MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI KEDELAI DENGAN KEBIJAKAN TARIF OPTIMAL Sri Nuryanti dan Reni Kustiari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani 70, Bogor. 16161
[email protected] dan
[email protected] Abstract The imbalance between production and consumption of soyabean triggers import dependency. World market of soyabean is concentrated in several developed countries which highly support their farmers. International market structure of soyabean is oligopolistic. It causes high risk on instability of supply and price to importer countries, such as Indonesia. Tariff is one of effective policy to protect domestic soyabean-farmer from import surge and price depression. By using cost structure data and macro parameters of soyabean, partial equilibrium of domestic soyabean market is analyzed. The aim of this analysis is to know farming’s profit at the current import duty of soyabean, the optimum level of import duty at certain level of farming’s profit by 25 percent and the impact on domestic market equilibrium. The current level of import duty 5 percent provides farming’s profit by 18.85 percent The optimum import duty of soyabean is 22.3 percent. Even it can offer higher farming’s profit by 25 percent, it most probably decrease social welfare by Rp. 147 billions. Key words: import, tariff, farming’s profit, market equilibrium. Abstrak Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai nasional menjadi pemicu ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Kedelai di pasar dunia terkonsentrasi di beberapa negara maju yang memberi bantuan kepada petaninya. Struktur pasar internasional kedelai yang oligopolistik menyebabkan negara importir seperti Indonesia berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Indonesia perlu melindungi petani kedelai, salah satu cara adalah kebijakan tarif. Tarif merupakan mekanisme perlindungan pasar dari ancaman serbuan impor kedelai murah. Data struktur ongkos dan peubah makro ekonomi kedelai digunakan dalam analisa keseimbangan pasar domestik secara parsial. Tujuannya untuk mengetahui tingkat keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini, tingkat tarif optimal dengan tingkat keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak keseimbangan pasar domestik atas kenaikan tarif impor kedelai optimal. Keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif impor 5 persen adalah 18,85 persen. Tingkat tarif impor optimal untuk kedelai adalah 22,3 persen yang akan meningkatkan keuntungan usahatani menjadi 25 persen. Secara agregat, peningkatan tarif impor kedelai justru akan mengakibatkan kehilangan kesejahteraan sosial sebesar Rp. 147 milyar. Key words: impor, tarif, keuntungan usahatani, keseimbangan pasar.
1
I. PENDAHULUAN Berkembangnya industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai, disertai dengan pertumbuhan penduduk mengakibatkan permintaan kedelai di Indonesia meningkat tajam. Di lain pihak, produksi dalam negeri cenderung menurun, sehingga defisit kedelai terus meningkat. Hal ini membuat Indonesia makin tergantung pada kedelai impor. Produksi dan ekspor kedelai dunia terkonsentrasi pada sedikit negara maju. Amerika Serikat (AS) memegang kendali produksi dan ekspor yang melebihi separuh dari total perdagangan dunia. Hampir separuh impor kedelai Indonesia pun berasal dari AS. Struktur pasar internasional kedelai lebih mendekati pasar oligopoli, sehingga negara importir seperti Indonesia akan berisiko tinggi terhadap instabilitas pasokan dan harga kedelai impor. Hal itu menjadi amat penting manakala dikaitkan dengan peran kedelai sebagai salah satu pangan penting sumber protein untuk masyarakat Indonesia. Kalaupun Indonesia mengimpor kedelai, yang harus dihindari adalah ketergantungan impor yang terlalu besar pada satu negara, seperti AS. Karena AS sering menggunakan instrumen impor untuk menekan negara yang tidak sejalan terhadap politik dan kepentingannya. Negara maju tetap memberi bantuan pada petaninya, terutama kelompok OECD. Petani kedelai di negara OECD memperoleh 30% dari total pendapatan usahatani kedelai dari bantuan pemerintah. Berbagai bentuk bantuan, mulai dari dukungan harga, pembayaran berdasarkan produksi atau luas usaha, atau berdasarkan penggunaan input dan sebagainya. Oleh karena itu, harga kedelai di pasar dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi. Harga kedelai di pasar telah terdistorsi oleh berbagai subsidi. Adalah bijaksana, apabila Indonesia melindungi petani kedelai dengan berbagai cara. Salah satu yang terbaik adalah melalui kebijakan tarif pada tingkat yang wajar, yaitu mendekati tarif yang disepakati dalam AoA-WTO (27%). Indonesia juga harus memiliki mekanisme untuk melindungi diri dalam waktu sementara dari ancaman serbuan impor kedelai murah dari luar negeri. Perlindungan itu haruslah sederhana dan fleksibel. Diharapkan SSM dapat dipakai oleh Indonesia, apabila nantinya disepakati (Husein Sawit et al., 2006). Menurut Swastika et al. (2007) hambatan impor yang paling sederhana dan mudah dilakukan adalah peningkatan tarif. Oleh karena itu, masalah efektivitas penerapan tarif menjadi amat penting. Infrastruktur dan SDM haruslah disiapkan sedemikian rupa, sehingga perlindungan melalui tarif menjadi pengaruhtif, bukan sebagai sumber pencari rente, seperti selama ini. Karena kita tidak
2
mungkin kembali ke perlindungan industri dalam negeri dengan cara-cara primitif, seperti pelarangan impor. Kita harus mampu melaksanakan perlindungan melalui kebijakan tarif. Sesuai aturan WTO dimana tiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam Schedule yang didaftarkan. Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor jauh di bawah bound tariff (0%-5%), termasuk kedelai. Oleh karena itu, analisa ini dilakukan untuk mengetahui besaran keuntungan usahatani kedelai dengan tingkat tarif impor terkini dan menghitung tingkat tarif impor kedelai pada tingkat keuntungan optimal. Definisi optimal berdasarkan asumsi keuntungan usahatani 35%. Selain itu akan dikaji dampak kenaikkan tarif impor kedelai.
II. MATERI DAN METODA A. Materi Analisa dampak tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan peubah-peubah, antara lain harga produsen, perdagangan besar, konsumen, harga dunia, produksi, dan permintaan impor. Data yang digunakan adalah data sekunder diperoleh dari publikasi maupun dokumentasi berbagai instansi di dalam dan luar negeri. Instansi-instansi tersebut antara lain FAO, BPS, Bulog, dan Departemen Pertanian. B. Metoda Analisa dilakukan pada tingkat usahatani dan makro. Analisa mikro dengan menggunakan data I-O diturunkan dari data struktur ongkos rata-rata Indonesia 2006. Penerapan tarif impor akan meningkatkan harga eceran di pasar domestik. Melalui proses transmisi harga, peningkatan harga eceran di pasar domestik akan ditransmisikan ke harga jual di tingkat petani. Dengan kerangka analisa seperti ini dapat ditentukan tingkat harga jual tertentu di pasar domestik, sehingga dapat memberi peningkatan keuntungan bersih di tingkat petani. Analisa tingkat makro menggunakan “partial welfare analysis” untuk memahami dampak penerapan tarif optimal terhadap harga komoditas di pasar domestik, produksi, permintaan, penawaran dan impor, serta dampaknya terhadap kesejahteraaan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah (Gambar 1). Analisa makro untuk memahami dampak perubahan tarif terhadap keseimbangan pasar domestik dilakukan dengan menggunakan asumsi (1) Indonesia adalah negara kecil (small economy) dan (2) Nilai tukar yang digunakan adalah sebesar Rp 9.100/US$. 3
S
l Pw+t1 h
i
j
k
Pw+t0 b
c
d
e
f
g
Pw a
D
QS0
QS1
Qd1
Qd0
Q
Gambar 1. Ilustrasi Dampak Peningkatan Tarif Impor Standar analisa parsial digunakan untuk menghitung pengaruh kesejahteraan yang terkait dengan konsumen, produsen dan pemerintah. Diasumsikan bahwa pemerintah perlu meningkatkan tarif dari t0 ke t1. Peningkatan tarif akan mengakibatkan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) yang lebih besar, yang ditunjukkan area (d+f+i+k), dibandingkan area (c+g) jika pemerintah memberlakukan tarif sebesar t0. Inefisiensi yang lebih besar ini karena konsumen harus membayar harga yang lebih tinggi dan harus menanggung biaya ekonomi yang lebih besar, yaitu area (h+i+j+k). Sebaliknya, produsen mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar area (h) dan pemerintah area (j-d-f) akibat peningkatan tarif dari t0 ke t1. Penerimaan dari tarif turun karena penurunan jumlah barang yang diimpor sebagai dampak dari kenaikan produksi dalam negeri akibat peningkatan harga di tingkat petani. Pengaruh dari peningkatan tarif impor dirangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Peningkatan Tarif Terhadap Tingkat Kesejahteraan Surplus Konsumen Produsen Pemerintah Kesejahteraan neto
Tarif t0 h+i+j+k+l a+b d+e+f
Tarif t1 l a+b+h e+j
Perubahan -(h+i+j+k) H j-d-f -(d+f+i+k)
4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Produksi Kedelai, perkembangan produksinya dapat dibagi dalam dua periode besar, yaitu pertumbuhan yang menurun dan stagnant. Pertumbuhan menurun terjadi selama 19902000. Produksi rata-rata mencapai 1,4 juta ton dan menurun sebesar 3,6 %/Th. Produksi stagnant terjadi pada 2001-2006, produksi menurun drastis dari periode sebelumnya dan bergerak lambat pada angka 742 ton. Pertumbuhan produksi pun demikian rendah, hanya 0,4 %/Th. Pertumbuhan produksi tidak sejalan dengan gencarnya program bangkit kedelai. Persentase produksi terhadap kedelai dunia mengecil (Tabel 2). Ini mengindikasikan ada penghambat produksi kedelai dalam negeri yang belum terpecahkan. Tabel 2. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Indonesia 1.487.433 1.555.453 1.869.713 1.708.530 1.564.847 1.680.010 1.517.180 1.356.891 1.305.640 1.382.848 1.018.000 826.932 673.056 671.600 723.483 808.353 749.038
Produksi Kedelai (Ton) Dunia 108.464.511 103.320.158 114.460.616 115.176.710 136.483.471 126.997.618 130.223.250 144.418.185 160.103.858 157.796.852 161.400.626 177.923.563 181.815.725 187.514.812 206.289.954 214.909.669 221.500.938
Persentase 1,37 1,51 1,63 1,48 1,15 1,32 1,17 0,94 0,82 0,88 0,63 0,46 0,37 0,36 0,35 0,38 0,34
Sumber: BPS diolah
2. Konsumsi Kedelai Konsumsi kedelai per kapita per tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2003 terjadi penurunan 2% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya konsumsi meningkat, rata-rata 6,3 %/Th, sehingga pada tahun 2006 mencapai 8,31 kg/kap/Th. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi. Pada satu sisi produksi demikian rendah, pada sisi lain konsumsi tumbuh meningkat sebesar 4,3 %/Th. Indikasi peningkatan ketergantungan impor telah muncul dengan perbedaan fenomena pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
5
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1999 – 2006 Konsumsi kg/kapita/th 5,7 7,1 6,93 7,22 7,78 8,31
Tahun 1999 2002 2003 2004 2005 2006
Pertumbuhan (%)
-2% 4% 8% 7%
Sumber: Neraca Bahan Makanan, BPS.
3. Ekspor dan Impor Produksi kedelai domestik tidak sepesat pertumbuhan konsumsi kedelai. Pemenuhan konsumsi lebih banyak berasal dari kedelai impor. Selain harga kedelai impor lebih murah keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional. Setiap tahunnya rata-rata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (1996-2005). Separuh diantaranya impor kedelai berasal dari negara maju. Amerika Serikat bahkan mendominasi ekspor kedelai ke Indonesia, mencapai hampir 50 % dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya (Husein Sawit et al., 2006). Volume dan nilai impor kedelai masing-masing tumbuh sebesar 8,4 dan 7,9 %/Th (1996-2006). Volume ekspor dari 1999-2005 tumbuh rendah, 1,7 %/Th. Namun nilai ekspor tumbuh tinggi, 8 %/Th (Tabel 4). Ini menunjukkan kedelai yang diekspor adalah produk olahan, sehingga mengalami peningkatan nilai tambah tinggi. Tabel 4. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, 1996– 2006 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Impor Volume (ton) 1.705.583 1.532.112 1.033.802 2.227.321 2.568.565 2.728.358 2.716.641 2.773.668 2.881.735 2.982.986 3.121.334
Nilai (000 USD) 530.582 518.860 273.776 475.158 558.737 611.140 591.121 706.753 967.957 801.779 838.390
Volume (ton)
7.596 12.013 21.987 13.812 13.474 17.109 8.276 NA
Ekspor Nilai (000 USD)
3.606 4.490 5.808 6.569 6.018 6.211 6.080 NA
Sumber: BPS
Impor kedelai dari negara berkembang didominasi oleh tiga eksportir yaitu India, Brazilia, dan Argentina. Pertumbuhan impor kedelai dari negara maju dan negara berkembang setiap tahunnya, masing-masing mencapai 8 % dan 9% (Husein Sawit et al., 2006). Meskipun pemerintah telah berulang kali merancang program swasembada untuk
6
sejumlah komoditas penting seperti beras maupun kedelai. Hasilnya belum cukup memuaskan, sehingga sering direvisi dan diundurkan targetnya. Itu terjadi sejak pemerintahan Habibie sampai pemerintahan SBY sekarang ini. 4. Harga Harga kedelai dunia yang lebih rendah dari harga domestik merupakan faktor pendorong melajunya kedelai impor. Meskipun demikian di pasar domestik, harga kedelai bergerak positip. Harga produsen dan perdagangan besar masing-masing tumbuh sebesar 8,2 dan 4,19 %/Th (1998-2004). Tidak serempaknya pertumbuhan harga perdagangan besar karena perdagangan besar selain dipengaruhi harga produsen domestik (8,2 %/Th) juga produsen internasional (6,25 %/Th). Perbedaan transmisi harga dari kedua produsen ke perdagangan besar domestik menghasilkan pertumbuhan harga grosir yang lebih kecil dari harga produsen. Ini mempengaruhi pertumbuhan harga konsumen yang tumbuh lebih tinggi dari harga produsen, tetapi lebih rendah dari harga produsen, yaitu 5,8 %/Th (Tabel 5). Tabel 5. Perkembangan Harga Dalam Negeri Ditingkat Petani, Perdagangan Besar, dan Eceran dan Harga Internasional 1998 – 2006 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produsen* 2.059,98 2.527,51 2.652,44 2.918,84 3.191,51 3.277,85 3.499,49 NA NA
Harga Dalam Negeri (Rp/Kg) Perdagangan Besar* 2.741,15 3.067,50 2.811,98 3.029,37 3.143,53 3.226,18 3.775,58 NA NA
Konsumen* 3.108,20 3.441,54 3.060,09 3.485,02 3.682,26 3.793,96 4.205,89 4.628,88 4.977,85
Soybean (US) CIF Rotterdam (US$/Ton)
211,83 195,83 212,92 264,00 306,50 274,40 268,42
Sumber : * Bulog, ** http://www.worldbank.org/prospects/pinksheets/1998.htm
5. Struktur Ongkos Menurut data struktur ongkos usahatani kedelai tahun 2006, dengan tarif bea masuk impor kedelai 5% (setara spesifik Rp. 140,3/Kg), petani kedelai domestik telah memperoleh keuntungan usahatani sekitar 18,85% (Tabel 6). Penentuan tingkat tarif impor kedelai yang optimal agar petani mendapatkan keuntungan layak dan tidak memberatkan konsumen, simulasi dilakukan dengan asumsi keuntungan usahatani 25%. Berdasarkan pembahasan tarif impor optimal untuk pencapaian keuntungan usahatani 25 persen, tarif impor kedelai harus diubah dari 5% menjadi 22,3%. Kenaikan bea masuk kedelai yang mencapai lebih dari 200% tentunya akan berdampak pada
7
keseimbangan pasar. Sebagai komoditas impor, maka pasar yang terpengaruh pertama kali adalah perdagangan besar baru diikuti berikutnya sampi tingkat eceran (konsumen). Tabel 6. Struktur Ongkos Produksi Kedelai Tahun 2006 Struktur Ongkos dengan Tarif Impor 5% Base 2006 Quantity Price Nilai % (Kg) (Rp)
Kedelai
Gross Revenue Seed Fertilizer Urea/Za TSP/DAP Others(KCL) Pest-Insecticides Human labor (man Hours) Rents of tools and Animal Traction Other costs Land rent Others Total Working Capital Cost of Capital Total cost Profit Unit cost (Rp/Kg)
Struktur Ongkos dengan Tarif Impor 22,3% Profit 25% Quantity Price Nilai % (Kg) (Rp)
1.145
4.116
4.712.992
100
1.145
4.479
5.128.431
100
60
5.000
300.000
6,52
60
5.000
300.000
5,85
67 27
1.400 1.750
2,02 1,01 3,24
67 27
1.400 1.750
21.000
100
21.000
93.100 46.375 149.000 0 165.000 2.089.500
1,82 0,90 2,91
100
93.100 46.375 149.000 0 165.000 2.089.500
3,59 45,44
3,22 40,74
0 0
0,00
0 0
0,00
600.000 135.000 3.577.975 268.348 3.846.323 866.669 3.359
13,05 2,94 77,81 5,84 83,65 18,85
600.000 135.000 3.577.975 268.348 3.846.323 1.282.108 3.359
11,70 2,63 69,77 5,23 75,00 25,00
Sumber: Analisa Data Sekunder (2007).
Selain diperkirakan mampu menjamin keuntungan usahatani sebesar 25 persen, dari sisi keseimbangan pasar peningkatan tarif impor kedelai akan berdampak pada produsen, permintaan, penawaran termasuk impor, dan kesejahteraan sosial (Tabel 7) seperti lazimnya pengaruh perubahan harga, maka akan menciptakan keseimbangan pasar baru. Harga perdagangan besar akan naik sebesar kenaikan tarif spesifik (Rp. 485,2), dari semula Rp. 4.540/Kg menjadi Rp. 5.025,2/Kg atau naik 10,7%. Peningkatan persentase keuntungan menyebabkan harga di tingkat produsen naik 8,8% atau sebesar Rp. 363/Kg. Hal ini menyebabkan harga berubah dari Rp. 4.116/Kg menjadi Rp. 4.479/Kg. Kenaikan harga domestik karena kenaikan harga lokal maupun impor menyebabkan permintaan berkurang sebesar 7%. Permintaan kedelai turun dari 1,88 juta ton menjadi 1,75 juta ton. Peningkatan harga kedelai lokal mendorong peningkatan penawaran domestik sebesar 1,9%. Atau meningkat 14 ribu ton menjadi 761,6 ribu ton dari sebelumnya 747,6 ribu ton. Kenaikan harga impor karena tarif menyebabkan impor turun sebanyak 145,7 ribu ton, sehingga volume impor turun dari 1,32 juta ton menjadi 986,3 ribu ton. Kenaikan harga akan menurunkan kesejahteraan konsumen, dicerminkan oleh turunnya surplus konsumen sebesar Rp. 880 milyar. Namun, kenaikan harga akan menguntungkan produsen, sehingga surplus produsen naik Rp. 274 milyar. Karena tarif ditingkatkan, maka penerimaan pemerintah dari bea masuk impor naik. Penerimaan 8
pemerintah akan naik sebesar Rp. 458 milyar. Secara agregat perekonomian kedelai nasional akan memburuk. Ditunjukkan oleh defisit surplus total sebesar Rp. 148 milyar, yaitu kesejahteraan yang hilang tidak dapat dinikmati masyarakat. Tabel 7. Hasil Analisa Dampak Kenaikan Tarif Impor Kedelai Tarif impor Specific (Rp/kg) Advalorem (%) Harga dunia FOB(US$/ton)2006 Nilai tukar (Rp/US$) Harga Border (US$/ton) Harga paritas impor Border (Rp/kg) Harga paritas wholesale impor pada t0(Rp/kg) Harga wholesale aktual (Rp/kg)2006 Harga produsen pada t0 (Rp/kg)2006 Produksi (000ton) 2006 Impor (000ton)2006 Permintaan (000ton) Elastisitas permintaan Elastisitas penawaran Elastisitas Transmisi harga wholesale ke produsen Efek perubahan tarif Perubahan tarif (Rp/kg) Perubahan harga wholesale (Rp/kg) harga wholesale pada t1 (Rp/kg) % perubahan harga wholesale (%) %Perubahan harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/kg) Harga produsen pada t1(Rp/kg) Efek terhadap permintaan (%) Perubahan jumlah permintaan (000ton) Permintaan pada t1(000ton) Efek terhadap penawaran (%) Perubahan jumlah penawaran (000ton) Penawaran pada t1(000ton) Jumlah impor pada t1(000ton) Efek terhadap jumlah impor (000ton) Efek terhadap surplus konsumen (juta Rp) Efek terhadap surplus produsen (juta Rp) Efek terhadap penerimaan pemerintah(juta Rp) Efek terhadap surplus bersih (juta Rp)
Saat ini Rp/kg %
Optimal 140,3 5,0
625,5 22,3
PW ER CIF
Data Data PW+$40
268,4 9.100,0 308,4
PCIF
CIF*ER/1000
2.806,4
Pw0
(PCIF+T0)*1.245
3.668,7
Pwa0
Data
4.540,0
PP0 Qs0 Qmo Qd0 Ed Es
Data Data Data Qs0+Qm0 Regresi Regresi
4.116,0 747,6 1.132,0 1.879,6 -0,7 0,2
Ep
Regresi
dT
T1-T0
485,2
dPw
dT
485,2
Pw1
Pwa0+dPw
%dPw
dPw/Pw0*100%
%dPP
%dPw*Ep
dPP PP1
%dPP*PPo PP0+dPP
%dQd
%dPw*Ed
dQd Qd1
%dQd*Qdo Qdo+dQd
%dQs
%dPP*Es
dQs QS1
%dQs*Qs0 Qs0+dQs
14,0 761,6
Qm1
Qd1-QS1
986,3
dQm
Qm1-Qm0
-145,7
dCS
dPw*(Qd1-dQd/2)
-879.956,2
dPS
dPP*(QS1+dQS/2)
273.961,6
dGR
(Qm1*t1)-(Qm0*t0)
458.064,4
dNS
dCS+dPS+dGR
0,8
5.025,2 10,7
8,8 363,0 4.479,0
-7,0 -131,7 1.747,9
1,9
-147.930,2
Sumber: Analisa Data Sekunder (2007).
9
B. Pembahasan Berdasarkan perhitungan besaran keuntungan usahatani optimal 25 persen, petani kedelai nasional harus mencapai harga jual Rp. 4.479/Kg. Kondisi ini sangat sulit, karena harga kedelai domestik menjadi tidak dapat bersaing dengan kedelai impor. Satu-satunya solusi untuk memberi insentif produksi kedelai domestik adalah jaminan harga jual kedelai dengan tingkat keuntungan pasti. Berdasarkan asumsi harga pokok produksi Rp. 3.359/Kg, tarif bea masuk kedelai saat ini 5%, untuk memperoleh keuntungan usahatani 25% tarif bea masuk yang diterapkan (Most Favoured Nation, MFN) harus dinaikkan menjadi 22,3% (ad valorem) atau Rp. 625,5/Kg (specific tariff). Tarif yang diikat untuk kedelai adalah 27%. Artinya masih ada peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan menjamin keuntungan usahatani 25% dengan menetapkan tarif impor baru sebesar 22,3%. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah beban konsumen kedelai di sektor hilir, yaitu sektor peternakan dan industri pakan ternak. Karena sebagian besar konsumen kedelai impor di dalam negeri adalah kedua sektor tersebut. Sementara untuk konsumsi rumah tangga (pangan) lebih banyak menggunakan kedelai produksi lokal. Penting untuk mensosialisasikan tarif impor MFN kedelai yang baru kepada semua stakeholder untuk mencapai nilai optimal yang disepakati. Kajian teknis dan matematis saja kurang bijaksana tanpa mempertimbangkan dampak positip/negatip bagi semua pihak yang berkepentingan di dalamnya. Harga kedelai impor saat ini (Rp. 2.806,4/Kg) masih lebih rendah dibandingkan harga pokok produksi kedelai lokal (Rp. 3.359/Kg). Tidak berlebihan apabila Husein Sawit dan Rusastra (2005) pernah memprediksi impor kedelai Indonesia akan semakin besar pada tahun-tahun mendatang karena kemudahan tataniaga impor berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPn kedelai). Selain itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti AS juga menyediakan kredit ekspor dengan bunga subsidi, sehingga merangsang importir kedelai Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Keadaan ini harus dicari penyelesaiannya, mengingat selain untuk konsumsi pangan, kedelai maupun bungkilnya banyak dimanfaatkan sektor industri pakan ternak domestik. Ketergantungan impor kedelai akan menimbulkan kerentanan sektor peternakan domestik dan dampak yang terkait akan lebih meresahkan lagi, yaitu masalah pengangguran.
Liberalisasi
perdagangan,
revolusi
transportasi,
dan
teknologi
10
informasi menyebabkan sektor tanaman pangan mengalami proses globalisasi dan terintegrasi kuat dengan pasar global. Fluktuasi harga produk pangan dan sarana produksi usahatani di pasar global akan ditransmisikan ke semua tingkat harga, termasuk produsen lokal. Namun tidak semua sistem dan saluran pemasaran komoditas pangan di pasar domestik bersaing sempurna. Hal ini dapat dilihat dari nilai elastisitas transmisi harga. Elastisitas transmisi harga di tingkat pedagang besar ke produsen lokal sebesar 0,8 (Tabel 7) menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat petani lebih kecil dibandingkan laju perubahan di tingkat pedagang besar atau pun pelaku pemasaran berikutnya (eceran/konsumen). Artinya, pasar yang dihadapi pelaku pemasaran kedelai domestik adalah pasar persaingan tidak sempurna, sistem pemasaran yang berlangsung tidak efisien. Kesejahteraan sosial merupakan cerminan dari pencapaian pembangunan ekonomi dalam bidang ketahanan pangan, pembangunan perdesaan, dan ketahanan ekonomi rumah tangga. Insentif usahatani dengan sendirinya akan menciptakan perbaikan ekonomi rumah tangga petani tersebut. Secara agregat kekuatan ekonomi perdesaan akan menyusun kekuatan guna mendorong pembangunan. Inti dari keberhasilan pembangunan persedaan setempat adalah terjaminnya ketahanan pangan baik di tingkat rumah tangga, perdesaan, sampai tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa kebijakan makro agregat, dalam hal ini tarif bea masuk impor, berpengaruh besar pada kesejahteraan mikro.
IV. KESIMPULAN Pada tingkat tarif impor saat ini sebesar 5%, keuntungan usahatani kedelai adalah 18,85%. Tarif impor optimal untuk kedelai adalah 22,3%. Tingkat tarif ini akan meningkatkan keuntungan usahatani kedelai menjadi 25%. Tarif impor kedelai optimal 22,3% masih di bawah tarif yang diikat yang terdaftar dalam Schedule Indonesia di WTO (Schedule XXI), sehingga masih mungkin untuk diterapkan sebagai tarif MFN baru. Apabila kebijakan tarif impor optimal untuk kedelai diterapkan maka masyarakat Indonesia justru akan kehilangan surplus bersih/kesejahteraan sosial sebesar Rp. 147 milyar. Kebijaksanaan tarif impor yang realistik, khususnya untuk komoditas kedelai dipandang sangat relevan untuk merangsang petani untuk tetap berproduksi. Namun kebijakan proteksi harga hanya akan pengaruh positip bilamana ada potensi peningkatan produktivitas, dan respon harga yang cukup serta sistem pemasaran yang efisien. Indonesia
11
sepantasnya tetap memelihara dan pengembangkan produksi pertanian disertai dukungan kebijaksanaan insentif yang memadai bagi petani, melalui peningkatan tarif bea masuk produk yang paritasnya dihasilkan petani domestik. Selain itu, penting mempertimbangkan kelayakan operasional peningkatan tarif bea masuk kedelai impor untuk mencapai keuntungan usahatani 25 persen. Karena sistem pemasaran kedelai nasional yang tidak efisien, sasaran yang diharapkan tidak tercapai dan menguntungkan pihak di luar target yang tidak menjadi sasaran kebijakan. Karena pasar pasar tidak mencerminkan kekuatannya.
DAFTAR PUSTAKA Husein Sawit, M. dan I. W. Rusastra (2005), “Globalisasi dan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Laporan akhir dari bagian laporan penelitian Road Map Memperkuat Kembali Ketahanan Pangan, LPEM UI, Jakarta. Husein Sawit, M., Sjaiful Bachri, Sri Nuryanti, dan Frans B.M. Dabukke (2006), “Fleksibelitas Penerapanan Special Safeguard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan Domestik Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia”, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. OECD (2005), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Database 1986-2004, www.oecd.org/oecd pse full zip/. Swastika, DKS, Sri Nuryanti, dan M. Husein Sawit (2007), ”Kedudukan Indonesia dalam Perdagangan Internasional Kedelai”, dalam Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan, Edisi Sumarno et al., Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian.
12