KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S-2 TEKNIK GEOLOGI
NASKAH PUBLIKASI
KARAKTERISASI RESERVOAR FORMASI PLOVER ATAS PADA LAPANGAN “A”, CEKUNGAN BONAPARTE, OFFSHORE LAUT TIMOR, PROVINSI MALUKU
Disusun Oleh: INDRA ARIFIANTO 12/338977/PTK/08272
YOGYAKARTA 2015
i
ii
KARAKTERISASI RESERVOAR FORMASI PLOVER ATAS PADA LAPANGAN “A”, CEKUNGAN BONAPARTE, OFFSHORE LAUT TIMOR, PROVINSI MALUKU Indra Arifianto1, Sugeng S. Surjono1, Djoko Wintolo1 Sari Penelitian karakterisasi reservoar ini mengambil objek studi Formasi Plover Atas di lapangan A dikarenakan interval ini mengandung hidrokarbon yang belum diproduksi. Formasi Plover Atas diendapkan pada fase transgresi dengan lingkungan pengendapan transisi hingga laut dangkal menyebabkan reservoarnya cukup bervariasi, sehingga perlu dilakukan studi karakterisasi untuk membantu pemodelan dan perhitungan cadangan hidrokarbon di tempat. Karakterisasi reservoar adalah upaya untuk mengungkapkan karakteristik suatu reservoar sedetil mungkin, ditinjau dari parameter geologi reservoar dan teknik reservoar. Karakterisasi reservoar pada penelitian ini dilakukan dengan cara rock typing (RT) menggunakan data sumuran berupa data wireline log untuk menghasilkan sifat reservoar (volume clay, porositas, kejenuhan air dan permeabilitas) dengan analisis petrofisik dan data analisis rutin batuan inti (RCAL) untuk membagi RT berdasarkan persebaran porositas dan permeabilitas, serta data batuan inti untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Analisis interval yang tidak memiliki batuan inti dilakukan dengan metode neural network. Hasil penelitian menunjukan Formasi Plover Atas daerah penelitian dapat dibagi menjadi 7 parasikuen. Formasi Plover Atas diendapkan dalam sistem transgresif pada lingkungan pantai (Foreshore hingga Offshore) dengan pola mengkasar ke atas untuk tiap parasikuen, berumur Jura Tengah – Jura Akhir. Reservoar Formasi Plover Atas memiliki porositas berkisar 8% - 16% dan nilai permeabilitas bervariasi mulai dari 0.01 mD hingga 1300 mD. Formasi Plover Atas berdasarkan sifat fisik dan fasiesnya dibagi menjadi 4 kelas yaitu: Kelas A (Sangat Baik), Kelas B (Baik), Kelas C (Buruk) dan Kelas D (Sangat Buruk). Keempat kelas reservoar tersebut dapat dibedakan dengan crossplot volume clay dan porositas efektif untuk disebarkan pada sumur yang tidak memiliki data batuan inti. Kata kunci: Formasi Plover, karakterisasi reservoir, rock typing. Abstract Object of this study is Upper Plover Formation in the “A” field due to its hydrocarbon potential that has not been produced. The Upper Plover Formation was deposited within transgression phase with transitional to shallow marine environment, which makes it interesting to study the reservoir characterization. Result of this study can be used to support modelling process and hydrocarbon in place calculation. Reservoir characterization is an attempt to reveal the characteristics of the reservoir, in terms of reservoir geology and reservoir engineering parameters. Reservoir characterization is done by rock typing (RT) method using wireline logs data to produce the reservoir properties (clay volume, porosity, water saturation, and permeability) by petrophysical analysis and routines core analysis (RCAL) to divide the RT based on the distribution of porosity and permeability. Another supporting data used for depositional environment interpretations is core data. This study applied neural network to analyze another interval with no core data. The Upper Plover Formation in the study area can be divided into 7 parasequences. This formation was deposited during transgressive systems in coastal environments (Foreshore - Offshore) with coarsening upward pattern in the Middle to Late Jurassic age. This reservoir have porosity ranges from 8%-16% and permeability varies from 0.01 mD to 1300 mD. Based on physical properties and the depositional facies, this formation can be divided into 4 classes: Class A (Excelent), Class B (Good), Class C (Poor), and Class D (Very Poor). Those reservoir classes can be distinguished by cross-plotting effective porosity versus volume clay to distribute to other wells that do not have core data. Key words: Plover Formation, reservoir characterization, rock typing. 1)
Program Studi Teknik Geologi – Universitas Gadjah Mada
iii
I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Dalam mengembangkan atau meningkatkan produksi lapangan minyak, diperlukan manajemen reservoir yang baik. Tahapan awal dalam manajemen reservoar adalah dengan memahami karakteristik reservoar. Studi karakterisasi reservoar ini meliputi pemahaman tentang fasies pengendapan, stratigrafi sikuen, maupun sifat batuan yang ada. Setelah mengetahui karakter dari masing-masing reservoar tersebut maka pemodelan reservoar dapat dilakukan. Penelitian karakterisasi reservoar ini mengambil objek studi Formasi Plover Atas di lapangan A dikarenakan interval ini mengandung hidrokarbon yang belum diproduksi. Formasi Plover Atas diendapkan pada fase transgresi dengan lingkungan pengendapan transisi hingga laut dangkal menyebabkan reservoarnya cukup bervariasi, sehingga perlu dilakukan studi karakterisasi untuk membantu pemodelan dan perhitungan cadangan hidrokarbon di tempat. I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian penelitian yaitu melakukan Maksud Karakterisasi reservoir Formasi Plover Atas di Lapangan A. Tujuan penelitian antara lain : Mengetahui fasies pengendapan dari suksesi vertikal masing-masing sikuen pada Formasi Plover Atas di lapangan A, mengetahui sifat fisik dan kandungan fluida dari reservoar berdasarkan analisis log sumur dan Identifikasi karakter reservoar Formasi Plover Atas berdasarkan sifat fisik dan fasies pengendapan pada lapangan A. I.3. Lokasi Penelitian dan Ketersediaan Data Lokasi penelitian lapangan A secara geografi terletak di lepas pantai 70 km sebelah selatan pulau Selaru yang masuk dalam provinsi Maluku dan secara geologi termasuk kedalam Cekungan Bonaparte (Gambar 1). Data yang tersedia berupa data dari 3 sumuran (Sumur A-1, A-2 dan A-3) yang cukup lengkap
untuk melakukan karakterisasi reservoir, meliputi: data las, laporan akhir pengeboran sumur, laporan analasis rutin batuan inti, deskripsi batuan inti, laporan analisis log FMI, laporan biostratigrafi dan log fasies sedimen II. KAJIAN PUSTAKA II.1. Geologi Regional dan Daerah Penelitian Lokasi Penelitian terletak di Cekungan Bonaparte yang merupakan bagian dari batas pasif lempeng Australia bagian utara, termasuk kedalam Graben Calder, Cekungan Bonaparte. Cekungan Bonaparte sendiri tersusun oleh beberapa sub-cekungan berumur Paleozoik dan Mesozoik dan beberapa area paparan. Secara umum pembentukan cekungan di kontrol oleh dua fase penting yaitu ekstensi pada Paleozoik yang diikuti oleh kompresi pada umur Trias dan kembali mengalami ekstensi pada Mesozoik yang mengalami puncaknya ketika pecahnya Gondwana Land di umur Jura Tengah (Obrien dkk., 1993). Graben Calder-Malita memiliki pola pemekaran umum kearah Tenggara sehingga terbentuk struktur Graben berarah timur laut - barat daya, Graben ini memotong Sub-cekungan Petrel yang berumur Paleozoik dan Paparan Sahul, kedua graben ini memiliki suksesi sedimen Paleozoik Akhir, Trias, Jura dan Kapur Awal yang cukup tebal. Menurut Edgerley and Crist (1974); Durrant dkk. (1990); Miyazaki (1997); Lemon and Barnes (1997 dalam Cadman dan Temple, 2003) dalam Anonim, (2003). Stratigrafi Cekungan Bonaparte dimulai sejak diendapkannya sedimen Paleozoik yang sebagian besar terendapkan di daerah darat dan beberapa di Sub-cekungan Petrel, sedangkan sikuen Mesozoik dan Kenozoik tersebar pada bagian luar dari Cekungan Bonaparte. Menurut Barber (2003), pada umur Jura awal terjadi erosi secara masif pada Tinggian Abadi yang memotong batuan berumur Pra-Kambrium hingga Trias. Pengendapan pada lingkungan kontinen hingga laut dangkal berlansung selama Jura Awal - Jura Tengah, yaitu pengendapan red beds Formasi Malita yang dilanjutkan oleh
1
pengendapan Formasi Plover di lingkungan fluvio - deltaic setebal 1500 – 2000 m dan diakhiri oleh pemekaran (break-up) kerak kontinen Australia pada umur Oxfordian. Berdasarkan karakter litologi yang diperkuat oleh data biostratigrafi (Helby dkk., 1987 dalam Barber dkk., 2003) mengindikasikan bahwa pola sedimentasi selama pengendapan Fomasi Plover didominasi oleh seri pengendapan sungai teranyam (braided fluvial) di selatan daerah penelitan hingga lingkungan pantai yang dipengaruhi oleh gelombang (wave dominated shoreline) dan lingkungan laut dangkal di sebelah utara. Arah pengendapan sungai teranyam relatif barat laut – tenggara, mengikuti zona lemah dari pola cekungan sebelumnya yaitu Graben Goulburn (Gambar 2). Formasi Plover di daerah penelitian diendapkan pada lingkungan shoreface dengan arah barat - timur dan menjadi reservoar utama di lapangan ini ataupun lapangan sekitar. Pada umur Thitonian (Jura Akhir) palaeo-shoreline telah mengalami pemunduran sejauh 120 km kearah kraton, sehingga pada seluruh daerah penelitian diendapkan fasies argillaceous kecuali di beberapa daerah yang terdapat batupasir turbidit yang terbentuk selama eustatic lowstand. Penurunan terus berlangsung hingga Kapur Awal dengan pengendapan shale dan batupasir turbidit Grup Flaminggo Atas pada lingkungan laut dangkal setebal 500-1500 km (Barber dkk., 2003). II.2. Reservoir Formasi Plover Daerah Penelitian Formasi Plover secara umum tersusun oleh batupasir yang cukup dominan yang berselingan dengan batulempung. Formasi Plover dapat dibagi menjadi unit Plover Bawah dan Plover Atas. Plover Bawah tersusun oleh sikuen fluviodeltaic yang diendapkan pada fase regresif, sedangkan Plover Atas tersusun oleh sikuen fasies laut dangkal hingga shoreline (pantai) yang diendapkan pada fase transgresif (Barber dkk., 2003). Formasi Plover Atas memiliki ciri batupasir berlapis atau masif berukuran sedangkasar, dengan ketebalan lebih dari 5 meter dengan sisipan batulempung. Bentuk dari kurva log gamma ray Plover Atas pada lapisan
batupasir adalah tipe silinder atau blocky menunjukan lingkungan pengendapan dengan energi tinggi. Plover Bawah dicirikan dengan lapisan batupasir halus-sedang yang berselingan dengan batulempung dimana ketebalan batupasir lebih tipis dibandingkan batupasir Plover Atas, bentuk dari log gamma ray adalah kombinasi tipe seratted dan blocky (Gambar 3) (Nagura dkk., 2003). Suksesi stratigrafi Formasi Plover dapat dibagi menjadi beberapa seri yang secara genetik berhubungan dengan kehadiran batas periode dari genang laut maksimum (MFS). Batas ini dinamai berdasarkan referensi dari palinologi yang ditemukan pada interval tersebut, selain itu batas ini merupakan pembagian zona reservoar pada Formasi Plover. Beberapa marker Formasi Plover Atas adalah base aemula MFS, base indotata MFS, verucosa MFS dan Interval sedimen yang ditembus oleh sumur terdalam adalah interval di atas caddaense flooding yang sama ditemukan di lapangan Sunrise-Trobadour (Seggie dkk., 2000 dalam Nagura dkk., 2003). Nagura (2003) membagi Formasi Plover menjadi empat interval zona sedimen (Gambar 3): (1) Zona sedimen 4 yang terletak diatas marker caddaense terendapkan secara progradasi dan agradasi dengan sedikit potensi reservoar, zona ini termasuk dalam Formasi Plover Bawah. Suksesi delta ini ditutup oleh shale tipis yang berhubungan dengan event pembanjiran yaitu verrucosa MFS, reservoar lapangan ini telah dikonfirmasi terletak diatas genang laut maksimum ini. (2) Zona sedimen 3 terletak diatas marker verucosa MFS dan merupakan reservoir di sumur Abadi-2ST, Zona ini pada interval bawah terdiri dari serpih offshore dengan lapisan tipis batupasir badai, berubah menjadi batulanau lower shoreface dan batupasir halus dan secara perlahan menjadi batupasir upper shoreface berbutir sedang, dengan struktur planar dan cross-bedded, terbioturbasi berat. (3) Zona sedimen 2 terletak diatas marker base indotata MFS dan merupakan reservoir utama di sumur Abadi-1 dan Abadi-3, pada interval bawah diawali dari serpih offshore dengan lapisan tipis batupasir badai berubah menjadi batulanau lower
2
shoreface dan batupasir halus dan secara perlahan menjadi batupasir upper shoreface berbutir sedang, planar dan cross-bedded, terbioturbasi berat. Bagian atas terdiri dari batupasir sedang, masif, terbioturbasi kuat yang ditunjukan oleh blocky pada profil log,memiliki sifat reservoar yang sangat baik. (4) Zona sedimen 1 terletak diatas base aemula MFS, terdiri dari lapisan tipis batupasir non-reservoar yang merepresentasikan endapan dari sebuah offshore bar di Abadi-1 sedangkan di Abadi-3 terdiri dari serpih offshore. Di Abadi 2ST, zona ini tidak dapat ditemui dikarenakan erosi. Menurut Nagura (2003) dari hasil crossplot porositas vs permeabilitas data core plug, menunjukan ada tiga pola yang cukup jelas yang mengindikasikan perbedaan litofasies pada reservoar Plover di lapangan Abadi. Fasies 1 menunjukan nilai porositas dan permeabilitas dan kemungkinan mewakili batupasir kuarsa endapan tidal delta, terdiri dari batupasir sedang – kasar dengan porositas terlihat yang baik. Fasies 2 memiliki magnitude yang lebih jelek dari fasies 1, namun masih memiliki sifat reservoar yang baik. Fasies ini diwakili oleh batupasir memiliki butiran halus – sedang, sortasi sedang – baik termasuk batupasir kuarsa – batupasir subarkose/sublith. Fasies 3 ini terletak dibawah kontak gas dan air dimana diagenesa semen kalsit sangat dominan. Batupasir ini didominasi oleh batupasir kuarsa berukuran sedang dengan sortasi sedang. III. METODOLOGI PENELITAN Data sumur berupa data wireline log, batuan inti (core) dan data laporan sumur digunakan untuk melakukan karakterisasi reservoir. Data sumur ini digunakan untuk analisis reservoar baik kualitatif maupun kuantitatif. Analisis reservoar tersebut meliputi korelasi sumuran, persebaran fasies reservoar dan analisis petrofisika. Langkah pertama adalah melakukan kontrol kualitas dari data sumur tersebut, selanjutnya melakukan korelasi stratigrafi antar sumuran untuk membagi zona reservoar dan memastikan interval-interval tersebut sudah sesuai sebelum dianalisis lebih lanjut. Langkah berikutnya menentukan fasies dan lingkungan pengendapan
dari masing-masing stratigrafi sikuen pada tiap sumuran dengan menggunakan data litologi (batuan inti) dan data wireline log dengan metode elektrofasies. Setelah melakukan analisis reservoar secara kualitatif maka dilanjutkan dengan analisis secara kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis petrofisika baik dari data log maupun dari data analisis rutin batuan inti (RCAL). Tahap pertama adalah analisis petrofisika untuk memperoleh sifat batuan seperti volume clay, porositas dan saturasi. Tahap selanjutnya adalah membagi rock type dari analisis rutin batuan inti, dilanjutkan dengan menyebarkan rock type tersebut menggunakan neural network pada interval yang tidak memiliki data batuan inti. Tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi karakter reservoir dari kolaborasi analisis data tersebut. Metode neural network digunakan untuk memprediksi RT dari data-data wireline log. Metode ini telah terbukti berhasil diaplikasikan sebagai alat prediksi litofasies seperti yang dilakukan oleh Bohling dan Dubois (2003). Pada Penelitian ini karakterisasi reservoar dilakukan secara vertikal (rock type) pada Lapangan A interval Formasi Plover Atas. Karakterisasi reservoar sendiri adalah upaya untuk mengungkapkan karakteristik (sifat fisik atau ciri-ciri) suatu reservoar sedetil mungkin, ditinjau dari parameter geologi reservoar dan teknik reservoir. Parameter geologi reservoir yang sering dipakai meliputi litologi, lingkungan pengendapan, geometri, tipe pori, flow unit, stacking pattern dan lain-lain. Parameter teknik reservoir yang sering dipakai meliputi porositas, resistivitas, faktor sementasi kejenuhan fluida, permeabilitas, tekanan kapiler, laju alir dan lain-lain (Winardi, 2012). RQI = 0.0314 × � φ𝑧
=�
FZI =
φe
1-φe
RQI φz
k
φe
........................................... (1)
�.................................................... (2)
................................................ (3)
Log R35 = 0.732 + 0.588 log k – 0.864 log Φ ...... (4)
3
Rock typing reservoar dilakukan dengan menggunakan metode Hydraulic Flow Unit (HFU) oleh Amaefule dkk. (1993) (Persamaan 1-3) dan metode “Windland R35” oleh Windland (1972) (Persamaan 4). Pada dasarnya kedua metode ini adalah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi rock type berdasarkan kondisi geologi dan parameter fisik pada besaran pori (Radiansyah, 2014). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Fasies dan Lingkungan Pengendapan Pembagian fasies (litofasies) pada penelitian ini didasarkan pada beberapa aspek diantaranya adalah ukuran butir, struktur internal lapisan, intensitas bioturbasi dan tingkat sementasi. Berdasarkan pengelompokan di atas fasies dari deskripsi batuan inti dapat dibagi menjadi sepuluh (10) litofasies yaitu; (1) Batupasir masif (S-m), (2) Batupasir laminasi (S-l1), (3) Batupasir silang siur hummocky (S-l2), (4) Batupasir terbioturbasi (S-b), (5) Batupasir laminasi tersemenkan (S-lc), (6) Batupasir terbioturbasi tersemenkan (S-bc), (7) Perselingan batupasir - batulempung struktur laminasi (SC-l), (8) Perselingan batupasir batulempung terbioturbasi (SC-b), (9) Batulempung laminasi (C-l) dan (10) Batulempung terbioturbasi (C-b). Berdasarkan analisis litofasies yang telah dilakukan pada data batuan inti dan analisis fasies model serta ditunjang dari studi regional, dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan berada pada lingkungan pantai (mixed wave tide dominated shoreline). Berdasarkan data batuan inti setidaknya ditemukan 5 asosiasi fasies dan 1 interpretasi fasies pengendapan berdasarkan data wireline log pada interval Formasi Plover Atas yaitu; (1) Foreshore (FS), (2) upper shoreface (USF), (3) lower shoreface (LSF), (4) offshore transition (OT), (5) marine embayment (ME) dari data batuan inti (Tabel 1) dan (6) offshore (OS) dari data wireline log. Interpretasi lingkungan pengendapan dilakukan dengan memanfaatkan data dari log sumur sehingga untuk hasil interpretasi yang maksimal
diperlukan kalibrasi interpretasi data dari batuan inti. Kalibrasi data batuan inti dengan data log dilakukan dengan membandingkan pola ukuran butir dari hasil analisis batuan inti dengan pola log yang terbentuk. Pola – pola yang terbentuk oleh fasies pengendapan tersebut memiliki kenampakan yang khas untuk masing – masing fasies dan dapat dibedakan dengan pola log lainnya baik dari kurva log gamma ray, densitas, porositas, sonik maupun resistivitas. Secara umum jika dilihat dari pola log gamma ray saja interval Formasi Plover Atas memiliki pola umum funnel shape (corong) serta beberapa bagian dapat diamati blocky dan bell shape. Jika dilihat dari lingkungan pengendapan secara umum bentukan log gamma ray tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa lingkungan pengendapan sikuen tersebut adalah shoreface dan transgressive marine (Gambar 4). IV.2. Sekuen Stratigrafi Formasi Plover Atas Setelah mengetahui lingkungan pengendapan dari masing-masing interval langkah selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah korelasi stratigrafi sikuen, hal ini menjadi penting karena dengan melakukan korelasi kita dapat menginterpretasi kemenerusan dari masingmasing reservoar secara tepat. Pekerjaan korelasi untuk reservoar Plover dilakukan pada tiga sumur yang terdapat di lapangan A. Korelasi hanya dilakukan pada satu penampang yaitu berarah relatif utara–selatan (N-S), arah ini menunjukan arah kemiringan regional berdasarkan studi geologi regional, dimana arah pusat cekungan berada di bagian utara lokasi penelitian. Korelasi stratigrafi pada penelitian ini dilakukan berdasarkan konsep stratigrafi sikuen. Sejumlah marker diperoleh berdasarkan analisis biostratigrafi dari laporan sumuran, terdapat 5 marker umur dari analisis fosil batuan inti dan sidewall core yang diperoleh dari laporan sumuran. Pemberian nama marker diambil dari nama fosil dinoflagelata (polen) (AAP Memoir 24 tahun 2001) yaitu; (1) marker Dissiliodinium Caddaense awal dari Plover Atas yang kemudian pada penelitian ini ditetapkan sebagai genang laut 1 (fs-1) memiliki umur Bajocian
4
(Jura Tengah), (2) marker Wanaea Verrucosa dapat dibagi menjadi dua genang laut (fs-3 dan fs-4) memiliki umur Bathonian (Jura Tengah), (3) marker Wanaea Digitata/ Indotata sebagai genang laut (fs-5) memiliki umur Callovian (Jura Akhir), (4) marker Rigaudella Aemula dapat dibagi menjadi dua genang laut (fs-6 dan fs-7) memiliki umur Calovian (Jura Akhir) dan (5) marker E. Torynum adalah akhir dari Plover Atas sekaligus merupakan bidang unconformity pada umur Valanginian. Selain penentuan marker dari analisis fosil, beberapa marker juga dapat diidentifikasi dengan baik dari data deskripsi batuan inti seperti marker transgressif lag (fs-2) yaitu dengan hadirnya fasies C-l secara tiba-tiba setelah fasies S-l pada batuan inti #5 sumur A-1. Marker lain yang dapat diidentifikasi dari data batuan inti adalah marker sequence boundary (SB1) yaitu berupa bidang erosi yang ditemukan pada batuan inti #1 sumur A-3. Marker – marker tersebut juga dapat ditelusuri kemenerusannya pada sumur lain (Gambar 5). IV.3. Sejarah Pengendapan dan Paleogeografi Formasi Plover Atas Secara umum berdasarkan korelasi stratigrafi yang telah dilakukan, suksesi Formasi Plover Atas dapat dibagi menjadi 6 parasikuen pada sumur A-1 dan A-2, sedangkan pada sumur A-3 dapat dibagi menjadi 7 parasikuen (Gambar 5). Parasikuen 1 (PS-1) dimulai oleh adanya genang laut (fs-1) atau adanya transgressive lag yang menandakan fase transgresi pada umur Bajocian Awal (Jura Tengah) dengan marker N. deflandrei, lingkungan pengendapan area penelitian pada umumnya adalah offshore hingga offshore transition dan diakhiri oleh genang laut orde 4, dilanjutkan oleh kondisi muka air laut mencapai titik maksimum dan relatif stabil sehingga sedimen diendapkan secara progradasi dan lingkungan pengendapan berubah menjadi lower shoreface. Akhir fase transgresi dan awal dari fase regresi dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi upper shoreface. Berdasarkan analisis paleocurrent dari log FMI interval PS-1 memiliki arah pengendapan relatif ke arah utara - timur laut (Gambar 6a).
Parasikuen 2 (PS-2) ditandai oleh fase transgresi naiknya muka air laut (fs-2) sehingga mengakibatkan perubahan lingkungan pengendapan dari upper shoreface menjadi lower shoreface. Kondisi marine flooding terjadi pada lingkungan lower shoreface di daerah penelitian hingga kemudian berubah kembali menjadi lingkungan upper shoreface. Berdasarkan analisis paleocurrent dari log FMI PS-2 diendapkan pada umur Bajocian akhir (Jura Tengah) marker W. verucosa, dengan arah pengendapan utara - timur laut (Gambar 6b). Parasikuen 3 (PS-3) diawali oleh adanya transgressive lag (fs-3) yang dapat diidentifikasi dari batuan inti #4 sumur A-1, dimana lingkungan pengendapan berubah dari upper shoreface menjadi offshore transition secara cepat dan berlanjut hingga kondisi marine flooding pada umur Bathonian awal (Jura Tengah) marker W. verucosa. Kemudian diikuti fase regresi lingkungan pengendapan secara gradual berubah menjadi lower shoreface dimana pengendapan terjadi secara progradasi yaitu endapan upper shoreface dan foreshore (endapan pantai) pada sumur A-1 dan A-2 sedangkan pada sumur A-3 lingkungan pengendapan berupa marine embayment (teluk). Berdasarkan analisis paleocurrent dari log FMI, arah sedimentasi pada bagian teluk cenderung berarah tenggara – barat laut namun secara umum masih ke utara, karena terjadi progradasi garis pantai bergerak ke utara (Gambar 6c). Parasikuen 4 (PS-4) ditandai oleh adanya marine flooding surface (fs-4) yang merupakan fase transgresi yang berlangsung cukup singkat, dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi offshore transition diikuti oleh marine flooding dimana lingkungan pengendapan berubah secara gradual menjadi lower shoreface dan upper shoreface dan diikuti fase regresi yaitu endapan pantai pada sumur A-1 dan A-2 sedangkan pada sumur A-3 tidak dapat diidentifikasi adanya SB dan diinterpretasikan memiliki lingkungan pengendapan teluk. PS-4 diendapkan pada umur Bathonian akhir (Jura Tengah) marker W. indotata, Berdasarkan analisis paleocurrent dari log FMI arah
5
sedimentasi pada interval ini relatif berarah barat laut – utara (Gambar 6d). Parasikuen 5 (PS-5) diawali oleh adanya transgressive lag (fs-5) yang dapat diidentifikasi dari batuan inti #2 sumur A-1 merupakan fase transgresi. Lingkungan pengendapan offshore transition pada sumur A1 dimana lingkungan pengendapan di area penelitian adalah teluk dilanjutkan fase regresi yaitu lingkungan pengendapan berubah secara gradual menjadi marine embayment. PS-5 diendapkan pada umur Callovian awal (Jura Akhir) marker T. balmei dan berdasarkan analisis log FMI arah pengendapan diinterpretasikan relatif barat laut – utara (Gambar 6e). Parasikuen 6 (PS-6) ditandai oleh kenaikan muka air laut secara perlahan (FS-6) dan tidak ditemukannya transgressive lag baik dari data batuan inti maupun dari data log. Pada fase transgresi lingkungan pengendapan adalah offshore transition setelah mencapai kondisi marine flooding dilanjutkan fase regresif endapan upper shoreface hingga endapan pantai, PS-6 diendapkan pada umur Callovian akhir (Jura Akhir) marker V. tabulata - R. aemula dengan arah pengendapan relatif utara – timur laut (Gambar 6f). Parasikuen 7 (PS-7) hanya ditemui pada sumur A-3 dikarenakan pada kedua sumur yang lain telah mengalami erosi pada Valanginian event yaitu uplifting dan erosi secara regional di Cekungan Bonaparte dan sekitarnya. PS-7 ditandai oleh adanya marine flooding surface (fs-7) dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi lingkungan teluk diikuti oleh kondisi marine flooding dan berangsur mengalami regresi dengan endapan progradasi, selanjutnya lingkungan pengendapan berubah menjadi lower shoreface. IV.4. Karakterisiasi Reservoar dengan Rock Typing IV.4.1. Identifikasi Rock Type Tahap pertama adalah mengelompokan sampel dari data routine core berdasarkan asosiasi
fasiesnya, yaitu asosiasi fasies FS, USF, LSF, ME dan OT. Pengelompokkan ini dilakukan karena asosiasi fasies memiliki karakter yang sangat berbeda sehingga masing-masing fasies akan memiliki hubungan porositas dan permeabilitas yang unik. Pemisahan RT dari keseluruhan sampel dari semua asosiasi fasies dilakukan dengan menggunakan kurva iso pore throat yang diberikan oleh Windland R-35. Pada penelitian ini, dibuat empat kurva iso pore throat yaitu kurva 0.1 micron, 2 micron, 15 micron, dan 40 micron sehingga sampel-sampel dari keseluruhan data masuk di dalam kurva tersebut (Gambar 7). Berdasarkan plot porositas dan permeabilitas dari data RCAL pada kurva iso pore throat menunjukan masing-masing litofasies memiliki interval nilai tertentu dan diklasifikasikan menjadi satu rock type (RT), selanjutnya dari data tersebut dapat dibagi menjadi empat rock type (RT). Selain melakukan identifikasi menggunakan plot kurva iso pore throat “Windland R-35” untuk meyakinkan bahwa fasies pada Formasi Plover Atas dibagi menjadi empat Rock Type. Pada penelitian ini juga dilakukan metode lain yaitu Hydraulic Flow Unit (HFU) yang dikembangkan oleh Amaefule (2003), secara prinsip dasar pengelompokan karakter rock type mirip dengan metode “Windland R-35” yaitu berdasarkan besaran ukuran pori. Metode HFU sendiri mengidentifikasi rock type (flow unit) berdasarkan nilai dari Flow Zone Indicator (FZI) atau cross plot nilai Reservoar Quality Index (RQI) dengan Pore Matrix Ratio (PMR) atau ϕz. Berdasarkan perhitungan FZI dan crossplot log RQI dengan ϕz, Formasi Plover Atas dibagi menjadi empat HFU (Gambar 8). RT-1/HFU-4 teridentifikasi sebagai rock type dengan kualitas reservoar paling baik dengan sebaran porositas 9% - 18% dan permeabilitas 100 mD – 1300 mD. RT ini terdiri dari litofasies dominan adalah Sm dan Sl serta beberapa interval Sb dimana memiliki asosiasi fasies pengendapan FS dan USF. Fasies ini memiliki kualitas paling baik karena terletak didekat zona swash (pencucian) akibat gelombang laut yang menyebabkan batuan tersortasi dengan baik dan kandungan clay sangat rendah serta ukuran butir
6
paling kasar disebabkan energi pengendapan cukup tinggi. Berdasarkan kurva iso pore throat, RT-1 berada pada radius pore throat sekitar 40 hingga 15 micron meter. RT-1 memiliki nilai FZI pada rentang 8 – 18 dan memiliki nilai RQI 1 – 2 menunjukan bahwa RT-1 memiliki kualitas reservoar yang baik. RT-2/HFU-3 teridentifikasi sebagai rock type dengan kualitas reservoar yang baik dengan sebaran porositas 7 – 17 % dan permeabilitas 10 – 200 mD. RT ini terdiri dari litofasies dominan adalah Sb dan Sl serta beberapa interval Sm dimana memiliki asosiasi fasies pengendapan USF dan LSF. Fasies ini memiliki kualitas yang baik karena terletak didekat zona aktivitas gelombang harian yang menyebabkan batuan tersortasi dengan baik dan kandungan clay rendah serta ukuran butir kasar disebabkan energi pengendapan cukup tinggi namun aktivitas organisme cukup banyak sehingga merusak porositas awal pengendapan (tergantikan oleh material berukuran lebih halus). Berdasarkan kurva iso pore throat, RT-2 berada pada radius pore throat sekitar 15 hingga 2 micron meter. RT-2 memiliki nilai FZI 2 – 8 dan RQI 0.25 – 1 menunjukan bahwa RT-1 masih dapat bertindak sebagai reservoar yang cukup baik. RT-3/HFU-2 teridentifikasi sebagai rock type dengan kualitas buruk, dengan sebaran porositas 1 – 13 % dan permeabilitas 0.01 – 20 mD. RT ini terdiri dari fasies dominan Sb dan beberapa interval SC-b, Sl dan Sm dimana berasosiasi dengan fasies pengendapan LSF dan ME. Fasies ini memiliki kualitas reservoar yang tidak baik karena diendapkan pada lingkungan dengan energi yang sangat rendah sehingga ukuran butir sedimen yang diendapkan berukuran pasir halus serta tinggi kandungan clay, selain itu aktivitas organisme cukup banyak pada daerah ini. Berdasarkan kurva iso pore throat, RT-3 berada pada radius pore throat sekitar 2 hingga 0.1 micron meter. RT-3 memiliki nilai FZI 2 - 0.2 dan RQI 0.02 – 0.2 menunjukan bahwa RT-2 bukan reservoar yang baik. RT-4/HFU-1 teridentifikasi sebagai rock type dengan kualitas sangat buruk, dimana memiliki
persebaran porositas 5 – 15 % dengan permeabilitas 0.01 – 0.08 mD. RT ini terdiri dari fasies dominan Sb dan Sc dimana berasosiasi dengan fasies pengendapan LSF namun telah mengalami sementasi setelah pengendapan. RT ini bukan merupakan reservoar karena tidak memiliki permeabilitas akibat adanya diagenesis berupa sementasi dan memiliki pore throat < 0.1 micron, dari nilai FZI yaitu < 0.2 dan nilai RQI <0.02 juga menunjukkan bahwa RT-4 bukan termasuk reservoar. IV.4.2. Hubungan Rock Type, Fasies dan Permeabilitas Transform Berdasarkan identifikasi RT yang telah dilakukan, terdapat empat RT yang memiliki asosiasi dengan lingkungan pengendapan tertentu yaitu RT-1 berasosiasi dengan lingkungan pengendapan FS dan USF, RT-2 berasosiasi dengan lingkungan pengendapan USF, RT-3 berasosiasi dengan lingkungan pengendapan LSF dan ME sedangkan RT-4 berasosisasi dengan fasies batupasir tersemenkan karena porses diagenesis (Gambar 7). Untuk kepentingan pemodelan atau mengetahui zona yang prospek dimana hidrokarbon dapat mengalir (flow) diperlukan nilai permeabilitas untuk masing-masing fasies. Untuk menjembatani hal tersebut maka dibuat permeabilitas transform. Permeabilitas transform dibuat berdasarkan crossplot porositas dengan permeabilitas pada masing-masing RT selanjutnya diperoleh hubungan antara porositas dengan permeabilitasnya dalam bentuk persamaan perpangkatan. Reservoar Formasi Plover Atas dapat dibuat 4 macam persamaan transform permeabilitas yaitu persamaan perpangkatan HFU-1 untuk RT-4, persamaan perpangkatan HFU-2 untuk RT-3, persamaan perpangkatan HFU-3 untuk RT-2 dan persamaan HFU-4 untuk RT-1 (Gambar 9). IV.4.3. Identifikasi Rock Type dengan Neural Network Identifikasi RT yang dilakukan dalam penelitian ini berawal dari analisis litofasies, asosiasi
7
fasies, dan plot hubungan porositaspermeabilitas. Seluruh data yang didapatkan di atas berasal dari data batuan inti dari tiga sumur (A-1, A-2 dan A-3) yang merepresentasikan untuk identifikasi RT. Keterbatasan data batuan inti ini akan menyulitkan dalam memprediksi distribusi spasial dari RT. Oleh karena identifikasi RT pada sumur yang tidak memiliki data batuan inti merupakan faktor penting dalam karakterisasi dan pemodelan reservoar, diperlukan suatu metode khusus untuk memprediksi RT dari sumur-sumur yang tidak memiliki data batuan inti. Pendekatan yang digunakan dalam memprediksi RT sumur-sumur lainnya adalah dengan mengumpulkan informasi-informasi geologi yang terekam dalam sumur-sumur tersebut. Data-data tersebut diharapkan memiliki keterkaitan dengan RT sehingga RT dapat diturunkan dari data-data tersebut. Salah satu data penting yang biasanya ada pada setiap sumur adalah data wireline logs, umumnya berupa rekaman gamma ray (GR), resistivitas, densitas, sonik dan porositas nuetron. Pada sumur A-1 pada batuan inti#1 memiliki fasies pengendapan LSF berasosiasi dengan RT3 dan USF berasosiasi dengan RT-1 dan RT-2 sedangkan pada bagian bawah fasies OT berasosiasi dengan RT-4 yang bukan merupakan reservoar. Untuk lebih meyakinkan kebenaran hasil RT prediksi, perlu dilakukan validasi yaitu dengan menghitung permeabilitas transform RT prediksi dibandingkan dengan permeabilitas terukur berdasarkan data RCAL (Gambar 10). Berdasarkan validasi tersebut terlihat hasil permeabilitas transform mendekati nilai dari permeabilitas dari sampel RCAL hal ini menunjukan bahwa hasil prediksi RT menggunakan neural network cukup baik. IV.4.4. Karakterisasi dan Kualitas Reservoar Formasi Plover Atas Berdasarkan analisis-analisis yang telah dilakukan maka Formasi Plover Atas dapat dibagi menjadi beberapa kelas sesuai dengan kualitasnya sebagai reservoar, dimana pembagian ini dilakukan berdasarkan pengamatan dari sifat pada batuan tersebut.
Klasifikasi kualitas reservoar ini mengacu pada klasifikasi reservoar yang dibuat oleh Slatt dan Hopkins, 1991 (dalam Slatt, 2006). Klasifikasi reservoar ini dibedakan berdasarkan permeabilitas, porositas, ukuran butir matriks, pore throat, kejenuhan air minimum dan litofasies. Pada penelitian ini setidaknya reservoar dapat di bagi menjadi 4 kelas yaitu: A dengan kualitas sangat baik (E), B dengan kualitas baik (G), C dengan kualitas Buruk (Pi) dan D dengan kualitas Buruk (Pc, Pm). Karakter untuk masing-masing reservoar disajikan dalam Tabel 2. Setelah kita melakukan pembagian kelas agar lebih mudah dalam aplikasinya untuk melakukan karakterisasi di lapangan A ini, dapat dibuat crossplot antara porositas dan volume clay, sehingga dapat dengan mudah membedakan antar rock type di sumur lain yang tidak memiliki data batuan inti dan membantu dalam melakukan pemodelan reservoar (Gambar 11). V. KESIMPULAN Formasi Plover Atas pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 7 parasikuen yang masingmasing parasikuen dibatasi oleh genang laut (marine flooding surface/fs). Secara umum Formasi Plover Atas diendapkan dalam sistem transgresif pada lingkungan pantai (Foreshore hingga Offshore) dengan pola mengkasar keatas atau progradasi pada masing-masing parasikuen, pada umur Bajocian Awal hingga Callovian Akhir (Jura Tengah – Akhir) diakhiri oleh erosi masif pada umur Valangginian (Kapur Awal). Formasi Plover Atas berdasarkan sifat fisik dan fasiesnya dapat dibagi menjadi 4 kelas yaitu: a. Kelas A terdiri dari fasies FS yang dominan dan USF memiliki kualitas reservoar paling baik yaitu porositas 6.5 - 19% dengan permeabilitas berkisar 1300 – 100 mD b. Kelas B terdiri dari fasies USF yang dominan, FS dan LSF memiliki kualitas reservoar baik dengan porositas 7 - 17% dan permeabilitas 10 hingga 200 mD c. Kelas C terdiri dari fasies LSF yang dominan, ME dan OT memiliki kualitas
8
d.
reservoar buruk dengan porositas 1 – 13% dan permeabilitas sekitar 0.1 – 2 mD Kelas D terdiri dari fasies LSF, USF yang mengalami diagenesa sementasi serta fasies OT memiliki porositas 1 – 14% dengan permeabilitas 0.001 – 0.08 mD merupakan reservoar yang buruk hingga bukan merupakan reservoar karena tidak dapat mengalirkan fluida.
UCAPAN TERIMA KASIH Publikasi ini terselenggara oleh kerjasama Joint Study Eksplorasi antara LKFT Universitas Gadjah Mada dan INPEX-JOGMEX Limited. di bawah pengawasan Ditjen Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Amaefule, J., M. Altunbay, D. Tiab, D. Kersey, and D. Keelan, 1993, Enhanced Reservoir Description Using Core and Log Data to Identify Hydraulic Flow Units and Predict Permeability in Uncored Intervals/Wells: SPE, 26436, p. 205–220. Anonim, 2014, Regional Geology of the Bonaparte Basin, Deptartement of Industry, Geoscience Australia, Australia. Barber P., Carter, P., Fraser T., Baillie, P., Myers, K., 2003, Paleozoic and Mesozoic Petroleum System in The Timor and Arafura Seas, Eastern Indonesia, Proceedings Indonesia Petroeleum Association 29th, Jakarta, Indonesia. IPA03-G-169 Bohling G.C., dan Dubois M.K., 2003, An Integrated Application of Neural Network and Markov Chain Techniques to Prediction of Lithofacies from Well Logs, Kansas Geological Survey Open File Report 2003-50, Kansas, USA, http://www.kgs.ku.edu/PRS/publicatio n/2003/ofr2003-50.pdf (13 April 2015) Elliot, T., 1986, Siliciclastic Shorelines, in Reading, H.G., ed., Sedimentary Environments and Facies 2nd ed.
Blackwell Scientific Publication, Oxford, UK. p. 155-188 Gunter, G., J. Finneran, D. Hartmann, and J. Miller, 1997, Early Determination of Reservoir Flow Units Using an Integrated Petrophysical Method: SPE 38679, 8 p. Matsui, R., Shinbo, E., Omokawa M., Zushi T., 2009, Quartz Cementation and Reservoir Quality of The Plover Sandstone In The Abadi Gas Field. Proceedings Indonesia Petroeleum Association 33th, Jakarta, Indonesia. IPA09-G-157 Nagura, H., Suzuki I., Teramoto T., Hayashi, Y., Yoshida, T., Bandjarnahor, H. MP., Kihara, K., Swiecicki, T., Bird, R., 2003, The Abadi Gas Field, Proceedings Indonesia Petroeleum Association 29th, Jakarta, Indonesia. IPA03-G-141 O’brien, G.W., Etheridge, M.A., Willcox, J.B., Morse, M., Symonds, P., Norman, C. And Needham, D.J., 1993—The Structural Architecture of the Timor Sea, North-Western Australia: Implications for Basin Development and Hydrocarbon Exploration. The APEA Journal, 33(1). p. 258–278 Radiansyah J., Putra T.E., Ismail R., Wibowo R.A., Riza E.E., Kurniawan M., 2014, Reservoir Description using Hydraulic Flow Unit and Petrophysical Rock Type of PMT Carbonate Early Miocene of Baturaja Formation, South Sumatra Basin, Extended abstract presented in AAPG International Conference & Exhibition, Istanbul, Turkey, Sept 2014. Slatt, R.M., 2006, Stratigraphic Reservoir Characterization For Petroleum Geologists, Geophysicists, And Engineers, Elsevier, Oxford, UK, 478 p. Winardi S., 2013, Handout Kuliah “Reservoir Characterization; Evaluating Reservoir Properties”, Departement of Geological Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
9
Gambar 1. Lokasi penelitian dan ketersediaan data.
Gambar 2. Lingkungan pengendepan purba Formasi Plover Atas
10
Gambar 3. Korelasi sikuen reservoar pada Abadi-1, 2ST dan 3. (Nagura dkk., 2003 dengan modifikasi)
11
Core Fasies
Core Fasies Gambar 4. Interpretasi fasies untuk seluruh interval pada sumur A-1, A-2 dan A-3
Core Fasies
12
Gambar 5. Penampang korelasi stratigrafi berarah utara – selatan (flatten pada fs-7)
Gambar 6. Interpretasi paleogeografi Formasi Plover Atas pada daerah penelitian
13
Log R35= 0.732 + 0.588 log k – 0.864 log ∅ Gambar 7. Crossplot porositas dengan permeabilitas pada kurva iso pore throat windland R35
RQI = 0.0314� PMR = ∅𝑧 = FZI =
RQI
PMR
∅
𝑘 ∅
(1−∅)
Gambar 8. Identifikasi rock type menggunakan metode HFU/ Flow Zone Indicator (A) Plot FZI terhadap jumlah data menunjukan 4 trend yang berbeda. (B) Crossplot RQI (reservoar quality index) dengan PMR (pore matrix ratio) juga menunjukan reservoar dapat dibagi menjadi 4 HFU.
14
Gambar 9. Permeabilitas transform untuk masing-masing Rock Type (RT).
Gambar 10. Validasi prediksi RT menggunakan permeabilitas transform yang dikalibrasi dengan data permeabilitas RCAL menunjukan hasil cukup baik.
15
Gambar 11. Crossplot volume clay (VWCL) dengan porositas efektif (PHIE/ϕe) untuk menentukan jenis rock type di lapangan A.
Tabel 1. Asosiasi fasies lingkungan progradasi shoreline
Tabel 2. Klasifikasi karakter reservoar Formasi Plover Atas No
1
Kelas
A
Lito-
Asosiasi
Volume
Por.
Kejenuh
Perm.
Pore Throat
Rock
Kualitas
fasies
Fasies
Clay
(Φe)
Air (Sw)
(k)
(mm)
Type
Reservoar
Sm > Sl >
FS, USF
0 - 12%
6.5-19%
0.1 –
1300 –
0.040 - 0.015
0.75
100 mD
0.1 – 0.8
200 – 10
Sb 2
3
4
B
C
D
Sl > Sb >
USF, FS,
Sm
LSF
Sb> SCb>
LSF,
Sl > Sc
ME, OT
Sc>Sb
LSF, OT USF
0 - 12%
7 – 17%
0.015 - 0.002
mD 0 - 30%
5–100%
1 – 13%
1 – 14%
0.25 - 1
0.35 - 1
20 – 0.01
0.002 -
mD
0.0001
0.08 –
<0.0001
0.001
Sangat
RT-1
Baik (E)
RT-2
Baik (G)
RT-3
Buruk (Pi)
Buruk (Pc,
RT-4
Pm)
mD
16