KEMISKINAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH UNTUK INFRASTRUKTUR: Studi Kasus Indonesia, 1976-2006
FATIN CATUR LESTARI H14104005
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN FATIN CATUR LESTARI. Kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur: Studi Kasus Indonesia, 1976-2006 (dibimbing oleh DS PRIYARSONO) Peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di Indonesia, menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain masalah pangan, papan, pengangguran, penyediaan fasilitas pendidikan, dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Hal ini dapat memicu terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan sosial. Jumlah penduduk Indonesia masih sangat banyak, yakni pada tahun 2006 mencapai 30,30 juta jiwa atau 13,60 persen dari total penduduk Indonesia. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh keterbatasan, ketidakmampuan, dan kekurangan. Pengurangan kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional. Kemiskinan merupakan masalah pokok yang penanggulangannya tidak dapat ditunda lagi. Investasi dalam pembangunan sarana infrastruktur, diduga memiliki pengaruh yang besar terhadap pembangunan perekonomian suatu negara. Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan Social Overhead Capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang, dan jasa yang diangkut dari satu tempat ke tempat yang lain di seluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen yang sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Perbaikan infrastruktur akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, memicu investasi dan peningkatan pendapatan masyarakat. Infrastruktur yang baik juga merangsang peningkatan pendapatan masyarakat. Aktivitas ekonomi yang semakin meningkatkan mendorong mobilitas faktor produksi dan aktivitas perdagangan. Pada akhirnya perbaikan infrastruktur ini akan mempercepat pembangunan ekonomi. Meningkatnya kondisi pembangunan akan memberikan efek peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Maka dari itu perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan khususnya di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan menggunakan analisis persamaan regresi simultan, dengan metode Two Stage Least Square. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yakni pengeluaran pemerintah berpengaruh secara nyata terhadap tenaga kerja, namun tidak memiliki pengaruh nyata terhadap investasi dan pengentasan kemiskinan.
KEMISKINAN DAN PENGELUARAN PEMERINTAH UNTUK INFRASTRUKTUR: Studi Kasus Indonesia, 1976-2006
Oleh FATIN CATUR LESTARI H14104005
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh Nama
: Fatin Catur Lestari
Nomor Regristrasi Pokok
: H14104005
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur: Studi Kasus Indonesia, 1976-2006
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
D. S. Priyarsono, Ph. D. NIP. 131 578 814 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph. D. NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2008
Fatin Catur Lestari
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pekalongan, 8 Januari 1987 sebagai anak terakhir dari pasangan Abdul Muhaimin dan Eriyah Zaeni. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri Rowokembu 3 Wonopringgo pada tahun 1998, kemudian menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di MTs Gondang Wonopringgo pada tahun 2001 dan menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kajen Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum, pada semester genap tahun 2006/2007 dan pada semester ganjil tahun 2007/2008. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi Ikatan Mahasiswa Pekalongan (IMAPEKA).
KATA PENGANTAR Segala Puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan keberkahan-Nya yang telah diturunkan ke bumi kepada seluruh umat manusia. Shalawat dan salam semoga selalu tersampaikan pada Nabiyullah SAW. Karya tulis yang berjudul Kemiskinan dan Pengeluaran Pemerintah untuk Inftastruktur, Studi Kasus: Indonesia 1976-2006 dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir skripsi, sebagai syarat dalam memenuhi gelar Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Ekonomi. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua penulis Bapak Abdul Muhaimin dan Ibu Eriyah Zaeni. Kakakkakakku Faruk Ekowarto, Fahmy Dwi Putranto, Farah Tri Saraswati, atas doa, kesabaran, kepercayaan dan dukungan yang sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak D. S. Priyarsono, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Bapak M. P. Hutagaol, Ph.D yang telah menguji hasil karya ini dan Ibu Fifi Diana Tamrin, M. Si atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini 3. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman dekat penulis, Dita, Dyah, Manda, Popy. Kepada Amany family, Opi, Sari, Sae, mbak Teti, mbak Phoe. Rekan seperjuangan Niken dan Lia. Rekan KKP, Mei, Uci, Eko, Alit, Uchay, Pepy. Teman-teman baru penulis yang telah memberi
support Hakim dan mas Adi. Terimakasih juga buat Dika dan Abi atas bantuan teknis menjelang sidang. Dan tak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat danjuga dapat digunakan sebagai penambah ilmu pengetahuan pembacanya. Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kata sempurna yang disebabkan oleh kelemahan penulis sebagai hamba Allah yang tidak akan pernah lepas dari segala bentuk kesalahan.
Bogor, Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………. i DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii DAFTAR TABEL………………………………………………………………vi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………... vii I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………... 1 1.2 Perumusan Masalah………………………………………………………... 5 1.3 Tujuan……………………………………………………………………… 5 1.4 Manfaat…………………………………………………………………….. 5 1.5 Ruang Lingkup……………………………………………………………...6 II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori……………………………………………………………… 7 2.1.1
Kemiskinan………………………………………………………… 7
2.1.2
Infrastruktur dan Pembiayaannya………………………………….. 11
2.1.3
Pendapatan Perkapita………………………………………………. 13
2.1.4
Investasi……………………………………………………………. 16
2.1.5
Pengangguran………………………………………………………. 18
2.2 Tinjauan Studi Terdahulu………………………………………………….. 20 2.3 Kerangka Pemikiran………………………………………………………...22 2.4 Hipotesis…………………………………………………………………… 23 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data……………………………………………………... 25 3.2 Analisis Deskriptif…………………………………………………………. 25 3.3 Metode Analisis……………………………………………………………. 25 3.3.1
Persamaan Kemiskinan…………………………………………….. 26
3.3.2
Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur…………... 26
3.3.3
Persamaan Pendapatan Perkapita…………………………………... 27
3.3.4
Persamaan Pengangguran………………………………………….. 27
3.3.5
Persamaan Investasi………………………………………………... 28
3.4 Definisi Operasional Model………………………………………………... 29 3.5 Identifikasi Model………………………………………………………….. 30 3.6 Metode Estimasi Model……………………………………………………. 31 3.7 Pengujian Model dan Hipotesis……………………………………………. 32 3.7.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)……………………………………….32 3.7.2 Uji t…………………………………………………………………... 33 3.7.3 Uji F………………………………………………………………….. 34 3.8 Uji Ekonometrika…………………………………………………………... 35 3.8.1 Uji Normalitas………………………………………………………... 35 3.8.2 Uji Heteroskedastisitas………………………………………………..36 3.8.3 Uji Autokorelasi……………………………………………………… 37 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Kemiskinan di Indonesia……………………………….. 38 4.2 Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Indonesia... 39 4.3 Gambaran Umum Pendapatan Perkapita Indonesia……………………….. 42 4.4 Gambaran Umum Pengangguran di Indonesia…………………………….. 43 4.5 Gambaran Umum Investasi di Indonesia…………………………………... 45 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Umum Model Pendugaan………………………………………… 47 5.2 Pendugaan Parameter Persamaan Struktural………………………………. 47 5.2.1
Analisis Persamaan Kemiskinan…………………………………… 47
5.2.2
Analisis Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur…. 50
5.2.3
Analisis Persamaan Pendapatan Perkapita………………………….53
5.2.4
Analisis Persamaan Pengangguran………………………………… 55
5.2.5
Analisis Persamaan Investasi………………………………………. 58
5.3 Pembahasan…………………………………………………………………61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 66 6.2 Saran……………………………………………………………………….. 67 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 69 LAMPIRAN…………………………………………………………………….71
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
5.1 Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan……………………………........ 48 5.2 Hasil Pendugaan Parameter Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur……………………………………………………………… 51 5.3 Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Perkapita………………………. 54 5.4 Hasil Pendugaan Parameter Pengangguran……………………………… 56 5.5 Hasil Pendugaan Parameter Investasi……………………………………. 59 5.6 Rincian Alokasi Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Tahun 2005………………………………………………………………. 62 5.7 Panjang Jalan dan Luas Wilayah Dirinci Menurut Wilayah Pulau Tahun 2006……………………………………………………....... 63
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
2.1 Hipotesis Kuznets………………………………………………………... 9 2.2 Model Dasar Clark……………………………………………………….. 19 2.3 Kurva Phillip……………………………………………………………... 20 2.4 Kerangka Pemikiran………………………………………………………24 3.1 Hubungan Antarvariabel…………………………………………………. 28 4.1 Grafik Perkembangan Jumlah Kemiskinan Indonesia…………………… 38 4.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur…………………………….. 42 4.3 Grafik Pendapatan perkapita di Indonesia……………………………….. 43 4.4 Jumlah Pengangguran……………………………………………………. 44 4.5 Jumlah Investasi di Indonesia……………………………………………. 46
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hasil Sensus Nasional Tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia adalah 222,20 juta jiwa, dan Biro Pusat Statistik Indonesia menaksir angka 315 juta jiwa untuk tahun 2035, berdasarkan pada taksiran laju pertumbuhan tahunan saat ini yakni 1,25%. Terus meningkatnya jumlah penduduk ini tentunya dapat menimbulkan beberapa masalah, antara lain ketersediaan pangan, papan, pengangguran, penyediaan fasilitas pendidikan dan sosial juga semakin sulit dipenuhi. Pembangunan Indonesia dimulai sejak masa orde baru yaitu pada tahun 1969. Pada masa ini perekonomian Indonesia menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat baik. Produk Domestik Bruto Riil meningkat rata-rata tujuh persen per tahun, dan inflasi sangat terkendali hingga mencapai angka satu digit. Dan pada periode yang sama jumlah penduduk miskin menurun sekitar 60 persen menjadi 11 persen (Bappenas, 2003a). Namun pada pertengahan tahun 1997 terjadi gejolak perekonomian yang disebabkan adanya gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Hal ini menyebabkan munculnya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi. Krisis terparah terjadi pada tahun 1998 diperlihatkan dengan turunnya angka pertumbuhan ekonomi dari rata-rata tujuh persen pertahun menjadi minus lebih dari 13 persen di tahun 1998 (Bappenas, 2003a). Krisis tersebut bukan hanya
menyebabkan melorotnya pencapaian pembangunan manusia tetapi juga membawa pengaruh buruk kepada tingkat kemiskinan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Menurut standar 1996, pada tahun 1996 jumlah penduduk yang hidup di garis kemiskinan diperkirakan 22,50 juta jiwa atau sekitar 11,30 persen dari seluruh penduduk perdesaan (BPS, 2006). Akibat krisis ekonomi yang terus berkelanjutan, sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah penduduk miskin telah menjadi 49,50 juta jiwa atau sekitar 24,20 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan pada tahun 2006 angka kemiskinan mencapai 30,00 juta jiwa. Namun hal ini bukan sepenuhnya akibat adanya krisis ekonomi, melainkan sebagian karena adanya perubahan standar yang digunakan. Perubahan ini merupakan bentuk perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan minimum yang dilakukan agar standar kemiskinan dapat mengukur tingkat kemiskinan secara lebih realistis. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai
oleh
keterbatasan,
ketidakmampuan,
dan
kekurangan.
Seperti
keterbatasan memperoleh kebebasan dan hidup sesuai tingkat harapan hidup, ketidakmampuan untuk mendapatkan pendidikan, akses fasilitas air bersih, fasilitas jamban, dan kesehatan yang memadai, serta kekurangan dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan pangan. Masyarakat miskin umumnya memiliki masalah dalam mendapatkan kesempatan kerja dan usaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan dan pengetahuan menyebabkan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Kemiskinan harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, kemiskinan merupakan masalah pokok yang penanggulangannya tidak dapat ditunda lagi. Secara empiris dan intuitif dapat dikatakan bahwa investasi infrastruktur mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan perekonomian suatu negara. Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan Social Overhead Capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses
produksi
maupun
dalam
menunjang
distribusi
komoditi
ekonomi.
Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Perkembangan infrastruktur dengan pembangunan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dan saling ketergantungan satu sama lain. Perbaikan infrastruktur
pada
umumnya
dapat
meningkatkan
mobilitas
penduduk,
mempercepat laju pengangkutan barang, memperbaiki kualitas dari jasa pengangkutan tersebut, meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana pembangunan, serta meningkatkan efisiensi penggunaan sarana pembangunan. Perbaikan infrastruktur akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi ini serta banyaknya investasi yang masuk akan menyerap tenaga kerja. Infrastruktur yang baik juga akan merangsang peningkatan pendapatan masyarakat, karena aktifitas ekonomi yang semakin meningkat sebagai akibat mobilitas faktor produksi dan aktifitas perdagangan yang semakin tinggi. Pada akhirnya perbaikan infrastruktur ini akan meningkatkan kondisi pembangunan Indonesia. Meningkatnya kondisi pembangunan akan memberikan efek peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Maka dari itu perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan khususnya di Indonesia. Sehingga diharapkan
mampu memberikan solusi yang baik bagi penentuan kebijakan pembangunan infrastruktur ke depan.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian ini akan mengkaji bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur di Indonesia terhadap pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun suatu kerangka berfikir yang kemudian dituangkan dalam model persamaan simultan yang mengkaji hubungan antara kebijakan pembangunan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan dengan variabel ekonomi lainnya yakni pendapatan perkapita, investasi, dan pengangguran. Berdasarkan pemikiran ini maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu: Bagaimana bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan berbagai variabel ekonomi lainnya yakni pendapatan perkapita, investasi, dan pengangguran dengan jumlah kemiskinan di Indonesia. 1.3. Tujuan Menganalisis bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan berbagai variabel ekonomi lainnya yakni pendapatan perkapita, investasi, dan pengangguran dengan jumlah kemiskinan di Indonesia. 1.4. Manfaat Adapun manfaat yang ingin diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan untuk dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang. 2. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pengambil keputusan, terutama untuk menentukan pengalokasian anggaran yang efektif dan efisien dalam pembangunan infrastruktur agar perekonomian Indonesia menjadi lebih baik. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini difokuskan pada analisis alokasi anggaran pembangunan infrastruktur dari tahun 1976 sampai 2006 dan beberapa variabel ekonomi lainnya, serta bagaimana pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori Teori digunakan untuk menjelaskan observasi yang sudah ada. Teori yang berhasil memungkinkan kita meramalkan hal-hal yang belum terlihat. Teori menjelaskan keterkaitan antar sesuatu yang akan kita selidiki (Lipsey, 1993). Eksistensi suatu teori ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menjelaskan fenomena perekonomian yang aktual. Karena itu analisis teoritis dan pembuktian empiris menjadi dua hal yang akan selalu dilakukan secara bersamasama dalam setiap bidang ilmu, termasuk ilmu ekonomi. Bab ini akan menyajikan penelaahan mengenai teori kemiskinan, infrastuktur
dan
pembiayaannya,
pendapatan
perkapita,
investasi,
dan
pengangguran. Untuk mendapatkan justifikasi dan pembuktian empiris mengenai bentuk keterkaitan antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan berbagai variabel ekonomi lainnya dengan jumlah kemiskinan di Indonesia, selanjutnya dilakukan tinjauan berbagai studi empiris sebelumnya yang relevan.
2.1.1. Kemiskinan Kemiskinan dapat ditinjau dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi (BPS).
Dalam
keseharian,
kemiskinan
dipersepsikan
dalam
konteks
ketidakcukupan pendapatan dan kepemilikan uang serta aset dalam dimensi ekonomi (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Permasalahan kemiskinan dapat ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni dimensi ekonomi, sosial bahkan politik. Kompleksitas kemiskinan mencakup sisi ragam dimensi, indikator ukuran, serta relevansinya dangan faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi, faktor penyebabnya serta dampak kemiskinan terhadap kehidupan mendatang. Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik
serta
bencana
alam
(Yudhoyono
dan
Harniati,
2004).
Upaya
penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas). Kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970-an, Gross National Bruto (GDP) dipakai sebagai patokan kesejahteraan; semakin tinggi GDP, maka semakin sejahtera penduduknya. Dan terdapat hubungan positif antara penurunan tingkat kemiskinan
dengan pendapatan rata-rata. Namun kenyataannya meski GDP tinggi ternyata kemiskinan juga masih banyak ditemukan. Dalam literatur, kemiskinan sering disandingkan dengan kesenjangan pendapatan. Korelasi antara pertumbuhan dan kemiskinan tidak berbeda dengan hubungan pertumbuhan dan kesenjangan. Menurut Simon Kuznets (hipotesis Kuznets) kurva hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik. Demikian juga hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1992). Tingkat Kesenjangan
Kurva Hubungan Tingkat Pendapatan per Kapita dan Tingkat Kesenjangan
Tingkat Pendapatan per Kapita Gambar 2.1 Hipotesis Kuznets Sumber : Todaro, 1992
Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam prosestransisi dari suatu ekonomi pedesaan ke suatu ekonomi perkotaan atau ekonomi industri. Pada awal proses pembangunan, sebagaimana dinyatakan dalam teori Lewis, ketimpangan dalam distribusi pendapatan naik sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi dan pada akhir proses pembangunan
tingkat ketimpangan akan menurun, ketika sektor industri tersebut telah menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari pedesaan (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan dikaji oleh Tadjoeddin (2002) terhadap kasus internasional sebagai berikut: LnHRC (US$ 1 a Day Poverty Measure) = 0.045 – 0.87LnPPP (Per Capita GDP in US$ Purchasing Power Parity) + 2.45 Ln Gini Ratio….(2.1) HCR = Head Count Ratio yaitu proporsi penduduk berpendapatan kurang dari 1US$ per hari; harga menggunakan tahun dasar 1985; R2 = 0,66; dan α = 1 persen; data diturunkan dari World Development Indicators. Dari temuan ini, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara penurunan tingkat kemiskinan dengan pendapatan rata-rata. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi baik untuk pengurangan kemiskinan, dengan elastisitas -0,87, yang berarti bahwa peningkatan pendapatan perkapita suatu negara sebesar 5 persen akan mengurangi jumlah penduduk miskin negara tersebut sebanyak 4,35 persen. Meskipun pada tahap awal pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi justru akan meningkatkan kemiskinan tapi diharapkan pada taraf selanjutnya
kemiskinan
akan
mengalami
penurunan.
Sehingga
strategi
penanggulangan kemiskinan dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih relevan untuk dilakukan, hal ini mengacu pada proses pembangunan ekonomi yang nantinya akan menghasilkan trickle down and spread effects; hasil pembangunan akan mengalir ke sektor-sektor lain ataupun wilayah lain.
2.1.2. Infrastruktur dan Pembiayaannya Infrastruktur pembangunan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni infrastruktur ekonomi dan infrasturktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, dan sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997). Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003). Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi
maupun
dalam
menunjang
distribusi
komoditi
ekonomi.
Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Sebagaimana teori Lewis, kondisi pareto optimal akan tercapai bila terjadi mobilitas faktor-faktor produksi (labour) tanpa hambatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi (Jhingan, 2007). Daerah-daerah yang memiliki tingkat mobilitas faktor-faktor produksi antar daerah rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan memiliki mobilitas antar daerah yang rendah. Infrastruktur dapat digolongkan sebagai modal atau capital. Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital, berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga sekaligus meningkatkan produktifitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas. Teori
Wagner
menyebutkan
adanya
keterkaitan
positif
antara
pertumbuhan ekonomi dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Teori ini menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah akan tumbuh lebih cepat dari GDP, dengan kata lain elastisitas pengeluaran pemerintah terhadap GDP lebih besar dari satu. Dalam, suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat. Dasar dari teori Wagner ini adalah pengamatan empiris dari negara-
negara maju (Mangkoesoebroto, 2001). Pengeluaran pemerintah akan meningkat guna membiayai tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dalam Yanuar (2006) dijelaskan ada dua kendala utama dalam pengadaan infrastruktur. Yang pertama adalah adanya kemungkinan terjadinya kegagalan pasar (market failure), dan yang kedua adalah menyangkut aspek pembiayaan. Dalam pengadaan infrastruktur dibutuhkan dana investasi yang besar dan pengadaan infrastruktur merupakan investasi jangka panjang. Kegagalan pasar terjadi, karena beberapa jenis infrastruktur memiliki manfaat yang tidak hanya dapat dinikmati atau dirasakan secara pribadi akan tetapi juga dapat dirasakan orang lain. Dengan adanya kendala tersebut, maka pengadaan infrastruktur dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pemerintah dengan dana yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui pengeluaran pembangunan.
2.1.3. Pendapatan Nasional Pendapatan nasional selama beberapa dekade terakhir ini, menjadi fokus perhatian utama di banyak negara, terutama untuk negara berkembang. Pembangunan negara-negara berkembang sering kali dinilai berdasarkan tingkat pertumbuhan produksi dan pendapatan nasionalnya. Pembangunan ekonomi disetiap negara memiliki beberapa komponen, yakni: (1) akumulasi modal, yang meliputi semua investasi baru berupa tanah dan sumber daya manusia; (2) pertumbuhan penduduk dan dengan demikian, meskipun terdapat tenggang waktu,
meliputi juga pertumbuhan dalam angkatan kerja; dan (3) kemajuan-kemajuan di bidang teknologi (Todaro,1992). Menurut Lipsey dan Steiner (1990), nilai dari total produksi barang dan jasa suatu negara dinyatakan sebagai produk nasional dan nilai total produksi tersebut juga menjadi pendapatan total negara yang bersangkutan atau dengan kata lain, produk nasional sama dengan pendapatan nasional. Produk nasional atau pendapatan nasional dapat diukur dalam bentuk Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dalam penelitian ini pengukuran pendapatan nasional yang digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita, yang diperoleh dari jumlah PDB dibagi jumlah penduduk Indonesia. Profesor Simon Kuznets memberikan definisi pertumbuhan ekonomi suatu negara sebagai suatu kenaikan dalam jangka panjang kemampuan untuk meningkatkan sediaan berbagai macam barang kebutuhan ekonomi bagi penduduknya.
Kapasitas
pertumbuhan
ini
dimungkinkan
oleh
adanya
perkembangan teknologi, penyesuaian kelembagaan dan ideologis sebagaimana yang diminta oleh kondisi masyarakatnya. Profesor Kuznets juga menunjukkan enam ciri pertumbuhan ekonomi modern, yakni: (1) adanya laju pertumbuhan dan produk perkapita, (2) adanya peningkatan produktifitas, (3) laju perubahan struktural yang tinggi, (4) adanya urbanisasi, (5) ekspansi ke negara maju, dan (6) adanya peningkatan dalam arus barang, modal, dan orang. Keenam ciri pertumbuhan ekonomi ini bila kita tinjau kembali akan memperlihatkan adanya saling keterkaitan. Tingkat keluaran perkapita yang tinggi dihasilkan oleh tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi pula. Pendapatan
perkapita yang tinggi pada gilirannya juga akan menaikkan tingkat konsumsi perkapita, sehingga akan memberikan dorongan bagi terciptanya perubahan dalam struktur produksi. Keadaan demikian pada gilirannya akan menuntut perubahanperubahan yang cepat dalam hal lokasi dan struktur ketenagakerjaan dan dalam hubungan status di antara kelompok-kelomok masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah ekonomi yang bersangkutan. Itu berarti pula terjadinya perubahan-perubahan lain dalam aspek kemasyarakatan, termasuk ukuran besar kecilnya keluarga, urbanisasi dan faktor-faktor lain yang lebih ditekankan pada kondisi materi. Jumlah pendapatan nasional dapat dilihat salah satunya dengan jumlah produksi. Sehingga ada keterkaitan antara besarnya pendapatan nasional dengan besarnya jumlah input produksi, dalam hal ini modal dan tenaga kerja. Seperti yang dijelaskan dalam fungsi produksi:
Y = f (K,L)…………………………………………………………..(2.2)
dengan: Y : jumlah output K : jumlah modal L : jumlah tenaga kerja
Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh penggunaan modal dan tenaga kerja. Penggunaan lebih banyak modal dan tenaga kerja akan meningkatkan jumlah output yang dihasilkan.
2.1.4. Investasi Teori pertumbuhan Harrod-Domar menyatakan adanya hubungan yang positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga peningkatan investasi, dalam hal ini adalah pembentukan modal menjadi sangat penting peranannya dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Menurut Nurkse lingkaran kemiskinan di negara berkembang dapat dipotong dengan pembentukan modal. Sehingga pembentukan modal dipandang sebagai salah satu faktor dan sekaligus sebagai faktor utama di dalam pembangunan ekonomi (Jhingan, 1983). Negara berkembang umumnya memiliki tingkat pendapatan yang rendah, hal ini tentunya juga akan menyebabkan rendahnya permintaan, produksi, dan investasi. Dengan pembentukan modal akan dihasilkan kenaikan output nasional, pendapatan dan pekerjaan, dengan demikian memecahkan masalah inflasi dan neraca pembayaran (Jhingan,1983). Hakikat pembangunan ekonomi adalah penciptaan modal overhead sosial dan ekonomi. Hal ini hanya dapat dilakukan jika laju pembentukan modal di dalam negeri cukup cepat, yaitu jika bagian dari pendapatan atau output masyarakat yang ada hanya sedikit saja yang digunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung dan diinvestasikan. Investasi dalam peralatan modal tidak saja meningkatkan poduksi tapi juga meningkatkan kesempatan kerja. Pembentukan
modal
juga
menciptakan
perluasan
pasar,
membantu
menyingkirkan
ketidaksempurnaan pasar dengan menciptakan modal overhead sosial dan ekonomi. Jadi investasi dapat memotong rantai kemiskinan baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan (Jhingan,1983). Investasi yang dilakukan oleh investor tergantung pada tingkat suku bunga, tingkat suku bunga merupakan biaya utang untuk membiayai proyek investasi. Kenaikan dalam tingkat suku bunga riil akan mengurangi investasi yang direncanakan. Sehingga hubungan antara investasi dan tingkat suku bunga riil adalah berhubungan negatif. Efek Fisher menjelaskan adanya hubungan antara tingkat suku bunga dengan inflasi, semakin tinggi inflasi maka tingkat suku bunga riil akan semakin rendah. Jadi kenaikan dalam inflasi akan memicu terjadinya investasi, karena adanya penurunan suku bunga riil sehingga biaya utang untuk membiayai proyek investasi lebih kecil (Mankiw, 2003). Keputusan investor untuk menanamkan modal juga sangat dipengaruhi oleh harga input produksi. Upah yang rendah akan merangsang investor menanamkan modal. Kelebihan jumlah tenaga kerja yang biasa terjadi di negara berkembang menyebabkan kelebihan penawaran tenaga kerja, hal ini akan menekan tingkat upah menjadi lebih rendah. Dengan kata lain banyaknya jumlah tenaga kerja yang menganggur akan memicu minat investor untuk menanamkan modal.
2.1.5. Pengangguran Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja dalam Don Bellante-Mark Jackson (1990)
seseorang
dikatakan
menganggur
apabila
selama
seminggu
berlangsungnya survei, orang itu tidak mempunyai pekerjaan, tetapi siap bekerja, dan telah melakukan usaha pencarian kerja selama empat minggu sebelumnya. Secara konseptual, pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengangguran friksional, pengangguran struktural, dan pengangguran karena kurangnya permintaan (demand deficiency unemployment). Pengangguran friksional terjadi karena kurangnya informasi yang kurang sempurna dan biayanya mahal untuk memperolehnya. Pengangguran struktural terjadi karena lowongan pekerjaan yang tersedia membutuhkan keahlian yang berbeda yang dimiliki oleh para pencari kerja, atau karena lowongan pekerjaan yang dapat diperoleh itu berada dalam kawasan geografis lain dari lokasi tempat tinggal pekerja yang menganggur. Pengangguran karena kurangnya permintaan timbul apabila pada tingkat upah dan harga yang sedang berlaku, tingkat permintaan tenaga kerja secara keseluruhan terlampau rendah, dengan akibat bahwa jumlah tenaga kerja yang diminta perekonomian secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pekerja yang menawarkan tenaga kerjanya. Model dasar Clark menunjukkan kecondongan garis menurun pada kurva permintaan tenaga kerja. Upah merupakan biaya marginal bagi suatu unit tenaga kerja. Apabila tingkat upah naik maka perusahaan akan lebih sedikit menggunakan tenaga kerja dan lebih banyak menggunakan modal.
Upah
Kurva Permintaan Tenaga Kerja
W1
W2
TK1
TK2
Tenaga Kerja
Gambar 2.2 Model Dasar Clark Sumber : Bellante, 1983
Kurva Phillip memperlihatkan adanya hubungan negatif antara inflasi dan jumlah pengangguran. Semakin besar inflasi akan mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Inflasi ini mendorong terjadinya peningkatan output. Output yang tinggi berarti pengangguran akan berkurang.
Inflasi
Kurva Hubungan Inflasi dan Pengangguran
Inf1 Inf2 U1
U2
U
Gambar 2.3 Kurva Phillip Sumber : Bellante, 1983
2.2. Tinjauan Studi Terdahulu Beberapa penelitian empiris dengan pendekatan time series maupun cross section study memberikan kesimpulan yang beragam. Rozi (2007) menunjukkan adanya keterkaitan antara jumlah penduduk miskin dan jumlah pengeluaran pemerintah pada sektor infrastruktur dan sektor pertanian. Peningkatan pengeluaran sektor infrastruktur dan sektor pertanian berpengaruh paling kuat terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Namun peningkatan pengeluaran di sektor infrastruktur baru dapat dirasakan pengaruhnya pada jangka panjang. Dengan meningkatnya sumber daya manusia pada masa mendatang akan melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan. Hasil penelitian Yanuar (2006) memperlihatkan bahwa infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output baik pada
sektor pertanian maupun non-pertanian. Selain itu dalam penelitian ini, Yanuar juga
melihat
bagaimana
kesenjangan
stok
infrastruktur
antar
daerah
mempengaruhi output masing-masing daerah tersebut. Kesenjangan yang terjadi dalam perekonomian dapat disebabkan oleh adanya ketimpangan stok dari infrastruktur. Oktaviani (2001) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa pengaruh variabel-variabel ekonomi makro terhadap tingkat kemiskinan. Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat pengangguran dan inflasi keduanya berhubungan positif dengan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi angka pengangguran dan inflasi maka jumlah penduduk miskin juga akan semakin meningkat. Lebih lanjut, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang kuat terhadap kemiskinan, sedangkan inflasi hanya memberikan pengaruh yang relatif kecil. Penelitian Daryanto (2006), memperlihatkan bahwa ada beberapa kebijakan yang dapat menurunkan angka kemiskinan total, antara lain adalah kebijakan peningkatan investasi sektor pertanian, peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian, peningkatan pajak ekspor dan impor, peningkatan upah riil, serta menurunkan suku bunga domestik. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur cenderung dipengaruhi oleh kemiskinan, penerimaan pemerintah, reformasi dan desentralisasi. Desentralisasi menurut Yudhoyono (2004) menyebabkan pengeluaran untuk infrastruktur cenderung menurun. Simulasi model simultan yang digunakan oleh yudhoyono (2004) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak
positif terhadap pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja.
Namun, dampak
pengeluaran pemerintah dalam infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, relatif lebih besar di sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian.
Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan dan kesehatan memberikan dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan pada sektor non pertanian dibanding sektor pertanian. 2.3. Kerangka Pemikiran Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Sejak melakukan deklarasi kemerdekaan, angka kemiskinan Indonesia menunjukkan trend yang terus menurun. Namun terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan 1997 membuat angka kemiskinan kembali meningkat. Berkurangnya angka kemiskinan akan menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat. Hipotesis yang dikemukakan Kuznets menyebutkan adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Namun sebaliknya antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi terdapat hubungan positif. Keterkaitan
infrastruktur
dalam
pembangunan
ditunjukkan
oleh
pertumbuhan output. Ketersediaan infrastruktur yang kurang menyebabkan potensi sumberdaya di daerah tersebut sulit berkembang. Banyak penelitian telah membuktikan, jika infrastruktur suatu daerah berkembang baik, terutama infrastruktur
jalan,
maka
akan
merangsang
peningkatan
pendapatan
masyarakatnya. Karena aktivitas ekonomi daerah ini meningkat akibat semakin tingginya dan semakin mudahnya mobilitas faktor produksi dan aktivitas perdagangan daerah tersebut. Beberapa penelitian juga telah memperlihatkan bahwa pembangunan dalam sektor infrastruktur memberikan dampak yang positif dalam pengurangan kemiskinan. Saat pemerintah menginginkan pengurangan kemiskinan, maka pemerintah perlu melakukan pembangunan pada sektor infrastruktur dengan memberikan prioritas yang tepat, baik dari segi wilayah, sektor ataupun jenis infrastrukturnya. Untuk lebih jelasnya, skema pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 2.4.
2.4. Hipotesis Untuk memberikan arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan hipotesa sebagai berikut: 1. Semakin besar jumlah pengeluaran pembangunan pemerintah untuk infrastruktur, maka angka kemiskinan akan semakin berkurang. 2. Kenaikan
jumlah
pengeluaran
pemerintah
untuk
infrastruktur
meningkatkan investasi dan menurunkan angka pengangguran 3. Kenaikan pendapatan perkapita akan menurunkan jumlah kemiskinan. 4. Kenaikan pengangguran akan menurunkan angka pendapatan perkapita. 5. Kenaikan investasi akan menurunkan angka pengangguran.
akan
Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Fiskal Tx dan G
Kebijakan Moneter
Dibiayai APBN (Pengeluaran Pembangunan)
Mendorong Investasi
G untuk Infrastruktur
Pembangunan Infrastruktur
Membuka Kesempatan Kerja
Penyerapan TK
Peningkatan Pendapatan Pemerataan Mengurangi Kemiskinan Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: variabel yang akan diteleliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan antar variabel
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder time series tahun 1976-2006. Data yang digunakan dalam analisis adalah data jumlah penduduk miskin Indonesia, pendapatan perkaita Indonesia, investasi Indonesia, pengangguran Indonesia dan data pendukung lainnya. Data ini bersumber dari Biro Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, dan berbagai instansi terkait lainnya.
3.2. Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995).
Proses deskripsi data meliputi penelusuran dan
pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data. Kemudian hasil informasi ini disajikan secara lebih ringkas dan sederhana.
3.3. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan yang terdiri dari 5 persamaan termasuk persamaan identitas dimana hubungan antara variabelnya dapat dilihat pada lampiran.
Semua variabel yang digunakan dalam model
penelititan diubah ke dalam bentuk riil. Caranya adalah dengan membagi variabel dengan IHK dikali 100. Konversi ini dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel. Model persamaan simultan yang digunakan telah diubah ke
dalam bentuk ln, dimana semua variabel, kecuali yang satuannya persen, ditransformasi ke dalam bentuk logaritma. Adapun sistem persamaan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
3.3.1. Persamaan Kemiskinan Merujuk pada penelitian Oktaviani (2001), Tadjoeddin (2002), dan Yudhoyono (2004). Didapat persamaan struktural kemiskinan sebagai berikut: lnPOVt = a1 + a2 lnGEIt + a3 lnPPt + a4 INFt + DK…………………....... (3.1) diharapkan : a2, a3 < 0 dan a4 > 0 dimana: lnPOVt
= Penduduk Miskin (juta jiwa)
lnGEIt
= Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur (milyar rupiah)
lnPPt
= Pendapatan Perkapita (milyar rupiah)
INFt
= Inflasi (persen)
DK
= Dummy Krisis
3.3.2. Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Persamaan struktural pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ini merujuk pada Yudhoyono (2004). lnGEIt = b1 + b2 lnGRt + b3 lnPOVt + b4 lnGDPt + b5 lnERt + DK………...(3.2) diharapkan: b2, b3, b4 > 0 dan b5 < 0 dimana: lnGRt
= Penerimaan Pemerintah (milyar rupiah)
lnGDPt
= Pendapatan Nasional (milyar rupiah)
ERt
= Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (Rp/US$)
3.3.3. Persamaan Pendapatan Perkapita Berdasarkan teori, konsep, dan penelitian terdahulu maka persamaan pendapatan perkapita adalah sebagai berikut: lnPPt = c1 + c2lnUt + c3INFt + c4lnWt + DK……………………………… (3.3) diharapkan c1 < 0 dan c2, c3 > 0 dimana: lnUt
= Jumlah Penganggur (juta jiwa)
lnWt
= Upah rata-rata (milyar rupiah)
3.3.4. Persamaan Pengangguran Persamaan struktural pengangguran ini merujuk pada Yudhoyono (2004), hubungan upah dan tenaga kerja pada teori Produktifitas Marginal dan hubungan pengangguran dan inflasi pada teori Kurva Phillip lnUt = d1 + d2lnGEIt + d3lnINVt + d4EGROt + d5lnWt + d6INFt………… (3.4) diharapkan d2, d3, d4, d6 > 0 dan d5 < 0 dimana: lnINVt
= Investasi (milyar rupiah)
EGROt
= Pertumbuhan Ekonomi (persen)
3.3.5. Persamaan Investasi Berdasarkan teori, konsep, dan penelitian terdahulu maka persamaan investasi adalah sebagai berikut: lnINVt = e1 + e2lnGEIt + e3SBt-1 + e4INFt-1 + e5lnGDPt-1 + e6 lnUt + DK... (3.5) diharapkan e2, e4, e5, e6 > 0 dan e3 < 0 dimana: SBt-1
= Lag Suku Bunga (persen)
INFt-1
= Lag Inflasi (persen)
lnGDPt-1 = Lag Pendapatan Nasional (persen)
PP
W
INF GR
EGRO
U
POV
GEI
SB-1
INV
DK
ER
INF-1
GDP-1
Gambar 3.1 Hubungan Antar Variabel
Keterangan:
: variabel independen : variabel dependen : keterkaitan antar variabel
GDP
3.4. Definisi Operasional Variabel Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber. Data yang akan digunakan mencakup kurun waktu 1976-2006. Adapun data yang digunakan meliputi: 1. Jumlah penduduk miskin (POV), sebagai pendekatan dalam pengukuran variabel kemiskinan. Data jumlah penduduk miskin yang digunakan bersumber dari BPS. Data ini memperlihatkan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kkal perkapita perhari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut disebut garis kemiskinan. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. 2. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur (GEI), data yang digunakan diperoleh dari Realisasi pengeluaran pembangunan yang tercantum dalam Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) dengan sumber data berasal dari BPS. Data pengeluaran pembangunan untuk tahun 2005-2006 diperoleh dari pengeluaran pemerintah pusat berupa belanja modal dan belanja barang. 3. Pendapatan perkapita (PP), data ini digunakan sebagai pendekatan tingkat kesejahteraan penduduk. Data ini diperoleh dengan membagi jumlah
pendapatan nasional dengan jumlah penduduk Indonesia. Data pendapatan nasional yang digunakan berdasarkan harga konstan tahun 2000. Data pendapatan nasional dan jumlah penduduk Indonesia diperoleh dari BPS. 4. Pengangguran (U), pendapatan nasional (GDP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (ER), pertumbuhan ekonomi (EGRO), investasi (INV) dan tingkat upah rata-rata (W), diperoleh dari Statistik Indonesia yang dilakukan BPS. 5. Tingkat suku bunga (SB) dan penerimaan pemerintah (GR), diperoleh dari Laporan Tahunan Perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
3.5. Identifikasi Model Sebelum melakukan pendugaan parameter fungsi-fungsi persamaan simultan maka perlu dilakukan identifikasi persamaan-persamaan dalam model. Suatu persamaan dapat teridentifikasi bila memenuhi syarat order condition dan rank condition. Dua kondisi ini dapat dianggap sebagai syarat perlu dan syarat cukup untuk identifikasi. Rumus identifikasi model struktural menurut order condition adalah: (K-M) ≥ (G-1) Bila (K-M) > (G-1), maka persamaan tersebut over identified Bila (K-M) = (G-1), maka persamaan tersebut exactly identified Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut under identified
dimana: K = Jumlah variabel dalam model M = jumlah variabel dalam sebuah persamaan G = jumlah variabel endogen dalam model Apabila hasil identifikasi menunjukkan kondisi over identified maka teknik ekonometrik yang dapat digunakan adalah metode pangkat dua terkecil dua tahap atau two stage least square (TSLS), atau bisa juga dengan menggunakan metode pangkat dua terkecil tiga tahap atau 3SLS. Jika kondisi yang terjadi menunjukkan exactly
identified maka metode yang digunakan adalah ILS
(indirect least squares).
3.6. Metode Estimasi Model Hasil dari identifikasi model adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Estimasi Model No.
Persamaan
1.
Kemiskinan
2.
Pengeluaran
pembangunan
untuk
K
M
G
Hasil identifikasi
15
5
5
Over identified
15
6
5
Over identified
infrastruktur 3.
Pendapatan perkapita
15
5
5
Over identified
4.
Pengangguran
15
6
5
Over identified
5.
Investasi
15
7
5
Over identified
Berdasarkan hasil identifikasi, maka dapat disimpulkan bahwa model analisis termasuk over identified. Menurut Gujarati (1978), model yang tergolong over identified dapat diestimasi dengan menggunakan metode 2SLS (Two Stage
Least Squares).
Kelebihan metode 2SLS adalah taksiran yang dihasilkan
konsisten dan relatif lebih mudah diaplikasikan. Oleh karena itu, metode tersebut akan digunakan dalam penelitian ini. Metode 2SLS dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama, menduga setiap persamaan dengan semua variabel eksogen yang ada dalam model, sehingga diperoleh nilai dugaan setiap variabel endogen. Nilai dugaan variabel endogen dari tahap pertama tersebut selanjutnya dimasukan sebagai variabel penjelas (menggantikan nilai aktual variabel tersebut) dalam persamaanpersamaan yang relevan. Untuk pengolahan data, digunakan alat bantu perangkat computer dengan program Eviews Version 4.1.
3.7. Pengujian Model dan Hipotesis 3.7.1. Uji Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel eksogen terhadap variabel endogen. Koefisien deteminasi adalah proporsi variasi dalam Y yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelasnya. perhitungan untuk memperoleh R2 adalah sebagai berikut:
R2 =
ESS TSS
dimana, ESS
= Jumlah kuadrat error
TSS
= Jumlah kuadrat total
Adapun
R2 berada di antara 0 dan 1. Jika bernilai 1 maka garis regresi menjelaskan 100% variasi dalam Y. Di lain pihak jika bernilai 0 maka garis regresi tidak menjelaskan variasi dalam Y.
3.7.2. Uji t Uji parsial (uji t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Adapun mekanisme uji statistik t ini adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis H0
: bi = 0
H1
: bi ≠ 0
2. Statistik uji t bi
t hitung = dimana, bi S(bi)
S(bi)
= Koefisien parameter dugaan = Standar deviasi parameter dugaan
3. Melakukan kriteria uji t hitung < t (α;n-k) : maka terima H0 t hitung > t (α;n-k) : maka tolak H0
Jika t hitung lebih besar dari t tabel, maka tolak H0 dan paremeter dugaan secara statistik berbeda nyata dari nol dan berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat signifikansi α persen, dan sebaliknya. Selain dengan melakukan uji-t, untuk mengetahui variabel eksogen mana yang secara parsial berpengaruh terhadap variabel endogen dapat dilakukan dengan melihat p-valuenya. P-value suatu variabel eksogen yang lebih kecil dari tingkat signifikannya menunjukkan bahwa variabel eksogen tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat signifikansi α persen, dan sebaliknya. 3.7.3. Uji F Untuk mengetahui apakah variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik uji F. Langkah awal dalam melakukan uji F ini adalah dengan menentukan hipotesis yaitu: H0
: ai = 0, dimana i = 1,2,3,…..,k
H1
: Minimal ada satu nilai ai yang tidak sama dengan nol
Setelah itu, dilakukan uji statistik RSS/k Fhit =
ESS/(n-k-1)
dimana, RSS
= Jumlah Kuadrat Regresi
ESS
= Jumlah Kuadrat Error
n
= Jumlah pengamatan
k
= Jumlah variabel eksogen
Kemudian dilakukan penerimaan atau penolakan H0 yaitu jika F hitung lebih besar dari F (α/2; n-k-1) maka tolak H0, yang berarti bahwa secara simultan variabel-variabel eksogen dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada taraf nyata α persen, dan sebaliknya.
3.8. Uji Ekonometrika 3.8.1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi normal atau tidak.
Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka prosedur
pengujian menggunakan statistik t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term dilakukan dengan menggunakan uji Jarque-Bera. Uji ini didasarkan pada error penduga Least Squares. Prosedur pengujian adalah: a. H0 : Error term terdistribusi normal, H1 : Error term tidak terdistribusi normal. b. Statistik J-B dihitung melalui tahapan berikut: 1. Hitung kecondongan (α3) dan ketinggian (α4) distribusi error term 2. Hitung statistic J-B dengan rumus sebagai berikut:
⎛ α 32 (α 4 − 3)2 ⎞ ⎟ + J − B = n⎜⎜ ⎟ 24 24 ⎝ ⎠ Daerah kritis penolakan H0 adalah Jarque-Bera (J-B)>X2df-2 atau probabilitas (ρvalue)<α, yang mempunyai arti jika H0 ditolak maka error term tidak terdistribusi normal.
3.8.2. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas menggambarkan bahwa pada suatu permodelan nilai varian dari variabel independen tidak memiliki nilai yang sama.
Hal ini
melanggar asumsi dasar dari regresi linear klasik yaitu varian setiap variabel bebas mempunyai nilai yang konstan atau memiliki varian yang sama (homoskedastisitas). Rumusan homoskedastisitas adalah sebagai berikut: E (ui ) = σ 2 2
i=1,2,...,N
Dimana: ui
= unsur disturbance
σ²
= nilai varians Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan uji White Heteroskedasticity Test pada software E-Views 4.1. Prosedur pengujian adalah: H0 : β0 = 0, tidak terdapat heteroskedastisitas H1: β0 # 0, terdapat heteroskedastisitas Jika Probability Obs*R-squared<α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0. Sedangkan, jika Probability Obs* R-squared >α (taraf nyata yang digunakan), maka terima H0. Kesimpulannya, jika menolak H0, maka menunjukkan terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model. Sebaliknya, jika menerima H0, maka menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model.
3.8.3. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang (Gujarati, 1978). Model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain.
Pada software E-Views 4.1 untuk
mendeteksi adanya autokorelasi (serial correlations) dapat dilakukan melalui uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Rumusan adanya autokorelasi dalam permodelan adalah sebagai berikut:
E (uiu j ) ≠ 0 ; i ≠ j ui
= disturbance pengamatan i,
uj
= disturbance pengamatan j.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa unsur gangguan (disturbance) yang unsur
gangguan
(disturbance) yang berhubungan dengan pengamatan lain (uj).
Prosedur
berhubungan
dengan
observasi
(ui)
dipengaruhi
oleh
pengujian adalah: H0 : β0 = 0, tidak terdapat autokorelasi H1: β0 # 0, terdapat autokorelasi Jika Probability Obs*R-squared<α (taraf nyata yang digunakan), maka tolak H0. Sedangkan, jika Probability Obs* R-squared >α(taraf nyata yang digunakan), maka terima H0. Kesimpulannya, jika menolak H0, maka menunjukkan terdapat masalah autokorelasi dalam model.
Sebaliknya, jika menerima H0, maka
menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Umum Kemiskinan di Indonesia
Sebelum terjadi krisis ekonomi pada pertengahan 1997 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan. Seperti terlihat pada Gambar 4.1, dari tahun 1976 sampai 1996 jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan. Saat terjadi krisis jumlah penduduk miskin melonjak secara drastis, dan kemudian kembali mengalami penurunan.
60000 50000 40000 30000
jumlah kemiskinan
20000 10000 2005
2002
1999
1996
1993
1990
1987
1984
1981
1978
0 tahun
jumlah penduduk miskin (dalam ribu jiwa)
Jumlah Kemiskinan di Indonesia
tahun
Gambar 4.1 Grafik Perkembangan Jumlah Kemiskin Indonesia Sumber: BPS (1976-2006), diolah
Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin diperkirakan sebesar 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen dari seluruh penduduk di Indonesia. Namun saat krisis ekonomi melanda Indonesia, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat drastis menjadi 34,5 juta jiwa atau sekitar 17 persen dari
seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1997, kondisi meningkatnya jumlah penduduk miskin terus meningkat sampai pada puncaknya tahun 1998 yakni sebesar 49,5 juta jiwa atau 24 persen dari total penduduk Indonesia pada saat itu. Seiring dengan sedikit membaiknya kondisi perekonomian, situasi politik dan keamanan di Indonesia pasca krisis ekonomi telah mengurangi jumlah penduduk miskin. Sejak tahun 1999, secara perlahan-lahan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mengalami penurunan hingga tahun 2006 mencapai 30,3 juta jiwa atau sekitar 13 persen dari total penduduk Indonesia. Angka kemiskinan sangat terkait dengan tingkat upah yang diterima masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih relatif rendah, penyediaan tambahan lapangan kerja menjadi sangat terbatas sehingga tidak mampu menyerap semua tambahan angkatan kerja baru. Kondisi ini menyebabkan sebagian pencari kerja terpaksa menerima upah dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Selain itu, tingginya laju inflasi menyebabkan upah pekerja secara riil turun. Melonjaknya harga-harga secara tajam bersamaan dengan menurunnya pendapatan masyarakat mengakibatkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih tetap tinggi.
4.2. Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Indonesia
Kondisi infrastruktur di Indonesia relatif masih kurang. Dari laporan Bank Dunia tahun 2007, disebutkan bahwa investasi infrastruktur di Indonesia masih terlalu kecil. Investasi infrastruktur di Indonesia sebelum masa krisis
ekonomi pada pertengahan tahun1997 berkisar 5-6 persen dari GDP. Ketika krisis ekonomi terjadi investasi pada infrastruktur mengalami penurunan mencapai 1-2 persen dari GDP. Dan pada tahun 2006 investasi pada sub sektor infrastruktur berkisar 3,40 persen dari GDP. Pengalaman internasional memperlihatkan kecenderungan bila suatu negara mengalami krisis ekonomi, maka yang pertama kali dikorbankan dalam pembangunannya adalah pembangunan di sub sektor infrastruktur (Bapenas, 2003). Berdasarkan saran dari International Monetary Fund (IMF), kebijakan pembangunan negara yang mengalami krisis lebih difokuskan pada kebijakan moneter, melalui restrukturisasi perbankan, dan pengentasan kemiskinan melalui jaring pengaman sosial (JPS). Indonesia mengurangi besarnya investasi untuk sub sektor infrastruktur saat terjadi krisis ekonomi. Investasi pada sub sektor infrastruktur diisi oleh investasi privat dan investasi publik. Dalam penelitian ini, kita lebih memfokuskan pada investasi infrastruktur oleh pemerintah atau investasi publik. Investasi pemerintah dalam sub sektor infrastruktur dapat kita lihat dari jumlah besaran dana pembangunan yang ada di APBN. Dari tahun 1976 sampai 1996 jumlah pengeluaran pembangunan pemerintah terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1976 jumlah pengeluaran pembangunan yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp 280,7 milyar dan terus meningkat sampai pada tahun 1996 mencapai Rp 791,00 milyar. Saat terjadi krisis ekonomi terjadi penurunan alokasi pengeluaran pembangunan, pada tahun 1997
alokasi dana hanya sebesar Rp 760,00 milyar dan Rp 757,10 milyar pada tahun 1998. Seiring dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang terus mengalami perbaikan, maka pembangunan infrastruktur mulai kembali mendapat perhatian karena sub sektor ini sangat menunjang bagi pembangunan sub sektorsub sektor perekonomian lainnya. Pada tahun 1999 pengeluaran pembangunan pemerintah untuk infrastruktur kembali meningkat menjadi Rp 856,40 milyar. Dan diharapkan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur akan terus meningkat. Namun pada tahun 2000, terjadi penurunan investasi pemerintah dalam sub sektor infrastruktur yang cukup tajam. Pada tahun 2000 investasi pemerintah dalam sub sektor infrastruktur hanya sebesar Rp 258 milyar. Lalu mengalami kenaikan kembali pada tahun 2001, dan terus mengalami fluktuasi sampai tahun 2006, besarnya dana investasi pemerintah untuk infrastruktur pada tahun 2001; 2002; 2003; 2004; 2005 dan 2006 adalah Rp 356,80 milyar; Rp 290,70 milyar; Rp 506,10 milyar; Rp 471,70 milyar; Rp 333,30 milyar; Rp 458,70 milyar. Penurunan dan fluktuasi ini diperkirakan karena adanya penumpukan utang negara yang harus segera di bayar, sehingga dana untuk investasi di sub sektor infrastruktur harus dikurangi. Pengadaan infrastruktur membutuhkan waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit. Dan hasil yang akan diperoleh dari pembangunan ini juga baru bisa dinikmati di masa yang akan datang. Maka dari itu pembangunan infrastruktur ini sebaiknya tetap ditujukan untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi jangka
menengah dan panjang sehingga upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan baik.
900.00 800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
06 20
00
97
94
91
03 20
20
19
19
88
19
19
85 19
82 19
19
19
79
pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
76
m ilyar ru p iah
Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur
tahun
Gambar 4.2 Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Sumber: BPS (1976-2006), diolah
4.3. Gambaran Umum Pendapatan Perkapita Indonesia
Pendapatan perkapita tidak dapat lepas dari pendapatan nasional. Angka pendapatan perkapita diperoleh dengan membagi pendapatan nasional dengan jumlah penduduk. Dari tahun 1976 hingga tahun 1997 pendapatan nasional dan pendapatan perkapita terus mengalami peningkatan. Lalu mengalami penurunan saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998. kemudian kembali mengalami peningkatan pada tahun 2000 hingga sekarang.
Tahun 1976 hingga 1982 pendapatan perkapita terus mengalami peningkatan dengan laju rata-rata 4,8 persen. Kemudian pada tahun 1983, pendapatan perkapita naik secara tajam.
Dari tahun 1984 sampai 1997
pendapatan perkapita juga terus mengalami kenaikan dengan rata-rata laju kenaikan sebesar lima persen. Pada tahun 1998 terjadi penurunan pendapatan perkapita yang cukup tajam dari 2,2 juta pertahun, menjadi 1,9 juta pertahun. Penurunan pendapatan perkapita ini disebabkan adanya krisis ekonomi, banyaknya pemutusan hubungan kerja dan tingginya inflasi. Dalam kondisi ekonomi yang lemah, inflasi semakin meningkat, nilai tukar bergejolak tajam. Kepercayaan terhadap perbankan nasional terus memburuk. Akibatnya, kegiatan produksi dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi turun drastis. Pendapatan Perkapita
Milyar Rupiah
0.002500 0.002000 0.001500 pendapatan perkapita 0.001000 0.000500
19 76 19 79 19 82 19 85 19 88 19 91 19 94 19 97 20 00 20 03 20 06
0.000000
Tahun
Gambar 4.3 Pendapatan Perkapita Indonesia Sumber: BPS (1976-2006), diolah
Pada tahun 2000, pendapatan perkapita mulai menunjukkan peningkatan. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut masih kecil yakni rata-rata
4,35 persen pertahun. Dari tahun 2000 hingga 2006, berangsur-angsur terjadi pemulihan perekonomian Indonesia. 4.4. Gambaran Umum Pengangguran di Indonesia.
Jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 1976 sampai 1993, cenderung konstan berkisar pada angka 2 juta jiwa. Pada tahun 1994-1995 jumlah pengangguran terus mengalami peningkatan, dan pada tahun 1996-1997 angka pengangguran dapat ditekan. Namun hal ini hanya berlangsung sementara, pada tahun 1998 angka pengagguran meningkat tajam sampai tahun 2006 mencapai angka 10,90 juta jiwa. Krisis ekonomi membuat dunia usaha mengalami kelumpuhan. Biaya produksi meningkat dan di sisi lain daya serap pasar juga sangat rendah. Hal ini memaksa berbagai sektor usaha mengurangi skala usahanya. Dan pemutusan hubungan kerja banyak terjadi, jumlah pengangguranpun terus meningkat. Jumlah Penganggur di Indonesia 12000
8000 6000
Jumlah Penganggur
4000 2000 2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
0 1976
ribu orang
10000
tahun
Gambar 4.4 Jumlah Penganggur di Indonesia Sumber:BPS (1976-2006), diolah
Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia sedikit menguat, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,8 persen. Situasi ekonomi dunia yang membaik disertai dengan permintaan domestik yang meningkat, sedikit memulihkan kegiatan di sejumlah sektor ekonomi. Hal ini berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Kondisi makroekonomi pada tahun 2002 sampai 2006 sudah cukup membaik. Namun belum dapat menciptakan lapangan usaha yang memadai. Angka pengangguran tetap meningkat, hal ini dikarenakan pertambahan angkatan kerja tidak sebanding dengan penambahan lapangan kerja. Sejalan dengan itu, rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia juga menjadi hambatan bagi penyerapan tenaga kerja Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada saat permintaan akan tenaga kerja relatif terbatas tetapi di sisi lain penawaran tenaga kerja terus bertambah, maka persaingan di pasar tenaga kerja menjadi semakin ketat. 5.5. Gambaran Umum Investasi di Indonesia
Investasi di Indonesia sejak tahun 1976 hingga 1996 mengalami peningkatan, hal ini dikarenakan adanya iklim perekonomian yang cukup baik. Investasi cenderung dipengaruhi oleh variabel makroekonomi lainnya, tapi variabel yang sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya investasi yang ditanamkan adalah tingkat kepercayaan. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia pertengahan tahun 1997, terjadi pergolakan yang sangat dasyat yang mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia, krisis ini bukan hanya berpengaruh pada kondisi perekonomian, namun
di semua bidang, krisis ini membawa Indonesia ke pada krisis multidimensi. Hal ini menyebabkan tingkat kepercayaan investor baik investor asing maupun dalam negeri terhadap Indonesia menjadi sangat berkurang, sehingga jumlah investasi menjadi turun. Pasca krisis dari tahun 1998 sampai 1999 investasi terus saja mengalami penurunan, yang terparah adalah pada tahun 1999, jumlah investasi yang masuk hanya Rp 231.785,4 milyar. Setelah tahun 2000 investasi kembali mengalami peningkatan. Gambar 5.5 memperlihatkan kondisi investasi di Indonesia.
450000.0 400000.0 350000.0 300000.0 250000.0 200000.0 150000.0 100000.0 50000.0 0.0
investasi
19 76 19 78 19 80 19 82 19 84 19 86 19 88 19 90 19 92 19 94 19 96 19 98 20 00 20 02 20 04 20 06
milyar rupiah
Jumlah Investasi di Indonesia
tahun
Gambar 5.5 Jumlah Investasi di Indonesia Sumber: BPS (1976-2006), diolah
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Umum Model Pendugaan
Hasil Pendugaan parameter atas model memberikan nilai koefisien determinasi (R2) pada masing-masing persamaan cukup besar, berkisar antara 0.71 sampai 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa peubah penjelas dalam model dapat menjelaskan fluktuasi peubah endogen secara baik. Hasil pengujian dengan kriteria statistik F menunjukkan peubah penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peubah endogen pada setiap persamaan. Nilai statistik F yang diperoleh berkisar antara 11.74 sampai 404.40. Model yang baik adalah model yang memberikan penanda parameter sesuai dengan yang diharapkan baik secara teori maupun logika ekonomi.
5.2. Pendugaan Parameter Persamaan Struktural 5.2.1. Analisis Persamaan Kemiskinan
Dari hasil pendugaan parameter kemiskinan yang ditunjukkan Tabel 5.1. Persaman ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,79. Hal ini menunjukkan bahwa ragam variabel dependen yang ada dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 79 persen dan sisanya sebesar 21 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,000000, maka persamaan ini lulus uji F. Nilai probabilitas F-statistik ini menandakan bahwa variabel-variabel penjelas
dalam model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan variabel independen pada taraf nyata 5 persen.
Tabel 5.1 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
9.566219
0.706908
13.53248
0.0000
-0.078476
0.084124
-0.932860
0.3598
-0.177368
0.034169
-5.190897
0.0000
0.005219
0.001910
2.732281
0.0114
Dummy Krisis*
0.282708
0.069066
4.093294
0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.794622 0.761762 0.112454 24.18174
Intersep Log Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Log Pendapatan Perkapita* Inflasi*
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob (F-statistic)
10.43841 0.230394 0.316150 1.609871 0.000000
Dari hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan pada Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur memiliki pengaruh negatif terhadap kemiskinan di Indonesia. Koefisien untuk variabel ini adalah -0.08, hal ini menunjukkan jika pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur naik sebesar satu persen maka akan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 0,08 persen. Variabel ini memiliki nilai probabilitas parsial sebesar 0.36, hal ini menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Isu
utama
yang
menyebabkan
pengeluaran
pemerintah
untuk
infrastruktur tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah adanya ketimpangan dalam pemanfaatan infrastruktur. Berbagai infrastruktur sosial
seperti sekolah, jaringan air bersih, kesehatan dan infrastruktur komersial lainnya yang seharusnya dapat dimanfaatkan merata oleh seluruh masyarakat, pemanfaatan terbesarnya justru dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lebih baik karakteristik sosial ekonominya. Selain itu pada saat ini, pembangunan yang dilakukan dalam sektor infrastruktur, adalah pembangunan infrastruktur yang tidak pro-poor. Laporan Bank Dunia Reaching The Poor 2005 juga menyimpulkan bahwa ketersediaan infrastruktur hampir tidak ada korelasi positifnya dengan pengurangan tingkat kemiskinan. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007, yang dirilis World Bank Office Jakarta memaparkan, akses terhadap air pipa sangat terbatas di semua provinsi di Indonesia. Tingkat akses air bersih masyarakat miskin adalah paling rendah. Lebih dari 80 persen rumah tangga dalam kisaran 20 persen kelompok penghasilan terendah bergantung pada air sumur dan sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai. Variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif terhadap kemiskinan di Indonesia. Koefisien untuk variabel ini adalah -0.18, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan pendapatan perkapita sebesar satu persen, maka akan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,18 persen. Variabel ini secara statistika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia, dengan nilai probabilitas parsial sebesar 0.00. Hal ini sesuai teori, saat terjadi peningkatan pendapatan perkapita, maka daya beli akan meningkat, akses pendidikan dan kesehatan juga dapat meningkat, pada akhirnya tingkat kesejahteraan juga akan meningkat, dan kemiskinan dapat ditekan.
Variabel inflasi dan dummy krisis memiliki pengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. Koefisien untuk variabel inflasi adalah 0.005 dengan nilai probabilitas parsial 0.01, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,005 persen. Secara statistika, variabel inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Adanya inflasi tentunya akan menambah beban hidup, ketika semua harga mengalami kenaikan, daya beli masyarakat akan turun, hal ini pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menambah angka kemiskinan. Koefisien dummy krisis adalah 0.28 dengan nilai probabilitas parsial sebesar 0.00. Dapat disimpulkan saat terjadi krisis ekonomi angka kemiskinan akan meningkat sebesar 0,28 persen. Kemiskinan
merupakan
masalah
multidimensional,
yang
penanggulangannya harus segera dilakukan. Dari hasil pendugaan parameter persamaan kemiskinan pada Tabel 5.1 dapat dilihat, bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah dan peningkatan pendapatan perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Namun ternyata itu saja belum cukup, perlu dilakukan jaminan pemerataan pendapatan untuk menjamin keberlangsungan program pengentasan kemiskinan.
5.2.2. Analisis Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur
Hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ditunjukkan Tabel 5.2. Persaman ini memiliki nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.71. Hal ini menunjukkan bahwa ragam variabel dependen yang ada dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 71 persen dan sisanya sebesar 29 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000008, maka persamaan ini lulus uji F. Nilai probabilitas F-statistik ini menandakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan variabel independen pada taraf nyata 5 persen.
Tabel 5.2 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur. Variable Intersep
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-12.81973
5.183042
-2.473400
0.0209
Log Penerimaan Pemerintah* Log Kemiskinan*
1.353256
0.298549
4.532771
0.0001
1.017260
0.380629
2.672579
0.0133
Log Pendapatan Nasional
0.165388
0.135724
1.218565
0.2349
Log Nilai Tukar
-0.429061
0.335240
-1.279861
0.2128
Dummy Krisis
-0.729634
0.468794
-1.556408
0.1327
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.709719 0.649244 0.214387 11.73571
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
6.214707 0.361989 1.103079 2.043689 0.000008
Dari hasil pendugaan parameter persamaan pengeluaran pemerintah dalam Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa penerimaan pemerintah memiliki pengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur. Hal ini sesuai logika ekonomi, sumber pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintah adalah salah satunya dari penerimaan pemerintah, jadi semakin meningkat penerimaan pemerintah maka jumlah pengeluaran untuk infrastruktur juga akan
semakin meningkat. Koefisien variabel penerimaan pemerintah adalah 1.35, hal ini menunjukkan bahwa saat terjadi kenaikan penerimaan pemerintah sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar 1,35 persen. Secara statistika variabel ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependent, dengan nilai probabilitas statistik sebesar 0.00. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu strategi yang dilakukan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sehingga dalam menentukan jumlah besaran pengeluaran, perlu juga mempertimbangkan jumlah penduduk miskin yang akan dijadikan sasaran sebagai pengguna infrastruktur ini. Variabel jumlah penduduk miskin ini memiliki pengaruh positif terhadap variabel dependent, dengan nilai koefisien sebesar 1.02, hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia, maka pemerintah akan melakukan usaha untuk menekan pertambahan jumlah penduduk miskin dengan meningkatkan jumlah pengeluaran pemeritah untuk infrastruktur. Setiap pertambahan satu persen penduduk miskin maka pemerintah akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar 1,02 persen. Variabel ini secara statistika memiliki pengaruh yang signifikan dengan nilai probabilitas sebesar 0.01. Pendapatan nasional diduga memiliki pengaruh positif terhadap jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, dengan meningkatnya pendapatan nasional, berarti terjadi perbaikan kondisi ekonomi, peningkatan ekonomi ini akan memicu timbulnya faktor yang menyebabkan pengeluaran pemerintah naik, yakni
adanya tuntutan masyarakat akan kemudahan mobilitas untuk mendukung kegiatan ekonomi. Namun variabel ini secara statistika tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, dengan nilai probabilitas parsial sebesar 0.23 dan nilai koefisien sebesar 0.16. Adanya peningkatan nilai tukar rupiah dan adanya krisis ekonomi membawa dampak pada berkurangnya jumlah pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, namun kedua variabel ini secara statistika tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur.
5.2.3. Analisis Persamaan Pendapatan Perkapita
Hasil pendugaan parameter persamaan pendapatan perkapita ditunjukkan Tabel 5.3. Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.89. Hal ini menunjukkan bahwa ragam variabel dependen yang ada dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 89 persen dan sisanya sebesar 11 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000000, maka persamaan ini lulus uji F. Nilai probabilitas F-statistik ini menandakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan variabel independen pada taraf nyata 5 persen. Variabel pengangguran diduga memiliki pengaruh negatif terhadap pendapatan perkapita, saat terjadi kenaikan jumlah penganggur maka beban tanggungan seorang pekerja akan meningkat, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan pendapaan perkapita. Dari hasil estimasi yang ditunjukkan Tabel 5.3
dapat dilihat, bahwa pengangguran memiliki pengaruh negatif terhadap pendapatan perkapita dengan nilai koefisien sebesar -0.27, namun secara statistika variabel ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan, terlihat dari nilai probabilitas parsialnya sebesar 0.29.
Tabel 5.3 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pendapatan Perkapita Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
17.14701
4.328679
3.961257
0.0005
-0.266170
0.246450
-1.080014
0.2904
Inflasi*
0.030571
0.006020
5.078513
0.0000
Log Upah*
2.544832
0.308133
8.258864
0.0000
Dummy Krisis
-0.392281
0.299088
-1.311592
0.2016
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.897468 0.881063 0.328064 54.70684
Intersep Log Pengangguran
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
-6.829377 0.951262 2.690642 1.214507 0.000000
Terjadinya inflasi, menurut teori dapat memicu terjadinya peningkatan pendapatan nasional. Terjadinya kenaikan harga akan merangsang para pengusaha meningkatkan produksinya, sehingga akan memacu peningkatan produk nasional. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan nasional, berarti terjadi pula peningkatan pendapatan perkapita. Dari hasil pendugaan parameter persamaan ini, variabel inflasi memiliki nilai koefisien sebesar 0.03, dengan probabilitas parsial sebesar 0.00. Hal ini memperlihatkan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan pendapatan perkapita sebesar 0,03 persen. Dan secara statistika, variabel inflasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel pendapatan perkapita.
Variabel tingkat upah rata-rata memiliki pengaruh positif terhadap pendapatan perkapita, dengan nilai koefisien sebesar 2.54. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan tingkat upah rata-rata sebesar satu persen maka akan terjadi kenaikan pendapatan perkapita sebesar 2,54 persen. Secara statistika variabel tingkat upah rata-rata ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan perkapita dengan nilai probabilitas parsial sebesar 0.00. Adanya krisis ekonomi menyebabkan turunnya tingkat pendapatan perkapita. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak pekerja yang harus kehilangan pekerjaannya, para investor enggan menanamkan modalnya, hal ini semakin membuat perekonomian nasional terpuruk, pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan, hal ini tentunya akan menurunkan pendapatan perkapita. Nilai koefisien variabel dummy krisis adalah -0.39 hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi krisis ekonomi akan menyebabkan penurunan pendapatan perkapita sebesar 0.39 persen. Namun secara statistika, dummy krisis ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan perkapita, hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan.
5.2.4. Analisis Persamaan Pengangguran
Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran ditunjukkan oleh Tabel 5.4. Persaman ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.88. Hal ini menunjukkan bahwa ragam variabel dependen yang ada dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 88 persen dan sisanya sebesar
12 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000000, maka persamaan ini lulus uji F. Nilai probabilitas F-statistik ini menandakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan variabel independen pada taraf nyata 5 persen. Seperti yang terlihat pada tabel 5.4, variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terbukti signifikan mempengaruhi jumlah penganggur. Nilai koefisien variabel ini adalah -0.75, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebesar satu persen maka akan terjadi penurunan jumlah penganggur sebesar 0,75 persen. Adanya proyek pembangunan sarana infrastruktur akan menyerap banyak tenaga kerja, hal ini akan menurunkan angka pengangguran.
Tabel 5.4 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
24.43294
6.312456
3.870592
0.0007
-0.754655
0.188627
-4.000783
0.0005
0.108320
0.173252
0.625218
0.5377
Pertumbuhan Ekonomi
0.032083
0.031604
1.015147
0.3202
Log Upah*
1.571493
0.525422
2.990917
0.0063
Inflasi* R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.033318 0.878545 0.853242 0.332079 34.72079
0.011303 2.947800 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
0.0070 7.888885 0.866843 2.646639 1.296045 0.000000
Intersep Log Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur* Log Investasi
Dari hasil estimasi yang ditunjukkan pada Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pengangguran. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan. Kedua variabel ini memberikan penanda yang berbeda dengan teori, sehingga dapat disimpulkan saat terjadi kenaikan investasi dan pertumbuhan ekonomi, terjadi pula kenaikan jumlah penganggur di Indonesia. Hal ini terjadi, diduga karena investasi yang terjadi di Indonesia adalah investasi intensif kapital, sehingga mengurangi penggunaan tenaga kerja. Diduga pula, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia masih tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja, karena adanya ledakan jumlah angkatan kerja, jadi meskipun terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi, angka pengangguran terus saja meningkat. Kenaikan tingkat upah rata-rata terbukti secara signifikan berpengaruh positif terhadap pengangguran. Hal ini sesuai teori saat terjadi kenaikan upah, maka para pengusaha akan mengurangi penggunaan faktor produksi tenaga kerja, akibatnya jumlah penganggur akan meningkat. Variabel ini memiliki nilai koefisien 1.57, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan tingkat upah rata-rata sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan jumlah penganggur sebesar 1,57 persen. Terjadinya inflasi akan menyebabkan harga faktor produksi akan meningkat, hal ini akan meningkatkan beban produksi. Dengan meningkatnya biaya produksi, para pengusaha akan mengurangi jumlah produksi, hal ini tentunya akan diikuti dengan pengurangan jumlah penggunaan faktor produksi, yang salah satunya adalah tenaga kerja. Sehingga adanya inflasi ini akan meningkatkan jumlah penganggur yang ada. Variabel ini memiliki nilai koefisien
sebesar 0.03, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen maka akan terjadi kenaikan pengangguran sebesar 0,03 persen. Secara statistika variabel inflasi ini berpengaruh signifikan terhadap pengangguran, dengan nilai probabilitas 0.00.
5.2.5 Analisis Persamaan Investasi
Hasil pendugaan parameter persamaan investasi ditunjukkan oleh Tabel 5.5. Persamaan ini memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa ragam variabel dependen yang ada dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 99 persen dan sisanya sebesar 1 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000000, maka persamaan ini lulus uji F. Nilai probabilitas F-statistik ini menandakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan variabel independen pada taraf nyata 5 persen. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap investasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih besar dari taraf nyata. Jumlah pengangguran di Indonesia secara signifikan mempengaruhi besarnya investasi yang ditanam di Indonesia. Jumlah penganggur memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Banyaknya pengangguran merepresentasikan tingkat kemudahan dalam memperoleh input tenaga kerja, selain itu dengan banyaknya jumlah penganggur diharapkan tingkat upah dapat ditekan, hal ini
tentunya akan sangat menarik investor untuk menanamkan modal. Variabel pengangguran ini memiliki nilai koefisien sebesar 0.61, hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan jumlah penganggur sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan investasi sebesar 0.61 persen.
Tabel 5.5 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-5.805749
0.641059
-9.056496
0.0000
0.166897
0.117423
1.421337
0.1686
-0.024819
0.008571
-2.895696
0.0082
Lag Inflasi*
0.008802
0.003718
2.367388
0.0267
Lag Log Pendapatan Nasional* Log Pengangguran*
0.974317
0.062917
15.48570
0.0000
0.609511
0.123671
4.928481
0.0001
Dummy Krisis*
-0.452126
0.174063
-2.597490
0.0161
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.990610 0.988160 0.158151 404.4012
Intersep Log Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Lag Suku Bunga*
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
11.38706 1.453460 0.575269 1.392543 0.000000
Investasi juga sangat dipengaruhi oleh expectasi para investor. Biasanya para penanam modal akan melihat kinerja perekonomian tahun sebelumnya dalam menentukan jumlah investasi yang akan ditanamkan. Karena itu dalam model ini dimasukkan variabel lag suku bunga, lag inflasi, dan lag pendapatan nasional. Ketiga variabel ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap besarnya investasi. Lag suku bunga memiliki nilai keofisien sebesar -0.02, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan suku bunga sebesar satu persen maka akan terjadi penurunan investasi pada tahun yang akan datang sebesar 0,02 persen.
Penanda parameter ini sesuai teori dan logika ekonomi. Suku bunga merupakan beban biaya investasi. Lag inflasi memiliki nilai koefisien sebesar 0.008, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen maka akan terjadi kenaikan investasi pada tahun yang akan datang sebesar 0,008 persen. Penanda parameter ini sesuai teori dan logika ekonomi. Adanya inflasi akan menyebabkan suku bunga riil turun, itu artinya beban biaya investasi menjadi berkurang. Dengan turunnya biaya investasi ini, maka para investor akan memilih menanamkan modal. Lag pendapatan nasional memiliki nilai koefisien sebesar 0.97, hal ini menunjukkan jika terjadi kenaikan pendapatan nasional sebesar satu persen maka akan terjadi kenaikan investasi pada tahun yang akan datang sebesar 0,97 persen. Penanda parameter ini sesuai teori dan logika ekonomi. Peningkatan pendapatan nasional, berarti juga terjadi peningkatan pendapatan perkapita, hak ini akan meningkatkan daya beli masyarakat, yang berarti pula peningkatan pasar. Peningkatan permintaan pasar ini merangsang para investor untuk lebih banyak menanamkan investasi. Adanya krisis ekonomi juga membawa dampak bagi investasi. Koefisien variabel dummy krisis menunjukkan angka -0.45. Dari hasil regresi ini dapat diduga, jika terjadi krisis ekonomi maka investasi akan mengalami penurunan sebesar 0,45 persen.
5.3 Pembahasan
Dari hasil analisis regresi persamaan simultan yang dilakukan, ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Isu utama yang menyebabkan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan adalah
adanya
ketimpangan
dalam
pemanfaatan
infrastruktur.
Berbagai
infrastruktur sosial seperti sekolah, jaringan air bersih, kesehatan dan infrastruktur komersial lainnya yang seharusnya dapat dimanfaatkan merata oleh seluruh masyarakat, pemanfaatan terbesarnya justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang lebih baik karakteristik sosial ekonominya. Selain itu pada saat ini pembangunan yang dilakukan dalam sektor infrastruktur adalah pembangunan infrastruktur yang tidak pro-poor. Dari sisi pemerataan pembangunan infrastruktur, Indonesia memiliki pola distribusi infrastruktur yang belum merata. Alokasi dana pembangunan untuk infrastruktur masih terpusat di daerah Pulau Jawa. Hal ini tentunya akan semakin menambah tingkat ketimpangan dalam penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur. Tabel 5.6 memperlihatkan rincian alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur menurut sektor. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa alokasi pembangunan infrastruktur paling besar adalah pada sektor jalan sebesar 27,65 persen. Sektor telekomunikasi menduduki peringkat kedua, dengan besaran alokasi mencapai Rp 13, 2 Triliun atau sekitar 24 persen. Kemudian disusul sektor transportasi selain jalan, listrik, gas alam, air dan sanitasi.
Tabel 5.6 Rincian Alokasi Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur Tahun 2005 jumlah investasi (milyar rupiah) persentase investasi Air dan Sanitasi 1.131 2,063 Transportasi (selain jalan) 10.716 19,549 Jalan 15.159 27,654 Gas Alam 2.641 4,818 Listrik 9.551 17,423 Telekomunikasi 13.156 24,000 TOTAL 54.817
Sumber: Indonesia Public Expenditure Review 2007, World Bank Infrastuktur jalan merupakan infrastruktur yang memiliki peran paling strategis terutama pada tahap awal proses pembangunan suatu negara atau daerah. Ketersediaannya tidak hanya berperan penting dalam mendorong aktivitas ekonomi, tapi juga mendorong penyediaan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Pembangunan jaringan infrastruktur listrik, jaringan telepon, irigasi, pipa air bersih, rel kereta api, pelabuhan, bandar udara, dan infrastruktur lainnya hampir tidak mungkin dapat disediakan tanpa didahului oleh pembangunan jaringan jalan. Pada
tahap
awal
proses
pembangunan
dibutuhkan
penyediaan
infrastruktur yang mencukupi untuk menggerakkan aktivitas perekonomian dan membuka keterisolasian daerah. Keberhasilan pembangunan suatu daerah umumnya memang didasarkan pada kuantitas dan kualitas infrastruktur yang lebih memadai. Dari Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa distribusi infrastruktur jalan terpusat di Pulau Jawa. Pulau Jawa memiliki rasio panjang jalan terhadap luas wilayah paling tinggi.
Tabel 5.7 Panjang Jalan dan Luas Wilayah Dirinci Menurut Wilayah Pulau, Tahun 2006. panjang jalan luas wilayah rasio panjang jalan dan luas Wilayah Pulau (km) (km2) wilayah Sumatera 110558 446687 0.25 Jawa 74988 129306 0.58 Kalimantan 31948 507412 0.06 Sulawesi 45839 193847 0.24 Bali dan Nusa 28297 71296 0.40 Tenggara Maluku dan Papua 25569 511811 0.05 Jumlah 317199 1860360 0.17 Sumber: BPS,2007
Dengan adanya ketimpangan distribusi pembangunan infrastruktur khususnya infrastruktur jalan, bisa dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam pemanfaatannya pula. Adanya ketimpangan pemanfaatan ini menyebabkan tidak semua kelompok masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan tersebut. Dan keberhasilan pembangunan semua daerah di Indonesia menjadi sulit tercapai, pengentasan kemiskinanpun sulit tercapai. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur juga tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah investasi di Indonesia. Investasi cenderung dipengaruhi oleh kondisi perekonomian yang ada yang diukur dengan tingkat suku bunga, inflasi, dan pendapatan nasional. Kinerja perekonomian ini mempengaruhi para investor dalam menanamkan modalnya. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ternyata memiliki pengaruh yang signifikan terhadap angka pengangguran. Saat pemerintah meningkatkan pengeluaran untuk pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur, maka proyek pembangunan infrastruktur tersebut akan membuka lapangan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang ada, sehingga pengangguran dapat berkurang.
Kemiskinan lebih dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, inflasi, dan adanya krisis ekonomi. Pendapatan perkapita memiliki pengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Saat terjadi kenaikan pendapatan perkapita, maka angka kemiskinan akan mengalami penurunan. Sedangkan inflasi dan krisis ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap angka kemiskinan saat terjadi peningkatan inflasi dan terjadi krisis ekonomi, maka angka kemiskinan akan meningkat. Pendapatan perkapita dipengaruhi secara nyata oleh variabel inflasi dan upah rata-rata, kedua variabel ini memberikan pengaruh positif terhadap pendapatan perkapita. Sedangkan pengangguran dan krisis ekonomi tidak memiliki pengaruh nyata terhadap pendapatan perkapita. Dari hasil estimasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak berpengaruh terhadap kemiskinan dan investasi, tapi cenderung berpengaruh terhadap pengangguran. Pengurangan angka pengangguran sendiri diharapkan dapat meningkatkan pendapatan perkapita, namun untuk kasus Indonesia, jumlah penganggur tidak berpengaruh terhadap pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Sehingga secara tidak langsung pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap pendapatan perkapita dan pengentasan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sendiri, dipengaruhi secara signifikan oleh variabel penerimaan pemerintah dan jumlah penduduk miskin. Hal
ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur masih digunakan oleh pemerintah, sebagai salah satu kebijakan pengentasan kemiskinan. Namun pengentasan kemiskinan tidak secara serta merta dapat terjadi hanya dengan meningkatkan pendapatan perkapita. Dibutuhkan faktor pendukung lainnya dalam rangka pengentasan kemiskinan, yakni faktor pemerataan pendapatan. Tanpa adanya pemerataan maka peningkatan pendapatan hanya akan dinikmati sebagian golongan masyarakat saja. Dapat dilihat bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sebenarnya tidak berpengaruh signifikan terhadap pengentasan kemiskinan, tetapi cenderung lebih berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun kebijakan untuk terus meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur masih perlu dilakukan, karena hal ini dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan berkurangnya angka pengangguran, setidaknya satu masalah penting dalam perekonomian Indonesia dapat dihilangkan, yakni masalah pengangguran.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dengan menggunakan analisis Two Stage Least Square (TSLS), maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara bersama-sama, variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, pendapatan perkapita, inflasi dan krisis ekonomi, memberikan pengaruh nyata terhadap variabel kemiskinan, hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas statistik F yang lebih kecil dari taraf nyata. Secara parsial, pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Pendapatan perkapita, inflasi, dan krisis ekonomi memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel kemiskinan. Pendapatan perkapita memberi pengaruh negatif terhadap kemiskinan, sedangkan inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap kemiskinan. 2. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah penerimaan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin, kedua variabel ini memberikan pengaruh positif. Variabel pendapatan nasional, nilai tukar, dan dummy krisis tidak berpengaruh secara signifikan. 3. Inflasi dan tingkat upah rata-rata berpengaruh signifikan terhadap pendapatan perkapita, kedua variabel ini memberikan pengaruh positif. Sedangkan angka pengangguran dan krisis ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan nasional.
4. Pengangguran di Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh variabel pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur, tingkat upah rata-rata, dan inflasi. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berpengaruh negatif terhadap jumlah pengangguran, sedangkan tingkat upah rata-rata dan inflasi memberikan pengaruh positif terhadap pengangguran. Investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap variabel pengangguran. 5. Investasi dipengaruhi secara nyata oleh suku bunga tahun sebelumnya, inflasi tahun sebelumnya, pendapatan nasinal tahun sebelumnya, pengangguran dan dummy krisis. Suku bunga dan dummy krisis memberikan pengaruh negatif terhadap investasi, sedangkan inflasi tahun sebelumnya, pendapatan nasional tahun sebelumnya dan jumlah penganggur memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur tidak memberikan pengaruh nyata terhadap investasi. 6. Dari hasil regresi yang dilakukan, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur memberikan kontribusi nyata dalam pengurangan jumlah penganggur. Namun tidak berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan dan peningkatan investasi.
6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
pemerintah, khususnya mengenai pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur, yaitu sebagai berikut: 1. Peningkatan pembangunan infrastruktur masih perlu dilakukan, salah satunya melalui peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur. Karena infrastruktur memiliki peran yang penting dalam penyerapan tenaga kerja. 2. Pemerintah
perlu
menyusun
strategi
pembangunan
dan
pembiayaan
infrastruktur, agar pembangunan infrastruktur dapat lebih terarah dan tepat sasaran. Sehingga dapat menjamin terjadinya pemerataan baik dalam pemabngunan maupun pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1976-2006. Statistika Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bank Indonesia. 1976-2006. Laporan Tahunan Perekonomian Indonesia. Bank Indonesia, Jakarta. Bappenas. 2003. Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis. Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Bellante, D, dan M Jackson. 1983. Labour Economics, Choise in Labour Markets, Second Edition. Mc Graw, Hill, Inc. Greene, W. H. 2003. Econometric Analysis, Fifth Ed. Prentice Hall, New Jersey. Gujarati, D. 2001, Basic Econometric Analysis, Fifth Ed. Prentice Hall, New Jersey. Jhingan, M. L. 1983. The Economics of Development and Planning. Vicas Publishing House Ltd, New Delhi. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik. BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Mankiw, N. G. 2003. Macroeconomics, Fifth Ed. Worth Publishers, New York. Oktaviani, D. 2001. Pengaruh Inflasi dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Perkotaan Indonesia. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Ramelan, R. 1997. Kemitraan Pemerintah-Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Koperasi Jasa Profesi LPPN, Jakarta. Rozi, M. 2007. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan, Kasus Provinsi Riau. Tesis Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Todaro, M. P. 1992. Ekonomi Pembangunan di Dunia ke Tiga. Terjemahan dari: Haris M. Jakarta: Erlangga. Walpole, R. E. 1983. Pengantar Statistika Edisi ke Tiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yanuar, R. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya Terhadap Kesenjangan di Indonesia. Tesis Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yudhoyono, S. B. dan Harniati. 2004. Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, Mengapa Tidak Cukup dengan Memacu Pertumbuhan Ekonomi. Brighten Press, Bogor. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi Pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1: Data yang Digunakan periode 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
POV(ribu jiwa) 54200 50700 47200 44800 42300 40600 38600 36800 35000 33200 31900 30000 29500 28500 27200 26500 25700 25900 24200 23500 22500 34500 49500 48400 38700 37900 38400 37300 36100 35100 30300
GEI(milyar rupiah) 280.67 265.94 269.86 348.45 442.82 485.32 469.36 566.32 523.51 548.32 386.28 403.28 494.59 527.01 676.59 691.14 730.48 790.55 781.17 698.50 791.02 760.04 757.13 856.42 258.00 356.78 290.75 506.07 471.66 333.34 458.65
INV(milyar rupiah) 5294.2 6138.7 7062.0 7373.7 8766.2 9743.9 11009.2 11868.8 57134.4 64078.4 65383.0 68400.3 76282.9 86475.4 99077.9 106064.5 110755.4 117057.3 298427.9 340192.5 389569.4 422945.6 250129.3 231785.4 282600.4 293792.7 307584.6 310776.9 359604.4 389757.2 404606.6
U(ribu jiwa) 948 976 1086 979 721 890 1495 1305 1517 1108 1562 1555 1760 1766 1644 1726 1864 1919 3236 5238 3868 3673 5063 6032 5816 8004 9131 9530 10252 10855 10937
EGRO(%) 7.04 8.76 7.84 6.26 9.88 7.93 5.30 8.80 6.03 2.50 3.90 3.60 6.02 7.54 7.16 6.95 6.46 6.50 7.54 8.27 7.82 4.70 -13.13 0.79 4.92 3.80 4.38 4.72 5.03 5.68 5.48
periode 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
GDP(milyar rupiah) 19252.79 20939.59 22581.54 23994.05 26364.68 28454.65 29093.87 173961.76 184458.34 188627.89 212475.36 222598.51 236004.16 253805.48 271968.20 290870.69 309659.18 329775.90 354460.80 383792.30 413797.90 433245.90 376374.90 379352.50 398016.90 411132.10 429121.16 449363.67 471970.59 498792.52 526144.25
DK 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
INF(%) 19.80 11.00 8.10 20.60 18.50 12.20 9.50 11.80 10.50 4.70 5.90 9.10 5.80 6.00 10.00 9.50 5.00 10.50 9.20 8.60 6.50 11.10 77.63 21.50 9.35 12.55 10.03 5.06 6.40 17.11 2.87
W(miyar rupiah) 0.000040 0.000061 0.000074 0.000063 0.000074 0.000093 0.000109 0.000113 0.000124 0.000148 0.000153 0.000154 0.000172 0.000180 0.000178 0.000189 0.000211 0.000203 0.000214 0.000222 0.000240 0.000234 0.000108 0.000219 0.000265 0.000268 0.000279 0.000293 0.000300 0.000297 0.000321
periode 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
ER(Rp/US$) 421.00 415.00 634.00 632.00 634.00 643.00 692.00 994.00 1026.57 1110.12 1288.84 1644.28 1687.26 1771.65 1848.27 1951.12 2031.35 2085.35 2161.58 2249.33 2342.62 2866.33 9804.34 7881.58 8106.96 10294.00 9350.00 8593.00 9290.00 9900.00 8995.00
GR(milyar rupiah) 504.07 531.29 559.83 701.21 877.31 973.54 915.71 1047.77 1019.65 1151.05 1014.97 1147.28 1332.05 1454.06 1720.03 1651.13 1760.53 1859.46 1940.85 1921.81 2189.88 2509.63 2399.93 2682.91 2053.00 2582.33 2327.54 2496.71 2812.03 3093.35 3521.15
SB (%) 12.00 12.00 11.00 13.50 12.50 15.00 16.50 18.50 21.50 21.50 16.10 21.50 20.70 20.50 17.37 18.00 13.50 6.50 10.42 13.34 12.88 20.00 38.44 12.15 14.15 17.65 13.02 8.31 7.43 12.75 9.75
PP(milyar rupiah) 0.000142 0.000156 0.000166 0.000172 0.000179 0.000188 0.000188 0.001100 0.001142 0.001160 0.001281 0.001316 0.001368 0.001443 0.001516 0.001595 0.001670 0.001750 0.001850 0.001971 0.002100 0.002174 0.001867 0.001860 0.001930 0.001970 0.002033 0.002071 0.002181 0.002275 0.002368
Lampiran 2: Hasil Perhitungan Ekonometrik 1. Persamaan Kemiskinan •
Hasil Estimasi
Dependent Variable: LNPOV Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/08/08 Time: 20:34 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPOV LNGEI LNPP INF DK LNGR LNGDP LNER LNU LNW LNINV EGRO SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGEI LNPP INF DK
9.566219 -0.078476 -0.177368 0.005219 0.282708
0.706908 0.084124 0.034169 0.001910 0.069066
13.53248 -0.932860 -5.190897 2.732281 4.093294
0.0000 0.3598 0.0000 0.0114 0.0004
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
•
0.794622 0.761762 0.112454 24.18174
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
10.43841 0.230394 0.316150 1.609871 0.000000
Uji Normalitas 8 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
4.74E-15 -0.012948 0.257651 -0.148794 0.104411 0.882102 3.263435 3.977268 0.136882
•
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
•
2.762762
Probability
0.251231
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
1.674376 17.29046
Probability Probability
0.163293 0.186364
2. Persamaan Pengeluaran Pemerintah untuk Infrastruktur •
Hasil Estimasi
Dependent Variable: LNGEI Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/08/08 Time: 20:37 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPOV LNGEI LNPP INF DK LNGR LNGDP LNER LNU LNW LNINV EGRO SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGR LNPOV LNGDP LNER DK
-12.81973 1.353256 1.017260 0.165388 -0.429061 -0.729634
5.183042 0.298549 0.380629 0.135724 0.335240 0.468794
-2.473400 4.532771 2.672579 1.218565 -1.279861 -1.556408
0.0209 0.0001 0.0133 0.2349 0.2128 0.1327
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.709719 0.649244 0.214387 11.73571
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
6.214707 0.361989 1.103079 2.043689 0.000008
•
Uji Normalitas
9 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
8 7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2
Jarque-Bera Probability
1 0 -0.6
•
-0.4
-0.2
0.0
0.2
-8.76E-15 0.013437 0.469956 -0.500012 0.195031 -0.183935 4.040954 1.523642 0.466816
0.4
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
•
4.024686
Probability
0.133675
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
6.244252 27.66792
Probability Probability
0.002603 0.090031
3. Persamaan Pendapatan Perkapita •
Hasil Estimasi
Dependent Variable: LNPP Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/08/08 Time: 20:52 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPOV LNGEI LNPP INF DK LNGR LNGDP LNER LNU LNW LNINV EGRO SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNU INF LNW DK
17.14701 -0.266170 0.030571 2.544832 -0.392281
4.328679 0.246450 0.006020 0.308133 0.299088
3.961257 -1.080014 5.078513 8.258864 -1.311592
0.0005 0.2904 0.0000 0.0000 0.2016
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
•
0.897468 0.881063 0.328064 54.70684
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
-6.829377 0.951262 2.690642 1.214507 0.000000
Uji Normalitas
14 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
12 10
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
8 6 4 2
Jarque-Bera Probability
0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.83E-14 0.000362 0.717049 -0.851367 0.304599 -0.400821 4.841676 5.042998 0.080339
•
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
•
5.938545
Probability
0.051341
2.233923 19.34304
Probability Probability
0.064845 0.112846
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
4. Persamaan Pengangguran •
Hasil Estimasi
Dependent Variable: LNU Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/08/08 Time: 20:57 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPOV LNGEI LNPP INF DK LNGR LNGDP LNER LNU LNW LNINV EGRO SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGEI LNINV EGRO LNW INF
24.43294 -0.754655 0.108320 0.032083 1.571493 0.033318
6.312456 0.188627 0.173252 0.031604 0.525422 0.011303
3.870592 -4.000783 0.625218 1.015147 2.990917 2.947800
0.0007 0.0005 0.5377 0.3202 0.0063 0.0070
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
0.878545 0.853242 0.332079 34.72079
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
7.888885 0.866843 2.646639 1.296045 0.000000
•
Uji Normalitas
6 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
5 4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.4
•
-0.2
0.0
0.2
0.4
1.52E-14 -0.009439 0.530167 -0.460516 0.302098 0.285555 1.857442 2.039508 0.360684
0.6
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
•
4.754645
Probability
0.092799
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
3.122346 26.22097
Probability Probability
0.041524 0.158637
5. Persamaan Investasi •
Hasil Estimasi
Dependent Variable: LNINV Method: Two-Stage Least Squares Date: 07/08/08 Time: 20:32 Sample(adjusted): 1977 2006 Included observations: 30 after adjusting endpoints Instrument list: LNPOV LNGEI LNPP INF DK LNGR LNGDP LNER LNU LNW LNINV EGRO SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LNGEI SB(-1) INF(-1) LNGDP(-1) LNU DK
-5.805749 0.166897 -0.024819 0.008802 0.974317 0.609511 -0.452126
0.641059 0.117423 0.008571 0.003718 0.062917 0.123671 0.174063
-9.056496 1.421337 -2.895696 2.367388 15.48570 4.928481 -2.597490
0.0000 0.1686 0.0082 0.0267 0.0000 0.0001 0.0161
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic
•
0.990610 0.988160 0.158151 404.4012
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Prob(F-statistic)
11.38706 1.453460 0.575269 1.392543 0.000000
Uji Normalitas
7 Series: Residuals Sample 1977 2006 Observations 30
6 5
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -0.2
0.0
0.2
-8.45E-15 -0.024701 0.311810 -0.272590 0.140843 0.379988 2.415794 1.148574 0.563106
•
Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: Obs*R-squared
•
3.487649
Probability
0.174850
Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
5.714654 29.40626
Probability Probability
0.087649 0.292934