KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2009 TENTANG HASIL RAPAT KERJA NASIONAL DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa Rapat Kerja Nasional Departemen Agama Tahun 2009 telah menghasilkan pokok-pokok pikiran sebagai arah kebijakan dan program kerja Departemen Agama Tahun 2009; b. bahwa hasil Rapat Kerja Nasional perlu dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas dan fungsi seluruh jajaran Departemen Agama; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Agama tentang Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Agama Tahun 2009;
Meningat
: 1. Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 2. Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 3. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2008 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia; 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG HASIL RAPAT KERJA NASIONAL DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2009.
KESATU...
KESATU
: Menetapkan Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Agama Tahun 2009, yang diselenggarakan pada tanggal 5 sampai dengan 7 Maret 2009 sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan ini.
KEDUA
: Hasil Rapat Kerja Nasional sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU, merupakan : (1) Kebijakan umum Departemen Agama; (2) Pedoman pemantapan program tahun 2009, (3) Pedoman perencanaan program tahun 2010; dan (4) Sebagai landasan penyusunan Rencana Strategis 2010 – 2014.
KETIGA
: Menetapkan hasil-hasil Sidang Komisi pada Rapat Kerja Nasional Departemen Agama Tahun 2009 sebagai dokumen otentik/pendukung hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Agama Tahun 2009.
KEEMPAT
: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 April 2009 MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
MUHAMMAD M. BASYUNI
LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2009
TENTANG HASIL RAPAT KERJA NASIONAL DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2009
I
HASIL RAPAT KERJA NASIONAL (RAKERNAS) A. DASAR PEMIKIRAN RAPAT KERJA NASIONAL (RAKERNAS) : 1. Rakernas Departemen Agama tahun 2009 merupakan momentum yang sangat penting, karena dilaksanakan menjelang akhir masa bhakti Kabinet Indonesia Bersatu. 2. Rakernas ini juga merupakan wahana refleksi dan evaluasi terhadap kinerja kelembagaan Departemen Agama, mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi, memetakan berbagai kekuatan dan kelemahan yang ada, merumuskan isu-isu utama, dan menetapkan langkah-langkah strategis Departemen Agama lima tahun ke depan. 3. Selain itu, Rakernas juga dijadikan forum untuk semakin memperteguh komitmen Departemen Agama dalam memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam berbagai bentuk dan jenisnya, serta mendorong percepatan reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Agama. 4. Pemikiran di atas bertujuan agar Departemen Agama dapat mengelola segenap potensi untuk memetakan kelemahan, sekaligus menjawab berbagai peluang dan tantangan, dalam rangka memantapkan peran untuk meningkatkan kualitas pelayanan umat beragama, sebagaimana tema Rakernas kali ini, yaitu : “Dengan Rapat Kerja, Kita Mantapkan Kinerja Departemen Agama dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Umat Beragama”. B. POKOK-POKOK BAHASAN RAPAT KERJA NASIONAL (RAKERNAS) : 1.
Dalam upaya menciptakan Tata Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, meningkatkan Kualitas Kehidupan Beragama, dan meningkatkan Akses Masyarakat terhadap Pendidikan yang Berkualitas, sebagaimana diamanatkan kepada Departemen Agama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, yang merupakan tindak lanjut ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Agama menerapkan kebijakan yang sesuai dengan pembangunan bidang agama, dan secara terus-menerus melakukan berbagai penyempurnaan, perbaikan, dan pengembangan program dan kegiatan pembangungan di bidang agama dan bidang pendidikan agama dan keagamaan.
2. Di bidang... 2. Di bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama, khususnya pada sektor pelayanan umat beragama, beberapa permasalahan yang bersifat substantif
berkembang dan memerlukan respon secara komprehensif. Di antara permasalahan yang berkembang tersebut adalah perlu melakukan penataan kembali terhadap lembaga keagamaan semi resmi di lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, seperti P3N (Penyelesaian Pembantu PPN), BKM (Badan Kesejahteraan Masjid), BP4 (Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian), BHR (Badan Hisab Rukyat), LP2A (Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama), dan LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an), karena adanya tuntutan terhadap penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang ada. 3. Di bidang pendidikan agama dan keagamaan, bahwa dengan hadirnya UndangUndang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Departemen Agama perlu segera mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan transformasi kelembagaan pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama menjadi BHP. Langkah-langkah ini sekaligus dilakukan juga untuk melakukan penataan dan penguatan kelembagaannya, baik untuk perguruan tinggi agama negeri, madrasah maupun lembaga pendidikan keagamaan non formal. 4. Di bidang penyempurnaan tata kelola Departemen Agama, terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kelembagaan dan akuntabilitas kinerja, perlu menjadi perhatian untuk disusun suatu kebijakan umum sebagai komitmen dan strategi bersama dalam upaya menciptakan good governance. Termasuk dalam hal ini adalah mengenai organisasi vertikal Departemen Agama, penataan lembaga-lembaga keagamaan, dan hasil pemeriksaan laporan keuangan Departemen Agama yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang belum mencapai opini “wajar tanpa pengecualian” (unqualified opinion)”. 5. Berkenaan dengan perwujudan dari akuntabilitas kinerja Departemen Agama, maka pada tahun terakhir RPJMN ini, diharapkan dapat diperoleh masukan (input) yang dapat dijadikan bahan dalam penyusunan Rencana Strategis Departemen Agama RI Tahun 2010-2014. C. HASIL RAPAT KERJA NASIONAL DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2009 1. PENYUSUNAN LAPORAN KINERJA DEPARTEMEN AGAMA 2005-2009 DAN ISU STRATEGIS PENYUSUNAN RENSTRA DEPARTEMEN AGAMA 20102014: a. Laporan kinerja dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Penyusunan laporan kinerja Departemen Agama harus mengacu pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program yang telah ditetapkan dalam Renstra Departemen Agama 2005-2009. Dengan demikian laporan kinerja adalah bentuk pertanggungjawaban organisasi terhadap hasil yang dicapai dalam pelaksanaan renstra dimaksud;
2) Aspek... 2) Aspek penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan laporan kinerja adalah program-program pembangunan agama yang menjadi bidang tugas Departemen Agama selama lima tahun, permasalahan yang dihadapi,
3)
4)
5)
6)
langkah-langkah strategis yang dilakukan, hasil-hasil yang dicapai, dan tindak lanjut yang diperlukan; Bidang tugas yang menjadi fokus Departemen Agama meliputi peningkatan kualitas kehidupan beragama; peningkatan kerukunan umat beragama; peningkatan pendidikan agama dan keagamaan; peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji; dan peningkatan tata kelola kepemerintahan yang bersih; Dalam laporan kinerja, ke lima bidang tugas tersebut perlu diberikan pembobotan pada aspek-aspek tertentu yang dipandang sangat strategis seperti masalah yang menjadi fokus perhatian publik, menyangkut hajat hidup orang banyak, menentukan keutuhan NKRI, membangun citra institusi, dan seterusnya; Laporan kinerja hendaknya disusun bersama oleh sebuah tim yang memiliki kualifikasi dan kompetensi memadai dan merupakan representasi unit-unit kerja di lingkungan Departemen Agama. Komposisi tim yang representatif akan memudahkan konfirmasi, konsultasi, dan penyiapan bahan-bahan yang diperlukan. Tim penyusun di bawah koordinasi dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama. Pembentukan tim penyusun selambat-lambatnya empat bulan sebelum Kabinet Indonesia Bersatu berakhir.
b. Isu strategis penyusunan Renstra Departemen Agama 2010-2014 meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Penanggulangan dampak negatif globalisasi, modernisasi, dan reformasi; 2) Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai keagamaan; 3) Peningkatan kualitas manajemen pelayanan keagamaan; 4) Penguatan kelembagaan, peningkatan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak; 5) Pemberdayaan lembaga keagamaan; 6) Peningkatan kualitas pengelolaan haji; 7) Peningkatan kualitas pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU); 8) Penanganan kasus keagamaan; 9) Pemberdayaan umat melalui mobilisasi potensi zakat, wakaf, dan dana keagamaan; 10) Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan; 11) Kelahiran sejumlah peraturan perundang-undangan baru di bidang pendidikan; 12). Penerapan... 12) Penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di lingkungan lembaga pendidikan di bawah binaan Departemen Agama; 13) Penerapan Badan Layanan Umum (BLU) pada Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAN);
14) Penyelenggaraan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar 9 Tahun di lembaga pendidikan keagamaan; 15) Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; dan 16) Peningkatan tata kelola kepemerintahan yang bersih. 2. PENYUSUNAN ATURAN TENTANG PENERAPAN BADAN PENDIDIKAN (BHP) DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA
Dikdas)
HUKUM
Upaya penyusunan aturan tentang penerapan BHP di lingkungan Departemen Agama dibagi menjadi tiga agenda utama, yaitu: a. Agenda Departemen Agama (Pusat) Pada tahun 2009 melakukan penilaian terhadap kesiapan satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama untuk menerapkan UU BHP dan membentuk satuan tugas tingkat pusat dengan tugas: 1) Merancang desain transformasi menjadi BHP dengan tetap mempertahankan karakteristik dan kebutuhan khusus yang ada pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama; 2) Menyusun manual persiapan BHP (meliputi: manual tatakelola, Pengembangan Program Akademik, Pengembangan SDM, Pendanaan, Pengelolaan Syste dan Sistem penjaminan mutu); 3) Menyiapkan program pelatihan internal mengenai BHP; 4) Melakukan pendampingan; 5) Mengusulkan dan menetapkan kegiatan percontohan BHP pada satuan pendidikan di lingkungan Departemen Agama; 6) Melakukan koordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk memastikan posisi-posisi masalah pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama, seperti madrasah bertaraf internasional yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, pendirian lembaga-lembaga baru pasca undang-undang, dan lain-lain. 7) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung transformasi satuan pendidikan menjadi BHP. b. Agenda Kantor Wilayah 1) Membentuk satuan tugas persiapan dalam rangka transformasi satuan pendidikan dasar menengah dalam binaan Departemen Agama menjadi BHP. 2) Mengintensifkan usaha dan program untuk pemenuhan standar nasional pendidikan (sesuai PP nomor 19 Tahun 2005) dan akreditasi satuan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Departemen Agama sampai pada akreditasi A. 3) Merancang… c) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung transformasi satuan pendidikan dasar dan menengah di wilayah masing-masing untuk menjadi BHP. c. Agenda Perguruan Tinggi Agama
1) Membentuk satuan tugas persiapan dalam rangka transformasi menjadi PTA-BHP. 2) Memperkuat posisi dan status Kelembagaan PTA (Akademik/Program Studi/akreditasi, SDM/tenaga pendidik dan kependidikan, manajemen/tata kelola perguruan tinggi, dan komponen-komponen lainnya) sejalan dengan prinsip-prinsip UU BHP . 3) Merancang desain dan manual transformasi PTA menjadi BHP. 4) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung proses trasnformasi kelembagaan menjadi PTA-BHP. B. PENYUSUNAN STRATEGI MEWUJUDKAN LAPORAN KEUANGAN DENGAN OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN a. Dalam upaya mewujudkan laporan keuangan Departemen Agama dengan opini wajar tanpa pengecualian, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1). Melakukan identifikasi kelemahan pada setiap tingkatan organisasi khususnya menyangkut ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, organisasi khusus pengelola keuangan, sarana dan prasarana, manajemen dan kepemimpinan, kepatuhan terhadap peraturan; 2) Dalam konteks penyediaan sumber daya manusia, perlu memprioritaskan pengangkatan tenaga pengelola keuangan/ akuntansi, untuk golongan II dan III bagi satker terendah (MIN, MTsN, MAN) dan secara bertahap ke lingkungan Kandepag Kota/Kabupaten hingga tingkat Pusat; 3) Melaksanakan berbagai jenis pelatihan yang diperlukan bagi SDM pengelola keuangan; 4) Perlu segera membentuk struktur organisasi yang menangani pengelolaan keuangan di tingkat pusat dan daerah; 5) Perlu segera melengkapi sarana dan prasarana pengelolaan keuangan terutama di tingkat satker terendah; 6) Menyusun pedoman dalam bentuk juknis yang mengatur mekanisme penyusunan dan pelaporan keuangan dari unit terkecil sampai dengan unit eselon I; 7) Mengalokasikan anggaran bagi para pengelola keuangan; 8) Menyelesaikan inventarisasi barang milik negara;
9) Melakukan... 9) Melakukan sosialisasi berbagai peraturan pengelolaan keuangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman, kepatuhan dan kedisiplinan terhadap berbagai aturan perbendaharaan bagi para pelaksana anggaran; 10) Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
11) Meningkatkan pengawasan internal baik melalui pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional meliputi perencanaan, pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan. b. Dalam upaya mewujudkan laporan keuangan sebagaimana di atas, status pengelolaan asrama haji perlu dipertegas, baik dari aspek pengelolaan, pertanggungjawaban dan hukum. Untuk itu perlu dilakukan salah satu dari dua alternatif di bawah ini untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu : 1) Perlu dibentuk Satuan Kerja Pengelola Asrama Haji setingkat eselon II B di bawah Sekretariat Jenderal yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai pengelola aset asrama haji. Pada tahap selanjutnya, Satker tersebut karena tugas dan fungsinya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, maka perlu dikembangkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU). 2) Perlu dibentuk Badan Hukum yang Berstatus Wakaf agar aset asrama haji dapat dikembangkan secara lebih optimal, melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. Perubahan status aset akan dikendalikan oleh badan hukum yang berstatus wakaf. Pembentukan badan hukum yang berstatus wakaf ini dimaksudkan agar eksistensi aset-aset asrama haji tidak berkurang, bahkan dapat dikembangkan secara optimal karena berstatus lembaga independen yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Status aset dalam hukum wakaf berprinsip tidak boleh berkurang, dan secara otomatis tidak dapat diambil sebagai barang milik negara, tetapi milik umat. D. PENYEMPURNAAN ORGANISASI DAN TATA KELOLA 1. Organisasi Instansi Vertikal Departemen Agama Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam penyempurnaan Kanwil dan Kandepag adalah:
organisasi
a) Meminimalisasi perbedaan organisasi antar Kanwil/Kandepag b) Menyesuaikan dengan struktur organisasi di tingkat pusat c) Perbedaan organisasi antar Kanwil/Kandep disesuaikan dengan beban layanan publik mengacu kepada komposisi umat beragama dan lembaga pelayanan pendidikan dan keagamaan. d) Semua... d) Semua bagian tata usaha pada Kanwil dan semua Subbagian tata usaha pada Kandepag memiliki struktur dan Tupoksi yang sama. e) Semua tugas Departemen Agama harus dicakup pada organisasi vertikal kecuali pembinaan Perguruan Tinggi Agama. 2. Penataan Lembaga-lembaga Keagamaan
Dalam penataan lembaga-lembaga keagamaan, perlu dilakukan penyusunan aturan tentang penataan lembaga-lembaga keagamaan dan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) 1) Relevansi eksistensi BKM perlu dikaji dan sebaiknya fungsi BKM diintegrasikan ke dalam Tugas dan Fungsi Ditjen Bimas Islam dan bidang di Kanwil serta seksi di Kandepag yang relevan. 2) Aset BKM perlu ditetapkan statusnya apakah secara langsung dijadikan aset Departemen Agama atau perlu dicarikan alternatif lainnya. 3) Perlu pendataan aset BKM di semua daerah dan melaporkan hasil pendataan ke Departemen Agama Pusat. b. Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) 1) Dilakukan perumusan mendalam tentang apakah tugas dan fungsi P3N menjadi tugas dan fungsi pembantu penyuluh agama (honorer) yang ditugaskan oleh Departemen Agama disetiap desa/kelurahan; 2) Tugas dan fungsi pembantu penyuluh agama dimaksud di samping membantu tugas-tugas kepenghuluan, juga melaksanakan tugas membantu penyuluh dalam pembinaan umat; 3) Dengan pengalihan fungsi P3N tersebut, maka anggaran untuk tenaga penyuluh honorer dialihkan untuk pembantu penyuluh agama. Dengan demikian permasalahan tuntutan P3N untuk memperoleh honor dari Departemen Agama dapat diatasi. c.
Badan Hisab Rukyat (BHR) 1) Kedudukan BHR diperkuat dalam upaya memperkuat peran Pemerintah dalam penyatuan umat Islam terkait penetapan Kalender Hijriyah dan hari-hari raya Islam. 2) BHR menjadi lembaga yang berfungsi memberikan kajian dan pengembangan tentang hisab dan rukyat serta memberi masukan teknis kepada Menteri Agama tentang penetapan kalender Hijriyah dan hari-hari raya Islam. 3) BHR diperluas keanggotaannya dengan melibatkan unsur organisasi keagamaan, lembaga terkait, dan perorangan yang memiliki keahlian yang relevan. d. Lembaga...
d.
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) 1) Perlu penguatan peran dan fungsi LPTQ yang tidak terbatas hanya pada penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an dan sejenisnya diberbagai tingkatan. 2) LPTQ mempunyai tugas dan fungsi pembinaan dan pengembangan pendidikan non formal dan informal di bidang Al-Qur’an dan
e.
f.
g.
pelatihan Qori dan Qoriah, Hafidz dan Hafidzah, dan sejenisnya diberbagai tingkatan. 3) Mengoptimalkan peran instansi terkait dan Pemerintah Daerah dalam mendukung program LPTQ. Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama (LP2A) 1) Mengintegrasikan tugas dan fungsi LP2A ke dalam fungsi penyuluh agama PNS di Kantor Urusan Agama (KUA). 2) Merumuskan tugas dan fungsi penyuluh agama secara detail, terarah dan terukur sesuai dengan kebutuhan dan kondisi riil pembinaan umat. 3) Sasaran penyuluhan agama adalah tempat ibadah, organisasi keagamaan, kelompok-kelompok pengajian dan sejenisnya. 4) Penyuluh agama berperan sebagai ujung tombak untuk mengidentifikasi dan melakukan pembinaan aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang dan membina kerukunan umat beragama. Badan Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) 1) Perlu penegasan fungsi pembinaan calon pengantin yang diintegrasikan kedalam tugas dan fungsi KUA dengan pembinaan dan advokasi masalah perkawinan dan perceraian bagi masyarakat umum yang menjadi tugas BP4. 2) Peran pembinaan dan advokasi oleh BP4 mencakup upaya penasehatan, preventif dan penyelesaian masalah keluarga serta mendorong terwujudnya keluarga sakinah. 3) BP4 diarahkan sebagai lembaga yang independen dengan koordinasi ke Departemen Agama dan keberadaannya diatur oleh Menteri Agama. 4) BP4 dijadikan satu-satunya lembaga mediasi bagi pasangan yang mengajukan cerai ke pengadilan. Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Islam (BPPHI) 1) Keberadaan BPPHI tidak berfungsi sebagaimana mestinya, mengingat sebagian besar tugas dan fungsinya telah diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah secara khusus seperti Dewan Syariah, BWI, BAZ, LAZ, Lembaga Sertifikat Halal, Dewan Arbritrase Syariah dan lain-lain. 2) Mengingat keberadaan yang sudah tidak berfungsi tersebut, peraturan menteri tentang BPPHI perlu dicabut. 3) Tugas... 3) Tugas dan fungsi yang terkait dengan pengkajian dan pengembangan hukum Islam diintegrasikan dengan tugas Badan Litbang dan Diklat.
a. Rekening Bank Penyelenggaraan Ibadah Haji Dalam upaya penertiban rekening bank penyelenggaraan ibadah haji, berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan:
a) Rekening setoran awal BPIH hanya dibuka di pusat yaitu pada Bank Penerima Setoran BPIH (BPS-BPIH), dengan nomenklatur yang sama yaitu “Menteri Agama c.q Dirjen PHU”. Untuk setoran awal haji reguler, terdapat pada 21 BPS-BPIH berupa rekening Rupiah, sedangkan untuk setoran awal haji khusus terdapat pada 8 BPS-BPIH berupa rekening US$; b) Rekening pelunasan BPIH hanya ada pada Bank Indonesia berupa rekening US$, sedangkan pelunasan BPIH komponen rupiah langsung masuk rekening operasional haji pada 4 Bank; c) Rekening operasional penyelenggaran ibadah haji di tingkat pusat hanya ada pada 4 bank Pemerintah, yaitu: BNI, Mandiri, BRI dan BTN berupa rekening Rupiah dan rekening US$; d) Rekening operasional haji di provinsi hanya dibuka 1 rekening pada setiap Kanwil Departemen Agama dengan nomenklatur yang sama yaitu “Operasional BPIH Kanwil Depag ……” (sesuaikan dengan provinsi masing-masing); e) Kandepag dan KUA tidak dibenarkan; f) Membuka rekening operasional haji. Adapun dana operasional haji dimasukan dalam rekening bendahara pengeluaran pada Kandepag dengan membuat buku bantu; g) Pada tahap transisi sebelum asrama haji menjadi BLU, hanya diijinkan pembukaan rekening bagi asrama haji embarkasi. Sedangkan asrama haji provinsi lainnya dananya dititipkan pada rekening operasional haji Kanwil Depag dengan membuat buku bantu.
JAKARTA, 7 MARET 2009
LAMPIRAN II KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2009 TENTANG HASIL RAPAT KERJA NASIONAL DEPARTEMEN AGAMA TAHUN 2009
II. HASIL SIDANG KOMISI RAPAT KERJA NASIONAL (RAKERNAS)
A. HASIL SIDANG KOMISI I TENTANG PENYUSUNAN LAPORAN KINERJA TAHUN 2005-2009 DAN RENSTRA DEPARTEMEN AGAMA 2010-2014 1. Pengantar Akuntabilitas kinerja merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih. Wujud dari akuntabilitas kinerja antara lain adalah tersusunnya rencana strategis (renstra) organisasi dan laporan pelaksanaan tugas dan fungsi, serta berbagai hasil dan permasalahan yang dihadapi dalam kurun waktu tertentu. Menjelang berakhirnya pelaksanaan tugas lima tahunan perlu disusun dua hal yaitu: pertama, Laporan Kinerja Departemen Agama 2005-2009; dan kedua isu strategis penyusunan Renstra Departemen Agama 2010-2014. 2. Laporan Kinerja Departemen Agama 2005-2009 Laporan kinerja dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penyusunan laporan kinerja Departemen Agama harus mengacu pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program yang telah ditetapkan dalam Renstra Departemen Agama 2005-2009. Dengan demikian laporan kinerja adalah bentuk pertanggungjawaban organisasi terhadap hasil yang dicapai dalam pelaksanaan renstra dimaksud; b. Aspek penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan laporan kinerja adalah program-program pembangunan agama yang menjadi bidang tugas Departemen Agama selama lima tahun, permasalahan yang dihadapi, langkahlangkah strategis yang dilakukan, hasil-hasil yang dicapai, dan tindak lanjut yang diperlukan; c. Bidang tugas yang menjadi fokus Departemen Agama meliputi peningkatan kualitas kehidupan beragama; peningkatan kerukunan umat beragama; peningkatan pendidikan agama dan keagamaan termasuk penekanan program unggulan di perguruan tinggi agama negeri, ma’had al-jamiah, BLU, dan perkembangan STAIN, pendataan asset, keinginan menghidupkan MAPK dan MA berstandar internasional (MBI); peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji; dan peningkatan tata kelola kepemerintahan yang bersih; d. Dalam laporan kinerja ke lima bidang tugas tersebut perlu diberikan pembobotan pada aspek-aspek tertentu yang dipandang sangat strategis seperti masalah yang menjadi fokus perhatian publik, menyangkut hajat hidup orang banyak, menentukan keutuhan NKRI, membangun citra institusi, dan seterusnya; e. Laporan... e. Laporan kinerja hendaknya disusun bersama oleh sebuah tim yang memiliki kualifikasi dan kompetensi memadai dan merupakan representasi unit-unit kerja di lingkungan Departemen Agama. Komposisi tim yang representatif akan memudahkan konfirmasi, konsultasi, dan penyiapan bahan-bahan yang diperlukan. Tim penyusun di bawah koordinasi dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama. Pembentukan tim penyusun selambat-lambatnya empat bulan sebelum Kabinet Indonesia Bersatu berakhir.
3. Isu Strategis Penyusunan Renstra Departemen Agama 2010-2014 Isu strategis penyusunan Renstra Departemen Agama 2010-2014 meliputi halhal sebagai berikut: a. Penanggulangan reformasi.
dampak
negatif
globalisasi,
modernisasi,
dan
Globalisasi dan modernisasi telah memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan taraf peradaban manusia. Namun tidak dipungkiri bahwa globalisasi dan modernisasi dapat berdampak negatif seperti budaya lokal terkikis, berkembang sikap individualis, pragmatis, hedonis, dan cenderung melahirkan masyarakat tanpa jati diri. Demikian halnya dengan reformasi, di samping berdampak positif juga berekses negatif seperti sikap eforia (ekspresi kegembiraan yang berlebihan). Jika hal tersebut tidak dikendalikan dapat berakibat munculnya berbagai perilaku anarkis dan kekerasan sosial yang dapat mengancam kehidupan harmoni bangsa dan NKRI. Kondisi tersebut menuntut pemberlakuan langkah-langkah strategis dan terukur dalam penanganan dampak negatif tersebut melalui pendekatan agama dan penguatan budaya lokal dalam rangka meningkatkan kualitas keberagamaan umat. b. Peningkatan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai keagamaan. Permasalahan pokok yang dihadapi antara lain masih berkembangnya gejala perilaku negatif masyarakat yang cenderung melanggar nilai-nilai agama. Kondisi tersebut menunjukkan fakta kesenjangan pemahaman dari yang seharusnya, dan belum terbangunnya korelasi positif antara agama sebagai anutan keyakinan dan sistem ritual, dengan agama sebagai sistem perilaku sosial dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu Departemen Agama perlu merumuskan langkah-langkah strategis optimalisasi dan revitalisasi peran dan fungsi agama dalam sistem perilaku sosial masyarakat melalui penguatan peran lembaga-lembaga keagamaan, peningkatan kualitas bimbingan keagamaan, dan pemanfaatan teknologi informasi.
c. Peningkatan... c. Peningkatan kualitas manajemen pelayanan keagamaan. Permasalahan pokok yang dihadapi antara lain ketersediaan standar operasional untuk sebagian besar bidang pelayanan keagamaan yang menjadi tugas Departemen Agama dan secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Peningkatan pelayanan melalui penerapan standar operasional menjadi langkah yang sangat penting dan mendesak untuk memudahkan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja bidang-bidang pelayanan di lingkungan Departemen Agama. Untuk itu perlu menetapkan target seluruh pelayanan keagamaan dalam jangka waktu dua atau tiga
tahun ke depan, seluruh pelayanan keagamaan, khususnya yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat berbasis pada pelayanan standar. d. Penguatan kelembagaan, peningkatan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak. Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Di samping itu tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi, serta kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak rendah. Untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan maka diperlukan sejumlah aksi afirmasi di berbagai bidang tersebut. Sementara itu untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak diperlukan sejumlah pengembangan kebijakan dan pelaksanaan peraturan perundangundangan, peningkatan upaya pemenuhan hak anak, seperti penyediaan ruang publik yang aman buat bermain anak, atau penyediaan tempat penitipan anak di kantor-kantor. e. Pemberdayaan lembaga keagamaan. Pertumbuhan lembaga keagamaan dalam jumlah yang banyak dan secara terus menerus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik jumlah, jenis dan bentuknya, merupakan potensi besar bangsa Indonesia. Keberadaan lembaga keagamaan tersebut telah banyak memberikan kontribusi terutama di bidang pendidikan, ekonomi, dan pelayanan keagamaan. Namun belum sepenuhnya dapat berperan menjadi agen perubahan sosial (agent of change), dan menjadi mitra pembangunan dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Departemen Agama perlu merumuskan langkah-langkah strategis pengembangan potensi lembaga keagamaan sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah penguatan jaringan kemitraan dengan lembaga keagamaan.
f. Peningkatan... f.
Peningkatan kualitas pengelolaan haji. Meski diakui bahwa penyelenggaran ibadah haji masih memiliki sejumlah kelemahan, tetapi secara umum telah mengalami perbaikan secara signifikan baik dari sisi regulasi maupun implementasi di lapangan. Departemen Agama secara terus menerus perlu melakukan pembenahan sesuai tuntutan perkembangan dan harapan masyarakat. Pengelolaan haji tidak terbatas pada proses penyelenggaraan haji yang diharapkan dapat memuaskan masyarakat, tetapi menyangkut pula pengelolaan berbagai aset dan potensi pelayanan haji yang tampaknya belum mendapat perhatian serius. Dalam hal ini Departemen Agama perlu menetapkan
langkah-langkah kebijakan dan menyusun panduan teknis pengelolaan berbagai aset dan potensi pelayanan haji. g. Peningkatan kualitas pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU). Salah satu masalah pokok yang dihadapi adalah optimalisasi DAU sebagai salah satu sumber untuk mendorong peningkatan kesejahteraan umat. Bahkan sampai tahun 2009 DAU masih dalam status dibekukan demi kepentingan hukum dan pengamanan. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena umat sangat membutuhkan langkah-langkah inovasi di bidang kehidupan beragama. Dalam hal ini Departemen Agama perlu merumuskan langkah-langkah strategis untuk mendorong percepatan penyelesaian status, sekaligus langkah-langkah kebijakan manajerial dalam pengelolaan DAU secara efisien, efektif, dan akuntabel. h. Penanganan kasus keagamaan. Belakangan ini secara sporasi bermunculan sejumlah kasus keagamaan yang dilatarbelakangi anutan pemikiran dan pemahaman keagamaan yang berbeda dengan agama mainstream. Penanganan permasalahan ini sangat dilematis, karena bersinggungan dengan keyakinan dan kebebasan beragama yang dijamin oleh undang-undang dasar. Namun pada satu sisi kebebasan itu bersinggungan pula dengan hak para penganut agama mainstream untuk tetap menjaga kemurnian agamanya dari pemikiran, aliran keagamaan yang dianggap menyimpang, atau dari pihak-pihak lain yang ingin menodai agama. Departemen Agama perlu menyikapi kondisi ini secara lebih arif, bersikap melindungi hak-hak warga negara, dan tidak menjadi lembaga fatwa, melainkan sebagai mediator dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. Untuk mendukung langkah tersebut, perlu dirumuskan langkah-langkah kebijakan, seperti penetapan standar prosedur penanganan kasus-kasus keagamaan, dan pada saat yang sama melakukan bimbingan keagamaan dan langkah lain yang diperlukan.
i. Pemberdayaan... i.
Pemberdayaan umat melalui mobilisasi potensi zakat, wakaf, dan dana keagamaan. Zakat dan wakaf merupakan salah satu potensi keagamaan dalam upaya membangun pranata sosial kemasyarakatan. Zakat dan wakaf tersebut tengah menjadi perhatian serius berbagai negara. Organisasi zakat internasional telah didirikan dalam Konferensi Zakat di Kualalumpur pada tanggal 28 November 2006. Di samping itu Dewan Zakat Asia Tenggara telah diresmikan oleh para Menteri Agama yang tergabung dalam MABIMS. Hal tersebut menunjukkan bahwa persoalan sosial kemasyarakatan, seperti kemiskinan juga dihadapi oleh beberapa negara, dan sebagai salah satu jawabannya adalah melalui mobilisasi dana zakat dan wakaf sebagai pilar peningkatan ekonomi umat.
Dalam konteks Indonesia dengan penetapan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat , UU No. 1 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004, maka pengelolaan zakat dan wakaf perlu dilakukan secara profesional sehingga potensi zakat dapat dimobilisasi dan dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat. Demikian halnya dengan sumbersumber dana keagamaan selain zakat dan wakaf perlu makin dioptimalkan bagi kepentingan umat. Departemen Agama dalam hal ini perlu melakukan langkah-langkah strategis optimalisasi pengelolaan zakat melalui pengembangan program asistensi dan konsultasi, penguatan manajemen kelembagaan, struktur dan SDM, serta penyediaan standar pengelolaan zakat. j.
Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan. Masalah utama yang dihadapi di bidang pendidikan antara lain keterbatasan mutu pendidikan agama, baik dilihat dari sisi kelembagaan maupun proses pembelajaran. Departemen agama telah melakukan berbagai upaya penting antara lain meningkatkan percepatan guna mengatasi ketertinggalan, keberpihakan terhadap pendidikan pada komunitas kurang mampu, dan mengembangkan perlakuan yang sama antara negeri dan swasta. Sinergis dengan upaya tersebut telah dilakukan pula langkah-langkah pengembangan kepemimpinan, pengembangan manajemen, peningkatan kualitas ketenagaan, pengembangan kurikulum yang relevan, dan sejumlah bantuan sarana prasarana. Berbagai kebijakan tersebut masih perlu ditingkatkan dan perlu dirumuskan langkah dan tindak lanjut dalam bentuk kebijakan yang lebih konkrit dan operasional.
k. Kelahiran... k. Kelahiran sejumlah peraturan perundang-undangan baru di bidang pendidikan menjadi perhatian tersendiri bagi Departemen Agama. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak lagi mendikotomikan negeri dan swasta, dan pengakuan eksistensi lembaga pendidikan agama dan keagamaan, termasuk majelis taklim dan pondok pesantren yang merupakan peluang sekaligus tantangan. Kondisi tersebut semakin menemukan momentum yang sangat strategis dengan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Dalam hal ini Departemen Agama harus mengoptimalkan peluang dan tantangan itu dalam bentuk penetapan sejumlah kebijakan untuk mendorong dinamika peran dan mutu penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu perlu disusun grand design atau master plan yang utuh tentang bagaimana konstruk pendidikan agama dan keagamaan ke depan yang akan ditindaklanjuti melalui kebijakan teknis di tingkat operasional. Perlu pula disusun standardisasi
pengelolaan dan jaminan mutu pendidikan untuk lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan non formal. l.
Penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP) di lingkungan lembaga pendidikan di bawah binaan Departemen Agama perlu mendapat perhatian serius. Tipologi lembaga pendidikan yang sangat beragam dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi perlu menjadi perhatian serius dalam penerapan BHP. Departemen Agama juga berkewajiban agar penerapan BHP tidak melunturkan karakteristik lembaga-lembaga pendidikan di bawah binaannya. Departemen Agama perlu merumuskan langkah kebijakan untuk memfasilitasi dan mendorong implementasi BHP di lingkungan lembaga pendidikan binaannya. Untuk mendukung itu perlu dibentuk tim sosialisasi dan konsultasi BHP di lingkungan Departemen Agama.
m. Penerapan Badan Layanan Umum (BLU) pada Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAN). Sampai dengan tahun 2009 sistem BLU pada perguruan tinggi sudah diberlakukan yang diawali oleh UIN Yogyakarta dan kemudian diikuti UIN Jakarta, UIN Malang, dan UIN Bandung. Sebagian PTAN lainnya sedang mempersiapkan diri. Keempat perguruan tinggi tersebut dapat menjadi contoh dalam pengelolaan keuangan sistem BLU. Departemen Agama perlu melakukan evaluasi awal tentang nilai positif sistem BLU dalam konteks penguatan kelembagaan di perguruan tinggi. Hasil evalusi tersebut dapat menjadi masukan pengembangan kebijakan penyempurnaan sistem BLU, dan penerapannya pada lembaga perguruan tinggi agama. Departemen Agama perlu mendorong dan memfasilitasi penerapan BLU tersebut pada perguruan tinggi agama melalui penyediaan tenaga konsultasi dan asistensi, serta penyediaan perangkat kebijakan lain yang diperlukan.
n. Penyelenggaraan... n. Penyelenggaraan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun di lembaga pendidikan keagamaan. Pemerataan akses pendidikan untuk program Wajar Dikdas 9 Tahun di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan seperti pondok pesantren perlu makin dioptimalkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan program di beberapa pesantren masih perlu perhatian serius mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini Departemen Agama perlu terus mendorong, meningkatkan pelayanan asistensi, memberikan bantuan sarana prasarana, dan perlu menyusun standar khusus pengelolaan program Wajar Dikdas yang bersinergi dengan karakteristik lembaga pendidikan keagamaan. o. Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional. Karena itu harmoni kehidupan umat beragama harus tetap terjaga demi memelihara
keutuhan NKRI. Masalah utama yang dihadapi adalah kerukunan umat beragama yang menghadapi tantangan sangat berat seiring dengan arus globalisasi, modernisasi, dan reformasi yang membuka ruang ekspresi seluas-luasnya bagi kemunculan aliran dan paham keagamaan baru. Gesekan kepentingan yang menggunakan simbol agama dan demokrasi belum menemukan format yang baku dan cenderung mengarah kepada sikap eforia, perilaku anarkis dan kekerasan sosial. Pada saat yang sama berbagai regulasi belum dapat dioptimalkan seperti yang seharusnya, dan kondisi tersebut makin diperparah oleh kelemahan penegakan hukum. Dalam hal ini Departemen Agama perlu merumuskan langkah kebijakan yang mampu mendorong ketersediaan ruang kondusif bagi pemantapan kerukunan umat beragama, mengoptimalkan sistem siaga atau deteksi dini, mengembangkan pola penanganan dan penyelesaian konflik melalui rekonsiliasi agama, dan secara sinergis mengembangkan sistem penanganan masyarakat korban konflik. Lebih jauh lagi perlu dirumuskan suatu formula kebijakan dalam upaya memperkokoh tiga pilar kerukunan, yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat bergama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. p. Peningkatan tata kelola kepemerintahan yang bersih. Hal terpenting yang langsung memperoleh apresiasi positif dari masyarakat adalah pemberantasan korupsi di lingkungan Departemen Agama. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian seluruh aparatur Departemen Agama dan menjadi kewajiban bersama untuk mempertahankan citra positif institusi. Untuk mendukung hal itu Departemen Agama perlu merumuskan formula kebijakan guna mengoptimalkan pemberantasan korupsi dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Formula tersebut bersifat preventif (pencegahan korupsi),
Kuratif... kuratif (pemberantasan koruptor), dan preservatif (pemeliharaan dari kemungkinan perilaku korupsi). Sinergis dengan itu perlu terus dilanjutkan langkah reformasi birokrasi dengan sejumlah penajaman dan langkah lain yang diperlukan.
B. HASIL SIDANG KOMISI II TENTANG STRATEGI MEWUJUDKAN LAPORAN KEUANGAN DEPARTEMEN AGAMA DENGAN OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN (WTP) 1. Upaya Mewujudkan Laporan Keuangan Departemen Agama dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian a. Pengantar Untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen Agama diperlukan berbagai kebijakan dan pengembangan program pembangunan agama, antara lain melalui peningkatan tata kelola kepemerintahan di lingkungan Departemen Agama.
Terkait dengan peningkatan tata kelola kepemerintahan ini diperlukan upaya yang sistematis untuk memperoleh opini laporan keuangan Departemen Agama dengan status wajar tanpa pengecualian. b. Permasalahan: 1) Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Departemen Agama sampai dengan tahun 2007 dinyatakan disclaimer opinion. 2) Disclaimer opinion tersebut disebabkan keraguan auditor atas kewajaran penyajian pos-pos berikut di dalam laporan keuangan. a) PNBP (Kelemahan Pencatatan dan Pelaporan PNBP) (1) Sebagian PNBP masih digunakan secara langsung dan tidak disetorkan ke kas negara sesuai mekanisme APBN, terutama pada satuan kerja Perguruan Tinggi Agama Negeri dan juga pada pos Asrama Haji. (2) Sebagian satker belum melakukan rekonsiliasi internal antara Unit Akuntansi Keuangan dan Unit Penerima Pendapatan, sehingga tidak ada proses validasi data sebelum dicatat ke dalam Sistem Akuntansi Keuangan. (3) Sebagian satuan kerja tidak melakukan rekonsiliasi PNBP dengan KPPN. b) Belanja Bantuan Sosial (pemberian bantuan kepada satuan kerja yang secara vertikal masih di bawah Departemen Agama tidak sesuai ketentuan dan melemahkan pengendalian intern). c) Dana bantuan sosial yang disalurkan kepada satuan kerja intern Departemen Agama dipertanggungjawabkan secara definitif pada saat dana tersebut diterima tanpa melihat penggunaannya. d) Keberadaan... d) Keberadaan sisa dana bantuan sosial tidak terkontrol, tidak dicatat dan dilaporkan pada akhir tahun anggaran, karena masih tersedia dana bantuan yang belum terserap dan masih tersimpan pada berbagai rekening yang dimiliki Satker penerima bantuan. e) Sebagian aset-aset yang dihasilkan dari penggunaan dana bantuan tersebut tidak dicatat dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Departemen Agama. 3) Masalah-masalah pada butir 2) sangat melemahkan pengendalian intern atas pencatatan dan pelaporan Kas).
sistem
4) Pengendalian intern atas pencatatan dan pelaporan Aset Tetap masih lemah: a) Departemen Agama belum selesai melakukan inventarisasi dan penilaian kembali (reevaluasi) Aset Tetap yang diperoleh sebelum penyusunan neraca awal. b) Unit-unit akuntansi kuasa pengguna barang di lingkungan Departemen Agama tidak secara tertib dan berjenjang
menyampaikan ADK dan laporan BMN kepada unit akuntansi yang berada di atasnya. c) Pencatatan Aset Tetap belum seluruhnya berdasarkan hasil rekonsiliasi antara Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dengan Sistem Akuntansi Barang Milik Negara (SABMN) karena hanya 2.719 Satker yang telah menyelenggarakan SABMN dari 4.027 Satker. c. Analisis Permasalahan Struktur organisasi yang besar sebanyak 4.027 satker yang tersebar dari pusat sampai ke kecamatan dan desa, seperti adanya madrasah negeri, mengakibatkan besarnya upaya yang harus dilakukan untuk menghimpun data dan menyusun laporan keuangan secara bertingkat dari unit pelaksana teknis, satuan kerja terkecil sampai dengan ke unit eselon I dan konsolidasi di Biro Keuangan. Hal ini sekaligus memperbesar resiko kesalahan dan keterlambatan dalam penyusunan laporan keuangan tepat waktu. Belum meratanya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang menangani pencatatan dan pelaporan keuangan terutama di satker terkecil seperti di madrasah. Dari sudut pandang yang lain, penyebab opini disclaimer tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yaitu: 1) Faktor yang berkaitan secara langsung dengan proses penyusunan laporan keuangan. Faktor tersebut diantaranya adalah:
a) Keterbatasan... a) Keterbatasan SDM, baik kuantitas maupun kualitas, yang mempunyai kompetensi dalam bidang keuangan. Misalnya kesulitan mencari bendahara rutin sehingga jabatan tersebut diisi oleh petugas yang tidak memiliki kompetensi seperti guru. b) Belum memadainya sarana dan prasarana yang menunjang tugas pengelolaan keuangan. c) Belum tersedianya struktur organisasi formal yang menangani akuntansi dan pelaporan di tingkat pusat maupun daerah, baik SAK maupun SABMN. d) Kurangnya perhatian KPA terhadap masalah laporan keuangan dan BMN. e) Perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang belum baik sehingga terjadi penumpukkan kegiatan menjelang akhir tahun f) Masih lemahnya kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan di bidang keuangan, misalnya menyangkut penggunaan PNBP secara langsung, penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan akun
g) Belum selesainya inventarisasi barang menyebabkan aset negara tidak tercatat.
milik
negara
yang
2) Faktor yang tidak langsung berkaitan dengan proses penyusunan laporan keuangan tetapi berkaitan dengan proses penyusunan perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Faktor tersebut diantaranya adalah masih adanya pengalokasian kegiatan dan anggaran pada akun standar yang kurang tepat, penggunaan langsung PNBP, bahkan masih ada pelaksanaan kegiatan yang dianggap menyimpang/merugikan keuangan negara serta lemahnya pengendalian internal yang berakibat tidak tertibnya perencanaan, pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan. d. Strategi 1) Mengidentifikasi kelemahan pada setiap tingkatan organisasi khususnya menyangkut ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, organisasi khusus pengelola keuangan, sarana dan prasarana, manajemen dan kepemimpinan, kepatuhan terhadap peraturan. 2) Dalam konteks penyediaan sumber daya manusia perlu memprioritaskan pengangkatan tenaga pengelola keuangan/ akuntansi, untuk golongan II dan III bagi satker terendah (MIN, MTsN, MAN) dan secara bertahap ke lingkungan Kandepag Kota/Kabupaten hingga tingkat Pusat. 3) Melaksanakan berbagai jenis pelatihan yang diperlukan bagi SDM pengelola keuangan. 4) Perlu... 4) Perlu segera membentuk struktur organisasi pengelolaan keuangan di tingkat pusat dan daerah.
yang
menangani
5) Perlu segera melengkapi sarana dan prasarana pengelolaan keuangan terutama di tingkat satker terendah. 6) Menyusun pedoman dalam bentuk juknis yang mengatur mekanisme penyusunan dan pelaporan keuangan dari unit terkecil sampai dengan unit eselon I. 7) Untuk memperlancar pengelolaan keuangan setiap mengalokasikan anggaran bagi para pengelola keuangan.
satker
8) Menyelesaikan inventarisasi barang milik negara. 9) Melakukan sosialisasi berbagai peraturan pengelolaan keuangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman, kepatuhan dan kedisiplinan terhadap berbagai aturan perbendaharaan bagi para pelaksana anggaran. 10) Meningkatkan kualitas perencanaan dan pengganggaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
11) Meningkatkan pengawasan internal baik melalui pengawasan melekat maupun pengawasan fungsional meliputi perencanaan, pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan. 2. Permasalahan Khusus Berkaitan dengan Pengelolaan Asrama Haji a. Pengantar Pada saat ini, asrama haji dikelola oleh Badan Pengelola Asrama Haji (BPAH) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 02/1983 tentang Badan Pengelola Asrama Haji di Lingkungan Departemen Agama. Dengan pengelolaan di bawah badan pengelola seperti ini maka status kelembagaan BPAH bukanlah satuan kerja yang merupakan instansi vertikal Departemen Agama. b. Permasalahan: Status kelembagaan BPAH yang bukan merupakan satuan kerja Departemen Agama mengakibatkan sejumlah permasalahan terutama menyangkut aspek pengelolaan, pertanggungjawaban dan aspek hukum. 1) Aspek Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Karena status kelembagaannya BPAH bukan merupakan satuan kerja vertikal, maka mekanisme pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan asrama haji tidak sejalan dengan mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban. Kondisi seperti ini dapat melemahkan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban.
2) Aspek Hukum... 2) Aspek Hukum Asrama haji mempunyai aset yang nilainya relatif tinggi, terutama berkaitan dengan kepemilikan tanah dan bangunan. Belum jelasnya status hukum lembaga akan berpengaruh kepada status kepemilikan aset-aset yang bernilai tinggi tersebut. Di beberapa tempat telah terjadi sengketa kepemilikan terutama dengan pemerintah daerah. c. Strategi 1) Alternatif Pertama: Perlu dibentuk Satuan Kerja Pengelola Asrama Haji setingkat eselon IIB di bawah Sekretariat Jenderal yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai pengelola aset asrama haji. Pada tahap selanjutnya, Satker tersebut karena tugas dan fungsinya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat, maka perlu dikembangkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU). 2) Alternatif Kedua:
Perlu dibentuk Badan Hukum yang Berstatus Wakaf agar aset asrama haji dapat dikembangkan secara lebih optimal, melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. Perubahan status aset akan dikendalikan oleh badan hukum yang berstatus wakaf. Pembentukan badan hukum yang berstatus wakaf ini dimaksudkan agar eksistensi aset-aset asrama haji tidak berkurang, bahkan dapat dikembangkan secara optimal karena berstatus lembaga independen yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Status aset dalam hukum wakaf berprinsip tidak boleh berkurang, dan secara otomatis tidak dapat diambil sebagai barang milik negara, tetapi milik umat. Meski demikian, perubahan status aset dari milik badan pengelola menjadi milik badan hukum wakaf bukan berarti asrama haji akan lepas dari akar sejarahnya, namun justru akan dapat berkembang karena dapat bekerja sama dengan pihak ketiga dan tetap dalam status pembinaan Departemen Agama. C. HASIL SIDANG KOMISI III TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN 1. Rujukan a. Merujuk pada UU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). b. Merujuk pada Pidato Menteri Agama pada upacara pembukaan Rakernas Departemen Agama RI. c. Memperhatikan.. c. Memperhatikan paparan para nara sumber: 1) Sekretaris Jenderal Departemen Agama 2) Inspektur Jenderal Departemen Agama 3) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 4) Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama 5) Direktur Jenderal Bimas Kristen Departemen Agama. d. Mempertimbangkan pendapat-pendapat dalam sidang komisi. 2. Arah dan Kebijakan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan amanat tersebut, pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Secara umum, pengaturan badan hukum pendidikan dalam implementasinya harus juga mempertimbangkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Namun demikian implementasi UU BHP perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Kewajiban dan kesiapan pendanaan baik oleh masyarakat maupun pemerintah; b. Penetapan BHP bagi lembaga pendidikan yang berstatus negeri di lingkungan Departemen Agama yang harus ditetapkan oleh Presiden; c. Seberapa jauh tingkat otonomi lembaga pendidikan; dan d. Mekanisme pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang diajukan setelah diundangkan UU BHP, dan seterusnya. Meskipun masih ada kontroversi di seputar UU BHP, Departemen Agama perlu segera mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan transformasi kelembagaan pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama menjadi BHP. Momentum ini sekaligus dilakukan untuk melakukan penataan dan penguatan kelembagaannya. Untuk Perguruan Tinggi Agama Negeri (PTAN) diharapkan proses transformasinya dapat dituntaskan sesuai dengan batas waktu yang diatur dalam UU BHP (4 tahun). Adapun Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam binaan Departemen Agama diharapkan segera mengambil langkah-langkah strategis dengan menerapkan Standar Nasional Pendidikan, meningkatkan status akreditasi sebagai pra kondisi menuju BHP. 3. Hasil... 3. Hasil Sidang Komisi III Komisi Badan Hukum Pendidikan merumuskan pokok-pokok pemikiran dan kesepakatan sebagai berikut: a. Agenda Departemen Agama (Pusat) 1) Pada tahun 2009 melakukan assesment kesiapan satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama untuk menerapkan UU BHP; 2) Membentuk taskforce tingkat pusat dengan tugas; 3) Merancang desain transformasi menjadi BHP dengan tetap mempertahankan karakteristik dan kebutuhan khusus yang ada pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama; 4) Menyusun manual persiapan BHP (meliputi: manual tatakelola, Pengembangan Program Akademik, Pengembangan SDM, Pendanaan, Pengelolaan asset dan sistem penjaminan mutu); 5) Menyiapkan in-house training BHP; 6) Melakukan pendampingan; 7) Mengusulkan dan penetapan piloting BHP pada satuan pendidikan di lingkungan Departemen Agama;
8) Melakukan koordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk memastikan posisi-posisi masalah pada satuan-satuan pendidikan dalam binaan Departemen Agama, seperti madrasah bertaraf internasional yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah, pendirian lembaga-lembaga baru paska undang-undang,dll; 9) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung transformasi satuan pendidikan menjadi BHP. b. Agenda Kantor Wilayah 1) Membentuk Taskforce persiapan dalam rangka transformasi satuan pendidikan dasar menengah dalam binaan Departemen Agama menjadi BHP. 2) Mengintensifkan usaha dan program untuk pemenuhan standar nasional pendidikan (sesuai PP nomor 19 Tahun 2005) dan akreditasi satuan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Departemen Agama sampai pada akreditasi A. 3) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung transformasi satuan pendidikan dasar dan menengah di wilayah masing-masing untuk menjadi BHP. c. Agenda Perguruan Tinggi Agama 1) Membentuk Taskforce persiapan dalam rangka transformasi menjadi PTA-BHP.
2) Memperkuat… 2) Memperkuat posisi dan status Kelembagaan PTA (Akademik/Program Studi/akreditasi, SDM/tenaga pendidik dan kependidikan, manajemen/tata kelola perguruan tinggi, dan komponen-komponen lainnya) sejalan dengan prinsip-prinsip UU BHP. 3) Merancang desain dan manual transformasi PTA menjadi BHP. 4) Merancang dan mengalokasikan anggaran untuk mendukung proses transformasi kelembagaan menjadi PTA-BHP. D. HASIL SIDANG KOMISI IV TENTANG PENATAAN LEMBAGA-LEMBAGA KEAGAMAAN ISLAM 1. BKM a. Melepaskan organisasi BKM dengan memasukkan Tugas dan Fungsi (TUSI) dalam nomenklatur Bimas Islam b. Perlu penegasan status asset BKM sesuai perolehannya 2. P3N
a. P3N diubah menjadi Penyuluh agama (non PNS) b. Penyelesaiannya dilakukan secara bertahap, baik jangka pendek maupun panjang 3. BP4 a. BP4 masih diperlukan keberadaannya; b. Diupayakan agar BP4 menjalin kerja sama dengan PA agar hasil penasihatannya dapat dijadikan pertimbangan Pengadilan Agama (PA). c. Dalam rangka memperkuat kapasitas peran lembaga, BP4 menjadi lembaga independen dengan tetap dalam koordinasi Depag. d. BP4 perlu merekrut konsultan professional 4. LPTQ a. LPTQ dimasukkan dalam TUSI Direktorat Penais. b. Perlu memperluas fungsi LPTQ (tidak hanya menyelenggarakan MTQ/STQ) 5. LP2A Perlu mengintegrasikan TUSI LP2A ke dalam fungsi penyuluh agama. 6. BHR a. Penguatan lembaga yang dapat menyatukan kalender Islam, jawal sholat dan arah kiblat;
b. c. d. e. f.
b. Sebagai… Sebagai lembaga kajian yang memberi masukan kepada Menag; Memperluas keanggotaan dari ormas Islam, lembaga astronomi dan perorangan yang memiliki keahlian; Memasukkan TUSI BHR dalam nomenklatur di Kanwil Depag Provinsi; Perlu memperkuat otoritas BHR sebagai lembaga resmi dalam penentuan hisab, rukyat, waktu sholat dan arah kiblat; Perlu memperluas fungsi BHR dengan memberikan bimbingan, pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat. JAKARTA, 7 MARET 2009