KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
UUF ROUF NIM : 1612048000006
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H / 2014 M
KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S.H)
Oleh: Uuf Rouf NIM : 1612048000006
Dibawah Bimbingan
Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, Januari 2014
UUF ROUF
ABSTRAK UUF ROUF. 161248000006. Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama. Program Double Degree Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 97 Berbagai kasus serius dan terorganisir, seperti korupsi misalnya menyebabkan dampak negatif dalam berbagai sektor. Permasalahan tersebut mebutuhkan suatu solusi jitu untuk pencegahan dan pemberantasannya, yaitu dengan cara mengikut sertakan pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Namun keadaan saat ini menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum maksimal. Oleh karenanya penulis akan mengkaji kebijakan legislatif yang ideal tentang perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator). Tujuan penulisan penelitian ini adalah bagaimana mengetahui subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan legislatif perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, baik hukum ynag berlaku sekarang (ius contitutum) maupun hukum yang dicita-citakan (ius contituendum) melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang diperoleh keudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan whistle blower dan justice collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran bagi Indonesia. Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum menghapuskan tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator, dampaknya adalah para whistle blower dan justice collaborator tidak mendapat perlindungan oleh hukum sehingga turut dijadikan tersangka dalam kasus yang dilaporkannya. Dalam konsep keadilan restoratif tidak mengenal metode pembalasan, akan tetapi lebih menitikberatkan pada pemulihan. Kontribusi whistle blower dan justice collaborator dalam mengungkap kasus tindak pidana serius dan terorganisir membedakannya dengan kasus biasa, sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Kebijakan teknis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator meliputi: kualifikasi dan syarat perlindungan hukum, jenis perlindungan hukum, model perlindungan kolaboratif, model perlindungan komprehensif, putusan yang bersifat integratif dan pembebasan bersyarat. Kata kunci Pembimbing Daftar Pustaka
: Whistle Blower, Justice Collaborator, Restorative Justice : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si : Tahun 1959 s.d Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PELAPOR
TINDAK
PERLINDUNGAN PIDANA
DAN
HUKUM SAKSI
TERHADAP
PELAKU
YANG
BEKERJASAMA”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag.,M.A., dan Bapak Ismail Hasani, S.H., M.H., selaku ketua dan sekretaris Program Studi Double Degree Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai. 4. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H sebagai penguji I dan bapak Dedi Nursyamsi, S.H., M.Hum sebagai penguji II, penulis ucapkan terima kasih atas perbaikan dan saran-saran yang membangun atas skripsi penulis. 5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 6. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Program Double Degree Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
yang telah banyak memberikan ilmu yang
bermanfaat kepada penulis. 7. Ayahanda tercinta yang telah tiada KH. Abdul Mu’thi, semoga arwah ayahanda berada di surga Jannah an-Nai’m “Allahumaj’al Qabrahu Raudhah Min Riyadil Jinan Wa La Taj’al Qabrahu Hufrah Min Hifarin Niran”, dan Ibunda tercinta Siti Aisyah, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud abdiku kepada Ibunda atas doa dan pengorbanannya selama ini “Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”. Kepada tetehku Aam Muthmainnah, adik-adikku tercinta Harun, Kimah, Neneng, Ilham, Hamdun, Husnul, Lukman, Hafidh, dan Ridwan kalian adalah motivasi dan inspirasiku.
vii
8. Om Johar, Om Samiin, kakak ipar Kholid, dan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Raudhatul Mubtadiin, terimakasih atas wejangan dan inspirasinya. Tidak lupa pula untuk guruku sekaligus Om Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, BA, Drs. Lc, MA, terima kasih atas petuah dan bantuannya baik moril maupun materiil, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan di murahkan rizkinya. 9. Teman-teman seperjuangan jurusan Peradilan Agama kelas (A) angkatan 2009, terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. 10. Sahabat karibku Helmi, Farhan, Asep, Fajar, Waisul, Ihsan, Didin, Adi, Andre, Nisa, Dewi, terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi. 11. Especially Listiani Fansela, seorang yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan dalam bidang hukum pada masa-masa berikutnya, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era globalisasi ini. Jakarta, 30 Januari 2014
Penulis viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .........................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PANITIAN UJIAN ......................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................................iv ABSTRAK ........................................................................................................................ v KATA PENGANTAR ......................................................................................................vi DAFTAR ISI .....................................................................................................................ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Pembatasan Masalah .................................................................................... 6 C. Rumusan Masalah........................................................................................ 7 D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7 E. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 8 F. Metode Penelitian ........................................................................................ 9 G. Kerangka Teori ........................................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan ................................................................................. 16
BAB II
Tinjauan Teoretik Kebijakan Legislatif, dan Perlindungan Pelapor Tindak Pidana serta Saksi Pelaku Yang Bekerjasama A. Kebijakan Hukum Pidana dan Kebijakan Legislatif .................................. 18 B. Bentuk-Bentuk Keadilan ............................................................................ 25 C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir ........................... 41 ix
D. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana .......................................... 44 E. Perlindungan Hukum Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ............................. 49 BAB III Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Sebagai Kebijakan Legislatif A. Pengertian Perlindungan Hukum ................................................................ 55 B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006 ....... 57 C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama................................................................................................ 59 BAB IV Analisis Kebijakan Legislatif Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ................................................................ 67 B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 72 C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ......................................................................... 74 BAB V
Penutup A. Kesimpulan ................................................................................................. 89 B. Saran-saran ................................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 91
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, yang dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimuatnya konsep negara hukum dalam konstitusi negara Indonesia yang merupakan sumber dari segala norma, menunjukkan bahwa Indonesia ingin menjadikan hukum sebagai panglima di negaranya. Namun pada kenyataannya, apa yang di idealkan (das sollen) tidak selalu sesuai dengan realita yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Tingkat kejahatan tindak pidana serius dan terorganisir di Indonesia selama dekade terakhir ini sangat memprihatinkan, misalnya tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan lain sebagainya. Pada tahun 2012 saja, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara paling korup dari 182 negara.1 Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak berubah dari tahun ke tahun. Peningkatan korupsi di Indonesia kini tidak hanya terjadi dari segi kuantitas, namun kualitas korupsi di Indonesia juga semakin
1
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2012, Artikel diakses pada tanggal 30 Nopember 2013 dari http://cpi.transparency.org/cpi2012/results/
1
2
meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa bahaya laten korupsi telah menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri. Korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan para aparat penegak hukum.2 Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi dan golongan. Salah satu upaya revolusioner menanggulangi tindak pidana serius dan terorganisir adalah dengan melibatkan peran pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Whistle blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan orang yang mengungkapkan pelanggaran atau kejahatan yang turut dilakukannya. Di Indonesia hakikat whistle blower dan justice collaborator sekilas secara parsial telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama lima penegak hukum.
2
Mahfud Md., Pemberantasan Mafia Peradilan, Artikel diakses pada tanggal 30 Nopember 2013 dari http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahVisit&id=25
3
Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, whistle blower dan justice collaborator belum mendapatkan perlindungan hukum
yang maksimal.
Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan
menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang
berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor dan bekerjasama. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus serius dan terorganisir. Kebijakan
legislasi
pada
prinsipnya
merupakan
kebijakan
yang
menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Oleh karenanya kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan legislasi tersebut, maka perlu adanya alternatif cara pandang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan masalah hukum yang ada saat ini. Perubahan paradigma ini menjadi penting mengingat perkembangan pemikiran hukum, khususnya pemikiran hukum pidana telah mengalami kemajuan ke arah pemikiran hukum modern. Fenomena ini berangkat dari asumsi dasar bahwa konsep keadilan klasik dalam penegakan hukum khususnya hukum pidana tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga dibutuhkan konsep keadilan yang dapat menjadi alternatif, salah satu konsep keadilan tersebut adalah konsep keadilan restoratif (restorative justice).
4
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat, pelaku dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.3 Lahirnya undang-undang kebijakan yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku (justice collaborator) dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia). Untuk kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia (1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Prancis (1986) dan Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970), Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti supergrasses (Irlandia), pentiti atau pentito (Italia) yang berarti mereka telah bertobat atau disebut Collaboratore della giustizia.
3
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h. 65. Lihat juga Bismar Siregar, Rasa Keadilan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996), h. 50. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428
5
Pada asasnya, whistle blower dan juga justice collaborator dapat berperan besar
untuk
mengungkapkan
praktik-praktik
koruptif
lembaga
publik,
pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris Semendawai dan kawan- kawan sebagai berikut:4 “Peran whistle blower di Indonesia perlu terus didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik diperusahaan, lembaga pemerintah, dam isntitusi publik lain. Bagaimana peran whistle blower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun praktik pelaporan dan perlindungan terhadap whistle blower bukan tanpa tantangan. Di tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistle blower dapat terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistle blower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistle blower dapat berjalan lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya”. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa peran whistle blower dan justice collaborator sangat penting, namun perlindungan hukum terhadap mereka masih sangat lemah, oleh sebab itu penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan pengaturan perlindungan dalam kebijakan legislatif hukum pidana. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk perumusan Undang-undang khusus tentang whistle blower dan justice collaborator, atau menjadi masukan revisi
4
Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, (Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011), h. xiv-xv
6
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013. Oleh karena itu upaya untuk memperjuangkan optimalisasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice callabolator dengan menggunakan pendekatan restorative justice ini harus dimaknai sebagai upaya refilosofi penegakan hukum pidana, atau dengan bahasa sederhana “kembali ke Khittoh” falsafah bangsa Indonesia yaitu musyawarah mufakat.5 Dalam konteks inilah penulisan penelitian skripsi ini penulis angkat dalam judul “Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama”.
B. Pembatasan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah masalah kebijakan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini adalah pendekatan yang berorientasi pada kebijakan. Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi pembahasan hanya
5
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990), p. 181. Dalam Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188
7
dalam ruang lingkup penelitian terhadap subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan legislatif perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator, berupa Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas, dalam penelitian skripsi ini dapat rumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut: 1. Bagaimana kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban? 2. Bagaimanakah konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice?
D. Tujuan Penelitian Dengan adanya rumusan masalah di atas, diharapkan adanya suatu kejelasan yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undangundang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
8
2. Untuk mengetahui konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice.
E. Manfaat Penelitian Terkait dengan tujuan di atas, maka penulisan penelitian skripsi
ini
diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut : 1. Sudut pandang teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan sebuah sumbangan pemikiran dan sekaligus memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia yang berorientasi pada keadilan restoratif. 2. Dalam sudut pandang praktis, hasil penulisan penelitian skripsi ini diharapkan memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi dalam memperbaharui membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice. 3. Bagi Masyarakat Akademis diaharapkan penelitian skripsi ini merupakan sumber referensi dan saran pemikiran bagi kalangan akademisi dan praktisi hukum di dalam menunjang penelitian selanjutnya yang akan bermanfaat sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
9
F. Metodologi Penelitian Setiap penelitian ilmiah memiliki metode pendekatan penelitian.6 Penelitian mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan hokum terhadap whistle blower dan justice collaborator ini menggunakan penelitian hukum normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical and Conceptual Approach), dan pendekatan persepsional (perceptional approach) dengan menggunakan penalaran deduktif dan/atau induktif guna mendapatkan dan menemukan kebenaran obyektif. Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Adapun sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library reserach) terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 7 1) Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records), berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. 2) Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan
6
Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997), h.1. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h.144 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13
10
hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya. 3) Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya. Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan.8 Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asasasas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Data kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan terhadap hukum whistle blower dan justice collaborator. Adapun lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Universitas Indonesia, Perpustakan Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam penelitian ini. Sebagai akhir dari pengolahan data, data primair dan data sekunder yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan 8
Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51
11
yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap isi maupun struktur hukum positif yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dalam perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator. Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.9 Data yang telah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan
selanjutnya
disistematisasi,
dieksplanasi,
dan
diberikan
argumentasi. Langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Sedangkan pada tahap argumentasi diberikan penilaian terhadap data dari hasil penelitian ini untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Oleh karena itu, metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif itu sangat membantu
9
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 20. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 77. Lihat juga lihat juga Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h. 22
12
dalam proses memilih, mengelompokkan, membandingkan, mensintesakan, dan menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.10
G. Kerangka Teori Pada hakikatnya Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.11 Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara. Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.12 Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan fodasi pentingnya, yaitu keadilan, kebenaran, hukum dan moral. Akan tetapi dari keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani yaitu Plato, keadilan
10
Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h. 22. Lihat juga Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), h.54. 11 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h.297. 12 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: UII Press, 2003), h.238
13
merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato: “justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues”.13 Dalam konteks kebijakan legislatif, amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah bergesernya kekuasaan membentuk undangundang dari Presiden ke DPR sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Berbicara mengenai kebijakan legislatif maka tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan politik hukum nasional, dimana kerangka pikir terhadap kebijakan legislatif merupakan wujud dari penguatan politik hukum nasional itu sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan defenisi politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu, yang meliputi:14 a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten. b. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuanketentuan yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan
13
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h.52. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), h.6 14 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 31.
14
hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya. d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan. Defenisi politik hukum diatas merupakan defenisi politik hukum yang paling komprehensif, disebabkan karena mencakup keseluruhan wilayah kerja politik hukum yang meliputi:15 a. Teritorial berlakunya politik hukum. b. Proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, maka menurut Sudarto, politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. 16 Sehingga dalam melaksanakan politik hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan perundang-
15
Ibid, h. 32 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13. Lihat juga M. arif Amrullah, Politik Hukum Pidana; Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 18 16
15
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat udang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).17 Kebijakan legislatif adalah tahap yang sangat penting dalam sutau proses pembuatan undang-undang, agar hukum senantiasa tidak tertatih-tatih mengejar perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang disertai dengan perubahan informasi dan kecanggihan teknologi, maka kebijakan legislatif yang tercermin dalam kebijakan program legislasi nasional tidak hanya dijadikan persoalan politik yang menentukan arah pelaksanaan kekuasaan negara oleh eksekutif dan legislatif, akan tetapi keputusan penentuan kebijakan legislasi harus berdasarkan pada kepentingan umum yang berlandaskan hati nurani rakyat. Terdapat dua konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice). Kedua konsep ini memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep dasar dalam hukum pidana (formil dan materiil) dan penyelenggaraan peradilan
17
M. Arif Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering), Bayumedia Publishing, 2004), h. 81
(Malang:
16
pidana.18 Secara filosofis, pentingnya kebijakan legislatif dalam perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator telah melahirkan pergeseran perspektif, dari perspektif retributive justice kepada restorative justice. Penyelesaian perkara pidana dalam perspektif restorative justice ini dapat memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan dan hak asasi manusia baik dari pelaku maupun korban juga masyarakat, sehingga implikasinya perbaikan situasi dan kondisi (harmonisasi) pasca terjadinya kejahatan dapat terwujud. Dengan demikian pendekatan restorative justice ini dapat digunakan sebagai solusi optimalisasi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana.
H. Sistematika Penulisan Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi penelitian tentang kebijakan legislative perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator, maka penulis memberikan sistematika penulisan yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi lima bab, disusun sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.
18
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 157
17
Bab II Tinjauan teoretik kebijakan legislatif,
dan perlindungan pelapor
tindak pidana serta saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam bab ini menjelaskan tentang kebijakan hukum pidana dan kebijakan legislatif, kebijakan penggunaan hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana serius dan terorganisir, perlindungan pelapor tindak pidana, dan perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama. Bab III Perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sebagai kebijakan legislatif, dalam bab ini menguraikan tentang pengertian perlindungan hukum, latar belakang dan sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006, dan perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Bab IV Analisis
kebijakan
legislatif perlindungan
hukum pelapor
tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bab ini menjelaskan tentang pentingnya perlindungan khusus terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bentuk kebijakan legislatif dalam membuat undang-undang yang mengatur perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, dan konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. Bab V Penutup, Bab ini menguraikan mengenai hasil penelitian berupa simpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN TEORETIK KEBIJAKAN LEGISLATIF, DAN PELAPOR TINDAK PIDANA SERTA SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
A. Kebijakan Legislatif dan Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan Legislatif terdiri dari dua susunan kata, yaitu Kebijakan dan Legislatif. Kebijakan secara etimologi mempunyai beberapa arti seperti kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. 1 Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.2 Sedangkan istilah legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu Legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan. Sebutan lain
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 115 2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 20
18
19
mengutamakan
representasi
atau
keterwakilan
anggota-anggotanya
dan
dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.3 Kebijakan legislatif menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dengan menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau di programkan itu.4 Terlepas dari pengertian kebijakan telah penulis jelaskan diatas, dalam konteks kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal lawl policy, atau strafrechtspolitiek. Oleh karena itu, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.5 Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan. 3
Ibid, h. 315 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996), Cet. II, h. 59 5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 24 4
20
Apa yang disebut sebagai kejahatan juga mengalami pergeseran. Munculnya istilah kriminalisasi dan dekriminalisasi menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori jahat dan tidak jahat itu tidak statis. Suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam dengan
pidana
dalam
undang-undang
disebut
kriminalisasi,
sedangkan
dekriminalisasi adalah dihilangkannya sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.6 Dewasa ini muncul istilah white collar crime (korupsi), money laundering (pencucian uang), terorisme, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa lalu. Kondisi dan perubahan ekonomi dapat menyebabkan munculnya kejahatan baru. Kejahatan merupakan sebagian perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.7 Kejahatan juga merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita.8 Perbuatan anti sosial itu merupakan bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku yang menyimpang merupakan ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.9
6
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), (Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 57 7 Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, (Jakarta: Pembangunan, 1970), h. 10 8 Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981), h. 21 9 Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 56
21
Berbicara tentang masalah politik hukum pidana, maka akan terkait dengan politik hukum dan politik kriminal. Menurut Utrecht, politik adalah suatu jalan (kemungkinan) untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.10 Sedangkan politik menurut Logemann adalah memilih beberapa macam cita-cita sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai citacita. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik dalam dua pengertian, yaitu politik sebagai etika dan politik sebagai tehnik. Politik sebagai etika, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang harus harus diperjuangkan, dan Politik sebagai tehnik berarti politik memilih dan menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuantujuan sosial.11 Bagaimana hubungan antara politik dan hukum? Dal konteks ini, Mahfud MD berpendapat bahwa, hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh).12 Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
10
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1962), h. 127 11 Ibid, h. 127 12 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 1-2
22
Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sub sistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut : 13 1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. 2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :14 a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi
13
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 20 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), h. 113-114 14
23
c. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan
dan
badan-badan
resmi
yang
bertujuan
untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, menurut Sudarto politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat di hormati.15 Di dalam wacana teori hukum pidana, subtansi kebijakan formulatif (kebijakan legislatif) bertitik tolak dari tiga pilar, yaitu : Berkaitan dengan masalah tindak pidana (kriminalisasi), masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan pemidanaan.16 Tiga hal tersebut tiada lain merupakan bagian dari politik kriminal, dalam kewenangan menetapkan hukum pidana ini banyak ditentukan maupun dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor politik, budaya, ekonomi maupun tujuan nasional pada umumnya. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan 15
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 23. Lihat juga Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13 16 M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 12
24
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.17 Oleh karena itu, apabila mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional. Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement policy, pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan dapat memberikan pedoman
kepada
pembuat undang-undang
(kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana. Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi menurut Barda Nawawi Arief merupakan
tahap
yang
paling
strategis
dari
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada tahap aplikasi dan eksekusi. 18
17 18
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 93 Ibid, h. 94
25
Oleh karena itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundangundangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undangundang mempunyai dua fungsi yaitu : ungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental. 19
B. Bentuk-Bentuk Keadilan Teori keadilan memiliki variasi bentuk. Adapun bentuk-bentuk yang paling umum dikenal di masyarakat adalah Utilitarian, Keadilan Retributif, Keadilan Restoratif, dan Keadilan Distributif. Masing-masing bentuk tersebut memiliki tokoh-tokoh yang berbeda sudut pandang dalam mendefinisikan keadilan. 1. Utilitarian Sudikno Mertokusumo menyebutkan:20
19
Ibid, h. 94 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta :Liberty, 2000), Edisi Kelima, Cet. I, h. 80. 20
26
“Teori utilistis yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menentukan bahwa hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number)”. Dengan demikian, menurut teori utilistis dalam pandangan Bentham, bahwa tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Lebih lanjut dijelaskan Rasjidi dan Thania bahwa: “Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.21 Menurut pandangan utilitarian, keadilan merupakan maksimalisasi kesejahteraan total atau setidaknya rata-rata bagi setiap individu yang bersangkutan. Hukuman merupakan perlakuan yang buruk terhadap seseorang, dan oleh karena itu tidak baik untuk diterapkan. Namun, hukuman mungkin diperlukan agar dapat memaksimalkan seluruh kebaikan dalam jangka panjang. 2. Keadilan Retributif Keadilan retributif adalah teori keadilan yang menganggap bahwa hukuman itu, jika proporsional, merupakan respons secara moral terhadap
21
Dewa Nyoman Nanta Wiranta, Faisal Abdullah dan Syamsul Bachri, Peran Hukum Terhadap Penanganan Aksi Kerusuhan Sengket aPemilihan Kepala Daerah di Porvinsi Maluku Utara. Suatu Kajian Perspektif Keadilan Restoratif, jurnal, diakses pada hari Jumat, 31 Januari 2014 melalui www.pasca.unhas.ac.id/jurnal/files.
27
kejahatan. Hal ini semata-mata demi kepuasan dan manfaat psikologis baik bagi pihak yang dirugikan (korban) maupun masyarakat. 3. Keadilan Distributif Prinsip-prinsip keadilan distributif merupakan prinsip-prinsip normatif dirancang untuk memandu alokasi manfaat dan beban kegiatan ekonomi. Prinsip yang relatif sederhana dari keadilan distributif adalah ketatnya egalitarianisme, yang menjadi pendukung alokasi material ke semua anggota masyarakat. John Rawls adalah salah satu tokoh penganut paham keadilan ini. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.22 Adapun teori bagi keadilan distributif ini dibagi lagi menjadi: teori egalitarianistis, teori sosialistis, teori liberalistis, dan keadilan sosial 4. Keadilan Restoratif Konsep
pendekatan
restorative
justice
merupakan
suatu
perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa Arab Purba, bangsa Yunani, dan bangsa
22
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), h. 239.
28
Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.23 Istilah umum tentang pendekatan restorative justice diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash. Dalam tulisannya yang mengulas tentang reparation dia mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.24 Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva Achjani
Zulfa
menyatakan
bahwa
restorative
justice
atau
sering
diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.25 Dalam kajian tatabahasa, kata “Restorative Justice” berasal dari dua kata, yaitu kata “Restorative” atau “Restore” yang artinya adalah memperbaiki atau memulihkan,26 dan kata “Justice” yang berarti keadilan, peradilan, adil, hakim.27
23
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 103 24 Ibid, h. 103 25 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH UI), h. 2 26 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 482 27 I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika, 2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Pblishing Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Lihat juga Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus InggrisIndonesia, h. 339
29
Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak para pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary” misalnya diartikan sebagai berikut : An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach, producing the least restrictive dis position while stressing the offender’s accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make restitution, to perform community service, or to make amends in some other way that the court order.28 Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi pelaku kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan, memenuhi kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti rugi), kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas keputusan pengadilan. Sedangkan menurut Dignan, restorative justice adalah :29 Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing
28
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 1992), h. 15 29
30
and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community. Menurut Dignan, restorative justice adalah merupakan suatu konsep kerja
untuk
menanggapi
kesalahan-kesalahan
dan
konflik
yang
penerimaannya sangat cepat dan didukung oleh hal-hal yang bersifat pendidikan, hukum, kerja sosial, dan konsultan profesional juga komunitaskomunitas. Restorative justice merupakan nilai dasar untuk pendekatan untuk menanggapi kesalahan-kesalahan dalam penanganan dan konflik, dengan fokus yang seimbang pada seseorang menderita (korban), orang- orang yang menyebabkan penderitaan (pelaku), dan komunitas (masyarakat). Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.30 PBB mendefinisikan restorative justice sebagai “a way of responding to criminal behavior by balancing the need of the community, the victims an the offenders”,31 intinya adalah sebuah penyelesaian terhadap prilaku pidana dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku.
30
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 3 Ibid, h. 4
31
31
Dapat disimpulkan, bahwa pengertian restoratif justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan yang lebih merujuk terhadap pencapaian keadilan yang menekankan pada pemulihan (to restore) atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan korban, pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang berkepentingan. Pemulihan tersebut bukan hanya kepada diri korban, tetapi juga terhadap pelaku dan masyarakat, dengan tujuan untuk mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa mendatang. Pada dasarnya, restorative justice sebagaimana telah disinggung dimuka bukanlah konsep yang baru. Eksistensinya sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun upaya penanganan perkara pidana, pendekatan restorative justice justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana, konsep restorative justice lahir dari nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini.32 Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949. Perkembangan ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology/
32
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010), h. 188
32
interactionist victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga berkembang pada tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin penelitian, dan tahap keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987 yang memperluas jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban pelanggaran HAM sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah.33 Wright mengatakan bahwa tujuan utama dari restorative justice adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. hal ini berarti bahwa proses penanggulanagan tindak pidana melalui pendekatan restorative justice adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang didalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat didalamnya. Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap terciptanya kesepakatan, akan tetapi pendekatan dimaksud harus mampu menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu
33
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 122
33
pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan bersifat mencegah.34 Oleh karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan restorative justice bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga bertujuan untuk mengurangi tindak pidana dan mencari sebab- sebab yang mendasari timbulnya tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian masyarakat atau pribadi lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak pidana dimaksud. Upaya restorative justice adalah upaya yang menggunakan keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan anatara para pihak yang terlibat. PBB mengemukakan beberapa prinsip yang mendasari program restorative justice, yaitu sebagai berikut : 1. That the response to crime should repair as much as possible the harm suffered by the victime, yaitu penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu tujuan utama manakala pendekatan restorative justice dipakai sebagai pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana.35 2. That offenders should be brought to understand that their behavior is not acceptable and that it had some real consequences for the victim and 34
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 107 35 Eva Achjani Zulva, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 15
34
community, yaitu pendekatan restorative justice dapat dilakukan hanya jika pelaku menyadari dan mengakui kesalahnnya. Dalam proses restoratif, diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut serta akibatnya bagi korban dan masyarakat.36 3. That offender can and should accept responsibility for their action, artinya ketika pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam pendekatan restorative justice, tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya.37 4. That victims should have an opportunity to express their needs and to participate in determining the best way for the offender to make reparation. Eva Achjani Zulfa
menyatakan bahwa prinsip ini terkait
dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice
membuka akses kepada korban untuk
berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Partisipasi korban tidak hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk
36 37
Ibid, h. 16 Ibid, h. 17
35
membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan pada prinsip yang kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial diantara keduanya.38 5. That the community has a responsibility to contribute to this process, artinya suatu uapaya restorative justice bukan hanya melibatkan korban dan pelaku saja, akan tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam melaksanakan hasil kesepakatan, maka dalam upaya restorative justice, masyarakat dapat berperan sebagai penyelenggara, pengamat maupun fasilitator. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat juga merupakan bagian dari korban yang harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses yang berjalan.39 Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat dalam konsep pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana antara lain sebagai berikut : 1. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process) Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh negara, kepada tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang
38 39
Ibid, h. 17 Ibid, h. 18
36
prosedural-prosedural perlindungan hukum tertentu ketika dihadapkan pada penuntutatan atau penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan bagi kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan penghukuman. 40 Diantara proteksi- proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima secara internasional dan termasuk gagasan due process adalah hak untuk diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk mendapatkan persidangan yang adil (fair) serta hak untuk mendapatkan bantuan penasihat hukum. Dalam proses penyelesaian restorative justice, batas formal selalu diberikan bagi tersangka setiap saat, baik selama dan setelah proses restorative agar hak terangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga. Namun demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restorative, maka kepada tersangka harus diberi tahu tentang implikasi keputusannya memilih intervensi restorative. Sebaiknya bila dalam putusan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice pelaku membebani tersangka terlalu berat, maka kepada pelaku diberi perlindungan tambahan, tersangka dapat diperbolehkan untuk
40
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 125
37
melakukan banding terhadap perjanjian apapun yang dicapai dalam proses restorative justice berdasarkan alasan tidak bersalah.41 2. Perlindungan yang Setara Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa, dan kedudukan sosial lainnya.42 Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan rasa keadilan diantara para partisipan yang berbeda- beda, karena dapat saja salah satu pihak mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik, sehingga akan terjadi suatu ketidaksetraan diantara para pihak yang berpartisipasi dalam suatu proses restorative justice. Seorang pihak yang tidak berdaya mempunyai potensi untuk menerima suatu perjanjian yang memberinya apa yang jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya dia dapatkan, sehingga dalam proses restorative justice diharapkan seorang mediator harus bersikap adil dan netral dalam membimbing proses mediasi untuk mencapai suatu negosiasi namun tidak juga menutup
41 42
Ibid, h. 126 Ibid, h. 128
38
kemungkinan mediator akan tergoda untuk mendukung posisi pihak yang lebih lemah atau yang lebih kuat.43 3. Hak- hak Korban Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restorative justice, hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan hukum dalam proses penyelesainya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya. ditengarai bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dan korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.44 Rowland berpendapat bahwa kepentingan- kepentingan korban sering bersimpangan dengan kepentingan- kepentingan negara. Para pendukung terhadap konsep perlindungan bagi hak- hak korban juga berpandangan adalah jelas tidak adil bagi korban bila negara lebih mengindahkan kebutuhankebutuhan material, psikologi, hukum bagi pelaku pelanggar, sementara negara tidak memberikan tanggungjawabnya atas kehidupan yang layak bagi korban. padahal tahap yang sangat mendasar dari proses penyelesaian masalah khususnya advokasi adalah korban harus memperoleh kedudukannya untuk berpartisipasi dalam proses, agar dapat melindungi kepentingan mereka,
43 44
Ibid, h. 129 Ibid, h. 130
39
termasuk hak untuk memberikan kesaksian (testimony) pada tahapan pemeriksaan kesalahan dan penjatuhan hukuman, hak untuk menerima pemulihan, hak untuk diberi informasi atas sidang-sidang pengadilan dan hak untuk diwakili oleh pengacara.45 4. Proporsionalitas Gagasan fairness didalam sistem restorative justice didasarkan pada konsensus
persetujuan
yang
memberikan
pilihan
alternatif
dalam
menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributif (keseimbangan timbal balik antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restorative justice dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama. Beberapa korban mungkin hanya menginginkan suatu permintaan maaf yang bersahaja, sementara korbankorban lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelanggar.46 5. Praduga tidak bersalah Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus
45 46
Ibid, h. 131 Ibid, h. 131
40
dianggap tidak bersalah. Dalam proses-proses restoratif, hak- hak tersangka mengenai praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu ; tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restorasi dan menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi proses formal dimana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang disepakati dalam proses restorative justice dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Advokat atau penasihat hukum harus disediakan setiap saat untuk memberikan informasi kepada tersangka atas implikasi keikutsertaannya dalam suatu proses restorative yang menegaskan bahwa keikutsertaan dalam proses restorative tidak boleh sebagai suatu pengakuan formal atas kesalahan, dan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam proses itu harus tidak dapat diterima dalam suatu pemeriksaan pengadilan formal.47 6. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum Dalam proses restorative justice, advokat atau penasihat hukum memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat hukum. Dalam semua tahapan proses informal yang restoratif, tersangka daat memberi
47
Ibid, h. 135
41
informasi melalui bantuan penasihat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.48 Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpastisipasi dalam sebuah proses restorative justice, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas namanya sendiri.
C. Kebijakan
Penggunaan
Hukum
Pidana
Dalam
Pencegahan
dan
Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir Kebijakan untuk melakuakan pencegahan dan penanggulanga kejahatan termasuk pada kebijakan kriminal (criminal policy).49 Penggunaan kebijakan hukum pidana merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan, namun kebijakan hukum pidana bukanlah satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, bahkan keberadaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan pernah menjadi perdebatan, ada yang tidak setuju ada juga yang setuju. Kebijakan dengan menggunakan hukum pidana ini harus memiliki pedoman pemidanaan, berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan dapat diartikan ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan berarti arah
48
Ibid, h. 136 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), h. 77 49
42
yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan pidana atau dapat diartikan juga maksud yang hendak didapatkan dari pemberian pidana/pemidanaan. Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare) Tokoh yang tetap mempertahankan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan antara lain Van Bammelen, Macx Ancel, Alf Ross dan Ruslan Saleh. Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat Roeslan Saleh, alasan masih diperlukannya hukum pidana adalah :50
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan maupun hasil yang akan dicapai semata-mata, tetapi juga harus dilihat seberapa jauh paksaan boleh dilakukan untuk mencapai tujuan itu serta harus dipertimbangkan pula antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masingmasing. Meskipun ada upaya perbaikan atau perawatan yang tidak berpengaruh sama sekali bagi si terhukum, namun tetap harus ada reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma. Dari pendapat di atas sangat jelas terlihat bahwa tujuan hukuman/
pemberian pidana adalah di samping untuk si penjahat itu sendiri tetapi juga untuk masyarakat secara umum agar taat terhadap norma hukum. Alasan lain ditetapkannya tujuan pemidanaan/ pemberian pidana adalah adanya keterbatasan dari sanksi pidana itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh H.L. Packer yaitu : “Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia 50
Ibid, h. 20-21
43
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apa bila digunakan secara sembarangan dan secara paksa “(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener)”.51 Pernyataan di atas secara implisit menyarankan agar tujuan pemidanaan ditetapkan sehingga pidana yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai penjamin terhadap tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk mencapai perlindungan dan kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai penjamin tidak terjadi penurunan derajat kemanusiaan/dehumanisasi dalam pelaksanaan pidana. Sedangkan pendapat yang tidak setuju, penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan telah menimbulkan berbagai kritik. Menurut Herbert L. Packer ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa terhadap pelaku kejahatan dan palanggar hukum pada umumnya tidak perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini pidana merupakan pengalaman kebiadaban masa lalu yang seharusnya dihindari. Pendapat demikian dapat dipahami, karena memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni penuh dengan gambaran-gambaran yang menurut ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. 52
51 52
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, h. 156 Ibid, h. 18
44
D. Perlindungan Pelapor Tindak Pidana 1. Pengertian Pelapor Tindak Pidana Pelapor tindak pidana dalam istilah hukum dikenal dengan whistle blower, dalam perspektif etimologis kata whistle blower berasal dari kata Whistle yang artinya peluit atau bunyi peluit, dan kata Blower yang artinya alat peniup atau tukang tiup.53
Whistle blower diartikan sebagai peniup peluit, saksi pelapor,
pengadu, pembocor rahasia, saksi pelaku yang bekerja sama, pemukul kentongan, dan pengungkap fakta.54 Secara terminologi, whistle blower ada beberapa pengertian mengenai hal ini, menurut Roberta Ann Johnson : 55 There is an agreed- upon four parts definition of whistle blower. Where four parts definition of whistle blower are : 1). An individual acts with the intention of making information public. 2). There information is conveyed to parties outside the organization who make it public and a part of public record. 3). The information has to do with possible or actual nontrivial wrongdoing in an organization, and 4). The person exposing the agency is not a journalist or ordinary citizen, but a member or former member of the organization. Berdasarkan pendapat Roberta Ann Johnson ada empat bagian dari pengertian whistle blower, yaitu : 1). Tindakan seseorang yang bertujuan untuk memberikan informasi bagi publik; 2). Informasi tersebut diberitahukan kepada pihak di luar organisasi yang akan mempublikasikan informasi tersebut dan merupakan bagian dari berita publik; 3). Informasi tersebut berhubungan dengan 53
Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005),
h. 71 54
Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, (Jakarta: ELSAM, 2006), h. 6. Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, (Colorado: Lynne Rienner, 2003), p. 3- 4 55
45
kemungkinan atau kepastian penyimpangan yang penting yang terjadi dalam sebuah organisasi; 4). Orang yang mengungkap adanya penyimpangan dalam organisasi tersebut bukan wartawan atau anggota masyarakat biasa, tetapi anggota atau karyawan dari organisasi tersebut. Menurut Mary Curtis, “whistle blower is one who reveals wrongdoing within an organization to the public, or to those in positions of authority”.56 Menurut Mary Curse bahwa whistle blower adalah seseorang yang mengungkap adanya penyimpangan yang terjadi dalam sebuah organisasi kepada publik atau kepada pihak yang berwenang. Menurut Geoffrey Hunt, “whistle blower is an employee who tells on an employer, because he or she believed that the employer committed an illegal act”.57 Dia menggambarkan bahwa whistle blower adalah seorang pegawai yang melaporkan seorang pegawai yang mempekerjaannya, karena ia yakin bahwa pegawai tersebut telah melakukan perbuatan yang ilegal. Pengertian whistle blower menurut PP No. 71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Dalam SEMA No. 04 Tahun 2011, secara jelas whistle blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan
56
Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and Responders, (Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006), p. 4 57 Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied Ethics, (California: Academic Press, 1998), p. 2
46
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.58 Namun demikian yang terjadi dalam praktiknya adalah kadang whistle blower juga terlibat dan memiliki peran yang kecil dalam kejahatan tersebut. Dari beberapa definisi tersebut, dapat di simpulkan bahwa whistle blower adalah seseorang pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan, mengetahui adanya kejahatan ataupun praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasi tersebut. Salah satu tokoh whistle blower yang populer adalah Dr. Jeffrey Wigand. Ia adalah mantan Wakil Presiden Research pada Brown and Williamson Tobacco di Amerika Serikat. Jeffrey dipecat karena mengungkap praktek manipulasi data nikotin pada rokok yang diproduksi perusahaannya, tidak hanya di pecat ia pun mendapat pelecehan dan ancaman terkait dengan tindakannya. Di Indonesia istilah whistle blower menjadi populer dan banyak disebut oleh berbagai kalangan dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini makin sering digunakan sejak kasus Susno Duaji mencuat. Susno Duadji pada saat itu mengungkap adanya mafia pajak dianggap sebagai whistle blower. Namun demikian hingga kini belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia untuk istilah tersebut.59
58
Lihat SEMA No. 4 tahun 2011 tentang tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator). 59 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. v
47
2. Prinsip Pelapor Tindak Pidana Dilihat dari tempat seseorang bekerja, pada umumnya seorang whistle blower dapat berasal dari perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Oleh karena itu, seorang whistle blower dapat muncul dari perusahaan-perusahaan swasta maupun dari lembaga-lembaga publik dan pemerintahan. Seorang whistle blower selain dapat secara terbuka ditujukan kepada individu- individu dalam sebuah organisasi atau skandal, dapat pula ditujukan kepada para auditor internal.60 Seorang whistle blower seringkali dipahami sebagai saksi pelapor. Orang yang memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum dalam proses peradilan pidana. Namun untuk disebut sebagai whistle blower, saksi tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria mendasar.61 1) Seorang whistle blower menyampaikan atau mengungkap laporan kepada otoritas yang berwenang atau kepada media massa atau publik. Dengan mengungkapkan kepada otoritas yang berwenang atau media massa diharapkan dugaan suatu kejahatan dapat diungkap dan terbongkar. 2) Seorang whistle blower merupakan orang dalam, yaitu orang yang mengungkap dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di tempatnya bekerja atau ia berada. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistle blower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok mafia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
60 61
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 4 Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 1-2
48
3. Praktik Pelapor Tindak Pidana Di Amerika Serikat, dimana tingkat korupsi tidak terlalu tinggi, lebih banyak orang yang melaporkan mengenai penyelewengan, penyimpangan, dan penyalahgunaan wewenang daripada di negara-negara lainnya. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undangan di Amerika telah menjadi jaminan bagi para whistle blower untuk melaporkan pelanggaran- pelanggaran di tempat mereka bekerja. Di Amerika telah dibentuk lembaga advokasi yang bernama National Whistle blower Center yang secara rutin sejak 1988 mengadvokasi para whistle blower disamping itu juga terdapat sebuah lembaga bernama Government Accountability Project (GAP) yang berdiri sejak tahun 1977 dan aktif mengadvokasi para whistle blower dengan fokus kegiatan pada litigasi, advokasi, medis, dan legislatif.62 Indonesia belum memiliki ketentuan khusus mengenai prosedur dan mekanisme pengungkapan fakta oleh whistle blower. Selama ini mekanisme yang digunakan masih mendasarkan pada perlindungan saksi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah memiliki aturan khusus yang menjamin perlindungan terhadap pengungkap kejahatan publik. Meski demikian, sejalan dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan zaman, sudah selayaknya 62
Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, p. 157
49
Indonesia mulai mengadopsi pentingnya jaminan perlindungan terhadap whistle blower.63 Whistle blower adalah sosok penting dalam proses pengungkapan tindak pidana serius dan terorganisir. Di Indonesia memang sudah memberi beberapa saksi pengungkap kejahatan yang sangat berarti bagi upaya pemberantasan korupsi demi mencipatakan pemerintahan yang baik dan bersih, namun peran whistle blower tidak dihargai secara layak, bahkan jiwanya justru terancam dan tertekan.
E. Perlindungan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama 1. Pengertian Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Dalam istilah hukum saksi pelaku yang bekerjasama dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Secara etimologis kata Justice Collaborator berasal dari kata Justice yang artinya keadilan, peradilan, adil, hakim,64 dan kata Collaborator yang mempunyai arti teman bekerjasama atau kerjasama.65
63
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, h. 81 I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta: Sinargrafika, 2003), Cet. III, h. 367. Lihat juga Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Amerika: West Publishing Co, 2009), Nhinty Edition, h. 942. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus InggrisIndonesia, h. 339 65 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, h. 124 64
50
Istilah Saksi Pelaku yang Bekerjasama ini dikenal dengan beragam istilah, misalnya justice collaborator, cooperative whistle blowers, participant whistle blower, collaborator with justice atau pentiti (italia).66 Secara terminologi, dalam sistem hukum Indonesia pengertian justice collaborator diatur dalam peraturan bersama tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, definisi Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah :67 “Saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembaikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan”. Pengertian di atas pada dasarnya sejalan dengan pengertian menurut Council of Europe Committee of Minister, bahwa yang dimaksud dengan collaborator of justice adalah:68 “Seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, atau secara meyakinkan adalah merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau kejahatan terorganisir dalam segala bentuknya, atau merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, namun yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama atau terorganisir, atau mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang terkait dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius lainnya”. 66
Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, (Makalah disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII, Jogjakarta, 17 April 2013), h. 7 67 Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia 68 Abdul Haris Semendawai, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari http://www. elsam.or.id/downloads/1308812895_penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf
51
Dengan demikian, justice collaborator dapat diartikan sebagai individu yang melaporkan kejahatan yang turut dilakukannya. Sebagai pihak yang terlibat dalam suatu kejahatan, justice collaborator dapat menyediakan bukti penting mengenai siapa yang terlibat dalam kejahatan itu, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Adapun upaya untuk membujuk para orang dalam agar mau bekerjasama dalam penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku lainnya dalam tindak kriminal tersebut, para penuntut di berbagai negara menggunakan beberapa jenis perangkat hukum. 2. Prinsip Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Prinsip utama dalam justice collaborator, bahwa predikat justice collaborator tidak bisa disematkan kepada pelaku utama. Tidak semua saksi pelaku dapat menjadi justice collaborator, hanya saksi pelaku yang bukan pelaku utama, mau mengakui dan mengembalikan hasil kejahatan secara tertulis, kooperatif dengan penegak humum, bukan buronan, dan informasi yang diungkapkan relevan.69 Spirit penerapan justice collaborator diletakan dalam konteks untuk dapat membongkar kejahatan yang lebih besar, bukan sebagai alat negosiasi pihakpihak yang berkepentingan. Pada dasarnya ide justice collaborator ini diperoleh
69
Hukum Online, “Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat”, Artikel diakses pada 19 November 2013 dari http://hukumonline.com/berita/baca/penerapan-ijustice-collaborator-i-harusdiperketat
52
dari pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi). Intinya dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (2) dan (3) ini bagi setiap Negara
peserta
wajib
melindungi
dan
mempertimbangkan
memberikan
kemungkinan pengurangan hukuman dan memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama subtansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator). 3. Praktik Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Istilah justice collaborator atau collaborator with justice atau pentiti merupakan suatu hal yang baru di Indonesia. Istilah ini bukanlah istilah hukum karena tidak bisa ditemui dalam KUHAP, istilah ini berasal dari Negara yang menganut sistem hukum anglo saxon, yaitu Amerika Serikat, namun istilah ini sudah dipakai pada praktik hukum Indonesia. Praktik justice collaborator pertama di Indonesia adalah Agus Tjondro Prayitno, mantan anggota DPR Fraksi PDI-P periode 1999-2004 dalam kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Gultom tahun 1994. Pada tahun 2012, selain penghargaan berupa pemberian remisi tambahan dan pembebasan bersyarat terhadap justice
53
collaborator kasus korupsi diperoleh oleh Agus Condro, penghargaan juga diperoleh oleh Mindo Rosalina Manulang, dan Sukotjo S. Bambang.70 Tidak semua orang mau menjadi justice collaborator karena mereka kahawatir dengan keselamatan diri sendiri dan keluarga apabila sampai ia mengungkap suatu kasus mengingat kasus tersebut sangat terorganisir. Maka ada privilege khusus untuk justice collabolator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan terbitnya SEMA Nomor 04 Tahun 2011. Selain itu, negara juga mengapresiasi tersangka yang bersedia menjadi justice collaborator dengan memberikan reward and punishment dalam bentuk keringanan hukuman, remisi, dan kebebasan bersyarat, seperti pada kasus Agus Tjondro dimana dia divonis lima belas bulan penjara yang kemudian menjadi bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa tahanannya ditambah remisi 1,5 bulan. Pemberian penghargaan pertama pada tahun 2013 terhadap justice collaborator juga diberikan kepada Kosasih Abbas, terpidana kasus dugaan korupsi Solar Home System di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dia mendapat penghargaan berupa pembebasan bersyarat. Selain Kosasih Abbas, ada juga Vincentus Amin Sutanto, tersangka penggelapan pajak. Selain itu, pemberian penghargaan diberikan kepada Thomas Claudius Ali Junaidi dalam
70
Arjun Alqindy Tumangger, “Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di Korlantas POLRI”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada http://legalscraw.wordpress.com/2013/ 08/30/justice-collaborator-dalam-driving-simulator-sim-dikorlantas-polri
54
putusan bernomor No. 920K/Pid.sus/2013, yang menjatuhkan vonis ringan terhadap Thomas.71 Semestinya proses yuridis tidak menjadi ancaman serius bagi justice collaborator
ketika
lembaga
peradilan
dapat
memberlakukan
reward
(peghargaan) berupa remisi, perlakuan khusus dan punishment (hukuman) bagi justice collaborator. Dengan demikian, putusan yang berlandaskan keadilan tentunya diharapkan dapat menentukan potret masa depan justice collaborator.72 Implementasi perlindungan tersebut sudah menunjukan kemajuan perlindungan hukum dan kepastian hukum, akan tetapi masih sangat minim, walaupun sebenarnya telah ada Peraturan Bersama, Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 tahun 2011, revisi Undang- undang No. 13 tahun 2006 diharapkan menjadi solusi konkret atas persoalan ini.73
71
Maharani Siti Shopia,”LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice Collaborator”, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8 72 Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, “Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta)”, Diponegoro Law Review, No. 1, (Tahun 2012): h. 8 73 Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim, (Jakarta: LPSK, 2012), edisi II, h. 13
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 SEBAGAI KEBIJAKAN LEGISLATIF
A. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan adalah pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung atas segala bahaya yang mengancam pihak yang dilindungi. Perlindungan hukum adalah hal perbuatan melindungi menurut hukum.1 Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra mengemukakan bahwa hukum dapat difungsikan tidak hanya mewujudkan kepastian, tetapi juga jaminan perlindungan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, namun juga prediktif dan antisipatif.2 Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah suatu kondisi subyektif yang menyatakan hadirnya keharusan pada diri sejumlah subyek untuk segera memperoleh sejumlah sumberdaya guna kelangsungan eksistensi subyek hukum yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, agar kekuatannya secara terorganisir dalam proses pengambilan keputusan politik maupun ekonomi, 1
Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses Penyidikan, (Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, 2001), h. 41 2 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 123
55
56
khususnya pada distribusi sumber daya, baik pada peringkat individu maupun struktural.3 Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.4 Padanan kata perlindungan hukum dalam bahasa Inggris adalah Legal Protection, dalam bahasa Belanda Rechtsbecherming. Kedua istilah tersebut juga mengandung konsep atau pengertian hukum yang berbeda untuk memberi makna sesungguhnya dari perlindungan hukum. Menurut Harjono, konsep perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum adalah :5 “Perlindungan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditunjukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum”. Adapun yang dimaksud dengan hukum yang berlaku dalam hal ini adalah hukum sebagai suatu sistem, yang menurut Lawrence M. Friedman dalam operasinya memiliki tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu : Subtansi, Struktur, dan Kultur. Maka perlindungan hukum adalah perbuatan melindungi hak individu atau sejumlah individu yang kurang atau tidak mampu atau tidak berdaya
3
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), h. 2 4 Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), dalam Arif Awaludin, “Rekonstruksi Perlindungan Hukum Terhadap Penyingkap Korupsi (Studi Kasus Budaya Hukum Aparatur Sipil Negara Dalam Menyingkap Birokrasi di Jawa Tengah)”, (Semarang: Disertasi Undip, 2011), h. 75 5 Ibid, h. 77
57
secara fisik dan mental, secara sosial, ekonomi dan politik, baik secara preventif maupun represif, berdasarkan hukum yang berlaku dalam upaya mewujudkan keadilan, kepastian, kemanfaatan, kedamaian, ketentraman, bagi
segala
kepentingan manusia yang ada didalam masyarakat hukum.
B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006 Undang- undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berlaku setelah diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 Lembaran Negara Republik Indonesia No.64. Undang-undang ini merupakan perjuangan panjang dan kebutuhan endesak bagi kalangan aktivis antikorupsi dan Hak Asasi Manusia.Undang-undang No.13 Tahun 2006 ini juga merupakan lex spesialis (ketentuan khusus) yang engatur perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban. Pengaturan perlindungan dan tatacara pemberian perlindungan bagi saksi dan korban, sebelumnya tersebar di beberapa peraturan dan di beberapa lebaga negara yang diberikan kewenangan untuk memberikan perlindungan. Pada bagian penjelasan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan: “Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
58
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa peraturan perundang-undangan
yang
menekankan
partisipasi
masyarakat
dalam
pengungkapan suatu tindak pidana antara lain: 1. Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN 2. Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo Undnag-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Undang-undang No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 4. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangan Orang Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:
59
1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan 4. Ketentuan pidana.
C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku
Yang
Bekerjasama Dalam sistem hukum Indonesia, perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator diatur dalam tiga jenis peraturan yakni: Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama. Walaupun ketiga peraturan ini memiliki berbagai permasalahan materil dan formil yang merupakan penyebab lemahnya perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator.6 Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 13 tahun 2006, secara umum mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang juga termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama, yaitu meliputi hal-hal sabagai berikut : a) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
6
Firman Wijaya, Whistle Blower dan justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: Penaku, 2012), h. 5
60
Perlindungan ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya baik fisik maupun mental. Dalam hal ini termasuk pula hak utuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi (sesuai dengan konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1998).7 b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. Perlindungan dan dukungan keamanan merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi, untuk itu saksi berhak untuk ikut serta memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan tersebut.8 c) Memberikan keterangan tanpa tekanan. Saksi dan korban harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, sesuai dengan apa yang telah terjadi. Dengan demikian keterangan yang diberikan bukan keterangan karena adanya rasa takut.9 d) Mendapat penerjemah. Hak ini diberikan kepada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. e) Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 7
Jovan Kurata Waruwu, Penerapan Perlindungan Saksi dalam Perkara Pidana yang ditangani Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Tesis FH UI, 2006), h. 180 8 Ibid, h. 183 9 Ibid, h. 186
61
Keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan, jadi tidak diperbolehkan adanya pertanyaan yang bersifat bagi saksi dan korban. f) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. Seringkali saksi dan korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi mereka tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh sebab itu sudah seharusnya saksi mengetahui sejauh mana kontribusi yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh sistem peradilan.10 g) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. Dihukum atau tidaknya seorang terdakwa seringkali tidak diketahui saksi dan meninggalkannya dalam ketidaktahuan. Informasi ini penting diberikan pada saksi, setidaknya sebagai tanda apresiasi pada kesediannya sebagai saksi dalam proses tersebut. h) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Ketakutan saksi dan korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan, dan mereka berhak diberitahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan. i) Mendapat identitas baru. Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisir, saksi dan korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, saksi dan korban dapat diberikan identitas baru. 10
Ibid, h. 182
62
j) Mendapatkan tempat kediaman baru. Pemberian tempat baru bagi saksi dan korban harus dipertimbangkan jika keamanan saksi dan korban sudah sangat mengkhawatirkan agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan. k) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. Dalam banyak kasus, saksi tidak mempunyai cukup kemampuan untuk membiayai dirinya mendatangi lokasi aparat yang berwenang, sehingga perlu mendapat bantuan biayasa dari negara. Ketentuan ini memang sudah ada sebenarnya untuk tingkat persidangan, tetapi sangat jarang diterapkan karena berbagai alasan. l) Mendapat nasihat hokum. Hak ini diperlukan karena seringkali seorang saksi adalah orang awam dan tidak mengetahui hukum beserta prosesnya, sehingga perlu mendapatkan bimbingan dalam menjalani proses pidana. m) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Biaya hidup yang dimaksud adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu memberikan keterangan, misalnya untuk biaya makan sehari-hari. Dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan atau korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada pasal 5 ayat (2) menyebutkan
63
bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu” antara lain tindak pidana korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang membahayakan jiwanya.11 Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi dan korban juga termasuk saksi pelapor dan juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam suatu proses peradilan pidana meliputi hal-hal berikut ini : a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah mendapat izin dari hakim.12 b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya.13 c. Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.14 Formulasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 ini semakin memperoleh pijakan hukum dengan lahirnya Peraturan Bersama antara LPSK, Kejagung, Polri, KPK dan MA. Dalam Peraturan Bersama ini cukup komprehensif dalam mengatur bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator Bentuk perlindungan yang diberikan bagi whistle blower dan justice collaborator dalam Peraturan Bersama ini adalah sebagai berikut: 11
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Anatara Norma dan Realita, h. 154 12 Liha pasal 9 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 13 Liha pasal 10 ayat (1) UU no. 13 tahun 2006 14 Liha pasal 10 ayat (2) UU no. 13 tahun 2006
64
1) Saksi Pelaku yang Bekerjasama berhak mendapatkan: a. Perlindungan fisik dan psikis; b. Perlindungan hukum; c. Penanganan secara khusus; dan d. Penghargaan. 2) Perlindungan fisik, psikis dan/atau perlindungan hukum sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c dapat berupa: a. Pemisahan tempat penahanan, kurungan atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkap dalam hal Saksi Pelaku yang Bekerjasama ditahan atau menjalani pidana badan; b. Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap; c. Penundaan penuntutan atas dirinya; d. Penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya; dan/atau e. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau tanpa menunjukkan identitasnya. 4) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa: a. Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan; dan/atau b. Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah seorang narapidana. Sebagai upaya untuk mengatasi kekosongan hukum dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator. Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
65
Untuk menentukan seseorang sebagai Pelapor Tindak Pidana, berdasarkan SEMA tersebut ada beberapa pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana adalah sebagai berikut : 1) Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya 2) Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, berdasarkan SEMA tersebut harus mengikuti pedoman, yaitu : 1) Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. 2) Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga Penyidikan dan/atau Penuntut Umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana. 3) Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana berupa; menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam memberikan perlakuan khusus dalam bentuk kerinaganan pidana hakim wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 4) Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan halhal sebagai berikut : (a) Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan (b) Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011 adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana
66
pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilainilai demokrasi, etika
dan keadilan serta membahayakan pembangunan
berkelanjutan dan supremasi hukum.15
15
Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 187
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN LEGISLATIF PERLINDUNGAN HUKUM PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA
A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Indonesia memang sudah mempunyai Undang-undang perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi perlindungan yang diberikan dalam undang-undang tersebut belum dapat melindungi whistle blower dan justice collaborator secara maksimal.Hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut hanya memberikan perlindungan sebatas terhadap saksi, korban, dan pelapor saja. Dalam praktiknya, whistle blower dan justice collaborator berbeda dengan saksi atau pelapor biasa, hal ini sesuai dengan prisip dan karakteristik whistle blower dan justice collaborator, seperti dapat kita lihat dalam pembahasan sebelumnya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan perlindungan hukum maksimal whistle blower dan justice collaborator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 bahkan menjadi dasar untuk memidanakan whistle blower dan justice collaborator atas kasus yang dilaporkannya. Kebijakan legislatif dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kelemahan subtansial undang-undnag tersebut 67
68
terkait pelaksanaan pasal 10.1 Pasal tersebut belum mengakomodir perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator secara tegas, padahal peran serta mereka dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan kerjasama tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, sehingga tindak pidana tersebut akan terbongkar secara masif dan signifikan. Menurut Eddy O.S. Hiarij, dalam pasal 10 adalah bertentangan dengan semangat whistle blower dan justice collaborator, karena pasal ini tidak memenuhi prinsip perlindungan terhadap seorang whistle blower dan justice collaborator, dimana yang bersangkutan akan tetap dijatuhi hukuman pidana bilamana terlibat dalam kejahatan tersebut.2 Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menimbulkan permasalahan penafsiran ketika ada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Kedua ayat pada pasal tersebut menimbulkan pertentangan satu sama lain ketika dipertemukan pada seorang saksi yang juga merupakan tersangka pada kasus yang sama. Pada ayat (1) dikatakan bahwa saksi yang melaporkan dan bersaksi tidak dapat dipidana, namun pada ayat (2) dikatakan bahwa jika saksi adalah tersangka pada kasus yang sama maka tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. 1
Abdul Haris Semendawai,dkk. Memahami Whistleblower, (Jakarta: LPSK, 2011), h. 39 Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2006, (Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010), h. 25 2
69
Sementara, mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya melindungi saksi dan korban bukan tersangka, sehingga masalah pada Pasal 10 ini kemudian menimbulkan
ambiguitas
mengenai
status
perlindungan
oleh
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban pada yang bersangkutan. Sebelum adanya SEMA No. 4 Tahun 2011, tampak bahwa Pasal 10 tidak dapat membedakan whistle blower
dengan justice collaborator, sehingga pengadilan juga tidak dapat
memberikan perlakuan yang tepat.3 Selain undang-undang No. 13 Tahun 2006, Peraturan Bersama antara LPSK dengan lima aparat penegak hukum juga masih memiliki kelemahan dari segi materil, yakni sebagai berikut: a. Tidak diatur perlindungan maksimal bagi whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan atas tindak pidana yang dilakukannya b. Keringanan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator hanya dijadikan pertimbangan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK dan tidak memiliki daya mengikat yang mewajibkan Jaksa Agung atau Pimpinan KPK untuk memberi penghargaan berupa keringanan pidana c. Tidak diatur secara jelas mengenai hubungan kolaborasi dan koordinasi antar penegak hukum dalam memberikan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator.
3
Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, h. 186
70
Di samping itu, Peraturan Bersama juga memiliki kelemahan dari segi formil, yakni lingkup keberlakuan tidak mengikat bagi hakim di lingkungan Mahkamah Agung. Peraturan Bersama ini hanya mengikat LPSK, KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM. Padahal perlindungan whistle blower dan justice collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum. Dengan demikian, Peraturan Bersama belum memberikan perlindungan hukum maksimal bagi whistle blower dan
justice
collaborator. Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 sebenarnya telah mengatur lebih lanjut mengenai kriteria serta mekanisme penanganan perkara yang melibatkan whistle blower dan justice collaborator. Namun, pada dasarnya ketentuan dalam SEMA masih memiliki banyak kelemahan dari segi materil yakni: a. Tidak diaturnya hak dan bentuk perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator b. Ketentuan keringanan pidana bagi whistle blower dan justice Collaborator hanya dijadikan pertimbangan hakim dan tidak memiliki daya mengikat yang mewajibka hakim untuk memberi keringanan pidana. Dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 juga memiliki kelemahan dari segi formil yakni lingkup keberlakuan SEMA hanya mengikat kalangan Mahkamah Agung, yakni hakim. Padahal perlindungan whistle blower dan justice Collaborator idealnya harus melibatkan seluruh instansi penegak hukum.
71
Di antara seluruh peraturan di atas, Peraturan Bersama merupakan peraturan yang paling komprehensif dalam mengatur mengenai perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator. Namun, Peraturan Bersama masih memiliki beberapa kelemahan terkait tidak adanya perlindungan hukum bagi whistle blower dan justice collaborator berupa penghapusan tuntutan pidana, tidak diaturnya hubungan kerjasama antar instansi penegak hukum, dan lingkup keberlakuannya yang belum mencakup nasional. Oleh karena itu, penulis menilai bahwa perlu diadakan solusi terkait aspek legislasi (kebijakan legislatif) dan implementasi dalam melindungi whistle blower dan justice collaborator. Untuk itu diperlukan rumusan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan secara khusus bagi whistle blower dan justice collaborator.
Peraturan
perundang-undangan
tersebut
harus
memberikan
penjelasan mengenai whistle blower dan justice collaborator, peraturan perundang-undangan juga harus memberikan bentuk-bentuk perlindungan yang kurang lebih sama dengan bentuk-bentuk perlindungan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, akan tetapi ketentuan pidana bagi whistle blower dan justice collaborator yang juga tersangka dalam kasus yang sama harus di bedakan.
72
B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Di negara‐negara yang sangat besar, konstitusinya menyatakan bahwa keputusan badan legislatif merupakan ungkapan keinginan rakyat (kedaulatan rakyat) dan bahwa badan legislatif merupakan badan pengambil keputusan yang tertinggi. Sebagian besar badan legislatif memiliki tiga fungsi formal: (1) untuk mewakili rakyat; (2) untuk menetapkan undang‐undang; dan (3) untuk mengawasi badan eksekutif (perdana menteri atau presiden dan para menteri).4 Kewajiban untuk mengungkapkan suatu tindak pidana terorganisir, seperti korupsi, penipuan, pencucian uang, narkoba dan psikotropika, terorisme merupakan hal yang umum di banyak negara. Perlindungan whistle blower dan justice collaborator merupakan konsekuensi logis dari kewajiban tersebut. Namun, belum adanya mekanisme dan perlindungan yang memadai, serta masih lemahnya penegakan hukum, merupakan masalah tersendiri bagi whistle blower dan justice collaborator. Sebagai pengungkap skandal kejahatan publik, sosok whistle blower dan justice collaborator belum memiliki perlindungan hukum yang memadai. 69 Walaupun sudah terdapat beberapa peraturan yang secara eksplisit mengatur perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator, seperti 4
Kelompok Kerja Kebijakan dan Manajemen Fakultas Kedokteran UGM , Pemerintah dan Proses Kebijakan, diakses pada tanggal 8 Desember 2013 dari http://hpm.fk.ugm.ac.id/hpmlama/ images/chapter_5_6_7__8_mhp.pdf
73
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Bersama, dan SEMA tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hanya saja peraturan-peraturan tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dapat dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Oleh karenanya, saat ini diperlukan adanya sebuah Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai whistle blower dan justice collaborator. Undang-Undang ini diproyeksikan untuk memastikan mekanisme pengungkapan dan perlindungan terhadap whistle blower dan justice collaborator untuk mengungkap suatu penyalahgunaan wewenang yang membahayakan kepentingan publik. Orang cenderung tidak berani mengungkap kejahatan karena takut akan adanya pembalasan, pemecatan, atau pemaksaan untuk mengundurkan diri dari suatu jabatan tertentu atas tindakan pengungkapannya. Oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk dan memiliki Undang-undang khusus yang mengatur mengenai cara dan mekanisme perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi
74
menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana serius dan terorganisir. Oleh sebab itu, penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan pengaturan perlindungan. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat undang-undang yang secara khusus mengatur whistle blower dan justice collaborator, atau paling tidak dapat menjadi masukan dalam revisi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama Konsep sanksi pemidanaan dalam pendekatan restorative justice tidak mengenal metode pembalasan, tetapi lebih kepada konsep pemulihan untuk tujuan membuat segala sesuatunya menjadi benar. Beberapa konsep sanksi pidana yang dikenal dalam pendekatan restorative justice adalah sebagai berikut : restitusi (pengganti kerugian), program kerja sosial, dan konpensasi terhadap korban. 5
5
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 182
75
Dalam konsep restorative justice tidak semua orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law),6 karena ada hal-hal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain (menjadi whistle blower dan justice collaborator), sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat tidak dipidana dengan syarat bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan perbuatan yang ia lakukan. Oleh karena itu, konsep restorative justice yang bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban (Negara atau Warga Negara) ini sangat tepat untuk diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Dalam konsep restorative justice, yang di pulihkan adalah meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelak, pemulihan ini sangat penting dengan alasan: 1) Dalam sitem pemidanaan konvensional, whistle blower dan justice collaborator tidak diberikan ruang untuk dapat berpartisifasi langsung dalam penyelesaian masalah mereka, sehingga partisifasi aktif whistle blower dan justice collaborator yang semestinya mendapat penghargaan tidak menjadi penting, yang pada akhirnya semuanya akan bermuara pada putusan pemidanaan tanpa melihat esensi. 2) Whistle blower dan justice collaborator dapat membantu mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang ia ketahui dan ia lakukan. Laporan dan
6
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung: Alumni, 2006), h. 170
76
kerjasamanya tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan tindak pidana terorganisir, seperti tindak pidana korupsi yang semakin bermacam modus operandinya. 3) Penghapusan tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator akan menyebabkan para pihak berani mengungkapkan kasus tindak pidana terorganisir yang dilakukannya. Sehingga, kasus tindak pidana terorganisir dan rapih akan terbongkar secara masif dan signifikan. Dalam hal ini, tanggung jawab yang dimiliki oleh whistle blower dan justice collaborator terdiri atas: 1) Tanggung jawab untuk mengembalikan segala kerugian yang ia lakukan terhadap korban, misalnya mengembalikan semua asset hasil korupsi. 2) Tanggung jawab untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang ia laporkan atau ia ketahui hingga ke akar-akarnya. Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab whistle blower dan justice collaborator dalam hal merestorasi kerugian korban inilah yang seharusnya menggantikan pemidanaan bagi whistle blower dan justice collaborator. Lemahnya perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : pertama permasalahan riil yang menunjukkan kenyataan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak mendapatkan penghargaan dan perlindungan, bahkan turut dijadikan tersangka
77
atas kasus yang dilaporkannya, kedua permasalahan materil dan formil dalam berbagai peraturan. Permasalahan riil yang selama ini terjadi, para whistle blower dan justice collaborator
di
Indonesia
turut
dijadikan
tersangka
atas
kasus
yang
dilaporkannya, bahkan dikriminalisasi atas kasus lain. Contoh faktual adalah kasus mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu Komisaris Jenderal Susno Duadji. Kontribusi Susno Duadji dalam mengungkap kejahatan korupsi, mafia hukum, dan mafia pajak tidak diapresiasi oleh Negara. Susno Duadji malah diputus bersalah atas kasus yang dilaporkannya sendiri. Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa Negara tidak memberikan perlindungan bagi whistle blower dan justice collaborator. Perlindungan hukum bagi dalam whistle blower dan justice collaborator harus mencakup aspek konseptual dan aspek teknis. Kedua aspek ini merupakan suatu kesatuan. Sebab, konsep perlindungan hukum tanpa disertai teknis yang jelas akan menghasilkan konsep yang abstrak, begitupun sebaliknya. Aspek konsep dan teknis merupakan syarat afkumulatif yang harus ada dalam perlindungan hukum ini. Ide perlindungan whistle blower dan justice collaborator sesungguhnya telah diamanatkan dalam pasal 33, dan pasal 37 ayat (1), (2), dan (3) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam pasal (3) disebutkan :
78
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini”. Pemberian imunitas kepada whistle blower dan justice collaborator yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana serius dan terorganisir menimbulkan banyak pro dan kontra. Hal ini memang bukan tanpa alasan, perdebatan tersebut didasarkan atas dua alasan, pertama orang yang melakukan tindak pidana harus diberikan hukuman yang setimpal, kedua dikhawatirkan terjadinya diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana lain. Argumentasi di atas merupakan pengejawantahan prinsip equality before the law dan prinsip non-impunity, prinsip tersebut merupakan elemen pokok dari konsepsi HAM. Kedua prinsip ini menyatakan bahwa semua orang berkedudukan sama di muka hukum, sehingga semua orang yang bersalah harus dihukum tanpa ada pengecualian.7 Oleh karena itu, prinsip ini memandang bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak boleh dilindungi, melainkan harus dihukum seperti pelaku tindak pidana terorganisir lainnya. Prinsip equality before the law dan non-impunity, dalam konsep restorative justice dapat dikecualikan penerapannya. Konsep restorative justice menyatakan bahwa, tidak semua orang harus diperlakukan sama karena ada halhal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain, sehingga atas
7
h.102
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
79
perbedaannya itulah seseorang dapat saja tidak dipidana asalkan bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkannya. Dalam hal ini, konsep restorative justice sangat tepat diterapkan untuk melindungi whistle blower dan justice collaborator. Oleh karena itu, penulis menawarkan teknis perlindungan hukum bagi whistle blower dan justice collaborator yang sesuai dengan konsep keadilan restoratif (restorative justice), yaitu sebagai berikut : 1. Kualifikasi dan Syarat Perlindungan Hukum Langkah pertama yang harus terpenuhi apabila seseorang dapat di kualifikasikan sebagai whistle blower dan justice collaborator, kemudian ingin mendapatkan perlindungan hukum dari Negara harus memenuhi kriteria persyaratan sebagai berikut : 1) Merupakan individu yang pertama kali melaporkan adanya tindak pidana terorganisir, sehingga dalam satu kasus terorganisir hanya satu orang saja yang dapat dikualifikasikan sebagai whistle blower dan justice collaborator, hal ini juga dimaksudkan agar setiap orang berlomba untuk menjadi whistle blower dan justice collaborator. 2) Tidak merupakan pelaku utama atas tindak pidana serius dan terorganisir yang ia laporkan, syarat ini bermaksud membongkar otak intelektual dan memberantas kasus tindak pidanaserius dan terorganisir sampai tuntas. 3) Harus menyadari dan mengakui kesalahannya, ia harus menyadari atas kerugian bagi korban yang ditimbulkan dari tindakannya tersebut,
80
sehingga ia mau membuka informasi yang seluas-luasnya, dan tercapailah tujuan dari restorative justice yaitu pemulihan bagi korban. 4) Bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukannya tersebut, bukan atas paksaan atau ada unsur intervensi politik dari pihak lain. 5) Bekerjasama secara kooperatif dengan aparat penegak hukum dalam mengusut dan membongkar kasus tindak pidana terorganisir yang dilaporkannya hingga ke akar-akarnya. Kualifikasi dan syarat perlindungan tersebut merupakan bersifat keseluruhan (akumulatif), kualifikasi dan syarat tersebut harus dapat terpenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi whistle blower dan justice collaborator, sehingga
berhak
mendapatkan
perlindungan
hukum
dan
diberikan
penghargaan dari Negara atas jasanya tersebut. 2. Jenis Perlindungan Hukum Apabila seseorang telah memenuhi kualifikasi dan syarat menjadi whistle blower dan justice collaborator, kemudian ia behak mendapatkan perlindungan hukum, maka yang bersangkutan akan diberikan perlindungan hukum berupa perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata. Perlindungan dari segala tuntutan pidana atau perdata ini dimaksudkan agar whistle blower dan justice collaborator tidak dituntut oleh pihak yang merasa dirugikan atas laporan dan kesaksiannya. Perlindungan ini terdiri atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut :
81
1) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas laporannya, ini penting terkait dengan apresiasi dan penghargaan yang didapat oleh seorang whistle blower dan justice collaborator dari Negara. Jangan sampai terjadi whistle blower dan justice collaborator dilaporkan balik dan kemudian dituntut atas pencemaran nama baik terhadapa apa yang ia laporkan tersebut. 2) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus yang dilaporkannya, bentuk perlindungan hukum ini penting terkait dengan tidak dapat dituntut dan tidak ikut dijadikan tersangka dalam kasus serius dan terorganisir yang dilaporkannya. 3) Perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata atas kasus lain, misalnya seorang whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dituntut dengan kasus lain, jangan sampai seorang whistle blower dan justice collaborator dituntut dengan kasus lain. Jenis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator dalam tiga model tersebut menjadi sangat urgent dalam suatu proses pemberantasan tindak pidana serius dan terorganisir, karena dapat menghambat dan membuat penanganan terhadap kasus tindak pidana serius dan terorganisir tersebut menjadi semakin lama, dan tidak ada kepastian hukum bagi seorang yang sudah dinyatakan sebagai whistle blower dan justice collaborator.
82
3. Model Perlindungan Kolaboratif Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator seharusnya dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh aparat penegak hukum, bukan hanya terpusat dilakukan oleh satu aparat penegak hukum saja. Keseluruhan aparat penegak hukum tersebut yang paling utama adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Mahkamah Agung RI. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga utama dalam proses perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh karenanya dalam amandemen Undang-undang No. 13 tahun 2006 harus benar-benar mengakomodasi konsep restorative justice agar semua yang terlibat dalam kasus meras adil. Dengan sistem perlindungan kolaboratif, seorang whistle blower dan justice collaborator yang melapor kepada aparat penegak hukum, tidak dapat digugat balik atas pencemaran nama baik, turut dijadikan tersangka dalam kasus yang ia laporkan, dan tidak dapat dituntut atas tindak pidana lain. Sehingga proses kriminalisi terhadap whistle blower dan justice collaborator tidak dapat dilakukan, karena seorang whistle blower dan justice collaborator sudah memperoleh perlindungan hukum dari penegak hukum, hal ini juga merupakan konsekuensi daripada penerapan konsep restorative justice.
83
Dalam konsep restorative justice dikenal dengan prinsip due process (penyelesaian yang adil) dan perlindungan yang setara. Kedua prinsip tersebut harus menjadi batu pijakan aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator. 4. Model Perlindungan Komprehensif Model perlindungan hukum yang komfrehensif dari aparat penegak hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator akan berdampak pada kepastian hukum bagi sang whistle blower dan justice collaborator, dan akan berdampak positif terhadap penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorganisir. Model komfrehensif tersebut bersifat menyeluruh mulai dari tahapan berikut ; Pertama, pada tahap pemberian laporan oleh seorang whistle blower dan justice collaborator.
Kedua, tahap penindaklanjutan
laporan yang terdiri atas penyelidikan, penyidikan, sampai pada pengadilan. Ketiga, pada tahap penjatuhan putusan oleh pengadilan tehadap kasusnya tersebut. Perlindungan yang bersifat komfrehensif dari aparat penegak hukum ini bertujuan untuk mejamin hak-hak seseorang setelah ia dinobatkan sebagai whistle blower dan justice collaborator, dan juga bertujuan agar perlindungan hukum berjalan maksimal demi tercapainya kepastian hukum. Oleh karenanya, seorang whistle blower dan justice collaborator harus dilindungi sejak tahap pelaporan hingga tahap penjatuhan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
84
5. Putusan Yang Bersifat Integratif Putusan pengadilan merupakan tahap akhir dari proses peradilan, terkait dengan whistle blower dan justice collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus sesuai dengan konsep restorative justice, karena memang sejak awal sang whistle blower dan justice collaborator sudah mengikatkan diri, tunduk dan mengikitu setiap ketentuan yang berlaku berdasarkan prinsip restorative justice. Oleh karena itu, setiap putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana serius dan terorganisir, hanya ada satu whistle blower dan justice collaborator, maka putusan pengadilan tersebut harus memuat dan berisi dua hal, yaitu Pertama, pemidanaan bagi aktor intelektual atau pelaku utama kasus tindak pidana terorganisir. Kedua, pembebasan bersyarat terhadap whistle blower dan justice collaborator, dengan ketentuan ia telah memenuhi kualifikasi dan syarat mendapat perlindungan hukum dari Negara. Sehingga pembebasan bersyarat bagi
whistle blower dan justice
collaborator baru dapat diberikan apabila whistle blower dan justice collaborator sudah terlebih dahulu melalui serangkaian proses persidangan di pengadilan. Pembebasan bersyarat
terhadap whistle blower dan justice
collaborator dilakukan ini harus dilakukan secara integratif, artinya pembebasan bersyarat tersebut diintegrasikan kedalam putusan pengadilan yang memidana terdakwa aktor intelektual atau pelaku utama dalam kasus tindak pidana serius dan terorganisir tersebut.
85
6. Pembebasan Bersyarat Berdasarkan apa yang telah penulis jelaskan diatas, seorang whistle blower dan justice collaborator dapat dibebaskan dengan pembebasan bersyarat apabila ia tunduk, patuh dan melaksanakan ketentuan kualifikasi dan syarat memperoleh perlindungan hukum dari Negara, ia juga telah melewati proses persidangan di pengadilan. Putusan pengadilan yang dimaksud penulis disini adalah putusan pengadilan yang bersifat tetap atau berkekuatan hukum tetap (inkra, yaitu putusan pengadilan yang tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadapnya. Ini merupakan penghargaan Negara yang patut didapat oleh sang whistle blower dan justice collaborator, sehingga berdampak positif terhadap pemberantasan kasus tindak pidana serius dan terorganisir, seperti kasus korupsi di Indonesia ini yang akan terus terjadi. Pemberian
penghargaan
kepada
whistle
blower
dan
justice
collaborator dengan pembebasan bersyarat memiliki kelebihan-kelebihan, yaitu penghargaan dari Negara tersebut dapat mendorong para koruptor misalnya, sebagai tindak pidana serius dan terorganisir akan banyak yang tertarik menjadi whistle blower dan justice collaborator, sehingga tindak pidana tersebut akan terungkap secara signifikan dan masif. Kemudian dampaknya mereka yang akan berniat melakukan kejahatan serius dan terorganisir, merasa takut karena rekan kerja mereka dapat melaporkannya dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum.
86
Namun demikian, pembebasan bersayarat ini bukan merupakan sesuatu yang sempurna, pada dasarnya terdapat kelemahan-kelemahnnya, yaitu terhadap kasus serius dan terorganisir merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator tidak adil, karena sudah merugikan masyarakat luas dan Negara. Kemudian pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator bertentangan dengan prinsip non-impunity dan equality before the law. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator ini memiliki beberapa kekurangan. Namun kekurangan-kekurangan tersebut dapat diatasi, argumenargumen sebagai berikut : 1) Kerugian masyarakat dan negara sebagai akibat dari perbuatan tindak pidana terorganisir seperti korupsi yang dilakukan oleh whistle blower dan justice collaborator sangatlah besar. Namun bila menggunakan perspektif kedepan (forward looking), maka kerugian ini dapat diatasi oleh kelebihan dari adanya pembebasan terhadap whistle blower dan justice collaborator. Dimana pembebasan tersebut akan berdampak pada : a) Mendorong terungkapnya kasus tindak pidana serius dan terorganisir dalam jumlah masif, dan dilakukan dengan berbagai modus operandinya.
87
b) Membuat orang yang akan berniat atau melakukan tindak pidana serius dan terorganisir merasa takut untuk melakukan perbuatan tersebut. Sehingga, kerugian masyarakat dan negara dapat dikompensasi melalui keuntungan yang akan ditimbulkan oleh seorang whistle blower dan justice collaborator. 2) Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan terorganisir harus diatasi dengan cara luar biasa pula. Cara konvensional yang menekankan pemidanaan sebagai pembalasan (retributive) terbukti tidak mampu membuat efek jera bagi para pelaku tindak pidana terorganisir. Sehingga dibutuhkan cara luar biasa yang menekankan pada pemulihan (restorative) yaitu hukuman restoratif yang memberikan tanggung jawab kepada whistle blower dan justice collaborator untuk memulihkan kerugian masyarakat dan negara, pemulihan tersebut melalui pertanggungjawaban mengembalikan kerugian masyarakat dan Negara, dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam membongkar kasus tindak pidana serius dan terorganisir yang dilaporkannya. Hukuman restoratif ini merupakan pengganti dari hukuman penjara. Dalam hal ini whistle blower dan justice collaborator dianggap sudah dihukum melalui hukuman restoratif sehingga whistle blower dan justice collaborator dapat dibebaskan dari pemidanaan. 3) Prinsip non-impunity yang diterapkan dalam hukum pidana konvensional menyatakan bahwa whistle blower dan justice collaborator tidak dapat
88
dibebaskan dari tuntutan pemidanaan. Namun, prinsip ini dapat dikesampingkan dalam konsep restorative justice sebagai konsep baru dalam hukum pidana yang lebih mengutamakan pemulihan kerugian ketimbang menghukum whistle blower dan justice collaborator. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis menilai bahwa pembebasan dapat diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator. Pembebasan bagi whistle blower dan justice collaborator ini dimungkinkan menurut konsep restorative justice yang menganggap bahwa sistem pemidanaan dan pemenjaraan tidak relevan untuk diterapkan terhadap hal-hal tertentu. Sehingga, restorative justice dan whistle blower serta justice collaborator sebagai sesuatu yang baru pada abad ke-20 harus dipandang sebagai suatu perkembangan yang harus diterapkan satu sama lain, mengingat sistem hukum pidana konvensional yang berorientasi pada pembalasan sudah tidak relevan diterapkan terhadap whistle blower dan justice collaborator.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisis yang penulis dapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih sangat lemah, indikasi ini dapat dilihat dari beberapa segi, pertama terkait permasalahan riil yang terjadi, dan kedua terkait dengan permasalahan materil dan formil kebijakan legislatif yang dijadikan dasar perlindungan masih parsial dan belum komfrehensif. 2. Konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama harus menggunakan pendekatan restorative justice, dalam konsep restorative justice tidak mengenal metode pembalasan akan tetapi lebih menekankan pada pemuliham. Teknis perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama harus meliputi antara lain sebagai berikut: 1). Kualifikasi dan syarat perlindungan hukum, 2). Jenis perlindungan hukum, 3). Model perlindungan kolaboratif, 4).Model perlindungan komprehensif, 5).Putusan yang bersifat integratif dan 6).Pembebasan bersyarat.
89
90
B. Saran-saran Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisa dan menyimpulkan maka dengan ini penulis memberikan saran-saran kepada pihak yang berwenang sesuai dengan kewenangannya yaitu sebagai berikut : 1. Bagi lembaga Legislatif atau Pemerintah, hendaknya membentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama atau dengan cara merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, dalam amandemen undang-undnag tersebut harus memuat materi yang menyatakan menghapuskan tuntutan pemidanaan atas kasus yang dilaporkan oleh seorang pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. 2. Bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, agar memperluas kewenangan dan penguatan kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama. 3. Bagi instansi pemerintah dan swasta, agar membentuk mekanisme pelaporan whistle blower
di institusi pemerintah maupun swasta demi menjaring
laporan dari masyarakat atau orang-orang yang tahu tentang tindak pidana terorganisir. Dengan melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam melaporkan tindak pidana terorganisir yang ia ketahui, maka akan mempersempit gerak dan pelaku tindak pidana serius dan terorganisir yang akan atau telah tejadi dengan bermacam-macam modus operandinya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Semendawai, dkk, Memahami Whistleblower, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), 2011 ----------, Eksistensi Justice Collaborator dalam Perkara Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, (Makalah disampaikan pada Stadium General Fakultas Hukum UII, Jogjakarta, 17 April 2013) ----------, Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, diakses pada tanggal 21 Nopember 2013 dari http://www.elsam.or.id/downloads/1308812895 _penanganan_dan_perlindungan__justice_collaborator_.pdf Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Bantuan Hukum Di Indonesia, Banjarmasin: FH Universitas Lambung Mangkurat, 1980 Agustinus Pohan, dkk, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012, Edisi I Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), Jakarta: Buana ilmu Populer, 2004 Arjun Alqindy Tumangger, Justice Collaborator dalam Driving Simulator SIM di Korlantas POLRI, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada http://legalscraw.wordpress.com/2013/08/30/justice-collaborator-dalamdriving- simulator-sim-di-korlantas-polri Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: UII Press, 2003 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UUI Press, 2006 ----------,Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010 Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012
92
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 ----------,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Undip, Cet. II, 1996 ----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada, 2007 ----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung : PT. Citra Adhya Bakti, 2005 ----------, Pembaharuan Hukum Pidana dan Masalah Kebijakan Delik Aduan Dalam Masalah-Masalah Hukum, FH UNDIP, No. 4 Tahun 1994 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1996 Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, Jakarta: Pembangunan, 1970 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Amerika: West Pblishing Co, 2009, Nhinty Edition Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997 Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007 ----------, Pembagian Pengaturan Whistleblower dan Justice Collaborator Di Revisi KUHAP dan Revisi Undang-undnag No. 13 Tahun 2006, Serta Peran Strategis LPSK, Dalam seminar “Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)”, Jakarta, 10 April 2013 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Anatara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Press, 2007 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1962
93
Eddy O.S. Hiarij, Legal Opinion: Permohonan Pengujian Pasal 10 ayat (2) Undangundang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10, No. 6, Tahun 2010 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No. II Agustus 2010) ----------, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH UI) ----------, LPSK, Sistem Peradilan Pidana Dan Upaya Perlindungan Korban, Makalah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh LPSK ----------, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana, (Makalah, Jakarta, 2011) ----------, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung: Lubuk Agung, 2011 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Calloborator Dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, 2012 Geoffrey Hunt, Whistleblowing, Commissioned Entry For Encyclopedia of Applied Ethics, California: Academic Press, 1998 Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990 Hukum Online, Penerapan Justice Colloborator Harus Diperketat, Artikel diakses pada 19 November 2013 dari http://hukumonline.com/ berita/baca/penerapanijustice-collaborator-i-harus-diperketat I.P.M. Ranuhandoko BA, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Jakarta: Sinargrafika, 2003, Cet. III I.S. Susanto, Pemahaman Kritis terhadap Realitas Sosial, dalam “Masalah- Masalah Hukum” Semarang: FH Undip, Nomor 9, 1992 J.J. Von Schmid, Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Terj: Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Jakarta: PT Pembangunan, 1959 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2005
94
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007 Komisi Yudisial, Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak, (Buletin Komisi Yudisial, Vol. VI-No. 4. Januari- Februari 2012 Kuat Puji Prayitno, Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Jakarta: Jurnal Dinamika Hukum, Vo. 12 No. 3 September 2012 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993 Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, Jakarta: Laporan Penelitian Pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010 M. Arif Amrullah, Politik Hukum Pidana: Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, Malang: Bayumedia Publishing, 2007 Maharani Siti Shopia, LPSK Puji Keberanian Hakim Agung Vonis Ringan Justice Collaborator, artikel diakses pada 19 Nopember 2013 pada hhtp://lpsk.go.id/page/51c1ad91b45e8 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998 Majalah Kesaksian, Apresiasi Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator Minim, Jakarta: LPSK, 2012, edisi II Mary Curtis, Whistleblower Mechanism: A Study of The Perceptions of User and Responders, Dallas: Institute of Internal Auditors, 2006 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008 Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Huku Buku I, Jakarta: Alumni, 2000 ----------, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional Di Masa Kini dan Masa Akan Datang, Jakarta: Makalah, 1995 Moh. Busyro Muqoddas, Politik Hukum dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: UII Press, 1992
95
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori -Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Penerbit Alumni, 1998 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII Press, 2005 Nurini Aprilianda, Perlindunga Hukum Terhadap Tersangka Anak dalam Proses Penyidikan, Malang: Tesis Program Studi Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, 2001 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: Alumni, 2006 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: In-Hill Co, 1989 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Group, 2005
Jakartta: Kencana Prenada Media
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994 ----------, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987 Quentin Dempster, Para Pengungkap Fakta, Jakarta: ELSAM, 2006 Rahardian FN dan Sularto Pujiyono, Praktek Pemidanaan Terhadap Saksi Pelaku Tindak Pidana Yang Bekerja Sama/Justice Collaborator (Telaah Yuridis Putusan No. 14/ Pid.B/ Tpk/ 2011/ Pn.Jkt.Pst Pengadilan Tipikor Jakarta), (Diponegoro Law Review, No. 1, Tahun 2012) Roberta Ann Johnson, Whistleblowing: When It Works and Why, Colorado: Lynne Rienner, 2003
96
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013 Saparinah Sadeli, Persepsi Orang Mengenai Perilaku Yang menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Grafika, 2012
Jakarta: Sinar
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006 Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983 ----------, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990 ----------, Kapita Selekta Hukum Pidana dafam Bab Kedudukan Undang-undang Pidana Khusus dalam Sistem Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986 Sudarwan Danim, Menjadi peneliti Kualitatif , Bandung: Pustaka Setia, 2002 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993 ----------, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2004 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996 Supriyadi Widodo Eddyono, Undang-Undang Perlindungan Saksi Belum Progresif (Catatan Kritis Terhadap Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban), Jakarta: ELSAM & Koalisi Perlindungan Saksi, 2006 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
97
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana tertentu Di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama, 2001, Cet. V Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000 Yutirsa Yunus, Rekomendasi Kebijakan Perlindungan Hukum Justice Collaborator: Solusi Akselerasi Pelaporan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2013
Peraturan Perundang- Undangan : Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang N0. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003