Keterlibatan Tokoh-tokoh Etnis Minoritas dalam Perwujudan “American dream” Tokoh-tokoh Kulit Putih dalam Serial Komedi Situasi 2 Broke Girls (2011) Ruth Vania Christine Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini melihat bagaimana “American dream” dari tokoh utama kulit putih Max Black dan Caroline Channing, yang merupakan ide utama serial sitkom 2 Broke Girls (2011), menjadi pemicu untuk menunjukkan adanya keterlibatan tokoh-tokoh etnis minoritas dalam perwujudan “American dream” kedua tokoh kulit putih tersebut. Menggunakan konsep “American dream” sebagai pendekatan, penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya rasisme yang terkandung dalam sitkom ini. Pengamatan atas episode-episode dalam sitkom dilakukan untuk melihat keterlibatan, penokohan, dan hubungan para tokoh etnis minoritas dengan tokoh WASP. Analisis tekstual didukung juga dengan konteks stereotip dan rasisme di tengah masyarakat Amerika, terutama dalam media televisi sitkom. Skripsi ini menunjukkan bahwa “American dream” lebih berlaku untuk tokoh kulit putih daripada yang lain. Setiap individu, apapun latar belakangnya, dapat mencapai sukses di Amerika (rasisme). Dalam sitkom ini, yang lebih mendominasi adalah cita-cita dua orang gadis W.A.S.P., sedangkan tokoh-tokoh dengan latar belakang minoritas hanya menjadi pendukung. Kata Kunci: American dream, stereotip, ras, etnis, minoritas, sitkom, 2 Broke Girls
Ethnic Minority Characters’ Participation in the Making of White Characters’ American Dream in an American Sitcom 2 Broke Girls (2011) Abstract This thesis sees how “American dream” of the white character Max Black and Caroline Channing, which is the main idea of the sitcom 2 Broke Girls (2011), becomes the trigger for the participation of ethnic minority characters in realizing the dream. Using the “American dream” concept, this thesis aims to seeunderlying racism in this sitcom. Analysis on selected episodes was done to examine the participation, characteristics, and relationship between the ethnic minority and the WASP characters, which show inequality and racial stereotyping. The textual analysis is contextualized through the discernment of the prevalence of stereotyping and racism in American society, especially in television and sitcoms. Keywords: American dream, stereotype, race, ethnic, minority, sitcom, 2 Broke Girls
1 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
Pendahuluan Penemuan teknologi televisi merupakan salah satu penemuan terbesar dan terpenting dalam sejarah dunia. Hingga kini, ditonton oleh masyarakat di seluruh dunia. Bahkan, menonton televisi adalah aktivitas yang paling sering dilakukan untuk menghabiskan waktu senggang. Itu sebabnya televisi menjadi salah satu benda yang wajib dimiliki di rumah atau tempat publik sejak akhir 1920-an. Televisi masih menjadi sumber informasi dan hiburan utama bagi masyarakat. Sebagai sumber informasi dan hiburan, televisi membawakan konten penyiarannya melalui program televisi. Program-program ini kemudian dibedakan menjadi bermacam genre dan jenis. Dalam penyiaran kontennya, televisi membawakan isu, pemikiran, dan ideologi kepada penontonnya melalui program-program tersebut. Hal ini memungkinkan televisi untuk mempengaruhi penontonnya. Kemudian, seperti terhipnotis, ide-ide yang ditayangkan oleh program televisi mengubah cara berpikir penonton terhadap sesuatu. Bahkan, televisi dapat merepresentasikan sesuatu yang kurang dapat diterima dan tidak familiar sebelumnya oleh penonton menjadi sesuatu yang dirasa benar dan lebih dapat diterima. Televisi juga dapat mengaburkan batas fiksi dan realita dalam sebuah wacana. Menurut Dini Inaya (2012), dalam penelitiannya mengenai representasi stereotip media Amerika terhadap ras minoritas AsianAmerican dalam serial komedi drama Glee1, serial televisi adalah ekspresi dari sebuah realita, yang membuat realita sendiri di dalamnya. Dari sekian banyak genre, komedi, memiliki cara tersendiri dalam menyalurkan idenya, yaitu melalui humor. Humor ini kemudian diambil dari stereotip yang diperlihatkan pada sitkom tersebut. 2 Broke Girls (2011 – 2014) merupakan sebuah serial komedi situasi (sitkom) Amerika yang menjadikan konsep “American dream” sebagai tema utama plot keseluruhan serialnya. Dengan mengambil fokus dua tokoh wanita kulit putih yang sedang mewujudkan “American dream” mereka, yaitu bisnis cupcake, banyak yang tidak melihat adanya sisi lain dari fokus cerita 2 Broke Girls. Umur penayangan sitkom ini masih dapat dikatakan baru, sehingga penelitian mengenai 2 Broke Girls masih belum terlihat dan bahkan belum ada, kecuali kritik dan pendapat dalam beberapa artikel yang membahas isu-isu yang terdapat di dalamnya, seperti rasisme dan stereotip. Penyampaian cerita adalah melalui humor, yang
1
Dalam tesisnya yang berjudul Representasi Asia-Amerika dalam Serial Televisi Glee (2012), Dini membahas bagaimana tim produksi Glee membangun identitas dari tokoh pembantu Mike Chang dan Tina Cohen-Chang sebagai tokoh keturunan Asian-American dan latar belakang ideologi mereka dalam membentuk tokoh-tokoh tersebut.
2 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
bahannya tidak jauh dari stereotip ras. Meski sitkom ini dapat melaju sampai ke musim ketiga karena respon positif dari penonton, banyak sekali kritik dilayangkan atas gaya humor yang dibawakan dalam serial ini, terutama karena masih mengusung topik rasisme. Tidak hanya itu, fokus kritik juga terdapat pada humor yang seringkali berbau vulgar. Dalam artikel The Story State of 2 Broke Girls: Racism and Lame Sex Jokes karya Tim Goodman di HollywoodReporter.com, dibahas beberapa kritik mengenai topik-topik humor yang digunakan dalam serial tersebut, seperti rasisme dan seksisme. Menurutnya, dengan mengambil topik-topik tersebut, humor dalam serial ini malah membuatnya terkesan murahan dan, bahkan, tidak lucu lagi. “There’s chemistry – and maybe even a whole show (preferably one without that stupid horse) that can be pulled from the considerable talents of Dennings and Behrs. But until that happens, 2 Broke Girls remains the most disappointing new sitcom of the fall, because unlike so many others it actually had potential but has squandered it away every week on cheap, predictable and unfunny jokes.” (Goodman, 2011)
Dalam artikel tersebut juga diberikan beberapa contoh adegan atau dialog yang mendukung adanya topik humor tersebut beserta komentar Goodman mengenai itu. Ia juga berpendapat bahwa saluran CBS memang selalu memuat serial-serial sitkom yang bahan humornya selalu memojokkan kelompok atau individu yang terbilang „minoritas‟ atau tidak dianggap oleh masyarakat, seperti Mike & Molly dengan fat jokes-nya dan The Big Bang Theory dengan nerd jokes-nya. Masih sedikitnya penelitian atau tulisan mengenai sitkom ini sangat disayangkan, karena cukup banyak isu dan topik yang mengundang kritik penonton, yang dapat menjadi bahan kajian lebih dalam, selain humor vulgar yang ditunjukkan juga dalam sitkom ini. Selain itu, dalam beberapa artikel, pembahasan mengenai “American dream” dalam 2 Broke Girls kebanyakan masih berkutat pada dari sudut pandang kedua tokoh utama wanita kulit putihnya saja. 2 Broke Girls mengangkat tema keberagaman budaya di Amerika. Sebagai rumah dari berbagai macam etnis dan kebudayaan, Amerika menghasilkan banyak campuran dari kebudayaan etnis lain yang menambah kekayaan budaya Amerika. King, penulis dari sitkom 2 Broke Girls, menjadikan kekayaan etnis dan budaya itu sebagai latar dari sitkom karyanya tersebut dan memilih New York sebagai latar “melting-pot” kebudayaan di Amerika. Ini terwujud dalam latar tempat bekerja tokoh-tokoh dalam sitkom 2 Broke Girls, yaitu restoran Williamsburg Diner, yang dikatakan sebelumnya seperti sebuah “mini-America”. Penggunaan istilah ini dikarenakan keberagaman dalam 2 Broke Girls juga dapat dilihat dari variasi tokoh3 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
tokoh utama dan pendukungnya yang brunette, blonde, kulit hitam, keturunan Korea, Ukraina, dan Polandia. Fokus dari plot sitkom yang terlihat adalah kedua tokoh kulit putih Max dan Caroline serta “American dream”-nya, yaitu bisnis cupcake. Karenanya, penulis ingin memperlihatkan isu-isu “American dream” yang dibawakan oleh sitkom ini dan menganalisis fungsi dari keberadaan para tokoh pembantu 2 Broke Girls yang nampaknya berkaitan dengan tema utama “American dream” tersebut. Dalam penelitian ini, penulis akan menjawab pertanyaan mengenai makna “American dream” dari tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas direpresentasikan dalam sitkom ini, serta keterlibatan para tokoh ras dan etnis minoritas dalam “American dream” yang diwujudkan oleh Max dan Caroline. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan konsep “American dream” terhadap serial komedi situasi 2 Broke Girls (2011). Penulis menggunakan serial sitkom 2 Broke Girls (2011) sebagai korpus. Data primer yang digunakan adalah cuplikan dialog dan ilustrasi episode dalam mise-en-scene. Kemudian, penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan isu dan konsep yang terkandung dalam korpus, seperti “American dream”, imigrasi dan budaya ras dan etnis minoritas di Amerika, rasisme di Amerika, serta penggunaan stereotip dalam sitkom dan humor di televisi Amerika. Untuk mengetahui “American dream” dari sudut pemahaman ras dan etnis minoritas di Amerika, terlebih dahulu dibahas konsep dasar mengenai “American dream” dan dampaknya terhadap ideologi masyarakat Amerika secara umum. Setelah itu, pembahasan mengenai imigrasi ras dan etnis minoritas yang berkaitan dengan latar belakang tokoh ras dan etnis minoritas dalam sitkom 2 Broke Girls, seperti Afrika, Korea, Ukraina, dan Polandia, akan memperlihatkan latar belakang masuknya etnis-etnis tersebut ke Amerika, termasuk tujuan imigrasinya. Untuk mendalami karakter atau penokohan tiap tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas dalam sitkom, dibutuhkan data konteks mengenai stereotip ras dan etnis minoritas di Amerika beserta sitkom dan humor di televisi Amerika. Kolaborasi kedua data ini juga akan memberikan pengetahuan mengenai fungsi stereotip pada humor dan sitkom. Penulis menganalisa “American dream” dalam sitkom 2 Broke Girls, namun dari sudut pandang tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas yang ada dalam sitkom tersebut dan keterlibatan mereka dalam perwujudan “American dream” kedua tokoh utama kulit putih. Penulis juga mengaitkan penokohan dari tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas tersebut dengan stereotip dan budaya ras dan etnis minoritas tersebut di media Amerika, yang memperlihatkan bahwa stereotip memang banyak digunakan dalam penokohan tokoh-tokoh minoritas dalam sitkom ini. Hasil analisa keterlibatan tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas dalam perwujudan 4 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
“American dream” tokoh-tokoh utama kulit putih pada beberapa episode 2 Broke Girls menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat. Pembahasan “American Dream”, Humor Stereotip pada Sitkom, dan 2 Broke Girls (2011) Pada dasarnya, “American dream” adalah sebuah ideologi mengenai konsep harapan, kebebasan, dan kesempatan. Maknanya dapat bervariasi, sesuai konteks zaman dan masyarakatnya. Berangkat dari awal mula munculnya “American dream”, yaitu pada masa Amerika baru ditemukan dan negara ini menjadi tujuan sekaligus harapan2 baru bagi para pendatang dan imigran dari negara lain untuk memperbaiki hidupnya yang tidak terlalu baik di negara asalnya. Ideologi dan pemikiran optimis mengenai harapan untuk memiliki hidup yang layak muncul dan pemahamannya terus berkembang seiring dengan berubahnya zaman. “American dream” bukan lagi mengenai harapan dan kesempatan saja, namun juga mengenai pelarian, kebebasan, dan keberuntungan. Bagian dari sejarah lainnya yang berpartisipasi dalam pembentukan pemahaman “American dream” adalah Declaration of Independence (1776). Deklarasi tersebut merupakan akar pemikiran dari “life, liberty, and the pursuit of happiness” yang bahkan disebut Cullen sebagai “the charter of American dream” (2003: 59). Deklarasi ini layaknya meresmikan kebebasan atas kesempatan apapun, seperti “where we go to school, who we marry, what we buy” atau dengan kata lain bahkan kebebasan dalam memilih kesempatan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari3. Konsep kebebasan “American dream”, menurut Cullen (2003), dapat dimaknai dalam dua aspek kebebasan. Kebebasan untuk menikmati kesempatan hidup yang dijalani dengan bahagia, kesempatan untuk menaikkan derajat hidup, dan kesempatan untuk memiliki tempat tinggal merupakan kebebasan secara material yang direpresentasikan melalui kesempatan ekonomi dan sosial yang lebih baik (freedom of opportunity), seperti kesuksesan dan kekayaan. Sedangkan, kebebasan untuk menikmati kesempatan menganut kepercayaannya masing-masing dan mendapatkan kesetaraan hak merupakan kebebasan non-material yang direpresentasikan melalui kesempatan spiritual dan moral (freedom of belief), seperti kesetaraan hak dan hidup tanpa diskriminasi. Kedua aspek di atas masih harus dijadikan bahan pertimbangan untuk menelaah definisi konsep "American dream" dan "kebebasan" di 2
Menurut Cullen (2003), penjabaran konsep mengenai “harapan” dimulai dari sejarah masuknya kaum Puritan ke Amerika. Konsep “harapan” dari Puritanism inilah yang kemudian akan menjadi identitas bangsa Amerika ke depannya. 3 Ini didukung dengan pernyataan isi Deklarasi, pada kalimat pembuka dari pargraf kedua: “We hold this Truths to be self-evident, that all Men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness” (dalam Cullen, 1776: 38)
5 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
abad 18. Perbedaan kontras terjadi di abad 20 ini, dimana pemahaman "kebebasan" lebih mengenai kesempatan material, yaitu kesempatan untuk hidup layak. Masuknya industrialisasi dan munculnya penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi menjadi alasan mengapa masyarakat Amerika pada awal abad 19 sangat materialistis. Pada akhirnya, konsep kebebasan menjadi sebuah pilihan dari pandangan masing-masing. Kebebasan bisa menjadi kesempatan material atau non-material, tergantung konteks yang dimaksud. Plot cerita 2 Broke Girls (2011) yang mengisahkan Max dan Caroline dan usaha mereka dalam meraih impian mereka demi memperbaiki nasib hidup, dalam beberapa review atau artikel sering dihubungkan dengan isu “American dream”. Hal tersebut dilihat dari wujud Max‟s Homemade Cupcake yang dijadikan Max dan Caroline sebagai harapan untuk memperbaiki hidup, terutama keadaan finansial mereka. Judul sitkom yang mengusung “broke girls”, jelas menjadikan Max dan Caroline sebagai fokus dari plot besar sitkom ini. Tidak hanya itu, bisnis cupcake tersebut juga dengan jelas dijadikan fokus goal atau tujuan dari setiap episode sitkom ini, sehingga penonton seperti diatur untuk melihat dari mata Max dan Caroline, yang menjadikan proses perkembangan bisnis cupcake tersebut sebagai fokus mereka dalam cerita. Hal ini didukung dengan total pendapatan yang selalu ditampilkan di akhir tiap episode 2 Broke Girl, yang memastikan penonton untuk tetap mengikuti perkembangan dari bisnis cupcake dan alur kas Max dan Caroline.
Di Williamsburg Diner tempat Max dan Caroline bekerja, ada beberapa pekerja lain. Mereka berasal dari negara yang berbeda-beda dan menjadi kelompok minoritas di Amerika. Karena fokus penonton yang diatur sedemikian rupa ke “American dream” Max dan Caroline tersebut, penonton melewatkan keberadaan “American dream” yang dimiliki oleh tokohtokoh minoritas di sekitar kedua tokoh kulit putih tersebut. “American dream”, sebagai harapan untuk memiliki hidup yang baik di Amerika, seharusnya dimiliki oleh setiap masyarakat Amerika, karena wujud “American dream” itu sendiri dapat menjadi tujuan hidup seseorang di Amerika. Maka, Han, Earl, Oleg, dan Sophie sebagai tokoh minoritas yang 6 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
sedang mengolah hidup di Amerika ini juga memiliki “American dream” versinya masingmasing. Menariknya, “American dream” para tokoh minoritas yang tertutup oleh fokus sitkom terhadap “American dream” para tokoh kulit putih seperti secara tidak langsung memberikan pemikiran bahwa “American dream” hanyalah milik kelompok kulit putih saja. Hal ini diperkuat oleh adanya keterlibatan dari tokoh-tokoh minoritas tersebut dalam proses perwujudan “American dream” Max dan Caroline, sehingga penonton mendapati fokus para tokoh minoritas tersebut juga tertuju pada perwujudan bisnis cupcake itu. Dengan demikian sitkom ini malah terlihat seperti ingin menunjukkan bahwa “American dream” memang hanya milik kelompok kulit putih saja. “American dream” menjadi ideologi yang tertanam di kepala para imigran untuk mencari kesempatan dan kebebasan. Tujuan hidup mereka tersebut menjadi latar belakang etnis-ras dan etnis minoritas melanjutkan hidupnya dan mengembangkan komunitasnya di Amerika. Namun, hidup di Amerika tidak semudah yang para imigran bayangkan. Diskriminasi dan stereotip masyarakat Amerika terhadap etnis-ras dan etnis minoritas menjadi makanan sehari-hari komunitas minor tersebut. Dalam perkembangan media televisi, terutama di Amerika, stereotip ternyata memegang kunci besarnya. Sitkom, yang merupakan kembangan dari drama radio, menggunakan stereotip sebagai bahan humor, sekaligus bahan untuk mengidentifikasi tokoh-tokoh yang ada dalam sitkom tersebut. Tidak heran, sitkom menerima banyak sekali kritik mengenai rasisme dan isu-isu lain yang berhubungan dengan stereotip kelompok minoritas. Humor selalu menjadikan keberadaan stereotip sebagai pengecualian untuk dihilangkan dalam sitkom, jelas Bowes (1990). Ia menambahkan bahwa stereotip dianggap berbahaya untuk disertakan dalam sitkom karena sifat stereotip yang hanya memperlihatkan atau mendefinisikan sesuatu dari satu sisi saja. Ini juga yang menyebabkan adanya kesempatan untuk satu sisi lainnya terlihat mendominasi atau memihak. Amerika, sebagai negara yang bebas dan terbuka, justru masih dipenuhi dengan berbagai stereotip. Menurut Bowes (1990: 139), “sit-com tends to look at other races and cultures from the viewpoint of the dominant white culture”. Ini membuat penonton hanya memandang stereotip tersebut dari sebelah mata saja, yaitu dari mata kelompok kulit putih. Ia menambahkan bahwa hal tersebut diperkirakan karena penonton telah dikondisikan untuk memahami bahwa “we are one nation and one culture and that this culture is a western one” (Bowes, 1990: 139). Pemahaman tersebut membuat penonton Amerika sulit untuk menerima dan memahami etnis dan kebudayaan selain budaya Barat. 7 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
Ini berlaku juga untuk sitkom-sitkom yang dalam ide ceritanya mengusung isu ras. Sudut pandang kulit putih bahkan seperti menjadi tolak ukur sitkom dengan isu ras, karena semakin ras minoritas (dalam hal ini kulit hitam) menyesuaikan diri dengan budaya dan masyarakat mayoritas (kulit putih), mereka akan semakin tidak dianggap sebagai ancaman lagi bagi masyarakat kulit putih (Bowes, 1990: 139). Dengan kata lain, sudut pandang kulit putih dijadikan patokan sebagai titik “normal” bagi penonton, sedangkan diluar itu akan dipandang sebagai sesuatu yang “abnormal”. Meski sebelumnya dikatakan bahwa sitkom merupakan media realis, stereotip tetap digunakan sebagai pendukung karakter tokoh agar mudah dikenali dan dipahami dengan cepat, yang bahkan tidak jarang dijadikan sebagai bahan humor. Stereotip dapat menjadi simpel dan kompleks, tergantung bagaimana individu tersebut melihat dan memahaminya. Pemakaian stereotip memang bertujuan untuk memudahkan penokohan atau pemberian karakter pada suatu tokoh. Namun, dibalik simpelnya label stereotip tersebut, terdapat makna yang kompleks. Apabila penonton sitkom menertawakan seorang tokoh beserta stereotip yang melekat padanya, maknanya menjadi bahwa mereka sesungguhnya menertawakan sang produser, yang dengan pengetahuan seadanya memberikan stereotip demikian, atau memang menertawakan stereotip itu sendiri. Atau, bahwa mereka sesungguhnya menertawakan kelompok atau individu lain yang diberikan stereotip tersebut, atau malah menertawakan stereotip terhadap dirinya sendiri. 2 Broke Girls yang tergolong dalam genre sitkom juga menggunakan stereotip dalam penokohannya, yang sekaligus dijadikan bahan tertawaan atau humor. Hal ini dapat terlihat jelas dari penokohan tokoh-tokohnya yang memiliki latar belakang budaya ras atau etnis minoritas. Dengan latar belakang tokoh yang berbeda-beda, Max sebagai brunette, Caroline sebagai blonde, Han sebagai Korean-American, Earl sebagai African-American, Oleg sebagai Ukrainian-American, dan Sophie sebagai Polish-American, membuat set Williamsburg Diner terlihat seperti sebuah “mini-Amerika”, negara dengan tingkat keberagaman budaya serta etnis yang sangat tinggi. Ketika King diminta untuk membuat tokoh-tokoh dalam 2 Broke Girls untuk berpandangan dimensional dan tidak terlalu stereotipikal, karena banyak kritik yang mengenai humornya yang terlalu rasis dan seksis, ia menjelaskan bagaimana bahkan dua tokoh utama sitkom ini dipilih blonde dan brunette, yang masing-masing sudah memiliki stereotip sendiri di tengah masyarakat (2012). King berharap karyanya ini dapat menyebarkan stigma berbeda yang ada didalamnya, terlebih untuk kedua tokoh utama tersebut. Maka, tidak hanya tokohnya saja yang harus dimensional, tetapi juga penontonnya (2012). 8 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
Keterlibatan tokoh Han, Earl, Oleg, dan Sophie dalam perwujudan bisnis cupcake Max dan Caroline Jika dilihat dalam beberapa episodenya, tanpa adanya keterlibatan Han, Earl, Oleg, dan Sophie, Max‟s Homemade Cupcake tidak akan sempat terwujud atau bertahan seiring perjalanan alur cerita sitkom ini, dari season 1 hingga season 3. Namun, keterlibatan tersebut pun tidak akan terjadi tanpa adanya hubungan yang “spesial” di antara keenam tokoh dalam komunitas restoran ini. Karenanya, sebelum membicarakan keterlibatan mereka, terlebih dahulu akan dijelaskan bagaimana hubungan antara Max dan Caroline dengan Han, Earl, Oleg, dan Sophie untuk mengetahui latar belakang adanya keterlibatan tersebut. Pada intinya, kedekatan hubungan Max dan Caroline dengan Han, Earl, Oleg, dan Sophie berproses seiring dengan perjalanan alur cerita dari episode-episode di season 1 hingga season 3. Dalam episode-episode di season 3 dapat dilihat bahwa hubungan Max dan Caroline dengan keempat tokoh ras dan etnis minoritas tersebut semakin dekat dan erat, bahkan hingga melebihi status mereka yang sebenarnya hanya rekan kerja (Max dan Caroline dengan Han, Earl, dan Oleg) atau tetangga (Max dan Caroline dengan Sophie). Episode yang paling memperlihatkan kedekatan mereka adalah episode penutup dalam season 3, yaitu ketika Max akhirnya lulus pendidikan setara SMA. Max sebenarnya menginginkan sosok ibunya untuk hadir pada upacara kelulusannya, namun sang ibu tidak muncul meski Max telah mengundangnya. Kekecewaan Max terhadap hal tersebut dihibur dan digantikan dengan kebahagiaan ketika Han, Earl, Oleg, dan Sophie muncul secara tiba-tiba ketika Max menerima ijazahnya di atas panggung. Terdapat perubahan ekspresi yang drastis pula dari Max. Ketika Max mendapat konfirmasi dari Caroline mengenai ketidakhadiran ibunya, terlihat ekspresi kesal dan kecewa di wajahnya. Namun, ketika Max melihat rombongan tersebut datang dengan lengkap dan heboh meramaikan auditorium dengan teriakan dan tepuk tangan, terlihat ekspresi wajahnya menjadi seperti terkejut sekaligus terharu. Setelah menerima ijazah dan berfoto dengan Mr. Huck, Max berlari kesenangan dan turun dari panggung untuk menyambut mereka. Dengan kata lain, adegan ini seperti menunjukkan bahwa kedekatan Max dan Caroline dengan Han, Earl, Oleg, dan Sophie sudah seperti layaknya keluarga. Dalam usaha Max dan Caroline untuk mewujudkan bisnis cupcake-nya, kedekatan mereka dengan Han, Earl, Oleg, dan Sophie yang sudah seperti keluarga ini mendukung adanya keterlibatan dari keempat tokoh ras dan etnis minoritas tersebut dalam usaha itu. Keterlibatan tersebut pun bermacam-macam wujudnya, baik secara material maupun nonmaterial. Dalam episode And the Egg Special (season 2 episode 8), Sophie memberikan cek 9 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
kepada Max dan Caroline sebesar $20,000 dan membuatnya seperti ia tidak sengaja salah menulis $20 ketika Caroline mengatakan bahwa cek tersebut bernominal $20,000. Dengan dana tersebut, Max dan Caroline tidak hanya mendapatkan modal uang, namun juga tempat baru untuk mewujudkan bisnis cupcake-nya. Pada episode And the High Holidays (season 2 episode 12) Max dan Caroline yang mendapat kesulitan dalam melunasi sewa toko cupcake mereka yang baru itu, mengusahakan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cepat dan banyak, karena penjualan dari cupcake sendiri tidak dapat menyokong kebutuhan dana tersebut. Di akhir episode ini, Han, Earl, dan Oleg mendatangi toko Max‟s Homemade Cupcake dan memberikan solusi terhadap permasalahan itu. Dari analisis pada beberapa episode-episode di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, keterlibatan dari keempat tokoh ras dan etnis minoritas, yaitu Han, Earl, Oleg, dan Sophie, dalam perwujudan “American dream” dari kedua tokoh kulit putih Max dan Caroline pada sitkom ini dilakukan atas dasar adanya hubungan atau kedekatan di antara keenam tokoh tersebut. Kedekatan mereka yang dalam beberapa episode ditunjukkan layaknya sebagai sebuah “keluarga” menghadirkan rasa kepedulian di antara Han, Earl, Oleg, dan Sophie untuk terlibat dan membantu Max dan Caroline dalam mewujudkan dan menyukseskan bisnis cupcake-nya. Kedua, dalam beberapa episode, campur tangan atau keterlibatan para tokoh ras dan etnis minoritas tersebut dapat dilihat praktiknya secara material dan non-material, dari kebutuhan yang sangat penting seperti uang, hingga inspirasi untuk berinovasi serta partisipasi untuk menjadi pencoba cupcake. Tokoh Ras dan Etnis Minoritas dan “American Dream”-nya Sitkom 2 Broke Girls terlihat menggunakan banyak sekali stereotip atau label dalam penokohan tokoh-tokohnya, terutama pada Han, Earl, Oleg, dan Sophie, sebagai tokoh-tokoh dengan latar ras dan etnis yang berbeda, yaitu Korean-American, African-American, Ukrainian-American, dan Polish-American. Jika dilihat dari beberapa aspek yang terkandung dalam penokohan sitkom ini, yaitu latar belakang budaya, aksen dan gaya berbicara, pekerjaan, dan penampilan, yang juga memperlihatkan bagaimana stereotip diaplikasikan dalam penokohan tokoh minoritas dan dijadikan humor, dapat diketahui bahwa Han, Earl, Oleg, dan Sophie memang memiliki latar belakang budaya dari ras dan etnis minoritas, yaitu African-American,
Korean-American,
Ukrainian-American,
dan
Polish-American.
Keterlibatan tokoh minoritas dalam perwujudan “American dream” Max dan Caroline, sebagai kulit putih, telah membuktikan bahwa “American dream” kedua wanita tersebut tidak akan terwujud tanpa bantuan Han, Oleg, Earl, dan Sophie. Namun, adanya keterlibatan 10 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
tersebut, bukan berarti para tokoh minoritas tersebut tidak memiliki “American dream” masing-masing. Fokus sitkom terhadap “American dream” dari Max dan Caroline membuat penonton tidak menyadari bahwa sebenarnya Han, Earl, Oleg, dan Sophie memiliki tujuannya sendiri untuk mencapai hidup baik di Amerika. Dalam season 2 episode 17, Han mengatakan kepada Max dan Caroline bahwa ia pernah mengambil jurusan Hukum ketika masih di Korea, namun “never made it through graduation. I realized it wasn’t my passion and I pulled out.” (King & Cummings, 2013). Keberadaannya di Amerika dan profesinya sekarang sebagai pebisnis dan pemilik restoran kemungkinan dapat menjadi hasil dari ketidakpuasan Han setelah mengambil jurusan Hukum tersebut. Jika Max dan Caroline memiliki “American dream”-nya sendiri, yaitu bisnis cupcake, maka bisnis restoran milik Han pun dapat dikatakan sebagai “American dream” dari perspektif pria Korea ini. Usaha-usaha yang dilakukan Max dan Caroline dalam menyukseskan bisnis cupcake-nya juga dapat dibandingkan dengan usaha Han dalam memajukan bisnis restorannya, yang terlihat sebagai usahanya dalam mencapai “American dream”-nya sendiri. Jadi, jika “American dream” Max dan Caroline adalah Max‟s Homemade Cupcake, dapat disimpulkan bahwa Korean-American dream yang dimiliki oleh tokoh Han adalah restoran Williamsburg Diner. Dibandingkan dengan tokoh minoritas lain dalam sitkom ini, Earl yang paling sulit dilihat kepemilikan “American dream”-nya. Sebagai tokoh yang paling tua di restoran, Earl lebih ditunjukkan seperti seorang pria yang sebisa mungkin menikmati hidupnya di penghujung umurnya. Bekerja di restoran tersebut pun sebenarnya hanya untuk membiayai hidup lebih lama saja, sehingga tidak terlihat seperti mengejar sesuatu lagi dalam hidup. Adegan dalam season 1 episode 6, dimana Caroline menjual album CD Earl kepada beberapa pelanggan restoran, seperti menunjukkan bahwa Earl seakan-akan telah mewujudkan "American dream"-nya. Keberadaan album tersebut seperti menyatakan bahwa Earl sebagai seorang musisi jazz memang sudah mencapai tujuan hidupnya di masa lampau, yaitu menerbitkan album jazznya sendiri. Namun, pada kenyataannya, kehidupan Earl di masa sekarang justru seperti tidak mencerminkan kesuksesan. Penjualan album CD Earl dapat dikatakan tidak terlalu berhasil untuk menyokong biaya hidupnya, sehingga mengharuskan dirinya untuk mengambil pekerjaan lagi sebagai kasir di Williamsburg Diner. Meski ia adalah seorang musisi yang telah memiliki album sendiri, keberadaan dirinya juga tidak begitu dikenal publik. Ia hidup sendiri tanpa keberadaan istri dan anak di sekitarnya dan satu-satunya kehangatan keluarga yang ia dapatkan hanya di dalam komunitas restoran tempat ia bekerja, 11 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
dimana terdapat Max, Caroline, Han, Oleg, dan Sophie. Hal tersebut membawa kepada pemahaman yang lebih dalam mengenai makna kesuksesan dan “American dream” bagi Earl. Respek dan rasa kekeluargaan yang Earl dapat dari komunitas restoran, seperti membuat Earl terlihat “diterima” dan setara dengan sekitarnya. Dalam sitkom ini juga ditunjukkan bagaimana Earl mendapatkan perhatian lebih dari Max yang sudah menganggap Earl seperti ayah sendiri. Hal ini semakin mendukung bahwa Earl, sebagai bangsa kulit hitam, telah diterima dan, bahkan, memiliki hubungan spesial dengan bangsa kulit putih. Dengan demikian, dapat dikatakan “African-American dream” bagi Earl adalah kesetaraan hak sebagai kulit hitam dan penerimaan dari sekitarnya, terutama kelompok mayoritas kulit putih. Telah diketahui sebelumnya bahwa Oleg bekerja sebagai seorang juru masak di Williamsburg Diner. Disamping itu, Oleg juga terlibat dalam jual-beli barang-barang ilegal dengan rekan atau kenalannya dalam komunitas Eropa Timur. Dua pekerjaan inilah yang selama ini menyokong hidup Oleg. Belum ada plot atau narasi dari sitkom ini yang secara jelas menceritakan atau membicarakan keluarga Oleg, sehingga dapat dikatakan tujuan hidup imigran Ukraina di Amerika untuk memperbaiki kehidupan keluarga imigran tidak ditunjukkan pada Oleg dalam sitkom, tetapi lebih kepada memperbaiki kehidupan sendiri. Dengan demikian, wujud “Ukrainian-American dream” yang dimiliki oleh tokoh Oleg adalah pekerjaannya sebagai juru masak di Williamsburg Diner. Sophie, dalam episode “And the Upstairs Neighbor” (season 1 episode 14) dengan jelas menyebutkan mimpi dan tujuan hidupnya di Amerika kepada Max dan Caroline ketika sedang berbincang mengenai Max‟s Homemade Cupcake: “You know I too have big dream. I am building summer house by lake in Poland.” (King & Cummings, 2012).
Dari ilustrasi di atas, terlihat Sophie yang bahkan sampai membawa model bangunan impiannya tersebut di tasnya, kemana pun ia pergi, dengan alasan “... to remember where I’m going.” (King & Cummings, 2012). Untuk membiayai proses pembangunan rumah tersebut, 12 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
Sophie membuka bisnis cleaning service Sophie‟s Choice, yang sempat merekrut Max dan Caroline juga. Jadi, sudah jelas bahwa “Polish-American dream” milik Sophie adalah rumah impian yang sedang ia bangun di Polandia. Namun, pada episode 11 season 2, impian Sophie harus terkubur karena ia menjadi korban penipuan oleh kontraktor proyek pembangunan rumah impiannya tersebut di Polandia. Tidak hanya karena kerugian uangnya, Sophie terlihat sangat berduka hingga tenggelam dalam kedepresian karena baginya “it’s not the money! Everybody thinks it’s the money! It’s more than that! My lake house was my dream and I lost my dream!” (King & Cummings, 2012). Max kemudian menawarkan kepada Sophie untuk menjadi “bagian” dari mimpinya dan Caroline, dengan menjadikan Sophie sebagai “silent partner” bisnis cupcake mereka, sekaligus sebagai balas budi keduanya atas bantuan dana yang Sophie pernah berikan sebelumnya untuk membeli toko. Setelah kedua pihak menyetujui, Sophie tetap melanjutkan Sophie‟s Choice, sambil mendukung “dream” dari Max dan Caroline. Secara singkat, penjelasan dalam paragraf-paragraf di atas menunjukkan “American dream” dari para tokoh minoritas. Pada dasarnya, kesemuanya memiliki kesamaan dengan yang dimiliki oleh para tokoh kulit putih, yaitu merupakan suatu impian dari individuindividu tersebut. Namun, yang membedakan adalah bagaimana keempat tokoh minoritas ini menyikapi “American dream”-nya tersebut, dibandingkan dengan para gadis cupcake menyikapi bisnis cupcake-nya. Sitkom ini memperlihatkan bagaimana Max dan Caroline sangat berapi-api dan nyaris akan melakukan segala hal untuk memperjuangkan bisnis cupcake mereka, mulai dari meminta bantuan orang di sekitarnya hingga sebisa mungkin berusaha sendiri. Meski dikarenakan juga oleh judulnya yang memang memusatkan kedua wanita ini sebagai fokus cerita, lingkungan sekeliling Max dan Caroline pun terlihat seperti berfokus kepada bisnis cupcake itu, seperti lingkungan tempat mereka bekerja, Williamsburg Diner. Keempat tokoh minoritas, dari bos, rekan-rekan kerja, hingga tetangga mereka pun seperti ikut sibuk mewujudkan Max‟s Homemade Cupcakes, walaupun kenyataannya, seperti yang telah disebutkan di atas, keempatnya juga memiliki “American dream”-nya masingmasing. Terlihat dari hasil perjalanan keempatnya menyangkut “American dream” mereka: Han terlihat sukses dengan kepemilikan restorannya, namun dari awal season 1 hingga akhir season 3 tidak ada perubahan atau perkembangan signifikan di restorannya; Earl mungkin merasa cukup dengan keadaannya sekarang sebagai seorang penjaga kasir, namun dengan kemahiran bermusiknya, seharusnya ia dapat menekuni kembali talenta itu dan membuat dirinya lebih sukses; Oleg dengan segala koneksinya di dunia jual-beli ilegal seharusnya dapat 13 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
menyokong kehidupannya lebih dari hanya sekedar koki restoran kecil, dan; Sophie sebagai seorang wanita cantik, memiliki prospek karir yang baik, dan cukup mapan pada akhirnya tetap bergantung dengan bisnis cupcake Max dan Caroline, daripada menggiati bisnis awal cleaning service miliknya. Berbeda dengan Max dan Caroline, yang meski mengalami suka dan duka karena keuntungan dan kerugian dalam berbisnis, bisnis cupcake-nya tetap memiliki perkembangan yang terus-menerus membaik. Bahkan, dalam season 3, sudah terwujud dan yang mereka perjuangkan kini hanyalah bagaimana bisnis tersebut bertahan dengan baik, sehingga mereka tidak perlu lagi menyokong kehidupan mereka dengan berprofesi sebagai pelayan, demi kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, sitkom 2 Broke Girls ini seperti memperlihatkan bahwa para tokoh minoritas hanya memandang “American dream”-nya sebagai sesuatu yang tidak perlu diperjuangkan lebih. Terlihat dari hasil perjuangan keempat tokoh minoritas terkesan seperti tidak ada perubahan signifikan dan kesuksesan yang lebih, malah ada yang mengalami kerugian. Meski terlihat sama-sama bekerja, tidak ada dari mereka yang seoptimis dan segiat kedua wanita kulit putih Max dan Caroline. Sementara, Max dan Caroline memandang “American dream”-nya seperti sesuatu yang harus ditekuni dan dipercayai untuk berhasil. Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa sitkom ini menunjukkan bahwa “American dream” seperti hanya akan dimiliki oleh tokoh kulit putih, karena sifat giat, tekun, dan optimisnya. Sedangkan, tokoh minoritas diperlihatkan seperti individu-individu yang suram, kurang berusaha, pesimis, dan acuh dengan masa depannya, sehingga sulit untuk mencapai “American dream” secara optimal. Kesimpulan Dalam 2 Broke Girls, American Dream yang dimiliki ras dan etnis minoritas tergambar dari penokohan para pekerja Williamsburg Diner. Untuk penokohan para tokohnya, 2 Broke Girls menggunakan stereotipe-stereotipe yang dibalut dengan humor. Stereotip-stereotip ras dan etnis minoritas ini dibedakan berdasarkan latar belakang budaya, aksen dan gaya berbicara, pekerjaan dan penampilan. Setelah penggunaan stereotip telah mengkategorisasikan para tokoh, “American dream” mereka dapat terlihat. “American dream” tokoh ras dan etnis minoritas dalam serial televisi ini juga merupakan sesuatu yang distereotipkan. Impian-impian yang dimiliki Han, Oleg, Earl dan Sophie merupakan impian-impian yang diasumsikan dimiliki oleh ras dan etnis minoritas yang mereka wakilkan. Akan tetapi, dalam Williamsburg Diner yang disebut dengan mini-America itu “American dream” yang dimiliki tokoh-tokoh
14 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
berlatar belakang ras dan etnis minoritas tidak mendapat begitu banyak sorotan. Sebaliknya, “American dream” yang dimiliki tokoh kulit putih-lah yang mendapat perhatian utama. Tokoh-tokoh berlatar belakang ras dan etnis minoritas justru ditunjukkan lebih banyak terlibat pada perwujudan “American dream” kedua tokoh kulit putih. Hubungan erat antara para tokoh minoritas dan kulit putih menjadi penyebab dan alasan dari keberadaan keterlibatan tersebut. Penitikberatan “American dream” Max dan Caroline, sebagai dua tokoh utama kulit putih, menunjukkan bahwa konsep “American dream” yang katanya menjadi milik semua orang di Amerika ternyata hanya mitos belaka. Keterlibatan tokoh-tokoh ras dan etnis minoritas dalam perwujudan ”American dream” Max dan Caroline menunjukkan bahwa “American dream” hanya mampu diraih oleh kulit putih, sedangkan “American dream” yang dimiliki ras dan etnis minoritas merupakan hal yang tidak nyata.
Daftar Referensi Banks, T. L. (2008). Dangerous Woman: Elizabeth Key's Freedom Suit - Subjecthood and Racialized Identity in Seventeenth Century Colonial Virginia. Akron Law Review , 799-836. Chang, M. J. (2013). Tiger mom adds to stereotype that burdens Asian-American students. Dipetik Oktober 20, 2013, dari UCLA Today: Faculty and Staff News: http://today.ucla.edu/portal/ut/PRN-tiger-moms-191465.aspx Goodman, T. (2011, Oktober 24). The Sorry State Of '2 Broke Girls': Racism and Lame Sex Jokes. Dipetik April 22, 2014, dari The Hollywood Reporter: http://www.hollywoodreporter.com/bastard-machine/sorry-state-2-broke-girls-252579 Goodwin, A., & Whannel, G. (2005). Understanding Television. New York: Taylor & Francis e-Library. Hibberd, J. (2012, Januari 11). '2 Broke Girls' creator fights critics, denies racism charge, during riveting debate. Dipetik April 22, 2014, dari Inside TV - EW.com: http://insidetv.ew.com/2012/01/11/2-broke-girls-tca/ Kondolojy, A. (2014, Maret 13). CBS Renews 'The Good Wife', 'The Millers', 'Two and a Half Men', 'Hawaii Five-0', 'Mom', 'Blue Bloods', 'Elementary' and 11 More. Dipetik April 22, 2014, dari TV by the Numbers: http://tvbythenumbers.zap2it.com/2014/03/13/cbsrenews-the-good-wife-the-millers-two-and-a-half-men-hawaii-five-0-and-13more/244495/
15 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014
Mingiuc, A. (2010). Key Concepts of Puritanism and the Shaping of the American Cultural Identity. Philologica Jassyensia , 211-217. Pew Research Center. (2012). The Rise of Asian-Americans. Washington, D. C.: Pew Social & Demographic Trends. Rodríguez, A. C. (2009). Costello + Panza = Costanza: Paradigmatic Pairs in Don Quixote and American Popular Culture. Seidman, R. (2011, Juni 29). CBS Announces Fall 2011 Premiere Dates. Dipetik April 22, 2014, dari TV by the Numbers: http://tvbythenumbers.zap2it.com/2011/06/29/cbsannounces-fall-2011-premiere-dates/96883/ Waller, J. (1998). Face to face: The changing state of racism across America. New York: Plenum Publishing Co.
16 Keterlibatan tokoh..., Ruth Vania Christine Pasaribu, FIB, 2014