Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
KEEFEKTIFAN PELATIHAN KETERAMPILAN ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF SISWA KORBAN BULLYING DI SMA Oleh : Karyanti * Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan pelatihan keterampilan asertif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa korban bullying di SMA. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen Singel Subject Design (SSD) dengan reversal designsering disebut desain ABAB. Subjek dalam penelitian ini adalah 4 siswa kelas X SMA Y Palangka Raya pada tahun pelajaran 2013/2014 yang teridentifikasi sebagai korban bullying dan memiliki perilaku asertif cenderung rendah yang masing-masing diidentifikasi dari skala korban bullying dan skala perilaku asertif (validitas kosistensi internal ≥ 0,3 dan reliabilitas 0,800). Data pelatihan keterampilan asertif siswa korban bullying pada fase baseline dan pada fase intervensi diperoleh melaui rubrik observasi. Analisis data menggunakan analisis visual dengan memperhatikan perubahan level dan trend. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan asertif dengan PLSIM efektif meningkatkan perilaku asertif siswa korban bullying di SMA. Kata Kunci : Korban bullying, keterampilan Asertif.
PENDAHULUAN Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, karena pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat pada diri remaja. Remajapada periode ini merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa dan remaja cenderung memiliki risiko tinggi terjadi kenakalan dan kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindak kekerasan. Remaja berada pada masaperkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional. Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kegembiraan dan tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi remaja adalah kondisi identik yang disebut dengan kata pemberontakan (masa strom and stres) karena banyaknya goncangan-goncangan dan perubahan yang cukup radikal dari masa sebelumnya (Santrock, 2007; Hurlock, 2004). Goncangan-goncangan yang terjadi pada masa remaja berhubungan dengan
perubahan emosional. Emosi yang kurang matang pada remaja terlihat pada permasalahan remaja yang melakukan perilaku menyimpang seperti perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan yang dilakukan remaja dikenal dengan istilah bullying. Meski belum ada data yang memuat kasus bullying di setiap negara.Rigby (2007) memberikan gambaran data kasus di sekolah di beberapa negara, yaitu di Inggris (SMP–27% dan SMA–10%), Australia (25%–30%) dan secara internasional (SMP– 23% dan SMA–10%) setiap hari. Hasil studi Huneck (dalam Yayasan Sejiwa, 2008) menunjukkan bahwa 10%–60% siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun didorong, peristiwa ini terjadi paling tidak sekali dalam seminggu. Remaja ditinjau dari segi perkembangan, secara psikologis siswa SMA berada pada rentang usia 15-18 tahun. Remaja mengalami permasalahan emosional berupa gejala-gejala tekanan
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
31
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
perasaan dan frustasi, baik yang terkait dengan konflik internal dan konflik eksternal pada diri remaja. Remaja mengalami tekanan perasaan dan frustasi merupakan suatu respon emosional ketika keadaan menghalangi pencapaian suatu tujuan personal, yang dihubungakan dengan perasaan marah, sedih dan kecewa. Hal ini berkaitan dengan bagaimana siswa yang memasuki masa remaja akhir menghadapi permasalahan perilaku bullying di lingkungan sekolah. Apakah siswa dapat menghadapi masalah perilaku bullying? Jika dapat menghadapi perilaku bullying di lingkungan sekolah dengan baik, akan menjadi modal dasar untuk menghadapi perilaku bullying sampai mereka dewasa. Bullying berarti pelecehan mental atau fisik korban, yang dilakukan oleh siswa atau kelompok siswa. Bullying diasumsikan sebagai hubungan kekuasaan yang tidak setara antara pelaku dan korban,terjadi episode yang berulang dari waktu ke waktu (Olweus &Roland, 1983; Olweus, 1993; Rigby, Smith & Pepler; 2004, Roland; 1989 dalam Roland, 2006). Olweus (dalam O’connell, 2003) kemudian mengidentifikasi ada dua subtipe bullying, yaitu perilaku secara langsung (direct bullying), misalnya penyerangan secara fisik dan perilaku secara tidak langsung (indirect bullying), seperti pengucilan secara sosial. Bullying disebut sebagai sub tipe dari perilaku agresif karena di dalamnya melibatkan agresi atau serangan. Berdasarkan studi kerjasama Olweus& Roland (dalam James, 2010), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria operasional agar dapat disebut sebagai bullying, yaitu agresi atau bentuk kekerasan lain harus terjadi minimal sekali dalam seminggu atau lebih selama periode waktu satu bulan. Dari pengertian yang telah dikemukakan, dapat dilihat bahwa bullying
adalah suatu perilaku agresif yang sengaja dilakukan dengan motif tertentu. Suatu perilaku agresif dikategorikan sebagai bullying ketika perilaku tersebut telah menyentuh aspek psikologis korban. Rigby (2007) menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian bullying yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif, kekuatan yang tidak seimbang, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar penggunaan kekuatan, tapi rasa senang yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak korban. Jenis bullying dapat berupa tindakan fisik dan verbal yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Field (2007) terdapat empat jenis bullying, yaitu: (1) bullying secara fisik (memukul, menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta menghancurkan barangbarang milik korban; (2) bullying secara verbal (julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam, penghinaan, pernyataanpernyataan yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan lain-lain) dan (3) bullying secara psikologis (pengabaian, pengucilan atau penghindaran). Menurut Rigby (2007) jenis-jenis bullying di kalangan siswa dapat bersifat fisik (memukul, menendang, meludah, mendorong), verbal (mengejek, menggoda berbahaya, menyebut nama, mengancam), atau psikologis (menyebar rumor, memanipulasi hubungan sosial, atau pengucilan sosial, pemerasan, atau intimidasi). Menurut Colorasa (2003) bullying verbal dapat berupa menakuti lewattelepon, e-mail yang mengintimidasi dan “sura-surat kaleng” yang berisi ancaman kekerasan dan ejekan seksual.
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
32
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
Bullying verbal ini biasa disebut dengan cyber bullying. Berdasarkan hasil studi Auestad & Roland (dalam Roland, 2006)bullying melalui ponsel lebih dari dua kali lipat di antara siswa laki-laki yang berusia 5-7 tahun 10,2%, dan 11,7% siswa berusia 8–10 tahun melaporkan bahwa mereka dibully melalui ponsel. Untuk siswa perempuan 8,6% dan 9,1% melaporkan bahwa mereka dibullying melalui ponsel. Bullying dengan menggunakan ponsel akan meningkat dengan bertambahnya usia. Peristiwa bullying di sekolah merupakan proses dinamika kelompok dan di dalamnya ada pembagian peran. Setiap siswa memiliki peran yang berbeda dalam peristiwa bullying. Penelitian Hymeldkk, (2009) menyebutkan bahwa tingkat bullying sangat bervariasi di setiap negara. Sekitar 9% sampai 73% dari siswa melaporkan bahwa mereka telah mem-bully siswa lain dan 2% sampai 36% dari siswa mengatakan bahwa mereka adalah korban bullying. Menurut Rigby (2007) terdapat peran-peran dalam peristiwa bullying, yaitu: (1) bully adalah siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin. Berinisiatif dan aktif terlibat dalam peristiwa bullying; (2) bully Assistance adalahsiswa yangjuga terlibat aktif dalam peristiwa bullying, namun cenderung bergantung atau mengikuti perintah bully; (3) reinforcer adalah siswa yang ada ketika peristiwa bullying, ikut menyaksikan, mentertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton dan sebagainya; (4) victim adalah siswa yang menjadi korban atau siswa yang ditarget; (5)defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu korban., seringkali mereka akhirnya menjadi korban juga; (6) outsider adalah siswa yang tahu terjadi bullying, namun tidak melakukan apapun seolah-olah tidak peduli. Selain dari
enam pelaku tersebut adanya bully-victim yaitu keadaan dimana siswa yang pernah menjadi korban dalam peristiwa bullying, juga menjadi pelaku. Hal ini dikarenakan ada keinginan korban untuk balas dendam atas bullying yang pernah mereka alami dengan mem-bully siswa lain yang dianggap lemah. Siswa terlepas dari jenis kelamin, memiliki keinginan yang kuat untuk diterima dalam pergaulan. Olweus (dalam Field, 2007) menyatakan bahwa pada umumnya siswa laki-laki menggunakan bullying secara fisik dan siswa perempuan menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara siswa laki-laki dan perempuan. Penelitian Swedish &Olweus (dalam O’Connell, 2003) memperkirakan bahwa15% dari semua siswa terlibat dalam beberapa bentuk kekerasan sebagai pelaku atau korban. Pada peristiwa bullying terdapat pelaku dan korban bullying dan masing-masing memiliki karakteristik. Menurut penelitian Field (2007) pada peristiwa bullying setidaknya melibatkan dua pihak utama, yakni pelaku dan korban. Penelitian Olweus (dalam Roland, 2006) menunjukkan karakteristik pelaku secara umun adalah pelaku sering melakukan tindak kekerasan dibanding siswa lain. Mereka memiliki sifat yang selalu ingin mendominasi siswa lain. Sedangkan pada korban akan muncul perasaan rendah diri. Korban bullying memiliki perasaan lebih cemas dan tidak aman dibandingkan siswa lain, mereka sering bersikap berhati-hati, peka dan diam. Korban memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri dan situasi yang dihadapi. Mereka sering menyalahkan diri sendiri tentang kegagalan yang dialami,
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
33
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
menganggap diri sendiri lemah dan merasa tidak menarik sehingga pantas untuk di bully. Korban bullying sering kesepian dan terabaikan di sekolah. Jika mereka siswa laki-laki, kemungkinan memiliki kondisi fisik lebih lemah dibanding siswa laki-laki secara umum. Dampak negatif bullying menurutOlweus (dalam O’Connell, 2003) bahwa pelaku memiliki kesempatan lebih tinggi mengembangkan perilaku criminal dibandingkan siswa lain. Bullying dapat menjadi langkah dalam pengembangan pola perilaku negatif. Penelitian Swearer dkk, (2010) menunjukkan bahwa siswa korban bullying kemungkinan akan menghindari sekolah atau bahkan drop out, siswa merasa sekolah sebagai tempat yang menakutkan karena siswa menerima perilaku bullying dari siswa lain. Penelitian Kaltiala(dalam Smith& Ananiadou 2003) menunjukkan bahwa dalam kasus ekstrim, korban mungkin melakukan bunuh diri. Menurut Rigby (2007) penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi dan ketinggalan pelajaran, tak jarang siswa yang menjadi korban bullying melakukan bunuh diri karena tidak punya cukup keberanian untuk mengkomunikasikan apa yang dialami. Sebagai studi pendahuluan peneliti melakukan survei terbatas oleh peneliti di sekolah SMA Y Palangka Raya, ditemukan sejumlah gejala perilaku bullying siswa senior terhadap siswa junior. Adapun tindakan bullying yang dialami siswa junior tersebut antara lain: (1) siswa senior mengejek dan memanggil dengan julukan negatif terhadap siswa junior; (2) barangbarangsiswa junior dirusak dan diambil secara paksa oleh siswa senior; (3) siswa
senior merebut makanan siswa junior; (4)terdapat siswa yang dikucilkan oleh teman-temannya; (5) siswa senior dengan sengaja menendang dan mendorong siswa junior dan (6) siswa senior mengancam siswa junior. Hasil wawancara dengan konselor sekolah SMA Y Palangka Raya pada tanggal 19 Agustus 2013 tentang peristiwa bullying yang dialami siswa junior, yaitu: selama dua bulan terakhir terdapat 14 siswa kelas X yang berhenti dari sekolah tersebut dikarenakan mereka di bully oleh senior ketika berada di sekolah. Sebagian besar siswa yang menjadi korban bullying merasa tertekan dan memilih untuk berhenti dari sekolah. Melihat kondisi siswa seperti itu fungsi dari pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda yang bertanggung jawab terhadap tugasnya di masa yang akan datang seolah sulit untuk diwujudkan. Perlu diupayakan sebuah bantuan untuk membangkitkan semangat siswa dari perasaan tertekan, supaya potensi mereka berkembang ke arah yang optimal baik sebagai pribadi maupun sebagai siswa yang sedang berada dalam proses perkembangan. Keterlibatan orang dewasa seperti orang tua dalam lingkup keluarga dan tenaga pendidik (seperti guru dan konselor sekolah) dalam lingkup sekolah memegang peran penting dalam memberikan bantuan bagi siswa sebagai pelaku dan korban bullying. Menurut Olweus (dalam Engelman dkk, 2012)dalam peristiwa bullying, pelaku dan korban samasama merupakan elemen kunci yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Bentukbentuk bantuan yang perlu diberikan kepada pelaku adalah upaya untuk meningkatkan empatinya sedangkan untuk korban hendaknya fokus kepada upaya meningkatkan asertivitas dan kepercayaan dirinya. Siswa di sekolah baik sebagai
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
34
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
pelaku ataupun korban bullying sama-sama memerlukan bantuanyang efektif dan efisien yaitu dengan melatihkan sebuah keterampilan asertif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa korban bullying. Alberti &Emmons (2002)menyatakan bahwa perilaku asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, memungkinkan siswa untuk bertindak dalam kepentingan terbaik diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan berlebihan, untuk mengekspresikan perasaan secara jujur untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa menyangkal hak orang lain.Menurut Sullivan dkk, (2004) korban bullying memiliki asertivitas yang rendah. Korban tidak mampu menolak saat diperlakukan negatif, tidak percaya diri, dan siswa yang belum mampu bersikap asertif (tegas mengutarakan sikap dan apa yang diinginkan) atau siswa yang belum mampu bersikap terbuka terhadap orang tua, teman dan orang-orang terdekat. Penelitian Thompson& Arora (1991) menunjukkan bahwa sebuah pelatihan asertif untuk siswa-siswa yang dibully menyebabkan peningkatan harga diri, peningkatan pelaporanperistiwa bullying pada guru dan peningkatan keterampilan sosial. Penelitian Smith & Sharp tahun 1994(dalam Rigby, 2007) menunjukkan bahwa sebuah respon asertif, di mana murid “tenang” menolak untuk mematuhi tuntutan, adalah yang paling sukses dalam mengurangi kemungkinan korban bullying di masa mendatang, karena gagal untuk memperkuat perilaku bullying. Sedangkan menurut Wolpe (dalam Flanagan & Flanagan, 2004) mendasari pelatihan asertif pada yaitu: (1) siswa yang menunjukkan terlalu banyak perilaku agresif dan pasif; (2) siswa belum belajar cara yang tepat
menggunakan perilaku asertif dalam situasi sosial. Menurut Thompson (2003) psychoeducational life skills intervention model(PLSIM) merupakan pendekatan yang komprehensif dan sistematis untuk memfasilitasi dan meningkatkan keterampilan sosial. Keterampilan sosial diperoleh melalui pembelajaran dengan mengamati, permodelan, melatih dan memberikan balikan dan dimaksimalkan melalui penguatan sosial (seperti respon positif dari lingkungan sosial siswa). Psychoeducational life skills intervention model(PLSIM)terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) pengarahan (instruction/teach); (2) pemberian model (modeling); (3) bermain peran (role playing); (4) pemberian balikan (feedback) dan (5) pemberian tugas (ownwork). METODE Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen Singel Subject Design (SSD). Alberto & Troutman (2009) menyatakan bahwa Singel Subject Design merupakan sebuah rancangan yang digunakan untuk mengevaluasi perilaku individu. Setiap subjek berfungsi sebagai kontrol dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kinerja subjek sebelum, selama dan setelah diberi perlakuan. Singel Subject Design memberikan kesempatan kepada peneliti untuk mengungkapkan lebih detail tentang perubahan-perubahan yang dihasilkan pada saat intervensi. Singel Subject Design yang digunakan dalam penelitian ini adalah reversal designsering disebut desain ABAB. Menurut Alberto & Troutman (2009) desain ABAB digunakan untuk menganalisis efektifitas variabel bebas (independent variable). Desain ini melibatkan aplikasi pelaksanaan dan
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
35
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
penarikan intervensi untuk memverifikasi efek intervensi terhadap perilaku dengan berulangkali membandingkan data baseline dan data yang dikumpulkan selama intervensi. Peneliti dapat menentukan hubungan fungsional antara variabel bebas “A1” “B1” Baseline Intervention
“A2” Baseline
dan variabel terikat. Desain ini digunakan untuk mengetahui keefektifan PKA untuk meningkatkan perilaku asertif terhadap beberapa subjek dengan target perilaku yang sama. desain ABAB dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut. “B2” Intervention
Sesi Gambar Prosedur Dasar Desai ABAB (Alberto & Troutman, 2009). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Y Palangka Raya. Dari populasi tersebut akan dipilih beberapa siswa untuk menjadi subjek penelitian. Berdasarkan pengukuran skala korban bullying dan skala asertif terdapat 11 subjek yang teridentifikasi sebagai korban bullying yang memiliki keterampilan asertif cenderung rendah. Selanjutnya perilaku asertif 11 subjek diobservasi pada fase baseline selama 3 sesi, peneliti memperoleh data bahwa dari 11 subjek yang teridentifikasi sebagai siswa korban bullying yang memiliki perilaku asertif cenderung stabil rendah. Terdapat 9 siswa memperoleh data yang tidak stabil dan 4 siswa memperoleh data yang stabil rendah sampai batas akhir pengumpulan data baseline. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 4 siswa, penentuan jumlah subjek berdasarkan hasil perolehan data baseline.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) Bahan perlakuan yang digunakan oleh peneliti berupa Skenario Pelatihan Keterampilan Asertif (SPKA) korban bullying dikembangkan sendiri oleh peneliti. SPKA untuk siswa korban bullyingdikembangkan dengan menggunakan desain psychoeducational life skills intervention model. SPKA terdiri dari panduan untuk konselor dan panduan untuk siswa. SPKA untuk korban bullyingdan (2) instrumen pengumpulan data terdiri dari skala korban bullying dan skala perilaku asertif korban bullying. Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data visual dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui pedoman observasi. Analisis data visual dilakukan secara individual dan kelompok. Analisis individual diperoleh dengan mentabulasikan hasil pengukuran dan menggambarkannya
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
36
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
dalam bentuk grafik, setiap hasil pengukuran fase baseline (A1),intervensi (B2), baseline (A2) dan intervensi (B2)pada setiap subjek penelitian. HASIL Selama fase baseline kemampuan asertif keempat cenderung stabil rendah. Pada fase intervensi pertama (B1) terdapat tiga sabjek yaitu AP, To dan EF yang mengalami peningkatan level dan berdampak pada perubahan dari kategori rendah menjadi kategori tinggi. Terdapat satu subjek yaitu LA pada fase intervensi pertama (B1) sesi awal belum mengalami perubahan. Terjadi latensi atau LA membutuhkan waktu penyesuaian pada proses intervensi PKA dengan PLSIM, panjang latensi tergantung pada kondisi subjek. Kondisi subjek LA berubah pada sesi akhir fase intervensi pertama (B1), terjadi peningkatan level dan berdampak pada perubahan dari kategori rendah menjadi kategori sedang. Berdasarkan data tersebut trend mengalami peningkatan yang tajam. Pola ini menunjukkan efek langsung perubahan saat intervensi pertama (B1) dilaksanakan, kemampuan asertif keempat subjek mengalami peningkatan yang tajam. Selanjutnya keempat subjek dikembalikan pada kondisi semula atau masuk pada fase baseline kedua (A2) intervensi ditarik atau tidak dilaksanakan terjadi penurunan level, subjek AP, TO dan EF mengalami penurunan dari kategori tinggi menjadi kategori sedang dan LA mengalami penurunan level namun tidak berdampak pada perubahan kategori. Pola ini menunjukkan efek perubahan langsung ketika intervensi ditarik atau tidak dilaksanakan, kemampuan asertif subjek AP, TO dan EF mengalami penurunan yang cukup tajam dan kemampuan asertif LA
mengalami penurunan perlahan namun pasti. Masuk pada sesi selanjutnya keempat subjek dikembalikan kefase intervensi kedua (B2), terjadi peningkatan level dan berdampak pada perbuhan dari kategori sedang menjadi kategori tinggi. Pola ini menunjukkan efek langsung perubahan saat intervensi kedua (B2) diberkan, kemampuan bersikap tenang dalam situasi bullying mengalami peningkatan yang tajam. Keempat subjek yaitu mencapai level puncak yaitu 8 pada akhir sesi kedelapan. Berdasarkan data tersebut trend mengalami peningkatan yang tajam. Pola tersebut menunjukkan bahwa jika intervensi ditarik atau tidak dilaksanakan terjadi penurunan level dan trend, dan jika intervensi dilaksanakan terjadi peningkatan level dan trendmeningkat tajam. Artinya bahwa intervensi PKA dengan PLSIM efektif meningkatkan kemapuan asertif subjek AP, LA, TO dan EF. PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan kepada empat orang siswa sebagai subjek penelitian. Keempat subjek adalah siswa yang teridentifikasi sebagai siswa korban perilaku bullying dan cenderung memiliki perilaku asertif rendah. Penetapan subjek berdasarkan pada hasil skala korban bullying, skala perilaku asertif korban bullying dan menggunakan rubrik observasi. Berdasarkan hasil skala perilaku bullying siwa laki-laki sering mendapat serangan fisik oleh siswa laki-laki lain di lingkungan sekolah. Sedangkan siswa perempuan sering menerima ejekkan dengan julukkan negatif dan pengabaian. Hasil penelitina ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Field (2007) menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam bullying yaitu: (1)
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
37
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
siswa laki-laki cenderung pemburu yang tergolong besar, hirarkis. Siswa laki-laki menggertak secara terbuka dan lebih suka bullying secara fisik; (4) siswa perempuan lebih suka menggoda atau bullying tidak langsung. Mereka menggunakan fitnah,gossip berbahaya dan pengecualian sebagai senjata ampuh untuk mengelola, memanipulasi dan melindungi persahabatan; (5) pelaku dan korban baik siswa perempuan dan laki-laki tidak memiliki keterampilan asertif. Siswa yang teridentifikasi menjadi korban bullying kemudian diberikan skala keterampilan asertif, skala keterampilan asertif yang diberikan kepada korban bullying untuk mengetahui kecenderungan perilaku asertif siswa korban bullying. Berdasarkan hasil skala perilaku asertif, siswa korban bullying cenderung memiliki perilaku asertif rendah. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Soendjojo (2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya siswa yang mengalami tindakan bullying adalah siswa yang memiliki tingkat perilaku asertif yang rendah. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan rubrik observasi diperoleh data bahwa terdapat empat subjek yang berada pada kategori rendah dalam berperilaku asertif, sehingga keempat subjek menjadi korban bullying. Keempat subjek belum memiliki keterampilan asertif yang baik. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Sullivan dkk, (2004) menyatakan bahwa perilaku kurang asertif korban bullying ditandai dengan ketidak mampuan menolak saat diperlakukan negatif, tidak percaya diri dan siswa yang belum mampu berperilaku asertif (tegas mengutarakan sikap dan kemauannya) atau siswa yang belum mampuberperilaku terbuka terhadap orang
tua, teman-teman dan orang-orang yang ada disekitar. Kondisi ini nampak pada proses interaksi subjek dengan siswa lain di lingkungan sekolah. Pertama, pada saat menerima ancaman dan manipulasi dari siswa lain subjek menunjukkan ekspresi ketakutan dan beberapa orang subjek menenggapi dengan perilaku agresif sehingga menimbulkan ketegangan dan perkelahian antara subjek dan siswa lain. Olweus (dalam O’Connell, 2003) mengidentifikasi dua tipe korban bullying antara lain: (1) korban pasif, mempunyai karakteristik pencemas, kurang rasa percaya diri, mereka selalu merasa dirinya lemah dan tidak berdaya serta tidak dapat berbuat apa-apa untuk menjaga diri mereka. (2) korban provokatif, mempunyai fisik yang lebih kuat, walaupun cemas tapi korban lebih bersipat aktif. Kedua, kemampuan mengekspresikan perasaan dalam situasi bullying, keempat subjek belum mampu menunjukkan ekspresi yang tepat ketika fisik dan psikisnya disakiti oleh siswa lain. Terdapat siswa yang merespon secara pasif atau agresif terhadap pelaku bullying. Agresi adalah situasi menang-kalah. Ini adalah proses searah untuk menyampaikan keinginan, tapi tidak mendengar atau mempertimbangkan keinginan dan perasaan siswa lain. Respon pasif merupakan sikap yang membiarkan siswa lain mendominasi, menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Siswa bersikap pasif akan menghindari segala macam konfrontasi atau mungkin takut pada reaksi siswa lain, sehingga memilih berdiam diri dan menyetujui keinginan siswa lain walaupun sebenarnya Anda tidak setuju (Hadfield & Hasson, 2013). Ekspresi yang tidak tepat ditunjukkan oleh sabjek
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
38
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
mengakibatkan pelaku semakin mem bully subjek. Ketiga, kemampuan meminta dukungan sosial. Keempat subjek tidak pernah menceritakan atau meminta bantuan kepada orang tua, guru, konselor dan teman ketika mengalami perilaku bullying oleh siswa lain di sekolah. Subjek merasa mereka bisa mengatasi masalah mereka dan tidak perlu orang lain tahu, karena memberitahu orang lain akan membuat mereka dianggap lemah. Menurut Rigby (2007) korban mungkin terlalu takut atau kurangan percaya diri untuk sekadar memberitahu orang lain, menyalahkansendiri atau merasa bahwa menceritakan kepada siswa dewasa hanya akan membuat hal-hal buruk. Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Olweus (dalam O’Connell, 2003) siswatidakmelaporkankarena merekatakutdianggap cengeng oleh rekanrekan mereka, orang tua, atau guru. Mereka juga percaya bahwa siswa dewasa tidak akan memahami situasi, akan melanggar kepercayaan, atau tidak tahu bagaimana menangani situasi tersebut. Subjek memilih untuk bertahan menghadapi perilaku bullying yang dilakukan oleh senior mereka, bahkan subjek menyatakan akan membalas perlakuan siswa senior kepada siswa baru. Penelitian Keempat, kemampuan bersikap tenang dalam situasi bullying. Terdapat subjek yang hanya menangis atau diam saja dan siswa yang bertindak agresif ketika fisik dan psikisnya disakiti oleh siswa lain mengakibatkan pelaku bullying merasa senang karena korban merasa frustasi dan tertekan. Menurut Rigby (2007) bullying adalah bentuk-bentuk perilaku yang berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik maupun psikologis terhadap siswa atau sekelompok siswa yang lebih “lemah” oleh
siswa atau sekelompok siswa yang mempersepsikan dirinya “kuat”. Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti siswa atau sekelompok siswa, sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya. Penelitian ini menggunakan Pelatihan Keterampilan Asertif dengan desain psychoeducational life skills intervention model (PLSIM). Intervensi dibagi menjadi dua tahap, diantara kedua tahap PKA dengan PLSIM tersebut terdapat tahap di mana intervensi ditarik atau tidak dilaksanakan. Pada tahap keterampilan asertif tidak ditarik atau tidak dilaksanakan, pengukuran dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan rubrik perilaku asertif untuk korban bullying. Tujuan dari tahap ini untuk mengetahui adanya hubungan fungsional antara PKA dengan perilaku asertif korban bullying. Intervensi dilakukan dalam 4 sesi yang menggambarkan 4 topik berbeda dengan masing-masing sesi 90 menit 1 kali pertemuan. Berdasarkan paparan analisis data kemampuan asertif keempat subjek mengalami peningkatan dari sesi ke sesi. Pada fase Terdapat 1 subjek yaitu LA yang tidak langsung mengalami perubahan saat intervensi tahap pertama dilaksanakan. Data ini menunjukkan adanya latensi atau subjek membutuhkan waktu penyesuaian terhadap desain yang digunakan dalam intervensi. Masuk pada fase baseline kedua ketika intervensi ditarik atau tidak dilatihakan kemampuan asertif keempat subjek mengalami penurunan level Kondisi ini berubah saat masuk pada fase intervensi kedua, kemampuan asertif keempat subjek mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, kemampuan keempat subjek meningkat. Data ditunjukkan dengan adanya perubahan level dari fase baseline
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
39
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
sampai dengan fase intervensi tahap kedua dilatihkan. Perubahan level menunjukkan terjadi peningkatan yang diikuti dengan trend yang bergerak naik. Peningkatan level dari fase baseline sampai dengan fase intervensi tahap kedua menunjukkan perubahan yang positif (+). Perubahan dan trend didukung dengan skor subjek yang diperoleh dari skala perilaku asertif korban bullying yang diberikan sebelum dan sesudah intervensi, tugas rumah yang diberikan setiap sesi. Data ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi subjek sebelum dan sesudah intervensi. Berdasarkan paparan data yang menunjukkan perubahan yang signifikan pada kondisi subjek, dapat diinterpretasikan bahwa pelatihan keterampilan asertif dapat meningkatkan perilaku asertif subjek penelitian yaitu siswa korban bullying di SMA. Pada tahap intervensi PKA pertama dengan PLSIM, kondisi subjek cenderung meningkat. Kondisi menunjukkan bahwa dampak interpensi PKA dengan PLSIM mampu meningkatkan perilaku asertif korban bullying. Pada fase baseline PKA ditarik atau tiadak dilatihkan, perilaku asertif subjek cenderung menurun. Kondisi ini berubah saat memasuki fase intervensi PKA kedua, perilaku asertif subjek meningkat. Kemampuan asertif subjek AP, LA, TO dan EF mengalami peningkatan setelah mengikuti pelatihan. Pada fase Awal pengumpulan data, AP, TO dan EF berkata kasar dan berteriak sedangkan LA menangis ketika fisik dan psikisnya disakiti oleh siswa lain. Alberti & Emmons (2002)menyatakan bahwa perilaku asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, memungkinkan kita untuk bertindak dalam kepentingan terbaik kita sendiri, untuk membela diri kita sendiri
tanpa kecemasan berlebihan, untuk mengekspresikan perasaan secara jujur untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa mengabaikan hak-hak orang lain. Setelah mengikuti PKA dengan PLSIM AP, TO dan EF sudah mampu bersikap asertif dengan berkata tegas dan bersikap tenang di depan siswa lain yang menyakiti fisik dan psikisnya. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis visual yang dilakukan dengan memperhatikan level dan trend, yang didukung dengan hasil skala perilaku asertif, maka dapat disimpulakan bahwa pelatihan keterampilan asertif efektif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa korban bullying di SMA. Saran 1. Saran bagi konselor Pelatihan keterampilan asertif dapat digunakan oleh konselor untuk meningkatkan perilaku asertif siswa korban bullying di SMA. Konselor diharapkan dapat merancang program bimbingan untuk melatih suatu keterampilan life skill yang perlu dikuasai oleh siswa korban bullying sebagai layanan preventif dan kuratif untuk permasalahan siswa korban bullying di sekolah. Konselor dapat merancang pelatihan keterampilan asertif agar siswa terhindar dari perilaku bullying oleh siswa lain di sekolah. Konselor perlu mengembangkan diri, dengan menguasai berbagai metode yang secara efektif dan efisien untuk melakukan bimbingan. Khususnya bimbingan kelompok untuk membantu siswa di sekolah dalam rangka meningkatkan pemahaman, sikap, dan perilaku asertif yang tepat di segala situasi, khususnya dalam situasi bullying. 2. Pihak Sekolah
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
40
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
Pihak sekolah kiranya dapat mendukung program bimbingan dan konseling yang telah dirancang untuk mendukung pengembangan prbadi-sosial siswa. Pihak sekolah dapat bekerja sama dengan konselor sekolah untuk menyusun atau merancang kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan life skill siswa, sebagai contoh salah satunya adalah keterampilan asertif siswa. 3. Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan menambah jumlah sesi pertemuan, mengembangkan dengan variasi metode lain seperti cinematherapy atau metode lain yang diperkirakan dapat melatih life skill siswa, khususnya keterampilan asertif. Serta perlu dilakukan banyak kajian, penelitian dan pengembangan dalam memberikan bimbingan dengan memperhatikan karakteristik atau latar budaya siswa di suatu daerah atau tempat penelitian.
DAFTAR RUJUKAN Alberto, P.A & Troutman, AC. 2009. Applied Behavior Analysis for Teachersed. (8th ed). Colombus, OH Memil. Alberti, R. & Emmons, M. 2002. Your Perfect Right. Penerjemah Budiatjahya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Coloroso, B. 2003. Stop Bullying. Memutuskan Rantai Kekerasan Anak Prasekolah Hingga SMU. Jakarta: PT serambi ilmu semesta. Engelman, J.B. Moore, S, Capra, C.M & Berns, G.S. 2012. Differential Neurobiological Effects Of Expert Advice On Risky Choice In Adolescents And Adults. Published by Oxford University Press. For Permissions, please email: journals. Permissions @oup.com. SCAN (2012) 7, 557^567.Diakses 6 November 2012. Field, E.M. 2007. Bully Blocking. Six Secrets to Help Children Deal with Teasing and Bullying Revised Edition. USA. www.jkp.com.Diakses 17 Desember 2012. Flanagan, J. S & Flanagan. R.S. 2004.Counseling and Psychotherapy Theoriesin Context and Practice. Skills, Strategies, and Techniques.New Jersey. Hurlock, E,B. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Yoyakarta: Erlangga. Hymel, S. & Swearer S. 2009. Bullying at School and Online. Editors: Peter Gillette, PhD & Denise Daniels, PhD. Diakses 25 Maret 2013. Hadfield, S. & Hasson, G. 2013. Bersikap Tegas Dalam Segala Situasi. Penerjemah Ursula Gayani Budirjahja. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. James, A. 2010. School Bullying. Researcher (Goldsmiths, University of London, NSPCC). www.nspc.urg.uk/inform, diakses 12 November 2012. O’Connell, J. 2003. Bullying At School. By The California Department of Education All rights reserved. Rigby, K. 2007. Bullying in Schools: and what todo about it. Elisa Webb (Ed). Design and typography © ACER Press 2007. an imprint ofAustralian Council for Educational Research Ltd19 Prospect Hill Road, CamberwellVictoria, 3124, Australia. Roland, E. 2006. ZERO Teachers’ Guide to the Zero Anti-Bullying Programme Centre for Behavioural Research, University of Stavanger. 1. Edition © Norway 2006 ISBNNR82-7578-032-2 Design: Apropos Communication Photographer: Sigbjørn Sigbjørnsen Layout: Grafo Trykkeri AS.
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
41
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 31 – 41 )
Swearer, S.M. Espelage, D.L. Vaillancourt, T. & Hymel, S. 2010. What Can Be Done About School Bullying? Linking.Educational Researcher, Vol. 39, No. 1, pp. 38– 47DOI: 10.3102/0013189X09357622© 2010 AERA. http://er.aera.net, diakses 31 Januari 2013. Soendjojo, D. 2009. Mengajarkan Asertivitas Pada Remaja. Jurnal Psikologi. 4, (3),5 –7. Sullivan, K. Clearly, M. & Sullivan, G. 2004. Bullying In Secondary Schools: What it looks like and how to manage it. Thousand Oaks, CA: Crowin Perss. Santrock, J.W. (2007). Adolescance: An Introduction: Elevent edition. New York: McGraw Hill, Inc. Thomson, R.A. 2003. Counseling Techniques. Published in 2003 byRoutledgeTaylor & Francis Group270 Madison Avenue. New York. NY 10016. Thompson, D. A., & Arora, C. M. J. (1991). Why do children bully? An evaluation of the longterm effectiveness of a whole school policy to minimize bullying. Pastoral Care in Education
* Karyanti, M.Pd Dosen Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
42