Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013, hal 76-83 ISSN 2302-5719
Volume 1, Nomor 1
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia Theresia Sri Endras Iswarini LSM KAPAL Perempuan Jl. Kalibata Utara I No. 18, Jakarta Selatan - INDONESIA, 12740 Telpon: (021) 7988875 Surel:
[email protected] Diterima: 23 Oktober 2012 Disetujui: 30 Oktober 2012
ABSTRACT One of the most pressing problems for today’s education is the low literacy rate for women, three times lower than male literacy. Inconsistent policy, program and budgeting are three causes of this problem, along with jender injustice. Women’s opportunity to study is easily influenced by its stereotyping as wife and mother. It is often the case that more limitation of women’s opportunity to study is comparable with higher opportunity for its male counterpart, which is considered as breadwinner and being responsible for productive role, which in turn, requiring a more comprehensive learning process. The more limitation to women’s opportunity to study would result to a lack of capability in terms of daily skills, including women’s reproductive health issue.This paper aims to describe women’s literacy rate situation in Indonesia currently, as well as programs, policies and budgeting allotted to increasing literacy rate as ordered by Indonesia Constitution 1945. At the end of the paper, some recommendations are proposed for both government and civil society, including academicians, to deal with the problem in a more effective and thorough way. Also, it is important for government to implement a more affirmative action towards women, including but not limited to revising Laws No.1/1974, about marriage. One of the Laws’ articles regulates the age proper for marriage, which is still below the range of age for learning obligation (wajib belajar). Monitoring mechanism involving civil society and education institution is also required to develop urgently in order to give fresh perspective for establishing the next program and policy of women’s literacy movement.
Keywords: Keaksaraan, keaksaraan perempuan, Pendidikan untuk Semua (PUS), keaksaraan fungsional “Kapankah bangsaku akan maju? Pabilakah kaumku akan bangun?” (Rohana Kudus)1
1
http://kijanglocalmusician.blogspot.com/2012/09/mengenai-rohana-kudus.html diunduh tanggal 23 Oktober 2012. Rohana Kudus adalah seorang perempuan yang mendirikan sekolah perempuan pertama, Amai Setia, di Sumatra Barat pada 1916.
07-Keaksaraan.indd 76
4/18/2013 8:33:11 PM
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
THERESIA SRI ENDRAS ISWARINI
77
pan negara berpopulasi tinggi yang masih dengan tingginya angka Pendidikan adalah sebuah faktor esen- memiliki masalah 2 buta huruf . Hingga tahun 2012, ada tiga sial untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan. Salah satu bagian dari pen- provinsi dengan jumlah buta aksara terdidikan adalah kemampuan perempuan banyak, yaitu Papua (36,31 persen), Nusa dalam beraksara yang kemudian berdam- Tenggara Barat (NTB) 16,48 persen dan Supak pada kemampuannya untuk meng lawesi Barat 10,33 persen. Sedangkan angka atasi kemiskinan dan pemiskinan dalam buta aksara di Nusa Tenggara Timur (NTT) segala bidang kehidupan. Tidak kurang masih 10,13 persen. Kementerian Pendididari Deklarasi MGDs (Millennium Develop- kan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga ment Goals) menekankan esensi pendidikan merilis 7 (tujuh) provinsi yang tingkat buta perempuan sehingga menempatkannya aksara usia 15-59 tahun di atas 5 persen. pada tujuan kedua dan ketiga tentang pen- Ketujuh provinsi itu adalah Gorontalo didikan untuk semua dan pemberdayaan (5,05 persen), Bali (6,35 persen), Sulawesi perempuan dalam hal pendidikan. Bahkan Tenggara (6,76 persen), Papua Barat (7,37 dan KaliKonstitusi RI 1945 juga memandatkan se- persen), Jawa Timur (7,87 persen) 3 cara tegas dalam salah satu pasalnya bahwa mantan Barat (7,88 persen) . Meskipun secara kuantitatif ada perubah setiap orang berhak atas pendidikan dan oleh karena itu Negara harus menjamin an angka buta aksara di Indonesia namun terpenuhinya hak pendidikan warganega- perubahan tersebut masih belum signifikan terutama buta aksara perempuan mengingat ranya tanpa kecuali. PENDAHULUAN
Faktanya, berbagai data memperlihatkan bahwa pendidikan perempuan masih terpinggirkan sehingga menyumbang banyak pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Kemiskinan, ketidaktahuan atas informasi ke sehatan reproduksi dan seksualitas merupakan indikator buruknya kualitas hidup perempuan. Tulisan ini akan memperlihatkan bagaimana situasi pendidikan perempuan di Indonesia dan dampaknya bagi hidup perempuan serta upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak utamanya pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program.
Situasi Keaksaraan Perempuan Laporan Pengawasan Global tentang Pendidikan untuk Semua (PUS) memperlihatkan bahwa Indonesia berada di antara dela-
2 3
07-Keaksaraan.indd 77
segala upaya telah dilakukan bahkan segera setelah kemerdekaan. Menurut Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal untuk Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional, pada Juni 2008, angka buta huruf di kalangan berusia 15 tahun dan di atasnya sekitar 9,763,256 orang (5.97%), di mana sekitar 64%-nya adalah perempuan (6,248,484 orang). Situasi ini tidak berubah signifikan pada 2009 dan 2010. Hal ini terbukti dari lapor an UNFPA (2009) prosentase buta aksara di kalangan perempuan berusia 15 tahun dan di atasnya masih tiga kali lebih tinggi dari lakilaki. (11.2% untuk perempuan dan 4.8% untuk laki-laki). Tabel di bawah ini memperlihatkan situasi buta aksara di Indonesia terutama buta aksara perempuan pada 2009. Tabel 1: Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun dan Lebih yang Buta Huruf menurut
Negara dengan populasi terbanyak lainnya adalah Bangladesh, Brazil, China, Mesir, India, Nigeria dan Pakistan http://www.jpnn.com/read/2012/09/13/139656/Tiga-Provinsi-Punya-Angka-Buta-Huruf-Tertinggi-; diunduh tanggal 23 Oktober 2012
4/18/2013 8:33:11 PM
78
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
Volume 1, 2013
Provinsi, Kelompok Umur dan Jenis Kelamin untuk wilayah Kota dan Pedesaan pada 2009. 15 +
15-24
25-44
45 +
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
Papua
24,48
35,11
29,71
15,72
25,07
20,31
27,02
40,13
33,76
29,51
34,58
31,70
Nusa Tenggara Barat
12,93
25,44
19,82
0,43
1,46
0,99
7,29
14,22
11,13
31,39
59,81
47,19
Nusa Tenggara Timur
9,76
14,15
12,04
2,05
2,36
2,21
5,33
6,14
5,76
21,20
33,60
27,55
Sulawesi Selatan
9,71
5,81
12,98
1,80
1,59
1,69
5,29
7,42
6,43
22,15
36,44
30,02
Sulawesi Barat
9,13
15,59
12,41
2,76
1,95
2,35
6,67
8,00
7,32
19,29
38,44
29,43
Bali
7,08
18,20
12,78
0,91
0,81
0,86
2,15
5,15
3,70
16,12
41,52
29,31
Jawa Timur
7,04
16,91
12,20
0,49
0,64
0,56
2,06
4,80
3,50
15,85
37,22
27,20
INDONESIA
4,35
10,32
7,42
0,45
0,60
0,53
1,64
3,27
2,48
10,75
26,03
18,68
Sumber: Statistik Pendidikan, 2009, BPS
Pada 2010, Direktorat Jenderal Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan Nasional memperkirakan bahwa masih ada sekitar 5.3 juta perempuan yang buta aksara. Terlebih lagi, pemerintah juga menemukan bahwa 70% dari perempuan buta aksara ini adalah perempuan yang berusia 40 tahun atau lebih. Tentu saja ketidakmampuan membaca dan menulis ini berdampak banyak terhadap perempuan, terutama kehidupannya. Dampak dari tingginya angka buta aksara ini antara lain tingginya kecenderungan dari perempuan untuk mengabaikan kondisi kesehatan, nutrisi dan sanitasi yang baik yang akhirnya secara langsung ataupun tidak telah menyumbang pada tingginya angka kematian ibu (AKI), angka kematian anak, dan semakin meningkat-
nya kemiskinan di kalangan perempuan (feminisasi kemiskinan) serta rendahnya partisipasi perempuan dalam politik. Tabel berikut merupakan data penguat betapa kemiskinan dan buta aksara merupakan dua sisi mata uang yang selalu berdampingan. Di satu sisi, Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia (2007) menunjukkan bahwa 25% dari kalangan termiskin adalah buta aksara, sementara tingkat buta aksara di kalangan miskin mencapai 17%. Di sisi yang lain, kalangan terkaya dan kaya memiliki prosentase tinggi dan tertinggi dalam hal keberaksaraan dan sekaligus memperlihatkan bahwa kesejahteraan memiliki pengaruh langsung pada isu keaksaraan (BPS-Statistics Indonesia dan Macro International, 2008).
Tabel 2: Indeks Kesejahteraan dan pengaruhnya pada level keaksaraan di kalangan perempuan menikah berusia 15 tahun keatas (Literacy Level, Indonesia, 2007) Indeks Kesejahteraan
Buta Aksara
Semi Buta Aksara
Mampu beraksara
1 Paling miskin
25%
14%
62%
2 Miskin
17%
10%
73%
3 Agak kaya
11%
8%
82%
4 Kaya
5%
6%
89%
5 Paling kaya
2%
2%
96%
SEMUA
12%
8%
81%
Sumber: Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia, 2007
07-Keaksaraan.indd 78
4/18/2013 8:33:11 PM
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
Laporan lainnya adalah laporan Monito ring Global tentang Pendidikan Untuk Semua (2011) yang memperlihatkan bahwa jumlah perempuan buta aksara diperkirakan sekitar 70% dari total populasi di tahun 20084. Tingkat perbedaan jumlah buta aksara antara perempuan dan laki-laki juga terlihat pada kalangan umur 15 tahun atau lebih di mana perempuan buta aksara sekitar 10.32% sangat jauh diban dingkan dengan buta aksara laki-laki yang hanya sekitar 4.35%. Selain itu, buta aksara di kalangan perempuan pada usia 45 tahun ke atas juga amat besar, sekitar 26.03%. Buruknya situasi keaksaraan perempuan tidak hanya disebabkan oleh persoalan ekonomi dan politik, masalah ketidakadilan jender ternyata menyumbang bagian terbesar
THERESIA SRI ENDRAS ISWARINI
79
dalam proses tersebut. Kesempatan belajar untuk perempuan mau tidak mau dipengaruhi oleh peran stereotipnya sebagai istri dan ibu. Kerapkali kesempatan belajar menjadi lebih terbatas dibandingkan laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumahtangga dan bertanggungjawab atas peran ‘produktif’ yang mensyaratkan proses belajar yang lebih komprehensif. Ke terbatasan belajar yang dialami perempuan berakibat pada rendahnya kemampuan perempuan terutama berkaitan dengan ketrampilan sehari-hari termasuk berkaitan dengan kesehatan perempuan. Tabel 3 berikut memperlihatkan hubungan signifikan antara kemampuan aksara perempuan dengan pe ngetahuan dan penerapan kemampuannya untuk isu kesehatan reproduksi perempuan.
Tabel 3: Perkawinan, Tingkat Kesuburan dan Pengetahuan tentang Kesehatan Perempuan di kalangan Perempuan Menikah berusia 15 tahun dan di atasnya (Literacy Level, Indonesia, 2007) Umur saat pertama kali menikah
Total anak yang pernah dilahirkan
Mendengar tentang STD
Mendengar tentang AIDS
Mengetahui alat kontrasepsi modern
Sedang menggunakan alat kontrasepsi modern
Buta aksara
17.1
4.0
15%
12%
92%
45%
Semi Buta Aksara
17.8
3.9
30%
27%
97%
51%
Melek aksara
19.6
3.5
74%
72%
99%
60%
Level SMA/Univ.
24.3
2.7
99%
99%
100%
52%
ALL
18.7
3.7
64%
62%
98%
58%
Sumber: Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia, 2007
Perkembangan Kebijakan dan Program Keaksaraan Upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia, secara formal, sesungguhnya dimulai sejak 1949 ketika hampir 90% dari populasi mengalami buta aksara dan hanya 3% 4
07-Keaksaraan.indd 79
yang pernah mengecap pendidikan formal di sekolah. Pada 1951, “Rencana Pendidik an Komunitas Sepuluh Tahun” menarget kan berkurangnya angka buta aksara da lam sepuluh tahun. Meski rencana ini telah dilakukan dan angka buta aksara masih
The Education For All, Global Monitoring Report (EFA GMR) yang dirilis UNESCO setiap tahun juga merefleksikan situasi nasional pendidikan di Indonesia.
4/18/2013 8:33:11 PM
80
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
tetap tinggi sekitar 40% di tahun 1960 maka pemerintah kemudian mengadopsi Program Keaksaraan Fungsional atau Keaksaraan Tradisional UNESCO dari 1966 sampai 1979. Program ini mengkombinasikan keaksaraan dan ketrampilan hidup (Jalal dan Sardjunani, 2005:11) dengan menggunakan “Lingkaran Spiral” yang mana pengajaran dan pembelajaran dimulai dari masalah personal sehari-hari dan kemudian meluas pada masalah keluarga dan komunitas. Program ini berhasil menurunkan angka buta aksara hingga 16% dari populasi yang berusia 10 tahun keatas (Jalal dan Sardjunani, 2005). Jauh sebelum program ini dibuat, seorang perempuan dari Bukittinggi, Sumatra Barat, Rohana Kudus, mendirikan tempat pendidikan yang diberinya nama Amai Setia (sumber lain mengatakan Amat Setia)5. Tempat pendidikan ini diperuntukkan bagi perempuan agar bisa membaca dan mandiri. Hal ini dikarenakan pada saat itu perempuan masih dipingit dan keluar rumah adalah hal tercela bagi mereka. Bagi masyarakat Minang, apa yang dilakukan Rohana ini adalah sebuah upaya “maju” bagi zamannya. Meski mendapat tekanan dari banyak pihak, tetapi Rohana terus melanjutkan apa yang dia yakini sebagai hal yang harus dilakukan. Di Amai setia, Rohana mengajarkan kete rampilan membaca dan menulis. Namun dua keterampilan ini saja disadari tidak cukup. Karena itu, Rohana bergerak lebih jauh lagi, yaitu dengan cara membentuk Organisasi Kerajinan Amai Setia pada 1911. Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk pemberdaya an perempuan. Lewatnya, Rohana berharap agar perempuan tidak lagi menggantungkan hidupnya pada siapapun sekedar mencukupi kebutuhan dasar hidupnya karena mereka sudah memiliki penghasilan sendiri. Di sinilah
Volume 1, 2013
sebenarnya pada konteks Indonesia, rintisan Keaksaraan Fungsional telah dilakukan oleh seorang Rohana Kudus. Pada 1990, pemerintah menerapkan Program Pendidikan Dasar Sembilan Tahun bagi anak-anak berusia 5-13 tahun. Program ini telah mengubah cara pandang pemerintah dalam program keaksaraan. Program keaksaraan ini dilengkapi dengan program keaksaraan fungsional pada tahun 1995 yang menekankan pada program keaksaraan untuk mengungkap kondisi sosial bagi mereka yang tidak memiliki akses pada pendidikan formal. Program ini menyumbang secara signifikan pada pe ngurangan angka buta aksara untuk populasi yang lebih muda baik untuk perempuan dan laki-laki, pada 2000. Pada 2003, pemerintah mengeluarkan UU Pendidikan Nasional No. 20/2003. Di pasal 26 disebutkan bahwa program keaksaraan merupakan bagian dari pendidikan non-formal dan menjadi basis legal bagi pemerintah mengeluarkan Ketetapan Pemerintah No. 7/2005 yang isinya menegaskan bahwa Peme rintah Indonesia memprioritaskan program keaksaraan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-2009). Pada 2005, guna merespon tingginya angka buta aksara perempuan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri No. 1/PB/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Buta Huruf bagi Perempuan. SKB ini ditandatangani oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasio nal. Lebih jauh, Menteri Pendidikan Nasional mengambil langkah krusial untuk memastikan adanya kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan perempuan melalui program aksi pengarusutamaan jender termasuk pembentukan kelompok kerja jender dan pendidik an yang anggotanya berasal dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah; penyediaan
Lihat artikel berjudul “Potret Edisi 27: Rohana Kudus; Potret Kehidupan bagi Kaum Perempuan” yang bisa diakses di http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=452:potret-edisi-27-rohana-kudus-potret-kehidup an-bagi-kaum-perempuan&catid=42:potret&Itemid=331 5
07-Keaksaraan.indd 80
4/18/2013 8:33:11 PM
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
anggaran pendidikan berbasis jender dengan peningkatan tahunan, analisa jender dalam pendidikan; revisi buku-buku bacaan dan ilustrasi yang lebih adil jender dan advokasi serta sosialisasi dan peningkatan kapasitas bagi mereka yang terlibat dalam program pendidik an (UN Division for the Advancement of Women, 2004:5). Meski demikian, fokus program masih berkisar pada membaca, menghitung dan me nulis. Hal ini dapat dilihat dari definisi buta aksara perempuan yang dinyatakan dalam SKB 3 Menteri tersebut yaitu perempuan yang buta aksara Latin dan Arab, bahasa Indonesia dan pengetahuan dasar. Dengan fokus ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya program tidak terlalu menekankan pada upaya pemberdaya an perempuan dalam program keaksaraan perempuan. Target besar dari pemberantasan buta aksara ditempatkan pada Instruksi Presiden No. 5/2006 tentang gerakan nasional untuk melawan buta aksara dan percepatan wajib belajar 9 tahun. Ada 6 kementerian yang terlibat dalam program nasional ini yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Pihak lain yang terlibat adalah Kepala BPS, Gubernur dari setiap propinsi dan Bupati dari setiap kabupaten. Lebih jauh lagi, Menteri Pendidikan Nasio nal juga menyediakan panduan pelaksanaan pada tingkat pemerintah dan non-pemerintah untuk mengukur tingkat keaksaraan di Indonesia. Sementara Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran untuk Gubernur, Bupati dan parlemen di tingkat lokal untuk mengalokasikan bujet demi menyukseskan gerakan nasional ini.
6
THERESIA SRI ENDRAS ISWARINI
81
Pada 2007, Menteri Agama menandata ngani Perjanjian Kerjasama dengan Menteri Pendidikan Nasional untuk melaksanakan pendidikan keaksaraan dan pendidikan nonformal lainnya ke dalam institusi pendidikan berbasis agama. Dalam konteks alokasi bujet, Menteri Pendidikan Nasional dan Gubernur serta Bupati dari 26 propinsi menandatangani Perjanjian Kerjasama pengalokasian bujet program nasional ini. Dalam kaitannya dengan bujet, anggaran pendidikan masih belum mencapai 20% dan belum memenuhi amanat Konsitusi RI 1945 pasal 31 Ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ironisnya, anggaran tersebut terus mengalami penurunan merujuk pada hasil pantauan dan kajian FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran). Anggaran pendidikan tahun 2008 mengalami penurunan dibanding tahun 2007. Pada 2008, Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 64,029 triliun dari total belanja APBN sebesar Rp 854,66 trilun. Jika dipersentasekan, belanja pendidik an hanya mendapatkan jatah 7,5% dari total belanja APBN tahun 2008. Alokasi anggaran pendidikan di tahun 2009 bahkan menurun menjadi 5,9%, atau terjadi penurunan hingga 1,57%. Dari total belanja 1,037 triliun, anggaran pendidikan hanya mendapatkan jatah 61,5 milyar6. Anggaran 20% yang selama ini diumumkan ke publik termasuk di dalamnya yaitu anggaran belanja pegawai atau guru. Masih berdasarkan kajian FITRA, bahkan di daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus Pendidikan, rata-rata pemerintah daerah di 29 daerah wilayah kajian FITRA, hanya berkomitmen mengalokasikan belanja langsung pendidikan 4,6% dari total belanja APBD dan anggaran
FITRA. Catatan Akhir Tahun 2008
Lihat catatan di http://www.smeru.or.id/report/training/menjembatani_penelitian_dan_kebijakan/untuk_organisasi_advokasi/files/111.pdf
7
07-Keaksaraan.indd 81
4/18/2013 8:33:12 PM
82
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
pendidikan hanya dialokasikan antara 1,4% hingga 8,8%.7 Tabel 4 memperlihatkan jumlah anggaran yang disediakan untuk program keaksaraan di
Volume 1, 2013
9 propinsi dan hanya Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berinisiatif untuk menyediakan dana sendiri pada tahun 2007 dan 2008.
Tabel 4: Alokasi bujet untuk program keaksaraan fungsional di sembilan propinsi No
Propinsi
Bujet Nasional 2007
2008
Bujet Regional 2007
Swa dana
2008
2007
2008
Total 2007
2008
1
NTT
14,964
12,053
-
-
14,964
12,053
2
Jawa Barat
13,087
18,078
-
-
13,087
18,078
3
Jawa Tengah
9,882
2,379
12,670
2,719
126,698
28,887
149,250
33,985
4
Sulawesi Selatan
7,777
8,986
690
781
-
8,467
9,767
5
NTB
6,458
8,434
-
-
6,458
8,434
6
Kalimantan Selatan
2,298
2,559
-
-
2,298
2,559
7
Sulawesi Tengah
1,455
1,326
129
115
-
-
1,584
1,441
8
Bali
1,495
1,690
1,088
1,223
-
-
2,583
2,913
9
Jawa Timur
1,022
981
1,310
1,121
13,099
11,914
15,431
14,016
Jumlah Indonesia
64,046
67,989
22,691
14,347
152,581
48,627
239,318
130,963
Sumber: Statistik Non-formal Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2007 and 2008
Rekomendasi Artikel pendek ini merekomendasikan agar pemerintah memberikan perhatian khusus pada situasi dan kondisi keaksaraan perempuan. Ada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali seluruh program yang ada dan menyesuaikan dengan kesepakatan dan komitmen internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah, misalnya CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), Deklarasi Dakar, dsb. Seluruh prinsip dan target yang melekat pada kesepakatan internasional ini harus dinyatakan secara jelas dalam kebijakan lokal dan nasional dan diterjemahkan dalam program-program efektif dengan anggaran yang memadai demi memastikan semua program dan kebijakan dapat dilaksanakan. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus mempertimbangkan kebijakan yang
07-Keaksaraan.indd 82
lebih berpihak pada perempuan dan memberi lebih banyak lagi kesempatan belajar. Pen ting juga bagi pemerintah untuk mengamandemen UU No.1/1974 tentang Perkawinan di mana salah satu pasalnya mengatur tentang umur perkawinan. Dalam pasal tersebut, anak perempuan diperbolehkan menikah pada umur 16 tahun, padahal sebenarnya umur tersebut masih termasuk umur sekolah (wajib belajar). Oleh karena itu penting bagi peme rintah untuk mengamandemen dan menaikkan umur pernikahan bagi anak perempuan menjadi minimal 18 tahun. Selain itu, perlu ada aturan yang melarang sekolah mengeluarkan anak perempuan yang mengalami kehamilan dini karena hal tersebut justru melanggar hak anak atas pendidikan. Sebuah mekanisme monitoring yang efektif juga penting untuk dikembangkan agar prog ram-program pendidikan keaksaraan pe rem puan dapat terawasi dengan baik dan
4/18/2013 8:33:12 PM
Keaksaraan dan Hak Perempuan atas Pendidikan di Indonesia
THERESIA SRI ENDRAS ISWARINI
83
2007. Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International. Laporan Monitoring Pendidikan Untuk Semua. (2011). The Hidden Crisis: Armed Conflict and Education. Paris, Perancis: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Jalal, Fasli dan Sardjunani, Nina. (2006). “Peningkatan Keaksaraan Demi Harapan yang Lebih Baik untuk Indonesia.” Dalam Ringkasan Laporan Pengawasan Global Pendidikan Untuk Semua, Keaksaraan untuk Kehidupan. Tanpa nama dan kota penerbit. Diunduh dari http://unesdoc.unesco.org/ images/0014/001442/144270ind.pdf Menteri Pendidikan Indonesia. (2010). Country Paper prepared for the Eighth E-9 Ministerial Review Meeting. Ministry of Education of Indonesia. Muchtar, Yanti, dkk. (Tim editor). (2007). Indonesia: Ringkasan Laporan Riset Monitoring Keaksaraan. Jakarta: South Asia Pacific Bureau for Adult Education. United Nations Children’s Fund. (2005). Early Marriage A Harmful Traditional Practice A Statistical Exploration. New York: UNICEF. United Nations Development Program. (2010). Women in Politics in Governance in Indonesia. Publish Place: UNDP. United Nations Division for the Advancement of Women. (2004). Member States DAFTAR PUSTAKA Responses to the Questionnaire on Implementation of the Beijing Platform for BPS. (2009). Prosentase Populasi Buta Aksara Action (1995) and the Outcome of the berdasarkan Propinsi dan Umur, 2003Twenty-Third Special Session of the Ge 2010. Jakarta: BPS-Statistic Indonesia. neral Assembly, Publish Place: UNDP Diunduh dari http://dds.bps.go.id/eng/ Diunduh dari http://www.un.org/womtab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_ enwatch/daw/Review/responses/INDOsubyek=28¬ab=5; diakses tanggal 23 NESIA-English.pdf; diakses tanggal 23 Oktober 2012. Oktober 2012. BPS dan Macro International. (2008). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia menghasilkan sebuah analisa baru tentang keaksaraan khususnya bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Partisipasi lebih dari kelompok masyarakat sipil, komunitas dan pemangku kepentingan lainnya dalam program keaksaraan perempuan dapat memberikan kualitas yang lebih baik dan menyumbangkan data yang lebih akurat yang dibutuhkan dalam merancang kebijakan dan program. Pemerintah juga perlu mengakui dan mendukung kerja-kerja yang telah dilakukan komunitas maupuan masyarakat sipil termasuk institusi pendidikan dalam pemberantasan buta aksara perempuan. Dukungan tersebut dapat dilakukan melalui penyediaan anggar an pendidikan perempuan dan pengelolaan programnya. Upaya inisiatif ini selanjutnya akan memberikan data dan informasi tambah an berkaitan dengan pelaksanaan program keaksaraan perempuan dan mereka dapat menjadi mitra kunci dalam mengawasi pelaksanaan program, terutama di tingkat lokal. Hal yang sama dapat diterapkan pada masyarakat sipil yang bekerja di tingkat nasional dan telah melakukan berbagai kegiatan seperti melakukan lobi kepada tim TNP2K, tim yang menangani program-program pemberantasan kemiskinan; membangun jaringan seperti Ja ringan Pendidikan Perempuan yang melakukan advokasi dan monitoring terhadap program-program keaksaraan perempuan.
07-Keaksaraan.indd 83
4/18/2013 8:33:12 PM