Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
KEDUDUKAN SAKSI DALAM MENCIPTAKAN PERADILAN PIDANA YANG BEBAS KORUPSI Oleh: Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. Dosen Bagian/Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jember Abstrak Saksi dalam sistem peradilan pidana dipandang secara fungsional yaitu keterangannya merupakan alat bukti hukum. Pandangan ini terlihat sejak KUHP hingga Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kenyataanya saksi hingga saat ini masih tidak cukup terlindungi. Intimidasi bahkan serangan hukum balik banyak dialami saksi. Ketidakterlinduginya saksi menyebabkan peradilan pidana tidak dapat mengungkapkan kebenaran materiil yang diharapkan untuk memberikan keadilan. Bahkan peradilan pidana banyak jatuh pada peradilan yang korup. Selain secara fungsional perlu juga dikaji secara struktural. Dengan pendekatan masalah bagaimana kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan konsep apa yang sebaiknya digunakan kedepan. Diharapkan dengan menemukan kedudukan saksi selayaknya dengan konnsekwensi hukum sesuai kedudukan tersebut. Sehingga secara aplikatif dapat dijadikan dasar untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan peradilan pidana dapat mencapai kebenaran materiil. Sehingga secara filosofis penelitian ini berkontribusi dalam menciptakan peradilan yang adil dan menghindarkan dari penyelewengan. Penelitian ini dilakukan dengan metode normatif berdasarkan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan praktek diperadilan. Serta dengan membandingkan dengan sistem peradilan pidana negara lain dan perkembangan sistem hukum internasional. Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana Indonesia sesungguhnya berkonfigurasi dari hanya sebagai adalah supporting sistem yaitu sebagai alat bukti sampai sebagai partisipasi warga negara dalam penegakan hukum. Hal ini terjadi karena rentang pengaturan yang relatif panjang mulai zaman revolusi industri hingga zaman globalisasi dewasa ini. Sehingga dalam praktek keberadaan saksi menjadi ambigu utamanya terhadap serangan hukum sangat tidak terlindungi. Dimasa yang akan datang semestinya saksi dikuatkan dalam kedudukannya sebagai partispasi warga negara penyandang hak dan kewajiban. Partisipasi menghendaki kesamaan posisi yang artinya saksi selayaknya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana, dengan posisi demikian diharapkan dari saksi akan terungkap keterangan lebih obyektif. Hal ini berkonsekwensi merubah pandangan bahwa bersaksi adalah wajib menjadi keseimbangan antara berhak atas keadilan dan berkewajiban berparsipasi dalam sistem peradilan pidana sesuai konsep negara hukum Pancasila yang demokratis. Pendekatan pendekatan kriminalisasi juga diganti menuju penghargaan. Konsekuensinya bagi seorang saksi yang juga tersangka (whistleblower) antara sanksi pidana yang seharusnya ia tanggung dapat dipertukarkan dengan penghargaan yang seharusnya ia terima. Hal ini dapat dijadikan landasan yuridis untuk memberikan pembebasan bagi saksi tersangka yang membongkar kejahatannya. Berbeda dengan konsep protection of cooperating person di Amerika dan PBB yang dilandasi dengan dasar konsep “melepas teri untuk menangkap kakap” yang menempatkan saksi sebagai umpan. Kata Kunci: saksi, kebenaran, partispasi.
I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pemicu bekerjanya sistem peradilan pidana umumnya diawali dengan adanya laporan dari saksi yaitu orang yang melihat, mendengar atau mengalami dugaan tindak
~ 41 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
pidana. Sangat sedikit penegak hukum dapat secara langsung menangkap basah pelaku tindak pidana. Jamaknya adalah saksi yang melaporkan, memberikan keterangan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Dus, saksi atau korban yang merupakan pihak sebagai pemicu (pelapor), pen-support (saksi) dan salah satu tujuan akhir sistem peradilan pidana. Sejatinya saksi merupakan bagian dari masyarakat sesungguhnya tidak bermasalah (tidak melakukan perbuatan
yang
yang memiliki
pertanggungjawaban hukum), bahkan ia memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum pidana.1 Peranan saksi pelapor yang demikian penting menjadikan landasan pentingnya saksi (pelapor) sehingga dijadikan alat bukti pada urutan pertama sistem peradilan pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP.2 Di sisi lain bersedia menjadi saksi dalam perkara pidana dalam pandangan banyak orang dinilai mencari masalah. Saksi kerap mendapat ancaman atau intimidasi baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya, dalam bentuk ancaman fisik, maupun psikis bahkan serangan balik secara hukum. Masih banyak kasus yang menunjukkan keberanian seseorang untuk melaporkan dan menjadi saksi kasus tindak pidana harus mempertaruhkan nyawanya. Perlakuan
hukum
penegak
hukum
selalu
dilandasi
norma.
KUHAP
menempatkan 21 kali memposisikan saksi setara dengan pelaku, yakni dengan menggunakan istilah “tersangka atau saksi”; “tersangka dan atau saksi”; “terdakwa dan saksi”; dan “terdakwa maupun saksi”. Sehingga hampir dapat dipastikan ketika pengaturannya dipersamakan maka perlakuannya juga akan sama. Padahal terhadap tersangka KUHAP memberikan banyak sekali perlindungan hukum berupa hak-hak, mulai dari hak prosedural sesuai peraturan perundang-undangan, hak untuk didampingi penasehat hukum, hak praduga tak bersalah, hak untuk melakukan upaya hukum, hak ingkar, hak untuk mengajukan bukti yang meringankan dan lainnya kepada tersangka/terdakwa. Sedangkan terhadap saksi KUHAP hanya memberikan hak untuk memberikan keterangan tidak dihadapan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 173 KUHAP dan hak untuk mendapat penggantian biaya setelah hadir sebagaimana diatur
1
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta, 2006, hal. 84. 2 Sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat bukti dimana KUHAP menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan atau Negatief Wettelijk Overtuiging.
~ 42 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
dalam Pasal 229 KUHAP yang prakteknya tidak pernah terlaksana dengan alasan klasik karena ketiadaan dana. Bahkan dalam Pasal 174 KUHAP terhadap saksi, KUHAP mengancam jika kesaksiannya ternyata tidak benar dengan ancaman kesaksian palsu dan kepadanya hakim dapat memerintahkan agar saksi ditahan. Pandangan sistem peradilan pidana terhadap saksi bahwa ia sebagai bagian dari alat bukti, merupakan pandangan sejak lahirnya KUHP3 yang kemudian di atur dalam HIR sebagai hukum Acara pidana pada saat itu, hingga pada KUHAP. Ternyata pandangan tersebut tidak banyak berubah sampai lahirnya Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak ada perubahan yang cukup signifikan. Saksi dilindungi tidak karena status dan kedudukannya sebagai subyek hukum yang mengemban hak dan kewajibannya sendiri, melainkan hanya sekedar karena kepentingannya sitem peradilan pidana kepada saksi untuk memberikan keterangan. Saksi memang alat bukti, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa saksi merupakan manusia, tidak bisa disamakan dengan alat bukti lain yang berupa barang dan lain sebagainya. Saksi sebagai subyek hukum tidak saja memiliki hak dan kewajiban, tetapi juga pemangku kepentingan. Sistem peradilan pidana selama ini terlalu mengecilkan arti saksi sehingga menafikan keberadaan kepentingan saksi tersebut. Manalah mungkin jika tak dapat dikatakan sangatlah mustahil, saksi yang merupakan manusia sebagai subyek hukum pengemban hak dan kewajiban dinegasikan kepentingan-kepentingannya dalam suatu kasus tindak pidana dimana dia bersaksi. Sistem peradilan pidana telah jatuh menempatkan manusia sebagai pengemban hak dan kewajiban seperti halnya obyek hukum yang tidak memiliki kepentingan. Menemukan kedudukan saksi dan 3
KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
~ 43 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
korban secara tepat lebih lanjut akan berkonsekuensi pada status hukum dalam bersaksi apakah wajib ataukah hak.
1.2 Identifikasi Masalah Bertolak dari paparan latar belakang tersebut maka dalam artikel ini akan membahas 2 (dua) permasalahan, yaitu: 1.
Bagaimanakah kedudukan saksi pada Peraturan Perundang-undangan?
2.
Bagaimana konsepsi kedudukan saksi dalam menciptakan peradilan pidana yang bebas korupsi?
II. Pembahasan 2.1 Kedudukan Saksi Pada Peraturan Perundang-Undangan Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti pada urutan pertama untuk menunjukkan peran saksi sangat penting. Keterangan beberapa orang saksi bisa meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi seperti dakwaan jaksa, atau sebaliknya menguatkan alibi terdakwa. Dalam UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) berlaku, saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 1 juga menyatakan hal yang sama. Keterangan saksi dalam posisi sebagai alat bukti, dikeluarkan/diproduksi atau setidaknya didaur ulang atas ingatan seseorang sebagai subyek hukum. Sebagai seorang (manusia) penyandang hak dan kewajiban, saksi juga tidak lepas dari kepentingan. Sebagaimana ditekankan oleh Wirjono Projodikoro bahwa seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seolah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar.
~ 44 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
Seseorang saksi harus menceritakan hal yang sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya.4 Sehingga terdapat ambiguitas saksi sebagai alat bukti. Ia dapat menerangkan secara aktif disisi lain ia memiliki interest/kepentingan. Maka untuk menjamin kebenaran keterangan saksi tersebut, saksi harus dijamin keobyektifannya, netral dari tekanan apapun, baik tekanan dari kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan, tekanan dari kepentingannnya sendiri juga. Untuk menjamin kebenaran dari keterangan saksi maka perlu diciptakan untuk mencapai kebenaran keterangan tersebut. Kehadiran dan pemanggilan yang masih sangat tergantung pada kepentingan jaksa dan terdakwa ini sangat melemahkan dari semangat mempublikkan urusan individu dalam perkara pidana. Bahwa kerugian dan hak untuk menuntut yang semula merupakan hak pribadi di publikkan menjadi kepentiangan umum dan karenanya organ negara yang berhak untuk menuntutnya. Kenyataanya dalam praktek peradilan pidana saksi belum dapat secara penuh memberikan keterangannya guna mengungkap kebenaran materiil secara aman, tidak tertekan dan terlindungi dari serangan balik hukum. Lebih dari itu saksi juga tidak memiliki hak untuk menyampaikan keterangan dengan tidak berposisi, baik berposisi sebagai a charge ataupun a de charge. Saksi hanya dimungkinkan menyampaikan keterangan dengan berposisi pada kedua kepentingan tersebut. Pandangan yang tidak obyektif dari penegak hukum mulai dari penyidik dan penuntut umum tersebut dalam mencarai kebenaran akan berimplikasi pada: 1. Memperlakukan alat bukti akan bias perspektifnya sendiri yang subyektif. 2. Posisi hakim yang dituntut menilai secara obyektif dari proses yang telah dilakukan secara subyektif akan kesulitan dari proses awal telah subyektif. Dalam pandangan tersebut sangat sulit dibayangkan akan terungkap kebenaran materiil selama penegak hukumnya secara teoritis dibenaknnya seakan dijustifikasi untuk bertindak secara subyektif. Kebenaran materiil yang merupakan prasyarat keadilan, hanya akan tercapai jika penegak hukum obyektif (imparsial) dalam melakukan tugas penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan. Jika perspektif dan perlakuaanya sudah tidak obyektif sangat sulit dibayangkan akan tercapai kebenaran materiil, dukungan alat bukti yang 4
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, PT. Sumur, Bandung, 1970, hal. 7.
~ 45 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
netral dan obyektif pun ketika dipandang secara subyektif dan bias kepentingan akan sulit dipertahankan kebenaran alat bukti tersebut atau bahkan akan dibawa dalam perpektif penegak hukum yang tidak obyektif. Obyektifitas penegak hukum tidak saja hakim, melainkan seluruh penegak hukum sebagai struktur peradilan pidana, termasuk penyidik, penuntut umum bahkan juga termasuk Advokat tersangka sendiri pun. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 UU no 18 tahun 2003 tentang Advokat menyatakan (1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan. Dalam Undang-undang ini ditegaskan bahwa advokat adalah bagian dari penegak hukum untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.5 Sehingga walaupun bekerja untuk kliennya (tersangka) advokat terikat pada tujuan menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia, tidak benar lagi jika beranggapan advokat hanya untuk kepentingan kliennya saja.
2.2 Konsep Kedudukan Saksi pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang akan Datang 2.2.1
Saksi sebagai Subyek Hukum Dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment 1984, konsep perlindungan bagi saksi yang didasarkan atas kedudukannnya sebagai subyek penyandang hak dan kewajiban sejalan dengan landasan perlindungan saksi yang didasarkan atas Penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia sebagaimana diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Inilah awal dari landasan perlindungan saksi termasuk pelapor dan saksi fakta untuk mendapatkan jaminan dari negara dari berupa;
5
a.
Hak melaporkan;
b.
Hak untuk penanganannya didahulukan;
c.
Hak untuk diperlakukan secara adil/tidak memihak;
Konsideran butir kedua UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
~ 46 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
d.
Hak perlindungan dari perlakuan buruk atau intimidasi.
Urgensi akan perlindungan terhadap saksi didorong sebagai sebuah kesadaran akan penghormatan hak-hak dasar manusia bagi pelapor dan saksi dari perbuatan intimidasi yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Sehingga dasar perlindungan terhadap saksi lahir dari konsep HAM dan bukan dari kebutuhan akan proses hukum pada keberadaan saksi.
2.2.2
Penguatan Saksi sebagai Bentuk Partisipasi Warga Negara dalam Peradilan Pidana Dalam peraturan perundang-undang sangat tegas dinyatakan bahwa partispasi
masyarakat salah satunya adalah dalam bentuk memberikan laporan, meminta informasi perkembangan kasus dan juga untuk bertindak sebagai saksi dalam persidangan. Sehingga secara hukum kapasita seorang warga negara dalam bersaksi dipersidangan dalam beberapa peraturan perundang-undangan ditempatkan sebagai partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Misalnya dalam: a.
UU Nomor 28 tahun 1999 tentang pemerintahan bersih bebas KKN.
b.
UU Nomor 31 tahun 1999 jo. 20 tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.
UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian .
d.
UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
e.
UU Nomor 14 tahun 2008 Kebebasan Informasi Publik.
f.
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
g.
UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika.
h.
UU Nomor 8 /2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam berbagai peraturan diatas partipasi warganeagara adalah dalam bentuk memberikan laporan terhadap penegak hukum maupun menjadi saksi dalam persidangan. Sehingga keberadaan saksi dalam sistem peradilan pidana sudah diakui secara normatif dalam peraturan perundang-undangan kita sebagai bentuk partispasi warga negara dalam penegakan hukum.
~ 47 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
Bentuk partisipasi dalam praktek sistem peradilan pidana sangat beragam. Namun dalam garis besarnya secara umum di belahan negara Eropa dalam kajian Theo de Roos melihat bentuk-bentuk variasi partisipasi masyarakat tersebut menjadi tiga model: a.
model Anglo-Saxon (terdiri dari Amerika Serikat dan Inggris),
b.
model assize (di sini Belgia dan Perancis bersama-sama dikategorikan berdasarkan prosedur co-keputusan antara juri dan hakim), dan
c.
model campuran pengadilan (seperti dalam kasus Jerman).
Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana sangat variatif. Jika diklasifikasikan dalam tahapan pemeriksaan persidangan, partisipasi masyarakat dapat dan dimungkinan dalam beberapa tahapan yaitu: 1.
pada saat mencari kebenaran fakta;
2.
pada saat menilai kebersalahan terdakwa;
3.
pada saat menentukan hukuman kepada terdakwa.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesungguhnya telah dimungkinkan bahwa hadirnya saksi tidak melalui pemanggilan pihak penyidik untuk memberikan kesaksian sebagaimana diatur dalam Pasal 62. Dalam hal saksi atau ahli bersedia hadir untuk memberikan keterangan tanpa surat panggilan, surat panggilan dapat dibuat dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi atau ahli, sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan. Namun ketetuan tersebut masih tetap dalam perspektif perlunya surat panggilan, artinya walau kehadiran saksi atas inisiatif sendiri dengan tanpa surat panggilan penyidik, kehadiran saksi dimaksud tetap dibuatkan surat panggilan oleh penyidik. Hal ini akan memposisikan saksi dimaksud pada posisi atas panggilan penyidik sehingga seakan merepresentasi kepentingan penyidik. Bagaimanapun kondisi ini belum memberikan iklim tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum secara lebih obyektif. Konsep ini juga sesuai dengan apa yang telah diatur dengan hak prosedural yang dimiliki oleh saksi dalam sistem peradilan pidana (SPP) Inggris. Partisipasi saksi dalam sistem peradilan yang lebih maju dengan pengakuan hak untuk turut mempengaruhi proses peradilan pidana adalah di Inggris. Sebagaimana diuraikan diatas bahwa Saksi yang diajukan oleh jaksa maupun oleh terdakwa dapat menyatakan pendapatnya jika jaksa
~ 48 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
ataupun terdakwa menyatakan banding atas putusan hakim. Hak saki tersebut sebagaimana dinyatakan bahwa: If you are a prosecution witness, your Witness Care Unit will notify you of any appeal against a conviction or sentence and inform you of the outcome passed on appeal. If you are a defence witness, the defence lawyer will seek to notify you as far as their professional rules allow. The prosecution may ask the Attorney General to review a sentence that they consider to be unduly lenient. If the prosecution decides not to refer a case, having been requested to do so, they will write to the relevant person (or persons) informing them of that decision. Witnesses and any other interested parties are entitled to approach the Attorney General direct, within 28 days of the sentence, setting out the reasons why they think the sentence should be reviewed. 6 Dalam pandangan penulis dapat dikemukakan beberapa perspekti, yaitu: (1) saksi merupakan warga negara sebagai subyek hukum pemangku hak dan kewajiban; (2) saksi dapat merepresentasi partispasi warga negara untuk menegakkan kebenaran; dan (3) dalam praktek peradilan dinegara Inggris terdapat hak-hak prosedural yang telah diberikan kepada saksi. Dengan perspektif demikian maka selayaknya saksi dikuatkan menjadi subsistem dalam sistem peradilan pidana, tidak lagi hanya sebagai alat bukti yang bersifat supporting sistem dalam sistem peradilan pidana.
2.2.3
Dari Ancaman Pidana Menuju Penghargaan Dengan mendudukan saksi sebagai partisipasi warga negara pendekatan yang
layak diambil adalah pemberian penghargaan dan bukan ancaman pidana. Pengampunan yang diperdebatkan dalam pembahasana Undang Undang Perlindungan saksi dan korban akan mendapat landasan yuridis yang kuat. Bahwa terhadap saksi yang memberikan keterangan saksi membongkar tindak pidana berkonsekwensi sebagai perbuatan yang perlu diberi penghargaan. Namun dalam kondisi ternyata saksi yang memberikan keterangan tersebut
juga sebagai pelaku. Maka penghargaan yang ia
berhak peroleh atas partisipasinya memberikan kesaksian tersebut dapat dipertukarkan atau
dikonversikan
dengan
ancaman
pidana
yang
selayaknya
juga
ia
pertanggungjawabkan . 6
The Witness Charter Standards of Care for Witnesses in the Criminal Justice System. Dikutip dari http://www.cps.gov.uk/legal/v_to_z/witness_charter_cps_guidance/#Toc194480764
~ 49 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
Padahal jika saksi diposiskan dengan landasan logika yuridis bahwa atas saksi yang juga pelaku saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak lebih terhormat sesuai kapasitas saksi, dibandingkan dengan perspektif sebagai umpan. Konsep “melepas teri menangkap kakap”, -- sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Haris Samendawai dan Denny Idrayana -- konsep ini yang menjadi landasan pengaturan perlindungan bagi whistleblower di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Konsep melepas teri menangkap kakap ini sesungguhnya tidak dilandasi oleh pemikiran dan landasan yuridis. Ia hanya diletakkan pada perhitungan untung rugi yang sangat matematis atau boleh dikata ekonomis. Atas dasar perhitungan kerugian yang bisa dihindari dengan melepas seseorang yang bersalah karena itu perlu di-sah-kan untuk melepaskan seseorang pelaku tersebut. Ini hanya bisa dibenarkan dalam filsafat pragmatisme hukum, yakni yang mengedepankan konsep kemanfaatan dari pada keadilan hukum.
III. Penutup 3.1 Kesimpulan Penelitian terhadap kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana ini telah menyampaikan kita pada kesimpulan bahwa: 1. Saksi kedudukannya dalam sistem peradilan pidana hanyalah sebagai alat bukti, keterangan dari saksi yaitu keterangan saksi merupakan salah satu dari alat bukti. Sebagai alat bukti, keterangan saksi akan diajukan oleh para pihak (jaksa atau terdawkawa) untuk membuktikan kebenaran dalilnya. Saksi tidak dilihat sebagai subyek hukum yang memangku kepentingannya sebagai bagian dari masyarakat. Penempatan kedudukan saksi untuk mengungkap Kebenaran keterangan tidak saja dilahirkan dari kewajibannya sebagai alat bukti, semestinya dari kedudukan hukumnya sebagai bagian dari masyarakat yang berhak berpartisipasi dalam sistem peradilan pidana. 2. Konsep kedudukan saksi kedepan untuk menemukan kebenaran materiil. a. Saksi sebagai supporting sistem peradilan pidana harus diwujudkan dengan memberikan hak prosedural kepada saksi untuk memberikan keterangan saksi walaupun tidak diminta oleh para pihak yang berkepentingan.
~ 50 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
b. Pendekatan bagi saksi diubah dari ancaman sanksi pidana menuju penghargaan. Sehingga bagi seorang saksi yang juga tersangka (whistleblower/justice collaborator) antara saksi pidana yang seharusnya ia tanggung dapat dipertukarkan dengan penghargaan yang seharusnya ia terima. Hal ini dapat dijadikan landasan yuridis untuk memberikan pembebasan bagi saksi yang juga tersangka. Berbeda dengan konsep protection of cooperating person di amerika yang dilandasi atas konsep “melepas teri untuk menagkap kakap”, yang memandang tersangka sebagai umpan dalam pengungkapan kasus lainya. Bagi negara Pancasila yang berketuhanan dan ber peri kemanusiaan pandangan yang demikian sangat tidak manusiawi.
3.2 Saran 1. Perlu harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk menghindari konfigurasi spirit hukum dan norma pengaturannya mengenai saksi yang timbul akibat jauhnya rentang kelahiran / pembuatan peraturan perundangundangan mengenai saksi tersebut. Baik norma materiil juga norma formilnya, sehingga diharapkan dapat merubah perspektif dan perlakuan terhadap saksi. 2. Perlu perubahan segera terhadap KUHP, KUHAP, UU Perlindungan saksi dan korban serta peraturan lainnya terkait sistem peradilan pidana yang menempatkan saksi sebagai supporting sisten menuju peran serta masyarakat. Perubahan yang telah dikonsepkan dalam RUU KUHP, RUU KUHAP, RUU perubahan Perlindungan saksi dan korban, kearah saksi dalam perspektif partipasi warganegara dalam penegakan hukum.
~ 51 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
Daftar Pustaka
Davies, Croall and Tyrer, CriminalJustice: An Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, Second Edition, Longman, London and New York, 1988. Friedman Lawrence M, Law and Society an Introduction, Prentice Hall, New Jersly, 1977. Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH & Rekan, Jakarta, 2006. Jeron Chorus, Introduction to Judge Law, third revised edition, Kluwer Law International, The Hague Netherlands, 1999. Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010. Kessel Gordon Van, Adversary Excesses in the American Ciminal Trial, Notre Dame Law Review, 1992. Lord Sankey dalam Beverley McLachin, Court, Transperancy and Public Confidence to The Better Administration of Justice, Makalah, 16 April 2003. Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1991. Madlener, Kurt, The Protection Of Human Rights In The Criminal Procedure Of The Federal Republic of German, dalam J.A Andrews, editor, Human Rights In Criminal Procedure, Comparative Sudy, Martinus Nijhoff Publisher, The Hague/Boston/London, 1982. Michael King, The Frame Of Criminal Justice, Croom Helm, London, 1981. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Muladi dan Barda nawawi Arif, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1998. Muladi, Lembaga Pidana Brsyarat, Alumni, Bandung, 1985. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta, 1996. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010. Roucek Josep S and Ronald L Warren, Sociologi, an Introduction, Littlefioeld, Adam & Co, Ne Jersey, 1964. R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (prosedur penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP bagi penegak hukum), Politea, Bogor , 1982.
~ 52 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana Di Indonesia, PT Sumur, Bandung 1970. Stephen C. Thaman, Comparative Criminal Procedure a Casebook Approach, Carolina Academic Press, Durham North Carolina, 2002. S. R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Petahaem, 1996. Sunarjo Wreksosuharjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, Andi, Yogyakarta, 2001. Thaman Stephen C., Comparative Criminal Procedure a Casebook Approach, Carolina Academic Press, Durham North Carolina, 2002. Tjokroamidjojo, H. Bintoro, Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance Dan Perwujudan Masyarakat Madani, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2002.
~ 53 ~
Jurnal ANTI KORUPSI – Vol. 2 No. 2 Nopember 2012 – PUKAT FHUJ
~ 54 ~