KESAKSIAN NOX Gilbert Keith Chesterton
2014
Kesaksian Nox Diterjemahkan dari The Oracle of the Dog karangan Gilbert Keith Chesterton terbit tahun 1926 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Desember 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
“YA,” kata Romo Brown, “aku selalu suka anjing (dog), asalkan tidak dieja terbalik (god).” Mereka yang cepat bicara tidak selalu cepat mendengarkan. Bahkan terkadang kepandaian mereka menghasilkan sejenis kebodohan. Teman dan rekan Romo Brown adalah seorang pemuda yang dibanjiri ide dan cerita, pemuda bersemangat bernama Fiennes, dengan mata biru penuh hasrat dan rambut pirang yang disikat ke belakang, bukan cuma dengan sikat rambut melainkan oleh angin dunia yang diterobosnya. Tapi dia berhenti di tengah aliran
deras bicaranya, bingung sekejap, sebelum
memahami maksud sederhana sang pendeta. “Maksudmu orang-orang terlalu memujanya?” katanya. “Well, entahlah. Ia makhluk yang mengagumkan. Kadang aku berpikir ia tahu lebih banyak daripada kita.” Romo Brown tak berkata apa-apa, terus saja mengelusi kepala anjing retriever besar sambil setengah tak acuh tapi menenangkan. “Ah,” ujar Fiennes, bermonolog lagi, “ada seekor anjing dalam kasus yang ingin kumintai pertimbanganmu; mereka menyebutnya ‘Kasus Pembunuhan Gaib’, kau tahu. Teori yang aneh, tapi menurut sudut pandangku anjinglah yang paling aneh di dalam kasus ini. Tentu saja memang ada misteri kejahatan, dan bagaimana pak tua Druce dibunuh oleh seseorang padahal dia sendirian di rumah musim panas—” Tangan yang mengelusi anjing itu berhenti sesaat dalam gerakan ritmisnya, lalu Romo Brown berkata kalem, “Oh, jadi rumah musim panas, ya?” 5
“Kukira kau sudah membaca semuanya di koran,” jawab Fiennes. “Tunggu sebentar, aku yakin masih menyimpan potongannya. Jadi kau bisa tahu rinciannya.” Dia mengeluarkan secarik suratkabar dari sakunya dan menyerahkannya kepada sang pendeta yang mulai membaca. Satu tangan mengangkatnya ke matanya yang berkejap-kejap, sementara tangan lain terus membelai anjing secara setengah sadar. Ibarat seseorang yang tak membiarkan tangan kanannya tahu apa yang dilakukan tangan kirinya. “Banyak cerita misteri, tentang orang-orang yang dibunuh di balik pintu dan jendela terkunci, dan para pembunuhnya kabur tanpa jalan masuk dan keluar, terbukti nyata dalam jalannya peristiwa luar biasa di Cranston di pantai Yorkshire, di mana Kolonel Druce ditemukan tertikam dari belakang dengan sebilah belati yang menghilang dari TKP, dan bahkan dari lingkungan sekitar. “Rumah musim panas tempatnya tewas memang bisa diakses lewat satu jalan masuk, pintu keluar-masuk biasa yang menghadap trotoar tengah di taman menuju rumah. Tapi dari kombinasi peristiwa yang hampir bisa disebut kebetulan, rupanya lintasan dan pintu masuk dijaga selama jam penting tersebut, dan ada sederet saksi yang saling mengkonfirmasi. Rumah musim panas itu berdiri di ujung terjauh taman, di mana tak ada jalan keluar atau masuk sama sekali. Lintasan taman tengah merupakan ruas di antara dua barisan bunga delphinium tinggi, ditanam berdekatan agar langkah kaki yang menyimpang dari lintasan meninggalkan jejaknya; lintasan maupun tanaman memanjang sampai ke mulut rumah, jadi 6
mustahil ada jejak penyimpangan yang tak teramati, dan mustahil ada cara masuk lain. “Patrick Floyd, sekretaris korban, bersaksi bahwa dirinya sedang memandangi seluruh taman sejak Kolonel Druce terakhir kali terlihat di pintu keluar-masuk sampai ketika ditemukan tewas, sementara dia, Floyd, berada di puncak tangga memangkas tanaman
pagar
taman.
Janet
Druce,
puteri
mendiang,
mengkonfirmasi hal ini. Dia bilang sedang duduk di teras rumah sepanjang waktu itu dan memperhatikan pekerjaan Floyd. Berkenaan dengan waktu, ini lagi-lagi didukung oleh Donald Druce, saudara lelaki Janet, yang memandang taman dari jendela kamarnya dalam pakaian longgar, sebab dia bangun terlambat. Terakhir, keterangan ini cocok dengan yang diberikan Dr. Valentine, tetangga, yang meminta waktu untuk berbincang dengan Nona Druce di teras, juga cocok dengan keterangan pengacara Kolonel, Tn. Aubrey Traill, orang yang terakhir kali melihat korban
hidup-hidup—kecuali
mungkin
dengan
keterangan
pembunuhnya. “Semua sepakat bahwa jalannya peristiwa sebagai berikut: sekitar setengah empat sore, Nona Druce menyusuri lintasan taman untuk menawarkan teh kepada ayahnya, tapi dia menjawab tak mau apa-apa dan sedang menunggu Traill, pengacaranya, yang akan datang ke rumah musim panas itu. Nona lalu pergi dan berjumpa Traill di lintasan; dia pun langsung mengarahkannya kepada sang ayah. Maka Traill masuk sesuai arahan. Kira-kira setengah jam kemudian dia keluar lagi, Kolonel ikut mengantarnya 7
ke pintu dan penampilannya terlihat sehat, bahkan bersemangat. Paginya dia agak kesal dengan ketidakteraturan puteranya, tapi rupanya suasana hatinya kembali normal, dan dia terlihat ramah saat menerima tamu-tamu lain, termasuk dua keponakan lelakinya yang berkunjung hari itu. Tapi karena dua orang ini sedang berjalan-jalan di luar pada waktu terjadinya tragedi, mereka tak bisa memberi keterangan apa-apa. Kabarnya, hubungan Kolonel dengan Dr. Valentine sedang tidak baik, tapi pria itu hanya berbincang sebentar dengan puterinya, yang diduga memikat perhatiannya. “Traill, si pengacara, mengaku
meninggalkan
Kolonel
sendirian di rumah, dan ini dikonfirmasi oleh mata Floyd yang mengawasi taman, yang tak melihat orang lain melintasi satusatunya jalan masuk. Sepuluh menit kemudian Nona Druce kembali menyusuri taman dan belum sampai di ujung lintasan ketika melihat ayahnya, yang mencolok dengan mantel linen putih, tergolek di lantai. Dia sontak menjerit, membuat orang-orang berdatangan. Mereka mendapati Kolonel terbujur tewas di samping kursi keranjangnya yang ikut terbalik. Dr. Valentine, yang belum jauh dari lokasi, bersaksi bahwa luka itu ditimbulkan oleh sejenis belati, masuk ke bawah tulang belikat dan menembus jantung. Polisi sudah mencari-cari senjata seperti itu di lingkungan sekitar, tapi tak ditemukan jejaknya.” “Jadi Kolonel Druce mengenakan mantel putih, ya?” kata Romo Brown sambil menaruh koran. “Trik yang dipelajarinya di daerah tropis,” sahut Fiennes 8
sedikit heran. “Dia pernah melakukan beberapa petualangan aneh di sana, menurut ceritanya sendiri; dan aku mengira ketidaksukaannya pada Valentine terkait dengan asal daerah tropis sang dokter. Tapi itu hanya teka-teki. Keterangan di sana sangat akurat. Aku tidak menyaksikan tragedinya, tidak menemukan langsung. Aku sedang berjalan-jalan dengan para keponakan muda itu dan seekor anjing—anjing yang hendak kuceritakan padamu. Tapi aku melihat rekonstruksi TKP seperti yang dilukiskan: ruas lurus antara bunga-bunga biru sampai pintu masuk yang gelap, dan pengacara yang menyusurinya dalam pakaian hitam-hitam dan topi sutera, dan kepala merah sekretaris yang menyembul tinggi di atas pagar tanaman hijau selagi dia memangkasnya dengan gunting besar. Siapapun tak mungkin salah lihat kepala merah itu dari jarak berapapun; dan jika orang-orang mengaku melihatnya di sana sepanjang waktu, kau boleh percaya mereka. Sekretaris berambut merah ini, Floyd, memiliki karakter khas: tenang, membatasi diri, selalu mengerjakan pekerjaan setiap orang, seperti waktu itu mengerjakan tugas tukang kebun. Kurasa dia orang Amerika; dia pasti memegang pandangan hidup Amerika, yang mereka sebut sudut pandang, semoga mereka diberkati.” “Bagaimana dengan pengacara itu?” tanya Romo Brown. Hening. Kemudian Fiennes bicara pelan-pelan. “Traill terkesan seperti orang aneh. Dalam pakaian hitam-hitamnya yang bagus, dia seperti pesolek, tapi kau hampir tidak bisa menyebutnya modis. Sebab dia berkumis hitam panjang subur yang belum terlihat lagi sejak zaman Victoria. Dia punya wajah suram dan sikap suram, 9
tapi sesekali dia teringat untuk tersenyum. Dan ketika menampakkan gigi putihnya, dia seperti kehilangan sedikit martabatnya dan samar-samar ada sifat merendah. Mungkin hanya rasa malu, sebab dia juga risau dengan dasi dan peniti dasinya, yang indah sekaligus aneh, seperti dirinya. Andai aku bisa membayangkan orangnya— tapi apa gunanya, berhubung kejadian ini mustahil? Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Tak ada yang tahu bagaimana melakukannya. Kecuali satu, dan itu sebabnya aku menceritakan semuanya. Anjing itu tahu.” Romo Brown mendesah lalu berkata acuh tak acuh: “Kau di sana sebagai teman Donald muda itu, kan? Dia tak ikut jalan-jalan denganmu?” “Tidak,” jawab Fiennes sambil tersenyum. “Pemuda brengsek itu pergi tidur pagi itu dan bangun sore. Aku jalan dengan sepupunya, dua perwira muda dari India, dan obrolan kami sepele. Aku ingat yang tertua, namanya kalau tak salah Herbert Druce, yang berwenang dalam pembiakan kuda, terus saja membicarakan kuda betina yang dibelinya dan karakter moral penjualnya— sedangkan saudaranya, Harry, tampak sedang memikirkan nasib jeleknya di Monte Carlo. Aku mengutarakan ini padamu, mengingat apa yang terjadi dalam jalan-jalan kami, agar kau tahu tak ada yang berbau psikis dari kami. Anjing itu satu-satunya mistik di antara kami.” “Anjing seperti apa?’ tanya pendeta. “Jenisnya sama dengan yang itu,” jawab Fiennes. “Itulah yang mendorongku bercerita, ucapanmu bahwa kau tidak percaya 10
anjing. Ia anjing retriever hitam besar, namanya Nox, nama yang sugestif. Kurasa perbuatannya lebih misterius daripada pembunuhan itu. Kau tahu rumah dan taman Druce berada di tepi laut; kami berjalan-jalan sekitar satu mil dari sana sepanjang pantai pasir lalu kembali, mengambil jalan lain. Kami melintasi batu aneh bernama Batu Keberuntungan, masyhur di lingkungan itu karena menjadi contoh batu yang hampir tidak seimbang di atas batu lain, satu sentuhan saja bisa merobohkannya. Tidak terlalu tinggi, tapi garis bentuknya yang menggantung menjadikannya tampak liar dan seram, setidaknya menurutku. Aku tak tahu apa rekan-rekan mudaku yang periang tertimpa perasaan yang sama. Tapi mungkin aku mulai merasakan suatu suasana. Persis saat itu muncul pertanyaan apa sudah waktunya pulang minum teh, dan bahkan aku merasa mendapat pertanda bahwa waktu sangat berharga. Herbert Druce dan aku tak punya arloji, jadi kami berteriak pada saudaranya, yang tertinggal beberapa langkah setelah berhenti untuk menyalakan pipa cerutu di bawah tanaman pagar. Dia meneriakkan jamnya, yakni jam empat lewat dua puluh, dengan suara
besar
menembus
senjakala.
Dan
entah
bagaimana
kenyaringannya terdengar seperti pengumuman akan sesuatu yang dahsyat. Ketidaksadarannya justru semakin memberi penegasan; tapi pertanda memang selalu seperti itu. Detikan jam sungguhsungguh menjadi hal tak mengenakkan sore itu. Menurut kesaksian Dr. Valentine, Druce yang malang betul-betul mati sekitar jam empat lewat tiga puluh. “Well, mereka bilang kami tak usah kembali selama sepuluh 11
menit, jadi kami berjalan sedikit lebih jauh di pantai pasir, tak ada kegiatan khusus—melempar-lempar batu untuk anjing, melemparlempar tongkat ke laut agar ia berenang mengubernya. Tapi bagiku, waktu senja itu anehnya terasa semakin menyesakkan dan bayangan puncak berat Batu Keberuntungan menimpaku seperti beban. Lalu hal aneh terjadi. Nox membawa balik tongkat jalan Herbert dari laut, dan saudaranya ikut melemparkan miliknya. Anjing itu berenang lagi, tapi persis pada saat dentingan jarum menit tiga puluh, dia berhenti berenang. Dia kembali ke pesisir dan berdiri di depan kami. Kemudian tiba-tiba dia mengangkat kepalanya dan mengeluarkan lolongan atau raungan sengsara, jika benar ada di dunia ini. “‘Ada apa dengan anjing ini?’ tanya Herbert, tapi kami tak menjawab. Sunyi lama sekali setelah raungan dan lengkingan kasar itu menghilang di pantai terpencil. Kemudian kesunyian terpecah. Aku tersadar, itu dipecahkan oleh jeritan sayup dan jauh, seperti jeritan wanita dari balik tanaman pagar. Waktu itu kami tidak tahu apa itu. Ternyata jeritan nona saat pertama kali melihat jasad ayahnya.” “Kau langsung kembali, kukira,” kata Romo Brown sabar. “Lalu apa yang terjadi?” “Akan kuceritakan,” kata Fiennes dengan perasaan suram. “Begitu kami kembali ke taman, yang pertama kami lihat adalah pengacara Traill. Aku bisa melihatnya tanpa topi hitam dan kumis hitam dengan latar belakang pemandangan bunga-bunga biru yang menghampar sampai ke rumah, serta matahari terbenam dan garis 12
bentuk Batu Keberuntungan yang aneh di kejauhan. Wajah dan sosoknya berada dalam bayangan di depan matahari, tapi aku bersumpah gigi putihnya tampak dan dia tersenyum. “Ketika melihat orang itu, Nox langsung menghambur maju dan berdiri di tengah-tengah lintasan, menggonggonginya dengan sengit, bengis, memberondongkan kutukan dalam kebencian. Orang itu pun meringkuk dan kabur sepanjang lintasan di antara bunga-bunga.” Romo Brown melompat berdiri dengan tak sabar. “Jadi anjing itu mencelanya, ya?” pekiknya. “Ramalan anjing mengutuknya. Apa kau lihat, burung apa saja yang terbang, dan apa kau yakin mereka di sebelah kanan atau kiri? Apa kau berkonsultasi dengan para ahli nujum tentang pengorbanan itu? Tentunya kau tidak lupa untuk membedah anjing itu dan memeriksa isi perutnya. Itulah jenis uji ilmiah yang dipercaya oleh para penyembah berhala saat bermaksud merenggut nyawa dan kehormatan seorang manusia.” Fiennes ternganga sebentar sebelum mendapat nafas untuk berkata, “Kenapa, ada apa denganmu? Memangnya apa yang sudah kulakukan?” Sejenis kegelisahan kembali masuk ke mata pendeta— kegelisahan seorang manusia yang menabrak tiang dalam gelap dan bertanya-tanya apa dirinya sudah melukai tiang. “Maaf,” katanya dengan penyesalan tulus. “Aku mohon maaf atas sikap kasarku, doakan semoga aku dimaafkan.” Fiennes mengamatinya dengan heran. “Kadang aku berpikir 13
kau lebih misterius daripada misteri manapun,” ujarnya. “Tapi bagaimanapun juga, jika kau tidak percaya pada misteri anjingnya, setidaknya kau tak boleh melewatkan misteri lelaki itu. Kau tak bisa menyangkal bahwa ketika binatang itu kembali dari laut dan melenguh, roh majikannya didorong keluar tubuh oleh suatu kekuatan gaib yang tak bisa dilacak atau bahkan dibayangkan manusia hidup. Adapun pengacara itu, aku tak hanya berpegang pada anjing; ada seluk-beluk aneh lain. Dia terkesan seperti tipe orang samar yang lembut, murah senyum; dan salah satu triknya menjadi semacam petunjuk. Kau tahu, dokter dan polisi cepat datang ke lokasi; Valentine dibawa kembali saat sedang berjalan dari rumah, dan dia langsung menelepon. Itu, selain rumah yang terpencil, sedikitnya manusia, dan ruang yang terkungkung, memungkinkan mereka menggeledah siapapun yang berada tak jauh, dan semuanya digeledah secara teliti—mencari senjata. Seluruh rumah, taman, dan pantai disisir. Hilangnya belati nyaris sama gilanya dengan hilangnya pelaku.” “Hilangnya
belati,”
kata
Romo
Brown,
mengangguk.
Tampaknya dia mendadak penuh perhatian. “Well,” sambung Fiennes, “sudah kukatakan Traill ini punya trik merasa risau dengan dasi dan peniti dasinya—terutama peniti dasi. Penitinya, seperti dirinya, mencolok sekaligus kuno. Salah satu dari batu-batunya, yang dibingkai cincin konsentris berwarna, berbentuk mirip mata; dan perhatiannya pada batu tersebut membuatku gugup, seolah dia adalah Cyclops dengan satu mata di tengah-tengah tubuhnya. Penitinya bukan cuma besar tapi juga 14
panjang. Terpikir olehku bahwa kerisauannya disebabkan ukurannya yang lebih panjang daripada kelihatannya, bahkan sepanjang belati.” Romo Brown mengangguk penuh pikir. “Apa ada alat lain yang pernah diusulkan?” tanyanya. “Ada usulan lain,” jawab Fiennes, “dari salah satu Druce bersaudara itu—maksudku kedua sepupu. Awalnya Herbert ataupun Harry Druce dirasa takkan banyak berguna dalam proses pencarian. Tapi, sementara Herbert betul-betul tipe Dragoon tradisional, yang cuma mempedulikan kuda dan kedudukan di Garda Kuda, adiknya, Harry, pernah masuk Kepolisian India dan tahu hal semacam itu. Bahkan caranya cukup cerdik, dan aku merasa dia terlalu cerdik. Maksudku dia keluar dari kepolisian karena melanggar beberapa aturan birokrasi dan mengambil resiko dan tanggungjawabnya sendiri. Bagaimanapun, dia, dalam beberapa
segi,
adalah
detektif
yang
menganggur,
dan
menjerumuskan diri ke dalam urusan ini melebihi hasrat seorang amatir. Dan dengannyalah aku berdebat soal senjata—perdebatan yang melahirkan hal baru. Diawali dengan bantahannya terhadap deskripsiku tentang anjing yang menggonggongi Traill. Dia bilang, seekor anjing, dalam kondisi terburuk, bukan menggonggong, melainkan menggeram.” “Dia betul soal itu,” tinjau pendeta. “Pemuda ini kemudian berkata bahwa dirinya mendengar Nox menggeram pada orang lain sebelum itu, di antaranya kepada Floyd si sekretaris. Aku pun membalas dengan pedas bahwa 15
argumennya menjawab sendiri; sebab kejahatan tersebut tidak dapat diperjelas kepada dua atau tiga orang, dan setidaknya kepada Floyd yang sepolos dan seceroboh anak sekolahan, dan dia terlihat oleh semua orang sedang bertengger di atas tanaman pagar taman dengan kipas rambut merahnya yang mencolok seperti kakatua merah tua. ‘Aku tahu ada ganjalan,’ kata rekanku, ‘tapi aku ingin kau ikut denganku ke taman sebentar. Aku mau perlihatkan sesuatu yang kupikir belum dilihat siapapun.’ Itulah hari penemuan. Taman masih seperti sebelumnya: jenjang tangga masih berdiri dekat tanaman pagar, dan persis di bawah tanaman itu pemanduku membungkuk dan melepas sesuatu dari balik rumput. Gunting besar yang dipakai memangkas tanaman. Pada salah satu ujungnya terdapat noda darah.” Hening sekejap. Lalu Romo Brown tiba-tiba berucap, “Apa keperluan pengacara di sana?” “Dia bilang, Kolonel memanggilnya untuk mengganti surat wasiat,” jawab Fiennes. “Dan, ngomong-ngomong, ada satu hal lain soal surat wasiat itu yang mesti kukemukakan. Kau tahu, surat wasiat itu sebetulnya tidak ditandatangani di rumah musim panas sore itu.” “Sudah kuduga,” kata Romo Brown, “harus ada dua saksi.” “Pengacara sebetulnya datang sehari sebelumnya dan saat itulah ditandatangani, tapi dia dipanggil lagi keesokan harinya karena bapak tua itu meragukan salah seorang saksi dan mesti diyakinkan ulang.” “Siapa saja saksinya?” tanya Romo Brown. 16
“Itulah masalahnya,” jawab sang informan penuh hasrat, “saksinya adalah sekretaris Floyd dan Dr. Valentine, ahli bedah asing atau apalah; dan keduanya sedang berselisih. Harus kukatakan bahwa sekretaris orang yang usil. Dia termasuk pemarah yang tidak berpikir panjang, yang temperamennya sering berubah menjadi nafsu berkelahi dan kecurigaan; meragukan orang ketimbang mempercayai. Pemarah berkepala merah seperti itu biasanya mudah percaya atau mudah ragu, dan terkadang duaduanya. Dia bukan sekadar orang serbaguna, dia lebih tahu dari semua orang berguna. Dia bukan cuma tahu semuanya, dia memperingatkan semua orang terhadap semua orang. Ini harus diperhitungkan dalam kecurigaannya terhadap Valentine; tapi dalam kasus ini, sepertinya ada sesuatu di baliknya. Dia bilang Valentine
bukan
nama
sesungguhnya.
Dia
bilang
pernah
melihatnya di tempat lain dengan nama De Villon. Dia bilang itu akan membatalkan surat wasiat. Tentu saja dia cukup baik menjelaskan kepada pengacara apa saja dalilnya. Mereka berdua sangat gusar.” Romo Brown tertawa. “Orang-orang seringkali begitu saat akan menjadi saksi surat wasiat,” katanya, “karena satu hal, artinya mereka tidak mendapat warisan menurut suratnya. Tapi apa kata Dr. Valentine? Pasti sekretaris universal itu tahu lebih banyak tentang nama sang dokter daripada dokternya sendiri. Tapi mungkin dokter punya informasi tentang namanya sendiri.” Fiennes berhenti sebentar sebelum menjawab. “Dr. Valentine menanggapinya secara aneh. Dia orang yang 17
aneh. Penampilannya agak mencolok tapi sangat asing. Dia muda tapi berpotongan janggut persegi, dan wajahnya pucat sekali, sangat pucat dan sangat serius. Matanya menyimpan rasa sakit, seakan-akan dia harus mengenakan kacamata atau terkena sakit kepala jika berpikir. Tapi dia tampan dan selalu berpakaian formal, dengan topi tinggi, jas gelap, dan pita mawar merah kecil. Sikapnya agak dingin dan angkuh, dan caranya menatap sangat membingungkan. Jadi saat dituduh telah berganti nama, dia cuma menatap bagaikan sphinx lalu berkata sambil tertawa kecil bahwa menurutnya orang Amerika tak punya cadangan untuk berganti nama. Mendengar itu aku mengira Kolonel ikut masuk ke dalam pertengkaran dan memuntahkan segala jenis kemarahan kepada dokter; lebih marah lagi karena klaim dokter atas kedudukan dalam keluarganya di masa depan. Tapi aku hanya memikirkan beberapa perkataan yang kebetulan kudengar kemudian, di awal sore tragedi. Aku tak mau banyak menyimpulkan darinya, itu jenis perkataan yang menarik untuk dikuping. Sewaktu melintas ke arah gerbang depan bersama dua rekan dan anjing, aku mendengar suara-suara yang mengindikasikan Dr. Valentine dan Nona Druce sedang berduaan di balik bayang-bayang rumah, di suatu sudut di belakang deretan tanaman berbunga, dan sedang bercengkerama dalam bisikan penuh gairah—terkadang mirip desisan, semacam percekcokan sekaligus perjumpaan sepasang kekasih. Tak ada yang mengulang sebagian besar perkataan mereka. Tapi dalam urusan sial seperti ini aku harus bilang, terdapat pengulangan frase “membunuh seseorang” lebih dari satu kali. Bahkan, nona itu 18
seperti memohon padanya agar tidak membunuh siapapun, atau mengatakan bahwa provokasi tidaklah menjustifikasi pembunuhan siapapun. Itu jenis obrolan yang tak lazim dengan seorang lelaki yang mampir untuk minum teh.” “Kau tahu,” tanya pendeta, “apakah Dr. Valentine sangat marah setelah insiden dengan sekretaris dan Kolonel—maksudku soal menjadi saksi surat wasiat?” “Biar bagaimanapun,” jawabnya, “dia tidak semarah sekretaris. Justru sekretarislah yang mengamuk setelah menjadi saksi surat wasiat.” “Lalu,” kata Romo Brown, “bagaimana dengan surat wasiatnya sendiri?” “Kolonel orang yang sangat kaya, surat wasiatnya amat penting. Traill tak mau menceritakan perubahan di tahap itu, tapi sejak saat itu aku mendengar, bahkan baru pagi ini, bahwa sebagian besar uang dialihkan dari puteranya ke puterinya. Sudah kubilang Druce kesal dengan temanku Donald menyangkut jam hidupnya yang tak teratur.” “Persoalan motif sudah dikalahkan oleh persoalan metode,” tinjau Romo Brown. “Saat ini, tampaknya, Nona Druce yang paling diuntungkan dengan kematian itu.” “Astaga! Kejam sekali ucapanmu,” pekik Fiennes, memelototinya. “Kau tak betul-betul bermaksud bahwa dia...” “Apa dia akan menikah dengan Dr. Valentine?” tanya pendeta. “Sebagian orang menentangnya,” jawab rekannya. “Tapi dia disukai dan dihormati di sana dan merupakan ahli bedah terampil 19
dan penuh pengabdian.” “Saking penuh pengabdian,” kata Romo Brown, “dia membawa alat bedah ketika mengunjungi nona muda itu di waktu minum teh. Dia pasti sudah menggunakan pisau bedah atau semacamnya, dan dia tak pernah terlihat pulang.” Fiennes terperanjat berdiri, dan memandangnya penuh selidik. “Maksudmu dia memakai pisau yang sama—” Romo Brown menggeleng. “Semua ini baru perkiraan,” katanya. “Masalahnya bukan siapa atau apa yang melakukannya, tapi bagaimana. Kita bisa menemukan banyak orang dan bahkan banyak alat—peniti, gunting besar, dan pisau bedah. Tapi bagaimana seseorang masuk ke dalam kamar? Bahkan bagaimana sebatang peniti masuk ke sana?” Dia mendongak ke langit-langit, merenung, tapi sewaktu mengucapkan kata-kata terakhir barusan matanya menéléng waspada seolah baru melihat lalat aneh di sana. “Well, menurutmu apa yang harus dilakukan?” tanya sang pemuda. “Pengalamanmu banyak, apa nasehatmu sekarang?” “Rasanya aku tak banyak berguna,” kata Romo Brown mendesah. “Aku tak bisa memberi usul tanpa dekat dengan tempat atau orang-orangnya. Untuk sementara ini kau hanya bisa meneruskan
penyelidikan
lokal.
Kuanggap
temanmu
dari
Kepolisian India itu bertanggungjawab atas penyelidikanmu di sana. Aku harus tahu bagaimana perkembangannya. Apa yang dia lakukan dengan cara detektif amatir. Mungkin sudah ada kabar.” Sementara para tamunya—makhluk-makhluk berkaki dua dan 20
empat—pergi, Romo Brown mengambil pena dan melanjutkan pekerjaan yang sempat terpotong, yakni merencanakan rangkaian kuliah tentang Encyclical Rerum Novarum. Mata kuliah ini sangat besar dan dia harus mengadakannya lebih dari satu kali. Jadi dia sibuk selama dua hari berikutnya ketika anjing hitam besar itu datang lagi ke ruangannya dan terlentang di dekatnya dengan antusias dan girang. Sang majikan, yang menyusul anjing ini, sama-sama girang, jika bukan antusias. Dia girang tapi kurang senang, mata birunya mulai menyorot dan wajahnya sedikit pucat. “Kau menyuruhku,” katanya tiba-tiba, tanpa pendahuluan, “untuk mencaritahu apa yang Harry Druce kerjakan. Kau tahu apa yang dia kerjakan?” Pendeta tidak menjawab. Sang pemuda pun melanjutkan dengan nada tertegun: “Akan kuberitahu. Dia bunuh diri.” Bibir Romo Brown bergerak sedikit, tak ada yang bisa ditangkap dari ucapannya—tak ada yang terkait dengan kisah ini atau dunia ini. “Kadang kau membuatku ngeri,” kata Fiennes. “Apa kau—apa kau sudah menyangka ini?” “Aku mengiranya mungkin terjadi,” kata Romo Brown, “itulah sebabnya aku memintamu melihat apa yang sedang dikerjakannya. Kuharap kau takkan terlambat.” “Akulah yang menemukannya,” kata Fiennes sedikit serak. “Itu hal terburuk dan teraneh yang pernah kuketahui. Aku pergi ke taman tua itu lagi, dan aku tahu ada sesuatu yang baru dan tak 21
lazim di sana, selain pembunuhan yang lalu. Bunga-bunga masih bergoyang-goyang dalam rangkaian biru di tiap sisi jalan masuk gelap menuju rumah musim panas kelabu; tapi bagiku bungabunga biru itu tampak seperti iblis-iblis biru yang menari-nari di depan suatu gua gelap dunia bawah. Aku menengok sekeliling, semua terlihat berada di tempat biasanya. Tapi gagasan aneh menguat dalam benakku, bahwa ada sesuatu yang salah dengan bentuk langit. Kemudian aku tahu apa itu. Batu Keberuntungan biasanya menjulang di balik tanaman pagar dan berlatarkan laut. Tapi batu itu sudah lenyap.” Romo Brown mengangkat kepalanya dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh. “Seakan-akan gunung berjalan pergi dari pemandangan atau bulan jatuh dari langit, meski aku tahu, satu sentuhan saja dapat merobohkan batu itu. Sesuatu merasukiku, aku pun bergegas menyusuri lintasan taman bagaikan angin ribut dan menerobos tanaman pagar seolah itu jaring laba-laba. Sebetulnya tanamannya tipis, tapi kerampingannya telah berperan sebagai tembok. Di pantai kutemukan batu goyah itu jatuh dari tumpuannya, dan Harry Druce yang malang terkapar seperti rongsokan di bawahnya. Satu lengan terulur melingkar seolah merangkulnya, seolah dia sendiri yang menariknya. Dan di atas pantai cokelat luas, di samping batu, dengan tulisan besar, dia mencoretkan kata-kata, “Batu Keberuntungan menimpa Orang Bodoh.” “Surat wasiat Kolonel-lah yang berbuat itu,” tinjau Romo Brown. “Pemuda ini mempertaruhkan segalanya demi meraup 22
keuntungan pribadi dari kejelekan Donald, khususnya ketika pamannya memanggilnya datang di hari yang sama dengan si pengacara, dan menyambutnya begitu hangat. Kalau tidak dia sudah habis; dia kehilangan pekerjaannya sebagai polisi, dia mengemis di Monte Carlo. Dan dia bunuh diri setelah sadar dirinya sudah membunuh familinya tanpa mendapat apa-apa.” “Tunggu sebentar!’ pekik Fiennes, melotot. “Kau terlalu cepat.” “Bicara soal surat wasiat,” sambung Romo Brown kalem, “sebelum aku lupa, atau kita beralih ke hal-hal yang lebih besar, ada penjelasan sederhana mengenai nama dokter itu. Aku rasa pernah mendengar kedua nama itu di suatu tempat. Dokter tersebut sebetulnya bangsawan Prancis bergelar Marquis de Villon. Tapi dia juga seorang Republikan keras dan membuang gelarnya lalu kembali ke nama keluarga yang terlupakan. ‘Dengan Citizen Riquetti-mu kau telah membingungkan Eropa selama sepuluh hari.’” “Apa maksudnya?” tanya si pemuda blak-blakan. “Lupakan saja,” kata pendeta. “Sembilan dari sepuluh kali berganti nama memang merupakan ketidakjujuran, tapi ini fanatisme yang baik. Itulah maksud sindirannya soal orang-orang Amerika yang tak punya nama—yakni, tak punya gelar. Nah, di Inggris, Marquis dari Hartington tak pernah dipanggil Tn. Hartington; tapi di Prancis, Marquis de Vill dipanggil M. De Villon. Jadi terlihat seperti pergantian nama. Adapun obrolan tentang pembunuhan, kurasa itu juga bagian dari etiket Prancis. 23
Dokter sedang berbicara tentang menantang Floyd untuk duel, dan nona itu mencoba mencegahnya.” “Oh, begitu,” kata Fiennes pelan. “Sekarang aku paham apa yang dia maksud.” “Soal apa?” tanya pendeta, tersenyum. “Well,” kata si pemuda, “kejadiannya persis sebelum aku menemukan tubuh rekanku; hanya saja malapetaka itu membuatku lupa. Kurasa sulit mengingat adegan romantis kecil bila kita baru mengalami tragedi. Tapi sewaktu aku menyusuri ruas menuju tempat tinggal lama Kolonel, aku bertemu puterinya yang berjalanjalan dengan Dr. Valentine. Tentu saja dia sedang berkabung, sementara Dr. Valentine selalu mengenakan hitam-hitam seperti hendak pergi ke makam. Tapi aku tak bisa pastikan apakah wajah mereka menampakkan ekspresi dukacita pemakaman. Belum pernah aku melihat dua orang saling memandang sebegitu berseriseri dan riang. Mereka berhenti dan memberi salam padaku, lalu nona bilang mereka sudah menikah dan tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, di mana dokter melanjutkan prakteknya. Ini lumayan mengagetkanku, sebab aku tahu surat wasiat ayahnya mewariskan properti padanya. Aku menyinggung soal itu dengan berkata bahwa aku akan pergi ke tempat tinggal lama ayahnya dan setengah berharap akan bertemu di sana. Tapi dia cuma tertawa dan bilang, “Oh, kami sudah melepas semuanya. Suamiku tidak suka ahli waris perempuan.” Dan ternyata, mereka memang telah mengembalikan properti tersebut kepada Donald yang malang. Jadi kuharap dia akan senang dan merawatnya dengan pantas. Dia tak 24
punya banyak urusan; dia sangat muda dan ayahnya sangat tidak bijak. Tapi, berkenaan dengan itu, nona mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti saat itu; tapi kini aku yakin seperti yang kau bilang. Dia berkata, dengan keangkuhan altruistik: “‘Kuharap dengan begitu si bodoh berambut merah itu berhenti meributkan surat wasiat. Apa dia pikir suamiku, yang telah melepas mahkota dan karangan bunga setua Pasukan Salib demi prinsip, akan membunuh lelaki tua di rumah musim panas demi warisan seperti itu?’ Lalu dia tertawa lagi dan berkata, ‘Suamiku tidak membunuh siapapun kecuali secara bisnis. Ah, dia bahkan tidak meminta teman-temannya untuk mendatangi sekretaris itu.’ Nah, sudah pasti aku paham apa maksudnya.” “Aku paham sebagian maksudnya, sudah pasti,” kata Romo Brown. “Tapi apa yang dia maksud sekretaris meributkan surat wasiat?” Fiennes menjawab sambil tersenyum. “Andai saja kau kenal sekretaris itu, Romo Brown. Pasti kau akan senang mengamatinya menghidupkan segala hal, demikian dia menyebutnya. Dia menghidupkan rumah. Dia memenuhi pemakaman dengan segala keriuhan dan semangat ala acara olahraga paling ramai. Tak ada yang bisa menahannya bila ada kejadian. Aku sudah cerita, bagaimana dia biasa mengatur tukang kebun yang sedang merawat taman, dan bagaimana dia menginstruksikan kuasa hukum dalam urusan hukum. Jangan lupa, dia juga menginstruksikan ahli bedah dalam praktek bedah. Dan karena ahli bedahnya adalah Dr. Valentine, akhirnya dia menuduhnya melakukan pembedahan yang 25
buruk, bahkan lebih berat dari itu. Sekretaris ini mencamkan dalam kepala merahnya bahwa dokter telah melakukan kejahatan. Dan ketika polisi tiba, dia menjadi sangat mulia. Haruskah kuceritakan bagaimana dia menjadi detektif amatir terhebat? Sherlock Holmes tak pernah mengungguli Scotland Yard dengan kebanggaan dan cemoohan intelektual yang lebih besar daripada sekretaris pribadi Kolonel Druce atas kepolisian yang menyelidiki kematiannya. Kutegaskan, melihatnya adalah suatu kesenangan. Dia mondarmandir dengan hawa kurang acuh, menggoyang-goyangkan puncak rambut merah tuanya dan memberi sahutan kasar dan tak sabar. Tentu saja, selama hari-hari itu tingkahnya membuat puteri Druce begitu berang padanya. Tentu saja dia punya teori. Tipe teori yang bisa dijumpai dalam buku, dan dia tipe orang yang semestinya berada dalam buku. Dia akan lebih menyenangkan dan kurang menyusahkan jika berada dalam buku.” “Apa teorinya?” tanya pendeta. “Oh, penuh energi,” jawab Fiennes muram. “Bisa menjadi salinan agung andai dia merepet sepuluh menit lebih lama. Dia bilang Kolonel masih hidup ketika mereka menemukannya dan dokter membunuhnya dengan alat bedah sambil berpura-pura menyayat pakaian.” “Aku mengerti,” kata pendeta. “Dia tertelungkup di atas lantai seperti sedang tidur petang.” “Semangat tandingnya luar biasa,” sambung informan. “Aku yakin Floyd akan memasukkan teori agungnya ke dalam suratkabar bagaimanapun caranya, mungkin kalau dokter ditahan, tapi semua 26
itu tertiup ke langit tinggi oleh penemuan mayat di bawah Batu Keberuntungan. Dan ke situlah kita kembali. Kurasa bunuh diri itu hampir seperti pengakuan. Tapi tak ada yang akan tahu seluruh ceritanya.” Hening. Lalu pendeta berucap sederhana, “Rasanya aku tahu seluruh ceritanya.” Fiennes terbelalak. “Tapi,” serunya, “bagamana kau bisa tahu seluruh ceritanya, atau merasa yakin itu cerita aslinya? Sejak awal kau duduk di sini menulis khotbah, seratus mil jauhnya. Kau mau bilang, kau betul-betul tahu apa yang terjadi? Jika kau memang sudah tahu akhirnya, di mana awalnya? Apa yang membuatmu memulai cerita sendiri?” Romo Brown melompat girang tak biasa, dan untuk pertama kali seruannya bagaikan letupan. “Anjingnya!” teriaknya. “Anjingnya, tentu saja! Kau sudah memegang seluruh ceritanya dengan insiden anjing di pantai, andai kau perhatikan anjing itu lebih cermat.” Fiennes semakin terbelalak. “Tapi sebelumnya kau bilang firasatku tentang anjing itu omong-kosong, dan anjing itu tak ada kaitannya.” “Anjing itu punya segala kaitan dengan kasus,” kata Romo Brown, “kau akan tahu jika saja memperlakukan anjing sebagai anjing dan bukan sebagai Tuhan Maha Besar yang mengadili jiwa manusia.” Dia berhenti sejenak, merasa malu, lalu berkata dengan nada apologi yang menyedihkan: 27
“Sebetulnya, aku sangat suka anjing. Dan dalam lingkaran takhayul anjing yang seram ini tak ada yang sungguh-sungguh memikirkan anjing malang itu sama sekali. Dimulai dengan poin sepele, soal gonggongannya terhadap pengacara atau geramannya terhadap sekretaris. Kau tanya bagaimana aku bisa menebak keadaan yang jauhnya seratus mil, padahal sejujurnya itu berkat dirimu. Kau yang melukiskan orang-orang dengan begitu apik sampai aku bisa tahu tipe-tipenya. Orang macam Traill yang biasanya merengut dan tiba-tiba tersenyum, orang yang bermainmain dengan benda, terutama di lehernya, adalah orang yang gugup, mudah malu. Aku tak merasa heran jika Floyd, sekretaris efisien itu, penggugup dan penggelisah. Para Yankee memang seringkali begitu. Kalau tidak, jarinya tak mungkin tersayat gunting dan menjatuhkannya saat dia mendengar jeritan Janet Druce. “Nah, anjing benci orang-orang yang gugup. Aku tidak tahu apa mereka membuat anjing ikut gugup; atau apakah, sebagai binatang, ia sedikit menggertak; atau apakah kesombongan sebagai anjing (yang mana sangat besar) terluka karena tidak disukai. Tapi bagaimanapun juga tak ada yang signifikan dalam protes Nox terhadap orang-orang itu, kecuali bahwa dia membenci mereka karena mereka takut padanya. Aku tahu kau sangat cerdik, dan tak ada orang waras yang mencemooh kecerdikan. Tapi terkadang aku merasa kau terlalu cerdik untuk memahami binatang. Terkadang kau terlalu cerdik untuk memahami manusia, khususnya ketika mereka bertindak nyaris sesederhana binatang. Binatang sangat apa 28
adanya, mereka hidup di dunia truisme. Ambil contoh: seekor anjing menggonggongi seorang manusia dan seorang manusia lari dari seekor anjing. Nah, kau tidak cukup sederhana untuk memahami fakta ini: anjing menggonggong karena ia tidak menyukainya, dan manusia tersebut lari karena takut padanya. Anjing tak punya motif lain dan tak butuh motif. Tapi kau pasti membaca misteri psikologis di dalamnya dan mengira anjing itu memiliki penglihatan di atas normal, dan menjadi penyampai bencana yang misterius. Kau pasti mengira orang itu lari dari algojo bukan anjing. Tapi, jika kau sampai berpikir begitu, semua psikologi mendalam ini jadi mustahil. Jika anjing betul-betul mampu mengetahui pembunuh majikannya secara utuh dan sadar, ia takkan menyalak-nyalak layaknya kepada asisten pendeta di pesta teh; kemungkinan besar ia akan menerkam lehernya. Dan di sisi lain, apa kau sungguh mengira seseorang yang telah mengeraskan hati untuk membunuh teman lama lalu berjalan sambil
tersenyum
kepada
keluarga
temannya,
di
bawah
pengawasan puteri temannya dan dokter pemeriksa mayat—apa kau mengira orang seperti itu akan meringkuk menyesal gara-gara gonggongan anjing? Mungkin dia merasakan ironi tragedi; mungkin itu menggoncang jiwanya, seperti tragedi sepele lain. Tapi dia takkan kocar-kacir sepanjang taman untuk lari dari satusatunya saksi yang tak mampu bicara. Orang-orang terkena panik seperti itu bila ketakutan, bukan karena ironi tragedi, tapi karena taring. Semua ini lebih sederhana dari yang kau pahami. “Tapi begitu kita beralih ke insiden di pantai, keadaan jauh 29
lebih
menarik.
Seperti
katamu
waktu
itu,
jauh
lebih
membingungkan. Aku tak mengerti dengan kisah anjing yang masuk dan keluar air. Itu seperti bukan kegiatan anjing. Jika Nox sangat gelisah dengan suatu urusan lain, mungkin ia akan menolak menguber tongkat sama sekali. Mungkin ia akan mengendus-endus ke arah manapun yang dicurigainya terjadi kejahatan. Tapi sekali anjing mengejar suatu benda, batu atau tongkat atau kelinci, menurut pengalamanku ia takkan berhenti kecuali dengan perintah tegas, tapi tidak selalu. Bahwa ia berputar karena mood-nya berubah, menurutku itu sangat tidak mungkin.” “Tapi dia memang berputar,” kukuh Fiennes, “dan kembali tanpa tongkat.” “Dia kembali tanpa tongkat karena alasan terbaik,” balas pendeta. “Dia kembali karena tak menemukannya. Dia melengking karena tak menemukannya. Seekor anjing sudah biasa melengking karena hal semacam itu. Anjing adalah iblisnya ritualis. Ia rewel soal rutinitas persis sebuah permainan, sebagaimana anak kecil yang rewel soal pengulangan persis sebuah dongeng. Dalam hal ini ada yang salah dengan permainan. Ia kembali untuk mengeluhkan kelakuan tongkat. Sebelumnya tak pernah begitu. Tak pernah seekor anjing ulung dan terhormat diperlakukan seperti itu oleh sebatang tongkat jalan tua dan busuk.” “Ah, apa yang diperbuat tongkat jalan?” selidik si pemuda. “Tenggelam,” kata Romo Brown. Fiennes bungkam, tapi tetap terbelalak. Pendeta melanjutkan. “Tenggelam karena bukan betul-betul tongkat, melainkan 30
batang baja dengan selongsong tipis dan ujung tajam. Dengan kata lain, itu tongkat berisi pedang. Tongkat pedang. Kupikir seorang pembunuh tak pernah membuang senjatanya secara aneh begitu, tapi sekaligus alami, dengan melemparnya ke laut agar diambil anjing retriever.” “Aku mulai mengerti maksudmu,” Fiennes mengaku, “tapi jikapun menggunakan tongkat pedang, aku tak bisa menebak bagaimana penggunaannya.” “Aku punya tebakan,” tukas Romo Brown, “sejak awal kau menyebut rumah musim panas. Dan sejak kau bilang Druce mengenakan mantel putih. Selama setiap orang mencari belati pendek, tak ada yang terpikir soal ini; tapi jika kita perhitungkan bilah yang agak panjang seperti pedang rapier, itu sama sekali tak mustahil.” Dia menyandar ke belakang, menatap langit-langit, dan mulai kembali ke pikiran dan prinsip pertamanya. “Seluruh diskusi tentang cerita-cerita detektif semacam Kamar Kuning, tentang seseorang yang ditemukan mati dalam kamar tertutup yang tak bisa dimasuki siapapun, tidak berlaku pada kasus ini, sebab tempatnya di rumah musim panas. Ketika kita menyebut Kamar Kuning, atau kamar apa saja, kita berurusan dengan tembok yang homogen dan tak tertembus. Sedangkan rumah musim panas tidak dibuat seperti itu; seringkali, sebagaimana dalam kasus ini, dibuat dari cabang-cabang pohon dan kulit-kulit kayu yang dijalin rapat tapi masih terpisah, di mana ada renggang di sana sini. Terdapat satu renggang tepat di belakang punggung Druce saat dia 31
duduk di kursinya di tembok. Tapi, karena ruangan tersebut adalah rumah musim panas, maka kursinya kursi keranjang. Ini juga berupa kekisi lubang kecil. Terakhir, rumah musim panasnya berada dekat di bawah tanaman pagar, dan barusan kau bilang tanamannya tipis. Seseorang yang berdiri di luar dapat dengan mudah melihat satu titik putih mantel Kolonel di antara jejaring ranting, dahan, dan rotan. “Nah, kau belum menjelaskan geografinya. Tapi bisa disimpulkan dari fakta-fakta yang diketahui. Kau bilang Batu Keberuntungan tidak terlalu tinggi, tapi kau juga bilang ia terlihat mendominasi taman seperti puncak gunung. Dengan kata lain, ia sangat dekat dengan ujung taman, meski perjalananmu jauh memutar untuk menuju ke sana. Selain itu, tidak mungkin jeritan nona terdengar sampai jarak setengah mil. Dia menjerit biasa, di luar kemauan, tapi kau mendengarnya di pantai. Dan di antara hal menarik lain yang kau ceritakan, boleh kuingatkan bahwa kau bilang Harry Druce ketinggalan di belakang untuk menyalakan pipa cerutunya di bawah tanaman pagar.” Fiennes sedikit gemetar. “Maksudmu dia mengeluarkan pedangnya di sana dan melemparkannya ke titik putih menerobos tanaman. Tapi itu kesempatan yang sangat aneh dan pilihan yang sangat mendadak. Selain itu, dia tak bisa pastikan uang pak tua itu telah diwariskan kepadanya, dan nyatanya tidak.” Raut wajah Romo Brown tergugah. “Kau salah memahami karakter orang itu,” katanya, seakan dia sendiri mengenalnya. “Tipe karakter yang aneh tapi tidak asing. 32
Jika dia sudah tahu uangnya akan turun kepadanya, aku yakin dia takkan berbuat itu. Dia akan menganggapnya sebagai perbuatan kotor.” “Bukankah itu paradoks?” tanya rekannya. “Orang ini penjudi,” kata pendeta, “orang yang hina lantaran mengambil resiko dan mendahului perintah. Mungkin karena tak mengindahkan moral. Setiap polisi kerajaan lebih mirip polisi rahasia Rusia daripada yang kita perkirakan. Tapi dia telah melampaui batas dan rusak. Nah, godaan tipe orang seperti itu adalah berbuat hal gila dengan tepat sebab resikonya akan sangat besar. Dia ingin berkata, ‘Tak ada selain aku yang mampu menangkap peluang ini atau mengambilnya sekarang juga atau tidak sama sekali. Terkaanku memang liar dan luar biasa, aku berhasil merangkai semua ini; Donald mendapat aib, pengacara dipanggil, aku dan Herbert dipanggil pada waktu yang sama—lalu cara pak tua itu menyeringai padaku dan menjabat tangan. Siapapun akan bilang aku gila mengambil resiko ini, tapi begitulah keberuntungan didapat, oleh orang yang cukup gila untuk sedikit meramal.’ Pendek kata, itu tebak-tebakan. Itu megalomania penjudi. Semakin ganjil kebetulannya, semakin spontan keputusannya, semakin mungkin dia mengambil peluang. Kebetulan sepele berupa bintik putih dan lubang pada tanaman pagar telah memabukkannya seperti bayangan hasrat duniawi. Sungguh pengecut jika manusia cerdik yang melihat kombinasi kebetulan semacam itu tidak memanfaatkannya! Demikianlah iblis berkata kepada penjudi itu. Tapi iblis sendiri hampir tak perlu menggoda 33
lelaki malang itu untuk terperosok secara membosankan dan membunuh paman renta yang selalu menjadi tumpuan harapannya. Itu terlalu terhormat.” Dia
berhenti
sebentar,
kemudian
melanjutkan
dengan
penekanan yang tenang. “Sekarang coba bangkitkan adegannya, seolah kau melihatnya sendiri. Saat dia berdiri di sana, pusing dengan kesempatan jahat yang terbentang, dia mendongak dan melihat garis aneh yang menjadi citra jiwanya yang terhuyung-huyung; sebuah karang curam besar bersikap tenang mengancam seperti piramida, lalu dia teringat bahwa itu dinamakan Batu Keberuntungan. Bisa kau tebak bagaimana orang seperti itu, di momen seperti itu, akan membaca sinyal seperti itu? Dia pasti tergerak untuk beraksi dan bahkan waspada. Dia akan menjadi menara, tak boleh takut menjadi menara yang tumbang. Maka, dia pun beraksi. Rintangan berikutnya adalah menutupi jejak. Kedapatan membawa tongkat pedang, apalagi yang bernoda darah, akan fatal dalam penggeledahan nanti. Jika dia meninggalkannya di suatu tempat, pasti akan ditemukan dan barangkali ditelusuri. Jika dilempar ke laut, tindakan tersebut akan terlihat—kecuali kalau dia memikirkan suatu cara yang lebih alami dalam menutupi tindakannya. Seperti kau tahu, dia terpikir satu cara, cara yang sangat hebat. Sebagai satu-satunya orang yang memakai arloji, dia bilang pada kalian belum waktunya untuk kembali, lalu berjalan-jalan sedikit lebih jauh dan memulai permainan lempar tongkat. Matanya pasti bergulir dalam gelap di pantai terpencil itu sebelum hinggap pada anjing!” 34
Fiennes mengangguk, memandang angkasa sambil berpikir. Benaknya hanyut kembali ke bagian praktis cerita tersebut. “Aneh sekali,” katanya, “ternyata anjing itu memang termasuk dalam cerita.” “Anjing itu bisa menceritakannya padamu andai ia bisa bicara,” kata pendeta. “Sayangnya, karena ia tidak bisa bicara, kau mengarang cerita untuknya, dan membuatnya bicara dengan lidah manusia dan malaikat. Hal ini semakin sering kulihat di dunia modern, tampil dalam segala jenis rumor suratkabar dan slogan percakapan; sesuatu yang sewenang-wenang tanpa wewenang. Masyarakat siap menelan klaim-klaim tak teruji ini, itu, atau lainnya. Menenggelamkan semua rasionalisme dan skeptisisme lamamu, datang bagai ombak. Dan namanya adalah takhayul.” Tiba-tiba dia berdiri, wajahnya merengut, kemudian bicara seolah sedang sendirian. “Itulah efek pertama mengingkari Tuhan, kau kehilangan akal sehat, dan tak mampu memandang keadaan apa adanya. Apapun yang orang bicarakan, dan diklaim ada sesuatu di dalamnya, meluas tak terbatas seperti pemandangan dalam mimpi buruk. Anjing adalah pertanda, kucing adalah misteri, babi adalah maskot, kumbang adalah jimat, semua binatang politeisme dari Mesir dan India kuno dipanggil satu persatu; Anjing Anubis, Pasht agung bermata hijau, dan semua Banteng Bashan keramat yang melolong; balik lagi ke dewa-dewa binatang di masa purba, lari kepada gajah, ular, dan buaya; dan semua ini karena kau takut dengan empat kata: ‘Mereka dijadikan layaknya Manusia.’” Sang pemuda bangkit, sedikit malu, seakan-akan baru 35
menguping solilokui. Dia memanggil anjingnya lalu meninggalkan ruangan dengan salam perpisahan yang samar tapi gembira. Tapi dia harus memanggil anjingnya dua kali, sebab peliharaannya itu tetap di belakang, sesaat tak bergeming, menatap kokoh Romo Brown seperti serigala yang menatap St. Francis.
36