KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambarawa)
S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari'ah
Disusun Oleh : DEDY SULISTIYANTO NIM : 211 05 009
JURUSAN SYARI'AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
ﺎﻫﻠِﻬ ﻣﺎ�َﺎﺕِ ﺇِﻟَﻰ َﺃ ﻭﺍ ﺍْﻟ َﺄﺆﺩ ﻥ ُﺗ ﻢ َﺃ ﺮ ُﻛ ﻣ ﻳ ْﺄ ﻪ ﺍﻟﱠﻠِﺇﻥ ِﺪﻝ ﻌ ﻮﺍ ﺑِﺎْﻟﺤ ُﻜﻤ ﻥ َﺗ ﺎﺱِ َﺃﻦ ﺍﻟﻨ ﻴﺑ ﻢ ﻤُﺘ ﺣ َﻜ ﻭﺇِﺫَﺍ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (Q.S. An-Nisa : 58)
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada pihak-pihak yang penulis anggap mempunyai peran penting dalam hidupnya 1. Ayahanda yang selalu menyayangi dan kusayangi 2. Ibunda yang selalu menemani dalam kesaharianku yang telah mengorbankan banyak hal untuk kebutuhan hidup, baik doa maupun materi sampai berakhirnya masa studi Strata I 3. Istri tercinta yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan strata I 4. Ananda “Distya Azka Nadzifa” yang menjadi penyemangat penulis (ayahanda)
viii
KATA PENGANTAR
ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢﺑﺴﻢ ﺍ Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat serta
hidayah-Nya.
Dengan
rahmat
serta
hidayah-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambawara)”. Penulisan skripsi ini bertujuan memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syrai'ah Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) salatiga. Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mugkin mencurahkan fikiran yang dimiliki. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua STAIN 2. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah STAIN Salatiga. 3. Bapak Farkhani, S.H.I, S.H., M.H. selaku Kepala Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. 4. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah berkenan secara ikhlas dan sabar meluangkan waktu serta mencurahkan pikiran dan tenaganya memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna sejak awal proses penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
ix
x
ABSTRAK SULISTIYONO, DEDY. 211 05 009. KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambawara). Skripsi Jurusan Syariah, Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Kata kunci : Kewajiban Suami Narapidana dan Nafkah Keluarga Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah Bagaimanakah cara suami narapidana terhadap pemenuhan nafkah keluarga di lembaga pemasyarakatan kelas IIA beteng Ambarawa?, Adakah faktor-faktor yang menghambat / mendukung terhadap pemenuhan nafkah suami terhadap istri? Adakah solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh kepala keluarga (suami)? Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Sedang metode yang digunakan, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan metode analisis data. Subyek penelitian yang mewakili dari macam tindak pidana yang dilakukan sebanyak 8 responden, menggunakan teknik populasi dan dilakukan secara acak (random sampling). Data penelitian yang terkumpul di analisis dengan menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Sedangkan jenis penelitian (field research), tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Adapun hasil analisis dari penelitian diperoleh kesimpulan kewajiban suami (narapidana) terhadap nafkah keluarga, masih tetap bisa diberikan sesuai dengan kemampuan, cara menafkahi keluarga adalah ikut dalam pembinaan kemandirian dan mendapat upah, memberikan wewenang untuk mengelola barang yang ditinggalkan kepada keluarga sebelum mendekam di penjara. Faktor pendukung pemenuhan nafkah keluarga oleh narapidana yaitu: adanya komunikasi yang baik dengan keluarga, adanya dukungan dari pihak lembaga pemasyarakatan yang berupa pembinaan kemandirian, kesadaran keluarga terhadap kondisi narapidana tidak memenuhi. Sedangkan faktor penghambat yaitu tidak bisa bebas beraktifitas karena terikat pada peraturan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan. Solusi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi, pemberian wewenang mengelola barang-barang yang ditinggalkan untuk dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat meninggalkan istri/keluarga mendekam di balik penjara berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf j UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atas persetujuan lembaga yang terkait. Tinjauan hukum Islam dan peraturan perundangan yang berkaitan terhadap kewajiban suami narapidana dalam memberikan nafkah keluarga, sebagai berikut: dalam Islam kewajiban suami memberikan nafkah keluarga hukumnya wajib sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah 2:233, menurut peraturan perundang-undangan kewajiban suami memberikan nafkah ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XII Pasal 77 sampai Pasal 84.
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO ...........................................................................
ii
HALAMAN DEKLARASI........................................................................
iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN........................................................
iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................
v
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
viii
KATA PENGANTAR................................................................................
ix
ABSTRAK ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI...............................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................
1
B. Penegasan Istilah ..................................................................
7
C. Rumusan Masalah ................................................................
8
D. Tujuan Penelitian .................................................................
8
E. Kegunaan Penelitian.............................................................
9
F. Telaah Pustaka .....................................................................
9
G. Kerangka Teori.....................................................................
11
H. Metode Penelitian.................................................................
14
I. Sistematika Penulisan...........................................................
18
GAMBARAN UMUM TENTANG NAFKAH A. Pengertian Nafkah Keluarga Dalam Islam..........................
20
B. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Keluarga Dalam Islam....................................................................................
23
C. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Menurut Perundangundangan .............................................................................
32
D. Ketentuan Nafkah Menurut Fiqh.........................................
35
E. Fenomena Tanggungjawab Nafkah Keluarga pada Zaman Modern ................................................................................
xii
38
BAB III
DATA HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas II-A Beteng Ambarawa .............................................
46
1. Demografi .....................................................................
46
2. Struktur Bangunan ........................................................
46
3. Kepegawaian.................................................................
47
4. Struktur Organisasi .......................................................
48
5. Sarana dan Prasarana ....................................................
49
6. Denah Lapas..................................................................
50
B. Data Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Beteng Ambarawa ...............................................................
51
C. Cara-Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri ............
55
D. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pemenuhan Nafkah .................................................................................
63
E. Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah Ditinggal Oleh Suami.............................. BAB IV
64
ANALISA DATA A. Analisis Terhadap Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri .........................................................................
67
B. Analisis Terhadap Faktor Pendukung dan Penghambat Pemenuhan Nafkah .............................................................
73
C. Analisis Terhadap Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah ditinggal oleh Suami ..... BAB V
75
PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................
89
B. Saran....................................................................................
90
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Daftar Narapidana/Tahanan/Anak Didik Berdasarkan Agama Yang Dianut ..............................................................................
52
Tabel 3.2 Daftar Tingkat Pendidikan Narapidana .....................................
52
Tabel 3.3 Daftar Narapidana Yang Dijadikan Informan ...........................
53
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahrom (Rasjid, 1994:374). Pernikahan merupakan salah satu pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan sebagai jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga sekaligus sebagai jalan untuk melanjutkan keturunan. Sebab kalau tidak dengan nikah tidak jelas siapa yang akan mengurusi dan siapa yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Dengan demikian, perkawinan merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh Agama maupun Negara. Begitu juga setiap individu pasti menginginkan adanya sebuah perkawinan untuk meciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara suami dan isteri. Namun dari pada itu, kebahagiaan hanya akan tercapai apabila setiap orang mematuhi peraturan perundangan yang berlaku serta terpenuhinya kewajiban dan hak antara suami dan isteri tersebut serta anggota keluarga yang lain. Segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur secara terperinci oleh hukum Islam dan Negara. Salah satu hal yang di atur oleh aturan agama dan undang-undang ialah mengenai nafkaf seorang suami terhadap isteri dan anggota keluarganya. Apabila terjadi suatu perkawinan yang dilakukan, sedangkan hak-hak yang ada tidak terpenuhi dan kewajiban tidak dilaksanakan, maka dapat diadakan perceraian terhadap perkawinan
1
tersebut. Karena begitu pentingnya pernikahan, maka Islam memberi banyak peraturan untuk menjaga keselamatan dari perkawinan sekaligus hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan itu sendiri. Dengan mengetahui tentang hak dan kewajiban suami istri tadi diharapkan pasangan suami istri akan saling menyadari akan pentingnya melaksanakan hak dan kewajibannya, sehingga tidak mendholimi satu sama lain dan dapat bekerja sama menggapai keluarga sakinah, mawadah, dan rohmah. Selain itu perkawinan merupakan sebagai wujud perbuatan hukum antara suami dan istri, perkawinan tidak hanya dimaknai untuk merealisasikan ibadah kepada Allah SWT saja, tetapi disisi lain dengan adanya sebuah perkawinan maka menimbulkan akibat hukum keperdataan antara keduanya. Melihat tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, maka disini ada pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terpenuhi maka dambaan suami istri dalam kehidupan berumah tangga akan dapat terwujud didasari rasa cinta dan kasih sayang (A.Rofiq, 2003:181). Sebagaimana dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 19 disebutkan :
ـﺄْﺗِﲔﻥﻳ َﺇِﻟﱠـﺎﺃﻦـﻮﻫﻴﺘُﻤَﺍﺗـﺎ ﺀﻌﺾِﻣ ﻮﺍﺑِـﺒﺒﻟِﺘَﺬْﻫﻦﻌﻀُﻠُﻮﻫ َﻟَﺎﺗﺎ ﻭﺮﻫ َ ﻛﺎﺀﺴﻥﺗَﺮِﺛُﻮﺍ ﺍﻟﻨ َﻢﺃ ُﺤِﻞﱡﻟَﻜﻮﺍﻟَﺎﻳﻨﺍﻣ ﺀﺎﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﻳﺎﺃَﻳ ﺍـﺮﻴﻓِﻴـﻪِ ﺧـﻞَ ﺍﻟﻠﱠـﻪﺠﻌ ﻴﺌًﺎ ﻭﻳــﻮﺍ ﺷﻫﻥﺗَﻜْﺮ َﻰﺃـﺴﻓَﻌﻦـﻮﻫﻫﺘُﻤ ِﻥ ﻛَﺮ ِﻭﻑِﻓَـﺈﻌﺮ ﺑِـﺎﻟْﻤﻦﻭﻫﺎﺷِـﺮﻋـﺔٍ ﻭﻨﻴﺒﺔٍﻣﺑِﻔَﺎﺣِﺸ ﺍﻛَﺜِﲑ Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
2
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".(Departemen Agama RI, 2000:119) Ayat di atas merupakan petunjuk yang bersifat umum dalam pergaulan antara suami dan istri, agar diantara mereka dapat bergaul secara ma'ruf (baik) pergaulan tersebut bukan hanya meliputi aspek fisik, tetapi juga aspek psikis atau perasaan, dan juga aspek ekonomi yang menjadi penyanga tegaknya bahtera rumah tangga (A.Rofiq, 2003:182). Adanya ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam sebuah rumah tangga tersebut bertujuan agar pasangan suami istri bisa saling mengerti, memahami tentang mana yang menjadi wewenang dari masing-masing. Di antara keduanya dapat mengetahui mana yang menjadi hak suami atau hak istri dan mana yang menjadi kewajiban suami atau kewajiban istri. Karena apa yang menjadi hak istri adalah kewajiban suami untuk memenuhinya dan hak suami adalah kewajiban istri untuk memenuhinya. Dengan adanya hak kewajiban suami istri tersebut tampak sekali hubungan antara keduanya, yaitu antara suami dan istri itu harus saling melengkapi dalam berbagai persoalan di dalam rumah tangga. Pada dasarnya konsep hubungan suami istri yang ideal menurut Islam adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara antara keduanya namun konsep kesetaraan atau kemitrasejajaran dalam hubungan suami istri tidak begitu saja mudah diterapkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Buktinya sering dijumpai banyak berbagai hambatan untuk mewujudkan nilai yang ideal tadi. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan satu sama lain yang dimiliki oleh manusia, kemampuan antara manusia yang satu
3
dengan manusia yang lain juga berbeda, oleh karena itu, wajar bila pada suatu waktu kaum laki-laki yang diunggulkan, karena memang dia berhak menyandang posisi sebagai pemimpin. Laki-laki yang mempunyai kelebihan kekayaan dan kemampuan berburu, sehingga memungkinkan bagi kaum lakilaki untuk mencari nafkah. Sementara kaum perempuan dalam kondisi yang sebaliknya (Munti, 1999:56-58). Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228 :
....ٌﺔﺟﺭ ﺩﻴﻬِﻦَﻠﺎﻝِ ﻋﺟﻟِﻠﺮﻭﻑِ ﻭﻌﺮ ﺑِﺎﻟْﻤﻴﻬِﻦَﻠﻣِﺜْﻞُﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋﻦﻟَﻬﻭ... Artinya : "… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya…." (Departemen Agama RI, 2000:55) Membina sebuah rumah tangga memang bukan hanya untuk saling menguasai dan memiliki antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena pernikahan bukan hanya sebagai sarana pemuas nafsu seksual semata. Di dalamnya terdapat banyak tugas dan kewajiban yang besar bagi kedua belah pihak termasuk tanggung jawab ekonomi. Nafkah merupakan satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami terhadap istrinya, nafkah ini bermacam-macam, bisa berupa makanan, tempat tinggal, pelajaran (perhatian), pengobatan, dan juga pakaian meskipun wanita itu kaya (Kisyik, tth:128). Firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat 233:
....ِﻭﻑﻌﺮ ﺑِﺎﻟْﻤﻦﺗُﻬﺴﻮ ِﻛ ﻭﻦ ﺭِﺯْﻗُﻬﻮﻟُﻮﺩِﻟَﻪ ﻠَﻰﺍﻟْﻤﻋﻭ... Artinya : "…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.….." (Departemen Agama RI, 2000:57) Memberikan nafkah itu wajib bagi suami sejak akad nikahnya sudah sah dan benar, maka sejak itu seorang suami wajib menanggung nafkah istrinya dan ini berarti berlakulah segala konsekwensinya secara spontan. Istri
4
menjadi tidak bebas lagi setelah dikukuhkannya ikatan perkawinan (Kisyik, tth:134). Berbagai alasan yang bisa menyebabkan suatu perkawinan diakhiri dengan perceraian, antara lain: Pasal 19 huruf (c) PP No 9 Tahun 1975 perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Memang kesannya betapa tidak manusiawinya seorang isri jika suaminya dipenjara kemudian si istri mengajukan perceraian. Harus juga diingat bahwa selama mendekam di penjara, suami atau istri juga tidak bisa menjalankan kewajiban-kewajibannya, seperti seorang suami yang tidak bisa member nafkah bagi istri dan keluarganya. Tapi tentu juga di sadari, yang berada di luar penjara beban tidak lebih ringan, karena harus menanggung beban sosial, juga menanggung beban ekonomis. Kalau suami yang dipenjara sebelum mendiami bilik penjara telah meninggalkan harta yang cukup untuk menghidupi keluarganya saat dia dipenjara, tentu tak masalah. Tapi jika keadaan sebaliknya, tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi harus menunggu waktu yang tidak sedikit. Mendasarkan pada fakta yang terjadi apakah setiap kepala keluarga yang masuk ke penjara, rumah tangganya harus berakhir dengan perceraian? dan apakah hanya dengan perceraian masalah tersebut dapat diatasi. Perkembangan zaman dan semakin sempurnanya UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, rasanya alasan ini perlu ditinjau kembali. Karena jangan sampai mereka yang berada di balik terali besi harus
5
menanggung beban baru lagi, jika pasangannya mengajukan perceraian. Melihat Pasal 14 ayat (1) huruf j UU No. 12 Tahun 1995, sebenarnya alasan ini perlu ditinjau karena seorang narapidana mempunyai hak cuti untuk mengunjungi keluarga, sehingga kebutuhan biologis (jika memang bisa disebutkan begitu) dapat terpenuhi, juga masalah ekonomi, seorang narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat ditinggal mendekam di balik penjara. Menurut saya, undang-undang ini memang masih cukup efektif jika masalah pidana umum yang korbannya adalah kerabat istri atau suami. Sehingga ada rasa sakit hati yang dalam dampaknya untuk meneruskan rumah tangga hal yang sangat sulit. Hal ini bisa kita kiaskan dalam hukum Islam, dimana seorang ahli waris tidak berhak mendapat warisan dari pewaris, jika ahli waris tersebut membunuh pewaris. Namun secara realita, undang-undang tersebut belum pernah diterapkan, sehingga seorang napi dalam keterbatasannya di dalam penjara tetap menanggung nafkah terhadap keluarganya yang tidak dapat terpenuhi, serta konsekwensi perceraian dari isteri apabila tidak terima dengan keadaan yang dialaminya. Melihat kenyataan tersebut, penulis tertarik ingin meneliti mengenai kehidupan narapidana yakni kewajiban nafkah yang ditanggungnya serta kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Dengan maksud untuk mengetahui yang dilakukan oleh seorang narapidana untuk menghidupi keluarga dan mengetahui kehidupan keluarga yang ditinggal agar tetap dapat bertahan tanpa kepala keluarga sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Maka penulis
6
mengkaji tentang "KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambarawa)" sebagai bahan penulisan skripsi. B. Penegasan Istilah 1. Kewajiban suami Kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang mendapat dimbuhan kedan akhiran -an berarti keharusan/sesuatu yang harus dilakukan (http:www.wikipedia.com//id.shvoong.com/writingandspeaking/2077878pengertian-hak-dan-kewajiban/ dicopy pada 5 Juni 2012). Jadi yang dimaksud kewajiban suami adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan terus menerus oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. 2. Narapidana Narapidana menjalani
adalah hukuman
orang karena
hukuman/orang tindak
yang
pidana;
sedang terhukum
(http:www.google.com//blogtentangpengertian.info/pengertiannarapidana/ dicopy pada 5 Juni 2012). Menurut kamus istilah aneka hukum, narapidana merupakan orang yang sedang menjalani pidana atau hukuman dalam penjara (di lembaga pemasyarakatan). 3. Nafkah Keluarga Nafkah keluarga terdiri dari dua suku kata “nafkah” dan “keluarga”. Nafkah artinya belanja untuk memelihara kehidupan, rezeki makanan
7
sehari-hari, uang belanja yang diberikan kepada istri. Keluarga artinya sanak saudara;, kaum kerabat, sanak saudara yang bertalian oleh perkawinan. orang seisi rumah; anak dan istri (W.J.S Poerwadarminta, 1985). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah keluarga membelanjakan atau mempergunakan (uang) untuk keperluan hidupnya atau keperluan lain dalam keluarga. C. Rumusan Masalah Dari apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang, mengenai keterbatasan seorang narapidana di dalam penjara dan kewajiban yang harus dipenuhi maka batasan rumusan masalah yang menjadi fokus penellitian, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah cara suami narapidana terhadap pemenuhan nafkah keluarga di lembaga pemasyarakatan kelas IIA beteng Ambarawa? 2. Adakah
faktor-faktor
yang
menghambat
/
mendukung
terhadap
pemenuhan nafkah suami terhadap istri? 3. Adakah solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh kepala keluarga (suami)? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pola pemberian nafkah bagi keluarga narapidana ketika ditinggal oleh kepala keluarga di dalam penjara. 2. Untuk mengetahui dampak dan solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh kepala keluarga (suami).
8
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan peraturan perundangundangan yang berkaitan terhadap kewajiban suami narapidana dalam memberikan nafkah untuk keluarga. E. Kegunaan Penelitian 1. Teoritis Dengan penelitian ini diharapkan adanya pemikiran terhadap nasib keluarga narapidana yang membutuhkan kelayakan perekonomian. . 2. Praktis a. Bagi Masyarakat Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat memperhatikan nasib keluarga narapidana di sekitar mereka. b. Bagi Lembaga Pemasyarakatan Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Lembaga Pemasyarakatan dalam meningkatkan pelayanan, sehingga terwujudnya penerapan Pasal 14 Undang-undang pemasyarakatan (UU No 12 Tahun 1995). c. Bagi STAIN Salatiga Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata pelaksanaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi STAIN sebagai sebuah lembaga pendidikan dalam menentukan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. F. Telaah Pustaka Hal yang membedakan studi ini berbeda adalah berusaha mengupas mengenai kewajiban suami narapidana terhadap nafkah keluarga dalam hal ini
9
nafkah kepada istri dan anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari
selama
suami
menjalankan
sanksi
pidana
di
lembaga
pemasyarakatan. Penelitian serupa telah dilakukan oleh Jumiyati dalam skripsinya yang berjudul Hak dan Kewajiban Suami Istri (Studi Komparasi Antara Fiqh dengan Kesetaraan Gender). Dari karya ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hak suami istri itu telah ditentukan sendiri-sendiri kekuasaannya, sedangkan kewajiban suami istri itu menuntut antara keduanya harus mengerjakan. Kewajiban itu harus saling dihormati, sedang perbandingan antara fiqh dan kesetaraan gender sudah jelas ditetapkan bahwa menurut fiqh suami adalah kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Lain halnya dengan fenomena yang terjadi saat ini, istri keluar rumah atau berkarir untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi disisi lain nafkah itu tetap merupakan kewajiban suami. Perlu penulis tegaskan, bahwa permasalahan yang penulis teliti ini belum pernah diteliti, akan tetapi perspektif atau tinjauan yang digunakan berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Di sini, penulis mencoba meneliti lebih dalam dengan mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu mengadakan penelitian di lingkungan lembaga pemasyarakatan beteng Ambarawa dengan tinjauan hukum Islam dan UU No. 12 Tahun 1995. Lokasi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki perbedaan secara geografis, historis dan budaya pada lingkungan masyarakat.
10
Perbedaan yang lain adalah terletak pada obyek penelitiannya, penelitian ini membatasi dengan ketentuan yang berbeda. Responden dalam penelitian ini adalah narapidana lembaga pemasyarakatan yang telah berkeluarga dengan penjatuhan pidana antara 1-3 tahun lebih. G. Kerangka Teori Dalam rumah tangga ada peran-peran yang dilekatkan pada anggotanya, seperti seseorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga, sedang seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut muncul biasanya karena ada pembagian tugas antara mereka di dalam rumah tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu, ia mendapat bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk seluruh anggota keluarganya. Disamping itu, ia sebagai kepala rumah tangga juga diberi tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi rumah tangganya, sehingga rumah tangga tersebut dapat berjalan sesuai dengan nilainilai Islam. Karena kedua hal tersebut, yakni sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga, maka ia memiliki kekuasaan lebih dibandingkan anggota lainnya, terutama dalam pengambilan keputusan untuk urusan keluarganya. Sementara pada sisi yang lain, istri biasanya bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga sehari-hari. Pembagian peran dan fungsi suami istri tersebut tidak lain bersumber pada penafsiran atas ajaran agama dan nilainilai budaya yang dianut masyarakat. Yakni sebuah nilai yang menempatkan laki-laki sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan rekannya dari jenis kelamin lain, yakni perempuan (Munti, 1999:2-3). Firman Allah dalam Surat An-Nisa 4:34
11
ﻢ ِﺍﻟِﻬـﻮﻦﺃَﻣ ـﺎﺃَ�ْﻔَﻘُـﻮﺍﻣِـﺑِﻤـﺾٍ ﻭﻌﻠَـﻰﺑﻢ ﻋ ـﻀَﻬﻌﺑـﺎﻓَـﻀﱠﻞَ ﺍﻟﻠﱠـﻪﺎﺀِﺑِﻤـﺴﻠَﻰ ﺍﻟﻨ ﻋﻮﻥﺍﻣﺎﻝُﻗَﻮﺟﺍﻟﺮ ﻦﻓَﻌِﻈُـﻮﻫﻦﻮﺯَﻫ�ُـﺸﺍﻟﻠﱠـﺎﺗِﻲﺗَﺨَـﺎﻓُﻮﻥ ﻭﻔِـﻆَ ﺍﻟﻠﱠـﻪـﺎ ﺣـﺐِﺑِﻤﻟِﻠْﻐَﻴﺎﻓِﻈَـﺎﺕ ﺣﻗَﺎ�ِﺘَﺎﺕﺎﺕﺎﻟِﺤﻓَﺎﻟﺼ ﺍﻟﻠﱠـﻪـﺒِﻴﻠًﺎﺇِﻥ ﺳﻴﻬِﻦﻠَـﺒﻐُـﻮﺍ ﻋَﻢﻓَﻠَـﺎﺗ ُﻜـﻨﻥﺃَﻃَﻌ ِﻓَـﺈﻦﻮﻫﺍﺿْـﺮِﺑـﻀَﺎﺟِﻊِ ﻭﻓِﻲﺍﻟْﻤﻦﻭﻫﺮﻫﺠ ﺍﻭ ﺍﺎ ﻛَﺒِﲑﻠِﻴ ﻋﻛَﺎﻥ Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (Departemen Agama RI, 2000:34). Ibnu Katsir berkata, “maksudnya : para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya” (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272). Rasululllah bersabda:
ﻦﻟُﻬﻢ ﻭ ُﻤﻜﻠُﻴ ﻋﻦ ﺭِﺯْﻗُﻬﻦﺗُﻬﺴﻮ ِﻛﻭﻑِ ﻭ ﻌﺮ ﺑِﺎﻟْﻤ Artinya : “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami)”. (HR. Muslim 2137). Selain itu, para ulama bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya (Lihat al-Ijma’ karya Ibnul Mundzir hlm.78, Marotibul
12
Ijma’ hlm.79, al-Washith karya al-Ghozali 6/203, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah 9/229, lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/267-268). Suami sebagai penanggung jawab utama keluarga, baik meliputi aspek ekonomi dan perlindungan terhadap keutuhan rumah tangganya maka ia harus melaksanakan secara tanggung jawab penuh. Aspek ekonomi meliputi pemenuhan belanja yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal. Kewajiban memberikan nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri, prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rizki, rizki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rizki dan untuk memenuhi keperluan keluarganya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu, kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga (Syarifudin,2006:165-166). Hukum membayar nafkah untuk istri baik dalam bentuk belanja, pakaian, tempat tinggal adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah (Syarifudin,2006: 166). Dasar kewajiban tersebut terdapat dalam Al- Qur’an Surat Al Baqoroh 2:233
13
ّﻦ ﺭِﺯْﻗُﻬﻮﻟُﻮﺩِﻟَﻪ ﻠَﻰﺍﻟْﻤﻋﺔَ ﻭﺿَﺎﻋّ ﺍﻟﺮﻢ ّ ِﺘﻥﻳ َﺃﺍﺩﻦﺃَﺭ ﻴﻦِﻟِﻤَﻴﻦِ ﻛَﺎﻣِﻠَﻮﻟ ﺣ ّﻦﻫﻻﺩﺃَﻭﻌﻦ ِﺮﺿ ﻳﺍﺕﺍﻟِﺪﺍﻟْﻮﻭ ِﻟَﺪِﻩﺑِﻮﻟَﻪﻮﻟُﻮﺩ ﻻ ﻣﺎ ﻭﻟَ ِﺪﻫﺑِﻮﺓﺍﻟِﺪ ﻭﺭ ِﻛﻭ ّ ﺎ ﻻﺗُﻀَﺎﻬﺳﻌ ﺇِﻻ ﻭ�َﻔْﺲﻭﻑِ ﻻﺗُﻜَﻠَّﻒﻌﺮ ﺑِﺎﻟْﻤ ّﻦﺗُﻬﺴﻮ ﻢ ُﺩﺗ ﻥﺃَﺭ ِﺇﺎ ﻭﻴﻬِﻤَﻠ ﻋﺎﺡﻨﺭٍﻓَﻼ ﺟﺎﻭﺗَﺸﺎ ﻭﻤﻨﻬِﺍﺽٍﻣﻦﺗَﺮ ﺎﻻ ﻋﺍﻓِﺼﺍﺩﻥﺃَﺭ ِﻓَﺈﺍﺭِﺙِﻣِﺜْﻞُ َﺫﻟِﻚﻠَﻰﺍﻟْﻮﻋﻭ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪﻭﻑِ ﻭﻌﺮ ﻢﺑِﺎﻟْﻤ ُﻴﺘَﺎ ﺁﺗﻢ ﻣ ُﻤﺘ َّﻠﻢﺇِﺫَﺍ ﺳ ُﻴﻜَﻠ ﻋﺎﺡﻨﻢ ﻓَﻼ ﺟ ُﻛﻻﺩﻮﺍﺃَﻭﺮﺿِﻌ َﺴﺘ َﻥﺗ َﺃ ﺼِﲑﺑﻠُﻮﻥﻌﻤ َﺎﺗﺑِﻤ ﺍﻟﻠَّﻪﻮﺍﺃَ ّﻥﻋﻠَﻤ ﺍﻭ Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. H. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan sosiologis. Pendekatan normatif yaitu cara mendekati masalah yang sedang diteliti apakah sesuatu itu baik/buruk, benar/salah berdasarkan norma yang berlaku (Sumitro, 1990:54). Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat. (Soekanto,1988:4-5) Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (field research) yaitu suatu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas (Erna W. Muchtar, 2000:79).
14
Tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku dan tindakan (Moleong, 2007:6) 2. Subjek Penelitian Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian penulis menggunakan subyek penelitian berupa responden (Arikunto, 1997:115). Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah narapidana lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa. Yang akan diteliti adalah narapidana yang posisinya sebagai kepala keluarga telah menjalankan pidana 3 tahun lebih. 3. Pengumpulan Data a. Observasi Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomenafenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Dalam observasi penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan yang akan diteliti. Yaitu datang langsung ke lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa. b. Wawancara Wawancara ini digunakan untuk menperoleh beberapa jenis data dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad, 1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambawara. Untuk mendapatkan data mengenai realita pemenuhan nafkah keluarga peneliti akan mewawancari beberapa narapidana.
15
c. Dokumentasi Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa catatan, data monografi lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa, jumlah narapidan dan lain sebagainya. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data. d. Studi pustaka Yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis, berupa: catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya (Amirin, 1990:135). 4. Analisis Data Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, dokumentasi dan data yang diperoleh dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam hal ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut: a. Deduktif Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam suatu kelas antar jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk dalam kelas/jenis itu. Dalam arti apa yang berlaku pada suatu yang bersifat umum berlaku juga pada sesuatu yang sejenis (Hadi, 1991:42). b. Komparatif
16
Yaitu
cara
pembahasan
dengan
mengadakan
analisis
perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu pengertian/kesimpulan
yang
memiliki
faktor-faktor
yang
ada
hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara suatu faktor dengan faktor yang lain (Surachmad, 1978:135). c. Kualitatif Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses siklus. 5. Sumber Data Sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 yakni: a. Sumber data primer Sumber data primer yang dipakai dalam penulisan ini adalah penjelasan yang didapat dari wawancara terhadap narapidana, keluarga narapidana serta petugas yang bekerja di Lembaga Pemasyarakatan. b. Sumber data sekunder Yakni bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain rancangan undang-undang, hasil penelitian, putusan pengadilan dll (Soekanto & Namudji, 1985:13). Data-data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai undangundang yang mengatur mengenai aturan di Lembaga Pemasyarakatan.
17
6. Pengecekan Keabsahan Data Setelah terkumpulnya data-data yang telah diperoleh dari buku dan dokumen maupun data dari lapangan, maka peneliti melakukan pengecekan data yaitu dengan cara mengadakan perbandingan antara buku dengan buku, buku dengan wawancara atau sebaliknya maupun wawancara dengan wawancara. Tujuannya ialah untuk mendapatkan kevalidan data dan meminimalkan resiko kekeliruan. 7. Tahap-Tahap Penelitian Sebelum penelitian dilakukan penulis mencari tema yang hendak diteliti dan mengumpulkan data-data berupa dokumen yang diperlukan untuk
dipelajari.
Kemudian
mengembangkannya
menjadi
suatu
permasalahan yang menarik untuk diteliti. Dengan bermodalkan data yang ada, dilanjutkan dengan observasi dan wawancara di lapangan yang bertujuan mensinkronkan data yang ada dengan fakta yang terjadi di lapangan. Setelah data dokumen dan data lapangan terkumpul maka dilanjutkan dengan penyusunan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menjadi sebuah karya tulis/skripsi. I. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah proses pembahasan dan pencapaian ide, maka penulis merangkai pembahasan dan sistematika dalam lima bab sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan.
18
Bab II Gambaran Umum Tentang Nafkah, berupa pengertian nafkah keluarga dalam Islam, hak dan kewajiban memberi nafkah keluarga dalam Islam, fenomena tanggungjawab nafkah keluarga pada zaman modern. Bab III Data Hasil Penelitian, berisi tentang gambaran umum lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa, data-data narapidana, cara-cara pemenuhan nafkah suami kepada istri, faktor-faktor pendukung dan penghambat pemenuhan nafkah dan p solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh suami. Bab IV Analisis Data, berisi tentang cara-cara pemenuhan nafkah suami kepada istri, faktor-faktor pendukung dan penghambat pemenuhan nafkah, solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh suami. Bab V Penutup, berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas, saran-saran.
19
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG NAFKAH
A. Pengertian Nafkah Keluarga Dalam Islam. Nafkah keluarga terdiri dari dua suku kata “nafkah” dan “keluarga” , nafkah berarti belanja untuk memelihara kehidupan, rezeki; makanan sehari hari, uang belanja yang diberikan kepada istri. Sedangkan keluarga berarti sanak saudara; kaum kerabat, sanak saudara yang bertalian oleh perkawinan, orang seisi rumah; anak dan istri. Jadi yang dimaksud dengan nafkah keluarga adalah membelanjakan atau mempergunakan (uang) untuk keperluan hidupnya atau keperluan lain lain dalam keluarganya (Poerwadarminto, 1985). Nafkah dari segi etimologi berasal dari bahasa arab yaitu al-Infaq yang berarti pengeluaran (( )ﺍﻹﺧﺮﺍﺝYahya bin Syarf bin Marw al-Nawawiy, 1408
H:288), ada juga yang mengatakan bahwa ia berasal dari akar kata al-nufuq yang berarti hancur (( )ﺍﳍﻼﻙQasim, 1406 H:168). Kata infaq ini tidak dipakai
kecuali dalam hal kebaikan. Ibn Bakar (tth:188) menjelaskan bahwa nafkah yang dimaksud di sini bukanlah berasal dari akar kata al-nufuq, nafaq atau nifaq. Akan tetap ia merupakan nama bagi sesuatu yang dinafkahkan seseorang terhadap keluarganya. Sedangkan menurut terminologi nafkah adalah segala bentuk perbelanjaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
20
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah). Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa-yunfiqu-infaqan (ﺍ�ﻔﺎﻗﺎ-ﻳﻨﻔﻖ-)ﺍ�ﻔﻖ. Dalam kamus
Arab-Indonesia,
secara
etimologi
kata
nafkah
diartikan
dengan
“pembelanjaan”. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad alKhatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik. Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya Badruddin al-Aini mendefinisikan nafkah ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya. Dalam kitabkitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekwensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya. Definisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah, sebagai berikut mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
21
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik. Maka dari itu, para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri. Nafkah terbagi 2 (dua), antara lain (http://manisnyaiman.com/agar-nafkah-keluarga-menjadiberkah/030612): 1. Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap dirinya sendiri ketika dia mampu, nafkah ini harus didahulukan sebelum ia menafkahi
ُ ﻌ َﺗ orang lain. Rasulullah SAW bersabda : (ﻞ
ﻦ ﻤ ِﻤﺒ ﻚ ُﺛ ِﻨ ْﻔﺴِﺪ ﺑ ﺑِ)ﺍ
artinya :
mulailah dari dirimu kemudian keluargamu. 2. Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap orang lain. kewajiban nafkah terhadap orang lain ini disebabkan karena adanya tiga faktor yaitu: hubungan pernikahan, hubungan keturunan dan hubungan perbudakan (al-milk) . Perbudakan yang sebenarnya sudah diharamkan oleh Islam karena Islam telah menyamakan status sosial manusia, hanya
22
saja hukum fiqh selalu membahas perbudakan sebagai kontrol terhadap sistem perbudakan yang masih eksis dalam sebuah masyarakat, agar tidak terjadi kesewang-wenangan. karena sistem perbudakan tidak terhapus begitu saja setelah datangnya Islam. Hal ini disebabkan sistem perbudakan sudah menjadi tradisi sosial masyarakat yang sudah mengakar dimasa jauh sebelum Islam datang. B. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Keluarga Dalam Islam Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi juga dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya Islam yang mampu mengatur hukum yang berkenaan dengan umatnya pada penempatan masalah secara adil dan proporsional, tidak ditambah atau dikurangi, karena setiap hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama (Kimsyik, 2000:120). Keluarga merupakan dasar dalam membina sebuah masyarakat, dasar pembentukannya yaitu atas unsur ketakwaan hamba kepada Allah SWT. Hal ini merupakan perantara menuju jalan kebahagiaan dan kemuliaan Islam menganjurkan umatnya untuk mendirikan sebuah keluarga atas dasar iman, Islam dan ihsan yang mana unsur tersebut didasari rasa cinta, kasih dan sayang, yang pada akhirnya hal ini akan menumbuhkan kerja sama yang baik antara suami istri dengan modal utamanya yaitu rasa cinta, kasih dan sayang, saling percaya juga saling menghormati karena setiap muslim itu bersaudara satu sama lain.
23
Dalam sebuah keluarga apabila akad nikah telah berlangsung secara sah, maka konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami istri adalah memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. 1. Bentuk-bentuk hak dan kewajiban suami istri Jika aqad nikah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum, dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban itu ada tiga macam yaitu : a. Hak istri atas suami Hak istri yang harus dipenuhi oleh suami terdiri dari hak kebendaan dan hak rohaniah (Sabiq, 1999:53). 1) Hak kebendaan a) Mahar Diantara hak material istri adalah mahar (mas kawin). Pemberian mahar dari suami kepada istri adalah termasuk keadilan dan keagungan Hukum Islam. Jika seorang wanita diberi hak miliknya atas mahar tersebut. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' (4) : 4
ﻫﻨِﻴﺌًـﺎ ﻩﺎ َﻓ ُﻜﻠُـﻮﻪ َ� ْﻔﺴ ﻨِﻲﺀٍ ﻣ ﺷ ﻦ ﻋ ﻢ ﻦ َﻟ ُﻜ ﺒِﻥ ﻃ ِﺤَﻠ ًﺔ َﻓﺈ ِ� ﺪﻗَﺎِﺗِﻬﻦ ﺻ ﺀ ﺎﻨﺴﺍﺗُﻮﺍ ﺍﻟﻭﺀ (٤:ﻣﺮِﻳﺌًﺎ )ﺍﻟﺴﺎﺀ Artinya : " Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya" (Departemen Agama RI, 2000:115).
24
b) Belanja (nafkah) Yang dimaksud dengan belanja (nafkah) di sini yaitu memenuhi
kebutuhan
makan,
tempat
tinggal,
pakaian,
pengobatan istri dan pembantu rumah tangga jika ia seorang kaya. Hukum memberi belanja terhadap istri adalah wajib (Sabiq, 1999:77). Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 233 disebutkan:
ﺲ ﺇِﻟﱠـــﺎ ﻒ َ�ﻔْــ ﻭﻑِ ﻟَـــﺎ ُﺗ َﻜﻠﱠــﻌﺮ ﻤ ﻦ ﺑِــﺎْﻟ ﻬﻮُﺗ ﺴ ﻭﻛِــ ﻦ ــﻪ ﺭِ ْﺯ ُﻗﻬ ﻮﻟُـــﻮﺩِ ﻟَــ ﻤ ﻋﻠَـــﻰ ﺍْﻟ ﻭ ... ....ﺎﻌﻬ ﺳ ﻭ Artinya : "…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (Departemen Agama RI, 2000:57). Mengenai kadar nafkah pada dasarnya berapa besar yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya adalah dapat mencukupi keperluan secara wajar. 2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah) Diantara hak istri sebagaimana yang telah disebutkan yang berupa kebendaan itu ada dua macam yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan hak istri yang lainnya adalah berwujud bukan kebendaan adapun hak tersebut yaitu: a) Mendapat pergaulan secara baik dan patut (Syarifudin, 2006:160). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat AnNisa' ayat 19
25
ـ َﻞﺠﻌ ﻳﻴﺌًﺎ ﻭـﻮﺍ ﺷﺮﻫ ﻥ َﺗ ْﻜ ﻰ َﺃﻌﺴ ﻦ َﻓ ﻫ ﻮﻫُﺘﻤ ِﻥ َﻛﺮ ِﻭﻑِ َﻓﺈﻌﺮ ﻤ ﻦ ﺑِﺎْﻟ ﻫ ﻭﺎﺷِﺮﻭﻋ ... ﺍﺍ َﻛﺜِﲑﻴﺮﺧ ِﻪ ﻓِﻴﻪ ﺍﻟﱠﻠ Artinya : "…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Departemen Agama RI, 2000:119). Yang dimaksud dengan pergaulan secara khusus di sini adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Selain itu suami juga harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai merusak atau menyakiti hatinya. b) Mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh suatu kesulitan dan mara bahaya. Mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suami (Syarifudin, 2006:161). c) Pembatasan kelahiran Dalam Islam disebutkan menyukai banyak anak karena hal ini sebagai tanda dari adanya kekuatan daya pertahanan terhadap umat-umat dan bangsa lain. Sebagaimana dikatakan bahwa kebesaran adalah terletak pada keturunan yang banyak, karena itu Islam mensyari'atkan kawin (Sabiq, 1999:121). Namun
dalam
keadaan
istimewa
Islam
tidak
menghalangi pembatasan kelahiran dengan cara pengobatan guna mencegah kehamilan atau cara-cara lain. Pembatasan 26
kelahiran ini dibolehkan bagi laki-laki yang sudah banyak anaknya dan tidak sanggup lagi memikul beban pendidikan anaknya dengan sebaik-baiknya begitu pula kalau istri keadaannya lemah atau mudah hamil atau suami dalam keadaan miskin. b. Hak suami atas istri Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak-hak yang sifatnya bukan benda, mengapa demikian? Sebab menurut ketentuan Hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan lebih diutamakan istri tidak bekerja mencari nafkah, jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan serta membina keluarga. Kewajiban ini cukup berat bagi istri yang memang benar-benar akan melaksanakannya dengan baik. Sesuatu yang menjadi hak suami merupakan kewajiban bagi istri untuk melaksanakannya adapun kewajiban istri terhadap suaminya yaitu: 1) Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya 2) Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya.
27
3) Taat dan patuh pada suami selama suaminya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat kewajiban ini sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa' ayat 34.
....ﻪ ﻆ ﺍﻟﱠﻠ َ ِﺣﻔ ﺎﻴﺐِ ﺑِﻤﺕ ﻟِْﻠ َﻐ ﺎﻓِﻈَﺎﺕ ﺣ ﺕ َﻗﺎ�ِﺘَﺎ ﺎﺼﺎﻟِﺤ َﻓﺎﻟ... Artinya : "…perempuan-perempuan yang saleh ialah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami) memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka…" (Departemen Agama RI, 2000:123). 4) Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah. 5) Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya. 6) Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar (Syarifudin, 2006:162-163). c. Hak bersama suami istri 1) Halal saling bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya 2) Haram melakukan perkawinan Setelah akad nikah di sini terjadi hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya, akibatnya istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya, anaknya, cucunya begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
28
3) Hak untuk saling mendapat warisan Akibat dari ikatan perkawinan yang sah adalah bila salah seorang meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan maka akan mendapatkan warisan (Sabiq, 1999:52). Selain hak bersama antara suami istri, dalam fiqh juga disebutkan mengenai tanggung jawab diantara keduanya secara bersama-sama setelah terjadinya perkawinan. Kewajiban itu ialah: 1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut. 2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rohmah (Syarfudin, 2006:163-164). 2. Kewajiban nafkah suami menurut fuqaha Keempat Imam madzhab yaitu Maliki, Hanafi, Shafi'i dan Hambali sepakat bahawa memberikan nafkah itu hukumnya wajib setelah adanya ikatan dalam sebuah perkawinan. Akan tetapi keempat imam madzhab memiliki perbedaan mengenai kondisi, waktu dan tempat, perbedaan tersebut terletak pada waktu, ukuran, siapa yang wajib mengeluarkan nafkah dan kepada siapa saja nafkah itu wajib dberikan. Keempat imam madzhab sepakat bahawa nafkah meliputi sandang, pangan dan tempat tinggal (Al-Jaziri, 1969:553). Adapun pendapat dari masing-masing fuqaha sebagai berikut : a. Madzhab Maliki Menurut Imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan kewajiban ketiga dari seorang suami setelah membayar mahar dan
29
berlaku adil kepada istri. Kalau terjadi perpisahan antara suami dan istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta asli istri tetap menjadi milik istri dan harta asli milik suami tetap menjadi milik suami, menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah wajib apabila suami sudah mengumpuli istrinya. Jadi nafkah itu tidak wajib bagi suami sebelum ia berkumpul dengan istri (Muhammad, t.th:41). Sedangkan mengenai ukuran atau banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan adalah disesuaikan dengan kemampuan suami. Nafkah ini wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz. Jika suami ada atau masih hidup tetapi dia tidak ada ditempat atau sedang bepergian suami tetap wajib mengeluarkan nafkah untuk istrinya (Muhammad, t.th:42). b. Madzhab Hanafi Menurut Imam Hanafi mencukupi nafkah istri merupakan kewajiban kedua dari suami setelah membayar mahar dalam sebuah pernikahan. Nafkah diwajibkan bagi suami selama istri sudah baligh (Muhammad, t.th:42). Mengenai jumlah nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami terhadap istri disesuaikan dengan tempat kondisi dan masa. Hal ini dikarenakan kemampuan antar satu orang dengan orang yang lain berbeda. Pembedaan jumlah nafkah itu berdasarkan pada pekerjaan suami, jadi kadar atau jumlah nafkah bisa berbeda-beda antara
30
keluarga yang satu dengan yang lain. Pendapat Imam Hanafi menyebutkan bahwa nafkah wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz. Tetapi jika suami masih hidup dia tidak berada ditempat maka suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri (Muhammad, t.th:42). c. Madzhab Syafi'i Menurut Imam Syafi'i hak istri sebagai kewajiban suami kepada istrinya adalah membayar nafkah. Nafkah tersebut meliputi, pangan, sandang, dan tempat tinggal. Nafkah wajib diberikan kepada istrinya yang sudah baligh. Sedangkan mengenai ukuran nafkah yang wajib diberikan kepada istri berdasarkan kemampuan masing-masing. Adapun perinciannya yakni jika suami orang mampu maka nafkah yang wajib dikeluarkan setiap hari adalah 2 mud, menengah 1 1/2 mud, dan jika suami orang susah adalah 1 mud (Muhammad, t.th:42). Nafkah tersebut wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz selama suami ada dan merdeka. d. Madzhab Hambali Menurut Hambali suami wajib membayar atau memenuhi nafkah terhadap istrinya jika pertama istri tersebut sudah dewasa dan sudah dikumpuli oleh suami, kedua, istri (wanita) menyerahkan diri sepenuhnya kepada suaminya. Nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami meliputi makanan, pakaian, dan tepat tinggal (Al-Jaziri, 1969:553). Memberikan makanan ini wajib, setiap harinya yaitu dimulai sejak terbitnya matahari (Al-Jaziri, 1969:561). Sedangkan mengenai nafkah
31
yang berwujud pakaian itu disesuaikan dengan kondisi perekonomian suami. Bila istri memakai pakaian yang kasar maka diwajibkan bagi suami memberi kain yang kasar juga untuk tempat tinggal kewajiban disesuaikan menurut kondisi suami (Al-Jaziri, 1969:562). C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Perundang-undangan Pembahasan tentang hak dan kewajiban, suami istri menurut perundang-undangan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34, sedangkan dalam KHI diatur dalam BAB XII Pasal 77 sampai Pasal 84. 1. Hak dan Kewajiban Suami Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pembahasan hak dan kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34. Pasal 30, berbunyi : “suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Pasal 31, menyatakan: (1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga Pasal 32, menegaskan: (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
32
Pasal 33, menegaskan: “suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. Pasal 34 UU, disebutkan : (1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. 2. Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) a. Kewajiban suami Pasal 80 mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut (H.Abdurrahman, 1995:132-133) : (1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang pentingpenting diputuskan oleh suami istri bersama. (2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berrumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : (a) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri (b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak (c) Biaya pendidikan anak (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. (6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
33
Tentang
kewajiban
suami
untuk
menyediakan
tempat
kediaman, kompilasi mengaturnya tersendiri dalam Pasal 81 sebagai berikut (H.Abdurrahman, 1995:133) : (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anakanaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. (3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anakanaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. b. Kewajiban istri Adapun kewajiban istri terhadap suami yang secara garis besar terdapat dalam KHI diatur secara lebih rinci dalam Pasal 83 dan Pasal 84 (H.Abdurrahman, 1995:134) : Pasal 83 : (1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Pasal 84 : (1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
34
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan bukti yang sah. c. Kewajiban bersama antar suami istri Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII Pasal 77 sampai Pasal 84 (H.Abdurrahman, 1995:132), sebagai berikut: Pasal 77 ayat (1) berbunyi : "Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat". Selanjutnya dalam pasal 77 ayat (2), (3), (4), (5) berturut-turut dikutip dibawah ini: “Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya. Suami istri wajib memelihara keharmonisannya. Jika suami/istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama”. Pasal 79 : (1) Suami adalah kepala rumah tangga keluarga dan istri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. D. Ketentuan Nafkah Menurut Fiqh Secara harfiah nafkah artinya belanja. Adapun pengertian nafkah ialah uang atau harta yang dikeluarkan untuk suatu keperluan atau untuk membayar suatu kebutuhan yang dinikmati seseorang. Yang dimaksud nafkah di sini
35
adalah semua macam belanja yang dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi keperluan hidup suami, istri, dan anak-anaknya (M. Thalib, 2000:19). Adapun dasar kewajiban suami menafkahi istri yaitu dalam firman Allah Surat al Baqarah (2) ayat 233 yang berbunyi (Departemen Agama RI, 2000:57) :
ـ ّﻦﻪ ﺭِﺯْ ُﻗﻬ ﻮﻟُـﻮﺩِ ﻟَـ ﻤ ﻋﻠَـﻰ ﺍْﻟ ﻭ ﻋ َﺔ ﺮﺿَـﺎّ ﺍﻟـﺘِ ّﻢﻥ ﻳ ﺩ َﺃ ﺍﻦ َﺃﺭ ـﻴﻦِ ﻟِﻤﻴﻦِ ﻛَـﺎﻣَِﻠﻮَﻟ ـ ﺣـ ّﻦﻫﻻﺩﻦ َﺃﻭ ﻌ ِﺮﺿ ﻳ ﺕ ﺍﻮﺍﻟِﺪ ﻭﺍْﻟ ....ِﻭﻑﻌﺮ ﻤ ﺑِﺎْﻟﻬ ّﻦﻮُﺗ ﺴ ِﻭﻛ Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf….” Ayat tersebut menegaskan bahwa ayah diwajibkan menanggung segala kebutuhan makan dan pakaian ibu yang menyusi anaknya sekalipun telah diceraikan oleh ayah anaknya. Jika terhadap mantan istri yang masih menyusui anaknya seorang laki-laki diwajibkan menafkahinya, apalagi terhadap perempuan yang masih menjadi istrinya, sudah tentu lebih patut untuk dinafkahi (M. Thalib, 2000:21). Kewajiban suami menafkahi istri bukanlah didasarkan pada tradisi, budaya, adat istiadat masyarakat, atau warisan kebudayaan. Islam menetapkan kewajiban memberi nafkah kepada istri sebagai suatu perintah illahiah. Yaitu perintah yang dikeluarkan sendiri oleh Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, seorang suami yang tidak menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada istrinya telah berdosa kepada istri dan berdosa kepada Allah (M. Thalib, 2000:22-23).
36
Kewajiban membelanjai istrinya dimulai sejak adanya ikatan perkawinan yang sah. Seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada suaminya, dan tertahan sebagai miliknya. Kewajiban ini berlaku selama ikatan suami istri masih berjalan dan istri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi penerimaan belanja. Adapun bentuk-bentuk tindakan istri yang dapat dikategorikan durhaka (nusyuz) antara lain istri membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan suami atau perintahnya, keluar rumah tanpa izin suami (A. Rofiq, 2003:191). Jumlah nafkah yang berhak diterima istri tidak ada ketetapan yang pasti. Jumlah (kadar) sandang dan pangan yang wajib ditunaikan suami disesuaikan dengan kemampuan suami (K. Nasution, 2004:181). Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Thalaq 65:7 (Departemen Agama RI, 2000:946):
ﺎﺎ ﺇِﻻ ﻣﻪ َ� ْﻔﺴ ﻒ ﺍﻟَّﻠ ِﻳ َﻜّﻠ ﻪ ﻻ ﻩ ﺍﻟَّﻠﻤّﺎ ﺁﺗَﺎ ِﻖ ﻣ ِﻨﻔﻴﻪ َﻓْﻠ ﻴﻪِ ﺭِ ْﺯ ُﻗﻋَﻠ ﺭ ِﻦ ُﻗﺪ ﻣ ﻭ ِﻌﺘِﻪ ﺳ ﻦ ِﻌﺔٍ ﻣ ﺳ ﻖ ﺫُﻭ ِﻨﻔﻴِ÷ ﻟ ﺍﺴﺮ ﻳ ٍﺴﺮ ﻋ ﺪ ﻌ ﺑ ﻪ ﻌ ُﻞ ﺍﻟَّﻠ ﺠ ﻴﺳ ﺎﺁﺗَﺎﻫ Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” Pada ayat tersebut di atas suami diperintahkan untuk memberikan nafkah kepada istri sesuai dengan kemampuan atau pendapatan yang dimilikinya. Disamping itu, ayat tersebut di atas juga mengingatkan istri agar dalam menuntut hak nafkah dari suami benar-benar mempertimbangkan kemampuan suaminya (M. Thalib, 2000:65). 37
Masing-masing orang tentu memiliki kemampuan serta pendapatan ekonomi yang berlainan, maka dari itu besarnya nafkah untuk istri dan anakanak dapat menjadi perbedaan setiap keluarga. Oleh karena itu, jika suami memiliki kemampuan lebih maka ia berkewajiban untuk memberikan makan dan pakaian yang layak kepada istri dan anak-anaknya. E. Fenomena Tanggungjawab Nafkah Keluarga Pada Zaman Modern Keluarga merupakan unit terkecil di masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang tinggal dalam satu atap, bahkan terkadang ditambah dengan kerabat dekat lainnya, semisal:kakek-nenek, adik-kakak dan lainnnya (Purwanti Brotowarsito, 1997:2). Kewajiban nafkah itu ada pada laki-laki, dalam hal ini suami terhadap isteri, ayah terhadap anak (demikian sebaliknya_anak kepada ayah dan/atau ibu saat ayah sudah tak lagi sanggup menafkahi sementara anak telah mapan). Dengan demikian suami dan/atau ayah itu akan berdosa jika dalam kenyataannya tidak menjalankan kewajiban nafkah tersebut. Terhadap kondisi ini, banyak isteri yang menggugat suami atas dasar kondisi kesempitan suami memberi nafkah (mu’sir/dzu ‘usratin). Kendati
ketidaksanggupan
(i’sar)
suami
membayar
nafkah
isteri,
memunculkan hak bagi isteri untuk mengajukan faskh nikah sebagaimana akan dijelaskan berikutnya, namun dalam kenyataannya tidak sedikit pula yang tetap mempertahankan rumah tangga dengan banyak pertimbangan, misalnya sanksi sosial jika bercerai, dan terutama pertimbangan masa depan anak-anak mereka. Konsekuensi dari mempertahankan rumah tangga itu, sementara suami sudah tidak dapat diharapkan lagi kesanggupannya
38
menafkahi isteri, maka isteri pun akhirnya terjun dalam upaya mengumpulkan pundi-pundi rezeki yang selanjutnya pundi-pundi itu diperankan sebagai alat pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari (Kimsyik, t.th:120) Apa yang dilakukan kaum isteri itu, secara tidak langsung telah mengambil alih fungsi suami yang seharusnya berkewajiban nafkah. Modernisasi kehidupan saat ini menghadirkan situasi tersebut sebagai kenyataan, dimana kaum isteri berperan besar dalam memenuhi kebutuhan kehidupan rumah tangganya, dengan menjalankan profesi-profesi tertentu sebagai jalur kariernya. Istilah wanita karier pun semakin populer untuk menggambarkan kenyataan tersebut. Banyak motivasi yang melatarbelakangi kemunculan kenyataan itu di antaranya: (Erfani, Makalah:Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga, Calon Hakim PA. Tangerang, 2011) 1. Suami sudah tidak mampu lagi untuk bekerja dengan alasan tertentu guna mencari nafkah. 2. Suami masih sanggup bekerja mencari nafkah, namun karena tuntutan pemenuhan hal-hal sekunder diperlukan penghasilan tambahan. Atau penghasilan suami dianggap kurang. 3. Suami berpenghasilan cukup untuk kebutuhan primer dan sekunder, namun isteri merasa perlu berkarier atas pertimbangan memiliki pendidikan dan keahlian dan kesempatan yang memadai, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan. 4. Penghasilan cukup dan kebutuhan terpenuhi secara wajar, sementara pendidikan tak memungkinkan berkarier, namun tetap memaksakan diri
39
untuk bekerja, untuk membuang penat akibat tekanan batin/psikologis rumah tangga, apalagi jika misalnya belum dikarunia keturunan, sehingga tidak memiliki kesibukan yang berarti. 5. Suami sedang menjalani hukuman pidana di lembaga pemasyarakatan. Terhadap isteri yang bekerja, maka fuqaha` merinci statusnya dalam ketentuan-ketentuan tersendiri. Kalangan Malikiyah memandang, bahwa suami harus melarangnya, dan apabila ia menolak, maka gugurlah hak nafkah bagi isteri tersebut. Hal senada juga dipegang oleh kalangan Syafi’iyah, dengan alasan bahwa hak nafkah itu berlaku dengan menjadikan tamkin sebagai standarnya, bukan pada akad. Oleh sebab itu, maka segala hal yang dilakukan isteri yang mengurangi makna tamkim itu, akan menyebabkan gugur hak nafkah baginya. Namun kalangan Hanabilah, menyampaikan hal yang bertolak belakang dengan pandangan dua kalangan sebelumnya. Menurut kalangan Hanabilah, jika diperjanjikan dalam akad nikah bahwa isteri tetap bekerja, suami harus memenuhi perjanjian tersebut dan tidak boleh melarangnya, serta ia tetap berhak atas nafkah dari suaminya. (Wahbah al Zuhaili, Jilid X: 109) Kendati demikian, pertimbangan dalam fiqih terkait hak nafkah isteri yang bekerja, terkait sangat erat dengan izin dan keridhaan suami. Artinya jika suami memberi izin untuknya bekerja atau memperjanjikan isteri tetap bekerja saat akad nikah, maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah kepadanya. Sehingga dengan demikian, peran isteri mencari
40
nafkah, tidak lantas mengurangi kadar qiwamah/qawwam suaminya dan konsekuensi hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dipandang penting mempertimbangkan perjanjian nikah meskipun tak tertulis namun jika diakui oleh kedua belah pihak maka perjanjian itu dapat dipandang berkekuatan hukum, sebagaimana izin suami untuk isteri bekerja yang patut pula dipertimbangkan. Harus pula dicatat dalam bagian ini, bahwa kendati peran menafkahi yang dilakukan oleh kaum perempuan itu telah mendapat restu secara hukum (izin suami atau alasan syara’ lainnya yang membenarkan) namun peran itu hanya bersifat nisbi, atau hanya memenuhi unsur de facto. Sementara dalam koridor status hukum/fikihnya atau unsur de jure, kaum perempuan tidak dapat dinyatakan penafkah/munfiqah, hanya sekadar menjalankan peran saja. Hal ini karena perempuan tidak dibebankan tanggung jawab dan kewajiban secara hukum untuk memberi nafkah. Perempuan tidak dikenai khitab nafkah sehingga perempuan tidak bisa disebut mukallaf dalam hukum nafkah, meskipun dalam kenyataanya banyak perempuan yang sanggup bekerja dan menjalankan peran menafkahi. Artinya ketika nyatanya perempuan tidak melaksanakan peran menafkahi, maka ia tidak dapat dihukumi berdosa dan tidak dapat dituntut (kecuali dengan alasan bahwa sebelumnya telah memperoleh bagian waris yang lebih). Dalam kehidupan keluarga tersebut, Islam telah menetapkan kewajiban laki-laki untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sedangkan bagi istri mencari nafkah hanya sunnah saja. Peran istri dalam mencari nafkah hanya
41
membantu, fungsinya komplementer saja. Kecuali kalau suami dalam kondisi sakit berat, sakit dalam waktu yang lama maupun sedang menjalani hukuman pidana hukumnya darurat bagi seorang istri dalam mencari nafkah. Sang istri jika sudah dalam keadaan darurat maka ia bisa mengambil alih kemudi sang suami (M. Yasin, tabloid Al-hikmah edisi 46). Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al-Baqarah 2:228 (Departemen Agama RI, 2000) :
(٢٢٨:)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ....ِﻭﻑﻌﺮ ﻤ ﺑِﺎْﻟﻴﻬِ ّﻦﻋَﻠ ﻣِْﺜ ُﻞ ﺍَّﻟﺬِﻱﻬ ّﻦﻭَﻟ ... Artinya: “....Dan mereka ( para perempuan ) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut....”. Ayat di atas menunjukkan suatu pengertian bahwa suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun kaum pria masih diberi derajat yang lebih tinggi dari wanita dalam kapasitas sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Namun kedudukan dan fungsi wanita (istri) tidak kalah penting dalam keluarga. Karena itu, suami dan istri harus saling menghargai, saling mempercayai satu sama lain serta bekerjasama dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya atau hak dan kewajibannya masingmasing. Era dunia modern sekarang, penguasa ilmu pengetahuan tidak lagi dimonopoli oleh kaum pria, tetapi telah melibatkan kaum wanita sehingga dapat mencapai kemajuan yang luar biasa akibat kedudukan dan derajat wanita yang meningkat. Mengenai pembiayaan rumah tangga, Islam tidak memberi suatu patokan tentang jumlah maksimal atau minimal yang harus diberikan kepada keluarga, tetapi kewajibannya menurut batas kemampuan
42
dan kepatutan dari hasil usahanya secara makruf yang disesuiakan menurut keadaan di suatu tempat. Dan hal ini sudah dijelaskan dalam QS. At-Thalak 65:7, dapatlah dipahami bahwa Allah tidak membatasi jumlah biaya rumah tangga yang harus diberikan keluarganya. Diwajibkan hanya sekedar keperluan
dan
berkewajiban
kebutuhan menurut
serta
mengingat adat
keadaan di
kekuatan
suatu
yang tempat
(http://www.google.com/kedudukan_istri_dalam_nafkah_keluarga/120812). Suami istri mempunyai tugas bersama menurut fungsi dan bidangnya masing-masing agar terwujud kedamaian dalam rumah tangga. Istri sebagai pendidik dan pengelola tidak hanya sekedar menerima adanya yang dibawa pulang oleh sang suami, tetapi istri juga harus pandai dalam mengatur dan memamfaatkan harta yang diberikan oleh suami. Anggaran biaya rumah tangga hendaknya diatur sedemikian rupa karena pemborosan dalam penggunaannya akan berakibat ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Kedudukan wanita sebagai individu masyarakat dapat dilihat di awal kebangkitan Islam di mana banyak wanita secara aktif turut menegakkan kebenaran dan memberikan andil usaha perbaikan di dunia. Dalam usaha menjalankan ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw dibantu dan didukung oleh kaum wanita yaitu istrinya Siti Khadijah. Sungguhpun bagi kaum wanita kurang dibenarkan untuk mengendalikan jabatan pemimpin baik dilakukan sendiri maupun bersama kaum pria. Namun pada permulaan Islam terdapat banyak wanita terpelajar dan terkemuka yang saling bahu membahu dengan kaum pria dalm mempertahankan kebenaran. Suatu tindakan yang rasional
43
apabila menghalangi wanita melibatkan diri dalam tanggung jawab sosial yang sepatutnya dipertanggung jawabkan kepada wanita. Alangkah lebih baik jika waktu bekerja bagi wanita diberi kelonggaran untuk memudahkan bagi mereka menyesuaikan waktu untuk urusan rumah tangga (Saefuddin, 2001:68). Wanita yang bersuami yang berkemampuan untuk menanggung perbelanjaan rumah tangga hanya dibenarkan keluar rumah untuk bekerja dengan beberapa syarat. Diantaranya tidak terhalang dari menjalankan tanggung jawab kepada keluarga. Mereka mestilah mampu mencurahkan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Sekiranya dikhawatirkan menimbulkan kebencian suami karena gagal berperan di rumah tangga, maka wajib para istri tidak dibenarkan bekerja di luar rumah, tidak mengabaikan asuhan dan pendidikan terhadap anak-anak. Demikian juga setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT. Apabila istri gagal dalam menjalankan tanggung jawab sebagai istri, maka pekerjaan baginya tidak dibolehkan tetapi mereka hanya berkewajiban mengurus keluarga dan rumah tangganya saja. Sebaliknya jika suami tidak berkemampuan dan istri ingin membantu maka dalam keadaan darurat ini mereka boleh bekerja dengan beberapa ketentuan seperti adanya izin suami, suasana pekerjaan yang terpelihara dari hal mungkar. Dalam hal ini Allah SWT menerangkan, antara pria dan wanita mempunyai hak yang sama sebagai anggota masyarakat. Wanita boleh saja membantu suaminya dalam hal mencari nafkah sesuai
44
dengan kodratnya. (Chaca, Arman dan Rahmat. 2010. Makalah Tafsir Ahkam:Nafkah Keluarga. STEI Sebi) Dari semua penjelasan di atas, jelaslah kaum wanita boleh memainkan peranan di luar rumah tergantung kemampuan mereka dalam menyelesaikan urusan keluarga dan rumah tangganya serta dalam suasana yang dapat menjamin terpeliharanya batas-batas yang telah ditetapkan oleh Islam bagi seorang muslimah.
45
BAB III DATA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas IIA Beteng Ambarawa 1. Demografi Nama UPT
: Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambarawa
Tahun Berdiri : sejak penjajahan Belanda Kapasitas
: 400 orang
Alamat
: Beteng Ambarawa
Kode Pos
: 50601
Telepon/Fax
: (0298) 591017
2. Struktur Bangunan Bangunan gedung Beteng William I Ambarawa dipergunakan oleh 2 (dua) kantor Instansi Pemerintah yaitu Kantor Instalasi Tuna Tertib Militer POMDAM IV/Dip. dan Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Ambarawa.
Sedangkan
yang
dipergunakan
untuk
Lembaga
Pemasyarakatan luas tanah + 50.000 m2, meliputi: tanah persawahan + 40.000 m2 dan dipergunakan untuk bangunan Lembaga Pemasyarakatan 10.000 m2, antara lain : gedung LAPAS, perkantoran, sarana ibadah dan olah raga, halaman dalam, halaman luar dan asrama pegawai. Status kepemilikan tanah dan bangunan adalah pinjam pakai dari TNI/AD nomor 4488489. Jumlah blok yang ada di LAPAS Ambarawa, terdiri dari:
46
a. Lantai atas -
Blok I untuk Narapidana
: 5 kamar
-
Blok II untuk Tahanan
: 4 kamar
Kapasitas masing-masing sebanyak
: 45 orang
b. Lantai bawah - Blok sell/karantina
: ada
9
kamar
masing-masing
kamar
berkapasitas 3 orang. - Ruangan lain
: digunakan untuk bimbingan/latihan kerja dan gudang.
3. Kepegawaian Jumlah pegawai
: 65 orang
a. Tingkat pendidikan : -
S2
: 4 orang.
-
S1
: 10 orang.
-
DIII
: 4 orang.
-
DII
: 1 orang.
-
SLTA
: 43 orang.
-
SLTP
: 2 orang.
-
SD
: 1 orang.
b. Jenis kelamin : -
Laki-laki
: 52 orang.
-
Perempuan
: 13 orang.
47
c. Golongan kepangkatan pejabat struktural : Golongan :
IV/a
: 1 orang.
III/d
: 5 orang.
III/c
: 4 orang.
III/b
: 3 orang.
d. Golongan kepangkatan seluruh pegawai : Golongan :
II/a
: 2 orang.
II/b
:-
II/c
: 4 orang.
II/d
: 4 orang.
III/a
: 21 orang.
III/b
: 24 orang.
III/c
: 4 orang.
III/d
: 5 orang.
IV/a
: 1 orang.
e. Petugas pengamanan terdiri dari 4 regu pengamanan, 4 regu P2U dan staf KPLP dengan kekuatan sebanyak 32 orang. f. Staf keamanan sebanyak 3 orang. g. Staf pembinaan sebanyak 15 orang. 4. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambarawa
48
KEPALA
Drs. Utuy Sri Aprila, SA, BcIP,, SH
KA SUB BAG TU Sunarto, SH
KA KPLP
RM. Kristyo Nugroho, AmdIP, SH, MH KA UR. UMUM
KA UR. KEPEG&KEU
Sri Sunarti
Mahmudi
PENGAMANAN
KASI BINADIK
Maksudi, AmdIP, SH
KASUBSI REGISTRASI
KASUBSI BIMASWAT
Drs. Farid, BA, MH
Masykuri, S.PdI
KASI KEGIATAN KERJA -
KASUBSI BIMB. KERJA LOLA HAKER H. Nurseha, SH, MH
KASUBSI SARANA KERJA Drs. Sidik Kunarso, SH
KASI ADM, KAM TATIB Dwi Kasiwi Haryanto
KASUBSI PEL & TATA TERTIB
KASUBSI KEAMANAN
Kastari
Sumarno, SH
5. Sarana dan Prasarana a.
Ruang Klinik Umum : merupakan unit pelayanan kesehatan II (bagi WBP LAPAS dengan kapasitas 400 orang. Pelayanan kesehatan setiap hari mulai jam 08.00 s/d 12.30 WIB.
b. Ruang Besukan
: digunakan untuk pelayanan bagi sanak
keluarga tahanan dari narapidana, pelayanan dari jam 09.00 s/d 13.00 WIB. Hari Senin dan Selasa untuk keluarga tahanan, sedangkan hari Kamis dan Sabtu untuk keluarga narapidana. c.
Ruang Dapur
: melayani memasak untuk kebutuhan makan
narapidana, tahanan dan anak didik setiap harinya dengan sajian menu
49
per 10 hari sesuai dengan SE Dirjen PAS No. E.PP.02.05-03 tanggal 20 September 2007. d. Ruang Kegiatan Kerja : ruang pembuatan paving blok/batako, ruang pertukangan kayu, ruang penjahitan, pembinaan kemandirian. e.
Ruang Bimbingan
: digunakan
untuk
penyuluhan
(hukum,
kesehatan dan kebersihan serta wawasan kebangsaan), kegiatan agama Islam dilakukan di Masjid LAPAS Ambarawa, kegiatan nasrani dilakukan di gereja LAPAS Ambarawa, olah raga dilakukan di halaman/lapangan LAPAS, pendidikan. 6. Denah LAPAS 18
II
14 15
16 17
I II
20
I
21 13
19
10
11
9
4
1
8
12
7 6 5
2 3
I
I
II
50
Keterangan Denah : : Gedung yang digunakan LAPAS Ambarawa : Gedung LAPAS Ambarawa : Gedung yang digunakan Staltuntibmil POMDAM IV/Dip. : Gedung yang sudah rusak : Pagar tembok pembatas antara LAPAS dengan Staltuntibmil POMDAM IV/Dip. : Pagar tembok I : Lantai I II : Lantai II 1 : Kantor 2 : Aula 3 : Rumah Dinas Kalapas 4 : Rumah Dinas / Asrama Pegawai 5 : Portir 6 : Ruang Karupan 7 : Riang KPLP 8 : Ruang Binadik - Registrasi - Binaswat - Poliklinik 9 : Ruang Kunungan/Bezuk 10 : Ruang Karantina, Mapenaling, Isolasi dan Cel 11 : Masjid 12 : Gereja 13 : Bimker pertukangan kayu dan menjahit 14 : Bimker pembuatan paving blok 15 : Gudang 16 : Dapur 17 : Gudang beras 18 : Blok I Narapidana 19 : Blok II Tahanan 20 : Kamar Napi/Tahanan Narkoba 21 : Menara air B. Data
Narapidana
Lembaga
Pemasyarakatan
Kelas
IIA
Beteng
Ambarawa Jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas IIA Beteng Ambarawa tahun 2011-2012 berjumlah 281 orang, terdiri dari tahanan berjumlah 109 orang, napi kurang 1 tahun berjumlah 26 orang, napi 1 s/d 3
51
tahun berjumlah 94 orang dan napi lebih 3 tahun berjumlah 52 orang. Berikut rincian data para penghuni LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa, antara lain: Tabel 3.1 Daftar Narapidana/Tahanan/Anak Didik Berdasarkan Agama Yang Dianutnya
No
Agama
1
2
1 2 3 4 5 6
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Lain-lain
Jumlah Narapidana/Tahanan/Anak Didik dan Sisa Pidana/Didikannya Napi Kurang Napi 1 s/d 3 Napi Lebih 3 Tahanan 1 Tahun Tahun Tahun 3 4 5 6
Jumlah
105 4 -
24 2 -
90 2 1 1 -
47 3 2 -
109
26
94
52
Sumber: daftar laporan narapidana/tahanan/anak didik LP Kelas IIA Beteng Ambawara tahun 2011-2012
Adapun tingkat pendidikan penghuni LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa, sebagai berikut: Tabel 3.2 Daftar Tingkat Pendidikan Narapidana No. 1 1 2 3 4 5 6
Jenis Tingkat Pendidikan 2
Jumlah Tamat Tidak Tamat 3 4
Keterangan 5
SD SLTP SLTA Sarjana Muda Sarjana Lain-lain
114 75 50 5 6 1
12 13 5 -
Buta huruf
Jumlah
251
30
-
Sumber: daftar laporan narapidana/tahanan/anak didik LP Kelas IIA Beteng Ambawara tahun 2011-2012
52
Jenis kejahatan yang dilakukan oleh para penghuni LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa, antara lain: pembunuhan, narkotika, uang palsu, perlindungan anak, perbankan, perkosaan, perjudian, kecelakaan lalu lintas, penipuan, penggelapan, pencurian dan pengrusakan (hasil wawancara dengan Sunarto PH, SH Kasubag TU LP Kelas IIA Beteng Ambarawa pada tanggal 3 Mei 2012). Dalam melakukan penelitian, penulis memperoleh informasi dengan melakukan wawancara langsung di LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa yaitu ditujukan kepada Kepala LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa, para pegawai LAPAS dan beberapa narapidana sebagai informan yang telah ditentukan (hasil wawancara dengan Maksudi AmdIP, SH Kasi Binadik pada 16 Mei 2012). Adapun data narapidana yang dijadikan informan, sebagai berikut: Tabel 3.3 Daftar Narapidana Yang Dijadikan Informan No. Putusan/Perkara/ No Identitas Napi Lama Pidana 1 Nama : Bambang bin Irawan Put. No. 239/Pid.B/2010/PN. Alamat : Dsn. Srombon Rt.3/2 Ungaran tanggal 5 Januri Desa Hampakan, 2011 Kec. Tuntang, Kab. Pembunuhan, Pasal 340 KUHP Semarang Lama hukuman 8 tahun Umur : 48 tahun (tanggal masuk 23 Februari Agama : Katholik 2011, tanggal habis 29 Juli Pekerjaan : Swasta 2018) Pendidikan : SLTA Remisi Umum (2 bulan) : 30 Warga : Indonesia Mei 2018, Remisi Khusus (1 Negara bulan) : 30 April 2018. Put. No. 214/Pid.B/2010/ 2 Nama : Komedi bin Sarmin Alamat : Lingkungan Tanjung PN. Ungaran tanggal 11 Rt.9/11, Kel. Kupang, November 2010 Kec. Ambarawa, Perlindungan Anak, Pasal 81
53
No
3
4
5
Identitas Napi Umur Agama Pekerjaan Pendidikan Warga Negara Nama
: : : : :
Kab. Semarang. 49 tahun Islam Buruh Indonesia
: Agus Widodo, Amd, KP bin Antonius Alamat : Jl. Sumbawa 106 Rt.8/9, Kel. Bedang Anak, Kec. Ungaran Timur, Kab. Semarang. Umur : 37 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan : D3 Warga : Indonesia Negara Nama : Djois Arabas Alias Sabar bin Senen Alamat : Ds. Klaling Rt.2/II, Kec. Jek Ulo, Kab. Kudus. Umur : 53 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Buruh Bangunan Pendidikan : SD Warga : Indonesia Negara Nama : Samuji bin Alm Salim Alamat : Ds. Jati Runggo, Rt. 003 Rw. 001, Kec. Pringapus, Kab. Semarang. Umur : 56 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Sopir Pendidikan : Warga : Indonesia Negara
54
No. Putusan/Perkara/ Lama Pidana UU No. 23 Tahun 2002 Lama Hukuman: 8 Tahun Penjaran, Denda 60 Juta Subsidier 6 bulan (tanggal masuk 2 Desember 2010).
Put. No. 186/Pid.B/2010/PN Ungaran tanggal 25 November 2010. Perbankan, UU No. 7 Tahun 1992 Lama hukuman: 4 tahun penjaran, denda Rp. 5.000.000.000,-, Subsidier 6 bulan penjara. (tanggal masuk 06 Desember 2010)
Put. No. 60/Pid.B/2010/PN Kudus tanggal 13 Oktober 2010. Perkosaan, Pasal 285 KUHP Tanggal masuk penjaran: 15 Januari 2011
Put. No. 48?pid.B/2010/PN Ungaran tanggal 13 Juni 2012. Perjudian, Pasal 303 KUHP. Lama hukuman: 1 tahun penjara (tanggal masuk 25 Juni 2012). Potongan tahanan 3 bulan 29 hari yakni sejak 27 Febuari 2012 sampai 25 Juni 2012.
No 6
7
8
Identitas Napi Nama Alamat
: Sunarto bin Sawan : Dsn. Kledung Rt. 04/05, Ds. Cibelok, Kec. Paman, Kab. Pemalang. Umur : 36 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Pengemudi Pendidikan : SD Warga : Indonesia Negara Nama : Rondi bin Sunarto Alamat : Dsn. Priyoto Rt. 04/06, Kel. Bandungan, Kec. Bandungan, Kab. Semarang. Umur : 43 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Tani Pendidikan : SD Warga : Indonesia Negara Nama : Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo Alamat : Jl. A. Yani 92, Kel. Kalicacing, Kec. Sidomukti, Salatiga Umur : 33 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA Warga : Indonesia Negara
No. Putusan/Perkara/ Lama Pidana Put. No. 173/Pid.B/2011/PN. Ungaran tanggal 26 Oktober 2011. Kecelakaan lalu lintas, Pasal 310 UU No. 22 Tahun 2009. Lama hukuman: 2 tahun penjara (tanggal masuk 5 November 2011) Potongan tahanan 5 bulan 6 hari sejak 2 Juni 2011 sampai dengan 5 November 2011. No. Put. 191/Pid.B/2011/PN Ungaran tanggal 5 September 2011. Pencurian dan pengrusakan, Pasal 363 / Pasal 406 KUHP Lama hukuman: 1 tahun penjara dan 1 bulan penjara potongan hukuman 4 bulan (tanggal masuk 10 September 2011)
No. Put. I 05/Pid.B/2011/PN Ungaran tanggal 21 Februari 2011 No. Put. II 68/Pid.B/2011/PN Ungaran tanggal 18 April 2011 Penggelapan, Pasal 372 KUHP Lama hukuman: Put I : 2 tahun penjara Put II : 2 tahun 6 bulan penjara
Sumber : data primer, penelitian lapangan di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa tahun 2011-2012
C. Cara-Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri Pada dasarnya mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan implementasi hak dan kewajiban suami sebagai narapidana, hal ini tidak
55
terlepas dari kebijakan-kebijakan LAPAS itu sendiri dalam memberikan hak kepada narapidana untuk berkomunikasi baik secara langsung / tidak langsung dengan keluarga mereka. Kebijakan yang berkaitan dengan hak-hak narapidana diberikan kepada narapidana sebagai orang yang kehilangan kemerdekaannya, hal ini sesuai dengan asas pelaksanaan sistem pembinaan pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa: (hasil wawancara dengan Bpk. Maksudi KASI BINADIK LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa tanggal 15 Mei 2012) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS pada waktu tertentu, sehingga memiliki kesempatan penuh untuk memperbaikinya dan tetap memperoleh hak-haknya yang lain. Adapun kebijakan LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa dalam mendukung para narapidana untuk berhubungan dengan keluarga, sebagai berikut: (hasil wawancara dengan Bpk. Maksudi KASI BINADIK LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa tanggal 15 Mei 2012) 1. Waktu besukan dibatasi pada hari Senin dan Selasa untuk keluarga tahanan dan hari Kamis dan Sabtu untuk keluarga narapidana. Pada kesempatan ini narapidana dapat bertemu dengan keluarga serta kelurga dapat berkunjung dan diperbolehkan membawa bawaan (makanan, uang yang selanjutnya uang pemberian keluarga tersebut harus dititipkan di koperasi LAPAS dan boleh dipergunakan setelah mencatat jumlah kebutuhan di buku pengeluaran). 2. Waktu berkomunikasi dengan keluarga via telepon.
56
3. Cuti mengunjungi keluarga bagi narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana/pada saat asimilasi dan integrasi sosial (dapat pengawalan khusus dari LAPAS dengan bantuan polisi). Peraturan dan kebijakan tentang hak-hak narapidana yang berhubungan dengan keluarga tersebut diatas sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1995. Pemenuhan hak dan kewajiban suami yang dipenjara tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan, baik kepada istri, anak maupun keluarga atau kerabat. Hanya sebagaian saja yang dapat dilakukan, seorang narapidana dibatasi
oleh
peraturan
akibat
perbuatannya
sehingga
sulit
untuk
berkomunikasi atau berhubungan dengan dunia luar sebagaimana ketika ia hidup bebas bersama-sama dan berdampingan dengan orang lain. Selain itu keterbatasan gerak narapidana merupakan penderitaan yang tidak mereka alami sebelumnya yakni kehilangan kemerdekaan/loss of liberty, kehilangan hak milik dan pelayanan sebagai seorang manusia/loss of goods and service dan kehilangan kemauan untuk bertindak sendiri/loss of authonomy. Akan tetapi, hak-hak terseut dapat diminimalisir dengan adanya pembinaan dan pemberian kebijakan atas hak-hak narapidana (hasil wawancara dengan Bpk. Masykuri Kasubsi Bimaswat LAPAS Kelas IIA Beteng Ambawara tanggal 18 Mei 2012). Sebagai narapidana, cara melaksanakan hak dan kewajiban seorang suami hanya terbatas pada kebijakan atau peraturan yang ada dalam LAPAS sesuai dengan prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana yaitu selama
57
kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Pemenuhan hak dan kewajiban seorang suami narapidana sangat relatif sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Dalam penelitian ini, situasi dan kondisi menunjukkan bahwa seorang suami narapidana tetap dapat melaksanakan kewajibannya dan menerima haknya sesuai dengan batasan sebagai seorang yang kehilangan kemerdekaannya. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti di lapangan, peneliti mendapat berbagai informasi dari para informan yaitu pegawai LAPAS dan para narapidana yang telah ditentukan sebagai perwakilan menyangkut hak dan kewajiban suami narapidana di LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa terhadap nafkah keluarga. Diantaranya yang akan dijelaskan oleh peneliti, sebagai berikut: 1. Bpk. M. Nurseha Kasubsi Bimb. Kerja Lola Naker Menjelaskan bahwa meskipun suami sebagai narapidana tetap bisa memenuhi kewajiban memberikan nafkah keluarga meskipun hasil tidak seberapa tergantung dari pribadi narapidana masing-masing. LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa memberikan pembinaan kemandirian dengan tujuan hak dan kewajiban dalam hal ini suami sebagai narapidana tetap memberikan nafkah keluarga, seperti: a. Pembinaan di bidang kerajinan dengan bahan baku bambu dan/atau limbah kayu. Hasil produksi yang mulai dipasarkan berupa : kap lampu duduk, gantung, tempel serta tempat pot bunga.
58
b. Pembuatan bantal dakron dengan menggunakan bahan anfal/limbah pabrik dengan bimbingan pihak ketiga dan hasil dijual ke pihak ketiga. c. LAPAS Kelas IIA Beteng Ambarawa mengadakan kerjasama dengan penjahitan sepatu ekspor dengan pihak PT. Arasus Indonesia dengan No. Kontrak:001/ARA.LP/IX/2010 tanggal 27 September 2010. Kerjasama ini masih dalam masa training, dimana dalam 1 minggu mencapai hasil 120 pasang sepatu dengan upah Rp. 1.400,- per pasang. (hasil wawancara tanggal 5 Juni 2012) 2. Bambang bin Irawan, narapidana kasus pembunuhan. Dengan keterbatasan ruang gerak akibat perbuatan yang saya lakukan tentang hak dan kewajiban suami terhadap nafkah keluarga masih dapat saya berikan menurut kemampuan. Sebagai kepala keluarga saya memberikan nafkah kepada keluarga, diperoleh dari ikut serta dalam pembinaan-pembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS yakni membuat kerajinan, membuat bantal dakron dan penjahitan sepatu, dari kegiatan pembinaan tersebut saya mendapat upah dan saya kumpulkan dan hendak diberikan kepada istri ketika saat besuk. Selain itu, memberi wewenang untuk mengelola harta yang ia tinggalkan dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang dia tinggalkan ini ada yang dijual untuk dijadikan modal usaha. (hasil wawancara tanggal 5 Juni 2012) 3. Komedi bin Sarmin, narapidana kasus perlindungan anak. Selama saya sebagai narapidana yang masih menjalani masa hukuman di LAPAS Ambarawa atas perbuatan yang telah saya lakukan. Mengenai kewajiban saya, tetap memberikan nafkah kepada isterinya/keluarga dengan memberi wewenang untuk mengelola harta yang saya tinggalkan 59
dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang istri/keluarga yang ditinggalkan diperbolehkan menjual harta untuk dijadikan modal usaha. Selain itu, juga mendapat bantuan dari kerabat/usul dari suami untuk sedikit meringankan beban. (hasil wawancara tanggal 5 Juni 2012) 4. Agus Widodo bin Antonius, narapidana kasus perbankan. Meskipun saya mendekam di penjara hak dan kewajiban saya tetap memberikan nafkah kepada isterinya/keluarga dengan memberi wewenang untuk mengelola harta yang saya tinggalkan dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang istri/keluarga yang ditinggalkan diperbolehkan menjual harta untuk dijadikan modal usaha tambahan/pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Istri/keluarga yang saya tinggalkan bisa memaklumi dan memaafkan, karena secara formal istri bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri. (hasil wawancara tanggal 7 Juni 2012) 5. Djois Arabas bin Senen, narapidana kasus perkosaan. Dalam hal pemberikan nafkah yang sudah menjadi kewajiban, saya memberi wewenang untuk mengelola harta yang saya tinggalkan dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang dia tinggalkan ini ada yang dijual untuk dijadikan modal usaha/pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pada dasarnya hubungan saya sebulan pertama baik-baik saja akan tetapi 2-5 bulan kemudian istri saya minta cerai dengan alasan tidak diberi nafkah yang sesuai sedangkan harta peninggalan tidak mencukupi, dalam perjalanannya mempergunakan atau menjual harta benda pribadi seperti kalung, gelang, anting dan sebagainya serta malu menanggung beban batin atas perbuatan yang saya lakukan.
60
Saya benar-benar kecewa mas atas apa uang telah saya perbuatan, saya masih ingin menghabiskan hidup bersama keluarga. Saya benar-benar putus asa, kehidupan sehari-hari saya di LAPAS untuk pembinaan keagamaan (bertobat dan berusaha untuk menerima dengan ikhlas). (hasil wawancara tanggal 7 Juni 2012) 6. Samuji bin Salim, narapidana kasus perjudian. Hak dan kewajiban suami terhadap nafkah keluarga masih dapat saya berikan menurut kemampuan. Sebagai kepala keluarga saya memberikan nafkah kepada keluarga, diperoleh dari ikut serta dalam pembinaanpembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS yakni membuat kerajinan, membuat bantal dakron dan penjahitan sepatu, dari kegiatan pembinaan tersebut saya mendapat upah dan saya kumpulkan dan hendak diberikan kepada istri/anak-anak ketika saat besuk. Selain itu, memberi wewenang untuk mengelola harta yang ia tinggalkan dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang dia tinggalkan ini ada yang dijual untuk dijadikan modal usaha. (hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012) 7. Sunarto bin Sawan, narapidana kasus kecelakaan lalu lintas. Dalam memenuhi pemberikan nafkah yang sudah menjadi kewajiban, saya memberi wewenang untuk mengelola harta yang saya tinggalkan dirumah. Dalam proses pengelolaan harta yang saya tinggalkan ini ada yang dijual untuk dijadikan modal usaha, tetapi ada juga yang tetap menjaga harta tersebut utuh dengan mengambil alih peran suami dalam memberikan nafkah bagi keluarga. Istri memiliki pekerjaan tetap karyawan pabrik, isteri dalam mensikapi ketiadaan pemberian nafkah dari suami dikarenakan harus melaksanakan hukuman penjara di LAPAS 61
Ambarawa. Istri tidak mempersoalkan hal nafkah tersebut, dalam artian meskipun nafkah atas istri adalah kewajiban suami tetapi karena suami sedang di penjara dan tidak mampu memberikan nafkah, secara umum bisa memaklumi dan memaafkan. Selain itu, saya juga masih ikut dalam pembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS yakni membuat kerajinan, membuat bantal dakron dan penjahitan sepatu, dari kegiatan pembinaan tersebut saya mendapat upah. Upah yang saya peroleh dikumpulkan dan diberikan kepada istri/anak-anak ketika saat besuk. (hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012) 8. Rondi bin Sunarto, narapidana kasus pencurian dan pengrusakan. Saya masih ikut dalam pembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS yakni membuat kerajinan, membuat bantal dakron dan penjahitan sepatu, dari kegiatan pembinaan tersebut saya mendapat upah, dikumpulkan dan saya berikan kepada istri/keluarga. Selain itu, dalam pemberian nafkah keluarga mendapat bantuan dari saudara/kerabat. (hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012) 9. Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo, narapidana kasus penggelapan. Dalam hal pemberian nafkah keluarga, saya mengumpulkan upah dari pembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS yakni membuat kerajinan, membuat bantal dakron dan penjahitan sepatu. Disamping itu, saya memberi wewenang untuk mengelola harta yang saya tinggalkan dirumah. Ada hal yang agak meringankan mas, istri saya memiliki kerja tetap sebagai buruh pabrik, meskipun nafkah atas isteri adalah kewajiban suami tetapi karena suami sedang di penjara dan tidak mampu
62
memberikan nafkah secara maksimal. Istri saya bisa memaklumi, memaafkan dan memberikan dukungan/semangat jangan mengulangi perbuatan ini dengan alasan demi kebaikan dan kelangsungan keluarga kita. (hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012) D. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pemenuhan Nafkah Berdasarkan beberapa penjelasan dari para informan yaitu narapidana dan pegawai LAPAS, peneliti memperoleh informasi bahwa pemberian nafkah terhadap istri/keluarga ketika suami menjadi narapidana: sebagian mendapatkan nafkah dan sebagian tidak. Dalam Pasal 80 ayat 4 dan ayat 5 KHI
(Kompilasi
Hukum
Islam)
dapat
disimpulkan
bahwa
nafkah
keluarga/istri bagi suami yang dipenjara karena perbuatannya sendiri, terdapat 2 (dua) alternatif: 1. Nafkah gugur dikarenakan kehilangan kebebasan dalam bekerja. 2. Tidak gugur dikarenakan perkara yang ditanggungnya sebuah hutang yang tidak mampu dibayarnya. Suami (narapidana) masih memberikan nafkah untuk kebutuhan istri/keluarga, meskipun hanya sebatas pemenuhan keperluan-keperluan hidup sehari-hari. Kewajiban memberi nafkah berupa materi untuk istri/keluarga yang merupakan tanggungjawab suami yang tetap harus dilaksanakan. Nafkah yang diberikan kepada istri/keluarga oleh suami narapidana karena adanya akad nikah bukan karena adanya tamkin/kemungkinan istri menggauli suaminya sebagaimana terdapat pada Pasal 80 ayat 5 KHI. Implementasi hak suami-istri berperan penting untuk menjaga keharmonisan
63
rumah tangga, apabila keluarga saling mengerti keadaan satu sama lain, meskipun suami-istri tidak dalam satu tempat tinggal maka tujuan sebuah keluarga tetap akan bisa dicapai. E. Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah Ditinggal Oleh Suami Peneliti menyimpulkan hasil wawancara dari BM, KM, AW, SM, ST, RD dan WR dalam penelitian ini karena terdapat kesamaan pendapat, ada dua sikap yang dikedepankan oleh istri/keluarga narapidana (suami sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah) dalam menyikapi ketiadaan pemberian nafkah keluarga yang sesuai/kesulitan ekonomi setelah ditinggalkan suami dikarenakan harus melaksanakan hukuman penjara di LAPAS Ambarawa, sebagai berikut: a. Tidak mempersoalkan hal nafkah tersebut. Dalam artian meskipun nafkah atas isteri adalah kewajiban suami tetapi karena suami sedang di penjara dan tidak mampu memberikan nafkah, secara umum para istri narapidana bisa memaklumi dan memaafkan. Ini terjadi karena para istri narapidana yang secara formal bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri. b. Pada dasarnya para istri narapidana yang tidak diberi nafkah yang sesuai, memaafkan tetapi jika dalam perjalanannya mereka mempergunakan atau menjual harta benda pribadi untuk pemenuhan kebutuhan hidup selama sang suami mendekam di penjara para istri bisa meminta ganti dikemudian hari jika keadaan sudah memungkinkan.
64
DA menambahkan seharusnya istri/keluarga juga dapat memahami keadaan si suami, kecuali jika perbuatan yang dilakukan si suami benarbenar membuat beban batin sebagaimana apa yang telah saya perbuatan. (hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012) Ketentuan pembayaran nafkah dikenakan terhadap harta yang ditinggalkannya tetapi bila tidak mempunyai harta yang riil, dia tetap diwajibkan memberi nafkah dan dihitung sebagai hutang. Hal ini menjadi gugur apabila si istri memaafkan hak atas nafkah tersebut. Mendasarkan pada Pasal 14 ayat 1 huruf j UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, alasan ini perlu ditinjau kembali karena seorang narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat meninggalkan istri/keluarga mendekam di balik penjara karena perbuatan yang telah dilakukannya (hasil wawancara dengan Bpk. Maksudi selaku Kasi Binadik LAPAS Beteng Ambarawa pada tanggal 14 Juni 2012). Menurut pendapat Bpk. Masykuri selaku Kasubsi Bimaswat LAPAS Beteng Ambarawa, menjelaskan bahwa solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh suami mendasarkan pada latar belakang pola perkawinan yaitu: a. senior-junior partner Istri tidak lebih sebagai pelengkap suami tetapi sudah menjadi teman, dalam arti istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup, dimana penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami.
65
b. equal partner tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah antara suami-istri, sehingga istri mendapat hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri, dengan demikian istri bisa pencari nafkah utama saling bekerja sama. Intinya, istri dapat membantu mencari nafkah untuk keluarga dengan sepengetahuan/ijin dari suami demi kelangsungan dan keutuhan keluarga. (hasil wawancara tanggal 19 Juni 2012)
66
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Terhadap Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok minimal adalah pangan, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya. Pasal 80 ayat 4 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ditegaskan pula bahwa suami menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan
bagi
istri dan
anak
sesuai dengan kemampuan
penghasilannya. Selanjutnya, dalam pasal 81 ditegaskan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anak (keluarga). Dalam kehidupan keluarga tersebut, Islam telah menetapkan kewajiban laki-laki untuk mencari nafkah bagi keluarga. Sedangkan bagi istri mencari nafkah hanya sunnah. Peran istri dalam mencari nafkah hanya membantu, fungsinya komplementer saja. Kecuali kalau suami dalam kondisi sakit berat, sakit dalam waktu yang lama atau dalam menjalani hukuman atas perbuatan yang telah dilakukannya, barangkali hukumnya darurat bagi seorang istri mencari nafkah. Sang istri jika sudah dalam keadaan darurat maka bisa mengambil alih kemudi sang suami. Ada alasan tertentu kenapa Islam mewajibkan mencari nafkah kepada seorang suami bukan kepada istri. Di dalam Al-Qur’an sangat jelas disebutkan bahwa suami itu qawwam. Kaum laki-laki adalah pemimpin (qawwam) bagi
67
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisa : 34). Qawwam disini adalah peran suami sebagai penyangga, pelindung, penyuplai dan sifat-sifat pemimpin lainnya. Oleh karena itu Allah memberikan kelebihan bagi para suami, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). Kelebihan tersebut berupa kekuatan energi, emosi dan ketangguhan dalam perjuangan mencari nafkah. Suami yang memiliki ketegaran, kehebatan dan kekuatan dalam mencari nafkah itulah tipe suami yang ideal. Ia menjadi teladan bagi keluarganya. Oleh karena itu, istri wajib taat kepada suami. Inilah hubungan simbiosis mutualisme. Suami wajib mencari nafkah sedangkan istri wajib mentaati suami. Rasulullah sampai memberikan penghargaan kepada orang yang keluar mencari nafkah yaitu statusnya sama dengan berjihad di jalan Allah (Jihad Fi Sabilillah), artinya kalau suami sedang mencari nafkah untuk anak istrinya kemudian meninggal, dia telah syahid. Peran suami dalam mencari nafkah tidak sekedar meraup sebanyakbanyaknya harta, dengan segala cara tanpa memandang kaidah halal-haram. Ukuran nafkah seseorang itu berkahadalah yang memiliki tingkat pemanfaatan tinggi. Nafkah yang berkah minimal memenuhi kebutuhan pokok (alhajiyat) semisal: makan, minum, pakaian dan tempat tinggal (sandang, pangan, papan). Jika masih berlebih, maka nafkah harus memenuhi kebutuhan tambahan seperti pendidikan, kesehatan serta hak asasi seorang manusia
68
lainnya. Selanjutnya, jika nafkah masih menyimpan kelebihan maka harus memenuhi kebutuhan penyempurna (kamaliah) seperti; olahraga, rekreasi dan lainnya. Adapun langkah-langkah yang harus suami lakukan agar nafkahnya menjadi berkah, antara lain : 1. Mencari nafkah merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT yang wajib dilaksanakan oleh para suami. Maka niatkanlah setiap mencari nafkah dengan niat ibadah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT QS. Al-Jumu’ah : 10. 2. Mencari nafkah haruslah bersumber dari yang halal. Selain halal, nafkah juga harus berkualitas. Kualitas itu harus ada standar gizinya, agar yang menerima nafkah itu menjadi tumbuh hebat secara jasmani dan rohani, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah : 168. 3. Cara menjemput nafkah harus dengan cara yang halal, bukan mencuri, menipu, korupsi, berjudi, memeras, menggunakan riba serta cara lain yang dilarang dalam Islam. 4. Pendistribusian nafkah harus diberikan kepada orang yang diridhai Allah SWT. Misalnya: menafkahi istri dan anak-anak, memberi kepada orang tua dan saudara, dan berinfak di jalan Allah SWT. 5. Nafkah yang diperoleh harus dikeluarkan hak-hak sosial, baik yang wajib dan sunnah, seperti : zakat, infak, sedekah, wakaf maupun yang sukarela (hadiah, hibah, sumbangan, dan lain-lain).
69
Suami wajib mencari nafkah atau bekerja untuk keperluan hidup (lahiriah) istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menyediakan sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (rumah) sesuai dengan kemampuan sang suami. Dan istri berhak mendapat nafkah batin dari suami, berupa : suami wajib menggauli istrinya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. Dalam pandangan Islam, suami adalah pemimpin dan sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk besikap baik dalam menjalan kepemimpinannya dan menyingkirkan rasa dendam serta amarah dari dirinya. Suami harus memperlakukan istrinya dengan baik dan hormat serta tidak menganggap istri sebagai pembatu dirinya. Islam juga menegaskan tentang luasnya aspek diri perempuan yang harus diperhatikan suami. Suami jangan hanya memandang kekurangan-kekurangan istri atau prilakunya yang tidak disukai, tetapi harus memandang secara menyeluruh dalam arti mencakup kekurangan dan sekaligus kelebihan-kelebihanya serta tidak boleh begitu yakin dengan pandangan tentang kekurangan istri sebab boleh jadi suami akan berbuat tidak adil. Menitik-beratkan pada pembahasan mengenai kewajiban suami (narapidana) terhadap pemenuhan nafkah kepada istri dan keluarga. Adapun cara perolehan nafkah dan pemberian nafkah, sebagai berikut: 1. Cara memperoleh nafkah a. Kerja dalam pembinaan kemandirian yang diberikan oleh LAPAS, yakni membuat kerajinan, bantal dakron dan penjahitan sepatu, terjadi pada narapidana Bambang bin Irawan, Samuji bin Salim, Sunarto bin Sawan, Rondi bin Sunarto, Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo. b. Memberikan
wewenang
mengelola/menggunakan
barang
yang
ditinggalkan untuk pemenuhan kebutuhan, terjadi pada narapidana
70
Bambang bin Irawan, Komedi bin Sarmin, Agus Widodo bin Antonius, Djois Arabas bin Senen, Samuji bin Salim, Sunarto bin Sawan, Rondi bin Sunarto, Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo. c. Mendapat bantuan dari saudara, terjadi pada narapidana Rondi bin Sunarto dan Komedi bin Sarmin. d. Istri mendapat ijin suami untuk bekerja membantu pemenuhan kebutuhan keluarga, terjadi pada narapidana Agus Widodo bin Antonius, Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo dan Sunarto bin Sawan. 2. Cara memberikan nafkah Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden cara memberikan nafkah kepada keluarga yaitu dengan cara: a. Hasil yang diperoleh selama kerja dalam pembinaan kemandirian di LAPAS dikumpulkan, kemudian diberikan kepada keluarga istri/anak pada saat besuk ke penjara. Hal ini terjadi pada narapidana: Bambang bin Irawan, Samuji bin Salim, Sunarto bin Sawan, Rondi bin Sunarto dan Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo b. Diberikan wewenang penuh kepada keluarga (dalam hal ini istri) untuk mengelola barang yang ditinggalkan, seperti: menjual untuk pemenuhan kebutuhan hidup maupun untuk modal usaha. Hal ini terjadi pada narapidana: Bambang bin Irawan, Komedi bin Sarmin, Agus Widodo bin Antonius, Djois Arabas bin Senen, Samuji bin Salim, Sunarto bin Sawan, sdan Wibbi Windar Ruadhi bin Yusnaryo.
71
Dari delapan responden terdapat satu responden yang istrinya meminta cerai dengan alasan pemberian nafkah tidak sesuai dan beban malu atas perbuatan yang dilakukan sang suami yaitu terjadi pada narapidana Djois Arabas bin Senen. Berdasarkan paparan hasil analisis penelitian dari 8 responden, peneliti memprosentasikan: 100% narapidana bertanggungjawab memberikan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan, 62% narapidana memberikan nafkah keluarga dengan ikut kerja di pembinaan kemandirian LAPAS, 100% memberikan wewenang kepada keluarga untuk mengelola barang yang ditinggalkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, 25% mendapat bantuan dari saudara, 37% istri ikut bekerja untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Mengenai hubungan suami-istri dari 8 responden, 87% masih harmonis saling menerima dan 12% tidak harmoni terjadi perceraian. Menurut peneliti cara pemenuhan nafkah suami kepada istri dan keluarga, sebagai berikut: 1. Secara lahiriah: a) suami tetap bisa memberikan nafkah untuk keluarga meskipun hasil kurang maksimal karena keterbatasan ruang gerak dalam mencari nafkah (melaksanakan hukuman sebagaimana telah ditentukan dalam
peraturan
perundangan
sesuai
dengan
perbuatan
yang
dilakukannya), dengan cara ikut serta dalam pembinaan kemandirian di lembaga pemasyarakatan; b) istri hanya diperbolehkan mengambil harta yang dimiliki suami sebanyak kewajiban yang dipikulnya; c) apabila dari nafkah yang diberikan suami dan harta yang dimiliki kurang mencukupi,
72
sang istri bisa menggunakan harta untuk mencukupi kebutuhan keluarga bahkan diperbolehkan mencari nafkah dengan batasan tertentu seijin suami. 2. Secara batiniah: tidak dapat terpenuhi karena adanya keterbatasan yang ditentukan oleh peraturan perundangan dimana suami (narapidana) melakukan tindak pidana. Dengan adanya keadaan semacam ini sang istri harus bisa menjaga kehormatan dan kepercayaan sang suami serta menunggu dengan kesabaran dan keikhlasan. B. Analisis
Terhadap
Faktor-faktor
Pendukung
dan
Penghambat
Pemenuhan Nafkah Berdasarkan beberapa penjelasan dari para informan yaitu narapidana dan pegawai LAPAS, peneliti berpendapat bahwa implementasi hak dan kewajiban suami sebagai narapidana terdapat 2 (dua) faktor, yaitu: 1. Faktor pendukung a. Adanya waktu untuk dapat berkomunikasi dengan keluarga melalui telpon. b. Adanya waktu kunjungan/besuk yang telah ditentukan oleh LAPAS. c. Lembaga
Pemassyarakatan
memberikan
pembinaan
terhadap
narapidana, berupa: 1) Keagamaan. Pembinaan keagamaan di Lembaga Pemasyarakatan Beteng Ambarawa dilakukan secara kontinyu menurut keyakinan masingmasing yang dianut narapidana. Adapun tujuan dari pembinaan ini
73
agar para narapidana dapat meningkatkan kesadaran dan ketaatan beragama untuk kembali ke jalan yang benar. 2) Pendidikan dan penyuluhan. Kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan Beteng Ambarawa, berupa: penyuluhan hukum, kesehatan dan kebersihan serta wawasan kebangsaan. 3) Kemandirian Pembinaan kemandirian yang dimaksud berupa pelatihan keterampilan pembuatan paving, kerajinan dari bahan dasar kayu dan eceng gondok, pertanian dan perkebunan sebagai bekal kelak para narapidana telah usai dalam melaksanakan hukumannya sehingga mempunyai kemampuan untuk menciptakan usaha sendiri. Selain
itu
kegiatan
kemandirian
yang
lain
adalah
pembuatan bantal dakron dan penjahitan sepatu ekspor kerjasama dengan PT. Arasus Indonesia. Disini narapidana bisa memperoleh penghasilan, dimana dengan kegiatan ini diharapkan narapidana dapat tetap bisa memberikan nafkah kepada keluarganya meskipun terbatas. 2. Faktor penghambat a. Adanya keterbatasan waktu yang diberikan untuk berkomunikasi dengan keluarga.
74
b. Adanya keterbatasan beraktifitas, dalam arti terikat pada peraturan karena suatu tindak pidana yang dilakukan. Mendasarkan pada uraian di atas, kewajiban suami (narapidana) terhadap nafkah keluarga dapat peneliti simpulkan bahwa dari kedelapan narapidana yang mewakili sebagai informan dalam penelitian ini diperoleh informasi bahwa hanya 2 (dua) narapidana yang tidak memberikan nafkah keluarga hanya memberi wewenang kepada keluarga untuk mengelola barang yang ditinggalkan. Sedangkan 6 (enam) narapidana lainnya memberi nafkah keluarga dengan keterbatasan ruang gerak, caranya turut serta dalam pembinaan kemandirian yang diprogramkan oleh LAPAS dan mengumpulkan upah yang diperoleh, pemberiannya pada waktu istri/keluarga menjenguk. Jadi kewajiban suami narapidana terhadap nafkah keluarga tidak ditentukan batasbatas nafkah yang diberikan tetapi menurut kemampuan suami. Kewajiban nafkah keluarga dapat gugur apabila sang istri/keluarga bisa menerima dan memahami keadaan dengan tujuan demi kelangsungan keluarga/keharmonisan hubungan. C. Analisis Terhadap Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah Ditinggal Oleh Suami Pembahasan ini peneliti membatasi pada kewajiban suami narapidana terhadap nafkah keluarga, berat memang menjadi terpidana karena banyak kebebasan yang terbelenggu saat menjalani masa hukuman. Walau dalam Pasal 14 UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur mengenai sederet hak narapidana, namun akan berdampak seperti: keutuhan rumah
75
tangga narapidana terancam diceraikan pasangannya dengan alasan: keluarga tidak sanggup menanggung beban sosial dan beban ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf c PP No. 9 Tahun 1975. Terkadang perceraian diajukan dengan alasan bahwa rumah tangga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit diharapkan untuk rukun kembali. Hubungan suami istri adalah hubungan yang sangat luhur dan agung. Sebagai pasangan suami istri, keduanya harus mampu bekerjasama demi mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam keluarga. Karena Islam adalah agama yang senantiasa menghendaki keseimbangan dalam setiap urusannya, maka segala sesuatu yang terangkum dalam hukum Islam harus mampu mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya. Suami sebagai penanggung jawab utama keluarga, meliputi aspek ekonomi dan perlindungan terhadap keutuhan rumah tangganya maka ia harus melaksanakan secara tanggung jawab penuh. Aspek ekonomi, pemenuhan belanja yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal. Kewajiban memberikan nafkah oleh suami kepada istrinya yang berlaku dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri, prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rizki, rizki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rizki dan untuk memenuhi keperluan keluarganya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu, kewajiban nafkah tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga.
76
Hukum membayar nafkah untuk istri baik dalam bentuk belanja, pakaian, tempat tinggal adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Ulama Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah. Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi juga dalam setiap permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya Islamlah yang mampu mengatur hukum yang berkenaan dengan umatnya pada penetapan masalah secara adil dan proporsional, tidak ditambah atau dikurangi. Karena, setiap hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika keluarga adalah dasar yang amat prinsip dalam membina sebuah masyarakat, maka Islam mendasarkan pembentukannya atas unsur takwa kepada Allah SWT. Hal ini merupakan perantara menuju jalan kebahagiaan dan kemuliaan. Islam menganjurkan umatnya untuk mendirikan sebuah keluarga atas dasar iman, Islam dan ihsan, di mana ketiga unsur ini didasari atas rasa cinta, kasih dan sayang. Sebagaimana firman Allah SWT:
(٢٢٨: )ﺍﻟﺒﻘﺮﻩ...ِﻭﻑﻌﺮ ﻤ ﺑِﺎْﻟﻴﻬِ ّﻦﻋَﻠ ﻣِْﺜ ُﻞ ﺍَّﻟﺬِﻱﻬ ّﻦﻭَﻟ ... Artinya: “...Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut...”(Departemen Agama RI, 2000:55) Ayat di atas menunjukkan suatu pengertian bahwa suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, namun kaum pria masih diberi
77
derajat yang lebih tinggi dari wanita dalam kapasitas sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Namun kedudukan dan fungsi wanita (istri) tidak kalah penting dalam keluarga. Karena itu, suami dan istri harus saling menghargai, saling mempercayai satu sama lain serta bekerjasama dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya atau hak dan kewajibannya masingmasing. Berikut ini dijelaskan bagaimana kewajiban suami terhadap istri, antara lain: 1. Hak Mendapatkan Nafkah Islam menetapkan berbagai hal yang menjadi hak istri agar ia mendapatkan jaminan, mendapatkan perlindungan dan ketenangan serta kehidupan yang tentram, tidak terlantar dan sengsara. Islam mewajibkan suami agar bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhanya dan menyingkirkan beban kerja yang berat di samping juga mempergaulinya dengan sikap yang lembut dan baik. Nafkah adalah hak seorang istri dari suaminya. Nafkah menjadi kewajiban suami sejak kehidupan bersama berlangsung. Suami harus memberikan nafkah secara layak sesuia dengan adat kebiasaan dan tidak cenderung kepada sikap berlebihan atau terlalu kikir dan tidak membebani dirinya dengan sesuatu di luar batas kemampuan. Allah SWT berfirman:
(٧: )ﺍﻟﻄﻼﻕ...ﺎﺎ ﺁﺗَﺎﻫﺎ ﺇِﻻ ﻣﻪ َ� ْﻔﺴ ﻒ ﺍﻟَّﻠ ِﻳ َﻜّﻠ ﻻ... Artinya: “...Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya...” (Departemen Agama RI, 2000:946)
78
Islam sangat menghargai upaya suami untuk mencukupi nafkah istrinya dan memandang sebagai bentuk ibadah. Kemudian ada seorang yang bertanya: “Hai Nabi, saya punya satu dinar? Nabi menjawab: sedekahkan untukmu sendiri. Dia berkata: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk istrimu. Dia berkata lagi: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab: sedekahkan untuk anakmu. Orang itu berkata lagi: saya punya yang lain lagi. Nabi menjawab; sedekahkan untuk pembantumu”. Pemberian nafkah adalah wajib bagi istri selama dia menunaikan kewajiban-kewajibannya. Jika istri menyimpang dari fitrah dan ketentuan hingga maksud kehidupan perkawinan itu tidak terwujud, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah. Istri dikatakan menyimpang sehingga menyebabkannya terhalang untuk mendapatkan nafkah adalah ketika suami terhalang untuk mengambil mamfaat dari kehidupan perkawinan. Misalnya istri menyakiti suami dengan tidak mau bertemu dengannya tanpa ada sebab yang dibenarkan, atau meninggalkan rumah suami dengan dosa, atau menghabiskan waktunya di luar rumah tanpa izin suami. Karena nafkah itu wajib diberikan kepada istri disebabkan istri telah mengabdi dirinya, mencurahkan waktu dan tenaganya demi kebahagiaan suami dan memberinya buah kehidupan perkawinan, maka ketika dia secara sengaja tidak lagi berbuat demikian itu menjadi batal. Sebab menanggung beban perjuangan dan bekerja keras di luar rumah seperti yang dilakukan suami, itu sebanding dengan apa yang dia perbuat untuk suaminya dengan memberikan kebahagiaan dan ketenangan di dalam rumah.
79
Jika suami tidak memberi nafkah sementara istrinya telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, sementara suaminya mampu dan kaya, maka dia harus memberikan hak dan nafkahnya. Suami wajib mencari nafkah atau bekerja untuk keperluan hidup (lahirah) istri dan anak-anaknya. Suami berkewajiban menyediakan sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (rumah) sesuai dengan kemampuan sangsuami. Istri berhak mendapat nafkah batin dari suaminya berupa suami wajib menggauli istrinya sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan. 2. Hak Mendapat Perlakuan Baik Diantara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah mendapatkan perlakuan yang baik berupa menyenangkan istri dan membahagiakan istri. Suami dalam meminpin keluarga harus dengan lemah lembut dan meringankan beban istri. Dalam pandangan islam, Suami adalah pemimpin dan sudah menjadi kewajiban pemimpin untuk besikab baik dalam menjalan kepemimpinanya dan menyingkirkan rasa dendam dan amarah dari dirinya. Suami harus pula mempelakukan istrinya dengan baik dan hormat serta tidak menganggap istri sebagai pembatu dirinya. Islam juga menegaskan tentang luasnya aspek diri perempuan yang harus diperhatikaan suami. Suami jangan hanya memandang kekurangan-kekurangan istri, atau prilakunya yang tidak ia sukai, tetapi harus memandangnya secara menyeluruh dalam arti mencakup kekurangan dan sekaligus kelebihan-kelebihanya Dia tidak boleh begitu yakin dengan
80
pandanganya tentang kekurangan istri sebab boleh jadi dia akan berbuat tidak adil. 3. Hak Keterjagaan Agama Di antara hak istri dan menjadi kewajiban suami adalah menjaga agama dan perilakunya dan selalu mengarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan.
Jangan
sampai
suami
mengajak
istri
melakukan
penyimpangan dan membawanya menuju kerusakan. Jika suami istri saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling menolong dalam rangka beribadah kepada Allah SWT dan mencari keridhaannya, maka hal itu menyebabkan mereka berlomba dalam kebaikan dan sampai kepada jalan yang mulia. Mereka memahami hal yang wajib dan sunnah, dan hatinya dipenuhi dengan takwa dan ketaatan kepada Allah SWT. Bagi suami istri, agama tidak lagi bernilai dan perhatian mereka hanya terfokus kepada kesenangan dan syahwat, dan segala daya dikerahkan untuk meraih kemewahan dan kekayaan. Hanya sedikit orang yang memandang agama sebagai suatu yang penting dan harus dijaga. Kondisi ini menyebabkan rusak dan rapuhnya keluarga. Ajaran agama sirna dari muka bumi. Kebenaran dan kebatilan tidak lagi tampak dan mereka tidak memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Itulah sebabnya mengapa dalam memilih istri, orang harus memperhatikan masalah agama sebab agama dalam kehidupan rumah tangga
merupakan keniscayaan agar terwujud ketenteraman dan
kebahagiaan.
Laki-laki
adalah
pemimpin
bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.
81
dan
setiap
pemimpin
Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya. Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia, tidak menggariskan secara rinci berbagai aturan di dalam sebuah institusi keluarga. Kebanyakan norma yang dimuat dalam Al-Qur’an bersifat fundamental, universal dan garis besarnya saja, meskipun terdapat pula ayat-ayat yang bersifat konteksual historis. Sedangkan aturan-aturan secara rinci terdapat dalam hadist. Dalam buku-buku kontemporer dan buku-buku populer yang membahas tentang fiqh munakahat banyak disebutkan tentang kewajiban suami mencari nafkah di luar rumah/publik, sedangkan kewajiban istri adalah bekerja di dalam rumah/domestik. Dalam fiqh sebenarnya tidak ada pembagian peran domestik secara dikotomis. Sang suami tidak boleh menuntut istrinya secara hukum untuk melakukan pekerjaan rumah, karena akad nikah yang terjalin antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul antara suami istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan. Adapun pekerjaan rumah termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang harus diselesaikan suami dalam kehidupan rumah tangga, segala riwayat yang menyebutkan bahwa istri harus melayani suaminya adalah anjuran dan akhlak yang mulia. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Syafi’I, Maliki dan Azh Zhahiriyah. Islam memberikan hak kepada suami yang berarti kewajiban bagi istri sebagai imbalan baginya yang telah memenuhi hak istri. Kewajiban istri atas suaminya adalah dengan menjadikan suami merasa dihargai dan dihormati
82
dan mencurahkan tenaga dan pikiranya untuk suami, melindungi suami dari keburukan dan godaan. Perempuan wajib mentaati suami namun ketaatan ini bukan berarti dominasi dan kesewenang-wenangan laki-laki secara mutlak. Kewajiban nafkah suami hanya terbatas pada tiga hal saja: sandang, pangan dan papan. Fiqih klasik tidak membebankan kewajiban nafkah pada selain tiga hal tersebut seperti nafkah untuk biaya kesehatan reproduksi dan kecantikan. Sebagaimana logika rumah kontrak di atas maka, kewajiban memperbaiki dan melakukan perawatan dibebankan kepada pemilik rumah dan bukan penyewa (suami). Dalam konteks keluarga modern seperti sekarang, pembiayaan nafkah kesehatan dan perawatan organ reproduksi sama pentingnya dengan kebutuhan makan dan minum (pangan). Sehingga, pendekatan yang selama ini digunakan fikih harus dilebarkan cakupannya. Nafkah dalam keluarga harus terkait langsung dengan tujuan pernikahan: sakinah, mawaddah, dan rahmah. Nafkah merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk keluarga. Oleh karena itu, kewajiban nafkah seharusnya berawal dari asumsi baik, seperti: perwujudan sikap saling mencintai dan tanggung jawab bukan berdasarkan asumsi inferioritas salah satu pihak (perempuan). Jika nafkah dipahami sebagai kewajiban suami yang diakibatkan kelemahan istri maka berarti tujuan keluarga yang berdasarkan asas saling menghormati belum tercapai. Keluarga juga semestinya terbentuk berasaskan kesetaraan, kerjasama, saling mendukung dan membahagiakan. Tidak ada keuntungan sepihak. Asumsi yang menyatakan istri bagai barang sewaan tidak dapat dibenarkan. Sebab, menganggap istri sebagai barang
83
sewaan adalah sama dengan merendahkan martabat istri. Suami-istri harus menempatkan posisi masing-masing dalam kerangka kerja sama yang setara. Fakta membuktikan beban kehidupan/masalah ekonomi yang berat bagi istri/keluarga yang suaminya narapidana. Menitikberatkan pada hal tersebut, nafkah dapat dilakukan dan diupayakan secara bersama. Al-Qur’an memang menyebut kewajiban nafkah hanya pada suami namun redaksi bahasa yang digunakan hanyalah informasi (khabariyah) bukan ketetapan. Informasi yang dimaksud para suami dan ayah pada umumnya merupakan tulang punggung satu-satunya keluarga. Dalam konteks Indonesia kini, realitasnya telah banyak istri dan ibu yang kian dituntut turut memenuhi nafkah keluarga, lantaran suami/ayah kehilangan pekerjaan atau karena masalah ekonomi lain, atau sebagai narapidana sedang menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Menitikberatkan pada objek penelitian ini yaitu suami sebagai pencari nafkah sekaligus kepala keluarga menjadi narapidana maka tidak jarang diketemukan timbulnya kesulitan-kesulitan ekonomi terhadap keluarga yang ditinggalkan, dapat berupa: pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, biaya sekolah si anak (jika telah memiliki keturunan). Berdasarkan hal tersebut ada keterbatasan ruang gerak suami sebagai pencari nafkah untuk keluarga yakni terikat pada peraturan perundang-undangan yang membebani sesuai perbuatan tindak pidana yang dilakukan, sehingga akan berdampak pada pemberian nafkah yang kurang maksimal. Menganalisis dari hasil wawancara dari kedelapan narapidana yang mewakili sebagai informan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan solusi bagi keluarga yang ditinggalkan terhadap kesulitan ekonomi berupa:
84
1. Pemberian wewenang untuk mengelola barang-barang yang ditinggalkan untuk pemenuhan segala macam kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari, dengan jalan memanfaatkan untuk di olah bisa dijual atau dijadikan jaminan pinjaman. 2. Narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat meninggalkan istri/keluarga mendekam di balik penjara, sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 3. Meminta bantuan dari Usul pihak suami atau pihak istri. 4. Istri ikut bekerja untuk mencari nafkah. Perkembangan era modern ini solusi keluarga narapidana yang paling banyak dijumpai yaitu istri ikut bekerja untuk mencari nafkah dengan batasanbatasan tertentu demi kelangsungan keluarga yang dibina, asalkan sepengetahuan suami (bekerjasama). Istri bisa memperoleh kesejahteraan bagi diri dan keluarganya, mendapatkan kemandirian juga kehormatan. Ketika istri/keluarga tidak tergantung pada orang lain, tidak meminta-minta dan tidak menjadi beban. Sesungguhnya ia telah menikmati kehormatan yang tidak terbanding, lebih dari itu jika seorang perempuan telah memiliki kecukupan ekonomi ia akan memiliki kebebasan untuk mengelola keuangannya, menentukan keputusan-keputusan yang terbaik untuk kehidupan dan masa depannya. Sebenarnya, Islam memang tidak melarang perempuan untuk bekerja, bahkan dalam agama Islam membenarkannya dengan menganjurkan perempuan untuk bekerja jika dalam keadaan darurat. Ketika keadaan darurat perempuan sangat membutuhkan pekerjaan untuk membiayai kebutuhan 85
hidup keluarganya, dengan alasan bila sebuah keluarga, tidak ada yang menanggung kebutuhan hidup, maka perempuan (istri) bekerja untuk mencukupinya. Maka ketika suami tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, berarti istri mempunyai peranan penting dalam hal urusan ekonomi keluarga. Dari delapan narapidana yang dijadikan informan, sangat jelas bahwa peranan perempuan dalam rumah tangga sangatlah penting. Dengan bekerja kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi. Padahal dapat diketahui dengan melihat pekerjaan tersebut, keadaan tidak memungkinkan istri untuk dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anakanaknya, walaupun sifatnya hanya sementara waktu. Minimnya keahlian yang dimiliki para istri narapidana sebagian besar dari mereka akhirnya memilih pekerjaan sebagai buruh/karyawan pabrik, pramuniaga dan sebagian menjadi TKW di negeri Jiran dan Arab. Kewajiban nafkah ada pada laki-laki, dalam hal ini suami terhadap isteri, ayah terhadap anak (demikian sebaliknya_anak kepada ayah dan/atau ibu saat ayah sudah tak lagi sanggup menafkahi sementara anak telah mapan). Dengan demikian suami dan/atau ayah akan berdosa jika dalam kenyataannya tidak menjalankan kewajiban nafkah tersebut. Terhadap kondisi ini, banyak isteri yang menggugat suami atas dasar kondisi kesempitan suami memberi nafkah (mu’sir/dzu ‘usratin), hal ini sebagaimana yang dialami oleh informan DA dalam kasus perkosaan. Kendati ketidaksanggupan (i’sar) suami membayar nafkah isteri, memunculkan hak bagi isteri untuk mengajukan
86
faskh nikah. Kenyataannya tidak sedikit pula yang tetap mempertahankan rumah tangga dengan banyak pertimbangan, misalnya: sanksi sosial jika bercerai dan terutama pertimbangan masa depan anak-anak mereka. Konsekuensi dari mempertahankan rumah tangga itu, sementara suami sudah tidak dapat diharapkan lagi kesanggupannya menafkahi istri, maka istri pun akhirnya terjun dalam upaya mengumpulkan pundi-pundi rezeki yang selanjutnya diperankan sebagai alat pemenuhan kebutuhan kehidupan seharihari. Apa yang dilakukan kaum istri, secara tidak langsung telah mengambil alih fungsi suami yang seharusnya berkewajiban nafkah. Modernisasi kehidupan saat ini, menghadirkan situasi tersebut sebagai kenyataan, dimana kaum istri berperan besar dalam memenuhi kebutuhan kehidupan rumah tangganya dengan menjalankan profesi-profesi tertentu sebagai jalur kariernya. Istilah wanita karier pun semakin populer untuk menggambarkan kenyataan tersebut. Pertimbangan dalam fiqih terkait hak nafkah istri yang bekerja, terkait sangat erat dengan izin dan keridhaan suami. Artinya jika suami memberi izin untuknya bekerja atau memperjanjikan istri tetap bekerja saat akad nikah maka hal itu tidaklah menggugurkan kewajiban suami memberi nafkah kepadanya. Dengan demikian, peran isteri mencari nafkah tidak lantas mengurangi kadar qiwamah/qawwam suaminya dan konsekuensi hukumnya berlaku sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dipandang penting mempertimbangkan perjanjian nikah meskipun tak tertulis, namun jika diiyakan/diakui oleh kedua belah pihak, maka perjanjian itu dapat dipandang berkekuatan hukum.
87
Kendati peran menafkahi yang dilakukan oleh kaum perempuan itu telah mendapat restu secara hukum (izin suami atau alasan syara’ lainnya yang membenarkan) namun peran itu hanya bersifat nisbi, atau hanya memenuhi unsur de facto, sementara dalam koridor status hukum/fikihnya atau
unsur
de
jure,
kaum
perempuan
tidak
dapat
dinyatakan
penafkah/munfiqah, hanya sekadar menjalankan peran saja. Oleh karena itu, perempuan (istri) tidak dibebankan tanggung jawab dan kewajiban secara hukum untuk memberi nafkah atau perempuan (istri) tidak dikenai khitab nafkah sehingga perempuan tidak bisa disebut mukallaf dalam hukum nafkah. Meskipun kenyataannya banyak perempuan yang sanggup bekerja dan menjalankan peran menafkahi, artinya ketika nyatanya perempuan tidak melaksanakan peran menafkahi, maka ia tidak dapat dihukumi berdosa dan tidak dapat dituntut, (kecuali dengan alasan bahwa sebelumnya telah memperoleh bagian waris yang lebih).
88
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan paparan hasil penelitian mengenai kewajiban suami narapidana terhadap nafkah keluarga yang telah peneliti lakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Beteng Ambarawa, maka dapat disimpulkan bahwa 1. Kewajiban suami (narapidana) terhadap nafkah keluarga, masih tetap bisa diberikan sesuai dengan kemampuan. Adapun cara memperoleh nafkah keluarga adalah dengan ikut dalam pembinaan kemandirian dan mendapat upah, memberikan wewenang untuk mengelola barang yang ditinggalkan kepada keluarga sebelum mendekam di penjara. Sedangkan cara memberikan nafkah kepada keluarga adalah dengan menyerahkan saat keluarga besuk ke penjara. 2. Dampak dan solusi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi, sebagai berikut: (a) faktor pendukung pemenuhan nafkah keluarga oleh narapidana, yaitu adanya komunikasi yang baik dengan keluarga, adanya dukungan dari pihak lembaga pemasyarakatan yang berupa pembinaan kemandirian, kesadaran keluarga terhadap kondisi narapidana tidak memenuhi. (b) faktor penghambat yaitu tidak bisa bebas beraktifitas karena terikat pada peraturan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan. Sedangkan solusi bagi keluarga yang ditinggalkan, antara lain: pemberian wewenang
mengelola
barang-barang
yang
ditinggalkan
untuk
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat meninggalkan istri/keluarga mendekam di balik penjara, sebagaimana tercantum dalam
89
Pasal 14 Ayat (1) huruf j UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan atas persetujuan ijin dari pihak terkait. 3. Tinjauan hukum Islam dan peraturan perundangan yang berkaitan terhadap kewajiban suami narapidana dalam memberikan nafkah keluarga, sebagai berikut: dalam Islam kewajiban suami memberikan nafkah keluarga hukumnya wajib sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah 2:233, menurut peraturan perundang-undangan kewajiban suami memberikan nafkah ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XII Pasal 77 sampai Pasal 84. B. SARAN Berkaitan dengan penyusunan skripsi ini maka peneliti menyampaikan saran-saran kepada seluruh pembaca, sebagai berikut: 1. Bagi Masyarakat Diharapkan akan memperhatikan nasib keluarga narapidana di sekitar kita, jangan sampai dibeda-bedakan atau dikucilkan. 2. Bagi Lembaga Pemasyarakatan Pelaksanaan Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 dapat terlaksana dengan baik sehingga hak dan kewajiban narapidana dapat terpenuhi khususnya dalam pemberian nafkah keluarga. Selain itu, program pembinaan lebih diperluas lagi dan sifatnya diwajibkan bagi setiap narapidana. 3. Bagi STAIN Salatiga a. Berorientasi pada proses dan hasil secara maksimal b. Memberi kesempatan
kepada mahasiswa untuk meningkatkan
kreatifitas sesuai potensi yang dimiliki. c. Membangun pola hubungan yang sinergis antar civitas akademika. d. Menformulasikan kurikulum sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. 90
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. 1995. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Presindo. Al Zuhaili, Wahbah. tt. Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu. Damaskus : Dar al Fikir. Al-Munawiy, Muhammad ‘Abd al-Ra`uf. 1410 H. al-Tawqif ‘Ala Muhimmat al-Ta’arif. Beirut : Dar al-Fikr. Al-Nawawiy, Yahya bin Syarf bin Marw. 1410 H. Tahrir Alfazh al-Tanbih. Damaskus: Dâr al-Qalam. al-Qawnuniy, Qasim bin ‘Abdillah bin Amir ‘Ali. Anis al-Fuqaha`. 1406 H. Jedah : Dar al-Wafa`. Lihat juga dalam: Muhamamd Amin (Ibn ‘Abidin), Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘Ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn ‘Abidin), (Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H), Juz 3, h. 571-572 An Nawawi, Imam Al Hafidz Al Fiqhiyah Abi Zakariya Muhyidin Yahya. t.th. Riyadhussalihin. Surabaya : Darul Ulum. Brotowarsito, Purwanti. 1997. Keluarga Harmonis Ditinjau Dari Aspek Psikologi Sosial. Makalah disampaikan pada Dialog Menuju Keluarga Harmonis Bebas Dari Kekerasan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, hal 2. Departemen Agama RI. 2000. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta. Erfani. 2011. Makalah:Implikasi Nafkah dalam Konstruksi Hukum Keluarga, Calon Hakim PA. Tangerang. Kisyik, Abdul Hamid. t.th. Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga sakinah. Al Bayan Kelompok Penerbit Mizan, terj.Bina’ Al- Usrah AlMuslimah; Mausu’ah Al- Zuwaj Al- Islami, Kairo, Mesir. Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya. Mujtaba', Saifuddin. 2001. Isteri Menafkahi Keluarga?. Surabaya : Pustaka Progressif. Mukhtar, Erna Widodo. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta : Avyrouz.
0
Munti, Ratna Batara. 1999. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta : Diterbitkan atas Kerja Sama Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan. Nasution, Khoirudin. 2004. Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Perbandingan Unadang-Undang Negara Muslim. Yogyakarta : Tazzafa Academia. Poerwadarminta. W.J.S. 1985. Kamus umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet : VIII. Rasjid, Sulaiman. t.th. Fiqh Islam, Cet. Ke XXVII. Jakarta : Sinar Baru al Gesindo. Rofiq, Ahmad. 2003. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Edisi I:Cet. VI Syarifudin, Amir. 2006. Hukum perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang- undang Perkawinan. Jakarta : Kencana. Edisi I : Cet. I Thalib, Muhammad. 2000. Ketentuan Nafkah Istri dan Anak. Bandung : Irsyad Baitus Salam. Cet. I. Zayn bin Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad bin Bakar (disebut Ibn Bakar), al-Bahr al-Ra`iq, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), Juz 4, h. 188 Lihat juga: Ala` al-Din Muhammad bin Aliy al-Husniy (disebut: Ibn Aliy alHusniy), Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar, (Beirut: Dâr alFikr, 1386 H), Juz 2, h. 571. Lihat juga: Ibn ‘Abidin, op.cit., Juz 3, h. 572. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2077878-pengertian-hak-dankewajiban/ dicopy pada 5 Juni 2012 http://blogtentangpengertian.info/pengertian-narapidana/ dicopy pada 5 Juni 2012
1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: DEDY SULISTIYANTO
Tempat / Tanggal Lahir
: Kab. Semarang, 17 November 1987
Alamat
: Jl. Sugiyo Pranoto, Ambarawa
Nama
: Ayah Ibu
: Sugianto, SH : Sumarsih, S.Pd.
Riwayat Pendidikan : 1. RA Islamic Center Ambarawa
lulus tahun 1993.
2. SD Negeri Ngampin I Ambarawa
lulus tahun 1999.
3. MTs. Negeri Salatiga
lulus tahun 2002.
4. MAN I Salatiga
lulus tahun 2005.
5. S-1 STAIN Salatiga
lulus tahun 2014.
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 19 Maret 2014 Penulis,
Dedy Sulistiyanto
2
1.
3
4
5
6
DOKUMENTASI PEMBINAAN, PEMBIMBINGAN DAN PERAWATAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II-A BETENG AMBARAWA
7
8
9
10
11
12
13