KARAKTERISTIK HABITAT DAN KEANEKARAGAMAN JENIS MANGROVE DARAT DI LOMPIO, KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH Characteristic of Habitat and Species Diversity of Upland Mangrove at Lompio, Donggala District, Central Sulawesi
Bau Toknok1), Achmad Ariffien Bratawinata2) dan Kadar Soetrisno3)
Abstract. The purposes of the research were to determine characteristic of soil, species diversity of upland and perception of surrounding society about the existence of mangrove forest. The research was conducted at Lompio, Donggala District, Central Sulawesi. The research resulted that soil type of mangrove forest at Lompio was alluvial with dusty clay texture, low organic matter, high pH, high cation exchange capacity, low dissolved sulphate, varied soil fertility from low to high and low salinity of water. The diversity of mangrove species were relatively low, they were 7 species of seedlings, 15 species of poles and 13 species of trees found on the area. There were only 2 species, i.e. Sonneratia caseolaris and S. ovata characterized as coastal mangrove, while Ficus sp., Pandanus tectorius, Hibiscus tiliaceus, Glochidion affinis, Terminalia catappa, Eugenia sp., Mallotus affinis, Syzigium sp., Nauclea cyrtopoda, Ardisia sp., Diopyros sp., Viburnum sp. and Macaranga mappa were non mangrove species of swamp, coastal and lowland forests. The dominant species of tree stage was S. ovata, while of seedling and pole stages was non mangrove species G. affinis. Species Diversity Index showed very low values, they were seedlings 0.69, poles 0.77 and trees 0.74. Species Evenness Index showed that each species distributed nearly constant, where the index of seedlings was 0.81, poles 0.65 and trees 0.67. Species Dominance Index of seedlings was 0.24, poles 0.29 and trees 0.27, this meant that the vegetation on the area were dominated by poles. Generally, the upland vegetation community at Lompio had a perfect crown strata consisted of stratum A, B, C and D without clear definite strata and not continuously connected. The benefit of existence of mangrove forest was not felt by surrounding society, because they were lack of knowledge and understanding about mangrove management. Kata kunci: jenis tanah, jenis vegetasi, struktur tegakan, persepsi masyarakat.
_____________________________________________________________ 1) Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah, Palu 2) Laboratorium Dendrologi dan Ekologi Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda 3) Laboratorium Silvikultur Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda
17
18
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan khas daerah tropis yang mempunyai sifat ekosistem yang berbeda dengan tipe hutan lainnya. Tipe hutan mangrove terbentuk karena klimaks edafik. Faktor edafik yang berpengaruh langsung terhadap vegetasi hutan mangrove yakni sifat fisik-kimia tanah, suhu dan keadaan pergerakan air tanah, pasang surut serta salinitas. Ciri khas dari tipe hutan mangrove adalah keanekaragaman jenisnya relatif rendah, mempunyai satu lapisan tajuk, tidak terdapat tumbuhan bawah kecuali pada daerah terbuka, bersifat holofit, memiliki perakaran pneumatophora serta memiliki buah vivipar (Ewusie, 1990). Sebaran tiap jenis vegetasinya cenderung mengikuti keadaan tofografi, pengaruh pasang surut, aliran air sungai yang berpengaruh terhadap tingkat salinitas, sehingga mengikuti zona atau asosiasi yang jelas. Vegetasi hutan mangrove tumbuh pada 4 asosiasi yaitu komunitas mangrove pantai, muara, sungai dan daratan (Rusila dkk., 1999). Salah satu komunitas mangrove daratan yang ada di dunia terdapat di Sulawesi Tengah yaitu di Lompio. Komunitas tersebut menjadi unik karena sangat jauh dari pengaruh pantai dan air laut, namun secara morfologis jenis pohon yang ada mirip dengan jenis pohon dari vegetasi mangrove (Lamakarate dkk., 2000a). Keunikan komunitas mangrove darat Lompio tersebut hampir terabaikan, sehingga telah mengalami penyusutan, baik dari segi luas maupun dari segi kuantitas dan kualitas tegakan. Perubahan ekologis tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia dan perubahan lingkungan tumbuh sebagai akibat dari ketidakpastian kebijakan pemerintah dalam penetapan status kawasan. Hal ini tercermin dari program pemerintah atas tata guna lahan, yakni tahun 1972 menetapkan kawasan Lompio sebagai wilayah proyek pemukiman suku terasing yang berdampak pada konversi lahan mangrove menjadi areal pertanian. Selain itu, adanya air irigasi Gumbasa yang mengalir sepanjang tahun sejak tahun 1974/1975 turut andil dalam mempengaruhi perkembangan tegakan mangrove tersebut, karena dengan masuknya air irigasi secara terus-menerus ke dalam kawasan mangrove telah berpengaruh terhadap keadaan air atau tingkat salinitas, yang mana salinitas air sangat berpengaruh terhadap perkembangan vegetasi mangrove. Informasi mengenai ekosistem hutan mangrove terutama komunitas mangrove darat masih sangat kurang, sehingga perlu terus digali, karena antara satu komunitas mangrove dengan yang lainnya mempunyai sifat yang berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi aktual keanekaragaman jenis vegetasi hutan yang masih mencirikan jenis mangrove dan vegetasi lainnya, mengetahui kondisi geofisik dari komunitas mangrove darat dan mengetahui keterkaitan lingkungan hutan mangrove dengan masyarakat sekitar. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam wacana pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan pertimbangan dalam rangka penataan dan pengelolaan kawasan mangrove oleh instansi terkait.
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
19
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di komunitas mangrove daratan daerah Lompio yang terletak pada ketinggian rata-rata 70 mdpl, berjarak 22 km dari pantai (muara Sungai Palu), dengan posisi geografis 119o53’30” BT dan 01o04’30” LS atau sekitar 20 km dari kota Palu ke arah selatan. Penelitian di lapangan dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2003, yang meliputi kegiatan orientasi lapangan, pembuatan plot dan pengumpulan data. Objek yang diteliti adalah ekosistem mangrove daratan, meliputi sejumlah aspek antara lain vegetasi, keadaan tanah dan air, serta persepsi masyarakat sekitar dan unsur-unsur iklim. Khusus persepsi masyarakat sekitar dan unsur-unsur iklim, datanya bersifat deskriptif kualitatif. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tali rafia, alkohol 70 %, karung goni, kertas koran, kertas karton, lem kertas, kantong nener, kartu etiket gantung dan etiket tempel (label), buku pengenalan jenis di lapangan. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kompas, clinometer, gunting stek, parang, pita ukur (meteran), refractometer, thermometer, pH meter, kamera, tape recorder, peta kerja, tally sheets, electric stavol, buku catatan, mistar bor tanah, paralon dan alat-alat analisis tanah di laboratorium. Orientasi lapangan dilakukan dengan melihat secara keseluruhan daerah yang ditumbuhi mangrove serta mendatangi sejumlah narasumber untuk mendapatkan gambaran secara umum kondisi ekosistem mangrove darat. Metode analisis vegetasi yang digunakan adalah metode jalur berpetak (nested sampling). Jalur pengamatan dibuat sepanjang kawasan dengan lebar 10 m yaitu masing-masing 5 m sebelah kiri dan kanan sumbu jalur. Pada jalur pertama (timurbarat) yang panjangnya 400 m dibuat 19 petak, yang mana petak contoh dibuat pada setiap interval 10 m. Jalur kedua (utara-selatan) dengan panjang 200 m dibuat 20 petak dan jalur ketiga (utara-selatan) dengan panjang 130 m dibuat 13 petak, sehingga jumlah petak contoh yang dibuat pada 3 jalur sebanyak 52 petak. Pada masing-masing jalur yang lebarnya 10 m dibuat petak yang lebih kecil secara berselang-seling di sebelah kiri dan kanan sumbu jalur. Dari masing-masing jalur dibuat potongan-potongan jalur berupa subplot dengan ukuran 10 x 10 m untuk pengamatan tingkat pohon. Dalam plot pohon ini dibuat plot yang berukuran 5 x 5 m untuk pengamatan tingkat pancang, kemudian di dalam plot pancang dibuat plot berukuran lebih kecil lagi yakni 2 x 2 m untuk pengamatan tingkat semai. Permudaan tingkat semai adalah tumbuhan yang mempunyai tinggi 1,5 m, menyangkut nama jenis, jumlah individu tiap jenis dan tinggi anakan. Tingkat pancang adalah tumbuhan yang berdiameter <10 cm dengan tinggi >1,5 m menyangkut nama jenis, jumlah individu tiap jenis, diameter batang, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Tingkat pohon adalah tumbuhan yang mempunyai diameter 10 cm, menyangkut nama jenis, jumlah individu tiap jenis, diameter batang, tinggi bebas cabang dan tinggi total. Pengamatan terhadap keadaan tanah dilakukan pada dua lokasi, yakni daerah
20
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
dekat air (becek) dengan menggunakan pipa paralon 2,5 inci dengan panjang 65 cm dan daratan menggunakan bor tanah dengan kedalaman 0–20 cm dan 20–60 cm. Analisis kandungan kimianya dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Untad Palu. Parameter keadaan air diukur langsung di lapangan menggunakan refractometer untuk salinitas, pH meter untuk mengetahui pH dan thermometer untuk suhu air. Data iklim diambil dari data sekunder Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandara Mutiara Palu. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan sosial ekonomi dan budaya yaitu pola pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, baik yang berguna maupun yang merugikan bagi pelestarian komunitas mangrove tersebut. Data tersebut diperoleh dari responden kunci dan responden spontan. Data lain yang juga dikumpulkan yakni risalah umum daerah penelitian berupa letak daerah, luas, mata pencaharian, tingkat pendidikan serta peta-peta yang bersumber dari laporan, data statistik dan sumber-sumber lainnya serta instansi terkait. Analisis data dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan tegakan hutan, yaitu: a. Indeks Keanekaragaman Jenis (H) Keanekaragaman jenis menunjukkan tingkat stabilitas pada suatu tingkat pertumbuhan, baik tingkat semai, pancang maupun pohon yang dihitung dengan rumus Shanon dan Wiener (1949) yang dikutip Odum (1993) sebagai berikut: H = {(ni/N) log (ni/N)} ni = jumlah individu tiap jenis. N = jumlah individu seluruh jenis. b. Indeks Kemerataan Jenis (e) Dihitung dengan rumus Pielou (1966) yang dikutip Odum (1993) sebagai berikut: e = H/log S H = indeks keanekaragaman jenis. S = jumlah jenis yang hadir. c. Indeks Dominasi Jenis (C) Dihitung dengan rumus Simpson (1949) yang dikutip Odum (1993) sebagai berikut: C = {(ni/N)2} ni = jumlah individu tiap jenis. N = jumlah individu seluruh jenis d. Nilai Penting Jenis (NPJ) Untuk menentukan jenis yang paling dominan dari tingkat pancang dan pohon digunakan rumus yang dikemukakan oleh Curtis (1959) yang dikutip Bratawinata (2001) sebagai berikut: NPJ (%) = KN + FN + DN KN = (Jumlah individu suatu jenis / Jumlah individu seluruh jenis) x 100 % FN = (Jumlah kehadiran suatu jenis / Jumlah kehadiran seluruh jenis) x 100 % DN = (Jumlah luas bidang dasar suatu jenis / Jumlah luas bidang dasar seluruh jenis) x 100 %
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
21
Khusus untuk tingkat semai menggunakan rumus Sum of Dominance Ratio (SDR) yang dikemukakan oleh Numata dkk. (1958) yang dikutip Bratawinata (2001) sebagai berikut: SDR3 = {(N’ + F’ + H’) / 3} SDR3 = Sum of Dominance Ratio atau jumlah dari dominasi jenis pada tiga macam parameter, dinyatakan dalam persen. N’ = (Jumlah individu suatu jenis / Jumlah individu terbanyak dari jenis lain) x 100 % F’ = (Jumlah frekuensi suatu jenis / Jumlah frekuensi terbanyak dari jenis lain) x 100 % H’ = (Tinggi rata-rata dari suatu jenis / Tinggi rata-rata tertinggi dari jenis lain) x 100 % e. Strukur tegakan Dibahas dengan menggunakan tabulasi dan grafik yang meliputi hubungan kelas tinggi dan jumlah individu, hubungan kelas diameter dan jumlah individu, hubungan tinggi bebas cabang dan tinggi total. f. Parameter geofisik. Contoh tanah yang diambil dari lapangan dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Komponen yang dianalisis adalah tekstur tanah, pH, sulfat dapat larut, C-organik, total nitrogen, P2O5, K2O, KTK dan kejenuhan basa. Kondisi air yang dicatat adalah pH, salinitas dan suhu air. Kondisi iklim diambil dari Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV, Stasiun Bandara Mutiara Palu yakni tipe iklim, curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembapan udara. f. Sosial ekonomi dan budaya Data lapangan dan data sekunder yang dikumpulkan direkapitulasi kemudian ditabulasikan. Analisis data dilakukan dengan melihat kecenderungan yang diuraikan secara deskriptif kualitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakter Habitat a. Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, maka kawasan mangrove Lompio memiliki tipe iklim F, yaitu termasuk tipe iklim kering dengan nilai Q = 246,15 %. Curah hujan tahunan rata-rata periode 1998 sampai dengan 2002 sebesar 800 mm/th dengan jumlah hari hujan tahunan berkisar antara 134208 hari. Suhu udara rata-rata berkisar 27,4o C, dengan kelembapan udara 78,15 %. b. Tanah Berdasarkan peta tinjau Sulawesi Tengah, jenis tanah pada lokasi penelitian adalah alluvial. Tanah alluvial dikenal sebagai tanah-tanah yang baru berkembang yakni tanah yang belum mengalami diferensiasi profil menjadi horizon. Tanah alluvial umumnya terbentuk dari batuan endapan (sedimentary rock). Jenis tanah
22
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
ini dicirikan oleh tekstur tanah lapangan lempung berdebu hingga debu dengan fraksi pasir pada lapisan bawah lebih tinggi, sehingga bisa diduga bahwa tanah tersebut terbentuk dari endapan aliran alluvial dataran banjir dan delta. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan Anom (1976) dalam Whitten dkk. (1987), bahwa jenis tanah adalah alluvial yakni tanah yang terangkut sungai, umumnya terbentuk dari proses pengendapan, bukan dari proses perkembangan batuan induk dan tanah entisol yang berkembang lemah di atas pasir. Selanjutnya Sukamto (1974) yang dikutip Lamakarate (2000b) menyatakan, bahwa lapisan batuan yang tersingkap ke permukaan pada jarak antara garis pantai yang sekarang dengan Desa Bangga (40 km), tersusun oleh formasi alluvial dan endapan pantai. Secara fisik, tanah di kawasan mangrove darat Lompio merupakan tanah bertektur sedang dengan kandungan debu yang dominan, baik pada daerah berair maupun pada daerah kering, dengan status kesuburan tanah yang sangat bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi (berdasarkan kriteria Anonim, 1993). Reaksi tanah pada daerah berair cukup basa dengan pH 7,59–7,98, kandungan C-organik sangat rendah dan rendah, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, N-total dengan status sedang, P205 tinggi, kalium sangat rendah dan sulfat terlarut 0,02 % 0,03 %. Pada daerah kering, reaksi tanahnya agak basa dengan pH 7,27–7,40, kandungan C-organik sangat rendah, KTK sedang dan tinggi, N-total dengan status rendah, P-tersedia tinggi, kalium sangat rendah dan sulfat terlarut 0,068 %– 0,087 %. Nilai C/N dapat dijadikan sebagai indikator kemudahan proses dekomposisi bahan organik dan aktivitas mikroorganisme tanah yang sangat dipengaruhi oleh pH. Rendahnya nilai C/N tanah pada lokasi penelitian menunjukkan, bahwa proses dekomposisi bahan organik berjalan lambat, sehingga pengasaman tanah tidak berlangsung yang ditunjukkan dengan pH yang tinggi (7,29–7,98) dan nitrogen di dalam tanah berada dalam kondisi yang kurang (0,149–0,506 %). Dengan tingginya pH tanah, maka aluminium (Al+++) dan besi (Fe+++) bebas dalam tanah akan berkurang kelarutannya, sehingga pospor dapat tersedia bagi tanaman, juga kation-kation basa seperti K+, Na+ dan Mg+ yang dapat dipertukarkan akan tinggi. Namun demikian, unsur kalium berada dalam status sangat rendah (0,011–0,113 %). Hal ini disebabkan karena mineral tanah mengandung kalium rendah, terikat kuat oleh mineral tanah, difiksasi oleh mikroorganisme dan hilang karena pelindian. Buckman dan Brady (1982) menyatakan, bahwa tanah-tanah yang didominasi oleh debu mengandung mineral kalium yang sangat sedikit. Reaksi tanah pada daerah berair lebih basa dibanding daerah kering. Hal ini disebabkan karena pada daerah kering terjadi pencucian dan sebab lainnya. Selain itu tingginya pH pada daerah berair juga disebabkan oleh kandungan sulfat tanah yang lebih rendah (0,02–0,03 %). c. Keadaan air Berdasarkan hasil pengukuran parameter air seperti suhu air, tingkat salinitas, pH pada beberapa tempat menunjukkan nilai yang relatif sama. Nilai salinitas pada
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
23
komunitas mangrove Lompio berkisar antara 3–5 %. Nilai salinitas ini menunjukkan, bahwa perairan di kawasan mangrove darat Lompio hampir tawar dengan pH agak asam (6,5) sampai agak basa (7,5) serta suhu air berkisar antara 22–24o C. Kondisi salinitas tanah 0,422–0,527 % dan salinitas air 3–5 % ini sangat rendah dibandingkan dengan salinitas mangrove pantai yang mencapai 30–32 %. Rendahnya salinitas pada lokasi penelitian diduga disebabkan oleh masuknya air irigasi Gumbasa secara intensif mulai dari tahun 1974. Saluran irigasi ini mengalir dari selatan ke utara dan berada di sebelah timur kawasan mangrove dengan posisi yang lebih tinggi Kenyataan di lapangan bahwa dengan kondisi salinitas yang hampir tawar, vegetasi mangrove dari suku Sonneratiaceae yakni Sonneratia caseolaris dan S. ovata dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena vegetasi mangrove bersifat holofit fakultative yang mampu tumbuh dengan baik pada air tawar. Supriharyono (2000) menyatakan, bahwa meskipun suku Sonneratiaceae umumnya tumbuh di tepian laut dengan salinitas normal (10–30 %), namun jenis S. caseolaris hanya tumbuh pada tanah dengan salinitas rendah (<10 %). Hasil pengamatan karakter habitat komunitas mangrove pada lokasi penelitian relatif berbeda dengan komunitas mangrove lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Karakter Habitat Mangrove Lompio dengan Komunitas Mangrove Lainnya Komponen a. Habitat Tekstur tanah Salinitas Suhu air PH b. Vegetasi
Mangrove pantai (1)
Mangrove sungai (2)
Mangrove darat (3)
Berpasir 3032 % 3031 C 77,5 Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorhiza, B. parviflora, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Avicennia alba, A. marina, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Scyphiphora hydrophyllace, Lumnitzera littorea, Hibiscus tiliaceus, Intsia bijuga.
Berlempung 1721 % 2829,5 C 67,5 Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Sonneratia caseolaris, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Lumnitzera littorea, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus, Intsia bijuga, Nypa fruticans.
Lempung berdebu 35 % 2224 C 6,57,5 Sonneratia ovata, S. caseolaris, Ficus sp., Pandanus tectorius, Hibiscus tiliaceus, Terminalia catappa, Glochidion affinis, Mallotus affinis, Macaranga mappa, Eugenia sp., Syzigium sp., Nauclea cyrtopoda, Ardisia sp., Diospyros sp., Viburnum sp.
Sumber: (1) dan (2) Sribianti (1998), (3) Data Primer.
24
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
Vegetasi a. Komposisi jenis Hasil analisis data lapangan pada komunitas mangrove darat di Lompio sekitar 22 km dari pantai, ditemukan 15 jenis vegetasi dari 11 suku yang tersebar pada berbagai tingkat pertumbuhan, yakni tingkat semai 7 jenis, pancang 15 jenis dan pohon 13 jenis. Jenis-jenis yang tergolong vegetasi mangrove pantai atau mangrove estuaria adalah Sonneratia ovata, S. caseolaris, Ficus sp., Pandanus tectorius dan Hibiscus tiliaceus. Jenis-jenis yang dianggap baru setelah ada perubahan habitat adalah Glochidion affinis, Terminalia catappa, Eugenia sp., Mallotus affinis, Syzigium sp., Nauclea cyrtopoda, Ardisia sp., Diospyros sp., Viburnum sp. dan Macaranga mappa. Rendahnya keanekaragaman jenis yang ditemukan pada tingkat semai menunjukkan, bahwa hanya jenis vegetasi tersebut yang mampu bersaing dengan tumbuhan bawah yang banyak terdapat pada lokasi penelitian. Jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada hutan mangrove darat Lompio antara lain Acrosticum aureum, Acrosticum speciosum dan Saccarum spontaneum. b. Dominasi jenis Peranan suatu jenis dalam penguasan ekologis pada komunitas hutan ditentukan dengan Sum of Dominance Ratio (SDR %) untuk tingkat semai dan Nilai Penting Jenis (NPJ %) untuk tingkat pancang dan pohon dengan mengambil 10 jenis yang memiliki nilai terbesar. Hasil analisis SDR dan NPJ terlihat pada Tabel 2. Jenis yang mendominasi pertumbuhan tingkat semai adalah Glochidion affinis dengan nilai SDR (%) sebesar 84,14 % yang berarti bahwa jenis tersebut berkerapatan tinggi dan tersebar merata. Jenis Sonneratia sp. yang merupakan salah satu jenis vegetasi mangrove menduduki urutan kedua dan ketiga setelah Glochidion affinis. Jenis G. affinis walaupun kerapatan jenisnya lebih rendah dari S. caseolaris, tetapi menduduki urutan pertama. Hal ini disebabkan karena jenis ini mempunyai frekuensi kehadiran yang tinggi dan rata-rata tinggi individu berukuran lebih tinggi, sehingga memungkinkan nilai SDR (%) besar. Jenis yang mendominasi pertumbuhan tingkat pancang adalah G. affinis dengan NPJ 129,79 %. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan jenis-jenis lainnya. Jenis-jenis tingkat pancang yang tidak termasuk 10 jenis utama tingkat semai adalah Nauclea cyrtopoda, Viburnum sp., Diospyros sp. dan Mallotus affinis. Keempat jenis tersebut menduduki urutan keenam, delapan, sembilan dan sepuluh, sedangkan jenis tingkat semai yang tidak termasuk 10 jenis utama pada tingkat pancang adalah Macaranga mappa. Jenis yang mendominasi pertumbuhan tingkat pohon adalah S. ovata dengan NPJ 110,29 %, menyusul S. caseolaris. Jenis tingkat pancang yang tidak termasuk 10 jenis utama pada tingkat pohon adalah Mallotus affinis, sedangkan jenis tingkat pohon yang tidak termasuk 10 jenis utama tingkat pancang adalah Terminalia catappa.
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
25
Tabel 2. SDR (%) dan NPJ (%) 10 Jenis Utama pada Komunitas Mangrove Darat Lompio Tingkat pertumbuhan Semai
Pancang
Pohon
No. 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Glochidion affinis Sonneratia caseolaris Sonneratia ovata Macaranga mappa Pandanus tectorius Eugenia sp. Hibiscus tiliaceus Glochidion affinis Hibiscus tiliaceus Sonneratia ovata Eugenis sp Sonneratia caseolaris Nauclea cyrtopoda Pandanus tectorius Viburnum sp Diospyros sp Mallotus affinis Sonneratia ovata Sonneratia caseolaris Glochidion affinis Hibiscus tiliaceus Pandanus tectorius Nauclea cyrtopoda Eugenis sp Terminalia catappa Viburnum sp Diospyros sp
N/ha 11.875 14.500 10.417 10.000 3.750 6.250 8.750 1.920 1.573 1.000 960 850 1.133 1.133 667 1.200 400 376 365 125 113 180 225 125 133 100 100
SDR (%) / NPJ (%) 84,14 63,16 59,18 41,01 34,27 33,73 30,83 129,79 41,24 30,42 21,83 17,48 15,35 13,70 5,59 5,23 4,09 110,29 103,06 31,91 12,71 9,34 8,80 6,10 5,31 2,84 2,76
Secara umum dapat dilihat, bahwa pada tingkat semai dan pancang jenis G. affinis mempunyai nilai SDR dan atau NPJ yang lebih menonjol, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat penguasaan ekologis pada komunitas hutan mangrove darat yang lebih tinggi. Ini berarti, bahwa jenis G. affinis mempunyai kisaran penyebaran yang luas dan mampu beregenerasi dengan baik. Hal ini mengindikasikan, bahwa jika terlambat untuk dilestarikan, maka beberapa waktu yang akan datang kawasan mangrove darat Lompio akan berubah menjadi hutan sekunder karena jenis S. ovata dan S. caseolaris yang merupakan salah satu jenis vegetasi mangrove hanya mendominasi pada tingkat pohon. c. Tingkat kestabilan Kestabilan suatu tingkat pertumbuhan ditentukan dari Indeks Keanekaragaman Jenis (H) seperti terlihat pada Tabel 3. Semua nilai H adalah <1 dengan nilai tertinggi pada tingkat pancang sebesar 0,77 disusul tingkat pohon (0,74) dan terendah pada tingkat semai (0,69). Pertumbuhan vegetasi mangrove darat Lompio
26
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
relatif stabil dengan keanekaragaman jenis rendah, terutama keanekaragaman jenis pada tingkat semai. Hal ini mengindikasikan, bahwa kemungkinan pada masa-masa yang akan datang komunitas mangrove darat Lompio menjadi hutan yang mendekati homogen jenis. Tabel 3. Indeks Keanekaragaman Jenis (H), Jumlah Jenis (S) dan Jumlah Individu (N) pada Komunitas Mangrove Darat Lompio
Tingkat pertumbuhan Semai Pancang Pohon
H 0,69 0,77 0,74
S 7 15 13
N 111 389 274
d. Tingkat kemerataan Distribusi individu di antara jenis yang ada ditentukan oleh Indeks Kemerataan (e) seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Indeks Kemerataan (e), Jumlah Jenis (S) dan Jumlah Individu (N) pada Komunitas Mangrove Darat Lompio Tingkat pertumbuhan Semai Pancang Pohon
e 0,81 0,65 0,67
S 7 15 13
N 111 389 274
Pada Tabel 4 terlihat, bahwa tingkat semai mempunyai nilai e yang tertinggi yakni sebesar 0,81, disusul tingkat pohon (0,67) dan yang terendah adalah tingkat pancang (0,65). Hal ini berarti, bahwa pembagian dari 111 individu di antara tujuh jenis yang ditemukan pada tingkat semai terdistribusi secara merata dalam komunitas. Jumlah individu yang tinggi tidak mencerminkan, bahwa individu-individu di antara jenis yang ada terdistribusi dengan rata. Ini terlihat pada pertumbuhan tingkat pancang yang mempunyai individu lebih banyak (389) dari tingkat semai tetapi Indeks Kemerataannya paling rendah. e. Tingkat dominasi Kemenonjolan suatu tingkat pertumbuhan ditentukan dari Indeks Dominasi Jenis (C) seperti terlihat pada Tabel 5. Tingkat pancang mempunyai nilai C yang tertinggi yakni sebesar 0,29, disusul tingkat pohon (0,27) dan terendah tingkat semai (0,24), yang berarti bahwa pertumbuhan tingkat pancang peranannya paling dominan dalam komunitas. Hal ini mengindikasikan, bahwa pada komunitas mangrove darat Lompio, tingkat pertumbuhan yang dominan dikuasai oleh strata bawah (pancang).
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
27
Tabel 5. Indeks Dominansi (C), Jumlah Jenis dan Jumlah Individu (N/ha) pada Komunitas Mangrove Darat Lompio Tingkat pertumbuhan Semai Pancang Pohon
C 0,24 0,29 0,27
Jumlah Jenis 7 15 13
N/ha 55.125 14.237 3.150
f. Struktur tegakan Struktur lapisan tajuk tegakan dari komunitas mangrove darat Lompio mulai dari tingkat pancang sampai pohon menggambarkan lapisan tajuk sempurna (A, B, C dan D) dengan strata yang tidak berkesinambungan. Lapisan atas yakni stratum A mempunyai tinggi mulai dari 13–20 m, lapisan tengah (stratum B dan C) memiliki tinggi 5,5–13 m dan lapisan bawah (stratum D) dengan tinggi di bawah 5,5 m. Secara umum lapisan tajuk pohon dari komunitas mangrove darat Lompio dapat dilihat pada grafik hubungan antara tinggi total dengan tinggi bebas cabang (Gambar 1). Pada gambar tersebut terlihat, bahwa hampir setiap lapisan tajuk terjadi rumpang, sehingga strukturnya tidak beraturan. Hal ini terjadi karena pada komunitas tersebut telah dilakukan penebangan pohon yang berakibat pada hilangnya tajuk lapisan atas dan rusaknya lapisan tengah dan bawah. Bratawinata (1993) menyatakan, bahwa hutan yang telah mengalami eksploitasi walaupun memiliki 4 strata tajuk, tetapi antara lapisan tajuk yang satu dengan yang lainnya akan menggambarkan tangga yang tidak ideal lagi, rumpang lapisan tajuk akan terjadi di seluruh stratum.
Gambar 1. Grafik Hubungan Tinggi Total dengan Tinggi Bebas Cabang pada Komunitas Mangrove Darat Lompio
28
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
Sebagai gambaran, stratifikasi tajuk pada komunitas mangrove darat Lompio dapat dilihat dari klasifikasi kelas tinggi total pohon pada Gambar 2.
Jumlah individu
250 200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kelas tinggi
Gambar 2. Diagram Penyebaran Kelas Tinggi Pohon pada Komunitas Mangrove Darat Lompio Keterangan: Kelas 1 (1,5–5 m), Kelas 2 (5–7,5 m), Kelas 3 (7,5–10 m), Kelas 4 (10–12,5 m), Kelas 5 (12,5–15 m), Kelas 6 (15–17,5 m), Kelas 7 (17,5–20 m)
Pada Gambar 2 terlihat, bahwa penyebaran tinggi pohon didominasi oleh pohon-pohon dengan tinggi 7,5 m ke bawah yaitu sebanyak 430 individu atau sekitar 61,78 %, dengan penyebaran terbanyak pada kelas tinggi 1,5–5 m, disusul kelas tinggi 5–7,5 m dan kelas tinggi 15–17,5 m. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas mangrove darat Lompio sudah terganggu yang terlihat dari adanya gap pada lapisan tajuk vegetasi. Penyebaran diameter tegakan pada komunitas mangrove darat Lompio dapat dilihat pada Gambar 3.
Jumlah individu
400 300 200 100 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kelas diameter
Gambar 3. Diagram Penyebaran Kelas Diameter Pohon pada Komunitas Mangrove Darat Lompio. Keterangan: Kelas 1 (<10 cm), Kelas 2 (10–20 cm), Kelas 3 (20–30 cm), Kelas 4 (30–40 cm), Kelas 5 (40–50 cm), Kelas 6 (50–60 cm), Kelas 7 (60–70 cm)
Pada Gambar 3 terlihat, bahwa penyebaran diameter pohon didominasi oleh pohon-pohon dengan diameter <30 cm dengan jumlah individu sebanyak 642 pohon atau sekitar 92,24 %. Komunitas mangrove darat lompio dari segi penyebaran diameter masih berada dalam kondisi alami, yakni kelas diameter terkecil memiliki jumlah individu terbanyak dan semakin besar diameternya, individunya semakin sedikit.
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
29
Masyarakat dan Hutan Mangrove a. Mata pencaharian Masyarakat Maranatha merupakan masyarakat yang berbudaya Kaili Da’a dengan kultur agraris. Jumlah kepala keluarga berdasarkan Profil Desa tahun 2002 yaitu 662 KK dengan jumlah penduduk 2.416 jiwa yang terdiri atas 1.224 laki-laki dan 1192 perempuan. Sumber penghidupan dari masyarakat Maranatha adalah sektor pertanian. Secara umum dari jumlah kepala keluarga yang 662 KK, sebagian besar (78,55 %) masyarakat Maranatha bekerja dan hidup di sektor pertanian b. Tingkat pendidikan dan pengetahuan Pendidikan di lokasi penelitian secara umum masih memprihatinkan. Rendahnya tingkat pendidikan formal masyarakat menyebabkan rendahnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyerap informasi yang masuk ke kawasan ini. Keadaan ini juga akan mempengaruhi perkembangan pengetahuan masyarakat terhadap potensi hutan mangrove yang bisa dimanfaatkan. Hal ini diindikasikan dengan tidak diketahuinya potensi yang bisa dikembangkan dengan keberadaan hutan mangrove di lingkungannya. c. Persepsi dan perilaku masyarakat terhadap hutan mangrove Hasil observasi terhadap persepsi masyarakat menunjukkan bahwa sebagian besar (66,67 %) masyarakat menghendaki agar hutan mangrove dilestarikan, namun keinginan masyarakat tidak dibarengi dengan pemahaman tentang konsep pengelolaan hutan mangrove yang baik. Hal ini terlihat dari hasil observasi terhadap bentuk pengelolaan bahwa sekitar 60 % responden akan membiarkan hutan mangrove tersebut tanpa perduli terhadap kondisi hutan yang ada dan bahkan tindakan pengelolaan diserahkan ke pemerintah. Pengaruh keberadaan hutan terhadap kehidupan masyarakat Lompio menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat (86,67 %) tidak merasakan perubahan kehidupan dengan keberadaan hutan mangrove di lingkungannya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove darat rendah akibat pengetahuan dan pemahaman tentang potensi hutan tersebut yang rendah, lahan lain cukup untuk kebutuhan hidup dan yang terpenting adalah bahwa lahannya tergolong berat buat masyarakat sehingga sulit untuk diolah. Melihat hal tersebut, maka tindakan yang perlu dilakukan jika hutan mangrove darat akan dilestarikan dan bisa memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat Lompio adalah peningkatan pemahaman potensi hutan mangrove dan peningkatan pengetahuan tentang teknik pengelolan hutan mangrove yang lestari seperti pembuatan kolam ikan tanpa menebang pohon mangrovenya. d. Persepsi masyarakat terhadap rencana pengelolaan hutan mangrove Rencana pemerintah untuk melestarikan kawasan tersebut direspon baik oleh masyarakat sepanjang tindakan tersebut bisa memberikan nilai tambah bagi kehidupannya. Hasil observasi terhadap rencana tersebut menunjukkan bahwa 60 % lahannya diambil alih oleh pemerintah dan 40 % kurang setuju.
30
JURNAL KEHUTANAN UNMUL 2 (1), APRIL 2006
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat telah membuat sebagian besar masyarakat bersikap apatis dan pasrah terhadap lingkungannya. Hal ini terlihat bahwa sebagian besar masyarakat setuju lahannya diambil alih pemerintah dengan sistem ganti rugi dan janji-janji tanpa memahami sebab dan akibat keputusan yang diambilnya. Keputusan tersebut semakin diperkuat dengan ketidakmampuan masyarakat untuk mengolah lahan yang dimilikinya. Secara keseluruhan persepsi masyarakat dapat dijadikan indikasi bahwa pendidikan dan pengetahuan tentang lingkungan hidup bagi masyarakat akan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakannya untuk memenuhi kebutuhan hidup serta menjaga kelestarian lingkungan, pada gilirannya menyebabkan peningkatan kemampuan masyarakat untuk dapat mengelola faktor pembatas lingkungannya menjadi sumber pendapatan. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Jenis tanah hutan mangrove darat Lompio adalah alluvial dengan tekstur lempung berdebu sampai berdebu, bahan organik rendah, pH tinggi, KTK tinggi, sulfat terlarut rendah, status kesuburan tanah yang variatif, dengan tingkat salinitas air yang hampir tawar. Ciri jenis vegetasi mangrove hanya Sonneratia caseolaris, S. ovata; jenis mangrove ikutan yakni Ficus sp., Pandanus tectorius dan Hibiscus tiliaceus; sedang jenis lainnya yakni Glochidion affinis, Terminalia catappa, Eugenia sp., Mallotus affinis, Syzigium sp., Nauclea cyrtopoda, Ardisia sp., Diospyros sp., Viburnum sp. dan Macaranga mappa merupakan jenis rawa, pantai dan hutan dataran rendah. Sonneratia ovata hanya mendominasi tingkat pohon, sedang tingkat semai dan pancang bukan merupakan vegetasi mangrove yakni Glochidion affinis. Indeks Keanekaragaman Jenisnya sangat rendah, semai (0,69), pancang (0,77) dan pohon (0,74). Indeks Kemerataannya mendekati satu, yakni tingkat semai 0,81, pancang 0,65 dan pohon 0,67 yang berarti bahwa kemerataan individu tiap-tiap jenis cukup merata. Indeks Dominasi pada tingkat semai 0,24, pancang 0,29 dan pohon 0,27 yang berarti bahwa tingkat pertumbuhan vegetasi dikuasai oleh tingkat pancang. Secara umum komunitas mangrove darat Lompio memiliki lapisan tajuk sempurna ( A, B, C dan D) dengan batasan lapisan yang tidak jelas serta stratanya tindak berkesinambungan. Keberadaan hutan mangrove tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan mangrove.
Toknok dkk. (2006). Karakteristik Habitat
31
Saran Melihat kondisi hutan yang telah berubah, maka yang perlu dilakukan pemerintah untuk upaya konservasi adalah mengisolasi kawasan dari air irigasi, rehabilitasi kemudian rencana perubahan status lahan. Perlu adanya perencanaan yang matang dalam pengelolaan kawasan mangrove darat Lompio supaya manfaatnya bisa dinikmati oleh semua pihak. Guna mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang keberadaan vegetasi mangrove di daerah yang jauh dari pinggir pantai sebaiknya dilakukan penelitian terpadu antar penelusuran geologi dan sejarah kawasan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Kerja Sama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. 113 h. Anonim. 1999. Laporan Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Donggala 19992009. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Donggala, Palu. 175 h. Bratawinata, A.A. 1993. Perbandingan Struktur dan Komposisi Tegakan Hutan Primer dengan Hutan Bekas Tebangan di Areal PT Kiani Lestari Batu Ampar Kaltim. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 50 h. Bratawinata, A.A. 2001. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 98 h. Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta. 788 h. Ewusie, J.Y. 1990. Elements of Tropical Ecology. ITB Press, Bandung. 369 h. Lamakarate, M.A.R.; Ramadhanil dan Abdullah. 2000a. Lindungi Kawasan Hutan Mangrove di Lompio Desa Maranata. Harian Umum Mercusuar tanggal 16 September 2000, Palu. Lamakarate, M.A.R.; Ramadhanil dan Abdullah. 2000 b. Benarkah Dahulu Lembah Palu Adalah Lautan. Harian Umum Mercusuar tanggal 1718 Oktober 2000, Palu. Odum, P.E. 1993. Fundamentals of Ecology. Edisi ke-3. UGM Press, Yogyakarta. 574 h. Rusila, Y.N.; M. Khazali dan I.N.M. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA dan Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor. 220 h. Sribianti, I. 1998. Komposisi Floristik Tipe Hutan Mangrove di Lakawali Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis Magister Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. 176 h. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 246 h. Whitten, A.J.; M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. The Ecologycal of Sulawesi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 845 h.