Newsletter
interfidei
Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia
Daftar Isi Bilingual Newsletter
Editorial Fokus Opini Aktifitas Potret Fitur Refleksi Agenda
1 3 8 12 20 25 29 32
Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Amin Ma'ruf Tim Redaksi Listia, Lian Gogali, Suhadi, Leo CE Setting/ Layout Sarnuji SR Keuangan Eko Putro Mardiyanto Sekretaris Dian Mutianingrum Distributor Susanto, Supriyanto Diterbitkan oleh: Institut DIAN/ Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia Phone:+62-274-880149 Fax.:+62-274-887864 E-mail:
[email protected] Website: www.interfidei.or.id
EDITORIAL KETIKA AGAMA-AGAMA DIGUNCANG GEMPA
B
umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” begitulah ketika Sang Dalang menggambarkan kejadian goro-goro (bencana) dalam pewayangan. Namun bumi Mataram (Jogja dan Jawa Tengah) yang terguncang pada 27 Mei 2006 kurang lebih jam 06.00 WIB, bukanlah kejadian goro-goro dalam pertunjukan wayang tetapi nyata. Pagi itu kepanikan yang luar biasa terjadi ketika semua manusia dari bumi Jogja Selatan bergerak serentak ke arah Utara, bahkan ada yang sampai ke daerah Magelang dan sekitarnya. Isu tsunami telah membuat masyarakat panik. Listrik padam sehingga tidak ada informasi yang jelas baik melalui radio ataupun televisi mengenai gempa tersebut. Hanya satu atau dua stasiun radio yang mengudara memberikan informasi. Belakangan diketahui gempa tersebut berkekuatan 5,9 skala richter. Dalam hitungan detik ribuan bangunan porak poranda dan ribuan nyawa melayang serta banyak yang luka-luka. Setelah itu bantuan dari berbagai pihak berdatangan, baik dari pemerintah maupun kelompokkelompok masyarakat dengan berbagai latar belakang agama, etnis, bangsa dan sebagainya. Banyaknya kegiatan bantuan gempa dari berbagai lembaga keagamaan, seperti bantuan logistik, medis, pendidikan, infrastruktur dan lain-lain, menunjukkan bahwa nilainilai agama tidak hanya tersusun rapi dalam kitab sucinya tapi juga diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Kitab suci dari semua
Newsletter Interfidei No. 2/I September 2006
WHEN RELIGIONS WERE SHAKEN BY QUAKE
B
umi gonjang-ganjing, langit kelap-kelop...” (The earth shaking, the sky moving…) was the way the puppet master depicted a goro-goro (disaster) in puppetry world. Nevertheless, Mataram land (Jogja and Central Java) shaken on May 27 2006 at around 06.00 a.m., was not a gorogoro in a puppetry world, but a real life event. That morning, panic stroke when the people from southern part of Jogja moved up north, even also shook Magelang and its surrounding area. The issue that there would be a tsunami has caused panic in the community. The electricity was put out for quite a long time and there was no single information from radio or TV on the earthquake. Only one or two radio station still aired, providing information. Eventually, the world saw that the earthquake was 5.9 in the Richter scale. In seconds, thousands of buildings were brought down and thousands of lives taken. Several other thousands were injured. In the aftermath of the earthquake, aids from numerous parties come, whether from the government or from communities with different religion, ethnic, and national backgrounds. The surprising number of aids from various religious institutions, in forms of logistics, medic, education, infrastructure, etc, shows that the values of religions are not merely kept nicely in their holy books, but also applied in the real life of the community. Holy books of all religions teach human being to do
Edisi September 2006
1
Editorial agama mengajarkan manusia untuk melakukan kebajikan terhadap sesama manusia, yaitu untuk tolong-menolong dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Disinilah, agama-agama mempunyai titik temu, yaitu misi untuk peduli akan penderitaan sesama dan menjunjung tinggi ajaranajaran kebajikan yang memuat nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang mengharukan ketika ada yang mengalami musibah, orang lain, entah satu, dua atau lebih, akan tergerak untuk membantu. Tidak peduli apa agamanya, dari etnis apa, dari bangsa apa, mereka dengan sukarela membantu para korban. Memang kondisi para korban yang sangat mengenaskan menuntut uluran tangan semua pihak, lebih-lebih umat beragama yang senantiasa diajarkan untuk peduli akan penderitaan orang lain. Hanya saja penerapan nilai-nilai agama tersebut bukannya tanpa masalah dalam wilayah praksis. Kegiatan bantuan untuk korban gempa yang dilakukan lembaga-lembaga keagamaan tidaklah selalu menerima respon positif dari semua kelompok masyarakat. Isu penyebaran agama menjadi sensitif ketika dikaitkan dengan kegiatan bantuan tersebut. Isu tersebut timbul karena adanya belenggu prasangka pada suatu kelompok. Prasangka tersebut akan menimbulkan sikap antipati terhadap kelompok lain yang sebetulnya hanya ingin membantu para korban tanpa motif untuk meng-konversi orang lain ke dalam agama mereka. Lebih-lebih jika prasangka itu disebarluaskan melalui media tanpa adanya penyelidikan yang akurat maka itu akan menjadi sangat riskan dalam interaksi antar pemeluk agama. Disinilah kedewasaan dalam beragama dan pintu dialog antar pemeluk agama menjadi begitu penting untuk merdeka dari prasangka. Mengingat masalah ini sangat penting dalam kehidupan antar pemeluk agama maka permasalahan tersebut akan menjadi fokus utama dalam newsletter edisi ini. Edisi ini juga akan menampilkan pengalaman seorang aktifis (Norma Susanti Rambe Manalu) dalam penanganan korban gempa tsunami Aceh. Kemudian rubrik 'potret' menampilkan seorang aktifis pluralisme (Muslich). Selain itu informasi tentang kegiatankegiatan yang pernah dilakukan oleh Interfidei dari bulan Juni sampai dengan September 2006 serta agenda kegiatan ke depan akan menghiasi newsletter edisi ini. Semoga bermanfaat. [AM]
2
Edisi September 2006
Interfidei newsletter good deeds for fellow human beings, to aid each other and be empathic about others' suffering. Here, religious values coincides each other, i.e. a mission to care about others' suffering and uphold teachings that hold values of humanity. There are always touching moments in midst of disaster. When one experiences a disaster, one or two other people will be moved to help. No matter what religions, ethnics, or nations they are from, they would voluntarily aid the survivors. It's true that the very tragic situation of the victims demand hands from all parties, moreover religious communities that are always taught to care of others' suffering. The application of these religious values is not without problem in the practical sphere. Aid programs for survivors of earthquake implemented by religious institutions do not always receive positive response from all communities. The issue of religious proselytization becomes sensitive when related to the aid program. The issue rose due to the prejudice towards one group. Such prejudice will only raise antipathy towards other groups which were actually just trying to help the victims without any side motive to try to convert people into their religions. Moreover if the prejudice is spread through media with the absence of accurate investigation, it will then be very risky in interaction among religious followers. It is at this point that religious maturity and the dialogue process among religious believers must be free from prejudice. Taking into consideration the significance of the problem in the relationship among religious believers, this problem will be the main focus in this edition. The edition will also have the experience of an activist (Norma Susanti Rambe Manalu) in management of survivors of Aceh tsunami and quake. Next, the column 'Portrait' will introduce an activist of pluralism (Muslich). In addition, information on activities implemented by Interfidei from the month of June until September 2006 and agenda of activities in the future can also be found in this edition. Hope it is useful. Happy Reading! [AM]
Kedewasaan dalam beragama dan dialog antar pemeluk agama menjadi begitu penting untuk merdeka dari prasangka.
Edisi September 2006
SENTIMEN KEAGAMAAN DI TENGAH BENCANA
S
alah satu sisi yang terekspos media dari peristiwa bencana alam adalah solidaritas sosial yang kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Beragam bantuan dalam berbagai bentuk ini, seperti mengisyaratkan pernyataan (yang menjadi klise bila dirumuskan), “sakitmu, adalah sakitku juga…”. Ya, inilah yang paling mudah dipahami sebagai bentuk nyata solidaritas masyarakat. Sesuatu yang membuat semua orang merasa terharu dan bersyukur, bahwa selalu ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Di luar persoalan solidaritas sosial ini, ada juga isu keagamaan yang menggelitik. Sebuah koran nasional memberi judul berita tentang gempa tektonik dengan ungkapan “Patahan yang menyatukan” menceritakan bagaimana warga masyarakat biasa di beberapa tempat di Jogja membuat nasi bungkus untuk dibagikan pada para pengungsi korban gempa yang dilakukan serentak tanpa komando. Secara umum solidaritas kemanusiaan tampak dengan gegap gempita. Tetapi menyangkut masalah perbedaan agama para relawan atau dermawan yang ingin membantu, peristiwa bencana (setidaknya yang terjadi di beberapa tempat di kabupaten Bantul Jogjakarta) menunjukkan ada pengerasan batasbatas identitas agama yang membuat relasi-relasi antara korban dengan orang luar daerah bencana kadangkala berjalan tidak rileks. Fokus newsletter edisi September ini akan menyajikan beberapa kasus yang berhasil diteliti oleh tim redaksi. Masalah Saling tidak Percaya Konon rasa percaya masyarakat Indonesia satu dengan yang lain cukup rendah. Benar tidaknya penilaian ini bisa dilihat dari kecurigaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Kecurigaan ini bila direnungkan muncul beriringan dengan perubahan nilai-nilai dan tatanan sosial yang tidak dilalui dengan baik, sehingga memunculkan rasa tidak aman terhadap lingkungan. Dengan sangat menyesal, kita menyaksikan bahwa di Indonesia, ada juga kecurigaan dalam masyarakat yang hadir karena 'rekayasa'. Salah satu bentuk rekayasa yang
Focus
RELIGIOUS PREJUDICE IN MIDST OF DISASTER
O
ne of the dimensions exposed by the media from a natural disaster is strong social solidarity from various levels of the society. The various forms of aids seem to state (which becomes a cliché if formulated), “your pain is my pain too …” Indeed, it is something most easily understood as the real form of people solidarity. It is something that makes all people feel touched and grateful that there will always be hope for a better life. Listia Without regard to the problem of social solidarity, there is also a religious issue consuming our attention. A national paper wrote as the heading for news on the tectonic quake: “The VAULT that Puts US Together”, tells how common people in numerous places in Jogja cooked “wrapped rice” to be distributed to the refugees; all done at once without the need of any coordination. In general, solidarity for humanity seems very loud. Nevertheless, on religious diversity among volunteers, the disaster (at least what took place in some places in Bantul regency, Jogjakarta) shows firming on religious identity resulting in restrained relationship between victims and people from outside of disaster area. The Focus of this September edition presents some cases investigated by the editor team. Low Trust Situation It is said that the level of trust between one Indonesian to another is quite low. Whether it is true or not could be perceived from sense of suspicion that emerges in daily life. This suspicion, if contemplated, appears in line with changes in values and social order that are not undergone well, raising sense of insecurity towards environment. We regretfully also witness that in Indonesia, there is contrived wariness toward the other. One form of it easily witnessed is the efforts to delineate differences in midst of the community which eventually would put a halt on communication
Edisi September 2006
3
Fokus
Interfidei newsletter
mudah disaksikan adalah adanya upaya-upaya among members of the community. Minimum mempertegas perbedaan dalam masyarakat yang communication is the most rational factor resulting pada akhirnya menutup komunikasi satu dengan in lack of understanding and sensitivity in different yang lain. Minimnya komunikasi adalah hal paling groups in the community towards numerous rasional yang menyebabkan kelompok-kelompok aspects of differences supposedly be managed yang berbeda dalam masyarakat menjadi saling together as the main part of living in one tidak paham, tidak mengerti dan community. peka terhadap berbagai unsur T h e perbedaan yang harus dikelola initiative to bersama sebagai bagian paling open channel utama dalam bermasyarakat. o f Inisiatif untuk membuka communicatio komunikasi terbukti menjadi n is proven to sarana yang sangat penting untuk be a very menghilangkan kecurigaan. significant Redaksi Newsletter Interfidei means to lose sempat mendapat kabar bahwa ada any wariness sekelompok aktivis Gereja yang and suspicion. menamakan diri Jaringan Do`a Interfidei's Indonesia menyisipkan al Kitab Newsletter (kitab suci umat Kristiani) di antara editors heard bantuan-bantuan yang akan Anak-anak korban gempa belajar di tenda darurat. some rumor diserahkan pada para korban Sumber: Dokumentasi Interfidei that there was gempa di Bantul. Kelompoka group of kelompok umat beragama di luar Kristiani church activists calling themselves Indonesia (umumnya muslim dan umat Hindu) banyak yang Prayer Network that planted the Bible (Christian mudah memahami berita seperti ini sebagai bagian Holy Book) among the aids submitted to the quake dari upaya-upaya misionaris Kristen. Beberapa victims in Bantul. Other religious communities (In anggota redaksi mencoba menelusuri sumber general Moslems and Hindus) understand such berita. news as part of Christian missionary efforts. Akhirnya redaksi Newsletter menemukan Members of our editor try to track down the source narasumber yang berhubungan langsung dengan of this rumor. berita ini. Didin, seorang mahasiswa UIN Sunan Eventually, our Newsletter editor found a Kalijaga Jogjakarta, aktifis HMI menjelaskan source directly related to this news. Didin, a student bahwa al Kitab tersebut ada di posko mereka of UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, an activist at karena sengaja diadakan, disediakan untuk warga Islamic Student Union, explained that there were Kristiani di daerah sekitar posko HMI. Selanjutnya Bibles in their post because those Bibles were Didin menjelaskan bahwa sebagian relawan di procured intentionally, provided for Christians posko ini telah lama menjalin kerjasama dengan around the post of Islamic Student Union. Didin Sekolah Tinggi Teologia (STT) Apostolos Jakarta, further elaborated that some volunteers at the post termasuk ketika membantu korban gempa di have long been cooperating with Theology School Bantul. Al kitab mereka pesan pada kawan-kawan (STT) Apostolos Jakarta, including when coming to dari STT Apostolos, sementara untuk warga yang the aid with the victims of the quake in Bantul. They beragama Islam mereka sudah bisa menyediakan al ordered Bibles to their friends at STT Apostolos, Quran. while for Moslems, they have also been able to Demikianlah sebuah berita acapkali provide al Qur'an. beredar tidak sesuai dengan kejadian yang From the afore-mentioned case, we should sesungguhnya. Andaikan masyarakat tidak be able to see that news/rumors are at times not mempunyai inisiatif untuk bertanya tentang berita appropriate with the real event. If the community yang sekiranya bisa menimbulkan masalah dalam does not have any initiative to ask about such news bermasyarakat, seperti ini maka cerita tentang that could bring in problems in the life of the
4
Edisi September 2006
Edisi September 2006
Focus
community, the rumor about Bibles planted in the adanya al Kitab yang terselip di antara bantuan aids could be spread like fire and twisted to be an yang diberikan bisa beredar dan terus dipelintir unhealthy source of suspicion in midst of various menjadi sumber kecurigaan yang sangat tidak problems existing already. sehat di tengah berbagai persoalan. The issue of Christianization, as what rose Isu Kristenisasi, sebagaimana pernah once during the recovery process of the tsunami mencuat saat pemulihan korban bencana tsunami victims in Aceh also emerged in the aftermath of the di Aceh terjadi pula paska musibah gempa di Jogja earthquake in Jogja and Central Java. A Protestant dan Jawa Tengah ini. Seorang Pendeta Kristen priest 'entrusted' aid from his church through Protestan sempat 'menitipkan' bantuan dari gereja Interfidei's volunteer post with argumentation 'so melalui posko relawan Interfidei dengan alasan that people wouldn't consider it Christianization'. 'biar tidak dianggap kristenisasi'. GKI yang sehariGKI, an abbreviation hari adalah singkatan from Gereja Kristen Gereja Kristen Indonesia, Indonesia (Indonesian dalam upaya membantu Christian Church), in masyarakat di Bantul dan its efforts in Klaten mengganti humanitarian aid for singkatan menjadi the people in Bantul Gerakan Kemanusiaan and Klaten changed its Indonesia. Pergantian arti abbreviation to s i n g k a t a n i n i Gerakan Kemanusiaan sesungguhnya tidak perlu Indonesia (Indonesian terjadi seandainya Humanitarian masyarakat kita terbiasa Movement). Such a berfikir jernih change is hardly menghadapi berbagai necessary if our berita. Pada situasi community is used to tanggap darurat dimana Simpati dari Umat Budha Korea untuk korban gempa Jogja. Sumber: Dokumentasi Interfidei thinking clearly in siapa saja yang responding to different mempunyai kemampuan news or rumors. In an untuk membantu emergency situation in which anybody having the diharapkan bisa melakukan apa saja untuk segera capacity to aid is expected to do anything necessary meringankan beban masyarakat yang tertimpa to lighten the burden of the people surviving the bencana, kenyataannya masih ada pekerjaan yang disaster, in reality there is still much work to be harus dilakukan untuk menjernihkan cara berfikir, done to rid of various prejudice. mengusir berbagai prasangka. The desperately low trust among different Minimnya rasa percaya antar pemeluk religious communities seems to be a homework we agama yang berbeda tampaknya menjadi PR yang are yet to face. On one side, various circles in masih harus dihadapi. Di satu sisi beberapa Christianity recognize that Christians are not just kalangan Kristiani mengakui bahwa umat one, as there are many at-times-different religious Kristiani pun tidak satu, ada banyak paham understandings, including in understanding the keagamaan yang adakalanya berbeda di antara meaning of 'living the Gospels and consoling souls'. mereka, termasuk dalam memahami makna Most Christians interpret this understanding by 'memashurkan Injil atau memenangkan jiwa'. living to the values upholding and embracing Sebagian besar umat Kristiani menghayati paham humanitarian values, but a few people interpret it ini dengan cara menghidupi nilai-nilai yang by rounding up Church members. Perhaps there meninggikan dan memekarkan harkat was an event where one tried to convert another into kemanusiaan, namun ada juga oknum atau a Christian, and this news was then developed in kelompok kecil yang memaknainya dengan cara such a way that a thought then was shared that all memperbanyak warga Gereja. Barangkali pernah Christians are missionaries looking forward to ada kejadian seseorang “meng-kristen-kan” yang converting others into Christians as well. lain, kemudian berita ini dikembangkan
Edisi September 2006
5
Fokus
Interfidei newsletter
sedemikian rupa sehingga beredar pikiran seolahIronically, if there is one thing most often olah semua orang Kristiani adalah misionaris yang responded by religious communities other than ingin membaptis umat lain. Ironisnya yang sering Christians, it would be this small group's direspon penganut movement, as religious agama diluar Kristiani communities other than adalah gerakan Moslems very often kelompok kecil ini, respond to intolerant and sebagaimana umat di radical movements done luar muslim yang by a small group of sering kali lebih Moslems. Thus, the merespons gerakan situation invented the yang tidak toleran dan labels 'missionary' for keras yang dilakukan Christians and 'intolerant oleh kelompok kecil and radical' for Moslems umat Islam. Tidak that have proven to destroy urung cap misionaris trust among members of untuk umat Kristiani the community. Membangun semangat baru bersama anak-anak korban dari umat lain dan cap If only there is gempa di Dusun Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan tidak toleran dan keras Bambanglipuro,Kabupaten w i l l i n g ness among Bantul, Yogyakarta untuk umat Islam dari Sumber: Dokumentasi Interfidei religious communities to umat lain terbukti telah open an intensive menghancurkan rasa communication, then we saling percaya diantara warga masyarakat. could see a great possibility that wariness emerging Seandainya ada kemauan di antara umat due to this lack of trust to others will also disappear. beragama untuk membuka komunikasi yang Hidden Agenda and Sentiment intensif, maka besar kemungkinan kecurigaan yang In midst of post-disaster suffering, one timbul karena rendahnya rasa percaya pada yang interesting phenomenon is the number of 'banners' lain ini akan hilang. put out by the donors. If we could read the mind behind this crowd of a banner, it was as if they cried Pamrih dan Sentimen out “Look, we whose names are written here have Di tengah derita paska bencana, fenomena done something to help out”. Or perhaps (this is yang menarik adalah banyaknya 'bendera' yang another 'if'), “Don't forget, we are generous, keep dibentangkan oleh para penyumbang. Kalau boleh that in mind!” This all of course does not mean that berandai-andai membaca pikiran dibalik maraknya we have to have bad thought about these donors: bendera itu seolah-olah hendak menyatakan that they have a hidden agenda so that they are “lihatlah, kami yang namanya tertera disini, sudah memorized for their good names, or so that people membantu”. Atau mungkin saja (ini pengandaian they helped would in the future be supporters of the lagi) terdapat pikiran seperti ini, “jangan lupa, kami donors. The reality is that the survivors of the adalah dermawan, ingat baik-baik!”. Ini semua disaster really need the donors' hands, and we of tentu bukan bermaksud buruk sangka bahwa para course also feel relieved when we see the victims' penyumbang ini mempunyai pamrih agar dikenang burdens be lightened. So, critical thoughts must not mempunyai nama baik, atau agar orang-orang yang always be uttered blatantly as it could provoke dibantu kelak menjadi simpatisan si pemberi interpretation that considers critical thoughts as bantuan. Kenyataannya masyarakat yang unproductive talkative attitude. mengalami bencana sangat membutuhkan uluran The emergence of any critical thought when tangan mereka itu dan kita turut lega ketika para seeing any symbol, signs, or writings about the korban diringankan bebannya. Jadi pikiran kritis donors attached to cars or packages of aids, or tidak selalu harus dikemukakan dengan lugas, banners saying that this is group A's region, or karena bisa memancing munculnya penafsiran association B's area, and so on should be able to be yang menganggap pikiran kritis sebagai sikap ended by an understanding that all people or groups nyinyir yang tidak produktif.
6
Edisi September 2006
Edisi September 2006
Focus
Munculnya pikiran kritis saat melihat simbol, tanda atau tulisan-tulisan tentang si penyumbang tertempel di mobilmobil atau menempel pada dos-dos berisi barang bantuan, atau bendera-bendera yang seolah-olah mematok ini wilayah kelompok A, sebelahnya kelompok B, dan seterusnya, cukup bisa diakhiri oleh pemahaman bahwa Bangunan sekolah darurat SD Turi, Desa Sidomulyo, semua orang atau Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakartal Sumber: Dokumentasi Interfidei kelompok berhak untuk mempunyai suatu kepentingan, sepanjang have the right to have an interest, as long as the kepentingan ini tidak memposisikan masyarakat mentioned interest does not position those yang tertimpa bencana sebagai obyek dari suffering as the result of a disaster as an object of kepentingan tersebut. Namun apa yang menjadi the interest. Nevertheless, we should also ask ukuran bahwa suatu kepentingan yang dibawakan ourselves about the indicator that one interest oleh seseorang atau kelompok tidak meng-obyekbrought by one person or group does not make kan pihak lain? other parties as objects. Sebuah pepatah mengatakan, 'bila engkau A proverb says, 'If you are really kindsungguh-sungguh baik hati, kau tidak akan marah hearted, you would not be upset with people who dengan orang yang tidak tahu berterima kasih do not thank you for what you have done for them'. padamu'. Bagaimana dengan para pemberi How about the donors with their enormous bantuan yang mengibarkan bendera besar-besar banners discrediting others who just want to help? dan mendiskreditkan kelompok lain yang juga An example of the case is the spread of a rumor ingin membantu? Misalnya dalam konteks tema ini “Watch out, be careful with the aid given by this adalah, sambil menghembuskan isu “awas, hatigroup, they are just trying to gain your sympathy hati dengan bantuan yang diberikan kelompok ini, so that you would follow their faith”. It seems that mereka hanya ingin mengambil hati agar these banner men trying to discredit others just mengikuti keyakinan mereka”. Tampaknya para plunge themselves in the hole of shame. It is pengibar bendera yang mencoba mendiskreditkan impossible for people who try to give their hearts kelompok lain hanya menjatuhkan diri sendiri pada to dirt them at the same time. lubang aib. Orang yang berusaha memberi hati, tidak mungkin pada saat yang bersamaan Sincerity towards Life mengotori hatinya. In the end of this article, it is not too much to re-raise the theme of sincerity which now seems Tulus Bagi Kehidupan not to be as interesting to discuss. Traditional Di akhir tulisan ini tidaklah berlebihan bila teachings of religions say “If your right hand gives, mengangkat kembali terma ketulusan yang don't let your left hand see”. In other words, the agaknya sekarang menjadi sesuatu yang tidak phenomenon exhibiting kindness or generosity is menarik untuk didiskusikan. Ajaran tradisional something worthy to notice, observe, and reflect, agama-agama menyatakan “jika tangan kananmu that this is the portrait of our maturity in living in memberi, hendaknya tangan kirimu tidak melihat”. the community, where kindness is not done for Dengan kata lain fenomena memamerkan
Edisi September 2006
7
Interfidei newsletter
Opini
Total Togetherness: Learning from Humanitarian Solidarity for Survivors of Disaster
Kebersamaan Yang Utuh: Belajar Dari Solidaritas Kemanusiaan Untuk Korban Bencana Alam.
N
ilai kemanusiaan (hablun min al-nas) menempati posisi yang sangat tinggi di dalam ajaran Islam setelah semangat ketuhanan (hablun min Allah). Kedua ajaran ini memiliki korelasi yang sangat kuat sehingga tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Padanannya semangat kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan semangat keagamaan, demikian pula semangat keagamaan mustahil bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Agama tidak diturunkan sebagai penghalang bagi kemanusiaan, apalagi sebagai pemasung nilai-nilai kemanusiaan( Qs. 22: 78). Maka sesuatu yang sejalan dengan nilai kemanusiaan (fungsional untuk manusia) tentu akan tetap eksis di bumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna untuk manusia, muspra bagaikan buih) tentu tidak akan eksis di bumi,--(Qs. 13-17). Untuk itu, walau Islam berasal dari Tuhan, tetapi ketaatan terhadap Islam itu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan untuk kemanusiaan manusia itu sendiri, karena keridhaan Tuhan tergantung sejauh mana manusia berbuat sebaik-baiknya untuk dirinya sendiri. (Qs. 47:38). Apresiasi sejati nilai ketuhanan dengan sendirinya menghasilkan apresiasi sejati nilai kemanusiaan (Qs.31:12). Ketiadaan salah satu dari kedua aspek itu akan membuat aspek lainnya 1 palsu, tidak sejati. Posisi manusia yang sangat terhormat di dunia ini, maka segala bentuk perbuatan yang menghancurkan eksistensi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan sikap yang mengingkari kodrat manusia itu sendiri sebagai khalifah di muka bumi yang punya tugas menciptakan kemaslahatan dan memakmurkan bumi (Qs. 11: 61). Paling tidak terdapat dua perilaku yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut, pertama; secara langsung, yaitu melalui tindak kekerasan seperti peperangan, penggusuran, pemerkosaan, penindasan dll. yang terjadi secara Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.
8
Edisi September 2006
H
umane value (hablun min al-nas) is put as second highest priority in Islamic teaching, right after spirit of Divinity (hablun min Allah). These two teachings have strong correlation to the point where both can no longer be distinguished. It is as if humanitarian spirit can never be in the opposite of religious spirit, and vice versa. Religions were not descended as a constraint to humanity, let Abidin Wakano alone as a shackle to humanitarian values (Qs. 22: 78). Thus, anything that agrees with humanitarian values (of use for human being) will never cease to exist on earth, whereas those not concur with the values (worthless for people, as foam in the sea) will not exist (Qs. 13-17). Thus, despite the say that Islam originates from God, compliance to Islam itself is not for the interest of God, but for the humanity of human being itself, as God's keridhaan (willing) depends on how far human beings do their best for themselves (Qs. 47:38). Real appreciation towards the divine values will automatically result in real appreciation towards humane values (Qs.31:12). Absence of either one of the two aspects will create fakeness, 1 false, in the other aspect. Human being has very respected position in this world. Thus, all kinds of deeds destroying the existence of human life directly or indirectly, is an attitude that denies the destiny of human being as khalifah on the face of this earth assigned to create kemaslahatan (benefiting) and to add to riches of earth (Qs. 11: 61). There are at the very least two behaviors devastating these humane values. First is through direct actions: acts of violence such as warfare, eviction, rape, oppression, etc that occur incidentally or systematically. Second is by means 1
. See Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Cet. V. Jakarta: Paramadina, 2005), h. Xvi.
Edisi September 2006 insidentil maupun sistematik. Kedua, secara tidak langsung yaitu melalui pengrusakan terhadap lingkungan/ alam, karena yang demikian bisa berdampak langsung terhadap manusia berupa bencana alam. Untuk itu Tuhan menyerukan agar umat manusia tidak melakukan kerusakan di muka bumi, “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik." (QS. 7 : 56). Manusia punya tanggung jawab untuk merawat kehidupan ini karena kerusakan yang terjadi di darat dan lautan, baik terhadap sumber daya alam maupun sumber daya sosial adalah karena perbuatan manusia.(Qs. 16:13). Kedua perilaku di atas merupakan perilaku hewani yang membuat manusia punya kecenderungan untuk saling menguasai dan memangsa. Nafsu kebinatangan seperti ini dalam sejarah kehidupan manusia telah menoreh sejarah kekerasan abadi sejak terjadi perkelahian antara Habil dan Kabil. Tak pelak lagi kekerasan demi kekerasan terus terjadi dari satu zaman ke zaman berikutnya. Kekerasan tak pernah luput dari kehidupan manusia. Seperti bola salju yang terus berputar semakin modern kehidupan manusia, tindak kekerasan yang lahir dari perilaku manusia pun semakin meningkat dan kompleks. Tak pelak lagi realitas-historis itu dapat kita saksikan ketika manusia memuja peradaban baru yang “adiluhung”, yang melahirkan mitos modernisme yang berkeadaban tinggi (high civilization). Namun sungguh tragis, di era puncak kemodernan itulah perang yang brutal sekaligus sistematik telah dimulai. Awal abad ke-20 justru dimulai dengan Perang Dunia Pertama (1914-1918) di Eropa. Setelah itu, perang yang lebih dahsyat hadir kembali yaitu Perang Dunia Kedua (1939-1949), yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. Dua perang besar ternyata tak cukup. Pasca Perang Dunia Kedua itu, ternyata lebih dari 155 perang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita mencatat perang di Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, Malvinas, dan perang Teluk begitu menonjol dan menimbulkan jejak tragis bagi dunia kemanusiaan. Belum terhitung agresi Amerika Serikat ke Nikaragua, El-Salvador, Irak, Libya, dan ke Afganistan jilid tiga saat ini. Dalam sebagian catatan, perang-perang terbuka itu tidak kurang telah menelan korban 20 juta nyawa manusia. Sebagian besar korban adalah rakyat sipil, khususnya anak-anak dan perempuan. (Republika Minggu, 21 Oktober 2001 Ideologi Perang, oleh Haedar Nashir). Tak terkecuali di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi sejumlah konflik dan kekerasan sosial yang memakan korban ribuan manusia. Bencana sosial yang terjadi secara beruntun ini telah mengakibatkan disintegrasi keindonesiaan kita menjadi
Opinion of indirect actions: destruction of environment / nature, since such action will have direct effect on human being in the form of natural disaster. That's why God tells human beings not to do damage to earth, “ do not make any damage on earth, after (God) mends it and pray to Him with fear and hope. God is truly close to those dong good deeds." (QS. 7:56). Human being has the responsibility to care for this life as damage occurring in land and sea, whether on natural resources or social one is the doing of humans.(Qs. 16:13). Both aforementioned behaviors are animal-like conducts resulting in tendency in humans to try to control and prey each other. Such animal craze has stained the history of human being with bloodshed ever since the fight between Cain and Abel. Unavoidably, violence after violence kept on going from time to time. Aggression never leaves human life. As a snow ball that keeps on rolling, the more modern human life, the more complex and improved the aggression born of human conduct. We could all witness this historical reality when humans worship a new, “adiluhung” civilization, which gives birth to the myth of modernism with high civilization. Tragically, it is in this peak era modernism that brutal and systematic warfare started. The beginning of the 20th century commenced with World War I (1914-1918) in Europe, upon which even a greater war occurred, World War II (1939-1949) that extended to all corners of earth. Two big wars apparently were not enough. After World War II, 155 wars have taken place in all over the world. The history recorded wars in Vietnam, Korea, Afghanistan, Arab-Israel, the Malvinas, and the Gulf war that caused tragedy for the world of humanity, not to mention aggressions of the US to Nicaragua, ElSalvador, Iraq, Libya, and Afghanistan chapter III at present. In some records, these open wars have at least made victims of 20 million lives, most of which were civilians, especially women and children. (Republika, Sunday, 21October 2001: Ideologi Perang, by Haedar Nashir). Indonesia is not an exception. In the last few years we have witnessed numerous conflicts and violence taking thousands of lives. These social disasters taking place repeatedly have caused disintegration in our almost perfect Indonesia: how each and every citizen of this country coerces and slays each other to sustain
Edisi September 2006
9
Opini
Interfidei newsletter
hampir sempurna. Betapa setiap anak bangsa saling menindas dan berbunuhbunuhan untuk mengokohkan eksistensinya masing-masing, bukan untuk eksistensi bersama. Seakan eksistensinya tidak akan diakui dan punya peran tanpa menegasikan eksistensi orang lain tentu dengan mencari pelbagai legitimasi, yaitu terutama dari agama dan etnis. Padahal kesadaran hidup bersama dalam “kebinekaan tetapi tetap satu” Anak-anak korban gempa Jogja di Dusun Turi, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul sedang memperingati hari kemerdekaan Indonesia. telah menjadi salah satu Sumber: Dokumentasi Interfidei. komitmen bersama keindonesiaan kita. Bahkan jauh sebelum adanya imajinasi tentang negara his/her own existence instead of our collective Indonesia, pada dasarnya keberadaan bangsa ini existence; as if one's existence will never be sudah plural, sebagai anugerah Ilahi--dari aspek recognized if s/he does not negate the existence of etnis, agama, warna kulit, dan bahasa. Kenyataan others of course by means of finding grounds for pluralitas bangsa ini kemudian diimajinasikan oleh legitimacy, i.e. religion and ethnic in specific. para Founding Fathers sebagai satu bangsa, Satu On the other side, awareness of collective tanah air, satu bahasa, dan satu tumpah darah, pada life in “unity in diversity” has been a commitment “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. of our Indonesia. Even far before thoughts of Hanya saja secara historis dan berdasarkan realitas having Indonesia as an independent state, this disintegrasi sosial yang ada dapat dikatakan bahwa nation had been blessed with plural existence, in proses menjadi Indonesia ini lebih dominan terms of ethnics, religions, features, and language. bersifat politis serta masih berada pada klaim Nevertheless, this state of pluralism was reflected teritori, sedangkan secara kultural proses menjadi by our Founding Fathers as one nation, one land, Indonesia belum selesai. one language, and one birth land, in “Youth Problem kebangsaan kita yang masih Pledge”, 28 October 1928. Unfortunately, tersekat dalam cara pandang “saya, kamu, mereka, historically and realistically, based on existing dia” sebagai bukan “kita” secara vis-à-vis social disintegration it could be said that the membuat bangsa ini kurang mampu menghadapi process in becoming Indonesia is more of political masalah-masalah kebangsaan ini secara total nature and is still in the state of territorial claim, sebagai masalah bersama. Konflik SARA di whereas the whole process still has not been Maluku dan Poso antara komunitas Islam dan complete culturally. Kristen bukan hanya mengakibatkan segregasi The problem of our nation lies on the antara kedua komunitas pada daerah tersebut tapi perception “I, you, they, s/he” instead of “we” that justru berdampak luas pada segregasi sosial di makes this nation lacks of capacity to face national negera ini. Dampak disintegrasi yang terjadi pada problems totally as a collective problem. Conflicts masyarakat yang luas dapat kita saksikan ketika in Moluccan Islandr and Poso between Moslems orang Islam di serang dan terbunuh di Ambon atau and Christians not only result in segregation Poso, maka orang Islam di wilayah lain between the two communities in the areas but also mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari orang greatly affect social segregation in this very Islam di Ambon atau Poso, sedangkan orang country. The effect of disintegration in the wider Kristen di wilayah lain juga mengidentifikasikan community could be seen from this case: when a diri sebagai orang yang menang, demikian pula
10
Edisi September 2006
Edisi September 2006 sebaliknya. Tersebutlah “orang kita dan orang mereka”, “korban mereka dan korban kita”, kekalahan kita dan kekalahan mereka”, “kemenangan kita dan kemenangan mereka”, “wilayah kita dan wilayah mereka”, “kebahagiaan kita dan kebahagiaan mereka”, “penderitaan kita dan penderitaan mereka”, dst. Cara pandang yang segregatif ini pun terjadi ketika kita merespon konflik Iraq dan USA, serta konflik antara Israel vs Palestina dan Hizbollah di Libanon. Pola “kita dan mereka” yang tersegregasi begitu tajam, membuat makna kemanusiaan itu tercabik-cabik dan tidak utuh. Bercermin pada kecurigaan dan ketidakpercayaan antar warga bangsa ini terhadap solidaritas kemanusiaan yang diberikan kepada korban bencana seperti di Aceh, Nias dan Yogyakarta dengan issu kristenisasi dan islamisasi merupakan dampak dari segregasi tersebut. Segregasi sosial yang kita bangun seperti ini bukan hanya berdampak pada disintegrasi sosial tetapi turut menambah beban traumatik bagi para korban. Bukankah lebih baik para relawan dan penyumbang untuk kemanusiaan itu siapapun dia dan dari manapun dia dipandang sebagai sebuah respon kemanusiaan yang sejati? Bukankah sangat berarti jika solidaritas untuk kemanusiaan itu datang dari setiap orang yang berbeda namun dengan tegas mengajak serta menyatakan kita satu untuk kemanusiaan? Bukankah saling mendeskreditkan itu akan membuat solidaritas untuk kemanusiaan menjadi lemah? Bukankah kebaikan sejati tidak butuh labelisasi dan pamrih?. Respon terhadap kemanusiaan universal yang sejati itu harus melewati sekat-sekat geografis, etnis, idiologi dan agama. Untuk itu, respon terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi secara beruntun dari pelbagai daerah di tanah air hingga dari negara-negara lain, dengan latar belakang suku bangsa, agama, bahasa yang berbeda-beda merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk memiliki respon yang utuh dan sejati terhadap arti kemanusiaan universal. Sikap simpatik bahkan empati terhadap korban yang lahir secara spontan tanpa membedakan latar belakang adalah tahapan yang penting untuk kita meretas segregasi sosial dan melakukan reintegrasi sosial. Belajar dari kerja-kerja kemanusiaan di Aceh, Yogyakarta, Sinjai hingga Pangandaran merupakan momentum berharga bagi bangsa ini untuk mambangun trust dan membongkar kecurigaan di antara sesama anak bangsa agar dapat hidup bersama dalam pertalian sejati ikatanikatan keadaban. [AW]
Opinion Moslem is attacked or murdered in Ambon (Moluccan Islandr) or Poso, Moslems in other regions identify themselves as a part of Moslem in Ambon or Poso, whereas Christian from other regions also identify themselves as the winners, and vice versa. Thus, the terms “our people and their people”, “their victims and our victims”, “our loss and their loss”, “our victory and their victory”, “our area and their area”, “our happiness and their happiness”, “our suffering and their suffering”, etc emerged. This segregating point of view occurred also when we responded to the conflict between Iraq and USA, and conflict between Israel vs. Palestine and the Hezbollah in Lebanon. The pattern “we and they” which is segregated so distantly bring about tearing apart of meaning of humanity. Wariness and distrust of citizens of this nation towards humanitarian solidarity and aid provided for survivors of disasters in Aceh, Nias and Yogyakarta, and the issue of Christianization and Islamization are the effects of this segregation. The social segregation we helped build would not only have impact on social disintegration but also add to traumatic burdens of the victims. Would not it be better to look at those volunteers and donors of humanity, whoever and wherever they are or come from, as a true response for humanity? Would not it be more meaningful if solidarity for humanity comes from different people, yet firmly invites and states that we are one for humanity? Would not discrediting each other weaken this solidarity for humanity? Is it not true that true kindness does not need labeling and hidden agenda? The response towards true universal humanity will have to go beyond the geographical, ethnic, ideological, and religious boundaries. Thus, humanitarian tragedies that occur one after the other in various regions in this very land or in other countries with different ethnic, religious, and language background serve as valuable lessons for us all to respond truly and sincerely to the meaning of this universal humanity. Sympathy and perhaps empathy to the victims disregard to their backgrounds is a significant stage for us all to end this social segregation and do social reintegration. Drawing lessons from humanitarian work in Aceh, Yogyakarta, Sinjai all the way to Pangandaran is a valuable and irreplaceable momentum for this very nation to build trust and break down prejudice among people in this nation in order to be able to live together in the true bond of civilization. [AW]
Edisi September 2006
11
Interfidei newsletter
Aktifitas
1. Pertemuan Banjar Baru
1. Banjar Baru Meeting
A
S
eorang laki-laki setengah baya, sambil middle-aged man, while standing in berdiri diantara sesak peserta lain, berbicara crowd, spoke loud. He tried to convince the lantang. Dia berusaha meyakinkan resource people from KPPSI (Komite narasumber dari KPPSI (Komite Persiapan Persiapan Penegak Syariat Islam / Islamic Law Penegak Syariat Islam) Sulawesi Selatan, bahwa Upholding Preparation Committee) South Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama atau Sulawesi, that the Regional Regulation with the Syariat Islam yang belakangan ini marak di content of religion or Islamic Law which lately berbagai tempat, seperti Perda Busana Muslim, becomes a trend in numerous regions, e.g. Regional hanya bergerak di level “permukaan” kehidupan Regulation on Moslem Clothing, will only progress masyarakat. Perda-perda itu tidak menjangkau in the “facade” level of community life. Those substansi masalah sosial kita. Laki-laki berbusana Regional Regulations will not touch the substance layaknya Muslim asal Timur Tengah itu ternyata of our social problems. The man in Middle East seorang pendeta Kristen Ortodoks Syria asal Moslem-like clothing turns out to be an Orthodox Medan. Beliau menjelaskan Perda Busana Muslim Christian priest from Medan. He explained that seyogyanya tidak Regional Regulation on menggunakan Moslem Clothing should not instrumen negara. use any state instrument. We all Perlu diketahui bahwa need to know that most sebagian laki-laki Orthodox Christian men also pemeluk Kristen were “Arabic” clothing that is Ortodoks Syria juga commonly known in Indonesia. memakai busana By making example of himself, model “Arab” yang the priest conveyed his biasa dikenal di argument that the “Arabic” Indonesia. Dengan clothing he was wearing is a mencontohkan part of a religious identity. dirinya sendiri, Pak Thus, he always wears it Para peserta Pertemuan Jaringan Antar Iman P e n d e t a i t u everywhere he goes, without se-Indonesia di Banjar Baru, Kalimantan Selatan Sumber: Dokumentasi Interfidei. berargumen kalau force from any party, including pakaian model from the state. One participant, “Arab” yang ia a high school teacher from an kenakan merupakan bagian dari identitas Islamic foundation in Yogya, added that Syariat keagamaan, maka ke mana-mana ia selalu should not show its Syariat identity labels, but memakainya, tanpa paksaan dari siapapun, rather put as a priority its divine values, such as antitermasuk negara. Seorang peserta, guru SMA dari corruption and taking side to communal education. sebuah yayasan Islam di Yogya, menambahkan That was just a little talk in one of the hendaknya Syariat tidak menampakkan sisi labelsessions in Indonesian Inter-faith Network meeting label identitas ke-Syariat-annya, tapi lebih which carried the theme “Relations between mengedepankan nilai-nilai luhurnya, seperti anti Religions and the State in Indonesia” which was korupsi dan keberpihakan pada pendidikan carried out at Banjar Baru, South Kalimantan, on kerakyatan. June 12-14 2006. Similar meetings had been Demikanlah sekelumit pembicaraan dalam implemented twice before: in Malino, South salah satu sesi di Pertemuan Jaringan Antar Iman Sulawesi in 2002 and in Candi Dasa, Bali, 2003. se-Indonesia yang mengambil tema “Hubungan Banjar Baru meeting is a re-consolidation of the Agama dan Negara di Indonesia”, diselenggarakan national inter-faith network, in continuation of the di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, tanggal 12-14 two afore-mentioned meetings. This meeting was Juni 2006 lalu. Pertemuan sejenis pernah diadakan followed more and less 60 participants from all over dua kali sebelumnya, di Malino, Sulawesi Selatan Indonesia, consisting of inter-faith group activists, tahun 2002 dan di Candi Dasa, Bali tahun 2003. religious figures, researchers, high school students Pertemuan Banjar Baru merupakan konsolidasi and lecturers at universities, religious
12
Edisi September 2006
Edisi September 2006 ulang jaringan nasional kelompok antar iman, melanjutkan dua pertemuan tersebut. Pertemuan Banjar Baru diikuti tak kurang dari 60 peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri dari para aktivis kelompok antar iman, tokoh agama, peneliti, guru dan pengajar di perguruan tinggi, pengurus Ormas keagamaan, dan aktivis pro-demokrasi. Sementara seminar sehari mengundang tak kurang 100 peserta di sekitar Kalimantan Selatan dari berbagai unsur gerakan sosial dan keagamaan, perguruan tinggi, dan pemerintah lokal. Satu hal yang membedakan pertemuan kelompok antar iman yang diprakarsai oleh Interfidei bekerjasama dengan jaringan setempat ( di Malino dengan Forum Dialog Sulawesi Selatan, di Bali dengan Gedong Gandhi Ashram, di Banjarmasin dengan Lk3 dan Forum Dialog Kalimantan Selatan) dengan pertemuan sejenis yang lain adalah ikut bergabungnya kelompok keagamaan yang selama ini jarang bergabung. Sebut saja sebagian misalnya kelompok Hidayatullah, Ahmadiyah, MUI, dan KPPSI. Keterlibatan kelompok-kelompok tersebut membuat dialog di Banjar Baru tidak saja menemukan titik temu, tapi sekaligus titik tengkar. Meskipun tak bisa diingkari tidak mudah menembus titik temu komitmen bersama, tapi dialog yang jujur diharapkan bisa mengurangi prasangka diantara kelompok yang di lapangan sering bersitegang. Selain bertujuan untuk memperkuat jaringan kelompok antariman se-Indonesia, pertemuan Banjar Baru juga menjadi ajang untuk merumuskan kembali agenda bersama, mekanisme berjejaring berbagai kelompok antar iman, dan sekaligus menggagas bagaimana mengimplementasikan agenda tersebut bersama masyarakat luas. Karena secara spesifik memfokuskan pada isu-isu di sekitar relasi agama dan Negara, pertemuan Banjar Baru mengeksplorasi perkembangan-perkembangan aktual di seputar relasi agama dan negara di berbagai daerah dan mencari jalan keluar bagaimana kelompok antar iman bisa membendung efek-efek negatif dari kecenderungan-kecenderungan tersebut. Kegiatan yang dimotori oleh Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, Forum Dialog Kalimantan Selatan, dan Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta ini menghadirkan beberapa narasumber, antara lain M.M. Billah (Komnas HAM), Daniel Sparringa (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi), Qasim
Activity organizations' management, and pro-democracy activists. The one-day seminar invited about 100 participants from the neighboring areas of South Kalimantan. These participants were from various social and religious movements, universities, and the local government. One thing distinguishing this inter-faith meeting which is conducted by Interfidei cooperate with local organizations (in Malino cooperate with Dialogue Forum of South Sulawesi, in Bali cooperate with Gedong Gandhi Ashram, in Banjarmasin cooperate with LK3 dan Dialogue Forum of South Kalimantan) from other similar meetings previously held is the joining of religious communities that up to that very point rarely participated in such meting. Just mention for example the Hidayatullah, Ahmadiyah, MUI, and KPPSI. Involvement of these particular groups in the making of a dialog in Banjar Baru did not only find a meeting point, but also a fighting point. Despite the fact that is unavoidable that it is not easy to get to a meeting point of collective commitment, an honest dialog is expected to be able to at the very least decrease prejudice among these groups that had spent so much time in the field disputing. In addition to the objective of intensification of Indonesian inter-faith groups' network, Banjar Baru meeting also serves as an occasion to reformulate a collective agenda and networking mechanism of numerous inter-faith groups, as well as to do brain-storming on how to implement the agenda with the community in a wide scale. Since it specifically focused itself on the issues around the relation between religion and the state, Banjar Baru meeting explored actual progresses around the relation between religion and the state in numerous regions and tried to find a way out for inter-faith groups to contain the negative effects resulted from these tendencies. This program sponsored by Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK3/ Islamic and Community Study Institute) Banjarmasin, Forum Dialog (Dialog Forum) South Kalimantan, and Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta presented a number of resource people, among others M.M. Billah (Komnas HAM/ National Commission on Human Rights), Daniel Sparringa (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi/ Indonesian Community for Democracy), Qasim Mathar (IAIN Alaudin Makassar), Listia (Interfidei), H. Aswar Hasan (KPPSI Sulsel), Trisno S. Sutanto (Madia Jakarta),
Edisi September 2006
13
Aktifitas Mathar (IAIN Alaudin Makassar), Listia (Interfidei), H. Aswar Hasan (KPPSI Sulsel), Trisno S. Sutanto (Madia Jakarta), Zakaria Ngelow (Forlog Sulsel), Ahmad Syafi'i Mufid (Depag Jakarta), Mariatul Asiah (LK3), dan Pastor Yong Ohoitimur (STF Manado). Pertemuan Banjar Baru merekomendasikan pentingnya memperhatikan beberapa isu strategis berikut ini. Pertama, tiap kelompok antar iman penting menjaling kekuatan kultural berbagai elemen lokal di sekelilingnya yang benar-benar majemuk, bukan saja atas dasar keragaman agama, tapi juga berbagai aliran keagamaan. Pengaruh yang diharapkan adalah semakin luasnya jaringan kelompok antar iman lokal yang terdiri dari kekuatan-kekuatan riil sosial yang hidup di masyarakat. Kedua, mendorong pendidikan agama di sekolah menjadi media untuk saling belajar tentang kemajemukan dan multikulturalisme. Untuk itu penting mengembangkan kegiatan-kegiatan tidak saja di kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemuda, tapi sekaligus juga para guru agama dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Ketiga, mensikapi diberlakukannya perdaperda bernuansa agama atau Syariat, kelompok antar iman di berbagai daerah dengan tegas harus mendorong penghargaan kemajemukan sebagai nilai dan norma sosial yang tak bisa ditawar. Kelompok antar iman perlu mendukung advokasiadvokasi untuk melindungi hak-hak sipil, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas yang acapkali tertindas oleh perda-perda tersebut. Hal-hal di atas tentu tak berarti kalau hanya sekedar menjadi wacana di sebuah pertemuan. Semuanya mengandaikan kerja keras dari tiap kelompok antar iman di manapun untuk menindaklanjutinya, baik per kelompok sendirisendiri, aliansi beberapa kelompok, maupun antar jaringan secara nasional. Penguatan sinergitas jaringan, penyebaran media komunikasi antar kelompok, dan saling belajar untuk memperkuat pendanaan menjadi syarat mutlak yang penting dipertimbangkan oleh tiap kelompok antar iman. Beberapa orang telah diminta kerelaan untuk bertemu, merumuskan secara lebih sistematis hasil pertemuan, dan menginformasikannya kepada peserta lain. Para peserta menunggu kerja keras Tim Lima: Tri Giovani (Puskat), Trisno (Madia), Elga (Interfidei), Muslich (LBK-UB), dan Stanley (Demos). Harapan kita sangat besar terhadap Pertemuan Banjar Baru bukan? [Shd]
14
Edisi September 2006
Interfidei newsletter Zakaria Ngelow (Forlog Sulsel), Ahmad Syafi'i Mufid (Depag / Department of Religious Affairs Jakarta), Mariatul Asiah (LK3), and Pastor Yong Ohoitimur (STF Manado). This meeting in Banjar Baru recommends the significance and urgency to notice following strategic issues. First, it is important for each interfaith group to have a network with cultural assets of various truly plural local elements around it, not only based on religious diversity, but also various religious denominations. The effect expected out of this is the expansion of local inter-faith group network, comprising real social assets living in the midst of a community. Second, encouraging religious education at schools to serve as a media in which we could all learn about pluralism and multiculturalism. For this purpose only, it is important to expand our activities not only to religious figures, community figures, and youth circles, but also religious teachers in basic until high school education levels. Third, in response to the application of Regional Regulations with the content of religion or Shariah, inter-faith groups in various regions must strictly encourage appreciation for pluralism as nonnegotiable social values and norms. Interfaith groups are required to support advocacies to protect civil, political, economic, and cultural rights of people, in specific of women, children, and the minorities that are often oppressed by the Regional Regulations. Of course, all the above good ideas are meaningless if only made as a discourse in a meeting. All of those affairs count on hard work of each and every inter-faith institute existing in Indonesia to do the follow-up actions required, whether within each group, in the alliance of a number of groups, or within the network nationally. Building of network synergy, dissemination of inter-group communication media, and sharing of lessons learnt in terms of capacity building in funding are absolute requirements need to be considered by each inter-faith institute. A number of persons have been asked to voluntarily meet and formulate more systematically the outputs of the meeting, and to disseminate the information to other participants of the meeting. We are all waiting for the output of the hard work of Team Five: Tri Giovani (Puskat), Trisno (Madia), Elga (Interfidei), Muslich (LBK-UB), and Stanley (Demos). We have such great expectation on Banjar Baru meeting, don't we all? [Shd]
Activity
Edisi September 2006
2. Reportase Ambon
S
2. Ambon Report
S
tudi Agama-Agama (SAA) untuk pertama tudi Agama-Agama/ Study on Religions kalinya diselenggarakan di kota Ambon, (SAA) was for the very first time carried out propinsi Maluku. Konflik berdarah Ambon tahun in the city of Ambon, Moluccan province. Blood1999 dan 2000 serta bentrokan yang lebih kecil di shed conflicts in Ambon in 1999 and 2000, and tahun 2002 dan 2004 memberi makna khusus bagi smaller scale disputes in 2002 and 2004 gave a acara ini. Jika biasanya SAA diselenggarakan untuk special meaning for this program. If commonly memberi wawasan agama-agama bagi para peserta study on religion program is implemented to dari berbagai tradisi keagamaan, maka kali ini studi provide wider horizon for participants from diverse diadakan untuk melihat religious traditions in akar kekerasan dalam terms of religions, this tradisi agama di Maluku. time the study was held to Acara yang see the root of violence diselenggarakan 17 20 Juli within the tradition of 2006 ini, diberi tema religions in Maluku. M e m b a n g u n The program held Perdamaian: Belajar on 17 20 July 2006 carried dari Kegagalan Agamathe theme ”Building Agama”, merupakan hasil Peace: Learning from kerjasama antara Lembaga Failure of Religions” and Antar Iman untuk was the product of Para peserta Studi Agama-Agama di Ambon, Maluku Kemanusiaan Maluku Sumber: Dokumentasi Interfidei. cooperation between (eLaIeM) Ambon dan Lembaga Antar Iman Institut DIAN/ Interfidei Maluku (Maluku Inter-faith Institute / eLaIeM) Yogyakarta. Tema tersebut mencerminkan adanya Ambon and Institut DIAN/ Interfidei Yogyakarta. kegelisahan tentang kontribusi agama dalam The theme reflects wariness in the contribution meredakan ketegangan sekaligus menciptakannya made by religions in reducing tension while at the dalam konflik sosia. Meskipun situasi Maluku pada same time creating it in a social conflict. Despite umumnya dan kota Ambon pada khususnya sudah the fact that the situation in Maluku in general and lebih aman dan kondusif, tidak dapat dipungkiri ada specifically in Ambon has been safer and ”akar” persoalan yang perlu diperiksa dari dalam conducive, there is undeniably a”root” of problem tradisi keagamaan. need to be looked into more within this religious Studium Generale untuk memberi kerangka tradition. umum bagi kelas diskusi diselenggarakan di Aula The Stadium General to provide the Universitas Pattimura (Unpatti). Para pembicara discussion class with a general framework was adalah Pastor Albertus Jamlean MSC (Keuskupan held at the hall of Pattimura University (Unpatti). Agung Ambon), Dr. Qasim Mathar (IAIN The speakers were Father Albertus Jamlean Alauddin), Dr. Julianus Mojau (STT GMIH (Ambon Diocese), Dr. Qasim Mathar (IAIN Tobelo), Drs. Hadi Basalama (STAIN Ambon), Alauddin), Dr. Julianus Mojau (STT GMIH dengan moderator Jacky Manuputty (eLaIeM). Tobelo), Drs. Hadi Basalama (STAIN Ambon), and Dalam Studium Generale ini muncul kritikanmoderator Jacky Manuputty (eLaIeM). In this kritikan terhadap agama sebagai sumber legitimasi Stadium General, criticism was made on religions kekerasan dan lemahnya nilai budaya lokal. serving as a legitimating source for violence and Kemudian Studium Generale dilanjutkan dengan the weakness of local cultural values. The Stadium belajar bersama di Diklat Fakultas Perikanan General was then carried on with collective Unpatti di daerah Poka untuk mempertajam learning at the Education and Training Center of pemahaman bersama. Peserta yang hadir berjumlah Fishery Faculty of On parti to work on a common 40 orang dan berasal dari berbagai kalangan seperti understanding. There were more and less 40 Sinode Gereja Protestan Maluku, Keuskupan
Edisi September 2006
15
Interfidei newsletter
Aktifitas Agung Ambon, PMKRI, mahasiswa/ i STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Ambon, STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri) Ambon, Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam Ambon, Pemuda Katolik, dan lain-lain. Dalam diskusi dan sharing setiap peserta berusaha mereflesikan persoalan konflik secara jujur dan terbuka. Diakhir diskusi juga mengemuka pentingnya reinterpretasi tafsir kitab suci dan mendorong kembali nilai-nilai budaya lokal seperti pela gandong, larvul ngabal, pata lima pata siwa, yang diyakini mampu mempertahankan integritas sosial dan membangun perdamaian di Ambon. Papeda, Nasi Bambu, ubi jalar, berbagai masakan dari ikan-ikanan yang menjadi ciri khas daerah Maluku juga disajikan dalam setiap acara makan untuk memberi ”bahan bakar” para peserta dalam beradu argumentasi maupun sharing pengalaman kekerasan. Tidak lupa acara hiburan malam yaitu menonton film bersama yaitu Savior, Gods Must be Crazy 1 dan 2. Semua itu memberi warna dan kekuatan tersendiri dalam menyemangati seluruh rangkaian acara.[Leo CE]
3. Seminar Agama-Agama di Poso: “Membongkar Prasangka, Menuai Perdamaian”
S
alah satu kebutuhan mendasar dalam dinamika kehidupan masyarakat plural adalah pengetahuan, pengenalan serta pemahaman yang baik tentang diri atau kelompok sendiri dan orang atau kelompok lain. Ketidaktahuan tentang kelompok lain maupun dirinya sendiri seringkali berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, prasangka, asumsi yang negatif dan atau keliru. Di daerah bekas konflik seperti Poso, Sulawesi Tengah, ketidaktahuan serta ketidakpahaman yang mengakibatkan prasangka berlebihan memperlebar jurang antar agamaagama terutama hubungan antar masyarakat yang kebetulan berbeda agama. Agama dianggap menjadi faktor penting yang mempengaruhi bagaimana relasi antar manusia dibangun. Fenomena ini selanjutnya akan memperlambat proses perdamaian di wilayah konflik. Hal tersebut di atas mendorong Institut DIAN/ Interfidei bekerja sama dengan Pusat Resolusi Konflik dan Perdamaian Poso dan Wasantara Tentena untuk menggelar seminar
16
Edisi September 2006
participants attending the program from various circles such as the Synod of Protestant Church in Maluku, Ambon Diocese, PMKRI, students of STAIN (State Islamic University) Ambon, STAKN (State Christian University) Ambon, Darussalam Islamic University Ambon, Catholic youth, etc. In the discussions and sharing sessions held, each participant tried to reflect conflict situation honestly and openly. In the end of the discussion, there were talks on the significance of reinterpretation of holy books and the need to reencourage local cultural values such as pela gandong, larvul ngabal, pata lima pata siwa, which were believed to be able to maintain social integrity and build peace in Ambon. Papeda, Bamboo rice, sweet potato, and various kinds of fish dishes which are the specific characteristics of Moluccan were also served to provide ”fuel” for the participants in arguing and sharing of their experience on violence. Of course, we also did not forget entertainment in the evening, watching films together: Savior, Gods Must be Crazy 1 and 2. All of these give specific color and strength in the whole series of program activities implemented. [L CE]
3. Seminar on Religions in Poso “Breaking down Prejudice, Reaping Peace”
T
he basic needs in the dynamic of a plural community are good knowledge and understanding on oneself or one own group as well as others' groups. Lack of understanding of one self or others very often results in misunderstanding, prejudice, negative or mistaken assumptions. In ex-conflict areas such as Poso, Central Sulawesi, lack of knowledge and understanding resulting in prejudice have widened gaps among religions, especially in the relations of community members of different religions. Religions are perceived as a significant factor affecting how people relations are built. This phenomenon will in its turn slow down the process for realization of peace in conflict areas. The aforementioned fact provides the ground for Institut DIAN/Interfidei in collaboration with Conflict Resolution and Peace Center of Poso and Wasantara Tentena to hold a seminar under the theme “Breaking down Prejudice, Reaping Peace” on July 27 2006 in Poso. The seminar bringing
Activity
Edisi September 2006
“Membongkar Prasangka, Menuai Perdamaian” forward Dr. Lukman Tahir (Deputy Rector III pada tanggal 27 Juli 2006 di Poso. Seminar yang STAIN Palu) and Rev. Asyer Tandampai (activist menghadirkan Dr. Lukman Tahir (Pembantu of Antar Kita Dialog Forum, South Sulawesi) Rektor III STAIN Palu) dan Pdt. Asyer Tandampai commenced with elaboration on relations among (aktivis Forum Dialog Antar religions before and Kita, Sulawesi Selatan) ini after the Poso conflict, dimulai dengan memaparkan then carried on with a bagaimana hubungan antar collective reflection agama sebelum dan sesudah towards peaceful konflik Poso, lalu dilanjutkan though diverse dengan refleksi bersama community of menuju masyarakat beragama religion. The seminar yang damai meskipun berbeda. gained positive Seminar ini mendapat respon response from the positif dari masyarakat Poso, people of Poso, which yang ditunjukkan dengan was shown by the Para peserta Studi Agama-Agama di Poso. Sumber: Dokumentasi Interfidei. keinginan sebagian besar request of most peserta untuk ikut serta dalam participants to attend a belajar bersama untuk membongkar prasangka group learning program that was held for three selama tiga hari di Cottage Siuri, Tentena yang days at Siuri Cottage, Tentena, which number of sayangnya terbatas pada 35 peserta. Selama proses participants was unfortunately limited to 35 only. belajar bersama di tepi danau Poso, para peserta During this session by Poso lake, participants membahas sejarah pemikiran; etika/teologi; serta discussed the history of thinking, ethics/ theology, kontekstualisasi dan relevansi pemikiran, teologi contextualization and relevance of thoughts, as dan etika agama agama dalam kehidupan well as theology and ethics of religions in the life of masyarakat pasca konflik dengan menghadirkan post-conflict community. The resource people for narasumber Prof. Dr. Qasim Mathar, Pastor Jacob this valuable occasion were Prof.Dr. Qasim Adilang MSC dan I Nyoman Sadra (Hindu). Materi Mathar, Pastor Jacob Adilang MSC and I Nyoman belajar bersama yang baru pertama kali diadakan di Sadra (Hinduism). The material for this group daerah bekas konflik ini menginspirasi para peserta learning that was for the very first time held in untuk membentuk Komunitas Dialog Antar Iman conflict-free area has inspired participants to (KDAI) yang bertujuan melanjutkan cita-cita yang establish an Inter-faith Dialog Community mendasari Seminar Agama-agama, yaitu (KDAI), aimed to preserve the ideal serving as the membongkar prasangka, menuai damai (LG) ground of this Seminar on Religions, i.e. breaking down prejudice, and reaping peace. (LG)
4. Diskusi Lesehan: Spiritualitas dalam Gerakan Sosial Kemanusiaan
P
ersoalan-persoalan sosial yang menggurita kadang membuat para aktifis seolah-olah “kehilangan keyakinan” dalam melakukan aktifitasnya. Disini diperlukan suatu energi yang mampu untuk menyulut semangat para aktifis, yaitu kekuatan spiritualitas yang secara tradisional ada dalam ruh agama. Ketidakpuasan terhadap institusi agama yang kurang berbuat banyak terhadap problem kemanusiaan menimbulkan sikap pesimisme terhadap agama, yang seharusnya
4. Unceremonious Discussion Spirituality in Social Humanitarian Movement
S
ocial problems, along with all their elements at times cause “loss of faith” for activists in doing their “thing”. A sort of energy is required here to flare the hearts of the activists, i.e. spiritual power that exists traditionally within the spirit of religions. Dissatisfaction towards religious institutions due to their lack of actions in facing human problems results in pessimism for
Edisi September 2006
17
Aktifitas
Interfidei newsletter
religions, while one itu dibedakan antara institusi should distinguish agama dengan ruh agama. religious institution and Kenyataannya, situasi sosial the spirit of religions. In yang rumit membutuhkan reality, complicated kerjasama yang saling social states call for mengisi antara institusi concerted collaborations agama dan aktifis sosial. Hal between religious inilah yang melatarbelakangi institutions and social dilakukannya diskusi Suasana diskusi dengan Pastor Inno. activists. This tentang spiritualitas dalam Sumber: Dokumentasi Interfidei. aforementioned raison gerakan sosial kemanusiaan d'être serves as the pada tanggal 5 Agustus 2006 ground for the discussion di Interfidei. Diskusi on spirituality in social humanitarian movement tersebut menghadirkan narasumber, Pastor held on August 5 2006 at the office of Interfidei. Innocentius Renwarin (Provincial MSC Indonesia). The discussion presented a resource person, an Dalam diskusi tersebut, Pastor Inno MSC Catholic priest, Father Innocentius Renwarin mengungkapkan bahwa spiritualitas mempunyai (Father Inno). banyak pengertian dan sangat luas karena terkait In the discussion, Father Inno reveals that dengan seluruh aspek kehidupan. Hanya saja orang spirituality indeed has a lot of understandings and mudah terjebak dengan dua kecenderungan. should be interpreted in its widest meaning as it is Pertama adalah Psikologisme yang cenderung closely related to all aspects of life. Unfortunately, mengandalkan kemampuan manusia semata dan people are easily trapped within two tendencies: kurang mempertimbangkan campur tangan Allah. First, the psychology that tends to count on human Kedua adalah Spiritualisme yang begitu capacity only and does not really take into account mengandalkan Allah dan kurang memperhitungkan the intervention of God. Second, the spiritualism kemampuan/ intervensi manusia. Terjebak pada that pretty much depends on God and does not salah satu dari kedua kecenderungan tersebut allow for human capacity / intervention. menyebabkan ketidakpekaan pada aspek-aspek Captivation in either of the two tendencies would lain. Kekosongan rohani yang menimpa para aktifis bring about insensitivity to other present aspects. terjadi karena hanya mengandalkan kemampuan Spiritual barrenness of activists occurs due to the manusia saja. Begitu pula jika hanya mengandalkan fact that they depend merely on human capacity. intervensi Allah maka tidak ada tindakan yang bisa Similar case takes place if one simply depends on diharapkan. Agar kita tidak terjebak ke dalam dua God's intervention, as no action can be expected kecenderungan itu maka kita perlu jujur pada diri from the person. For us not to be spellbound by the sendiri, menghargai, memperkaya, dan percaya two tendencies, we need to be honest to ourselves; pada pengalaman diri, serta selalu mengkritisinya. to appreciate, enrich, and believe in our experience Dalam kasus gempa, para korban menjumpai kita, and to always have critical perception towards it. In kemudian kita menginterpretasikannya. the case of the earthquake, the victims came to us, Spiritualitas yang kritis selalu menggugat and we then interpreted it. Critical spirituality pengalaman kita karena dalam diri kita ada roh always questions our experience, for within us all kudus sekaligus roh 'kuda'. Spiritualitas kritis akan there is holy spirit (Roh Kudus) as well as 'horse' menanyakan apa yang menggerakkan kita sehingga spirit (Roh Kuda, micked spirit). This kind of kita begitu getol memperjuangkan kemanusiaan spirituality will always inquire the motivation itu. Apa yang hilang dalam diri kita dan apa yang behind our relentless struggle for humanity. What seharusnya ada dalam diri kita ketika melakukan is missing and should subsist within us when we aktifitas sosial kemanusiaan? are to do social humanitarian activities? Gagasan-gagasan Pastor Inno mendapatkan Father Inno's ideas receive diverse respon dari para peserta secara beragam dalam sesi responses by the participants in the discussion diskusi. Para peserta juga menceritakan session. Participants also shared their experiences pengalaman masing-masing dalam bergiat di in their field activities, in specific when lending a lapangan, khususnya ketika membantu korban
18
Edisi September 2006
Activity
Edisi September 2006 gempa Jogja. Masing-masing peserta dapat belajar dan kritis terhadap pengalaman mereka. Diskusi tersebut merupakan wahana saling belajar dari pengalaman yang berbeda, yaitu antara orang institusional dan orang lapangan. [AM]
hand for the victims of Jogja earthquake. Each participant learned from others and was critical to their own experiences. The discussion served as a media for sharing and learning from different experiences, between institutional and field personnel. [AM]
5. Peduli Gempa Interfidei
G
empa yang terjadi pada 27 Mei 2006 telah menghancurkan banyak aspek kehidupan masyarakat Yogya dan Klaten, khususnya yang tinggal di bagian selatan daerah ini. Data terakhir menunjukkan hampir 7.000 warga meninggal, sekitar 140.000 rumah hancur atau rusak, ratusan sekolah hancur dan masih banyak kerusakan yang lain. Melihat hal tersebut Institut Dian/ Interfidei terpanggil untuk melakukan kegiatan sosial yang dapat mengurangi penderitaan korban gempa. Pada bulan pertama setelah terjadi gempa, Institut DIAN/ Interfidei melakukan kegiatan emergency (tanggap darurat) di banyak tempat di Yogyakarta dan Klaten sesuai kunjungan lapangan maupun permintaan korban. Kegiatan-kegiatan emergency tersebut dilakukan dengan membuka posko dan menyalurkan bantuan terutama dalam bentuk logistic kepada korban. Semua hal tersebut tak lepas dari kepercayaan dan kerjasama banyak pihak baik para korban dan relawan di Yogya dan Klaten, para dermawan di luar kota maupun lembaga lain di luar negeri. Setelah memasuki bulan kedua pasca gempa Institut DIAN/ Interfidei melakukan program recovery pasca gempa dengan mengambil fokus pada bidang pendidikan anak dan mendorong penciptaan situasi yang kondusif bagi anak untuk melanjutkan proses belajar. Program ini dilakukan dengan pertimbangan banyaknya anak-anak sekolah dasar yang perlu didampingi untuk proses belajar dan trauma healing, menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian anak-anak juga memberi support baik fisik maupun psikis guru-guru sekolah dasar dalam meneruskan proses pendidikan di masa-masa sulit mereka pasca gempa tersebut. Pertimbangan lainnya adalah kapasitas kelembagaan di Institut DIAN/ Interfidei dan relasinya yang baik dengan para korban gempa serta keinginan kuat dan tulus para relawan dibawah koordinasi Institut DIAN/ Interfidei untuk terus melanjutkan kerja-kerja
5. Interfidei's Care for the Earthquake
T
he earthquake taking place May 27 2006 has devastated the lives of the people of Yogya and Klaten, in specific those living in the southern part of the regions. The last data obtained shows that nearly 7,000 lives were taken, more and less 140,000 houses were destroyed or severely damaged, and hundreds of schools were wrecked, in addition to other losses we have to suffer. Seeing all this, the staff of Institut Dian/ Interfidei felt called to do social activities aimed to at the very least reduce sufferings of the quake's survivors. In the first month after the quake, Institut DIAN/ Interfidei did emergency response in numerous sites in Yogyakarta and Klaten in keeping with field visits and requests from survivors. These emergency activities were carried out by means of setting up aid posts and channeling aids, in specific in the form of logistics to the victims. These activities were implemented well, thanks to trust and collaboration from many parties, whether from survivors and volunteers in Yogya and Klaten, donors from out of the city, or institutions from abroad. The second month in the aftermath of the quake, Institut DIAN/ Interfidei held a recovery program. The focus is child education and creation of situations conducive for children to resume their learning process. The program was held under consideration that there was a great number of elementary school children needed assistance in their learning process and in trauma healing. There was also a great necessity to build the children's self confidence and independence, as well as to provide support, physically as well as psychologically, for teachers of the basic education in resuming education process in the difficult times after the earthquake. Another consideration was the good institutional capacity
Edisi September 2006
19
Interfidei newsletter
Potret
Institut DIAN/ Interfidei to go on with Kemanusiaan disamping banyaknya bantuan humanitarian aids, in addition to the great amount materi maupun dorongan semangat dari berbagai of material aids as well as encouragement from pihak. many parties. Program tersebut diberi nama “Konco Sinau” The program was referred to as “Konco (teman belajar) dan mengambil lokasi di Dusun Sinau” (study mate), and its service area was Turi Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan village, (Sidomulyo, Bambanglipuro, Kabupaten Bambanglipuro Bantul. Penentuan lokasi Bantul district). The dilakukan setelah site was determined dilakukannya kajian dan need after study and need assesment pada minggu ketiga assessment were held paska gempa. Bentuk-bentuk in the third week after kegiatan yang dilakukan the quake. The adalah pendampingan activities held are pendidikan anak di SD, assistance of menyelenggarakan pendidikan elementary school di kelas maupun di luar kelas student education, kepada anak untuk tujuan Suasana belajar di tenda darurat. Sumber:Dokumentasi Interfidei. education for children trauma healing, dan bantuan inside or outside of the fisik yang saat ini sudah class aimed for trauma healing, and material aids menginjak tahap finishing adalah pendirian that at present have reached the finishing stage: sekolah darurat. Penggunaan tenda sebagai tempat building of emergency school. The use of tents as belajar-mengajar sangat tidak kondusif apalagi di teaching-learning point is not conducive at all, musim panas dan berangin saat ini, banyak anak moreover in this dry, windy season. Most of the yang tidak betah tinggal lama di tenda kelas karena students could not stand staying long in the class hawa panas dan debu yang memenuhi udara tents due to the heat and dust filling the air, apalagi setelah beberapa sobekan ada di tenda moreover after rips in their so-called classroom kelas mereka. Program lanjutan ini direncanakan tents. This follow-up program will continue until terus berlanjut hingga akhir Oktober mendatang the end of October and hopefully it will be of use dan hasilnya diharapkan terus bermanfaat bagi for the children in SDN Turi as well as the anak-anak di lingkungan SDN Turi juga neighboring community.[] masyarakat sekitar.[]
Potret/ Snapshoot
MUSLICH:
MUSLICH:
Semangat Yang Tumbuh Dari Kerusuhan Solo 1998
The Spirit Growing from Solo Riot 1998
K
erusuhan bulan Mei 1998 menjadikan Kota Solo kacau balau. Aksi-aksi penjarahan, pengrusakan dan kekerasan oleh massa mewarnai Kota Solo saat itu. Aksi-aksi itu hanyalah puncak dari gesekan-gesekan sosial masyarakat yang terkelompok-kelompok menurut agama, etnis, partai politik, dan kesenjangan ekonomi yang juga ada kaitannya dengan pentas
20
Edisi September 2006
T
he riot in May 1998 caused chaos in the city of Solo. Raids, destruction, and violent acts by the mass tarnished the city of Solo. Those actions are just the peak of societal frictions segregated by religions, ethnics, political parties, and economic gaps which are related to the political stage in the national level. At that time, a young man by the name Muslich saw through his own
Edisi September 2006
Snapshoot
perpolitikan di tingkat nasional. Saat itu seorang eyes riots in the city. This, in turn, encouraged him pemuda yang bernama Muslich to be actively engaged in melihat secara langsung berbagai realization of peace fakta kerusuhan di Solo. Hal inilah through inter-faith yang mendorongnya untuk aktif movement. He took on a terlibat mendamaikan situasi part and played the role as tersebut melalui gerakan lintas event organizer of various iman. Ia berperan menjadi event activities initiated by organizer berbagai kegiatan yang religious figures diprakarsai para tokoh agama yang involving many melibatkan banyak komponen; components: NGOs, LSM, Ormas, mahasiswa, dan lainc o m m u n i t y lain. Hal yang selalu menjadi organizations, college pemikirannya adalah apa yang bisa students, etc. One thing Muslich dilakukan oleh agama untuk remains in his thought is mengatasi berbagai persoalan yang what could be done by nyata dalam masyarakat. Siapakah sebenarnya religions to overcome numerous real problems in pemuda yang bernama Muslich ini? the society. Who is actually this young man named Muslich? Siapakah Muslich? Muslich adalah pemuda yang akan genap Who is Muslich? berusia 28 tahun pada tanggal 21 Desember 2006. Muslich is a young man who will turn 28 Ia lahir di Boyolali, Jawa Tengah tahun 1978 dari years old on December 21 2006. He was born in keluarga petani muslim di lereng Merapi, tepatnya Boyolali, Central Java in 1978 in a Moslem farmer di Grenjeng, Banyuanyar, Ampel, Boyolali. Pada family on the slope of Merapi, specifically in masa kecilnya ia menempuh pendidikan di SD Grenjeng, Banyuanyar, Ampel, Boyolali. In his Banyuanyar, Ampel lulus tahun 1991. Pendidikan childhood, he went to Banyuanyar elementary SLTP ia lanjutkan di SLTP Negeri 2 Boyolali lulus school, Ampel, and graduated in 1991. He tahun 1994. Meski berasal dari keluarga petani continued his secondary school in state SLTP 2 miskin, ia tidak berhenti untuk melanjutkan Boyolali, graduated in 1994. Although coming pendidikannya. Jenjang SMA dilaluinya di SMA from a poor farmer family, he did not stop his Al-Muayyad, sebuah sekolah di lingkungan education. Going to high school in SMA AlPondok Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Muayyad, a school in the complex of Al-Muayyad Solo. Ia lulus dari SMA tersebut pada tahun 1997. Islamic Boarding School, Mangkuyudan, Solo, he Berbekal tekad, usaha sungguh-sungguh dan do'a, graduated in 1997. With determination, hard work, ia melanjutkan kuliah di Universitas Sebelas Maret and prayer, he carried on his education at Sebelas (UNS) Surakarta dengan spesifikasi Pendidikan Maret University (UNS) Surakarta under Teknik Mesin. Disamping menimba ilmu di UNS specification of Machinery Engineering education. ternyata ia tetap mengaji di Pesantren Al-Muayyad In addition to going to UNS, he was still attending Wi n d a n , P e s a n t r e n m a h a s i s w a u n t u k Al-Muayyad Windan Islamic boarding school, a pengembangan masyarakat. school for college students for community Di bawah asuhan KH. Dian Nafi dia belajar development. banyak hal tentang ilmu-ilmu kepesantrenan Under the guide of KH. Dian Nafi, he learnt terkait dengan program pengembangan a lot about Islamic knowledge related to masyarakat. Di Pesantren inilah ia pernah community development. At the Islamic boarding menjabat sebagai Lurah Pondok (Koordinator school, he held the position of Lurah Pondok Harian). Meski sangat sibuk dengan kegiatan di (Daily Coordinator). Despite his busyness in the Pesantrennya, bagi Muslich hal itu tidaklah boarding school, Muslich did not find it difficult to mengganggu untuk meraih gelar sarjana obtain his education bachelor title in 2004. Even, pendidikan pada tahun 2004. Bahkan, baginya for him the knowledge he gained at the Islamic ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pesantren sangat boarding school broadened his horizon and memperkaya pengetahuan dan pengalamannya.
Edisi September 2006
21
Potret Selepas dari UNS, ia aktif di LBK-UB (Lembaga Bhakti Kemanusiaan Umat Beragama), sebuah Organisasi Sosial Nirlaba yang memiliki visi kemanusiaan dengan interfaith dan gender sebagai perspektif. Selain itu ia juga aktif dalam program pemberdayaan Pesantren, sebuah program kerjasama UNU Surakarta dengan Departemen Agama RI, Jakarta. Saat ini ia sedang memperdalam pengetahuannya tentang pluralisme di Sekolah Pasca Sarjana (S2) UGM Yogyakarta, Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau lebih dikenal dengan CRCS (Center for Religion and Cultural Studies). Kesuksesannya dalam pendidikan mendukungnya dalam bergiat dalam masyarakat plural. Bersinggungan dengan Komunitas Berbeda (Interfaith) Kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo, adalah peristiwa yang tak terlupakan bagi Muslich. Ia menjadi bagian dari saksi hidup carut-marutnya Solo. Aksi pembakaran, penjarahan, dan beragam tindak anarkis membuyarkan memori persepsi warga yang dikenal dengan sopan santunnya sebagai orang Jawa. Semua seakan sirna ketika kebrutalan massa tak terkendali dan menghancurkan apapun yang ada. Toko-toko, supermarket, termasuk Balai Kota Solo yang merupakan simbol kota bagi warganya pun tak luput dari amukan massa. Menghadapi hal ini dengan segera tokohtokoh agama di Kota Solo, diprakarsai oleh KH. Dian Nafi', Pengasuh Pesantren Al-Muayyad Windan dan Romo Mardi Widayat, SJ., mengadakan pertemuan di Pesantren Al-Muayyad Windan. Dari sinilah, pemuda Muslich pertama kali bersinggungan dengan komunitas berbeda iman. Ia menjadi event organizer dari acara-acara yang diselenggarakan untuk kegiatan lintas iman di Kota Solo. Hadir dalam pertemuan ini; tokohtokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik, perwakilan ormas sosial keagamaan, organisasi pemuda, organisasi perempuan dan teman-teman wartawan. Saat itu mereka sepakat membentuk FSHKB (Forum Suara Hati Kebersamaan Bangsa). Sebuah forum dimana orang dari beragam kalangan dapat duduk bersama, mendiskusikan persoalan dan mencari solusi bersama. Terkait dengan kerusuhan di Solo, mereka mendiskusikan situasi terakhir dan membuat program-program dengan segera untuk merespon konflik berkekerasan yang terjadi.
22
Edisi September 2006
Interfidei newsletter enriched his experience. Upon graduating from UNS, he was actively involved in LBK-UB (Lembaga Bhakti Kemanusiaan Umat Beragama / Religious Community for Humanity), a non-profit organization that has humanitarian vision with interfaith and gender as its perspective. In addition, he was also active in Islamic boarding school empowerment program, a collaboration program between UNU Surakarta and Ministerial of Religious Affairs, Jakarta. At present he is continuing his education on pluralism at postgraduate school Gadjah Mada University Yogyakarta, at CRCS (Center for Religion and Cultural Studies). His success in education supports him in doing his activities in a plural community. Introduced to a Diverse Community (Interfaith) The riot in May 1998 in the city of Solo is an unforgettable event for Muslich. He was a part of the witness on the destruction of Solo. Scorching, looting, and various anarchic actions disperse the memory of people's perception well known for their well manners as Javanese. All seem to have disappeared when uncontrolled mass brutality destroys anything that is getting in their way. Stores, supermarkets, including the City Hall of Solo which was symbol to its citizens were not spared from mass amok. To face the problem soon, religious figures in the city of Solo, supported by KH. Dian Nafi', head of Pesantren Al-Muayyad Windan and Father Mardi Widayat, SJ., held a meeting at Al-Muayyad Windan Islamic boarding school. It was at this point that the young Muslich was first introduced to a community of different faiths. He became event organizer of activities held for inter-faith programs in Solo. Such meetings were attended by religious, community, and political figures, social-religious community organization representatives, youth organizations, women organizations, and journalists. At this occasion, they agreed to establish FSHKB (Forum Suara Hati Kebersamaan Bangsa/ Forum for the Nation's Consciousness), a forum in which people from various circles could sit together, discussing problems and finding solutions together. In relation with the riot in Solo, they discuss latest situations and design programs soon in response to violent conflicts taking place. Suggestions are also made for all Solo
Edisi September 2006 Himbauan pun dibuat agar seluruh warga Solo dapat mengendalikan diri dan tidak mudah terprovokasi. Selebaran diedarkan, spanduk dipajang, seruan melalui media cetak dan elektronik dilakukan. Kegiatan pun dilanjutkan dengan doa bersama antar umat beragama, sarasehan, seminar, lokakarya sampai pada merancang pentas musik lintas iman secara bersama-sama. Saat itu, sempat terbangun kolaborasi antara musik Gereja dengan musik rebana Pesantren. Kolaborasi ini dipentaskan di berbagai tempat untuk menunjukkan kepada warga pentingnya kerukunan antar mereka yang berbeda. Meski konflik telah berlalu, kegiatan membangun perdamaian tidaklah berhenti. Program ini terus digulirkan di Kota Solo dan di sekitarnya, termasuk Boyolali, kota di mana saat ini Muslich menjadi salah satu Program Officer untuk Interfaith dan Gender. Karena senantiasa aktif dalam berbagai kegiatan interfaith dan peacebuilding, Muslich sempat mendapatkan kesempatan untuk mengikuti peacebuilding training di MPI (Mindanao Peacebuilding Institute), di Davao Philipina, 2004. Saat itu ia mewakili FPLAG (Forum Perdamaian Lintas Agama dan Golongan) dengan support dari Mennonite Central Committee. Dia juga merupakan alumni SIKI (Studi Intensif Kristen Islam), sebuah kajian intensif yang diikuti oleh para Pendeta dan kader-kader Muslim di GKJW, Malang, Jawa Timur. Menggeluti isu perdamaian tidak bisa dilepaskan dengan persoalan-persoalan hak asasi manusia (HAM), demokratisasi, gender dan masyarakat madani. Hal ini yang kemudian ia geluti dalam salah satu programnya di Boyolali dalam Interfaith Cooperation and Good Local Governance kerjasama LBK-UB dengan USCS a t u n a m a Yo g y a k a r t a . U n t u k m e l a w a n ketidakadilan gender, ia juga mengelola program “Penguatan Perempuan di Komunitas Lintas Iman” di Kabupaten Boyolali, Sukoharjo dan Wonogiri. Program ini terselenggara atas kerjasama LBK-UB dengan CORDAID Belanda. Bagi Muslich, pertanyaan reflektifnya sederhana; masalahnya jelas bahwa ada ketidakadilan, lalu apa yang bisa dikerjakan komunitas lintas iman atasnya? Apakah kita hanya akan bertengkar mengurus perbedaan pandangan yang memang sulit disatukan, dan melalaikan persoalan-persoalan; kemiskinan yang semakin hari semakin merebak, pengangguran yang meledak, human traficking, illegal logging, dll? We
Snapshoot people to control themselves and not to be easily provoked. Leaflets were distributed, banners positioned, warnings through printed and electronic media were disseminated. The activities were carried on with collective prayers of religious communities, informal discussions, seminars, workshops, to designing of inter-faith music stage collectively. At this very point, there was a collaboration built between Church music and Islamic music. This collaboration was performed in numerous places to show to citizens the significance of harmonious life among those coming from different backgrounds. Although conflicts have passed, activities in peace-building will never cease. This program continues to be implemented in the city of Solo and its neighboring areas, including Boyolali, the city where Muslich at present works as one of Program Officers for Interfaith and Gender. Since he was always active in various interfaith and peacebuilding activities, Muslich had an opportunity to follow a peace-building training at MPI (Mindanao Peacebuilding Institute), in Davao the Philippines, 2004. In this occasion, he represented FPLAG (Forum Perdamaian Lintas Agama dan Golongan / Inter-faith and Inter-community Peace Forum) with the support from Mennonite Central Committee. He is also an alumni from SIKI (Studi Intensif Kristen Islam/ Christianity-Islam Intensive Study), an intensive study followed by pastors and Moslem cadres at GKJW, Malang, East Java. The issue of peace cannot be separated from the issues of human rights, democratization, gender, and civil society. He then took one more step deeper into this subject in one of his programs in Boyolali in Interfaith Cooperation and Good Local Governance, collaboration between LBKUB and USC-Satunama Yogyakarta. To struggle against gender injustice, he also managed a program “Women Strengthening in Inter-faith Community” in the districts of Boyolali, Sukoharjo and Wonogiri. The program was held on account of cooperation between LBK-UB and CORDAID, the Netherland. For Muslich, his reflective question is just simple: the problem is clear that there is injustice, so what can be done by inter-faith community on it? Will we only fight over different perspective that are indeed difficult to be brought together, and ignore problems of poverty that day by day is getting worse, rising rate of unemployment, human trafficking, illegal
Edisi September 2006
23
Potret
Interfidei newsletter
shall overcome and we walk hand in hand… bersama pasti bisa.
logging, etc? We shall overcome and we walk hand in hand… Together, we can do it.
Membangun Dialog Kritis Multi-pihak Bekerja dengan beragam orang dan organisasi yang berbeda bukanlah hal mudah. Hal ini dirasakan oleh Muslich. Konflik senantiasa menyertai langkahnya, baik itu di tingkatan kelembagaan maupun masyarakat. Pernah suatu kali ketika sedang memfasilitasi rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik di lereng Merbabu, desa Sampetan, Ampel, ia mendapatkan umpatan dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Tantangan lain juga muncul dari teman-temannya yang memiliki haluan ideologis yang berbeda. Ia harus menjelaskan mengapa orang Indonesia yang mayoritas muslim harus menerima gagasan demokrasi, masyarakat sipil, gender dan HAM yang kesemuanya berasal dari Barat. Bukankah Barat itu adalah negara orang dengan Kristen dan Yahudi sebagai mayoritas? Mengapa pula harus menerima program yang datang dari Barat? Apakah itu tidak sama dengan memperbudak diri kepada mereka? Inti masalahnya adalah; mengapa harus ada dialog agama? Akan berbagai hal di atas, Muslich pun berefleksi bahwa pluralitas adalah sesuatu yang alamiah kodrati. Sesuatu yang itu sudah terberikan (given) dari sana-Nya. Dan karenanya adalah tugas manusia untuk mempelajari dan mengambil hikmahnya. Tidak dengan berusaha menyamakan (uniform) mereka yang berbeda. Itu adalah hal yang tidak mungkin tidak dilakukan. Karena perbedaan adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dihilangkan, maka menjaga dunia dengan damai melalui kesadaran plural adalah keniscayaan. Dialog antar mereka yang berbeda, dalam hal ini dialog agama merupakan kebutuhan umat manusia saat ini. Ketidakmauan menerima dialog adalah langkah mundur untuk membangun peradaban yang toleran. Menolak dialog sama dengan menolak perubahan. Padahal perubahan sebagaimana Soeroyo (2002) katakan “change is never ending process”. Dengan dialog akan terbangun pemahaman yang utuh. Melalui pemahaman yang kompleks warga tidak akan mudah untuk menyalahkan satu sama lain, terjebak dalam tindakan justifikatif. Dengan mau memahami dan mengerti yang lain, akan membuat warga menjadi klarifikatif dalam melihat setiap permasalahan yang muncul. Dialog menjadi jembatan membuka segenap pemikiran yang
Building a Multi-party Critical Dialogue Working with different people and organization is a no walk in the park. It is something that Muslich feels. Conflicts always follow his steps, whether in the institutional level or in communal one. Once, while facilitating for reconciliation for numerous parties conflicting on the slope of Merbabu mountain, Sampetan village, Ampel, he received dirty words from a number of irresponsible people. Another challenge he has to face is his friends who have different ideologies. He alone must explain to them why Indonesians, who are Moslems in majority, have to receive the ideas of democracy, civil society, gender, and human rights which all originated from the West. Is not the West identical with Christians and Jews? So why should we agree with programs from the West? Is not it the same as enslaving ourselves to them? The point of the problem remains: why should there be inter-faith dialog? On the afore-mentioned questions, Muslich reflected that plurality is something natural something destined. Therefore, it is the job of human being to learn it and draw lessons from it, not by means of pushing for uniformity to those who are different. Since diversity is something evidently exists and cannot be escaped, then maintaining peace on earth through plural awareness is something feasible. Dialog among those with diverse background, in this context religious dialog, is a need of human beings at present. Unwillingness to accept dialog is a step backward to build a tolerant civilization. Saying no to a dialog is the same as saying no to a change, whereas change, as Soeroyo (2002) said, is “a never ending process”. With dialog, a complete understanding will be built. Through a complex understanding, people will not blame one another easily, or be entrapped in justifying actions. With willingness to understand others, members of the community will be critical in perceiving problems they need to face. Dialog becomes a bridge that opens the whole constructive thinking to build a just civilizations with values of tolerance, mutual respect, and appreciation of human dignity. Quoting Abu Nimer, an American University professor, (2004) a community with different religions will certainly have a primary language in addition to secondary language.
24
Edisi September 2006
Edisi September 2006
Feature
menghargai dan menghormati martabat sebagai manusia. Mengutip Abu Nimer, guru besar American University (2004), umat beragama yang berbeda pastilah memiliki bahasa primer di samping bahasa sekunder. Bahasa primer akan sangat sulit didiskusikan karena itu wilayah sensitif dimana persoalan doktrin menjadi sangat kental. Tetapi, bahasa sekunder adalah bahasa semua agama. Hampir bisa dipastikan bahwa semua agama menyerukan perdamaian dan menolak ketidakadilan. Berbagai nilai, prinsip bersama yang kemudian menjadi nilai dan prinsip universal itulah yang seharusnya dibangun melalui bahasa sekunder semua agama.[]
Issue of doctrines is a big one. Nevertheless, secondary language is the language of all religions. We can be certain that all religions call for peace and decline injustice. It is these various values and collective principles which then become universal values and principles that should be built through secondary language of all religions.[]
Semua agama menyerukan perdamaian dan menolak ketidakadilan.
Fitur/ Feature
MEUBEEK ALLAH BRIE ACEH BINASA...*
MEUBEEK ALLAH BRIE ACEH BINASA...*
(Jangan Allah Beri Aceh Binasa...)
(God, Don't Let Aceh be Destroyed...)
Cerita Seorang Teman
A Story from a Friend
M
asyarakat Aceh tidak henti-hentinya dibayangi langit kelabu. Sejarah telah menorehkan tinta hitamnya tentang kepedihan rakyat Aceh. Kekerasan demi kekerasan mewarnai sejarahnya, mulai dari perang melawan penjajah Belanda, Perang Cumbok tahun 1946, peristiwa DI/ TII antara tahun 1953-1964 dan konflik antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan TNI. Cerita kepedihan rakyat Aceh belum berakhir ketika gempa pada 26 Desember 2004 yang berkekuatan 8,9 skala richter dan tsunami menjadikan bumi “Serambi Mekah” pada titik nadir kehidupan. Ada ribuan cerita yang memilukan, namun ada juga ribuan cerita yang menggugah semangat untuk terus bergerak membangun Aceh kembali dari keterpurukan yang panjang. Salah satunya adalah cerita pengalaman dari seorang teman Aceh yang bernama Norma. Berikut kisah pengalamannya: Nama lengkapku adalah Norma Susanti Rambe Manalu. Aku lahir pada bulan Nopember 1975 di Lhoksukon, Aceh Utara dari seorang ibu Minangkabau dan seorang ayah Batak. Aku adalah
T
he people of Aceh have always been overshadowed by cloudy skies. History has recorded the sorrow of Acehnese. One violence after another stained the history, starting from war against colonial Dutch, Cumbok war in 1946, DI/ TII (separatist war) between 1953-1964, and conflicts between GAM (Acehnese Freedom Movement) and Armed Forces. This sad story of the people of Aceh did not end with the 8.9 Richter earthquake on December 26 2004 and the tsunami that turned “Serambi Mekah / the Garden of Mecca” land to the lowest point in life. There are hundreds of sad stories, yet there remain thousands of stories encouraging spirit to build Aceh back from long despair. One of these stories belongs to one Acehnese friend called Norma. Following is her story: My complete name is Norma Susanti Rambe Manalu. I was born in November 1975 in Lhoksukon, North Aceh, of a Minangkabau mother and a Batak father. I am a graduate from Forestry department who does not have any opportunity anymore to be working in my field.
Edisi September 2006
25
Fitur
seorang sarjana kehutanan yang pupus untuk bekerja sesuai bidangku. Kondisi konflik bersenjata yang terjadi di Aceh telah menyebabkan banyak perubahan. Salah satunya prospek untuk bekerja di bidang Kehutanan menjadi hilang. Banyak proyek Kehutanan yang ditutup bahkan pegawai di Departeman dan Dinas Kehutanan banyak yang dimutasikan pada bidang lain. Keadaan ini mematahkan semangatku. Untuk mengalihkan kekecewaanku, aku mengikuti jejak kakakku yang aktif di sebuah LSM lokal. Aku mulai terlibat dalam kerja LSM pada tahun 2001, di sebuah LSM lokal yang mempunyai fokus pada pemberdayaan perempuan Aceh. Banyak hal yang aku pelajari yang kemudian mengubah seluruh pendirianku untuk tetap bergiat dalam bidang pemberdayaan terhadap perempuan. Karena kontrak kerjaku tidak diperpanjang, aku beralih aktif di RPuK- Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan. Keinginanku untuk terus terlibat dalam kerja pemberdayaan dan penguatan perempuan mendorongku untuk terlibat langsung dalam kerja-kerja RPuK yang juga memiliki mandat kerja untuk meningkatkan posisi tawar perempuan. Hingga kini, lebih kurang 4 tahun aku bergelut dengan dunia LSM. Dalam menjalankan kerja, aku dituntut untuk bersentuhan langsung dengan perempuan grass root. Ini memberikan pengalaman baru yang semakin hari semakin mengasah kesadaranku pada kondisi riil yang sedang dialami perempuanperempuan lain. Aku menyadari ada ketimpangan dan ketidakadilan pada perempuan dalam kehidupan ini, terlebih dalam konflik yang sedang terjadi. Bergaul dan hidup bersama perempuan di desa terpencil yang jauh dari semua fasilitas, dicurigai oleh aparat TNI dan GAM saat turun ke desa, atau dipaksa untuk tidak boleh masuk pada suatu lokasi oleh pihak keamanan sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Aku juga merasakan pengalaman lain saat perempuan-perempuan desa berusaha membantu mengubah penampilanku menjadi perempuan desa untuk mengelabui pantauan pihak yang sedang berkonflik. Aktifitas yang mempunyai resiko besar ini
26
Edisi September 2006
Interfidei newsletter
Armed conflicts in Aceh have resulted in many changes. One of the prospects to be working in forestry field has vanished. A lot of forestry projects have been closed down, even many employees of the Forestry Department and Service have been mutated to other fields of work. This circumstance broke my spirit. In order to avert my disappointment, I followed the steps of my sister who is active in a local NGO. I started to be engaged in NGO Norma sedang memberikan pengarahan work in 2001, in a pada perempuan-perempuan Aceh. local NGO focusing Sumber: Dokumentasi pribadi. its work in empowerment of Aceh women. I learned a lot of things that then changed my stand in continue working in women empowerment sphere. Since my working contract was not extended anymore, I then moved to RPuK- Women Volunteers for Humanity. My wish to be continually involved in the work of women empowerment and strengthening encourages me to be directly engaged in the work of RPuK which also has a working mandate to advance the bargaining position of women. It has been more or less 4 years now that I am working in NGO. In doing my work, I am demanded to be directly in touch with grass root women. It provides me with new experiences which day by day improve my awareness of the real conditions experienced by other women. I realize that there is injustice and discrimination against women in this life, in and specifically when conflicts occurring. Living with and making friends with women in rural areas far away from all facilities, being suspected by TNI and GAM when going to the village, or denied access to an area by the security is a common thing for me. I also experience adventures when women in the village where I was staying tried to help changing my appearance to be one of them to avoid attention from parties involved in the conflict. These hazardous activities received challenges from my family. Since the very beginning, my big family has not approved of my choice, moreover when conflicts took place in our
Edisi September 2006 mendapat tentangan dari keluargaku. Sejak awal keluarga besarku tidak terlalu setuju dengan pilihanku ini, terlebih dengan kondisi konflik yang ada. Orangtua menginginkan aku untuk menjadi pegawai negeri seperti mereka yang berprofesi sebagai guru. Pilihanku ini memang riskan karena LSM dianggap oleh kelompok yang bertikai sebagai pengganggu sehingga mereka memantau semua kerja para aktifis LSM. Bahkan seringkali pertemuan dengan kelompok perempuan terpaksa dibatalkan untuk menghindari pembubaran yang dilakukan oleh para kelompok yang bertikai. Belum sembuh kepedihan rakyat Aceh karena konflik yang berkepanjangan, gempa dan Tsunami meluluhlantakkan Aceh. Saat gempa dan Tsunami memporakporandakan sebagian besar pesisir Aceh, aku sedang berada di Aceh Tengah untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program pemulihan psikososial pengungsi akibat konflik Aceh. Aku secara langsung merasakan gempa tersebut. Ketika gempa berhenti, aku berinisiatif untuk mencari informasi ke beberapa teman dan keluarga yang sedang berada di lokasi yang berbeda. Dari orangorang yang aku kontak melalui telepon, sebelum jaringan telepon mati dan komunikasi putus total, aku mengetahui ada hantaman air laut bercampur lumpur dengan ketinggian hampir mencapai 10 meter. Berita mengenai kepastian Tsunami aku dapatkan dari televisi, itupun hasil liputan beberapa negara yang menjadi korban Tsunami. Saat itu, aku belum membayangkan apakah benar Tsunami terjadi di Aceh atau ada bencana lainnya. Dua hari berikutnya, aku kembali dari Aceh Tengah dan langsung menuju ke Banda Aceh. Pada saat itu, aku melihat langsung kondisi Banda Aceh yang porak-poranda dan dampak yang diakibatkan oleh Tsunami. Seorang kakakku beserta seluruh keluarganya hilang akibat Tsunami bahkan kami tidak berhasil menemukan jenasah mereka. Tidak hanya kakakku dan keluarganya, aku juga kehilangan banyak teman. Minggu pertama paska Tsunami, aku memutuskan untuk mencari kepastian tentang keluargaku yang menetap di Banda Aceh. Masuk ke minggu kedua, aku kembali bergabung dengan teman-teman di RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan) wilayah timur yang sejak hari pertama paska Tsunami telah terlibat dengan kegiatan pendataan dan distribusi bantuan. RPuK menfokuskan seluruh staf dan anggotanya untuk mendistribusikan bantuan selama 3 bulan.
Feature area. My parents have always wanted me to be civil servants, just like them who work as teachers. My choice to be working in NGO was indeed risky, as NGOs were considered as conflicting parties as a constraint. Thus, they kept their eyes closely on NGO activists. Even, there were moments when we had to call off meetings with women groups in order to avoid dispersing by parties involved in the conflict. While grieve still remained in hearts of the Acehnese due to prolonged conflicts, earthquake and tsunami devastated Aceh. When earthquake and tsunami tore apart most of Aceh coastal areas, I was in Central Aceh to do monitoring and evaluation for the psycho-social program for IDPs as a result of Aceh conflicts. I directly felt the effects of the earthquake. When the quake stopped, I took the initiative to obtain information from a number of friends and members of family in different locations. From those I managed to contact by phone, before the phone and communication networks were totally disengaged, I found out that there was a blow of sea water mixed with mud with height reaching 10 meters. I received the news on tsunami from TV, coverage of a number of countries also devastated by tsunami. At that point, there was no image in my head yet if tsunami indeed occurred in Aceh, or if there was any other disasters. Two days afterwards, I returned from Central Aceh and went directly to Banda Aceh. It was at that time that I witnessed with my own eyes the city of Banda Aceh which was wrecked by tsunami. One of my brothers along with his family were swept away by tsunami we cannot even find their bodies. Not just my brother and his family, I have also lost a lot of friends. In the first week after tsunami, I decided to find certainty about the fate of my family who stayed in Banda Aceh. In the second week in the aftermath of the quake, I re-joined my former colleagues in RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan) of the Eastern side who since the first day after the tsunami have been engaged in humanitarian aid, especially in data obtaining and distribution of aid. RPuK put highest priority and focused all its staffs and members to distribute aids three months after the tsunami. At the early period in the aftermath of tsunami, every body was panicked and worked in such a speed that inter-institution coordination was not held maximally. However, as time went by, the working rhythm started to be established.
Edisi September 2006
27
Fitur Pada awal paska Tsunami, semua orang panik dan bekerja sangat cepat sehingga koordinasi antar lembaga kurang maksimal. Namun seiring waktu, ritme kerja mulai terkontrol, koordinasi dan komunikasi dengan lembaga lain baik lokal, nasional maupun internasinal mulai efektif. Memasuki bulan selanjutnya, RPuK mulai meminimalkan lokasi penerima bantuan, khususnya lokasi-lokasi yang jauh dari akses bantuan, khususnya camp-camp yang terletak di wilayah terpencil. Bulan berikutnya, RPuK mulai memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan bantuan dalam bentuk lain yang lebih bersifat jangka panjang, seperti rumah sementara dan penyediaan sumber air bersih. RPuK juga mulai mendata kebutuhan masyarakat terhadap bantuan livelihood, pemulihan psikososial dan peningkatan daya kritis masyarakat. Banyak pengalaman yang aku alami pada saat menyalurkan bantuan di masa emergency hingga saat ini. Hal yang paling menyentuh adalah saat melewati camp-camp yang terbuat dari kain (bukan terpal) dan didirikan diatas tanah yang bila air laut pasang akan tergenang air. Tenda berdiri seadanya sehingga mengkhawatirkan penghuninya bila angin bertiup kencang (angin kencang terjadi hampir di setiap malam pada tahun pertama paska Tsunami). Pemandangan yang menyedihkan lainnya adalah saat aku harus menyaksikan perempuan-perempuan muda baik yang kehilangan suami atau yang belum bersuami, yang tidak mendapatkan kenyamanan atas ruang pribadinya karena harus berbagi dengan orang lain (laki-laki) akibat keterbatasan jumlah shelter. Ini yang menjadi penyebab utama tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan. Bencana alam terjadi saat Aceh sedang konflik, dan ini sangat menyulitkan pemberian bantuan karena beberapa wilayah yang menjadi korban bencana alam juga merupakan daerah korban konflik. Akibatnya, penyaluran bantuan tidaklah segampang saat melakukan pendistribusian di daerah yang bukan konflik. Belum lagi permasalahan kecurigaan dari aparat keamanan terhadap kunjungan anggota GAM untuk melihak kondisi keluarganya paska bencana alam. Namun akhirnya, ada hikmah yang dapat diambil. Bencana alam yang terjadi di Aceh telah membuka mata semua pihak sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah dan GAM untuk
28
Edisi September 2006
Interfidei newsletter
Coordination and communication with other institutions whether local, national, or international ones started to gain some efficacy. In the following month, RPuK started to focus their target areas, in specific to locations located far from access of aids, in specific to camps located in remote areas. One month later, RPuK started facilitating the community to obtain aids from other, longer-term aid, such as temporary shelters and clean water supply. RPuK also commenced to obtain data on people's needs of livelihood aids, psycho-social aids, and critical awareness-raising of the community. I have undergone various experiences while channeling aids since emergency moments up to present. The most touching moments were when passing tents made of cloth (not canvass) and set up on ground, making the tents covered by water when the sea is having its tide. The tents were set up without any design whatsoever that it worried the IDPs when the wind blew hard (wind blew very hard nearly every night in the first year after tsunami). Another sad view I saw was when I had to witness young women, widows or singles, that could not have comfort in their personal space as they needed to share with others (males), due to the limited number of shelters available. This is the main cause of high incidence of sexual violence against women. Natural disaster occurred when Aceh was in the middle of conflicts, and it created more difficulties in the channeling of aids as numerous regions devastated by disaster were also conflict areas. As the result, channeling of aids was not as easy as distributing them in non-conflict areas. Not to mention the problem of suspicions of the security towards visits of GAM members to see how their families are doing in the aftermath of the natural disaster. Eventually, however, there is always a silver line in clouds. The disaster tearing down Aceh in pieces has opened the eyes of conflicting parties, so that there is no reason for the government and GAM to continue conflicts between them since it requires great power and strong unity to re-build Aceh in the aftermath of the disaster, despite the great help of the presence of numerous people and institutions present to provide aids directly or indirectly. Unfortunately, a number of parties made the best use of opportunity in such conditions. The most urgent aids required by the people
Edisi September 2006
Reflection
melanjutkan konflik diantara mereka karena butuh kekuatan yang besar dan persatuan yang kuat untuk membangun kembali Aceh paska bencana. Hal itu sedikit terbantu dengan hadirnya banyak orang dan lembaga yang datang memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung. Sayangnya ada beberapa diantaranya yang mengambil kesempatan dalam kondisi tersebut. Bantuan yang paling mendesak yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh saat ini adalah bantuan yang bersifat jangka panjang dan tidak menciptakan ketergantungan, misalnya bantuan untuk meningkatkan kapasitas orang-orang Aceh dalam menghadapi sesi dari kehidupan mereka selain bantuan fisik lain yang mana perencanaan, pelaksanaan dan monitoringnya harus melibatkan masyarakat. Melibatkan masyarakat dalam assessment kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evalusi merupakan kebutuhan prioritas agar bantuan yang diberikan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Pada sisi lain, keterlibatan ini merupakan sebuah cara penghargaan terhadap kemampuan komunitas dan proses pembelajaran untuk transformasi peran terhadap masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu mengadvokasi kebutuhan mereka sendiri. Sampai saat ini kami masih terus melanjutkan
of Aceh at present is long-term aids that do not create dependency, e.g. aid to build the capacity of Aceh people in facing one session in their life in which planning, implementation, and monitoring need to engage the community. Participation of community in assessment of needs, planning, implementation, monitoring and evaluation is a priority, so that the aids provided could be used to its full extent by the community. On the other side, this involvement is a way of appreciating the capacity of the community and serves as learning media for transformation of role of the community so that they will be used to and be able to advocate their own needs. Up to the present, we still carry on our efforts to build Aceh back. It is time that the sorrow of the Acehnese be ended. Ta Lakee Do'a
Ta Lakee Do'a Bak Tuhan Sidroe, Nanggroe Acehnyoe Neubri Sijahtera * * (Mari berdo'a pada Tuhan, Negeri Aceh ini diberikan kesejahteraan).
Refleksi/ Reflection
SENTIMEN KEAGAMAAN DI TENGAH BENCANA
RELIGIOUS PREJUDICE IN MIDTS OF A DISASTER
Bakdi Sumanto*
Bakdi Sumanto*
entimen keagamaan yang dimaksud di sini berangkat dari satu pokok sumber kegelisahan: curiga. Dalam konteks kebudayaan Jawa, kegelisahan semacam ini muncul dalam ungkapan: ojo-ojo, yang artinya jangan-jangan. Dengan demikian, kecurigaan itu, seperti namanya, serba tidak jelas. Akan tetapi, justru ketidakjelasan itulah titik masalahnya. Dalam kondisi yang serba menekan, misalnya di tengah pasca bencana, tatkala rumah berantakan,
S
he religious sentiment means here leaves from one source of anxiety: suspicion. Within the context of Javanese culture, such anxiety is expressed in the phrase: ojo-ojo, which basically means “let’s hope not”. Thus, this anxiety, as shown by its name, is not clear at all. However, it is this obscurity that serves as the problem. In such depressing situation, e.g. in the midst of a disaster, when houses were torn down, food provisions thinning, water difficult to obtain, children
*Budayawan, dosen UGM Yogyakarta
*Lecturer of Gadjah Mada University Yogyakarta
T
Edisi September 2006
29
Refleksi tengah pasca bencana, tatkala rumah berantakan, persediaan makanan menipis, air susah, anak-anak mulai diserang mencret-mencret bahkan ada yang mem-bonjrot (red. sakit mencret yang sudah parah), dan tiba-tiba ditemukan Kitab Injil tergeletak di tengah mereka: komunitas Muslim, tekanan darah yang semula normal tiba-tiba saja bisa melonjak menjadi 190. Dari segi akal sehat, reaksi itu aneh. Akan tetapi, sebenarnya yang demikian itu masuk akal. Sebab, sudah sejak sangat lama kecurigaan antar agama terjadi: khususnya antara Kristen/ Katolik versus Islam. Dari kacamata kaum misionaris yang mewarisi pandangan lama, ada semacam asumsi bahwa jagat di luar Kristen/ Katolik adalah jagat dosa yang perlu ---dengan istilah heroik, ditebus. Bahkan, dengan kacamata Edward Said dalam bukunya Orientalism, jagat di luar Kristen/ Katolik adalah jagat barbar yang harus dibuat beradab. Lalu, muncul semacam ucapan: White men's burden. Ini semakin ruwet lagi. Ada masalah kulit putih, kulit berwarna, negeri Timur, Kristen/ Katolik, yang campur aduk. Di Indonesia, hal ini semakin ruwet jika bercampur dengan masalah korupsi dan ledakan bom. Mengusut korupsi dan pembunuhan dengan bom ditafsirkan sebagai memojokkan agama yang dianut pelaku tak terpuji itu. Sementara, orang-orang yang berdiri di luar Kristen/ Katolik, termasuk di dalamnya atau bahkan yang paling utama Islam, memandang jagat Kristen/ Katolik sama dengan Barat. Memang tatkala kaum misionaris bergerak menyebar ke seluruh dunia Timur, ekspansi sistem ekonomi kapitalis ikut bergerak pula. Ada kesejajaran irama gerak walaupun sebenarnya tidak sama. Oleh karena itu, hadirnya Kristen/ Katolik di negeri Timur atau Asia, tidak dipandang sebagai tawaran dari Yang Penuh Kasih, sebagaimana diajarkan Kristus sendiri, tetapi sebagai suatu ancaman. Dengan demikian, tatkala Kristen/ Katolik dipandang sebagai ancaman, bagi saya, itu seharusnya mengundang refleksi bagi yang bersangkutan untuk mengkoreksi perilakunya. Sebab, sebenarnya bukan seperti itu yang diharapkan Yesus. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa ada hal yang rancu antara pemahaman menaklukkan dunia, yang menjadi semangat orangorang Barat sejak abad eksplorasi, dengan penyebarluasan berita gembira yakni penebusan. Kerancuan pemahaman ini tampak pada gerak langkah kegiatan evanjelisasi. Ada cara-cara yang
30
Edisi September 2006
Interfidei newsletter Thinning, water difficult to obtain, children suffering from diarrhea, and voila! a Bible is found lying there, the Moslem community would have rising in their blood pressure; their normal blood pressure would escalate to 190. From reason perspective, such reaction is peculiar. However, it actually makes sense, as for so long there have been suspicions in relations among religions: especially between Christianity versus Islam. From the eyes of missionary community inheriting old perceptions, there is a sort of assumption that the world outside Christianity is a sinful world that needs to be --- with a heroic term, saved. Even, Edward Said in his book Orientalism wrote that the world outside of Christianity is an uncivilized world that needs to be refined. Next, there was an expression: White men's burden. This creates even more complication. There is white skin, color skin, Eastern countries, Christian, all mixed up. In Indonesia, it is more problematical when it is mixed with the issues of corruption and bomb explosions. Investigating cases of corruption and murder by means of bombing is interpreted as cornering the religion embraced by those doing the aforementioned crimes. In the mean time, the people standing in the outside of Christianity, comprising and mainly Islam, perceive Christianity as identical with the West. Indeed, when the missionaries moved and reached all corners of the Eastern world, capitalist economic system was also in the move in line with it. There was an agreement in the movement rhythm although there was actually no such thing. Thus, the presence and existence of Christianity in the Eastern world or Asia, is not perceived as an offer from the All-loving, as taught by Christ Himself, but rather, as a threat. If one views Christianity as a threat, then for me, there is this need for him/her to reflect and correct his/her behavior, as it is not what is really expected by Jesus. However, of course we must bear in mind that there is confusion between the understandings of conquering the world, which has been the spirit of the people of the West ever since exploration age, with the deliverance of the good news, which is salvation. This confusion of understandings could be clearly seen in the steps taken in evangelization activities. The options remain that there are gentle and non-violent ways, but also forceful and annoying ones. This, of course, depends on each sect. One thing obvious, as what I understand --- as I myself am a Catholic, there is no teaching among
Edisi September 2006
lembut dan tidak memaksa tetapi ada juga caracara yang ngotot dan membuat risih. Hal ini, terutama, terpulang pada semangat masing-masing sekte. Yang jelas, sebagaimana yang saya pahami--karena saya sendiri memeluk agama Katolik, tidak ada ajaran-ajaran yang pernah saya terima yang membangkitkan semangat menggebu untuk mengKatolik-kan orang yang tidak Katolik atau mengKristen-kan orang yang tidak Kristen. Bahkan, dengan semangat evanjelisasi baru yang sekarang ini, pandangan Katolik terhadap mereka yang tidak Katolik bukan lagi objek yang harus di-Katolikkan. Sebab, ada keyakinan bahwa kebaikan bukan hanya monopoli Katolik saja. Bahkan, sejumlah orang Katolik mulai menyadari bahwa 20 tahun mendatang pemeluk agama Katolik akan semakin sedikit. Itu pun tak apa-apa... Persoalannya sekarang, bagaimana menepis kecurigaan itu? Tidak ada jalan lain kecuali dengan dialog yang harus dilakukan setiap hari. Orang-orang Kristen/ Katolik, pertama-tama, harus berani mengakui bahwa ada kelompokkelompok orang yang pada awalnya ingin mengajar anak-anak korban gempa agar bergembira, tiba-tiba instruktur mengubah acara menggambar bebas dengan menggambar salib atau Yesus. Ini wajar jika memancing kemarahan mereka. Tidak hanya itu, orang-orang Kristen/ Katolik dinilai sebagai suka menjebak, omongannya tidak bisa dipegang. Dalam bahasa Jawa Yogya, orang seperti itu bisa disebut: esuk dhele, sore tempe. Artinya, pagi berjanji akan memberi kedelai, sore hari ternyata, memberi tempe. Dalam dialog itu, yang ditekankan adalah bahwa tidak semua yang disebut Kristen/ Katolik berbuat demikian. Bahkan, harus ditegaskan bahwa orang-orang yang menamakan dirinya Kristen/ Katolik tidak boleh main jebak-jebakan yang demikian itu. Sebab itu bertentangan dengan ajaran yang sangat mendasar. Kalau dialog bisa segera dilakukan begitu terjadi kasus yang menakutkan, ada harapan bahwa kecurigaan setidaknya bisa dikurangi. Penghilangan kecurigaan sama sekali tidak pernah terjadi, orang hanya bisa mengurangi tegangannya. [Bakdi Sumanto]
Reflection what I have been taught, that raises strong passion to convert non-Catholic to Catholic, or nonProtestant to Protestant. Even, with this modern spirit of evangelization, Catholics no longer see non-Catholics as objects to be converted into Catholics. This is due to the belief that goodness is not a monopoly of Catholics. A number of Catholics even start to realize that in the next 20 years, there will be fewer and fewer people following the religion, but it is all right... The problem remains how we minimize this wariness. There is no other way other than with dialogs held daily. Christians must first admit that there are groups of people that at the beginning only wished to ask child survivors of the quake to have fun, but suddenly the instructor changed the agenda and asked the children to draw a cross or draw Jesus. If such is the case, it is natural if people's anger is provoked. Not just that, Christians will be seen as deceivers, whose talk cannot be trusted. In Yogyakartan Javanese, such people could be referred to as: esuk dhele, sore tempe, meaning in the morning it is an A, but in the evening it has changed into B. Within the dialog, what needs to be emphasized is that not all Christians do that. Even, we need to strictly underline that people calling themselves Christians should never play tricks on others, as it is against a very basic teaching in Christianity. If a dialog could be held once there is an alarming case, that we can see the light and hope that at least we could reduce qualms between one religion and another. Elimination of suspicions unfortunately is not feasible at all; all we can do is just minimizing the tensions. [Bakdi Sumanto]
Edisi September 2006
31
Interfidei newsletter
Agenda Seminar dan Lokakarya:
Seminar and Workshop:
1. Studi Agama dan Masyarakat tanggal 6-9 September 2006 di Manado yang bekerjasama dengan STAIN Mando dan STF Seminari
1. Study on Religions and Society, 6-9 September 2006 in Manado, in collaboration with STAIN Mando and STF Seminary Pineleng, under the theme:”Mission and Dakwah in the Context of Plural Society”. 2. Workshop, 17-20 September 2006 in Lombok, NTB, in cooperation with REDHAM under the theme “Pluralism, Conflict, and Peace in the Plural Context of Lombok Society”. 3. Follow-up Program “Konco Sinau”, assistance program for children survivors of Jogja quake, at Turi sub-village, Sidomulyo village, Bambanglipuro sub-district, Bantul district. The program commenced 26 June 2006. 4. Discussion on Ahmadiyah denomination in September 2006 in Interfidei, in cooperation with Jamaah Ahmadiyah Qadiyan, under the theme:”Economic, Social, and Political Studies of Ahmadiyah Case”. 5. Workshop in Kupang, NTT in November 2006, in collaboration with Artha Wacana University, Kupang Diocese, and Muhammadiyah University in Kupang.
Pineleng mengusung tema:”Misi dan Dakwah dalam Konteks Masyarakat Plural”. 2. Semiloka tanggal 17-20 September 2006 di
Lombok, NTB bekerjasama dengan REDHAM dengan tema “Plura lisme, Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Pluralitas Masyarakat Lombok”. 3. Program lanjutan “Konco Sinau”, program
pendampingan anak-anak korban gempa Jogja, yang berlokasi di Dusun Turi, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul dan telah dimulai sejak 26 Juni 2006.
4. Diskusi tentang Aliran Ahmadiyah pada bulan September 2006 di Interfidei yang bekerjasama dengan Jamaah Ahmadiyah Qadiyan yang mengambil tema: ”Kajian Ekonomi, Sosial, Politik dalam Kasus Ahmadiyah”. 5. Semiloka di Kupang, NTT pada bulan Nopember 2006 yang bekerjasama dengan Universitas Artha Wacana, Keuskupan Kupang dan Universitas Muhammadiyah Kupang.
Penerbitan: Tahun 2006 DIAN Interfidei akan menerbitkan buku-buku baru. Pertama, buku “Tuhan Punya Banyak Nama” yang merupakan terjemahan dari buku God Has Many Names karya John Hick akan terbit bulan September 2006. Kedua, buku “Agama dan Negara” yang dicetak ulang dan akan terbit bulan Oktober 2006. Kemudian, buku “Agama dan Politik Diskriminasi” dan buku tentang kumpulan pemikiran Th.Sumartana juga akan diterbitkan.[AM]
Publication: In 2006, DIAN / Interfidei will publish new books: “Tuhan Punya Banyak Nama” , translation from God Has Many Names by John Hick, to be published September 2006. Second, the reprinted book “Agama dan Negara” (Religions and the State) will be published in October 2006. Then, book “Agama dan Politik Diskriminasi” (Religions and Discriminating Politics) and A book on the thoughts of Th.Sumartana also will be published. [AM]
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Board Members: Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Ph.D, Zulkifli Lubis; Executive Board: A. Elga J. Sarapung, Department Coordinators: Suhadi (Education); Lian Gogali (Discussion); Listia (Research/ Advocacy); Leonard C. Efapras (Networking/Communication/Information); Amin Ma’ruf (Publication); Sarnuji (Library/Documentation); Eko Putro (Finance); Dian Mutianingrum (Secretariate); Octavia Christiani (General Affairs); Susanto (Household); Fian (Fundraising); Staffs: Suryanto, Dian, Rini, Abidin Wakano, Syafaatun Elmirzanah, Wiwin St. Aminah; Alamat/ Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Phone: +62-274-880149,Fax.:+62-274-887864, E-mail :
[email protected]. No. Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.0039234672. Demi pengembangan newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik Anda. For the development of this newsletter, we open to your suggestions and critics.
32
Edisi September 2006