Hukum Islam dan diadili oleh Hakim Agama Islam yakni melalui Pengadilan Agama. Oleh karena itu Pemerintah dan atas persetujuan DPR melalui fraksi- fraksi
dan Komisi-komisi di DPR
telah
mengadakan perubahan peraturan perundsang- undangan yang akhirnya lahirlah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kemudian diubah dengan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama . 3.
Harapan : Harapan dari perjuangan panjang adalah berlakunya Hukum waris Islam bagi umat Islam di Indonesia yang menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama. Harapan tersebut sangat didambakan umat Islam termasuk para perintis, pendiri, pelopor, petinggi dan seluruh jajaran warga Pengadilan Agama dari dahulu hingga kini. Umat Islam khususnya yang ingin menyelesaikan perkara waris sangat ingin diselesaikan menurut Hukum Islam yang diadili oleh Hakim Agama Islam pula. Begitu besar harapan umat Islam terhadap lembaga Peradilan Agama untuk dapat menyelesaikan perkara waris yang diajukan oleh para pencari keadilan terutama perkara waris.
C. Fakta dan Realita : Masih ada sebagian kecil para Hakim Agama yang tidak menghargai perjuangan panjang para pendahulu kita dan harapan masyarakat Islam yang ingin mengajukan
5
penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama, mereka tidak sungguh- sungguh mencermati pokok perkara waris yang dihadapi, sehingga dengan mudah menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut : I.
Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang ;
II.
Menyatakan perkara ini merupakan sengketa milik menjadi wewenang pengadilan lain ;
D. Solusi penyelesaian perkara waris: 1. Dasar : -
Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan dari Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang- orang yang beragama Islam obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49”.
-
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam : “Yang dimaksud dengan : a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa – siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”.
6
2. Pertimbangan Hakim Agung dalam putusan Mahkamah Agung RI. -
Putusan MA RI. Nomor 287 K/AG/2012 Tanggal 12 Juli 2012 : Bahwa perkara kewarisan adalah perkara harta waris diantara para ahli waris. Harta waris yang belum dibagi kemudian ada ahli waris yang memindah tangankan, maka ahli waris tersebut harus dihukum dengan mengurangi bagiannya, atau bila sudah dipindahtangankan semua, maka bukan lagi sengketa waris tetapi sengketa
kepemilikan ( yang menjadi wewenang
Pengadilan Negeri) sengketa waris di Pengadilan Agama tidak melibatkan pihak diluar ahli waris ; -
Putusan MA RI. Nomor 177 K/AG/2014 Tanggal 26 Mei 2014 : Bahwa apabila ada ahli waris yang menjual harta warisan secara keseluruhan, maka ahli waris yang menjual cukup dituntut menyerahkan bagian ahli waris yang belum mendapatkan bagian ; Bahwa Penggugat tidak perlu melibatkan pihak ketiga, sebab bila pihak ketiga tersebut merasa haknya terganggu, maka dapat mengajukan intervensi ;
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut maka dapat dijadikan pedoman sebagai berikut : a. Pihak ketiga yang menguasai harta warisan sebaiknya tidak perlu dijadikan pihak dalam gugatan waris, baik sebagai Tergugat maupun sebagai Turut Tergugat, akan tetapi pihak ketiga dapat mengajukan intervensi sebagai Penggugat intervensi apabila dirinya merasa terganggu;
7
b. Harta warisan yang dikuasai oleh pihak ketiga tetap dapat diajukan dalam perkara waris, tuntutan tersebut ditujukan kepada Tergugat yang telah memindahtangankan obyek sengketa waris baik melalui jual beli ataupun dengan cara yang lain ; c. Dalam perkara sebagaimana huruf b, pembebanan bukti yang pertama diberikan kepada Penggugat untuk membuktikan bahwa harta obyek sengketa adalah benar sebagai harta warisan yang ditinggalkan oleh Pewaris, selanjutnya yang kedua Tergugat dibebani bukti untuk membuktikan bahwa obyek sengketa yang dibeli/ didapat dari orang lain, jika terbukti bahwa obyek sengketa adalah harta warisan dari pewaris kemudian ternyata telah dijual/ dipindahtangankan kepada pihak ketiga maka Tergugat dihukum untuk menyerahkan bagian ahli waris senilai harga obyek sengketa yang telah dijual, kemudian dibagi sesuai bagian masing- masing ; d. Para Hakim hendaknya memutus perkara secara professional dengan memegang asas sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) UU.No.14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah terakhir dengan UU.No.48 Tahun 2009 ; e. Untuk tercapainya asas sederhana, cepat dan biaya ringan hendaknya para Hakim memahami kewenangan yang ada padanya antara lain Hakim dapat memberi petunjuk kepada Penggugat dalam membuat gugatan (Pasal 143 R.Bg), dan Hakim dapat memberi petunjuk kepada para pihak upaya hukum dan alat bukti apa yang dapat dipergunakan oleh mereka (Pasal 156 R.Bg.) sehingga putusan yang bersifat negative dapat diminimalisir.
8
E. Solusi penyelesaian perkara Penetapan Ahli waris: 1. Dasar : Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan dari Undang- Udang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama . “Yang dimaksud dengan “Waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penetuan bagian masing- masing ahli waris”. Lahirnya pasal undang- undang tersebut menghapus kewenangan Pengadilan Agama mengenai Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan di luar sengketa hal ini diperkuat oleh Keputusan Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan tanggal 9 Februari 2012. dalam Lampirannya Romawi IV Huruf B angka 3 Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan di luar sengketa tidak termasuk kewenangan Pengadilan Agama ; Para pihak yang hendak mengajukan Permohonan penetapan ahli waris yang ternyata di dalamnya terdapat harta warisan yang akan dibagi oleh para ahli waris supaya para pihak dianjurkan untuk menjadikan perkara tersebut menjadi perkara kontentius. Penetapan Ahli Waris dapat diperiksa secara volunteer dalam hal tidak terdapat sengketa tentang keahli warisannya dan sengketa harta warisannya,
dan hanya
dalam hal kepentingan tertentu seperti untuk mengajukan klaim asuransi, taspen atau lainnya yang harus secara tegas dicantumkan dalam amar penetapan ;
9
2. Cara penyelesaian perkara permohonan Penetapan Ahli Waris
yang bersifat
volunteer haruslah berhati- hati, karena perkara berbentuk permohonan sepihak tanpa ada lawannya, dan jangan sampai meluas atau merugikan pihak lain yang semestinya juga sebagai ahli waris tetapi oleh Pemohon sengaja tidak diikut sertakan sebagai Pemohon. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Hakim harus cermat dan teliti ; Yang harus dibuktikan oleh Pemohon : -
Pewaris benar- benar telah meninggal dunia ;
-
Ada kesepakatan seluruh ahli waris (tidak ada sengketa) ;
-
Ahli Waris tidak terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris;
-
Ada kepentingan hukum yang memerlukan segera ;
-
Surat keterangan kematian Pewaris ;
-
Buku Nikah/ Surat keterangan Nikah Pewaris ;
-
Kartu Keluarga Pewaris ;
-
Surat Keterangan Silsilah waris ;
-
Keterangan saksi- saksi ;
3. Majelis Hakim dalam membuat Penetapan Ahli Waris amarnya harus bersifat deklaratoir contohnya : Menyatakan Pemohon adalah sebagai ahli waris dari Pewaris, tidak boleh bersifat condemnatoir (menghukum), dan tidak boleh konstitutif (menyatakan hukum baru) contoh :
Menyatakan Pemohon sebagai
pemilik yang sah.
10
F. Kesimpulan : 1. Perkara Waris telah menjadi kompetensi absolute Pengadilan Agama adalah melalui perjuangan panjang oleh para Ulama, Tokoh Umat Islam, Pemerintah dan DPR dengan tujuan agar umat Islam dalam menyelesaikan perkara kewarisannya dapat diputus berdasarkan Hukum Islam oleh Hakim Agama Islam di Pengadilan Agama. 2. Perkara kewarisan kini telah menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Agama dengan jelas dan tegas sebagaimana telah diuraikan di muka, maka harapan masyarakat pencari keadilan ada di tangan para Hakim Pengadilan Agama, oleh karena itu hendaknya dapat diselesaikan dengan sungguh-sungguh dengan mengedepankan asas sederhana cepat biaya ringan. Demikian semoga bermanfaat. W a s s a l a m, H.Sarwohadi, S.H., M.H. W a s s a l a m,
H. SARWOHADI, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram.
11