KATA PENGAN TAR DR. Harifin A. Tumpa, SH.,MH
Relasi yang intim antara hakim dan hukum merupakan sesuatu yang tidak mungkin "diceraikan". "Menceraikan" keduannya adalah sama dengan memisahkan jiwa dari tubuh. Jika jiwa bercerai dengan tubuh, maka tubuh yang material akan rubuh, karena yang menjadi penopangnya adalah jiwa. Hukum tidak mungkin bisa terlihat tanpa diterapkan oleh aparat hukum. Hakim adalah salah satu aparat hukum. Maka hakim adalah "yang material" dari hukum, sementara hukum adalah jiwa yang menggerakan hakim untuk memutuskan. Kombinasi antara "jiwa hakim", "jiwa hukum", dan "hakim sebagai manusia yang material", maka dari sanalah lahir keputusan hukum yang holistik. Yakni suatu keputusan hukum yang di dasarkan atas nalar filosofis, sosiologis dan yuridis. Ketiganya membentuk di dalam satu bingkai yang dibungkus oleh lahirnya suatu putusan yang adil. *** Dalam konteks negara modern, kebutuhan hukum antar Negara juga menjadi tak terhindarkan. Maka regulasi merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan. Dalam konteks ini, perkara perdata, pidana, Tata Negara, dan HAM adalah merupakan sesuatu yang tidak lahir dari ruang hampa sosial. Ada settingan sosial, politik, ekonomi dan kultural yang melekat di dalamnya. Ada ruang "lain" yang dating mengintervensi. Sebab itu, tidak ada Negara yang bisa berdiri tanpa pengaruh
dari Negara lain. Sehingga Werner Menski menyebutnya dengan teori Triangular concept of Legal Pluralism untuk menyebut hukum di era global. Hukum tidak lagi tunggal, tetapi hukum adalah merupakan kombinasi antar berbagai budaya, ideologi, sistem dan situasi politik. *** Sebab itu, keputusan hukum, akan ditentukkan oleh apa yang dianut oleh hakim melalui pendekatan yang dilakukan serta paradigma yang dianut. Ada tiga judul buku saya yang terbit bersamaan dengan buku ini dengan judul yang berbeda, yakni: (1) Relevansi Konvensi New York Dengan Eksistensi Dan Implementasi Keputusan Arbitrase Asing Di Indonesia (2) Menakar Nala! Putusan Hakim Dalam Perkara Perdata; (3) Memahami Sumber Hukum, Jenis, Azas-Azas Dan PrinsipPrinsip Dalam Arbitrase Di Indonesia. Ketiga buku ini terbit pada scat yang bersamaan, setelah sebelumnya terbit buku yang berjudul "Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia". Ketiga buku ini, telah diperiksa oleh editor yang saya percaya adalah para penulis hebat, telah memiliki banyak buku dan tulisan di berbagai media massa. Seperti, DR. Hamzah Halim, DR. Slamet Sampurno Soewondo dan Fajlurrahman Jurdi. Ketiganya telah menulis beberapa buku, dan mereka pula yang bekerja sama mengedit buku saya yang terbit pertama. Oleh karena itu, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ketiga editor karena tanpa dorongan dan kerja keras mereka, buku ini tidak mungkin terbit. Juga terima kasih kepada Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia yang telah menerbitkan
buku ini. Sebuah Pusat kajian yang telah banyak menerbitkan buku-buku politik, ekonomi dan hukum. Buku ini saya persembahkan kepada Istri dan anak saya yang telah setia menemani dan sabar menunggu ditengah tumpukan kesibukan yang tiap hari menyita waktu. Sehingga waktu yang seharusnya untuk mereka, terkadang harus "dikorupsi" karena mengurus kepentingan bangsa dan Negara. Tetapi istri saya selalu meniupkan energi dan keyakinan, bahwa mengurus bangsa dan umat adalah merupakan persoalan banyak orang dan bernilai ibadah. Mementingkan urusan umat dan bangsa diatas kepentingan pribadi adalah merupakan sikap seorang muslim yang beriman. Mudah-mudahan kehadiran buku ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran di bidang hukum. Saya sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Selamat membaca. Jakarta, 01 Februari 2010 Harifin A. Tumpa
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
5
DAFTAR ISI
9
Bab I PENDAHULUAN
11
A. Latar Belakang
11
B. Kerangka Epistesmologi
15
Bab II KEDUDUKAN HAKIM DALAM SENGKETA/ PERSELISIHAN
19
A. Sengketa/Perselisihan
19
B. Kedudukan Hakim
26
1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas.
26
2. Tugas dan Kewajiban Hakim
28
C. Putusan Hakim
38
1. Hakim Harus Menemukan Hukum
38
2. Kekuatan dari Putusan Hakim
39
Bab III PUTUSAN HAKIM DALAM SENGKETA PERDATA
43
A. Dasar Pemeriksaan Perkara Perdata
43
B. Putusan Sela
55
C. Putusan Akhir
57
Bab IV PUTUSAN YANG DAPAT DILAKSANAKAN
63
A. Putusan Yang Tidak Dapat dilaksanakan
64
1. Putusan yang Batal Demi Hukum
64
2. Putusan Verstek
65
3. Putusan yang Tidak Mengandung Suatu Perintah
65
4. Diktum Putusan yang Tidak Jelas dan Tegas
65
5. Perintah Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu
68
6. Putusan yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap
71
7. Putusan yang Dihilangkan Kekuatannya Oleh Putusan Lainnya
72
B. Putusan Yang Dapat Dilaksanakan
75
1. Putusan yang Bersifat Condemnatoir
75
2. Akte Perdamaian
78
C. Kapan Suatu Putusan Dapat Dilaksanakan
88
1. Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
88
2. Ada Suatu Putusan Provisi.
93
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN
103
A. Kesimpulan
103
B. Saran
105
DAFTAR PUSTAKA
103
CURRICULUM VITAE
109
BIODATA EDITOR
117
Bab 1 PEN DAH ULUAN
A. Latar Belakang Di dalam negara hukum kita temui, betapa hukum telah dijadikan sebagai suatu dasar yang dapat diterima sebagai suatu prosedur yang syah dalam melakukan tindakan-tindakan dalam masyarakat. Oleh karena itu sebagai salah satu ciri utama suatu negara hukum adalah terletak pada kecenderungannya untuk menilai kepada tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat yang didasarkan atas peraturanperaturan hukum. Dalam suasana yang demikian itu, tampaknya tidak mudah bagi masyarakat untuk melepaskan diri dari persepsi mengenai hukum sebagai, suatu prosedur. Namun demikian banyak peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini, terutama yang berasal dari pemerintah Hindia Belanda, yang sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan serta ketinggalan oleh perkembangan dan kemajuan masyarakat, hal ini yang menyebabkan serta menimbulkan dimana masyarakat telah menghendaki adanya suatu peraturan perundang-undangan yang Baru, yang sesuai dengan keadaan perkembangan zaman. Salah satu lembaga yang menegakkan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum adalah diadakannya badan-badan peradilan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang No. 14 tahun 1970 Jo Undang-undang No. 35/1999 tenting ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Di dalam pasal 10 (1) UU No. 14/1970 Jo Undang-undang No. 35/1999 tersebut, disebutkan 4 (empat) lingkungan Peradilan, yaitu : a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer d. Peradilan Tata Usaha Negara ; Yang akin Penulis bicarakan dalam tesis ini adalah " Putusan hakim Perdata Peradilan Umum yang dapat dieksekusi ". Di dalam UU No. 2 tahun 1986 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang merupakan Peradilan Tin4cat Banding (pasal 6 UU No. 2 tahun 1986). Kewenangan dari Peradilan umum ini disebutkan di dalam pasal 50 dan 51 UU No. 2 tahun 1986 adalah memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan perkara perdata yang diajukan kepadanya. Mahkamah Agung sebagai puncak dari semua lingkungan peradilan antara lain mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutuskan semua permohonan kasasi yang bcrasal dari keempat lingkungan peradilan yang disebut dalam UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas, termasuk permohonan kasasi atas putusan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi). Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa 2 tugas dari hakim peradilan umum adalah memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa perdata yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara dengan alasan
bahwa hukum tidak mengatur atau kurang jelas (pasal 14 UU No. 14 tahun 1970 Jo Undang-undang No. 35/1991). Untuk melaksanakan tugas tersebut diatur oleh hukum acara perdata, yaitu ketentuanketentuan hukum untuk mewujudkan hukum perdata materil. Hukum perdata itu sendiri mengatur hubungan hukum antara orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan hukum di dalam masyarakat, juga kumpulan benda (yayasan boedel) dalam hal tertentu. Hubungan itu kadang-kadang diatur sendiri oleh mereka, sesuai keinginannya, tanpa harus melalui pejabat atau instansi yang resmi. Hal ini biasanya demi kecepatan lalu lintas hukum. Tetapi di dalam masyarakat yang berdasarkan pengalaman empirisnya ingin mengatur hubungan hukum antara mereka lebih forma misalnya dalam melakukan suatu perjanjian dilakukan dihadapan Notaris atau untuk menghemat biaya dilegalisir oleh Notaris atau dibuat secara dibawah tangan. Dengan adanya hubungan hukum yang demikian itu terciptalah suatu hak dan kewajiban yang pasti bagi para pihak yang melakukan hubungan hukum itu. Akan tetapi seringkali terjadi, bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban itu tidak ditaati oleh satu pihak dan dengan demikian telah terjadi pelanggaran hak orang lain. Akibatnya, terjadilah gangguan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat. Pelanggaran yang terjadi tersebut, kadang-kadang dimaafkan oleh pihak yang dirugikan atau damai, tetapi banyak pula pelanggaran hak dan kewajiban itu harus diselesaikan melalui pengadilan. Jika telah sampai pada tahap demikian Hukum Acara Perdata mulai memegang peranan yang penting.
Di dalam, Hukum Acara Perdata tersebut, pada hakekatnya mengatur 2 (dua) pokok, yaitu : 1. Tindakan-tindakan atau acara-acara untuk dan pada persidangan 2. Hal-hal yang bersangkut paut dengan eksekusi Kedua rnasalah tersebut bersangkut paut dengan putusan akhir dari hakim. Masalah yang pertama mengatur hal-hal yang antara lain berhubungan dengan gugatan, kompetensi pengadilan, pemanggilan para pihak, jawaban gugatan rekonpensi, gugatan insidentil, sita jaminan, pembuktian dan lain-lain yang pada akhirnya bermuara pada putusan akhir dari hakim. Masalah yang kedua, putusan akhir dari hakim merupakan titik tumpu suatu eksekusi. Putusan akhir yang mengabulkan gugatan Penggugat pada hakekatnya dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam yaitu putusan yang bersifat : 1) DEKLARATOIR, Yaitu suatu putusan dalam amar putusannya menyatakan suatu keadaan sah menurut hukum. Misalnya: Penggugat dinyatakan sebagai pemilik dari sebuah rumah. 2) KONSTITUTIF, Yaitu suatu putusan dalam amar putusannya menyebutkan atau menciptakan suatu keadaan barn. Misalnya: Perkawinan penggugat dan tergugat putus karena percera4 atau menyatakan batal suatu perjanjian, menyatakan seseorang dalam keadaan pailit, dan sebagainya. 3) KONDEMNATOIR, Yaitu suatu putusan dalam amar putusannya terdapatatau menyebutkan suatu penghukuman. Misalnya: Menghukum tergugat untuk mengosongkan
rumah
berikut
tanahnya,
menghukum
pula
tergugat
untukmembayar ganti rugi kepada penggugat, menyerahkan suatu barang lainlain.1 Putusan yang dapat dieksekusi hanyalah putusan-putusan yang bersifat Kondemnatoir, yaitu suatu putusan yang mengandung perintah atau penghukuman terhadap Tergugat. Apabila penulis membicarakan tentang eksekusi putusan hakim, maka yang penulis maksud adalah "Putusan-putusan yang mengabulkan gugatan perdata yang bersifat Kondemnatoir" saja. Putusan Kondemnatoir itu dapat berupa : a) Menyerahkan suatu barang b) Mengosongkan sebidang tanah, rumah, atau bangunan c) Melakukan suatu perbuatan tertentu d) Menghentikan dan melarang suatu perbuatan tertentu e) Membayar sejumlah uang Suatu putusan hakim perdata yang memenangkan seseorang dalam sengketa perdata tidaklah mempunyai arti apabila yang ditentukan dan yang ditetapkan oleh Hakim perdata tersebut.
B. Kerangka Epistesmologi Masalah eksekusi yang merupakan pelaksanaan suatu putusan hakim, termasuk dalam ruang lingkup Hukum Acara Perdata. Eksekusi adalah merupakan
1
125
Bandir dengan R. Subekti, SH. Prof. Hukum Acara Perdata BPHN Bina Cipta. 1977 hal.
perwujudan kepastian hukum karena disanalah akan terlihat dengan nyata akhir dari suatu proses beracara di Pengadilan. Untuk menjamin kepastian hukum tersebut maka diperlukan hukum acara yang lengkap. Oleh karena itu pada waktu HIR dirancang oleh Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda waktu itu Jhr. Mr.H.L Wichers (1846) ada yang menganggap bahwa rancangan tersebut terlalu sederhana, dan mereka menginginkan rancangan HIR itu harus lengkap seperti yang terdapat dalam RV. Akhirnya rancangan tersebut disetujui dengan penambahan pasal 393 HIR yang didalamnya tercantum bahwa apabila benarbenar dirasakan perlu didalam perkara perdata dapat dipergunakan aturan lain yang lebih sesuai yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam RV.2 Hukum Acara Perdata umumnya dan eksekusi pada khususnya harus dilakukan dengan sangat cermat dan teliti, oleh karena apabila terjadi penyimpangan serius, maka yang akan terjadi adalah kesewenang-wenangan, (Abus de Pauvoir). Dalam teori Abus de Pauvoir terjadi oleh karena mengabaikan pemikiran "Hyle Morphe" seperti yang dikemukakan oleh ARISTOTELES bahwa pemikiran mengenai hukum materil (Hyle) hendaklah mengarah pada realitas tentang adanya keadilan, sedangkan pemikiran mengenai hukum formil (morphe, From, Bentuk) mengacu kepada realitas adanya kepastian hukum. Ajaran Positivisme hukum yang dirintis oleh John Austin (1790 - 1859) didalam ajaran hukum analisis (Analytical Jurisprudence) mengatakan bahwa materi
2
Retnowulan Soetantio,SH.Cs, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. CV. Mandar Maju Bandung, Cetak VII hal. 7-8.
pokok yurisprudensi adalah hukum positif yaitu hukum yang disusun oleh penguasa untuk warga negara atau hukum yang disusun oleh makhluk rasional yang memiliki kekuatan untuk menuntun prilaku makhluk sosial lain dibawah kekuasaannya.3 Ajaran ini memiliki sasaran utama berupa penetapatan konsep hukum yang semata-mata berdasarkan peraturan (ordonansi) yang sedang berlaku atau yang sudah ada tanpa memperhatikan dasar-dasar keberadaannya.4 Menurut ajaran legisme tersebut penegakan hukum akin tercipta apabila penegak hukum dalam menerapkan hukum telah melaksanakan hukum menurut ketentuan peraturan yang berlaku. Menurut Hans Kelsen dalam ajarannya Reine Rechtslehre, hukum tidak boleh mencampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah dan sebagainya, bahkan tidak boleh dicampuri oleh masalah keadilan, karena keadilan menurut Hans Kelsen adalah masalah politik.5 Ajaran legisme tersebut diatas, didalam hukum acara telah dituangkan dalam ketentuan pada HIR (yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura) dan Rbg (yang berlaku diluar Pulau Jawa dan Madura). Khusus yang mengatur tentang eksekusi diatur didalam pasal 195 s/d 225 HIR atau pasal 206 s/d 259 Rbg. Ketentuan-ketentuan eksekusi tersebut diatas adalah merupakan pengertian "Inabstrakto" yang harus dioperasikan dalam bentuk "Inkonkrito" yaitu dengan menetapkan Ketua Pengadilan Negeri.
3 4 5
E. Sumaryono "Etika Hukum" Konesius 2002, Hal. 189 E. Sumaryono "Etika Hukum" Konesius 2002, hal. 189 Soetrisno, Filsafat Hukum Bagian I Pradnya Pramita, Jakarta Cetakan ke-9 Hal. 60
Penetapan dalam bentuk "Inkonkrito" yang dibuat oleh hakim/Ketua Pengadilan Negeri harus dilaksanakan oleh Jurusita (Deurwaarder) sebagai pelaksana eksekusi. Hakim/Ketua Pengadilan Negeri dan Jurusita sebagai pelaksana penetapan hakim, masing-masing mempunyai tanggung jawab secara independent sebagaimana yang disebut dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 195 HIR/206 Rbg, menyatakan bahwa pelaksana putusan Pengadilan dilakukan atas perintah dan dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan dan didalam pasal 197 HIR/208 Rbg menyatakan bahwa jika telah lewat tenggang waktu yaitu telah ditetapkan putusan itu tidak dijalankan, maka Ketua karena jabatannya mengeluarkan surat perintah untuk menyita bendabenda secukupnya. Penyitaan tersebut dilakukan oleh Jurusita Pengadilan Negeri atau yang mewakilinya dengan disaksikan oleh dua orang saksi (pasal 197 ayat 2 HIR . 209 ayat 2 Rbg s/d 197 ayat 9 HIR / 202 Rbg). Eksekusi kebanyakan dilakukan dengan upaya paksa, karena biasanya pihak yang kalah tidak mau dengan suka rela melaksanakan suatu putusan. Upaya paksa tersebut dilakukan oleh sebuah otoritas untuk menciptakan kenyamanan dan keseimbangan. Menurut Agustinus dan Thomas Aquinas, bahwa sebuah otoritas diperlukan dalam hidup komunitas, sebab pada dasarnya manusia memiliki sifat rakus atas hal-hal duniawi dan hal ini menyebabkan terjadinya pertikaian antar individu.6
6
E. Sumaryono. Op.Cit, hal 41
Bab II KEDUDUKAN HAKIM DALAM SENGKETA/ PERSELISIHAN
A. Sengketa/Perselisihan Perkara yang diajukan para pencari keadilan kemuka Hakim pada hakekatnya ada 2 yaitu : 1. Perkara Permohonan 2. Perkara Gugatan ad. 1. Perkara permohonan Perkara yang diajukan oleh orang yang berkepentingan untuk memperoleh penetapan misalnya permohonan pengangkatan anak, permohonan penetapan ahli waris, permohonan afwezig (ketidakhadiran), permohonan dispensasi untuk kawin dan lain-lain. Dalam perkara permohonan ini hanya ada satu pihak yaitu hanya pemohon sendiri tanpa ada lawan. Perkara permohonan hanya dapat diajukan kemuka hakim apabila undangundang menentukan ada urgensinya. Suatu persoalan pernah diajukan ke Mahkamah Agung sehubungan dengan permohonan penetapan ahli waris, untuk gunakan balik nama atas sebidang tanah warisan.
Mahkamah Agung dalam fatwanya tanggal 25 Maret 1991 No. KMA/04 I/HI/1991, menjelaskan bahwa dalam persoalan balik nama dan pembuatan sertifikat atas tanah warisan tidaklah diperlukan dari Pengadilan Negeri, cukup dengan keterangan ahli waris yang disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat. Pengadilan Negeri Jakarta Barat pernah menerima permohonan dari Bahar Syamsu yang terdaftar di Kepaniteraan dibawah Register No.746/P/1988/PN. Jakarta Barat dimana dalam permohonan tersebut pemohon meminta agar is dapat di tetapkan sebagai penggarap atas sebidang tanah negara lebih kurang 8000 m2. Permohonan ini digugurkan oleh Hakim, pemohon tidak pernah muncul lagi setelah dijelaskan kepadanya bahwa permintaan deinikian tidak dibolehkan. Mahkamah Agung telah mengambil ketetapan No.5 Per/ Sip/1975 tertanggal Juni 1973, yang membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat masingmasing, tertanggal 27 Juni 1972 No. 272/P, dan tertanggal 13 Juni 1972 No.273/P dan menetapkan bahwa kedua penetapan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Kedua
penetapan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
tersebut,
telah
mengabulkan permohonan dari pemohon yang memohon agar rapat pemegang saham dan susunan dari PT. Telaga Mas Alimental Company, adalah sah. Di dalam pertimbangan Mahkamah Agung disebutkan bahwa kedua ketetapan tersebut secara prosessueel harus. didasarkan atas suatu gugatan, dalam mana pihak yang terkena oleh petitum dalam permohonan tersebut dapat diberi kesempatan untuk membela diri dan berhak didengar oleh Hakim, bahwa seharusnya Diktum tersebut berbentuk
putusan yang bersifat menghukum, dimana pihak yang dihukum telah didengar pembelaannya dan dipertimbangkan alatalat buktinya dalam suatu gugatan.1 Perkara permohonan biasanya juga disebut perkara Voluntair atau perkara semu oleh karena tidak ada pihak yang bersengketa. Disini hakim hanya memberikan jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan yang lazim disebut putusan deklaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim, tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya suatu gugatan (bandingkan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 23 Oktober 1957 No. 130-K. Sip/ 1957, termuat hukum 1958 No. 7.8 halaman 102).2 Di dalam Buku II Pedoman Administrasi Pengadilan disebutkan antara lain: 1. Tidak semua permohonan dapat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan, apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundangundangan atau yurisprudensi. Contoh : a. Permohonan pengangkatan wall bagi anak yang belum dewasa. b. Permohonan/pengampunan bagi orang yang kurang ingatan misal karena pikiran tidak sempurna. c. Permohonan dispensasi nikah (Pasal 7 UU No. 1/1974).
1
Reader III. Penemuan hukum dan pemecahan masalah hukum, Jilid I, TIM Pengkajian Hukum MA. RI. 1991, Hal.591 2 Ny. Retno Wulan Sutanto, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni Bandung 1979.
d. Permohonan izin nikah (Pasal 6 (5) UU No. 1/1974). e. Permohonan pengangkatan anak (SEMA No.6/1983). f. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam Akte Catatan Sipil (Pasal 49 dan 50) ordonansi penduduk jawa dan Madura. 2. Permohonan untuk menetapkan bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dibenarkan untuk dikabulkan. 3. Demikian pula permohonan untuk menetapkan seseorang atau lebih, tidak dapat dikabulkan. Penetapan ahli waris dapat dikabulkan dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.3 Dalam perkara permohonan ini tidak ada persoalan eksekusi sehingga dalam uraian selanjutnya dalam tesis ini tidak akan diuraikan lebih lanjut. Ad.2. Perkara gugatan. Menurut Abd. Kadir Muhammad, bahwa "kita harus membedakan antara pengertian perkara dan sengketa. Pengertian perkara lebih luas dari sengketa, dengan kata lain sengketa adalah sebagian dari perkara, sedangkan perkara belum tentu sengketa".4 Dalam suatu perkara gugatan selalu harus ada sengketa, ada suatu konflik, ada perselisihan persoalan yang harus diputuskan oleh hakim. Dalam hal ini ada seorang atau beberapa orang yang merasa bahwa hak-haknya telah dilanggar dan orang yang
3
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II. Edisi Revisi. Mahkamah Agung RI 1998, hal. 105-107. 4 Abd. Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1978. ha1.30.
dirasa melanggar hak-haknya tersebut tidak mau secara sukarela memulihkan hak-hak yang dilanggar. Untuk menentukan apakah benar terjadi pelanggaran hak tersebut ditentukan oleh putusan hakim. Hakim disini berfungsi sebagai pemutus atas persengketaan yang terjadi. Tugas hakim yang demikian ini disebut sebagai Jurisdictio Contentiosa yaitu kewenangan mengadili sebenarnya. Orang yang "merasa" hak-hak dirinya dilanggar biasanya disebut penggugat dan yang melanggar hak-haknya disebut tergugat. Jadi disini terlihat bahwa orang yang berhak menggugat adalah orang yang sangat berkepentingan. Menurut Sudikno Mertokusuma SH, tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan pengadilan untuk mencegah "eigenrechting".5 Apakah setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Misalnya, A berhutang pada B, si B, adalah anggota koperasi dari kopersi "Pengayoman" tempat dimana si B, tersebut juga mempunyai utang. Si B, tersebut tidak dapat melunasi utangnya pada koperasi. Sebelum si A, melunasi utangnya pada si B, apakah disini Ketua Koperasi Pengayoman tersebut dapat menggugat si A, agar ia melunasi utangnya pada si B. Disini terlihat bahwa koperasi "Pengayoman" tersebut mempunyai kepentingan atas pelunasan hutang A kepada B. Namun dalam kasus seperti tersebut koperasi pengayoman tidak dapat mengajukan gugatan kepada si A, karena antara A dan koperasi itu tidak ada hubungan hukum. Agar supaya orang dapat mengajukan
5
1998.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Edisi III,
gugatan ke pengadilan maka orang harus mempunyai kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.6 Kepentingan yang cukup, layak dan mempunyai dasar hukum tersebut, lazim disebut sebagai azas "Point d'interest, poin d'action". Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 7 Juli 1971 No. 294 K/Sip/1971 menyatakan bahwa gugatan haruslah di ajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.7 Tergugat yang mengajukan eksepsi tentang tidak adanya kepentingan penggugat, lazim disebut sebagai Exceptie Persona Stand] inJudicio. Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 12 Juli 1972 No. 416 K/Sip/1972 menyatakan bahwa : "karena penggugat adalah orang yang tidak berwenang mengajukan gugatan, maka amar yang semestinya bukan menolak gugatan tetapi harus berbunyi "menyatakan penggugat tidak berwenang mengajukan gugatan". Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 5 Januari 1959 No. 224 K/Sip/1959 mempertimbangkan bahwa gugatan untuk menyerahkan kembali harta warisan yang dikuasai oleh seorang tanpa hak, dapat diterima walaupun dalam gugatan ini tidak semua ahli waris turut serta ataupun disertakan (i.c saudara kandung penggugat tidak ikut serta ataupun diikut sertakan), karena tergugat dalam hal ini tidak dirugikan dalam pembelaannya.
6 7
Sudikno Mertokusumo SH, Op.Cit hal.34. Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1971 I, hal. 79.
Sejalan dengan putusan tersebut, ditemui pula dalam pertimbangan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 25 November 1979 No. 516 K/Sip/1973 yang menyatakan pertimbangan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena hanya seseorang ahli waris, yang menggugat tidak dapat dibenarkan karena Yurisprudensi Mahkamah Agung tidak diharuskan semua ahli waris menggugat. Masalah siapa yang harus digugat, Undang-undang (HIR dan R.Bg) tidak memberikan jawaban, sehingga masalah ini timbul dalam prakttk peradilan dan Yurisprudensi. Di dalam praktek biasanya yang digugat adalah orang yang dipandang telah merugikan kepentingan penggugat atau orang yang menyebabkan kerugian penggugat. Tetapi dalam hal-hal tertentu, dimana undang-undang menentukan, tidaklah selalu orang yang digugat itu adalah orang yang merugikan penggugat. Pasal 1367 BW menentukan bahwa "seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya." Orang tua, wali, guru sekolah, menurut Undang-undang dapat digugat, apabila anak yang ada dalam asuhan dan tanggung jawabnya telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain. Begitu pula majikan, kepala tukang, dapat digugat dalam hal buruhnya melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan bawahannya. Demikian pula pemilik binatang dan pemilik gedung dapat digugat, bilamana ternyata miliknya
tersebut mengakibatkan orang lain menderita kerugian. Di dalam beberapa Yurisprudensi terlihat bahwa ada beberapa gugatan yang dapat diterima karena tergugat tidak tepat atau kurang. Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 13 Mei 1975 No. 151 K/Sip/1971 telah membenarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi yang menyatakan bahwa karena yang berhutang kepada penggugat/terbanding adalah dua orang, seharusnya gugatan ditujukan kepada kedua orang tersebut. Bahwa karena gugatan tidak lengkap (yang digugat hanya seorang) maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 2 Juni 1974 No. K/Sip/1973, telah membenarkan putusan pengadilan yang mempertimbangkan "karena personil tercatat atas nama PT. Gunung Mas, untuk dapat berhasil gugatan harus pula ditujukan kepada PT tersebut sebagai tergugat atau turut tergugat". Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 4 Oktober 1972 No. 938 K/Sip/1971, telah mempertimbangkan sebagai berikut : "Jual bell antara tergugat dengan orang ketiga tidak dapat di batalkan tanpa diikutsertakan orang ketiga tersebut sebagai tergugat dalam perkara." Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam putusannya tertanggal 12 Desember 1991, No. 6/Pdt/G/1991/PN. Jakarta Barat, dalam perkara antara Achdan Cs lawan Eka Asmara Cs.
(yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap)
mempertimbangkan sebagai berikut : bahwa dalam gugatan perbuatan melawan hukum, maka pihak yang didalilkan oleh penggugat sebagai pihak yang telah
melakukan perbuatan melawan hukum kepadanya, harus pula digugat.
B. Kedudukan Hakim 1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas. Di dalam memori penjelasan pasal 24 dan pasal 25 UndangUndang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan semata. Di dalam Bab 27 dari buku Repelita I disebutkan bahwa suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. 2. Adanya peradilan yang bebas . 3. Legalitas dalam arti formil. Dari sini terlihat bahwa adanya suatu pengadilan yang bebas merupakan suatu pilar yang tidak dapat ditiadakan bagi suatu negara hukum. Kebebasan tersebut haruslah diartikan seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 24 dan 25 UndangUndang Dasar 1945, bahwa tidak ada campur tangan dari pemerintah ataupun badanbadan lain diluar badan Yudikatif. Kalau kita berbicara tenting kekuasaan Kehakiman maka titik sentralnya adalah terletak pada pelaksanaannya terutama para hakim yang melaksanakan tugastugas Yustisialnya. Di dalam praktek kekuasaan kehakiman, yang bebas seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 belumlah dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Hal ini dapat dilihat dengan "dualisme" pertanggung jawaban hakim.8 Prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang bebas dapat kita lihat di dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di lakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman ini diatur dengan Undang-undang. Untuk diangkat dan pemberhentian hakim harus ditetapkan dengan Undang-undang (pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945). Kekuasaan kehakiman yang bebas tersebut, yang dijamin oleh konstitusi, tidak berarti bahwa hakim boleh bertindak sewenang-wenang. Ini adalah merupakan jaminan bagi warga negara yang memerlukan perlindungan hukum dari badan peradilan yang akan dilakukan oleh hakim. Dalam memberikan keadilan yang tidak memihak dan berat sebelah, tanpa harus takut adanya konsekwensi dari instansi lain. Walaupun dikatakan bahwa, kekuasaan kahakiman itu adalah kekuasaan yang bebas, yang merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan modern, namun kebebasannya tersebut dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.9 Kebebasan peradilan di negara yang otoriter, sangat berbeda dengan negara yang menganut sistem liberal. Di dalam sejarah ketatanegaraan kita misalnya sebelum tahun 1966, terlihat di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 1965, bahwa pemimpin besar revolusi dapat 8 9
Satya Arinanto, hukum dan Pembangunan tahun )0(H. April 1992, hal. 149 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. Hal. 17
turut campur dalam urusan pengadilan untuk kepentingan revolusi (pasal 19). Di dalam pengarahan Ketua Muda Bidang Perdata tidak tertulis pada bulan Juli 1994 di Bandung memberikan gambaran kebebasan Hakim tersebut sebagai berikut : 1. Kebebasan Eksternal, yaitu -
Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya, Bebas dari paksaan pihak manapun
-
Bebas dari derektiva atau rekomendasi dari pihak ekstra judicial
Kecuali hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. 2. Kebebasan Internal -
Bebas melakukan penafsiran
-
Bebas mencari atau menggali dasar-dasar atau azas-azas hukum sebagai landasan menyelesaikan perkara. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam menerapkan hukum perlu ada
Standarisasi hukum untuk menghadiri fluktualisasi yang bersifat disparitas atau kasus yang sama. Namun disini kebesan Hakim tidak boleh dikurangi dalam arti bahwa apabila ada hakim hendak menyimpang dari standar yang berlaku harus mengemukakan pertimbangan yang cukup kuat alasan-alasannya secara jelas, manusiawi, patut, layak dan adil. Standarisasi harus menjadi konsensus bersama dengan kemungkinan terjadinya variabel secara kasuistik dengan pertimbangan yang cukup mantap dan rasional.
Upaya
untuk
memandirikan
kekuasaan
kehakiman
terlihat
dengan
diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999, dimana dalam UU tersebut kekuasaan kehakiman berada di bawah Mahkamah Agung sepenuhnya. 2. Tugas dan Kewajiban Hakim Seperti yang telah kami kemukakan dimuka, bahwa apabila kita berbicara tentang peradilan yang bebas, maka titik sentralnya adalah terletak pada pejabatpejabat yang melaksanakannya yaitu peran hakim. Di dalam teori-teori klasik tentang peranan hakim dalam melaksanakan tugastugasnya, kita kenal misalnya : a. Bahwa hakim itu hanya mulut dari undang-undang (de la bouche de la loi) yaitu hakim tidak boleh menyimpang dari undang-undang, begitu kata undang-undang begitu pula yang harus diucapkan oleh hakim. Teori ini muncul di Francis, sebagai konsekwensi munculnya Trias politica. b. Bahwa hakim boleh mengadakan penafsiran-penafsiran sesuai teori-teori penafsiran. c. Bahwa
hakim
harus
mendasarkan
atau
mengembangkan
keyakinannya
berdasarkan faktor-faktor kemasyarakatan yang perlu diperhatikannya. d. Bahwa hakim tidak dapat menambahkan atau mengembangkan peraturan dengan keputusan-keputusan dan sebagainya.10
10
Bandingkan Prof. Padmo Wahyono. "Keadilan" dalam Satya Arinanto, Bahan-bahan Pelengkap Perkuliahan Kekuasaan Kehakiman (Peninjauan dari segi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1991) hal. 235
Perbincangan tentang kedudukan (status) hakim dan peranan hakim (role) pasti akan selalu muncul sepanjang sejarah peradilan. Dengan kata lain sebenarnya perbincangan-perbincangan mengenai betapa besar peranan (role) daripada hakim akan sangat tergantung dari mutu pendidikan hukum yang tempuh sebelumnya.11 Selama lebih setengah abad usia negara kita belurn tampak adanya tradisi untuk melihat dan menghargai hakimhakim besar dalam dunia peradilan kita, sebagai "the great lawyer". Memang pernah muncul nama-nama besar seperti Hakim Agung Kusuma Atmadjaya, Prof. Wirjono Projodikoro, Prof. Subekti dan sebagainya namun tidak banyak yang lainnya lagi.12 Kemudian pada generasi berikutnya muncul nama besar Hakim Agung Indroharto, SH, Prof. Z. Azikin Kusuma Atmadja. Sedangkan dari luar negara kita mengenal adanya nama-nama standar seperti Olive Wendall Holmes, Jerome Frank, Cardozo dan Wiarda yang terakhir ini dari Belanda.13 Penghargaan terhadap hakim-hakim besar di luar negeri dapat kita lihat misalnya terhadap hakim Brandeis (1856-1941). la adalah ahli hukum kenamaan dan mantan
hakim
pada
Supreme
Court
di
Amerika
Serikat
yang
banyak
memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat kecil, terutama pada konsumen dan pemilik
11 12 13
saham
kecil-kecilan
pada
perusahaan
konglomerat.
Satyo Arinanto, Hukum dan Pembangunan, Op.Cit. Hal. 132. Sutjipto Rahardjo , SH, Para Hakim, Kompas 10 Januari1992, hal. 4 Ibid
Ia
dapat dikategorikan sebagai Welfare Lawyer atau Public Lawyer.14 Untuk mengenang jasa-jasanya sebagai people's Attorney, didirikanlah Brandeis University yang terletak lebih kurang 20 Km dari Harward University, Massachusetts Amerika Serikat. Brandies berjuang gigih dalam bidang hukum untuk menunjukkan hal-hal yang merugikan rakyat kecil dalam sistem monopoli dari dewan direksi perusahaan-perusahaan yang berkaitan (interlocking directorates). Dampak tulisannya nampak pada undang-undang anti monopoli Amerika Serikat. Untuk membalas jasa-jasanya, maka Presiden Wordow Wilson pada tahun 1916 menunjuk Brandies sebagai hakim Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat.15 Sebagian besar dari nama-nama tersebut tidak hanya dikenal di negeri masing-masing tetapi sampai keseluruh dunia. Berbagai kehormatan diberikan kepada mereka, seperti untuk nama-nama gedung/auditorium di fakultas-fakultas Hukum. Suatu ucapan Cardozo misalnya, tercantum dengan mencolok pada dinding tinggi di salah satu pintu masuk Fakultas Hukum Universitas California Barkelay.16 Nama-nama hakim itu menjadi besar dan terkenal mungkin karena pendapatpendapatnya yang mengena atau karena aktif menuliskan fikirannya, ucapan Holmes misalnya, mencuatkan suatu konsep secara terang yang rnenggambarkan watak fikiran hukum Amerika, seperti "the prophecies of what the conrtswill do in fact and nothing more pretentious are what it mean by law", (hanya yang akin diputuskan oleh 14
Ch. Himawan. Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum sebagai sarana pengembalian wibawa hukum, pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta . 24 April 1991, Hal. 125. 15 Sutjipto Raharjo.SH, Op. Cit. 16 Ibid
pengadilan nantinya, itulah yang disebut hukum). Selain itu para hakim juga meninggalkan fikiran-fikiran yang banyak terbaca di negeri kita seperti Court on Tria (Jerome Frank), Due Process of Law Denning dan The Path of law (Holmes).17 Fakta-fakta tersebut diatas
menunjukkan kepada kita betapa besar
penghargaan negara dan masyarakat kepada hakim-hakim di luar negeri, suatu hal yang di dalam negara kita belum mendapatkan perhatian, suatu hal yang menunjukkan belum dihargainya peranan hakim yang merupakan salah satu pilar bagi negara hukum kita. Kalau kita menghargai para pahlawanpahlawan besar kita di zaman revolusi, misalnya Jenderal Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain. Kenapa kita tidak bisa menghargai pahlawan-pahlawan kita di bidang hukum. Oleh karena itu sudah saatnyalah kita sebagai bangsa yang besar untuk membuka peluang untuk menghargai jasa-jasa para hakim kita, yang memiliki kelebihan-kelebihan dalam putusanputusannya atau ; pemikiran-pemikirannya serta mempunyai integritas moral yang tidak tercela. Tugas dan fungsi hakim yakni yang dijabarkan dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-undang No.2 Tahun 1986 yang mengatur tentang tugas pokok hakim
yakni
tugas
mengadili
(Rechtsprekende
Functie)
apabila
terjadi
sengketa/pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antara sesama masyarakat (perseorangan maupun badan hukum) maupun antar perseorangan dengan penguasa. Di dalam negara hukum maka setiap sengketa hukum atau perkara apabila tidak dapat 17
H.R Punvanto S. Ganda Subrata, SH Tugas Hakim Indonesia Reader III Jilid 1, hal 139
diselesaikan secara damai, maka penyelesaiannya secara lazim diajukan kepada badan kekuasaan kehakiman yang merupakan pihak ketiga yang bebas merdeka serta netral dan yang diberi kewajiban secara bebas dapat mempertimbangkan segala sesuatunya secara adil dan objektif dan tidak memihak dan putusannya bersifat mengikat. Bukan dengan cara menyelesaikan sendiri atau main hakim sendiri (eigen richling) dimana biasanya yang kuatlah yang akan merajalela dan bukan yang benar dimenangkan.18 Tugas hakim seperti diatas di dalam pasal Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perkaraperkara tersebut dapat berupa perkata pidana, perkara perdata maupun Tata Usaha Negara. Di samping tugas mengadili tersebut, maka ia dapat pula diberi tugas lain berdasarkan peraturan-peraturan perundangundangan yang dapat merupakan tugas non yustisial. Di dalam pasal 3 dan 4 ditentukan bahwa semua peradilan adalah peradilan negara yang menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, serta peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal yang disebut dalam UndangUndang Dasar. Dengan demikian cukup jelas kedudukan, fungsi dan cara pelaksanaan tugas 18
Ibid. hal. 125
hakim dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dari tugas pokok hakim tersebut, mengadili (memutus) menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, hukum dalam putusannya menentukan, apa hukumannya atau keadilannya atas setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan melihat tugas pokok hakim tersebut, maka berarti ia tidak boleh menolak untuk mengadili. Pasal 14 Undang-undang No. 14/1970 menentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Apabila suatu perkara, aturan-aturan hukumnya tidak jelas, maka hakim wajib melakukan penafsiran menurut teori-teori penafsiran atau menggali, mengikuti dan memahami nilarnilal hukum yang hidup di dalam masyarakat. Di dalam pasal 27 (1) UU No. 14 Tahun 1970 dinyatakan sebagai berikut bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Undang-undang No. 14/1970 adalah merupakan Undangundang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar-dasar serta azas-azas peradilan bagi lingkungan peradilan. Di dalamnya diletakkan dasar-dasar penyelesaian hukum peradilan, hubungan antar peradilan dan pencari keadilan yang sejalan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Latar belakang munculnya pasal 27 UU No. 14/1970 dinyatakan di dalam penjelasannya bahwa dalam masyarakat yang asli menganut hukum tidak tertulis,
serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang dikalangan rakyat. Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak hanya sekedar memutus menurut hukum, akan tetapi putusan-putusannya harus mengandung rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana kalau kasus yang dihadapi oleh hakim tidak ditemukan aturanaturan baik dalam hukum tertulis maupun dalam hukum tidak tertulis. Hakim dalam keadaan seperti ini akan menggunakan analogi ataupun argumentum a contratio, atau kalau kedua cara tersebut belum dapat menemukan hukumnya maka ia akan menciptakan hukum (Rechts Schepping atau Judge Made Lau). H.R Purwanto S. Gandasubrata, SH19 mantan Ketua Mahkamah Agung menyatakan bahvva hakim dalam perkara yang dihadapinya : a. Dalam kasus yang hukumnya atau undang-undangnya yang sudah jelas, tinggal menerapkan saja hukumnya (hakim menjadi terompet undang-undang). b. Dalam kasus yang hukum atau Undang-undangnya tidak atau belum jelas maka hakim akan menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-cara atau metode penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum. c. Dalam kasus dimana terjadi pelanggaran/penerapan hukum yang bertentangan 19
Ibid. Hal 125
dengan hukum/undang-undang yang berlaku maka hakim akan menggunakan hak menguji (toetsing recht atau yudicial review) yang dapat berupa, fo- rmiele toetsing". Namun berbeda dengan keadaan di negara Anglo Saxon dan negara droit administrative regiem, dimana hakim dapat menyatakan batal suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan badan administratif. (To declarean act null and void). Hakim di negara kita hanya mempunyai "materiele toetsing recht"yang terbatas sifatnya. Dalam pasal 26 Undang-undang No. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun dalam ayat 2 nya dikatakan bahwa pencabutan dari perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian belum dapat dikatakan sebagai suatu "yudicial review" dan dalam praktek peradilan selama Peradilan Tata Usaha Negara belum berbentuk, maka hakim hanya dapat menyetakan suatu peristiwa perundangan tidak mengikat dalam kasus tertentu, teiapi tidak dapat dibatalkan suatu peristiwa/keputusan badan administrasi. Setelah terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, maka ketetapan pemerintah yang bersifat individual, final dan konkrit dapat dibatalkan. d. Dalam kasus yang belum ada undang-undang/'hukum yang mengaturnya, maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dengan menggunakan segala upaya yang diberikan oleh undangundang kepada hakim, maka pada akhirnya hakim harus memutuskan perkara yang dihadapinya, semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan dengan tidak membeda-bedakan orang, tentunya dengan berbagai resiko yang mungkin akan dihadapinya. Tugas hakim dalam menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tersebut di dalam masyarakat adalah berat, namun mulia. Tugas tersebut terasa berat karena hakim sebagai manusia biasa yang penuh dengan segala kekurangan, diberi hak istimewa oleh negara untuk menentukan benar tidaknya, salah benarnya seseorang, berhak tidaknya seseorang atas sesuatu, mati hidupnya seseorang, sesama manusia. Tugas tersebut dipandang mulia karena ditangan hakimnya diharapkan akan tercipta suatu keadilan. Rakyat kita mendambakan masyarakat yang adil dan makmur, jadi yang didahulukan adalah adilnya kemudian makmurnya. Masyarakat selalu menantikan Ratu Adil (bukan Ratu Makmur). Karena itulah maka kekuasaan yang diberikan kepada hakim yang sedemikian besar, haruslah diimbangi dengan sikap yang penuh tanggung jawab. Tanggung jawab itu harus mampu dipertanggungjawabkan kepada Kati nuraninya sendiri kepada negara, dan masyarakat dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mengetahui dan Maha Adil. Oleh karena itulah hakim harus bebas dalam mengambil keputusan, ia tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun (non interfence from extra judicial bodies) dan harus mendasarkan putusan semata-mata menurut hukum, kebenaran dan keadilan menurut hati nuraninya yang bersih, maka
mungkin raja terjadi bahwa suatu ketika is harus berani memutus yang kurang sesuai dengan keadaan masyarakat, demi untuk tercapainya suatu pembaharuan (social engenering). Reformasi yang bergulir tahun 1997, juga membawa dampak bagi reformasi hukum. Reformasi hukum tidak sekedar pembaharuan terhadap aturan hukumnya (legal substance). Pembaharuan rnesti juga mengenai sistem penerapan atau penegakannya.20 Tetapi reformasi tidak dapat dilakukan dengan "dadakan" karena perubahan dengan dadakan dapat menimbulkan "turbulensi social". Tidak pula berarti pembaharuan hukum tersebut tidak dapat dipercepat (akselerasi). Tetapi kecepatan itu harus tetap dalam keteraturan dan tertib.21 Selama ini pembicaraan mengenai pembaharuan aturan-aturan hukum terutama dimaksudkan membuat peraturan perundangan baru (hukurn tertulis), khususnya undang-undang yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden. Meskipun sendi-sendi aturan hukum nasional akan mengutamakan hukum tertulis, tetapi pembaharuan dan pembentukan hukum nasional dapat juga dilakukan melalui metode penafsiran, konstruksi, penghalusan dengan cara-cara tersebut, hakim dapat melakukan koreksi, seleksi sanering atau amputasi terhadap hukum, dimasa kolonial, sehingga tinggallah aturan hukum dapat menjadi subsistem hukum nasional. Cara-cara yang ditempuh oleh hakim tersebut, tentunya harus dilandasi oleh kemampuan ilmiahnya dengan menggali nilai-nilai hukum yang ada di dalam 20 21
Bagir Manan. Peranan Hakim Dalam Reformasi Hukum, MA. Makalah hal.3. Ibid, hal. 2.
masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 27 UU No. 14/1970. Di samping hakim dapat mengganti nilai-nilai hukurn yang ada dengan nilainilai hukum baru yang ditemukannya dalam masyarakat, hakim melalui putusanputusannya dapat menyatakan suatu aturan hukum yang sebenarnya tidak berlaku menjadi berlaku demi mengisi kekosongan hukum. Hal ini terlihat di dalam lembaga uang paksa (dwangsom). Dwangsom tidak diatur di dalam HER. maupun R.Bg, melainkan di dalam B.Rv. Menurut Supomo bahwa dengan dihapuskannya Raad van justitie dan Hooggerechts Hoof, maka B.Rv sudah tidak berlaku lagi di Indonesia sehingga dengan demikian hanya HIR dan R.Bg sajalah yang berlaku sebagai pedoman hukum acara perdata kita sekarang ini.22 Namun demikian, karena kebutuhan pada keadaan tertentu, dimana peraturanperaturan yang ada tidak rnemadai, maka praktek kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan hukum acara dari B.Rv sebagai pedoman.23 Tetapi celakanya kadang-kadang dalam praktek, orang mengambil lembaganya, sedangkan aturan permainannya sendiri ditinggalkan, misalnya dalam dwangsom, lembaga dwangscm diambil tetapi aturanaturannya ditinggalkan. Contoh: setiap gugatan selalu disertai dengan dwangsom. Padahal menurut ketantuan pasal 606 a, menentukan bahwa tuntutan pembayaran sejumlah uang tidak dapat dijatukan uang paksa. 22
Supomo, Hukum Acara Perdata. Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita Cetakan II, 1989,hal. 11 23 Sudikno, Op.Cit, hal. 7.
Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 28 September 1955 menentukan bahwa dwangsom dapat dipakai untuk mewujudkan hukum materiil.24 Walaupun undang-undang di dalam Ilmu Hukum telah memberikan keleluasaan kepada Hakim untuk menerapkan hukum berdasarkan rasa keadilan masyarakat, namun dalam prakteknya banyak ditemui putusan hakim yang justru menimbulkan reaksi dari masyarakat karena dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Hal ini disebabkan beberapa hal : 1. Pengaruh suap. Oknum yang menerima suap pasti akan selalu menguntungkan penyuapnya, walaupun secara hukum putusan yang bersangkutan direkayasa. 2. Pengaruh intervensi baik dari atasan maupun keluarga atau teman. 3. Mengabaikan aturan undang-undang misalnya dalam hal meletakkan Conservatoir beslag. Menurut ketentuan pasal 227 HIR ada beberapa rambu-rambu yang wajib dipenuhi: a. Barang yang akan disita adalah milik tergugat. b. Pihak tergugat (si-tersita) harus didengar terlebih dahulu. Yang banyak terjadi kesalahan adalah karena barang yang akan, disita tersebut tidak diselediki lebih dahulu dan tidak didengarnya pihak si-tersita, maka terjadilah salah sita. 4. Masih adanya putusan-putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan, sehingga tidak adanya pegangan yang dapat dipedornani oleh Hakim bawahan. 24
Hukum 1957, No. 1-2, hal.128.
Misalnya : Surat kuasa mutlak. Ada yang membenarkan ada pula yang tidak membenarkan.
C. Putusan Hakim 1. Hakim Harus Menemukan Hukum Di dalam setiap proses perkara di Pengadilan, hakim pada akhirnya akan menentukan peristiwa hukum apakah yang menguasai persengketaan antara pihakpihak yang bersangkutan. Hakim dipandang sebagai mengetahui hukum (obyektif), yang berarti bahwa hakim karena jabatannya bertujuan menentukan hukum apakah yang berlaku bagi perkara yang dihadapkan kepadanya. Hakim di dalam menentukan hukum obyektif atas perkara yang dihadapinya, didasarkan kepada tanggung jawab yang besar, ilmu pengetahuan yang cukup serta daya nalar yang tinggi, sehingga dengan demikian ia akan menerapkan hukum obyektif sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat. Mungkin saja hakim pada suatu saat dalam menghadapi suatu kasus ia akan menemukan hukum obyektif berdasarkan hukum tertulis atau tidak tertulis, di lain saat dalam menghadapi suatu kasus, putusannya didasarkan pada doktrin dari para ahli hukum atau yurisprudensi atau mungkin saja ia menciptakan hukum baru. 2. Kekuatan dari Putusan Hakim Seperti yang Penulis katakan di muka bahwa proses acara di muka pengadilan Negeri berakhir dengan suatu putusan, dan putusan tersebut merupakan titik tumpu
dari suatu eksekusi. Ini berarti bahwa putusan hakimlah yang merupakan landasan dari eksekusi. HIR maupun R.Bg tidak memberikan pengertian tenting kekuatan putusan hakim. Hanya dalam pasal 180 HIR menyebutkan antara lain adanya suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Ada 3 (tiga) kekuatan yang terdapat di dalam putusan hakim, yaitu : 1. Kekuatan yang mengikat (bindende kracht). 2. Kekuatan bukti (beweijzende kracht). 3. Kekuatan eksekutorial (executorial kracht).25 Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan mengikat, karena suatu putusan yang telah pasti dan tetap, tidak dapat ditarik kembali , tidak dapat lagi dilawan. Di dalam bahasa latin bahwa "Res Judicata Pro Veritata Habaetur", artinya putusan yang pasti dengan sendirinya mempunyai kekuatan mengikat. Apa yang telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh lagi diajukan kembali kepada hakim di masa yang akan datang (fitesfmere oportes-t). Terikatnya para pihak kepada putusan, menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar, tentang kekuatan mengikat dari suatu putusan. a. Teori Hukum Materil Menurut teori ini, maka kekuatan mengikat dari putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde" mempunyai sifat hukum materil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan : menetapkan 25
Supomo. Op.Cit. hal. 94.
menghapuskan serta mengubah. Menurut teori ini putusan itu dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber hukum materiil. Suatu tuntutan pembayaran atau pelunasan hutang dari penggugat yang dikabulkan oleh Pengadilan menyebabkan penggugat menjadi kreditur sekalipun putusannyia Mum tentu benar. Demikian pula kalau Pengadilan mengabulkan tuntutan tentang hak milik , kalau tuntutan untuk membayar sejumlah uang ditolak oleh Pengadilan itu, berarti bahwa tuntutannya batal. Disebut sebagai ajaran hukum materil karena memberi akibat yang bersifat hukum materil pada putusan. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat. Ajaran ini tidal< memberi wewenang untuk mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga. Ajaran ini sekarang telah ditinggalkan. b. Teori Hukum Acara Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materil, melainkan sumber dari wewenang prosesuil. Siapa yang dalam suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan sarana prosesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru apabila undang-undang memasyarakatkan adanya putusan untuk timbulnya keadaan hukum Baru, maka putusan itu mempunyai arti hukum materil. Akibat putusan itu bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sempit, sebab suatu putusan bukanlah sematamata hanyalah sumber wewenang prosesuil karena menuju kepada penetapan yang
pasti tentang hubungan hukum yang merupakan sengketa. c. Teori Hukum Pembuktian Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya. d. Terikatnya Para Pihak Pada putusan Terikatnya para pihak pada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti Positif Arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa apa yang telah diputus antara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputuskan oleh Hakim hares dianggap benar res Judicata verilate habetnr. Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada Undang-Undang pasal 1917, 1920BW. Arti Negatif Arti negatif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat hukum : nebis in idern (pasal 134 Rv). Kecuali didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan pada azas
'7/7/5 finiri oporet", yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum : apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh Hakim tidak boleh diajukan lagi kepada Hakim. Di dalam Hukum Acara kita, putusan mempunyai kekkuatan mengikai baik dalam arti positif maupun negatif (pasal 1919,1920,Bw, 134 Rv). e. Kekuatan Hukum Yang Pasti Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (inkracht van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia.Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan banding dan kasast. Dengan memperoleh kekuatan yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu reginst civiel (Peninjauan Kembali) dan perlawan oleh pihak ketiga. Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti karena putusan itu sifatnya akte otentik, karena dibuat dalam bentuk tertulis oleh hakim yang diberi wewenang oleh undang-undang memutus suatu perkara. Dengan adanya putusan itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu. Suatu putusan hanya mengikat Para pihak yang terlibat dalam Perkara itu, namun putusan itu sendiri mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga. Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan eksekutorial oleh karena dengan adanya putusan itu suatu sengketa telah berakhir. Apabila dalam Putusan itu mengandung suatu perintah kepada pihak dalam perkara itu, maka hal itu wajib dilaksanakan, baik dengan sukarela maupun dengan kekuatan tangan besi.
Apakah persyaratan bagi suatu putusan untuk memperoleh kekuatan eksekutorial? Hal ini akan dibahas dalam bab-bab berikut.
Bab III PUIUSAN HAKIM DALAM SENGKETA PERDATA
A. Dasar Perneriksaan Perkara Perdata Kalau dalam Hukum Acara Pidana, dasar pemeriksaan perkara adalah pada surat dakwaan, maka pada Hukum Acara Perdata dasar pemeriksaan perkara adalah pada surat gugatan. Oleh karena itulah orang yang merasa hak-haknya dirugikan oleh orang lain, yang akan mengajukan persoalannya ke Pengadilan harus betul-betul cermat di dalam menyusun surat gugatannya. Permohonan gugatan itu dapat diajukan secara tertulis, akan tetapi bila Penggugat tidak pandai membaca dan menulis, maka is dapat mengajukannya secara lisan. Ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan di dalam mengajukan gugatan, yaitu: a. Penggugat maupun Tergugat harus benar-benar berkualitas, sebagai Penggugat maupun Tergugat. Masalah ini telah dibicarakan dalam Bab II. b. Gugatan harus ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang berwenang. Hal ini bersangkutan dengan kompetensi Pengadilan. Kompetensi Pengadilan dikenal 2 (dua) macam, yaitu : 1. Kompetensi absolut, di sini dipersoalkan apakah perkara yang diajukan itu tidak menjadi wewenang peradilan lain, bukan peradilan umum. Apabila
Hakim berpendapat bahwa perkara itu bukan wewenang Pengadilan Negeri, maka ia karena jabatannya wajib menyatakan diri tidak berwenang. Ia tidak perlu menunggu adanya keberatan dari pihak lain. Menurut Yurisprudensi, selain kompetensi absolut tersebut menyangkut kewenangan badan peradilan lain (Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara) juga yang menyangkut kewenangan Arbitrase. W.C.L. Van Der Grinten menyatakan bahwa, Arbitrase adalah suatu bentuk penyelesaian perkara di luar Pengadilan, sehingga disebut, "Particuliere Rechtspraak".1 Setiawan menyatakan bahwa Arbitrase adalah peradilan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dibebani kewajiban untuk melakukan peradilan oleh Undang-Undang.2 Lebih jauh lagi Van Der Hijden menyatakan bahwa arbitrase adal'ah bentuk peradilan karena mempunyai ciri yang sama yaitu : a) There should be a settlement of a conflict. b) The conflict must be decided on the basic law. c) It should be decided by a third party. d) The parties in the conflict shoult be bound by the decision.3 Di dalam beberapa putusan Mahkamah Agung (yang kelihatannya sudah menjadi yurisprudensi tetap) terlihat bahwa apabila ada klausula arbitrase 1
W.C.L. Van Der Grinten, "Particuliere Rechtspraak", bundel Rechtspleging. klmver Deventer 1974, hal. 57. 2 Setiawan Masalah Hukum Dalam Arbitrase. Pustaka Peradilan. Jilid VII, MARI 1997, hal. 160 3 F.F. Van Der I Iijclen, Een ecrlijk process Recht 7, thesis Leiden Gevender, 1984, hal. 23
dalam perjanjian maka Pengadilan Negeri harus menyatakan diri tidak berwenang. Lihat 1989
misalnya tanggal
putusan 29
Juni
Mahkamah 1995;
No.
Agung 142
No.
K/Pdt/1996
1371
K/Pdt/
tanggal
27
Pebruari 1998, No. 1688 K/Pdt/1991 tanggal 15 Januari 1998.4 2. Kompetensi relatif, disini dipersoalkan apakah Pengadilan Negeri dimana gugatan itu diajukan berwenang untuk mengadilinya, ataukah Pengadilan Negeri lain. Pasal 118 HIR (Pasal 152 RBg) mengatur tenting kompetensi relatif tersebut. Dalam ayat 1, dianut azas "actor sequitor fOnim rei", yaitu gugatan harus diajukan di tempat Tergugat. Kiranya hal ini adalah layak karena Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap Pengadilan Negeri di tempat tinggal Penggugat, hanya karena ia digugat oleh Penggugat, yang belum tentu gugatannya itu benar. Penggugatlah yang paling berkepentingan atas perkara itu, sedangkan Tergugat dapat dikatakan tidak menghendakinya. Apabila Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata dikenal, maka gugatannya diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat Tergugat sebenarnya tinggal. Dalam hal ada beberapa Tergugat yang tempat tinggalnya berbeda-beda, maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri dimana salah satu Tergugat tersebut bertempat tinggal. Jika Tergugat-tergugat terdapat hubungan antara orang yang berhutang utama dan
4
Harifin A. Tumpa, Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Asing di Indonesia Thesis, UNKPJS, 2000. hal. 77-81
penjamin, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri ditempat orang yang berhutang utama. Jika ada domisili pilihan, maka gugatan diajukan di tempat tinggal domisili pilihan tersebut. Penyimpangan dari azas "actor sequitor forum rum rei", adalah apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya maka gugatan diajukan di tempat Penggugat, atau apabila yang digugat itu benda tetap, maka gugatan diajukan di tempat barang tetap itu berada. Apabila Penggugat mengajukan gugatannya pada Pengadilan Negeri yang sebenarnya tidak berwenang, maka hakim yang memeriksa perkara itu tidak dapat menyatakan dirinya tidak berwenang, apabila pihak yang digugat tidak mengajukan keberatannya. Keberatan itu harus diajukan oleh Tergugat dalam jawabannya yang pertama, maka apabila keberatan itu diajukan kemudian, maka Hakim tidak boleh memperhatikannya lagi. c. Gugatannya itu harus jelas, yaitu : 1. Keterangan dari pihak yang berperkara, tentang nama alamat, umur dan pekerjaan. 2. Dasar gugatannya (fimdamentum petench) yang memuat tentang kejadiankejadian (feitelijke gronden) dan uraian tentang adanya hale dalam hubungan hukum yang menjadi uraian yuridis dari gugatan itu (rechts gronden). Sampai seberapa jauh dasar gugatan itu harus diuraikan, dalam Ilmu Hukum Acara Perdata dikenal 2 (dua) macam teori:
1) Sitbstantierings theori, yang menyatakan bahwa dalam suatu gugatan harus disebutkan dan diuraikan rentetan kejadian yang nyata mendahului peristiwa hukum yang s menjadi dasar gugatan itu. Misalnya tidak cukup hanya menyebutkan Penggugat adalah pemilik barang-barang melainkan harus disebutkan juga Penggugat memiliki "barang" dari orang tua almarhum atau karena mendapat hadiah dari Pemerintah. 2) Individualiserings theori, yang menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan harus cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu disebutkan sekaligus dalam surat gugatan.5 Hukum Acara Perdata yang sekarang ini berlaku di Indonesia (HIR dan RBg), memungkinkan orang mengajukan gugatan secara lisan serta tidak perlu memakai Pengacara, sehingga dalam praktek, gugatan yang diajukan tidak terikat kedalam suatu bentuk yang terlalu formil, yang penting adalah bahwa gugatan itu cukup memberikan gambaran yang jelas tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan. Dalam praktek apabila Penggugat dalam surat gugatannya telah dapat menunjukkan kepentingannya atas apa yang digugat, serta hubungan apa yang ada antara Penggugat dengan apa yang digugatnya dan apa sebab Tergugat digugat, maka gugatan itu dipandang sudah memenuhi syarat.
5
Abdul Kadir Muhammad, op, cit, hal. 57.
d. Apa yang dimohonkan atau dituntut (petitum). Apa yang diminta untuk diputuskan oleh Hakim, haruslah diperinci dengan jelas. Permintaan atas tuntutan yang dimohonkan tersebut haruslah sejalan dengan kejadian yang diuraikan dalam "duduknya perkara". Kalau dalam duduknya perkara Penggugat mendalihkan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, maka is dalam petiturnnya tidak boleh menuntut atas dasar wanprestasi. Dalam praktek, biasanya Penggugat dalam mengajukan tuntutannya digunakan bentul berlapis, yaitu primair dan subsidair. Dalam tuntutan primair diajukan tuntutan pokok, dan apabila Hakim tidak dapat mengabulkan tuntutan pokok tersebut, maka Hakim dimohon memutuskan atas dasar keadilan (ex aequo et bono). Hakim yang akan mengabulkan gugatan Penggugat dengan berdasar pada tuntutan ex aequo et bono, tidak boleh terlepas sama sekali dengan dalil pokok penggugat. e. Gugatan harus bermaterai dan ditandatangani. Pada 2 ayat La Undang-Undang Bea Materai menentukan bahwa dikenakannya biaya materai atas dokumen yang berbentuk, surat-surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Mahkamah Agung dalam Rakernas pada tahun 1986, yaitu rapat kerja antara Mahkamah Agung dengan Ketua-ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia menyatakan bahwa gugatan rekonpensi yang dimuat dalam gugatan rekonpensi harus dibubuhi materai.
Namun dalam praktek, ternyata ada Hakim yang tidak mensyaratkan gugatan harus bermaterai, sehingga gugatan yang tidak bermaterai itu sah-sah raja diterima. Apabila gugatan itu diajukan oleh Penggugat atau Kuasanya secara tertulis, maka gugatan itu harus ditandatangani, Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 7 Pebruari 1973 No. 1077 K/Sip/1972, rnenyatakan bahwa gugatan yang diajukan secara tertulis dengan dibubuhi cap jempol harus dinyatakan tidak dapat diterima.6 Apabila gugatan itu diajukan secara lisan, maka catatan gugatan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri, ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Menurut Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 9 Desember 1975 No. 396 K/Sip/1973, bahwa menurut pasal 141 (1) R.Bg, orang yang diberi kuasa tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan lisan.7 Di dalam suatu perkara ada kemungkinan diterima beberapa gugatan, yaitu: 1. Gugatan Konpensi; 2. Gugatan Rekonvensi; 3. Gugatan Intervensi ; Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa orang yang merasa hak-haknya dilanggar atau merasa dirinya dirugikan oleh orang lain, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah dengan menggugat orang itu dimuka Hakim. Dimuka Hakimlah ia berharap akan mendapatkan penyelesaian masalah yang dihadapinya. 6 7
Rangkuman Yurisprudensi II, halaman 199 Ibid, halaman. 205
Orang yang digugat oleh Penggugat, ada kemungkinan mempunyai hubungan hukum lain dengan Penggugat, sehingga si-Tergugat justru merasa dirinya telah dirugikan oleh Penggugat. Sebenarnya si-Tergugat tersebut dapat menggugat secara tersendiri kepada orang yang dipandang telah merugikannya. Akan tetapi karena ia telah digugat lebih dahulu oleh Penggugat, yang biasanya disebut gugatan konpensi, maka ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengajukan gugatan balik, dimana siTergugat tersebut tidak perlu mengajukan gugatan tersendiri. Dengan diajukannya gugatan balik itu, maka biaya dan waktu akan lebih hemat. Gugatan balik ini biasanya disebut gugatan rekonpensi. Penggugat dalam perkara semula atau gugatan pertama atau gugatan konpensi disebut sebagai Penggugat Konpensi/Tergugat rekonpensi, sedangkan
Tergugat
dalarn
perkara
semula
disebut
sebagai
Penggugat
Rekonpensi/Tergugat Konpensi. Perkara tersebut, baik yang dalam konpensi maupun dalam rekonpensi diperiksa dan diputus oleh Hakim dalam satu pemeriksaan dan satu putusan Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 11 Juni 1972 No. 104 K/Sip/1970 yang sama dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 30 Nopember 1976 No. 194 K/Sip/1975, menyebutkan bahwa dengan diajukannya permohonan banding oleh Pihak Penggugat Asal/ Tergugat dalam Rekonpensi Perkara harus diperiksa dalam keseluruhan baik dalam konpensi maupun dalam rekonpensi.8 Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 1 Maret 1969 No. 104 K/Sip/1969, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi karena Pengadilan Tinggi telah 8
Olden Bidara, Hukum Acara Perdata, hal. 28
salah menerapkan hukum, yaitu tidak memberikan putusan terhadap gugatan rekonpensi.9 Menurut Pasal 132 HIR, bahwa gugatan rekonpensi harus diajukan bersamasama dengan jawaban, baik secara lisan maupun secara tertulis, Mahkamah Agung dalam putusannya No. 239 K/ Sip/1968, menyatakan bahwa gugatan rekonpensi dapat diajukan oleh pihak yang digugat (dalam konpensi) selama masih berlangsung proses jawab-menjawab, bahwa Undang-Undang i.e. Pasal 158 R.Bg (pasal 132 b, HIR) hanya menyebut istilah "jawaban" begitu saja misalnya duplikpun masih merupakan jawaban pertama.10 Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 18 April 1973 No. 642 K/Sip/1972, menyatakan bahwa karena gugatan rekonpensi diajukan setelah 8 kali sidang dan setelah Pemeriksaan saksi-saksi, rnaka gugatan rekonpensi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.11 Walaupun pada prinsipnya setiap gugatan konpensi dapat diajukan gugatan balik, namun Pasal 132. a HIR memberikan pengecualian, yaitu : 1. Jika Penggugat dalam konpensi bertindak dalam Kualitas tertentu, sedangkan gugatan rekonpensi itu ditujukan terhadap diri pribadi Penggugat dan sebaliknya. 2. Pengadilan Negeri yang sedang memeriksa gugatan dalam konpensi ini tidak berwewenang untuk memeriksa, gugatan dalam, konpensi dalam hubungannya dengan pokok sengketa. 9
Yurisprudensi Indonesia III, hal. 48 Yurisprudensi Indonesia 111/69, hal. 72. 11 Rangkuman II. hal 203 10
3. Dalam perkara persengketaan tentang pelaksanaan suatu keputusan Hakim. Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 28 Nopember 1973 No. 466 K/Sip/1973 yang membenarkan pertimbangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menyatakan bahwa karena gugatan dalam konpensi ditujukan kepada Tergugat dalam konpensi pribadi, gugatan rekonpensi yang diajukan oleh Penggugat dalam Rekonpensi dalam kedudukanknya yang berhubungan dengan Perusahaan Chitrawati tersebut berdasarkan Pasal 132.a HIR harus dinyatakan tidak diterima.12 Bahwa terobosan ini bisa terjadi oleh sebab yurisprudensi telah mengizinkan tuntutan yang hanya meminta pemulihan Hukum (rechtsherst) belaka, maka oleh karena yurisprudensi telah mengijinkan gugatan diperbaiki di muka Hakim, sehingga Hakim dapat menyusun proses sesuai dengan apa yang sernestinya oleh beliau.13 Selain dari itu penyimpangan atas azas "ultra petita partium" itu dimungkinkan oleh Hukum Acara Perdata. Supomo menyatakan bahwa, menurut konsekuensi dari sistem yang menghendaki, bahwa perkara harus "uit", harus diselesaikan seluruhnya oleh Hakim, adalah demikian dan memang begitu sifatnya Hukum Acara menurut Hukum Adat. Pasal 46 ayat 2 Ordonansi Pengadilan Adat S. 1932 No. 80 memberi kekuasaan untuk menghukum partai-partai yang berperkara supaya menjalankan perbuatan apapun yang perlu guna menyelesaikan perkara. Van Vollenhaven berpendapat bahwa hakim harus menyelesaikan perkara yang dihadapinya seluruhnya (tidak boleh separuh), bukan saja antar Penggugat dan 12 13
Rangkurnan II. hal 204. Ibid. hal. 19
Tergugat.14 Beberapa yurisprudensi sehubungan dengan "ultra petita partium" : 1. Putusan Mahkamah Agung No. 339 K/Sip/1969 tanggal 21 Pebruari 1970, "Putusan Pengadilan Negeri harus dibatalkan, karena putusannya menyimpang daripada apa yang dituntut dalam surat gugat, lagi pula putusannya melebihi dari apa yang dituntut dan lebih menguntungkan pihak Tergugat, sedang sebenarnya tidak ada gugatan rekonpensi."15 2. Putusan Mahkamah Agung No. 556 K/Sip/1971 tertanggal 3 Januari 1972, "Mengabulkan lebih daripada digugat adalah diizinkan, sela ma hal ini masih sesuai dengan kejadian materil". 3. Putusan Mahkamah Agung no. 77 K/Sip/1972, tertanggal 19 September 1973, "Karena dalam petitum tidak dituntut ganti rugi. Putusan Pengadilan Tinggi yang mengharuskan Tergugat mengganti kerugian harus dibatalkan.16 4. Putusan Mahkamah Agung No. 610 K/Sip/1968, tertanggal 23 Mei 1970, "Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas sedang Penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, Hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar. Hal itu tidak melanggar pasal 178 (3) HIR (ex aequo et bono)".17 5. Putusan Mahkamah Agung No. 500 K/Sip/1970 tertanggal 5 Januari 1971 telah 14 15 16 17
Supomo, ILoc.cit, hal. 29 Y.P. Indonesia 1/70. hal. 13 Rangkuman YP. MA. Jilid II. Hal. 489 Y.P. Indonesia 1970, hal. 489
membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan bahwa dengan apa yang disebutkan dalam amar putusan Pengadilan Negeri yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi itu tidak Dituintut, bukankah yang dituntut Penggugat adalah pengosongan dan penyerahan tanah sengketa kepada Penggugat, sedangkan yang disebut dalam amar keputusan adalah pembagian tanah sengketa dan pembayaran ganti rugi dan sebagainya. 6. Mahkamah Agung No. 140 K/Sip/1971 tertanggal 12 Agustus 1972, "putusan judex facti yang didasarkan kepada petitum subsidair untuk diadili menurut kebijaksanaan Pengadilan, dapat diberikan asalkan masih dalam kerangka yang serasi dengan inti gugatan primair.18 Ada suatu pendapat yang dikemukakan oleh Tresna, sehubungan dengan pasal 178 (3) HIR yang menyatakan , "Jikalau seorang Penggugat dimenangkan didalam perkaranya akan tetapi ia (tuntutannya) tidak sekalian minta supaya yang digugat dihukum membayar ongkos perkara, maka Hakim tidak boleh mencantumkan di dalam keputusannya supaya yang dikalahkan membayar ongkos perkara. Di dalam kejadian seperti itu, maka Hakim harus menghukum kedua belah pihak untuk menanggung masing-masing ongkosnya.19 Pendapat tersebut menurut Penulis kurang tepat karena pasal 181 (1) HIR dengan tandas menyatakan bahwa orang yang kalah perkaranya dihukum Pula untuk membayar biaya perkara. Jadi walaupun Penggugat di dalam surat gugatannya tidak 18 19
Rangkuman II, hal. 232 Mr. R. Tresna Komentar HIR, hal. 168
meminta agar tergugat dihukum membayar biaya perkara, Hakim karena jabatannya bilamana Penggugat dinyatakan menang, menghukum kepada tergugat untuk membayar biaya perkara. Hakim dalam hal ini tidak dapat dikatakan melakukan "ultra petita partium". Ad. b. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan. Pasal 178 (3) fflR dan pasal 189 (9) R.Bg menyatakan bahwa Hakim Wajib memberi keputusan atas segala bagian tuntutan. Hakim dalam hal ini diwajibkan untuk memberikan keputusan dengan nyata dari setiap bagian yang dituntut itu. Hal yang paling banyak dijumpai kesalahan dalam hal ini, bilamana keputusan Hakim berisi mengabulkan gugatan, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan banyaknya kekeliruan tersebut, maka Mahkamah Agung dengan Surat Edaranuya No. 12 Tahun 1964, memberikan petunjuk kepada Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tentang amar putusan. Dalam Surat Edaran tersebut dikatakan : "Dalam pemeriksaan tingkat Kasasi dari perkara perdata ternyata, bahwa baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi dibuat kekeliruan sebagai berikut, yaitu dalam amar putusan hanya disebut "gugatan dikabulkan", tanpa diberi perincian tentang hal-hal yang dituntut". Jika yang dituntut oleh Penggugat, misalnya adalah : a. Supaya Penggugat ditetapkan sebagai ahli waris dari almarhum A. b. Supaya Penggugat ditetapkan sebagai pemiliknya dari tanah scngketa. c. Supaya Tergugat dihukum untuk pengosongan tanah tersebut setelah mana
diserahkan kepada Penggugat. d. Supaya Tergugat dihukum untuk membayar biaya dalam perkara ini. Maka apabila tuntutan dikabulkan seluruhnya, maka amar dari putusan harus berbunyi sebagai berikut: a. Mengabulkan gugatan Penggugat. b. Menetapkan Penggugat sebagai ahli waris dari almarhum A. c. Menetapkan Penggugat sebagai pemilik dari tanah sengketa. d. Menghukum tergugat untuk mengosongkan tanah tersebut setelah mana diserahkan kepada Penggugat e. Mengtukum Tergugat untuk membayar biaya dalam perkara ini. Dalam hal yang dikabulkan dari antara yang dituntut itu hanya sebagian, misalnya hanya tentang penetapan ahli waris, maka amar putusan harus berbunyi sebagai berikut: a. Mengabulkan untuk sebagian gugatan Penggugat. b. Menetapkan Penggugat sebagai ahli waris dari almarhum A. c. Menolak gugatan Penggugat selebihnya. d. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya dalam perkara ini.
YURISPRUDENSI : Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 21 Pebruari 1970 No. 339 K/Sip/1969, memberikan pertimbangan mengenai keberatan penggugat untuk Kasasi yang menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah menyimpang atau melebihi apa
yang dituntut dalam surat gugat, sebagai berikut : "Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena amar putusan Pengadilan Tinggi yang membenarkan putusan Pengadilan Negeri hanya memutuskan bahwa Penggugat berwenang atas tanah sengketa, jadi hanya sebagian saja dari tuntutan, padahal tuntutan Penggugat ada 8 tuntutan yang terperinci dan karenanya putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus dibatalkan".
B. Putusan Sela Di dalam literatur Hukum Belanda putusan sela disebut sebagai "tiissen vonnis". Supomo menyebut putusan sela itu sebagai putusan antara. Yang dimaksud dengan putusan sela (putusan antara, tiissen vonnis) tersebut adalah putusan yang diambil oleh hakim. Sebelum is menjatuhkan putusan akhir dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudahkan jalannya pemeriksaan perkara selanjutnya. Ada 2 (dua) macam putusan sela, yaitu putusan praepatoir atau putusan interlucutior. Putusan praepatoir adalah untuk menyiapkan urusan perkara (tot instntctie der zacik), misalnya untuk menggabungkan dua perkara menjadi satu, atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu dalam mana kedua belch pihak harus bertindak.20 Putusan sela yang demikian ini tidak berpengaruh pada putusan akhir. Putusan intercotoir adalah suatu putusan dimana hakim sebelum memberi putusan akhir 20
Mr. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata, hal. 79
memerintahkan kepada salah satu pihak supaya membuktikan hal sesuatu atau untuk mengadakan pemeriksaan setempat. Putusan sela tersebut diatur secara tegas oleh Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering didalam pasal 48. HIR maupun R.Bg juga mengenal putusan sela, namun menurut pasal 185 HIR, putusan sela tidak dibuat tersendiri melainkan hanya dimasukkan dalam Berita Acara Persidaiigan Pengadilan. Selain dari kedua bentuk putusan sela tersebut diatas, didalam praktek dikenal putusan sela terhadap eksepsi yang diajukan oleh Tergugat yang menyangkut kompetensi (kewenanga n mengadili). Pasal 136 HIR menentukan bahwa eksepsi (tangkisan) yang dikemukakan oleh Tergugat, kecuali tentang Hakim tidak berwenang, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang sendiri-sendiri, melainkan dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Ini berarti bahwa anabila Tergugat mengajukan eksepsi tentang kompetensi tersebut, maka Hakim berkewajiban untuk menimbangnya tersendiri (biasanya sebelum acara pembuktian). Apabila tangkisan Tergugat tersebut beralasan, maka Hakim akan menyatakan din tidak berwenang, yang berarti bahwa putusannya tersebut merupakan putusan akhir. Tetapi apabila tangkisan itu tidak dibenarkan oleh hakim, maka putusannya yang mepolak eksepsi itu menyatakan berwenang mengadili, maka putusannya bersifat putusan sela. Menurut pasal 9 (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 1947, menyebutka n bahwa putusan Pengadilan Negeri yang bukan putusan penghabisan tidak dapat diajukan permintaan banding tersendiri, tetapi harus diajukan bersama dengan
putusan akhir. Pada tahun 50-an di Pengadilan Negeri kota-kota besar dalam menyelesaikan perkara perdata, digunakan sistem putusan sela interlocutoir. Mahkamah Agung pernah mencoba untuk menghidupkan kembali sistem putusan sela tersebut melalui Tim Pengkajian Mahkamah Agung. Sistem ini berkembang di Negeri Belanda. Mahkamah Agung pernah mengutus dua orang Hakim, yaitu Ny. Elyana A, SH dan Lj. Ferdinandus, SH untuk mempeLajari sistem tersebut. Makalah kedua orang tersebut telah dipaparkan dihadapan hakim-hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada tanggal 25 Maret 1990 di Aula Mahkamah Agung. Selain kedua macam putusan sela dikenal 2 putusan lainnya yang bukan puiusan akhir, yaitu putusan insidentil dan provisional.21 Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu peristiwa yang menghentikan persidangan peradilan biasa. Putusan insidentil belum berhubungan dengan pokok perkara, misalnya putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam perkara (Vrijwaring, Voeging atau Tussenkainst). Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Menurut pendapat penulis putusan provisi bukan putusan sela karena putusan provisi tersebut mempunyai sifat dapat dieksekusi maka masalah tersebut akan diuraikan lebih dalam pada Bab. IV. 21
Sudikno, Ibid, Hal. 185.
C. Putusan Akhir Pada pencari keadilan yang mengajukan permasalahan ke muka Hakim, semuanya menginginkan untuk memperoleh keadilan melalui putusan akhir dari Hakim. Dengan adanya putusan akhir itu diharapkan bahwa permasalahan telah dapat dipecahkan dan diselesaikan di dalam praktek di Pengadilan, putusan akhir dari Hakim dapat berupa : 1. Menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yng bersangkutan. Putusan yang sedemikian ini apabila ternyata Pengadilan Negeri yang menangani gugatan itu tidak kompeten untuk mengadilinya baik berdasarkan kompetensi absolut, maka Hakim karena jabatannya wajib menyatakan diri tidak berwenang sedangkan dalam kompetensi relatif hakim Baru bisa menyatakan diri tidak berwenang apabila diajukan keberatan oleh Tergugat. 2. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Putusan ini diambil oleh Hakim karena : a. Gugatan itu kabur, baik obyek maupun subyeknya atau menyalahi hukum acara. b. Gugatan itu menyangkut obyek yang telah kena pengaruh lampau waktu. c. Gugatan itu masuk kategori ne his in idem. Dalam hal gugatan kabur ataupun karena kesalahan menurut hukum acara, maka. Penggugat dapat mengajukan gugatan ulang, sedangkan apabila putusan itu didasarkan pada alasan b dan c di atas, maka Penggugat tidak dapat mengulanginya dengan gugatan Baru. Dan apabila tetap diajukan, maka akan dikualifikasikan sebagai
perkara yang ne bis in idem. 3. Gugatan Penggugat ditolak. Putusan ini diambil oleh Hakim apabila dipandang tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya atau Tergugat berhasil membukktikan dalil bantahannya. 4. Gugatan Penggugat dikabulkan baik seluruhnya maupun untuk selebihnya. Putusan demikian ini diambil oleh Hakim apabila Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya atau tergugat dipandang telah gagal membuktikan bantahannya. Suatu putusan akhir dapat diambil setelah mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan atas bantahan atau yang lazim disebut dalam Bahasa Belanda "op tegenspraak" atau contradictoir. Apabila Tergugat tidak pernah nadir dalam persidangan atau tidak mengirirn wakilnya yang sah atau tidak mengirim jawabannya, maka Hakim dapat memutuskan perkara itu dengan tanpa hadirnya tergugat atau lazim disebut dengan putusan verstek. Untuk menjatuhkan putusan verstek ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan : 1. Bahwa Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut, namun ia tidak menghadiri persidangan yang ditetapkan. 2. Bahwa dalil gugatan Penggugat tidak bertentangan dengan hukum. Contoh gugatan yang bertentangan dengan hukum adalah gugatan hutang yang timbul dari perjudian.
Selain dari itu, dipandang pula sebagai putusan akhir, yaitu yang menyatakan gugatan Penggugat gugur, karena Penggugat tidak menghadiri persidangan. Sekarang penulis akan membahas apa yang dimaksud dengan putusan akhir itu. Yang dimaksud dengan putusan akhir Hakim adalah suatu pernyataan dari Hakim sebagai Pejabat yang diberi wewenang oleh Negara, yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, dengan syarat dan bentuk tertentu, dengan tujuan untuk mengakhiri atau untuk menyelesaikan suatu sengketa antara para pihak. Dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suatu keputusan harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Diucapkan oleh Hakim yang berwenang. 2. Dalam persidangan yang terbuka berwenang. 3. Dengan syarat-syarat dan bentuk tertentu. 4. Bertujuan mengakhiri sengketa atau perkara. Apabila syarat yang pertama tersebut tidak dipenuhi, misalnya putusan itu diucapkan oleh Panitera atau Hakim Milker memutus suatu perkara perdata, maka putusan tersebut batal demi hukum (nietig), yaitu dari semula putusan itu dipandang tidak ada, sehingga tidak mungkin dilaksanakan. Apabila syarat yang kedua tidak terpenuhi, yaitu putusan tidak diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (pasal 14 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 108 ayat 3 Undang-Undang No. 15 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
Bagaimana kalau unsur ketiga tidak terpenuhi ? Putusan Hakim tidak sama dengan surat biasa, atau suatu surat keputusan dari pejabat-pejabat negara lainnya. Namun demikian HIR maupun R.Bg tidak memuat secara rinci bagaimana seharusnya bentuk dan syarat-syarat suatu putusan. Hanya dalam pasal 184 ayat 1 HIR dan 195 ayat 1 R.Bg disebutkan bahwa putusan harus dicantumkan ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban serta alasan-alasan keputusan itu dan apa yang dimaksud dalam pasal 7 RO dan akhirnya putusan Pengadilan Negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan. Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang No.2 Tahun 1986) tidak mengatur tentang bentuk dan syarat putusan Hakim. Tetapi didalam UndangUndang No. 14 Tahun 1970 (Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman), dalam beberapa pasal yang tersebar menentukan syarat-syarat putusan sebagai berikut : -
Peradilan dilakukan, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat 1).
-
Putusan dilakukan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim, kecuali UndangUndang menentukan lain (pasal 15 ayat 1).
-
Putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 18).
-
Putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu dan pasal-pasal tertentu dan peraturan-peraturan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 23 ayat 1).
-
Putusan ditandatangani oleh Ketua dan Hakim-Hakim yang memutus dan
Panitera yang ikut sidang (Pasal 23 ayat 2). Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara UndangUndang No. 5 Tahun 1986 lebih jelas dan lengkap menyebutkan syarat-syarat putusan sebagai berikut : 1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (pasal 108ayat 1). 2. Putusan Pengadilan memuat: a. Kepala putusan yang berbunyi, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". b. Nama, jabatan kewarganegaraan, tempat kediaman atau kedudukan pihakpihak yang berperkara. c. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas. d. Pertimbangan dari penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal-hal, yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara. g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama Panitera serta keterangan tentang tidak hadirnya para pihak (lihat pasal 109 ayat 1). Putusan Hakim harus ditandatangani oleh hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang (lihat pasal 4 dan 5). Walaupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tersebut, khususnya bagi Peradilan Tata Usaha Negara, namun praktek selama ini pada lingkungan peradilan
umum syarat-syarat tersebut telah dipandang sebagai bentuk/syarat yang baku.22 Menurut ketentuan pasal 109 ayat 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tersebut, apabila syarat-syarat yang disebut dalam pasal 109 (1) tersebut tidak dipenuhi, dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan. Jadi putusan tersebut dapat dibatalkan (vernietig baar) yang diartikan bahwa sebelum putusan tersebut dibatalkan, maka putusan tersebut adalah sah (berbeda apabila putusan tidak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum) dan dapat dieksekusi. Tetapi menurut pendapat penulis ada 1 (situ) syarat disebutkan dalam pasal 109 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tersebut yang tidak mungkin dapat dilaksanakan apabila tidak dipenuhi, yaitu apabila putusan itu tanpa kepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", karena syarat ini adalah suatu syarat yang sangat essensil yang harus ada pada setiap putusan. Sebenarnya apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka putusan batal demi hukum (nietitg). Kalau kita baca pasal 224 HIR, maka syarat demikian adalah merupakan titel eksekusi. Tanpa titel eksekusi putusan tidak dapat dilaksanakan. Di Negeri Belanda apabila tidak ada kepala putusan "in naam des Koningin" putusan tersebut dapat dilaksanakan.23
22 23
Harifin A. Tumpa SH, Dwangsom, hal. 7 ibid. hal. 20
Bab IV PUTUSAN YANG DAPAT DILAKSANAKAN
Pemakaian kata eksekusi didalam praktek sering digunakan secara salah. Acapkali kita mendengar bahwa untuk menjalankan putusan Hakim, terdengar istilah pelaksanaan eksekusi. Padahal eksekusi sama artinya dengan pelaksanaan. Oleh karena itu menurut pendapat kami istilah yang tepat adalah pelaksanaan putusan Hakim atau eksekusi putusan Hakim sesuai dengan teks aslinya. Di dalam HIR Bab X "Bagian V yang berjudul "Ten Uitvoerlegging Van Vonnissen". Pelaksanaan suatu putusan Hakim dapat dilaksanakan dengan sukarela dan dapat pula dengan upaya paksa yaitu putusan itu dilaksanakan dengan kekuatan atau bantuan alat-alat negara lain bila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan dengan sukarela. Pelaksanaan putusan dengan sukarela dapat dikatakan tidak ada permasalahan, sehingga yang diatur di dalam Hukum Acara (HIR maupun R.Bg) hanyalah pelaksanaan putusan yang dilakukan dengan paksa. Nawawi memberikan pengertian eksekusi dalam pengertian yang lebih sempit, dengan menyatakan, "eksekusi adalah pelaksanaan dari putusan Pengadilan". Pelaksanaan atau eksekusi sudah mengandung arti pelaksanaan putusan Pengadilan. Dipaksakan kepada pihak yang dikalahkan karena is tidak mau mematuhi diktum atau
amar putusan Pengadilan".1 Dibawah ini penulis akan menguraikan tentang putusan yang tidak dapat dilaksanakan dan putusan yang dapat dilaksanakan. A. Putusan Yang Tidak Dapat dilaksanakan 1. Putusan yang Batal Demi Hukum Di dalam Bab III, Penulis telah menguraikan tentang syaratsyarat sahnya suatu putusan Hakim. Di antara syarat-syarat tersebut ada yang merupakan syarat mutlak, yang tanpa dipenuhinya syarat tersebut putusan menjadi batal demi hukum. Dengan demikian apabila suatu putusan batal demi hukum, maka dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Syarat-syarat tersebut adalah : a. Diucapkan oleh Hakim yang berwenang. Kalau putusan perkara perdata diucapkan atau diambil oleh Hakim Militer Atau oleh Panitera, maka putusan tersebut adalah batal demi hukum. b. Putusan harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Pasal 14 UU No. 14 tahun 1970 menentukan bahwa putusan yang tidak diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. c. Putusan harus berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". 1
Nawawi. "Taktik dan Strategi Membela Perkara. Perdata, Fajar Agung Jakarta 1987. hal. 121 2. Putusan Verstek
Tanpa kepala demikian, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. 2. Putusan Verstek Pasal 128 (1) HIR menyatakan bahwa putusan yang diputus dengan verstek tidak dapat dilaksanakan sebelum lewat 14 (empat belas) hari setelah dilakukan pemberitahuan seperti dimaksud dalam pasal 125. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, pelaksanaan ini dapat diperintahkan sebelum lewat tenggang waktu tersebut, dengan mencantumkannya dalam surat putusan tersebut, atas permohonan lisan ataupun tertulis dari Penggugat. 3. Putusan yang Tidak Mengandung Suatu Perintah Seperti yang telah penulis uraikan di dalam Bab I, bahwa putusan Hakim dapat dibedakan dalam 3 (tiga) sifat : a. Deklaratoir b. Constitutif. c. Condemnatoir. Prof. Sudikno Mertokusumo, SH, menyatakan bahwa : "Putusan Hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi dari pada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang
tercantum dalam putusan".2 Suatu putusan yang bersifat deklaratoir ataupun konstitutif tidaklah mengandung suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Putusan yang bersifat deklaratoir hanya bersifat menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum sematamata, misalnya A adalah ahli waris dari B. putusan yang bersifat konstitutif hanya bersifat meniadakan suatu keadaan hukum baru atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru, misalnya putusan perceraian, putusan yang menyatakan seorang jatuh pailit. 4. Diktum Putusan yang Tidak Jelas dan Tegas. Prof. Supomo mengemukakan bahwa : "Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat yang dipakai oleh alat-alat negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu yang di tentukan".3 Yang dirnaksud dengan bunyi putusan adalah diktum putusan, karena dalam diktum putusan itulah ditentukan apa yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah. Di dalam diktum itulah Hakim memerintahkan seseorang untuk melakukan prestasi. Oleh karena itulah, suatu putusan Hakim baru dapat dilaksanakan apabila diktum itu jelas. Siapa yang dihukum (diperintahkan) dan prestasi apa yang wajib dilakukan. Apabila di dalam diktum tidak jelas siapa yang dihukum atau tidak jelas 2 3
Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 201 R. Soepomo, SH. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Op.Cit. hal. 119
prestasi apa yang harus dilakukan, maka pihak yang akan melaksanakan putusan itu akan kebingungan. Begitu pula apabila dalam diktum tersebut tidak tegas apa yang harus dilaksanakan. Di dalam praktek timbulnya diktum yang tidak jelas atau tidak tegass, biasanya dimulai dari surat gugatan Penggugat, utamanya di dalam petitum gugatan. Pengadilan Negeri Jakarta Barat pernah menghadapi gugatan perdata yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dibawah Nomor 144/Pdt/G/1988/PN. Jkt. Brt. 1. Mengabulkan permohonan sita jaminan dari Penggugat atas sebidang tanah milik No. 184/Kebun Kelapa seluas 103 m2, berikut bangunan yang ada diatasnya, dilengkapi aliran listrik, air PAM serta pesawat telepon No. 462001, setempat dikenal dengan Jalan Sawah Besar No.2/6 Jakarta Barat. 2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas sebidang tanah hak milik seluas 103 m2 berikut bangunan yang berada diatasnya, dilengkapi aliran listrik, air PAM serta pesawat telepon No. 642001 setempat dikenal dengan Jalan Sawah Besar No. 2/6 Jakarta Barat. 3. Menghukum Tergugat untuk membayar hutangnya kepada Penggugat sebesar Rp. 190.000.000,- (Seratus sembilan puluh juta rupiah) ditambah bunga 6% setahun, terhitung sejak perkara ini diajukan kedepan Pengadilan Negeri Jakarta Barat atau (garis bawah dari penulis) apabila Tergugat tidak membayar hutangnya tersebut, menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Penggugat sebidang tanah hak milik No. 184/Kebon Kelapa seluas 103 m2, berikut bangunan yang ada diatasnya
dilengkapi aliran listrik, air IP AM, serta pesawat telepon No. 4621001, setempat dikenal dengan Jalan Sawah Besar 2/6 Jakarta Barat, sebagaimana janji Penggugat. 4. Menyatakan apabila Tergugat tidak membayar hutangnya kepada Penggugat atau tidak menyerahkan tanah hak milik No. 184/Kebon Kelapa seluas 103 m2, berikut bangunan yang ada diatasnya, setempat dikenal dengan Jalan Sawah No. 2/6 Jakarta Barat sebagai pengganti hutangnya, sebagaimana janjinya dalam perjanjian tanggal 4 September 1987, merupakan cidera janji yang merupakan perbuatan melanggar hukum. 5. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara. Pengadilan
Negeri
Jakarta
Barat
dalam
putusannya
No.
144/
Pdt/G/1988/PN.Jkt.Brt tertanggal 29 September 1998, dalam pertimbangannya pada pokoknya menyatakan bahwa Tergugat terbukti dalam meminjam uang Rp. 190.000.000,- dengan jaminan/tanah/rumah di Jalan Sawah Besar no. 2/6 Jakarta Barat, yang ternyata Hakim tersebut mengabulkan gugatan Penggugat kecuali yang tertera dalam butir 1. Rumusan diktum putusannya adalah sama dengan rumusan dalam petitum gugatan Penggugat. Ternyata diktum putusannya yang mengandung suatu perintah seperti yang dirumuskan pada butir 3 diatas tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas mana yang harus dilaksanakan. Apakah pembayaran hutang Penggugat sebesar Rp. 190.000.000,- (Seratus Sembilan Puluh Juta Rupiah) atau penyerahan tanah/ rumah, karena diktum tersebut bersifat alternatif. Kesulitan lainnya adalah cara bagaimana diktum demikian dilaksanakan, karena eksekusi pembayaran
sejumlah uang berbeda dengan eksekusi penyerahan sebuah rumah/tanah. Eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan dengan apa yang disebut "verhaal executie", yaitu penyitaan barang-barang milik Tergugat, kemudian dilelang dan hasil lelang diserahkan kepada Penggugat sejumlah apa yang menjadi haknya. Sedangkan eksekusi tanah/rumah dilakukan dengan eksekusi riil (riel executive) yaitu tanah/rumah dikosongkan dan diserahkan kepada Penggugat. Menurut hemat Penulis putusan Hakim dalam perkara tersebut cukup menghukum Tergugat untuk membayar hutangnya, apabila kemudian ternyata Tergugat tersebut tidak dapat membayar hutangnya maka tanah/rumah milik Tergugat disita untuk dilelang. 5. Perintah Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu Perbuatan itu harus dilakukan sendiri oleh Terhukum. Apabila seseorang dihukum, misalnya untuk memperbaiki rumah atau perabot rumah yang dirusak oleh Tergugat, maka upaya paksa tidak dapat dilakukan untuk memaksa Tergugat tersebut untuk melakukan perbuatan itu. Tergugat tersebut tidak dapat, misalnya dibawa ke kantor Polisi untuk ditahan atau ia ditodong atau diancam senjata supaya ia mau melaksanakan putusan itu. Untuk terlaksana putusan itu maka pasal 225 HIR menentukan : 1. Jika seseorang yang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan oleh Hakim, maka pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada pengadilan Negeri, baik
dengan surat, maupun lisan, supaya kepentingan yang ia tuntut untuk memperoleh pemenuhannya dapat dinilai dalam bentuk uang permohonannya tersebut. Jika permintaan itu dilakukan dengan lisan, maka hal itu harus dicatat. 2. Ketua mengajukan perkara tersebut dalam sidang Pengadilan yang setelah mendengar atau memanggil dengan patut akan pihak yang berhutang, menurut pertimbangan menolak tuntutan itu atau memberi penilaian terhadap perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan akan tetapi tidak dilaksanakan itu dengan jumlah uang yang kurang dari apa yang dikehendaki oleh Pemohon dan dalam hal demikian menghukum orang yang berhutang itu untuk membayarnya. Jadi dalam hal seseorang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan itu hanya bisa terjadi bila orang itu sendiri yang harus mengerjakan, misalnya membuat lukisan, maka eksekusi tidak dapat dijalankan melalui upaya paksa, akan tetapi perbuatan itu harus dinilai dengan sejumlah uang, dan inilah yang dapat dieksekusikan secara paksa. Ada suatu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang telah berkekuatan hukum tetap karena telah melalui proses banding dan kasasi. Perkara ini terdaftar dengan No.206/1980/G, antara H. Zakaria lawan Drs. Amir Hamzah Panjaitan. Hakim yang mengadili perkara tersebut dalam diktum putusannya tanggal 27 Januari 1983 No.206/1980/G, menyatakan: Dalam Konpensi: Menolak gugatan Penggugat konpensi untuk seluruhnya.
Dalam Rekonpensi: Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi/Tergugat konpensi untuk sebagian. Menyatakan Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi telah melakukan ingkar janji/wanprestasi. Memerintahkan kedua belah pihak untuk melaksanakan jual beli tanah hak pakai No. 5 Desa Tanjung Barat untuk seluas kurang lebih 1.600 m2dihadapan PPAT dengan harga yaitu telah dimufakati sebesar Rp. 11.500-permeter. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilakukan oleh M. Osep, Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 5 Januari 1981 terhadap rumah dan tanah seluas 250 m' yang terletak di Rt. 010/01 Pondok Labu dan tanah seluas 3.390 m2 sebagaimana jelas tertera dalam Berita Acara Penyitaan tersebut. Menolak gugatan selebihnya. Atas putusan tersebut Penggugat Rekonpensi memohon eksekusi. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menghadapi persoalan ini memohon fatwa kepada Mahkamah Agung R.I. Sesuai surat Mahkamah Agung R.I tertanggal 20 Oktober 1990 No.263/1006/90/II/UMTU/PDT, memberikan pendapat sebagai berikut: 1. Karena amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 206/ 1980/G, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berisi perintah agar kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) untuk melaksanakan jual beli tanah Hak Pakai No. 5 Desa Tanjung Barat dihadapan PPAT dengan harga yang telah dimufakati
sebesar Rp. 11.500-/m2' tidak disertai sanksi pembayaran uang paksa (dwangsom) sedang pihak Tergugat tidak bersedia melaksanakannya secara sukarela amar putusan tersebut itu, maka eksekusinya tidak dapat dilaksanakan (non executable). 2. Namun agar putusan tersebut dapat dilaksanakan eksekusinya oleh Tergugat, pihak Penggugat dapat mengajukan tuntutan uang paksa yang dinilai dengan sejumlah uang tertentu sesuai dengan prosedur pasal 606.a.Rv sebagai pegangan, dengan permintaan eksekusi "uitvoerbaar bij voorraad". Menurut pendapat Penulis bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut adalah keliru, karena seharusnya
Mahkamah
Agung
menganjurkan
agar
yang
bersangkutan
mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 225 HIR. Uang paksa yang dianjurkan oleh Mahkamah Agung untuk dipakai/diajukan oleh yang bersangkutan, adalah tidak tepat, karena "dwangsom", hanyalah merupakan suatu alat eksekusi. la tidak dapat menggantikan hukuman pokok (prestasi pokok). Harifin A. Tumpa, menyatakan bahwa : "Apabila hukum pokok (prestasi pokok) yang ditetapkan oleh Hakim tidak dipenuhi dengan sukarela oleh Terhukum, maka dwangsom diperlakukan (dapat dieksekusi). Tetapi apabila dwangsom tersebut terpenuhi (telah dieksekusi) tidaklah berarti bahwa hukum pokok telah hapus. Hukum pokok masih tetap dapat dilaksanakan".4
4
Harifin A. Tumpa. Dwangsom, Makalah dal= diskusi Hakim Pengadilan Negeri Se-DKI, tanggal 3 Juni 1990
6. Putusan Yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap Suatu putusan baru dapat dikatakan berkekuatan hukum tetap apabila putusan tersebut telah diterima oleh kedua belah pihak yang perkara atau tidak ada lagi upaya hukum biasa (perlawanan, banding atau kasasi) yang dapat digunakan oleh pihakpihak yang berperkara. Selama suatu putusan belum berkekuatan hukum tetap maka eksekusi putusan itu tidak dapat dilakukan, oleh karena putusan yang ada menjadi mentah kembali. Putusan Pengadilan Negeri akan menjadi mentah setelah diajukannya perlawanan (dalam hal putusan verstek) atau banding dan kasasi (dalam hal putusan akhir), karena perkara yang bersangkutan akan diperiksa ulang keseluruhannya. Begitu pula Putusan Pengadilan Tinggi akan menjadi mentah kembali bilamana perkara yang bersangkutan diajukan kasasi. Dalam tingkat kasasi perkara tidak diperiksa lagi secara keseluruhan, melainkan hanya yang menyangkut kesalahan dalam penerapan hukum baik hukum materil maupun hukum formil (yudex yuris). Fakta-fakta (yudex facti) tidak lagi menjadi togas Hakim kasasi. 7. Putusan yang Dihilangkan kekuatannya Oleh Putusan Lainnya Di dalam kasus yang berikut ini terlihat adanya 2 (dua) putusan yang masingmasing telah berkekuatan hukum tetap terhadap suatu obyek perkara : 1. Dalam putusan No.315 PK/Pdt/1989 jo No.831 K/Pdt/1987 jo No. 399/Pd t/1986/PT.Uj.Pdg. Jo No. 60/Pdt.G/1985/PN. Uj.Pdg, pihak-pihaknya adalah Guling Cs sebagai Penggugat melawan Syamsuddin B. Cs sebagai Tergugat dan
Kantor Agraria Kotamadya Ujung Pandang sebagai Turut Tergugat. Obyek sengketa adalah tanah lugs 62,218 m2 di Jalan Andi Tonro Kelurahan Maccini Sombala. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang No. 399/Pdt/1986/PT. UP tanggal 10 September 1986, dengan diktum sebagai berikut: -
Menerima permohonan banding dari para Penggugat/ Pembanding tersebut;
DALAM EKSEPSI: -
Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang ;
DALAM POKOK PERKARA: -
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang ;
DAN MENGADELI SENDIRI; -
Menyatakan bahwa para Penggugat/Pembanding adalah pemilik yang sah atas tanah sawah berdasarkan surat keputusan Inspeksi Agraria Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 26 September 1965 No. 166/XVIII/170/ 8/1965 seluas 62,218 M2 yang terletak di Jalan Andi Tonro Kelurahan Maccini Sombala Kecamatan Tamalate Kotamadya Ujung Pandang.
-
Menyatakan bahwa semua surat-surat yang terbit atas tanah sawah dimaksud untuk atas nama para Tergugat/ Terbanding serta turut Tergugat/Terbanding batal demi hukum setidak-tidaknya tidak mengikat demikian pula segala perbuatan hukum yang telah dilakukan yang mengikat terhadap sawah dimaksud.
-
Menyatakan supaya segala bentuk jual ben tanah ataupun perikatan jaminan
serta ikatan hukum lainnya dengan pihak-pihak lain yang menimbulkan hak darinya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Menyatakan ikatan jaminan dengan dalil apapun dengan PT. Semen Tonasa dan pihak lainnya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Menyatakan para Tergugat/ Terbanding dan semua orang yang mendapatkan hak darinya atas tanah sawah dimaksud mengembalikan tanah sawah tersebut kepada para Penggugat/ Pembanding sebagai pemilik yang sah dan menyerahkan dalam keadaan utuh kosong dan sempurna. -
Menghukum para pihak Tergugat/Terbanding dan turut Tergugat/ Terbanding untuk membayar biaya perkara.
2. Dalam perkara No. 282 PK/Pdt/1993 jo No. 1998 K/Pdt/ 1991 jo No. 135/Pdt/1991/PT.UP jo 03/Verzet. Pdt.G/1990/ PN.UP, pihak-pihaknya adalah : Abdul Rachman Cs sebagai Pembantah lawan Guling Cs sebagai Terbantah, dengan diktum putusan yang berkekuatan hukum tetap (putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang No.03/Verzet.Pdt.G/ 199G/PN.UP, tanggal 24 Nopember 1990 sebagai berikut : DALAM EKSEPSI : -
Menolak eksepsi dan terbantah-terbantah.
DALAM POKOK PERKARA : -
Menolak permohonan proposionil dari pembantahpembantah;
-
Menyatakan, bahwa Pembantah-pembantah adalah pembantah yang benar;
-
Menyatakan menurut hukum, bahwa tanah terperkara seluas 49.418M2 adalah
milik sah dari masing-masing : -
Pembantah I seluas 19.400 M2;
-
Pembantah II seluas 16.300 M2;
-
Pembantah III seluas 13.798 M2.
Sesuai dengan SK. Panitia Landreform Kabupaten Gowa tanggal 11 Januari 1969 No. 9/XVIII/170/1969. -
Menyatakan SK. Inspeksi Agraria Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 26 September 1965 No.166/XVII/8/ 1965 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat.
-
Menghukum para turut terbantah untuk mendengar dan mentaati putusan ini.
-
Menolak bantahan Pembantah untuk selain dan selebihnya.
Obyek sengketa adalah 49.418 M2 dari tanah yang menjadi obyek sengketa dalam perkara tersebut butir 2 (dua) diatas. 3. Dalam perkara No. 282 PK/Pdt/1993, pihak Pembantah mendalilkan bahwa sebagian dari tanah yang menjadi obyek sengketa dalam perkara No. 315 PK/Pdt/1993 adalah miliknya. (derden verzet). Melihat diktum putusan yang berkekuatan hukum .tetap dalam perkara No.282 PK/Pdt/1993, dimana antara lain disebutkan bahwa tanah seluas 49.418 M2 adalah milik sah dari pembantah dan menyatakan SK. Inspeksi Agraria Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 26 September 1965 tidak mempunyai kekuatan hukum/mengikat, maka dengan sendirinya putusan yang berkekuatan hukum dalam perkara No. 315 Pk/Pdt/1989, kehilangan kekuatan
eksekuterialnya khusus terhadap tanah seluas 49.418 M2 milik dari pembantah.
B. Putusan Yang Dapat Dilaksanakan 1. Putusan yang Bersifat Condemnatoir Seperti terlihat diatas bahwa suatu putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekusi apabila : a. Putusan itu mengabulkan gugatan penggugat. b. Putusan itu secara formal sudah benar artinya bahwa putusan itu tidak batal demi hukum. Sudikno menyatakan bahwa : "Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan Hakim ialah kepala putusan
yang
berbunyi,
"Demi
Keadilan
Berdasarkan
Ketuhanan
YangMahaEsa".5 c. Putusan tersebut mengandung suatu perintah. . Apakah setiap Putusan Hakim yang mengandung suatu perintah selalu dilaksanakan. Di dalam praktek ternyata bahwa tidak setiap putusanputusan mengandung suatu perintah dapat dilaksanakan, hal itu dapat kita lihat apabila: 1. Di dalam putusan itu mengandung perintah yang tidak tegas. Misalnya, Hakim memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mempunyai alternatif. 5
Sudikno, Op. Cit. hal. 200
Contohnya : Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 144/Pdt/G/1988/PN.Jkt. Bit. Tertanggal 29 September 1988 yang telah Penulis uraikan diatas 2. Obyek sengketa tidak berada ditangan pihak tereksekusi. Suatu putusan Hakim pada hakekatnya hanya mengingat pihak-pihak yang berperkara. Hal ini menjadi jelas apabila kita simak kembali bahwa suatu eksekusi didasarkan pada diktum putusan. Di dalam diktum putusan itu hanya akan menghukum pihak-pihak yang berperkara dan mungkin bersama-sama dengan pihak yang memperoleh hak dari padanya. Di dalam praktek ternyata bahwa suatu putusan hakim tidak dapat dilaksanakan karena pihak yang menguasai barang yang disengketakan tidak digugat. Dibawah ini Penulis kemukakan putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena dikuasai oleh Pihak ketiga. Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Nopember 1985 No. 1917 K/Pdt/1984, dalam perkara antara Gunawan Kurniadi sebagai Penggugat dan Muhammad Bachtiar sebagai Tergugat, obyek sengketa adalah tanah yang luasnya 44 hektar. Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadili dalam tingkat pertama dalam putusannya berbunyi : Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. Menetapkan serta mengesahkan persetujuan Tergugat dengan Penggugatitertanggal 24 Oktober 1979. Menetapkan dan mengesahkan bahwa tanah hak garapan yang menjadi sengketa adalah hak Penggugat berdasarkan Ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 1610/1979. P, tanggal 31 Juli 1979. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebanyak Rp. 55.725m,- (Lima puluh lima ribu tujuh ratus dua puluh lima rupiah). Menolak gugatan Penggugat selebihnya. Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tertanggal 15 Desember 1983 No. 534/1982/PT. OKI. Dalam tingkat kasasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut telah diperbaiki oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 21 Nopember 1985 No. 1917 K/Pdt/1984, dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : "Karena judex facti salah dalam melaksanakan hukum acara, yaitu telah mengambil kesimpulan tentang fakta tanpa melakukan pemeriksaan kebenaran fakta tersebut. Dalam hal ini judex facti telah menyimpulkan dalam pertimbangannya bahwa pihak ketiga beritikad baik. Pada hal pihak itu tidak pernah diperiksa, bahwa Mahkamah Agung berpendapat hak dari Tergugat asal". "Bahwa juga ternyata amar putusan yang bersifat condemnatoir (in casu penghukuman Tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar Rp. 200.000.000,adalah tidak sejalan dengan bagian amar yang bersifat Declaratoir, in casu yang menyatakan bahwa tanah garapan tersebut adalah hak Penggugat), padahal pokok sengketa adalah justru mengenai persoalan siapa yang berhak atas tanah garapan tersebut. Dalam hal ini Mahkamah Agung dapat membenarkan hak Penggugat asal atas tanah garapan tersengketa, sehingga tuntutan utama Penggugat asal untuk
pengosongan dan penyerahan tanah a quo dapat dikabulkan". Berdasarkan pertimbangkan tersebut, maka Mahkamah Agung memutuskan sebagai berikut : Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi, Muhammad Bachtiar tersebut, dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 9 Juni 1982 No. 161/ 1981/G, yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 5 Desember 1983 No.583/1982/ PT.DKI, sehingga seluruh amarnya menjadi berbunyi sebagai berikut : Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian. Menetapkan serta mengesahkan persetujuan Tergugat dan Penggugat tertanggal 24 Oktober 1979. Menetapkan serta mengesahkan bahwa tanah hak garapan yang menjadi sengketa adalah hak Penggugat berdasarkan Ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1610/1979/P, tanggal 31 Juli 1979. Menghukum Tergugat mengosongkan serta menyerahkan tanah hak garapan yang menjadi sengketa kepada penggugat dengan membawa haknya atau hak orang lain yang mendapat hak dari Tergugat. Menguatkan sita yang telah diletakkan atas tanah dengan hak garapan tersengketa sebagaimana dalam Berita Acara. Penyitaan Conservatoir yang dilakukan oleh panitera Pengganti Pengadilan Negeri Barat pada tanggal 24 September 1984 Np. 161/1981/G. Menolak gugatan selebihnya. Setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, pihak Pemenang
memohon agar putusan tersebut dieksekusi. Ternyata bahwa tanah-tanah yang dinyatakan sebagai tanah garapan Penggugat telah diduduki/dikuasai oleh pihak ketiga, dengan alas hak yang jelas, sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut sampai scat ini tidak dapat dilaksanakan. 2. Akte Perdamaian Suatu persengketaan dimuka Hakim, dapat berakhir dengan perdamaian. Apabila terjadi hal yang demikian maka Hakim akan membuat apa yang disebut akte perdamaian. Dalam diktum, Hakim menghukum kedua belah pihak untuk menaati akte perdamaian tersebut. Apabila ternyata kewajiban itu memang bisa dipaksakan, seperti halnya didalam keputusan yang bersifat kondemnatoir. Menurut Supomo, bahwa dengan dicapainya perdamaian proses berakhir. Perdamaian tidak bersifat putusan yang diambil atas pertanggung jawaban Hakim, melainkan bersifat persetujuan antara kedua belah pihak atas pertanggungan mereka sendiri. Namun dari beberapa kasus ternyata bahwa walaupun perkara itu berakhir dengan akte perdamaian, namun salah satu pihak masih juga mengajukan upaya banding. Supomo, mengemukakan suatu peristiwa sebagai berikut: "Pernah terjadi suatu putusan Hakim, yang dibentuk secara perdamaian. Menurut Raad Van Justite Padanag dahulu, tanggal 26 April 1934 (T. 141, hal. 223) Tergugat bersedia menyerahkan sawahnya kepada Penggugat, jikalau Penggugat bersumpah bahwa
sawah itu benar-benar miliknya. Setelah Penggugat itu mengangkat sumpah, maka putusan Hakim diberi bentuk perdamaian. Raad Van Justitie tersebut memandang bentuk perdamaian itu tidak menghilangkan sifatnya putusan HAKIM sebagai putusan belaka. Proses tidak berakhir karena perdamaian, melainkan berakhir dengan sumpah yang kemudian diikuti oleh putusan Hakim, oleh karena itu permohonan banding diterima".6 Demikian pula suatu putusan Pengadilan Negeri Takalar, tertanggal 23 Mei 1966 No.29.a/1964 yang diberi judul "Putusan Perdamaian". Dalam perkara ini, maka pihak Tergugat yang merasa dirinya dirugikan dengan putusan perdamaian itu, karena menurut dia dipaksa untuk menerima putusan itu. Dan oleh karena itu pihak Tergugat mohon banding. Permohonan banding yang bersangkutan oleh Pengadilan Negeri tidak mau dilayani, dan oleh karena itu yang bersangkutan langsung ke Pengadilan Tinggi. Sebagai alasan yang pakai oleh Pengadilan Tinggi yang menerima permohonan banding itu, dibawah ini penulis akan mengutip pertimbanganpertimbangan Pengadilan Tinggi Makassar dalam keputusannya tertanggal 8 Juli 1969 No. 92/ 1968/PT/Pdt sebagai berikut : Menimbang, bahwa dari kejadian-kejadian seperti ternyata menurut procedure tersebut mula-mula yaitu A dalam verzet (perlawanan) terhadap tersebut diatas timbul dua keadaan yang bertolak belakang : 1. Pihak Pengadilan Negeri Takalar menggangap tidak ada jalan untuk naik banding 6
Supomo, Op.Cit, Hal. 62.
bagi Tergugat-I/Pelawan Pembanding, H. Narra Dg. Mappa oleh karena adanya perdamaian antara kedua belch pihak. 2. Pihak Tergugat-Tergugat/Pelawan-Pembanding, H. Narra Dg. Mappa yang menganggap keputusan perdamaian itu selaku terpaksa atau setidak tidaknya dibawah tekanan, yang ia harus terima sebagai kenyataan yang mana : Akibatnya ialah bahwa pihak tersebut pada 2 diatas dengan suratnya tertanggal 20 Mei 1966, 5 hari sesudahnya keputusan Pengadilan Negeri yang langsung dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan diterima pada hari itu juga dikepaniteraan Pengadilan Tinggi Makassar, mengajukan keberatannya sambil memohon peineriksaan bandingan atas keputusan Pengadilan Negeri Takalar tersebut. Bahwa disamping suratnya itu, juga secara lisan oleh H. Narra Dg. Mappa dinyatakan bandingnya pada tanggal 28 Mei 1966, yang dibuat oleh Pd. Panitera Pengadilan Tinggi Makassar, Sdr. Salma Hasbullah seperti bunyi surat keterangan Pengatur Hukum/Calon Hakim Muda Abd. Karim Nyallang yang terlampir. Menimbang, bahwa dengan suratnya tertanggal 14 Maret 1969 dengan lampiranlampirannya Pelawan/Pembanding H. Narra Dg. Mappa menambahkan pula keteranganketerangan yang lebih terperinci yang sifatnya sebagai balasan atas surat tangkisan pihak Pr. Djami yang hanya mendesak diselesaikannya perkara pada tingkat banding. Dengan adanya kenyataan tersebut diatas, maka jelaslah adanya bandingan yang diajukan dalam tenggang waktunya dan selanjutnya sekalipun pemberitahuan banding dan penyerahan salinan memori banding
kepada pihak terbanding agak lambat (lihat relaas-relaas yang dibuat juru sita Pengadilan Negeri Takalar masing-masing tertanggal 28 Oktober 1968 No. 29.a/1 964/HB). Suatu kasus pernah dihadapi juga oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kasus posisinya sebagai berikut :7 -
Perusahaan dagang PT. Prima Indah Nusantara, didirikan berdasarkan akta Notaris Ny. Yetti taker, SH dengan susunan pengurus perseroan terdiri dari Ny. Marwati selaku,Direktur Utama.
-
Pada April 1980 PT. Prima diwakili oleh Direktur Utama Mawari, memperoleh fasilitas kredit dari bank pasifik, yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kredit (P.K) No.86/022/PK/MHT/1980. -
Pada tahun 1982 terjadi perubahan pengurus PT. Prima Ny. Marwati tidak lagi menjabat sebagai Direktur Utama. Terjadi kemacetan pengembalian kredit kepada bank pasifik:
-
Pada tahun 1983, Bank Pasifik selaku kreditur PT. Prima Indah dan Direktur Utama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 652/Pdt/G/1983.
-
Selama proses persidangan, terjadi kesepakatan untuk mengakhiri sengketa ini secara perdamaian.
-
Perdamaian yang tercapai tersebut lalu dituangkan dalam akta perdamaian tertanggal 25 Agustus 1984 yang disyahkan oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam satu Putusan Perdamaian No. 652/ Pdt/G/1983, tanggal 24
7
Varia Peradilan, Juli 1992, hal. 37-42
Agustus 1984. -
"Putusan perdamaian" Pengadilan Negeri ini, ternyata tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak Tergugat PT. Prima tersebut. Menghadapi kenyataan ini maka Bank Pasifik kemudian mengajukan permohonan eksekusi atas putusan perdamaian No. 625/Pdt/G/1983 kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam menangani permohonan eksekusi tersebut, lalu memanggil dan memberi teguran (anmaning) kepada Direktur Utama dan penanggung jawab baru dari PT. Prima agar dalam waktu 8 hari memenuhi isi putusan Pengadilan Negeri No.652/Pdt/G/1983 yaitu wajib membayar kepada Bank Pasifik uang kredit yang belum dibayarnya.
-
Dengan adanya teguran (anmaning) dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut maka Direktur Utama yang baru sebagai Termohon eksekusi lalu mengajukan gugatan bantahan terhadap Bank Pasifik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana:
-
-
Bank Pasifik sebagai Terbantah I
-
PT. Prima Indah Nusantara sebagai Terbantah II
Dalam gugatan bantahan (verzet) terhadap eksekusi putusan perdamaian Pengadilan Negeri tersebut pihak pembantah rnengemukakan alasan (dalil) yang pokoknya sebagai berikut: Bahwa dalam "Putusan Perdamaian" tersebut terdapat kekeliruan yaitu :
Kedudukan Pembantah (Termohon Eksekusi) bukan sebagai Direktur Utama dari PT.
Prima Indah Nusantara melainkan sebagai Komisaris Utama yang tidak pernah memberikan izin tertulis, bahkan tidak tabu menahu, tentang adanya kredit yang diberikan oleh Bank Pasifik kepada Ny. Mawarti karena itu pembantah menolak permohonan eksekusi putusan perdarnaian tersebut. -
Dengan dalil yang pokok dikutip diatas selanjutnya pembantah mohon kepada Pengadilan Negeri mernberikan putusan sebagai berikut:
-
Dalam
provisi
:
Menangguhkan
eksekusi
putusan
perdamaian
No.652/Pdt/G/1983. -
Menyatakan pembantah adalah pembantah yang benar. Menyatakan terhadap pembantah tidak bisa dilakukan eksekusi Putusan Pengadilan Negeri Pusat No.652/ Pdt/G/1983.
-
Bila telah dilakukan Sita Jaminan : diperintahkan untuk diangkat kembali.
-
Memerintahkan Terbantah I untuk tidak lagi melakukan tindakan eksekusi terhadap Pembantah dengan ketentuan membayar uang paksa Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) perhari bila melanggar perintah ini. Dst… dst… ,… dst.
-
Terbantah I, Bank Pasifik memberikan jawaban baik eksekusi maupun pokok perkara.
-
Dalam pokok perkara, pihak Terbantah I, Bank Pasifik menyatakan sebagai berikut : -
Bahwa anmaning (teguran) oleh Pengadilan Negeri terhadap Pembantah adalah akibat dari hukum kelalaian (wanprestasi) pihak Pembantah yang tidak melaksanakan isi putusan perdamaian Pengadilan No. 652/Pdt/G/1983. Tidak
ada suatu kekeliruan dalam putusan perdamaian tersebut. Tidak beralasan pihak pembantah menolak "eksekusi putusan perdamaian" tersebut karena secara tegas, pembantah berkedudukan selaku pribadi dan penanggung jawab PT Prima Indah Nusantara. -
Dengan alasan ini, maka Terbantah I Bank Pasifik, mohon agar Hakim menolak bantahan yang diajukan atau, menyatakan tidak dapat menerima bantahan tersebut.
PENGADILAN NEGERI: -
Hakim pertama yang mengadili gugat bantahan terhadap eksekusi putusan perdamaian tersebut, memberikan putusan : menyatakan bantahan yang diajukan oleh pembantah, tidak dapat diterima. Putusan Hakim pertama ini disadari oleh alasan-alasan hukum yang pokoknya sebagai berikut:
-
Bahwa Terbantah II, PT. Prima Indah Nusantara tidak hadir dipersidangan dan tidak mewakilkannya karena itu ia dianggap melepaskan haknya untuk menyangkal bantahan ini.
-
Bahwa menurut Hukum Acara, suatu bantahan (verzet) oleh pihak terhadap eksekusi putusan Pengadilan Negeri hanya dapat diajukan dengan dasar (alasan) bahwa pembantah telah memenuhi (membayar) isi putusan Pengadilan Negeri tersebut. Bahwa putusan perdamaian suatu perkara perdata di Pengadilan Negeri berkedudukan sama dengan putusan perkara yang berkekuatan pasti, maka bantahan oleh pihak eksekusi putusan perdamaian hanya dapat diajukan berdasarkan al&san bahwa putusan perdamaian tersebut telah dipenuhi oleh
pembantah. -
Dari bantahan pembantah, jelas bahwa pembantah sebagai pihak yang harus memenuhi putusan perdamaian pengadilan telah mengajukan bantahan terhadap eksekusi putusan perdamaian No.625/Pdt/ G/1983 adalah bukan atas dasar (alasan) bahwa pembantah telah memenuhi (membayar) isi putusan perdamaian tersebut, maka bantahan pembantah tersebut, secara yuridis, harus dinyatakan tidak diterima.
PENGADILAN TINGGI -
Pembantah menolak putusan hakim Pengadilan Negeri tersebut diatas dan mohon pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi.
-
Hakim banding dalam putusannya berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan hakim pertama dinilainnya sudah benar dan berdasar hukum, harus dipertahankan.
-
Akhirnya hakim banding memberikan putusan yang pokoknya sebagai berikut : -
Dalam Eksepsi
-
Menolak eksepsi Terbantah I
-
Dalam pokok perkara
-
Menyatakan pembantahan adalah pembantahan yang tidak benar.
-
Menyatakan bantahan pembantah tidak dapat diterima.
MAHKAMAH AGUNG RI -
Pembantah menolak putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri dan mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI dengan mengemukakan "keberatan kasasi" yang pokoknya sebagai
berikut: 1. Bahwa Pengadilan Tinggi adalah menilai surat bukti P.I. Akte perdamaian, yang sifatnya mengikat kedua belah pihak. Dalam akta perdamaian ini adalah Bank Pasifik dengan Ny. Mawarti yang bertindak untuk diri sendiri dan atas nama Perusahaan PT. Prima Indah Nusantara karena itu Ny. Mawarti yang harus bertanggung jawab pembantah sebagai komisaris dalam PT. Prima Indah Nusantara. 2. Pembantah selaku pribadi, tidak tersangkut dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh Ny. Mawarti (Direktur Utama) dengan Pihak Bank Pasifik. Pembantah tidak ikut serta menanda tangani perjanjian kredit tersebut. Bahkan terjadinya kredit tersebut tidak ada persetujuan dari komisaris (pembantah). Karena itu yang bertanggung jawab atas kredit tersebuts adalah Ny. Mawarti, karena tindakannya itu bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan. 3. Bahwa Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas (PT) adalah hukum positif bagi Perseroan Terbatas itu sendiri. Setiap pelanggaran atas ketentuan anggaran dasar akan mengakibatkan transaksi menjadi batal, karena perjanjian perdamaian antara Bank Pasifik dengan PT. Prima Indah terdapat kekeliruan, maka eksekusi "putusan perdamaian" itu, harus dimusyawarahkan kembali. Mahkamah Agung RI setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya berpendirian bahwa putusan judex facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) di nilai sebagai putusan yang salah menerapkan hukum sehingga
putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini. Pendirian Mahkamah Agung RI ini didasari oleh pertimbangan hukum yang inti sarinya sebagai berikut: -
Dalam menyelesaikan kasus ini, maka harus ditegaskan terlebih dahulu mengenai: Legitima Persona Standi In J ud icia.
-
Menurut ex pasal 38 W.V.K (KUH Dagang) : bahwa absahnya suatu "Perseroan Terbatas" harus ada akta pendirian yang authentik dan mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman, demikian pula apabila ada perubahan.
-
Berdasar rapat pemegang saham Juli 1982, Komisaris Utama diangkat menjadi Direktur Utama, perubahan pengurus ini tanpa ada akta authentik dan tanpa adanya pengesahan Menteri Kehakiman.
-
Dalam sengketa gugat perdata antara Bank Pasifik dengan PT. Prima, yang berkesudahan dengan dibuatnya "akta perdamaian" dan disyahkan dalam putusan Pengadilan
No.652/Pdt/G/
1983/PN.Jkt.Pst,
tanggal
25
Agustus
1984,
sebenarnya, Lejten Purnawirawan Soegih Arto, tidak mempunyai kwalitas bertindak untuk dan atas nama PT. Prima. Hal ini dikarenakan berdirinya. PT. PRIMA tidak terbukti bahwa akta berdirinya telah disyahkan oleh Menteri Kehakiman, sehingga Perseroan Terbatas PT. Prima, masih belum berstatus sebagai badan hukum, sehingga dalam bertindak hukum seluruh pengurus PT Prima harus digugat. -
Karena
subyek
yang
menjadi
tergugat
dalam
perkara
gugatan
No.
652/Pdt/G/1983, hanya Letjen Purnawirawan Soegih Arto, yang secara keliru
disebut sebagai Direktur Utama PT. Prima, maka "akta perdamaian" tersebut menjadi tidak syah, sehingga tidak bisa bisa dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan eksekusi. -
Dengan tidak tepatnya kedudukan Letjen Purnawirawan Soegih Arto, yang menjadi wakil yang syah dari PT. Prima tersebut, maka telah menjadi error inpersona sehingga berdasar pada ex pasal 1959 B.W. Perjanjian perdamaian tersebut menjadi tidak syah.
-
Dengan pertimbangan yang inti sarinya dikutip diatas, akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang pokoknya sebagai berikut :
MENGADILI : -
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi.
MENGADILI SENDIRI : -
Menyatakan Pembantah adalah Pembantah yang benar.
-
Menyatakan demi hukum bahwa EKSEKUSI PUTUSAN PERDAMAIAN No.652/Pdt/G/ 1980/PN.Jkt.Pst, tanggal 25 Agustus
1984 tidak
dapat
dilaksanakan. -
Memerintahkan Sita Eksekusi berdasarkan Berita Acara No.151/1988/Eksekusi, terhadap milik pembantah untuk diangkat Mahkamah Agung dalam SEMA No. 1 tahun 2002, meminta kepada semua Hakim Peradilan Tingkat I untuk memberdayakan pasal 130 HIR tentang upaya perdamaian. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi menumpuknya perkara di tingkat Kasasi.
C. Kapan Suatu Putusan Dapat Dilaksanakan 1. Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan HIR maupun R.Bg, tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap sehingga menimbulkan pertanyaan apa yang dimaksud dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap itu. Dan kapankah suatu putusan dikatakan memperoleh kekuatan hukum tetap. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka pertama-tama perlu dibedakan antara putusan yang belum menjadi tetap dan putusan sudah menjadi tetap. Putusan yang belum menjadi tetap adalah putusan yang menurut ketentuan perundangan masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum melawan putusan itu misalnya perlawanan terhadap putusan verstek, banding atas putusan hakim pengadilan negeri, kasasi bagi putusan pengadilan tinggi. Putusan yang sudah menjadi tetap adalah putusan yang menurut ketentuan perundangan tidak lagi menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Putusan hakim yang sudah menjadi tetap memperoleh kekuatan pasti. Dengan dernikian mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan. Perlu diketahui bahwa upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (Request civil) tidak merupakan alasan untuk menunda eksekusi (Pasal 66 (2) UU No. 14 Tahun 1985). Namun demikian Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan menunda eksekusi sementara menunggu putusan peninjauan kembali, apabila ada alasan yang mendasar. Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 3 Desember 1974 No. 1043
K/Sip/1971 menyatakan : Pelaksanaan putusan hakim harus menunggu sampai seluruh putusan mempunyai kekuatan hukum pasti meskipun salah satu pihak tidak naik banding atau kasasi. Pengecualian dari prinsip bahwa hanya putusan yang berkekuatan hukum yang dapat dilaksanakan adalah ketentuan di dalam pasal 180 HIR dan pasal 191 (1) R.Bg, yang lazim disebut putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu. Pasal 180 (1) HIR berbunyi sebagai berikut : Pengadilan Negeri dapat memerintahkan pelaksanaan terlebih dahulu akan putusan-putusannya walaupun ada perlawanan atau naik banding, jika didasarkan pada suatu hak (titel) autentik atau suatu penghukuman sebelumnya dalam suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan yang pasti, begitu pula dalam suatu tuntutan provisionil yang telah dikabulkan serta dalam persengketaan mengenai hak penguasaan (Bezit Recht). Walaupun pasal tersebut memberikan kewenangan bagi Hakim pengadilan negeri untuk menjatuhkan putusan serta merta, namun dalam prakteknya, suatu putusan Hakim yang belum berkekuatan hukum tetap jarang dijalankan. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Agung dalam surat edarannya 3 April 1978 No. 03 Tahun 1978 menyatakan : "Agar supaya saudara tidak menjatuhkan putusan Vitvoerbaar bij voorraad, walaupun syarat-syarat dalam pasal 180 ayat 1 HIR/191 ayat 1 RBg, telah dipenuhi".
Hanya dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan keputusan demikian yang sangat eksepsional sifatnya dapat dijatuhkan dengan mengingat syarat-syarat yang tercantum dalam SEMA No. 06/1975 tanggal 1 Desember 1975. Surat edaran seperti tersebut diatas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung setidak-tidaknya telah dilakukan 9 kali. Terakhir adalah SEMA No. 3 tahun 2000 tanggal 21 Juli 2000 dan No. 4 tahun 2000 tanggal 20 Agustus 2001 (lihat lampiran). Di dalam Sema tersebut, selain memberikan petunjukpetunjuk teknis tentang bagaimana menjatuhkan putusan serta merta, yang paling menarik adalah adanya instruksi "Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama". Peringatan-peringatan dari Mahkamah Agung tersebut dapat dimengerti oleh karena akibat hukum dari suatu putusan serta merta akaii memberikan dampak yang besar. Apabila suatu putusan yang berisi perintah vitvoerbaar bij voorrad dan dilaksanakan walaupun ada perlawanan atau banding, tidak akan membawa dampak apa-apa bilamana putusan tersebut sampai selesainya upaya hukum tidak mengalami perubahan atau putusan itu berkekuatan hukum tetap, akan tetapi persoalannya akan menjadi lain bilamana putusan tersebut dibatalkan
Mari kita mencoba menganalisa akibat-akibat hukum terhadap putusan vitvoerbaar bij voorrad yang dibatalkan.8 a. Gugatan ditolak atau tidak dapat diterima Putusan yang berisi perintah vitvoerbaar bij voorrad dibatalkan dengan menyatakan gugatan ditolak, maka ada beberapa akibat yang dapat ditimbulkan yaitu: 1. Bila eksekusi telah selesai dengan eksekusi rid 1.a. Pembongkaran bangunan untuk memenuhi putusan agar tanah sengketa dikosongkan. Bila kemudian putusan itu dibatalkan dengan menolak gugatan penggugat maka tidaklah mungkin memulihkan ke Bandingkan dalam keadaan semula. Maka dalam hal ini satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menuntut ganti rugi. Bagaimana bentuk ganti rugi yang bersangkutan ?. Bagaimana hubungannya dengan uang jaminan yang harus disetor oleh penggugat ?. Apabila tergugat yang tereksekusi tersebut mau menerima ganti rugi yang sudah tersedia sesuai dengan uang jaminan maka persoalan telah selesai. Tetapi bilamana tergugat tidak mau menerima uang jaminan tersebut karena dipandang terlalu kecil, maka tentunya is harus lebih dahulu mengajukan gugatan. 1.b. Pengosongan. Apabila barang yang dikosongkan tersebut masih tetap dalam keadaan semula dan masih berada ditangan penggugat maka kelihatannya tidak ada kesulitan dalam pemulihan kedalam tangan tergugat (Restitusio in 8
Bandingkan Harlin A.Tumpa, Executie uit voerbaar bij voorrad, Mahkamah Agung RI.2002
integrum). Namun permasalahannya akan menjadi lain bilamana barang yang bersangkutan sudah dialihkan ke tangan pihak lain, maka solusinya : 1. Meminta ganti rugi dengan gugatan atau mengambil uang jaminan. 2. Menggugat pengembalian barang yang bersangkutan dari pihak III. Inipun tentunya apabila dapat dibuktikan bahwa pembeli beritikad tidak baik. 2. Bila eksekusi melalui verhaal executie 2.a. Barang milik tergugat yang dilelang untuk membayar penggugat, akan menjadi permasalahan bilamana gugatan penggugat ditolak (yang berkekuatan hukum tetap). Maka sepanjang pelelangan yang bersangkutan tidak ada cacat hukum maka satu-satunya upaya yang dapat dilakukan oleh yang tergugat dalam pemulihan haknya adalah dengan menuntut ganti rugi atau menerima uang jaminan yang telah diserahkan oleh tergugat. 2.b. Gugatan
tidak
dapat
diterima
atau
Pengadilan
Negeri
tidak
berwenang. Gugatan tidak dapat diterima disebabkan: 1. Formalitas gugatan tidak sempurna (obscuur libel). 2. Ne bis in idem. 3. Kadaluarsa. Persoalannya bagaimana nasib dari putusan-putusan yang telah dieksekusi dengan uitvoerbaar bij voorraad. Karena dasar dari eksekusi tersebut sudah hilang, maka dengan sendirinya harus diadakan pemulihan dalam keadaan
semula hak-hak dari tergugat atau berupa ganti rugi seperti tertulis dalam gugatan terdahulu. Tetapi mungkin saja kemudian perkara ini menjadi bolak balik dieksekusi, suatu hal yang pasti menurunkan kredibilitas hakim/pengadilan. Oleh karena itulah para hakim di dalam menjatuhkan putusan iutvoebaar bij voorraad itu tidak mengundang kontroversi dan ketidakpastian. Orang datang ke pengadilan untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum. b. Bila ada eksekusi terhadap dwangsom dan gijzeling Dwangsom adalah merupakan hukuman yang bersifat accessoir dari hukuman pokok. Jadi apabila dalam pokok perkara telah timbul kewajiban untuk melaksanakan hukuman pokok tersebut, maka apabila disertai adanya dwangsom, dengan sendirinya dwangsom itupun telah mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi apabila hukuman pokok tersebut tidak terlaksana sebagaimana mestinya, maka dwangsom pun dapat dieksekusi melalui verhaal executie. Gijzeling yang menurut PERMA No.1 Tahun 2000 dapat dilaksanakan serta merta bila debitur mempunyai hutang kepada negara minimal Rp. 1 Milyar. Apabila kemudian ternyata putusan yang berkekuatan hukum tetap itu menolak gugatan penggugat atau tidak dapat diterima, maka berarti gijseling yang telah dilakukan terhadap diri tergugat adalah tidak syah, sehingga is mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi kepada penggugat.
2. Ada Suatu Putusan Provisi Di dalam praktek terdapat kekacauan dalam pengertian, penerapan maupun pelaksanaan suatu gugatan provisi. Ada yang berpendapat putusan provisi adalah merupakan putusan merupakan putusan sela. Namun apabila kita melihat ketentuan di dalam pasal 331 Rv dan pasal 332 Rv, maka dapat disimpulkan bahwa putusan provisi bukanlah putusan sela atau putusan persiapan atau putusan insidentil. Putusan provisi adalah merupakan putusan tersendiri yang bersifat sementara yang memerlukan eksekusi tersendiri dan bersifat serta merta. Untuk memahami provisi tersebut, maka mari kita melihat beberapa segi dad suatu provisi.9 a. Pengertian Didalam kamus istilah hukum, Belanda - Indonesia, Fockemas Andrea, 426, menyatakan antara lain : Provivioneel = sementara, bij voorraad. Provisionele = tuntutan sementara. Profisisonele Vonnis = putusan sementara, mengenai ketetapan sementara dari hakim selama memeriksa pokok perkara (N.W.O.BRVart.51 dsb Rv art.53). Apabila dalam proses timbul suatu insiden, yang memerlukan penanganan atau putusan yang cepat dari Hakim, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan suatu gugatan.tuntutan provisi. Tuntutan provisi ini diartikan sebagai 9
Harifin A. Tumpa, Gugatan/Putusan Provisi, Makalah, Mahkamah Agung RI 2002
tuntutan atas suatu perselisihan yang timbul sewaktu proses berjalan. Misalnya siisteri meminta agar supaya selama proses berjalan (dalam perkara perceraian) sisuami diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada anak dan isterinya (kewajiban alimentasi). Atau dalam perkara sewa menyewa, dimana rumah yang disewa penggugat dirusak atapnya oleh tergugat, pada hal waktu itu musim hujan. Dalam hal ini penggugat dapat menuntut agar sementara perkara berjalan, pihak tergugat dihukum untuk memperbaiki atap rumah itu. Kedua contoh kasus tersebut diatas memerlukan penanganan yang segera dari Hakim. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tuntutan provisi adalah merupakan tuntutan dari salah satu pihak, agar supaya hakim mengambil tindakan sementara (voorlopige voorziining), sebelum putusan akhir dijatuhkan. Di dalam literatur dan praktek peradilan di Indonesia, ternyata pengertian gugatan atau provisi masih belum terdapat keseragaman. Prof. Supomo menyatakan bahwa pengertian provisionele cis dalam pasal 180 (1) H.I.R diartikan sebagai tindakan sementara. Prof. Sudikno menyatakan bahwa putusan provisi adalah putusan yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Mahkamah Agung dalam surat edarannya Nomor 4 tahun 1965 tertanggal 30 Desember 1965 menyebutkan bahwa tuntutan provisionil dimaksudkan putusan sela.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1967 K/Pdt/1995 tanggal 4 Juni 1998 disebutkan bahwa tuntutan provisionil adalah tuntutan agar diperoleh tindakantindakan sementara dari Hakim yang tidak merupakan pokok perkara. Kemudian dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pdt/1997 tanggal 30 Oktober 1998 antara lain dinyatakan bahwa tuntutan provisionil adalah suatu tuntutan agar diadakan tindakan pendahuluan yang bersifat sementara, tuntutan mana harus dipenuhi sebelum memeriksa pokok perkara. Melihat praktek selama ini timbul kesan bahwa gugatan provisi dan putusan provisi banyak menimbulkan masalah, apalagi putusan tersebut dilaksanakan terlebih dahulu. Dan memang arti putusan provisi baru ada apabila dilaksanakan dengan secara serta merta. Lembaga provisionil didalam hukum acara perdata memang diperlukan oleh karena untuk mengantisipasi timbulnya insiden yang rnemerlukan penanganan yang segera (Spoedig Procedure).10 Di Negeri Belanda untuk mengantisipasi adanya insiden yang memerlukan penanganan segera dari Hakim dikenal dengan dua cara yaitu: 1. Voorlopige voorziening yaitu suatu tindakan sementara yang diambil oleh Hakim sebelum putusan akhir dijatuhkan. Proses ini dikenal dalam beracara di kantonreshter. Namun demikian proses tersebut ini lazim disebut provionele eis. Dalam proses ini dimungkinkan putusan provisi itu diajukan tersendiri atau bersama-sama dengan gugatannya. 10
Harifm A. Tumpa, Ibid, hal 3
2. Kort Ceding Proses ini dapat dilakukan dalam beracara di Rechtbank. Proses ini adalah merupakan proses yang harus ditangani segera, had Minggu atau hari liburpun dapat digunakan menangani kort geding tersebut. Bahkan proses tersebut dapat diajukan dimana saja walaupun rechtbank yang bersangkutan tidak berwenang menangani pokok perkaranya (bodemzaak). Acara kort geding tersebut juga dikenal dalam Rv, seperti yang diatur dalam pasal 283 sampai dengan 293 Rv. Tetapi di dalam SEMA No. 4 Tahun 1965 menyatakan bahwa hukum acara perdata bagi Pengadilan Negeri ialah pada pokoknya apa yang termuat dalam : "Reglemen Indonesia yang diperbaharui "(HIR)" yang tidak menganut suatu pemeriksaan kilat " (Kort Ceding), yang membedakan suatu perselisihan sementara dan suatu perselisihan pokok (Bodeen Gesxhil) Sedang tidaklah suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan suatu peraturan "pemeriksaan kilat" tertentu sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi peradilan dimuka Pengadilan Negeri. Dari uraian perbandingan diatas, maka satu-satunya acara yang dapat diadopsi untuk mengatasi insiden-insiden yang mendesak untuk ditangani dalam hukum acara perdata di Indonesia adalah provosionil atau voorlopige voorziening. Untuk tidak terjadinya kesimpang siuran, maka Mahkamah Agung hendaknya memberikan pedoman dengan batasan-batasan sampai seberapa jauh kita dapat memberikan
putusan provisional tersebut.11 Dibawah ini kami akin mencoba memberikan gambaran pelaksanaan provisonil. Melihat pengertian tersebut diatas baik yang didasarkan pendapat ahli maupun apa yang dituangkan didalam praktek pengadilan, maka dapat disimpulkan bahwa : -
Tuntutan provisi muncul karena timbulnya suatu peristiwa pada scat perkara berlangsung, yang memerlukan penanganan yang segera dari hakim atau ada suatu keadaan yang harus segera diputuskan oleh Hakim selama proses berlangsung. Contoh : Bila terjadi sengketa tentang sewa menyewa rumah, sementara proses berjalan pihak pemilik rumah membongkar atap rumah tersebut padahal waktu itu musim hujan, maka pihak penyewa dengan tuntutan provisi menuntut kepada Hakim agar sementara proses berjalan atap rumah wajib diperbaiki kembali oleh pemilik.
-
Tuntutan/gugatan provisi tersebut tidak masuk dalam ruing lingkup pokok perkara walaupun gugatan provisi selalu berhubungan dengan pokok perkaranya. Contoh : di dalam pasal 24 (1) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 disebutkan bahwa selama berlangsung gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat atau Tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permintaan salah satu pihak dapat pula menuntut agar hakim : 11
Harifin A. 'lump, Ibid, hal 4.
1. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami. 2. Menentukan hak-hak yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. 3. Menentukan hak-hak yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barangbarang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami, atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Di dalam pasal 53 Rv tersebut juga dimungkinkan adanya tuntutan provisi sesuai pasal 457 (melepaskan orang yang ditahan Kepala Daerah), pasal 561 (hak untuk menikmati baring yang disengketakan selama proses berlangsung), pasal 1738 (Sequestrasi) BW. Melihat fungsi dari suatu gugatan provisi dan putusan seperti tergambar diatas, maka prinsip hukum acara di dalam memutuskan suatu gugatan provisi harus tetap diperhatikan yaitu asas "boor en wederhoor". Prinsip mendengar kedua belch pihak yang dimaksudkan agar tercipta keseimbangan dan perlakuan yang sama antar pihakpihak dihadapan Hakim. Di dalam beberapa kasus yang kemudian bermasalah terlihat bahwa ada Hakim yang mengabulkan suatu gugatan provisi dengan mengabaikan asas tersebut diatas. Di dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Oktober 1997 No. 2877 K/Pdt/1991 antara lain mempertimbangkan sebagai berikut : -
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutus tuntutan provisi pada sidang keempat namun Tergugat II belum menghadiri sidang tanpa penjelasan
apakah-yang bersangkutan telah dipanggil dengan patut, bahkan putusan provisi dijatuhkan tanpa memberi kesempatan kepada tergugat I dan II mengajukan jawaban terlebih dahulu dan tidak didahului oleh suatu pemeriksaan apakah tuntutan provisi beralasan hukum. -
Bahwa seharusnya judex facti terlebih dahulu memberikan kesempatan pada Tergugat I dan II untuk menyampaikan eksepsi dan jawaban agar judex facti dapat mempertimbangkan apaliah berwenang mengadili perkara a quo.
-
Bahwa apabila Pengadilan Negeri menyatakan berwenang mengadili perkara a quo Baru dapat memutus tuntutan provisi apakah beralasan hukum sebagai suatu tuntutan yang sangat mendesak untuk diputuskan.
b. Apakah Suatu Putusan Provisi Dapat Dimintakan Banding Tersendiri. Apabila kita melihat pengertian provisional di atas maka sebenarnya putusanputusan provisi tidak menyangkut substansi pokok perkara. Tetapi gugatan provisi itu sendiri tidak mungkin ada tanpa adanya pokok perkara. Sebagai contoh, tidak mungkin ada gugatan provisi yang menuntut agar supaya suami istri diizinkan untuk pisah rumah bersama apabila tidak ada gugatan perceraian. Apabila kita melihat pasal 100 Rv yang berlaku di Belanda dimana ditentukan bahwa permohonan banding atas putusan voorziening harus diajukan bersama-sama dengan putusan akhir pokok perkara. Ketentuan ini oleh yurisprudensi Belanda tidak diikuti karena yurisprudensi Belanda menganut prinsip bahwa putusan provisi dapat
diajukan banding dan kasasi tcilepas dari pokok perkara.12 Apabila kita melihat Rv Indonesia, maka putusan provisi bukan putusan sela atau putusan persiapan atau putusan insidentil. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 331 dan 332 Rv. Pasal 331 Rv, menentukan bahwa banding terhadap putusan persiapan, putusan sela dan putusan insidentil hanya dapat dilakukan bersama-sama dengan banding terhadap putusan akhir. Pasal 332 Rv, permintaan banding terhadap putusan provisi dapat dilakukan sebelum putusan akhir dijatuhkan. Saya sendiri berpendapat bahwa walaupun dapat dibenarkan banding dan kasasi terhadap putusan provisi, namun untuk efisiensi, menghindari bertambahnya jumlah perkara ditingkat banding dan kasasi, alangkah baiknya bilamana pemeriksaan provisi ditingkat banding dan kasasi dilakukan bersama-sama dengan pokok perkaranya. Hal ini didasari pada asumsi bahwa apabila putusan provisi diambil berdasarkan alur yang benar, tidak aneh-aneh, maka putusan-putusan itu tidak akan menimbulkan problem yang serius. Sehingga penyelesaian melalui upaya hukum tidaklah terlalu mendesak. c. Sampai Kapan Berlakunya Putusan Provisi. Apabila kita melihat fungsi suatu proses provisi, maka terlihat bahwa putusan 12
Harifin A. Tumpa, Ibid, hal. 7
provisi itu bersifat sementara. Di dalam pasal 825 Rv Belanda disebutkan bahwa "Indien de vordering tot echtscheiduing wordt afgewesen, verliesen de voorlopige voorzienig hun kracht, zodra het vonnis in kracht van gewijsde is gegaan". Walaupun ketentuan tersebut dikhususkan pada perceraian, namun jiwa dari pasal tersebut dapat dipakai untuk semua putusan provisi, karena sesudah suatu perkara pokok mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap maka segala sesuatunya tunduk pada putusan akhir tersebut. Selama putusan perkara pokok belum berkekuatan hukum, maka kekuatan putusan provisi masih tetap berlaku.13 Namun terlihat bahwa selama ini Mahkamah Agung tidak memberikan batasan-batasan dan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana suatu provisi itu seharusnya dilakukan sehingga terjadi kesimpang siuran di dalam praktek. Terlihat ada kecenderungan dari sebagian hakim menggunakan lembaga provisi itu tidak sesuai dengan arti, makna dan tujuannya. Misalnya terlihat dari kasus dibawah ini : Didalam suatu sengketa antara : PT. FTS dengan PT. BNR, dimana di dalam perjanjian ditentukan bahwa apabila terjadi sengketa maka perselisihan diserahkan kepada Arbitrase yaitu BANI. Karena terjadi sengketa, maka persoalan tersebut diserahkan kepada BANI dan di Register dengan No. 5/VII-08/ARB/BANI/ 1999, perkara tersebut kemudian diputus oleh BANI dengan amar sebagai berikut: 13
Hardin A. Tumpa, Ibid,hal.6.
"Menghukum dan memerintahkan PT. BNR (Termohon) membayar kewajiban dan penggantian kerugian sebesar Rp. 4.742.650.625,27,- dalam waktu 30 hari setelah putusan ini diucapkan kepada PT. FTS (Peaiohon)". Putusan tersebut ternyata tidak dilaksanakan oleh Termohon dan oleh karenanya pemohon mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Termohon diberikan anmaning/ teguran. Berdasarkan teguran tersebut maka Termohon membuat surat pernyataan tertanggal 19 Oktober 1999 yang menyatakan kesanggupannya membayar secara menyicil, dimana di dalam butir 3.9 pernyataan tersebut menyatakan : "Apabila ternyata pada hari dan tanggal tersebut pada butir 2.2, butir 2.3 dan butir 2.5 yang dijanjikan, BNR tidak dapat melaksanakan kewajibannya berdasarkan surat pernyataan ini, maka terhitung 5 (lima) hari kerja sejak pemberitahuan oleh FTS kepada BNR mengenai hal ini dan ternyata BNR tetap tidak dapat melaksanakan pembayaran, maka FTS berhak melaksanakan eksekusi putusan BANI tersebut". Ternyata PT. BNR hanya membayar cicilan Rp. 300.000.000,pada tanggal 22 Oktober 1999 dan membayar ganti rugi Rp. 50.000.000,-pada tanggal 5 Nopember 1999, selanjutnya tidak membayar lagi. Karena PT. BNR tidak memenuhi perjanjian maka PT. FTS mengajukan permohonan eksekusi kepad a Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membuat penetapan tanggal 9 Nopember 1999 No. 226/EKS/1999 untuk memanggil Termohon dengan mendelegasikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk diberikan teguran agar waktu 8 hari sebelum
tanggal peneguran tersebut melaksanakan isi putusan BANI. Namun ternyata PT. BNR bukannya membayar cicilan malahan selaku Termohon eksekusi mengajukan bantahan eksekusi No. 601/Pdt.G/1999/PNjkt.Pst tanggal 26 Nopember 1999. Pada tanggal 2 Desember 1999 Pemohon eksekusi mengajukan permohonan sita eksekusi atas milik dari PT. BNR yang ada di Tabanan Ball dan oleh Ketua Pengadilan Negeri telah diterbitkan Penetapan tanggal 8 Desember 1999, pada tanggal 27 Desember 1999 Pengadilan Negeri Tabanan melakukan Sita Eksekusi akan lapangan golf milik Termohon di Tabanan. Namun pada tanggal 28 Desember 1999 keluar putusan provisi (putusan sela) yang memerintahkan agar supaya putusan BANI ditunda pelaksanaannya. Menurut permohonan eksekusi putusan tersebut diambil oleh hakim sebelum pemohon memberikan jawabannya bahkan belum sempat menghadiri sidang Di dalam petitum gugatan provisi Termohon eksekusi menuntut kepada Pengadilan Negeri untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan BANI Reg. No.5/VIII/08/ARB/BANI/1999 tanggal 19 Agustus 1999 sampai adanya putusan dalam perkara Terhadap putusan ini di dalam putusan sela? tersebut dinyatakan bahwa "menunda pelaksanaan eksekusi putusan BANI Reg.No.5/Vin/08/ARB/BANI/1999 tertanggal 19 Agustus 1999 sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan ini memang memprihatinkan oleh karena kelihatannya hakim yang bersangkutan tidak mengerti arti, makna dan tujuan suatu putusan provisi.
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis menguraikan beberapa hal seperti pada babbab terdahulu, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan atas penulisan ini sebagai berikut : A. Kesimpulan a. Proses beracara pada sengketa perdata pada hakikatnya ada 2: 1. Pemeriksaan perkara yang akan berakhir dengan putusan. 2. Pelaksanaan putusan hakim yang akan bertumpu pada putusan. b. Hanya putusan yang mengandung suatu perintah yang mempunyai kekuatan eksekutorial, karena dari perintah itulah Ketua Pengadilan Negeri menentukan apa yang harus dia lakukan. Ia tidak dapat menyimpang dari perintah tersebut. c. Suatu putusan tidak dapat terlaksana oleh karena : 1. Ada hambatan non yuridis, misalnya adanya pengarahan massa dari tereksekusi, sehingga jurusita tidak dapat melaksanakan perintah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 2. Ada hambatan juridis yaitu antara lain : a) Putusan yang bersangkutan tidak mengandung perintah atau perintah tidak jelas. b) Obyek sengketa tidak jelas baik letak maupun batas-batasnya. c) Obyek sengketa tidak berada di tangan Tereksekusi, karena prinsip
hukum acara perdata adalah hanya pihak-pihak dalam perkara yang terikat atas suatu keputusan Hakim. d) Putusan provisi adalah merupakan putusan yang diambil oleh Hakim atas adanya gugatan provisi yaitu karena timbulnya keadaan yang mendesak untuk segera diputus oleh Hakim atau adanya suatu keadaan yang harus segera diputus oleh Hakim selama proses berlangsung, tetapi keadaan tersebut tidak boleh menyangkut pokok perkara. e) Putusan provisi selalu mempunyai sifat berlaku serta merta (uit voerbaar by voorraad), karena apabila tidak berlaku serta merta, fungsi provisi tidak ada artinya yaitu menyelesaikan keadaan yang mendesak sebelum putusan pokok perkara berkekuatan hukum tetap. f) Ternyata dalam praktek, putusan provisi banyak menimbulkan persoalan-persoalan yang serius, oleh karena : 1. Gugatan provisi tidak diatur oleh HJE/RBg, sehingga ada peluang bagi Hakim bebas menerapkan hal tersebut menurut seleranya. 2. Mahkamah Agung belum pernah memberikan petunjuk teknis agar dan bagaimana suatu putusan provisi itu dapat diberlakukan. B. Saran 1. Karena putusan adalah merupakan landasan untuk melakukan eksekusi maka hendaknya para Hakim benar-benar secara cermat membuat putusan itu dengan lengkap jangan sampai putusan itu hanya bagus diatas kertas tetapi tidak dapat dieksekusi. Untuk itu Hakim tidak hanya sekedar untuk
menerapkan undang-undang, tetapi Hakim harus mampu menciptakan hukum (Rechts Schepping), dan menemukan hukum. 2. Mahkamah Agung hendaknya membuat PERMA yang mengatur tentang gugatan dan putusan provisi, agar supaya ada pegangan bagi Hakim dalam menggunakan lembaga provisionel tersebut. Sebagai penutup dari tesis ini, kami ingin mengutip pendapat dua sarjana Amerika yang pernah mengadakan penelitian hukum di Indonesia (Prof. Persig dan Prof. Hogg) yang menyatakan bahwa : "Hanya memberikan keadilan solo tidak cukup, hampir sama pentingnya adalah memberikan keadilan dengan cepat, efisien dan ongkos yang serendah, mungkin. Ada suatu pribahasa yang mengatakan bahwa keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak". Sine Justitia Nulla Libertas (Tanga keadilan tak ada kemerdekaan) Tacitus
DAFTAR PUSTAKA
1. Arinanto Satya, Hukum dan Pengembangan, Tahun April 1992 2. Bidara Olden, Hukum Acara Perdata, PT Pradnya Paramita, 1987. 3. HimawanCg, Pendekatan Ekonomi terhadap hukum sebagai Sarana Pengembalian Wibawa Hukum, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, tanggal 24 April 1991 4. Manan Bagir, Peranan Hakim Dalam Reformasi Hukum, Makalah, Mahkamah Agung, 2001. 5. Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Libety Yogyakarta, Edisi III, 1998 6. Muhammad Kadir Abd, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1978. 7. Namawi, taktik dan Strategi Membela Perkara perdata, Fajar Agung, Jakarta, 1977. 8. Prodjodikoro Wirjono, Mr. Hukum Acara Perdata, Cetakan ke-Lima,Sumur Bandung, 1970. 9. Rahardjo Sutjipta, Para Hakim, Kompas 10 Januari 1992. 10. Subrata Ganda S. Purwoto, Tugas Hakim Indonesia, Reader III, 1991 11. Subekti R, SH, Prof, Hukum Acara Perdata, BPHN, Binacipta, 1977. 12. Sumaryonq E, Etika Hukum, Konesius, 2002 13. Setiawan, Masalah Hukum Dalam Arbitrase, Pustaka Peradilan, Jilid VII, MARI
1997 14. Sutrisno, Filsafat Hukum bagian I, Pradnya Pramita, Cetakan 9 15. Supomo R. Hukum Acarda Pengadilan Negeri, Cetakan ke sebelas, PT. Pradnya Paramita 16. Sutantio Retnowulan, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni Bandung, 1979. 17. Tumpa A. Harifin, SH, Dwangsom, MARI, 1992. 18. -----------, Pengakuan dan Pelaksanaan Arbitrase Asing di Indonesia, Tesis, Unkris 2000 19. -----------,Gugatan dan Putusan Provisi serta Putusan Serta Merta, Makalah MARI, 2002 20. Tresna R, Mr, Komentar HIR. W. Verlijs A.V Amsterdam. Jakarta, 1956. 21. Wahyu Padmo, Prof, SH, Keadilan dalam Satya Arianto, Bahan-bahan Pelengkap Perkuliahan Kekuasaan Kehakiman (peninjauan dari segi Hukum Tata Usaha Negara) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991. 22. Tim Pengkaji Hukum Mahkamah Agung RI, Penemu Hukum dan Pemecah Masalah Hukum, Jilid I Reader III. 23. Jawa Barat Yurisprudensi, 1960-1971. 24. Yurisprudensi Indonesia 111/69, MARI 1969 25. Yurisprudensi Indonesia 1/70, MARI, 1970.
26. Yurisprudensi Indonesia 11/1970, MARI, 1970 27. IKAHI Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun VII, 1992. 28. Rangkuman Y.P.M.A, MARI. 197.
CURRICULUM VITAE
III. Seminar/Lokal Karya/Temu Ilmiah 1. Temu Karya "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Perbankan", sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI, Bank Indonesia dan PERBANAS, tanggal 13 Maret 1991 di Jakarta. 2. Seminar" Uang Paksa (Dwangsom) 3. Penyelenggara Universitas Nasional Jakarta, sebagai pembicara, di Jakarta 1991. 4. Seminar "Pengarus Globalisasi PW Common Law dan Civil Law (khusus B.W), sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI dan INI, tanggal 3 Maret 1992 di Jakarta. 5. Temu Ilmiah" Masalah Yang Timbul Dalam Penanganan Kredit Macet Yang Ditangani Oleh PUPN dan Pengadilan Negeri", sebagai peserta, penyelenggara PP . IKAHI, tanggal 19 April 1994 di Jakarta. 6. Seminar "Status Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Pe tani/ Penggarap pada lahan di daerah Pariwisata Lombok " Penyelenggara Universitas Mataram, sebagai pembicara/penyaji, Mataram Lombok 1996. 7. Temu Ilmiah " Pemantapan Wawasan Strategic Di Bidang Teknis dan Administrasi Peradilan ", Penyelenggara Mahkamah Agung, sebagai penceramah, di Jakarta 1997. 8. Penyegaran "Peraturan Kepailitan", Penyelenggara Mahkamah Agung RI, di Jakarta 1998. 9. Komferensi 150 tahun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia "Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern" Penyelenggara BPHN dan
Universitas LEIDEN Belanda, sebagai peserta, Jakarta 1999. 10. Temu Karya "Transaksi Perivatif". Penyelenggara Centre For Legal Studies, sebagai peserta, di Jakarta 1999. 11. Diskusi Terbatas "Pedoman Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat", Penyelenggara Departemen Kehakiman dan HAM, sebagai pembicara, di Palu 2002. 12. Loka Karya "Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa", Penyelenggara Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia di Jakarta, 2006. 13. Seminar Perlindungan Tenaga Kerja, Penyelenggara KOMNAS HAM, Sebagai Pembicara, Batam 2006. 14. Loka Karya, Intelectual Property Right, Penyelenggara WTO, Peserta, Hongkong, 2006. 15. Seminar Nasional Perlindungan dan Upaya Mencari Solusi atas Mesteri Alih Status Kepegawaian PERJAN menjadi Pegawai PERUM dibalik Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa, Penyelenggara Fakultas Hukum UGM, Sebagai Pembicara, Yogyakarta 2006. IV. KEGIATAN ILMIAH LAINNYA 1. Sebagai Tenaga Pengajar/Penceramah : Aktif menyampaikan kuliah dan ceramah pada berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, diantaranya : a. Dosen luar biasa pada Univ. Hasanuddin Makassar 2003 – sekarang b. Dosen luar biasa pada Universitas Nasional Jakarta 1990 - sekarang (non aktif)
c. Pendidikan Calon Hakim di Jakarta : 1992,1993, 1998,1999, dan 2000. d. Pelatihan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi/Hakim Tinggi : 1993,1994 Se Indonesia di Bandung. e. Pelatihan Biro Hukum Pemda Se Indonesia Jakarta 1997 f. Pendidikan Panitera dan Jurusita se Indonesia di Jakarta: 1998.1999 g. Pendidikan Legal Devisi BNI Se Indonesia di Jakarta 1999 dan 2004 h. Pendidikan Calon Pengacara di Yan Apul Associate 1997 s/d di Jakarta 2000 i. Pelatihan Hakim Pengadilan Negeri Se Indonesia 1997,1998, di beberapa tempat 1999,2000, 2002 j. Pelatihan Hakim Tinggi Se Indonesia di Jakarta : 2000 k. Pelatihan Asisten Hakim Agung Mahkamah Agung RI 2002 di Jakarta. l. Pelatihan Khusus Hakim Pengadilan Negeri : 2002 (Calon Pimpinan) Se Indonesia di Batu-Malang. m. Pelatihan Hakim Wilayah Indonesia Timur : 2003 di Makassar. n. Pelatihan Hakim Wilayah Sulawesi Utara dan Tengah 2003 di Manado. o. Pelatihan Panitera se Jawa : 2004 p. Pelatihan Hakim Khusus se Jawa di Yogyakarta : 2003 q. Pelatihan Hakim Ad Hoc PHI di Jakarta : 2006 r. Pelatihan Hakim (karier) PHI di Jakarta : 2006 s. Pelatihan Hakim di Medan, Jakarta, Malang, Makassar : 2006 Jayapura dan Mataram
t. Pelatihan Ketua dan Panitera PHI se Indonesia : 2006 di Malang u. Kursus LEMHANAS Jakarta : 2006 2. Penulis Telah menulis berbagai artikel ilmiah dan makalah, baik di Jurnal Ilmiah yang terakreditasi secara Nasional maupun di Jumal Ilmiah yang terakreditasi secara Internasional, diantaranya : a. Opportunity And Challenge The Existence of The Human Right Court In Indonesia, Diterbitkan oleh Journal of Civilization, Volume III Number 7, ISSN 1675-842, April 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia. b. Dwangsom (uang paksa) Jilid I dan II, Buku bacaan wajib bagi Hakim, Diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI tahun 1993 c. Membuat Memori Banding dan Kasasi, diberikan pada Pelatihan Biro Hukum Pemda Se Indonesia di Jakarta tahun 1997. Diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri RI. d. Keadilan GENDER dalam Putusan Mahkamah Agung, pada Seminar Keadilan GENDER di Tanjung Karang, Tahun 1999, diselenggarakan oleh IWAPI dan IKAHI Pusat. e. Perkembangan Yurisprudensi-diberikan pada peserta Pelatihan Hakim Se Indonesia, di beberapa daerah/wilayah Pengadilan Tinggi, diselengarakan oleh Mahkamah Agung tahun 1999. f. Pemeriksaan Perkara Perdata di Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, diberikan pada Peserta Pelatihan Legal Divisi BNI tahun 1999,
diselenggarakan oleh BNI Pusat. g. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi, diberikan pada Seminar IKAHI, 1998, diselenggarakan oleh IKAHI Pusat. h. Putusan", Mahkota Hakim, diberikan pada Pelatihan Hakim di beberapa Daerah di Indonesia, tahun 2000, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. i. Tehnik membuat Resume dan Konsep Putusan Mahkamah Agung, diberikan pada Pelatihan Asisten Hakim Agung 2002, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. j. Kapita Selekta Hukum Acara Perdata, diberikan pada Pelatihan Hakim di Kupang (Juni 2002), Makassar (Juni 2002), Banjarmasin (Juli 2002), Kendari (Agustus 2002) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. k. Gugatan dan Putusan Provisi serta eksekusi serta merta, diberikan pada Pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. l. Titik Singgung Arbitrase dengan Pengadilan Negeri, diberikan pada pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. m. Beberapa tulisan pilihan yang dimuat oleh Varia Peradilan, antara lain; Surat Kuasa Mutlak. Surat Dakwaan. Gugatan Provisi. Etika Moral Hakim.
n. Kajian Terhadap Pedoman Penanggulangan Pelanggaran HAM Berat, makalah dipresentasikan pada diskusi terbatas antar Pejabat dan Lembaga Masyarakat Sulawesi Tengah di Palu, tanggal 17 Oktober 2002, diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM — Departemen Kehakiman dan HAM RI. o. Masalah Surat Gugatan, Sita Jaminan, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Menado, Juli 2003 p. Eksekusi Putusan Hakim yang telah berkekuatan Hukum Tetap, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Makassar, Juni 2003. q. Masalah Perdamaian, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Manado dan Makassar 2003. r. Perilaku Kepemimpinan Pengadilan, makalah dibawakan pada Pelatihan Panitera di Yogyakarta, Maret 2004. s. Peran Mediator Dan Arbiter Dalam Penyelesaian Sengketa", Makalah dalam diskusi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia, 7 Juni 2006. t. "Perlindungan Hak-Hak Pekerja Serta Realisasinya Di Indonesia", Makalah dalam Loka Karya, penyelenggara KOMNASHAM, 30 Mei 2006. u. "Sistem Dan Strategi Peradilan Indonesia", Penyelenggara LEMHANAS, Makalah dimuka kursus Lemhanas, 22 Juni 2006. 3. Anggota Tim Penyusunan : a. Revisi Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II (MA)1998.
b. Yurisprudensi Perbankan (BPHN), 1999-2000. c. Yurisprudensi Perseroan Terbatas (BPHN), 1999-2000. d. Yurisprudensi Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI, 19972001. e. Wakil Ketua Penyusunan Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI), 2000. f. PERMA tentang Gijzeling (MA), 2000. 4. Anggota Kelompok Kerja Mahkamah Agung RI a. Perdata Niaga, 1998-2000. b. Arbitrase (sebagai Sekretaris), 2000. c. Ketua Pokja PHI, 2006. d. Direktur Proyek Perubahan PERMA No.2 Tahun 2003, kerj a sama dengan Pemerintah Jepang, 2006. 5. Orasi Ilmiah Telah menyampaikan orasi ilmiah dengan berbagai tema/topik tentang hukum, penegakan hukum, maupun Hak Asasi Manusia dan penegakannya di berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, baik yang berskala nasional maupun internasional.
BIODATA EDITOR
Nama Lengkap
: DR. Hamzah Halim, S.H., M.H.
Tempat/Tgl Lahir
: Kanang, 15 Januari 1974
Alamat
: Kompleks Perumahan Dosen UNHAS Tamalanrea KM.10 JI. Prof. Dr. Mattulada Blok C. No. 7A Makassar
Telp.
: 08164385633 ; Faximile: 0411-587219
Pekerjaan: 1. Dosen Tetap pada Fakultas Hukum UNHAS 2. Dosen pada beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Makassar. 3. Penasihat/ Konsultan Hukum Tetap Gubernur/Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan. 4. Tim Unit Teknis Hukum pada BKSP Mamminasata kerjasama JICA —
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 5. Konsultan Hukum pada PT Anugerah Permata Bumi. 6. Konsultan Hukum pada PT. Lautan Permata Abadi.
Pengalaman Organisasi : 1. Sekretaris Umum Badan Hukum & HAM KOSGORO 1957 Provinsi Sulawesi
Selatan
2. Sekretaris IKA Fakultas Hukum UNHAS 3. Pengurus PERSAHI Cabang Sulawesi Selatan 4. Pendiri & Sekretaris Center for Empowering Legislative Drafting Studies
(CELDIS) Kerjasama Fak. Hukum UNHAS — San Francisco University USA 5. Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Hukum UNHAS
Periode 1997/1998. 6. Pendiri & Dewan Pembina Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi
(GARDA TIPIKOR) Fak. Hukum UNHAS 7. Pendiri & Dewan Pembina Hasanuddin Law Student Center (HLSC) 8. Pendiri & Konsultan Center for Law and Local Authonomy Studies (CLLAS) 9. Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS.
10.Pemateri/ Narasumber pada Berbagai Kegiatan Kemahasiswaan di Sulawesi Selatan. Karya Buku : 1. Persekongkolan Rezim Politik Lokal StUdi Atas Relasi Eksekutif dengan
Legislatif Daerah, Diterbitkan oleh PuKAP, Jogjakarta, Tahun 2009. 2. Politik Hukum Pertanahan Konsepsi Teoritik Menuju Artikulasi Empirik,
Diterbitkan oleh PuKAP, Jogjakarta, Tahun 2009. 3. Sekelumit Tentang Psikologi Hukum (Naskah siap terbit), Tahun 2009. 4. Memahami Legal Audit dan Legal Opinion (Naskah siap terbit), Tahun 2009. 5.
The Implication of Executive and Local Legislative Relationship in Enforcement Local Goverment in Local Autonomy Era, Jurnal Internasional,
Journal of Civilization, Volume III Number 6. ISSN 1675-842, March 2009, Diterbitkan di Universiti Kebangsaan Malaysia, Tahun 2009. 6. Berbagai Tulisan di Jurnal Ilmiah Hukum yang Terakreditasi Nasional.
Pengalaman Lain : 1. Menjadi Narasumber/ Fasilitator pada puluhan Kegiatan Pelatihan Penyusunan
dan Perancangan Peraturan Daerah Bagi Aparat Pemerintah Daerah & Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Timur Indonesia; 2. Menjadi Konsultan/ Narasumber pada puluhan Kegiatan Bimbingan Teknis
Penyusunan Naskah Akademik suatu Peraturan Daerah Bagi Aparat Pemerintah Daerah & Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Timur Indonesia; 3. Menjadi Drafters/Konsultan pada Penyusunan Draft Naskah Akademik dan
Draft Peraturan Daerah pada beberapa Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota di Wilayah Timur Indonesia. 4. Menjadi Narasumber pada Pelatihan Pemantapan Penye lesaian Masalah yang
Berindikasi Pidana Melalui Tim Ad Hoc, Jakarta, Desember 2008. 5. Menjadi Panelis dalam Bedah Buku karya penulis "Persekongkolan Rezim
Politik Lokal; studi atas relasi eksekutif dengan legislatif", Diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP) Indonesia kerjasama Badan Eksekutif Mahasiswa Fisipol UNISMUH, di Auditorium Universitas Muhammadiyah, Makassar, 2009. ***
Nama
: DR. Slamet Sampurno Soewondo, SH., MH.
Tempat Tanggal lahir : Makassar, 11 April 1968 Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat
: Perum Graha Indah Family J1. Borong Raya Blok B. 25 Makassar.
Tlp.
: 0411-4664102.
Riwayat Pendidikan 1980
: Lulus SD. Kartika Chandra Kirana, Makasssar. 1983 : Lulus SMP Negeri 2, Makassar.
1986
: Lulus SMA Kartika Chandra Kirana, Makassar.
1991
: Lulus Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
1997
: Lulus Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
2002
: Lulus Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya. 2004
: Lulus Diploma in Forensic Madicine (DFM) Groningen State University.
Kegiatan Ilmiah 1. Lokakarya Akta V AA, Universitas Hasanuddin, Makassar, 1992. 2. Temu Ilmiah Peningkatan Pelayanan Hukum Kepada Masyarakat, Makassar, 1992. 3. Seminar Nasional Hukum Perburuhan, Fak. Hukum Unhas, Makassar, 1992. 4. Seminar Nasional Hukum Tentang Perundang-undangan di bidang Ekonomi, Fak. Hukum Unhas-PERSAHI, Makassar, 1993. 5. Penataran Metodologi Penelitian Hukum, Fak. Hukum Unhas, Makassar, 1994. 6. Seminar Nasional Commercial Paper, Kerjasama Fak. Hukum Unhas-ELIPS, Makassar, 1995. 7. Seminar Nasional Consumer Law, Kerjasama Unhas-ELIPS Project, Makassar, 1996. 8. Kongres Nasional PERHUKI IV, Surabaya, 1996. 9. Seminar Tentang Perkelahian antar Kelompok di masyarakat Perkotaan, kerjasama POLDA Sul-Sel-YIPKSI, Makassar, 1997. 10. Seminar Nasional Peranan Palang Merah Internasional Dalam Pertikaian Bersenjata non-International, kerjasama Fak.Hukum Unhas-Internastonal Committee of the Red Cross (ICRC), Makassar, 1997.
11. Kursus Bahasa Belanda pada Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia-Belanda, Surabaya, 1999. 12. Seminar Sekolah Reguler Angkatan XXVII, SESKO TNI, Bandung, 2000 13. Kongres Nasional PERHUKI V, Jakarta, 2001. Karya Buku 1. Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis (2009); 2. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009) . ***
Data pribadi Nama
: Fajlurrahman Jurdi
TTL
: Bima, 13 Juli 1984
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Perintis Kemerdekaan IV. No 38 Tamalanrea Makassar
HP
: 085299262424
Jenjang Pendidikan 1992-1997 MIN-Ngali Belo, Bima 1997-2000 SLTP Negeri 2 Belo, Bima 2000-2003 SMU Negeri 1 Belo, Bima 2003-2008 Si Fakultas Hukum UNHAS-Makassar Pengalaman Organisasi 2003-2004
Sekretaris Umum IMM Komisariat FIS UNHASMakassar
2005-2007
Sekretaris DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sul-Sel
2008-2010
Ketua DPD IMM Sul-Sel
2003-2005
Pimpinan Cabang IMM Makassar Perintis. 2003-2005 Anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel. 2004-2005 Ketua Kajian Strategis
Komunitas Mahasiswa Bima (KMB) Makassar. 2004-2005
Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) Fakultas Hukum UNHAS.
2006-2007
Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa (BKM) Fakultas Ftukum UNHAS.
2003-2004
Sekum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat FIS UNHAS.
2007-2009
Ketua Bidang Kader Ikatan Senat Mahsiswa Hukum Indonesia (ISMAHI)
2008-2011
Wakil Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS
2008-2010
Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) UNHAS.
2003-2004
Ketua Kajian strategic Komunitas Intelektual Muda Muslim FIS UNHAS
2004-2005
Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Sul-Sel. 2008-2011 Peneliti sekaligus Redaktur Jurnal Konstitusi pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin. 2005-2008 Surveyor PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta area Sulawesi
2007-2008
Pendiri dan sekaligus Direktur Program pada INSERT Institute, Suatu Lembaga Riset dan Konsultasi Politik.
2005-2010
Kepala Bidang Riset dan Konsultasi Politik Lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)-Makassar 2007-2012 Peneliti lepas Pada Centre For Freedom and Social Transformation (CONTFRONT)
-Jakarta
2004-2010
Direktur
Eksekutif
Pusat
Kajian
Politik,
Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia
Karya Tulis: Buku: 1. Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007) 2. Aib Politik Muhammadiyah (2007) 3. Predator-Predator Pasca Orde Baru:Membongkar Aliansi Leviathan dan
Kegagalan Demokrasi di Indonesia (2008) 4. Aib Politik Islam: Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam
Memenuhi Hasrat Kekuasaan (2009) 5. Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004) 6. Paradoks Konstitusi (2009). 7. Aib Politik Indonesia (Segera Terbit) 8. Presiden Predator (Segera Terbit) 9. Partai-Partai Predator (sedang digarap)
10.Konstitusi Republicant (sedang digarap). Editor Buku-Buku Antara Lain: 1. Feminisme Profetik (2007) 2. Trias Politica Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2008) 3. Jalan Terj al Good Governance: Prinsip, Konsep dan Tantangan Dalam
Negara Hukum (2009)
4. Politik Hukum Pertanahan (2009). 5. Persekongkolan Rezim Politik Lokal (2009) 6. Quo Vadis Pendaftaran Tanah (2009) 7. Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis
(2009) 8. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009) 9. Hukum Internasional (2008)
10.Islam dan Konstitusionalisme: Kontribusi Islam Dalam Penyusunan UUD Indonesia Modern (2009). Artikel dan Makalah Puluhan Artikel yang dimuat diberbagai media massa local dan nasional dan ratusan Makalah yang disampaikan diberbagai forum seminar, diskusi, training dan dialog publik. Sekarang sedang melakukan riser mengenai "relasi Islam dan demokrasi lokal, studi kasus atas injeksi demokrasi liberal di Kota Palopo". Sekaligus menyelesaikan proyek pemikiran dibidang Konstitusi. ***