Artikel Penelitian
Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas
Nastiti Kaswandani, Nastiti N Rahajoe, Sudijanto Kamso Kelompok Kerja (Pokja) TB Anak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Abstrak: Permasalahan yang sering dihadapi dalam pengendalian tuberkulosis (TB) pada anak adalah sulitnya penegakan diagnosis. Hal ini disebabkan oleh gejala yang tidak khas dan sulitnya mendapatkan spesimen yang representatif dan berkualitas baik. Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan penunjang yang penting dalam menentukan adanya infeksi TB pada anak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi apakah tenaga kesehatan di puskesmas dapat melaksanakan pemeriksaan uji tuberkulin dan membandingkan hasil pembacaan uji tuberkulin oleh dokter anak, dokter umum, dan perawat. Duaratusempatpuluh anak tersangka TB dilakukan uji tuberkulin dengan cara Mantoux (intrakutan). Sensitivitas dan spesifisitas uji tuberkulin dokter umum dibandingkan dokter spesialis anak berturut-turut adalah 94% dan 96%, sedangkan sensitivitas dan spesifisitas uji tuberkulin perawat dibandingkan dokter umum berturut-turut adalah 94% dan 100%. Rasio kemungkinan positif (positive likelihood ratio) pada kedua kelompok perbandingan tersebut berturut-turut, yaitu 26,44 dan tak terhingga. Kesimpulan penelitian ini yaitu perawat di puskesmas dapat melakukan pembacaan hasil uji tuberkulin sebaik dokter umum, demikian halnya dokter umum dapat membaca hasil uji tuberkulin sebaik dokter spesialis anak. Kata kunci: keselarasan, uji tuberkulin, perawat, dokter umum, dokter spesialis anak
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011
25
Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan
The Accordance of Tuberculin Skin Test Reading by Health Workers in Primary Health Care Nastiti Kaswandani, Nastiti N Rahajoe, Sudijanto Kamso Pediatric TB Working Group, Ministry of Health, Republic of Indonesia, Jakarta
Abstract: The main problem in managing tuberculosis (TB) in children is the difficulty of establishing the diagnosis. Those problems are due to unspecific TB symptoms in children and the difficulty in obtaining representative and good quality specimens. Tuberculin skin test (TST) is an important diagnostic tool to identify TB infection in children. This study was aimed to evaluate whether the health nurses in primary health care (puskesmas) could perform TST and to evaluate whether they also could measure as accurate as medical doctors and pediatricians. Two hundred and forty children suspected TB in puskesmas were injected with tuberculin using Mantoux method. The sensitivity and specificity of measurement by general practitioners compared to pediatricians were 94% and 96% respectively, while the sensitivity and specificity of measurement by nurses compared to general practitioners were 94% and 100% respectively. The positive likelihood ratios of both comparison groups were 26.44 and undefined. This study concluded that the medical nurses could perform and measure the results as accurate as the general practitioners so could the general practitioners compared to pediatricians. Key words: accordance, tuberculin skin test, nurse, general practitioner, pediatrician
Pendahuluan Pengendalian tuberkulosis (TB) merupakan salah satu indikator keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai oleh Indonesia dan negara anggota PBB lainnya, yaitu menurunnya angka kesakitan dan angka kematian TB menjadi setengahnya pada tahun 2015 dibandingkan angka tahun 1990. Prevalensi TB masih tinggi di seluruh provinsi, dan Indonesia saat ini menempati peringkat kelima sebagai negara dengan pasien TB terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria.1-3 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta ko-infeksi TB pada anak dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologi. Pada anak sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik. Seringkali, sekalipun spesimen diperoleh, Mycobacterium tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun biakan.4-5 Sebagai salah satu pemecahan masalah kesulitan diagnosis TB Anak, Kelompok Kerja (Pokja) TB Anak Kemkes RI membuat suatu sistem skoring diagnosis TB Anak. Skoring TB anak diharapkan dapat menjadi acuan bagi dokter yang 26
bertugas di sarana kesehatan dengan fasilitas terbatas, misalnya di puskesmas. Skoring TB Anak terdiri dari beberapa poin, salah satu poin yang memiliki bobot skor tinggi adalah uji tuberkulin.6-7 Teknik penyuntikan secara intrakutan telah banyak dipraktekkan oleh tenaga kesehatan, misalnya imunisasi BCG atau tes alergi sebelum pemberian antibiotik intravena. Pembacaan hasil uji tuberkulin memerlukan ketrampilan tersendiri, sehingga terdapat keraguan apakah petugas kesehatan selain dokter dapat melakukannya sebaik dokter atau dokter spesialis anak. Hal ini perlu diketahui mengingat data yang ada menunjukkan bahwa terdapat 12 provinsi di Indonesia yang memiliki rasio dokter perpuskesmas kurang dari satu, belum lagi masalah distribusinya.8 Oleh sebab itu, banyak puskesmas yang mengandalkan tenaga perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan membandingkan pembacaan hasil uji tuberkulin antara petugas kesehatan (perawat) dengan dokter umum di puskesmas serta dokter umum dengan dokter spesialis anak. Metode Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang, yaitu uji diagnosis untuk mengevaluasi akurasi pembacaan tes tuberkulin yang dilakukan oleh dokter umum dibanMaj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011
Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan dingkan dengan dokter spesialis anak dan oleh perawat dibandingkan dengan dokter umum. Studi ini merupakan bagian dari studi penggunaan skoring sistem oleh tenaga kesehatan di layanan kesehatan yang terbatas, seperti puskesmas. Penelitian ini dilakukan di dua provinsi, yaitu di Manado, Sulawesi Utara dan Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tahun 2007. Dari tiap kota dipilih 6 puskesmas dan dari tiap puskesmas diambil 20 pasien anak dengan kecurigaan TB secara konsekutif. Kriteria inklusi adalah pasien berusia 0 sampai 14 tahun yang datang dengan kecurigaan penyakit TB, yaitu apabila terdapat salah satu dari gejala, seperti batuk yang menetap minimal tiga minggu dengan kemungkinan penyebab lain telah disingkirkan, berat badan menurut umur kurang dari 80% berat badan ideal, dan gejala sakit yang tidak jelas penyebabnya yang sudah berlangsung selama minimal dua minggu (termasuk di dalamnya gejala demam berkepanjangan, keluhan gastrointestinal yang tidak jelas penyebabnya). Kriteria eksklusi adalah pasien yang orangtuanya menolak berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prosedur Pemeriksaan Uji tuberkulin dikerjakan dengan menggunakan PPD (protein purified derivatives) RT23 2TU yang diproduksi oleh Staten Institute, Kopenhagen, Denmark. Prosedur melakukan uji tuberkulin menggunakan cara Mantoux, yaitu dengan menyuntikkan 0,1 mL PPD secara intrakutan pada daerah volar lengan bawah. Petugas yang melakukan uji tuberkulin adalah perawat yang sudah dilatih secara khusus dalam persiapan studi ini selama dua hari. Setiap puskesmas mengirimkan dua perawat dan satu dokter umum untuk dilatih. Pada hari ketiga penyuntikan, hasil penyuntikan dibaca oleh dua petugas, yaitu perawat dan dokter umum; atau dokter umum dan dokter spesialis anak. Antarpembaca hasil penyuntikan tidak saling mengetahui hasil pembacaan petugas lainnya. Hasil uji tuberkulin dinilai dengan ballpoint, namun oleh karena perlunya penyamaran ganda (double blind) maka ballpoint diganti dengan spidol yang bekas coretannya mudah dihapus. Pembaca pertama yang melakukan pengukuran akan menghapus bekas coretan sehingga tidak diketahui oleh pembaca berikutnya. Alat yang digunakan untuk mengukur indurasi adalah mistar berbahan plastik yang lentur dan transparent. Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila didapatkan diameter indurasi 10 mm atau lebih (tanpa melihat status BCG).4,5,9 Analisis Statistik Analisis statistik yang dilakukan pada penelitian ini ialah uji deskriptif. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel 2x2. Baku emas pemeriksaan dokter umum adalah hasil pemeriksaan dokter spesialis anak, sedangkan baku emas Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011
pemeriksaan perawat adalah hasil pemeriksaan dokter umum. Setelah itu, dilakukan perhitungan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, dan rasio kemungkinan positif/negatif dengan interval kepercayaan sebesar 95%. Hasil Sebanyak 240 pasien anak dengan diagnosis tersangka TB dievaluasi dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa uji tuberkulin. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 120 subjek pembacaan dilakukan oleh perawat dibandingkan dengan dokter umum sebagai baku emas dan 120 subjek pembacaan oleh dokter umum dibandingkan dengan dokter spesialis anak sebagai baku emas. Merujuk hasil pemeriksaan dokter spesialis anak sebagai baku emas, nilai diagnostik pembacaan oleh dokter umum didapatkan false positive pada tiga subjek dan false negative pada dua subjek dari 120 subyek (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Pembacaan Uji Tuberkulin oleh Dokter Umum Dibandingkan dengan Dokter Spesialis Anak Pembacaan oleh Dokter Umum
Pembacaan oleh Dokter Spesialis Anak Positif Negatif
Jumlah
Positif Negatif
34 2
3 81
37 83
Jumlah
36
84
120
Sedangkan jika merujuk hasil pemeriksaan dokter umum sebagai baku emas, maka nilai diagnostik pembacaan oleh perawat didapatkan dua false negative dari 120 pembacaan oleh perawat dibandingkan dokter umum (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Pembacaan Uji Tuberkulin TB oleh Perawat Dibandingkan dengan Dokter Umum Perawat
Pembacaan oleh Dokter Umum Positif Negatif
Jumlah
Positif Negatif
31 2
0 87
31 89
Jumlah
33
87
120
Selain dilakukan perhitungan sensitivitas dan spesifisitas terhadap skoring TB oleh perawat terhadap dokter umum dan oleh dokter umum terhadap dokter anak, dilakukan pula penilaian terhadap nilai-nilai diagnostik lainnya seperti yang tersaji pada tabel 3. Pada perhitungan nilai diagnostik perawat terhadap dokter umum, jumlah false positive adalah nol sehingga rasio kemungkinan positif tak terhingga. 27
Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan Tabel 3. Perbandingan Nilai-Nilai Diagnostik Nilai Diagnostik
Sensitivitas Spesifisitas Nilai prediksi positif Nilai prediksi negatif Rasio kemungkinan positif Rasio kemungkinan negatif
Dokter umum terhadap Dokter Spesialis Anak 94% (95% IK 87-100) 96% (95% IK 92-100) 92% (95% IK 83-100) 98% (95% IK 94-100) 26,44 (95% IK 8,86-80,57) 0,06 (95% IK 0,01-0,22)
Diskusi Pembacaan hasil uji tuberkulin secara sepintas merupakan tindakan yang tidak sulit, akan tetapi pembacaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah dilatih untuk menghindari ketidakakuratan. Suatu studi mendapatkan perbedaan hasil pembacaan yang terjadi antar beberapa kelompok tenaga kesehatan, seperti dokter anak, dokter umum, perawat anak, perawat umum dan lainnya.10 Kesulitan pembacaan terutama disebabkan oleh kaliber eritema yang berbeda dengan diameter indurasi ini dikemukakan oleh Toivgoogiin et al11 dan Nishio et al12 di Jepang. Sejalan dengan hal tersebut di atas, Center of Disease Control (CDC) menetapkan bahwa pembacaan hasil uji tuberkulin harus dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih, bahkan program TB nasional di North Carolina (USA) menetapkan bahwa melakukan penyuntikan dan pembacaan uji tuberkulin tidak boleh didelegasikan, tetapi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berlinsensi. 13 Pedoman manajemen TB di Kanada menyebutkan bahwa untuk mengurangi variasi pembacaan maka pelayanan kesehatan dapat melatih petugas dan kader kesehatan untuk melakukan penyuntikan dan membaca hasil uji tuberkulin.14 Sensitivitas dan spesifisitas pembacaan uji tuberkulin pada studi ini oleh dokter umum terhadap dokter spesialis anak dan perawat terhadap dokter umum mencapai nilai yang cukup baik. Pada studi ini, perawat dan dokter umum yang dilibatkan dalam penelitian terlebih dahulu mendapat pelatihan bagaimana cara melakukan dan membaca hasil pengukuran uji tuberkulin. Hasil studi ini menunjukkan bahwa perawat yang telah dilatih dapat mengukur hasil uji tuberkulin sebaik dokter umum. Suatu penelitian di NewYork mencoba membandingkan pembacaan oleh pasien (dewasa) sendiri dengan petugas kesehatan terlatih. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa meskipun pasien dapat mendeteksi adanya indurasi atau tidak, namun pada kelompok pasien terdapat variabilitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan kelompok petugas kesehatan.15 Kelemahan penelitian ini adalah tidak adanya data pembanding lain sebagai penentu kepastian adanya infeksi alamiah TB yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Uji tuberkulin sebagai alat penunjang diagnosis TB pada anak memang memiliki kekurangan, di antaranya reaksi silang dengan imunisasi BCG terutama pada anak
28
Perawat terhadap Dokter umum 94% (95% IK 100% (95% IK 100% (95% IK 98% (95% IK Tak terhingga 0,06 (95% IK
86-100) 100-100) 100-100) 95-100) 0,02-0,23)
kurang dari 5 tahun dan reaksi silang dengan infeksi Mycobacterium lainnya. Selain itu, uji tuberkulin juga dapat menunjukkan hasil negatif meskipun ada infeksi pada kondisi yang disebut dengan anergi. Kondisi yang termasuk dalam anergi adalah anak dengan gangguan sistem imunitas tubuh seperti karena HIV, gizi buruk, konsumsi obat imunosupresi jangka panjang, keganasan serta infeksi berat seperti campak, cacar air dan pertussis.4,16,17 Saat ini banyak studi mengemukakan tentang kelebihan pemeriksaan interferon gama untuk mendeteksi infeksi TB.5,18,19 Pemeriksaan interferon gama dapat mengatasi kekurangan uji tuberkulin, namun pemeriksaan ini belum tersedia di Indonesia. Pada studi ini petugas kesehatan dilatih untuk membaca dengan metode ballpoint. Penelitian yang dilakukan oleh Bouros20 maupun Pouchot21 mendapatkan bahwa teknik palpasi dengan metode ballpoint menghasilkan hasil koefisien variasi antar pemeriksa yang sama dan kedua studi ini lebih merekomendasikan metode ballpoint untuk petugas yang kurang berpengalaman. Alat pengukur indurasi pada penelitian ini menggunakan mistar plastik yang lentur dan transparan. Mengingat nantinya hasil studi ini diimplementasikan di daerah terpencil, mistar ini mudah didapat dan harganya murah sehingga tersedia di daerah terpencil. Suatu studi yang dilakukan oleh Geldenhuys et al 22 mendapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna variabilitas hasil pengukuran uji tuberkulin yang menggunakan mistar dibandingkan dengan alat yang lebih canggih, yaitu jangka ukur (caliper). Kesimpulan Pembacaan hasil uji tuberkulin oleh perawat memiliki kelarasan dengan hasil pembacaan oleh dokter umum, demikian halnya dengan pembacaan hasil uji tuberkulin oleh dokter umum memiliki akurasi sebaik pembacaan oleh dokter spesialis anak. Penulis merekomendasikan uji tuberkulin (sebagai bagian dari sistem skoring diagnosis TB anak) dapat dilakukan oleh tenaga non-dokter (perawat) yang sebelumnya telah memperoleh pelatihan singkat mengenai teknik melakukan dan membaca hasil uji tuberkulin di daerah terpencil dengan keterbatasan tenaga dokter. Daftar Pustaka 1.
WHO. Global tuberculosis control: a short update to 2009 report. Geneva: WHO Press; 2009.h.4-8.
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011
Keselarasan Pembacaan Hasil Uji Tuberkulin oleh Tenaga Kesehatan 2. 3.
4.
5. 6.
7. 8.
9.
10.
11.
12.
13.
WHO. Global tuberculosis control: epidemiology, strategy, financing: WHO report 2009. Geneva: WHO Press; 2009. h.7-15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h.103-6. Marais BJ, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N, Donald PR, Starke JR. Childhood pulmonary tuberculosis: old wisdom and new challenge. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:1078-90. Marais BJ, Pai M. Recent advances in the diagnosis of childhood tuberculosis. Arch Dis Child. 2007;92:446-52. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2007.h.24-7. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kajian kebijakan perencanaan tenaga kesehatan. Jakarta: Bapppenas; 2005.h.23-51. WHO. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva: WHO Press; 2006.h.25-6. Kendig EL, Kirkpatrick B, Carter H, Anne F, Caldwell K, Entwistle M. Underreading of the tuberculin skin test reaction. Chest. 1998;113:1175-7. Toivgoogiin A, Toyota M, Yasuda N, Ohara H. Validity of using tuberculin skin test erythema measurement for contact investigation during a tuberculosis outbreak in schoolchildren previously vaccinated with BCG. J Epidemiol. 2005;15:56-64. Nishio K, Suzuki K, Sunami Y, Shimura A, Igari H, Nagao K. Problems about tuberculin skin test raised from consultations and countermeasures -influence to the interpretation of tuberculin skin test in case of the stoppage of BCG revaccination abolition and the introduction of induration measurement. Kekkaku. 2002;77:639-45. Advisory Committee Statements and Supplements to the CCDR. Guidelines for preventing the transmission of tuberculosis in canadian health care facilities and other institutional settings.
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
CCDR Supplement Volume 21S1. Ottawa: Public Health Agency of Canada; 1996. North Carolina Tuberculosis Control. NC TB control program policy manual. Edisi ke-10. North Carolina: NC TB Control; 2009.h.II1-9. Ozuah PO, Burton W, Lerro KA, Rosenstock J, Mulyihill M. Assessing the validity of tuberkulin skin test readings by trained professionals and patients. Chest. 1999;116:104-6. Farhat M, Greenaway C, Pai M, Menzies D. False-positive tuberculin skin tests: what is the absolute effect of BCG and nontuberculous mycobacteria? Intl J Tuberc Lung Dis. 2006;10:11921204. Wang L, Turner M, Elwood R, Schulzer M, FitzGerald J. A metaanalysis of the effect of Bacille Calmette Guérin vaccination on tuberculin skin test measurements. Thorax. 2002;57:804-9. Diel R, Loddenkemper R, Nienhaus A. Evidence based comparison of commercial interferon-gamma release assays for detecting active tuberculosis % a meta-analysis. Chest. 2009 [sitasi 28 Juni 2010]; pre published online. Diunduh dari http:// chestjournal.chestpubs.org/content/early/2009/12/17/chest.092350. Chang KC, Leung CC. Systematic review of interferon-gamma release assays in tuberculosis: focus on likelihood ratios. Thorax. 2010;65:271-6. Bouros D, Zeros G, Panaretos C, Vassilatos C, Siafakas N. Palpation vs pen method for the measurement of skin tuberculin reaction (Mantoux test). Chest. 1991;99:416-9. Pouchot J, Grasland A, Collet C, Coste J, Esdaile JM, Vinceneux P. Reliability of tuberculin skin test measurement. Ann Intern Med. 1997;126:210-4. Geldenhuys H, Verver S, Surtie S, Hatherill M, van Leth F, Kafaar F, et al. The tuberculin skin test: a comparison of ruler and calliper readings. Intl J Tuberc Lung Dis. 2010;14:1266-71. KN
29