BAB IV ANALISA TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH PARA NARAPIDANA KEPADA ISTERINYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Analisa Terhadap Pemberian Nafkah Narapidana Kepada Isterinya Dalam Perspektif Hukum Islam Nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makan, pakaian, rumah dan lain sebagainya. Nafkah bagi isteri dalam Islam adalah wajib. persoalannya kemudian adalah bagaimana bila suami tidak bisa bekerja dikarenakan harus menjalani masa hukuman? Dalam Islam, suami yang dipenjara disamakan dengan suami yang tidak ada di tempat.1 Menurut Imam Malik, Syafi'i dan Hambali, suami yang tidak ada di tempat atau kediaman sama hukumnya dengan ia berada di tempat dalam kaitannya dengan hukum kewajiban memberi nafkah. Jikalau suami yang tidak ada di tempat itu mempunyai harta yang riil maka hakim harus menetapkan pemberian nafkah bagi isterinya, tetapi jika dia tidak mempunyai hal yang riil, dia tetap diwajibkan memberikan nafkah dan itu dihitung sebagai hutang.2 Menurut Hanafi, suami wajib memberikan nafkah dengan diambilkan dari hartanya, manakala dia meninggalkan harta untuk isterinya, tetapi bila
1
Musa Shalih Syaraf, Fatwa-Fatwa Kontemporer Problematika Wanita, terj. Iltizam Syamsudin, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hlm. 13 2 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, terj. Afif Muhammad, Jakarta: Lentera, 1999, hlm. 407
59
60
tidak hakim tetap menentukan bahwa dia tetap memberi nafkah dan memerintahkan kepada isterinya untuk mencari pinjaman terlebih dahulu.3 Menurut Syayid Syabiq, nafkah bagi suami yang tidak ada di rumah dihitung sebagai hutang. Hutang dalam hal ini sama dengan hutang piutang lainnya kecuali kalau dilunasi atau dibebaskan.4 Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa suami yang di penjara bila di qiyaskan maka sama dengan suami yang tidak berada di tempat dan ini di qiyaskan maka sama dengan ia berada di tempat dalam kaitannya dengan hukum kewajiban memberi nafkah. Dikatakan demikian karena illat nya sama yaitu baik sedang berada di penjara, atau tidak berada di tempat namun suami istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan. Hal ini berarti suami tidak bisa menghindari dari kewajiban memberi nafkah. Dasar hukum penggunaan qiyas terhadap peristiwa di atas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
3
Ibid Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, terj.. Muhammad Thalib, Bandung: al-Ma'arif 1987, hlm.
4
86
61
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, di antaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah. Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, dapat dilihat misalnya dalam AlQur'an yaitu: Allah SWT berfirman :
ﻢ ﻣ ِﺮ ﻣِﻨ ﹸﻜ ﻭﻟِﻲ ﺍ َﻷ ﻭﹸﺃ ﻮ ﹶﻝﺮﺳ ﻮﹾﺍ ﺍﻟﻭﹶﺃﻃِﻴﻌ ﻪ ﻮﹾﺍ ﺍﻟﹼﻠﻮﹾﺍ ﹶﺃﻃِﻴﻌﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﻮ ﹶﻥﺆ ِﻣﻨ ﺗ ﻢ ﺘﻮ ِﻝ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨﺮﺳ ﺍﻟﻩ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻭ ﻭﺮﺩ ﻲ ٍﺀ ﹶﻓ ﺷ ﻢ ﻓِﻲ ﺘﻋ ﺯ ﺎﺗﻨ ﹶﻓﺈِﻥ (59 :ﻼ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺗ ﹾﺄﻭِﻳ ﹰ ﺴﻦ ﺣ ﻭﹶﺃ ﺮ ﻴﺧ ﻚ ﻮ ِﻡ ﺍﻵ ِﺧ ِﺮ ﹶﺫِﻟ ﻴﺍﹾﻟﺑِﺎﻟﹼﻠ ِﻪ ﻭ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa': 59) Dari ayat di atas dapat diambillah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al Qur'an dan Al Hadits. Jika tidak ada dalam Al-Qur'an dan Al Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada Al Qur'an dan Al Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan di antaranya dengan melakukan qiyas.
62
Firman Allah SWT :
ﻭ ِﻝ ﻢ ِﻟﹶﺄ ﺎ ِﺭ ِﻫﺏ ﻣِﻦ ِﺩﻳ ِ ﺎﻫ ِﻞ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻦ ﹶﺃ ﻭﺍ ِﻣﻦ ﹶﻛ ﹶﻔﺮ ﺝ ﺍﱠﻟﺬِﻳ ﺮ ﺧ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹶﺃ ﻫ ﻦ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻣ ﻢﻧﻬﻮﺣﺼ ﻢ ﻬﻌﺘ ﺎِﻧﻢ ﻣﻧﻬﻮﺍ ﹶﺃﻭ ﹶﻇﻨ ﻮﺍﺟﺨﺮ ﻳ ﻢ ﹶﺃﻥ ﺘﻨﺎ ﹶﻇﻨﺸ ِﺮ ﻣ ﺤ ﺍﹾﻟ ﺐ ﻋ ﺮ ﺍﻟﻑ ﻓِﻲ ﹸﻗﻠﹸﻮِﺑ ِﻬﻢ ﻭﹶﻗ ﹶﺬ ﻮﺍﺴﺒ ِ ﺘﺤ ﻳ ﻢ ﻴﺚﹸ ﹶﻟﺣ ﻦ ﻪ ِﻣ ﻢ ﺍﻟﱠﻠ ﻫ ﺎﹶﻓﹶﺄﺗ ﺎ ِﺭﺑﺼﺎ ﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻭﺍ ﻳﺘِﺒﺮﻋ ﲔ ﻓﹶﺎ ﺆ ِﻣِﻨ ﻳﺪِﻱ ﺍﹾﻟﻤﻭﹶﺃ ﻢ ﻳﺪِﻳ ِﻬﻢ ِﺑﹶﺄﺗﻬﻮﺑﻴ ﻮ ﹶﻥﺨ ِﺮﺑ ﻳ (2 :)ﺍﳊﺸﺮ Artinya: Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada, pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam. (Al Hasyr : 2) Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirru ya uulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam) Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
63
Qiyas yaitu menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan sesuatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena di antara keduanya terdapat pertautan (persoalan), illat hukum. 5 Qiyas sebagai sumber hukum terletak pada urutan keempat setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Ini mengandung pengertian bahwa qiyas baru bisa dipergunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dalam tiga sumber yang mendahuluinya. Dengan kata lain, qiyas dipergunakan dalam keadaan terpaksa.6 Dalam konteksnya dengan persoalan nafkah, perlu ditegaskan bahwa ulama fikih mengemukakan persoalan penting yang berkaitan dengan nafkah istri, di antaranya sebagai berikut: (1) Keengganan suami membayar nafkah atau suami tidak mampu. Apabila suami enggan membayar nafkah istrinya, sedangkan ia telah menentukan nafkah istrinya atau hakim telah menetapkan nafkah wajib yang harus dibayarkannya, maka menurut ulama fikih hukumnya sebagai berikut. Apabila suami itu orang yang mampu dan memiliki harta, maka hakim berhak menjual harta itu secara paksa dan membayarkan nafkah istrinya sesuai dengan kebutuhannya. Apabila harta suami yang mampu itu tidak
5
Menurut Hanafie dari segi bahasa, qiyas ialah mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. lihat Hanafie, Ushul Fiqh, Cet. 14, Jakarta: Wijaya 2001, hlm. 128. Cf. Sobhi Mahmassani, Falsafat at-Tasyri’ fi-alIslam, Terj, Ahmad Soejono, “Filsafat Hukum dalam Islam“, Bandung: PT. Al-Maarif, 1976, hlm. 167-177. 6 Muhammad Abdul Ghani al-Bayiqani, al-Madkhal Ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beurit Libanon: Dar Ribnan Littiba’ah wa al-Nasyr, 1968, hlm. 107.
64
diketahui dan istrinya menuntut kepada hakim, maka hakim boleh memenjarakannya sampai ia membayar nafkah istrinya tersebut. Akan tetapi, apabila ternyata suami itu memang tidak mempunyai harta, maka ia tidak boleh dipenjarakan sekalipun istrinya mengajukan gugatan kepada hakim karena Allah SWT menyatakan apabila seseorang dalam kesulitan maka harus ditunggu sampai ia berkelapangan (QS. athThalaq/65:7).
ﻩ ﺎﺎ ﺁﺗﻖ ِﻣﻤ ﻨ ِﻔ ﹶﻓ ﹾﻠﻴﺯﻗﹸﻪ ﻴ ِﻪ ِﺭﻋﹶﻠ ﺭ ﻦ ﻗﹸ ِﺪﻭﻣ ﻌِﺘ ِﻪ ﺳ ﻦﻌ ٍﺔ ﻣ ﺳ ﻖ ﺫﹸﻭ ﻨ ِﻔِﻟﻴ ﺮﹰﺍﻳﺴ ﺴ ٍﺮ ﺪ ﻋ ﻌ ﺑ ﻪ ﻌﻞﹸ ﺍﻟﱠﻠ ﺠ ﻴﺳ ﺎﺎﻫﺎ ﺁﺗﻧﻔﹾﺴﹰﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣ ﻪ ﻒ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﹶﻜﻠﱢ ﻪ ﻟﹶﺎ ﺍﻟﱠﻠ (7 :)ﺍﻟﻄﻼﻕ Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (ath-Thalaq: 7). Menurut jumhur ulama, ketidakmampuan suami membayar nafkah istrinya bukan berarti kewajibannya membayar nafkah itu gugur sama sekali, tetapi tetap menjadi utang bagi suami yang harus dibayar ketika ia telah mampu (QS:65:7), bahkan menurut Mazhab Syafi'i dan "Hanbali, apabila suami tidak mampu sama sekali membayar nafkah, istrinya boleh meminta fasakh. Namun, menurut Mazhab Hanafi dan Maliki, suami yang tidak mampu membayar nafkah istrinya tidak boleh dipisahkan (diceraikan). Menurut Mazhab "Hanafi, nafkah yang belum dibayarkan suami yang tidak mampu itu menjadi utang baginya yang harus dibayarnya
65
ketika ia telah mampu. Bahkan, menurut Mazhab Maliki, karena suami tidak
mampu
membayar
nafkah
istrinya,
maka
selama
ketidakmampuannya itu kewajiban nafkah gugur dari suami. (2) Nafkah wanita dalam idah dan dalam keadaan hamil. Ulama fikih sepakat bahwa istri yang dicerai suaminya dengan talak raj'i (talak kesatu dan kedua), selama masa idahnya berhak menerima nafkah dari suaminya itu. Akan tetapi, apabila idahnya karena idah wafat, maka menurut ulama fikih, istri tidak berhak menerima nafkah. Mazhab Maliki memberikan pengecualian dalam masalah tempat tinggal. Menurut mereka, apabila rumah yang ditempati istri adalah milik suami atau rumah kontrakan, tetapi telah dibayar sewanya sebelum suami wafat, maka istri tersebut berhak menempati rumah itu selama masa idahnya. Namun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih apabila istri tersebut dalam masa talak ba'in (talak yang dijatuhkan suami dan suami tidak berhak lagi rujuk (kembali) pada istrinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru). Mazhab Hanafi tetap mewajibkan nafkah (makanan, pakaian, dan rumah) bagi suami terhadap istrinya dalam idah talak ba'in. Mazhab Hanbali berpendirian tidak wajib lagi suami. membayar nafkah istrinya karena Rasulullah SAW tidak menetapkan nafkah bagi Fatimah binti Qais yang ditalak suaminya dengan talak ba'in. Sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi'i mengambil jalan tengah. Menurut mereka, istri tersebut berhak mendapatkan tempat tinggal, sedangkan makanan dan pakaian tidak berhak. Alasan mereka didasarkan
66
firman Allah SWT dalam surah at-Talaq (65) ayat 6 yang dikemukakan di atas. Nafkah wanita yang sedang menjalani idah hamil disepakati oleh ulama hukumnya wajib, dibayarkan suami. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang nafkah kehamilan itu sendiri. Mazhab Maliki mengatakan bahwa nafkah kehamilan (janin dalam perut) wajib dibayarkan ayahnya dengan syarat kehamilan (janin) itu adalah anaknya. Akan tetapi, apabila kehamilan yang terjadi akibat lian (suami menuduh istrinya berbuat zina), maka istri tidak berhak mendapatkan nafkah dari lelaki yang melakukan lian tersebut. Mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali mengemukakan pendapat wajibnya nafkah disebabkan kehamilan tersebut sebagai berikut: (a) nafkah itu diwajibkan karena kehamilan (janin) itu sendiri, sehingga apabila janin itu gugur, maka nafkah tidak wajib lagi dibayarkan suami; (b) nafkah itu diwajibkan bagi wanita yang hamil itu sendiri, sejalan dengan nafkah yang harus dibayarkan untuk janin (kehamilan) itu sendiri. Dalam hubungannya dengan narapidana, bahwa dari ke-18 napi yang dijadikan obyek dalam penelitian ini, ada beberapa cara yang ditempuh untuk memberikan nafkah kepada keluarga, selama para napi ini masih menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan kelas-1 Kedungpane Semarang. Pertama: para napi ini tetap memberikan nafkah kepada isterinya dengan gaji yang dia terima negara. Pola seperti ini dilakukan oleh Haryanto yang berprofesi sebagai polri.
67
Kedua: secara umum para napi di lembaga pemasyarakatan kelas-1 Semarang tidak memberikan nafkah yang sudah menjadi kewajibannya tersebut, tetapi mereka memberi wewenang untuk mengelola harta yang ia tinggalkan di rumah. Dalam proses pengelolaan harta yang dia tinggalkan ini ada yang dijual untuk dijadikan modal usaha, maupun untuk sebagian biaya menjadi TKI tetapi ada juga yang tetap menjaga harta tersebut utuh dengan mengambil alih peran suami dalam memberikan nafkah bagi keluarga. Pola ini dilakukan para istri napi yang memang memiliki pekerjaan tetap seperti buruh pabrik maupun karyawan swasta ataupun PNS. Kalau demikian halnya maka apa yang dilakukan oleh narapidana yang beragama Islam tentang kewajiban nafkah kepada isterinya meskipun secara formal dia tidak memberikan nafkah tetapi berwenang penuh kepada isteri untuk mengelola harta yang ia tinggal di rumah, sesuai dengan pendapat Imam Maliki, Syafi'i, dan Hambali itu sudah syah. Meskipun demikian alangkah baiknya
jika
si
suami
yang
berstatus
sebagai
narapidana
tetap
mempertanggungjawabkan kewajibannya untuk tetap memberikan nafkah kepada isterinya demi kelancaran hubungan kekeluargaan mereka yang nantinya
dapat
diharapkan
setelah
si
Suami
keluar
dari
lembaga
pemasyarakatan dapat berkumpul kembali dengan anak, isteri dan keluarganya dengan penuh kelapangan untuk saling menerima. Apabila ada narapidana yang tidak mempunyai harta sama sekali (hal itu tidak ditemukan dalam obyek penelitian ini) padahal dia mempunyai kewajiban nafkah atas isterinya maka sesuai dengan hukum Islam, dia tetap
68
diwajibkan memberikan nafkah tersebut dan dihitung sebagai hutang, kecuali apabila
isteri
narapidana
tersebut
memaafkan
dan
tidak
menuntut
dibayarkannya hutang atas nafkah itu kepada suaminya, Jika hal ini yang terjadi maka suami yang berstatus narapidana tersebut bebas dari hutang nafkah kepada isterinya. B. Analisis Pemberian Nafkah Para Narapidana Kepada Isterinya Dalam Perspektif KHI Kompilasi Hukum Islam tidak berbicara secara detain tentang pemberian nafkah para napi kepada keluarganya, Dalam KHI, masalah nafkah ini tercaver dalam bab XII tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri yang diawali dari Pasal 77 sampai pasal 84. pada bagian kesatu yang merupakan deskripsi umum terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 77 dan 78. Pasal 77 menjelaskan bahwa suami isteri menanggung kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Suami dan isteri juga wajib memelihara kehormatannya dan jika masing-masing mengabaikan hal ini maka dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
69
Pada Pasal 78 dijelaskan bahwa kedudukan suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan bersama. Hal ini dipertegas pada pasal 81 tentang tempat diaman yang terdiri dari empat pasal. Secara garis besar pasal ini menyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah. Tempat kediaman yang dimaksudkan diatas adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talak ataupun iddah wafat. Tempat kediaman ini disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman ini juga berfungsi sebagai tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpan harta kekayaan dan juga sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Pada Pasal 81 ini juga dijelaskan bahwa suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Untuk dapat memahami Pasal 81, alangkah baiknya menunjuk pada pasal 80 yang secara umum terkait dengan kewajiban suami. Pasal ini menjelaskan bahwa suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Suami wajib memberikan
pendidikan
agama
kepada
isterinya.
Suami
dengan
penghasilannya juga harus menanggung, nafkah, kiswah dan tempat kediaman
70
isterinya, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anaknya serta biaya pendidikan bagi anak yang akhir-akhir ini melambung tinggi. Kewajiban suami tersebut berlaku setelah sempurnanya proses perkawinan dan dalam kasus tertentu tentang kewajiban suami terhadap nafkah ini, isteri dapat membebaskan suami nya dan kewajiban terhadap dirinya dan hal in menjadi gugur jikalau isteri nusyuz. Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa KHI secara substansial sama dengan hukum Islam tetapi dengan redaksi yang berbeda. KHI secara mendasar juga menyatakan bahwa kewajiban suami terhadap pemberian nafkah kepada isterinya adalah keniscayaan tetapi bagaimana dengan kasus suami yang berstatus narapidana, KHI tidak mengkaji secara eksplisit tetapi secara implisit itu dapat ditemukan dalam Pasal 80 yang menyalakan bahwa isteri dapat membebaskan kewajiban suami tersebut. Dalam perspektif ini KHI tidak berbicara tentang hutang nafkah seperti halnya ulama madzbab tetapi langsung kepada pengampunan dari istri terhadap hutang nafkah dari suami yang berstatus narapidana. Pada posisi yang demikian maka alangkah baiknya apabila mengikuti ajaran ulama madzhab yang menyatakan bahwa hutang nafkah tetap harus dipenuhi dengan pengecualian jika isteri memaafkan. Dari deskripsi di atas maka dapat dipahami bahwa secara substansial apa yang telah dilakukan dengan pemberian nafkah narapidana kepada isterinya, telah dapat diterima secara substansial dalam KHI, meskipun KHI tidak berbicara secara formal tentang hal ini, dan bagi yang tidak memberikan
71
nafkah sama sekali kepada isterinya juga dapat diterima sesuai dengan ketentuan KHI dengan pengampunan dari pihak isteri.
