KEWENANGAN MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP PRAJURIT YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
TNI
Budi Pramono ABSTRA.CT : Kejahatan yang termasuk extra ordinary crime adalah kejahatan pencucia uang ( money laundering) dapat mengancam stabilitas dan integritas perekonomian suatu negara yang merusak sendisendi negara. Tindak pidana ini dapat dilakukan oleh TN! aktif. Untuk proses hukum terhadap anggota TNI aktifyang melakukan tindak pidana berada dalam penyidikan militer sebagaimana di atur dalam pasa124 ayat 2 UUD 1945 dan UU 110.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman jo, UU no.31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Pada kasus prajurit TNI aktif melakukan tindak pidana korupsi hingga saat ini aturan hukumnya belum ada sehingga dalam rangka mengisi kekosongan hukum maka dapat digunakan ketentuan dalam UU peradilan militer.
Keywords: kejahatan,peradilan militer; pencucian uang, TN! aktif Correspondence : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Hang Tuah Surabaya, J!. Arif Rahman Hakim No. 150 Surabaya
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN r Seiring dengan kemajuan ilt!lu pengetahuan dan teknologi, rnaka modus operandi pelaku tindak pidana juga mengalami kernajuan, sehingga memerlukan keterarnpilan dan ilmu pengetahuan bagi aparat penegak hukum untuk mengikuti tren perkernbangan kejahatan tersebut. Saat ini bentuk kejahatan tidak hanya bersifat konvensiona1 saja, tetapi sudah menggunakan teknologi yang sangat canggih dengan mengunakan sarana perbankan modern. Perlu tindakan yang komprehensif dengan melibatkan segenap aparat penegak hukum dan komponen bangs a Jainnya dalam rangka menanggulangi kejahatan tersebut, serta perlu melakukan pembangunan tatanan hukum nasiona!. Moh. Mahfud MD, menjelaskan bahwa pernbangunan tatanan hukum nasional secara terus menerus sangat diperlukan, minimal karen a 3 (tiga) alasan adalah sebagai berikut: Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat, karena hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka harus senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realitas di Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bisa bekerja efektif, sering dimanipulasi, bahkanjadi alat (instumen efektif) bagi penimbunan kekuasaan.' Kejahatan yang marak dan sangat menonjol saat ini adalah kejahatan pencucian uang (money laundering) dan penyalahgunaan Narkoba, yang
masuk dalam kategori extra ordinary crime.Kejahatan ini dapat mengancam stabilitas dan integritas perekonomian dan keuangan suatu negara, yang pada akhirnya dapat merusak sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kejahatan ini sudah bersifat mendunia dan tanpa batas negara tidak jelas (borderless), sehingga penanganannyapun perlu kerja sama internasional dengan melibatkan beberapa negara (Iintas negara). Money laundering atau pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Tindak pidana pencucian liang dapat dilakukan oleh siapa saja, setiap orang at au korporasi, termasuk didalamnya prajurit TNl, dapat melakukan tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan dengan tindak pidana uang yang dilakukan oleh prajurit TNI, maka yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang berwenang melakukan penyidikan. Apakah penyidiknya sesuai dengan ketentuan Pasal 74 Undang-Undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, atau sesuai dengan ketentuan Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Perspektif
Hukum, Vol. 13 No.1 Mei 2013 : 1 - 7
IDENTIFIKASI MASALAH. Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan oleh siapa saja, setiap orang at au korporasi, termasuk didalanmya prajurit TNI, dapat melakukan tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah siapa yang berwenang melakukan penyidikan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana pencucian uang. Apakah penyidik Polisi Militer berwenang melakukan penyidikan terhadap praj urit TNI yang melakukan tindak pidana peucucian uang ?
PENUNDUKAN PRAJURIT TNI DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM. Proses hukum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, (tindak pidana umum, tindak pidana mil iter maupun tindak pidana khusus) berada di Iembaga Peradilan Militer mengacu pada konstitusi negara, tertuang dalam DUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Iainnya. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan PeradilanAgama, Iingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi." Keberadaan Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nornor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 tahun 1982 yang mengamanatkan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai kewenangan penyerahan perkara. Keberadaan Peradilan Militer juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 . tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam UndangUndang Nornor 48 Tahun 2009 terdapat 4 (empat) pilar wadah pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, adalah pertama, Peradilan umurn sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nornor 2 Tahun 1986. Dalam Peradilan Urnum ini diatur beberapa
2
.
peradilan khusus, yaitu Peradilan Anak, Peradilan Niaga, Peradilan HAM, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Tipikor, dan Peradilan Perikanan. Kedua, PeradilanAgama, diatur dalam Undang-Undang Nornor 50 Tahlln 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo,. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Ketiga, Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Jo. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, dengan satu peradilan khusus yaitu Peradilan Pajak. Keempat, Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nornor 31 Tahun 1997.2 Dengan demikian, baik dalam konstitusi negara maupun dalam aturan perundang-undangan lainnya, secara tegas mengatur kekuasaan Perad ilan Mi liter di samping kekuasaan peradilan lainnya. Peradilan Militer bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakan keadilan, kebenaran, dan guna memperoleh kepastian hukum bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.Peradilan Militer rnerupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (selanjutnya dibaca TNI) untuk menegakan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan kearnanan negara.' Keberadaan Peradilan Militer daIam sistem peradilan di Indonesia merupakan suatu konsekuensi logis adanya status objek tindak pidana yaitu orang yang berstatus militer. Peradilan Militer diperuntukan bagi anggota militer atau orang yang dipersamakan dengan militer, sehingga apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer maka berlaku hukum pidana militer yang diatur dalam KUHPM sebagai hukum materiilnya, sedangkan hukum formil yang berlaku adalah Hukum Acara Pidana Militer. Pembentukan Peradilan Militer bagi prajurit TNT dimaksudkan untuk kepentingan tugas kemiliteran atau pertahanan negara. Komandan satuan apabila tidak diberikan kewenangan da)am penyelesaian perkara yang dilakukan oleh prajurit bawahannya akan mengalami kesuilitan karena terganggunya pembinaan kesiapan satuan dalam melaksanakan tugas. Maksud pemberian kewenangan kepada Komandan adalah sebagai alat kontrol terhadap anak buahnya yang berkaitan dengan pernbinaan kesiapan operasional satuan yang dipirnpinnya.
Budi Pramono, Kewenangan Melakukan
.
Perlunya Peradilan Militer yang seeara organisasi berdiri terpisah dari PeradiJan Umum, Soegiri dkk menjelaskan ada beberapa alasan yang melatarbelakangi, antara lain. a. Adanya tugas pokok yang berat melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta kedaulatan bangsa dan negara yangjika perlu dilakukan dengan kekuatan bersenjata dan eara berperang. b. Diperlukannya organisasi yang istimewa dan pemel iharaan serta pendidikan yang khusus berkenaan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat. e. Diperkenankannya menggunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya. d. Diperlukannya dan kemudian diperlakukannya terhadap mereka aturan-aturan dan normanorma hukum yang keras, berat dan khas serta didukung oleh sanksi-sanksi pidana yang berat pula sebagai sarana pengawasan dan pengendalian terhadap setiap anggota militer agar bersikap dan bertindak serta bertingkah laku yang sesuai dengan apa yang dituntut oleh tugas pokok."
Dalarn era reformasi ini berbagai elemen masyarakat banyak yang memberi usulan terhadap perubahan kompetensi Peradilan Militer, yang dahulunya Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili dan mernutus prajurit TNI yang melakukan tindak pidana mil iter dan tindak pidana umum seperti yang telah diuraikan di atas, menjadi konsepnya Peradilan Militer hanya berwenang merneriksa, mengadili dan memutus prajurit TN! yang melakukan tindak pidana militer saja, sedangkan prajurit TNT yang melakukan tindak pidana umum menjadi kewenangan Peradilan Umurn. Argumentasi atau alasan bagi penggagas perubahan yurisdiksi Peradilan Militer adalah sebagai berikut: Pertama, pelaksanaan persidangan peradilan militer sa at ini ban yak d iwarnai dengan intervensi dari pejabat di lingkungan TNI, sehingga d irasakan kurang mernenuhi rasa keadilan. Kedua, sesuai dengan asas kesarnaan di depan hukurn, maka antara orang 1I1llUI1l dan militer harus sarna perlakuan di depan hukum, sehingga prajurit yang melakukan tindak pidana urnurn harus diadili di peradilan 1101um.
Ketiga, terdapat keeenderungan para komandan selalu membela dan melindungi anak buahnya yang telah melakukan tindak pidana, serta keempat, bahwa proses peradilan di lingkungan peradilan militer dinilai sangat tertutup, sulit bagi masyarakat umum memantau perkembangan penyelesaian perkara yang korbannya orang umum sehingga masyarakat yang menjadi korban kejahatan tidak mengetahui proses penyelesaiaannya.' Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut, keluarlah Ketetapan MPR Rl Nomor: VU/MPRI 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Pasal 3 Ayat (4) huruf a menjelaskan bahwa "Prajurit tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum mil iter dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum", hurufb, menjelaskan bahwa "apabilakekuasaan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 huruf a, pasal ini tidak berfungsi maka prajurit TNT tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undangundang.Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mempertegas Ketetapan MPR terse but, pasal 65 ayat (2) menyebutkan bahwa "Prajurit tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalarn hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang." Dalam rangka menindaklanjuti Ketetapan MPR RI Nomor: VIIIMPRJ2000 dan Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang Nornor 34 Tahun 2004 tersebut, selanjutnya DPR RI dan pemerintah yang diwakili oleh Menhan, Menkumham, dan Mabes INI menindaklanjuti untuk melakukan pembahasan terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sudah beberapa kali Pansus DPR RI mengadakan rapat kerja dengan pemerintah, namun sampai saat ini masih terdapat ketidaksepahaman tentang usul DPR RI atas draffRUU Peradilan Militertersebut, khususnya mengenai perubahan kompetensi Peradilan Militer. Pemerintah masih berpegang pada asas-asas hukurn yang tertuang dalarn UndangUndang Nornor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan menginginkan agar dilakukan amandemen terhadap perangkat hukum lainnya yang berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidanayang dilakukan oleh prajurit TNL Dengan 3
Perspektif Hukum, Vol. 13 No.1 Mei 2013: 1 - 7
selama RUU tentang Peradilan Militer tersebut belum selesai dan belum disahkan menjadi Undang-Undang, untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum (recht Vacuum), maka penyelesaiannya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNt tetap menggunakan U ndang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Mi Iiter.
dernikian,
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG DILAKUKAN P RAJ URIT TNI. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan rnenurut cara yang diatur dalarn undang-undang ini untuk mencari serta rnengurnpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukasn tersangkanya.rPasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 20 I Otentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa "Penyidikan tindak piclanapencucian liang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundangundangan kecuali ditentukan lain menurut undangundang ini.'
Oalam penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nornor 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pernberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyidik tindak piclana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Repub lik Indonesia, Kej aksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Oirektorat JenderaJ Pajak dan Direktorat JenderaJ Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Tidak disebutkan secara tegas siapa penyidik terhadap praj ur it TNI yang melakukan tindak pidana pencucian liang. Politik hukurn! yang dikernbangkan saatini adalah mengedepankan civil sociaty dan menyiapkan pemberlakuan Pasal 3 Ayat (4) huruf a Ketetapan MPR RI Nomor: VlJ/MPRl2000. Harnp ir semua produk peraturan perundangundangan yang rnuncul setelah tahun 2000 tidak mewadahi penyidik terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajuritTNl (Penyidik Polisi MiJiter). 4
misaJnya dalam Undang-Undang Narkotika maka penyidiknya adalah BNN, Undang-Undang Bank Indonesia, Undang-Undang Pencucian Uang, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun20 10 tentang Pencegahan dan Pernberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang maupun Penjelasannya tidak dirurnuskan secara tegas siapa penyidik bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana pencucian uang. Di sisi lain, Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang Nornor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa Penyidik yang berwenang dilingkungan TNI adalah: a. Atasan yang Berhak Menghukum b. Polisi Militer; dan c. Oditur. Terjadi kontradiksi siapa yang berhak melakukan penyidikan, antara Undang-Undang Nemer 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Undang-Undang nornor 31 Tahun J 997 tentang Peradilan Militer. Sehubungan dcngan tidak dirumuskannya pejabat penyidik bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana pencucian uang maka diperlukan solusi terbaik dalam rangka penanganan terhadap prajurit TN! yang melakukan tindak pidana pencucian uang. Proses huk u m terhadap praj ur it TN! yang melakukan tindak pidana pencucian uang harus dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, dengan mengacu pada aturan perundang-undangan atau ketentuan hukum yang berlaku sehingga proses tersebut dapat mernberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan ditinjau dari aspek berlakunya mengenal asas undang-undang yang bersifat khusus mengesarnpingkan undangun dang yang bersifat urnum, atau biasa disebut asas lex specialis derogat legi generali . Asas ini berlaku mendunia atau bersifat universal. Asas lex specialis derogat legi generali ini berfungsi untuk mengatisipasi apabila terjadi pertcntangan antara dua peraturan perundang-undangan yang sederajat, misalnya pertentangan antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Di sarnping asas hukurn tersebut, masih terdapat asas hukum yang dapat digunakan untuk menguj i apabila terjadi pertentangan antar undang-undang, yaiotu asal/ex posterior derogat legi priori dan lex superior derogat legi iuferiori. Permasalah terjadi apabila undang-undang tersebut bersifat scktoral, apakah
:;.J: :;)'amono,Kewenangan Melakukan
ยท::-ladap hal ini dapat diberlakukan
,,,
.
asas hukum
tersebut.
Perbandingan antara Undang-Undang Nomor - Tahun 20 I 0 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang cengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah masing-masing terdapat kekhususan, yaitu Undang-Undang Nomor S Tahun 20 I0 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang cekhususan terdapat padajenis tindak pidana dan penyidiknyasedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer kekhususannya terletak pada pelaku tindak pidana tersebut dan penyidiknya. Jenis tindak pidanan yang diatur dalamUndang-Undang Nornor 8 Tahun 201 0 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah tindak pidana pencucian uang dan penyidiknya sudah ditentukan yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pcmberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Oirektorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dalarn Undang-Undang Nomor 31 Tah 1I n 1997 tentang Perad iIan Mil iter kekhususannya adalah pelaku tindak pidana tersebut adalah prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan prajurit TNI, dan penyidiknya juga khusus yaitu Polisi Militer. Namun dernikian, Penyidik Polisi vliliter itu tidak hanya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang saja, melainkan rnelakukan penyidikan terhadap seluruh tindak pidana, baik tindak pidana umum, tindak pidana militer maupun tindak pidana khusus lainnya. Apabila kita bandingkan dad aspek penyidiknya, mana yang lebih spesialis antara penyidik yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun :;010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan UndangLndang Nomor 31 Tahun ] 997 tentang Peradilan Militeradalah penyidik yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 201 Otentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Apabila menggunakan penyidik sesuai dengan yang dirumuskan Pasal74 Undang-UndangNomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pernberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
dan Penjelasannya yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kedudukan Ankurn"; dan Papera!? yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997tentang Peradilan Mi Iiter. Sampai saat ini kewenangan Aukum dan Papera dalam meIaksanakan penahanan dan penyerahan perkara untuk diperiksa, dituntut, diadili dan diputus di Peradilan Militer rnasih berIaku dan diatur oleh undang-undang, sehingga kedudukannya sangat kuat. Belum ada ketentuan yang mengatur tentang proses penyelesaian perkara terhadap prajuritTNI yang melakukan tindak pidana untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh Peradilan Umum, kecuali tindak pidana HAM berat yang disidik oleh penyidik Komnas HAM dan diperiksa,diadili dan diputus pada peradilan HAM. Sebagai perbandingan, kasus korupsi yang melibatkan anggota OPR RI yang terkenal dengan sebutan kasus Miranda Goeltom Gate, bahwa Miranda dalam pemilihan sebagai Deputy Gubernur Bank Indonesia memberikan gratifikasi tcrhadap beberapa anggota DPR RI. Tiga diantara anggota DPR tersebut berasal dari Fraksi TNI yang melibatkan TNI aktif, satu Jendral dari TNI AD. satu dari TNI AU, dan satu dari TNT AL. Penyidikan terhadap prajurit TNI tersebut dilakukan oleh penyidik Polisi Militcr, dituntut olch Oditur MiliterTinggi dan disidangkan di Peradilan Militer Tinggi dan telah diputus olch Hakim Peradilan MiliterTinggi hinggaillkracht (berkekuatan hukum tetap). Apabila kita analisis rnaka tindak pidana korupsi seharusnya penyidiknya adalah KPK dan diperiksa, diadili dan diputus pada Peradilan Tipikor, apabila kita beranggapan bahwa Undang-Undang Nornor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan lex specialis terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 ten tang Peradilan Militer. Namun kenyataannya tidaklah dernikian, pertimbangan yang digunakan saat ini adalah bahwa KPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang peJakunya adalah prajurit TNT aktif karena memang aturan pelaksanaannyajuga belum ada. Dalam rangka mengisi kekosongan hukurn maka tetap digunakan Undang-Undang Nomot 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Selain penyidiknya yang berbeda, hukum acara yang digunakan juga berbeda. Undang-Undang Nornor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 5
Perspektif
Hukum, Vol. 13 No.1 Mei 2013 : 1 - 7
Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP kecuali Tipikor menggunakan hukurn acara sesuai dengan UndangUndang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sedangkan untuk lingkungan ten~ara menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Militer sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997tentang Peradilan Militer. Apabila dianilis dengan pendekatan asas lukum lex spesialis derogat legi generali maka yang spesialis adalah UndangUndang Nornor 31 Tahun 1997tentang Peradilan M iliter, kecuali tindak pidana korupsi yang disidik oleh KPK dan disidangkan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Tipikor. KUHAP digunakan untuk beracara semua tindak pidana, sehingga bersifat umum, sedangkan KUHAPMIL khusus untuk beracara bagi prajurit TNl yang melakukan tindak pidana.
Pernberantasan
CATATAN AKHIR Solusi yang ditawarkan adalah melakukan rev isi atau amandemen terhadap Undang-Undang :\omor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan merumuskan secara tegas kewenangan penyidik Polisi M iliter untuk memeriksa prajurit 1NI yang rnelakukan tindak pidana pencucian uang, atau meminra fatwa kepada Mahkamah Agung agar Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa tentang kewenangan Polisi Militer untuk melakukan penyidikan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana pencucian uang. DAFTAR PUSTAKA Dwiyono, TNI Diadili di Peradilan Umum, Siapa Takut, Majalah Forum Hukum, 2006, Vol 4 No.2-06. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitus i, Jakarta, Rajagrasindo Persada, 2010. Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Independence Judiciary), Surabaya, Untag Press, 2010, hal. Xi. Soegiri dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Indonesia,
Jaya, 1976 6
Jakarta,
Cv. Indra
'----, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ------, Keteta.pan MPR RI Nomor: VIII MPRl2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. ----,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. .Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. ----,Undang-U ndang Nomor 8 Tahun 20 10 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (Footnotes) I Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Kons ti lust, Jakarta, Rajagrasindo Persada, 2010, hal., 61-62. 2 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
(Independence
Judiciary),
Surabaya, Untag Press, 2010, hal. Xi. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. "Soegiri dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan 3
Militer dt Indonesia,
Jakarta,
CV. Indra
Jaya, 1976, ha1.6. 5 Dwiyono, TN! Diadili di Peradilan Umu111, Siapa Takut, Majalah Forum Hukum, 2006, Vol 4 No.2-06. 6 Pasal I butir 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ten tang Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 7 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 8politik hukum adalah aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupanya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang 'ada; 2) cara-cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan terse but; 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk mernbantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta
Budi Pramono. Kewenangan Melakukan
.
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Selanjutnya baca Satj ipto Rahardjo, lmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, Hal. 358-359, baca juga Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata
Negara Pasca Amandemen 9
Konstitusi,
Jakarta, Rajawali Pers, 2010, Hal. 49. Atasan yang Berhak Menghukum atau Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini.
10
Perwira Penyerah Perkara atau Papera adalah perwira yang oleh atau atas dasar lindangundang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam lingkup Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
7