MURNIRAMLI
Berguru
Keseimbangan di Alam Dalam Belajar Kepada Alam di September 12, 2013 pada 3:35 pm Sudah hampir dua bulan saya berkebun dengan sistem organik. Saya tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Memang cukup berat, apalagi dengan serangan ulat yang baru-baru ini muncul. Dua pot seledri habis dimakan ulat. Daun-daun bayam, ubi jalar, bahkan bawang daun pun dilahapnya. Yang paling menyedihkan, bibit cabe yang baru saja keluar dua daunnya pun dihabisinya.
Setelah saya selidiki, ulat-ulat tersebut ternyata berasal dari sayur kangkung yang dibawakan mahasiswa dari Lombok, yang dengan pesatnya beranak pinak. Kangkung tersebut kemudian saya lemparkan ke kolam lele, tentu saja beserta ulat-ulatnya. Sementara yang lainnya, yaitu yang bersarang dan menyembunyikan telurnya di antara daun atau di dalam daun bawang bombay, saya basmi dengan cara alami dan “mengerikan”, yaitu saya matikan satu per satu dengan tangan. Alhamdulillah ulat-ulat itu sekarang sudah tidak tampak lagi, tetapi serangan berikutnya adalah kutu-kutu yang tidak mau hilang dari daun seledri. Saya mencoba mengantisipasinya dengan penyemprotan yg cukup
kencang, dan merendam tanaman dengan air. Ketika kutu ini sempat menyerang tanaman bunga yang sekarang sedang rajin berbunga, saya masih sempat memeriksa dan mematikannya helai demi helai. Juga ketika mereka menyerang tanaman kacang panjang yang saya tanam di awal. Kutu-kutu ini menjadi vektor virus, sehingga beberapa tanaman kacang panjang saya kerdil. Yang agak sulit untuk dibasmi, dan kadang-kadang saya biarkan saja adalah ulat bulu yang akan menjadi kupu-kupu. Berawal dari tanaman bunga yang cukup menarik kupu-kupu indah hilir mudik di kebun. Kupukupu itu tidak hanya menari di atas bunga, tetapi sekaligus bertelur yang kemudian berkembang menjadi ulat bulu. Ada beberapa ulat bulu yang saya biarkan saja, yang penting mereka tidak menggerogoti tanaman peliharaan saya. Ulat bulu tergolong rakus, tetapi ada yang menarik dari pengaturan di alam. Saya membiarkan semua gulma tumbuh subur di kebun. Tidak ada yang saya cabuti, kecuali kalau sudah benar-benar mengganggu. Maka, jika lahan kebun biasanya bersih dari rumput, bayam berduri, pegagan, saya justru membiarkan mereka. Tindakan ini cukup mujarab, karena beberapa hama tidak mendekati tanaman utama saya. Ulat bulu misalnya lebih suka menempel di salah satu gulma yang berbunga kuning kecil. Satu gulma bisa gundul daunnya dimakan oleh 2-3 ekor ulat bulu yang menempel kencang di batang-batangnya. Sementara bayam berduri tidak diminati semua hama, karena durinya barangkali. Sehingga terong yang saya sandingkan dengan bayam berduri, aman dari serangan hama apapun, dan sekarang sudah mulai muncul calon buahnya.
Tanaman jagung manis yang saya tanam kira-kira 1,5 bulan yang lalu, sekarang sudah semakin besar bahkan mengalahkan tinggi badan saya yang hanya 150 cm. Jagung-jagung tumbuh subur, bahkan sering menjadi tanda tanya bagi orang yang lewat, diberi apa sehingga bisa demikian. Saya tidak memberinya apa-apa, kecuali air yang setiap hari saya kucurkan ke lahan. Di sela-sela daun jagung kadang-kadang ada sarang laba-laba yang saya biarkan menghiasi kebun. Jika penyiraman saya lakukan pagi hari, maka sangat indah menyaksikan butiran embun di jaring laba-laba. Beberapa bibit tanaman tumbuh dari biji-biji yang saya lemparkan setelah makan buah-buahan dan sayuran. Saya agak kelimpungan menangani bibit ini, sehingga saya membiarkannya memenuhi lahan saja. Begitulah, tanaman dan hewan-hewan kecil di kebun saya bersinergi, dan berbagi kehidupan. Allah telah memberikan kepercayaan kepada tangan ini untuk merawatnya, tetapi “nyawa” tanaman tersebut tetaplah milikNya. Adakalanya benih yang saya semai tumbuh dengan suburnya, dan kadangpula benih tersebut tak muncul sedikitpun ke permukaan. Subhanallah atas segala fenomena mengagumkan ini !
Semoga bisa menjadi saudara Dalam Belajar Kepada Alam, Serba-serbi Indonesia di Agustus 11, 2013 pada 10:40 am Wilayah tinggal saya yang baru adalah daerah pedesaan yang mendekati perkotaan. Rumah-rumah penduduk adalah rumah batu, sekalipun di sana-sini masih ada rumah dari bambu. Alamnya masih asri. Setiap pagi masih ramai kicauan burung, suara ayam berkokok, sapi melenguh, dan kambing-kambing mengembik. Saya sudah lama sekali mencari lokasi rumah yang cocok, dan persyaratan saya sederhana saja : dekat masjid, bisa diakses dengan kendaraan umum, dan ada sisa tanah untuk berkebun. Beberapa rumah dijual yang saya temukan informasinya di internet, atau berdasarkan info dari teman, saya sambangi satu per satu. Tetapi tak ada satupun yang cocok, sampai akhirnya saya menemukan lokasi yang sekarang saya tinggali. Sebelum memutuskan membeli, saya sudah bertanya banyak hal tentang penduduk setempat, kebiasaan, pekerjaan, dan pola hidup mereka. Kebanyakan mereka adalah petani atau buruh tani. Sebagian lagi membuat krupuk, dan sisanya bekerja di kota. Sekitar seminggu menempati rumah yang baru, saya sebagai warga baru merasa perlu mengunjungi tetangga saya satu per satu untuk memperkenalkan diri sekaligus untuk menyampaikan permohonan ijin untuk menjadi tetangga mereka. Sehari sebelumnya, saya sudah kulo nuwun ke Pak dan Bu RT yang sangat ramah. Tetangga saya kebanyakan adalah orang-orang tua yang sehat-sehat. Kadang-kadang saya lihat mereka pagi-pagi berjalan-jalan tanpa alas kaki, sesekali menggerak-gerakkan tangan ke atas,
mengingatkan saya kepada nenek kakek di kampung halaman di Bone yang bepergian ke mana-mana tanpa alas kaki. Yang membuat saya terharu ketika menjabat tangan mereka satu per satu adalah ucapan mereka dalam bahasa Jawa yang halus, “Mugi-mugi dadhi sedherek” (Semoga dapat menjadi saudara) . Bahkan di antara mereka ada yang tergopoh mendatangi dan mendoakan supaya saya betah di rumah yang baru. Saya merasa seperti berada di dalam sebuah keluarga besar yang penuh dengan keramahan. Setiap kali saya menyiram tanaman, dan kebetulan ada mbah-mbah yang lewat, mereka pasti mengajak bercakap yang menyenangkan. Setiap minggu atau hari libur pagi, saya menyempatkan berjalan-jalan keliling desa, dan menyapa penduduk yang tampaknya tahu kalau saya orang baru. Tetapi mereka semua ramah menyapa, menanyakan mau ke mana, dari mana, sekalipun sekedar basa-basi, tetapi itu sangat menyenangkan. Bahwa, kita mendapat sambutan yang baik. Mamak saya adalah orang yang paling khawatir ketika saya mulai menempati rumah baru. Yang paling beliau risaukan adalah tetangga. Sebab lingkungan rumah kami selama ini selalu memiliki tetangga yang baik-baik. Mamak tidak menanyakan bagaimana rumahnya, tetapi yang pertama kali beliau tanyakan, bagaimana tetangganya. Karenanya tatkala mamak datang berkunjung kemarin, dan bertemu serta disapa oleh para tetangga saya yang ramah-ramah, pelan-pelan kekhawatiran beliau hilang. Ya, saya merasa sangat berbahagia tinggal di lingkungan baru ini. Sewaktu ada buka puasa di rumah Pak RT, saya menyempatkan datang, dan menemukan keramahan luar biasa dari ibu-ibu yang hadir. Sebagian
mendatangi tempat saya duduk, dan menjabat tangan saya erat, tak lupa mengajak saya mampir ke rumahnya. Keramahan mereka sangat alami. Ajakan agar menjadi saudara tidak sekedar di mulut, tetapi benar-benar mereka tunjukkan. Sekarang, setiap kali berangkat kerja, menyusuri jalan-jalan desa, saya pasti menyapa mereka dengan ramah, sekalipun hanya dengan mengatakan, “monggo, Pak/Bu/Mbah”. Semoga langgeng dan aman tentram kehidupan kami semua. Amin
Berkebun Dalam Belajar Kepada Alam, Serba-serbi Indonesia di Agustus 11, 2013 pada 7:08 am Sejak pindah ke Jatimalang, saya punya rutinitas baru mengisi pagi dan sore hari. Kalau biasanya saya lebih senang menghabiskan waktu di kampus hingga semua rekan sudah pulang, atau datang pagi-pagi ke kantor, maka sekarang saya mempunyai kesibukan baru di rumah. Rumah yang saya tempati sekarang adalah rumah mungil, dan memiliki kebun mungil pula. Ketika saya mulai menempati rumah tersebut, saya sudah membayangkan apa yang akan saya tanam di kebun samping rumah. Tetapi mendadak hujan tak turun, dan tanah kebun semakin mengeras. Saya cukup khawatir akan gagal berkebun. Beruntunglah, lingkungan rumah saya berada di desa yang dikelilingi oleh sawah dengan pengairan yang baik. Karenanya, sekalipun kondisi kering saat ini, tidaklah menyebabkan tanah retak-retak. Selama kuliah di IPB dulu, saya terbiasa mencangkul dan mengolah lahan sendiri, atau sewaktu mengajar di Darul Falah, saya pasti ikut membantu-bantu mengolah lahan. Tetapi untuk mencangkul lahan kebun seluas 110 meteran persegi di tengah terik panas dan puasa pula, saya angkat tangan. Tetapi lahan kebun harus diolah, karena kalau dibiarkan, maka akan semakin keras. Akhirnya setelah turun hujan di hari sebelumnya, saya mendapatkan bantuan dari Mbah Surip, kakek tetangga yang biasa mengolah lahan yang saya tempati sekarang. Dulunya memang pekebun, dan biasa mencangkul. Benar saja, Mbah Surip berhasil menyelesaikan cangkulan berikut bedengannya dalam waktu hanya 2 hari. Kalau tanah yang dicangkul
lembek, sehari saja cukup, tetapi saya sudah merasakan kekerasan dan kepadatan tanah kebun yang agak berliat tersebut. Setelah lahan siap, saya biarkan selama 2 harian, dan bingung mau menanam apa, karena persemaian yang saya buat belum jadi. Beruntunglah Mbah Surip datang membawakan bibit kacang lanjaran/kacang panjang, dan langsung ditanamkan oleh beliau sendiri. Saya menambahi tepi utara kebun dengan tanaman terong yang sudah dibibitkan adik di Madiun. Tak lupa saya minta tolong Mbah Surip untuk dicarikan sereh dan pandan. Menjelang maghrib, sereh dan pandan telah tertanam dengan rapi. Sebenarnya akan sangat baik jika tanah dikapur atau diberi pupuk kandang dulu. Tetapi saya mencoba untuk seminimum mungkin menggunakan bahan kimia. Kapur tidak perlu, dan pupuk kandang bisa menyusul saja. Pupuk lain tidak saya pakai. Sebagai gantinya di pojok kebun saya membuat lubang pengomposan untuk menampung semua sampah dapur. Dalam sistem pembuangan sampah, saya membaginya menjadi tiga kategori, sampah dapur (masuk ke lubang kompos), sampah kertas, dan sampah plastik langsung dibawa ke pengepul yang ada di dekat rumah. Sekarang tanaman kacang panjang, jagung manis, terong, labu, semangka, tomat sudah mulai menunjukkan pertumbuhan yang menyenangkan. Beberapa daun kacang panjang habis dimakan belalang ataupun dipatuki ayam tetangga. Beberapa juga habis dimakan ulat bulu, karena kadang-kadang beberapa kupu-kupu mampir meninggalkan telurnya. Saya bertahan tidak akan menyemprotnya dengan obat kimiawi. Saya mencoba memahami serangga dan hewan yang ada di kebun, bagaimana mereka saling
makan memakan Kalau akibat proses makan-memakan nantinya akan semakin parah dampaknya, saya akan mencoba alternatif pembasmi hama alami. Selain tanaman tersebut, masih ada pula beberapa ekor lele yang harus saya pelihara dan perhatikan di kolam kecil yang ada di bagian depan kebun. Saya belum memasang terpal atau plastik untuk mengeraskan pondasi kolam, dan membiarkan lele-lele membuat lobang persembunyian di dinding kolam. Setiap pagi sore, aktifitas rutin yang saya lakukan sebelum berangkat ke kantor, adalah menyiram tanaman, memberi makan lele, dan merawat persemaian. Saya tidak lagi menggemari duduk berjam-jam di depan laptop di pagi hari, atau menonton TV. Berkebun tampaknya lebih menarik hati, karena setiap hari ada saja perubahan yang terjadi di kebun. Untuk berjalan di kebun, sengaja saya tidak memakai alas kaki, karena berharap pijakan ke tanah yang menggumpal merupakan refleksi ke tapak kaki yang akan menyehatkan raga dan jiwa. Tanah di pagi hari terasa sejuk, sedangkan tanah di sore hari terasa panas. Hawanya terasa sampai ke badan. Ibu dan adik berkunjung selama dua hari lalu ke Solo, dan mengomentari bahwa saya mewarisi almarhum Bapak dan Kakek. Ya, saya sangat beruntung terlahir dari keluarga petani, dan dibesarkan di lingkungan rumah yang selalu asri dengan kebun dan halaman penuh bunga, buah dan obat-obatan.
Menggabungkan Pengetahuan Sains dan Sikap Ilmiah di SD Nanzan Dalam Pendidikan Biologi, Pendidikan Dasar, Pendidikan Jepang, Pendidikan Sains, Penelitian Pendidikan, Sains, SD di Jepang, Serba-Serbi Jepang di Agustus 11, 2013 pada 6:34 am Salah satu sekolah yang sempat saya kunjungi ketika pergi ke Jepang Juni dan Juli lalu adalah SD Nanzan, yang merupakan sekolah privat terkenal di kota Nagoya. Beruntung kami diijinkan melihat aktivitas siswa sejak masuk sekolah hingga jam sekolah berakhir. Dan lebih beruntung lagi karena saya sempat melihat bagaimana sains diajarkan di SD tersebut. Salah satu kelas yang saya amati adalah pelajaran sains kelas 4. Ibu guru yang mengajar masih muda, dan pakaian yang dikenakan bukan jas lab, tetapi epron (celemek) coklat, dan beliau hanya mengenakan baju kaus lengan pendek dan celana panjang. Jika dia berada di Indonesia, pastilah tak ada yang mengiranya seorang guru. Anak-anak berbaris menuju ruang pelajaran IPA, dan dengan tertib memasuki ruangan, duduk mengelompok di bangku-bangku yang mengelilingi meja. Satu meja terdiri dari 4-5 anak. Kurang lebih ada 6 meja di dalam kelas. Setiap anak membawa kotak kecil, dan memakai jas lab SD berwarna hitam/biru. Jangan dibayangkan sama seperti jas lab putih yang kita biasa lihat di lab, sebab jas lab mereka adalah baju polos tanpa kancing yang berfungsi melindungi baju seragam putih mereka dari kotoran selama bekerja di pembelajaran sains.
Setelah rapi duduk, ibu guru mulai menjelaskan apa kegiatan hari ini, yaitu siswa diminta mengamati, membandingkan, dan menggambar tamanegi (bawang bombay). Guru memberikan pengarahan kegiatan hari itu, yaitu bahwa di setiap meja ada tersedia 2tamanegi. Masing-masing kelompok diminta mengamati tamanegi dari segi bentuk, warna (bawah dan atas), warna lapisan, dan aroma. Guru menanyakan apakah ada yang tahu bahwa tamanegi sangat beragam? Siswa berlomba mengacungkan tangan dan menjelaskan pemahaman mereka. Guru menunjukkan salah satu gambar tamanegi yang dia buat, dan meminta setiap anak menggambar satu tamanegi yang bisa digambar dari sudut pandang manapun. Anak dibebaskan memilih persfektif mereka. Selanjutnya pekerjaan secara berkelompok dimulai. Siswa-siswa dalam satu kelompok berdiskusi. Saya mendengarkan perdebatan mereka, dan cukup kaget karena mereka memiliki pandangan yang sangat orisinil, misalnya mempertanyakan mengapa bentuk ujung dan pangkal tamanegi berbeda, apakah aroma pada kedua titik tersebut berbeda, dll. Tampaknya anak-anak itu terbiasa diajak berpikir dan dirangsang rasa ingin tahunya. Setelah diskusi kelompok selesai, guru kemudian meminta perwakilan kelompok menyampaikan hasil diskusinya. Dan sangat antusias mereka mengacungkan tangan, meminta kesempatan pertama untuk berpresentasi. Hasil presentasi sekalipun hanya disampaikan dengan lisan (tanpa gambar), tetapi sangat kritis. Pengamatan yang dilakukan anak-anak itu memang sangat teliti, dan membuat saya tercengang karena saya pun tidak berpikir ke arah sana. Bahkan ada seorang siswa yang berani mengkritik lukisan ibu guru, karena menurutnya tidak sama dengan tamanegi yang ada
Selesai presentasi, guru memuji mereka, dan meminta setiap siswa untuk menggambar sebuah tamanegi di atas piring, dari berbagai sudut pandang. Penugasan ini sebenarnya sederhana, tetapi guru mencoba mengajak siswa untuk menjadi pengamat yang jeli, dan menuangkan hasil amatan tersebut ke dalam kertas gambar. Anak-anak mengeluarkan kotak yang mereka bawa, yang ternyata itu adalah kotak berisi peralatan cat air untuk menggambar. Beberapa anak mengambil air dari kran yang tersedia di dalam ruang kelas, dan di luar ruang kelas. Ada kurang lebih 5-6 kran berderet, sehingga dapat dipakai secara bergantian. Selama menggambar, beberapa anak memanggil ibu guru dan menanyakan apakah warna yang mereka pilih cocok, atau bolehkah mereka menggambar tamanegi dari arah bawah? Menjelang akhir pelajaran, ibu guru mengingatkan bahwa waktu kurang dari 2 menit, dan siswa yang sudah selesai mengumpulkan gambarnya, lalu mereka diminta membereskan perlengkapan gambar, membersihkan meja. Tiga orang siswa bertugas mengepel lantai yang basah. Ketiga anak ini terus bekerja sembari guru menjelaskan kesimpulan pembelajaran hari itu. Sebelum menutup pelajaran, guru mengecek kebersihan ruang kelas, termasuk memanggil anak-anak yang menimbulkan basah di dekat kran air. Setelah yakin kelas telah bersih, meja telah rapi kembali, maka guru mengucapkan salam, dan anak-anak mengucapkan terima kasih. Anak-anak segera membuka jas lab, melipatnya dengan rapih di meja masingmasing, dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang mereka bawa. Selanjutnya semua berbaris di belakang kelas untuk berjalan menuju kelasnya.
Ibu guru kemudian membereskan gambar anak-anak di belakang, di sebuah rak besi yang berfungsi untuk meletakkan hasil karya anak-anak. Kertas gambar mereka berukuran A3 kalau tidak salah. Ada banyak karya yang sudah dibuat, beberapa diberi nilai dan komentar oleh guru, dan selanjutnya akan dibagikan kepada siswa jika cat sudah benar-benar kering. Suasana lab tidak terlalu mirip dengan lab yang penuh bahan kimia. Ruang ini menurut saya lebih mirip ruang prakarya. Di belakang, terdapat lemari panjang dengan aneka alat peraga di dalamnya. Di samping terdapat lemari kaca untuk memajang karya terbaik anak-anak. Satu hal yang menarik, bahwa selama pembelajaran berlangsung, anak-anak tetap ada yang ramai, bercanda dengan temannya,tetapi segera diam menyimak ketika ibu guru mulai berbicara. Dan kedisiplinan dan kerapihan masuk dan keluar kelas mengajarkan sebuah budaya yang tidak saja dipahami tetapi dilaksanakan sejak dini. Dan yang terpenting dalam pembelajaran sains mengenai makhluk hidup adalah guru tidak segan-segan membawakan benda konkrit di hadapan anak-anak. Ada dua belas tamanegi yang berbeda hari itu disiapkan untuk siswa, agar mereka benar-benar dapat memegang, meraba, menciumi tamanegi, sehingga melekat kuat pengetahuan tentang tamanegi di kepala mereka. Inilah pembelajaran kontekstual dan konstruktivis yang semestinya kita terapkan di kelas-kelas TK, SD, SMP, dan SMA. Jika sejak kecil, siswa sudah terasah kepekaan mengamati dan kekritisannya, maka tidaklah susah mengajarinya di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Target SD Taisanji : Membaca 10.000 buku setahun! Dalam Pendidikan Dasar, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan, SD di Jepang, Serba-Serbi Jepang di Agustus 11, 2013pada 3:58 am Membaca semestinya menjadi kebutuhan utama mahasiswa, tetapi sampai berbusa mulut mengingatkan mereka untuk rajin-rajin membaca buku, tampaknya nihil hasilnya. Kebanyakan mahasiswa kami lebih suka mengecek status dan berita di jejaring sosial, dan dengan alasan banyaknya tugas di kampus, tak sempat mereka nongkrong di perpustakaan. Bangunan besar yang ada di tengah-tengah kampus itu, kelihatannya hanya didatangi ketika masa-masa menulis skripsi. Sebenarnya di prodi kami juga ada ruang baca yang sekaligus berfungsi sebagai perpustakaan prodi, namun itupun kurang maksimal dipakai sebagai tempat membaca, karena kadang-kadang beralih fungsi sebagai ruang kuliah dan ruang rapat. Membaca memang kalau bukan sebuah kesenangan, sangat sulit dilakukan. Apalagi kalau membaca tidak menjadi kebiasaan sejak kecil yang terus dipupuk hingga dewasa. Beberapa hari lalu, saya mengobrol dengan seorang anak teman yang pernah bersekolah di SD Jepang, ketika ikut orang tuanya studi di kota yang sama dengan saya. Si anak bercerita bahwa di sekolahnya dulu, ada program memberikan penghargaan (semacam sertifikat) kepada anak yang sudah membaca 50 buah buku dari perpustakaan sekolah dalam waktu sebulan. Lalu, saya tanya, “kakak pernah mendapatkannya?” Dijawab belum pernah. Karena kakak hanya datang ke perpus dua minggu sekali. Mengapa? Saya tidak tahu pasti alasannya, tetapi menurut si anak, dia sangat rajin membaca ketika kelas rendah (1-4 SD), dan
setelah itu agak malas. Bertambah parah lagi ketika dia pulang ke Indonesia dan sekarang duduk di bangku SMP. HP dan laptop telah menggeser kegemarannya pada buku. Saya mencoba menelusuri bagaimana sebenarnya budaya membaca di sekolah diselenggarakan di Jepang. Dan saya menemukan bermacam-macam info, termasuk keresahan ibu-ibu Jepang kepada anak-anaknya yang masih SD, tetapi hanya menghabiskan waktunya untuk bermain game dan menonton TV. Dan ada info sangat bagus dari beberapa SD tentang bagaimana program membaca di sekolah mereka, dan juga kebijakan Kementrian Pendidikan Jepang tentang bagaimana mengaktifkan fungsi perpustakaan sekolah dalam menanamkan budaya membaca. Barangkali kalau kita datang pertama kali ke Jepang, kita akan terpukau dengan kebiasaan warga membaca di kereta, bis, dan taman-taman kota. Tetapi kalau sudah lama tinggal di sana, apalagi rutin mengikuti perkembangan berita di koran, sebenarnya pemerintah Jepang pun menghadapi masalah yang sama dengan negara lain, akibat perkembangan IT-nya yang sungguh pesat. Masalah tersebut adalah menurunnya minat baca anak-anak dan remaja, dan beralihnya pemanfaatan waktu luang anak dari membaca buku menjadi bermain game, internet, dan menonton TV. Tetapi terlepas dari kondisi tersebut, ada baiknya kita belajar kepada sekolah yang berhasil meningkatkan motivasi dan semangat membaca di sekolahnya. Saya menemukan contoh yang sangat baik, yaitu SD Taisanji di Kobe. Sekolah ini sudah berusia 140 tahun, dan setelah membaca kolom Dokusho katsudou (読 書活動) atau kegiatan membaca di sekolah ini, sungguh patut diacungi jempol.
Program yang mereka buat mungkin sudah lama ada, saya tidak berhasil mencari info sejarahnya, karena berita tentang program ini ditulis sejak 8 Juni 2012. Namun, dalam tulisan tersebut disampaikan bahwa berdasarkan hasil survey membaca bulan Mei, maka dibuatlah program membaca 10.000 buku setahun. Dari data kartu baca (読書記録カード) diketahui bahwa seluruh anak di sekolah tersebut telah membaca 860 buku. Dengan data tersebut, dikalikan 12 bulan, maka mereka memasang target membaca 10.000 buku dalam setahun. Survey tersebut juga mencatat bahwa anak-anak kelas 1 telah membaca 300 buku bergambar, jumlah anak kelas 2 yang membaca buku panjang, meningkat, dan anak kelas 3 mulai banyak menggemari buku tentang magic, detektif, dan cerita dongeng lain. Sementara anak-anak kelas 6 mulai membaca buku-buku bertema kemasyarakatan, sejarah, dan juga Harry Potter (buku panjang). Lalu, bagaimana sebenarnya rincian kegiatan membaca 10.000 buku di SD Taisanji? Bulan Juni sekolah mengadakan kegiatan “Ohayou dokusho” (おはよう読書) atau kegiatan Membaca Pagi. Anak-anak kelas 1-2, mendengarkan petugas perpus membacakan cerita (karena ada yang belum bisa membaca), anak-anak kelas atas membaca di ruang kelas masing-masing. Waktu membaca hanya 15 menit, sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Pada hari tertentu, ada program Halo Story, yaitu program mendengarkan guru membaca. Siapa guru yang membaca tidak diumumkan, siswa hanya diberitahu kelas dan judul buku yang dibaca. Siswa bebas memilih buku apa yang ingin dia simak. Program Halo story juga terkadang memberikan kejutan kepada siswa dengan mendatangkan orang tua sebagai pembaca cerita. Ini sangat baik bagi kedua pihak, siswa maupun orang tua.
Kerjasama dengan Perpustakaan kota (Perpustakaan Nishi) pun sangat baik. Menjelang liburan musim panas, petugas perpustakaan kota mendatangi kelas-kelas, dan menjelaskan kepada siswa-siswa kelas bawah tentang buku-buku bergambar yang ada di perpustakaan, dan bagaimana pekerjaan atau kegiatan di perpustakaan. Anak-anak menikmati pengalaman menjadi petugas perpustakaan, misalnya bagaimana memberi label buku baru, menyimpannya di rak, dll. Anak-anak yang rumahnya dekat dengan perpustakaan, dianjurkan untuk mengisi waktu dengan mendatangi perpustakaan dan membantu kerja petugas perpustakaan. Sementara untuk kelas atas, petugas perpustakaan menjelaskan tata cara mencari buku yang diinginkan di perpustakaan, juga cara membaca tabel, grafik, dan diagram. Dan bagaimana memanfaatkan buku untuk menyelesaikan tugas sekolah. Ini dimaksudkan karena kelas atas mulai berminat membaca buku yang agak berat. Setiap bulan dilakukan pengecekan berapa buku yang telah dibaca. Pada bulan Mei telah dibaca oleh para siswa sekitar 860 buku, dan bulan Juni terjadi peningkatan, yaitu 1558 buku telah diselesaikan. Sekolah semakin giat menyemangati siswa-siswa untuk membaca. Bahkan diselenggarakan kegiatan membaca di dalam keluarga. Orang tua diajak untuk membawa anaknya ke perpustakaan, dan meminjam buku sebanyak-banyaknya. Sekolah bekerjasama dengan Perpustakaan Nishi memberi kesempatan kepada peminjam, untuk meminjam buku maksimal 10 buku sehari. Di rumah, orang tua dianjurkan mematikan TV selama 30 menit, dan menggantinya dengan kegiatan membaca dengan anak. Di sekolah, anak-anak secara bergiliran ditunjuk menjadi petugas perpustakaan, dan setiap tahun mereka mengumumkan kepada teman-temannya tentang buku bertema apa yang mereka inginkan untuk
menambah koleksi buku di perpus sekolah. Anggaran untuk hal ini dapat dikeluarkan dari sekolah, atau sumbangan orang tua, ataaupun donasi yang tidak mengikat. Tahun 2012, ada seorang tokoh di Kota Kobe yang meninggal dalam usia 106 tahun dan beliau menyumbangkan hartanya untuk keperluan pembelian buku perpustakaan sekolah. SD Taisanji menjadi salah satu sekolah yang diberi sumbangan, sehingga tahun itu, sekolah menambah kurang lebih 157 judul buku baru. Begitulah, berbagai upaya yang dilakukan pihak sekolah untuk menggalakkan budaya membaca. Kalau kita perhatikan, semangat tidak hanya muncul dari pihak sekolah, tetapi juga pemerintah setempat, terutama perpustakaan kota, dan juga dukungan orang tua. Dan yang sangat menarik, kepala sekolah SD Taisanji adalah orang yang paling berperan besar dan bersemangat menulis dan melaporkan kegiatan ini di blog sekolah. Budaya membaca dibangun dan dikembangkan di rumah dan di sekolah. Pemerintah hendaknya menempati posisi mensupport keperluan tersebut melalui bantuan buku dan penyediaan perpustakaan yang nyaman dan menjadikan anak-anak betah berkunjung. Tampaknya kita perlu meniru atmosfer dan arsitektur perpustakaan di negara maju, yang kenyamanannya bagaikan di rumah sendiri. Membaca bukan sekedar “menyuruh anak membaca”, tetapi melatih kepekaan dan kecintaannya pada buku melalui seringnya dia diberi pengalaman bermanfaat dari membaca buku, atau mendengarkan cerita dari buku (kalau dia belum bisa membaca). Saya yakin kita bisa menyelenggarakannya dari lingkungan terdekat. Ayo mulai !
Ke Jepang lagi Dalam Serba-Serbi Jepang di Juli 16, 2013 pada 12:54 am Alhamdulillah setelah kurang lebih satu setengah tahun berada di tanah air sejak tuntasnya studi S3 di Jepang, saya mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Jepang selama 18 hari. Kepergian kali ini atas undangan dua universitas yang menyelenggarakan seminar. Agar tidak sia-sia waktu, maka secara khusus saya minta ijin melakukan riset tentang pendidikan lingkungan dan pendidikan sains di sana. Hari pertama, 13 Juni 2013 pagi jam 09.00 mendarat di Narita, sebelumnya saya belum pernah melalui bandara ini, sehingga agak bingung dengan jalur transportasinya, tetapi dua tiga hari sebelumnya, saya sudah mencari jalur-jalur yang akan saya lewati, alhamdulillah bisa sampai di hotel Tokyu Stay di Ikebukuro, setelah sebelumnya berjuang menggeret tas di tengah hujan yang sedang melanda Jepang karena sedang masuk musim tsuyu (musim hujan di bulan Juni). Dengan mengandalkan keberanian bertanya ke petugas polisi yang membuka peta ajaibnya, akhirnya saya tiba di hotel. Jam masih menunjukkan pukul 11.00, sementara saya diberitahu check in jam 15.00. Terpaksa saya hanya bisa menitipkan tas, dan selanjutnya pergi menghabiskan waktu sampai jam check in. Sebenanrnya saya penat sekali, dan sudah capek jalan, tetapi apa boleh buat. Beruntunglah kamar hotel yang dipesankan lengkap fasilitasnya, dan yang sangat saya sukai karena tersedia pula mesin cuci kering di dalamnya. Saya paling suka mencuci, dan tidak suka membawa-bawa pakaian kotor. Sayangnya saya tidak sempat mengecek fasilitas kamar hotel sebelum berangkat ke Jepang,
seandainya sempat mengecek, pastilah baju-baju bisa saya kurangi. Hari pertama saya habiskan untuk istirahat, sambil menyiapkan makalah untuk seminar tanggal 15 Juni. Tokyo agak berbeda dengan kota Nagoya yang pernah saya tinggali. Yang sangat mencolok adalah transportasinya yang njlimet dan padat. Ada kurang lebih 13 jalur subway, ditambah jalur train atas tanah. Karena terbiasa dengan Nagoya yang tidak terlalu hiruk pikuk, maka saya agak shock ketika menginjakkan kaki di Ikebukuro. Karena hari-hari selanjutnya saya akan sibuk dengan persiapan seminar di Toyo University, wawancara riset, dan tentu saja bertemu dengan sensei-sensei saya, maka waktu istirahat saya manfaatkan sebaik mungkin di hari pertama. Hari kedua, saya menginap di rumah teman Jepang karena selain sebagai presenter, saya akan menjadi penerjemah dalam seminar berdua dengan teman tersebut. Hari ketiga saya pakai untuk berkunjung ke Tamagawa University, dan mewawancarai guru Biologi yang mengajar Super Science di SMA Tamagawa yang merupakan afiliasi Tamagawa Univ., dan sekolah ini sudah ditetapkan sebagai Unesco School. Uniknya mereka menerapkan sistem IB. Saya teringat dengan RSBI yang sudah almarhum. Selain mewawancarai guru, kami juga diajak keliling kelas-kelas, dan mendapatkan brosur dari universitas Tamagawa. Besoknya, hari kelima, saya manfaatkan untuk melihat Pasar Ikan Tsukiji, dan mendatangi museum sains di Ueno Park. Waktu mengunjungi museum kurang sekali, karena ada banyak hal terkait sains dan biologi
yang menarik untuk dipelajari di dalamnya. Saya hanya mendatangi Global Gallery, dan belum sempat ke Japan Gallery, sementara waktu tutup sudah mendekati. Malamnya, tanggal 18 Juni dengan naik bis Willey Express, saya menuju ke Nagoya. Awalnya saya agak kagok beradaptasi dengan bis 2 baris yang dibuat seperti kapsul hotel. Satu penumpang dikurung dalam kursi yang serba tertutup, bahkan melihat keluar jendela pun susah. Namun, bis ini sangat menjaga privacy, sesuatu yang sangat dihargai di Jepang. Saya tidak tahu apakah karena kecapekan atau karena bisnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga saya tertidur lelap. Pagi-pagi jam 5.40 saya tiba di Sakae. Jalanan menuju stasiun bawah tanah sangat sepi. Penduduk Nagoya belum bangun. Setibanya di rumah teman, saya langsung mandi, makan pagi, dan rehat. Jam 14.00 hari ini ada kunjungan dan wawancara dengan guru biologi SMA Seiryu. Cerita menarik saya dapatkan dari wawancara ini. Saya juga berkesempatan menengok lab biologi, dan tentu saja diberi buku-buku pelajaran biologi secara gratis. Alhamdulillah. Besoknya, saya mengunjungi Pusat Training Guru di Aichi, dan mendapat penjelasan tentang aneka training guru sains atau mapel lainnya, juga training terkait ESD. Dari sini, saya menuju ke SMA Toyota Higashi, dan mewawancarai wakaseknya, yang juga PJ pengembangan Education for Sustainable Development. Alhamdulillah, banyak ilmu dan data yang saya peroleh, dan cukup iri dengan lengkapnya training yang disiapkan untuk guru dalam waktu setahun.
Esok harinya sudah ada janji bertemu dengan academic advisor saya dulu, yang sekaligus sekarang menjabat sebagai kepala sekolah afiliasi Nagoya University. Beliau tidak berubah, masih dengan pakaian santai, dan menyambut kedatangan saya dengan gembira. Langsung saja, beliau agak memaksa mengadakan makan malam bersama dengan teman-teman satu lab. Siangnya saya sudah ada janji dengan seorang dosen di Aichi Educational University, karena kami ada rencana riset bersama. Maka, jam 11.00 seorang teman Jepang yang dulu pernah saya ajari bahasa Indonesia dengan baiknya menjemput saya di kampus Nagoya untuk meluncur menuju kampus Aichi di kota Chiryu. Perjalanan sebenarnya satu jam, dan janji bertemu jam 14.00, sehingga kami menghabiskan waktu untuk makan siang di sebuah restoran yang cukup ramai di Kota Chiryu. Selanjutnya akhir pekan saya mengunjungi keluarga yang pernah saya tinggali dalam program home stay ketika menjadi mahasiswa, keluarga Mizutani yang tinggal di Desa Gujo Hachiman. Di sana saya sempat belajar pendidikan lingkungan di areal pegunungan dan pertanian, yang diselenggarakan oleh sebuah NGO. Mereka juga memperkenalkan kepada saya Project Satoyama, sebuah konsep desa sustainable di Jepang. Sampai larut malam, ayah host family mengajari saya sistem budidaya padi, dan keesokan harinya saya turun ke sawah dan kebun. Banyak hal yang saya pelajari tentang sistem pertanian di Jepang. Hari berikutnya wawancara dengan guru IPA di SMP afiliasi Nagoya University, dan sempat mengikuti kelas IPA, kebetulan materinya tentang pemgamatan serbuk sari dari berbagai jenis bunga. Ini juga cukup menarik karena kelas sangat besar, kurang lebih 35 orang siswa dalam laboratorium. Dari sekolah ini, saya mendapatkan lungsuran buku-buku pelajaran Biologi SMA. Alhamdulillah, kegiatan riset mandiri selesai
hari itu, tanggal 24 Juni 2013. Selanjutnya, persiapan seminar internasional di Nagoya Univ. keesokan harinya. Tanggal 25 seminar berlangsung dengan presenter dari berbagai negara. Dan seperti biasa, selesai seminar, kami dijamu dengan makanan khas Jepang, padahal malam sebelumnya saya sudah makan-makan juga dalam acara perpisahan seorang visiting professor dari Malaysia. Tanggal 26 Juni, kami mengunjungi dan mengamati SD Nanzan, sebuah sekolah swasta sangat terkenal di Nagoya, dan menyaksikan sejak siswa datang ke sekolah hingga pulang. Observasi kami lakukan dalam beberapa kelas, saya juga ikut mengamati kelas sains, dan Pak Kepala Sekolah yang ternyata orang Jerman, sangat bersemangat menjelaskan sejarah sekolah dan sistem pendidikan yang mereka terapkan. Hari selanjutnya kami mengunjungi SMA terbaik di Aichi, SMA Asahigaoka, dan juga SD yang tertua dan merupakan sekolah merger antara SD dan SMP, yaitu SD Sasahima yang ada di kota Nagoya. SMA pertama terkesan tua, sementara SD Sasashima sangat baru dan bersih. Hari-hari selanjutnya adalah jalan-jalan ke Hiroshima untuk melihat museum pengeboman dan Pulau Miyajima. Lalu dilanjutkan ke Kyoto dengan menu wisata yang sudah berkali-kali saya kunjungi. Tetapi karena dalam rombongan kami, ada yang belum pernah, maka yang sudah pernah harus mengalah. Selanjutnya kembali ke Nagoya, dan kami menginap di desa yang mendekati perkotaan. Saya sempat diajak ke kebun oleh seorang nenek petani, dan dengan baiknya mereka meminta saya mencabut kedelai,
menikmati kyuuri, dan tomat segarnya. Kehidupan mereka sangat menyenangkan dan saya sangat menikmati bersama mereka. Pagi hari minggu tanggal 30 Juni, sebelum pulang ke Tokyo, saya masih sempat menyaksikan latihan para sumo, yang belum pernah saya saksikan selama hampir tujuh tahun di Jepang. Sekitar jam 10.00, kami diijinkan untuk mengikuti upacara peletakan batu pertama, awal pembangunan sebuah rumah, yang diselenggarakan dalam adat agama Sinto. Sorenya, dengan shinkansen saya kembali ke Tokyo, karena besok paginya saya harus pulang ke tanah air dari Narita Airport. Sebuah perjalanan singkat namun banyak yang bisa saya pelajari. Benarlah kata Rasulullah SAW, agar senantiasa kita berkelana untuk melihat kehidupan yang aneka rupa.
Siapa yang harus datang paling awal dan pulang paling akhir di sekolah? Dalam Manajemen Pendidikan, Manajemen Sekolah, Organizational Learning, Pendidikan Jepang, SD di Jepang, SMA di Jepang, SMK Jepang, SMP Jepang di April 14, 2013 pada 1:15 pm Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri pertemuan MGMP IPA SMP se-Kab. Lombok Barat, dan pada kesempatan itu, saya diminta men-share informasi tentang pendidikan sains SMP di Jepang. Dalam kesempatan tersebut, salah satu cerita yang saya sampaikan adalah tentang profesionalisme guru di Jepang dalam bekerja. Ada satu slide yang membuat para guru tertawa, yaitu bahwa di Jepang, guru harus datang lebih awal daripada siswanya, dan pulang setelah semua siswa pulang. Lalu, kepala sekolah harus datang paling awal. Beberapa guru sambil tertawa mengatakan, benar…benar…seharusnya begitu, Bu ! Kepala sekolah di Jepang adalah orang pertama yang harus hadir di sekolah, lalu orang kedua yang harus datang atau kadang-kadang mendahului kepala sekolah adalah wakasek. Kalau di Indonesia ada 3 wakasek, maka di Jepang biasanya hanya ada satu wakasek. Di Indonesia ada satpam yang menjaga pintu sekolah, sementara di Jepang tidak ada satpam, dan yang membawa kunci sekolah adalah wakasek atau kepsek. Jadi, otomatis merekalah yang harus datang paling awal. Mengapa, sekolah Jepang tidak menyewa satpam atau Pak Bon untuk menjaga sekolah? Semuanya tidak perlu, karena tidak ada maling sekolah. Tetapi bukan berarti semua sekolah tidak ada security-nya. Ada
juga beberapa sekolah, terutama sekolah swasta yang dilengkapi dengan security, karena ada beberapa kasus penculikan anak pernah terjadi. Lalu, apa keuntungan datang paling awal di sekolah bagi seorang kepala sekolah? Banyak sekali. Setidaknya dia dapat mengecek kondisi sekolahnya sudah siap dan aman untuk proses belajar siswa. Yang dilakukan oleh kepala sekolah ketika sampai di sekolahnya bukan mengecek tumpukan surat di mejanya, atau menandatanganinya, tetapi berkeliling dari kelas ke kelas, ruang ke ruang, hingga terperiksa semua sudut sekolah, hingga tiba saatnya berdiri di pintu gerbang, mengucapkan, “ohayou gozaimasu” (selamat pagi) kepada satu per satu guru dan anak-anak yang datang. Lalu, siapa yang harus pulang paling akhir? Lagi-lagi kepala sekolah dan wakaseknya, sebab mereka membawa kunci Sewaktu menjadi kepala sekolah di Sekolah Bhinneka, sekolah untuk anak-anak Indonesia di Nagoya, yang kami selenggarakan bersama para mahasiswa di Gedung ECIS kampus Nagoya University, saya pun harus menjadi orang yang paling belakang pulang, sekalipun kadang-kadang bukan menjadi orang yang pertama datang, terutama jika kebetulan saya harus masuk kerja hari Sabtu, maka biasanya saya harus berlari dari tempat kerja sambilan ke stasiun supaya sempat mengejar kereta tercepat yang sampai ke kampus. Mengapa harus pulang paling belakang? Sebenarnya bisa saja saya pulang dan menitipkan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala sekolah kepada teman-teman guru lainnya. Tetapi, barangkali saya sama dengan para kepala sekolah, kami tidak dengan mudah mempercayai orang lain dan agak merasa malu membebani orang lain.
Tanggung jawab saya sebagai kepala sekolah di sekolah kecil tersebut adalah jika sudah selesai pembelajaran, maka saya harus memastikan semua kursi di tiga kelas yang kami pakai, telah tersusun rapi kembali, tidak ada coretan sedikitpun di papan tulis, tidak ada remah-remah penghapus di meja, sampah di ruangan, tidak ada barang siswa yang tertinggal, lampu dan AC atau heater telah dimatikan sebelum langkah terakhir menutup pintu kelas. Pintu kelas akan terkunci secara otomatis, sehingga jika sudah ditutup, maka kami tidak bisa membukanya dari luar. Selanjutnya yang harus saya lakukan adalah mengepel kamar mandi, mengeringkan wastafel yang basah karena dipakai berwudhu, membersihkan tissue yang berceceran di lantai toilet. Dan karena ruang kelas ada di lantai dua, dan para orang tua berkumpul di lantai satu, maka saya perlu memeriksa kebersihan toilet di dua lantai tersebut. Kalau suatu kali ada siswa yang berulang tahun, atau ada perayaan lain, dan kami memakai aula di lantai satu, maka tugas saya bertambah yaitu mengepel lantai. Tentu saja saya tidak bekerja sendirian, tetapi beberapa orang tua siswa membantu. Namun, bagaimanapun juga, yang mengerti dan merasa paling bertanggung jawab pada tugas tersebut adalah kepala sekolah. Pernah sekali, saya tidak bisa masuk, dan ternyata rentetan tugas yang biasa saya kerjakan, tidak ada yang menyelesaikannya. Akibatnya, ada barang tercecer, dan pernah pula kami mendapatkan teguran dari pengelola gedung karena lampu tidak dimatikan, padahal kami bersekolah hanya di hari Sabtu, sehingga lampu terus menyala di hari Minggu, dan baru dimatikan pada hari Senin. Karena keteledoran seperti itu, saya harus siap-siap menghadap kepada pimpinan gedung, dan mendengarkan pesan-pesan yang rasanya sudah saya hafal, karena seringnya saya dengar dan baca di surat perjanjian.
Demikianlah, karena tanggung jawab, kepala sekolah datang paling awal dan pulang paling belakangan. Kepala sekolah sebenarnya hanyalah pelayan para siswa dan orang tua.
Mengajar Tanpa Paksaan dan Kedzoliman: Pembelajaran Biologi Dalam Belajar Kepada Alam, Pendidikan Biologi, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, Pendidikan Sains di April 12, 2013 pada 11:02 pm Salah satu hakikat dari ilmu sains adalah materinya yang abstrak dan kongkrit. Materi yang kongkrit lebih mudah diajarkan, sementara materi yang bersifat abstrak menjadi tantangan bagi para guru untuk mengantarkan siswanya menjadi paham. Mempelajari organ tumbuhan, organ hewan, alam dan lingkungan adalah hal yang kongkrit, sementara mempelajari hal yang mikroskopis seperti sel, molekul, jaringan, sistem pencernaan, pernafasan, dan aneka mekanisme dan metabolisme dalam tubuh makhluk hidup adalah hal yang abstrak. Lalu bagaimana membelajarkan hal-hal yang abstrak tersebut? Kecenderungan guru-guru kita adalah menggantungkan diri pada buku ajar, dan malas menghadirkan benda yang kongkrit dalam proses belajar untuk diamati dan dipelajari oleh siswa. Contohnya saja ketika mempelajari organisasi struktur/hirarki kehidupan, dari molekul hingga bioma, guru lebih suka “memaksa” siswanya menjadi pendengar yang baik, dan guru menunjukkan kepiawaiannya berceramah. Akibatnya saat belajar, hanya telinga siswa saja yang bekerja dan mengirimkan informasi berupa suara ke otak untuk diolah menjadi pemahaman. Guru menjelaskan tentang bioma, ekosistem, populasi, individu, organ, jaringan, sel dan molekul dalam bentuk hafalan definisi, dan mengetes siswanya dengan cara serupa, yaitu meminta siswa menjelaskan definisi atau mengingat kembali hafalannya.
Padahal, jika guru memahami bagaimana manusia menjadi sedikit paham, paham dan sangat paham dengan cara melibatkan semakin banyak indera dalam pembelajaran, dan bahwa tugasnya di kelas adalah membimbing siswa sampai pada pemahaman yang terbangun oleh proses berpikirnya, dan bukan “paksaan” dari guru dengan cara menghafal mati, maka pastilah anak-anak Indonesia lebih melek sains. Contoh saja, saat mengajarkan tentang hirarki kehidupan. Guru dapat mengkongkritkan yang abstrak dengan hanya membawa satu pot berisi tanaman-tanaman (lebih dari satu) atau satu miniatur kolam/danau yang bisa dibuat menyerupai akuarium sederhana. Guru selanjutnya membimbing siswa mengenali komponen-komponen kehidupan dalam sebuah pot. Pertama, mintalah siswa untuk melihat dan mengeskplor apa saja yang ada dalam satu pot, beri kesempatan mereka untuk menggali tanahnya, dan menemukan aneka makhluk di dalam tanah, mencabut tanamanya hingga tampak akar-akarnya. Jika siswa sudah menemukan semua makhluk hidup yang ada di dalam sebuah pot, maka guru dengan mudah akan dapat mengajak siswa untuk membuat pengertian tentang apa itu ekosistem, dan apa saja penyusunnya. Selanjutnya dapat pula guru membimbing siswanya untuk memahami apa itu populasi, dan apa itu individu. Langkah selanjutnya guru dapat mengambil satu tanaman, dan menanyai siswa bagianbagiannya, tak lupa guru mengambil satu hewan (misalnya) cacing dan menanyai siswa bagian-bagian tubuhnya. Bukankah dengan cara ini, guru telah membimbing siswa memahami organ? Lalu, ambillah sehelai daun, atau batang, potonglah batang tersebut atau robeklah daun, tanyakan kepada siswa, apa yang bisa mereka lihat pada robekan tersebut? Siswa yang jujur akan menjawab, tidak bisa melihat apaapa, kecuali bekas robekan dan potongan. Maka guru telah membawa siswa pada konsep makroskopis dan mikroskopis dalam hirarki kehidupan. Memaksa siswa memahami bahwa ada jaringan di balik sobekan
daun tersebut adalah bentuk “kedzoliman” guru kepada siswa, jika guru tidak berusaha menampilkan gambar jaringan tanaman yang bisa diamati siswa, baik melalui preparat maupun copy-an gambar, atau hasil tangan guru berupa gambar skematik. Demikian pula saat guru memperkenalkan konsep sel yang menyusun jaringan, dan molekul yang menyusun sel. Guru harus menyediakan gambar atau bahan amatan agar salah satu indera siswa bekerja, yaitu indera pelihatnya. Lalu, bagaimana mengevaluasi pemahaman siswa? Jika lagi-lagi menanyai siswa dengan pertanyaan definitive, dan memaksanya menjawab sesuai buku teks, maka tak ada gunanya rangkaian pembelajaran di atas. Yang harus dicek oleh guru bukan kelihaian siswa membuat definisi, tetapi bagaimana menerapkan konsep yang telah dipelajarinya untuk new situation, contoh lain, kasus baru, dan menganalisa serta menginterpretasi ekosistem yang lain. Oleh karena itu, guru perlu membawa sampel ekosistem lain, atau meminta siswa untuk keluar ke halaman sekolah, ke sungai dekat sekolah, ke kebun dekat sekolah, ke sawah, ke jalan, ke selokan, dan aneka tempat untuk menyebutkan hirarki kehidupan yang ada di sana. Jika sudah terlatih seperti itu, sampai kapanpun dia akan ingat dan paham tentang hirarki kehidupan, dan bisa mengajarkannya kepada orang lain. Sewaktu mengajarkan tentang jaringan ikat dan otot, jangan segan-segan membawa daging ayam, daging sapi, kambing ke kelas, agar siswa mampu meraba, melihat, dan “membongkar-bongkar” nya untuk memahami jaringan dalam daging. Yang sifatnya mikroskopis, tampilkan dalam bentuk gambar atau preparat.
Ketika mempelajari bagaimana manusia dapat menggerakkan organ-organnya, maka berilah mereka kesempatan untuk mengamati sendiri perubahan otot-otot tangannya ketika menekuk, meregang, dll. Berilah siswa peluang untuk berpikir hingga dia sampai pada kesimpulan bagaimana Allah telah sangat sempurna mengkoordinasikan kerja tulang dan otot supaya tanagn bisa mengambil sesuatu, menekuk, dan mengayun. Sayangnya banyak guru yang “malas” atau tidak tahu bahwa mengajarkan biologi akan sangat menyenangkan bagi guru dan siswa dengan cara menghadirkan yang kongkrit dan bisa dibawa (lautan, gunung, tundra juga kongkrit, tetapi tidak bisa dibawa ke kelas) ke dalam kelas, dan mengkongkritkan yang abstrak agar siswa memiliki “pengalaman” melalui pemakaian sebanyak mungkin inderanya. Apa yang diperlukan oleh guru untuk dapat mengajar seperti itu? Tak lain dan tak bukan adalah memiliki jiwa dan komitmen mengajar yang ikhlas, memahami materi yang akan diajarkan, dan banyak merenung untuk berpikir bagaimana mengantarkan siswa menjadi paham tanpa paksaan dan “kedzoliman”
Desa Makmur, Pendidikan Tertinggal Dalam Administrasi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Pendidikan Biologi, Pendidikan Dasar, Pendidikan Indonesia,Pendidikan Sains, Pendidikan Tinggi, Penelitian Pendidikan di April 12, 2013 pada 8:56 pm Baru-baru ini saya berkesempatan mengunjungi beberapa sekolah di Pulau Lombok, dan bertemu dengan guru dan siswa di sana. Saya sudah sering mendengar keelokan pulau ini, pun membaca berita dan kabar bahwa turis sekarang mulai beralih ke Lombok ketimbang Bali. Dalam kunjungan lima hari tersebut, kami (saya berdua dengan teman) boleh dikatakan berhasil berkeliling pulau, dan mendatangi semua kabupaten yang ada. Sebenarnya kunjungan tersebut bisa dikatakan kegiatan sambil menyelam minum air. Sebab, tujuan utamanya adalah monitoring mahasiswa pasca sarjana yang sedang riset, dan kami menambahkan kegiatan sampingan berupa riset dan pengabdian. Kegiatan riset ada dua, yaitu eksplorasi kentang hitam yang merupakan riset yang sedang saya kerjakan dengan seorang rekan dosen lainnya, dan satu lagi riset tentang pengembangan pendidikan sains di daerah tertinggal. Adapun kegiatan pengabdian berupa diskusi pembelajaran sains di Indonesia dan di Jepang, yang kami sampaikan di hadapan guru-guru IPA SMP se-Kab. Lombok Tengah, dan berlangsung di SMP 2 Praya. Dari semua tempat yang saya kunjungi, saya sangat terkesan dan terenyuh dengan kunjungan ke SD 2SMP-SMA SATAP Mekarsari yang terletak di Dusun Mekarsari, Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat. Desa Mekarsari sebenarnya tidak jauh dari ibukota Mataram, hanya satu jam perjalanan dengan mobil. Tetapi gap kehidupan dan kualitas pendidikan sangat besar.
SD yang kami kunjungi bisa dicapai dengan mobil melalui satu-satunya jalan kecil yang berbatu dan licin pada saat musim hujan, yang merupakan jalan utama desa. Siswa yang bersekolah di sekolah tsb adalah anak-anak dusun Mekarsari yang tinggal dekat atau sangat jauh dari sekolah. Yang memiriskan adalah kebanyakan anak hanya memiliki satu seragam, satu atau dua buku tulis yang dimasukkan dalam tas kresek atau plastik agar tak basah ketika hujan turun. Ada yang bersepatu adapula yang bersandal saja. Menurut guru yang kami wawancarai, SPP, seragam, buku, dan tas digratiskan untuk mereka. Menurut penjelasan mahasiswa yang mengantar kami, tak sempurna kalau kami berkunjung ke Mekarsari jika tak berkunjung ke Ketua komite sekolah yang sekaligus adalah kepala dusun. Maka bergeraklah mobil kami ke jalan menanjak menuju rumah Pak Kadus. Waktu menunjukkan hampir pukul 12.00, dan di sepanjang jalan, kami menyaksikan anak-anak kecil mandi di sungai tepian jalan yang bersih. Ya, mereka adalah siswa-siswa SD yang pulang sekolah. Sebelum sampai di rumahnya yang jauh yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, mereka mampir menyegarkan diri dulu di sungai jernih tersebut. Jalan menuju rumah Pak Kadus tidak bisa ditempuh dengan kendaraan, sehingga terpaksa kami turun dan berjalan kaki. Jalan menanjak lagi, dan hanya berupa jalan setapak. Kira-kira 15 menit berjalan kaki, sampai juga kami di sebuah rumah permanen dan disambut dengan ramah oleh Pak Mahlin. Dialah kepala dusun yang dianggap sangat berjasa dalam membangun pendidikan di desanya. Sambil menikmati kopi khas Lombok, dan air kelapa yang mendadak dipetik dari pohonnya, Pak Mahlin bercerita tentang perjuangannya. Ternyata sebelum SD 2 dibangun, Pak Mahlin sudah mengkoordinir masyarakat membangun SD 3 dan 4 Mekarsari yang letaknya ada di puncak gunung. Rencananya,
rombongan kami akan menengok SD tersebut, tetapi cuaca kurang memungkinkan, sehingga perjalanan ke sana tidak dilanjutkan. Jadi, kisah tentang kedua SD tersebut hanya kami dapatkan dari pendirinya, Pak Mahlin. Satu hal yang menggelitik adalah apa alasan Pak Mahlin membujuk masyarakat agar mau menyumbangkan tenaga dan materi untuk membangun kedua SD tersebut? Pak Mahlin ternyata tidak pernah lulus SD. Masa kecilnya sangat memprihatinkan, berangkat sekolah sambil memanggul kayu bakar, mampir ke pasar untuk menitipkan kayu bakarnya kepada penjual, lalu melenggang ke sekolah. Pulangnya, kadang-kadang dia membawa belanjaan dari pasar titipan ibunya. Jarak jauh yang harus ditempuhnya pada masa bersekolah, mendorongnya untuk mengajak masyarakat bersatu membangun sekolah dasar untuk anak-anak mereka. Maka berdirilah SD 3, selanjutnya SD 4 , yang kemudian ditetapkan sebagai sekolah negeri. Pada mulanya, anak-anak di dusun tersebut menggunakan rumah Ust.Bahrum, salah seoang tokoh masyarakat setempat dan sekaligus guru- sebagai tempat belajar, sebelum gedung sekolah mereka yang sederhana berhasil dibangun. Pertambahan jumlah peserta didik mendorong mereka akhirnya membat juga SD 2, yang kemudian dijadikan sekolah satu atap dengan SMP dan SMA yang baru-baru ini didirikan. Saya terkagum-kagum pada semangat Pak Mahlin. Atas keuletannya, beberapa kali beliau mendapatkan kesempatan mewakili Lombok untuk mengikuti pelatihan di Jawa, bahkan keberaniannya mendorongnya untuk menemui langsung pejabat daerah, dan “memaksa” mereka untuk mengunjungi sekolahnya. Dari cerita mereka, kami pun mengetahui bahwa mayoritas penduduk adalah petani aren, yang mengolah arennya menjadi gula merah. Saya yang penggemar gula merah sempat dioleh-olehi gula merah harum lagi
bersih, tidak seperti gula merah yang banyak dijual di Jawa. Di jalan kami sempat melihat, tanaman padi gogo rancah, jagung, kacang, ubi jalar, dan juga kentang hitam atau kentang sabrang. Kesemuanya belum dimanfaatkan secara lebih modern atau diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Penghasilan warga dari panenan aren lumayan, dan memang terlihat rumah-rumah permanen penduduk yang lumayan bagus, menandakan ekonomi yang cukup baik. Namun, sayangnya kesadaran warga terhadap perlunya pendidikan masih tergolong rendah. Ibu guru yang kami wawancarai mengatakan bahwa setiap habis lebaran, siswanya bisa berkurang tujuh orang, yang meninggalkan sekolah karena harus menikah muda. Masyarakat setempat belum melihat manfaat pendidikan, dan berpikir bahwa anak gadis harus segera dinikahkan, dan anak lelaki harus sesegera mungkin membantu mereka memanen aren. Pandangan ini sulit berubah sekalipun sekolah sudah digratiskan dari jenjang SD hingga SMA. Saya kira masyarakat sebenarnya dapat diubah mindset-nya, asalkan ada upaya dari banyak pihak. Dari pemerintah perlu mengeluarkan aturan hukum tentang kewajiban menyekolahkan anak minimal pendidikan dasar. Sebagaimana yang pernah saya amati di Jepang, negara memberlakukan hukuman yang keras kepada orang tua yang tidak mengirim anaknya ke sekolah. Sebenarnya Pak Mahlin pernah menerapkan hukuman, yaitu wajib membayar denda bagi orang tua yang menikahkan anaknya sementara anak masih bersekolah. Namun aturan ini banyak dilanggar. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah sebanyak mungkin melibatkan orang tua dalam aktivitas di sekolah, sehingga mereka tidak merasa asing, dan mengetahui manfaat anak-anak belajar, dan menjadi terdidik.
Terkait dengan pendidikan sains di SD, SMP dan SMA SATAP, tampaknya masih jauh tertinggal. Laboratorium sekolah beru saja selesai dibangun, dan hanya ada 3 mikroskop, yang ketigany rusak. Peralatan lain tidak memadai, dan beberapa topik praktikum tidak bisa diselenggarakan karena bahan kimia yang dibutuhkan tak terbeli atau untuk mendapatkannya perlu ke kota. Pembelajaran sains masih didominasi oleh guru dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi. Sebenarnya guru dapat mengembangkan bahan ajar dan media belajar dengan memanfaatkan alam sekitar, tetapi sebagaimana di daerah tertinggal di Indonesia, guru-guru masih sangat membutuhkan pelatihan tentang hal ini. Dari penuturan guru, diketahui bahwa kegiatan MGMP yang selama ini dia ikuti selalu digiring untuk memperbaiki Silabus dan RPP saja, sementara mereka sangat memerlukan pelatihan tentang metode dan strategi pembelajaran serta pengadaan bahan dan media belajar. Kecenderungan umum yang sering tampak di sekolah-sekolah seperti ini adalah kebekuan kreativitas guru. Dan ini tidak bisa disalahkan karena bisa saja terjadi sebagai akibat kondisi ekonomi si guru, suasana batin yang tidak nyaman, atau keputusasaan menghadapi sikap dan perilaku masyarakat. Apalagi jika guru sangat lambat beradaptasi dengan kondisi sekitarnya dan pola pikir masyarakat setempat. Di desa-desa yang secara ekonomi makmur, namun secara edukasi tertinggal, penduduk memandang pendidikan tidak perlu didanai dari pundi-pundi mereka. Tetapi penghormatan penduduk terhadap status guru, masih sangat tinggi. Sehingga tak jarang mereka mengekspresikan itu dalam bentuk pemberian hasil panen mereka. Mereka masih berpikiran dalam ketradisionalannya, atau pengalaman masa lalunya, yang
menganggap guru adalah orang berilmu yang tidak perlu digaji. Panenan yang dihantarkannya ke rumah guru bukanlah gaji, tetapi sebagai ucapan terima kasih atas jasa baiknya mengajari anaknya. Orang-orang di desa yang demikian juga tidak peduli dengan jenjang pendidikan yang harus dilewati anaknya, dan menganggap bahwa bersekolah lama-lama akan semakin mengurangi harta di dalam keluarga, dan menunda kematangan skill bekerja si anak. Pikiran mereka sangat sederhana, dan itu tidak bisa disalahkan, sebab mereka belum banyak berinteraksi dengan orang-orang terdidik, dan atau dampak pendidikan lainnya. Tidak saja di Lombok barat, dalam kunjungan ke Desa Selo di Boyolali, yang juga tak jauh dari pusat pemerintahan, saya juga mendapati kondisi desa makmur dengan pendidikan yang masih tertinggal, yang semata terjadi karena pola pikir orang tua yang tidak peduli dengan pendidikan, dan perhatian pemerintah yang tidak maksimal. Kondisi itu bisa berubah, jika semakin banyak agent of change yang masuk ke sana, salah satunya dari kalangan perguruan tinggi.
Calon Guru dan Sekolahnya Dalam Manajemen Sekolah, Pendidikan Biologi, Pendidikan Tinggi di April 10, 2013 pada 8:14 pm Dalam salah satu perbincangan dengan seorang rekan dosen senior, terbersit sebuah ide yang menurut saya sangat brilian, sekalipun pelaksanaannya barangkali sulit. Hari itu, di sela-sela mengawasi seorang mahasiswa yang sedang melakukan mikroteaching, kami mengobrol tentang bagaimana agar calon guru menjadi lebih profesional saat menjadi guru nantinya. Semua profesi tentunya memiliki tempat kerjanya sendiri-sendiri, dan tempat kerja guru adalah sekolah. Apabila semua orang yang sedang menempuh pendidikan sudah mengetahui di mana kelak dia akan bekerja, maka sudah seharusnya mereka harus lebih dekat dan lebih mengenali tempat kerjanya. Seorang pemuda yang hendak bekerja di peternakan, maka sudah seharusnya dia sejak awal mulai rutin mengunjungi peternakan, yang bercita-cita menjadi pelayan restoran bahkan pemilik restoran, sudah seharusnya membiasakan diri mendatangi restoran. Jadi, kalau begitu, seorang calon guru harus seringsering mengunjungi sekolah sebagai tempatnya bekerja kelak. Nah, kalau dihitung-hitung, mahasiswa S1, calon guru ternyata hanya mengunjungi sekolah pada saat mereka PPL atau ketika riset tugas akhir, yang lamanya maksimal 3 bulan. Selebihnya mereka mempelajari sekolah dari buku dan ceramah dosen di bangku kuliah.
Dosen senior tersebut membandingkan hal ini dengan mahasiswa yang kelak akan menjadi dokter. Mereka sejak semester satu telah diwajibkan mendatangi puskesmas, dan pada akhirnya rumah sakit. Perkerjaan sebagai tenaga medis tentu saja memerlukan keterampilan yang berbeda dengan pekerjaan guru. Seorang dokter akan bekerja mempertaruhkan nyawa manusia, sehingga resiko skill yang tidak memadai akan berakibat fatal. Berbeda dengan guru. Apabila skill-nya kurang memadai, tidak sampai akan mengakibatkan kematian muridnya. Oleh karena itu, barangkali kunjungannya ke sekolah lebih minim Ide teman tersebut menurut saya masuk akal. Tetapi untuk bisa mewujudkannya, yaitu memberikan porsi kunjungan ke sekolah lebih banyak lagi kepada para calon guru, maka ini akan berdampak pada cost yang membengkak. Sebab kunjungan ke sekolah kelak tidak bisa digratiskan karena perlu membayar dosen dan guru pembimbing atau malah membayar pihak sekolah. Bahwasanya calon guru harus lebih banyak mengenal sekolah, memahami orang/pihak, materi, barang, sistem, dan permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaannya kelak, saya sangat mendukungnya. Namun, bagaimana penerapannya sehingga tidak memberatkan semua pihak yang terlibat, perlu dipikirkan sistemnya. Untuk mewujudkan program di atas, yang perlu dilakukan adalah membangun networking yang baik dengan dinas pendidikan setempat, konsorsium sekolah swasta, kanwil departemen agama yang membawahi madrasah, dan tentu saja dengan pejabat sekolah dan guru di sekolah.
Beberapa perguruan tinggi sebenarnya telah membuka kesempatan ini melalui pembentukan sekolah afiliasi atau sekolah percobaan, tetapi inipun tidak sebanding dengan jumlah calon guru yang akan magang di sekolah tersebut. Oleh karena itu, mau tidak mau, universitas perlu menjalin kerjasama dengan pihak luar. Lalu, jika mahasiswa calon guru dibebankan magang ke sekolah setiap minggu atau ekstrimnya setiap hari, apa yang harus mereka kerjakan di sana agar benar-benar bisa belajar? Tentu saja, proses yang berlangsung di sekolah harus direkam oleh mahasiswa melalui lembar observasi atau log book. Jika memungkinkan mahasiswa menjadi asisten pengajar (yang ini dapat dilakukan setelah beberapa kali kunjungan, dan mahasiswa sudah mulai familiar dengan kondisi dan atmosfer sekolah. Keputusan tentang hal ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan dosen pembimbing dan guru pembimbing). Atau guru pembimbing dapat menugaskan mahasiswa membantu menangani kasus keterlambatan belajar sejumlah siswa. Di beberapa sekolah yang kekurangan guru, program seperti ini tentu akan sangat membantu keberlangsungan proses belajar mengajar, dan pada kondisi demikian, tentu saja mahasiswa akan lebih sibuk, daripada mahasiswa yang magang di sekolah yang sudah mapan dan modern. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kurikulum yang harus disiapkan untuk mendukung program tersebut.Setidaknya kurikulum tersebut harus diawali dengan mata kuliah umum dasar tentang manajemen sekolah, keterampilan mengajar, perkembangan peserta didik, dan berbagai atribut keilmuan yang terkait.
Banyak yang perlu dipersiapkan memang, tetapi jika tujuannya benar-benar untuk mencetak tenaga pendidik yang profesional, maka pihak pencetak guru (LPTK) perlu memikirkan, dan selanjutnya mewacanakan terobosan ini.
Persiapan Penelitian Pendidikan Dalam Pendidikan Biologi, Pendidikan Sains, Pendidikan Tinggi, Penelitian Pendidikan di April 7, 2013 pada 8:39 pm Kesalahan jamak pada kegiatan riset pemula yang dilakukan oleh mahasiswa S1, dan S2 adalah persiapan yang kurang matang. Persiapan tersebut, termasuk kurangnya membaca fakta, memahami obyek penelitian sampai pada menyusun instrumen penelitan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satu yang sering terlewatkan adalah mendetilkan proses penelitian. Kebiasaan menyusun framework berpikir secara makro menyebabkan banyak yang abai dalam mengeksekusi kedetilan proposal riset. Padahal kedetilan itulah yang akan memudahkan pelaksanaan riset di lapangan. Mempersiapkan rancangan penelitian seperti halnya mempersiapkan pertempuran. Dalam pertempuran, seberapa banyak pasukan, senjata, dan mesiu yang harus dibawa, harus disesuaikan dengan kondisi lawan. Demikian pula dalam penelitian, seberapa rumit dan kompleks kegiatan yang akan dilakukan harus sebanding dengan kedetilan dan kelengkapan instrumen riset. Ketika berperang pada jarak yang jauh, maka tentulah sulit untuk kembali ke tempat asal untuk mengambil perlengkapan yang kurang, karena itu membutuhkan waktu, tenaga, dan uang. Demikian pula dengan riset, terutama riset yang terkait dengan proses pembelajaran di kelas. Satu materi pelajaran tidak bisa diulang
pemberiannya, dan hanya akan berlangsung sekali dalam setahun. Sehingga, apabila penelitian yang akan dilakukan terkait dengan materi ajar, maka-sama dengan perang di atas-, peneliti tidak bisa kembali ke titik awal. Dari banyak proposal mahasiswa yang pernah saya baca, ada beberapa kekeliruan utama yang perlu diperbaiki sebagai bentuk persiapan sebelum berangkat melakukan riset, yaitu : 1. Kekeliruan dalam mengidentifikasi masalah. Banyak proposal riset pendidikan mengangkat tema penerapan metode atau model pembelajaran tertentu di kelas, sebagai upaya meningkatkan hasil belajar. Yang dianggap bermasalah oleh kebanyakan mahasiswa adalah hasil belajar yang rendah, dan ini artinya hanya aspek kognitif yang ditonjolkan. Atau bukan proses yang dipentingkan tetapi produknya.Hasil belaajr yang rendah identik dengan kekeliruan metode dan model pembelajaran, demikian logika berpikirnya. Padahal banyak faktor yang menyebabkan hasil belajar menjadi rendah, baik yang ada di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, dalam proses belajar mengajar maupun di luar proses tersebut. Menempatkan faktor-faktor lain di luar metode pembelajaran sebagai “masalah” yang harus dicarikan solusi, masih langka dilakukan oleh mahasiswa kami. 2. Satu model dan metode pembelajaran untuk mengatasi semua masalah. Banyak yang belum melihat kekhasan model, berdasarkan materi dan kondisi lingkungan belajar. Artinya tidak semua model dapat diterapkan pada semua materi. Sayangnya ini tidak diperhatikan, sehingga terkesan semua model berlaku untuk semua materi dan kondisi.
3.Pemahaman terhadap fakta pembelajaran di sekolah masih kurang sehingga cenderung menjudge apa yang sudah dikerjakan oleh guru tidak sesuai teori-teori yang mahasiswa pelajari di bangku kuliah. Adanya gap yang besar antara kondisi riil pembelajaran di sekolah dengan ilmu dan teknik mahasiswa pendidikan, menunjukkan bahwa kemungkinan yang mereka pelajari di bangku kuliah terlalu teoritis dan kurang kontekstual. Mahasiswa yang notabene adalah calon guru, sangat kurang berinteraksi dengan “calon” tempat kerjanya, sehingga interpretasinya terhadap lembaga pendidikan dan kegiatan belajar mengajar di dalamnya kurang luas dan mendalam, sebab hanya berupa praduga saja. 4. Instrumen riset yang copy paste. Berhasil tidaknya riset dalam bidang pendidikan dan pembelajaran, tergantung pada bagaimana instrumen riset -atau dalam konteks ini adalah perangkat pembelajarandikemas sehingga mampu mengukur semua komponen yang semestinya diukur. Sayangnya, banyak mahasiswa yang tidak mau berusaha, sehingga perangkat pembelajarannya sama persis dengan milik rekannya yang sudah maju semina proposal, bahkan kadang-kadang copy paste tidak memikirkan bahwa metode dan model yang mereka pergunakan berbeda. 5. Bahan ajar copy paste. Salah satu bentuk kemalasan lain adalah menjiplak bahan ajar dari rekan atau senior Tindakan ini juga mengabaikan prinsip bahwa kelas itu adalah khas karena gurunya berbeda, dan siswwanya pun memiliki karakteristik yang khas. Menjiplak bahan ajar menjadikan target dan tujuan riset kadang-kadang tidak tercapai. Oleh akrena itu, periset harus mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan tema risetnya.
Kekeliruan di atas harus diantisipasi, dan seorang calon peneliti hendaknya melist apa saja yang harus ibuatnya sebelum memulai riset, dan memnuhinya. Kalau “amunisi” bertempur sudah disiapkan dengan matang, maka jangan ragu-ragu untuk sesegera mungkin mulai meriset. Kesiapan tempur ini dinilai oleh mahasiswa secara mandiri dan juga oleh dosen pembimbing tugas akhirnya.
Membandingkan Buku Sains SD di Indonesia dan Jepang Dalam Pendidikan Biologi, Pendidikan Indonesia, Pendidikan Jepang, Penelitian Pendidikan, Sains, SD di Jepang di Januari 12, 2013 pada 12:37 am Materi terakhir dalam MK Telaah Kurikulum yang saya ampu adalah menganalisis buku ajar Biologi yang dipakai di SMA. Saya kebetulan tahun lalu melakukan riset analisa buku ajar Biologi SMA dari tahun 1951 hingga 2010, khususnya terkait dengan substansi indigenous knowledge, jadi bahan kuliah sebagian saya ambilkan dari hasil riset tsb, namun untuk menambah wawasan mahasiswa, saya menambahkan pula materi tentang prinsip menganalisa buku ajar, dan bagaimana menyusun buku ajar yang mengedepankan literasi sains. Karena pernah mempelajari pendidikan di Jepang, sebagai sebuah komparasi buku ajar, mahasiswa saya bawakan pula beberapa buku sains yang dipakai SD di Jepang. Sayang sekali saya tidak mempunyai buku ajar Biologi SMA di Jepang, sehingga tidak bisa memberikan gambaran kepada mahasiswa apa saja yang dipelajari di level SMA di sana. Tetapi menunjukkan kepada mahasiswa buku ajar sains di negara lain menurut saya adalah sebuah jalan untuk melihat permasalahan yang sebenarnya mengapa pembelajaran sains di negara kita jauh ketinggalan dibandingkan dengan pembelajaran sains di negara maju seperti Jepang. Lalu apa perbedaan yang mencolok antara buku ajar sains SD di Indonesia dan di Jepang? Saya buatkan analisa salah satu buku sains yang dipakai di kelas 6 SD di Jepang.
Yang pertama, ketika memegang buku sains Jepang, kita langsung menemukan bahwa buku-buku tersebut dicetak dengan kualitas kertas yang terbaik. Dengan menggunakan soft cover berupa kertas art cartoon tebal (gramnya saya tidak tahu), menyebabkan sampul buku sulit untuk tertekuk. Berukuran 21 x 26 cm. Kertas dalam untuk halaman buku, berjenis art paper agak tipis dari covernya. Yang paling mengesankan adalah gambar/ilustrasi lebih banyak daripada tulisan. Sehingga dapat dikatakan bahwa buku sains Jepang berbasis gambar. Adapun buku IPA SD di Indonesia didominasi oleh tulisan. Gambar atau ilustrasi yang ditampilkan adalah foto, komik, atau skema yang ukurannya satu halaman, separuh halaman, sepertiga atau seperempat halaman. Semua gambar full color. Adapun tulisan hanyalah keterangan singkat di sisi kanan atau kiri gambar, menjelaskan tentang bagian-bagian gambar utama. Mengapa berbasis gambar? Saya kira karena anak-anak Jepang sangat akrab dengan komik, dan mereka sejak SD memang dilatih untuk bercerita berbasis gambar atau data. Presentasi yang dilakukan siswa di SD sampai SMA, jarang dilakukan dengan power point, dan kebanyakan berupa gambar yang dilengkapi tulisan (bukan tulisan dilengkapi gambar ). Perbedaan menyolok kedua adalah, buku sains Jepang berbasis praktikum. Jika pada buku IPA SD di Indonesia, praktikum dijelaskan dalam bentuk soal cerita dan disampaikan di akhir materi, maka prosedur praktikum di buku sains Jepang dijelaskan dalam bentuk gambar dan disajikan di awal. Saking mencoloknya kegiatan praktikum ini, maka semua bab diawali dengan praktikum untuk sampai pada teori. Atau dengan kata lain, mereka menggunakan prinsip induktif-deduktif, dan metode konstruktivist. Materi praktikum berangkat dari pengalaman sehari-hari, sehingga sifat kontekstual materi sangat kental. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa buku sains Jepang mengedepankan Keterampilan Proses Sains (KPS) atau aspek psikomotorik untuk mencapai atau menguasai aspek pengetahuan sains (kognitif). Yang ketiga adalah bentuk pertanyaan yang diajukan untuk mengawali sebuah materi baru adalah dengan kata tanya bagaimana, mengapa dan apa yang terjadi. Sebenarnya di buku IPA SD di Indonesia, pertanyaan semacam ini juga ada, tetapi teknik menjawabnya sangat berbeda. Jika di buku sains Indonesia, jawaban pertanyaan berupa penjelasan dalam bentuk teks, maka di buku sains Jepang, penjelasan berupa kegiatan praktikum, atau gambar komik. Yang keempat adalah, sub judul yang dipergunakan di buku sains Jepang, bentuknya adalah kalimat ajakan, misalnya, kangaeyou (mari kita pikirkan), shirabeyou (mari kita cari/teliti), hanashiaou (mari kita diskusikan), katsuyou shiyou (mari kita terapkan),kakunin shiyou (mari kita buktikan) dan happyou shiyou (mari kita presentasikan). Bentuk ajakan seperti ini tentu berbeda dengan bentuk kalimat perintah yang sering dipakai dalam buku ajar IPA SD di Indonesia, yaitu : lakukanlah kegiatan berikut ini, berdiskusilah dengan temanmu, dll. Ajakan dan perintah nuansanya berbeda. Ajakan bersifat lebih lemah dan menggambarkan relasi yang setara antara yang mengajak dan yang diajak, sementara perintah menunjukkan relasi majikan buruh. Ini, sekalipun kecil, dampak psikologisnya tentu berbeda. Untuk mendapatkan gambaran sajian buku sains Jepang, maka saya tampilkan foto di bawah ini.
sampul buku sains IPA kelas 3,4,5,dan
salah satu halaman buku sains kelas 6
salah satu bentuk evaluasi buku sains kelas 4
Urutan penyajian salah satu buku sains kelas 6 SD Jepang adalah sebagai berikut : 1)Fushigi o mitsukeyou (Mari kita temukan rahasia/misteri); 2) Shiraberu keikaku o tateyou (Mari kita rancang metode/teknik penelitiannya); 3) Shirabeyou (mari kita teliti/cari); 4. kekka o matomeyou (mari kita simpulkan hasilnya). Hal lain yang membuat iri adalah bahwa semua buku sains SD dan SMP disediakan gratis oleh pemerintah, karena merupakan bagian dari program wajib belajar. Mengajak anak untuk menggemari sains diawali dengan memotivasi anak membaca buku-buku sains, dan yang pertama kali harus mereka minati adalah buku pelajaran. Literasi sains, yaitu kemampuan anak menguasai pengetahuan sains, membaca, menulis dan mengkomunikasikan sains dicapai dengan bahan ajar yang menekankan hal itu. Agar semua anak tertarik untuk membacanya, maka buku sains harus disajikan dengan menarik, dan diajarkan dengan menekankan aspek “pengalaman”, artinya anak harus menemukan sendiri pengetahuan sainsnya melalui proses penelitian, observasi, membandingkan, menestimasi, memberi perlakuan, menginterpretasi, hingga menyimpulkan.
Orang Pinggiran Dalam Serba-serbi Indonesia di Januari 8, 2013 pada 10:58 am Kalau pulang kampung ke Madiun, selain mengerjakan tugas-tugas kampus, saya sesekali mengistirahatkan diri dengan menonton TV. Ada satu acara yang wajib saya tonton, acara itu disiarkan di Trans 7 setiap sore, judulnya Orang Pinggiran. Tidak hanya saya, mamak dan kakak adik menyukai acara ini. Alasan kami menyukainya sederhana saja, yaitu kisah-kisah orang tak berada yang disampaikan dalam acara tersebut adalah fakta hidup yang menyadarkan kami tentang perlunya bersyukur. Acara tersebut mestinya bukan hasil rekayasa. Apa yang disampaikan di dalamnya adalah kehidupan sehari-hari yang barangkali sebagian besar orang yang berpunya tak pernah membayangkannya. Kemarin, di acara tersebut ditampilkan seorang anak kecil yang bekerja sebagai penjual jamu. Selain kisahnya berjualan jamu, saya tertarik pada sepatu yang dikenakannya. Sepatu itu kebesaran, sehingga diakalinya dengan mengikatkan tali sepatu pada kakinya supaya sepatu tak terlepas-lepas. Atau kadang pula dia sesakkan ke ujung dalam sepatu kain-kain untuk menyangga bagian depan sehingga kakinya pas ke bagian belakang sepatu. Saat dia menceritakan apa yang diinginkannya, dia mengatakan menginginkan sepatu baru dan sepeda baru untuk dipakai bersekolah dan berjualan jamu. Kisah sepatu ini mengingatkan saya pada film Iran, The Children of Heaven, yang mengisahkan anak kecil bernama Ali yang juga hidup miskin dan hanya memiliki sepatu tua yang dipakainya bergantian dengan adiknya, Zahra. Ali sangat jago berlari, sehingga dia
diikutkan dalam sebuah perlombaan antarsekolah. Dalam perlombaan itu, Ali sebenarnya sudah mendahului rival-rivalnya, tetapi pada detik terakhir, dia mengurangi kecepatannya, karena mengharapkan menjadi pemenang kedua saja. Mengapa begitu? Karena hadiah pemenang kedua adalah sepatu. Setiap kali usai menonton Orang Pinggiran, yang lebih sering diiringi dengan cucuran air mata, saya selalu terdiam lama. Betapa banyak orang yang tidak mampu di sekitar kita. Dan sungguh sangat kontras dengan kehidupan orang-orang kaya. Teman-teman saya yang tergolong keluarga menengah ke atas, membelikan anak-anaknya sepatu sebulan sekali. Sepatu yang mereka beli, bukan yang dijual di emperan pasar, tetapi sepatu bermerk yang ada di toko-toko terkenal. Sepatu-sepatu yang tidak lagi dipakai, tergeletak begitu saja, lama-lama menjadi semakin usang, dan akhirnya dilempar ke tong sampah. Belum lagi kalau melihat acara yang menampilkan kehidupan selebriti, yang dengan sengaja mempertontonkan koleksi sepatu yang mereka punya. Sungguh miris mengenang kehidupan si bocah dalam acara Orang Pinggiran kemarin. Manusia ketika dikaruniai dengan kelimpahan harta (uang), maka dia tak pernah berpikir ketika membeli sesuatu. Uang dipakainya hanya untuk kesenangan pribadi. Kisah-kisah dalam Orang Pinggiran kemarin, hari lalu, hari ini dan besok sangat layak untuk ditonton oleh semua orang Indonesia. Sangat bagus jika anak-anak di sekolah pun ditugaskan oleh gurunya agar menontonnya, kemudian bersama-sama dibahas di kelas. Saya sangat yakin, tontonan ini akan melatih kepekaan siswa. Bahkan mungkin lebih baik daripada pelajaran moral yang selama ini kita sampaikan. Pemanfaatan media TV sebagai bahan pembelajaran di kelas masih sedikit dilakukan oleh para guru di
tanah air. Padahal banyak yang dapat dipakai untuk melatih dan membiasakan kemampuan siswa dalam problem solving dan belajar kontekstual. Saya ingin mengacungkan jempol dua untuk Trans 7. Tidak hanya orang pinggiran, banyak acara-acaranya yang benar-benar menambah ilmu pengetahuan. Saya merasakan kembali kenikmatan saya menonton TV seperti ketika berada di Jepang. Menonton TV di sana penuh dengan informasi pengetahuan dan ilmu, sehingga tak sia-sia kita menghabiskan waktu di depan TV. Mudah-mudahan TV yang lain meniru langkah bijak Trans 7.
Menikmati Pergantian Musim di Indonesia Dalam Belajar Kepada Alam, Serba-serbi Indonesia di Januari 7, 2013 pada 9:29 am Ada banyak tanda-tanda alam yang barangkali luput dari pengamatan banyak orang. Padahal kalau diperhatikan sungguh indah hidup ini. Sewaktu tinggal di Jepang, karena musim berganti empat kali dalam setahun, maka tanda-tanda alam yang berubah setiap pergantian musim kentara sekali. Menjelang musim panas, suara tonggeret (cicadas) adalah tanda alam yang sangat menyolok, saat matahari menyinari kotakota di Jepang dengan kuatnya. Memasuki musim gugur, hujan terus-menerus, daun-daun pepohonan menguning dan memerah, angin bertiup kencang. Masuk ke musim dingin, pepohonan gundul, dan hawa mendadak dingin. Pasca musim dingin, kuncup dan tunas baru bermunculan, sakura memutihkan kota dan desa di Jepang. Apakah di Indonesia tak ada tanda-tanda alam yang semenarik itu? Ada. Tidakkah Anda perhatikan alam sekitar belakangan ini? Saya mengamatinya sejak memasuki musim hujan lalu, sekitar bulan Oktober. Pada pergantian musim kemarau ke musim hujan, angin bertiup kencang, menggugurkan bunga-bunga kecil pepohonan jalan. Yang sangat kentara adalah bunga-bunga angsana. Kalau berjalan kaki di sepanjang deretan angsana, cobalah hirup dalam-dalam, pasti Anda akan mencium bau harum bunga angsana. Lalu, dibantu dengan angin yang bertiup, bunga-bunga kecilnya berguguran, membuat “salju kuning” di udara, dan permadani lembut kuning di jalan-jalan dan trotoar. Wah, indah sekali ! Saya merasa seperti berada di taman yang dipenuhi daun-daun icho (ginko) yang membentuk permadani kuning seperti yang pernah saya rasakan di Jepang.
Lalu, perhatikanlah pada bulan Desember atau menjelang tahun baru, pohon-pohon kersen, pohon mengkudu memutih. Kalau didekati, warna putih itu adalah kupu-kupu kecil yang datang mengincipi madu bunga-bunga kecil kersen yang juga putih, atau bunga mengkudu yang kecil dan harum. Saya sangat menikmatinya setiap kali berjalan sekeliling kompleks rumah yang banyak sekali tumbuh kersen, atau takjub melihatnya sepanjang perjalanan bolak-balik Solo-Madiun. Tidak hanya itu, pemerhati hutan pasti akan terpaku melihat daun-daun jati yang habis dimakan ulat sekitar awal-awal musim hujan. Saya mengamatinya di sepanjang hutan di Ngawi, sembari melihat pohon jati yang baru tumbuh menghijau setelah meranggas di musim kemarau, daun-daunnya pun tinggal tulang karena dikrokoti ulat-ulat. Beberapa hari yang lalu, sepanjang jalan menuju UNDIP di Tembalang ada pohon kapuk yang sedang mekar, sehingga jalanan dipenuhi oleh kapas-kapas putih yang menurut sebagian pemakai jalan tentulah mengganggu. Tetapi, saya yang dulu sering menikmati pemandangan itu di kebun IPB di Baranangsiang, berteriak gembira, “musim salju” telah tiba. Mundur ke belakang ketika awal-awal musim hujan, kami sering bergelap-gelap di rumah, karena serangga-serangga kecil menempel di lampu, lalu pada kondisi hujan yang hangat, rayap-rayap di kayukayu rumah akan keluar, berubah menjadi laron yang memenuhi lampu teras-teras rumah. Sekarang sudah tak ada lagi, ketika musim hujan sudah mencapai pertengahan, tetapi nyamuk-nyamuk begitu rajin berdengung di sekitar kami, dan cecak-cecak di rumah semakin gemuk.
Bagaimana dengan awal-awal musim panas? Penandanya adalah masuknya musim mangga. Semua rumah hampir mempunyai mangga. Di rumah saya saja ada tiga pohon, mangga gadong 2 pohon dan mangga madu yang baru perdana berbuah tahun ini. Halaman rumah penduduk dipenuhi pohon mangga yang bergelantungan buah-buahnya. Ketika mangga sudah mengakhiri masa “indahnya”, maka kalau kita perhatikan sepanjang jalan di Boyolali dan Salatiga, pohon-pohon durian menunjukkan bunganya yang cantik berwarna pink atau semburat oranye. Dari kejauhan mencolok sekali. Saya mengamatinya dari dalam bis yang melaju di jalan Semarang Solo. Indah sekali ! Sekarang kita sudah mulai dapat menikmati bau menyengat durian di pinggir-pinggir jalan. Sebentar lagi orang mabuk durian. Kalau tidak doyan durian seperti saya, maka rambutan adalah alternatif buah yang muncul akhir-akhir ini. Tahun lalu, seingat saya rambutan mulai meramaikan halaman rumah pada bulan November, tetapi sekarang tampaknya dia agak mundur masa berbuahnya. Musim kemarau, sekalipun gersang di mana-mana, tetapi ada banyak pohon dan bunga yang bermekaran. Salah satunya adalah pohon Tabubeia. Wah, ini pohon yang benar-benar mirip sakura kuning. Daunnya gugur ketika bunganya memenuhi dahan-dahannya. Sayangnya masa berbunganya pendek, dan hati-hati karena banyak sekali lebah yang menyukai bunganya. Selain Tabubeia, flamboyan dan bungur juga berbunga. Kalau manusia senantiasa menikmati perubahan alam itu dengan kebahagiaan dan rasa syukur yang mendalam, saya yakin tidak akan ada yang berniat melakukan kejahatan dan kezoliman kepada sesamanya. Kebijakan akan lahir dalam diri kita.
Kontaminasi Beras : Sebuah Kepedulian di Indonesia dan di Jepang Dalam Serba-serbi Indonesia, Serba-Serbi Jepang di Januari 7, 2013 pada 8:42 am Akhir-akhir ini, Mamak sering memasak beras merah sebagai ganti beras biasa/putih yang sering kami konsumsi. Rasa beras merah yang dimasak mamak, sangat enak. Tetapi berbeda dengan beras biasa, beras merah yang dibeli kadang-kadang kurang bersih, dan masih bercampur tanah. Tidak hanya beras merah yang tercampur, tetapi beras jatah yang adik sering dapat dari sekolah pun mesti ditapis terlebih dulu oleh mamak. Untungnya mamak termasuk orang yang masih suka dengan teknik konvensional, yaitu menapis beras dengan menggunakan tapis bundar besar yang kalau tidak salah dibawanya dari Bone, Sulsel. Menjual beras yang masih kotor atau tercampur dengan tanah, pasir, kerikil, sekam, bahkan benih lain, atau bahkan butiran pupuk, sebenarnya tidak diperbolehkan kalau semua mengikuti standar beras jual yang ditetapkan pemerintah. Tetapi di pasar, sedikit sekali jaminan keamanan yang diberikan kepada konsumen, dan juga sedikit sekali protes yang dilakukan oleh konsumen. Kalau membeli beras curah di pasar, maka kualitas kebersihan beras sangat tergantung pada harga yang ditawarkan. Yang lebih meresahkan adalah bahwa tidak ada label kemasan beras yang menjelaskan tentang kualitas, tanggal panen, kadaluwarsa, kandungan air, bobot bersih, dan tempat produksi beras yang dijual. Sehingga pembeli kadang-kadang memutuskan beras yang dibeli hanya dengan pertimbangan yang diberikan oleh
penjual, dan itu biasanya diputuskan berdasarkan beras yang paling laku dibeli. Paling laku identik dengan beras itu enak. Padahal, boleh jadi penjual beras sejatinya belum pernah mencicipi rasa beras tersebut. Kontaminasi beras dengan benda-benda non beras sesuai jenis yang dijual, sebenarnya merupakan kerugian bagi konsumen. Namun, penikmat nasi di Indonesia barangkali belum menjadikan kualitas nasi sebagai menu utama. Nasi, sekalipun menjadi makanan pokok, tidak dianggap penting, dan yang lebih penting adalah lauk pauknya. Jika nasi sudah dianggap penting, dan menjadi penentu kenikmatan makan, maka tentu kita akan merasa terpuaskan dengan makan nasi panas yang hanya ditambahi sambal saja. Atau cukup diberi taburan abon saja. Atau seperti ketika saya masih kecil dulu, Mamak sering menyuguhkan nasi panas yang diberi butiran garam besar (tidak beryodium pula), lalu diberi minyak kelapa asli. Itu adalah lauk yang kami dapatkan kalau kebetulan ikan tak terbeli. Tetapi, entah kenapa menu seperti itu sangat nikmat di lidah Saya ingat betul, nasi yang disuguhkan adalah nasi terbaik di tanah bone, yang rasanya agak manis di mulut, dan harum baunya. Ase (padi) Anak Dara, namanya. Sekarang tidak ada lagi di pasaran dan bahkan petani tak punya benihnya. Menganggap nasi sebagai penentu kenikmatan makan juga merupakan prinsip orang Jepang. Makan nasi adalah budaya bagi orang Jepang, dan menu sarapan di Jepang adalah nasi panas, plus ume boshi (buah plum kecut), atau ditaburi furikake (semacam abon ikan), atau ditaburi natto (kedelai fermentasi yang berlendir). Dalam menu makan siang atau malam, nasi kadang-kadang disuguhkan belakangan, dan
dimakan tanpa campuran apapun. Jadi, dengan cara makan seperti ini, akan sangat terasa, mana nasi yang enak, dan mana yang tidak. Karena menganggap beras adalah makanan wajib, maka tak heran perhatian masyarakat terhadap produk beras yang dipasarkan sangat intens, bahkan cenderung kritis.Tahun 2008, ketika saya masih berada di Jepang, ada sebuah kasus kontaminasi beras yang sangat mendunia, karena banyak orang tidak menduga, Jepang yang sangat ketat dalam pengawasan makanan, ternyata juga memiliki kasus kontaminasi beras. Sekitar bulan September 2oo8, Perusahaan Mikasa Food, penjual beras di Osaka, mengumumkan bahwa berton-ton beras yang mereka pasarkan tercampur dengan pestisida. Kasus ini menjadi berkepanjangan karena Mikasa Food mengumumkan sekitar 370 perusahaan makanan dan minuman membeli beras itu, untuk diolah menjadi aneka penganan, termasuk senbei (cracker beras) yang menjadi kesukaan orang Jepang, dan juga dijadikan sake. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beras tersebut juga telah dibeli oleh 100 rumah sakit, panti jompo, dan sekitar 46 sekolah (untuk lunch). Karenanya protes keras datang dari berbagai kalangan. Mengapa sampai terjadi kontaminasi beras dengan pestisida di Mikasa? Ceritanya berawal dari Jepang yang menandatangani perjanjian dengan WTO tahun 1995, yang menyebabkan keharusan Jepang membuka kran impor beras. Akhirnya sebanyak 700 ribu ton beras harus diimpor setiap tahun dari US, Cina, Thailand, Vietnam, dan Australia. Tetapi lidah orang Jepang sebenarnya hanya bisa dipuaskan dengan beras Jepang yang mereka tanam di lahan sawah Jepang, akibatnya beras-
beras impor tersebut tertimbun di gudang. Pemerintah menemukan bahwa pada tahun 2006 terdapat 2790 ton lebih beras yang telah terkontaminasi oleh pestisida methamidophos, dan sebagian besar telah dijual kepada industri. Perusahaan Mikasa food sebenarnya mengetahui kondisi ini, tetapi mereka tetap membeli beras tersebut dari pemerintah, karena harganya murah, dan ada masalah kebangkrutan yang mengintai mereka. Setelah Mikasa Food mengakui, maka ada beberapa perusahaan lagi yang diketahui membeli beras yang rusak tersebut. Kementrian Pertanian Jepang pada masa itu bergerak cepat untuk memeriksa perusahaan yang dicurigai dan mengeluarkan pengumuman kepada rakyat untuk tidak mengkonsumsinya lebih lanjut. Demikianlah, perlindungan dan kepedulian kepada masyarakat terhadap kelayakan asupan pangan mereka sangat tergantung pada kemajuan negara bersangkutan. Dan satu hal yang tidak dapat ditolak, bahwa halhal penipuan konsumen pun bisa terjadi di negara maju dan yang dicap berbudaya sekalipun, seperti halnya Jepang.